Trio Detektif - Pengemis Buta Bermuka Rusak(1)

Alfred Hitchcock Dan Trio Detektif
dalam:
PENGEMIS BUTA BERMUKA RUSAK
Alihbahasa: Agus Setiadi


DAFTAR ISI
Sepatah kata dari Hector Sebastian
1. Ke Mana Larinya si Buta Tadi?
2. Dompet yang Tercecer
3. Pria Misterius
4. Trio Detektif Mendapat klien
5. Penuturan Mr. Bonestell
6. Pemimpi yang Ketakutan
7. Pete Menghadiri Rapat
8. Beberapa Petunjuk Baru
9. Penata Rias
10. Kawanan Teroris
11. Serangan!
12. Alat Penyadap Percakapan
13. Peringatan
14. Ernie Mengadakan Perjanjian
15. Bob dalam Kesulitan
16. Jupe Terjebak
17. Petunjuk yang Menentukan
18. Para Tawanan
19. Mimpi Menjadi Kenyataan
20. Akhir yang Dahsyat
21. Mr. Sebastian Merasa Ingin Tahu



Sepatah Kata dari Hector Sebastian

PERTAMA-TAMA saya ucapkan selamat datang pada kalian. Saya merasa senang
dan juga bangga bahwa Trio Detektif meminta saya agar menuliskan kata
pendahuluan untuk kisah petualangan mereka yang terbaru ini. Kisahnya
membingungkan, dengan liku-liku internasional, dan melibatkan sebuah dompet
yang hilang, perampokan bank, serta kawanan teroris—yang semuanya
dihubungkan oleh seorang tunanetra yang mukanya rusak.
Tapi kalian tentunya sudah bertanya-tanya dalam hati: kenapa bukan Alfred Hitchcock yang menuliskan kata pengantar ini. Itu merupakan pertanyaan yang
tepat, dan jawabannya akan dapat ditemukan dalam buku ini.
Mengenal kisahnya sendiri, saya tidak mau terlalu banyak bercerita, karena
khawatir keasyikan kalian nanti berkurang. Kalau sudah tidak sabar lagi, silakan
mulai saja membaca Bab 1. Tapi jika di antara kalian ada yang kebetulan baru
sekali ini berkenalan dengan Trio Detektif—saya rasa kemungkinan itu sangat
kecil—baiklah saya katakan secara singkat bahwa ketiga detektif remaja itu
bertempat tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di pinggir kota besar Los
Angeles, di pantai barat Amerika Serikat. Pemimpin mereka bernama Jupiter
Jones. Daya ingatnya luar biasa, sangat cerdas, dan tingkah lakunya berwibawa.
Pete Crenshaw, penyelidik yang satu lagi, bertubuh tinggi kekar. Ia lebih suka
berhati-hati kalau dibandingkan denjan Jupiter, yang biasa disapa dengan
panggilan Jupe. Bob Andrews bertugas di bidang penelitian dan pencatatan, meski
ia juga gemar melakukan petualangan.
Kalian mungkin ingin tahu, aku ini siapa. Baca saja kisah berikut ini, nanti kalian pasti tahu juga.

HECTOR SEBASTIAN









Bab 1
KE MANA LARINYA SI BUTA TADI?

“HHH! Kalau begini terus, bisa-bisa aku menjerit nanti!” kata wanita bermantel
hujan itu dengan kesal, setengah pada diri sendiri.
Tiba-tiba datang angin kencang menyapu. Payung terbuka yang dipegang wanita
itu disentakkan angin sehingga terbalik ke atas. Air hujan bertemperasan
dibuatnya, membasahi kaca jendela toko-toko yang berjejer di tepi Wilshire
Boulevard.
Bob Andrews yang saat itu sedang berdiri di halte bis, untuk sesaat mengira wanita itu benar-benar akan menjerit, melihat caranya mendelikkan mata menatap
payungnya yang rusak. Kemudian dipandangnya Bob dengan sikap menuduh,
seakan-akan semua itu karena kesalahan Bob. Tapi tahu-tahu wanita itu tergelak.
“Sialan!” katanya. Dicampakkannya payung rusak itu ke tong sampah yang
terdapat di tepi trotoar. “Salahku sendiri, kenapa keluàr juga, meski sudah tahu
sekarang ini di kawasan California sedang sering hujan dan angin."
Wanita itu menghampiri bangku yang ada di sebelah papan tanda halte bis, lalu
duduk di situ.
Bob menggigil. Ia menyempitkan bahunya, menahan kelembapan udara dan hawa
dingin. Sepanjang ingatannya, belum pernah dialaminya bulan April yang begitu
basah. Dan bukan cuma sangat sering hujan, tapi juga dingin! Saat itu hampir
pukul enam sore, hari Senin Paskah. Hari sudah gelap, karena cuaca mendung.
Sudah siang tadi Bob tiba di Santa Monica, karena disuruh ibunya mendatangi
sebuah toko kain untuk membeli pola gaun. Ia tidak berkeberatan menggunakan
masa liburan musim seminya untuk melakukan tugas itu. Tapi kini rasanya ia
sudah begitu lama menunggu datangnya bis untuk kembali ke Rocky Beach. Untuk
kesekian kalinya, dengan jengkel dikeringkannya kaca matanya yang basah kena
air hujan.
“Ah, orang buta itu datang lagi,” kata wanita yang duduk di bangku.
Bob mendengar bunyi tongkat diketuk-ketukkan ke trotoar dan gerincing uang
logam dalam mangkuk kaleng. Ia menoleh ke arah bunyi itu.
"Kasihan," kata wanita itu iagi. "Belakangan ini ia sering nampak di sekitar sini.
Setiap kali berjumpa, aku selalu memberinya uang sekadarnya."
Wanita itu mencari-cari dalam dompetnya, sementara orang buta itu semakin
mendekat. Bob melihat bahwa orang itu kurus dan bungkuk. Kerah jasnya yang
kumuh dilipat ke atas untuk menutupi telinga, sedang topi petnya yang terbuat dan bahan kain dibenamkan dalam-dalam menutupi kening. Matanya terlindung di
batik kaca mata hitam. Sepotong kardus dengan tulisan rapi digantungkan dengan
peniti pada bagian depan jasnya. Kertas kardus itu ditapisi dengan plastik supaya tidak basah. Tulisannya berbunyi, "Saya tunanetra. Semoga Tuhan memberkati Anda”
“Cuacanya tidak enak,” kata wanita tadi sambil berdiri, lalu menjatuhkan sekeping uang ke dalam mangkuk yang dipegang orang buta itu.
Orang itu mengatakan sesuatu dengan suara tidak jelas. Tongkatnya yang dicat
putih diketuk-ketukkan pada tepi trotoar, lalu dipukulkan ke bangku. Ia mengetuk-
ngetukkannya sepanjang tepi bangku itu dulu. Setelah itu ia duduk.
Bob dan wanita tadi masih memperhatikan orang itu sesaat. Kemudian mereka
memalingkan muka, menatap jendela-jendela bangunan bank yang terang
benderang—yang terdapat di seberang jalan.
Ruangan bank itu nampaknya baru saja selesai dibersihkan. Kursi-kursi di
dalamnya diatur pada tempat-tempat semestinya, dan meja-meja pelayanan
kelihatan mengkilat. Ada dua orang yang melakukan tugas membersihkan di situ.
Satu di antaranya pria berambut kelabu gondrong. Ia memakai pakaian kerja tanpa
lengan. Rekannya wanita, bertubuh pendek gempal. Mereka berdiri menunggu di
pintu bank yang membuka ke serambi depan bangunan, di mana bank itu berada.
Seorang satpam berpakaian seragam beigegas-gegas datang dari sebelah belakang
ruangan bank, membawa seberkas anak kunci. Ia bercakap-cakap sebentar dengan
kedua pekerja yang menunggu itu. Kemudian dibukakannya pintu bank, dan kedua
orang itu melangkah keluar.
Ketika kedua orang itu sudah masuk ke lift  yang terdapat di seberang serambi, Bob secara tidak sengaja menoleh lagi ke orang buta tadi. Dilihatnya rambut beruban
bersembulan dari tepi bawah topi pet orang itu. Pipinya ditumbuhi cambang yang
kelihatannya sudah beberapa hari tidak dicukur. Juga dilihatnya bekas luka yang
lebar memanjang dari dagu sampai tulang pipi. Luka separah itu pasti disebabkan
kecelakaan yang gawat kata Bob dalam hati. Ia menduga-duga, mungkin kecelakaan itu pula yang menyebabkan orang itu buta.
Orang yang sedang diperhatikannya mencondongkan tubuhnya ke depan, seakan-
akan hendak berdiri. Tapi rupanya kakinya terkait ke tongkatnya. Itu menyebabkan
ia terhuyung ke samping dalam keadaan masih setengah duduk.
Wanita yang duduk di sebelahnya kaget. Cepat-cepat dipegangnya lengan orang
buta itu, untuk menjaga jangan sampai terjatuh. Entah bagaimana, tahu-tahu
mangkuk kaleng yang dipegangnya jatuh terpental ke tanah. Uang yang ada di
dalamnya berserakan ke mana-mana.
"Uangku!" seru orang buta itu.
“Biar kami yang memungutkannya untuk Anda." kata wanita itu. Ia berjongkok
untuk memunguti keping-keping uang yang terserak di trotoar, sementara Bob
mencari-cari dalam selokan. Kemudian wanita tadi mengambil mangkuk kaleng
yang terguling sampal ke dekat sebuah tong sarnpah, lalu memasukkan keping-
keping uang itu ke dalamnya.
“Sudah ketemu semuanya?” tanya si Buta. “Itu hasilku sehari penuh."
Bob menjatuhkan tiga keping uang yang basah karena terendam ke dalam
mangkuk, dua uang dua puluh lima sen dan satu uang sepuluh sen.
“Rasanya semua sudah terkumpul kembali,” katanya.
Wanita itu menyodorkan mangkuk itu pada si Buta. Orang itu menumpahkan
keping-keping uang itu ke telapak tangannya lalu menghitung-hitung jumlahnya. Ia
mendengus dan berkata, "Ya, cocok.”
“Anda juga menunggu bis?” tanya wanita itu. “Kelihatannya sudah datang.”
“Tidak,” jawab si Buta. “Terima kasih, Nyonya. Saya tinggal di dekat sini."
Bob memandang ke seberang jalan. Pria yang tadi membersihkan ruang bank
nampak muncul lagi di serambi depan bangunan itu. Ia berdiri di depan pintu
lembaga keuangan itu sambil mengguncang-guncang pintunya. Dari arah sebelah
belakang bank nampak satpam datang dengan berkas kunci di tangan. Ia membuka
pintu kemudian berbicara sebentar dengan pria pembersih ruangan yang lalu
masuk ke dalam bank.
Si Buta berdiri lalu melangkah pergi sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke trotoar.
“Kasihan,” kata wanita tadi. “Mudah-mudahan saja tempat tinggalnya memang
tidak jauh dari sini."
Bob memperhatikan si Buta berjalan dengan langkah tertegun-tegun menyusur
Wilshire Boulevard.
“Eh,” kata wanita itu, "ia menjatuhkan sesuatu!”
"He, Pak!" seru Bob memanggil. “Tunggu sebentar! "
Tapi si Buta rupanya tidak mendengar seruannya, karena ia terus saja berjalan.
"Tunggu!" seru Bob. Ia berlari dan memungut sebuah dompet yang tergeletak di trotoar.
Sementara itu si Buta sudah sampai di ujung sebuah jalan samping. Ia melangkah
sampai ke tepi trotoar, meraba-raba dengan tongkatnya, lalu melangkah ke jalan
samping itu.
Sosok tubuhnya yang kurus nampak jelas disoroti lanpu-lampu besar sebuah mobil
yang datang dari jalan samping itu dengan kecepatan agak tinggi. Pengemudinya
mengerem karena di ujung jalan itu ada tanda ‘Stop’. Tapi karena jalan licin kena air hujan, kendaraan itu tidak bisa langsung berhenti. Bob berseru kaget, sementara wanita yang masih ada di dekatnya menjerit. Terdengar bunyi ban mendecit-decit.
Si Buta membalikkan tubuh, berusaha menghindari mobil yang bergerak dengan
kecepatan yang masih cukup tinggi ke arahnya. Terdengar bunyi berdebum, dan
pengemis buta itu jatuh terguling ke jalan.
Mobil yang membenturnya berhenti, dan pengemudinya meloncat ke luar. Bob
berlari menghampiri, disertai wanita itu. Mereka bertiga sampai pada waktu yang
sama di tempat orang buta itu tergeletak.
Pengemudi mobil berjongkok di samping korban. Ia menjamah lengan orang itu,
hendak membantunya duduk.
Tapi pengemis itu malah berteriak. Dipukulnya orang yang hendak menolong itu
dengan tangan terkepal, sehingga orang itu buru-buru mundur.
"Kaca mataku!” Tangan pengemis itu menggerayang, mencari-cari.
Wanita yang datang bersama Bob mengambil kaca mata hitam yang tergeletak di
jalan dan menyodorkannya pada Si Buta. Untung kacanya tidak pecah.
Si Buta memakai kaca matanya kembali, lalu meraba-raba lagi mencari
tongkatnya.
Pengemudi mobil mengambilkannya dan menyodorkannya ke tangan Si Buta.
Pengemudi mobil itu masih muda. Bob melihat mukanya yang pucat karena masih
kaget diterangi sorot lampu mobilnya.
Dengan pelan-pelan pengemis buta itu berdiri. Ia menggerak-gerakkan kepalanya
dengan sikap mencari, seakan-akan bisa melihat jika Ia cukup keras berusaha, lalu melangkah masuk ke jalan samping. Jalannya kini pincang. Setiap kali ia napasnya
tersentak seperti kesakitan.
“Tunggu sebentar, Pak!” seru pengemudi mobil.
"Ia pasti cedera." kata wanita yang datang bersama Bob. "Kita mestinya memanggil polisi!”
Sementara itu si Buta terus berjalan sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya.
Terpincang-pincang dan dengan napas tersentak-sentak. Tapi walau begitu
geraknya masih cukup cepat, hampir-hampir berlari.
Bob lari menyusul sambil berseru-seru menyuruhnya menunggu.
Pengemis buta itu menghilang masuk ke dalam sebuah lorong yang terdapat di
belakang sederetan toko Bob menyusul masuk ke situ. Lorong itu sangat gelap
sehingga Bob tersandung-sandung berjalan dengan tangan diulurkan ke depan
untuk berjaga-jaga apabila di depan ada rintangan. Di ujung lorong itu ada
pekarangan sempit. Sebuah bola lampu menyala di atas pintu belakang sebuah
bangunan, menerangi sebuah tong sampah dan selembar kardus yang kelihatan
sudah mulai lunak kena air hujan. Bob melihat ada lorong lain di situ, yang menuju kembali ke Wilshire Boulevard. Tapi pengemis buta tadi tidak kelihatan lagi.
Orang itu menghilang!





