Trio Detektif - Misteri Mata Berapi(1)



TRIO DETEKTIF MISTERI MATA BERAPI
Alihbahasa: Agus Setiadi
PT. Gramedia, Jakarta 1983

PENDAHULUAN

Selamat berjumpa, para remaja sahabatku!
Senang sekali hatiku menyambut kalian yang menggabungkan diri bersamaku serta Trio Detektif, untuk menangani kasus baru yang tegang dan membingungkan. Kali ini mereka menjumpai pesan yang misterius, warisan aneh, seorang pria menyeramkan dari India, serta beraneka macam urusan lainnya lagi. Tapi itu nanti saja. Di sini rasanya sudah cukup bila kukatakan bahwa jika kalian menyukai misteri, penyidikan, bahaya, dan ketegangan, pilihan kalian benar-benar sudah tepat! Segala ramuan itu ada dalam kisah ini.
Teman-teman lama kupersilakan membalik halaman dan langsung memulai penanganan kasus. Sedang untuk kawan-kawan baru, rasanya akan sudah cukup jika kukatakan bahwa Trio Detektif itu terdiri dari tiga remaja, yang masing-masing bernama Jupiter Jones, Bob Andrews, dan Pete Crenshaw. Mereka memakai semboyan, "Kami Menyelidiki Apa Saja". Dan itu sesuai dengan kenyataannya! Selama ini mereka telah menyelidiki Hantu Hijau, Puri Setan yang menyebarkan kengerian, lalu Mumi Berbisik, serta beberapa kasus lain yang serba aneh.
Jupiter Jones terkenal kemampuan pengamatan dan deduksinya. Pete Crenshaw biasa menangani urusan yang bersangkutan dengan kekuatan jasmani, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang kekar. Sedang Bob Andrews lebih suka melakukan penelitian dengan tekun. Dan dalam gabungan, mereka membentuk tiga serangkai penyelidik yang tangguh.
Mereka tinggal di kota kecil Rocky Beach, beberapa mil dari Hollywood, California. Markas besar mereka di Jones Salvage Yard, sebuah perusahaan jual-beli barang bekas yang dikelola paman dan bibi Jupiter, Titus dan Mathilda Jones.
Kurasa itu sudah cukup sebagai pengantar - dan kini kita masuki kisah mereka!

ALFRED HITCHCOCK

Bab 1
PANGGILAN UNTUK TRIO DETEKTIF

Suasana di Jones Salvage Yard hari itu sangat sibuk. Bu Jones, yang biasa disebut Bibi Mathilda oleh Jupiter, tidak henti-hentinya memberi komando pada keponakannya itu, begitu pula pada Bob dan Pete. Bu Jones duduk di kursi taman yang terbuat dari besi yang diletakkan di luar pondok kecil tapi rapi, yang merupakan ruang kantor perusahaan jual-beli barang bekas milik suami-istri Jones.
Bu Jones memperhatikan pekerjaan ketiga remaja itu dengan waspada. Mereka sedang membongkar barang-barang dari sebuah truk besar. Barang-barang itu merupakan hasil pembelian Paman Titus dalam perjalanan kelilingnya yang paling akhir.
"Jupiter!" seru Bu Jones. "Segala patung yang ada di atas truk, kalian bawa kemari! Kalian atur berjejer di atas meja ini supaya nampak menarik."
Yang dimaksudkannya adalah sejumlah patung kepala orang-orang terkenal yang terbuat dari gips. Patung-patung itu terletak rapi di bak belakang, beralaskan kain kanvas. Ukurannya kurang lebih separuh aslinya, dan masing-masing berbentuk kepala sampai ke bahu. Patung demikian biasa dipajang dalam museum, diletakkan di atas landasan berupa tiang rendah.
Jupiter serta kedua kawannya bergegas naik ke atas truk. Mereka memandang patung-patung yang dimaksudkan Bu Jones. Menurut perasaan ketiga remaja itu, kecil sekali kemungkinannya orang akan tertarik membeli barang-barang seperti itu. Jumlahnya ada tiga belas - nampak agak kusam karena debu yang menyelubung semakin tebal dari tahun ke tahun. Tokoh yang digambarkan terukir pada segi empat yang merupakan dasar masing-masing patung.
"Julius Caesar, Octavianus, Dante, Homer, Francis Bacon, Shakespeare, " ucap Jupiter membaca beberapa nama di antaranya. "Rupanya ini patung-patung tokoh terkenal semuanya."
"Augustus dari Polandia, " kata Bob yang ikut membaca. "Siapa itu? Aku belum pernah mendengar apa-apa mengenai dia."
"Yang dua ini juga - Luther dan Bismarck, " kata Pete sambil menuding patung dua tokoh berwajah garang.
"Tapi kalau Theodore Roosevelt- kalian pasti tahu siapa dia," kata Jupiter. "Begitu pula Washington, Franklin, dan 'Lincoln'. " Ketiga nama yang disebutnya itu presiden-presiden Amerika Serikat masa lalu yang sangat termasyhur.
"Tentu saja!" kata Pete. "Yah - kita mulai saja dengan Washington." Ia membungkuk, maksudnya hendak menjunjung patung George Washington, presiden pertama Amerika Serikat. "Uuuh!" Pete mendengus. "Ini bukan barang enteng!"
"Hati-hati sedikit, Pete!" seru bibi Mathilda dari depan kantornya. "Patung-patung itu karya seni yang sangat berharga! Aku hendak memasang harga lima dollar untuk tiap patung!" "Aku turun saja dulu - lalu kausodorkan padaku," kata Jupiter.
Pete berlutut. Dengan hati-hati sekali diangkatnya patung George Washington, lalu diturunkan ke dalam pelukan Jupiter. Anak itu melangkah mundur sambil terhuyung-huyung, lalu meletakkan bentuk kepala presiden pertama Amerika Serikat ke atas meja yang ditunjuk oleh Bibi Mathilda. Jupiter mengusap keringat yang membasahi kening.
"Kurasa untuk menurunkan patung-patung ini, sebaiknya kita tunggu Hans atau Konrad saja," katanya. "Aku khawatir kalau aku dan Pete yang melakukannya, jangan-jangan nanti ada yang jatuh!"
"Memang betul," kata Bu Jones, yang selama itu mengamati segala gerak-gerik mereka. "Dan kalau itu sampai terjadi, lima dollar lenyap! Baiklah, Jupiter - untuk sementara begitu sajalah. Kalian boleh mengadakan rapat perkumpulan, atau entah apa namanya kesibukan yang biasa kalian lakukan!"
Beberapa waktu yang lampau Jupiter beserta kedua kawan karibnya membentuk perkumpulan teka-teki. Perkumpulan itu kemudian mereka jadikan perusahaan detektif remaja, dengan nama Trio Detektif. Mereka memang masih gemar menebak teka-teki dan mengikuti berbagai pertandingan untuk iseng-iseng. Tapi minat mereka kini sudah berganti pada penyelidikan berbagai kejadian misterius yang muncul.
Hal itu masih belum begitu dimengerti oleh Bu Jones. Ia hanya mengetahui bahwa Jupiter mempunyai semacam bengkel yang dilengkapi dengan berbagai peralatan serta sebuah mesin cetak. Ia juga tahu, bengkel itu letaknya di salah satu sudut kompleks Jones Salvage Yard, tersembunyi di balik tumpukan bahan-bahan bangunan. Yang tidak diketahuinya adalah bahwa ketiga remaja itu juga mendirikan Markas Besar Trio Detektif, yang letaknya bersebelahan dengan bengkel.
Markas Besar mereka di dalam sebuah caravan tua. Pak Jones tidak bisa menjualnya lagi, karena tidak ada peminat. Caravan itu sudah rusak karena kecelakaan lalu lintas. Akhirnya dihadiahkan pada Jupiter untuk dijadikan tempat pertemuan bersama kawan-kawannya. Ketiga remaja itu dengan dibantu oleh Hans dan Konrad, abang-adik pekerja asal Jerman yang membantu Pak Jones dalam pekerjaannya sehari-hari, kemudian menumpukkan entah barang bekas apa saja di sekeliling caravan itu. Setelah bertahun-tahun begitu terus, akhirnya Markas Besar mereka tidak kelihatan lagi dari luar. Untuk masuk ke situ, harus lewat jalan-jalan khusus.
Di dalamnya ada ruang kantor sempit. Kantor itu dilengkapi dengan sebuah meja, pesawat telepon, tape recorder, lemari arsip, serta berbagai perlengkapan lagi. Di sebelah kantor terdapat pula laboratorium kecil serta kamar gelap untuk mencuci film. Perlengkapan mereka hampir semua barang bekas yang diambil dari timbunan di luar. Kemudian diperbaiki sendiri oleh Jupiter serta kedua kawannya.
Setelah diijinkan pergi oleh Bibi Mathilda, Jupiter mengajak Bob dan Pete ke Markas Besar mereka. Namun belum lagi mereka masuk, tahu-tahu truk perusahaan yang satu lagi, yang ukurannya lebih kecil, masuk lewat gerbang depan. Konrad yang mengemudikannya, sedang Pak Jones atau Titus Jones duduk di sampingnya. Paman Jupiter itu bertubuh kecil, tapi dengan kumis besar yang melintang di bawah hidung. Hans, pembantu satu lagi yang bersaudara dengan Konrad, duduk di bak belakang untuk mengawasi muatan.
Pak Jones meloncat turun begitu truk berhenti. Anak-anak melihat bahwa truk yang baru datang itu memuat sejumlah benda agak besar berwarna hitam. Mereka tahu, itu pasti boneka-boneka yang biasa dipakai untuk mengepas pakaian. Boneka-boneka seperti itu sering mereka lihat, berupa kerangka kawat dengan bentuk wanita, tapi tanpa kepala. Kerangka itu diselubungi dengan kain hitam. Sedang sebuah batang yang terbuat dari logam terpasang sebagai pengganti kaki. Dulu para ibu rumah tangga biasa memakainya kalau membuat pakaian. Tapi sekarang sudah jarang, karena orang lebih suka membeli pakaian jadi.
Bu Jones meloncat bangkit ketika melihat boneka-boneka itu.
"Titus Jones!" serunya sambil menjambak rambut. Bukan rambut suaminya, tapi rambutnya sendiri. "Kau ini bagaimana sih?" Bu Jones menyumpah-nyumpah, menyebut-nyebut apa saja yang melintas dalam benaknya saat itu. Kemudian ia menyambung, "Menurutmu, bagaimana kita bisa menjual boneka loakan semacam itu - apalagi satu truk penuh?"
"Ah - kita pasti akan bisa memanfaatkannya," kata Titus Jones dengan tenang. Pak Jones memang pengusaha barang loakan yang lain dari yang lain. Ia biasa membeli apa saja yang menarik perhatiannya - dan bukan hanya barang-barang yang diketahui pasti bisa dijual lagi. Tapi anehnya, semua barang itu biasanya bisa dilepaskannya lagi dengan keuntungan lumayan.
"Jupiter," katanya pada keponakannya yang sementara itu datang menghampiri bersama Bob dan Pete. "Coba kaupikirkan untuk apa barang-barang tua ini bisa dimanfaatkan."
Dengan segera Jupiter mengajukan usul.
"Bagaimana kalau ditawarkan pada salah satu klub olahraga panahan, untuk dijadikan sasaran," katanya.
"Hmmm," gumam Pak Jones. Ia mempertimbangkan usul itu sejenak. "Boleh juga - tapi coba pikirkan kemungkinan lainnya lagi. - Ah, kulihat kalian sudah mulai menurunkan kumpulan patung gipsku. Biar aku sendiri yang mengatakan begitu, tapi pembelianku itu merupakan benda-benda seni yang jarang terdapat."
"Mula-mula aku bingung, untuk apa lagi kau membeli barang-barang seperti itu," kata Bibi Mathilda, "tapi sekarang aku sudah tahu, bagaimana bisa kujual lagi! Aku akan menawarkannya sebagai penghias taman. Kelihatannya pasti menarik, dipajang di atas tonggak di antara rumpun bunga-bungaan."
"Dari semula aku sudah tahu bahwa kau bisa diandalkan, Mathilda," kata Paman Titus memuji istrinya. "Tepat untuk itulah aku membelinya! Hans - Konrad! Kalian turunkan semua patung itu - tapi hati-hati, jangan sampai ada yang retak atau sumbing!"
Paman Jones pergi ke tempat teduh lalu duduk di situ. Diambilnya pipa dari kantong lalu diisi dengan tembakau dan dinyalakan, sementara Hans dan Konrad mulai menurunkan patung-patung gips dari atas truk yang besar.
"Ya - patung-patung itu," gumam Pak Jones sambil mengepulkan asap tembakau. "Kutemukan di sebuah bangunan tua. Letaknya di tengah daerah perbukitan, dalam sebuah ngarai. Gedungnya sudah tua. Dulunya pasti sangat bagus! Pemiliknya yang lama meninggal dunia. Sayang nya semua perabot dan permadani sudah dijual sebelum aku mampir di tempat itu. Tidak ada yang tersisa kecuali barang-barang bekas yang tidak diminati orang lain - patung-patung ini, sekumpulan buku, jam matahari untuk di taman, serta seperangkat kursi meja kebun. Semuanya kemudian kubeli."
Paman Titus mengisap pipanya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia asyik memperhatikan kedua pembantunya bekerja. Jupiter beserta kedua kawannya memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelinap pergi. Sesaat kemudian ketiga remaja itu sudah berada dalam bengkel mereka.
"Huhh!" kata Pete lega. "Tadi aku sudah khawatir saja, jangan-jangan bibimu akan menyuruh kita bekerja terus sehari penuh, Jupe."
"Sebenarnya memang begitu, apabila ia tidak merasa khawatir kita mungkin menjatuhkan salah satu patung gips itu," jawab Jupiter. "Bibi Mathilda paling tidak mau rugi dalam mengadakan bisnis."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Pete. "Saat ini sama sekali tidak ada misteri yang perlu diselidiki. Ah, aku tahu! Bagaimana jika kita mempelajari peta kota-kota hantu daerah gurun. Kita kan berniat, kapan-kapan akan mendatangi tempat-tempat itu dan mengadakan penyelidikan di sana."
"Kita bisa juga mengerjakan sayembara yang hadiah utamanya pesiar ke Hawaii untuk dua orang," usul Bob.
"Yah -" kata Jupiter mempertimbangkan. Saat itu perhatiannya tertarik ke sebuah papan yang tergantung di atas mesin cetak. Sebuah lampu merah terpasang pada papan itu. Dan lampu itu dilihatnya tahu-tahu menyala, berkedip-kedip.
"He!" seru Bob, yang juga melihatnya. "Ada yang menelepon kita!"
"Mungkin saja seseorang yang hendak minta bantuan pada kita untuk membongkar salah satu kejadian misterius," kata Jupiter berharap-harap.
Sementara itu Pete sudah bertindak. Ia menggeserkan kisi-kisi besi yang menyandar pada sebuah peti di belakang mesin cetak, lalu menyusup ke dalam peti itu. Dari situ ia turun ke dalam sebuah liang. Itulah jalan masuk yang disebut Lorong Dua, berupa pipa seng yang besar ukuran garis tengahnya. Lewat lorong itu, yang menyusuri tumpukan barang bekas dan sebagian letaknya dalam tanah. Pete masuk ke caravan yang tidak nampak dari luar. Jupiter dan Bob bergegas menyusul, sementara Pete mendorong sebuah tingkap yang terdapat di lantai caravan lalu masuk ke dalam ruang kantor Markas Besar yang sempit.
Begitu sampai di situ, Jupiter cepat-cepat menyambar pesawat telepon yang masih berdering-dering dan mengangkat gagangnya.
"Halo - di sini Jupiter Jones!"
"Sebentar, saya sambungkan! Alfred Hitchcock ingin bicara dengan Anda," kata seorang wanita, yang dari suaranya terdengar masih muda. Ketiga remaja itu bisa mengikuti pembicaraan telepon itu lewat alat pengeras suara buatan Jupiter.
Mereka berpandang-pandangan. Semangat mereka langsung bangkit, sebab kalau Mr. Hitchcock menelepon, biasanya karena ia mempunyai kasus untuk mereka.
Detik berikutnya sudah terdengar suara Mr. Hitchcock yang berat dan beraksen Inggris menggema dalam ruangan kecil itu.
"Halo, Jupiter," kata sutradara film yang termasyhur itu. "Mudah-mudahan saat ini kalian tidak sedang sangat sibuk. Di sini ada seorang pemuda yang memerlukan bantuan, dan menurutku kau bersama kawan-kawanmu cocok sekali untuk tugas itu."
"Dengan senang hati kami menerima tugas itu, Mr. Hitchcock," kata Jupiter. "Apa persoalan yang dihadapi teman Anda?"
"Ada orang mewariskan sesuatu yang berharga," kata Mr. Hitchcock. "Tapi payahnya, ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang wujudnya, dan di mana terdapatnya. Jika kalian bisa datang besok pagi pukul sepuluh ke kantorku, ia sendiri akan menceritakan segala perincian urusan itu pada kalian."

