Trio Detektif - Pengemis Buta Bermuka Rusak(2)


Bab 10
KAWANAN TERORIS
JUPITER duduk di balik meja kerja di kantor Trio Detektif. Ditatapnya kedua
temannya. Saat itu sesudah waktu makan siang, dan Jupiter baru saja selesai
menceritakan percakapannya dengan Graciela Montoya.

“Bagaimana jika pengemis buta itu sebenarnya wanita,” katanya mengajukan
dugaan.
Bob mempertimbangkan kemungkinan itu sesaat. Kemudian ia menggeleng.
“Kurasa tidak mungkin."
“Tidak mungkin bagaimana?" tukas Jupe. “Gadis itu penata rias, dan nampaknya ia kenal baik dengan Mr. Bonestell. Kau mungkin benar, Pete. Gracie Montoya itu
mungkin penghubung antara pengemis buta dan para perampok serta pekerja-
pekerja di Dermaga Denicola."
“Si Buta bukan gadis itu,” kata Bob berkeras. “Pengemis yang kulihat, berkumis
dan bercambang. Aku berdiri dekat sekali di belakangnya sewaktu di halte bis, dan aku sempat memperhatikan mukanya. Nampak jelas bahwa Ia sudah beberapa hari
tidak mencukur rambut yang menumbuhi mukanya. Penata rias, masa mau repot-
repot memasang kumis dan cambang yang masih sependek itu ?!”
“Mm.” Jupiter agak kecewa. “Tapi mungkin saja gadis itu mengorek keterangan
dari Mr. Bonestell lalu meneruskannya pada kawanan perampok—dan mungkin
satu dari mereka itu si Buta. Bekas luka—"
“Bekas luka itu palsu,” kata Bob.
Jupiter tertawa nyengir. “Kau menemukan sesuatu di perpustakaan.”
"0 ya," kata Bob. Ia mengeluarkan beberapa majalah berita dari sebuah sampul besar yang selama itu terletak di pangkuannya. “Mesa d’Oro ternyata suatu negara
kecil yang menarik. Ukurannya cuma lima belas ribu mil persegi dan penduduknya
tidak sampai empat juta jiwa, tapi selama ini sudah cukup banyak terjadi kerusuhan di sana."
Bob membuka salah satu majalah pada halaman yang diberi tanda olehnya dengan
secarik kertas. “Di sini ada ringkasan sejarah negara itu, di majalah World Affairs terbitan tiga tahun yang lalu,” katanya. “Seperti sudah bisa diduga, negeri itu dulu dijajah Spanyol. Lalu sekitar tahun 1815 para tuan tanah di sana menggulingkan
gubernur yang diangkat Spanyol lalu menyatakan kemerdekaan negara itu. Mereka
memilih seorang presiden dan membentuk badan pembuat undang-undang."
“Itu boleh-boleh saja, tapi apa hubungannya dengan orang buta dan perampok
bank?” tanya Pete sinis.
“Barangkali tidak ada,” kata Bob. “Ini cuma informasi latar belakang. Nah, pada
tahun 1872 terjadi revolusi di sana. Korban berjatuhan, dan itu mungkin masih
terjadi sampai sekarang ini!”
Pete dan Jupiter terkejut.
“Revolusi yang pecah tahun 1872 sampai sekarang masih terus berlangsung?” seru
Pete. “Kau pasti bercanda!”
“Yang masih terus berlangsung bukan revolusi yang pertama, tapi kelanjutannya,”
kate Bob menjelaskan. “Revolusi tahun 1872 itu mirip Revolusi Prancis atau
Revolusi di Rusia tahun 1917. Para tuan tanah di Mesa d’Oro yang menggulingkan
kekuasaan Spanyol, kemudian menjadi korup. Mereka memperkaya diri dengan
memperkuda kaum miskin, tanpa sedikit pun memberi imbalan yang layak. Kaum
miskin di sana kebanyakan keturunan Indian, penduduk asli negeri itu. Tapi
mereka dianggap sepi oleh golongan tuan tanah.
“Akhirnya seorang Indian bernama Juan Corso membangkitkan semangat teman-
teman yang senasib dan mengorganisir mereka. Ia berkeliling untuk berpidato
tentang hak yang sama bagi setiap orang. Pihak tuan tanah tidak menyukai
perkembangan baru itu, lantas Corso mereka jebloskan ke penjara.”
“Kau tadi menyebut-nyebut revolusi,” kata Jupiter mengingatkan.
“Itu diawali dengan peristiwa dipenjarakannya Corso," kata Bob menjelaskan. "Ia sangat populer di kalangan rakyat jelata. Mendengar Corso dipenjarakan, mereka
langsung mengamuk dan menyerbu ibu kota. Corso dibebaskan secara paksa. Lalu
presiden waktu itu, seseorang bernama Arturo Rodriguez, mereka gantung pada
sebatang pohon sampai mati. Anak laki-laki presiden itu, Anastasio Rodriguez,
mengadakan perlawanan. Terjadi pertumpahan darah, dan kendali pemerintahan
silih berganti dipegang kelompok-kelompok yang bertentangan. Tapi akhirnya
Corso diangkat menjadi presiden, sementara Rodriguez melarikan diri ke Mexico-
City.
“Mestinya dengan begitu berakhirlah kerusuhan di sana,” kata Bob menyambung,
“tapi kenyataannya tidak begitu. Di Mexico-City, Rodriguez bersikap sebagai raja
dalam pembuangan. Sementara para tuan tanah yang tetap tinggal di Mesa d’Oro
sama sekali tidak senang karena kaum buruh kini memiliki hak memberikan suara
dalam pemilihan, dan dengan begitu berhasil memaksa kaum kaya untuk
membayar pajak tinggi.”
“Pasti itu tidak enak bagi yang kaya,” kata Pete. “Jelas,” kata Bob. ‘Pendek kata, kaum tuan tanah kemudian mulai mengungkit-ungkit tentang masa silam yang
nyaman ketika presiden mereka masih Arturo Rodriguez. Mereka mengkhayalkan
kemungkinan mengusahakan kembalinya putra Rodriguez untuk menjadi kepala
negara. kelompok yang tidak puas ini menamakan diri mereka Pejuang Republik.
Mereka memakai bendera yang biru dengan berkas daun ek yang berwarna
keemasan. Itu bendera Republik Lama, yaitu pemerintahan di bawah rezim
Rodriguez. Pemerintah baru yang dimulai dengan diangkatnya Juan Corso menjadi
presiden memakai bendera hijau dengan lambang kenegaraan di tengah-tengah.”
“Tapi semuanya ini terjadi lebih dari seabad yang lalu,” kata Jupiter sambil
mengerutkan kening. "Jadi apa hubungannya dengan klien kita? Masa para tuan
tanah di Mesa d’Oro masih terus beraksi mengusahakan kembalinya putra presiden
yang lama. Orang itu mestinya kan sudah mati sekarang!”
“Ya, tentu saja,’ kata Bob, “tapi sekarang cicitnya, Felipe Rodriguez, hidup di
Mexico-City. Felipe ini menunggu-nunggu kesempatan untuk kembali ke Mesa
d'Oro dan menjadi kepala negara di sana. Ia punya mata-mata yang melaporkan
tentang keadaan di tanah airnya—yang sama sekali belum pernah dilihat olehnya!”
“Ah, masa!” kata Pete dengan nada tidak percaya.
“Aku tahu, kedengarannya memang tidak masuk akal,” kata Bob, “tapi begitulah
kenyataannya! Menurut artikel dalam World Affairs in i, pertikaian di Mesa d’Oro itu disebut sebagal masalah tradisi. Pada kelompok mana seorang penduduk sana
memihak, tergantung dari pertalian keluarganya. Jika ia keturunan tuan tanah yang lama, maka ia menjadi anggota Pejuang Republik. Itu bukan partai terlarang di
sana, dan anggota-anggotanya disebut kaum Republik. Kelompok itu sangat aktif.
Saban hari Minggu mereka mengadakan rapat umum, mendengarkan pidato-pidato
tentang betapa indahnya masa kejayaan kelompok mereka dulu. Sekali-sekali ada
anggota mereka yang berhasil menang dalam pemilihan umum, dan menjadi
anggota badan pembuat undang-undang.
“Kalau cuma begitu saja, sebetulnya tidak apa-apa. Tapi ada beberapa orang di
Mesa d’Oro yang tidak puas menjadi anggota Pejuang Republik saja. Dalam
kelompok Partai Republik ada segolongan ekstrem yang ingin menggulingkan
pemerintah yang sekarang dengan jalan kekerasan. Mereka menamakan diri
mereka Brigade Pembebasan. Mereka ini yang merupàkan kelompok terlarang di
sana. Kerjanya membakar-bakar kerusuhan, melakukan tindakan-tindakan
penculikan, serta melancarkan aksi-aksi pemboman. karenanya mereka dicari-cari
polisi negara itu. Jika sudah sangat terjepit, mereka melarikan diri ke luar negeri.