Bab 2
DOMPET YANG TERCECER
“PASTI ia tidak benar-benar buta,” kata Bob. “Sebab, kalau buta mana mungkin
bisa lari begitu cepat?”
“Mungkin saja orang yang buta bisa cukup gesit jalannya apabila berada di
lingkungan yang dikenal baik olehnya,” kata Jupiter Jones. “Dan jangan lupa,
orang buta sudah biasa bergerak dalam gelap.” Jupiter mengatakannya dengan
gaya bicaranya yang khas.
Saat itu sudah keesokan harinya. Bob sedang berkumpul bersama kedua
sahabatnya, Jupiter dan Pete Crenshaw, di bengkel Jupe yang terdapat di
pekarangan Pangkalan Jones. Hujan sudah berhenti. Langit pagi itu cerah, dan
ketiga remaja itu sedang membicarakan kejadian yang dialami Bob pada petang
hari sebelumnya. Dompet pengemis buta yang tercecer tertetak di bangku kerja
Jupe.
“Katakanlah ia sebenarnya tidak buta, tapi kenapa ia lari?" kata Bob. “Ia bersikap seperti takut pada kami yang ada di sana waktu itu.”
Bob berpikir sebentar.
“Kurasa kami yang ada di sana waktu itu semuanya bersikap aneh,” katanya
kemudian. “Wanita yang saat itu bersama aku sedang menunggu bis, tahu-tahu
sudah pergi ketika aku sedang masuk ke lorong. Rupanya saat itu bis datang dan ia langsung saja naik. Pengemudi mobil yang menubruk orang buta itu dengan segera
pergi setelah kukatakan padanya bahwa orang buta itu tidak ada lagi. Sedang aku
cuma berdiri saja di situ—seperti orang tolol—sambil memegangi dompet itu.
Padahal, mestinya kan kusebutkan nama si Buta pada pengemudi mobil itu, serta
namaku juga.”
"Kau kan sedang kaget waktu itu,” kata Jupiter. “Dalam keadaan seperti begitu, orang sering bertingkah laku aneh.”
Sambil mendengarkan Bob bercerita, Jupiter sibuk mengutik-utik sebuah pesawat
televisi bekas yang dibawa pulang ke pangkalan barang-barang bekas itu oleh
Paman Titus seminggu sebelumnya. Jupiter telah menukar lampu-lampunya yang
sudah mati dengan lampu-lampu baru yang tersedia di situ, serta melakukan
beberapa penyetelan di bagian dalam pesawat. Kini ditegakkannya pesawat itu di
bangku kerjanya, lalu dicolokkannya kabel listriknya ke steker.
Seketika itu juga terdengar bunyi mendengung.
“Nah!’ kata Jupiter.
“Lagi-lagi kau berhasil,” kata Pete berlagak kagum.
"Mungkin," kata Jupe. Diputarnya sebuah tombol.
Ketiga remaja itu tertawa nyengir. Jupiter Jones mernang bisa dibilang jenius kalau disuruh membetulkan barang-barang rusak atau membuat berbagai benda dari
bermacam-macam suku cadang yang sudah dibuang orang lain. Ia-lah yang
membuat ketiga pesawat radio walkie-talkie  yang sering dipergunakan oleh ketiga remaja itu. Dia pula yang membetulkan mesin cetak tua yang kini terdapat di salah satu sudut bengkel itu. Dan ia yang membangun teropong yang merupakan bagian
perlengkapan kantor mereka, yang terletak dalam sebuah karavan tua yang sudah
tidak terpakai lagi. Karavan itu terletak dekat bengkel Jupiter, disembunyikan di bawah tumpukan barang rongsokan. Paman Titus dan Bibi Mathilda yang
memberikan karavan itu kepada Jupiter dan kedua temannya untuk dijadikan
tempat berkumpul, sudah hampir-hampir tidak pernah ingat lagi kalau kendaraan
bekas itu ada di situ.
Paman dan bibi Jupiter tahu bahwa ketiga remaja itu berminat menyelidiki kasus-
kasus kejahatan. Mereka juga tahu bahwa mereka menamakan diri mereka Trio
Detektif. Tapi Paman Titus dan Bibi Mathilda tidak tahu bahwa anak-anak itu
sangat giat melakukan kegemaran mereka itu. Karavan bekas yang diberikan pada
mereka diperlengkapi dengan berbagai peralatan yang diperlukan untuk
menyelidiki kasus-kasus yang ditangani. Ada laboratorium kecil di situ, lengkap
dengan alat pemeriksa sidik jari serta sebuah mikroskop. Ketiga remaja itu
mencuci dan mencetak sendiri foto-foto mereka di kaman gelap yang juga ada di
dalam karavan. Sebuah lemari arsip dari besi berisi catatan kasus-kasus yang sudah mereka selesaikan. Ada pula pesawat telepon yang sewanya dibayar dengan uang
yang mereka peroleh dengan jalan membantu-bantu di pangkalan milik paman dan bibi Jupiter itu.
Dan kini, nampaknya pesawat televisi itu akan menjadi penlengkapan tambahan di
dalam kantor mereka. Di layarnya muncul gambar yang semula masih bergerak-
gerak sedikit, tapi dengan segera menjadi stabil.
“...dengan warta berita,” kata orang yang nampak di layar. Rupanya ia pembawa
acara.
Wajahnya digantikan seorang pembaca benita, yang pertama-tama mengucapkan
selamat pagi. Setelah itu ia mengatakan bahwa topan yang datang dari Pasifik
sudah melewati kota Los Angeles, dan diprakirakan bahwa untuk beberapa hari
berikut cuaca akan cerah di atas kawasan California Selatan.
“Di bukit-bukit sebelah atas Malibu tenjadi tanah longsor di beberapa tempat,”
kata pembaca berita itu melanjutkan. “Dan penduduk Big Tujunga Canyon sibuk
membersihkan bekas-bekas banjir bandang yang melanda daerah ngarai itu
kemarin.
“Reporter kami melaporkan terjadinya perampokan berani di sebuah bank, The
Santa Monica Thrift and Savings Company,  yang baru ketahuan tidak sampai dua jam yang lalu.
“Para pelakunya memasuki bank itu kemarin petang dengan menyamar sebagai
petugas pembersih ruangan. Satpam yang bertugas di situ mereka sekap di dalam
ruang direksi. Dengan tenang para pelakunya kemudian menunggu sampai pagi ini,
menunggu saat para pegawai datang bekerja. Ketika kunci pengaman lemari besi
yang disetel agar hanya bisa dibuka pada waktu-waktu tertentu sudah tidak aktif
lagi pukul delapan empat puluh lima pagi ini, Samuel Henderson, wakil direktur
bank itu, dipaksa para penjahat untuk membuka lemari besi. Para pelaku kemudian
berhasil meloloskan diri dengan membawa uang tunai sebanyak kira-kira
seperempat juta dolar serta berbagai barang berharga yang tidak diketahui nilai
keseluruhannya, yang diambil dari kotak-kotak penitipan. Perincian lebih lanjut
tentang kasus ini akan kami sampaikan nanti, dalam warta berita tengah hari.”
"Nah, begitulah!" kata Jupe, sambil mematikan pesawat televisi.
“Astaga!" seru Bob. “The Santa Monica Thrift and Savings! Aku kemarin petang ada tepat di seberang bank itu ketika pengemis buta itu... ketika...” Ia tertegun. Air
mukanya berubth, nampak menjadi agak pucat. “Kurasa saat itu aku melihat salah seorang dari perampok itu,” katanya.
Pete dan Jupe diam saja, menunggu Bob meneruskan kata-katanya.
"Ya, sungguh,” kata Bob lagi. "Dari tempatku berdiri di halte bis, aku bisa melihat ke dalam ruangan bank yang letaknya persis di seberang jalan. Aku melihat kedua
orang yang membersihkan tempat itu keluar lalu masuk ke lift untuk naik ke atas.
Tapi kemudian salah seorang dari mereka—yang pria—datang lagi. Ia mengetuk-
ngetuk pintu bank, yang kemudian dibukakan oleh satpam yang bertugas di situ.”
“Ia datang lagi?” kata Jupe. “Orangnya sama dengan yang kaulihat pergi bersama
rekannya?"
“Yah, mestinya... kurasa...” Bob kelihatan bingung. “Terus terang saja, aku tidak tahu,” katanya kemudian. "Pengemis buta itu menjatuhkan mangkuk kalengnya
sehingga uang yang ada di dalamnya berserakan ke mana-mana. Karena itu aku
dan wanita yang juga sedang menunggu bis lántas sibuk memunguti. Lalu setelah
mangkuk itu kami kembalikan pada si Buta, saat itulah aku melihat tukang
pembersih ruangan yang pria muncul lagi di depan pintu bank.
“Jadi bisa saja dia sebenarnya bukan orang yang kaulihat pengi bersama
rekannya?” kata Jupe.
Bob mengangguk.
“Hebat sekali siasat mereka!” seru Pete. “Para petugas pembersih ruangan naik ke
atas dengan lift, setelah menyelesaikan tugas membersihkan ruangan bank.
Kemudian seseorang yang berpakaian menyerupai petugas pembersih ruangan
muncul dan mengetuk-ngetuk pintu. Satpam yang bertugas datang membukakan,
lalu... Bukk! Satpam disekap di sebuah ruangan di sebelah belakang. Sementara
para penjahat sudah aman, berada di dalam bank. Mereka tinggal menunggu para
pegawai datang keesokan paginya.
"Ya, betul!” kata Bob. “Pasti begitulah kejadiannya."
“Kau melihat dari mana petugas pembersih ruangan itu datang?" tanya Jupe.
“Maksudku, ía datang di serambi depan itu lewat lift, atau masuk dari jalan?"
Bob menggeleng.
“Ketika aku melihatnya, ía sudah ada di depan pintu bank. Kusangka waktu itu, ia tentunya turun lagi ke bawah dengan lift. Tapi kalau kupikir-pikir, bisa saja ía
masuk dari luar—jika ia bukan salah satu petugas pembersih ruangan yang ada di
dalam gedung itu”
“Dengan begitu muncul alur pemikiran yang menarik,” kata Jupiter. Diambilnya
dompet yang tadi digeletakkan Bob di bangku kerjanya. “Katakanlah, orang yang
kaulihat itu datang dari luar, dari jalan. Si Buta menjatuhkan mangkuknya yang
berisi uang sewaktu orang yang masuk itu menghampiri pintu bank. Kau dan
wanita yang ada bersamamu di halte bis membungkuk untuk memunguti uang
yang berserakan di trotoar. Siapa pun juga, pasti juga akan melakukannya, karena
merasa kasihan pada pengemis buta itu. Kau begitu sibuk dengan urusan itu
sehingga tidak sempat melihat perampok masuk ke serambi. Ada sesuatu yang
timbul dalam pikiran kalian sekarang?"
Bob terkejut.
“Pengemis buta itu sebenarnya pembantu para perampok!”
Jupiter mengamat-amati dompet yang ada di tangannya.
“Bagus sekali,” katanya. “Terbuat dari kulit burung unta.” Dibukanya dompet itu.
“Dibelinya saja di ‘Neiman-Marcus’, salah satu toko paling mahal di kota itu.”
“Aku malah tidak melihatnya,” kata Bob. “Aku cuma memeriksa untuk melihat
apakah di dalamnya ada nomor telepon si Buta, karena aku bermaksud
meneleponnya untuk memberitahu. Tapi tidak ada catatan nomor teleponnya di
situ.”
Jupiter memeriksa isi dompet.
“Selembar kartu kredit, uang tunai dua puluh dolar, dan sebuah kartu SIM
Sementara. Nah — untuk apa orang buta punya surat izin mengemudi?"
Bob mengangguk.
"Jadi benar katau begitu,” katanya. “Ia hanya pura-pura saja buta.”
“Hector Sebastian,” kata Jupiter, yang membaca nama yang tertera pada kartu
SIM. “Menurut yang tertulis di sini, tinggalnya di Malibu, di Cypress Canyon
Drive nomor 2287.”
“Malibu! Wah, itu tempat tinggal yang nyaman,” kata Pete. “Mungkin penghasilan pengemis lebih besar daripada yang umumnya dikira orang.’
“Mungkin juga ini bukan alamatnya,” kata Jupiter mengetengahkan. “Mungkin
saja si Buta itu di samping pengemis juga pencopet, dan dompet ini hasil
kelincahan jari-jarinya. Atau bisa juga ia menemukannya di salah satu tempat.
Sudah kaucari nama Hector Sebastian ini di buku telepon, Bob?”
"Namanya tidak terdaftar di dalamnya,” jawab Bob.
Jupiter berdiri.
“Ada kemungkinan di tangan kita sekarang ini ada sesuatu yang menarik bagi
polisi," katanya. “Tapi di pihak lain, kenyataan bahwa seorang pengemis buta menjatuhkan dompet ini belum tentu berarti apa-apa. Begini sajalah—Cypress
Canyon Drive kan tidak begitu jauh dari sini. Bagaimana jika kita selidiki dulu ke sana, sebelum kita putuskan tindakan apa yang harus kita ambil?”
“Setuju." kata Bob dengan segera.
Kebetulan Bob dan Pete tadi datang dengan sepeda masing-masing. Karenanya
dalam beberapa menit saja ketiga remaja itu sudah menyusur jalan raya pesisir
yang bernama Pacific Coast Highway ke arah utara, menuju Malibu. Tidak sampai
setengah jam kemudian mereka sudah melewati daerah pertokoan di kawasan
pemukiman yang terkenal itu.
Cypress Canyon Drive adalah sebuah jalan sempit yang merupakan percabangan
dari jalan raya pesisir. Setelah berkelok-kelok mendaki sejauh beberapa ratus
meter, jalan itu kemudian sejajar dengan Pacific Coast Highway, tapi letaknya
lebih jauh ke darat. Anak-anak yang sementara itu sudah bersepeda di jalan sempit itu bisa mendengar bunyi mobil-mobil yang lalu lalang di jalan raya pesisir. Sekali-sekali nampak Samudra Pasifik membentang luas, dilihat dari sela-sela pepohonan
yang berjejer di sisi kiri jalan. Di sebelah kanannya terdapat lereng pegunungan
pesisir, dengan langit yang biru cerah di atas puncak-puncak pegunungan itu.
“Rasanya tidak ada yang tinggal di sekitar sini,” kata Bob, setelah mereka selama beberapa waktu bersepeda di jalan becek dan beralur-alur bekas ban kendaraan itu.
“Aku sejak tadi tidak melihat sebuah rumah pun. Jangan-jangan alamat yang
tertulis di kartu SIM itu palsu!”
“Situasi menjadi semakin misterius," kata Pete. “Untuk apa orang yang buta punya SIM? Dan jika SIM ini benar kepunyaan si Buta, untuk apa ia memakai alamat
palsu?"
Jalan yang meneka lewati menurun masuk ke sebuah cekungan yang dilintasi
sebuah kali kecil. Setelah itu jalan menanjak lagi. Anak-anak berhenti ketika sudah sampai di ujung seberang tanjakan itu. Di depan mereka terbentang sebuah parit
yang mestinya kering pada waktu musim panas, tapi kini penuh berisi air yang
mengalir deras. Dan di sisi kiri jalan, hampir di tepi parit yang sedang banjir itu nampak sebuah bangunan tua yang kelihatannya mirip lumbung, dengan jendela-jendela beratap di tingkat dua. Lampu-lampu neon terpasang sepanjang cucuran
atap. Sebuah papan nama yang terpasang pada salah satu ujung cucuran atap
bangunan yang kelihatan tidak terawat itu menunjukkan bahwa tempat itu bernama
Charlie’s Place
“Restoran?” kata Bob.
Jupe mengeluarkan dompet yang ditemukan Bob dari kantungnya. Dibacanya lagi
tulisan yang tertera pada kartu SIM.
“Nomor 2287,” katanya. “Nomor itu yang tertulis pada kotak pos yang masih baru,
yang terpasang di sebelah depan sana itu.”
Anak-anak mendengar bunyi mobil datang dari arah sebelah belakang mereka.
Dengan segera mereka menepi. Sebuah mobil sport berwarna merah benjalan
pelan-pelan menyeberangi sungai kecil yang sudah mereka lewati. Seorang pria
kurus déngan rambut ubanan dan wajah berkerut yang nampak agak murung,
duduk di belakang setir. Ia lewat saja, tanpa kelihatannya memperhatikan mereka
bertiga. Ia membelokkan mobil merah itu memasuki lapangan becek berlumpur
yang merupakan pelataran parkir bangunan yang bernama Charlie’s Place itu.
Mobil dihentikannya di situ, lalu ia keluar dengan gerakan pelan. Diambilnya
sebuah tongkat yang terletak di lantai kendaraannya. Setelah itu dinaikinya dengan pelan jenjang depan yang melendut dari bangunan reyot itu, lalu ia masuk ke
dalam. Pintu nyamuk yang dibukanya dibiarkan tertutup sendiri.
“Jalannya pincang!” kata Pete bersemangat. “He, Bob, bukankah kau tadi
mengatakan pengemis buta itu ketika buru-buru pergi kemarin petang, jalannya
terpincang-pincang?”
“Mungkinkah dia pengemis itu?” kata Jupe. “Adakah kemiripannya dengan si
Buta?”
Bob mengangkat bahu.
“Tingginya kurang lebih sama, begitu pula umurnya. Tapi pasti ada jutaan orang
yang seperti itu.”
“Baiklah,” kata Jupe. Tahu-tahu sikapnya menjadi lugas. “Aku akan masuk.”
“Mau apa kau di situ?” tanya Pete. “Membeli hamburger?”
“Mungkin juga,” kata Jupe. “Atau, bisa juga aku menanyakan jalan. Pokoknya,
akan kuselidiki siapa orang tadi. Bob, sebaiknya kau jangan sampai kelihatan. Jika memang dia orang yang ada di luar bank di Santa Monica itu kemarin malam, ada
kemungkinan kau dikenalinya kembali—lalu reaksinya tidak enak bagi kita.”
“Aku juga di sini sajalah, menemani Bob,” kata Pete. “Aku alergi, kalau
menghadapi orang yang tahu-tahu bisa naik pitam."
"Pengecut," ujar Bob mengejek.
“Bukan pengecut, tapi cuma ambisius saja,” kata Pete membalas. “Aku berambisi
untuk hidup terus sampai uzur.”
Jupe terkekeh geli, lalu sambil mendorong sepedanya masuk ke pelataran parkir
Charlie’s Place. Bob dan Pete ditinggalkannya di pinggir jalan. Setelah
menyandarkan sepeda ke dinding bangunan itu, Ia pun menaiki jenjang yang
menuju ke serambi depan yang sempit. Ditariknya pintu berkawat nyamuk
sehingga terbuka, lalu ia masuk.
Ruangan yang dimasukinya remang-remang. Jupiter melihat lantai papan yang
mengkilat, serta dinding yang dilapisi panel kayu berwarna gelap. Lurus di
depannya, di belakang sebuah ambang yang lebar, nampak sebuah ruangan yang
luas. Ruangan itu kosong. Dinding sebelah depannya terdiri dari jejeran jendela-
jendela. Di belakang jendela-jendela itu, di balik pepohonan, nampak samudra
yang kemilau airnya. Menurut dugaan Jupe, ruangan itu dulunya pasti ruang makan
sebuah restoran yang kini sudah ditutup.
Jupe berdiri di sebuah lorong lebar, yang sebenarnya merupakan serambi di luar
ruangan luas tadi. Di kiri serambi itu ada tempat yang berisi meja layan, bangku-
bangku tinggi dan bilik-bilik dengan meja serta bangku-bangku. Nampak pula
poci-poci kopi di situ. Semuanya kelihatan berdebu, diselubungi sarang labah-
labah. Itu dulu pasti ruangan tempat minum kopi, kata Jupe menduga dalam hati.
kemudian ìa memandang ke kanan. Dilihatnya ada dinding di situ, dengan beberapa pintu. Di tempat yang merupakan bekas kedai kopi, nampak kotak-kotak
kardus dan peti-peti yang ditumpuk-tumpuk. Di serambi pun terdapat pula
beberapa kotak kardus lagi. Sejumlah peti terdapat di lantai ruangan besar. Satu di antaranya sudah terbuka. Dan dalamnya melimpah serutan kayu dan kertas-kertas
yang merupakan bahan pelindung barang-barang yang semula terdapat dalam peti
kemas itu.
Jupe bergerak maju dengan langkah-langkah lambat. Baru saja ia hendak berseru
untuk memanggil, ketika didengarnya gagang telepon diangkat dari tempatnya.
Jupiter langsung berhenti. Ia memasang telinga. Seseorang yang berada di ruang
luas dan terang di hadapannya, tapi tidak kelihatan dari tempatnya berdiri,
memutar nomor pesawat seseorang.
Sesaat kemudian terdengar suara seorang pria berbicara.
“Di sini Sebastian."
Setelah sunyi sebentar, terdengar lagi suara orang itu.
“Ya,” katanya, “Saya tahu harganya mahal, tapi saya bersedia membayarnya.
Semua memang ada harganya.’
Saat itu Jupiter merasa ada sesuatu yang kecil tapi keras disodokkan ke
punggungnya, sedikit di atas pinggangnya.
“Silakan angkat tangan,” kata seseorang yang ada di belakangnya dengan suara
pelan. “Jika Anda bergerak, saya potong Anda menjadi dua!”