Bab 2
KEREPOTAN DENGAN MR. GELBERT

"Hebat!" seru Pete. "Ada kasus baru dari Mr. Hitchcock untuk kita!"
"Seorang remaja yang diwarisi sesuatu yang berharga, tapi ia tidak mengetahui benda apa dan di mana tempatnya," kata Bob menambahkan. Keningnya berkerut. "Kedengarannya memusingkan!" "Semakin membingungkan, malah semakin baik," kata Jupiter.
"Kalau mau ke Hollywood, kita perlu mobil," sela Pete. "Tidak enak rasanya datang ke kantor Mr. Hitchcock di kompleks World Studios naik truk bobrok."
"Akan kutelepon perusahaan Rent-'n-Ride Auto Agency sekarang juga," kata Jupiter sambil memutar nomor tertentu. "Akan kukatakan bahwa kita besok memerlukan Worthington untuk mengantar kita dengan Rolls-Royce ke Hollywood."
Beberapa waktu yang lalu, Jupiter pernah menang dalam suatu sayembara. Sebagai hadiahnya ia mendapat hak menggunakan sebuah mobil Rolls-Royce antik bersepuh emas, lengkap dengan supir. Mobil mewah itu ternyata besar sekali gunanya dalam pelaksanaan tugas penyidikan yang dilakukan Trio Detektif. Maklumlah, California bagian selatan itu luas sekali. Jarak perjalanan yang harus ditempuh umumnya jauh, jadi tanpa mobil akan sangat merepotkan. Tapi kadang-kadang ketiga remaja itu juga meminjam truk kecil dari perusahaan Paman Titus, dengan disupiri oleh Hans atau Konrad. Tapi kendaraan tua itu menurut perasaan mereka kurang pantas dipakai mengunjungi Alfred Hitchcock. Ia kan sutradara film yang kenamaan!
"Halo," kata Jupiter, "saya ingin bicara dengan manager perusahaan..., ya, baik! - Halo. Mr. Gelbert? Saya Jupiter Jones. Saya ingin memesan Rolls-Royce dan Worthington untuk besok pagi, pukul setengah sepuluh."
Anak-anak itu tercengang mendengar jawaban manager perusahaan penyewaan mobil itu.
"Maaf, tapi tidak bisa," kata Mr. Gelbert. "Hak penggunaan yang tiga puluh hari sudah lewat."
"Aduh, kita lupa menghitung waktu," keluh Pete. "Batas yang tiga puluh hari rupanya sudah lewat ketika kita berada di daerah timur, menangani kasus Pulau Tengkorak."
Sementara itu Jupiter meneruskan percakapannya dengan manager.
"Kalau menurut catatanku, waktu tiga puluh hari itu masih ada sisanya, Mr. Gelbert," katanya. "Kau keliru, Jupe," bisik Pete. "Waktunya sudah lewat. Orang itu benar."
Jupiter melambaikan tangannya ke arah Pete, menyuruhnya diam. Sedang dari alat pengeras suara terdengar lagi suara manager tadi.
"Kurasa kau keliru," kata orang itu dengan tegas.
"Mr. Gelbert," kata Jupiter dengan suara berwibawa, "kurasa antara kita berdua ada perbedaan pandangan yang perlu dibereskan. Kita akan membicarakannya di kantor Anda, dua puluh menit lagi!"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" Nada suara manager itu kini terdengar jengkel. "Hakmu sudah kadaluarsa. Kalau mau kemari boleh saja, tapi takkan ada gunanya."
"Terima kasih," kata Jupiter. Dikembalikannya gagang telepon ke tempatnya, lalu ia berpaling memandang kedua kawannya. "Kita ke kota sekarang. Naik sepeda."
"Tapi orang itu tadi benar!" kata Pete, sementara mereka merangkak ke luar lewat Lorong Dua. "Tiga puluh hari adalah tiga puluh hari, tidak mungkin bisa diulur-ulur!"
"Itu tidak selalu benar," kata Jupiter dengan sikap misterius. "Urusan bicara, serahkan saja nanti padaku!"
"Boleh saja - karena kami memang tidak ingin mengatakan apa-apa," kata Bob. "Menurut pendapatku, kita ini hanya membuang-buang waktu saja."
Jupiter tidak mau mengatakan apa-apa lagi. Ketiga anak itu naik sepeda menyusur jalan pantai, menuju daerah pusat Rocky Beach yang jauhnya sekitar setengah mil dari tempat mereka. Mereka bersepeda di jalan yang diapit Samudera Pasifik di sebelah kiri, yang nampak biru berkilauan diterangi sinar matahari, dengan perahu-perahu layar yang dari kejauhan nampak seperti bintik-bintik cerah. Sedang di sebelah kanan menjulang bukit-bukit Santa Monica yang kelihatan coklat gersang dan bergerigi.
Kantor perusahaan yang didatangi letaknya di sudut jalan raya kota kecil itu. Jupiter, Bob, dan Pete menaruh sepeda mereka di luar gedung, lalu masuk ke dalam. Bob dan Pete mengikuti Jupiter dengan segan-segan. Mereka dipersilakan masuk ke kantor manager. Mr. Gelbert yang bertubuh gemuk dan berwajah merah langsung cemberut ketika melihat mereka.
"Kau mau apa lagi?" tanya orang itu pada Jupiter. "Kau memenangkan sayembara kami dan untuk itu kau mendapat hak memakai mobil itu selama tiga puluh hari. Sekarang apa yang menyebabkan kau beranggapan bisa menggunakannya terus? Tidak bisa berhitung barangkali?"
"Bisa, Sir," kata Jupiter dengan sopan. "Aku sangat menjaga ketelitian dan penghitungan waktunya, Mr. Gelbert."
Ia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil serta sepucuk sampul dari kantungnya. Kemudian diambilnya secarik kertas terlipat dari dalam sampul itu. Kertas itu ternyata selebaran iklan sayembara yang dimenangkan olehnya. Di kertas itu tercetak kata-kata:

MENANGKAN HAK PENGGUNAAN ROLLS-ROYCE ANTIK
Lengkap dengan supirnya
24 jam sehari selama 30 hari!
TEBAK JUMLAH KACANG DALAM STOPLES
Rent-'n-Ride Auto Rental Agency

Mr. Gelbert mendengus.
"Lalu, apa maksudmu?" tukasnya. "Kau sudah mendapat hak menggunakan mobil itu selama tiga puluh hari - hari-harinya terserah maumu. Dan setiap hari terdiri dari dua puluh empat jam. Jadi habis perkara sekarang!"
"Kuharap Anda mau lebih meneliti kata-kata yang tertulis pada iklan ini, Sir," kata Jupiter. "Di sini dikatakan, '24 jam sehari selama 30 hari'. Dua puluh empat jam seharinya, Sir!"
"Betul!" bentak Mr. Gelbert. "Kau sudah menggunakannya selama tiga puluh hari, sedang satu hari itu terdiri dari dua puluh empat jam. Semua orang juga tahu!"
"Tepat, Mr. Gelbert," kata Jupiter Jones. "Siapa pun pasti tahu, sehari terdiri dari dua puluh empat jam. Jadi untuk apa disebut secara khusus di sini? Kenapa tidak dikatakan, 'Menangkan hak penggunaan Rolls-Royce antik selama tiga puluh hari'?"
"Yah - hm -" Mr. Gelbert agak terbata-bata, "aku merumuskannya begitu, supaya lebih - yah, lebih menarik perhatian!"
"Mungkin itu pertimbangan Anda," kata Jupiter, "tapi bagiku, kata-kata ini berarti pemenang sayembara mendapat hak menggunakan Rolls-Royce itu selama tiga puluh kali dua puluh empat jam! Sedang menurut catatanku -" Jupiter membuka buku catatannya dan menelaah tulisan yang tertera di situ, "- menurut catatanku, mobil itu sampai sekarang kami pergunakan selama keseluruhannya tujuh puluh tujuh jam empat puluh lima menit. Jadi hak kami yang tersisa masih ada sekitar dua puluh enam hari lagi, Sir! Dua puluh enam kali dua puluh empat jam penggunaan!"
Bob dan Pete tercengang. Kecil sekali kemungkinannya Jupiter berada di pihak yang benar. Tapi caranya menjelaskan sangat meyakinkan! Karena dalam iklan sayembara itu memang tertulis, '24 jam sehari selama 30 hari' - dan hitungan sehari adalah apabila penggunaannya 24 jam, maka - yah, Jupiter benar!
Mr. Gelbert nampak agak sulit menemukan kata-kata. Mukanya menjadi merah padam.
"Itu tidak masuk akal!" teriaknya kemudian. "Tidak pernah aku mengatakan begitu. Aku tidak pernah bermaksud demikian!"
"Itulah - kita perlu berhati-hati sekali kalau hendak mengatakan apa pun juga," kata Jupiter. "Dan dalam persoalan ini Anda ternyata mengatakan -"
"Aku tidak mengatakan begitu!" teriak Mr. Gelbert. Ia marah sekali kelihatannya. "Pokoknya, jika kausangka kau bisa sampai entah kapan memakai mobil dan supirku yang paling baik, kau sinting! Masa bodoh apa yang kukatakan dalam iklan itu, pokoknya yang kumaksudkan tiga puluh hari. Titik! Hak penggunaanmu sudah habis sekarang. Titik!"
"Tapi kami pernah bepergian selama satu minggu, Mr. Gelbert," kata Bob menyela pembicaraan. "Selama itu kami tidak bisa memakainya. Tidak bisakah waktu itu saja yang ditambahkan pada masa yang tiga puluh hari?"
"Tidak bisa!" Manager perusahaan itu sudah hendak membentak-bentak lagi. Tapi tahu-tahu ia mengangguk. "Baiklah, biar saja sekali ini aku mengalah. Kalian boleh memakai Rolls-Royce itu dua kali lagi, asal kalian mau berjanji takkan merongrong aku lagi. Dua kali kataku - artinya dua kali! Setelah itu habis!"
Jupiter mendesah. Ia paling tidak suka juga ada rencananya yang meleset. Sedang tadi ia mengandalkan pengertian kalimat dalam iklan itu untuk memperoleh hak penggunaan mobil mewah itu untuk waktu yang lebih lama lagi. Karena bagaimanapun, penjelasannya pada Mr. Gelbert memang logis. Kalau dikatakan, '24 jam sehari selama 30 hari', itu berarti hak menggunakan mobil selama tiga puluh kali dua puluh empat jam. Tapi orang dewasa memang sering tidak bersedia berpikir menurut akal sehat atau logis!
"Baiklah -jadi kami mendapat hak menggunakannya dua kali lagi," kata Jupiter. "Dan yang satu kali besok pagi, pukul setengah sepuluh. Terima kasih, Mr. Gelbert." Ia berpaling pada teman-temannya. "Yuk, kita pergi!"
Pete dan Bob mengikutinya ke luar, tanpa mengatakan apa-apa.
"Aduh - bagaimana kita nanti jika kita sudah memakainya sebanyak dua kali?" keluh Pete dalam perjalanan pulang. "Kita kan tidak mungkin bisa berkeliaran dengan sepeda sekeliling California sebelah selatan ini, jika nanti ada lagi misteri yang perlu ditangani!"
"Kita harus bekerja lebih keras lagi," jawab Jupiter. "Dengan begitu Bibi Mathilda pasti takkan keberatan jika kita sekali-sekali meminjam truk yang kecil, dengan Hans atau Konrad sebagai supir!"
"Tapi mereka biasanya kan sibuk terus, atau pergi dengan membawa truk," kata Bob "Kurasa riwayat Trio Detektif cuma sampai di sini saja, Jupe. Kau juga tahu!"
"Yang jelas, saat ini hak penggunaan kita masih dua kali lagi," kata Jupiter tegas. "Siapa tahu mungkin nanti ada perkembangan baru. Saat in aku sudah tidak sabar lagi menunggu saat pertemuan kita besok dengan Alfred Hitchcock. Aku punya firasat bahwa urusan yang hendak diserahkan olehnya pada kita itu merupakan misteri yang benar-benar misterius!"

