Trio Detektif - Misteri Mata Berapi(2)

Bagian 2

Bab 8
BERITA MENGEJUTKAN

Kumis Hitam bertarik-tarikan dengan Jupiter. Keduanya saling berebut patung Augustus dari Polandia. Kumis hitam berkeras menarik sambil berteriak-teriak marah.

"Lepaskan, kataku! Patung ini milikku. Aku tadi membelinya dan juga sudah kubayar!" "Berikan patung itu padanya, Jupiter!" seru Bib Mathilda dengan nada memerintah.
"Tapi patung ini sudah kujanjikan untuk Gus, teman baru kami," bantah Jupiter sambil tetap memeluk patung itu erat-erat.
"Sayang - tapi sudah terlambat," kata Bibi Mathilda. "Aku sudah menjualnya pada tuan itu." "Tapi patung ini sangat penting artinya bagi Gus!" kata Jupiter tersengal-sengal. "Bisa dibilang urusan hidup atau mati!"
"Puh!" dengus Bibi Mathilda. "Urusan hidup atau mati, karena sebuah patung tua dari gips? Kalian ini terlalu mengkhayal saja kerjanya! Ayo, serahkan sekarang juga patung itu pada pembelinya, Jupiter. Jones Salvage Yard tidak pernah membatalkan janji yang sudah diucapkan dalam bisnis."
"Ayo, kemarikan!" sergah Kumis Hitam. Ia menyentakkan tangannya dengan kuat untuk merebut patung. Tepat saat itu Jupiter melepaskannya, karena mematuhi perintah bibinya. Laki-laki berkumis hitam itu terhuyung-huyung ke belakang. Kakinya tersandung batu sehingga ia jatuh terjerembab ke tanah. Patung Augustus terlepas dari pegangannya dan langsung pecah berantakan karena terbentur dengan keras ke tanah.
Anak-anak memandang patung yang pecah sambil melongo.
Bibi Mathilda berdiri agak jauh dari tempat kejadian itu. Karenanya ia tidak melihat apa yang nampak dengan jelas bagi keempat remaja itu. Mereka melihat sebutir batu merah sebesar telur merpati di tengah serpih-serpih patung gips yang pecah!
Selama sesaat tidak seorang pun bergerak. Tapi kemudian Kumis Hitam cepat-cepat bangun. Ia mengambil batu merah kemilau itu dan memasukkannya ke dalam kantung. Setelah itu ia memandang ke arah Mrs. Jones.
"Ini salahku sendiri," katanya. "Sekarang jika kalian tidak keberatan, aku minta permisi saja. Patung-patung lainnya tidak kuperlukan lagi."
Sambil berkata begitu ia melompat masuk ke mobilnya. Orang itu dengan cepat pergi dari situ, sementara anak-anak hanya bisa memandang dengan bingung.
"Ia mengambilnya!" keluh Pete. "Mata Berapi jatuh ke tangannya!" Kemudian ia teringat pada pembicaraan mereka sebelum itu. "Tapi menurut kita tadi, sebetulnya sama sekali tidak ada orang berkumis hitam, karena itu cuma karangan Mr. Dwiggins belaka. Lalu sekarang-kenyataannya?"
"Ternyata kita keliru," kata Jupiter. Tampangnya lesu sekali. Sikapnya lemas.
"Si Kumis Hitam tadi juga datang ke perpustakaan," sela Bob. "Ia mencari keterangan mengenai Mata Berapi dalam salah satu buku yang ada di situ."
"Ini merupakan perkembangan yang sama sekali tak terduga sebelumnya," kata Jupiter lambat-lambat. "Begitu kita berhasil menemukan Mata Berapi, tahu-tahu sudah lenyap lagi. Maaf, Gus."
"Itu tadi bukan salahmu," kata anak Inggris itu dengan tabah. "Jadi janganlah kausalahkan dirimu."
"Aku begitu yakin bahwa Kumis Hitam sebenarnya tidak ada -" Ia tidak meneruskan perkataannya, karena terpotong oleh bibinya yang saat itu datang menghampiri.
"Nah, Jupiter - untung orang tadi mengaku salah," kata wanita itu sambil menganggukkan kepalanya ke arah pecahan-pecahan gips yang tadinya patung Augustus dari Polandia. "Yang salah sebetulnya memang dia, karena dia yang menjatuhkan. Tapi tidak selamanya orang mau mengaku bersalah. Pokoknya, soal itu tidak mengakibatkan apa-apa. Sekarang bereskan saja segala pecahan itu, lalu kaumasukkan ke tong sampah."
"Baiklah, Bi," kata Jupiter.
Bibi Mathilda memandang kejam dinding yang terpasang di atas pintu kantor.
"Sudah waktunya kita tutup," katanya. "Kecuali jika kalian hendak lebih lama lagi di sini."
"Ya, memang," jawab Jupiter. "Masih ada sesuatu yang perlu kami rundingkan."
"Kalau begitu kita biarkan saja pintu gerbang terbuka selama itu," kata Mrs. Jones. "Siapa tahu, mungkin masih ada calon pembeli datang. Kalau ada, kalian layani, ya?"
"Baik, Bi," kata Jupiter lagi. Bibi Mathilda meninggalkan tempat itu. Ia pergi ke rumah kecil bertingkat dua yang terletak di luar pagar kompleks penimbunan barang bekas. Di situlah ia tinggal bersama suaminya. Dan Jupiter, tentunya!
Kini keempat remaja itu sudah sendiri di tempat itu. Mereka memungut bongkah-bongkah pecahan patung Augustus dan membawanya ke sebuah meja. Di situ Jupiter meneliti bongkah-bongkah itu.
"Kalian lihat ini?" katanya sambil menunjuk suatu rongga berbentuk lonjong di tengah pecahan. "Di sinilah Mata Berapi selama ini disembunyikan!"
"Dan sekarang batu itu jatuh ke tangan Kumis Hitam!" keluh Bob. "Kita takkan bisa mendapatkannya kembali!"
"Kelihatannya memang begitu," kata Jupiter. Padahal ia jarang sekali mau mengakui kemungkinan akan kalah. "Tapi kita teliti saja segala kemungkinannya. Sekarang kita kembali dulu ke bengkel kita Di situ kauceritakan hasil penyelidikanmu, Bob."
Jupiter mengajak anak-anak yang lain ke tempat bengkel Trio Detektif yang terasing letaknya. Sesampai di situ mereka duduk di antara mesin cetak dan bangku bubut sambil mendengarkan Bob membacakan catatannya. Pete terbelalak ketika mendengar sejarah Mata Berapi yang bergelimang darah. Apalagi tentang orang Pleshiwar di India!
"Wah," kata remaja itu sambil menelan ludah, "tidak enak perasaanku mendengarnya! Jika Mata Berapi itu batu permata yang membawa sial, kurasa lebih baik kita jangan ikut campur dalam urusan mengenainya. Biar orang lain saja yang dikenai kesialan!"
"Tapi menurut legendanya jika Mata Berapi tidak dilihat dan disentuh siapa-siapa selama lima puluh tahun, permata itu akan menjadi murni. Tidak membawa kesialan lagi," kata Bob menjelaskan.
"Ya, betul," sambut Pete. "Tapi kau juga mengatakan, pengumpul permata kebanyakan tidak berani menanggung risiko walau masa lima puluh tahun sudah lewat."
"Sekarang aku dapat memahami alasan tindakan Kakek August," kata Gus dengan mata berkilat-kilat. "Ia menyembunyikan Mata Berapi dengan maksud menyimpannya selama lima puluh tahun. Lalu kalau sudah tidak membawa sial lagi, baru dijual. Tapi kemudian disadarinya bahwa ajalnya sudah dekat sebelum batas waktu dilampaui. Karenanya ia lantas mewariskannya padaku. Kurasa batu itu sekarang sudah aman."
"Mungkin saja - tapi sekarang ada di tangan Kumis Hitam," kata Jupiter. "Saat ini aku sama sekali tidak tahu bagaimana kita bisa merebutnya kembali."
"Hubungan Hantu ke Hantu!" kata Bob bergairah. "Akan kita minta beribu-ribu anak untuk membantu melacak jejak Kumis Hitam! Lalu jika kita sudah tahu di mana ia berada, kita akan - kita akan -" Bob terbata-bata, karena sadar bahwa ia tidak tahu tindakan apa yang bisa dilakukan saat itu.
"Nah - itulah," kata Jupiter sambil mengangguk. "Kita tidak bisa mengambilnya kembali dengan begitu saja! Lagi pula, coba kalian pikirkan berapa banyak laki-laki di kota ini yang berpenampilan seperti Kumis Hitam? Jadi, berperawakan sedang, berkumis hitam, dan memakai kaca mata? Beratus-ratus paling sedikit! Dan ini belum lagi dengan memperhitungkan kemungkinan yang kuduga, yaitu kumis itu palsu - yang dipakai sebagai samaran."
"Kalau begitu halnya, payah!" kata Gus beberapa saat kemudian memecah kesunyian yang menyusul kata-kata Jupiter tadi.
Setelah itu sunyi lagi. Bahkan Jupiter pun sekali itu kelihatannya kehabisan akal.
Tiba-tiba terdengar deringan nyaring.
"Itu bunyi bel," kata Bob. "Ada orang datang, Jupe."
"Kulihat sebentar - apa maunya," kata Jupiter sambil berdiri, lalu menuju ke kantor. Anak-anak yang lain mengikutinya. Dan begitu mereka keluar dari bengkel yang terlindung letaknya, mereka langsung melihat orang yang datang itu. Ia berdiri di samping mobilnya yang berwarna hitam dan berbentuk langsing. Orang itu memegang tongkat yang ditopangkannya ke tanah. Ia memandang berkeliling.
"Aduh! Tiga Bintik muncul lagi!" bisik Pete.
"Hatiku tidak enak," bisik Bob.
Tapi sementara itu Jupiter sudah berjalan mendatangi orang itu. Anak-anak yang lain menyusul dengan segan-segan. Mereka melihat bahwa Jupiter sudah mengubah penampilannya lagi. Berlagak seperti ketolol-tololan.
"Selamat malam, Anak-anak!" sapa Tiga Bintik. Ia tersenyum-tapi bukan senyuman ramah. "Aku baru saja melihat - itu!"
Dengan tongkatnya ia menuding patung Augustus dari Polandia yang pecah berantakan.
"Kelihatannya itu pecahan patung Augustus - patung yang ingin sekali kuperoleh! Kalau tidak salah, aku sudah meminta agar ditelepon jika patung itu dikembalikan!"
"Betul, Sir," jawab Jupiter. "Tapi sayang, kemudian pecah."
"Aneh - kenapa sampai bisa pecah, ya?" Tiga Bintik tersenyum lagi, tapi lebih mirip seringai harimau yang bersiap-siap hendak menelan seorang anak yang montok. "Perhatianku terutama tertarik melihat di tengah bongkah-bongkah pecahannya ada sebuah rongga kecil. Rupanya ada sesuatu yang tersembunyi dalam patung itu."
"Betul, Sir," kata Jupiter dengan suara tak bersemangat. "Patung itu tadi pecah, karena seorang pembeli menjatuhkannya. Orang itu kemudian memungut sesuatu - tapi entah apa, karena kami tidak bisa melihatnya dengan jelas."
Jupiter tidak berbohong. Mereka memang tidak melihat dengan jelas, walau di pihak lain merasa tahu pasti benda apa yang dipungut Kumis Hitam tadi.
"Pembeli itu, apakah ia seorang laki-laki berkumis hitam dan memakai kaca mata?" tanya Tiga Bintik dengan nada menyelidik. Jupiter mengangguk, sementara Pete, Bob, dan Gus berpandang-pandangan dengan sikap kaget.
"Dan -" kata laki-laki jangkung itu melanjutkan, "- mungkinkah benda yang dipungut orang itu wujudnya seperti ini?"
Tiba-tiba Tiga Bintik merogoh kantungnya, lalu mencampakkan suatu benda ke atas meja, di samping patung yang pecah. Benda itu tidak besar. Berbentuk lonjong seperti mata dan nampak kemilau berwarna merah. Mata Berapi!
Bahkan Jupiter pun terdengar agak gugup ketika menjawab. "Ya, Sir - kelihatannya memang seperti itu."
"Hmm." Sambil bertelekan pada tongkat Tiga Bintik menatap keempat remaja itu silih berganti. "Kalian tentunya sudah pernah mendengar tentang Mata Berapi. Kalian sudah mendengar tentang nasib buruk yang merundung siapa saja yang menyimpan permata itu."
Anak-anak diam saja, karena tidak tahu apa yang harus dikatakan. Tapi dalam hati mereka bertanya-tanya. Kenapa Mata Berapi ada di tangan Tiga Bintik sekarang? Padahal belum sampai sejam yang lalu Kumis Hitam pergi setelah berhasil menguasainya!
"Aku ingin menunjukkan sesuatu pada kalian." Tiga Bintik mengangkat tongkatnya. Ia menggerakkan tangan sehingga gagang tongkat itu berputar. Seketika itu juga dari ujung tongkat tersembul mata pedang. Tiga Bintik memandang senjata tajam itu dengan sikap tidak puas.
"Ceroboh," katanya seperti pada diri sendiri. "Kurang teliti kubersihkan tadi."
Ia mengambil selembar kertas pembersih dari kantungnya, lalu mengelap mata pedang dengannya. Kertas pembersih yang semula pulih itu nampak memerah. Ada cairan merah menempel di situ. Merah dan lengket!
"Darah bisa merusak baja yang baik buatannya," kata laki-laki itu, sementara anak-anak hanya bisa merinding saja. "Walau begitu -"
Tiga Bintik menyentuhkan ujung pedangnya yang tajam ke Mata Berapi yang masih terletak di meja, lalu menggoresnya dengan gerakan cepat. Setelah itu dipungutnya permata itu dan disodorkannya pada Jupiter. "Coba kauperiksa, lalu katakan padaku apa yang kaulihat," katanya.
Jupiter mengangkat benda itu. Ia agak mendongak supaya bisa lebih jelas memperhatikan. Anak-anak lainnya ikut mengerubungi. Sesaat mereka tidak melihat sesuatu yang istimewa. Tapi kemudian Bob melihatnya, bersamaan dengan Jupiter. Ternyata irisan ujung pedang tadi menimbulkan goresan halus pada permukaan Mata Berapi!
"Batu delima ini tergores," kata Jupiter. "Aku tidak mengerti - batu delima seharusnya kan lebih keras daripada baja. Pedang tadi tidak mungkin bisa menimbulkan goresan begini pada permukaannya!"
"Ah!" Tiga Bintik terdengar puas. "Ternyata kau tidak setolol sikap yang kaupamerkan! Dari semula aku sudah menduga bahwa kau sebenarnya tidak bodoh. Aku bahkan yakin, kau ini remaja yang sangat cerdas." Sementara Jupiter menggigil bibir karena telah membuka rahasia sendiri, orang itu melanjutkan. "Sekarang - katakan padaku arti goresan itu."
Jupiter membisu selama beberapa saat. Ia mengamat-amati benda kemilau merah itu.
"Benda ini bisa tergores, karena bukan batu delima asli," katanya kemudian. "Ini delima imitasi, terbuat dari gelas."
"Tepat!" Nada suara Tiga Bintik terdengar tajam mengiris. "Ini delima imitasi yang kuambil dan tuan yang berkumis hitam. Mata Berapi yang asli masih harus ditemukan. Karena disembunyikan dalam patung Augustus, maka mestinya masih ada satu Augustus lain dalam kelompok yang sudah dijual. Aku mengandalkan pada kalian untuk menemukannya bagiku."
Tiga Bintik berhenti sebentar. Ditatapnya anak-anak itu satu demi satu.
"Kalian semua kuperintahkan mencari Augustus yang satu lagi untukku!" katanya. "Kalau tidak - ah, aku tidak suka mengancam. Kurasa kalian sudah mengerti sendiri. Telepon aku begitu kalian sudah berhasil menemukan tempatnya."
Laki-laki itu masuk ke mobilnya. Sesaat kemudian ia sudah tidak ada lagi di situ, meninggalkan keempat remaja yang saling berpandang-pandangan dengan cemas.
"Dia - dia - Kumis Hitam tadi pasti dibunuh olehnya, sehingga delima palsu itu bisa jatuh ke tangannya," kata Pete. "Bagaimana ia bisa begitu cepat mengetahui bahwa Mata Berapi ada di tangan Kumis Hitam?"
"Semakin banyak teka-teki yang terlibat dalam perkara ini," kata Jupiter. "Apa sebabnya Mr. August menyembunyikan batu delima tiruan dalam patung Augustus dari Polandia? Apakah ia selama ini tertipu - menyangka batu itu Mata Berapi yang asli? Atau dia sengaja melakukannya supaya orang-orang yang mencari tertipu? Jika begitu halnya, apakah ia menyembunyikan delima yang asli di patung lain? Soalnya, kita tahu bahwa patung Augustus hanya satu ini, dan -"
"Justru itulah yang hendak kukatakan tadi!" potong Bob. "Masih ada lagi patung Augustus yang lain!"
Anak-anak memandangnya dengan heran. Mata Jupiter terkejap beberapa kali.
"Aku baru teringat lagi - tadi sewaktu makan malam di rumah, ayahku menceritakan padaku!" kata Bob. "Memang ada satu patung Augustus lagi. Tepatnya, patung Octavianus, kaisar Romawi! Ia juga bernama Augustus. Ketika paman ayah Gus menulis, 'dalam Agustus terletak kemujuranmu', yang dimaksudkannya patung Octavianus. Soalnya, bulan Agustus dinamakan menurut namanya! Patung Octavianus-lah yang seharusnya kita cari!"