Di antaranya ada yang lari kemari!”
Pete terkejut.
“Jadi orang-orang dalam pertemuan yang kudatangi kemarin malam itu teroris semuanya ?”
"Mungkin," kata Bob. "tapi mungkin juga bukan. Orang-orang yang pindah dari Mesa d’Oro banyak yang kemudian memilih tinggal di Amenka Serikat. Di antara
mereka ada yang mendukung Pejuang Republik, partai yang resmi tidak radikal.
Mereka menyumbang dana untuk menunjang kehidupan Felipe Rodriguez di
Mexico-City. misalnya, dan memperjuangkan terpilihnya orang-orang Republik
untuk berperan dalam badan-badan perwakilan di Mesa d’Oro. Tapi ada juga yang
memang mendukung Brigade Pembebasan yang terlarang."
“Macam-macam saja.” kata Pete mengomentari.
"0ke, jadi itulah latar belakang sejarahnya,” kata Bob. “Tapi yang benar-benar menarik adalah bahwa aku melihat seorang buta di depan bank, dan orang itu
langsung lari ketika ada yang menyebut-nyebut polisi. Lalu orang bernama Ernie
itu ketakutan ketika Mrs. Denicola menceritakan mimpinya tentang seorang buta
dan dompet yang dipungutnya. Lalu tadi malam, Pete melihat foto seseorang yang
ada bekas luka di pipinya, dan memakai kaca mata hitam. Orang itu jelas dianggap
pahlawan oleh orang-orang yang menghadiri rapat, atau entah apa yang sedang
diadakan saat itu.”
Bob membalik-balik halaman salah satu majalah yang dibawanya dari
perpustakaan, lalu mengangkatnya dengan salah satu halaman menghadap ke Jupe
dan Pete. Mereka melihat foto seorang pria berkaca mata hitam dengan bekas luka
di pipi. Orang itu berdiri dengan tangan terangkat di depan mikrofon. Ia
kelihatannya sedang berteriak.
"Inikah foto yang kaulihat kemarin malam, Pete?” kata Bob.
“Bukan itu fotonya,” kata Pete lambat-lambat, “tapi orangnya. Sama. Ya, aku
yakin sekarang!”
“Dan dia inilah yang kulihat di depan bank itu,” kata Bob. “Tapi walau begitu
tidak mungkin orang ini yang kulihat, sebab dia ini Luis Pascal Dominguez de
Altranto namanya. Ia pernah menjadi ajudan Felipe Rodriguez, yang sekarang
hidup di Mexico-City. Dia ini teroris yang mendalangi aksi pemboman di Mesa
d’Oro, yang menimbulkan korban jiwa empat belas anak sekolah. Ia mengatakan
bahwa ia berada di pihak yang benar, dan nyawa anak-anak tak bersalah yang
melayang merupakan tanggung jawab pemerintah, yang merampas hak milik
penduduk teman sebangsanya.”
“Fanatik,” kata Jupe, “benar-benar fanatik orang itu! Tapi apa sebabnya tidak mungkin dia yang kaulihat di depan bank waktu itu?”
“Karena Altranto sudah mati.” kata Bob. “Sudah beberapa tahun yang lalu.”
Sesaat ketiganya sama-sama membisu. kemudian Pete mendesah. “Tapi jika
Altranto sudah mati...” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Pengemis itu tampangnya mirip sekali dengan orang yang sudah mati ini—
sampai-sampai bekas luka pada pipinya, ya? Lalu bagaimana dengan matanya yang
buta? Apakah Altranto itu tunanetra?” tanya Jupe.
“Ya! Matanya cedera sehingga buta dalam kebakaran yang dinyalakan olehnya
sendiri di sebuah gudang di Mesa d'Oro. Tapi cacatnya itu tidak merintanginya
untuk melakukan aksi-aksi selanjutnya. Itu malah membuatnya menjadi semacam
tokoh pahlawan.”
“Jadi pengemis itu menyamar sehingga penampilannya persis Altranto,” kata Jupe
menarik kesimpulan. "Itu gampang saja, tinggal dirias mukanya dan ditambah
memakai kaca mata hitam! Aku ingin tahu, mungkinkah Gracie Montoya yang
membuat rias wajah itu? Tapi... untuk apa menyamar? Apa untungnya? Kan tidak
ada— "
Jupiter berhenti berbicara, karena saat itu
telepon berdering. Jupe menatap pesawat itu sambil melotot kesal karena kata-
katanya terputus. Kemudian diangkatnya gagang telepon itu.
“Halo,” katanya. “Oh, ya, ya. baiklah, Mr. Bonestell.”
Jupiter mendengarkan sebentar, lalu berkata lagi, “Yah, mungkin itu tidak penting, tapi memang tidak enak bagi Anda. Kalau Anda menghendakinya, saya bisa ke
tempat Anda sekarang. Saya ingin bicara tentang... tentang suatu hal yang baru
kami ketahui."
Jupiter mendengarkan lagi sebentar, lalu berkata, “Ya. Dalam waktu setengah
jam.”
Gagang telepon dikembalikannya ke tempatnya.
“Mr. Bonestell diperiksa polisi lagi tentang perampokan itu,” katanya. "Ia gugup sekali. Menurutku, polisi sebenarnya tidak securiga perkiraannya, tapi meski
begitu ada baiknya jika aku ke sana, supaya ia bisa agak tenang kembali. Akan kutanyakan juga sekaligus tentang Gracie Montoya. Kita perlu tahu, bagaimana ia
sampai bisa kenal gadis itu.”
Jupe memandang kedua temannya dengan bersemangat.
“Kita juga perlu terus mengamati Gracie. Aku ingin tahu apakah ía berhubungan
erat dengan para pekerja di dermaga Denicola—maksudku Ernie dan teman-
temannya.”
“Jangan aku yang kaulihat,” kata Pete. “Ibuku pasti mengamuk jika siang ini aku
tidak memotong rumput di rumah. Habis, sudah panjang sekali sih, sesudah hujan
yang tidak henti-hentinya seminggu belakangan ini. Lagi pula, ada kemungkinan
gadis itu nanti mengenali aku.”
"Bagaimana dengan kau, Bob?” kata Jupiter.
"Aku bisa," kata Bob. "Siang ini aku tidak diperlukan di perpustakaan.”
“Tapi hati-hati saja nanti,” kata Pete. "Jika orang-orang itu dengan enak bisa melakukan aksi-aksi pemboman dan pembunuhan —jangan sampai kau harus
berurusan secara langsung dengan mereka!”




Bab 11
SERANGAN!

SHELBY TUCKERMAN yang membukakan, ketika Jupiter mengetuk pintu
rumah Mr. Bonestell setengah jam kemudian. Orang itu memakai kemeja hitam
dengan kerah bulat. Matanya masih terlindung di batik kaca mata hitamnya yang
lebar.
"Nah syukurlah, penyelidik ulung kita datang!” kata Shelby. “Mungkin kau bisa mengatakan sesuatu yang akan memberi semangat pada Walter.”
Dalam hati Jupiter agak marah disindir begitu. Tapi ia diam saja. Diikutinya
Shelby melalui ruang duduk yang rapi dan sedikit pun tidak berdebu, menuju ke
dapur. Walter Bonestell ada di situ, duduk menghadap meja dekat jendela sambil
mengaduk-aduk kopi dalam cangkir. Jupe datang menghampiri, lalu duduk di
depannya. Shelby menawarkan kopi pada Jupiter, yang menolak dengan sopan.
"Saya tidak biasa minum kopi,” katanya.
"Ya, tentu saja," kata Shelby. "Aku lupa, di negeri ini anak-anak tidak minum kopi.”
“Ada limun jeruk, kalau mau,” kata Mr. Bonestell.
“Terima kasih, Mr. Bonestell, tapi saya kebetulan tidak sedang haus,” kata Jupiter.
“Saya baru saja makan."
"Bukankah anak-anak biasanya tidak henti-hentinya mengudap." kata Shelby.
“Masa kau lain dari yang lain. Potonganmu tidak begitu!”
Jupiter menggertakkan geraham. Ia memang agak gemuk, dan ia paling tidak suka
jika kenyataan itu disinggung-singgung. Tapi ia tidak berniat menunjukkan
kejengkelannya pada Shelby.
"Kau tentunya diet.. sekali-sekali,” kata Shelby lagi.
Jupiter diam saja. Kini Shelby pergi mendekati kompor, karena air dalam ketel
sudah mendesis. Ia menuangkan air ke dalam cangkir, membuat kopi untuknya
sendiri. Setelah itu ia datang lagi, lalu duduk di antara Jupiter dan Mr. Bonestell.
“Mudah-mudahan ada kemajuan yang bisa kaulaporkan pada Mr. Bonestell,”
katanya sambil menyendokkan gula ke cangkir.