Bab 3
PESAN MISTERIUS

"Anak-anak," kata Alfred Hitchcock dengan suaranya yang berat, "kuperkenalkan kalian sebentar dengan pemuda kenalanku ini. Ia dari Inggris. Namanya August - atau tepatnya, August August. Memang agak aneh kedengarannya, tapi begitulah namanya. August - mereka ini masing-masing Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Mereka bertiga sudah sering berhasil memecahkan misteri yang menarik. Mungkin sekali ini mereka juga bisa menolongmu."
Saat itu Trio Detektif sudah berada dalam kantor mewah di Hollywood, tempat sutradara Alfred Hitchcock yang kenamaan itu. Remaja yang bangkit dari kursi di samping tempat duduk Mr. Hitchcock bertubuh kurus tinggi. Lebih tinggi daripada Pete, dan jauh lebih kurus. Rambutnya yang sangat pirang berpotongan agak gondrong. Ia memakai kaca mata berbingkai bahan tanduk, yang kelihatannya seperti bertengger di atas hidung tipis yang tinggi pangkalnya.
"Aku senang bisa berkenalan dengan kalian," kata August August dengan gaya bahasa khas Inggris. Ia menghampiri Trio Detektif, lalu bersalaman dengan mereka. "Untuk gampangnya, panggilanku Gus." Setelah duduk lagi, ia menyambung, "Aku benar-benar berharap kalian bisa menolongku, karena saat ini aku kehabisan akal! Soalnya begini. Paman ayahku, Horatio August, meninggal dunia baru-baru ini. Pengacaranya mengirimi aku selembar kertas yang isinya - yah, aku sama sekali tak mampu menangkap apa maunya!"
"Terus terang, aku juga tidak," sela Mr. Hitchcock. "Tapi Horatio August almarhum kelihatannya beranggapan bahwa anak keponakannya ini bisa memahaminya. Coba kauperlihatkan surat itu pada ketiga kawan barumu ini, August."
Dengan berhati-hati Gus August mengeluarkan selembar kertas halus yang terlipat dari dompetnya. Kertas itu berisi tulisan yang nampak halus seperti berukir-ukir.
"Ini dia," katanya sambil menyodorkan kertas itu pada Jupiter. "Coba kaubaca - aku ingin tahu, apa maunya menurutmu!"
Bob dan Pete ikut membaca surat itu, yang isinya demikian,
Kepada August August, anak kemenakanku. August berarti Besar: August namamu dan Besar ketenaranmu, serta dalam August terletak kemujuranmu. Janganlah berhenti karena kesulitan menggunung yang merintangi langkahmu: bayangan kelahiranmu menandai saat awal dan akhir.
Galilah yang dalam: makna kata-kataku hanya bagimu seorang saja. Aku tidak berani berbicara lebih jelas, supaya jangan ada orang lain menemukan apa yang diperuntukkan bagimu. Akulah pemiliknya; aku telah membayar untuknya dan aku yang memilikinya, namun aku takut pada kedengkiannya.
Tetapi lima puluh tahun berlalu dan masa setengah abad tentu sudah membersihkannya. Namun masih tetap tidak boleh dirampas atau dicuri, melainkan harus dibeli, diberi, atau ditemukan.
Karenanya hati-hatilah, walau waktu penting sekali.
Inilah yang kuwariskan padamu, serta segala kasih sayang.
Horatio August
"Wow!" kata Bob kagum. "Hebat sekali isinya!"
"Aku sama sekali tak mengerti," kata Pete. "Kenapa di situ disebutkan kata 'kedengkian'?"
"Artinya, ada seseorang - atau sesuatu - yang mengandung kejahatan," kata Bob berusaha menjelaskan.
Jupiter menghadapkan kertas yang dipegangnya ke arah cahaya, karena menduga mungkin ada pesan rahasia yang tidak langsung nampak kalau dilihat secara biasa.
"Dugaanmu wajar, Jupiter," sambut Mr. Hitchcock. "Tapi di situ sama sekali tidak ada tulisan rahasia, tidak ada tinta yang tidak kelihatan atau sebangsanya. Aku sudah memeriksakannya pada ahli-ahlinya di studio sini. Menurut pengacara yang mengirimnya pada August, ia sendiri melihat Mr. Horatio August menulis surat itu beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Selesai menulis, langsung diserahkannya pada pengacara itu disertai permintaan agar disampaikan pada yang berhak menerima apabila waktunya sudah tiba. Jadi pesan yang terkandung ada dalam kalimat-kalimat yang tertulis di situ. Sekarang, bagaimana penafsiranmu?"
"Yah -" kata Jupiter dengan hati-hati, "- di satu pihak, isinya jelas sekali!"
"Jelas sekali?" kata Pete sambil mendengus. "Enak saja ngomong! Bagiku, isinya sama jelasnya seperti memandang dalam kabut saat tengah malam buta!"
Jupiter kelihatan seakan tak mendengar ocehan Pete. Perhatiannya terpusat pada surat berisi pesan aneh itu.
"Satu hal sudah jelas," katanya memulai. "Mr. Horatio August memang sengaja mengirim pesan yang tidak bisa dipahami orang lain. Ia menyembunyikan sesuatu, yang kelihatannya sudah sejak lima puluh tahun tersembunyi. Barang itu berharga, jadi ada kemungkinan orang lain bisa tergiur untuk mencurinya, apabila ia secara terbuka mengatakan pada anak keponakannya di mana barang itu terdapat. Sampai situ soalnya cukup jelas."
"Ya - memang," kata Pete sependapat. "Tapi sisanya, bagiku sama jernihnya seperti lumpur!"
"Ada kemungkinan kata-kata yang tertulis di sini sebagian mengandung arti tertentu - sedang sisanya sengaja disisipkan untuk menyesatkan orang yang tidak berkepentingan," sambung Jupiter. "Sekarang kita mulai saja dari awal. August namamu.'"
"Itu betul," kata pemuda berbangsa Inggris itu dengan serius. "Dan karena august berarti 'besar' atau 'agung', maka memang dapat dikatakan ketenaranku Besar. Maksudku, di sekolah aku sering diganggu teman-teman, karena namaku yang August August. Namaku itu menyebabkan aku ini anak yang paling terkenal di sekolah."
"Tapi apa artinya, 'dalam Agustus terletak kemujuranmu'?" sela Bob.
"Itu memang agak membingungkan," kata Jupiter berterus terang. "Jika yang dimaksudkan adalah bahwa Gus akan mengalami kemujuran dalam bulan Agustus, mengapa hanya dikatakan, 'dalam Agustus'? Kenapa bukan, 'dalam bulan Agustus'?"
"Pertanyaan yang baik," kata Mr. Hitchcock. "Kecuali jika surat itu ditulis secara tergesa-gesa sehingga perumusannya kurang tepat."
Tapi Jupiter Jones menggeleng, tanda tidak setuju.
"Tidak," katanya. "Menurut pengamatan saya, surat ini ditulis dengan pertimbangan masak. Saya rasa, saat ini kita belum bisa menebak apa yang dimaksudkan dengan, 'dalam Agustus terletak kemujuranmu.
"Aku berulang tahun bulan Agustus," kata Gus. "Tanggal enam -jadi dua hari lagi. Itu sebabnya aku diberi nama depan August - atau Agustus - oleh ayahku. Waktu itu kabarnya ia mengatakan, 'Seorang dengan nama keluarga August yang lahir bulan Agustus, satu-satunya nama yang cocok baginya hanya August saja.' Mungkinkah bagian kalimat itu ada hubungannya dengan hari kelahiranku? Dalam kalimat berikut disebut-sebut tentang kelahiranku."
Jupiter mempertimbangkan kemungkinan itu.
"Entah," katanya kemudian. "Jika hari ulang tahunmu itu dua hari lagi, mungkin karena itu ia mengatakan, 'waktu penting sekali.
"Wah! Jika kita cuma punya waktu dua hari untuk memecahkan teka-teki yang terkandung dalam pesan ini, takkan mungkin kita bisa berhasil," sela Pete. "Kalau waktunya dua tahun masih lumayan!" "Berilah kesempatan pada Jupe," tukas Bob. "Ia kan baru saja mulai."
Temannya yang juga Penyelidik Pertama Trio Detektif kembali meneliti surat berisi pesan itu dengan tekun.
"Sekarang kalimat kedua," katanya. "Awalnya berbunyi, 'Janganlah berhenti karena kesulitan menggunung yang merintangi langkahmu,' lalu disambung dengan, 'bayangan kelahiranmu menandai saat awal dan akhir.' Bagian pertama seakan-akan menyuruh agar jangan menyerah. Tapi makna bagian berikut, sama sekali tidak bisa kutebak."
"Kelahiranku memang dinaungi bayangan gelap," kata Gus. "Soalnya, ibuku meninggal dunia saat melahirkan diriku. Karenanya kelahiranku menandai saat awal dan sekaligus juga saat akhir - awal bagiku, tapi akhir kehidupan bagi ibuku. Mungkin itu yang hendak dikatakan Kakek Horatio padaku."
"Mungkin saja, walau aku tidak melihat sangkut-pautnya," kata Jupiter. "Kalau kalimat selanjutnya, rasanya cukup jelas maksudnya. 'Galilah yang dalam: makna kata-kataku hanya bagimu seorang saja.' Itu berarti pesannya hanya untukmu sendiri, dan kau tidak boleh menyerah sebelum berusaha sekuat tenaga. Kalimat berikut menjelaskan alasannya, Aku tidak berani berbicara lebih jelas, supaya jangan ada orang lain menemukan apa yang diperuntukkan bagimu.' Kalimat ini sama sekali tidak mengandung teka-teki."
"Betul," kata Mr. Hitchcock mengomentari. "Tapi bagaimana dengan kalimat yang berikut: Akulah pemiliknya; aku telah membayar untuknya dan aku yang memilikinya, namun aku takut pada kedengkiannya'?"
"Maksudnya, apa pun benda itu, ia pemiliknya yang sah, dan karenanya berhak memberikannya pada August," jawab Jupiter. "Tapi sekaligus ia juga mengatakan, karena salah satu sebab ia takut pada benda itu."
Jupiter membaca kalimat selanjutnya dengan suara jelas.
" 'Tetapi lima puluh tahun berlalu dan masa setengah abad tentu sudah membersihkannya. Namun masih tetap tidak boleh dirampas atau dicuri, melainkan harus dibeli, diberi, atau ditemukan.'" Ia menoleh pada Pete dan Bob. "Dua dan Riset, coba kalian uraikan maksud kalimat itu tadi. Kalian perlu melatih diri memecahkan soal-soal begini."
"Kurasa, ia hendak mengatakan bahwa ia sudah lima puluh tahun memiliki benda itu," kata Pete. "Dan ia beranggapan bahwa benda itu sudah membersihkan dirinya sendiri, sehingga tidak mencederai siapa-siapa lagi."
"Tapi masih bisa berbahaya," kata Bob menambahkan. "Sebab kalau tidak, ia takkan mengatakan, Namun masih tetap tidak boleh dirampas atau dicuri, melainkan harus dibeli, diberi, atau ditemukan.' Lalu pada akhir surat dikatakan, 'Karenanya hati-hatilah,' yang berarti menangani benda itu harus secara hati-hati. Itu dugaanku. Sebagai tambahan ditulis, 'waktu penting sekali. 'Jadi walau harus hati-hati, kau harus bertindak dengan cepat."
"Sekarang kalimat terakhir, 'Inilahyangkuwariskan padamu, serta segala kasih sayang', " kata Jupiter mengakhiri. "Dengannya kita sampai pada akhir pesan misterius ini, tanpa berhasil banyak menyibakkan rahasia yang terkandung di dalamnya."
"Betul!" kata Pete sepenuh hati.
"Kurasa kita perlu tahu lebih banyak dulu tentang diri Horatio August," kata Jupiter. "Paman ayahmu itu seperti apa orangnya, Gus?"
"Aku tidak tahu," jawab pemuda Inggris itu. "Aku belum pernah berjumpa dengannya. Ia anggota keluarga kami yang selalu diselubungi teka-teki. Ketika masih muda, ia mengembara naik kapal layar, menuju ke Lautan Teduh. Kejadiannya lama sebelum aku lahir. Ia jarang sekali menulis surat pada keluarganya. Akhirnya kami tidak menerima kabar apa-apa lagi mengenai dirinya. Kami menyangka ia termasuk penumpang kapal yang tenggelam. Karenanya aku dan juga ayahku heran sekali ketika menerima surat dari seorang pengacara, dalam mana dikabarkan bahwa Paman Horatio selama ini tinggal di Hollywood tapi sementara itu sudah meninggal dunia. Pengacara itu ditugaskan olehnya untuk menyampaikan pesan tadi padaku."
"Dan begitu kau menerimanya, kau langsung datang kemari dari Inggris?" tanya Jupiter.
"Tidak, tidak langsung berangkat," jawab Gus. "Aku berangkat secepat yang mungkin bagi kami. Ayahku tidak kaya! Karenanya aku naik kapal barang, yang untuk sampai ke sini memerlukan waktu beberapa minggu. Pesan tadi sebenarnya sudah kuterima dua bulan yang lewat."
"Lalu begitu kau sampai di sini, kau terus mendatangi pengacara yang menyampaikan pesan itu?"
Gus menggeleng.
"Aku meneleponnya, tapi saat itu ia sedang ke luar kota. Jadi aku tidak bisa langsung berjumpa dengannya. Kami berjanji akan bertemu hari ini. Di Amerika sini, aku tidak kenal siapa-siapa. Tapi, ayahku kenal baik dengan Mr. Hitchcock. Karena itu aku memutuskan untuk mendatanginya. Sedang yang menyarankan untuk menghubungi kalian, tentu saja Mr. Hitchcock. Sampai sekarang aku hanya berbicara dengan kalian, serta dengan Mr. Hitchcock saja."
"Kalau begitu sebaiknya kami ikut bersamamu mendatangi pengacara itu, supaya bisa memperoleh keterangan sebanyak mungkin mengenai paman ayahmu," kata Jupiter. "Hasilnya akan bisa membantu kita menentukan langkah selanjutnya."
"Bagus sekali, Jupiter," sela Alfred Hitchcock. "August, kau bisa mengandalkan ketiga remaja ini. Tapi sekarang aku harus bekerja lagi, sedang kalian melanjutkan penyelidikan."
Mobil Rolls-Royce menunggu di luar. Sebuah mobil antik berbentuk persegi tapi anggun, bercat hitam mengkilat dengan bagian-bagian yang terbuat dari logam bersepuh emas. Worthington, supir Inggris kendaraan itu yang bertubuh jangkung dan gagah, membukakan pintu untuk menyilakan keempat remaja itu masuk.
Gus mengeluarkan sepucuk surat yang terlipat dari kantungnya. Di surat itu tertera nama pengacara yang akan mereka datangi. Namanya H. Dwiggins. Alamat kantornya di daerah lama kota Hollywood. Dalam perjalanan Gus tidak henti-hentinya bertanya tentang pusat bisnis perfilman itu. Beberapa menit kemudian Worthington membelokkan Rolls-Royce itu memasuki suatu lorong sempit, yang menuju ke sebuah rumah gaya lama berdinding plesteran. Bangunannya tidak begitu besar.
"Hm," gumam Jupiter sambil turun dari mobil. "Kelihatannya Mr. Dwiggins ini berkantor di rumahnya."
Dekat tombol bel di pintu terpasang kartu kecil dengan tulisan, H. Dwiggins - Pengacara Hukum. Silakan Masuk.
Jupiter menekan tombol bel. Samar-samar terdengar bunyi deringnya di dalam rumah. Tanpa menunggu ada yang datang, ia langsung membuka pintu lalu masuk. Bukankah di kartu sudah tertulis ajakan, 'Silakan Masuk'?
Keempat remaja itu memasuki ruang duduk yang diubah menjadi kantor. Di situ terdapat sebuah meja besar, rak-rak yang penuh dengan buku-buku ilmu hukum, serta beberapa lemari arsip. Satu di antaranya berada dalam keadaan terbuka. Kertas-kertas nampak terserak-serak di atas meja, dan sebuah kursi putar yang terbuat dari kayu terguling di lantai. Tapi Mr. Dwiggins sama sekali tidak nampak batang hidungnya.
"Ada sesuatu yang terjadi di sini!" kata Jupiter. "Ada sesuatu yang tidak beres!" Ia berseru memanggil-manggil. "Mr. Dwiggins! Mr. Dwiggins! Di manakah Anda?"
Setelah itu anak-anak menunggu dengan napas tertahan.
"Tolong! Aku tidak bisa bernapas!"
Teriakan itu terdengar samar sekali, seperti dari tempat yang sangat jauh.