Bab 9
HANTU DENGAN KABAR PENTING

"Menurutku, lebih baik kita lupakan saja urusan Mata Berapi!" kata Pete dengan tandas. "Kabarnya paling sedikit lima belas orang yang sudah tewas karenanya, dan aku tidak ingin angka itu berubah menjadi lima belas tambah empat anak remaja!"
"Pete benar," kata Gus. "Aku tidak yakin apakah aku masih ingin memiliki Mata Berapi - katakanlah jika kita nanti benar-benar berhasil menemukannya. Kelihatannya tidak aman memilikinya!"
"Lihat saja apa yang terjadi dengan Kumis Hitam!" kata Pete mendesak. "Padahal tidak sampai satu jam benda itu berada di tangannya. Lalu - zzzt! Habis riwayatnya di ujung pedang!"
Bob tidak mengatakan apa-apa. Ia memperhatikan Jupe. Dan Jupiter memamerkan tampang keras kepala!
"Mata Berapi saat ini kan belum ada pada kita," katanya. "Jadi menurutku, kita tidak terancam bahaya. Setidak-tidaknya, belum!"
"Sebaiknya kita adakan pemungutan suara," kata Pete menyarankan. "Aku mengusulkan, kita lepaskan kasus ini! Yang setuju dengan usulku itu, bilang ya!"
"Ya! Ya! Ya!" Ucapan setuju itu terdengar beberapa kali. Tapi bukan anak-anak yang mengucapkannya, melainkan Blackbeard, burung nuri yang pandai bicara. Burung itu berayun-ayun dalam kandangnya, yang digantungkan di atas meja di kantor Trio Detektif.
Kecuali Blackbeard, ternyata tidak ada yang mendukung usul Pete. Gus tidak memberikan suara, karena ia orang luar. Sedang Bob diam saja, karena ia percaya pada kemampuan Jupiter. Di samping itu Jupiter sulit sekali bisa dikalahkan dengan pemungutan suara. Dan Bob tahu, teman itu ingin meneruskan penyelidikan.
"Orang mati tidak mengoceh!" Blackbeard yang meneriakkan kata-kata itu, lalu tertawa menjerit-jerit.
"Diam!" bentak Pete kesal. Ia berpaling pada Jupiter. "Baiklah - sekarang bagaimana? Apakah tidak lebih baik jika kita menelepon polisi saja sekarang, untuk melaporkan kejadian yang menimpa Kumis Hitam?"
"Kita tidak mempunyai bukti apa-apa," jawab Jupiter. "Tanpa bukti, polisi takkan mau percaya! Tapi tentu saja kita akan segera melaporkan, apabila tubuh Kumis Hitam sudah ditemukan. Sekarang ini, hanya ada satu kemungkinan tindakan yang bisa kita lakukan. Kita harus berusaha menemukan patung Octavianus - dan satu-satunya jalan yang ada ialah melalui Hubungan Hantu ke Hantu. Sekarang sudah lewat pukul tujuh, jadi teman-teman kita kebanyakan sudah ada di rumah. Sebaiknya kita sekarang saja membuka hubungan."
Setelah hal itu diputuskan, mereka tidak membuang-buang waktu lagi dengan pembicaraan lebih lanjut. Jupiter menelepon lima orang kawannya. Pada mereka ia meminta agar meneleponnya besok pagi setelah pukul sepuluh, apabila mereka berhasil mengetahui tempat patung Octavianus. Setelah itu Bob dan Pete masing-masing juga menelepon lima kawan mereka. Setelah selesai membuka hubungan, mereka tahu bahwa kelima belas kawan yang baru saja dihubungi masing-masing pasti akan menelepon lima kawan pula. Dan kawan-kawan itu masing-masing menelepon lima kenalan lagi, dan begitu seterusnya sehingga akhirnya tercapai beratus-ratus atau bahkan ribuan remaja yang tinggal di daerah Rocky Beach, Hollywood, dan juga Los Angeles!
Trio Detektif sudah pernah memanfaatkan Hubungan Hantu ke Hantu dengan berhasil. Karena itu anak-anak yang dihubungi sebagian besar sudah mengetahui apa yang harus mereka kerjakan. Mereka senang sekali ikut membantu penyelidikan itu, walau tidak kenal siapa Jupiter, Pete, atau Bob.
Kemudian Jupiter mengajak Gus menginap, supaya tidak perlu repot-repot kembali ke hotelnya di Hollywood. Gus menerima ajakannya. Sedang Pete dan Bob pulang naik sepeda ke rumah masing-masing. Untuk sebagian perjalanan mereka masih seiring.
"Menurutmu, akan bisakah kita menemukan patung Octavianus itu?" tanya Pete sambil bersepeda.
"Kalau kita tidak berhasil, kapan-kapan pasti akan ada orang tercengang," jawab Bob. "Maksudku, jika patung itu diletakkan di taman lalu gipsnya pelan-pelan luluh karena pengaruh cuaca, tahu-tahu suatu pagi pemiliknya akan melihat patung itu sudah menjelma menjadi permata yang mahal!"
"Atau jika dipajang dalam rumah, ada kemungkinan pemiliknya kemudian bosan. Patung itu dibuang begitu saja ke tempat sampah," kata Pete menimpali.
Keduanya kemudian berpisah, menuju ke rumah masing-masing. Ketika Bob masuk ke rumah, dilihatnya ayahnya sedang menatap pesawat telepon dengan sikap jengkel.
"Sudah setengah jam aku berusaha menghubungi kantor koranku," kata Mr. Andrews, begitu dilihatnya Bob datang. "Tapi entah karena apa, selama itu semua hubungan telepon ke luar dari Rocky Beach terus-menerus sibuk! Kedengarannya mustahil, tapi begitulah kenyataannya."
Bob mengetahui sebabnya. Tapi ia diam saja. Ia merasa lebih baik tidak mengatakan bahwa saat itu sedang berlangsung Hubungan Hantu ke Hantu. Dan saban kali hubungan itu berjalan, pemakaian pesawat telepon langsung meningkat kekerapannya.
Bob masuk ke tempat tidur. Tapi ia tidak bisa segera tertidur. Setelah lelap, ia bermimpi tentang orang-orang suku pribumi India yang naik kuda, semua mengacung-acungkan tongkat yang sebenarnya pedang.
Ketika ia bangun keesokan paginya, matahari sudah tinggi. Tercium olehnya bau daging yang sedang digoreng di dapur, di tingkat bawah. Bob cepat-cepat berpakaian, lalu bergegas menuruni tangga ke bawah. Ketika masuk ke dapur, dilihatnya ibunya ada di situ.
"Pagi, Bu!" sapanya. "Ada pesan untukku tadi dari Jupe?"
"Sebentar, harus kuingat-ingat dulu...." Ibunya pura-pura berpikir, dengan jari tertempel ke dagu. "O ya, ada! Kurasa bunyinya begini, 'Sapi melangkahi bulan dan cangkir lari dengan pinggan'. Betul begitu?"
Kening Bob berkerut. Pesan seperti itu lain sekali dengan kata-kata sandi yang telah mereka sepakatkan. Saat itu Bob baru melihat bahwa ibunya tersenyum. Ia langsung sadar bahwa ibunya mempermainkannya. "Ah, Ibu ini ada-ada saja," katanya. "Bagaimana pesannya yang sebenarnya?"
"Setelah kupikir lebih teliti," kata Mrs. Andrews, "ia tadi mengatakan, 'Cepat tapi selamat, seorang harus menjaga alamat'. Ya, betul begitu! Tidak bisakah kalian saling meninggalkan kabar dengan bahasa yang biasa, Robert?" Lalu wanita itu menambahkan, "Tidak, kurasa dengan cara kalian itu lebih asyik tentunya! Aku tidak menanyakan arti pesan itu, tapi aku berperasaan bahwa kalian sudah sibuk lagi dengan kasus baru."
"Betul, Bu," kata Bob sambil lalu. Ia duduk di meja tempat sarapan pagi. Direnungkannya pesan Jupiter. 'Cepat tapi selamat', artinya ia harus cepat datang ke Markas Besar, tapi tidak usah tergesa-gesa. Sedang 'Seorang harus menjaga alamat' berarti bahwa Jupiter memerlukan dirinya untuk menjaga telepon di Markas Besar, karena Jupiter sendiri pergi. Tapi pergi ke mana?
"Cuma itu saja yang bisa kaukatakan, Robert?" tanya ibunya sambil meletakkan piring berisi roti panggang dengan telur mata sapi serta daging goreng di depan Bob. "Cuma. 'Betul, Bu', saja?"
"Wah, maaf," kata Bob, yang merasa pikirannya terganggu. "Maksudku, ya, kami sibuk dengan suatu persoalan. Kami mencari patung seorang kaisar Romawi bernama Octavianus yang keliru terjual. Patung itu milik seorang anak Inggris bernama Gus. Sekarang kami sedang berusaha menemukannya kembali."
"O, begitu," kata ibunya. "Tapi sekarang habiskan dulu sarapanmu! Sebuah patung takkan bisa lari. Itu salah satu kebajikan patung - selalu berada di tempatnya."
Bob diam saja. Padahal ia bisa mengatakan bahwa patung yang satu itu lain dari yang lain, karena saban kali lenyap. Bob buru-buru menghabiskan hidangan sarapannya. Setelah itu ia bergegas berangkat ke tempat Jupiter. Sesampai di Jones Salvage Yard dijumpainya Mrs. Jones sedang di kantor, sementara Hans dan Konrad sibuk membereskan barang-barang di luar.
"Selamat pagi, Bob," kata Bibi Mathilda menyapanya. "Anak-anak sudah pergi setengah jam yang lalu - Jupiter, Pete, serta teman mereka yang anak Inggris. Jupiter meninggalkan pesan untukmu, katanya di tempat mesin-mesinnya. "
Bob cepat-cepat pergi ke tempat bengkel. Di situ dilihatnya secarik kertas yang ditaruh di atas mesin cetak. Ia mengambil kertas itu, yang ternyata memang surat dari Jupiter. Bob.
Jaga lonceng. Kami mengadakan ekspedisi pelacakan. J. Jones, Penyelidik Pertama.
"Jaga lonceng" berarti ia harus berada dekat pesawat telepon, untuk siap menerima kabar dari salah satu "Hantu" yang mungkin menelepon nanti. Tapi ke mana ketiga kawannya itu pergi untuk mengadakan pelacakan? Bob berpikir-pikir sambil merangkak masuk ke Markas Besar lewat Lorong Dua.
Saat ia sedang mengangkat tingkap untuk masuk, didengarnya bunyi dering pesawat telepon di dalam. Menurut arlojinya, waktunya baru pukul sepuluh kurang lima. Rupanya ada "Hantu" yang tidak sabar lagi menunggu pukul sepuluh. Bob cepat-cepat merangkak naik untuk memasuki ruangan kantor, lalu menyambar pesawat telepon yang terletak di atas meja.
"Ya, Trio Detektif - di sini Bob Andrews," katanya dengan napas agak memburu karena bergegas tadi.
"Halo," kata yang menelepon. Rupanya anak laki-laki. "Di sini Tommy Farrell. Aku tahu sesuatu yang mungkin ada gunanya untuk kalian. Kakakku yang sudah kawin membeli sebuah patung di Jones Salvage Yard. Patung itu sekarang ditaruh di kebun."
"Namanya siapa? Kan tertulis di dasar patung itu!" kata Bob penuh semangat. "Octavianus atau bukan?"
"Wah, aku tidak ingat. Sebentar, akan kulihat dulu."
Bob menunggu dengan hati berdebar-debar. Betulkah Hubungan Hantu ke Hantu secepat itu sudah membawa hasil? Jika kakak Tommy Farrell yang sudah menikah ternyata benar memiliki patung Octavianus - Saat itu suara anak laki-laki tadi terdengar lagi.
"Tidak, bukan Octavianus," katanya. "Di dasarnya tertulis nama Bismarck. Ada gunanya atau tidak?" "Terima kasih banyak, Tommy," kata Bob dengan kecewa. "Kami hanya mencari Octavianus - tapi walau begitu terima kasih atas bantuanmu!" "Oke."
Bob mengembalikan gagang pesawat ke tempatnya. Sambil menunggu telepon berdering lagi, ia mulai mengetik seluruh catatan yang dibuatnya sampai saat itu tentang kasus Mata Berapi. Ketika ia selesai mengetik, diliriknya arloji tangannya. Ternyata sudah hampir pukul dua belas! Selama itu telepon sama sekali tidak berdering. Kelihatannya Hubungan Hantu ke Hantu sekali itu tidak membawa hasil.
"Bob! Bob Andrews!"
Suara Bibi Mathilda yang lantang masuk ke ruangan itu lewat tingkap atas yang terbuka. "Jupiter belum kembali - tapi sekarang sudah saatnya makan siang. Ayo, makan saja dulu!"
"Baik, saya datang!" jawab Bob lewat mikrofon. Ia sudah membuka tingkap di lantai untuk keluar lewat Lorong Dua ketika tiba-tiba telepon berdering. Bob naik lagi cepat-cepat.
"Halo! Trio Detektif - di sini Bob Andrews!"
"Kalian ingin mendapat keterangan tentang sebuah patung Octavianus," kata yang menelepon, seorang anak perempuan. "Ibuku memilikinya. Mula-mula ditaruhnya dalam kebun. Tapi kemudian dikatakannya bahwa patung itu tidak cocok di tempat itu. Kata ibuku, ia hendak menghadiahkannya pada salah seorang tetangga."
"Tolong cegah ibumu menghadiahkannya pada orang lain!" seru Bob kaget. "Semboyan kami, 'Setiap pembeli harus merasa puas'! Kami akan sesegera mungkin ke rumah kalian, untuk mengembalikan uang yang dibayar ibumu ketika ia membeli patung itu. Kami juga akan membawa patung lain, kalau-kalau ibumu menilai patung itu lebih cocok."
Dicatatnya nama dan alamat ibu anak yang menelepon itu, yang letaknya di Hollywood. Jadi, agak jauh juga. Selesai menelepon diliriknya kembali arloji dengan perasaan gelisah.
Kenapa Jupiter belum kembali juga? Kini patung Octavianus sudah ditemukan - tapi jika mereka tidak cepat-cepat bertindak, mungkin nanti lenyap lagi!

Bab 10
TERJEBAK!

Pete berjalan paling depan, ketika dengan napas agak memburu ketiga remaja itu mendorong sepeda masing-masing mendaki suatu tanjakan, lalu memasuki bagian yang terbuka dari ngarai yang bernama Dial Canyon.
Ngarai itu sempit. Letaknya tinggi di tengah bukit-bukit sebelah barat laut Hollywood. Jalan masuk ke situ hanya ada satu. Jalan itu tidak beraspal dan berakhir di bagian ngarai yang datar. Di situ letak rumah almarhum Horatio August, di suatu lapangan yang ditumbuhi rumput panjang tak terawat.
Jupiter yang mengajak kedua temannya mendatangi rumah itu. Ia sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang hendak dicari di situ. Tapi menurut pendapatnya, mereka perlu melihat rumah di mana paman ayah Gus tinggal semasa hidupnya.
Ternyata perjalanan menyusur daerah perbukitan itu memakan waktu lebih lama daripada perkiraan mereka semula. Saat itu sudah hampir tengah hari. Matahari sudah berada di atas kepala, memancarkan sinarnya yang terik. Ketiga remaja itu berhenti sebentar. Sambil mengusap keringat yang membasahi muka, mereka memandang ke arah rumah mendiang Horatio August yang kini kosong.
Rumah itu bertingkat tiga, terbuat dengan konstruksi kayu dan plesteran. Kelihatannya sangat gagah, tegak terpencil di tengah lapangan terbuka. Tidak nampak tanda-tanda kehidupan di situ. Ketiga remaja itu bersepeda sampai ke dekat pintu depan. Mereka menghampiri rumah itu, sementara sepeda mereka ditinggal begitu saja di rumput.
"Kita tidak membawa anak kunci, tapi mestinya kita bisa masuk dengan cara lain," kata Pete. "Kita kan sudah diijinkan Mr. Dwiggins."
"Bagaimana kalau dengan jalan membongkar salah satu jendela?" kata Gus mengajukan usul.
"Kalau bisa, lebih baik kita jangan sampai merusak," kata Jupiter, "walau rumah ini sebentar lagi akan dibongkar. Aku punya kumpulan anak kunci." Sambil berkata begitu, dikeluarkannya berkas anak kunci hasil pengumpulannya selama bertahun-tahun di tempat penimbunan barang bekas. "Coba kita lihat saja, barangkali ada yang cocok! Kalau tidak ada, baru kita coba cara lain."
Mereka menaiki ketiga jenjang yang terdapat di depan pintu. Pete mencoba memutar pegangan pintu. Ia tidak mengira bahwa pintu bisa langsung terbuka.
"Wah! Memang terbuka!" katanya heran. "Bahkan digerendel pun tidak!"
"Aneh," kata Jupiter sambil mengerutkan kening.
"Mungkin Mr. Dwiggins membiarkannya tidak terkunci sewaktu datang ke sini terakhir kalinya," kata Pete menduga. "Atau bisa juga orang lain yang melakukannya. Tapi masa bodoh - siapalah yang mau iseng, memasuki rumah kosong!"
Ketiga remaja itu melangkah ke ruang masuk yang gelap. Di kiri-kanannya ada dua ruangan yang besar-besar. Keduanya kosong. Tidak ada apa-apa di situ kecuali beberapa lembar kertas yang terserak di lantai. Dan debu, tentunya!
Jupiter memasuki ruangan yang menurut dugaannya pasti dulu ruangan duduk. Di situ ia memandang berkeliling. Tapi tidak banyak yang bisa dilihat di situ. Satu potong perabot pun tidak ada lagi, karena semua sudah dijual. Dinding kamar itu berlapis papan berwarna gelap. Walau dilapisi debu, tapi kayunya masih nampak mengkilat. Rupanya kayu bermutu!
Karena merasa tidak ada yang bisa dilihat di situ, Jupiter memasuki ruangan yang terletak di seberang. Kamar itu rupanya dulu ruang perpustakaan, dilihat dari lemari-lemari tinggi tempat buku yang merupakan bagian dari ketiga dindingnya. Tapi yang nampak di situ kini hanya debu semata-mata. Jupiter tegak di tengah ruangan sambil memandang lemari buku yang berjejer-jejer di sekelilingnya.
"Ah!" katanya, setelah menatap agak lama ke suatu arah.
"Apa maksudmu, 'ah'?" tanya Pete heran. "Aku tidak melihat apa-apa yang bisa di-'ah'-kan!" "Kalau ingin menjadi penyelidik jempolan, kau perlu melatih kemampuan pengamatanmu," kata Jupiter. "Sekarang perhatikan rak buku yang letaknya tepat di depanku." Pete menatap dengan tekun, sampai melotot matanya. "Aku tidak melihat apa-apa di situ kecuali debu," katanya kemudian.
"Lemari itu menonjol sedikit ke luar, dibandingkan dengan rak di kiri-kanannya. Itu penting sekali bagiku."
Jupiter menghampiri lemari yang tepat di depannya. Ia menarik pinggirnya. Dengan pelan lemari itu bergerak menyamping seperti pintu. Dan di belakangnya nampak lubang sempit, berbentuk persegi panjang.
"Ruang rahasia di belakang lemari buku!" kata Jupiter. "Tadi rak yang merupakan pintu luarnya tidak tertutup rapat."
"Wow!" kata Pete. "Jadi kita berhasil menemukan sesuatu!"
"Sayang kita tadi tidak membawa senter," kata Jupiter. "Aku kurang cermat menyiapkan diri. Pete! Coba tolong ambilkan lampu sepedamu, kan itu bekerja dengan tenaga baterai." Dengan cepat Pete sudah kembali, membawa lampu sepeda.
"Tentunya kau ingin paling dulu masuk," katanya sambil menyerahkan lampu sepedanya pada Jupiter.
"Takkan ada apa-apa yang berbahaya di dalam situ," kata Jupiter. "Rumah ini kan sudah lama kosong."
Pete tidak begitu yakin mengenainya. Sebelumnya mereka ketika melakukan penyelidikan sudah beberapa kali menjumpai kamar rahasia, dan dalam satu di antaranya ditemukan kerangka manusia! Tapi sementara itu Jupiter sudah menyalakan lampu sepeda yang terang sinarnya, lalu masuk ke dalam ruang sempit yang terdapat di balik lemari buku. Mau tidak mau Pete menyusul ke dalam, bersama Gus.
Tidak ada kerangka manusia di situ. Di dalam ruangan itu tidak ada apa-apa. Kosong melompong. Kalau melihat rak-rak yang berjejer sepanjang dinding, mestinya itu dulu tempat penyimpanan buku. Tapi sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi di situ.
"Tidak ada apa-apa," kata Pete kecewa.
"Tidak?" tanya Jupiter. Sekali lagi Pete memandang berkeliling kamar sempit itu. "Aku tidak melihat apa-apa," katanya.
"Itu karena kau keliru mencari," kata Jupiter. "Benda yang kaulihat begitu biasa, sampai kau tidak sadar bahwa itu sebetulnya luar biasa."
Pete mengejap-ngejapkan mata, lalu memandang lagi. Masih saja ia tidak melihat apa-apa.
"Sudahlah, katakan saja," ucapnya kesal. "Apa sih yang begitu luar biasa tapi biasa, sehingga aku tidak melihatnya?"
"Yang dimaksudkannya pintu itu," kata Gus. Sekarang barulah Pete melihatnya pula. Sebuah pegangan pintu yang biasa saja, serta batas-batas ambang pintu di dinding. Pintu itu sama sekali tidak tersembunyi wujudnya. Pete tadi tidak melihatnya karena setiap kamar selalu ada pintunya, dan karenanya Pete tidak langsung menyadari adanya pintu dalam ruangan sempit itu.
Sementara itu Jupiter sudah memutar tombol yang merupakan pegangan. Pintu yang sempit itu terbuka dengan mudah. Berkat sinar lampu sepeda yang terang, ketiga remaja itu melihat bahwa di belakangnya ada tangga kayu yang mengarah ke bawah.
"Kelihatannya tangga ini menuju ke ruangan gudang bawah tanah," kata Jupiter. "Kita masuk saja ke bawah. Aku ingin tahu, kita sampai di mana nanti."
"Kalau begitu biarkan pintu-pintu ini terbuka," desak Pete. "Aku tidak suka berada dalam ruangan asing yang pintunya ditutup."
Jupiter tidak menunggu lama-lama lagi. Ia sudah menuruni tangga, diikuti kedua temannya. Dinding di kiri-kanan tangga itu rapat sekali letaknya, sehingga bahu ketiga remaja itu menyenggol papan.
Jupiter berhenti ketika sudah sampai di dasar tangga. Di depannya ada lagi sebuah pintu yang tertutup. Tapi ternyata bisa dibuka dengan gampang, ke arah luar. Anak-anak kini memasuki suatu ruangan sempit berdinding batu. Udara di situ sejuk dan lembab.
"Kita berada dalam gudang bawah tanah," kata Jupiter. Disorotkannya sinar lampu yang dipegangnya ke sekeliling ruangan. Di sepanjang dinding nampak rak-rak dengan alas terletak miring. Aneh! Baik Jupiter maupun Pete tidak mengenal rak semacam itu. Tapi Gus mengetahui kegunaannya.
"Ini gudang tempat menyimpan anggur," katanya. "Rak-rak itu tempat meletakkan botol-botol berisi anggur. Lihatlah - itu ada satu botol pecah. Ini gudang tempat Kakek Horatio menyimpan persediaan anggurnya."
Tiba-tiba sikap Jupiter menegang. Cepat-cepat dipadamkannya lampu yang ada di tangannya sehingga ruangan itu gelap gulita.
"Ada apa, Jupe?" tanya Pete berbisik.
"Ssst! Ada orang datang. Itu, lihat!"
Dari balik pintu yang menuju ke ruang-ruang bawah tanah selanjutnya, nampak jalur sinar terang. Anak-anak mendengar suara orang berbicara dengan pelan.
"Cepat - kita pergi dari sini!" desis Pete sambil menarik pegangan pintu. Tapi ia terlalu terburu-buru. Tombol yang ditariknya terlepas dari pintu. Sementara suara dan sinar terang tadi semakin mendekat, tangan Pete menggapai-gapai tanpa menemukan pegangan lagi.
Mereka terjebak dalam gudang anggur!