Bab3
PRIA MISTERIUS
JUPITER mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Dirasakannya bulu
tengkuknya meremang.
“Saya cuma hendak..” katanya.
“Harap diam!” kata orang yang ada di belakangnya.
Terdengar bunyi langkah orang berjalan di lantai papan. Pria beruban yang datang
dengan mobil merah beberapa menit yang lalu, muncul di ambang pintu ruangan
besar. Ia berdiri bertopang pada tongkatnya, sambil memandang Jupe dengan
kepala agak dimiringkan ke samping. Kelihatannya seperti heran.
“Ada apa, Don?” katanya. “Siapa dia?"
Kening Jupiter berkerut. Ia rasanya seperti mengenal orang yang baru muncul itu.
Tapi Ia tidak yakin apakah cuma suaranya, atau sikap kepalanya yang agak
dimiringkan. Pernahkah ia berjumpa dengan orang itu? Jika ya di mana? Dan
kapan?
“Anak ini masuk tanpa diundang,” kata orang yang menodong Jupiter dari
belakang. “Ia berdiri di sini, sambil mendengarkan Anda menelepon.”
“Saya cuma ingin menanyakan jalan,” kata Jupe. “Pada papan yang terpasang di
luar, saya tadi membaca tulisan, Charlie’s Place. Bukankah ini restoran? Dan saya bukan masuk tanpa diundang. Ini kan tempat untuk umum, dan pintu depan
terbuka.”
“Tempat ini dulu memang restoran,” kata si pria beruban. Ia mendatangi Jupiter
sambil tersenyum. “Dan pintu depan memang terbuka.”
Kini Jupiter melihat bahwa pipi orang itu kemerah-merahan dan hidungnya yang
mancung dan tipis terbakar matahari. Kulitnya terkelupas di sana-sini. Sepasang
matanya di bawah alis yang tebal, kelihatan sangat biru warnanya.
“Tenang sajalah, Anak muda,” katanya. “Don takkan mungkin bisa menembakmu, juga apabila ia ingin melakukannya."
Dengan hati-hati Jupiter menurunkan kedua lengannya, lalu berpaling untuk
melihat orang yang dipanggil dengan nama Don Itu.
“Kau menyangka aku punya pistol,” kata orang yang ditatapnya dengan nada puas.
Jupiter melihat bahwa orang itu orang Asia. Ia hampir sepantar dengan Jupe.
Tubuhnya langsing, sedang wajahnya bersih dan ramah. Di tangannya tergenggam
sendok kayu yang gagangnya ditudingkan ke arah Jupe. “Kau lihat ini bukan
pistol,” katanya. “Tipuan ini kutiru dari televisi.”
“Hoang Van Don ini baru saja datang dari Vietnam,” kata pnia beruban itu.
“Sekarang ia sedang belajar bahasa inggris, dengan jalan menonton film-film yang
diputar pada saat tengah malam. Tapi kulihat sekarang bahwa kecuali belajar
bahasa Inggris, Don juga mempelajari hal- hal lain yang bermanfaat pula.”
Orang Vietnam itu membungkuk.
“Jika terkurung dalam ruang tingkat atas, cara yang benar untuk lari adalah dengan membuat tali dari kain seprai. Jika tidak ada seprai, meluncur turun lewat pipa
saluran air.”
Ia membungkuk lagi, lalu masuk ke ruangan yang dulunya kedai kopi. Jupiter
mengikutinya dengan pandangan heran.
“Kau hendak menanyakan jalan?” tanya pria yang beruban.
Jupiter terkejut.
“0 ya, betul,” katanya buru-buru. “Di depan ada parit menggenangi jalan, sesudah
rumah ini.” Jupiter menunjuk ke arah depan rumah. "Apakah di seberang genangan itu masih ada jalan terus? Adakah tempat di mana kami bisa menyeberanginya,
atau haruskah kami kembali lagi ke jalan raya?”
"Di seberang parit itu tidak ada jalan lagi, karena memang hanya sampai di situ saja. Dan jangan coba-coba menyeberangi parit itu, karena lumayan juga
dalamnya. Kau pasti hanyut.”
“Oh,” kata Jupiter, yang hanya mendengarkan sambil lalu saja. Perhatiannya terarah pada salah satu kotak kardus yang terdapat di sebuah sudut ruang serambi
itu. Isinya sekitar setengah lusin buku yang semuanya berjudul sama. Buku-buku
itu bersampul hitam, dengan tulisan berhuruf merah menyala. Gambarnya berupa
sebilah belati yang terhunjam menembus selembar kertas dokumen. Buku itu
berjudul Warisan Terkutuk.
“Hector Sebastian!” seru Jupe. Didatanginya kotak kardus itu, lalu diambilnya
salah satu buku yang terdapat di dalamnya. Dibaliknya buku itu, dan dilihatnya
foto yang terpampang pada sampul sebelah belakang. Nampak wajah orang yang
berdiri di hadapannya, dalam serambi kecil yang remang-remang itu.
“Ini kan Anda!” kata Jupiter. Sikap mantap yang selalu dibangga-banggakannya,
lenyap tak berbekas. Kegembiraannya membuat Jupiter bersikap persis seperti
remaja biasa. “Anda Hector Sebastian! Maksud saya, Anda yang baru-baru ini
tampil di televisi!
“Betul,” kata pria itu. “Bahkan sudah beberapa kali.”
“Saya sudah membaca Warisan Terkutuk,”  kata Jupiter Jagi. Kalau saat itu ia sempat memperhatikan, pasti ia akan heran mendengar suaranya sendiri. Nadanya
melengking, bersemangat. Caranya bicara seperti seseorang penggemar film yang
berhadapan dengan bintang pujaannyà. “Asyik sekali buku itu! Dan Pembangkit
Kengerian,  itu juga hebat! Anda tidak perlu repot-repot merampok bank, Mr.
Sebastian!”
“Jadi mulanya kau menyangka aku merampok bank?” kata Hector Sebastian
sambil tersenyum. “Kurasa kau tidak hanya kebetulan saja masuk kemari untuk
menanyakan jalan. Ada apa sebetulnya?"
Muka Jupiter menjadi merah.
"Saya... mengaku apa yang ada dalam pikiran saya saja, sudah tidak enak rasanya,”
katanya, lalu menyambung, “Anda kehilangan dompet, Mr. Sebastian?”
Pria itu terkejut. Dirabanya kantung jasnya yang sebelah dalam, lalu ditepuknya
kantung sebelah belakang celananya.
"Wah, tidak ada!” katanya dengan nada cemas. "Kau menemukannya?"
“Bukan saya, tapi teman saya Bob,” kata Jupe, lalu buru-buru menceritakan kejadian yang dialami Bob sehari sebelumnya. Dijelaskannya penampilan orang
buta dari siapa dompet itu tercecer, dan dituturkannya peristiwa perampokan bank
serta kecelakaan lalu lintas yang dialami orang buta itu.
“Hebat!” kata Mr. Sebastian. “Kedengarannya seperti awal sebuah film yang
disutradarai Alfred Hitchcock”
Air muka Jupe langsung berubah, kelihatan suram.
“Ada apa?" kata Mr. Sebastian. “Salah bicarakah aku?” .
"Bukan begitu," kata Jupe. "Cuma, Mr. Hitchock itu teman baik kami. Ia selalu menuliskan kata pengantar untuk catatan yang disusun oleh Bob mengenai kasus-kasus yang kami tangani. Kami sangat sedih ketika Mr. Hitchcock meninggal
dunia. Kami benar-benar merasa kehilangan.”
“Ya .  tentu saja,” kata Mr. Sebastian. “Tapi aku tidak mengerti. Kasus-kasus apa, maksudmu? Dan dimana temanmu Bob itu, yang kaukatakan tadi menemukan
dompetku?”
“Ada di luar,” kata Jupe. “Sebentar, akan saya panggilkan!”
Jupiter melesat ke luar, lalu berlari melintasi pelataran parkir.
“Ayo masuk!” serunya memanggil. “Mr. Sebastian ingin ketemu dengan kalian.
Kalian tahu siapa dia?"
Bob dan Pete berpandang—pandangan. Pete menggeleng.
“Harus tahukah kami?” tanyanya.
“Aku yang mestinya tahu!”jawab Jupiter sambil nyengir. “Mestinya aku langsung
mengenali namanya. Rupanya otakku mulai beku sekarang! Dialah yang
mengarang Warisan Terkutuk, Jaga Malam,  dan Pembangkit Kengerian.
Belakangan ini sering tampil dalam acara-acara di TV. Studio Moorpark baru saja
menyelesaikan pembuatan film berdasarkan kisah Pembangkit Kengerian,  yang musik pengiringnya akan digubah oleh Leonard Orsini."
Sekarang Pete tertawa lebar.
“0, itu!” katanya. ‘"Aku pernah mendengar ayahku berbicara tentang Pembangkit Kengerian.  Jadi orang yang bernama Sebastian itu pengarangnya?”
“Ya, betul!” kata Jupe. Mukanya merah karena bersemangat. “Dulu dia detektif
swasta di New York. Tapi kemudian Ia mengalami kecelakaan dengan pesawat
terbang yang dikemudikan olehnya sendiri. Kakinya patah. Sementara menunggu
cederanya sembuh, secara iseng-iseng Ia mulai mengarang sebuah novel,
berdasarkan salah satu kasusnya. Novel itu berjudul Jaga Malam,  dan setelah diterbitkan ternyata banyak yang menyukainya. Pernjualannya sangat laris. Setelah itu Mr. Sebastian menulis sebuah novel lagi, berjudul Warisan Terkutuk.  Ceritanya mengenai seseorang yang pura-pura sudah mati, dengan tujuan agar istrinya bisa
memperoleh pembayaran dari perusahaan asuransi. Novel itu kemudian dijadikan
film. ingat tidak kalian? Setelah itu Mr. Sebastian memutuskan untuk sepenuhnya
menjadi pengarang novel. Ia menulis skenario untuk film Pembangkit Kengerian, setelah hak pembuatan film untuk buku itu dijual pada Studio Moorpark. Ayolah!
Kalian tidak kepingin berkenalan dengan dia? Dompet itu kaubawa, Bob?”
“Kan sudah kuberikan padamu,” kata Bob. “Masa tidak ingat lagi! Wah, kau
benar-benar terpesona karena berjumpa dengan Mr. Sebastian, ya!”
Jupe meraba kantung-kantungnya sambil meringis malu. "0 ya, ini dia. Oke, kita masuk saja sekarang."
Pete dan Bob mengikutinya kembali ke dalam, di mana keduanya kemudian
diperkenalkan oleh Jupe pada Mr. Sebastian. Pengarang itu mengajak mereka ke
ruangan besar dengan jejeran jendela pada salah satu sisinya, lalu menyilakan
anak-anak itu duduk di kursi-kursi lipat yang diatur mengelilingi sebuah meja
rendah berdaun kaca. Meja seperti itu biasanya ditaruh di luar. Di teras misalnya, atau di tepi kolam renang. Meja, kursi-kursi, serta sebuah pesawat telepon
merupakan satu-satunya perlengkapan yang ada dalam ruangan itu.
“Lama-lama tempat ini akan nyaman juga ditinggali,” kata Mr. Sebastian. “Aku
dan Don baru minggu lalu pindah kemari, dan kami belum punya waktu untuk
mengatur segala-galanya.”
“Anda berniat hendak bertempat tinggal di sini?” tanya Pete.
“Sekarang pun aku sudah tinggal di sini,” jawab pengarang itu. Ia pergi ke
serambi, lalu berseru memanggil Don. Beberapa saat kemudian orang Vietnam itu
muncul membawa baki berisi teko kopi serta sebuah cangkir dengan tatakannya.
“Tolong ambilkan minuman untuk anak-anak ini,” kata Mr. SebastIan. “Kita punya minuman ringan di lemari es?”
“Ada, limun,” kata Don, sambil meletakkan baki ke atas meja. “Nature’s Own,
untuk cita rasa matang di pohon."
Jupiter tersenyum karena mengenali kata-kata itu, yang merupakan semboyan iklan
salah satu merek limun yang terkenal. Pasti itu termasuk pengetahuan yang
diperoleh Don dari menonton televisi!
“Mau limun?" kata Mr. Sebastian sambil memandang anak-anak, yang cepat-cepat mengangguk. Don masuk lagi ke dapur, yang terletak di belakang kedai kopi.
"Coba Don sekali-sekali mau menonton siaran pelajaran masak, daripada selalu saja memelototi film-film tua itu, yang setiap lima menit sekali diselingi iklan.”
kata Mr. Sebastian ketika orang Vietnam itu sudah tidak ada di situ. “Masakan
yang dihidangkannya, kadang-kadang aneh sekali!"
Setelah itu ia bercerita tentang bangunan bekas restoran yang baru saja seminggu
ditempatinya, serta rencananya untuk mengubahnya menjadi rumah tempat tinggal.
“Kedai kopi itu nantinya akan menjadi ruang makan resmi, kalau ada tamu,”
katanya pada anak-anak. "Di sebelah serambi ada gudang yang nantinya akan
menjadi kamar tidur Don, lalu akan kubuatkan kamar mandi untuk dia di sebelah
sana, di bawah tangga itu.”
Anak - anak   memandang tangga yang menuju ke atas, menyusur dinding sebelah dalam dekat serambi. Di sebelah atas tangga itu ada semacam balkon yang
menjulur sepanjang bangunan dan membuka di pinggir atas ruang besar tempat
Mr. Sebastian sedang duduk-duduk bersama anak-anak. Langit-langit ruangan
besar itu tinggi, langsung terletak di bawah atap bangunan bertingkat dua itu.
Separuh bagian depan dari bangunan itu, yang ditempati ruangan serambi, gudang,
kedai kopi, dan dapur, tingkat duanya berisi kamar-kamar dengan pintu-pintu yang
semua menghadap ke balkon.
“Aku tahu, tempat ini kelihatan acak-acakan,” kata Mr. Sebastian. “Tapi
konstruksinya masih baik. Sebelum kubeli, aku minta tolong dulu pada seorang
arsitek dan seorang kontraktor bangunan untuk menilainya. Kalian tahu berapa
uang yang harus kukeluarkan untuk membeli rumah sebesar ini, yang letaknya
begini dekat ke pantai?"
“Yang jelas, pasti sangat mahal,” kata Jupe.
Mr. Sebastian mengangguk.
“Dan bayangkan betapa indahnya tempat ini nanti, kalau sudah selesai dibenahi.
Ruangan ini, begini saja pun sudah hebat! Ada perapian di kedua ujungnya. Belum
lagi jejeran jendela-jendela itu, semuanya menghadap ke pantai! Dan atapnya sama
sekali tidak bocor. Untuk kalian, hal seperti itu mungkin kalian anggap biasa-biasa saja. Tapi aku dua puluh tiga tahun lamanya tinggal di sebuah apartemen di
Brooklyn, yang atapnya saban kali bocor lagi. Aku sampai-sampai harus selalu
menyediakan sejumlah panci dan ember untuk kuletakkan di bawah tempat-tempat
yang bocor kalau ada hujan.”
Mr. Sebastian meringis, lalu menyambung,
“Siapa ya namanya, orang yang mengatakan bahwa ia pernah kaya dan juga pernah
miskin, tapi hidup sebagai orang kaya ternyata lebih enak? Yah, siapa pun
namanya, yang jelas pendapatnya itu kusetujui!”
Saat itu Don datang lagi membawa limun. Sementara Ia menghidangkan minuman
itu pada anak-anak, Mr. Sebastian mengambil dompet yang diletakkan Jupe di atas
meja.
"Dijatuhkan oleh pengemis buta, katamu tadi?" katanya. Dibukanya dompet itu, lalu diperiksanya isinya. “Rupanya pengemis itu tidak begitu sengsara hidupnya,
karena uang yang ada di sini sama   sekali tidak diambil olehnya.”
"Tapi ia mengemis,” kata Bob. “Ia menenteng mangkuk kaleng berisi uang logam.
Kaleng itu diguncang-guncangnya terus.”
“Aku ingin tahu, bagaimana ia sampai menemukan dompet ini.” kata Mr.
Sebastian sambil merenung. "Jika ia buta..."
“Ya, betul,” kata Jupiter. “Orang buta takkan bisa melihat benda yang tergeletak di trotoar. Memang, mungkin saja kakinya secara tidak sengaja tersandung, lalu
dompet itu dipungutnya. Kapan terakhir kalinya Anda tahu dompet itu masih ada
pada Anda, Mr. Sebastian?”
“Caramu bertanya persis detektif," kata pengarang itu pada Jupe. “Aku takkan heran jika sekarang kau mengeluarkan pensil dan buku catatan, lalu mulai
mencatat. Tadi kau juga menyebut-nyebut nama Mr. Hitchcock. Katamu, selama
ini ia selalu menuliskan kata pengantar untuk kisah-kisah tentang kasus-kasus kalian? Kalian ini sedang belajar menjadi detektif, barangkali?”
"Bukan sedang belajar, Sir, kami ini memang detektif,” kata Jupiter dengan
bangga. Ia mengambil dompetnya, lalu mengeluarkan selembar kartu nama dari
dalamnya. Kartu itu disodorkannya pada Mr. Sebastian, yang langsung membaca:
TRIO DETEKTIF
“Kami Menyelidiki Apa Saja”
Penyelidik Satu .......................... Jupiter Jones
Penyelidik Dua ....................... Peter Crenshaw
Data dan Riset ........................... Bob Andrews
“Oh, begitu," kata Mr. Sebastian sambil mengangguk-angguk. "Kalian menamakan diri kalian Trio Detektif, dan kalian bersedia menyelidiki apa saja. Berani juga
kalian, kalau mengingat bahwa detektif swasta kadang-kadang dimintai
pertolongan untuk menyelidiki hal yang aneh-aneh.”
“Memang, kami juga tahu,” kata Jupiter. “Selama ini sudah beberapa kali kami
menjumpai kejadian-kejadian yang sangat aneh —bahkan ada pula yang bisa
dibilang ajaib. Itu kekhususan kami. Kami sering berhasil datam menangani kasus-
kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh aparat penegak hukum.”
“Aku percaya,” kata Mr. Sebastian sambil mengangguk. "Otak anak-anak masih
lincah, belum dibebani dengan pandangan-pandangan kaku tentang apa yang
mungkin dan yang mustahil."
Bob mencondongkan badannya ke depan.
“Kami tertarik pada pengemis buta itu karena ingin tahu apakah ada kemungkinan
ia terlibat dalam peristiwa perampokan bank kemarin malam,” katanya. “Anda
kemarin ke Santa Monica, Mr. Sebastian? Mungkinkah dompet Anda tercecer
waktu itu di sana? Atau barangkali orang buta itu mencopetnya dari Anda."
“Itu tidak mungkin.” Mr. Sebastian merebahkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Aku tahu, kemarin pagi dompetku ini masih ada. Aku ingat bahwa aku
memasukkannya ke dalam kantung sewaktu meninggalkan rumah untuk pergi ke
Denicola’s. Setelah itu pikiranku tidak ke dompetku, sampai kau tadi
menyebutnya. Rupanya terjatuh sewaktu aku sedang di Denicola’s, karena aku
kemarin cuma ke sana saja. Yang jelas, aku sama sekali tidak mendatangi tempat ramai di mana ada kemungkinan dompetku ini dicopet orang. Dan kalau berjumpa
dengan seseorang yang buta, aku pasti ingat.”
“Denicola’s? Bukankah itu tempat di pantai sebelah utara dari sini, di mana orang yang hendak memancing di laut bisa menyewa perahu motor?” kata Pete.
Mr. Sebastian mengangguk.
"Aku menaruh speedboat-ku  di sana, karena letaknya lebih dekat daripada marina-marina  yang lainnya di sekitar sini. Jika aku hendak memakainya, anak yang membantu Mrs. Denicola mengantarkan aku dengan perahu ke pelampung di mana
speedboat-ku itu ditambatkan. Kemarin aku pesiar sebentar dengannya. Dompetku mestinya tercecer saat itu, dekat galangan, atau bisa juga di pelataran parkir."
“Lalu ditemukan orang buta itu dan dipungutnya,” kata Pete.
"Lalu ia pergi ke Santa Monica, tanpa mengatakan apa-apa tentang dompet itu
pada orang-orang yang ada di Deriicola’s,” kata Bob. “Kemudian, ia secara
kebetulan saja berada di seberang jalan, tepat pada saat para perampok masuk ke
dalam bank dengan menyamar sebagai petugas pembersih ruangan. Mungkin ia
bahkan menyebabkan perhatian orang-orang yang ada di halte bis teralih dari bank
itu, dengan jalan menjatuhkan mangkuk kalengnya yang berisi uang.”
"Bisa saja mangkuk itu licin, karena saat itu kan sedang hujan,” kata Mr. Sebastian.
“Atau mungkin saja ia capek. Kenyataan bahwa mangkuk itu terlepas dari
tangannya, belum berarti apa-apa.”
"Ia langsung lari sesudah dompet itu terjatuh dari Bob mengejar untuk
mengembalikan padanya,”kata Jupe mengetengahkan. “Lalu ia lari lagi, sesudah
ditubruk mobil.”
“Itu tidak aneh,” kata Mr. Sebastian. “Bisa saja itu tenjadi karena ia sangat kaget.
Mungkin pula merasa bersalah, karena membawa dompet yang bukan miliknya.
Atau ia takut polisi. Polisi sering bersikap keras terhadap pengemis. Rasanya kecil sekali kemungkinannya ia ada sangkut-pautnya dengan perampokan bank itu. Tapi
kenapa kalian tidak ke polisi saja untuk melaporkan kejadian itu? Kalau kalian rasa perlu, sebut saja namaku. Aku mau membantu, sebisa-bisaku.”
“Ya, memang itulah yang sebaiknya dilakukan,” kate Jupiter. Ia merasa kecewa.
“Dan kata Anda tadi mungkin juga benar. Pengemis itu hanya kebetulan saja ada di
sana, ketika para perampok masuk ke dalam bank. Saya rasa sekali ini kami tidak jadi menemukan kasus baru.”
“Ya, kelihatannya memang begitu,” kata Mr. Sebastian. “Tapi aku sangat
berterima kasih, kalian sudah mau bersusah-payah kemari untuk memulangkan
dompet ini." Ia mengatakannya sambil meneliti uang yang ada di dalam dompet
itu.
“Ah, itu kan biasa,” kata Pete buru-buru.
“Kami senang bisa melakukannya,” tambah Bob. “Anda tidak perlu repot-repot,
memberi apa-apa pada kami."
“Kalau begitu, dengan cara bagaimana aku bisa membalas jasa?” tanya Mr.
Sebastian. “Bagaimana jika kita pesiar dengan speedboatku? Mau ikut, jika aku
lain kali ingin jalan-jalan di laut?”
“Wah! Bolehkah kami ikut?” seru Pete bergairah.
“Tentu saja boleh! Kalian berikan saja nomor telepon kalian, supaya bisa
kuhubungi."
“Dan dalam waktu setengah jam kami sudah akan ada di sini,” kata Pete dengan
gembira.
Ketiga remaja itu memberikan nomor telepon rumah masing-masing pada Mr.
Sebastian. Kemudian mereka pergi, diantar sampai ke pintu oleh detektif swasta
yang kini suclah menjadi pengarang terkenal itu.
“Orangnya ramah," kata Pete, ketika mereka sudah sampai lagi di jalanan.
“Ya, memang,” kata Jupe sependapat. “Dan kelihatannya dengan berat hati ia
melepaskan kita, sewaktu kita minta diri tadi. Tidak merasa kesepiankah dia, hidup seorang diri di tempat sesunyi ini. Apalagi kalau mengingat bahwa sebelumnya ia
tinggal di New York yang begitu ramai.”
“Setiap saat ia ingin ditemani pesiar dengan speedboat-nya, aku pasti siap,” kata Bob. “Wow! Ini benar-benar—"
Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Sebuah sedan kecil berwarna coklat muncul dari
arah depan dan melewati ketiga remaja itu dengan kecepatan sedang, lalu
membelok masuk ke pekarangan tempat tinggal Mr. Sebastian. Dari dalamnya keluar seorang pria yang sudah berumur. Ia menghampiri Mr. Sebastian yang
masih berdiri di ambang pintu, lalu mengatakan sesuatu.
Saat itu anak-anak sudah terlampau jauh, sehingga tidak bisa menangkap
pembicaraan kedua orang itu. Tapi mereka tidak pergi, melainkan tetap
memperhatikan dari jalan. Mereka melihat bahwa sesaat kemudian Mr. Sebastian
melangkah mundur, seperti mempersilakan orang yang baru datang itu masuk ke
dalam rumah. Dan itu memang terjadi.
“Wah, wah!” kata Bob. “Ternyata penyelidikan masih perlu dilanjutkan."
“Kenapa kau mengatakan begitu?" tanya Pete.
“Orang tadi itu satpam yang membukakan pintu bagi perampok yang menyamar
sebagai petugas pembersih ruangan, sehingga bisa masuk ke dalam bank,” kata
Bob. “Untuk apa ia mendatangi Mr. Sebastian?”