Bab 4
SERUAN MINTA TOLONG

"Tolong!" Suara pelan dan samar itu terdengar sekali lagi. "Aku tidak bisa bernapas!"
"Di sana!" Pete menunjuk ke arah sebuah pintu yang terdapat di dinding seberang, diapit dua buah rak buku. Pintu itu dilengkapi dengan kunci otomatis di sebelah luarnya. Pete memutarnya, lalu membuka pintu. Ternyata itu pintu lemari dinding. Anak-anak melihat seorang laki-laki bertubuh kecil duduk di lantai. Orang itu tersengal-sengal seperti kehabisan napas. Kaca matanya yang berbingkai emas tergantung pada telinganya yang sebelah. Dasinya mencong, sedang rambutnya yang sudah ubanan acak-acakan.
"Untung kalian muncul," kata orang itu dengan suara parau. "Tolong bantu aku berdiri."
Bob dan Pete bergegas masuk ke dalam lemari untuk menolong orang itu bangun, sementara Jupiter menegakkan kembali kursi putar yang terguling. Tapi tiba-tiba air mukanya berubah. "Aneh," gumamnya pada diri sendiri.
Pete dan Bob membantu Mr. Dwiggins-karena ternyata dia itulah pengacara yang hendak mereka datangi- berjalan ke kursinya. Ia duduk di situ, lalu menarik napas dalam-dalam. Dengan tangan gemetar dibetulkannya letak dasi serta kacamatanya.
"Kalian datang pada saat yang tepat," katanya. "Kalau terlambat sedikit saja, ada kemungkinan aku sudah mati lemas." Pengacara itu mengejap-ngejapkan mata setelah memperhatikan keempat penolongnya. "Siapa kalian ini?" tanyanya "Kalian masih anak-anak semuanya!" "Nama saya August August, Sir," kata Gus. "Anda meminta saya datang kemari hari ini." "Ah ya, betul," kata Mr. Dwiggins sambil mengangguk. "Dan mereka ini teman-temanmu?"
"Mungkin ini bisa membantu sebagai penjelasan, Sir," kata Jupiter. Ia mengeluarkan sepucuk kartu nama dari kantungnya dan menyodorkannya pada pengacara itu. Pada kartu itu tertera kata-kata berikut:

TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja" ???
Penyelidik Pertama - Jupiter Jones
Penyelidik Kedua - Pete Crenshaw
Catatan dan Riset - Bob Andrews

"Kalian ini penyelidik?" Dari nada suaranya terdapat kesan bahwa pengacara itu heran.
"Mereka akan membantu saya menguraikan pesan misterius yang ditujukan oleh Kakek Horatio pada saya, Sir," kata Gus August.
"Oh, begitu." Mata pengacara itu terkejap-kejap lagi. Sekali lagi diamat-amatinya kartu nama yang ada di tangannya. "Kartumu sangat mengesankan, Anak muda. Tapi kalau aku boleh bertanya sedikit - apakah arti ketiga tanda tanya ini?"
"Itu lambang kami," jawab Jupiter. "Artinya misteri yang belum dipecahkan, teka-teki yang tak terjawab, dan masalah yang memerlukan penyelesaian. Pekerjaan kami mencari jawaban, menguraikan teka-teki, dan menyelesaikan masalah-masalah yang muncul. Karena itulah ketiga tanda tanya tadi menjadi lambang Trio Detektif."
"Ya, ya, aku mengerti," gumam pengacara itu. "Hebat juga program kerja kalian. Tapi aku senang melihat anak-anak muda yang berkepercayaan besar terhadap kemampuannya sendiri.... Aduh, aku sampai lupa tentang penyerangku tadi!"
Mr. Dwiggins cepat-cepat bangun sambil berpaling. Ia berseru dengan nada kaget ketika melihat lemari arsip yang terbuka.
"Aduh, arsip pribadiku! Penjahat tadi membongkar arsip pribadiku yang berisi surat-surat rahasia! Lalu apa yang diambilnya? Map apa itu, yang terletak di atas mejaku? Bukan aku yang meletakkannya di situ!"
Disambarnya map dari kertas tebal yang tergeletak di atas mejanya, lalu dia membalik-balik tumpukan kertas yang ada di dalamnya.
"Ini map paman ayahmu!" kata Mr. Dwiggins dengan gugup pada Gus. "Dua puluh tahun aku mewakili kepentingannya di bidang bisnis. Semua surat yang ada hubungannya dengan bisnis yang kutangani untuknya kusimpan di sini. Aku heran, kenapa ada orang lain yang tertarik pada... Aduh! Pesan itu lenyap!"
Mr. Dwiggins menatap Gus.
"Orang yang menyerangku tadi ternyata mengambil salinan pesan paman ayahmu yang kubuat!" katanya. "Walau bagiku kelihatannya tak berarti, tapi ia menganggapnya penting sekali! Karenanya aku membuat satu salinan untuk berjaga-jaga, kalau surat yang asli lenyap karena salah satu sebab. Dengan sendirinya kusangka salinan itu pasti aman, karena berada dalam lemari arsip pribadiku. Tapi sekarang ternyata dicuri orang!"
"Tolong ceritakan apa yang terjadi tadi, Sir," kata Jupe. "Perkembangan baru ini mungkin penting artinya."
Mr. Dwiggins mengembalikan map yang selama itu dipegangnya ke dalam laci lemari pribadinya yang langsung dikunci. Setelah duduk, ia memulai ceritanya.
Waktu itu ia sedang duduk bekerja di mejanya. Tiba-tiba pintu terbuka. Ketika ia mendongak, dilihatnya seorang laki-laki berukuran sedang berdiri di ambang pintu. Orang itu berkumis hitam dan memakai kaca mata berlensa tebal. Mr. Dwiggins hendak mengatakan sesuatu, tapi orang yang baru masuk itu mengulurkan tangan dan menutup matanya. Nyaris saja kaca mata pengacara itu terlempar karena gerakannya yang tiba-tiba. Dan sebelum Mr. Dwiggins sempat berbuat apa-apa untuk mempertahankan diri, penyerangnya sudah menariknya dari kursi, menyeretnya ke seberang ruangan, lalu mengurungnya dalam lemari tempat mantel yang terkunci secara otomatis dari luar.
Mula-mula pengacara itu berusaha berteriak-teriak minta tolong sambil menggedor-gedor pintu. Tapi tidak ada orang lain yang bisa mendengar teriakannya kecuali orang yang menyerangnya tadi, karena Mr. Dwiggins tinggal seorang diri saja di rumah itu. Setelah menyadari kenyataan itu, ia tidak berteriak-teriak lagi. Kini ia memasang telinga.
Setelah beberapa menit didengarnya pintu luar terbuka lalu tertutup lagi. Dari situ Mr. Dwiggins tahu bahwa penyerangnya sudah pergi. Setelah itu ia mulai lagi menggedor-gedor pintu lemari dan berteriak-teriak, sampai akhirnya ia sadar bahwa dengan begitu ia cuma menghabiskan oksigen yang berharga.
"Lalu aku duduk di lantai, menunggu pertolongan datang," kata Mr. Dwiggins mengakhiri ceritanya. "Aku tahu, udara dalam lemari tadi hanya cukup untuk beberapa jam saja. Untung kalian lekas muncul!"
"Kapan tepatnya kejadian tadi, Sir?" tanya Jupiter.
"Aku tidak tahu dengan pasti," jawab Mr. Dwiggins. "Sebentar, sekarang pukul -" Ia memandang arlojinya. Jamnya ternyata mati. Jarumnya menunjukkan waktu pukul 9.17. Itu lebih dari satu setengah jam yang lewat.
"Aduh, arlojiku mati!" seru pengacara itu. "Rupanya rusak ketika aku dilemparkan penjahat itu ke dalam lemari!"
"Itu berarti orang tadi punya waktu hampir dua jam untuk melarikan diri," kata Jupiter. "Pasti sulit untuk melacak jejaknya sekarang! Anda melihat sesuatu yang menarik pada dirinya tadi, Mr. Dwiggins? Sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk?"
"Sayang, tapi aku tadi kaget sekali - sehingga hanya sempat melihat bahwa ia berkumis dan memakai kaca mata, serta matanya yang seperti berkilat-kilat di balik lensa kaca mata." "Itu bukan petunjuk penting," sela Pete.
"Ya, kurasa memang begitu," kata Jupiter sependapat. "Anda melihat sesuatu di sini yang mungkin juga disentuh orang itu, Mr. Dwiggins?"
Pengacara itu memandang berkeliling.
"Kelihatannya ia langsung mendatangi lemari arsipku," katanya kemudian. "Dan begitu barang yang dicari sudah ditemukan, ia pergi lagi."
"Hmm," gumam Jupiter. "Itu berarti ia tahu persis apa yang dicari, dan dengan sendirinya ia bisa menemukan arsip yang benar karena map-map yang ada di dalamnya disusun rapi menurut abjad. Tapi dari mana ia tahu tentang pesan itu?"
Mata Mr. Dwiggins terkejap-kejap sejenak. "Yah - aku juga tidak tahu," jawabnya.
"Ketika Mr. August menulis pesan untuk anak keponakannya, adakah orang lain yang ikut menyaksikan?" tanya Jupiter lagi.
Mr. Dwiggins mengangguk.
"Ya, ada," katanya. "Sepasang suami-istri pembantunya. Keduanya sudah tua, sudah sejak bertahun-tahun bekerja padanya. Yang wanita mengurus rumah tangga, sedang suaminya merawat halaman rumput dan kebun. Nama mereka Jackson. Mereka pindah ke San Francisco setelah Mr. August meninggal dunia. Tapi ketika masih bekerja, keduanya biasa keluar-masuk rumah dengan leluasa. Bisa saja salah seorang dari mereka mendengar Mr. August mengatakan padaku bahwa pesannya pada anak kemenakannya penting sekali, dan aku harus dengan segera menyampaikan pesan itu begitu ia meninggal dunia."
"Bisa saja mereka kemudian bercerita mengenainya pada orang lain," kata Pete. "Dan orang pada siapa cerita itu disampaikan menduga Mr. Dwiggins pasti membuat salinan dari pesan itu. Lalu ia datang ke sini untuk memastikan."
"Mr. August dikabarkan banyak memiliki uang, yang disembunyikannya di salah satu tempat," kata Mr. Dwiggins. "Siapa pun yang mendengar tentang adanya pesan rahasia itu, pasti akan menarik kesimpulan bahwa isinya merupakan petunjuk mengenai tempat harta itu disembunyikan. Padahal dalam kenyataannya, Mr. August meninggal dalam keadaan yang bisa dikatakan miskin. Rumahnya digadaikan, dan kini akan disita. Aku terpaksa menjual segala perabot yang ada di dalamnya untuk membayar sisa-sisa utangnya."
"Tapi pesannya menyatakan bahwa ia menyembunyikan sesuatu barang berharga bagiku, yang harus kucari," kata Gus. "Sesuatu yang karena sesuatu hal ditakuti olehnya."
"Ya, itu memang betul." Mr. Dwiggins melepaskan kaca matanya, lalu menggosok-gosok lensanya. "Apa pun benda itu, yang jelas ia merahasiakannya dariku. Beberapa kali ia mengatakan padaku, 'Henry - ada beberapa hal mengenai diriku yang bagimu lebih baik jika kau tidak mengetahuinya. Satu di antaranya adalah namaku yang asli. Namaku sebenarnya bukan Harry Weston. Lalu satu lagi - tapi sudahlah, kau tidak usah mengetahuinya. Tapi satu hal harus selalu kauingat, jika kau melihat seorang laki-laki berkulit coklat dengan cacahan berupa tiga bintik di keningnya berkeliaran di dekat-dekat sini, waspadalah!'"
"Orangnya aneh sekali, Mr. Weston - eh, maksudku Mr. August itu," katanya lagi. "Aneh, tapi ramah. Aku tentu saja tidak pernah mencoba mengorek-ngorek rahasianya - apa pun juga rahasia itu."
"Maaf, Sir -" sela Jupiter, "jadi kalau saya tidak salah, Mr. August selama ini dikenal di sini sebagai Mr. Weston?"
"Betul," jawab Mr. Dwiggins. "Selama ia tinggal di Hollywood sini, ia selalu memperkenalkan diri sebagai Harry Weston. Baru ketika ia sudah mendekati ajalnya aku diberi tahu mengenai namanya yang asli, yaitu ketika ia menyebutkan nama dan alamat August August, anak kemenakannya yang di Inggris."
Perhatian Jupiter beralih ke laci lemari arsip yang tadi terbuka ketika mereka masuk. Pada bagian depan laci itu terpajang huruf-huruf "A - C".
"Maaf, Mr. Dwiggins," katanya kemudian, "tapi saya lihat tadi bahwa Anda memasukkan map arsip itu ke dalam laci dengan landa huruf A. A untuk August, tentunya. Mestinya ketika Anda mengetahui nama aslinya, Anda dengan segera memindahkan mapnya dari arsip Weston ke August. Betulkah begitu?"
"Ya, tentu saja. Mengenai urusan begini, aku selalu bekerja secermat-cermatnya."
"Tapi penyerang Anda tadi kelihatannya tahu persis di mana ia harus mencari," desak Jupiter. "Apa sebabnya ia tidak mencari salinan pesan itu dalam map Weston di arsip dengan huruf awal W? "
"Entahlah - aku tidak tahu sebabnya." Mr. Dwiggins nampak seperti sedang berpikir. "Kecuali jika suami-istri Jackson ikut mendengar ketika Mr. August menyebutkan nama aslinya padaku.... Ah, hampir saja aku lupa. Ada sesuatu yang mungkin penting bagi penyelidikan kalian."
Pengacara itu menghampiri arsip dengan huruf awal A dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Kertas itu ternyata guntingan koran.
"Ini guntingan berita surat kabar terbitan Los Angeles," katanya. "Seorang reporter mencium kabar bahwa ada teka-teki menyangkut diri Mr. Weston. Berulang kali ia datang untuk memancing-mancing berita. Karena Mr. August sudah meninggal dunia, akhirnya kukatakan juga namanya yang asli serta sekelumit pengetahuanku mengenai kehidupan pribadinya. Aku melakukannya karena menurutku takkan merugikan siapa-siapa. Ceritaku dimuat dalam bentuk berita ini. Jadi setiap orang yang membacanya pasti tahu bahwa Mr. Weston sebenarnya bernama Horatio August."