“Tidak ada sebenarnya,” kata Jupe. “Kalau petunjuk sih memang ada, tapi
mungkin tidak ada artinya sama sekali untuk urusan ini.”
“Tapi kalau ada?” tanya Shelby.
“Yah, siapa tahu? Kalau begitu, mungkin akan kami laporkan pada polisi.”
“Memang itu yang sebaiknya kalian lakukan,” kata Shelby. Diminumnya kopinya sampai habis, lalu ia berdiri untuk mencuci cangkir. Kemudian ia pergi ke luar.
Jupiter mendengar bunyi mesin mobil dinyalakan di pekarangan belakang. Sesaat
kemudian nampak Shelby lewat di depan jendela dapur, naik mobil sport model
terbaru.
Mr. Bonestell duduk sambil termenung.
“Ketika polisi kemari tadi, mereka kan tidak menuduh Anda?" tanya Jupiter.
Mr. Bonestell menggeleng. “Secara langsung memang tidak, tapi aku mereka suruh
bercerita sampai tiga kali tentang apa yang waktu itu terjadi. Bayangkan! Tiga kali!
Sejak awal!”
Ia memandang Jupe. “Menurutmu, mungkinkah mereka menunggu sampai aku
salah ngomong? Aku... kurasa aku tadi satu kali pun tidak salah ngomong."
“Jika Anda bercerita seperti apa adanya, mana mungkin Anda bisa salah
ngomong?” kata Jupiter. “Mr. Bonestell, apakah Anda ini tidak cemas tanpa
alasan? Memang sayang Anda seorang diri di bank ketika para perampok itu
datang, tapi itu kan kebetulan saja — meski tidak enak bagi Anda! Saya yakin,
polisi pasti mau mengerti. Mereka tahu perampokan itu tetap akan berlangsung,
siapa pun juga yang saat itu ada di sana. Setidak-tidaknya para perampok itu tidak menggunakan kekerasan."
“Memang,” kata Mr. Bonestell. “Mereka malah bersikap tenang dan sopan.
Setidak-tidaknya begitulah sikap satu-satunya dan mereka yang selalu bicara."
Jupiter langsung waspada.
"Cuma satu saja dari mereka yang membuka mulut?"
“Betul. Dialah yang menyamar sebagai Rolf, petugas pembersih nuangan yang
biasanya.”
“Apakah maksud Anda, Ia yang paling banyak bicara?’ tanya Jupe. “Ia yang
mengatur ini dan itu, sementara yang lain-lainnya mengatakan hal-hal yang tidak
penting?"
Mr. Bonestell menggeleng. “Bukan begitu. Hanya dia saja yang bicara! Yang lain-
lain bungkam terus.”
“Anda sepanjang malam ada dalam satu ruangan dengan tiga orang, dan dua orang di antaranya selama itu sama sekali tidak membuka mulut?”
“Betul.”
"Sepatah kata pun tidak?"
“Sepatah kata pun tidak,” kata Mr. Bonestell. “Kalau kupikir sekarang, itu memang aneh—tapi waktu itu rasanya bagiku biasa saja. Soalnya, apa yang perlu
dipercakapkan? Mereka kan cuma menunggu sampai pagi, saat para pegawai bank
mulai masuk untuk bekerja lagi.”
“Hm!” kata Jupiter. “Mungkinkah salah satu dari perampok-perampok itu wanita?
Adakah kemungkinan itu?"
“Wanita?" Mr. Bonestell kelihatannya kaget. “Kurasa bisa saja. Tinggi mereka semuanya hampir sama—begitulah, sekitar semeter tujuh puluh. Semuanya
memakai celana kerja dan kemeja longgar. Dan sarung tangan. Mereka memakai
sarung tangan. Sukar sekali mengenali bagaimana tampang mereka yang
sebenarnya. Salah satu dari perampok yang membisu selalu memakai kaca mata
hitam yang mengkilat, sehingga matanya tidak bisa dilihat. Ia juga berjenggot,
yang menurutku mungkin palsu. Temannya memakai rambut palsu berwarna
merah serta kumis tebal, serta alis mata palsu yang juga tebal, sampai menutupi
matanya.”
"Bagaimana dengan satu-satunya yang berbicara?" kata Jupiter. “Apakah ia bicara dengan logat tertentu? Masih mudakah dia? Atau tua? Apa yang bisa Anda katakan
tentang dia?”
"Kalau mendengar suaranya, Ia belum tua. Begitulah, dua puluhan, atau tiga
puluhan. Bicaranya tanpa logat sama sekali.”
“Hm,” kata Jupiter lagi. Selama beberapa saat ia merenung, Iaiu menyambung,
“Anda tahu perusahaan yang bernama Denicola Sport Fishing Company, Mr.
Bonestell? Mereka menyewakan perahu motor untuk penggemar olahraga
memancing, dan memiliki dermaga di sebelah utara Malibu.”
“Ya ,  aku tahu tempat itu,” kata Mr. Bonestell. “Dulu, ketika anak laki-lakiku belum menikah, aku sering pergi memancing dengan dia. Aku masih ingat wanita
tua yang ada di sana—Mrs. Denicola. Penampilannya menarik. Dan juga
menantunya, Eileen. keturunan Iriandia. Cantik. Suaminya meninggal dunia dalam
usia muda, dan Ia memiliki izin mengemudikan perahu motor. kau tahu itu? Diaiah yang mengemudikan kapal mereka, jika ada yang menyewa:
Di sana juga ada seorang pemuda bernama Ernie, yang bekerja pada perusahaan
itu,” kata Jupe.
“0, ya? Ketika aku dulu masih suka ke
bersama anakku, yang bekerja di sana bernama Tom, atau Hal, pokoknya
seseorang yang namanya seperti itu. Rupanya yang bekerja di sana sering berganti-
ganti. Soalnya, itu memang pekerjaan yang biasa dilakukan anak-anak muda yang
masih sekolah."
“Anda pernah ke sana lagi belakangan ini." kata Jupe.
“Tidak”
“Jadi Anda tidak kenal Ernie. Bagaimana dengan orang buta itu?"
“Orang buta yang mana?" Mr. Bonestell kelihatan heran.
“Anda tidak pernah melihat seorang tunanetra dekat bank, atau di tempat lain?
Seorang tunanetra yang ada bekas luka di mukanya? Berjalannya sambil
mengetuk-ngetukkan tongkat, dan memakai kaca mata hitam!”
Mr. Bonestell menggeleng.
“Tadi pagi ada seorang gadis cantik bercakap-cakap dengan Anda, sewaktu Anda
sedang nonton orang main kartu,” kata Jupe. “Bagaimana dengan dia?”
“Maksudmu Gracie? Gracie Montoya? Ada apa dengan dia? Dan dari mana kau
tahu aku bercakap-cakap dengan dia tadi pagi?”
“Kami kebetulan melihat Anda,” kata Jupe, “dan kami juga melihat Mis Montoya.”
Mr. Bonestell menatap Jupe.
“Lalu kenapa?” tukasnya. “Ada gadis cantik lewat, lalu aku mengobrol dengan dia.
Aku memang sudah tua tapi belum berniat masuk ke liang kubur!”
"Memang bukan begitu maksud saya, Mr. Bonestell. Kita perlu mengecek segala-
galanya. Anda kenal baik dengan gadis itu?”
“Aku sering mengobrol dengan dia,” kata Mr. Bonestell. Sikapnya masih tetap seperti tadi. “Ia selalu mengajak anjingnya jalan-jalan berkeliling blok. Kurasa ia bekerja di bidang perfilman. Anaknya ramah, selalu mau diajak mengobrol
sebentar.”
“Ia tahu Anda bekerja di bank?” tanya Jupiter.
“Tentang itu, aku tidak tahu pasti. Mungkin pernah kusinggung mengenainya. Tapi
sikapnya tidak pernah menyelidik, jika itu yang kaumaksudkan dengan
pertanyaanmu tadi. Ia cuma ramah saja lain tidak.”
“Begitu, ya,” kata Jupe. “Lalu bagaimana dengan teman-teman Anda yang lain,
Mr. Bonestell? Anda pernah bicara dengan mereka tentang pekerjaan Anda?”
"Pernah, kukira. Tapi sepanjang ingatanku, tidak ada yang secara menyolok
tertarik pada pekerjaanku."
“Bagaimana dengan Mr. Tuckerman?” kata Jupe.
“Shelby? Shelby hanya berminat mengenai hal- hal yang menyangkut dirinya
sendiri," kata Mr. Bonestell. “Ia lebih banyak bepergian ke luar kota. Kalau sedang ada di sini ia biasanya menyendiri terus. Umumnya ia makan di luar. Kalau sedang
ada di rumah, biasanya ia mengurung diri terus dalam kamarnya. Aku tidak
bercanda. Kalau mau, bisa kutunjukkan segala kunci dan gerendel yang dipakainya
untuk mengunci kamarnya.”