Bab 11
"KAMI TAHU KALIAN ADA DI DALAM!"

Suara-suara itu kian mendekat. Kini terdengar langkah orang di balik pintu ruangan. Sinar terang yang kelihatannya berasal dari sebuah senter menerangi kegelapan di luar.
"Kita sudah memeriksa gudang anggur," kata seseorang bersuara berat. "Jadi tak ada gunanya masuk ke situ."
"Seluruh rumah ini sudah kita geledah," kata seorang lagi, yang bersuara kasar. "Di bawah tanah sini saja sudah lebih dari setengah jam! Jika kau sengaja tidak mau membuka rahasia, Jackson -"
"Tidak, saya sama sekali tidak berniat begitu!" Orang yang mengatakannya dengan nada ketakutan itu bersuara tinggi. Suara orang yang sudah tua. "Jika ada dalam rumah ini, pasti kita sudah tadi-tadi menemukannya. Sungguh, di sini tidak ada tempat rahasia. Kalau ada, pasti saya tahu. Saya kan pelayan Mr. Weston - maksud saya. Mr. August
- selama dua puluh tahun!"
Walau tempat mereka gelap, namun Pete merasa bahwa Jupiter pasti kaget. Jackson! Menurut Mr. Dwiggins, satu-satunya pelayan Kakek August adalah sepasang suami-istri bernama Jackson.
"Mudah-mudahan kau tahu pasti, Jackson," kata laki-laki pertama, yang bersuara berat. "Ini bukan urusan kecil, tapi menyangkut benda yang sangat berharga! Kau pasti akan mendapat bagian jika kami sudah berhasil mendapat Mata itu!"
"Saya sudah mengatakan segala yang saya ketahui. Sungguh!" kata laki-laki tua yang bernama Jackson dengan suara mengiba-iba. "Ia pasti menyembunyikannya di salah satu tempat ketika saya dan Agnes sedang tidak ada. Menjelang ajalnya, saya merasa tidak begitu dipercayai lagi olehnya - walau kami setia bekerja di sini selama bertahun-tahun. Kelakuannya saat itu menjadi agak aneh, seolah-olah merasa dirinya diintip terus."
"Ternyata ia cerdik, tidak mau mempercayai siapa pun juga! Tidak mengherankan, jika diingat bahwa ia menyembunyikan Mata yang begitu berharga," kata laki-laki yang bersuara kasar. "Aku ingin tahu apa maunya, menyembunyikan batu delima tiruan itu dalam patung kepala Augustus!"
Ketiga remaja yang bersembunyi dalam gudang anggur mendengarkan pembicaraan itu dengan penuh minat, sampai melupakan situasi mereka sendiri yang tidak bisa dibilang aman. Ketiganya mendengarkan sambil berpikir. Jika orang-orang di luar itu tahu tentang Mata Berapi palsu, itu berarti mereka termasuk kawanan Kumis Hitam - atau kaki-tangan Tiga Bintik! Kata-kata yang kemudian terdengar menjelaskan siapa mereka sebenarnya.
"Kasihan Hugo! Nasibnya pasti tidak enak, setelah berurusan dengan orang yang di keningnya ada tiga bintik itu," kata Suara Kasar sambil tertawa geli. Pete merinding mendengarnya, karena langsung teringat pada mata pedang yang berkilat serta noda merah yang nampak pada kertas pembersih yang diusapkan ke senjata tajam itu.
"Jangan kita bicarakan soal Hugo sekarang," kata Suara Berat. "Apa sebabnya dalam kepala Augustus ada batu delima tiruan? Pasti tujuannya untuk menyesatkan! Kurasa permata yang asli disembunyikan di salah satu tempat, dalam rumah ini!"
"Jika itu benar, kalian harus membongkar seluruh rumah untuk menemukannya," kata Jackson. "Saya benar-benar tidak tahu tempat mana lagi yang belum diperiksa. Sungguh - saya sudah berusaha membantu semampu saya. Ijinkanlah saya kembali ke istri saya, ke San Francisco!"
"Kita lihat sajalah nanti," kata Suara Kasar. "Ada kemungkinan kau akan kami lepaskan. Tapi aku ingin sekali bisa membekuk anak gendut yang di tukang loak itu! Aku sudah bertanya pada orang-orang tentang dia. Rupanya anak itu otaknya seperti komputer, biar tampangnya kelihatan tolol! Aku berani bertaruh, ia pasti tahu jauh lebih banyak daripada yang mau dikatakan olehnya."
"Yah - kita tidak punya kemungkinan untuk membuatnya jatuh ke tangan kita," kata Suara Berat. "Tapi siapa tahu
- mungkin juga ada! Sudahlah, kita naik saja ke atas - untuk membicarakan langkah kita selanjutnya." "Bagaimana dengan tangga rahasia serta ruang kecil itu?" tanya Suara Kasar. "Kita perlu memeriksa sekali lagi di
situ, karena mungkin saja -"
"Tidak, tempat itu terlalu kentara," kata Suara Berat. "Seperti sudah dikatakan oleh Jackson, itu dulunya tangga biasa untuk turun dari ruang yang dijadikan perpustakaan menuju ke gudang anggur. Begitu kan, Jackson?"
"Ya, betul," kata Jackson. "Lalu dua puluh tahun yang lalu Mr. August memasang lemari-lemari buku. Satu di antaranya, karena iseng dijadikan pintu rahasia yang menuju ke tangga. Tangga itu hanya dipergunakannya untuk turun ke bawah saat malam saja. Katanya, ketika ia masih anak-anak di Inggris, ia selalu mengidam-idamkan tinggal di rumah besar yang ada tangga rahasianya."
"Nah, kaudengar sendiri, kan," kata Suara Berat pada temannya. "Yuk, kita naik lagi ke atas. Ruangan gelap begini membuat perasaanku tidak enak saja."
Cahaya terang itu menjauh. Sesaat kemudian terdengar langkah-langkah menaiki tangga kayu, disusul bunyi pintu ditutup dengan keras. Ketiga remaja itu sudah sendiri lagi di ruang bawah tanah.
"Aduh - kusangka kita pasti ketahuan tadi," kata Pete lega. "Jika mendengar suaranya, mereka tadi pasti orang yang tidak segan-segan melakukan kekerasan."
"Kalian dengar tadi, bagaimana yang satu cuma sambil tertawa saja bercerita mengenai apa yang dilakukan Tiga Bintik terhadap teman mereka," kata Gus.
"Bagaimana, Jupe - siapakah mereka itu?" tanya Pete. "Kenapa kau diam saja, Jupe? Kena sihir, ya?!"
Jupiter yang selama itu termenung, agak kaget ketika disapa Pete.
"Aku sedang berpikir," katanya. "Kedua laki-laki tadi mestinya tahu tentang Mata Berapi dari orang yang bernama Jackson, dan kini keduanya memaksa Jackson membantu mereka mencari permata itu sebelum didului Tiga Bintik." Pete mengangguk.
"Tapi bagaimana cara kita keluar dari sini?" tanyanya. "Kita terkurung!"
"Kurasa paling aman jika kita menunggu dulu sampai orang-orang itu sudah pergi lagi. Tapi kita coba saja menemukan pintu keluar yang biasa. Kita bersiap-siap melarikan diri begitu ada kesempatan baik!"
Didului oleh Jupiter, mereka masuk ke ruangan gudang yang luas, berbentuk persegi empat dengan balok-balok kayu penopang terletak rendah di atas kepala. Ruangan itu sama sekali tidak berjendela. Di satu ujungnya terdapat sebuah bejana besar, tempat persediaan minyak untuk tungku pemanas yang ada di sebelahnya. Selain itu tidak ada apa-apa lagi di situ.
Mereka menemukan tangga kayu yang menuju ke atas, ke sebuah pintu. Ketiga remaja itu berjingkat-jingkat menghampirinya. Dengan hati-hati Jupiter mencoba tombol pegangan pintu. Ia bisa memutarnya, tapi itu tidak menyebabkan pintu terbuka. Jupiter menggoncang-goncangnya dengan pelan. Setelah itu ia melangkah mundur.
"Digerendel dari luar," katanya. "Kita terkurung di sini."
Selama beberapa saat anak-anak itu membisu. Mereka sibuk dengan pikiran sendiri. Jika mereka terkurung dalam gudang bawah tanah, dan orang-orang tadi kemudian pergi lagi - siapa yang bisa memastikan kapan ada orang lain datang ke situ? Mungkin baru berhari-hari kemudian! Mungkin baru ada orang lain datang, saat para pekerja akan menggusur rumah itu.
Jupiter memecah kebisuan itu.
"Kan masih ada pintu ke tangga rahasia," katanya.
"Ya - tapi tombolnya tadi yang sebelah luar terlepas," kata Gus. "Aku mendengarnya ketika jatuh. Sekarang pintu itu tidak bisa dibuka. Betul kan, Pete?"
"Ketika kucoba tadi, tidak bisa," kata Pete mengiakan. "Mungkin kalau aku yang mencoba, bisa," kata Jupiter.
Pete dan Gus mengikuti Jupiter yang berjalan kembali ke gudang anggur. Pete memegang lampu sepedanya. Cahayanya disorotkan ke tempat di mana tombol pintu seharusnya terdapat. Jupiter mengambil pisau lipat kebanggaannya, yang buatan Swiss. Ia membuka bagian yang merupakan obeng kecil.
"Sebuah pintu yang tidak ada pegangannya biasanya bisa dipaksa terbuka dengan bantuan obeng," katanya. Dimasukkannya ujung obeng ke dalam liang tempat gagang tombol yang terdorong ke luar ketika Pete buru-buru hendak membukanya tadi. Sisi mata obeng ternyata pas sekali ukurannya dengan sudut-sudut lubang segi empat yang terdapat pada pelat logam yang ada di dalam. Jupiter memutar gagang obeng. Lidah-lidah kunci bergerak, dan pintu itu sekarang bisa dibuka.
"Caranya sederhana sekali, tapi sangat berguna menghadapi keadaan mendesak seperti sekarang ini," kata Jupe sambil mendului ke luar. Mereka kini berada di tempat sempit di kaki tangga rahasia.
Tahu-tahu ada sinar terang memancar ke bawah. Cahaya itu menyilaukan, sehingga Jupiter tidak bisa melihat apa-apa.
"Nah, kalian sudah muncul!" Anak-anak mendengar Suara Berat berbicara di ujung atas tangga. "Kami tahu kalian ada di sekitar sini, karena baru saja kami melihat sepeda kalian di luar. Sekarang naiklah ke atas! Tapi jangan berbuat yang aneh-aneh kalau masih ingin selamat!"