Anak-anak yang lain berdesak-desakan mengerumuni Jupiter, karena ingin ikut membaca guntingan koran itu. Sebagai kepala berita tertulis dengan huruf-huruf yang tidak begitu besar: PRIA MISTERIUS MENINGGAL DI RUMAH YANG TERPENCIL DALAM NGARAI DIAL YANG SEPI.
Jupiter menyimak berita itu dengan cepat. Dari situ ia mengetahui bahwa Horatio August datang ke Hollywood sekitar dua puluh tahun yang lewat, setelah tinggal selama bertahun-tahun di kawasan Karibia. Di Hollywood ia memakai nama Harry Weston. Kelihatannya ia tergolong kaya, hasil usahanya berdagang ketika masih muda di kawasan Lautan Teduh dan di Asia.
Ia membeli sebuah rumah besar di Dial Canyon, yang terletak di tengah daerah perbukitan terpencil di sebelah utara Hollywood. Ia hidup menyendiri di situ, hanya ditemani dua orang pembantu. Ia tidak bergaul dengan siapa pun, melainkan asyik sendiri dengan kegemarannya mengumpulkan jam antik serta buku-buku, terutama buku antik berbahasa Latin. Ia juga banyak sekali memiliki berbagai edisi karya Sir Arthur Conan Doyle. Semasa remajanya di Inggris, ia pernah berjumpa dengan pengarang cerita detektif yang termasyhur itu. Horatio August sangat mengagumi Sherlock Holmes, tokoh detektif kenamaan hasil ciptaan pena Conan Doyle.
Horatio August alias Harry Weston meninggal dunia tidak lama setelah ia jatuh sakit. Ia tidak mau berobat ke rumah sakit. Ia mengatakan, salah satu idam-idamannya ialah meninggal dunia dengan tenang di tempat tidur sendiri - dan ia bertekad bahwa idam-idaman itu harus menjadi kenyataan.
Mr. August bertubuh jangkung, dengan rambut lebat yang sudah putih semuanya. Ia tidak pernah mau difoto. Sanak keluarganya yang diketahui, hidup di Inggris. Dokter yang memeriksa jenazahnya untuk keperluan pembuatan surat kematian menemukan banyak bekas luka pada tubuhnya. Kelihatannya seperti bekas tusukan pisau. Diduga itu terjadi dalam kehidupannya bertualang semasa muda.
Hanya itu saja yang dapat diketahui mengenai masa silamnya yang terselubung teka-teki.
"Wah," desah Pete begitu selesai membaca, "ia benar-benar orang misterius!"
"Bekas-bekas luka kena tusukan pisau!" kata Gus. "Kakekku itu rupanya petualang besar! Mungkinkah ia dulu penyelundup?"
"Ia menyembunyikan dirinya," sela Bob. "Itu jelas sekali! Mula-mula mestinya ia bersembunyi di kepulauan Karibia. Lalu di sana ia takut ketahuan, lalu datang kemari untuk bersembunyi di Ngarai Dial. Kurasa ia pasti mempertimbangkan bahwa dirinya takkan menyolok di sini, mengingat kenyataan bahwa di daerah sekitar Los Angeles dan Hollywood banyak sekali berkeliaran orang-orang aneh."
"Pokoknya, ia memang bisa meninggal dengan tenang di tempat tidurnya sendiri," kata Jupiter menambahkan. "Tapi jika itu memang yang menjadi idam-idamannya, maka itu juga berarti bahwa ia takut ada yang menganiaya dirinya! Mungkin seseorang berkulit coklat dengan cacahan pada kening berbentuk tiga buah bintik."
"Tunggu, tunggu!" sela Gus cepat-cepat. "Tiba-tiba aku ingat lagi-ada sesuatu yang terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu, ketika aku masih kecil...." Kening remaja itu berkerut, menunjukkan kesungguhannya berusaha mengingat-ingat.
"Suatu malam aku mendengar suara orang berbicara di tingkat bawah rumah kami. Saat itu aku sudah berbaring di tempat tidur, di tingkat atas. Dari suaranya kuketahui bahwa ayahku sedang berbicara dengan orang yang tak kukenal. Tiba-tiba suara Ayah meninggi. Ia mengatakan, 'Sudah kukatakan, aku tidak tahu di mana pamanku sekarang! Sepanjang pengetahuan kami, ia sudah lama meninggal dunia. Tapi jika ia ternyata masih hidup, aku tidak bisa mengatakan di mana tempat tinggalnya. Biar dibayar sejuta pun tetap tidak bisa, karena aku memang tidak tahu!"'
"Rasa ingin tahuku timbul," sambung Gus. "Aku bangun, lalu pergi ke ujung atas tangga. Dari situ kulihat ayahku berdiri di tengah kamar duduk bersama seorang laki-laki yang tidak kukenal. Orang asing itu mengatakan sesuatu dengan suara yang tak jelas kutangkap. Tapi ayahku langsung menjawab, 'Aku tak peduli apakah itu penting bagi Anda atau tidak. Pokoknya, aku tidak tahu apa-apa tentang Mata Berapi! Dan aku juga tidak pernah menerima kabar dari pamanku. Sekarang keluar, dan jangan ganggu aku lagi!'
"Laki-laki jangkung yang berbicara dengan ayahku membungkuk untuk memberi hormat, lalu berpaling hendak mengambil topinya. Saat itu ia mendongak dan melihatku di ujung atas tangga. Tapi ia berbuat seolah-olah aku tidak ada di situ. Ia mengambil topinya, membungkukkan badan sekali lagi lalu pergi ke luar. Ayah tidak pernah mengatakan apa-apa tentang tamu tengah malam itu. Sedang aku juga tidak pernah bertanya, karena aku tahu Ayah pasti marah jika mendengar bahwa aku belum tidur saat itu. Tapi -" Gus melirihkan suaranya sekarang, "- laki-laki dengan siapa ayahku berbicara waktu itu berkulit sawo matang, sedang di keningnya ada tanda cacahan berupa tiga buah bintik. Waktu itu aku tidak tahu bahwa bintik-bintik itu merupakan rajahan."
"Wow!" kata Bob. "Jadi Tiga Bintik berusaha menemukan jejak kakekmu lewat ayahmu!"
"Kurasa itu yang menyebabkan Kakek Horatio tidak pernah menghubungi kami," kata Gus August. "Rupanya ia tidak ingin tempat tinggalnya ketahuan."
"Mata Berapi," guman Jupiter. Ia berpaling pada Mr. Dwiggins. "Pernahkah Mr. Horatio August berbicara mengenainya dengan Anda?"
"Tidak, tidak pernah," jawab pengacara itu. "Selama dua puluh tahun aku bergaul dengannya, belum pernah sekali ia menyebut-nyebut nama itu. Aku memang tidak banyak tahu mengenai kehidupannya yang dulu. Apa yang kuketahui tertera dalam berita surat kabar itu. Kini aku menyesal memberikan keterangan itu pada wartawan. Tapi waktu itu kuanggap takkan apa-apa! Satu hal lagi perlu kutambahkan, menjelang ajalnya, Mr. August bersikap suka sekali berahasia. Ia seolah-olah merasa dikepung musuh dan dimata-matai. Bahkan aku pun tidak dipercayainya lagi. Jadi mungkin saja ia menyembunyikan sesuatu dengan maksud agar jangan sampai jatuh ke tangan musuh yang sebenarnya hanya ada dalam pikirannya saja. Lalu padamu ia mengirimkan pesan, dengan mana menurut perkiraannya kau akan bisa menemukan tempat benda itu disembunyikan."
"Begitu ya," kata Jupiter mengomentari. "Yah - kami kemari untuk meminta keterangan mengenai Mr. August dan kurasa apa yang bisa diketahui telah kami peroleh setelah membaca berita surat kabar itu. Selanjutnya kita sebaiknya mendatangi rumahnya di Ngarai Dial. Siapa tahu, mungkin ada hal-hal yang penting untuk diketahui di sana."
"Jika kalian ingin mendatangi rumah kosong, silakan - aku bisa mengijinkannya, dan sekaligus meminjamkan anak kunci supaya kalian bisa masuk. Tapi aku tidak mengerti apa yang ingin kalian temukan di sana. Rumah itu sekarang sudah benar-benar kosong! Kalau kemarin masih ada beberapa buku yang tertinggal. O ya, dan sejumlah patung - tepatnya patung-patung kepala orang-orang termasyhur dalam sejarah. Patung-patung itu barang murahan, jadi kujual saja dengan pembayaran beberapa dollar pada seorang pedagang barang bekas -"
"Patung kepala tokoh-tokoh termasyhur?!" Jupiter terlonjak, seperti disengat lebah. Patung-patung gips dari sebuah rumah tua! Wah - pasti itulah patung-patung yang sehari sebelumnya dibawa pulang oleh Paman Titus! Patung-patung Julius Caesar, George Washington, Abraham Lincoln, serta tokoh-tokoh terkenal lainnya.
Jupiter cepat-cepat pamitan pada Mr. Dwiggins.
"Terima kasih atas bantuan Anda," kata remaja itu. "Kurasa aku sudah berhasil mengetahui makna pesan misterius itu. Tapi kami harus cepat-cepat!"
Jupiter berpaling, lalu melangkah ke pintu, disusul oleh Bob, Pete, dan Gus yang semua kelihatan agak bingung. Di luar, Worthington nampak sedang sibuk mengelap tubuh Rolls-Royce yang selalu mengkilat.
"Kita pulang, Worthington!" kata Jupiter, sementara ia bersama ketiga temannya masuk ke dalam mobil itu. "Kita harus cepat-cepat!"
"Baik, Master Jones," kata supir berbangsa Inggris itu. Worthington sangat teguh memegang tradisi selaku pengemudi Rolls-Royce yang dikenal sebagai kendaraan kaum atasan. Majikan selalu disapa dengan sebutan Master yang berarti 'Tuan' -walau majikan itu hanya untuk sementara waktu saja, dan walaupun Jupiter sendiri sudah meminta agar ia disapa dengan namanya saja.
Worthington mengundurkan mobilnya keluar dari jalan masuk, lalu menekan pedal gas dalam-dalam. Rolls-Royce itu melesat dengan laju menuju ke Rocky Beach, tepat pada batas kecepatan maksimum yang masih diperbolehkan.
"Kenapa kita harus buru-buru, Jupe?" tanya Pete. "Sikapmu seperti kita ini hendak menonton kebakaran saja!"
"Bukan kebakaran, tapi api," kata Jupiter dengan sikap misterius. "Mata Berapi!"
"Aku tidak mengerti," tukas Pete cemberut. Tapi Bob merasa tahu apa yang dimaksudkan oleh Jupiter.
"He, Jupe!" serunya. "Kau berhasil menebak maksud pesan misterius itu! Betul, kan?"
Jupiter mengangguk. Ia berusaha tidak menunjukkan kepuasannya. Gus hanya melongo saja memandang teman barunya itu.
"Kau tidak main-main?" tanyanya meminta penegasan.
"Tidak - kurasa aku benar-benar sudah berhasil sekarang," jawab Jupiter. "Jawabannya terletak pada kekaguman kakekmu terhadap kisah-kisah tentang detektif Sherlock Holmes, begitu pula dalam patung-patung gips yang disebut-sebut oleh Mr. Dwiggins tadi."
"Aku masih tetap belum mengerti," keluh Pete. "Sherlock Holmes - patung-patung gips - apa sih hubungannya dengan pesan dari Kakek Horatio?"
"Nanti saja kujelaskan," kata Jupiter. "Untuk saat ini, kauingat saja satu kalimat dalam pesan itu yang berbunyi, 'dalam Agustus terletak kemujuranmu.
"Ya - lalu?" kata Pete dengan sikap masih tetap belum mengerti. Gus juga sama saja. Tapi Bob kelihatannya bisa mengikuti jalan pikiran Jupiter.
"Patung-patung kepala tokoh-tokoh sejarah yang disebut-sebut tadi," katanya. "Washington, Lincoln, dan seterusnya. Satu di antaranya patung Augustus dari Polandia."
"Dalam Agustus terletak kemujuranmu," kata Gus bersemangat. "Augustus - Agustus! Jadi maksudmu ada sesuatu yang disembunyikan dalam patung gips yang menggambarkan tokoh yang bernama Augustus itu?"
"Aku boleh dibilang yakin seratus persen mengenainya," jawab Jupiter. "Segala-galanya cocok! Mr. August gemar membaca kisah-kisah Sherlock Holmes sebagai pengisi waktu senggang. Salah satu kisahnya berjudul Misteri Enam Napoleon. Dalam kisah itu diceritakan tentang suatu benda berharga yang disembunyikan dalam patung dada Napoleon. Mestinya kisah itu mengilhami Mr. August untuk menyembunyikan barang bernama Mata Berapi itu di suatu tempat yang sama sekali tidak mencurigakan - yaitu dalam patung gips biasa. Ia memilih patung Augustus karena nama tokoh itu sama dengan namanya sendiri dan juga nama Gus kita ini, sehingga dengan demikian ia yakin Gus serta ayahnya pasti bisa menebak maksudnya."
Melihat tampang Pete dan Gus nampak masih sangsi, Jupiter meneruskan, "Sebentar lagi akan kita ketahui apakah dugaanku itu benar! Tapi tentu saja kita harus membayar lima dollar pada Bibi Mathilda, supaya kita bisa memecahkan patung itu tanpa disemprot habis-habisan olehnya. Untungnya ia masih berutang pada kita, sebagai pembayaran upah membetulkan mesin cuci serta alat pemotong rumput yang dibeli Paman Titus minggu lalu."
Setelah itu suasana dalam mobil berubah menjadi ribut, karena ketiga teman Jupiter kini sibuk membicarakan barang yang mungkin sebentar lagi akan ditemukan. Begitu Worthington menghentikan Rolls-Royce mewah itu di pekarangan kompleks penjualan barang-barang bekas, dengan segera keempat remaja penumpangnya sudah melesat keluar dari mobil dan berlari-lari menuju ke kantor perusahaan.
Ketika tinggal beberapa langkah lagi dari pintu pondok itu, tiba-tiba Jupiter berhenti. Anak-anak yang lain tidak sempat mengelak, sehingga mereka bertubrukan lalu roboh lintang-pukang. Saat itu barulah mereka melihat apa yang menyebabkan Jupiter tertegun.
Ketiga belas patung gips yang tadi pagi masih nampak berjejer-jejer di atas meja, kini tinggal lima. Mereka hanya melihat patung-patung kepala Washington, Franklin, Lincoln, Luther, dan Theodore Roosevelt.
Patung Augustus dari Polandia tidak ada lagi di tempat itu!