“Saya rasa itu tidak perlu.” Jupiter bangkit dari kursinya. “Janganlah putus asa, Mr.
Bonestell. Polisi memang perlu mengulang-ulangi keterangan Anda. Mungkin
mereka belum menemukan petunjuk-petunjuk baru, jadi barangkali mereka
berharap bahwa dengan menanyai Anda terus mungkin Anda akan mengatakan
sesuatu yang selama ini terlupa oleh Anda.”
Walter Bonestell tidak menjawab. Tapi wajahnya masih tetap nampak lesu. Jupiter
meninggalkannya dalam keadaan duduk sambil termenung, menatap kosong ke
depan.
Ketika Jupiter tiba kembali di Pangkalan Jones, hari sudah sore. Sudah pukul
setengah lima. Ia tidak masuk lewat gerbang depan melainkan berhenti di luar
pagar papan di sudut depan pekarangan. Pagar itu dihiasi lukisan yang dibuat
sekelompok pelukis yang bermukim di Rocky Beach. Sudut tempat ia berhenti itu
menampakkan gambar sebuah kapal layar yang sudah nyaris tenggelam dilanda
ombak hijau menggunung. Seekor ikan muncul dari dalam air di latar depan, memandang ke arah kapal itu. Jupe meletakkan tangannya pada mata ikan itu lalu
mendorong ke belakang. Seketika itu juga dua lembar papan terungkit ke atas.
Itulah jalan masuk rahasia, yang oleh Jupe dan kedua temannya diberi nama
Gerbang Hijau Satu.
Jupiter mendorong sepedanya, masuk ke bengkelnya yang terletak di balik pagar.
Sepeda Pete ada di situ, disandarkan ke mesin cetak. Jupiter tersenyum, sementara kedua lembar papan yang terangkat tadi dibiarkannya jatuh sehingga jalan masuk
rahasia tertutup kembali.
Kemudian ia mendengar suatu bunyi. Bunyi itu pelan sekali, tidak lebih dari
pakaian yang bergeser serta tarikan napas.
Jupiter menoleh ke arah bunyi itu.
Dilihatnya si pengemis buta berdiri di situ. Wajahnya yang berbekas luka di pipi
dipalingkan ke arah, Jupe, dengan kepala agak dimiringkan. Pipinya kini tidak
ditumbuhi cambang pendek, dan ia tidak memegang tongkat. Jupiter bergidik,
karena bekas luka yang memanjang di pipi menyebabkan sisi wajahnya yang itu
kelihatan seperti menyeringai.
Sekejap lamanya Jupiter tidak berkutik. Si Buta juga tidak bergerak. Ketika Jupiter kemudian menarik napas, si Buta akhirnya bergerak lagi. Kepalanya masih
dimiringkan dengan sikap heran dan mulutnya masih menyeringai. Ia memegang
sesuatu dengan tangan tergenggam rapat. Ia berusaha melewati Jupe. Tiba-tiba
Jupe merasa harus tahu apa yang ada di tangan orang buta itu. Setelah
mencampakkan sepedanya ke samping, Jupiter menubruk orang itu, lalu
mencengkeram tangannya yang terkepal dengan kedua tangannya.
Si Buta berteriak sambil mundur dengan cepat. Tapi Jupiter terus mencengkeram.
Dicobanya membuka tangan yang terkepal sehingga terbuka sedikit. Ada sesuatu
jatuh ke tanah.
Si Buta menyentakkan tangannya sehingga terlepas. Setelah itu ia balik
menyerang! Pukulannya membentur tulang pipi Jupiter, sehingga mata anak itu
berkunang-kunang. Ia langsung lemas.
Tapi dengan segera kesadarannya pulih. Sementara itu si Buta melangkahinya,
menuju ke pagar. Kedua papan yang merupakan penutup Gerbang Hijau Satu
terangkat sebentar lalu tertutup kembali dengan keras.
Jupiter tinggal seorang diri di situ.





Bab 12
ALAT PENYADAP PERCAKAPAN
JUPITER duduk di tanah. Kepalanya agak pusing. Ketika penglihatannya sudah
biasa kembali, nampak olehnya benda yang terjatuh dan genggaman si Buta tadi.
Benda itu terpental ke bawah bangku kerja. Jupiter melihat sebuah kotak kecil dari plastik, dengan lubang-lubang pada satu sisinya.
“Menarik," katanya.
Ia mengatakannya dengan lantang. Dan seperti jawaban atas ucapannya itu, terali
besi yang terdapat di samping mesin cetak tergeser ke samping. Pete menjulurkan
kepalanya dari Lorong Dua.
“Ada apa?" katanya. “kau berteriak tadi?"
“Kita kedatangan tamu,” kata Jupiter. Ia berlutut merangkak ke bawah bangku
kerja untuk memungut kotak kecil yang tergeletak di situ, lalu mengamat-
amatinya. “Kalau tidak salah, ini alat penyadap percakapan, katanya. Aku pernah
melihat fotonya. Pengemis buta itu tadi ada di sini, dan dari gerak-geriknya tidak nampak bahwa ia buta. Kurasa ia hendak menyadap percakapan kita di tempat ini.”
“Pengemis itu?" Pete mengambil alat berukuran kecil itu dari tangan Jupe, lalu mengamat-amatinya. “Un—untuk apa percakapan kita hendak disadap? Dan
bagaimana ia bisa sampai kemari?” Pete menoleh ke belakang, seakan
memperkirakan bahwa orang dengan bekas luka di pipi itu tahu-tahu sudah ada di
balik punggungnya. “Ih, seram!” katanya.
Jupiter duduk di kursi dekat bangku kerja. Diambilnya alat penyadap percakapan itu dari tangan Pete lalu dicongkelnya dengan pisau saku sehingga terbuka. “Ini
semacam alat pemancar mini,” katanya sambil memperhatikan. “Suara-suara di
dekatnya disiarkan sehingga bisa ditangkap dari tempat yang tidak begitu jauh.
Begitulah, sampai seperempat mil dari sini. Biasanya alat penyadap meneruskan
percakapan untuk direkam sebuah alat perekam yang disembunyikan di dekat-
dekat sumber suara. Dengan alat mi, si Buta bisa mengikuti setiap percakapan di
tempat ini.”
“Kau yakin alat ini sekarang tidak bekerja?" tanya Pete. “Jangan-jangan setiap katamu diteruskan!”
Jupiter menyingkirkan beberapa bagian yang kecil sekali dari alat itu dengan ujung pisaunya. Kemudian ditutupnya lagi kotak itu.
“Beres!” katanya.
Setelah itu ia duduk sambil berpikir selama hampir satu menit. Lalu ia menoleh
pada Pete.
“Kapan kau masuk ke pekarangan sini?" katanya.
“Begitulah, sekitar dua puluh menit yang lalu.”
“Kau lewat Gerbang Hijau Satu.”
“Betul!”
Wajah Jupiter nampak geram.
“Kalau begitu, kurasa si Buta tadi membuntutimu masuk kemarL”
“Tidak mungkin!” seru Pete. “Mustahil!”
“Mungkin ia melihatmu dalam pertemuan itu lalu kau dibuntutinya sampai di
Rocky Beach,” kata Jupiter menyambung, tanpa mempedulikan bantahan Pete.
“Atau ia melihat kita berdua di dermaga Denicola kemarin. Atau mungkin juga kita
bertiga di rumah Mr. Bonestell, malam sebelumnya. Pokoknya ia melihat kita pada
suatu ketika selama tiga hari belakangan ini, lalu dibuntutinya kita sampai di sini.
Aku ingin tahu, sempat tidak orang itu menaruh alat penyadap yang lain di sekitar sini sebelum aku muncul tadi.”
Sekali lagi Pete memandang berkeliling, seakan-akan si Buta ada di situ dan mengintai di dekatnya. Setelah itu disertainya Jupiter yang sudah mulai memeriksa di sekeliling bengkel. Tapi mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Tumpukan barang-barang bekas yang mengelilingi tempat itu tetap kelihatan
seperti biasanya.
Dari air mukanya nampak bahwa Pete merasa sangat tidak enak.
“Aku kemari tadi langsung dari rumah,” katanya. “Jika dia membuntuti aku
kemari, jangan-jangan... mungkinkah ia juga mengamat-amati rumahku, Jupe?”
“Tidak harus begitu,” kata Jupe. "Bisa saja ia sudah menunggu di sini, dekat Pangkalan.”
Bob datang ketika Jupe sudah mengambil paku dan palu untuk memaku papan-
papan penutup Gerbang Hijau Satu sehingga tidak bisa dibuka lagi. Setelah
pekerjaan itu selesai dengan dibantu oleh Bob, ketiga remaja itu masuk ke kantor
mereka lewat Lorong Dua. Sesampai di dalam, Jupe langsung mengambil tempat
duduknya yang biasa di belakang meja tulis, siap mendengarkan laporan Bob
tentang Grade Montoya.