Bab 12
JUPITER DALAM KESULITAN

Jupiter tidak mengacuhkan perintah yang diserukan dari atas itu. Ia membungkuk lalu meraba-raba, mencari tombol pintu serta gagang yang tadi terjatuh ke lantai di sebelah situ. Tapi ketika ia memutar tubuh, tahu-tahu daun pintu terbentur olehnya sehingga menutup dengan keras.
Saat berikutnya dua orang laki-laki sudah bergegas menuruni tangga.
"Tangkap dia, Charlie!" seru Suara Berat. "Itu si Gendut! Kita perlu menyuruhnya bicara!"
Jupiter tidak sempat merasa tersinggung karena disebut si Gendut, karena saat itu juga tangannya sudah dicengkeram dan ditekan kuat-kuat ke sisinya. Kemudian ia diseret menaiki tangga.
Pete dan Gus masih berada dalam gudang anggur yang pintunya kini tertutup lagi tanpa bisa dibuka dari dalam. Mereka mendengar bunyi gedebak-gedebuk serta seruan-seruan di luar, sementara Jupiter diseret kedua laki-laki yang menyergapnya naik ke atas. Kedua remaja itu berpandang-pandangan dengan perasaan kecut.
"Mereka berhasil menangkap Jupe!" kata Pete dengan suara lesu.
"Tapi ia belum menyerah," kata Gus mengomentari, ketika terdengar salah seorang laki-laki tadi terdengus kesakitan.
Tepat saat itu bunyi pergulatan di luar terhenti. Pete dan Gus mendengar suara Jupiter berbicara agak samar karena pintu tertutup.
"Baiklah, aku takkan berontak lagi. Aku kalah banyak, dan perlawananku hanya akan mengulur saat kejadian yang takkan mungkin bisa dihindarkan."
"Hah?" Suara Kasar mengatakannya dengan nada bingung. "Apa maksudmu?"
"Katanya, ia menyerah karena sadar bahwa ia takkan mungkin bisa menang," kata Suara Berat. "Baiklah, Gendut - sekarang kau naik ke atas. Awas, jangan aneh-aneh - nanti kugebuk!" "Bagaimana dengan yang dua lagi?" tanya Suara Kasar.
"Biar mereka terkunci di bawah situ," jawab Suara Berat. "Cuma dia ini yang perlu kita paksa berbicara."
Pete dan Gus mendengar gerendel yang terdapat di luar disorong, sehingga pintu kini benar-benar tidak bisa dibuka lagi dari dalam. Setelah itu menyusul langkah beberapa orang menaiki tangga, lalu melintasi ruangan yang terletak di atas.
"Ia menyerah," keluh Gus.
"Ya, karena tahu bahwa ia takkan bisa menang melawan kedua laki-laki itu," kata Pete membela temannya. "Kini ia menjadi tawanan di atas, sementara kita terkurung di sini," kata Gus lagi. "Kedua pintu keluar digerendel. Kita tidak bisa keluar."
"Jupe pasti akan bisa mengeluarkan kita," kata Pete menenangkan.
Tapi saat itu Jupiter berada dalam keadaan sulit. Ia tidak bisa menolong dirinya sendiri - apalagi menolong orang lain! Sambil memilin lengan Jupiter ke punggung, Suara Berat menggiringnya ke dapur. Hanya ruangan itu saja yang masih ada perabotnya - sebuah kursi kayu yang sudah reyot, yang kalau dijual sebagai barang loak pun takkan ada yang mau membeli.
Suara Berat ternyata bertubuh pendek dan agak gemuk, sementara Suara Kasar berperawakan tinggi gempal. Keduanya berkumis hitam dan memakai kaca mata besar berbingkai tanduk. Rupanya itu samaran, persis seperti yang dipakai Kumis Hitam. Rupanya ketiga orang itu termasuk dalam kawanan yang sama.
Suara Berat mendorong Jupiter ke kursi yang cuma satu-satunya lalu memaksanya duduk di situ.
"Di belakang rumah ada tali jemuran," kata Suara Berat pada kawannya. "Coba ambilkan!"
Orang yang satu lagi keluar lewat pintu dapur. Suara Berat menggeledah pakaian Jupiter. Ia menemukan pisau lipat kebanggaan anak itu.
"Bagus sekali," katanya. "Cocok untuk mengiris telinga, jika kami terpaksa melakukannya."
Jupiter diam saja. Suara Berat kelihatannya cukup terpelajar. Caranya berbicara tidak seperti penjahat. Kalau Suara Kasar - nah, dia itu memang mirip tukang pukul. Tapi bisa dirasakan dengan jelas bahwa di antara mereka berdua, Suara Berat yang menjadi pemimpin.
Jupiter melihat seorang laki-laki bertubuh kecil muncul di ambang pintu. Orang itu memakai kaca mata berbingkai emas. Rambutnya beruban. Sikapnya gugup. Pasti dia itulah yang bernama Jackson!
"Kalian tidak boleh menyakitinya," kata orang itu dengan cemas. "Kalian sudah berjanji bahwa takkan ada bahaya. Kalian mengatakan tidak akan menggunakan kekerasan!"
"Jangan ganggu kami!" tukas laki-laki yang meringkus Jupiter. "Kami takkan menggunakan kekerasan - tapi tentu saja asal si Gendut ini mau bekerja sama. Sekarang pergi!"
Laki-laki tua itu kembali ke ruang depan. Suara Kasar masuk lagi sambil membawa tali jemuran. Kedua anggota kawanan Kumis Hitam itu mengikat Jupiter ke kursi. Kedua lengannya diikatkan ke lengan kursi, kedua tungkainya ke kaki kursi sebelah depan, sedang pinggangnya diikat ke punggung tempat duduk itu. Sebagai hasilnya, Jupiter nyaris tidak bisa bergerak sama sekali.
"Nah - sekarang kita bercakap-cakap sebentar," kata Suara Berat. "Mana permata itu?"
"Aku tidak tahu," jawab Jupiter. "Kami juga sedang mencarinya."
"Dia tidak mau bekerja sama," kata laki-laki yang satu lagi. Orang itu memungut pisau lipat milik Jupiter yang tadi diletakkan di ambang jendela, lalu membuka mata pisaunya. "Coba kugelitik sebentar dengan ini, Joe. Mungkin dengan begitu ia akan mau memberikan jawaban yang benar."
"Aku yang menangani urusan ini," kata Suara Berat. "Mungkin ia memang tidak tahu. Tapi kurasa ia pasti mempunyai beberapa pikiran yang bisa membantu kita. Baiklah, Gendut - coba kaujawab pertanyaanku ini. Apa sebabnya permata yang ada di dalam patung Augustus itu ternyata tiruan belaka?"
"Aku tidak tahu pasti alasannya," kata Jupiter, yang sementara itu memutuskan lebih baik menjawab saja. Ia tidak tahu di mana Mata Berapi berada saat itu - atau tepatnya, ia tidak tahu di mana patung Octavianus tempat permata itu disembunyikan kini berada. Jika ia bisa meyakinkan kedua laki-laki itu bahwa ia benar-benar tidak tahu, ada kemungkinan mereka nanti membebaskan dirinya.
"Kurasa Mr. August memasukkan permata palsu itu ke dalam patung Augustus dengan maksud menyesatkan orang yang mencarinya," kata Jupiter selanjutnya. "Mungkin ia menghendaki pencari itu menyangka sudah berhasil menemukan permata yang diincar. Karena itu ia sengaja mempermudah pencarian mereka."
"Kalau begitu, di mana ia menyimpan batu delima yang asli?" tanya Suara Berat, yaitu laki-laki yang bernama Joe.
"Dalam salah satu patung lainnya," jawab Jupiter. "Sebuah patung yang tidak langsung diketahui orang. Maksudku, patung Octavianus."
"Octavianus, ya?" tukas Suara Kasar, yang sebenarnya bernama Charlie. "Kenapa justru Octavianus?"
"Ya, tentu saja!" seru Joe. "Octavianus itu seorang kaisar Romawi, yang juga dikenal dengan nama Augustus. Bagaimana, mengerti sekarang?"
"Kedengarannya memang masuk akal," kata Charlie sambil menggaruk-garuk kepala. "Nah, sekarang jawab pertanyaan yang ini. Di mana patung Octavianus itu?"
"Aku tidak tahu," kata Jupiter. "Bibiku menjualnya pada salah seorang yang datang. Ia tidak pernah mencatat nama dan alamat orang-orang yang berbelanja. Jadi pembelinya bisa siapa saja di Los Angeles dan daerah sekitarnya."
Joe menatap Jupiter sambil mengusap-usap kumis palsunya.
"Kedengarannya ia tidak berbohong," katanya. "Tapi aku masih punya pertanyaan lagi. Jika kau menduga permata itu ada di dalam patung Octavianus, kenapa kau tidak langsung mencarinya? Kenapa kau malah datang ke rumah ini?"
Pertanyaan itu agak menyulitkan Jupiter. Ia sebenarnya datang ke situ karena merasa perlu memeriksa rumah yang dulu ditinggali Mr. August. Tapi ia sama sekali tidak tahu, apa yang harus dicari di situ.
"Karena aku tidak tahu di mana patung itu harus kucari, aku lantas memilih kemungkinan berikut," katanya. "Aku memutuskan untuk memeriksa rumah ini. Soalnya, mungkin aku keliru, dan permata itu sebenarnya tidak disembunyikan dalam patung Octavianus."
"Tidak! Kurasa memang di situlah tempatnya disembunyikan," gumam Joe, "karena lebih masuk akal! Pesan itu memang sengaja dibuat untuk menyesatkan, supaya perhatian tertuju ke Augustus yang pertama. Tapi orang yang cukup mengenal sejarah akan memperhatikan Octavianus. Mestinya begitu perkiraan Pak Tua itu mengenai jalan pikiran anak kemenakannya. Jadi sekarang kita harus menemukan Octavianus sebelum didului orang lain."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Charlie. "Pembelinya mungkin siapa saja yang tinggal di Los Angeles. Bisa seumur hidup kita mencari terus."
"Itu memang merupakan problem," kata kawannya. Ia menatap Jupiter. "Tapi bukan problem kita, melainkan problem si Gendut ini. Jika ia ingin bisa bebas lagi dari kursi itu, ia harus mencari akal guna bisa menemukan Octavianus. Nah, bagaimana?"
Jupiter diam saja. Ia sebenarnya bisa bercerita tentang Hubungan Hantu ke Hantu. Tapi ia hendak menyimpannya, sampai sudah benar-benar terdesak.
"Aku sama sekali tidak tahu di mana patung itu," katanya dengan suara seolah-olah bingung. "Jika aku tahu, pasti aku sudah berusaha untuk mengambilnya kembali."
"Kalau begitu, mulailah memikirkan jalan sekarang," kata Charlie dengan nada mengancam. "Kata orang, kau ahlinya kalau disuruh berpikir! Nah, putar otakmu sekarang. Kalau perlu, kami sanggup menunggu sepanjang hari. Bahkan sampai besok pagi pun, boleh saja! Kalau kau ingin bisa meninggalkan kursi itu dan membebaskan kawan-kawanmu yang terkurung dalam gudang tadi, carilah jalan yang bisa kami terima!"
Saat itu Jupiter sama sekali tidak melihat adanya jalan, baik yang bisa diterima maupun yang tidak. Ia memutar otak. Bob mestinya bisa menduga di mana mereka berada. Jika mereka tidak muncul-muncul, nanti Bob pasti akan mendatangi rumah itu bersama Hans, bahkan mungkin pula bersama Paman Titus dan Konrad. Kapan-kapan Bob pasti datang untuk menyelamatkan mereka bertiga. Tapi kapan? Mungkin masih lama lagi, karena Bob kan diinstruksikan untuk menjaga telepon.
Jupiter memilih lebih baik menunggu saja dulu. Mungkin Bob akan -
Saat itu Jackson muncul lagi di ambang pintu dapur.
"Maaf, tapi di radio -" katanya takut-takut, "saya rasa ada kawan Anda yang ingin bicara. Saya mendengar suara seseorang memanggil-manggil Joe -" Joe berpaling dengan cepat.
"Charlie! Cepat, ambil walkie-talkie kita!" katanya. "Pasti itu Hugo! Mungkin di sana ada perkembangan baru!"
Charlie bergegas meninggalkan dapur. Ia sudah kembali lagi, sebelum Jupiter sempat bingung memikirkan kenapa Hugo bisa memanggil-manggil lewat alat radio itu. Kan Tiga Bintik sudah menamatkan riwayatnya dengan pedang?
Charlie menenteng pesawat walkie-talkie yang besar. Pesawat itu jauh lebih kuat daripada peralatan sama yang dibuat oleh Jupiter untuk Trio Detektif. Pesawat sebesar itu memerlukan surat ijin penggunaan. Tapi Joe dan Charlie kelihatannya tidak mengacuhkan peraturan seperti itu.
"Memang Hugo," kata Charlie sambil menekan sebuah tombol pada pesawat itu.
"Hugo?" katanya. "Di sini Charlie. Kau bisa menangkap suaraku? Harap masuk!"
Charlie melepaskan tombol yang selama itu ditekan terus. Terdengar bunyi mendengung, disusul suara seseorang. Gemerisik karena jarak yang cukup jauh antara kedua pesawat.
"Charlie! Ke mana saja kau? Sudah sepuluh menit aku berusaha menghubungi kalian." "Kami tadi sibuk! Ada yang perlu dilaporkan?"
"Ya, ada perkembangan baru di sini. Anak berambut pirang, yang lebih kecil, baru saja pergi naik salah satu truk yang dikemudikan seorang pembantu tukang loak itu. Mereka menuju ke Hollywood. Saat ini kami membuntuti mereka."
Semangat Jupiter bangkit mendengar kata-kata itu. Ternyata Bob memutuskan untuk mencari mereka. Sebentar lagi ia akan muncul di tempat itu bersama Hans atau Konrad, lalu -
Harapannya yang sudah timbul langsung lenyap lagi ketika mendengar percakapan selanjutnya. "Ke arah sinikah mereka?"
"Tidak! Mereka menuju ke dalam kota. Mereka tidak tahu bahwa kami mengikuti dari belakang."
"Perhatikan baik-baik ke mana tujuan mereka," kata Charlie memberi instruksi. "Mungkin ini peluang yang kita cari-cari." Ia menoleh ke arah Joe. "Ada yang ingin kaukatakan pada Hugo, Joe?"
"Ya, ada! Kurasa anak itu pasti hendak mendatangi tempat di mana patung Octavianus saat ini berada. Rupanya ia berhasil menemukan jejaknya! Katakan pada Hugo, ia harus memperhatikan apakah mereka nanti mengambil patung atau tidak. Kalau ya, ia harus merebutnya, tidak peduli dengan jalan bagaimana!"
Charlie mengulangi instruksi itu lewat walkie-talkie. Kemudian dilepaskannya tombol yang selama ia berbicara ditekan terus olehnya.
"Nah - beres!" kata Charlie puas. "Kau cerdik, Joe, membeli alat ini. Kurasa manfaatnya kini terbukti. Tidak sia-sia kita mengeluarkan uang untuk membelinya. Keuntungan kita pasti berlipat ganda. Nah!" Sambil nyengir. Charlie mendekatkan mukanya pada Jupiter. "Sekarang kita tunggu saja apa yang terjadi sesudah ini!"

Bab 13
BOB MENGIKUTI JEJAK

Bob masih menunggu Jupiter dan Pete kembali, selama dianggapnya masih ada waktu untuk itu. "Hantu" yang menelepon tadi mengatakan bahwa ia harus buru-buru jika masih ingin mendapat patung Octavianus itu. Tapi sementara itu hari sudah sore, sedang Penyelidik Satu dan Dua tetap masih belum muncul. Mungkin keduanya sedang menyelidiki suatu kemungkinan baru, pikir Bob. Akhirnya ia merasa tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia harus bertindak sendiri.
Bob berhasil memperoleh ijin Mrs. Jones untuk memakai truk yang kecil, dengan Hans untuk menyupirinya. Ia pun berhasil pula meminta pembayaran lebih dulu untuk pekerjaan yang akan dilakukannya di tempat penimbunan barang bekas itu. Akhirnya, setelah menjelaskan bahwa ada pembeli yang tidak puas dengan patung yang sudah dibeli tapi mungkin orang itu mau menukarnya dengan patung lain, ia pun diijinkan pula membawa patung Francis Bacon.
Hans membawa patung itu ke truk, lalu meletakkannya di atas tumpukan kain terpal sebagai alas. Sedang Bob menaikkan sebuah kotak terbuat dari karton tebal serta setumpuk koran tua. Gunanya untuk mengamankan patung Octavianus jika mereka nanti berhasil memperolehnya kembali. Setelah itu mereka berangkat.
Perjalanan ke alamat tujuan, yang letaknya di pinggir kota Hollywood, akan memakan waktu sekitar tiga perempat jam. Mereka melalui jalan-jalan yang ramai, melewati daerah-daerah tempat tinggal yang bagus-bagus. Lalu lintas saat itu sibuk sekali. Karenanya baik Bob maupun Hans sama sekali tidak sadar bahwa ada mobil sedan berwarna biru tua mengikuti mereka. Di dalamnya ada dua orang laki-laki. Kedua-duanya berkumis hitam dan memakai kaca mata berbingkai bahan tanduk.
Setelah beberapa saat Hans memperlambat jalan truk, sedang Bob mulai meneliti nomor rumah-rumah yang dilewati.
"Itu dia!" serunya tidak lama kemudian. "Berhenti di sini, Hans!" "Beres," kata Hans dengan suaranya yang dalam.
Truk dikemudikannya ke pinggir jalan, lalu dihentikannya di situ. Bob melompat turun. Mobil sedan biru tua ikut berhenti, kurang lebih setengah blok di belakang truk. Kedua penumpangnya mengamat-amati setiap gerak-gerik Bob dengan cermat.
Hans ikut turun, lalu mengambil patung Francis Bacon yang ditaruh di jok depan. Sambil mengepit patung, pemuda berbangsa Jerman itu mengikuti Bob ke pintu depan rumah yang dituju.
Bob membunyikan bel. Tidak lama kemudian seorang anak perempuan berparas manis dengan bintik-bintik di mukanya datang membukakan pintu.
"Kau anggota Trio Detektif!" kata anak manis itu. Bob merasa senang, karena kata-kata itu diucapkan dengan nada agak kagum. "Dan kau ingin mendapatkan patung Octavianus yang dibeli ibuku karena salah satu alasan yang mungkin rahasia, kan? Yuk, masuk! Aku tadi repot sekali membujuknya agar jangan memberikan Octavianus pada orang lain. Akhirnya aku terpaksa mengatakan padanya, patung itu dibuat dari bahan gips yang sangat radioaktif, dan kalian agen-agen rahasia, yang datang menjemputnya agar tidak membahayakan umum."
Kata-kata itu diucapkan beruntun-runtun dengan sangat cepat, sampai Bob agak sulit memahaminya. Sedang Hans hanya bisa terkejap-kejap saja. Sementara itu mereka sudah diajak anak perempuan tadi mengitari rumah, lalu menuju serambi terbuka beralas ubin. Di tengah serambi itu ada air mancur berukuran kecil. Jantung Bob seakan berhenti sekejap, karena ia melihat patung Octavianus di salah satu sudut serambi itu. Kelihatannya kurang cocok di bawah semak mawar yang tinggi.
Seorang wanita bertubuh langsing sedang memotong ranting-ranting semak itu. Ia berpaling ketika mendengar ada orang datang. Tapi anak perempuan tadi sudah mendului berbicara.
"Bu, mereka ini dari Trio Detektif yang kuceritakan tadi," kata anak perempuan itu. "Maksudku, yang satu ini - bersama pembantunya. Ia datang untuk menjemput patung Octavianus, supaya Ibu tidak perlu cemas lagi karena menyimpan patung gips yang berbahaya."
"Kalian tidak perlu menghiraukannya," kata wanita langsing itu sambil tersenyum pada Bob dan Hans. "Liz ini hidup dalam dunianya sendiri, yang penuh dengan mata-mata misterius serta penjahat-penjahat yang menyeramkan. Aku tak percaya sepatah pun pada ceritanya bahwa Octavianus itu mengandung sinar radioaktif. Aku bermaksud hendak memberikannya pada orang, karena tidak cocok ditempatkan di serambi luar ini. Tapi akhirnya aku menunggu kalian dulu, karena menurut Liz kalian perlu sekali memperolehnya kembali."
"Terima kasih," kata Bob. "Patung itu keliru dijual. Kami membawakan Francis Bacon jika Anda ingin memperoleh patung lain sebagai penggantinya."
"Ah, tidak usah," kata wanita itu. "Mulanya kusangka pasti bagus jika di serambi ini ada patung. Tapi ternyata tidak begitu cocok."
"Kalau begitu kami kembalikan saja uang yang telah Anda bayarkan," kata Bob sambil merogoh kantung, lalu menyerahkan selembar uang kertas bernilai lima dollar. Wanita itu menerimanya dengan gembira.
"Bawalah patung Octavianus itu," katanya. "Kurasa kupasang saja pot bunga dari Itali sebagai penghias di sini." "Kau bisa membawa dua patung sekaligus, Hans?" tanya Bob.
"Aku punya dua tangan, jadi bisa membawa dua patung," jawab Hans dengan logat Jerman yang kentara. "Itu soal kecil!" Diangkatnya patung Octavianus yang dicari-cari itu, lalu dikepitnya dengan lengan kiri. "Sekarang apa lagi, Bob?"
"Kita masukkan patung itu ke dalam kotak karton yang sengaja kubawa tadi, Hans," kata Bob. "Tolong ikatkan erat-erat. Sudah itu -"
"Kalian sudah hendak pergi lagi?" tanya anak perempuan yang rupanya bernama Liz. "Maksudku, aku baru sekali ini berjumpa dengan penyelidik yang sesungguhnya - dan banyak sekali yang ingin kutanyakan padamu."
"Yah -" Bob agak ragu. Sebetulnya asyik juga mengobrol dengan Liz. Lagi pula, anak itu kelihatannya sangat tertarik pada soal-soal misteri dan penyelidikan.... "Hans, kau pergi dulu untuk mengemaskan Octavianus," katanya. "Nanti aku menyusul! Kemaskan yang rapi, ya."
"Beres," kata Hans dengan santai. Sambil mengepit dua buah patung di kanan-kirinya, Hans berjalan ke luar, meninggalkan Bob yang mengobrol - atau lebih tepat jika dikatakan mendengarkan Liz yang secara beruntun-runtun melontarkan pertanyaan tanpa menunggu jawaban.
Dengan hati-hati sekali Hans meletakkan kedua patung itu di bak belakang truk, lalu mulai mengepaknya dengan cermat seperti diinstruksikan oleh Bob tadi. Ia tidak tahu bahwa segala gerak-geriknya diawasi oleh kedua laki-laki yang berada dalam mobil biru tua. Satu di antaranya, yang bernama Hugo, sambil mengawasi, terus-menerus menyampaikan laporan pada kedua kawannya yang di rumah mendiang Horatio August, jauh di sela-sela bukit.
"Laki-laki yang besar itu sekarang sedang mengepak patung itu," katanya dengan suara tegang lewat pesawat walkie-talkie. "Pasti itu Octavianus - karena anak tadi takkan datang kemari untuk mengambil patung lain. Ia sekarang masih di rumah itu, hah! Kotak itu sekarang sudah diikat rapi, dan laki-laki bertubuh besar itu kini kelihatannya menunggu anak tadi keluar lagi."
Jupiter yang masih terikat ke kursi di dapur ikut mendengar kata-kata Hugo yang sedang disimak dengan penuh perhatian oleh kedua kawannya. Kemudian yang bernama Joe memberi komando lewat walkie-talkie.
"Rampas kotak itu!" perintahnya. "Nanti dulu - aku punya akal. Kalian harus membuat kecelakaan bohong-bohongan! Hugo, nanti kalau truk itu mulai bergerak, kau cepat-cepat melintas di depannya. Saat itu juga kau harus menjerit, seolah-olah ditubruk. Pasti laki-laki dan anak itu akan buru-buru turun untuk melihat apakah kau luka parah. Nah, saat itu -"
"Tunggu! Tunggu!" Suara Hugo terdengar memotong instruksi itu. "Itu sama sekali tidak perlu. Laki-laki itu masuk lagi ke rumah. Tidak ada yang menjaga di truk. Frank, kita beraksi sekarang!" Kalimat terakhir itu rupanya ditujukan pada kawan yang ada bersama Hugo dalam mobil.
Percakapan lewat walkie-talkie terhenti. Jupiter mengeluh dalam hati. Baru saja Bob berhasil memperoleh Octavianus, kelihatannya kini akan terlepas lagi!
Sementara Hans kembali menuju ke serambi rumah, Bob dan Liz masih saja bercakap-cakap, atau tepatnya Liz yang menyerocos terus dan Bob menjawab sekali-sekali saat anak perempuan itu berhenti sebentar untuk menarik napas.
"Apakah kalian tidak memerlukan asisten anak perempuan?" tanya Liz bersemangat. "Kurasa pasti perlu untuk tugas-tugas penyelidikan tertentu. Ada kalanya anak perempuan bisa sangat membantu. Saat itu telepon saja aku. Aku ini sangat pandai memerankan apa saja. Aku bisa menyamar, suaraku bisa kuubah dan -"
"Maaf, Bob," sela Hans, "aku cuma ingin mengingatkan, kata Mrs. Mathilda tadi kita jangan lama-lama memakai truk."
"Ah ya, betul!" kata Bob. "Sayang, Liz - tapi aku harus pergi sekarang! Mungkin kapan-kapan kami akan memerlukan anak perempuan sebagai penyelidik. Kalau saat itu tiba, kami akan meneleponmu."
"Ini nomor teleponku," kata Liz sambil membuntuti Bob ke depan. Ia menuliskan nomor itu pada sebuah kartu. "Nih - namaku Liz Logan. Aku akan menunggu kabar dari kalian. Wah, asyik kalau aku benar-benar bisa ikut dalam penyelidikan benar-benaran!"
Bob mengambil kartu yang disodorkan, lalu naik ke atas truk dan duduk di samping Hans. Ia sama sekali tidak memperhatikan sedan biru tua yang saat itu lewat, karena saat itu pikirannya sedang terarah pada Liz. Menurut pendapat Bob, anak itu menarik, dan mungkin kapan-kapan bisa dimintai bantuannya. Jupiter memang kurang senang apabila ada anak perempuan ikut campur dalam urusan mereka. Tapi Bob bertekad hendak menyarankan agar Liz Logan dihubungi, apabila mereka memerlukan bantuan anak perempuan.
Ia membalas lambaian Liz tanpa sekejap pun terpikir untuk menoleh ke bak belakang truk. Bob dan Hans kembali tanpa menyadari bahwa patung Octavianus yang baru saja ditemukan, saat itu sudah lenyap lagi.
Tapi Jupiter mengetahuinya. Pesawat walkie-talkie mulai mengeluarkan bunyi gemerisik lagi, disusul suara Hugo.
"Berhasil!" Suaranya bernada bangga. "Begitu si Raksasa itu masuk ke rumah, dengan cepat aku dan Frank beraksi, mengambil kotak dari dalam truk. Kurasa mereka belum sadar bahwa kotak itu sudah tidak ada lagi di situ!"
"Bagus!" kata Joe. "Sekarang kalian angkut ke tempat kita. Jangan buka dulu sebelum kami sampai. Selesai!"
"Oke!"
Percakapan selesai. Joe memandang Jupiter Jones sambil tersenyum mengejek.
"Nah, begitulah!" kata orang itu. "Kami sudah berhasil menguasai batu itu sekarang. Jadi tidak perlu menanyaimu lagi! Tapi untuk amannya kalian bertiga akan kami tinggalkan di sini supaya kami sempat menghapus jejak. Jangan khawatir, nanti kami akan menelepon teman kalian untuk menjemput kalian di sini - tapi bukan sekarang. Mungkin nanti malam."
Kedua penjahat itu keluar. Jackson disuruh ikut. Laki-laki bertubuh kecil itu masih sempat memandang agak lama ke arah Jupiter. Seolah-olah hendak mengatakan bahwa ia menyesal, karena tidak bisa menolong. Kemudian ketiga laki-laki itu masuk ke mobil yang diparkir di belakang rumah, lalu meninggalkan tempat itu.
Begitu mereka sudah pergi, Jupiter langsung berseru memanggil-manggil.
"Pete! Gus! Kalian dengar atau tidak?"
"Kaukah itu, Jupe?" Suara Pete yang samar datang dari arah bawah. "Ada apa? Bisakah kau membebaskan kami? Baterai lampu sudah lemah sekali!"
"Sayang, aku sendiri sedang dalam kesulitan, Pete!" seru Jupiter menjawab. "Aku terikat erat, seperti mumi! Kita tidak bisa berkutik sama sekali di sini, sementara kawanan Kumis Hitam berhasil menguasai patung Octavianus."