Bab 4
TRIO DETEKTIF MENDAPAT KLIEN
"BENAR-BENAR aneh." kata Jupiter. “Hector Sebastian kan sama sekali tidak kekurangan uang! Buku-bukunya kan sangat laris!”
"Baiklah!” kata Bob. “Tapi jika ia tidak ada sangkut-pautnya dengan perampokan bank itu, lalu kenapa satpam dari bank itu mendatanginya?”
“Tentang itu, aku tidak tahu,” kata Jupe.
Saat itu hari sudah siang. Ketiga remaja itu berada dalam kantor mereka yang tersembunyi letaknya di dalam pekarangan Pangkalan Jones. Tadi mereka
menunggu di tepi jalan di luar bangunan bekas restoran di Cypress Canyon Drive,
sampai petugas satpam dari bank di Santa Monica itu sudah pergi lagi dari tempat
kediaman Hector Sebastian. Anak-anak masih berembuk seberitar, apakah
sebaiknya mereka masuk lagi dan menanyakan pada Mr. Sebastian tentang
kedatangan satpam itu. Tapi Jupe tidak setuju. Ia segan sekali lagi mengganggu
pengarang terkenal itu dengan alasan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu saja.
Karenanya ketiga detektif remaja itu lantas kembali ke kantor mereka, untuk
membicarakan kejadian-kejadian pagi itu. Dan kini mereka sudah duduk-duduk
mengelilingi meja kerja di situ. Bob sibuk menuliskan hal-hal yang dianggapnya
perlu dalam buku catatannya.
“Pengemis itu terpincang-pincang jalannya kemarin petang, sesudah kecelakaan
itu,” katanya sambil menulis, "dan Mr. Sebastian juga pincang."
“Kaki Mr. Sebastian patah, jadi pincangnya itu sudah lama." kata Jupe. “Pengemis itu, sudah pincang tidak jalannya sebelum ditubruk mobil?"
“Aku tidak tahu pasti,” kata Bob.
“Bisa saja cuma kebetulan kedua-duanya pincang,” kata Pete, “tapi bagaimana
dengan urusan dompet? Itu satu kebetulan lagi! Lalu tadi orang yang membukakan
pintu sehingga para perampok bisa menyusup masuk ke dalam bank, mendatangi
Mr. Sebastian. Itu satu kebetulan lagi. Tapi tiga peristiwa kebetulan secara
beruntun, rasanya agak terlalu banyak!”
“Kenapa kita tidak ke polisi saja untuk melaporkannya?’ kata Bob. “Mr. Sebastian
kan mengatakan tadi, sebaiknya itu saja yang kita lakukan. Untuk apa ia
mengusulkan begitu, jika ia memang terlibat dalam kasus perampokan itu?"
“Ia harus mengatakan begitu,” kata Pete dengan mantap. “Ia tidak berani
mengambil risiko tidak mengatakannya, karena itulah yang selalu dikatakan orang
dewasa.”
“Kurasa polisi nanti akan mengatakan teori kita terlalu mengada-ada,’ kata Jupiter,
“dan mungkin juga mereka benar. Rasanya mustahil membayangkan Mr. Sebastian
ikut membantu perampokan itu. Bagi dia, taruhannya terlalu besar, mengingat
bahwa uangnya lebih dari cukup. Tapi di pihak lain, pasti ada pertalian antara dia dan kejadian itu. Mungkin saja Mr. Bonestell bisa membantu kita menemukan
pertalian itu.”
"Mr. Bonestell?” tanya Bob.
Jupiter membuka surat kabar   yang tergeletak di atas meja. Surat kabar itu edisi dini dari harian Santa Monica Evening Outlook.  Jupiter membelinya tadi di kios, ketika ketiga remaja itu mampir sebentar untuk membeli pizza  dalam perjalanan pulang.
“Mr. Bonestell, atau lengkapnya Walter Bonestell itu petugas satpam yang
membukakan pintu sehingga para perampok bisa masuk ke dalam bank." katanya.
“Ini, namanya tertulis dalam artikel pada halaman depan.” Ia meraih buku telepon
lalu mencari-cari sampai menemukan yang dikehendakiriya. "Hmm... dalam buku
telepon Santa Monica ini terdaftar seorang Walter Bonestell, yang tinggalnya di
Dolphin Court nomor 1129. Itu cuma beberapa blok saja dari pantai.”
Saat itu terdengar suara memanggil-manggil di luar.
“Jupiter! Jupiter Jones! Ke mana lagi anak itu? Jupiter!”
“Bibi Mathilda sudah kesal lagi kedengarannya,” kata Jupiter sambil mendesah.
“Ia belum melihat aku lagi sejak sarapan pagi tadi. Sekarang sudah pasti banyak
sekali pekerjaan yang menurut dia harus kulakukan."
“Mungkin aku sementara ini juga sudah dicari-cari ibuku,” kata Pete.
“Aku sebenarnya hendak mengusulkan kunjungan ke Mr. Bonestell itu." kata
Jupiter. “Mungkin nanti petang kita bisa melakukannya. Bagaimana, kalian
rasanya bisa tidak? Jika kita berkumpul di depan Rocky Beach Market sekitar
pukul tujuh, kita bisa bersepeda ke pantai untuk mendatangi petugas satpam itu di rumahnya.”
“Aku sih, boleh-boleh saja," kata Pete.
"Besok kita kan tidak sekolah,” kata Bob sambil nyengir. “Jadi nanti malam tidak ada persoalan!”
Ketiga remaja itu keluar dari karavan. Lalu sepanjang siang sampai sore, Jupiter
sibuk bekerja di pangkalan milik paman dan bibinya yang berdagang barang-
barang bekas. Dan malamnya, sesudah buru-buru makan bersama Bibi Mathilda
dan Paman Titus, ia langsung berangkat dengan sepeda ke Rocky Beach Market.
Bob dan Pete muncul pukul tujuh kurang lima menit, lalu berangkatlah mereka
bertiga menuju Santa Monica.
Dolphin Court ternyata merupakan seruas jalan yang pendek dan buntu. Letaknya di lingkungan pemukiman yang terdiri dari rumah-rumah kecil yang masing-masing ditinggali satu keluarga saja. Nomor 1129 adalah sebuah rumah kayu yang
letaknya kurang lebih di pertengahan jalan itu. Di jalan masuknya diparkir mobil
kecil berwarna coklat yang sudah dilihat anak-anak sewaktu di Cypress Canyon
Drive. Sisi depan rumah itu gelap. Tapi sebuah jendela di bagian belakang
kelihatan terang. Anak-anak membelokkan Sepeda mereka ke jalan masuk itu.
Mereka terus sampai di belakang, lalu memandang ke dalam lewat jendela yang
terang .  Ternyata itu jendela dapur.
Petugas satpam itu ada di situ. Ia seorang diri saja, sedang duduk menghadapi meja dekat jendela. Di depannya nampak setumpuk surat kabar, sedang di dekat sikunya
ada pesawat telepon. Ketika anak-anak menjenguk ke dalam, orang itu tidak
sedang menelepon. Ia hanya menatap taplak meja dengan pandangan kosong.
Penampilannya saat itu lebih tua daripada paginya, dan lebih ringkih. Rongga
matanya cekung dan hitam.
Anak-anak hanya memandang sambil membisu. Sesaat kemudian Jupe berbalik.
Maksudnya hendak ke pintu depan dan membunyikan bel.
Tapi ia dihadang seorang laki-laki. Dan orang itu menggenggam pistol otomatis!
“Cari apa kalian di sini?" tanya orang itu. Pistol yang dipegangnya tidak
diacungkan, dan ia berbicara dengan suara lirih dan tenang. Tapi Jupe langsung
merasa keselamatan mereka bertiga sangat terancam saat itu. Penampilan orang
berpistol itu dingin dan penuh tekad. Mulutnya nampak berupa garis tipis,
menandakan bahwa ìa tidak bisa diajak bercanda. Matanya tertutup di balik kaca
mata hitam yang lebar.
Napas Pete tersentak karena kaget. Seketika itu juga orang yang tahu-tahu muncul
itu membentak dengan suara lirih, “Diam!”
Jendela dapur terbuka, dan Mr. Bonestell menjenguk ke luar.
“Ada apa, Shelby?"
Laki-laki itu menggerakkan pistolnya, menunjuk ke arah   anak-anak.
“Mereka bertiga ini mengintip Anda dari balik jendela."
Reaksi Mr. Bonestell bernada kaget bercampur heran.
“Wah,” katanya kemudian, tapi kini dengan nada cemas.
“Ayo masuk!” perintah orang yang memegang pistol. “Lewat situ! Cepat!”
Jupe dan kedua temannya merasa bahwa tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi
perintah itu. Mereka menuju ke pekarangan belakang, dan dari situ masuk ke dapur
lewat serambi.
"Ada apa ini sebenarnya?” kata Mr. Bonestell. “ketika aku mendatangi Mr.
Sebastian tadi pagi, ía mengatakan bahwa sebelum aku datang ada tiga remaja
mendatanginya. Itu kalian, kan? Dan kalian ada di pinggir jalan ketika aku datang, kan? Kalian membawa sepeda."
“Betul, Mr. Bonestell,” kata Jupiter.
“Tapi duduklah dulu,” kata Mr. Bonestell. Ditariknya sebuah kursi yang ada di
sebelah meja dekat jendela.
"Ada apa sebenarnya, Walter?” tanya laki-laki yang masih selalu menggenggam pistol.
“Aku juga tidak tahu pasti,” jawab Mr. Bonestell. "Simpan pistolmu itu, Shelby.
Tidak enak rasanya melihatmu terus menggenggamnya!”
Orang yang bernama Shelby itu   kelihatan ragu-ragu sebentar. Kemudian ditariknya pipa celananya ke atas sampai melewati tulang keringnya, lalu diselipkannya pistol itu ke sarungnya yang terikat ke betisnya.
Pete melotot sambil terkejap-kejap melihatnya. Tapi ia diam saja. Ketiga remaja itu mengambil tempat di kursi-kursi yang ada di sekeliling meja.
“Mr. Sebastian mengatakan, kalian melihat orang yang mencurigakan dekat bank,”
kata Mr. Bonestell.
“Ada apa sih, sebenarnya?" seru Shelby.
Mr. Bonestell mendesah.
“Kau tidak mendengar beritanya di radio?” katanya. “Bank dirampok tadi pagi.”
“Perampokan? Aku tidak mendengarnya. Radio di mobil tidak kunyalakan.
Apakah yang terjadi? Dan aku tidak mengerti, apa urusannya dengan anak-anak
ini?”
Mr. Bonestell menuturkan peristiwa perampokan itu secara singkat pada Shelby.
“Dan aku yang membukakan pintu, sehingga para perampok itu bisa masuk,”
katanya kemudian. “Kurasa menurut polisi aku pasti bersekongkol dengan
mereka.” Air mukanya nampak keruh. “Jika saat itu kuperhatikan benar-benar
tampang orang yang minta dibukakan pintu, mestinya aku akan tahu bahwa ia tak
kukenal. Tapi biarpun aku ceroboh, itu tidak berarti bahwa aku ini penjahat!
Seumur hidup, aku belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar hukum!
Tapi payahnya, polisi tidak mengenal siapa aku. Jadi aku harus mencari seseorang
yang bisa membantuku membuktikan bahwa aku tidak bersalah.”
“Seorang pengacara hukum,’ kata Shelby. Ia mengatakan sambil mengangguk
dengan sikap puas, seperti orang yang selalu mengetahui penyelesaian yang benar
dari setiap persoalan yang timbul. “Itu keputusan yang bijak, Walter! Tapi, apa
hubungannya dengan anak-anak ini? Kenapa mereka memandangmu dari balik
jendela?”
Wajah Mr. Bonestell nampak murung.
"Kurasa mereka pun merasa curiga." Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Jupiter, lalu menyambung, “Mula-mula kusangka barangkali saja Mr. Sebastian bisa
menolong. Aku kebetulan melihat dia tampil di Harry Travers Show  minggu lalu.
Ketika itu ia bercerita tentang film yang naskahnya baru saja selesai ditulisnya. Ia juga mengatakan bahwa orang kadang-kadang bisa terlibat dalam kesulitan, hanya
karena kebetulan saja berada di lokasi suatu kejadian. Aku termasuk orang yang
bernasib sial seperti itu, jadi kusangka Mr. Sebastian mungkin akan tertarik pada...
yah, pada kasusku. Salah seorang sekretaris di bank berpendapat, ada kemungkinan
ia akan bisa menolong aku. Diusahakannya alamat Mr. Sebastian dari   salah satu sumber yang dikenalnya. Nomor teleponnya tidak terdaftar dalam buku telepon—
seperti halnya banyak di antara orang-orang terkenal—jadi aku lantas langsung
saja mendatanginya dan...”
“Jangan mengoceh, Walter!” tukas Shelby. "Katakan dulu, siapa itu Mr.
Sebastian?"
Jupiter mendeham, lalu menjawabkan untuk Mr. Bonestell, “Dia itu pengarang
novel dan penulis skenario. Dulunya detektif swasta. Tadi pagi kami mendatangi
dia. Soalnya begini. Bob, teman saya ini, memungut dompet yang dijatuhkan seseorang di trotoar, di depan bank. Dompet itu milk Mr. Sebastian.”
“Menurut perkiraan saya, ketika perampok itu minta dibukakan pintu, saya sedang
berada di seberang jalan," sela Bob. "Saya melihat Anda membukakan pintu. Mr.
Bonestell.”
“Ketika kami melihat Anda datang ke tempat kediaman Mr. Sebastian tadi pagi
sesudah kami mengembalikan dompet itu padanya, kami memang merasa curiga."
kata Pete.
“Kami menduga mungkin ada pertalian antara Anda dan Mr. Sebastian, dan juga
dengan... dengan perampokan itu.” Pete berhenti sebentar, sementara mukanya
memerah. "Kalau dipikir-pikir, sebenarnya dugaan itu konyol,” katanya
menyambung dengan berterus terang.
“Aku ke sana sebetulnya hanya untuk minta tolong,” kata Mr. Bonestell, “tapi Mr.
Sebastian mengatakan bahwa ia saat ini tidak punya waktu, karena sedang mulai
menulis buku baru. Diberikannya alamat beberapa orang detektif swasta di Los
Angeles sini, tapi menurut dia sebaiknya aku menghubungi pengacara hukum. Aku
sudah menelepon beberapa orang pengacara tadi. kalian tahu berapa tarif
pengacara? Dan detektif swasta? Mana mungkin aku mampu memikul biayanya!”
Jupiter meluruskan duduknya.
“Kami memang merasa curiga ketika kemari tadi, Mr. Bonestell, tapi sekarang
saya sudah tidak curiga lagi. Saya rasa kami bisa membantu Anda. Kami ini
detektif, Mr. Bonestell.”
Jupiter mengeluarkan kartu nama Trio Detektif dan menyodorkannya pada orang
itu.
“Wah, menarik!” kata Shelby, yang ikut membaca dari belakang punggung Mr.
Bonestell. Ia mengatakannya dengan nada meremehkan. Jupiter menangkap
maknanya, tapi ia tetap tenang.
"Kasus-kasus keberhasilan kami selama ini mungkin bisa membuat biro-biro
detektif lainnya merasa iri. Kami tidak terhambat oleh berbagai prasangka, seperti yang umum dialami oleh orang-orang yang sudah dewasa. Menurut kami, boleh
dibilang apa pun juga bisa saja terjadi, dan kami percaya bahwa dalam bertindak
sebaiknya kita mengikuti naluri, Mr. Bonestell. Menurut perasaan saya, tidak
mungkin Anda terlibat dalam perampokan bank itu. Dan saya rasa, teman-teman saya sependapat mengenainya."
Bob dan Pete mengangguk.
“Tapi kalian masih begini muda." kata Mr. Bonestell.
“Apakah itu merupakan hambatan?" balas Jupe.
“Sebaiknya yang kuhubungi biro detektif yang biasa, tapi... tapi...” Satpam yang
sudah berumur itu meremas-remas tangannya dengan sikap bingung.
“Berapa biayanya untuk itu, Walter?” tanya Shelby. Pria yang lebih muda dari Mr.
Bonestell itu menarik kursi ke dekat meja lalu duduk di situ. Ia menatap
bayangannya sendiri yang tercermin di kaca jendela, dengan kening berkerut.
Dengan jari-jari disisirnya rambutnya yang lurus dan berwarna pirang ke belakang.
Dibukanya kaca mata hitam yang selama itu terus dipakai, lalu dikantunginya.
"Aku tidak mengerti, mengapa kau begitu cemas,” katanya kemudian pada Mr.
Bonestell. “Berdasarkan hukum yang berlaku di negara ini, kalian menganut
prinsip praduga tak bersalah.”
“Tapi aku sedikit banyak merasa bersalah, karena kan aku yang membukakan pintu
sehingga perampok-perampok itu bisa masuk,” kata Mr. Bonestell.
“Itu belum cukup untuk dijadikan alasan memenjarakan dirimu,” kata Shelby.
“Tapi jika kau memang merasa tidak tenang, kenapa tidak kauterima saja
penawaran ariak-anak ini? Aku tidak tahu dengan cara bagaimana mereka bisa
membuktikan bahwa kau tidak bersalah—tapi siapa tahu, barangkali saja mereka
bisa.”
“Yang jelas, kami akan berusaha,” kata Pete berjanji.
"Kalian nampaknya ingin sekali menolong," kata Mr. Bonestell. “Lega sekali hatiku mendengarnya, karena tidak banyak orang yang bersikap begini ramah
padaku hari ini. Kurasa... jika kalian benar-benar mungkin bisa menolong... yah,
aku mau menjadi kilen kalian. Aku benar-benar memerlukan pertolongan!"