Bab 5
TIGA BINTIK MUNCUL

Anak-anak bangun pelan-pelan, sementara mata mereka masih tetap nanar menatap kelima patung yang tersisa. Di dinding luar kantor, agak di atas patung-patung itu, terpasang sepotong kertas dengan tulisan tangan yang berbunyi: HIASAN ISTIMEWA UNTUK MEMPERINDAH TAMAN ANDA.... HANYA $5.-
Selama beberapa detik anak-anak tetap membisu, karena dilanda kekecewaan yang luar biasa. Akhirnya Jupiter berhasil menguasai diri. Ia berseru pada bibinya, yang saat itu sedang duduk menghadapi meja kerja dalam ruang kantor sempit itu.
"Bibi Mathilda! Mana patung-patung lainnya?"
"Di mana?" kata Mathilda Jones sambil menuju ke luar. "Tentu saja sudah kujual! Ini kan hari Sabtu - dan Sabtu pagi biasanya banyak orang mampir, ingin mencari-cari sesuatu yang lain dari yang lain. Kau kan mengetahuinya pula, Jupiter!"
Jupiter mengangguk dengan gerakan lambat. Perusahaan milik paman dan bibinya memang terkenal di mana-mana sebagai tempat barang bekas apa saja. Kemasyhuran itu memikat para peminat yang biasa berdatangan dari berbagai tempat.
"Aku tahu, tidak banyak orang yang menghendaki patung-patung usang seperti itu dalam rumah mereka yang baru dan bergaya modern," kata Bibi Mathilda. "Tapi kalau dipasang di atas tonggak di tengah taman - kan bisa menarik perhatian! Dan ternyata ideku itu mendapat sambutan dari pihak calon pembeli! Aku sudah berhasil menjual delapan patung, masing-masing dengan harga lima dollar. Sekarang pun kita sudah untung karenanya!"
"Kurasa -" Nada suara Jupiter tidak membayangkan harapan besar. "- kurasa Bibi tentunya tidak mencatat nama serta alamat para pembeli tadi."
"Untuk apa itu kulakukan? Mereka hanya membeli patung-patung itu tadi, lalu berangkat lagi."
"Bisakah Bibi mengatakan apa-apa tentang mereka yang membeli tadi? Terutama orang yang membeli patung Augustus dari Polandia."
"Kenapa kau dengan tiba-tiba saja begitu tertarik pada patung-patung usang itu?" tanya Bibi Mathilda. "Sepanjang ingatanku, dua dibeli seorang laki-laki yang datang dengan mobil berwarna hitam. Kalau tidak salah, tinggalnya di Hollywood Utara. Dua lagi dibeli seorang nyonya yang naik sedan merah. Ia mengatakan, tinggalnya di daerah Malibu. Sedang siapa yang membeli patung-patung yang empat lagi tidak begitu kuperhatikan karena saat itu aku sedang sibuk."
"Begitu. Yah -" kata Jupiter sambil mendesah, "kalau begitu, ya sudah! Yuk, sebaiknya kita berunding saja dulu."
Ia mendului berjalan menuju bengkel Trio Detektif. Mata Gus terbelalak melihat Jupiter menggeser kisi yang menutup jalan ke Lorong Dua, lalu mendului masuk ke pipa besar yang menuju ke Markas Besar.
Setelah memperlihatkan segala perlengkapan yang ada di situ - termasuk teropong yang dibuat oleh Jupiter untuk melihat ke luar - keempat remaja itu duduk di ruang kantor yang sempit.
"Nah, sekarang bagaimana?" tanya Pete. "Kalau kemujuran Gus memang benar ada di dalam Augustus, kenyataannya patung itu sekarang tidak ada lagi di sini! Sudah pindah menjadi pajangan taman di rumah orang lain. Satu-satunya kemungkinan menemukannya kembali ialah dengan jalan mencari taman itu. Karena di sekitar sini ada kurang lebih seratus ribu taman, ada kemungkinan kita baru menemukan yang dicari apabila kita sudah berumur sembilan puluh tahun!"
"Pokoknya, kalian sudah berusaha," kata Gus. Kelihatan bahwa ia berusaha menyembunyikan kekecewaannya. "Kalian tidak mungkin bisa mengetahui bahwa patung-patung itu bukan sembarang patung ketika Mr. Jones datang dengannya. Apa boleh buat - kurasa bagiku Augustus kini sudah lenyap untuk selama-lamanya. Kurasa itulah sebabnya Kakek Horatio menulis, 'waktu penting sekali.' Ia khawatir jangan-jangan terjadi sesuatu dengan patung itu, apabila aku tidak cepat bertindak. Dan kenyataannya memang demikian."
"Mungkin saja patung itu sudah lenyap untuk selama-lamanya bagi kita," kata Jupiter kemudian. "Tapi aku belum mau mengaku kalah. Kita kan penyelidik -jadi kita harus melanjutkan penyelidikan."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Bob.
"Entah, aku juga belum tahu," kata Jupiter. "Aku sedang mencari-cari jalan."
"Aku tahu akal!" seru Bob dengan tiba-tiba. "Kita bisa mencoba lewat Hubungan Hantu ke Hantu!"
"Hubungan Hantu ke Hantu?" Mata Gus terkejap-kejap karena heran. "Kalian punya hubungan langsung dengan alam gaib, untuk mendapat keterangan?"
"Bukan - bukan begitu artinya," kata Bob sambil nyengir. "Tapi hasilnya hampir sebanding! Sekarang aku ingin bertanya dulu padamu. Siapakah yang paling banyak tahu apa-apa di suatu daerah tempat tinggal? Maksudku tahu apabila ada orang luar mondar-mandir tanpa tujuan tertentu, ada keluarga membeli mobil baru, dan hal-hal lainnya seperti itu."
"Hra -" Gus berpikir sebentar, "- entah, aku tidak tahu." Sekarang Pete mencampuri pembicaraan lagi.
"Siapa lagi kalau bukan anak-anak!" katanya. "Tidak ada yang terlalu memperhatikan mereka, tapi tidak ada suatu hal yang terjadi tanpa diketahui anak-anak. Jika ada yang mendapat kucing atau anjing piaraan yang baru, atau ada seseorang mengalami kecelakaan, atau apa saja peristiwa yang terjadi, pasti ada saja anak daerah situ yang mengetahui."
"Satu-satunya problem ialah, bagaimana bisa menghubungi cukup banyak anak-anak di seluruh kota, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan dari mereka," sela Bob. "Kalau soal kesediaan membantu, mereka selalu mau! Anak-anak biasanya tertarik pada hal-hal yang mengandung teka-teki."
"Tapi bagaimana kalian bisa menghubungi anak-anak dalam jumlah yang cukup banyak, guna menjamin bahwa penyelidikan kalian ada hasilnya?" tanya Gus. "Kalian perlu punya semacam penyambung mata di setiap sudut kota."
"Nah, di situlah Hubungan Hantu ke Hantu berperan," sela Pete lagi. "Gagasan untuk itu datang dari Jupe. Dan ternyata kegunaannya besar sekali! Jalannya begini. Kita semua kan punya teman lebih dari satu. Kalau ada sesuatu yang ingin kita ketahui, masing-masing dari kami menelepon lima orang kawan dan menyampaikan hal itu. Kawan-kawan itu kami minta agar menelepon kemari - dalam urusan ini, apabila mereka mengetahui ada seseorang yang baru saja membeli patung dari gips untuk hiasan taman.
"Tapi jika mereka sendiri tidak tahu, mereka harus menelepon lima kawan selanjutnya dan mengulangi pesan kami pada kawan-kawan itu. Lalu masing-masing kawan itu menelepon lagi lima anak - nah, dengan cepat berita bahwa kami memerlukan bantuan akan tersebar ke seluruh sudut kota! Dalam waktu satu jam, di mana-mana akan ada anak yang mencari kalau-kalau ada patung gips yang dijadikan hiasan taman rumah seseorang. Mereka tidak perlu melihatnya sendiri, melainkan sudah cukup jika mendengar orang tua mereka bercerita bahwa ada teman membeli patung. Pokoknya begitulah! Dengan sistem kerja demikian, kami seolah-olah punya pembantu beribu-ribu anak!"
"Astaga!" seru Gus dengan kagum. "Jika kalian masing-masing menghubungi lima orang teman, itu sudah lima belas. Kelima belas teman itu masing-masing menelepon lima teman selanjutnya, jadi tujuh puluh lima - lalu berkembang menjadi tiga ratus sekian - dan dari jumlah itu langsung meningkat jadi ribuan!" Anak itu bersiul pelan. "Luar biasa!"
"Anak-anak yang membantu itu kami sebut Hantu," kata Bob. "Itu kode kami, supaya orang luar yang mendengar kami berbicara tidak bisa mengetahui apa yang kami bicarakan." "Sekarang juga kau akan mulai menelepon, Jupiter?" tanya Gus.
"Sekarang Sabtu sore," kata Jupiter. "Anak-anak kebanyakan sedang berada di luar rumah. Saat yang paling baik untuk menelepon, sehabis makan malam. Jadi kita harus menunggu beberapa jam -" "Jupiter!"
Suara Bibi Mathilda yang lantang masuk lewat tingkap atas Markas Besar. "Jupiter!" seru wanita itu sekali lagi. "Anak bandel! Di mana lagi kau sekarang?"
Jupiter meraih mikrofon yang terletak di meja. Alat itu dihubungkan pada sebuah pengeras suara berukuran kecil yang terpasang dalam kantor bibinya. Jupiter selalu memakai alat itu untuk menjawab panggilan paman atau bibinya. "Aku di sini, Bibi Mathilda," katanya lewat alat pengeras itu. "Ada apa, Bi?" Bibi Mathilda mengumpat-umpat lagi.
"Aku masih saja kaget mendengar suaramu keluar dari alat setan itu," kata Bibi. "Aku ingin tahu apa lagi yang sedang kaulakukan sekarang, Jupiter! Pasti sesuatu yang benar-benar istimewa - sampai lupa makan siang."
Makan siang! Mendengar kata itu, anak-anak baru sadar bahwa mereka sudah lapar. Selama itu mereka terlalu bersemangat, sampai lupa makan.
"Ya, Bi - kurasa kami memang lupa," jawab Jupiter. "Anda tidak keberatan kan, jika kami mengajak seorang teman?"
"Aduh - apalah artinya satu anak lagi, apabila sepanjang waktu aku terus-terusan dirongrong tiga anak yang selalu lapar?" Kata-katanya memang betul - karena Bob dan Pete sama seringnya makan di tempat Jupiter, seperti di rumah mereka sendiri.
"Aku sudah menyediakan roti sandwich satu kotak serta minuman dingin untuk kalian semua. Kalian boleh makan di kantor. Aku harus ke kota selama beberapa jam, dan Titus sedang pergi -jadi, tolong jaga kantor siang ini, Jupiter! Tolong layani pembeli yang datang."
"Baiklah, Bibi Mathilda," jawab Jupiter. "Kami takkan pergi selama Bibi tidak ada."
Keempat remaja itu kembali ke bengkel lewat Lorong Dua, dan dari situ melintasi pekarangan menuju ke kantor. Di dalam kantor tersedia sebuah kotak berisi roti sandwich beberapa tumpuk yang dibungkus dengan kertas minyak, lalu beberapa botol limun.
"Datang juga kalian akhirnya," kata Bibi Mathilda, ketika keempat remaja itu masuk. "Aku harus ke kota sekarang. Hans yang mengantar, dengan truk kecil. Jangan pergi sebelum aku kembali. Dan awas, Jupiter -jangan sampai ada yang tidak jadi membeli nanti, ya!"
"Baik, Bibi Mathilda!"
Begitu Bu Jones berangkat, anak-anak langsung menggasak makanan. Setelah masing-masing menyikat dua potong sandwich dan limun satu botol, mereka merasa sudah bisa melanjutkan pembicaraan lagi.
"Jupe," kata Pete dengan mulut penuh berisi roti dengan daging panggang, "menurut pendapatmu, apakah yang terdapat dalam patung yang kita cari itu? Maksudku, jika memang benar ada sesuatu di situ?"
"Gus mendengar ayahnya berbicara tentang 'Mata Berapi'," kata Jupiter. "Kurasa Mata Berapi itulah yang disembunyikan dalam patung Augustus dari Polandia."
"Tapi apakah Mata Berapi itu?" tanya Bob.
"Pasti sesuatu yang kecil ukurannya," jawab Jupiter. "Kalau besar, mana mungkin disembunyikan dalam patung yang tidak besar. Dan mengingat kecermatan paman ayah Gus menyembunyikannya, begitu pula mengingat bahwa hanya permata yang tersohor saja yang biasa diberi nama - ingat saja pada nama-nama 'Mogul Agung', 'Bintang India', dan 'Pasya Mesir' - aku menarik kesimpulan bahwa Mata Berapi pasti permata pula, yang dibawa oleh Mr. August puluhan tahun yang lewat dari Asia. Dan karena salah satu sebab, sejak itu ia terus-menerus terpaksa menyembunyikan diri."
"Wow!" desah Pete kagum. "Jika kesimpulanmu tepat -"
"Ssst!" desis Bob. "Ada orang datang - mungkin hendak membeli sesuatu."
Sebuah mobil sedan berpotongan langsing memasuki pekarangan dan berhenti di depan pintu kantor. Pengemudinya seorang laki-laki yang mengenakan pakaian seragam supir. Penumpangnya bertubuh kurus tinggi. Ia turun dari mobil, lalu berdiri memandang kelima patung yang masih tersisa di atas bangku di samping pintu kantor.
Orang yang baru datang itu membawa tongkat dari kayu hitam mengkilat, yang disampirkan ke lengan kiri. Dengan tongkat itu disodoknya salah satu patung di depannya dengan pelan. Seperti sambil lalu, diusapnya sisi atas patung-patung itu dengan jari-jarinya Kelihatannya ia tidak puas. Dibersihkannya debu yang menempel pada jari-jarinya. Setelah itu ia berpaling ke pintu.
Jupiter sudah menunggu di situ, sementara anak-anak yang lain tetap duduk di dalam. Tapi mereka bisa melihat laki-laki yang baru datang. Tanpa mengatakan apa-apa, anak-anak itu semua merasakan ketegangan yang serupa.
Laki-laki jangkung berpakaian rapi itu berkulit sawo matang. Rambutnya hitam pekat dengan uban di sana-sini. Tapi yang paling penting bagi keempat remaja itu - pada kening laki-laki itu ada tiga bintik kecil yang agak menonjol.
"Maaf, tapi patung-patung menarik ini -" Laki-laki itu berbicara dalam bahasa Inggris yang sempurna. Ia menudingkan tongkatnya ke arah patung-patung yang lima buah. Jupiter terkejap. Sikapnya langsung berubah begitu melihat ketiga bintik di kening orang itu. Sikapnya dilunglaikan. Tarikan air mukanya tidak tegas lagi, sementara tatapan matanya kuyu. Jupiter yang kegempalan tubuhnya dikatakan gemuk oleh musuh-musuhnya, memang bisa kelihatan gemuk - itu jika ia sendiri menghendaki adanya kesan begitu.
"Bagaimana, Sir?" katanya. Ia berbicara dengan suara sengau. Jadi suaranya sengaja dikeluarkan lewat hidung. Bagi orang yang tidak mengenalnya, ia saat itu benar-benar kelihatan seperti anak gendut yang tolol.
"Kau masih punya yang lain kecuali lima patung itu?" Tiga Bintik berbicara dengan suara bernada dingin dan angkuh.
"Punya yang lain?" Jupiter bersikap seolah-olah tidak mampu memahami kalimat yang paling sederhana. "Ya, patung lain," ulang Tiga Bintik. "Jika ada, aku ingin melihatnya. Aku menginginkan patung yang agak lebih istimewa sedikit - bukan cuma George Washington atau Benjamin Franklin." "Cuma itu saja yang masih ada," kata Jupiter. "Yang lain sudah terjual semua."
"Jadi sebelumnya memang ada patung-patung lain?" Kilatan minat bersinar sekejap dalam mata laki-laki asing itu. "Patung siapa saja, Nak?"
"Saya tidak tahu," Jupiter memejamkan mata, seperti sedang berusaha mengingat-ingat. "Nama yang aneh-aneh sih! Ada yang bernama Homer dan satu nama lagi. Ada yang bernama Augustus dari - dari - pokoknya dari salah satu tempat."
"Kenapa itu dikatakannya?" bisik Pete dengan suara pelan pada Bob.
"Jupe selalu punya alasan apabila ia melakukan sesuatu," balas Bob sambil berbisik pula. "Kita dengar saja terus." "Augustus!" Untuk sesaat wajah Tiga Bintik, yang biasanya tidak menampakkan gerak perasaan berubah, nampak bersemangat. "Ya - aku kepingin membeli patungnya. Untuk tamanku. Kaukatakan tadi, patung itu sudah dijual?" "Ya, kemarin," kata Jupiter.
"Siapa pembelinya, dan di mana tinggalnya?" Nada suara Tiga Bintik kini terdengar seperti memerintah. "Aku hendak membelinya dari orang itu."
"Kami tidak pernah mencatat nama dan alamat orang-orang yang berbelanja di sini," kata Jupiter. "Jadi saya sama sekali tidak tahu siapa orang itu. Mungkin siapa saja."
"Mungkin... siapa... saja." Suara Tiga Bintik sudah kembali bernada dingin. "Begitu! Sayang sekali - karena jika kau tahu nama dan alamatnya, aku mau membayar sebagai imbalan. Seratus dollar!"
"Kami sama sekali tidak punya catatan," kata Jupiter sekali lagi, dengan sikap ketolol-tololan. "Tapi kadang-kadang ada juga yang mengembalikan barang yang mereka beli di sini. Kalau patung itu dikembalikan, Anda boleh membelinya - kalau Anda sangat menginginkannya! Kalau saya boleh tahu nama dan alamat Anda, supaya gampang dihubungi?"
"Ya, itu gagasan baik," kata Tiga Bintik. Ditatapnya Jupiter dengan tajam. Tongkat yang dipegang dipindahkannya ke pergelangan tangan kiri, lalu dikeluarkannya kartu nama dari kantung jasnya. Tiga Bintik menuliskan alamatnya pada kartu itu, yang kemudian diserahkan pada Jupiter.
"Ini kartuku," katanya. "Telepon aku jika patung Augustus dikembalikan pembelinya, nanti kau akan kubayar seratus dollar. Kau tidak lupa, kan?"
"Mudah-mudahan saja tidak," kata Jupiter dengan suara tak bersemangat.
"Kau tidak boleh sampai lupa!"
Dengan gerakan cepat, Tiga Bintik menghunjamkan ujung tongkatnya ke tanah. "Ada sobekan kertas," katanya. "Aku menyukai kebersihan!"
Sambil berkata demikian orang itu mengacungkan ujung tongkatnya ke arah Jupiter. Napas ketiga remaja yang duduk di dalam tersentak, karena melihat bahwa tongkat itu sebenarnya tongkat pedang. Di ujung mata pedang berkilat yang panjangnya sekitar tiga puluh senti tertancap secarik kertas yang tadi terserak di tanah.
Ujung pedang yang runcing teracung dekat sekali ke dada Jupiter. Dengan pelan remaja itu mengulurkan tangannya, lalu mengambil sobekan kertas yang tertancap itu. Saat itu Tiga Bintik sekali lagi melakukan gerakan secepat kilat, menarik mata pedang masuk kembali ke dalam tongkat yang langsung kelihatan seperti tongkat biasa lagi.
"Kapan-kapan aku akan menghubungimu lagi," kata laki-laki asing itu dengan suaranya yang tajam. "Jika sementara itu patung Augustus dikembalikan pembelinya, kau harus menelepon aku." Orang itu berpaling. Ia masuk kembali ke mobil, yang langsung melesat pergi.