Bab 14
TEMUAN YANG TIDAK DISANGKA SANGKA

Jupiter memutar otak dalam keadaan terikat erat ke kursi. Dalam cerita-cerita detektif, jika ada orang berada dalam keadaan terikat erat, kemudian selalu saja ditemukan salah satu cara sehingga ia bisa membebaskan diri. Misalnya saja ditemukannya pisau yang kemudian dipakai untuk mengiris tali pengikat. Atau kalau bukan pisau, pecahan kaca atau botol. Pokoknya, selalu ada saja yang bisa dipakai.
Tapi saat itu ia tidak punya apa-apa. Memang, ia tadi membawa pisau lipat. Benda itu ada di ambang jendela dapur. Tapi ia tidak bisa mengambilnya, karena keadaannya yang terikat ke kursi. Dan kalau bisa mengambilnya pun, ia tidak bisa membukanya. Sekarang, katakanlah ia berhasil membuka mata pisaunya. Tapi masih tetap ia tidak bisa menggunakannya untuk memotong tali, karena kedua belah tangannya terikat secara terpisah pada sandaran lengan kiri dan kanan.
Jupiter sibuk mencari-cari akal untuk bisa membebaskan diri. Ia tidak takut akan mati kelaparan, karena kapan-kapan pasti akan ada orang datang. Tapi ia harus lama menunggu saat itu.
Ia mendengar bunyi gedebak-gedebuk. Datangnya dari bawah lantai. Pete dan Gus membentur-benturkan bahu ke pintu yang tertutup. Mereka berusaha membukanya secara paksa. Beberapa saat kemudian Jupiter mendengar keduanya memanggil-manggil.
"He, Jupe! Jupe! Kau bisa mendengar suaraku tidak?"
"Bisa, Pete! Jelas sekali!" jawab Jupiter dengan lantang. "Berhasil tidak?"
"Tidak! Pintu ini kokoh sekali. Hasilnya cuma bahu memar saja. Huh - gelapnya di bawah sini!" "Sabar sedikit, Pete. Aku sedang mencari-cari jalan untuk membebaskan diri." "Baiklah, tapi cepat sedikit! Kurasa di sini ada tikus-tikus besar!"
Jupiter menggigit bibirnya untuk membantu kelancaran berpikir. Ia menggeliat-geliat karena sudah tidak sabar lagi. Kursi reyot yang diduduki berderak-derik, karena menahan beban tubuh Jupiter yang menggeser-geser kian kemari.
Pandangannya ke luar jendela menunjukkan waktu yang berjalan terus. Ia merasa seperti sedang memandang jam. Bayangan puncak bukit yang tinggi langsing di sisi barat ngarai menggelapi sebagian dari lapangan rumput di luar. Ia merasa bisa melihat bayangan itu bertambah panjang, sementara matahari semakin condong ke arah barat.
Diperiksanya tali yang mengikat dirinya. Mereka tadi erat sekali mengikat dirinya ke kursi. Tapi kursi tua itu kembali menimbulkan bunyi berderik-derik ketika ia menggeliat.
Saat itu Jupiter merasa seperti ada lampu terang yang tiba-tiba menyala dalam benaknya. Ia teringat pernah menduduki kursi tua yang sudah reyot. Kursi itu langsung roboh. Jika ia bisa merobohkan kursi yang sedang didudukinya itu -
Jupiter mulai menggerakkan tubuhnya ke depan dan ke belakang. Ia melakukannya sekuat tenaga. Punggung kursi terasa bergerak-gerak. Sandaran mulai goyah, tapi belum sampai berantakan. Kini Jupiter melemparkan tubuhnya ke samping sehingga terjungkir bersama kursi. Salah satu kaki tempat duduk itu patah. Kaki kanannya terikat ke situ.
Jupiter mengayunkan kakinya keras-keras. Kaki kursi yang patah terlepas dari ikatan tali yang kini tergantung longgar ke kakinya. Kakinya yang sudah bebas itu dijadikannya tumpuan untuk menjunjung tubuhnya. Sekali lagi dibenturkannya punggung kursi ke lantai. Ia berguling sambil menekan sandaran lengan yang sudah goyah. Dengan bunyi berderik sandaran itu lepas dari punggung kursi. Sekali lagi Jupiter menyentakkan lengannya. Kini sandaran itu benar-benar terlepas.
Jupiter sudah dapat meraih sandaran lengan yang satu lagi, lalu menggoyang-goyangkannya. Saat itu terdengar suara Pete memanggil-manggil dengan cemas. Rupanya ia mendengar bunyi gedebak-gedebuk di dapur. "Jupe! Ada apa, Jupe? Kau berkelahi, ya?"
"Ya - aku sedang berkelahi dengan kursi sinting," balas Jupiter seenaknya dengan napas terengah-engah. "Kurasa aku bisa menang. Tunggu saja beberapa menit lagi!"
Anak itu meronta. Menggeliat. Mendorong dan menendang. Kursi itu sebentar lagi pasti akan sudah berantakan. Bagian punggung, sandaran, alas duduk, keempat kakinya - semua tercerai-berai. Bagian-bagian kursi itu sebagian besar masih terikat padanya, tapi tidak dalam bentuk kursi yang utuh lagi. Sekarang ia bisa merangkak menghampiri jendela untuk mengambil pisau lipatnya. Tangannya sudah bisa digerakkan untuk membuka mata pisau, lalu memotong tali yang mengikat lengannya yang satu lagi ke kayu sandaran lengan. Semenit kemudian ia sudah bisa berdiri dan melepaskan sisa tali yang masih membelit tubuh.
Dengan perasaan menang ia menggeliat, melonggarkan otot-otot yang terasa pegal.
"Beres, Pete!" serunya ke bawah. "Aku turun sekarang!"
Ia menuruni tangga yang menuju dari dapur ke gudang bawah tanah. Ditariknya gerendel yang mengunci pintu. Pintu terbuka. Pete dan Gus menatap ke arah Jupiter dengan mata terkedip-kedip karena silau kena sinar terang yang memancar dari atas.
"Wah - senang hatiku melihatmu, Jupe," kata Pete dengan desahan lega, sementara ia menaiki tangga bersama Gus. "Bagaimana kau sampai bisa membebaskan diri tadi?"
"Itu cuma soal kemenangan pikiran melawan benda mati," kata Jupiter sok aksi. "Sekarang kita harus cepat-cepat pergi dari sini! Aku tidak memperkirakan Joe serta kawannya tadi akan kembali dalam waktu dekat, tapi siapa tahu! Pokoknya, kita harus cepat-cepat kembali ke Markas Besar. Bob tadi berhasil mengambil kembali patung Octavianus
"O ya? Hebat!" seru Pete memotong. "Wah, itu kabar baik!" kata Gus.
"Ya, tapi kemudian dirampas oleh kawanan Kumis Hitam," kata Jupiter menyelesaikan kalimatnya. "Dalam perjalanan pulang akan kuceritakan segala-galanya."
Ketiga remaja itu bergegas meninggalkan rumah kosong itu, menuju ke tempat sepeda mereka. Sesaat kemudian mereka sudah dalam perjalanan kembali ke Rocky Beach. Dalam perjalanan Jupiter menceritakan semua yang terjadi selama Pete dan Gus terkurung di bawah tanah, sampai dengan keberhasilan Bob menemukan patung Octavianus dan menjemputnya dari tempat pembelinya, lalu kemudian patung itu dirampas oleh kawanan Kumis Hitam.
"Aduh - sudah ada di tangan kita, tapi terlepas lagi!" keluh Pete menyesal. "Patung sialan!"
"Mudah-mudahan bukan sial karena Mata Berapi!" kata Gus.
"Kesialan yang berasal dari permata itu mestinya menimpa kawanan Kumis Hitam, dan bukan kita," kata Jupiter. "Satu hal yang kuherankan - yaitu tentang Hugo. Ia kedengarannya sehat-sehat saja tadi. Padahal jika Tiga Bintik telah membereskannya dengan pedang, itu kan tidak mungkin sehat-sehat saja."
"Memang aneh," kata Pete sependapat. "Tapi yang lebih kupikirkan saat ini, bagaimana caranya kita bisa merebut patung Octavianus lagi. Gus, kurasa warisanmu itu kini tak mungkin lagi kauperoleh."
Dengan perasaan getir ketiga remaja itu bersepeda di tengah kesibukan lalu lintas yang makin lama makin ramai. Lama juga mereka baru tiba kembali di kompleks penimbunan barang bekas. Matahari sudah rendah di sebelah barat. Anak-anak sudah lapar sekali. Mereka teringat bahwa mereka belum makan lagi setelah sarapan pagi.
Di kompleks tidak ada orang lain, kecuali Bob, Hans, dan Konrad. Kedua pembantu bertubuh kekar itu sedang sibuk menumpukkan balok-balok kayu di salah satu sudut yang agak jauh. Truk yang kecil diparkir di samping kantor, siap untuk disimpan dalam garasi. Bob sedang mengecat beberapa kursi taman dari besi yang sebelumnya sudah dibersihkan karatnya. Gerak-geriknya nampak lesu.
"Bob kelihatannya benar-benar kecewa," kata Pete, sementara mereka menghampiri teman mereka itu. "Rupanya ia merasa tidak enak, karena Octavianus yang sudah berhasil ditemukan akhirnya lepas lagi."
"Kita semua berperasaan seperti dia," kata Jupiter. "Yuk, kita hibur dia sedikit. Biar aku saja yang bicara!"
Bob menoleh ketika ketiga temannya datang mendekati. Ia mencoba tersenyum.
"Hai," sapanya. "Aku sudah mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, ke mana saja kalian begini lama."
"Kami tadi ke rumah Kakek Horatio," kata Jupiter, sementara ia bersama kedua temannya menaruh sepeda ke tempat yang khusus untuk itu. "Tapi kami tidak berhasil menemukan Mata Berapi di sana. Bagaimana perkembangan di sini?"
"Yah -" kata Bob. Ia agak ragu-ragu, karena merasa tidak enak menceritakan apa yang telah terjadi.
"Jangan kauceritakan," kata Jupiter. "Biar aku mencoba menebaknya. Tatap mataku dalam-dalam, Bob. Ya, begitu! Jangan berkedip! Aku ingin membaca dari matamu, apa yang membuat kau agak segan menceritakannya."
Pete dan Gus memandang sambil menahan tertawa sementara Jupiter menatap mata Bob dengan serius. Kemudian kepala Trio Detektif menempelkan telunjuknya ke kening, seolah-olah sedang memusatkan pikiran.
"Gambarnya mulai nampak sekarang," katanya. "Kulihat ada yang menelepon tadi - ya, kulihat salah satu 'Hantu' kita. Patung Octavianus sudah ditemukan. Kau berangkat menjemputnya - kau, bersama Hans, naik truk yang kecil. Kalian berangkat menuju - nanti dulu - ya! - kalian menuju ke Hollywood. Bagaimana, sampai sini betul atau tidak?"
"Tepat itulah yang terjadi tadi!" kata Bob dengan mata terbelalak. Ia tahu, Jupiter sudah pernah berhasil menarik kesimpulan yang menakjubkan sebelumnya. Tapi ini - "Lalu, setelah itu -"
"Tunggu, jangan memotong," kata Jupiter. "Ada lagi gambar yang nampak dalam pikiranku. Kau masuk ke rumah itu, diikuti oleh Hans. Hans membawa sebuah patung - rupanya sebagai penukar, kalau perlu. Kemudian Hans keluar lagi. Kini ia membawa dua buah patung. Kau berhasil memperoleh Octavianus kembali. Hans membawa patung itu ke truk, lalu memasukkannya ke dalam kotak serta mengikatnya baik-baik. Setelah itu ia masuk lagi untuk memanggilmu. Kalian berdua keluar, masuk ke truk lalu berangkat. Ketika kalian sampai kemari, ternyata kotak tempat Octavianus ditaruh tadi sudah lenyap tak berbekas. Seakan-akan disulap. Bagaimana? Betul tidak?"
"Tepat begitulah kejadiannya!" Bob memandang Jupiter dengan mulut ternganga. "Tahu-tahu kotak itu sudah lenyap. Kalau terjatuh, tidak mungkin - karena papan penutup bagian belakang dipasang. Aku tidak mengerti -"
Saat itu Hans datang menghampiri. Ia mengepit sebuah patung.
"Harus kukemanakan patung ini, Bob?" kata pemuda itu. "Truknya harus kumasukkan ke garasi."
"Letakkan saja di atas bangku," jawab Bob. "Patung Francis Bacon itu tadi kubawa. Maksudku untuk kuserahkan pada wanita yang memulangkan Octavianus jika ia meminta tukaran. Tapi ia memilih dikembalikan uangnya."
Hans pergi lagi setelah meletakkan patung yang dibawanya ke bangku. Patung itu menghadap ke arah belakang. Pete tahu bahwa Bibi Mathilda sangat mementingkan kerapian. Karena itu dihampirinya patung itu untuk memutar letaknya.
"Bagaimana kau bisa tahu segala-galanya, Jupe?" tanya Bob. "Maksudku tentang kami pergi menjemput patung Octavianus dan -"
Kalimatnya dipotong oleh Pete yang tahu-tahu berteriak.
"He! Cepat, ke sini semua! Coba tolong katakan, betulkah apa yang kulihat di sini!"
Anak-anak yang lain memandang ke arah yang dituding telunjuk teman mereka itu. Mereka membaca tulisan yang nampak pada alas patung. Octavianus.
"Octavianus!" kata Gus setengah berteriak. "Kawanan Kumis Hitam ternyata tidak memperolehnya!"
"Hans keliru memasukkan patung ke dalam kotak!" kata Bob dengan tiba-tiba. "Ya, itulah yang terjadi tadi! Ia pergi mengepit dua patung. Lalu sesampai di truk, satu di antaranya dimasukkan ke dalam kotak - patung yang keliru. Selama ini aku sama sekali tidak memperhatikan yang ini, karena perasaanku sebal memikirkan Octavianus yang lenyap lagi. Padahal selama itu ada di sini!"
Keempat remaja itu cepat-cepat memandang berkeliling, seolah-olah khawatir bahwa Tiga Bintik muncul saat itu. Atau kawanan Kumis Hitam! Tapi tidak - keadaan tetap tenang seperti tadi.
Bahkan Jupiter pun agak bingung menghadapi perkembangan baru itu. Tapi dengan segera ia sudah biasa lagi.
"Yuk," katanya mengajak kawan-kawannya, "kita bawa Octavianus ini ke bengkel kita, lalu kita pecahkan di sana. Setelah itu Mata Berapi kita sembunyikan di salah satu tempat yang tidak mungkin ketahuan orang lain. Kita jangan mengambil risiko lagi!"
Pete yang paling kuat di antara mereka berempat membawa patung ke bengkel Trio Detektif, lalu meletakkannya ke tanah. Sementara itu Jupiter mengambil palu dan pahat.
"Lihatlah," katanya sambil meraba-raba bagian ubun-ubun patung, "di sini ada bekas lubang yang ditutup lagi. Pasti ada yang mengebornya, memasukkan sesuatu ke dalam lalu mengisi lubang dengan gips supaya kelihatan utuh seperti semula. Bekasnya masih kelihatan, walau samar-samar. Kurasa akhirnya kita berhasil menemukan Mata Berapi!"
"Sudah, jangan banyak bicara lagi!" kata Pete. "Ketok saja kepalanya! Aku ingin melihat, kita benar-benar berhasil atau tidak!"
Jupiter meletakkan mata pahat ke bagian ubun-ubun patung yang terletak di tanah, lalu mengayunkan palu. Setelah pukulan kedua patung itu pecah menjadi dua bagian. Sebuah kotak kecil dari kayu yang selama itu ada di dalam patung jatuh ke tanah. Dengan cepat Pete menyambar kotak itu, lalu menyodorkannya pada Jupiter.
"Cepat buka, Jupe!" serunya. "Kita lihat permata yang selama lima puluh tahun tersembunyi.... Nah, tunggu apa lagi? Kau takut kena kutukan nasib sial?"
"Bukan begitu," kata Penyelidik Pertama lambat-lambat. "Tapi kotak ini terasa terlalu enteng. Walau begitu -"
Dibukanya penutup kotak itu. Anak-anak berebut-rebutan memandang ke dalamnya. Mereka tidak melihat batu permata kemilau di situ, melainkan hanya secarik kertas tergulung. Dengan gerakan seperti sedang bermimpi, Jupiter memungut kertas itu, lalu membukanya. Sebuah kalimat tertulis di situ.
Galilah yang dalam. Waktu penting sekali.