“Setelah beberapa waktu urusannya menjadi menarik,” kata Bob di tengah-tengah
laporannya, “sebab seseorang bernama Ernie muncul. Tampangnya persis pemuda
yang kauceritakan, Jupe. Ia membunyikan bel, tapi Gracie tidak menyilakan dia
masuk. Gracie keluar dari apartemennya. Keduanya berdiri di samping kolam
renang, sambil saling berteriak dalam bahasa Spanyol.”
“Ah, yang benar!” Jupiter mengatakannya dengan wajah geli.
Bob mengangguk. “Sebenarnya, Gracie yang paling banyak berteriak. Ernie
kedengarannya seperti berusaha menjelaskan sesuatu, tapi Gracie tidak mau
mendengarkan. Akhirnya Ernie marah, lalu dia berteriak-teriak pula. Seorang
wanita yang tinggal di bangunan sebelah keluar dan berdiri sambil mendengarkan
sebentar di trotoar. Setelah itu ia mengatakan akan memanggil polisi, jika mereka masih saja berteriak-teriak.
“Kemudian Ernie pergi, dan Gracie Montoya masuk lagi ke apartemennya untuk
mengambil tas. Aku melihatnya pergi dengan mobilnya beberapa menit kemudian.
Aku masih menunggu selama kira-kira setengah jam di sana. Tapi Gracie tidak
kembali. karenanya aku lantas pergi saja”
"Hm!” kata Jupe. "Tentang apa mereka itu ribut-ribut, ya? Aku ingin tahu!
Sudahlah, kita lihat saja dulu apa yang sejauh ini sudah berhasil kita ketahui.”
Jupiter mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya nampak bersungguh-
sungguh.
“Kita bisa memastikan bahwa si Buta itu ada di dekat tempat perampokan
berlangsung,” katanya. “Dan lewat dompet, kita juga bisa menghubungkan dia
dengan Ernie serta kawan-kawannya. Gracie Montoya ada hubungannya dengan
kelompok itu, dan juga dengan Mr. Bonestell. Yang paling menarik, gadis itu
ternyata penata rias. Mungkinkah dia yang merias seseorang sehingga kelihatannya
seperti seorang teroris dari Mesa d’Oro yang sudah mati? Dan mungkinkah ia
sendiri menyamar menjadi laki-laki lalu ikut berperan dalam perampokan itu?
Tingginya cocok, kalau menurut keterangan yang diberikan Mr. Bonestell
mengenai para perampok itu. Dan tadi ia mengatakan padaku bahwa cuma
perampok yang menyamar sebagai petugas pembersih yang bernama Rolf saja
yang berbicara sejak ia disekap oleh mereka sampai saat berlangsungnya
perampokan. Yang dua lagi membisu terus.”
"Jika salah seorang dari mereka memang Gracie, tentu saja ia tidak berani bicara, karena pasti akan ketahuan,"’ kata Pete.
“Jadi ada kemungkinan salah satu dari para perampok itu wanita’ kata Jupe,”atau
mungkin juga yang tidak mau berbicara itu tidak bisa berbahasa Inggris, dan
mereka tidak mau kenyataan itu ketahuan.”
“Bisa saja mereka itu kedua pemuda yang serumah dengan Ernie,” kata Pete. “Aku
tidak tahu orang mana mereka itu, tapi bahasa Spanyol mereka sangat fasih.
Mungkin saja mereka tidak bisa berbahasa Inggris."
“Sedang Ernie, ia fasih berbahasa lnggnis dan Spanyol,” kata Jupe. ‘Kurasa
sekarang kita perlu tahu lebih banyak tentang Ernie dan kawankawannya. Bob, kau
satu-satunya di antara kita bertiga yang belum pernah dilihat orang-orang di
dermaga Denicola. Kau bisa berkeliaran di sekitar sana dengan aman, karena
biasanya memang selalu ada saja yang menonton orang yang sedang mengutak-
ngutik kapal. Ernie sudah melihat aku dan Pete, jadi kami tidak bisa lagi
melakukan tugas itu.”
“Oke,” kata Bob.
“Aku sendiri akan ke tempat Gracie Montoya —barangkali saja ada sesuatu yang bisa dilihat di sana kata Jupe. “Lalu kau, Pete, bagaimana jika kau tinggal saja di sini, dalam kantor? Si Buta sudah sekali beraksi hari . Menurut firasatku kita akan melihatnya lagi. Dan jika itu terjadi, mungkin kita perlu saling memberi tahu. kau menjadi penghubung kita."
"Alaa, bilang saja aku menjaga telepon di sini," kata Pete. "Oke, aku sama sekali tidak keberatan! Tapi jika si Buta muncul di dalam sini, pasti yang kutelepon
bukan kalian—tapi polisi!"
"Boleh saja!” kata Jupiter dengan gembira. "Tapi," katanya menyambung, "Kurasa sebaiknya kita semua harus berhati-hati. Si Buta tahu di mana kita berada, dan ada kemungkinan ia juga tahu—atau bisa menduga—apa yang kita lakukan. Tadi ia
lari, tapi itu tidak selalu harus begitu. Ia bisa merupakan bahaya—setiap saat!”




Bab 13
PERINGATAN
“Asyik juga, kelihatannya," kata Bob Andrews.
Ia berdiri di pinggir dermaga Denicola. Saat itu hari Jumat pagi. Pasang sedang
surut, sehingga letak geladak Maria III  lebih rendah dari lantai dermaga tempat Bob berdiri. Ernie ada di kapal, sedang mengecat sisi luau bulk anjungan kemudi.
Bob menunggu sesaat. Tapi Ernie tidak menanggapi komentarnya. Bahkan
menoleh pun tidak.
“Rumah kami dicat, tahun lalu,” kata Bob lagi. “Aku diperbolehkan para tukang
membantu mereka. Aku mengecat bingkai jendela-jendela.”
Ernie berhenti bekerja. Ia menoleh ke arah Bob, lalu memandang kuas yang ada di tangannya. Setelah itu ia melangkah mundur menjauhi dinding bilik anjungan, dan
menyodorkan kuas pada Bob.
Bob meloncat turun ke geladak. Sambil nyengir diambilnya kuas lalu mulai
mengecat dengan hati-hati dan rapi. Ernie memperhatikan sambil tersenyum.
Setelah beberapa menit bekerja tanpa bicara, akhirnya Bob membuka mulut
"Wah pasti asyik, ya—bekerja di kapal!” katanya.
Ernie hanya mendengus saja.
“Aku pernah sekali diajak paman temanku naik perahu motor,” kata Bob dengan
gaya mengoceh. "Asyik rasanya—tapi kemudian kami sampai di tempat yang
bergelombang tinggi.” Ia menyambung dengan kisah yang panjang dan kocak,
bagaimana ia mabuk laut. Akhirnya Ernie tertawa.
“Ya, memang begitulah, kalau orang belum biasa naik kapal,” kata pemuda itu. Ia
berbicara tanpa logat asing sama sekali. “Kalau aku, aku tidak pernah mabuk laut.”
Setelah didesak-desak sebentar, Ia menyambung dengan kisah tentang badai paling
gawat yang pernah dialaminya. Bob bertanya-tanya seperti anak yang terkagum-
kagum, dan Ernie makin lama makin bersikap ramah padanya. Tapi sebelum Bob
berhasil mengorek keterangan yang ada gunanya, dua orang pemuda yang sebaya
dengan Ernie datang. Mereka bicara dengan Ernie dalam bahasa Spanyol. ketika
pemuda itu menjawab, Ia melirik ke arah Bob. Setelah itu ia buru-buru naik ke
dermaga, lalu diajaknya kedua pemuda yang datang itu agak menjauh dari Maria
III.
Ketika sudah cukup jauh, ketiga pemuda itu lantas berdiskusi. Bob berusaha.
memperhatikan mereka tanpa menyolok. kedua pemuda yang baru datang
menggerak-gerakkan tangan ke arah pantai, dan seorang dari mereka menuding
seperti hendak menunjukkan bahwa ada sesuatu datang dari arah utara. Ernie
kelihatan mengangkat bahu, sementara salah seorang pemuda itu mengepalkan
tangan dan mengacung-acungkannya ke atas. Yang seorang lagi menunjuk arloji
tangannya sambil mengatakan sesuatu dengan bersemangat pada Ernie.
Akhirnya Ernie berpaling, sementara kedua kenalannya pergi meninggalkan
dermaga, kembali ke pondok reyot yang menghadap ke jalan raya dan
membelakangi laut. Bob menarik kesimpulan, pasti mereka itulah teman-teman yang serumah dengan Ernie.
Ernie turun lagi ke kapal, lalu meneliti hasil kerja Bob dengan sikap senang.
“Bagus sekali,” katanya dengan ramah.