Bab 6
BEBERAPA KESIMPULAN YANG TAK DISANGKA

Jupiter menunggu sampai mobil itu sudah keluar dari pekarangan. Setelah itu barulah ia berpaling ke dalam. Mukanya pucat.
"Orang seperti itu jika dipermainkan bisa berbahaya," kata Pete dengan nada cemas. "Kusangka ia tadi benar-benar hendak menusukmu, Jupe!"
"Ia bermaksud memberi peringatan padaku," kata Jupiter agak gugup. "Dengan tindakannya tadi, aku diperingatkan bahwa orang yang berani mencoba menipunya bisa bernasib buruk!"
"Kurasa ia itulah yang sepuluh tahun yang lalu mendatangi ayahku malam-malam," kata Gus. "Aku tidak mengatakan pasti, tapi tampang orang yang datang waktu itu seperti dia."
"Mungkin yang sama ketiga bintik di kening," kata Bob. "Kalau melihat tampangnya, ia berasal dari kawasan Asia - mungkin dari salah satu tempat di India. Sedang ketiga bintik di kening mungkin merupakan tanda salah satu kelompok agama di sana."
"Kenapa kau tadi mengatakan padanya bahwa di antara patung-patung itu ada patung kepala Augustus dari Polandia?" tanya Pete. "Sikapnya langsung berubah ketika mendengarnya!"
"Ia kelihatannya tahu tentang patung-patung itu," kata Jupiter sambil meneguk limun. "Aku tadi ingin melihat apakah Augustus ada artinya bagi dia. Dan ternyata memang ada! Mungkin dia orangnya yang mencuri salinan pesan Mr. August dari lemari arsip Mr. Dwiggins."
"Tapi ia tidak berkumis dan tidak memakai kaca mata," bantah Gus.
"Bisa saja ia menyewa orang lain untuk melakukan pekerjaan itu," kata Bob. "Pokoknya jelas bahwa ia menganggap patung Augustus sangat penting."
"Ia tadi memancing-mancing keterangan," kata Jupiter. "Tapi aku juga! Aku berhasil menyebabkan dia memberikan nama dan alamatnya padaku."
Sambil berkata begitu diletakkannya kartu nama yang diterimanya dari Tiga Bintik ke atas meja. Pada kartu itu tertulis dengan huruf-huruf ukiran:
Rama Sidri Rhandur
PLESHIWAR, INDIA
Di bawahnya tertulis nama dan alamat sebuah motel di Hollywood.
"India!" kata Pete bergairah. "Ternyata Bob benar! Tapi jika Tiga Bintik itu anggota salah satu sekte fanatik di India yang ingin mengambil Mata Berapi, aku setuju jika kita tidak ikut campur dalam urusan ini. Aku pernah membaca buku mengenai suatu suku pribumi di India yang berjuang untuk merebut kembali suatu benda yang mereka anggap keramat. Mereka begitu galak, sedikit-sedikit langsung main tusuk saja! Dan tatapan mata orang tadi -"
"Sejauh ini kita masih menebak-nebak saja," kata Jupiter. "Bob, sekarang sudah waktunya untuk mengadakan riset sedikit."
"Beres," kata Bob, "tapi jenis yang bagaimana?"
"Penyelidikan di perpustakaan," kata Penyelidik Pertama. "Coba kaucari kalau ada keterangan mengenai Mata Berapi. Sekaligus lihat juga Pleshiwar, India."
"Baik," kata Bob sambil berdiri. "Nanti sehabis makan malam aku akan datang melapor lagi. Keluargaku ingin aku sekali-sekali makan malam di rumah."
"Saat itu pun sudah cukup cepat," kata Jupiter padanya. "Setelah itu kita mulai membuka Hubungan Hantu ke Hantu."
"Astaga!" kata Gus, sementara Bob berangkat dengan sepedanya. "Aku sama sekali tak menyangka ke dalam situasi bagaimana kalian ikut kulibatkan! Mula-mula Mr. Dwiggins diserang seseorang - kemudian Tiga Bintik muncul di sini dan mengancammu, Jupiter! Ternyata banyak yang dipertaruhkan dalam urusan ini, sedang bahaya yang mengancam juga tidak bisa dipandang enteng! Aku tidak boleh menyebabkan kalian terancam bahaya. Kurasa lebih baik aku pulang saja, dan melupakan segala urusan yang menyangkut Mata Berapi. Kalian tidak perlu mencari-cari patung Augustus untukku. Jika Tiga Bintik atau Kumis Hitam yang berhasil menemukannya, biar saja mereka yang berkelahi memperebutkan barang itu!"
"Bagus sekali gagasanmu itu, Gus!" seru Pete dengan gembira. "Bagaimana pendapatmu, Jupe?"
Jupiter tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Air mukanya sudah memberikan jawaban yang cukup jelas. Hadapkan Jupiter dengan suatu misteri yang menarik, maka reaksinya pasti sama seperti anjing kelaparan diberi daging - takkan mau ia melepaskannya lagi!
"Kita kan baru saja memulai penyelidikan ini, Dua," kata Jupiter pada Pete. Kadang-kadang kawan itu disapanya dengan julukan "Dua", untuk mengingat Pete bahwa ia Penyelidik Kedua dalam Trio Detektif. "Selama ini kita mengidam-idamkan misteri yang bisa kita tangani. Sekarang ada yang muncul, masa langsung kita lepaskan lagi! Lagi pula, ada beberapa hal aneh yang belum kupikirkan lebih jauh."
"Oh, ya? Ada hal-hal yang aneh? Apa saja?" tanya Pete.
"Menurut kesimpulanku, Mr. Dwiggins tadi mengurung dirinya sendiri dalam lemari," kata Jupiter. "Mengurung dirinya sendiri?" Dari suaranya ketahuan bahwa Gus benar-benar heran. "Untuk apa ia berbuat begitu?"
"Aku tidak tahu," jawab Jupiter. "Itu merupakan bagian dari misteri yang sedang kita hadapi sekarang."
"Apa yang menyebabkan kau menduga orang itu mengurung dirinya sendiri, Pertama?" tanya Pete. "Maksudku, ia kan terkunci di dalam lemari. Dan melihat tampangnya, ia juga mengalami perlakuan kasar."
"Itu cuma kelihatannya saja, supaya kita tertipu," kata Jupiter. "Coba kaupikirkan, Dua! Pakai kemampuan penalaranmu. Mr. Dwiggins tadi mengatakan, satu setengah jam lamanya ia terkurung dalam lemari itu. Betul, kan?"
"Ya, betul!"
"Selama itu ia menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak minta tolong. Nah - apa sebetulnya yang akan pertama-tama dilakukan seseorang dalam keadaan begitu?"
"Ia akan membetulkan letak kaca matanya!" seru Gus. "Atau - karena di situ gelap - kaca mata dilepaskan dan dikantongi. Yang jelas, takkan dibiarkan tergantung pada sebelah telinga selama satu setengah jam!"
"Kau benar, Gus." Pete menggaruk-garuk kepalanya. "Dan bisa juga letak dasinya yang miring diluruskan. Kau benar, Jupe - orang itu sengaja mengatur letak kaca mata serta dasinya supaya kita percaya bahwa ada orang menyergapnya."
"Kita perlu selalu meneliti fakta-fakta yang ada," kata Jupiter. "Tapi kuakui, Mr. Dwiggins tadi sangat meyakinkan. Mungkin aku takkan mulai curiga apabila bukan karena suatu hal. Coba kalian berdua kemari sebentar! Ke sini, ke balik meja - lalu letakkan tangan kalian ke alas kursi ini."
Jupiter bangkit dari kursi yang selama itu didudukinya. Pete dan Gus meletakkan tangan mereka ke alas tempat duduk itu.
"Sekarang pegang daun meja," kata Jupiter memberi petunjuk. "Sekarang katakan apa perbedaan yang ada antara kedua permukaan itu, yang sama-sama terbuat dari kayu." Kedua kawannya kini meraba daun meja.
"Permukaan alas kursi terasa hangat karena kau baru saja mendudukinya," kata Gus. "Sedang daun meja lebih dingin."
Jupiter mengangguk.
"Tadi, sewaktu aku membetulkan letak kursi Mr. Dwiggins yang terguling, aku kaget karena alasnya ternyata terasa hangat, seakan-akan baru saja ada yang duduk di situ. Kemudian, ketika aku memikirkan tentang kaca mata serta dasi pengacara itu, aku langsung sadar apa sebenarnya yang terjadi.
"Mr. Dwiggins melihat kita datang naik mobil lalu turun. Ia lantas menggulingkan kursinya, lalu bergegas mengurung diri dalam lemari sambil menyentakkan dasi dan kaca matanya sehingga tidak beres letaknya. Setelah itu barulah ia berteriak minta tolong. Mungkin ia baru dua tiga menit berada dalam lemari sewaktu kita menemukannya di situ."
"Astaga!" seru Pete. "Untuk apa ia berbuat begitu?"
"Untuk memperdayai kita," jawab Jupiter. "Biar kita percaya bahwa salinan pesan Kakek Horatio yang dibuatnya dicuri orang, padahal kenyataannya sama sekali tidak begitu."
"Maksudmu, sama sekali tidak ada laki-laki berukuran sedang yang berkumis dan memakai kaca mata?" tanya Gus.
"Menurutku, tidak ada! Kurasa itu hanya karangan Mr. Dwiggins sendiri. Menurut dugaanku, Tiga Bintik yang bernama Rama Rhandur dari India mungkin membayar Mr. Dwiggins untuk bisa memperoleh salinan itu. Lalu Mr. Dwiggins mengatur siasatnya supaya kita mau percaya bahwa kertas itu dicuri orang."
"Kedengarannya memang masuk akal," kata Gus mengakui. "Dengannya juga dapat dijelaskan, apa sebabnya Mr. Rhandur kemudian datang ke sini. Pesan misterius itu berhasil ditebak sedemikian jauh olehnya untuk menyadari arti penting patung-patung itu."
"Dan ia tadi mengatakan akan datang lagi!" seru Pete dengan cemas. "Mungkin lain kali ia datang membawa kawanannya. Bagaimana jika ia tidak percaya bahwa kita sungguh-sungguh tidak tahu di mana patung Augustus dari Polandia kini berada? Orang Asia mengenal berbagai siksaan kejam untuk memaksa korban mereka membuka mulut!"
"Kau sudah melantur lagi sekarang, Dua," tukas Jupiter. "Ini kan California, bukan Asia! Di sini aku belum pernah mendengar orang disiksa untuk memaksanya berbicara."
"Belum pernah, bukan berarti tidak mungkin terjadi," gumam Pete dengan pandangan suram.
Gus kelihatannya hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak jadi, karena tepat saat itu pesawat telepon berdering. Jupiter mengangkat gagang pesawat.
"Di sini Jupiter Jones, di Jones Salvage Yard, " katanya.
"Di sini Mrs. Peterson. Saya tinggal di Malibu Beach," kata yang menelepon, seorang wanita bersuara ramah. "Saya sendiri menyesal - tapi ada keluhan yang ingin saya sampaikan. Kemarin saya membeli dua patung gips dari tempat Anda untuk ditaruh dalam taman sebagai hiasan."
"Lalu?" kata Jupiter, dengan sikap yang tiba-tiba menunjukkan minat.
"Yah - waktu itu keduanya berdebu sekali. Karena itu kusemprot dengan air di pekarangan, supaya bersih. Tahu-tahu satu di antaranya mulai rontok! Satu telinganya terlepas, serta sebagian dari hidung. Menurut suamiku, patung-patung itu terbuat dari gips, dan seharusnya diletakkan dalam rumah. Kalau ditaruh di luar cepat rusak karena pengaruh cuaca. Karena itu aku sekarang menelepon untuk meminta kembali uang yang kubayarkan untuk kedua patung itu, yang ditawarkan sebagai hiasan taman."
"Aduh, maaf sekali, Mrs. Peterson," kata Jupiter dengan sopan. "Waktu itu kami tidak ingat bahwa gips bisa rusak kalau kena air. Tentu saja uang Anda akan kami kembalikan. Kalau saya boleh bertanya, patung mana saja yang Anda beli kemarin?"
"Aku tidak begitu ingat nama-namanya. Bisa saja kulihat, karena keduanya kini ada di serambi luar. Tapi kalau tidak salah, satu di antaranya patung Augustus, disusul dengan perkataan lain. Besok aku datang untuk mengembalikan keduanya."
"Maaf, Mrs. Peterson - tapi biar kami saja yang datang menjemputnya supaya Anda tidak perlu repot-repot lagi," kata Jupiter dengan segera. "Kalau sekarang Anda sebutkan alamat Anda, nanti siang atau malam kami akan datang ke sana!"
Jupiter cepat-cepat menuliskan alamat yang disebut wanita yang sedang berbicara dengannya lewat telepon. Begitu pembicaraan selesai, ia berpaling pada Pete dan Gus.
"Kita berhasil menemukan Augustus dari Polandia!" serunya. "Kita akan segera mengambilnya, begitu Hans sudah kembali dari mengantar Bibi Mathilda."
"Hebat!" seru Pete, lalu menambahkan, "Mudah-mudahan kita sudah berhasil mengambilnya sebelum Tiga Bintik membereskan diri kita!"