Bab 15
RAHASIA ISI PESAN

Setelah membaca tulisan di kertas itu, Jupiter hanya menatapnya dengan nanar selama beberapa saat. Jelas sekali bahwa ia kecewa. Ia sudah begitu yakin bahwa mereka akhirnya berhasil menemukan Mata Berapi. Dan Penyelidik Pertama Trio Detektif itu paling tidak suka apabila perkiraannya keliru. Tulisan itu dibacanya sekali lagi, keras-keras,
"Galilah yang dalam. Waktu penting sekali!"
"Tapi itu kan sudah dikatakan dalam pesan pertama!" desak Pete.
"Rupanya kita kurang dalam menggali rahasia teka-tekinya," kata Jupiter. "Patung-patung ini rupanya dipakai Mr. August, hanya untuk menyesatkan orang yang dengan salah satu cara mengetahui isi pesannya, lalu ikut mencari batu permata itu, Gus! Menurutku, paman ayahmu itu memperkirakan bahwa kau akan memahami maksudnya."
"Tapi kenyataannya tidak," kata Gus sambil mengerutkan kening. "Saat ini aku benar-benar buta! Mungkin Kakek Horatio memperkirakan Ayah akan ada bersamaku untuk membantu memecahkan teka-teki yang terkandung dalam pesannya. Tapi Ayah tidak bisa ikut datang. Uang kami hanya cukup untuk perjalanan satu orang saja. Lagi pula, ia harus mengurus usahanya di rumah."
"Coba kita baca lagi pesan itu," kata Jupiter menyarankan. Gus mengeluarkan surat wasiat Kakek Horatio dari kantungnya dan menyerahkannya pada Jupiter. Kertas itu dibentangkan di atas bangku. Anak-anak membaca isinya bersama-sama.
Kepada August August, anak kemenakanku. August berarti Besar: August namamu dan Besar ketenaranmu, serta dalam Agustus terletak kemujuranmu. Janganlah berhenti karena kesulitan menggunung yang merintangi langkahmu: bayangan kelahiranmu menandai saat awal dan akhir.
Galilah yang dalam: makna kata-kataku hanya bagimu seorang saja. Aku tidak berani berbicara lebih jelas, supaya jangan ada orang lain menemukan apa yang diperuntukkan bagimu. Akulah pemiliknya: aku telah membayar untuknya dan aku yang memilikinya, namun aku takut pada kedengkiannya.
Tetapi lima puluh tahun berlalu dan masa setengah abad tentu sudah membersihkannya. Namun masih tetap tidak boleh dirampas atau dicuri, melainkan harus dibeli, diberi, atau ditemukan.
Karenanya hati-hatilah, walau waktu penting sekali. Inilah yang kuwariskan padamu, serta segala kasih sayang.
Horatio August
"Bagiku masih saja tetap merupakan teka-teki," kata Pete dengan kening berkerut.
"Terus terang, bagiku juga sama saja," kata Gus sependapat. "Di sini dikatakan, dalam Agustus terletak kemujuranku. Tapi jika bukan dalam salah satu dari kedua patung Augustus itu seperti sudah terbukti, lalu apa maksudnya? Sekarang ini bulan Agustus, dan besok hari ulang tahunku. Aku dilahirkan pukul setengah tiga tanggal 6 Agustus, menurut cerita ayahku. Tapi bagaimana mungkin, kemujuranku terletak dalam bulan Agustus?"
Jupiter mencubiti bibir bawahnya. Tapi sekali itu otaknya tidak berhasil memberikan jawaban. Ia mendesah.
"Kurasa besok saja kita lanjutkan, apabila pikiran sudah tenang sehabis tidur satu malam," katanya. "Tapi coba kulihat pecahan patungnya sekali lagi."
Pete menyodorkan kedua pecahan patung Octavianus padanya. Jupiter mengamat-amati rongga di tengah patung bekas tempat kotak kecil tadi.
"Ya," katanya kemudian. "Rupanya Mr. August menggali lubang dari bagian ubun-ubun, lalu menutupnya kembali dengan gips. Menurut dugaanku, lubang itu digalinya untuk mengeluarkan Mata Berapi dari sini, lalu menyembunyikannya di tempat lain yang lebih aman. Rupanya ia merasa tempat persembunyian dalam patung ini masih kurang aman."
Anak-anak yang lain diam saja, karena tidak ada yang dapat dikatakan untuk mengomentari pendapat Jupiter itu.
"Yah - kurasa sekarang tidak ada apa-apa lagi yang masih bisa kita lakukan kecuali makan saja dulu," kata Jupiter setelah beberapa saat. "Baru kusadari bahwa perutku sudah sejak pagi belum diisi lagi. Pantas rasanya sudah lapar sekali! Mungkin besok kita akan mendapat gagasan-gagasan baru lagi."
Bob pulang naik sepeda ke rumahnya.
Di meja makan, ia membuat catatan mengenai kejadian-kejadian hari ini, sebelum ada yang lupa. Ia sedang menuliskan perjalanan Jupiter, Gus, dan Pete ke bekas rumah kediaman mendiang Mr. August, ketika tiba-tiba disadarinya bahwa nama ngarai di mana rumah itu terletak sebenarnya agak aneh kedengarannya. Dial Canyon! Apalah artinya nama, tapi di pihak lain -
"Yah, pernah Ayah mendengar tentang suatu ngarai bernama Dial Canyon?" tanyanya pada ayahnya, Mr. Andrews. "Letaknya di utara Hollywood. Namanya agak aneh kedengarannya!"
Ayahnya menurunkan buku yang saat itu sedang dibaca.
"Dial Canyon?" katanya. "Hmm. Aku ingat-ingat lupa. Coba kulihat sebentar dalam peta."
Mr. Andrews mengambil sebuah buku besar berisi peta-peta daerah sekitar situ dari rak buku.
"Dial Canyon - Dial Canyon," gumamnya sambil membalik-balik halaman. "Sebentar, sebentar - nah, ini dia. Kubacakan, ya! 'Ngarai kecil yang sukar didatangi, letaknya terpencil di sebelah utara Hollywood. Dahulu bernama Sundial Canyon, yang berarti Ngarai Jam Matahari, karena kalau dilihat dari sudut tertentu, salah satu puncak bukit yang mengapitnya nampak seperti penunjuk pada jam matahari.' Kau kan pernah melihat jam matahari, Bob. Nah, penunjuknya adalah bagian yang berdiri tegak lurus terhadap permukaan jam itu dan bayangannya yang jatuh pada permukaan menyatakan waktu saat itu. Nama yang asalnya Sundial Canyon, kemudian disingkat menjadi Dial Canyon. Orang kan senang gampangnya saja!"
"Terima kasih, Yah," kata Bob.
Ia meneruskan penulisan catatannya sebentar. Sementara itu ia berpikir-pikir, apakah sebaiknya keterangan yang baru diperolehnya itu segera disampaikan pada Jupiter - atau tidak perlu. Baginya tidak perlu karena tidak penting.
Tapi siapa tahu, apa yang dianggap penting oleh Jupiter! Akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Penyelidik Pertama. Begitu teman itu terdengar suaranya di pesawat, dengan segera Bob menceritakan hal yang baru saja didengar dari ayahnya. Sesaat ia tidak mendengar apa-apa. Kemudian terdengar Jupiter menelan ludah sekali.
"Bob," kata Penyelidik Pertama. Terdengar jelas bahwa ia memaksa dirinya agar terdengar tenang. "Itu dia yang kita cari-cari! Itu petunjuknya!"
"Apa yang kaukatakan petunjuk itu?" tanya Bob bingung. Ia sama sekali tidak mengerti, apa lagi yang dimaksudkan oleh Jupiter.
"Petunjuk yang kuperlukan, Bob! Sekarang dengar dulu. Besok pagi kau harus bekerja di perpustakaan, kan? Nah, sehabis makan siang, kau kemari. Kita bilang saja pukul satu. Saat itu segala-galanya akan sudah kusiapkan."
"Disiapkan untuk apa?" tanya Bob. Tapi Jupiter sudah meletakkan gagang pesawat di seberang sana. Bob kembali ke meja makan dengan kening berkerut. Ia merasa bingung. Jika yang dikatakannya tadi itu petunjuk - lalu petunjuk untuk apa? Baginya, laporannya tadi sama sekali tidak penting.
Ia masih tetap bingung ketika masuk ke tempat tidur. Dan sepanjang pagi di perpustakaan ia bekerja sambil termangu-mangu terus, karena masih selalu berusaha menebak apa yang dimaksudkan oleh Jupiter kemarin malam.
Tapi ia baru mengetahuinya setelah makan siang, ketika sudah sampai di kompleks penimbunan barang bekas tempat perusahaan Jones Salvage Yard. Jupiter, Gus, dan Pete sudah menunggu di situ. Bob melihat truk yang kecil sudah siap berangkat. Hans yang menyetir, sementara Konrad duduk di sampingnya. Di bak belakang ada beberapa buah sekop serta setumpuk kain terpal yang dijadikan tempat duduk untuk anak-anak Jupiter menenteng kameranya.
"Mau ke mana kita?" tanya Bob, sementara truk kecil itu berangkat.
"Aku juga ingin tahu," kata Pete. "Sikapmu pagi ini misterius sekali, Jupe. Beri tahu kami dong, apa rencanamu. Kami kan kerabat kerjamu?!"
"Kita akan menguji pesan yang ditinggalkan Mr. Horatio August pada Gus," kata Jupiter. Kelihatannya ia merasa puas terhadap dirinya sendiri. "Hans dan Konrad kuajak, sebagai tindakan berjaga-jaga. Kurasa takkan ada orang berani menyerang kita nanti, karena pasti akan menghadapi mereka berdua."
"Ya deh, ya deh," kata Pete yang sudah tidak sabar lagi. "Kau tidak perlu bercerita panjang lebar lagi. Bilang saja, kita ini sekarang mau ke mana!"
"Begini! Petunjuknya kuperoleh dari Bob, ketika ia mengatakan bahwa ngarai yang bernama Dial Canyon tempat Kakek Horatio tinggal semasa hidupnya, dulu namanya Sundial Canyon - yang artinya Ngarai Jam Matahari," kata Jupiter memulai penjelasannya. "Sebetulnya aku bisa menemukan sendiri petunjuk itu. Soalnya, ketika aku duduk dalam keadaan terikat pada kursi di dapur tempat itu, aku melihat bayangan puncak bukit itu bergerak menyusur lapangan rumput, seperti bayangan jarum jam matahari.
"Paman ayahmu ketika menuliskan pesannya padamu menyangka bahwa kau pasti akan mengerti, Gus - karena tahu bahwa ia menaruh minat besar pada berbagai sistem penunjukan waktu. Dianggapnya kau atau ayahmu pasti akan menghubungkan minatnya itu dengan nama ngarai tempat kediamannya serta pesannya padamu, lalu memahami maksudnya yang tersembunyi - sementara orang lain yang tidak mengenal kegemarannya pasti takkan bisa tahu."
"Aku masih belum bisa mengerti," kata Gus.
"Nanti dulu!" seru Bob bergairah. "Sundial Canyon - Ngarai Jam Matahari - bayangan jarum jam alam di lapangan rumput menunjukkan tempat di mana Mata Berapi dipendamkan dalam tanah, dan Gus disuruh menggali di situ. Itukah jawabannya?"
"Tepat!" kata Jupiter.
"Tapi lapangan rumput di sana itu kan tidak kecil ukurannya," kata Pete menyela. "Bagaimana kita nanti bisa mengetahui tempatnya yang tepat?"
"Itu dikatakan dalam pesan," jawab Jupiter. "Coba kita simak sekali lagi. Boleh kulihat surat itu sebentar, Gus? Terima kasih."
Jupiter membentangkan kertas berisi pesan itu lalu membacakan beberapa bagian, sementara truk berjalan terus.
"Bagian ini, yang menyebut-nyebut nama, ketenaran, serta kata-kata 'dalam Agustus terletak kemujuranmu', Gus - tujuannya untuk mengarahkan perhatian Gus pada kata 'Agustus', sementara bagi orang lain merupakan teka-teki. Sekarang ini, 'janganlah berhenti karena kesulitan menggunung yang merintangi langkahmu: bayangan kelahiranmu menandai saat awal dan akhir.' Kalimat ini seakan-akan mengandung arti tertentu - padahal yang dimaksudkan lain. Kakek Horatio berpendapat, Gus pasti akan tahu bahwa yang dimaksudkan dengan kata 'menggunung' adalah puncak bukit yang menjulang di pinggir Dial Canyon, sedang 'bayangan kelahiran' berarti bayangan puncak itu pada saat kelahirannya, yaitu pukul setengah tiga siang tanggal enam Agustus. Betul, Gus?"
"Betul! Sekarang aku mulai mengerti. Agustus - gunung - bayangan - saat kelahiranku - semuanya jelas sekali hubungannya begitu kita tahu bahwa yang dibicarakan jam matahari berukuran raksasa."
"Selebihnya cukup jelas," kata Jupiter lagi. " 'Galilah yang dalam', artinya seperti yang dikatakan. Sedang isi pesan selebihnya hanya untuk membingungkan orang lain saja yang kebetulan membaca pesan ini. Tapi ungkapan, 'waktu penting sekali', mengandung arti ganda. Arti yang satu, Gus harus cepat-cepat mencari batu delima itu. Sedang arti yang lain, kembali pada gagasan jam matahari. Dalam hubungan itu, saat yang tepat sangat menentukan!"
"Hari ini tepat tanggal enam Agustus. Pukul setengah tiga siang, tidak sampai sejam lagi!" kata Pete gelisah.
"Kita takkan terlambat, karena tinggal beberapa mil lagi dari tempat itu," kata Jupiter.
Pete menoleh ke belakang, mengamati jalan yang sudah dilalui. Tidak nampak mobil lain.
"Kelihatannya kita tidak dibuntuti," katanya lega.
"Aku yakin, sekali ini kita sudah menemukan jejak yang benar," kata Jupiter. "Kurasa segala-galanya pasti akan berjalan lancar, karena ada Hans dan Konrad sebagai pengawal."
Truk tua bergerak terus menyusur jalan raya. Kemudian membelok, memasuki jalan sempit yang menuju ke Dial Canyon. Mereka melalui bagian jalan yang diapit rapat oleh tebing di sisi kiri-kanan. Setelah itu memasuki dataran terbuka di mana terdapat rumah yang dituju. Hans menghentikan kendaraan, lalu berseru ke arah bak belakang.
"Bagaimana, Jupe? Kelihatannya ada orang mendului kita!"
Anak-anak yang duduk di belakang berdiri untuk menengok ke depan. Apa yang mereka lihat sama sekali tidak membesarkan hati. Di dataran sekeliling rumah nampak sejumlah truk yang besar-besar. Bukan cuma itu saja, tapi juga sebuah buldoser dan sebuah mesin pengeruk yang besar sekali.
Sementara anak-anak masih memandang dengan kecut, mesin itu meneruskan pekerjaannya - menggerogoti rumah mendiang Horatio August! Sebagian besar dari atas serta satu sisi rumah sudah ambruk. Mesin pengeruk yang bekerja sebagai katup raksasa itu dengan enaknya meraup bagian-bagian rumah, lalu menjatuhkan puing-puingnya ke truk yang ada di dekatnya. Sedang buldoser meratakan tanah di belakang rumah. Pohon-pohon yang ada di situ ditumbangkan dengan gampang saja, sementara tanam-tanaman kebun yang masih tersisa dilindas dengan begitu saja.
"Regu penggusuran!" kata Pete. "Mr. Dwiggins waktu itu mengatakan rumah ini tidak lama lagi akan digusur, dan di tempatnya akan dibangun perumahan baru."
"Dan tanah sekitarnya diratakan!" kata Bob kecut. "Jangan-jangan Mata Berapi sudah tergali oleh mesin besar itu!"
"Kurasa belum," kata Gus. "Lihatlah! Bayangan puncak bukit menggelapi sebelah sana - pada bagian yang merupakan lapangan rumput. Mereka belum sampai ke sana."
Saat itu sebuah truk yang mengangkut puing datang dari arah rumah yang sedang digusur, lalu berhenti di depan truk mereka.
"Minggir!" seru pengemudi kendaraan berat itu. "Aku tidak bisa lewat. Kami harus mengejar waktu, karena dikontrak untuk menyelesaikan pekerjaan ini dengan cepat!"
Hans menggerakkan truk yang dikemudikannya ke pinggir. Truk yang terhalang tadi menderu lewat. Sementara itu sebuah truk lain nampak sedang diisi bak belakangnya dengan puing-puing reruntuhan rumah yang sedang digusur. Pekerjaan itu berjalan dengan cepat sekali.
"Kita maju ke tempat terbuka di sebelah sana itu," seru Jupiter pada Hans. "Kita berhenti di sana. Nanti kalau ada orang bertanya, biar aku yang menjawab."
"Oke, Jupe," kata Hans. Dimajukannya truk dua ratus meter lebih ke depan, lalu dihentikannya di tempat yang tidak mengganggu lalu lintas. Anak-anak turun, lalu memandang ke arah rumah yang sudah hampir habis digusur. Seorang laki-laki bertubuh pendek gempal, dengan pakaian jas tapi memakai topi helm pengaman, nampak melintasi lapangan rumput dan menghampiri mereka.
"Mau apa kalian di sini?" tanya orang itu. Nada suaranya tidak ramah. "Kami tidak memerlukan penonton!"
Bob dan Pete tidak tahu apa yang harus dikatakan. Tapi Jupiter tidak kehilangan akal.
"Pamanku waktu itu memborong semua perabot tua yang ada di rumah itu," katanya. "Kami disuruhnya kemari untuk melihat barangkali saja masih ada yang lupa diangkut."
"Di rumah itu tidak ada apa-apa lagi!" jawab laki-laki pendek gempal itu dengan tandas. "Semua sudah diangkut. Jadi kalian pergi saja lagi!"
"Bolehkah kami melihat-lihat sebentar di sini?" tanya Jupiter. Ia menunjuk ke arah Gus. "Teman kami ini dari Inggris. Ia belum pernah melihat cara kerja regu penggusur di Amerika. Ia sangat tertarik pada pekerjaan ini."
"Pergi, kataku tadi!" geram laki-laki itu. "Ini bukan sirkus, tahu! Nanti kalau kalian mengalami cedera, bagaimana? Asuransi kami tidak menanggung risiko kecelakaan yang begitu."
"Sebentar saja - masa tidak boleh?" Jupiter cepat-cepat melirik arlojinya. Pukul dua lewat seperempat, katanya dalam hati. "Seperempat jam saja!" katanya lagi dengan nada meminta-minta. "Kami akan tetap di sini, sehingga tidak mengganggu siapa-siapa."
Tapi laki-laki yang kelihatannya mengepalai regu pekerja itu hatinya sedang tidak enak. Ia semakin marah. "Ayo, pergi! Sekarang juga!" bentaknya.
Anak-anak memandang ke arah bayangan puncak bukit yang jatuh di lapangan rumput. Lima belas menit lagi, bayangan itu akan menunjukkan tempat di mana Mata Berapi terpendam dalam tanah.
"Baiklah, kami pergi," kata Jupiter. "Tapi Anda pasti tidak berkeberatan jika aku memotret rumah itu. Sebentar saja lagi - tak sampai semenit."
Tanpa menunggu balasan lagi remaja itu menuju ke ujung bayangan di lapangan rumput sambil menyetel tustelnya. Kepala regu pekerja tadi sudah membuka mulutnya hendak membentak, tapi akhirnya tidak jadi. Mungkin ia tidak mau repot. Jupiter berjalan terus, lalu berhenti sekitar satu meter dari ujung bayangan. Ia menghadap ke rumah yang sedang digusur, lalu memotretnya. Setelah itu diletakkannya tustelnya ke tanah. Ia membetulkan tali sepatunya. Setelah itu ia bergegas-gegas kembali.
"Terima kasih," katanya. "Sekarang kami pergi!"
"Dan jangan kembali," kata laki-laki tadi dengan jengkel. "Besok seluruh tempat ini akan kami ratakan. Tiga bulan lagi di sini akan sudah dibangun enam rumah baru, mengelilingi kolam renang yang terletak di tengah-tengah. Kalian boleh kembali saat itu, untuk membeli salah satu rumah!" Orang itu tertawa mengejek.
Jupiter naik lagi ke truk, diikuti oleh teman-temannya dengan perasaan kecut. Hans menghidupkan mesin, lalu menjalankan truk pergi dari situ. Pete mengeluh.
"Dasar sial," katanya. "Diusir pergi, padahal kita sudah hampir berhasil memperoleh warisan Gus. Sedang besok, seluruh tempat ini akan diratakan dengan buldoser. Kita gagal!"
"Belum," kata Jupiter. Ia merapatkan bibinya. "Nanti malam kita kembali, kalau sudah gelap. Kita akan mencoba lagi!"
"Dalam gelap?" tanya Bob. "Bagaimana kita bisa menemukan tempatnya yang tepat dalam gelap? Saat itu kan tidak ada bayangan puncak di tanah!"
"Kita akan meminta bantuan pada rajawali untuk menemukannya." jawab Jupiter. Selain ucapan misterius itu, ia tidak mau mengatakan apa-apa lagi.