“Anda fasih sekali berbahasa Spanyol tadi!” kata Bob. “Kawan-kawan Anda juga.”
“Itu bahasaku yang kedua,” kata Ernie dengan nada menyombongkan diri.
“Kawan-kawanku itu dari Amerika Selatan. Mereka kurang bisa berbahasa lnggris,
jadi kami berbicara dalam bahasa Spanyol."
Bob melihat Mrs. Denicola yang tua muncul dari numah yang di dekat pelatanan
parkir. Ia membawa baki dengan sesuatu yang kelihatannya seperti termos serta
beberapa mangkuk. Ketika sudah separuh jalan dari rumah tadi ke bangunan kecil
di mana Eileen Denicola berada, wanita tua itu memandang ke arah Maria III,  ia berhenti sejenak. Rupanya ia melihat Bob ada di situ bersama Ernie, sedang kuas
ada di tangan Bob. Meski jarak yang memisahkan tempat wanita itu berdiri dan
kapal paling sedikit seratus meter, tapi Bob bisa melihat bahwa sikap Mrs.
Denicola berubah menjadi tegang.
Setelah beberapa saat, wanita tua itu meneruskan langkahnya, menuju ke kantor
dan langsung masuk. Sesaat kemudian Eileen muncul dan menuju ke dermaga.
Wanita yang lebih muda itu memakai baju kerja yang terbuat dari kain kasar
berwarna biru dengan kerah terbuka. Selembar selampai berwarna putih dan biru
meliliti lehernya. Ia memakai celana jeans yang sudah pudar warnanya, sedang
kakinya terbungkus sepatu santai berwarna biru yang sudah tidak baru. Ia datang
dengan langkah-langkah tegas. kelihatannya agak marah.
"Kau yang seharusnya mengecat bilik anjungan,” katanya pada Ernie. Ia
mengatakannya dengan suara biasa, tapi tetap saja terdengar galak.
“Anak ini yang ingin membantu,” jawab Ernie dengan sikap tak acuh. "Ia suka
mengecat.”
“Itu memang betul, Ma’am,”  kata Bob. “Saya memang suka mengecat.”
“Baiklah, tapi selebihnya harus diselesaikan sendiri oleh Ernie," kata Eileen Denicola. “Mertuaku ingin bicara sebentar denganmu.”
“Dengan saya?” kata Bob.
“Ia menunggu di sana.” Eileen menuding ke arah kantor. “Aku tidak tahu untuk
urusan apa, tapi aku disuruhnya memanggilmu. Berikan kuas ini pada Ernie, dan
ikut aku."
Bob menyerahkan kuas pada Ernie, lalu mengikuti Eileen ke kantor. Wanita itu
berpaling sebentar untuk mengatakan pada Ernie agar kapal sudah siap untuk
berangkat sesudah makan siang. “Jangan sampai terlambat,” katanya. “Kita harus
ke Kelleher untuk membeli bahan bakar. Besok pagi pukul tujuh akan ada empat
puluh tiga orang di sini, jadi saat itu kita takkan punya waktu lagi."
"Baik, Mrs. Denicola," kata Ernie, lalu mempercepat sapuan kuasnya.
Bob tersenyum. Kelihatannya Eileen Denicola sudah biasa perintahnya dipatuhi.
Kini wanita muda itu berjalan di depannya. Rambutnya yang merah terayun-ayun
mengikuti irama langkahnya. Mrs. Denicola yang tua datang menyongsong mereka
di pintu kantor.
“Kita ke rumah." kata wanita tua itu. Ia menggerakkan tangannya ke arah Bob.
“Kau, Anak muda, kau ikut denganku.”
Bob mengikutinya ke rumah. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa ia dipanggil.
Mrs. Denicola mengajaknya masuk ke sebuah ruang duduk. Suasana di tempat itu
kaku dan agak asing, dengan kursi-kursi besar berlengan dan bersandaran tinggi
serta sebuah sofa panjang yang jelek sekali.
“Duduklah.” Mrs. Denicola menunjuk ke sebuah kursi yang letaknya membentuk
sudut siku dengan sofa. Setelah keduanya duduk, wanita tua itu melipat kedua
tangannya di pangkuannya, lalu menatap Bob dengan matanya yang begitu tajam
sehingga Bob terpaksa membuang muka.
“Aku pernah melihatmu?" kata wanita itu.
“Saya... saya rasa kita belum pernah berjumpa," kata Bob dengan kikuk.
“Kau memang tidak mungkin tahu, tapi aku pernah melihatmu,” kata Mrs.
Denicola lagi. “Aku melihatmu dalam mimpi, lalu aku melihatmu di sana tadi.” Ia
menggerakkan tangannya ke arah jendela. “Kurasa lebih baik jika kau tidak ada di
sini.”
Mrs. Denicola nampaknya menunggu jawaban. Bob membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi tenggorokannya seperti tersumbat, sehingga hanya bunyi
antara tersedak dan batuk yang keluar. Ia menutup mulutnya dan menarik napas
dalam-dalam, lalu mendeham-deham sebentar.
“Saya cuma... cuma membantu mengecat saja tadi,” katanya. “Saya belum pernah
kemari, dan...”
Ia tidak meneruskannya. Dengan tiba-tiba Ia merasa kikuk. Ia tidak ingin
menyinggung perasaan wanita tua yang duduk di dekatnya itu, tapi ia ngeri
menghadapi kekuatan yang dirasakannya ada dalam diri wanita itu. Berhadapan
dengan Mrs. Denicola, Bob lantas teringat pada wanita-wanita bijaksana dari
zaman purba yang bertapa dalam gua dan yang bisa meramal masa depan serta
memperingatkan orang-orang akan bencana yang akan datang menimpa.
Hawa dalam rumah kecil itu pengap, tapi anehnya Bob merasa kedinginan.
Mrs. Denicola mendekatkan dirinya ke Bob, dengan tangan masih terlipat di
pangkuan yang terbungkus gaun berwarna hitam. Wajahnya cekung dan penuh
kerut. kelihatannya kurus dan sangat capek.
“Kau seharusnya jangan kemari,” kata wanita itu lagi. “Kau kemari ini karena ada
perlu, menurutku. Kenapa kau datang?"
“K — kenapa?” kata Bob dengan suara berbisik. Ia sendiri heran mendengar
bahwa ia berbisik, tapi ia tidak mampu berbicara dengan suara lebih keras. "Tidak karena kenapa-kenapa. Saya cuma... cuma iseng saja."
Tapi dengan segera ia membuang muka, karena merasa yakin bahwa wanita itu
bisa membaca pikirannya, dan oleh sebab itu pasti tahu bahwa ia berbohong.
“Keselamatanmu terancam,” kata wanita itu. “Kau harus lekas-lekas pergi dari sini.
Dan jangan kembali! Jika kau tetap ada di sini, nanti akan terjadi sesuatu yang
mengerikan. Dalam mimpi itu kulihat kau berada di suatu tempat yang bergetar-
getar. Ada bunyi yang sangat nyaring, dan kau jatuh bersama ambruknya tempat di
mana kau sedang berada. Di sekitarmu tanah merekah.”
Bob memandang wanita tua itu. Ia merasa takut sekali. Kemudian disadarinya
bahwa tangannya terkepal, lalu dipaksanya agar terbuka kembali.
Eileen Denicola sudah mengatakan pada Jupiter bahwa mertuanya kadang-kadang memimpikan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Dan wanita tua itu
menceritakan mimpinya pada Jupiter tentang seorang tunanetra yang memungut
dompet yang tergeletak di tanah. Kini ia memimpikan tanah yang merekah, serta
Bob jatuh. Apa makna mimpi itu?
Gempa bumi! Mrs. Denicola pasti mimpi tentang gempa! Tapi apa gunanya
menceritakan hal itu pada Bob? Dengan meninggalkan dermaga itu ia takkan bisa
melarikan diri dari gempa.
Mrs. Denicola mendesah.
“Kau beranggapan aku ini perempuan tua yang tidak waras pikirannya,” katanya
dengan sendu. “Mungkin memang lebih baik tidak kuceritakan mimpiku itu
padamu. Kau akan pergi dan kembali dengan anak-anak lain, lalu mereka akan
tertawa-tawa dan mengatakan bahwa aku ini dukun sihir—dukun sihir Italia tua
yang sudah sinting! Tapi sungguh, aku melihatmu di tempat yang menjadi
berantakan, dan aku... aku juga ada di situ!”
Saat itu pintu depan rumah itu terbuka, menyebabkan angin segar menghembus ke
dalam. Eileen Denicola muncul di serambi depan dan menjenguk ke dalam ruang
duduk, memandang mereka. Tampangnya kelihatan geli, tapi bercampur cemas.
“Ada apa, sih?” katanya. Suaranya terdengar dipaksa bernada riang. "Mudah-
mudahan saja bukan mimpi lagi."