Bab 5
PENUTURAN MR. BONESTELL
“SEPERTI sedang mimpi buruk rasanya!” kata Mr. Bonestell. Jarinya menelusuri
pola yang nampak pada taplak plastik yang mengalasi meja, sementara matanya
dengan gelisah beralih-alih menatap Jupe, Bob, kemudian Pete. “Aku diminta
jangan bekerja dulu sampai penyidikan tentang perampokan itu sudah tuntas.
Mereka tidak secara terang-.terangan mengatakan aku ini perampok, tapi aku bisa
merasakan bahwa mereka beranggapan begitu. Apakah tampangku seperti orang
yang mau membantu perampok bank? Apakah tempat ini kelihatannya seperti
sarang bandit?”
Anak-anak memandang Mr. Bonestell, lalu memperhatikan dapurnya yang serba
bersih dan teratur. Jupiter menyembunyikan senyumnya. Tidak bisa
dibayangkannya Mr. Bonestell mendalangi suatu tindak kejahatan. Ia juga tidak
percaya bahwa rumah itu pernah dijadikan tempat berembuk penjahat. keadaannya
begitu rapi, sehingga nyaris memberikan kesan tidak ada yang mendiaminya.
“Aduh, barang-barang belanjaanku!” kate Shelby dengan tiba-tiba. Ia bergegas ke
serambi belakang. Anak-anak mendengar bunyi pintu belakang ditutup dengan
keras.
“Kenapa tidak dimulai dari awal saja, Mr. Bonestell?” kata Jupiter mengusulkan.
“Jika Anda   ceritakan semua yang Anda ingat tentang perampokan itu, mungkin nanti akan teringat lagi salah satu hal yang selama ini mungkin Anda lupakan.”
Mr. Bonestell tetap saja nampak putus asa.
“Menurut Mr. Sebastian tadi, lebih sukar membuktikan seseorang tidak bersalah —
itu jika ia tidak punya alibi, seperti aku — daripada membuktikan bahwa ia
bersalah.”
“Anda tahu pasti, Anda tidak punya alibi?" kata Jupe. “Coba Anda ingat-ingat dulu. Jika Anda salah satu dari para perampok itu, maka mestinya dalam beberapa
hari yang lalu ini ada waktu Anda yang dipergunakan untuk merancang aksi
perampokan. Dan Anda harus kenal perampok-perampok yang lain. Bisakah Anda
katakan apa saja kesibukan Anda selama... yah, katakanlah, selama dua minggu
belakangan?”
Mr. Bonestell menggeleng dengan sedih.
“Bagaimana dengan teman Anda tadi? Menurut dugaan saya, Mr. Shelby itu
tinggal di sini juga, ya? Barangkali ia bisa mengatakan apa saja kesibukan Anda
selama beberapa hari terakhir ini?"
Sekali lagi Mr. Bonestell menggeleng.
“Shelby memang mondok di sini, tapi ia jarang ada di rumah. Ia petugas lapangan
dari Systems TX-4, sebuah perusahaan komputer. kerjanya berkeliling sebagai
konsultan untuk perusahaan-perusahaan yang hendak mulai menggunakan
peralatan komputer. Minggu lalu sampai dengan awal minggu ini ia sama sekali
tidak pulang, karena ada urusan di Fresno. Ia membantu sebuah perusahaan di kota
itu, yang melengkapi diri dengan sistem komputer TX. Ia baru saja kembali tadi.
Tapi kalau sedang ada di rumah pun, ia jarang bicara dengan aku. Ketika aku dulu
masih bekerja di TX-4, rasanya ia bersikap lebih ramah."
"Anda dulu bekerja di Systems TX-4?" tanya Jupiter.
“Betul. Setelah perusahaan itu   mengambil aIih Jones-Templeton, yang bergerak di bidang mesin-mesin perkantoran.” Untuk pertama kali nampak membayang
perasaan bangga di wajah pria yang sudah berumur itu. “Lebih dari tiga puluh aku
bekerja di perusahaan Jones-Templeton." katanya lagi. "Aku mulai di sana segera seusai Perang Dunia Kedua. Mula-mula di bagian ekspedisi, lalu pindah ke bagian
pengadaan, dan di situ karirku menanjak. Pernah ada dua belas pegawai di bagian
itu, dan aku menjadi orang kedua di dalamnya. Itu sewaktu anak-anak mulai besar.
Aku senang bekerja di situ, dan anak-anak bisa hidup dengan sentosa. Tenang!
Tidak setiap kali pindah, seperti yang dialami beberapa orang.” Mr. Bonestell
berdiri, laIu pergi ke ruang duduk.
Dengan segera ia sudah kembali lagi, membawa sebuah foto yang dibingkai. Foto
itu menampakkan dirinya sendiri yang masih muda, dengan rambut yang masih
tebal dan belum beruban. Bersama dia nampak seorang wanita berwajah bulat dan
berambut pirang, serta dua orang anak.
"Istriku, Eleanor,” katanya sambil menunjuk wanita yang nampak di foto. “Kami menikah setahun sesudah perang. Ia meninggal dunia empat tahun yang lalu karena
penyakit jantung. Padahal masih begitu muda.”
Mr. Bonestell berhenti berbicara, karena suaranya tiba-tiba menjadi serak.
“Sayang,” kata Jupiter. Ia ikut terharu.
“Ya, memang,” kata Mr. Bonestell, yang nampaknya sudah bisa menguasai
perasaannya kernbali. “Yah, begitulah, kalau sudah nasib. Tapi sepi rasanya hidup sendiri di sini, sejak anak-anak meninggalkan rumah ini. Anakku yang laki-laki
menjadi pengatur bagian produksi pada perusahaan Elliot Electronics di
Sunnydale, sedang Debra, anakku yang wanita, sekarang sudah menikah.
Suaminya pegawai perusahaan asuransi. Mereka bertempat tinggal di Bakersfield.
Anak mereka sekarang sudah dua."
“Jadi sudah sepatutnya aku bersyukur--- karena telah membesarkan dua orang anak
yang kini hidup sentosa. Tapi ingin juga rasanya mereka tinggal lebih dekat
kemari. Sayang, mereka tidak mau tetap tinggal di sini. Jadi aku lantas mencari
seseorang yang bisa diajak sama-sama memikul biaya memelihara rumah ini. Itu
ketika aku masih di TX-4. Shelby—nama lengkapnya Shelby Tuckerman—saat itu
kebetulan mencari tempat tinggal. karenanya lantas kuajak tinggal bersama-
sama..."
Pintu belakang terbuka, dan Shelby masuk lagi dengan membawa sebuah kantung
kertas. Ia pergi ke lemari es, lalu memasukkan bahan pangan beku yang
dikeluarkannya dari kantung yang dibawa.
"Mengenai kejadian kemarin petang." kata Jupiter sesaat kemudian, “Maukah Anda menceritakannya? "
"Boleh saja, kalau kauanggap ada gunanya," kata Mr. Bonestell. “Pada mulanya semua biasa-biasa saja. Aku sudah hampir setahun menjadi satpam di situ. Aku
mulai dinas pukul dua belas tengah hari dengan tugas mengerjakan ini dan itu—
pokoknya tidak ada tugas penting di antaranya. Pekerjaan itu kuterima hanya
karena bosan rasanya menganggur saja sesudah aku... yah, dipensiunkan dari
Systems TX-4. Tenagaku diganti dengan komputer."
“Jadi aku sekarang menjadi orang suruhan berseragam di bank itu. Sesudah bank
tutup, aku mengawasi para pekerja yang membersihkan ruangan. Sebentar saja
mereka sudah selesai, biasanya sebelum pukul enam. Sesudah mengunci pintu
setelah para pekerja itu keluar, kuperiksa sekali lagi tempat itu untuk memastikan bahwa semuanya beres. Setelah itu aku pulang. Pada malam hari   bank tidak dijaga satpam, karena dianggap tidak perlu. Lemari besi tidak bisa dibuka tanpa
menyebabkan alarm berbunyi. Dan begitu alarm berbunyi, dengan segera polisi
berdatangan dari segala penjuru.
"Itu rupanya alasan kenapa Anda disekap para penjahat itu sepanjang malam," kata Bob. "Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selama sistem alarm masih bekerja."
“Betul,’ kata Mr. Bonestell. “Mereka bertiga, dan tentu saja mereka mengenal cara kerja di bank itu. Rupanya mereka mengintai sambil menunggu di salah satu
tempat sampai para petugas pembersih ruangan sudah keluar dan masuk ke lift.
Lalu salah satu dari perampok itu datang ke pintu dan mengetuk-ngetuk minta
dibukakan. Cahaya lampu di serambi depan tidak begitu terang. Ketika aku
memandang ke luar lewat daun pintu yang terbuat dan kaca, kulihat seseorang
memakai pakaian kerja tanpa lengan dengan rambut gondrong beruban dan topi pet
yang dibenamkan dalam-dalam menutupi kening. Kusangka dia Rolf yang
kembali, karena ada sesuatu yang ketinggalan. Ketika pintu sudah kubuka dan
orang itu masuk, barulah kusadari bahwa ia bukan Rolf. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa lagi, karena orang itu menggenggam pistol.
“Dengan cepat dua temannya menyusul masuk. Mereka memakai rambut palsu,
begitu pula kumis dan cambang mereka. Aku disuruh masuk ke ruang direksi, di
mana aku tidak bisa dilihat dari jalan. Sepanjang malam aku dijaga terus. Selama
itu mereka sama sekali tidak pernah menghampiri lemari besi. Keesokan paginya
ketika para pegawai muiai berdatangan, mereka digiring pula masuk ke ruang
direksi. Ketika Mr. Henderson datang—dialah yang mengetahui angka-angka
kombinasi untuk membuka pintu lemari besi— para perampok ternyata sudah tahu
siapa dia. Mr. Henderson mereka paksa membuka lemari besi, ketika kunci
pengaman dengan penyetelan waktu sudah tidak bekerja lagi.”
Shelby Tuckerman duduk di samping Pete.
“Kurasa seseorang di sekitar sini mengintai gerak-gerik Anda selama ini,” kata
Shelby pada Mr. Bonestell. “Atau mungkin juga salah satu dari para gaek yang
tinggal di Panti Wreda itu yang melakukannya."
Mr. Bonestell kelihatan jengkel mendengar kata-kata itu.
“Aku kan masih bisa mengenali tetangga atau kawan, Shelby." katanya. “Aku tidak mengenal orang-orang yang muncul kemarin petang itu.”
Shelby berdiri, lalu meletakkan cerek berisi air di atas kompor.
“Mereka menyamar, kan?” katanya. “Kurasa tidak ada jeleknya jika anak-anak ini
mengamat-amati para tetangga kita. Mereka tidak bisa dibilang tergolong bisa
dibanggakan.”
“Apakah mereka memang harus bisa dibanggakan?” balas Mr. Bonestell dengan
jengkel.
“Tentu saja Anda tidak perlu mencurigai para tetangga Anda ,”  kata Jupiter menyela, “tapi di pihak lain, kelihatannya memang ada seseorang yang benar-benar mengetahui seluk-beluk kegiatan sehari-hari di bank itu. Anda tahu pasti
tidak ada yang mengamati gerak-gerik Anda belakangan ini? Ada yang bertanya-
tanya tentang pekerjaan Anda?"
“Tidak.” Mr. Bonestell nampak benar-benar merasa tidak enak.
Air dalam cerek mendidih. Shelby menyendokkan kopi bubuk ke sebuah cangkir
lalu menuangkan air mendidih ke dalamnya. Setelah itu ia kembali ke meja
membawa cangkir yang berisi minuman kopi panas. Sambil meneguk minumannya
ia memandang Jupe dan Mr. Bonestell, silih berganti.
“Mungkin kita harus membuktikan bahwa ada orang lain yang bersalah, sebelum
bisa membuktikan bahwa Anda sama sekali tidak terlibat,” kata Jupe. "Untuk itu, mungkin kami punya petunjuk."
“Petunjuk?" kata Mr. Bonestell bergairah. “Petunjuk apa?"
“Saat ini kita belum bisa memastikan apakah itu benar-benar merupakan
petunjuk.” kata Jupe lagi. “Jadi lebih balk jangan kita bicarakan dulu. Kami akan melakukan penyidikan mengenainya, lalu dalam satu atau dua hari ini Anda akan
kami hubungi lagi. Sementara itu, apabila Anda merasa ada di antara kenalan Anda
yang bersikap lain dari biasa atau terlalu ingin tahu, tolong beritahukan pada kami.
Nomor telepon kami ada di balik kartu nama kami."
"Ya, baiklah.”
Jupe mengajak kedua temannya pergi. Ketika pintu rumah sudah ditutup kembali
di belakang mereka, Bob berkata, “Petunjuk? Maksudmu, dompet itu? itu
petunjuknya?”
“Memang tidak bisa terlalu diandalkan, tapi itu satu-satunya pegangan kita,” kata Jupe. “kurasa sementara ini aku sudah bisa menarik kesimpulan bahwa balk Mr.
Sebastian maupun Mr. Bonestell bukan penjahat. Tapi jika orang buta itu ada
sangkut-pautnya dengan perampokan itu, maka ada kemungkinan bahwa Mr.
Sebastian pernah berurusan dengan seorang penjahat. Pertaliannya dompet itu, jadi ada gunanya jika kita menelusurinya."
“Oke, kalau kau mengatakan begitu,” kata Pete. “Tapi usahakan, jangan sampai
kita datang ke tempat-tempat di mana kita nanti ditodong orang, ya?"