Bab 7
KUMIS HITAM MUNCUL

Sementara itu Bob sampai di perpustakaan umum kota, di mana ia bekerja beberapa hari seminggu sebagai tenaga tambahan. Miss Bennett, ahli perpustakaan di situ, menoleh ketika ia masuk. "Hallo, Bob," sapa wanita itu. "Rupanya ini hari dinasmu, ya?" "Bukan, saya datang untuk mengadakan penelitian sedikit," jawab Bob.
"Oh - kusangka kau datang untuk membantuku." Miss Bennett tertawa renyah. "Tadi di sini sibuknya bukan main! Banyak sekali buku yang harus dikembalikan ke atas rak-rak. Kau bisa meluangkan waktu sedikit untuk membantu, Bob?"
"Tentu saja bisa, Miss Bennett," kata Bob.
Mula-mula Miss Bennett memintanya membetulkan sampul beberapa buku bacaan remaja. Selesai dengan tugas itu, Miss Bennett kemudian menyuruhnya mengembalikan setumpuk buku yang selesai dipinjam ke rak masing-masing. Buku-buku itu ditaruhnya satu-satu ke tempat yang benar. Setelah itu Bob diminta membereskan beberapa buku yang masih tergeletak di salah satu meja baca di situ. Dengan segera Bob mengumpulkan buku-buku itu. Tapi tahu-tahu ia tertegun ketika matanya menatap sampul buku yang terletak paling atas.
Buku itu berjudul Riwayat Berbagai Permata Termasyhur. Padahal buku itulah yang hendak dibacanya di situ!
"Ada yang tidak beres, Bob?" tanya Miss Bennett, karena melihat Bob termangu-mangu.
Bob menggeleng.
"Tidak, Miss Bennett," katanya. Dibawanya buku yang memang dicarinya ke meja wanita ahli perpustakaan itu untuk ditunjukkan. "Ini yang menyebabkan saya tadi agak kaget. Saya datang kemari untuk mencari salah satu keterangan dalam buku ini, dan ternyata sudah terletak di atas meja - seolah-olah sudah menunggu di situ."
"Wah - kalau begitu kebetulan sekali!" Miss Bennett membaca judul buku itu. "Sudah sejak bertahun-tahun tidak ada yang berminat pada buku ini, tapi kini dalam satu hari sekaligus ada dua orang yang ingin membacanya."
Menurut Bob, itu pasti bukan kebetulan saja.
"Saya rasa Anda tentu tidak ingat, siapa yang membacanya tadi," kata Bob setengah bertanya. "Kurasa tidak! Tadi begitu banyak pengunjung di sini, sehingga wajah-wajah mereka tak sempat kuperhatikan satu-satu."
Bob memeras otak. Siapakah yang paling mungkin membaca buku itu tadi? Akhirnya ia asal main tebak saja.
"Mungkinkah yang memintanya tadi seorang laki-laki berkumis hitam dan memakai kaca mata besar berbingkai bahan tanduk?" tanyanya. "Ukuran badannya biasa-biasa saja?"
"Nanti dulu -" Kening Miss Bennett berkerut. Kemudian ahli perpustakaan itu menyambung, "Ya, betul! Aku ingat lagi sekarang, setelah kau menyebutkan ciri-cirinya. Suaranya rendah dan agak parau. Tapi bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku mendengar tentang dia dari orang lain," kata Bob. "Jika tidak ada lagi tugas yang perlu kukerjakan -"
Ia bergegas menuju ke meja, karena Miss Bennett menjawabnya dengan gelengan kepala. Kumis Hitam muncul di situ! Itu berarti bahwa ia pun sedang menyelidiki.
Bob mulai membalik-balik halaman buku yang dipegangnya. Isinya penuh dengan uraian mengenai penemuan serta sejarah berbagai permata yang paling masyhur di dunia. Sesaat perhatiannya menyimpang, karena asyik membaca tentang intan Hope, yang sering menimbulkan kesialan bagi banyak orang. Namun akhirnya Bob menemukan keterangan yang dicari, dirangkum dalam bab dengan judul "Mata Berapi". Dengan segera remaja itu mulai membaca.
Ternyata yang dinamakan Mata Berapi ialah sebuah batu delima sebesar telur burung merpati, berwarna merah menyala. Tidak ada yang bisa mengatakan kapan permata itu ditemukan. Tapi orang di Cina, India, dan Tibet sudah mengenalnya sejak berabad-abad. Pemiliknya silih berganti. Ada raja, kaisar, ratu, dan juga saudagar kaya raya. Berkali-kali permata itu dicuri, dan sejumlah pemiliknya menjadi korban pembunuhan karenanya. Ada pula pemilik yang kemudian kalah perang, kehilangan harta, atau mengalami bencana lain. Paling sedikit lima belas orang tewas karena urusan yang bersangkut paut dengan Mata Berapi.
Namanya begitu karena bentuknya yang seperti mata. Nilainya tinggi sekali, tapi tidak semahal beberapa permata lain yang juga termasyhur. Hal itu disebabkan karena ada cacatnya, yaitu bagian dalamnya berongga.
Bab mengenai Mata Berapi berakhir dengan kalimat-kalimat berikut:
Ada sejumlah permata yang kelihatannya selalu membawa sial. Pemiliknya satu demi satu tewas. Jatuh sakit, atau mengalami kerugian parah. Permata-permata itu selalu diiringi tindakan kekerasan. Tidak ada pemiliknya yang dapat hidup aman. Intan Hope adalah satu di antaranya. Permata itu dikatakan selalu mendatangkan kesialan bagi pemiliknya. Akhirnya Intan Hope dihibahkan pada lembaga yang bernama "Smithsonian Institution " di Washington, D.C. Mata Berapi juga merupakan permata yang dikatakan membawa sial. Hanya sedikit di antara bekas pemiliknya yang lepas dari nasib sial. Akhirnya permata itu diserahkan sebagai tanda tobat oleh seorang maharaja India pada Candi Keadilan yang terdapat di Pleshiwar, sebuah desa pegunungan yang terpencil di India.
Candi Keadilan merupakan tempat keramat suatu suku pegunungan yang sedikit jumlahnya, tetapi fanatik dan galak. Mata Berapi dipasang di kening dewa yang dipuja di situ. Menurut kepercayaan penduduk setempat, permata itu mampu melihat dosa. Jika seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dihadapkan dan Mata Berapi nampak menyala, maka itu dianggap merupakan bukti bahwa tertuduh memang bersalah. Tetapi jika Mala Berapi kelihatan biasa, maka orang itu tidak berdosa.
Permata itu puluhan tahun yang lalu tiba-tiba lenyap secara misterius. Tidak diketahui di mana Mata Berapi kini berada, walau pengikut-pengikut Candi Keadilan tidak pernah mengendurkan usaha mereka untuk menemukannya kembali. Desas-desus mengatakan bahwa permata itu dijual oleh seorang petugas candi yang berbuat salah dan karenanya takut bahwa Mata Berapi akan membeberkan dosanya. Banyak yang beranggapan, permata sial itu kini
ikut terkubur entah di mana, bersama mayat orang yang membeli atau mencurinya. Menurut legenda kuno, apabila Mata Berapi tidak dilihat atau diraba orang selama lima puluh tahun, maka wujudnya akan menjadi murni dan takkan mendatangkan kesialan lagi, dengan syarat bahwa pemiliknya yang baru harus membeli, menemukan, atau menerimanya sebagai hadiah, dan bukan mencuri atau merampasnya dari orang lain.
Tetapi hanya sedikit pengumpul permata yang berani menanggung risiko kutukan yang menghinggapi batu permata itu sampai kini, walau batas waktu setengah abad sementara sudah hampir dilewati.
"Wow!" bisik Bob pada dirinya sendiri. Rupanya Mata Berapi itu batu delima yang sepantasnya memang harus dijauhi. Sekarang pun - walau waktu lima puluh tahun mungkin sudah berlalu, karena buku yang sedang dibaca itu diterbitkan beberapa tahun yang lalu - ia merasa lebih baik tidak berurusan dengan permata itu.
Sambil merenung, Bob mengembalikan buku itu. Lalu mengambil sebuah ensiklopedi untuk mencari keterangan mengenai Pleshiwar di situ. Ia menemukan tulisan singkat, dalam mana dikatakan bahwa penduduk Pleshiwar dan daerah pegunungan sekitar situ umumnya bertubuh jangkung dan gemar berperang. Mereka sangat ganas dalam peperangan dan sangat pendendam. Mereka tidak akan berhenti sebelum berhasil membalas dendam.
Bob meneguk ludah beberapa kali ketika membacanya Dicatatnya keterangan yang penting-penting mengenai Pleshiwar, begitu pula tentang Mata Berapi. Setelah itu ia berpikir sejenak, bagaimana jika keterangan itu langsung dilaporkan saat itu juga pada Jupiter lewat telepon? Tapi akhirnya ia tidak melakukannya, karena saat makan malam sudah hampir tiba. Lagi pula, Jupiter baru nanti akan membuka Hubungan Hantu ke Hantu.
Bob naik sepeda pulang setelah minta diri pada Miss Bennett. Sampai di rumah dilihatnya ibunya sedang menyiapkan makanan. Ayahnya membaca koran sambil mengisap pipa. Ia menoleh ketika anaknya masuk.
"Hai," sapa Mr. Andrews. "Kenapa tampangmu kelihatan merenung begitu? Seakan-akan sedang sibuk memikirkan problem yang besar sekali! Apakah ada lagi nuri hilang yang harus kalian cari - atau persoalan lain semacam itu?"
"Tidak, Yah," kata Bob. "Saat ini kami sedang mencari patung kepala Augustus dari Polandia yang lenyap. Ayah tahu siapa Augustus itu?"
"Wah, aku tidak tahu! Tapi ngomong-ngomong tentang Augustus, sekarang ini bulan Agustus. Kau tahu bagaimana asal-usul nama bulan itu?"
Bob tidak tahu. Ia sangat terkejut ketika ayahnya kemudian menceritakan. Dengan segera Bob menuju ke pesawat telepon dan memutar nomor pesawat di rumah keluarga Jones. Mrs. Jones yang menerima. Bob langsung minta bicara dengan Jupiter.
"Jupiter tidak ada, Bob," kata Bibi Mathilda. "Setengah jam yang lalu ia pergi bersama anak-anak yang lain. Mereka naik truk kecil, diantar oleh Hans. Katanya tadi, mereka harus ke Malibu."
"Saya akan segera ke situ, Mrs. Jones - saya tunggu sampai mereka kembali!" kata Bob terburu-buru. "Terima kasih!"
Cepat-cepat dikembalikannya gagang pesawat ke tempatnya, lalu beranjak hendak ke luar. Tapi ibunya sudah lebih dulu memanggil.
"Robert! Makanan sudah siap. Ayo, duduk dan makanlah dulu! Biar apa urusanmu yang kelihatannya begitu mendesak, tapi itu harus menunggu sampai kau selesai makan!"
Bob menurut sambil mengomel dalam hati. Urusan ini penting, perlu sekali diketahui oleh Jupiter! Tapi apa boleh buat - terpaksa menunggu sekitar satu jam lagi.
Saat itu Jupiter, Pete, dan Gus sedang berkeliaran dengan truk kecil yang dikemudikan oleh Hans. Mereka menelusuri jalan-jalan di daerah Malibu Beach, mencari tempat tinggal wanita yang bernama Mrs. Peterson. Akhirnya truk berhenti di depan sebuah rumah besar dan bagus, yang di depannya ada kebun luas dan terawat rapi.
Jupiter mendului berjalan ke rumah itu. Ia naik ke serambi depan yang beralas ubin lalu menghampiri pintu. Ditekannya bel yang ada di situ. Setelah menunggu beberapa saat, datang orang membukakan pintu.
"Saya dari Jones Salvage Yard - nama saya Jupiter Jones," kata Jupiter pada wanita berparas ramah yang muncul di ambang pintu. "Saya datang untuk mengambil kembali kedua patung gips yang Anda beli di tempat kami."
"Ya, betul - patung-patung itu ada di sana."
Wanita bergaun cerah itu mengajak anak-anak menuju ke balik rumah. Kedua patung itu memang ada di situ. Seperti dikatakan oleh Mrs. Peterson lewat telepon, telinga patung Augustus dari Polandia tinggal satu. Hidungnya sebagian hilang, sedang sisa kepalanya nampak rontok di sana-sini. Patung yang satu lagi, patung filsuf dan negarawan Inggris masa lampau, Francis Bacon, nampak masih utuh, walau penuh debu. Rupanya Mrs. Peterson belum sempat mengguyurnya dengar air.
"Apa boleh buat - aku terpaksa mengembalikan," kata wanita itu. "Soalnya, patung-patung ini ditawarkan sebagai hiasan taman. Sedang menurut suamiku, keduanya pasti cepat rusak apabila saban kali tersiram air."
"Ah - itu tidak apa-apa," kata Jupiter. Tidak diperlihatkannya kegembiraan karena berhasil menemukan patung Augustus. "Ini, saya kembalikan uang Anda - sedang kedua patung itu kami bawa lagi."
Jupiter menyerahkan uang sepuluh dollar yang didapatnya dari Bibi Mathilda. Setelah itu diangkatnya patung Augustus. Dengan napas agak mendengus-dengus karena membawa beban berat, ia menuju ke truk yang menunggu di depan pekarangan. Pete menyusul sambil membawa patung Francis Bacon. Dengan hati-hati keduanya meletakkan patung-patung itu di tempat duduk depan, diapit oleh Gus dan Hans. Jupiter dan Pete naik ke dalam truk, yang setelah itu berangkat kembali ke Rocky Beach.
"Wah! Menurut perkiraanmu, betulkah Mata Berapi ada di dalam patung Augustus?" tanya Pete bergairah, sementara truk meluncur terus.
"Kemungkinannya besar sekali," jawab Jupiter.
"Kalau begitu langsung saja kita pecahkan begitu kita sudah sampai," kata Pete.
"Kita harus menunggu Bob dulu," kata Jupiter mengingatkan. "Ia pasti kecewa jika kita memecahkan Augustus tanpa menunggu dia kembali."
Sementara itu Bob sudah menunggu mereka. Ia duduk di kantor, menemani Bibi Mathilda. Seperti biasanya hari Sabtu, perusahaan jual-beli barang bekas itu dibuka sampai agak malam, untuk memberi kesempatan bagi calon pembeli untuk melihat-lihat dengan santai. Biasanya cukup banyak peminat yang ada di situ, melihat-lihat berbagai barang aneh yang ada di tempat penimbunan. Tapi malam itu hanya beberapa orang laki-laki saja yang berkeliaran sambil melihat-lihat perkakas dan mesin-mesin usang.
Kemudian datang sebuah mobil sedan berwarna hitam. Seorang laki-laki turun, lalu menuju ke kantor. Bob kaget ketika melihatnya.
Laki-laki yang datang itu berperawakan sedang. Rambutnya hitam. Ia memakai kaca mata dengan bingkai dari bahan tanduk. Dan di bawah hidungnya melintang kumis besar berwarna hitam. Kumis Hitam! Ia muncul di sini, pikir Bob dengan gugup.
"Selamat malam," kata orang itu pada Mathilda Jones. Suaranya parau. "Saya tertarik pada patung-patung menarik dan artistik yang Anda pajang di sini." Ia berpaling, memandang patung yang dijejerkan di atas bangku di luar kantor "Hra - semua tokoh-tokoh terkenal. Masih ada lagi patung lainnya?"
"Hanya itu saja yang ada," kata Bibi Mathilda. "Dan ternyata tidak cocok untuk dijadikan hiasan taman! Saya baru mengetahui bahwa gips larut kalau basah. Dua yang saya jual saat ini sedang dijemput karena dikembalikan pembelinya. Sedang patung-patung lainnya, saya rasa pasti akan dikembalikan pula!"
Bibi Mathilda mengatakan hal itu dengan nada tidak enak. Mathilda Jones selalu merasa tidak senang apabila harus mengembalikan uang yang sudah diterima. Ia sebetulnya pemurah dan baik hati. Tapi ia juga pedagang, yang suka menarik keuntungan dari penjualan barang-barang aneh yang dibeli suaminya, Titus Jones.
"O, begitu?" Kumis Hitam kelihatan tertarik mendengarkan kata-kata Bibi Mathilda. "Jadi dua saat ini sudah dikembalikan, dan yang lain-lain mungkin menyusul. Saya ini pengumpul. Saya ingin membeli kelima patung ini dengan harga yang Anda tetapkan untuknya - masing-masing lima dollar. Tapi Anda harus berjanji menyimpankan patung-patung lainnya untuk saya apabila dikembalikan. Saya ingin membeli semuanya!"
"Betul?" Wajah Mathilda Jones cerah lagi begitu mendengar ucapan Kumis Hitam. "Tapi mungkin beberapa di antaranya agak rusak, karena basah ketika pembelinya hendak membersihkan dengan air."
"Itu tidak menjadi soal bagi saya. Apabila Anda berjanji akan menyimpankan semua yang kembali untuk saya, sekarang ini juga saya menyerahkan uang pembayaran untuk kedua patung yang saat ini sedang dijemput!"
"Beres," kata Bibi Mathilda dengan wajah berseri-seri. "Anda membeli patung-patung yang ada di sini, dan saya berjanji Anda akan mendapat semua yang kemudian akan dikembalikan pembeli. Yang dua lagi itu, sebentar lagi pasti sudah datang. Keponakanku tadi berangkat untuk mengambilnya."
"Bagus!" Kumis Hitam menyodorkan uang beberapa lembar. "Ini tiga puluh lima dollar sebagai pembayaran kelima patung yang ada di sini serta dua lagi yang sedang dijemput. Sekarang akan kumasukkan patung-patung indah dan artistik ini ke dalam mobilku."
Bob sangat gelisah. Ia mencari-cari akal untuk menghalang-halangi. Tapi disadarinya juga bahwa itu tidak mungkin! Bibi Mathilda baru saja menyelesaikan urusan jual-beli, dan wanita itu selalu membanggakan diri bahwa ia tidak pernah memungkiri janji! Padahal saat itu Jupiter berada dalam perjalanan pulang dengan membawa dua patung lagi. Dan satu di antaranya mungkin patung Augustus!
Kumis hitam pasti bisa menuntut agar barang itu diserahkan padanya, karena ia sudah membelinya secara sah.
"Kenapa kau, Bob?" tanya Bibi Mathilda sambil menatap remaja itu dengan pandangan menyelidik. "Kau kelihatannya gelisah sekali malam ini. Ada yang tidak beres?"
"Saya rasa -" Bob mengucapkan kata-kata itu dengan susah payah, "- saya rasa Gus, teman baru kami, ingin membeli salah satu patung ini, Mrs. Jones. Semuanya berasal dari rumah paman ayahnya dan - ya -"
"Sayang - kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi? Sekarang semua sudah diborong tuan itu. Nah - itu truknya sudah datang."
Truk yang dikemudikan Hans memasuki pekarangan dan berhenti di depan pintu kantor, sementara Kumis Hitam sudah selesai memasukkan kelima patung yang dibelinya tadi ke dalam mobil.
Jupiter dan Pete bergegas turun dari belakang truk, lalu cepat-cepat menuju ke kabin kendaraan itu. Dari dalamnya, Hans menyodorkan kedua patung gips yang ditaruh di situ. Pete menerima Francis Bacon, sedang Jupe merangkul Augustus dari Polandia. Keduanya tidak melihat bahwa Kumis Hitam ada di tempat itu. Mereka baru sadar ketika orang itu datang bergegas-gegas menghampiri mereka.
"Kedua patung itu milikku!" kata Kumis Hitam dengan nada membentak. Ia meraih patung Augustus yang digendong Jupiter, lalu memegangnya erat-erat.
"Ini milikku," katanya dengan kasar. "Dan aku harus memperolehnya. Ayo, lepaskan!"
Lanjut ke bagian 2