"Kalau ya, memangnya kenapa?" kata wanita tua itu. Ia memajukan tubuhnya lalu menyentuh lutut Bob. “Aku merasa bahwa dia ini anak baik yang biasa bekerja
keras,” katanya. “Aku mengatakan padanya bahwa ia akan berhasil dan maju—
selama mau mendengarkan nasihat orang-orang yang bermaksud baik padanya."
Mrs. Denicola yang tua berdiri. “Aku harus bergegas sekarang” katanya pada
Eileen. “Tamu kita sebentar lagi datang, dan masih banyak yang harus
dipersiapkan.”
Setelah itu ia keluar, tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Bob.
"Beres?" kata Eileen Denicola.
"Ya," jawab Bob dengan suara pelan. "Terima kasih.”
Ia berdiri lalu bergegas keluar, melewati wanita berambut merah itu. Bob merasa seram jika masih lama lagi di tempat itu. Ia harus cepat-cepat pergi!





Bab 14
ERNIE MENGADAKAN PERJANJIAN
KEDUA pemuda yang sekamar dengan Ernie muncul lagi di pantai. Mereka
berjalan menuju dermaga. Ernie masih terus sibuk mengecat di anjungan kapal.
Semuanya kelihatan persis seperti dua puluh menit sebelumnya. Tapi bagi Bob,
segala-galanya sudah berubah.
Mrs. Denicola yang tua berbicara tentang adanya bahaya.
Di pinggir jalan raya, beberapa ratus meter dari dermaga ada sebuah kawasan
perbelanjaan kecil-kecilan. Bob melihat bahwa di situ ada pasar swalayan kecil,
sebuah tempat cuci pakaian dengan peralatan otomatis, dan sebuah kantor real-
estate.  Ia juga melihat sebuah bilik telepon di depan pasar. Dengan segera ia ke sana, lalu memutar nomor telepon kantor Trio Detektif.
Dengan segera pula Pete menjawab. Begitu mendengar suara Bob, ia langsung
bertanya, “Semuanya beres?"
“Ya, kurasa bisa dibilang begitu. Tapi wanita tua itu—Mrs. Denicola yang tua—ia
mengatakan padaku bahwa ia bermimpi tentang aku. kau ingat, menantunya
mengatakan bahwa mertuanya biasa memimpikan hal-hal yang betul-betul terjadi?
Nah, dalam mimpinya tentang aku, dilihatnya aku dalam bahaya. Aku berada di
suatu tempat di mana segala-galanya bergerak dan berjatuhan. Seperti sedang ada
gempa. Ia mengatakan, aku tidak boleh ada di sini. Menyeramkan, ya?”
Sesaat tidak terdengar jawaban. Kemudian Pete berkata, “He, Bob! Jika mimpi wanita tua itu kemudian ternyata sungguh-sungguh terjadi, mungkin lebih baik jika kau pergi saja dari sana. Bagaimana, aku perlu datang untuk menggantikan?"
“Itu kan cuma mimpi,” kata Bob. Itu dikatakannya lebih banyak untuk
menenangkan perasaannya sendiri.
“Baiklah. Tapi hati-hati, ya!” kata Pete.
“Itu sudah pasti,” kata Bob berjanji. “Aku belum ingin pergi saat ini. Kelihatannya sebentar lagi akan ada sesuatu. Masih ingat kedua pemuda yang tinggal bersama
Ernie? Mereka mondar-mandir terus di dermaga, berbicara dengan Ernie dalam
bahasa Spanyol. Kelihatannya ada sesuatu yang membuat mereka bersikap begitu
gelisah.”
Sebuah mobil pick up  muncul di jalan raya. Kendaraan itu berjalan larnbat-lambat, lalu membelok masuk ke pelataran parkir perusahaan Denicola dan berhenti di situ.
Seorang laki-laki bertubuh jangkung dan langsing, dengan pakaian kerja dan kain
drill  turun dan mobil itu lalu berja!an menuju dermaga.
“Jangan jauh-jauh dari telepon,” kata Bob. "Nanti aku menelepon lagi."
Bob keluar lagi dari bilik telepon. Banyak mobil dan berbagai jenis diparkir
berderet-deret di pinggir jalan raya. Bob berjalan kembali ke arah dermaga dengan berlindung di balik deretan kendaraan itu.
Sementara itu laki-laki jangkung yang baru datang tadi sudah sampai di tempat
Ernie serta kedua kawannya, di samping Maria III.  Bob berhenti sebentar, untuk memperhatikan Ernie berbicara dengan orang itu. Tampang Ernie nampak marah.
Ia berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya.
Bob beringsut ke sudut sebuah mobil kombi yang sedang diparkir, lalu turun ke
pasir dan langsung menuju ke bawah dermaga.
Keempat orang yang ada di samping kapal penangkap ikan tidak melihatnya.
Dengan segera Bob sudah sampai di tempat ía menaruh sepedanya tadi. Tapi ia
terus berjalan, sampai ke batas air.
Sesampai di sana ia berhenti, lalu memasang telinga. Ia bisa mendengar suara
keempat orang itu berbicara. Tapi tempat mereka berada masih terlalu jauh. Lagi
pula bunyi ombak memecah terlalu dekat. Jadi Bob tidak sampai bisa menangkap kata-kata yang diucapkan keempat orang itu.
Kening Bob berkerut. Andaikan Ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan,
kemungkinannya ia tetap takkan mengerti, karena barangkali mereka berbicara
dalam bahasa Spanyol.
Tapi kemudian didengarnya langkah orang di atas kepalanya. Orang-orang itu
berjalan mendekat.. Mereka berhenti sebentar untuk berbicara. Kedengarannya
seperti sedang bertengkar. Lalu berjalan lagi, makin lama makin dekat. Akhirnya
mereka sampai tepat di atas kepala Bob. Setelah itu ia pun ikut berjalan di bawah lantai, sambil mendongak dan mendengarkan. Langkahnya tidak kedengaran,
karena ia berjalan di pasir.
“Oke, Strauss.” itu suara Ernie. Ia berhenti melangkah, begitu pula yang lain-
lainnya. “Aku bisa mengerti bahwa kau belum mau, sampai sudah melihat
sebagian dari uangnya. Tapi kami pun perlu melihat barang itu dulu. Awas kalau
tidak bagus!”
"Kujamin, sudah pasti bermutu,” kata seseorang. Mestinya dia itu yang bernama Strauss, karena ia berbicara tanpa logat asing. Nadanya tegas. “Tapi kalian
kelihatannya tidak begitu bisa diandalkan. Untuk apa sebenarnya aku bicara
dengan kalian? Aku ingin ketemu Alejandro sendiri. Dialah yang mengadakan
bisnis ini."
“Aku mewakili Alejandro,” kata Ernie. “Jika kau memaksa, bisa saja kami
mengatur pembayaran uang muka.
“Ya, itu harus!” kata Strauss.
“Seperempat dari keseluruhannya,” kata Ernie. “Sisanya kami tahan, dan baru akan
karni serahkan jika barangnya sudah kami terima—dan kondisinya seperti yang
dijanjikan.”
“Separuh sebagai uang muka.” kata Strauss.
Kini suaranya terdengar bernada datar, nyaris bersikap masa bodoh. "Separuh
sisanya apabila barang sudah diserahkan. Tanpa uang muka, takkan terjadi apa-
apa. Kalian harus tahu, aku sama sekali tidak perlu kalian. Barang itu bisa kujual pada siapa saja."
Selama beberapa saat tidak terdengar apa-apa di atas. Kemudian Ernie berbicara lagi.
“Baiklah, separuh sebagai uang muka. Tapi sebelum separuhnya lagi diserahkan,
kami harus menerima barangnya dulu. Kau kembali saja ke Pacific States dan
menunggu di sana. Nanti kutelepon jika uangnya sudah ada padaku.”
“Kenapa tidak di sini saja aku menunggunya?" kata Strauss. “Kenapa harus
mondar-mandir segala!”
“Karena itu memerlukan waktu, dan majikanku saat ini sudah jengkel saja di
kantornya karena beranggapan bahwa aku ini sedang bermalas-malasan. Jadi kau
kembali saja dulu dan menunggu teleponku di sana."
Sesudah itu tidak terdengar apa-apa selama beberapa saat. Menurut dugaan Bob,
orang yang bernama Strauss itu pasti sedang menoleh, memandang ke arah kantor
dengan jendela-jendelanya yang menghadap ke dermaga. Dan pasti Eileen
Denicola ada di dalamnya, memandang ke arah keempat orang itu.
"Ya, baiklah,” kata Strauss kemudian. “Mungkin memang lebih baik jika aku tidak kemari tadi. Oke. Akan kutunggu kau menelepon di Pacific States. Tapi jangan
coba-coba mengulur-ulur waktu. Ingat kalian lebih perlu aku, daripada aku perlu
kalian."