Bab 6
PEMIMPI YANG KETAKUTAN
SEBELUM pukul sembilan keesokan paginya, Bob Andrews sudah meninggalkan
Rocky Beach. Ia bersepeda ke selatan, menyusur jalan raya pesisir ke arah Santa
Monica. Ia diserahi tugas menanyai toko-toko yang terdapat di dekat bank yang
dirampok, apakah si pengemis buta sejak peristiwa itu masih datang lagi ke sana.
Setelah itu ìa harus kembali ke Rocky Beach lagi, untuk bekerja selama beberapa
jam di perpustakaan.
Setelah Bob pergi, Pete dan Jupiter berangkat ke utara. Sebelum pukul setengah
sepuluh mereka sudah melewati Malibu. Mereka mengayuh sepeda masing-masing
mendaki suatu tanjakan di luar kota itu, lalu meluncur dengan cepat menuruni
lereng di belakangnya menuju dermaga milik perusahaan pengelola olahraga
memancing, Denicola Sport Fishing Company.
Kedua rernaja itu berhenti di tepi jalan, di seberang dermaga itu. Mereka sudah
sering melihat tempat itu dalam perjalanan melewatinya. Tapi baru saat itu mereka
benar-benar menaruh perhatian. Sebelumnya. Dermaga Denicola bagi mereka hanya merupakan salah satu tempat di sepanjang jalan raya itu, tempat para
penggemar olahraga memancing biasa berkumpul. Beberapa karavan diparkir di
pinggir jalan, dan nampak sejumlah pria dan wanita sedang asyik memancing
dalam air di tepi pantai sebelah selatan dermaga. Angin musim semi di pagi hari itu terasa menusuk tulang. Tapi walau begitu ada juga beberapa orang berpakaian
kedap air bermain selancar agak ke tengah laut di mana ombak mulai memecah
sebelum mencapai pantai.
“Asyik juga gelombang hari ini,” kata Pete dengan nada iri. Ia memang mahir
bermain selancar, dan pasti senang jika saat itu bisa meluncur di atas ombak yang melaju ke arah pantai.
Tapi Jupiter sama sekali tidak tertarik pada keadaan gelombang. Perhatiannya
terarah ke dermaga dan perahu penangkap ikan yang ditambatkan ke situ. Perahu
itu bernama Maria III.  Potongannya kekar dan rapi. Panjangnya sekitar lima belas meter, dengan rumah kemudi dan geladak terbuka tempat para pengail yang
menyewanya. Saat itu sebuah lubang di geladak terbuka, dan seorang pemuda yang
memakai jaket badai berwarna biru sedang memandang ke bawah, memperhatikan
mesin perahu motor itu.
Di sisi utara dermaga, di seberang tempat Maria III  ditambatkan, ada sebuah rakit dengan sebuah jembatan sempit yang menghubungkannya dengan dermaga.
Sebuah sampan tertambat pada rakit itu. Di bagian yang lebih dalam di depan
dermaga, nampak sebuah perahu motor yang langsing, tertambat pada sebuah
pelampung. Kokpitnya ditutupi dengan terpal.
“Pasti itulah speedboat Mr. Sebastian,” kata Jupe.
“Hm” kata Pete asal-asalan, karena perhatiannya masih tetap tertuju pada orang-
orang yang asyik berselancar meniti ombak.
“Kau mau tinggal di sini, menjaga sepeda-sepeda kita?” kata Jupiter.
“Hm,” kata Pete sekali lagi.
Jupiter tersenyum, lalu menyeberang jalan. Sepedanya ditinggal di dekat Pete.
Sebuah jalan yang bisa dilalui mobil, mengarah dari jalan raya langsung ke
dermaga. Di sebelah kirinya ada pelataran parkir yang tidak terlalu luas. Saat itu tidak nampak kendaraan diparkir di situ. Di sebelah kanan, suatu jalur dan jalan
raya menuju ke sebuah rumah beratap genting batu yang berwarna kelabu pudar.
Sebuah mobil jenis station wagon  nampak di garasi terbuka di sebelah rumah itu.
Antara tempat itu dan dermaga ada sebuah pondok kecil yang kelihatannya
merupakan kantor. Pada tiga sisinya terdapat jendela-jendela, sedang pintunya
terdapat pada sisi yang paling dekat letaknya dengan dermaga. Lewat jendela-
jendela pondok itu Jupe bisa melihat bahwa di dalamnya ada seorang wanita
berambut kelabu dan bergaun hitam, yang sedang sibuk meneliti sebuah buku kas,
sementara seorang wanita lagi yang nampak lebih muda dan berambut lebat
berwarna merah dan keriting sedang menelepon.
Jupiter mendatangi kantor itu. Ia tersenyum dari balik kaca jendela pada wanita
yang berambut merah, membuka pintu, lalu masuk.
Ruang kantor itu dipenuhi bau air laut, sepatu karet, ganggang laut dan barang
lapuk. Sebuah bangku kayu disandarkan dekat sebuah dinding, beserta sebuah
meja yang di atasnya ada brosur-brosur mengenai olahraga memancing ikan serta
berbagai acara pesiar dengan perahu motor sewaan ke Pulau-pulau Selat yang
terletak di depan pesisir California.
Wanita yang berambut merah menutup corong tempat bicara dan pesawat telepon
yang sedang dipegangnya.
“Sebentar, ya,” katanya pada Jupiter.
“Saya tidak terburu-buru,” kata Jupe.
Wanita yang berambut kelabu mendongak. Tiba-tiba Jupiter merasakan tatapan
matanya yang menusuk. Bulu tengkuknya langsung merinding. Jupiter merasa
seram. Mata wanita itu berwarna gelap. Tatapannya aneh dan sepertinya bisa
melihat apa yang sedang pada dalam pikiran Jupiter. Tapi senyumnya polos,
seakan-akan tidak menyadari dampak tatapan matanya pada Jupiter. Setelah
memandang sekilas, ia kembali menekuni buku kas yang sedang diperiksa.
Jupiter merasa kikuk. Ia memalingkan muka, memandang ke arah dermaga.
Pemuda berjaket badai yang ada di sana rupanya sudah selesai mengecek mesin
Maria III.  Ia menutup lubang palka, lalu melompat ke dermaga dan berjalan menuju kantor itu sambil bersiul-siul.
“Oke,” kata wanita berambut merah pada orang yang sedang berbicara dengan dia
lewat telepon. “Jadi empat puluh tiga orang, hari Sabtu. Jika ada tambahan, harap beri tahu, ya!”
Ia mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Pada saat yang sama, pemuda berjaket badai tadi masuk.
“Ya, ada perlu apa?” tanya wanita itu pada Jupe.
“Saya ingin bertanya, apakah ada yang kebetulan menemukan dompet di sini?" 
tanya Jupe. "Mr. Sebastian kehilangan dompetnya, satu atau dua hari yang lalu.”
“Mr. Sebastian? Dia kemari belakangan ini? Aku tidak melihatnya. Ernie, kau
mengantar dia ke perahunya? Coba kauperiksa di sampan, mungkin dompet itu ada
di situ.”
“Tidak ada apa-apa di situ,” kata pemuda yang berjaket badai. “Mr. Sebastian
kemari dua hari yang lalu. Sesudah menjemputnya kembali ke dermaga, aku
sempat membersihkan sampan. Jika dompet itu terjatuh di situ, pasti waktu itu
sudah kutemukan."
Pemuda itu menoleh ke arah Jupiter dengan heran.
“Kenapa bukan Mr. Sebastian sendiri yang datang?” katanya. “Atau menelepon?"
“Sedang sibuk,” kata Jupiter. “Selama dua hari belakangan ini ia pergi ke beberapa tempat dan ia tidak ingat di mana terakhir kalinya dompet itu masih ada.
Kukatakan padanya, biar kudatangi saja langsung tempat-tempat itu untuk
menanyakan. Dengan cara begitu lebih besar kemungkinan berhasil. kalau lewat
telepon, belum tentu orang yang ditelepon mau repot-repot mencarikan.”
Jupiter sebenarnya masih hendak menambahkan bahwa Mr. Sebastian melihat
seorang laki-laki yang rambutnya ubanan, memakai kaca mata hitam dan di
mukanya ada bekas luka. Tapi sebelum ia sempat menyebutkan ciri-ciri pengemis
buta itu, wanita yang lebih tua menoleh lagi ke arahnya.
“Kau menanyakan tentang dompet?" katanya. “Aneh, kemarin malam aku
bermimpi, tentang dompet.”
Wanita yang berambut merah tersenyum.
“Mertuaku ini kadang-kadang menyeramkan,” katanya pada Jupiter. “Ia suka
memimpikan hal- hal yang kemudian benar-benar terjadi.”
“Bukan aku yang mengerikan,” kata mertuanya. Ia berbicara dengan logat tertentu, yang kemudian menjadi lebih kentara ketika ia menyambung, “Kadang-kadang
mimpiku itu membuat aku ketakutan. kemarin malam aku bermimpi, ada seorang
laki-laki datang. Aku tidak kenal orang itu. Ia memungut sebuah dompet yang
tergeletak di tanah, lalu cepat-cepat mengantunginya.
“Orang itu aneh! Rambutnya kelabu seperti rambut Vincenzo, suamiku, sebelum Ia
meninggal dunia. Tapi ia tidak kecil dan tua, seperti Vincenzo. Umurnya lebih
muda, dan ia memakai kaca mata hitam. Di mukanya ada bekas luka, yang
kelihatannya seperti bekas sayatan pisau. Ia berjalan sambil meraba-raba dengan
tongkat seperti tunanetra, tapi ia tahu bahwa aku memperhatikan dirinya. Aku
merasa bahwa dia itu merupakan ancaman bagi keselamatanku. Mimpiku itu jelas
sekali, seperti benar-benar sedang kualami." Ia menoleh ke arah menantunya.
“Perasaanku tidak enak karenanya, Eileen."
Di samping Jupiter terdengar bunyi seperti napas yang tersentak. Jupe berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya wajah Ernie menjadi pucat. Dan tubuhnya agak
menggigil, menurut perasaan Jupiter.
“Ada apa, Ernie?’ tanya wanita yang bernama Eileen. “Kau kenal orang yang
tampangnya seperti itu?’
“Tidak, tidak, bukan begitu!” Ernie mengatakannya dengan buru-buru, dan dengan
suara yang terlalu keras. "Aku cuma merasa seram, mendengar mimpi Mrs.
Denicola."
“Aku mengerti maksudmu." kata Eileen.
Semuanya sama-sama membisu sesudah itu. Jupiter mengucapkán terima kasih
pada Mrs. Denicola dan menantunya, Lalu buru-buru keluar dan menyeberang
jalan ke tempat Pete yang masih melamun sambil memandang ke arab orang-orang
yang asyik berselancar di laut.
“Berhasil!” kata Jupe bersemangat. "Wanita tua di kantor itu Mrs. Denicola,
sementara wanita yang lebih muda itu menantunya. Ia mengatakan bahwa
mertuanya suka memimpikan hal-hal yang kemudian ternyata benar-benar terjadi.”
"Maksudmu, ia memimpikan hal-hal yang akan terjadi."” kata Pete.
"Mungkin," jawab Jupe. "Tapi ia juga memimpikan kejadian-kejadian yang sudah lampau. Misalnya tadi malam ia bermimpi tentang seorang laki-laki yang
menemukan dompet lalu mengantunginya. Orang itu berjalan meraba-raba dengan tongkat. Jadi orang buta! Dan orang itu merupakan ancaman bagi Mrs. Denicola!"
Pete terkejut.
"Ah kau pasti mengada-ada sekarang!” tuduhnya.
"Tidak, aku cuma mengulangi cerita wanita itu. Ia ketakutan, begitu pula halnya dengan pemuda yang ketika kita tadi datang nampak sedang berada di kapal motor
itu. Ia setengah mati ketakutan mendengar cerita tentang mimpi itu. Ia mengetahui sesuatu tentang orang buta itu, dan ia tidak ingin ada orang lain tahu bahwa ia
tahu! Pemuda itu ada sangkut-pautnya dengan misteri yang sedang kita hadapi. Itu
harus kuketahui!”