Bab 16
TAMU TAMU YANG TAK DIUNDANG

Sore itu waktu terasa berjalan dengan sangat lambat, seperti merangkak. Pete, Bob, dan juga Gus sibuk bekerja di pekarangan tempat penimbunan barang bekas, untuk mengganti waktu kerja Hans dan Konrad yang hilang karena ikut dengan mereka tadi. Anak-anak itu mengecat sejumlah kursi taman sehingga nampak seperti baru lagi dan siap untuk dijual.
Sedang Jupiter sibuk sendiri di bengkelnya. Ia mengutak-utik sebuah alat yang dibuat sendiri olehnya. Ia tidak mau mengatakan untuk apa alat itu. Tapi teman-temannya menduga, pasti ada sangkut pautnya dengan niat mencari Mata Berapi malam itu.
Sehabis bekerja, anak-anak makan malam di rumah Jupiter. Dan sehabis makan, Hans membawa truk yang kecil keluar. Ia memarkir kendaraan itu di suatu tempat yang tidak menyolok, beberapa blok lebih jauh. Ia menunggu anak-anak di situ.
"Nah!" kata Jupiter. "Sekarang kita harus membuat jejak palsu untuk menyesatkan orang yang mungkin sedang mengintip kita. Aku tadi sudah memesan Worthington agar datang kemari dengan Rolls-Royce, apabila sudah gelap. Kita harus bersiap-siap untuk itu!"
"Kau hendak memanfaatkan kesempatan kita yang terakhir memakai mobil itu?" tanya Pete. "Wah - sehabis ini kalau hendak ke mana-mana kita harus jalan kaki!"
"Kan masih ada sepeda," kata Bob. "Dan sekali-sekali kita juga boleh meminjam truk."
"Itu tidak begitu bisa dijadikan andalan," kata Pete menggerutu. "Saat kita memerlukannya, nanti truk itu sedang dipakai! Sekarang pun bibimu pasti sudah sebal karena kita meminjamnya terus, Jupe! Habislah sekarang riwayat kita sebagai penyelidik!"
"Kita akan terus sebisa-bisa kita," kata Jupiter optimis. "Tapi memang tidak begitu gampang soalnya."
Gus merasa tertarik. Ia ingin mengetahui bagaimana Jupiter bisa sampai memenangkan hak menggunakan mobil Rolls-Royce antik itu. Pete menceritakannya.
"Tapi kini waktunya sudah habis," desah Pete. "Menurut perhitungan Jupe, kami sebenarnya masih lama berhak memakainya. Tapi Mr. Gelbert dari perusahaan yang menyewakan kendaraan itu sama sekali tidak mau diajak berkompromi. Karena itu sekarang ini kesempatan kami yang terakhir mempergunakannya."
"Sayang," kata Gus. Ia Ikut merasa menyesal. "Setelah kulihat sendiri bagaimana luasnya wilayah California sebelah selatan ini, aku sadar bahwa orang yang tinggal di sini memang sangat memerlukan kendaraan bermotor."
"Nanti saja kita cari jalan lain mengenainya," kata Jupe. "Sekarang kita harus mengatur pancingan untuk menyesatkan lawan. Kalian semua harus memakai jasku. Aku sudah menyediakannya di sini."
Ia menghampiri lemari, lalu mengeluarkan empat potong jasnya. Ketiga temannya mengenakan masing-masing satu. Tentu saja tidak pas. Apalagi bagi Pete, yang bertubuh tinggi kekar. Tapi untuk dipakai saja, masih bisa.
"Aduh, aduh-apa lagi permainan yang sedang kalian lakukan sekarang, Anak-anak?" tanya Bibi Mathilda ketika ia melihat keempat remaja yang semuanya memakai jas milik Jupiter. "Sungguh - aku tidak tahu apa maunya kaum remaja jaman sekarang ini!"
"Kami ingin mengecoh beberapa - eh, anu - beberapa kawan kami, Bibi," kata Jupiter. Paman Titus, suami Bibi Mathilda, tertawa geli. Memang lucu kelihatannya: Pete dengan jas yang nampak terlalu kecil baginya, sementara Bob mengenakan jas yang baginya kedodoran.
"Itu kan keisengan anak-anak saja, Mathilda," katanya. "Dulu ketika aku masih muda, aku juga suka bercanda seperti mereka."
Jupiter mengajak ketiga temannya menuju ke tempat bengkel Trio Detektif. Alat yang dibuat oleh Jupiter sore itu terletak di atas meja. Alat itu terbuat dari logam dan berbentuk bulat serta bergagang panjang. Kelihatannya seperti alat pengisap debu. Nampak pula alat pendengar yang pemakaiannya dengan dipasangkan pada kepala. Alat pendengar itu dihubungkan pada bagian bulat dari alat yang dibuat oleh Jupiter tadi dengan seutas kabel.
Di bengkel itu nampak pula empat boneka berukuran sebesar manusia, yang dibeli Paman Titus beberapa hari yang lalu. Boneka-boneka yang biasanya dipakai oleh penjahit pakaian itu dijejerkan seperti seregu prajurit tanpa kepala.
"Sekarang boneka-boneka ini harus kita dandani," kata Jupiter. "Karena itulah kalian kuminta mengenakan jasku untuk pergi kemari. Jika saat ini ada orang mengintai segala gerak-gerik kita, aku tidak ingin ia melihat kita ke sini membawa pakaian. Buka jas yang kalian pakai, lalu sampirkan pada salah satu boneka ini. Kancingkan dengan rapi!"
Anak-anak yang lain mengikuti instruksi Jupiter. Setelah semua selesai, keempat boneka tadi nampak memakai jas. Tapi bagian lengan kosong, tergantung tanpa isi.
"Menurutku, mereka tidak kelihatan seperti manusia yang benar," kata Pete. "Takkan bisa kita menipu orang dengan cara begini."
"Nanti kan lebih mirip jika sudah kita pasangi kepala," kata Jupiter menenangkan "Ini kepala-kepala mereka." Sambil berkata begitu, dikeluarkannya empat buah balon yang kempis dan sebuah kantung kertas. "Kalian tiup balon ini sampai ukuran sebesar kepala orang - lalu ikatkan ke bagian leher boneka-boneka ini," katanya lagi.
Anak-anak mengikuti kemauannya. Tapi setelah diberi kepala balon, boneka-boneka itu masih saja kelihatan seperti semula. Jadi seperti boneka, dan bukan manusia yang sebenarnya.
"Dilihat samar-samar dalam gelap, tentunya akan lebih mirip," kata Jupiter.
Anak-anak menunggu hari sudah gelap. Keempat boneka dengan kepala balon tadi kini mulai nampak seperti manusia biasa. Tapi manusia aneh, dan agak menakutkan. Saat itu terdengar bunyi tuter mobil di luar.
"Itu pasti Worthington," ujar Jupiter. "Tadi kuminta padanya agar memarkir Rolls-Royce dekat sekali kemari. Yuk - masing-masing membawa satu boneka ke mobil."
Anak-anak beriring-iring keluar dari tempat bengkel. Masing-masing menggendong satu boneka yang sudah didandani. Mereka berjalan di antara barang-barang bekas yang bertumpuk-tumpuk, menuju Rolls-Royce yang menghadang di dekat situ. Worthington sudah membukakan pintu, sementara lampu sebelah dalam dimatikan.
"Saya sudah datang, Master Jupiter," kata supir gagah itu. "Siap menjalankan tugas."
"Ini para penumpangnya, Worthington," kata Jupiter. "Mereka pengganti kami."
"Baik," kata Worthington. "Biar saya bantu memasukkan mereka ke dalam mobil!"
Keempat boneka itu mereka sandarkan ke jok belakang. Dengan pintu ditutup dan lampu dalam dimatikan, yang kelihatan kemudian hanya empat bayangan gelap dengan kepala terangguk-angguk. Dari jauh kelihatannya seperti empat remaja yang bergerak-gerak dengan gelisah. Dan sudah wajar jika penumpang Rolls-Royce itu bersikap demikian saat itu!
"Nah, Worthington," kata Jupiter lagi, "sekarang Anda berangkat lalu menyusur jalan pantai dengan kecepatan cukup tinggi. Setelah itu Anda menuju ke daerah pedalaman dan berkeliling-keliling di sana selama dua jam. Sesudah itu Anda kembali kemari dan menurunkan keempat boneka itu. Kurasa kita takkan berjumpa lagi setelah ini, karena hak kami menggunakan Rolls-Royce Anda sudah habis."
"Saya sudah mendengarnya juga," kata supir jangkung bangsa Inggris itu. "Sayang, karena saya senang sekali bergaul dengan kalian. Tapi baiklah - saya berangkat saja sekarang."
"Jangan hidupkan lampu dulu, sebelum Anda sudah satu blok dari sini," kata Jupiter memberi petunjuk.
Anak-anak memperhatikan mobil hitam mengkilat itu pergi dengan lampu-lampu dipadamkan semua, seolah-olah tidak ingin dilihat orang.
"Yah - kalau ada orang mengintai, pasti yang di dalam mobil itu disangka kita," kata Bob. "Setidak-tidaknya, untuk sementara."
"Aku mengandaikan bahwa pengintai yang mungkin ada di luar akan mengikuti mobil itu untuk melihat ke mana kita hendak pergi," jawab Jupiter. "Dan sekarang giliran kita. Kita keluar dari sini lewat Kelana Gerbang Merah. Itu jalan rahasia kami untuk keluar dari kompleks ini, Gus. Hans sudah menunggu dengan truk yang kecil, beberapa blok dari sini. Pete, tolong bawakan alat itu!"
Pete mengangkat alat bertangkai panjang yang siangnya diutak-utik oleh Jupiter. Keempat remaja itu mengendap-endap di antara timbunan barang-barang bekas, menuju ke Kelana Gerbang Merah, yang merupakan pintu rahasia Trio Detektif menembus pagar belakang kompleks itu. Mereka menyelinap memasuki suatu lorong yang gelap, lalu berjalan beberapa blok ke tempat Hans menunggu dengan truk yang kecil. Sesampai di situ anak-anak bergegas masuk ke dalam kendaraan itu yang kemudian langsung berangkat. Sejauh pengamatan mereka, tidak ada yang membuntuti mereka.
Akhirnya mereka sampai dengan selamat di Dial Canyon. Truk berhenti dekat rumah Kakek Horatio yang sudah setengah tergusur habis. Tidak terdengar bunyi yang mencurigakan di situ. Anak-anak melihat beberapa truk besar diparkir di lapangan rumput sementara buldoser ada di dekat situ. Kelihatannya siap untuk dikerahkan lagi esok hari. Tapi untungnya tidak ada penjaga malam di situ.
"Nanti kauputar truk kita, lalu hentikan melintang di tengah jalan menuju kemari, Hans," kata Jupiter sambil turun dari kendaraan itu. "Tolong jaga di sana! Kalau kaulihat ada yang datang, bunyikan tuter sebagai isyarat bagi kami."
"Beres, Jupe," kata Hans.
"Sejauh ini semuanya berjalan dengan baik," kata Jupiter dengan suara pelan. "Sekarang kita lihat saja, apakah detektorku ini bisa menanyakan tempat yang tepat pada burung rajawali."
"Kenapa sih, kau kalau berbicara selalu berteka-teki, Jupe! Jelaskan dong maksudmu!" keluh Pete, sementara ia bersama Bob dan Gus ikut turun sambil membawa sekop.
"Alat ini namanya detektor logam," kata Jupiter sambil berjalan di lapangan rumput. "Alat ini bisa mengindera logam yang terpendam dalam tanah."
"Apa itu, mengindera?" tanya Pete.
"Manusia mengindera dengan kelima inderanya," kata Jupiter menjelaskan. "Jadi kita mengindera dengan jalan melihat, mendengar, mencium dengan hidung, mencicip dengan lidah, serta meraba. Sedang alat seperti detektor ini - ya mengindera saja, karena apa yang dilakukan bukan melihat mendengar, atau mencium. Tapi detektor bisa tahu kalau dalam tanah ada logam. Mengerti?"
"Ya deh, ya deh," kata Pete. Ia merasa dirinya digurui.
"Tapi Mata Berapi kan bukan logam?!" kata Bob.
"Memang bukan! Tapi tadi siang ketika aku membungkuk untuk membetulkan tali sepatu setelah memotret rumah, aku sempat membenamkan mata uang perak setengah dollar ke dalam tanah," kata Jupiter menjelaskan. "Gunanya untuk menandai letak tempat itu. Kalian tahu kan, pada bagian belakang uang setengah dollar ada lambang rajawali. Nah - rajawali itulah yang akan kutanyai sekarang."
"Tapi tadi kan belum pukul setengah tiga, Jupiter," kata Gus, sementara keempat remaja itu berjalan dalam gelap di lapangan. "Kalau tidak salah, baru pukul dua lewat seperempat."
"Aku sudah memperhitungkan kemungkinan posisi ujung bayangan lima belas menit kemudian," jawab Jupiter. "Kurasa kita sekarang sudah tidak jauh lagi dari tempat siang tadi."
Ia berhenti, lalu menempelkan alas detektor yang dibawanya ke tanah. Dipasangnya alat pendengar ke kepala. Setelah menekan sebuah sakelar, remaja itu mulai menggerakkan bagian detektor yang bulat kian kemari di atas rumput.
"Begitu berada di atas logam, alat ini akan mendengung," kata Jupiter menjelaskan. "Di sini gelap sekali - tapi kurasa inilah tempat tadi, kalau dilihat dari letak rumah."
Jupiter berjalan melingkar dengan alat detektornya. Makin lama makin besar lingkarannya. Kemudian Pete menggantikannya, setelah ia capek. Tapi alat pengindera logam itu masih belum memperdengarkan bunyi apa-apa.
"Bisa sepanjang malam kita begini terus tanpa bisa menemukan rajawalimu itu," keluh Pete. "Lapangan rumput ini terlalu luas."
"Letaknya pasti di dekat-dekat sini," kata Jupiter. "Tadi siang kubenamkan tegak lurus supaya tidak gampang kelihatan orang lain. Coba kauayunkan detektor itu ke arah sini, Pete!"
Pete menuruti permintaan Jupiter. Saat berikutnya ia kaget, karena mendengar bunyi desingan sebentar lewat alat pendengar yang dipakai.
"Mundur! Kau tadi melewatinya," bisik Jupiter tegang.
Pete menggerakkan detektor itu mundur, sedikit demi sedikit. Sesaat kemudian didengarnya bunyi desingan nyaring. Diletakkannya alat pengindera itu ke rumput. "Kita menemukannya!" seru Pete.
Jupiter cepat-cepat berlutut. Diambilnya senter yang digantungkan ke ikat pinggang, lalu dinyalakan. Ia meraba-raba dengan dibantu sinar senter yang didekatkan ke tanah. Akhirnya ditemukan juga mata uang setengah dollar itu.
"Sekarang kita harus menggali," katanya. "Yang kutandai ini bisa saja bukan tempatnya yang tepat. Karena itu lubang yang kita gali harus agak besar."
Pete mengambil sekop yang dipegang Bob selama itu, lalu mulai menggali. Lubang yang dibuatnya makin lama makin besar. Suasana dalam ngarai sunyi senyap. Hanya bunyi sekop saja yang kedengaran.
Anak-anak menunggu bunyi sekop mengenai logam atau kayu. Kalau bunyi itu terdengar, berarti telah ditemukan sesuatu - mungkin peti, atau semacam itu. Tapi hanya bunyi sekop masuk ke tanah satu-satunya bunyi yang kedengaran.
Pete mengusap keningnya dengan tangan yang kotor kena tanah.
"Aku tidak kuat lagi," katanya. "Kurasa bukan di sini tempatnya, Jupe."
Jupe diam saja. Kelihatannya sedang berpikir-pikir. Ia memandang rumah yang gelap, sehingga hampir-hampir tidak kelihatan. Lalu pindah, mengamati puncak bukit yang juga gelap, dengan latar belakang langit berbintang. Kemudian ia maju selangkah, menghampiri rumah.
"Coba kaugali di sini," katanya.
"Ya deh," kata Pete. Dihunjamkannya ujung sekop ke tanah. Ia mulai menggali lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi sekop mengenai batu. Batu? Mungkinkah benda keras lainnya? "Aku mengenai sesuatu," kata Pete berbisik.
"Coba kuperiksa sebentar," kata Jupiter tegang. Disorotkannya senter ke tempat yang baru digali. Di situ nampak sudut sebuah kotak kecil menonjol ke luar. Jupiter cepat-cepat berlutut, lalu menggali tanah sekitar kotak itu dengan kedua tangannya. Akhirnya kotak itu bisa dipegang olehnya. Ia menarik dan merenggut. Tanah berhamburan mengotori tubuhnya. Dengan pelan ia berhasil menarik kotak ke luar.
"Sebuah kotak," bisiknya. "Kelihatannya seperti dari batu sabun. Bob! Tolong terangi kotak ini, sementara kucoba apakah tutupnya bisa kubuka."
Jupiter mengutak-utik pengunci kotak itu, yang kelihatannya terbuat dari emas. Ia menyorongnya ke satu arah. Setelah itu ke arah berlawanan. Terdengar bunyi pelan. Jupiter berhasil membuka pengunci itu. Ia bimbang sesaat. Kemudian dengan hati-hati dibukanya tutup kotak itu.
Sebuah batu merah memancarkan sinar kemilau. Batu itu terletak di atas kapas yang merupakan alasnya.
"Kita menemukannya!" seru Pete. "Kau berhasil, Jupe! Kau ternyata berhasil!"
"Bagus! Bagus!" puji Gus.
Jupiter hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Saat itu terjadi sesuatu, yang menyebabkan keempat remaja itu mengejang seperti patung.
Dengan tiba-tiba kegelapan malam dirobek cahaya terang menyilaukan. Keempat remaja itu menjadi bulan-bulanan empat jalur sinar senter yang terang sekali. Dengan mata terpicing karena silau, hanya secara samar-samar saja mereka melihat beberapa sosok tubuh datang menyelinap ke arah mereka.
"Nah, sekarang setelah kalian berhasil menemukannya, serahkan pada kami!" bentak suara seseorang.
Di balik sinar terang, nampak empat orang berkumis bergerak menghampiri. Seorang dari mereka menggenggam pistol.
"Kawanan Kumis Hitam!" bisik Bob dengan suara serak. "Rupanya mereka menunggu kita di sini! Selama ini mereka bersembunyi di belakang truk-truk itu!"
"Kami mendengar tentang kedatangan kalian kemari tadi siang," kata laki-laki yang bernama Joe. "Begitu pula bahwa kalian kemudian diusir. Kami merasa yakin, pasti kalian akan datang lagi."
"Sudah, jangan banyak bicara lagi. Aku hanya ingin batu itu," sergah temannya yang bernama Hugo. "Serahkan sekarang juga - dan jangan mencoba main-main denganku."
Bob kaget melihat reaksi Jupiter. Belum pernah dilihatnya Penyelidik Pertama bersikap setakut saat itu. Tangannya gemetar. Sebagai akibatnya, kotak berisi batu berharga itu terlepas dari pegangan dan jatuh ke dalam lubang.
"Se - sebentar. Ku - kuambilkan," kata Jupiter terbata-bata. Ia membungkuk, meraba-raba sebentar, lalu memungut sesuatu.
"Ini dia," katanya. "Jika kau menginginkannya - ambil sendiri!" Sambil berkata begitu dilemparkannya benda yang dipungutnya tadi tinggi-tinggi, melampaui kepala Hugo. Semua yang ada di situ melihat suatu benda berwarna merah kemilau melambung tinggi dan kemudian jatuh di tempat gelap.