Bab 7
PETE MENGHADIRI RAPAT
PETE sendiri yang memutuskan bahwa ia akan tetap tinggal dekat Dermaga
Denicola, untuk mengamat-amati orang yang bernama Ernie itu.
"Jika ada sesuatu yang dirahasiakan olehnya, kita perlu mengetahui apa itu,”
katanya. “Tapi ia pasti curiga, jika melihatmu berkeliaran terus di sini. Aku belum dilihat olehnya, jadi tidak ada risikonya jika aku yang tetap tinggal di sini. Ia takkan mungkin tahu bahwa aku mengamat-amati dirinya.”
“Tapi hati-hati, ya," kata Jupe mengingatkan.
“Itu tidak perlu kaukatakan lagi,” balas Pete. “Aku selalu berhati-hati - hal mana tidak bisa dikatakan mengenal dirimu!”
Ketika Jupe sudah pergi dengan sepedanya, Pete menyeberang jalan menuju ke pantai. Sepedanya disurukkan ke kolong dermaga yang di tepi air cukup tinggi
letaknya, sehingga memungkinkan orang berdiri di bawahnya. Sepeda itu
diamankan dengan cara mengikatkannya dengan rantai pada salah satu tonggak
penyangga dermaga. Pete bersikap seolah-olah sama sekali tidak memperhatikan
Dermaga Denicola. Kalau ada yang kebetulan melihat dia, pasti mengira bahwa
Pete itu anak biasa-biasa saja yang menaruh sepedanya di tempat yang aman.
Sesudah itu Pete berjalan menyusur pantai, melewati beberapa orang yang sedang
memancing. Sampai di suatu tempat yang tidak begitu jauh dan dermaga, Ia duduk
di pasir lalu memandang ke laut ke arah kapal motor yang bernama Maria III.
Ernie sudah ada di kapal itu lagi. Kelihatan bahwa ia sibuk menggosok bagian-
bagian kapal yang terbuat dari kuningan.
Pagi berlalu dengan menyenangkan. Serombongan anak-anak datang lalu bermain-
main di pasir dekat dermaga. Dari percakapan mereka, Pete berhasil mengetahui
bahwa mereka tinggal tidak jauh dari situ. Dengan segera dihampirinya anak-anak
itu, lalu ia mulai menanyakan ini dan itu. Dan mereka Pete mengetahui bahwa
Ernie tinggal di rumah kecil di tepi jalan raya tidak jauh dari situ, bersama dua orang temannya. Kedua teman itu kalau bercakap-cakap sesama mereka memakai
bahasa asing. Pete merasa bangga karena berhasil mengorek keterangan itu. Jupe
sendiri belum tentu bisa memperolehnya, pikir Pete.
Siangnya, Pete makan roti yang dibelinya di pusat perbelanjaan kecil yang ada di
dekat situ. Kemudian ia kembali ke pantai, lalu mengamati Ernie lagi. Beberapa
menit sesudah pukul lima sore, Ernie meninggalkan dermaga. Ia berjalan kaki
menyusur jalan raya .  Pete membuntutinya, dengan jarak yang dirasanya cukup aman.
Ernie langsung menuju sebuah rumah kecil yang kelihatan tidak terawat baik.
Rumah itu menghadap ke jalan raya. Bagian belakangnya berada di atas pasir,
ditopang tonggak-tonggak penyangga. Ernie masuk ke rumah yang sudah reyot itu.
Pete berdiri di luar. Ia agak bimbang, tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan
selanjutnya. Bagaimana caranya bisa mengetahui lebih banyak tentang orang itu,
yang ada kemungkinan mengenal si pengemis buta?
Sebuah truk tua yang sudah bobrok datang dan berhenti di pinggir jalan, di
seberang rumah tempat tinggal Ernie. Seorang laki-laki yang masih muda turun. Ia
melambai sambil mengucapkan terima kasih pada pengemudi truk itu, lalu
menyeberang dan langsung masuk ke rumah Ernie, sementara truk itu meneruskan perjalanan.
Beberapa menit kemudian datang lagi seorang pemuda. Ia mengemudikan mobil
Buick model kuno. Mobil tua itu diparkirnya di sebidang tanah yang datar dan
ditumbuhi rumput liar di samping rumah. Pemuda itu kemudian masuk ke dalam
rumah. Pintu ditariknya sehingga tertutup kembali dengan bunyi yang keras.
Sementara itu sudah tidak banyak lagi orang yang masih memancing di pantai.
Matahari sudah hampir terbenam. Pete memutuskan untuk terus mengamati selama
sepuluh menit lagi, lalu sesudah itu pulang.
Tidak lama kemudian pintu rumah Ernie terbuka kembali. Ernie dan kedua pemuda
yang datang belakangan keluar dan langsung pergi, menyusur jalan raya. Pete
membuntuti mereka. ketiga pemuda itu terus saja berjalan. Sesudah melewati
dermaga mereka menyeberang, lalu masuk ke sebuah jalan kecil yang berkelok-
kelok. Jalan itu menuju sebuah bangunan yang terletak di atas tebing yang
menghadap ke laut. Pada sebuah papan yang terpasang di lereng tebing itu tertera
nama Oceanview Motel.
Ketika Ernie beserta kedua temannya sudah sampai di atas tebing, sebuah mobil
membelok dari jalan raya dan mulai mendaki lereng tebing itu pula. Setelah itu
datang sebuah mobil lagi. Mobil itu menyusul kendaraan yang pertama, mendaki
ke puncak. Lalu datang mobil nomor tiga. Mobil itu dihentikan di pinggir jalan.
Seorang pria dan seorang wanita keluar, lalu mulai mendaki dengan berjalan kaki.
Sementara itu muncul dua pemuda naik sepeda motor. Mereka memacu kendaraan
masing-masing, mendaki lewat jalan kecil yang berkelok-kelok itu.
Selama itu Pete memandang saja dengan perasaan heran. Akhirnya ia mengambil
keputusan, ketika sebuah mobil kombi yang penuh berisi orang-orang yang masih
muda berhenti di pinggir jalan. Ia pergi ke seberang jalan, pada saat sebuah mobil sedan kecil dihentikan di pinggir. Seorang pria dan seorang wanita, kedua-duanya
sudah setengah umur, keluar dari mobil itu, bersama dua remaja belasan tahun.
Pria dan wanita itu memasuki jalan sempit yang mendaki itu, diikuti oleh kedua
remaja. Pete langsung menyusul, beberapa langkah di belakang mereka.
Diikutinya keempat orang yang kelihatannya suami-istri beserta kedua anak
mereka itu sanpai ke puncak bukit. Dari sana mereka terus ke tempat parkir dan
kolam renang yang terletak di belakang motel. Kamar-kamar motel itu semuanya
menghadap ke belakang. Di atas kepala, lampu-lampu yang terpasang di pinggiran
atap sudah dinyalakan. Kursi lipat sudah diatur berjejer-jejer di sekeliling kolam
renang serta di sebagian pelataran parkir yang beralaskan aspal. Di belakang kolam renang ada tempat terbuka di mana Ernie dan kedua temannya menaruh beberapa
buah kuda-kuda yang besar, lalu memasang foto-foto yang dibesarkan sampai
beberapa kali lipat di situ. Salah satu foto itu, yang hanya hitam-putih warnanya, menampakkan seorang pria berambut putih dengan pakaian seragam meriah. Lalu
ada pula foto berwarna dari sebuah kota yang nampak kemilau diterangi sinar
matahari. Foto yang berikut menyebabkan napas Pete tensentak ketika melihatnya,
karena yang nampak adalah wajah seseorang berambut gondrong, dengan bekas
luka memanjang dan tulang pipi sampai dagu, serta kaca mata hitam yang
menutupi mata. Tampangnya persis pengemis buta yang diceritakan oleh Bob.
Pete mulai gelisah, karena merasa bahwa Ia sebenarnya tidak boleh ada di situ.
Hati kecilnya sudah menyuruhnya cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tapi ia
tahu, bahwa jika rangsangan itu dituruti, Jupe pasti marah-marah nanti.
Nampaknya di situ akan diadakan semacam rapat, dan mungkin nanti akan bisa
diketahuinya siapa laki-laki bermuka rusak itu sebenarnya. Pertemuan itu
kelihatannya tidak memungut bayaran, karena tidak ada orang yang
mengumpulkan karcis. Dan tidak ada yang memperhatikan Pete. karenanya ia
merasa bahwa takkan apa-apa jika ia tetap di situ, asal duduk dengan diam-diam
sambil berlagak seolah-olah memang termasuk kelompok yang mengadakan
pertemuan itu.
Sementara itu orang berdatangan terus. Ketika semua kursi sudah terisi, mereka
yang datang belakangan mengambil tempat duduk di jenjang di luar ruang kantor
motel dan di atas tembok rendah yang terdapat pada satu sisi daerah tempat kolam
renang. Tidak ada lampu yang menyala di dalam motel. Mungkin tempat
penginapan itu hanya buka pada musim panas saja, kata Pete dalam hati.
Hari sudah hampir gelap ketika akhirnya Ernie mengambil tempat di belakang
sebuah mimbar kecil yang diletakkan di depan jejeran foto-foto. Salah seorang
temannya muncul dari sebelah belakang kantor, membawa bendera yang terbuat
dari kain satin biru yang pinggirannya dihias dengan hiasan warna emas. Di
tengah-tengah bendera nampak gambar seberkas daun ek yang berwarna
keemasan.
Seorang wanita mulai menyanyi, diikuti oleh seorang wanita lain, lalu oleh seorang pria. Dengan segera segenap hadirin sudah menyanyi sambil berdiri. Suara mereka
bertambah lantang, terdengar megah. Pete berdiri sambil pura-pura ikut menyanyi.
Lagu yang dinyanyikan belum pernah didengarnya, tapi rasa-rasanya seperti lagu
perjuangan. Atau mungkin juga lagu kebangsaan. Ketika lagu sudah selesai,
semuanya duduk lagi. Terdengar suara terbatuk-batuk dan bunyi kursi digeser.
Ernie meninggalkan, mimbar.
Kini tampil seseorang yang sudah agak tua. Ia mulai berbicara—dalam bahasa
Spanyol! Pete mengeluh dalam hati. Ia sama sekali tidak bisa berbahasa Spanyol.
Coba Jupe juga ada di situ.
Mula-mula orang itu berbicara dengan suara lembut. Tapi dengan segera nadanya
bertambah keras. Ia mengacung-acungkan tangannya yang terkepal seperti sedang
marah pada hadirin, atau pada seseorang yang ada sedikit di luar batas sinar lampu-lampu yang menyala di puncak bukit itu.
Hadirin bersorak ketika orang itu selesai berbicara dan meninggalkan mimbar.
Setelah itu seorang wanita muda berambut pirang dan panjang yang dibiarkan
tergerai lurus ke bawah tampil dan tengah-tengah hadirin. Ia berdiri menghadapi
mereka, lalu menyerukan sésuatu yang kedengarannya seperti semboyan. Orang-
orang bertepuk dan bersuit-suit. Bahkan ada yang begitu bersemangat, sampai
mengentak-entakkan kaki ke lantai.
Hadirin diam kembali, begitu wanita itu mengangkat tangannya. kemudian ia
berpidato. Gayanya berapi-api. Gerak-geriknya seperti menari-nari di tengah
sorotan lampu-lampu yang terang. Ia menunjuk-nunjuk jejeran foto yang ada di
belakangnya. Hadirin bersorak, setiap kali wanita itu menunjuk foto laki-laki yang ada bekas luka di pipinya.
Akhirnya wanita itu mengakhiri pidatonya, diiringi sorak-sorai dan suitan-suitan
ramai. Lalu Ernie tampil lagi di belakang mimbar. Hadirin yang masih
bersemangat, pelan-pelan menjadi tenang kembali. Pete kaget setengah mati,
karena tahu-tahu Ernie mulai menuding hadirin, menunjuk seseorang dan
memintanya agar berdiri dan mengatakan sesuatu, lalu menunjuk orang lain lalu
memintanya berbicara pula. Satu demi satu yang ditunjuk olehnya berbicara
sebentar, dan selalu dalam bahasa Spanyol. Mula-mula seorang laki-laki yang
duduk di deretan pertama, lalu seorang wanita yang berada di tengah-tengah
hadirin, dan setelah itu seorang remaja yang duduk di jenjang di luar kantor motel.
Setiap kali orang yang ditunjuknya sudah berdiri, sambil bertepuk tangan dan
tertawa Ernie menyerukan kata-kata pemberi semangat.
kemudian Ernie menuding Pete! Orang-orang yang ada di sekeliling penyelidik
remaja itu menoleh padanya.
Pete menggeleng. Tapi pria yang duduk di sebelah kanannya mendorong-dorong
lengannya sambil memberi isyarat agar berdiri.
Dengan gerakan lambat seperti sedang bermimpi—tapi mimpi buruk! —Pete berdiri. Ia sadar bahwa ia harus cepat-cepat mencari akal untuk menyelamatkan
diri dari keadaan gawat itu. Tapi otaknya serasa beku.
Ernie mengatakan sesuatu, dan hadirin tertawa. Setelah itu semuanya diam. Pete
melihat wajah-wajah berpaling ke arahnya, memandangnya dengan sikap
menunggu.
Pete sudah ingin lari saja, ingin buru-buru pergi dari situ, sebelum orang-orang
yang sedang menunggu itu sadar bahwa ia bukan salah seorang dari mereka.
Pria yang duduk di sebelahnya mengatakan sesuatu dengan suara lirih.
Bertanyakah dia? Atau mengancam?
Tiba-tiba Pete memegang kerongkongannya sambil membuka mulut dan
menuding-nuding. Ia mengeluarkan suara yang kedengarannya seperti orang
tercekik. Kemudian Ia menggeleng-geleng.
“Ah, laringitis!’  kata pria yang duduk di sebelahnya.
Pete mengangguk sambil memaksa diri tersenyum. Terdengar suara orang-orang
tertawa. Pete duduk kembali dengan perasaan lega. Pria yang di sebelahnya
tersenyum ramah padanya. Untung saja dia langsung mengira bahwa aku terserang
radang tenggorokan, kata Pete dalam hati. Para hadirin mengalihkan perhatian
kembali ke mimbar, di mana Ernie mengatakan sesuatu lalu menunjuk seseorang
lagi di antara hadirin. Orang itu berdiri, dan berbicara sebentar. Akhirnya Ernie dan salah seorang temannya mulai berkeliling menyusuri deretan kursi-kursi sambil
menyodorkan sebuah keranjang. Wanita muda berambut panjang berwarna pirang
tadi berbicara lagi. Rupanya ia mendesak hadirin agar bermurah hati.
Keranjang itu sudah lumayan penuh berisi uang kertas ketika sampai di tempat
Pete duduk. Pete menaruh selembar uang satu dolar ke dalam keranjang itu, lalu
menyodorkannya pada orang yang duduk di sebelahnya. Tiba-tiba terdengar suara
seseorang berseru dari ujung atas jalan sempit. Seketika itu juga keranjang tadi
disingkirkan.
Orang-orang nampak ribut sebentar. Tahu-tahu Ernie dan kedua temannya sudah
duduk di hadapan hadirin, memegang gitar dan akordeon. Ernie mulai memetik
gitar sebagai pembuka, disusul oleh temannya yang memegang akordeon, lalu
wanita muda berambut pirang tadi menyanyi dengan suara lembut.
Para hadirin ikut menyanyikan sebuah lagu yang sederhana dan enak didengar.
Seperti lagu rakyat yang dinyanyikan anak-anak.
Pete mendengar bunyi sepeda motor menderu-deru. Ia berpaling ke arah bunyi itu.
Dilihatnya seorang polisi patroli jalan raya mendaki tebing dengan sepeda
motornya.
Satu demi satu hadirin berhenti menyanyi. dan akhimya semua diam.
Polisi itu turun dan sepeda motornya, lalu berjalan ke tempat yang terbuka dekat
mimbar.
“Maaf, mengganggu sebentar,” katanya. “Siapa yang bertanggung jawab di sini?”
“Saya,” kata Ernie sambil bangkit. “Ada apa? Kami sudah diizinkan Mr.
Sanderson untuk berlatih di sini”
“Sanderson?” Polisi itu memandang ke arah kantor motel. “Dia pemilik tempat
ini?"
"Betul. Kami menyewa ruang rekreasi dari dia. Mau lihat tanda pembayarannya?”
“Tidak perlu. Saya percaya. Tapi ini bukan ruang rekreasi. Dan tidakkah
Sanderson —atau orang lain—mengatakan bahwa tempat ini tidak aman? Kalau
tidak begitu, untuk apa tempat ini ditutup? Sesudah begitu banyak hujan yang
turun, tanah di sini tidak stabil. Tanah bukit ini setiap waktu bisa longsor. Lagi pula, apa sebetulnya yang kalian lakukan di sini? Siapa orang-orang ini?"
Ernie tersenyum polos.
“Kami ini anggota-anggota Federasi Musik Sunset Hills,” katanya. “Kami sedang
berlatih untuk Jambore Musik Rakyat yang akan diadakan tanggal dua puluh tujuh
nanti, di Coliseum.”
Polisi itu memandang hadirin yang begitu banyak.
“Kalian semua?” katanya. “Semuanya berlatih untuk... untuk jambore itu ?”
“Jambore Musik Rakyat itu diadakan untuk grup-grup amatir yang beranggota
banyak,” kata Ernie menjelaskan dengan nada sabar. “Dan memang, M. Sanderson
memang mengatakan bahwa tanah di bukit ini tidak stabil. Tapi saat itu kami sudah tidak bisa lagi membatalkan jadwal latihan! Padahal orang-orang ini ada yang
datang dari jauh, dari Laguna misalnya. Karenanya kami lantas memutuskan untuk berlatih di luar. Di sini lebih aman. Jika bangunan motel roboh, takkan ada yang
cedera. Ya, kan?"
“Belum tentu,” kata polisi itu. Lalu menyambung dengan suara dilantangkan,
“Maaf, tapi saya terpaksa meminta Anda semua agar secepat mungkin
meninggalkan tempat. Tidak perlu panik, tapi harap pergi selekas rnungkin, karena berbahaya jika Anda masih lebih lama lagi berada di tempat ini. Biarkan saja kursi-kursi itu. Tidak perlu dibereskan. Cepat tinggalkan tempat ini.”
Hadirin mulai meninggalkan pelataran, dengan tenang dan tertib. Pete ikut pergi.
Sewaktu menuruni bukit, Ia masih sempat mendengar Ernie berkata pada polisi itu,
"Ya, baiklah, tapi beri saya waktu untuk mengemasi gitar saya, ya?”
Pete menggeleng-geleng dengan heran. Aku ingin tahu bagaimana komentar Jupe
nanti jika ini kuceritakan padanya, katanya dalam hati.





Bab 8
BEBERAPA PETUNJUK BARU
“AKU tidak tahu apa sebetulnya yang sedang mereka rencanakan,” kata Pete, “tapi
aku berani taruhan seluruh uang sakuku untuk bulan April, urusannya pasti tidak
ada sangkut-pautnya dengan kontes lagu-lagu rakyat.”
Saat itu sudah keesokan paginya. Pete duduk di lantai ruang kantor Trio Detektif.
Ia berbicara dengan kening berkerut.
“Kau tidak perlu bertaruh,” kata Jupe. Harian Los Angeles Times  terbentang di atas meja di depannya, terbuka pada halaman yang memuat jadwal acara pertunjukan
dan pameran. “Pada tanggal dua puluh tujuh, di Coliseum dilangsungkan pameran ternak."
Bob duduk di bangku tinggi dekat tirai yang memisahkan ruang kantor dan
laboratorium kecil yang juga ada dalam karavan bekas itu. kemarinnya, ketika
kembali dari Santa Monica, ia merasa kecewa karena tidak berhasil mengumpulkan
informasi lebih banyak tentang si pengemis buta. Dan kini ia membalik-balik
halaman sebuah atlas dunia yang diletakkannya di atas pangkuan.
"Bendera yang mereka pergunakan dalam latihan, atau rapat, atau entah apa yang mereka lakukan kemarin — yang jelas itu bukan bendera Meksiko,” katanya
memberi tahu. “Bendera Meksiko, merah, putih, dan hijau. Bendera Spanyol juga
bukan. Tidak satu negara pun di Amerika Tengah yang benderanya seperti yang
kaukatakan, Pete.”
“Mungkin sama sekali bukan bendera negara,” kata Jupe. "Bisa jadi itu bendera suatu organisasi."
Tapi kemudian terdengar Bob berseru, seakan baru saja menemukan sesuatu. Jupe
langsung menoleh dengan penuh minat ke arahnya.
Bob masih memandang halaman atlas yang terbuka di atas pangkuannya, sesaat
lagi. Lalu ia memandang kedua temannya.
“Mesa d’Oro,” katanya. “Negara kecil di Amerika Selatan. Di samping peta
wilayahnya, ada dua bendera. Yang satu hijau dengan lambang negara di tengah-
tengah, sedang yang satu lagi biru dengan seberkas daun ek berwarna keemasan.
Yang hijau itu bendera resmi negara, sedang yang biru bendera dan apa yang pada
atlas ini disebut Republik Lama. Ada catatan di sini yang mengatakan, bendera
yang biru masih dikibarkan pada hari-hari raya tertentu oleh beberapa kelompok
konservatif dan di beberapa propinsi yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan.”
Bob memandang ke atlas lagi.
"Mesa d’Oro memiliki sejumlah pelabuhan samudra di Pasifik," katanya sambil meneliti peta. "Ekspornya kopi dan wol. Usaha pertaniannya jelai yang ditanam di dataran tinggi sebelah selatan ibu kota, Cabo de Razon, yang juga merupakan kota
pelabuhan. Penduduknya tiga setengah juta jiwa.”
“Cuma itu saja?" kata Pete.
“Dalam atlas memang tidak banyak dimuat keterangan selain gambar-gambar peta, jumlah penduduk, serta hal-hal seperti itu,” kata Bob menjelaskan.
“Aneh!” kata Jupiter. “Ada rapat dengan acara pengumpulan dana—mungkin
untuk semua negara kecil di Amerika Selatan. Orang-orang yang memimpinnya
bersikap sembunyi-sembunyi — buktinya mereka berbohong pada poilsi itu.
Dalam rapat dipajang foto si Buta, dan orang yang memimpin pertemuan adalah
yang kelihatan kaget ketika Mrs. Denicola bercerita tentang mimpinya, dalam
mana muncul seorang buta yang memungut dompet yang tergeletak di jalan.
Apakah sebetulnya yang dilakukan orang-orang yang berkumpul kemarin malam
itu? Adakah pertalian antara mereka dengan peristiwa perampokan, atau kedua hal
itu merupakan kejadian yang tidak ada hubungannya satu dengan yang lain? Yang
jelas, mereka tidak ingin polisi sampai tahu apa sebetulnya tujuan mereka
berkumpul."
“Tidak mungkin mereka ke sana untuk merencanakan tindak kejahatan," kata Bob.
"Itu tidak masuk akal, karena begitu banyak yang hadir di situ. Apalagi mereka sama sekali tanpa pengamanan. Buktinya, Pete bisa dengan seenaknya ikut masuk
dan duduk bersama mereka, tanpa ada yang curiga."
Jupe menarik-narik bibir bawahnya sambil mengerutkan kening. Itu tanda yang
pasti bahwa ia sedang memikirkan jawaban atas teka-teki yang sedang dihadapi.
“Mungkin orang yang fotonya kulihat kemarin malam itu bukan orang yang dilihat
Bob di luar bank,” kata Pete. “Mungkin persamaan antara mereka berdua cuma
bahwa keduanya sama-sama tunanetra.”
“Itu merupakan kebetulan yang terlalu kebetulan,” kata Jupe dengan cepat. “Kan
orang di foto itu juga ada bekas luka di pipi? Selain itu ada pula fakta bahwa
dompet Mr. Sebastian mestinya terjatuh dekat dermaga Denicola, ditambah fakta
bahwa Ernie mengenali si Buta dari penggambaran yang dikatakan oleh Mrs.
Denicola ketika ia menceritakan mimpinya. Jadi orang yang ada di foto itu pasti si Buta. Tapi apa hubungan antara dia dan suatu negara bernama Mesa d’Oro? Dan
adakah hubungan antara dirinya dengan peristiwa perampokan bank di Santa
Monica?”
“Jangan-jangan Ernie adalah mata-mata salah satu negara asing dan orang yang
buta itu kaki tangannya,” kata Pete menduga. “Jika Ernie ternyata memang mata-
mata, maka tidak aneh jika ia tidak mau kenyataan itu diketahui polisi yang tiba-
tiba muncul karena itu ía lantas berlagak menjadi pemimpin grup paduan suara
lagu-lagu rakyat.”
“Kau ini rupanya terlalu banyak nonton serial TV,” kata Bob. “Mana ada orang berbuat begitu dalam kehidupan nyata!”
“Menurutku, dalam kehidupan nyata orang bahkan mungkin bertingkah laku lebih
aneh lagi,” kata Jupe. “Tapi saat ini belum cukup banyak yang kita ketahui tentang diri Ernie —atau tentang siapa pun juga yang kita jumpai dalam kasus ini. Jadi kita belum bisa mendapat gambaran tentang apa sebetulnya yang sedang terjadi.
Untungnya, pengalaman Pete kemarin malam menghasilkan beberapa petunjuk
yang perlu kita telusuri lebih lanjut. Misalnya saja, Mesa d’Oro. kita perlu terus menggali sampai menemukan sesuatu yang bisa membebaskan Mr. Bonestell dari
kecurigaan bahwa ia terlibat dalam kasus perampokan itu.”
“Jupiter!”
Itu suara Bibi Mathilda, yang memanggil dari pekarangan. “Jupiter Jones! Di mana
kau?"
“Kedengarannya kau diperlukan Bibi Mathilda, Jupe,” kata Pete sambil nyengir,
“dan dengan segera!”
Bob membuka pintu tingkap yang ada di lantai karavan, dan dengan segera ketiga
remaja itu keluar lewat lubang itu. Di bawah rumah beroda yang sudah tidak bisa
berjalan lagi itu terdapat ujung sebuah pipa besar dari besi seng bergelombang
yang sebelah dalamnya dilapisi potongan-potongan karpet bekas. itu lorong rahasia yang disebut Lorong Dua. Lorong itu menjulur di bawah tumpukan kayu bekas dan
barang-barang rombengan lain menuju bengkel Jupiter yang terdapat di salah satu
sudut Pangkalan Jones. Lorong Dua merupakan satu dan beberapa lorong
tersembunyi yang dibuat oleh Jupe beserta kedua temannya agar bisa keluar masuk
kantor mereka dengan leluasa, tanpa terlihat oleh Bibi Mathilda atau Paman Titus.
Dengan cepat ketiga remaja itu sudah muncul di pekarangan. Sesudah menggeser
terali besi yang menutupi ujung pipa yang terdapat di sisi bengkel mereka.
“Jupiter Jones!” Kini suara Bibi Mathilda terdengar dekat sekali.
Jupiter buru-buru menaruh terali sehingga kembali menutupi ujung pipa.
“Di sini kau rupanya!” Bibi Mathilda muncul di tempat masuk ke bengkel.
“Kenapa tidak menjawab tadi ketika kupanggil? Hans memerlukan bantuanmu. Ia
harus pergi mengantarkan barang yang dibeli orang. Kebetulan kau juga ada di
sini, Pete! Kau ikut dengan mereka. Ada beberapa mebel—kau tahu kan, Jupe,
meja-meja dan bangku-bangku yang oleh pamanmu Titus dicat norak itu? Itu, yang biru, merah, hijau, dan kuning! Aku kadang-kadang heran melihat pamanmu itu .
Tapi yang penting, kemarin ada seorang wanita kemari, dan memborong semua
meja dan bangku itu. Katanya ia akan membuka Taman Kanak-kanak di Santa
Monica, di Dalton Avenue. Untunglah, sebab kalau tidak mungkin mebel itu
semuanya akan terus nongkrong di sini sampai tua. Eh, eh, Bob. kau mau ke
mana?”
“Saya sudah ditunggu di perpustakaan,” kata Bob dengan cepat. “Sepuluh menit
lagi saya sudah harus mulai bekerja di sana."
“Kalau begitu lekaslah berangkat,” kata Bibi Mathilda. Setelah itu ia pergi lagi
bergegas-gegas, sementara Jupe dan Pete mendatangi Hans, satu dari kedua
pemuda asal Jerman yang bekerja di pangkalan itu. Dalam waktu singkat mereka
bertiga sudah menaikkan mebel yang akan dibawa ke Taman Kanak-kanak yang
baru dibuka di Dalton Avenue di Santa Monica ke atas truk. Setelah itu mereka
berangkat ke selatan, dengan Hans di belakang kemudi.
Taman Kanak-kanak yang didatangi itu terdapat di sebuah jalan samping, dekat
kawasan pantai. Hans menghentikan truk yang membawa mebel di tepi jalan di
depan tempat itu. Saat itu Jupe dan Pete melihat bahwa Panti Wreda Ocean Front
ternyata tidak jauh letaknya dar situ, berupa sebuah bangunan satu lantai yang
terbuat dari batu bata. Di sekelilingnya ada halaman rumput dengan bangku-
bangku tempat duduk. Empat orang pria yang sudah berumur nampak sedang asyik
main kartu di depan. Satu dari mereka berdiri sambil bertopang pada tongkatnya,
memperhatikan tiga orang lainnya bermain. Ia kelihatan lesu dan capek. Jupe
menghela napas ketika melihatnya.
Orang itu Walter Bonestell.
“Kelihatannya seperti kurang tidur, ya?" kata Pete sambil menuding ke arah orang itu.
Jupe mengangguk.
"Ini cuma sangkaanku saja, atau apakah orang-orang tua yang lain itu benar-benar tidak mengacuhkan dia." kata Pete lagi.
"Mungkin kau benar", kata Pete. "Itulah sedihnya, kalau dicurigai. Orang lain tidak tahu harus bersikap bagaimana."
“Kalian kenal orang itu?" tanya Hans ingin tahu.
“Dia klien kami,” kata Jupe. “Aku mestinya mendatangi dan bicara dengan dia, tapi tidak ada apa-apa yang bisa kukatakan padanya. Kami berusaha
menolongnya."
“Untunglah, kalau begitu,” kata Hans.
Ia turun dan truk, lalu menuju ke pintu Taman Kanak-kanak dan menekan bel.
Sementara ia menunggu pintu dibukakan, Pete memandang ke depan, ke arah
belakang panti wreda. Tiba-tiba terdengar napasnya tersentak.
“Ada apa?" tanya Jupiter.
“Gadis itu." Pete menuding, lalu merunduk di dalam kabin agar jangan sampai
terlihat dari luar.
Jupiter melihat seorang wanita muda yang sangat cantik berjalan di trotoar, datang ke arah mereka. Rambutnya yang pirang dan panjang bergerak-gerak seirama
dengan langkahnya. Ia memakai celana panjang dan sweater l onggar. Seekor anjing jenis Saint Bernard yang bertubuh besar, berlari-lari di sampingnya dengan mulut terbuka dan lidah terjulur ke luar.
“Siapa itu?" kata Jupiter. “Kau kenal dia."
“Dia gadis dari pertemuan itu,” kata Pete. “Dia juga berpidato, dan pidatonya
disambut dengan sorak-sorai hadirin!"
“Hm!” Jupiter meluruskan duduknya. Diperhatikannya pakaian wanita muda itu
serta gayanya berjalan. “Ia kelihatannya sangat... sangat ramah,” katanya
kemudian. “Ia merangkul Mr. Bonestell.”
“Apa?" Pete menegakkan tubuhnya, lalu memandang dengan heran.
Gadis berambut pirang itu melepaskan tali kekang anjing besar yang ikut dengan
dia. Ia merangkul bahu Mr. Bonestell dan memandangnya sambil tersenyum.
Setelah itu dikecupnya pipi pria yang sudah tua itu.
Mr. Bonestell nampak agak malu, tapi juga senang.
“Itu dia!” seru Pete puas. “ltulah pertalian antara Mr. Bonestell dan kasus
perampokan serta orang-orang di dermaga Denicola dan... dan dompet Mr.
Sebastian serta si Buta!”
“Gadis itu penghubung antara segala hal-hal itu?" kata Jupe yang masih belum mengerti.
“Ya, betul,” kata Pete mantap. “Penjelasannya sederhana. Gadis itu anggota
kawanan perampok. Entah dengan cara bagaimana, tapi pokoknya ia berkenalan
dengan Mr. Bonestell lalu mengorek keterangan dari pria itu tentang bank itu—
tentang kegiatan sehari-hari di situ, termasuk petugas pembersih dan sebagainya.
Bos kawanan itu si Buta, dan dia beraksi sebagal mata-mata sebelum kawanannya
merampok bank. Mungkin juga gadis itu salah seorang perampok itu. Ya, kan?
Bisa saja ia memakai samaran sewaktu masuk ke situ, supaya tidak bisa dikenali
Mr. Bonestell. Atau mungkin juga ia cuma informasi saja.”
"Maksudmu, informan," kata Jupe sambil lalu, karena sedang memikirkan
kemungkinan teori yang diajukan Pete. “Ya, mungkin saja,” katanya. “Tapi
bagaimana dengan hadirin selebihnya pada pertemuan kemarin malam itu?"
“Yah, mereka itu... mereka...” Pete tertegun, tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Bagaimana kalau mereka itu hanya diperalat saja sebenarnya?” katanya
kemudian. “Mereka diperalat para penjahat untuk... untuk...”
Pete tendiam.
“Para penjahat itu mengumpulkan dana kemarin malam, karena mereka yang baru
saja merampok seperempat juta dolar dari bank memerlukan uang lebih banyak
lagi,” kata Jupiter. “Mungkin itu yang hendak kaukatakan!"
“Yah, aku tahu, ideku tadi itu konyol,” kata Pete.
“Ah, tidak juga,” kata Jupe. “Cuma satu kebetulan tagi yang menarik bahwa gadis
yang dalam pertemuan tadi malam itu begitu besar peranannya, ternyata kenalan
baik Mr. Bonestell. Nanti jika Mr. Bonestell sudah sendiri, perlu kita tanyakan
padanya tentang berapa banyak yang diceritakannya tentang bank tempat dia
bekerja pada gadis itu.”
Gadis yang sedang diamat-amati oleh Jupe dan Pete kini tertawa. Tali kekang
anjingnya tersangkut di semak-semak kembang sepatu. Gadis itu datang ke situ
untuk membebaskannya.
“Kau di sini saja, membantu Hans,’ kata Jupe lirih. “Aku akan membuntuti gadis itu, untuk melihat di mana tempat tinggalnya dan siapa saja teman-temannya. Ssst, cepat merunduk! Gadis itu kemari!”
Pete cepat-cepat merunduk agar tidak terlihat oleh gadis yang lewat di samping
truk sambil menggiring anjingnya.
Jupiter menunggu sebentar di dalam truk, lalu turun dan langsung membuntutinya.