Bab 17
"SERAHKAN MATA BERAPI!"

Hugo menyumpah dengan sengit, lalu cepat-cepat berpaling.
"Cepat cari!" teriaknya pada kawan-kawannya. "Arahkan sinar senter ke sana!"
Sementara kawanan Kumis Hitam menyorotkan senter mereka ke arah di mana batu yang dilempar Jupiter tadi jatuh, remaja itu sendiri tidak tinggal diam.
"Cepat, lari ke truk!" desisnya pada kawan-kawannya. "Mereka takkan menembak!"
Sambil berkata begitu ia cepat-cepat keluar dari lubang. Keempat remaja itu melesat melintasi lapangan rumput yang gelap, menuju ke tempat Hans menunggu dengan truk. Pemuda Jerman itu sama sekali tidak mengetahui kejadian yang baru saja berlangsung, karena perhatiannya sepenuhnya tertuju ke jalan masuk.
Sementara kawanan Kumis Hitam masih saja sibuk mencari-cari Mata Berapi di tengah rumput tinggi, Jupiter serta ketiga kawannya sudah sampai di truk, lalu mereka cepat-cepat naik.
"Hans! Kita berangkat!" seru Jupiter. "Cepat!"
Tanpa bertanya lagi Hans menghidupkan mesin truk. Sesaat kemudian kendaraan itu sudah menyusur jalan sempit, pergi dari Dial Canyon.
Anak-anak tidak ada yang berbicara. Semua sibuk menjaga jangan sampai jatuh, sementara truk berjalan terbanting-banting dan berulang kali menikung dengan tajam. Lalu lintas saat itu sudah sepi. Dengan cepat sekali mereka sudah kembali di Markas Besar. Hans membelokkan truk ke dalam gerbang yang terbuka, memasuki pekarangan yang gelap. Anak-anak turun. Pete, Bob, dan Gus turun dengan lesu. Mereka tadi pergi tanpa sempat membawa peralatan sekop, detektor logam - dan juga Mata Berapi.
Keempat remaja itu bergerombol di depan kantor perusahaan.
"Yah - begitulah keadaannya," desah Pete.
"Akhirnya mereka berhasil juga mengalahkan kita," kata Bob.
"Kelihatannya memang begitu," kata Jupiter.
"Kelihatannya?" ujar Gus dengan nada bertanya. "Apa maksudmu mengatakan 'kelihatannya', Jupiter?"
"Semula aku berharap mereka akan mengintai Rolls-Royce," kata Jupiter. "Ternyata kita yang tertipu, karena mereka menunggu di rumah itu. Untung aku mendapat firasat tidak enak, lalu mempersiapkan diri. Dan hasilnya - Bob, tolong nyalakan senter, dan arahkan sinarnya kemari."
Bob menyalakan senter yang diarahkan pada Jupiter. Anak-anak melihat Jupiter berdiri dengan tangan disodorkan ke depan. Sebutir batu merah kemilau terletak di telapaknya. "Inilah Mata Berapi yang asli," katanya. "Yang kulempar tadi yang palsu! Waktu itu kan ditinggalkan oleh Tiga Bintik di sini. Ketika kita berangkat tadi, aku sengaja membawanya untuk menghadapi segala kemungkinan. Lalu ketika aku membungkuk untuk memungut kotak yang sengaja kujatuhkan, aku mengeluarkan batu imitasi itu lalu melemparkannya jauh-jauh."
"Kau ini jenius, Jupe!" seru Bob bangga.
"Ya, betul!" sambut Gus. "Kau berhasil menipu mereka!"
Pete ikut mengiakan.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seseorang. Suara bernada dingin. Pelan, tapi mengancam. "Dan sekarang aku yang mengambil Mata Berapi! Serahkan padaku!"
Sebelum keempat remaja itu benar-benar menyadari apa yang mereka dengar, lampu halaman yang terpasang di depan kantor dinyalakan. Kini anak-anak melihat orang yang tiba-tiba berbicara. Laki-laki kurus jangkung itu ternyata selama itu berdiri di balik sudut kantor. Kini ia melangkah maju, sambil menyodorkan tangannya.
Orang itu Tiga Bintik. Tangannya yang satu lagi memegang tongkat pedang. Ia mengayun-ayunkannya, seakan siap untuk mempergunakannya bila perlu.
Anak-anak hanya bisa memandangnya sambil melongo.
"Jangan coba lari!" kata Tiga Bintik sambil mengacungkan tongkat, sementara tangannya yang satu lagi masih disodorkan ke depan.
"Aku menunggu," katanya. "Sejak sore tadi aku menunggu! Siasat kalian memberangkatkan boneka-boneka naik Rolls-Royce memang lucu, tapi aku tidak bisa ditipu dengan cara begitu. Tapi aku yakin, kawanan konyol berkumis palsu yang tidak henti-hentinya mengoceh tentang patung Augustus pasti tertipu karenanya. Aku sendiri cepat menyadari bahwa patung-patung itu pasti petunjuk yang sengaja untuk menyesatkan. Sudah kukatakan hal itu pada mereka. Aku menarik kesimpulan, kalian pasti sudah menemukan jejak yang sebenarnya. Dan kalian ternyata berhasil menemukan Mata Berapi. Sekarang serahkan padaku!"
Menurut perasaan Bob, sekarang mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mata Berapi terpaksa harus diserahkan pada orang itu.
Tapi Jupiter masih nampak bersikap ragu. Ia menimang-nimang Mata Berapi di telapak tangannya. Anak itu menelan ludah, lalu berkata,
"Mr. Rhandur," katanya, "Anda dari Candi Keadilan di Pleshiwar?"
"Betul, Anak muda," kata Tiga Bintik. "Aku ini penghubung dengan dunia luar. Sudah lima puluh tahun lamanya aku serta pendahulu-pendahuluku mencari batu ini, agar Dewa Keadilan kami kembali bisa menentukan keadilan antara baik dan jahat! Mata Berapi waktu itu dicuri, lalu dijual oleh salah seorang petugas candi yang berbuat salah. Ia melakukannya agar jangan sampai diadili oleh Mata Berapi. Tapi kemudian ia menerima hukuman yang menimpa setiap orang yang berani mencuri permata suci itu. Sekarang serahkanlah padaku - sebelum kalian mengalami nasib sama."
Tiga Bintik mengangkat tongkat pedangnya, seakan-akan untuk mempertegas ancamannya. Tapi Jupiter masih tetap diam di tempatnya.
"Tapi sekarang batu ini sudah memurnikan dirinya," katanya membantah. "Jadi boleh dimiliki dengan jalan ditemukan, dibeli, atau karena dihadiahkan. Tapi tidak boleh dengan jalan merampas atau mencurinya. Legenda mengenainya mengatakan begitu. Aku menemukannya, jadi aku aman dari kutukannya. Dan sekarang kuhadiahkan permata ini pada Gus. Ini, Gus!"
Jupiter menyerahkan batu delima itu pada Gus yang menerimanya dengan sikap agak kebingungan. "Kau menerimanya sebagai pemberian, jadi kau juga aman. Sekarang, jika Anda merampasnya dari anak ini, Andalah yang akan terkena kutukan, Mr. Rhandur!"
Lama sekali laki-laki asing itu bimbang. Matanya menatap tajam. Akhirnya dengan pelan dimasukkannya tangan yang disodorkan tadi ke kantungnya.
"Kusangka kalian bisa kutakut-takuti, sehingga akhirnya mau menyerahkan Mata Berapi," katanya. "Ternyata aku keliru. Kau memang benar - aku tidak berani merampasnya. Tapi -"
Tangan yang dimasukkan ke kantung tadi keluar lagi sambil memegang secarik kertas persegi panjang berwarna hijau. Disodorkannya kertas itu pada Gus.
"Aku bisa membelinya," kata orang itu selanjutnya. "Bisa kaulihat bahwa cek itu sah. Aku memang sudah bersedia memberi imbalan uang apabila Mata Berapi tidak bisa kuperoleh dengan jalan lain. Kau bisa saja mencoba menjualnya pada orang lain - tapi kemungkinan bahwa akan ada yang mau membeli kecil sekali. Riwayat mengenai kutukannya akan selalu menghantui, sehingga para pengumpul permata takkan berani mengambil risiko untuk memilikinya. Kusarankan agar kauterima saja tawaranku itu!"
Dengan sikap ragu Gus menerima cek yang disodorkan, lalu memandang sekilas. Saat itu juga mulutnya ternganga!
"Wow!" ucapnya dengan gaya remaja Amerika. Keinggrisannya dilupakannya sesaat. "Beres, Sir! Aku setuju. Boleh Anda ambil batu itu!"
Gus mengacungkan telapak tangannya yang memegang Mata Berapi. Tiga Bintik mengambilnya, lalu memasukkannya ke dalam kantung. Ia membungkukkan badannya, sebagai ucapan terima kasih.
"Kalian tidak perlu mengkhawatirkan pembalasan kawanan konyol berkumis palsu itu," katanya. "Mereka itu cuma sekelompok petualang yang secara kebetulan mendengar tentang harta rahasia Mr. August, dan kemudian mencoba menemukannya untuk dijual padaku. Aku menyesali ketololanku, karena mencoba menakut-nakuti kalian agar mau menyerahkannya padaku dengan begitu saja."
Tiga Bintik diam sebentar.
"Kalian tentunya ingin tahu, apa sebabnya aku bisa ada di sini," sambungnya kemudian. "Aku datang setelah membaca berita dalam surat kabar mengenai kematian Mr. August. Sejak bertahun-tahun aku mencari-cari berita yang demikian. Akhirnya kutemukan, walau agak terlambat. Sekarang - selamat tinggal!"
Mr. Rhandur pergi dengan langkah ringan, seperti harimau yang sedang menyelinap. Sesaat kemudian terdengar bunyi mobil dihidupkan. Tiga Bintik sudah pergi lagi.
Keempat remaja yang ditinggal saling berpandang-pandangan.
"Aku rasanya seperti sedang mimpi," kata Bob memecah kesunyian.
"Apalagi aku," sambut Gus. "Cek ini - aduh, bukan main berharganya warisan Kakek Horatio padaku! Dan kau yang menemukannya untukku, Jupiter!"
Jupiter ditepuk-tepuk oleh ketiga temannya. Ketiganya tertawa-tawa. Tapi Jupiter hanya tertegun saja berdiri dengan wajah suram.
"Kenapa kau, Jupe?" tanya Bob melihat keadaan yang begitu. "Ada apa? Mestinya kan kau yang paling bergembira!"
"Ada apa, tanyamu?" Jupiter mengeluh. "Coba lihat keadaanku ini. Penuh tanah. Tanganku, mukaku, pakaianku - segala-galanya! Kau kan tahu, bagaimana Bibi Mathilda kalau soal kotoran. Pasti begitu aku masuk ke rumah nanti, aku langsung disuruhnya mandi!"

CATATAN ALFRED HITCHCOCK

Masih ada sedikit lagi yang perlu ditambahkan pada kisah Misteri Mata Berapi ini.
Setelah cek yang diterima sebagai pembayaran permata itu diuangkan, August August memberikan hadiah yang lumayan banyaknya pada ketiga anggota Trio Detektif. Ia juga menghubungi Mr. Gelbert dari Rent-'n Ride Auto Agency untuk mengatur agar Trio Detektif tidak mengalami kesulitan pengangkutan. Sebagai hasil bantuan anak Inggris itu, Worthington beserta Rolls-Royce-nya akan tetap tersedia bagi para penyelidik remaja itu, kapan saja mereka memerlukannya. Jadi mereka tidak usah khawatir usaha mereka terhenti.
Beberapa hal yang semula menjadi pertanyaan akhirnya bisa diketahui, setelah kasus Mata Berapi ditutup. Mr. Dwiggins ternyata tidak bersekongkol dengan kawanan Kumis Hitam. Tapi ia yang menyebabkan kawanan itu memiliki salinan pesan Mr. August yang misterius. Hugo keponakannya. Dan Hugo secara kebetulan ikut mendengar ketika Mr. Rhandur menawarkan pembayaran besar pada Mr. Dwiggins, apabila pamannya itu bisa mengatakan di mana Mata Berapi berada.
Kemudian Hugo memaksa pamannya menyerahkan salinan pesan Mr. August padanya. Mr. Dwiggins berpura-pura diserang, karena merasa malu terpaksa membantu Hugo serta kawanannya. Ketika anak-anak datang lalu "menyelamatkan" Mr. Dwiggins, Hugo ada di kamar sebelah. Ia mendengar percakapan mengenai patung gips dan menduga bahwa patung-patung itu pasti penting.
Kemudian ia menghubungi Mr. Rhandur, yang menyatakan mau memberikan pembayaran sebagai imbalan apabila Hugo berhasil menyerahkan permata yang dikeramatkan itu padanya. Bersama kawanannya, ia memaksa Jackson ikut mencari Mata Berapi.
Hal ini bagi Jupiter menjelaskan pertanyaan yang membingungkan dirinya. Bagaimana Mata Berapi bisa begitu cepat berada di tangan Mr. Rhandur, padahal baru saja Hugo menyambarnya ketika terguling keluar dari patung Augustus yang pecah. Rupanya Hugo langsung mendatangi Mr. Rhandur dengan permata itu. Tapi Tiga Bintik langsung melihat bahwa yang dibawa itu hanya permata imitasi belaka. Ucapan Mr. Rhandur kemudian, yang sambil lalu berbuat seolah-olah baru saja membunuh Hugo, sebenarnya hanya untuk menakut-nakuti saja.
Gus, yang sudah menjadi berada, kembali ke Inggris. Hugo bersama kawanannya menghilang - entah ke mana. Lalu bagaimana dengan Mata Berapi? Mestinya sudah kembali di tempat semula, dalam Candi Keadilan di Pleshiwar. Dari sana tidak terdengar kabar apa-apa.
Sedang Trio Detektif sementara ini sudah giat lagi mencari-cari misteri baru yang perlu diselidiki. Aku menunggu-nunggu berita lagi dari mereka. Dan begitu kudengar cerita petualangan mereka yang baru, kalian pasti akan kuajak menikmatinya.
Salam hangat

ALFRED HITCHCOCK