Bab 9
PENATA RIAS
JUPE berjalan sekitar setengah blok di belakang gadis itu. Tapi ketika yang
dibuntuti sampai di ujung jalan lalu membelok ke kanan, Jupiter mempercepat
langkahnya. Sesampai di sudut jalan ia masih sempat melihat gadis tadi memasuki
pekarangan sebuah bangunan apartemen yang agak tua pada blok itu.
Jupe berjalan lambat-lambat. Bangunan yang dimasuki gadis tadi berbentuk huruf
U, dengan sebuah kolam renang di tengah-tengahnya. Suatu pagar besi bercat putih
membatasi kolam itu dan jalan di depannya. Gadis itu tidak kelihatan lagi. Tapi
Jupiter melihat bahwa pintu sebuah apartemen di tingkat satu bangunan itu berada
dalam keadaan terbuka. Sementara Jupe masih berdiri di luar pagar dalam keadaan
bimbang, anjing Saint Bernard yang tadi melesat ke luar dan balik pintu itu.
“Brandy! Ayo kembali!”
Gadis berambut pirang itu muncut bergegas dari dalam apartemen. Anjing yang
dipanggil lari ke sudut pelataran kolam yang paling jauh, lalu duduk di tengah-
tengah petak bunga yang ada di situ.
“Aduh, ampun!” seru gadis ftu dengan kesal. "Kau ingin aku diusir dari sini, ya?"
Pelan-pelan Jupe membuka pintu pagar, lalu masuk ke pekarangan. Di situ ia
berdiri, sambil merenungi deretan kotak pos yang terdapat di samping gerbang.
"Kau mencari seseorang?" tanya gadis berambut pirang itu.
"Sebenarnya sih tidak," kata Jupe. "Aku cuma ingin tahu...” Ia tertegun, seolah-olah merasa kikuk.
“Apa yang hendak kautanyakan?" kata gadis itu.
“Aku ingin tahu, apakah... apakah Anda mau berlangganan Santa Monica Evening
Outlook?”
“Wah, maaf sajalah,” kata gadis itu. “Aku tidak punya waktu untuk membaca surat
kabar. Tapi terima kasih.”
Jupiter mengeluarkan sebuah buku catatan kecil serta sebatang pensil yang sudah
pendek dari kantungnya.
"Bagaimana dengan koran minggunya?" katanya.
“Terima kasih, tapi tidak sajalah,” kata gadis itu lagi.
"Wah." Jupe memasang tampang sedih. "Jarang yang masih mau berlangganan koran sekarang,” katanya.
“Ya, keadaan ekonomi memang sedang sulit.” Gadis itu tersenyum padanya.
Anjing besar tadi meninggalkan petak bunga lalu duduk di depan kaki majikannya.
Rupanya ia juga ingin diperhatikan. Gadis itu mengusap-usap telinganya.
"Kau bekerja sambil sekolah?" tanyanya pada Jupiter. “Atau ingin memenangkan hadiah sepeda dengan sepuluh persneling  jika berhasil mengumpulkan seratus langganan baru?"
“Kedua-duanya tidak,” jawab Jupiter. “Aku cuma ingin memperoleh tambahan
uang saku dengan jalan mengantar koran. Ada tidak kira-kira orang di sini yang
mungkin mau berlangganan koran?”
“Sekarang kan baru hari kamis,” kata gadis itu. “Semua pasti sedang tidak ada,
karena harus bekerja.”
“Oh.” Sekali lagi Jupe memasang tampang sedih. Ia duduk di pinggir salah satu kursi yang menghadap ke kolam renang. “Yang paling suilt mencari langganan
baru. Bolehkah aku... maukah aa... eh...”
"Apa maksudmu?” tanya gadis itu. “Ada apa? Kau haus, ya?”
“Ya, aku haus sekali. Bolehkah aku minta minum sedikit."
“Tentu saja boleh,” kata gadis itu sambil tertawa. “Duduk sajalah dulu di sini, nanti kuambilkan.”
Gadis itu masuk ke apartemen yang pintunya masih terbuka, diikuti anjing
besarnya. Dalam beberapa menit ia sudah kembali lagi, membawa air dalam
sebuah gelas besar. Begitu ia keluar, dengan cepat pintu ditutupnya kembali
sehingga anjingnya tidak bisa ikut.
“Mestinya aku bersikap tak acuh terhadapnya,” katanya. “Ia selalu berbuat yang
aneh-aneh jika aku berusaha menyuruhnya tenang.”
Jupiter minum setelah mengucapkan terima kasih. Gadis berambut pirang itu
duduk di kursi di dekatnya. Ia menyandar ke punggung kursi sehingga wajahnya
disinari matahari.
“Kau mestinya berkeliling di malam hari, jika orang-orang sudah ada di rumah
masing-masing,” katanya.
“Ya, memang,” kata Jupiter. Ditatapnya gadis itu dengan pandangan anak yang
tidak begitu cerdas. “Tapi mestinya ada juga yang di rumah dalam waktu-waktu
begini. Seperti Anda, misalnya."
“Memang, tapi ini tidak sering terjadi,” kata gadis itu.
“Oh,” kata Jupiter. “Jadi Anda juga bekerja?”
“Tentu saja. Tapi saat ini tidak.”
“Oh?" Jupe memasang tampang prihatin. “Anda kehilangan pekerjaan?”
“Tidak, bukan begitu. Aku bekerja di bidang perfilman, dan itu merupakan
pekerjaan musim-musiman. Aku ini penata rias, jadi jika sedang ada pembuatan
film, aku bekerja. Kalau sedang sepi, aku juga menganggur."
Jupiter mengangguk.
“Aku punya kawan, ayahnya juga bekerja di film. Bidangnya, efek-efek khusus.”
“Siâpa namanya?" tanya gadis itu.
“Mungkin aku kenal dia.
“Crenshaw,” kata Jupiter.
Gadis itu menggeleng.
“Rupanya ayah kawanmu itu belum pernah bekerja dalam pembuatan film yang
sama dengan aku. Pekerjaan membuat efek khusus itu benar-benar mengasyikkan.
Kadang-kadang timbul keinginanku untuk pindah profesi. Tapi di pihak lain,
sebagai penata rias pun penghasilanku sudah lumayan, lagi pula dengan begitu aku
masih punya waktu untuk kursus."
“Anda masih sekolah?” tanya Jupiter.
“Bukan begitu. Aku mengambil les—belajar akting—pada Vladimir Dubronski.
Yah, siapa tahu—mungkin saja aku mendapat kesempatan jadi pemain figuran."
Jupe mengangguk. Ia memutar otak, meski tampangnya kelihatan terkantuk-
kantuk.
"Kurasa semua orang ingin bisa main film." katanya. “Tapi pekerjaan penata rias juga mengasyikkan! Minggu lalu misalnya, aku melihat film tentang seseorang
yang mencuri benda keramat dari sebuah kuil, dan sebagai akibatnya ia kena
kutukan.”
“Oh, film macam itu,” kata gadis itu. “Lalu ia berubah menjadi umbi atau sesuatu
seperti itu setiap kali bulan purnama.”
Jupiter tertawa.
“Ia menjelma jadi ular, tapi penampilan selebihnya masih tetap manusia.”
“Ah, yang itu." kata gadis itu. “Maksudmu, Serbuan manusia kobra!  Film itu dibuat dengan biaya murah sekali, tapi hasilnya masih lumayanlah. Aku kenal
orang yang merias pemain yang menjelma menjadi ular itu. Arnold Heckaby
namanya. Ia memang mengkhususkan diri untuk film-film semacam itu. Kapan-
kapan ia pasti akan dikontrak untuk pembuatan film dengan biaya besar, dan jika itu terjadi ada kemungkinan ia bisa memenangkan hadiah Oscar."
“Anda pernah melakukan tata rias khusus semacam itu?" tanya Jupe. “Maksudku, membuat orang bertampang seperti kelelawar, atau serigala jadi-jadian, atau
semacam itu?"
“Aku pernah beberapa kali membuat orang nampak lebih tua daripada
sebenarnya,” kata gadis itu. “Itu lebih banyak makan waktu daripada tata rias
biasa, tapi tidak bisa dibilang sulit. Aku belum pernah membuat tata rias monster atau manusia sengala."
“Sukar tidak, ya, membuat monster?” tanya Jupe. “Dan bagaimana dengan bekas
luka? Ingat tidak, kisah lentang museum lilin, di mana penjahatnya penuh bekas
luka?"
“Soalnya cuma lebih banyak memerlukan waktu saja,” kata gadis itu sambil
mengangkat bahu. “Jika diberi cukup waktu, hampir apa saja bisa dibuat tata
riasnya. Yang tidak mungkin cuma membuat orang yang sudah tua menjadi
kelihatan muda. Bisa saja dipoles di sana-sini, dan tentu saja banyak bintang film wajahnya diremajakan dengan jalan operasi plastik, lalu rambut dicat, dan
sebagainya. Lalu dalam pengambilan film, juru kamera mengambil mereka dengan
lensa yang agak dikaburkan supaya kerut-kerut di muka tidak nampak. Tapi
akhirnya mereka tetap saja nampak terlalu tua.”
Gelas yang dipegang Jupe sudah hampir kosong. Ia tadi minta minum supaya ada
alasan untuk berlama-lama di situ sehingga bisa bercakap-cakap dengan gadis itu.
Kini Ia merasa sudah cukup banyak tahu. Sisa air dalam gelas dihabiskannya
dengan sekali teguk, lalu diletakkannya gelas itu di atas meja kecil yang terdapat di samping kursi yang didudukinya.
“Ah, segar lagi aku sekarang,” katanya. “Terima kasih banyak."
“Oke,” kata gadis itu. “Masih mau segelas lagi?"
“Terima kasih, tapi tidak usah,” kata Jupe. “Nanti kuceritakan pada Mr. Crenshaw, bahwa aku ketemu Anda. Mungkin kapan-kapan Anda akan ketemu dia, jika
kebetulan bekerja dalam pembuatan film yang sama."
“Maksudmu ayah kawanmu yang kaukatakan tadi?" kata gadis itu. “Yang
pekerjaannya membuat efek-efek khusus. Asyik juga, jika bisa kenal dengan dia."
"Siapa nama Anda? Kalau Mr. Crenshaw nanti menanyakan,” kata Jupiter.
"Namaku Graciela Montoa,” kata gadis itu, "tapi aku biasa dipanggil Gracy saja.”
“Oke,” kata Jupiter. "Sekali lagi terima kasih untuk airnya tadi.”
Sesudah itu ia keluar dan langsung kembali ke Taman Kanak-kanak. Ia merasa
puas dengan perannya sebagal anak yang agak ketolol-tololan tadi. Tapi
perasaannya langsung berubah ketika ia membelok masuk ke Dalton Avenue.
Jupiter mengerang.
Dilihatnya truk Pangkalan Jones sudah tidak ada lagi di depan Taman Kanak-
kanak itu. Dan Hans serta Pete juga tidak kelihatan. Jupiter terpaksa pulang ke
Rocky Beach dengan cara lain.
“Sialan!” umpatnya, lalu pergi ke Wilshire Boulevard, dan mana ia bisa naik bis
pulang. Sambil berjalan, ia sibuk berpikir. Ia mendapat gagasan baru.