Setelah itu terderigar langkah orang pergi ke arah darat. Pasti itu Strauss, kata Bob dalam hati. kemudian terdengar suara Ernie lagi. Ia mengatakan sesuatu dalam
bahasa Spanyol. Nadanya seperti mengumpat. Lalu terdengar suara kedua pemuda
yang lain, menggumam dengan nada marah.
Setelah itu terdengar langkah-langkah ringan berjalan di atas dermaga Bob
mendengar suara seorang wanita, bernada jengkel.
“Siapa itu tadi?" tanya Eileen Denicola.
“Dia anggota salah satu perkumpulan,” kata Ernie. “Katanya, Ia melihat Maria III dari jalan, lalu kemari untuk menanyakan apakah bisa disewa.”
“Lain kali kalau ada orang menanyakan begitu, suruh dia datang ke kantor,” kata
Eileen.
"Baik Mrs. Denicola." kata Ernie.
"Sekarang pergilah makan dulu," kata Eileen lagi. “Pukul satu tepat kau harus sudah ada di sini lagi, supaya kita bisa langsung berangkat untuk mengisi bahan
bakar. Dan jangan kauajak kawan-kawanmu itu. Mengerti?”
“Baik Mrs. Denicola,” kata Ernie dengan nada patuh.
Setelah itu diajaknya kedua temannya menyingkir, dan Eileen pun pergi
meninggalkan tempat itu. Bob menunggu di bawah lantai dermaga yang gelap.
Ketika ia sudah melihat Ernie dan kedua kawannya berjalan melintasi pasir pantai
menuju pondok mereka yang reyot, barulah Bob beranjak dan pergi ke arah yang
berlawanan. Ia ingin tahu di mana letak tempat yang bernama Pacific States.
Kedengarannya seperti nama kota. Tapi Bob belum pernah mendengar ada kota
yang namanya begitu. Ia berlari-lari kecil. kembali menuju bilik telepon di depan pasar.
Dalam buku telepon yang ada di situ tidak ditemukannya kota yang bernama
Pacific States. Tapi dalam kelompok dengan huruf awal P ditemukannya sebuah
perusahaan ekspedisi dan pergudangan yang namanya Pacific States. Kantornya di
kota Oxnard, di jalan yang bernama West Albert Road. Ia memutar nomor telepon
yang tertera di situ, lalu menanyakan apakah bisa bicara dengan Mr. Strauss.
"Ia sedang tidak ada,” kata orang yang menerima. “Bisakah saya mengetahui
nomor telepon Anda, supaya ia menelepon ke sana jika sudah kembali nanti?"
“Itu tidak perlu,” kata Bob. “Saya akan menelepon lagi."
Setelah itu Bob hendak menelepon Pete di kantor Trio Detektif. Tapi saat itu
dilihatnya seorang laki-laki keluar dari pasar. Rasanya ia mengenalnya. Ketika
orang itu menuju ke tempat mobilnya diparkir, Bob melangkah keluar dari bilik
telepon dan dengan langkah santai menghampirinya.
“He, Bob!” sapa orang itu. “Apa yang kaulakukan di sini?"
“Halo, Mr. Soames!” Orang itu tetangga Bob. Tinggalnya di seberang jalan,
berhadap-hadapan dengan rumah keluarga Andrews.
“Saya sedang... sedang melihat-lihat keadaan di sini," kata Bob. “Akhir pekan ini saya mungkin akan memancing kemari, bersama Ayah."
Mr Soames memandang berkeliling. "Kau kemari dengan sepeda?”
Bob menggeleng.
“Saya tadi membonceng mobil kenalan,” katanya berbohong. Ia hampir semahir
Jupiter berbohong, kalau keadaan benar-benar memerlukan, “Anda kebetulan
hendak ke utara, barangkali?”
“Ya, memang,” kata Mr. Soames. “Aku hendak menjenguk saudaraku di
Carpinteria."
“Sudah saya sangka Anda akan ke sana. Bolehkah saya ikut sampai Oxnard?"
“Boleh saja... tapi aku belum akan kembali hari ini. Bagaimana kau pulang nanti?"
"ltu gampang, kan bisa naik bis antarkota,” kata Bob. “Wah, terima kasih, Mr.
Soames!”
Ia buru-buru masuk ke dalam mobil kecil itu dan duduk di samping Mr. Soames.
Dalam hati Ia tersenyum bangga, karena Jupe sendiri belum tentu akan bisa
berbuat begitu.
Sekarang ia tidak perlu membuang tenaga, bersepeda ke kota yang lumayan
jauhnya itu! Dan barangali nanti ia akan bisa mengetahui barang apa yang hendak
dibeli Ernie serta kedua kawannya—dan berapa mereka berniat membayarnya!









Bab 15
BOB DALAM KESULITAN
JUPITER duduk di pinggir jalan, di seberang gedung apartemen tempat tinggal
Gracie Montoya. Ia merasa jengkel, dan juga bosan. Pukul sembilan pagi tadi ía
membunyikan bel apartemen gadis itu, dan sekali lagi berusaha membujuknya agar
mau berlangganan Santa Monica Evening Outlook.  Tapi gadis itu kembali
menolak, dan sekali ini kelihatannya sedang tidak ingin diajak mengobrol.
Setelah itu Jupe pergi ke seberang jalan. Dari situ diamat-amatinya apartemen
Gracie, sepanjang pagi. Ia melihat gadis itu membawa cuciannya ke sebuah
ruangan yang terletak di bagian belakang bangunan tempat tinggalnya, dan
kemudian kembali dengan setumpuk pakaian yang sudah dilipat rapi. Kini Gracie
Montoya duduk-duduk di samping kolam, sambil mengecat kukunya. Jupiter ingin
sekali bercakap-cakap lagi dengan dia. Akhirnya diputuskannya untuk pura-pura
kehilangan buku pesanan.
Jupiter berdiri, lalu menyeberang. Tapi ketika sampal di pintu gerbang gedung
tempat tinggai Gracie, ía tertegun. Dilihatnya gadis itu sekarang memegang
pesawat telepon yang disambungkan dengan kabel yang sangat panjang. Terdengar
suaranya berbicara dengan seseorang yang hernama Marilyn.
“Aktingnya payah,” kata Gracie, “tapi menurut yang kudengar, teknik efeknya
hebat. Sewaktu pesawat ruang angkasa meledak, tempat duduk penonton sampai
terasa bergetar. Aku tadi sudah menelepon, katanya pertunjukan pertama dimulai
pukul dua. Bagaimana? Kita makan roti dulu sebelum nonton?"
Jupe berpaling. Rupanya Gracie Montoya hendak pergi nonton film. Katakanlah ia
bisa membuntutinya, takkan banyak yang akan bisa diketahuinya dan duduk terus
sampai sore dalam bioskop.
Jupe bertanya-tanya dalam hati, apakah Bob lebih berhasil dengan tugasnya di
Dermaga Denicola. Ia juga bertanya-tanya, apakah ada yang berhasil dicapai
selama ini oleh Trio Detektif, untuk menolong Mr. Bonestell. Mungkinkah Ernie
beserta kawan-kawannya perampok bank itu?
Dan jika benar, bagaimana Trio Detektif bisa membuktikannya?
Tiba-tiba Jupe teringat pada sesuatu yang
pernah beberapa kali dilihatnya dalam film dari acara-acara televisi. Dngan segera ía mengambil sepedanya, lalu cepat-cepat kembali ke Pangkalan Jones.
Pete ada dalam kantor mereka, sedang membalik-balik halaman sebuah majalah
olahraga. Kelihatannya ia bosan.
"Untung kau datang,” katanya begitu Jupe masuk. ‘Membosankan rasanya, duduk
terus seorang diri di sini. Tapi Bob tadi menelepon.”
“Lalu, apa katanya?" kata Jupe.
“Ia merasa akan terjadi sesuatu di Dermaga Denicola. Kedua teman Ernie ada di
sana, bercakap-cakap dengan Ernie. kata Bob, mereka kelihatannya gelisah tentang
sesuatu. Dan Mrs. Denicola, yang tua maksudku, Ia mimpi tentang Bob. Katanya
Bob dalam bahaya, dan mengatakan bahwa Bob jangan berada di dermaga itu!”
Jupiter merasa dirinya menjadi agak tegang. Ia tidak tahu apakah harus percaya
atau tidak pada kebenaran mimpi Mrs. Denicola. Tapi Ernie? Itu soal lain.
"Kapan Bob menelepon tadi?” tanyanya.
“Begitulah, setengah jam yang lalu. Atau mungkin juga lebih. Kukatakan padanya
bahwa aku akan ke sana untuk menggantikannya, tapi ia ingin tetap di situ.”
"Oke." Jupe mengangguk. "Sekarang begini. Aku   akan ke sana. Akan kucoba memotret ketiga orang itu. Nanti foto mereka akan kuretusir—kuberi kumis dan
rambut palsu—lalu kutunjukkan pada Mr. Bonestell. Siapa tahu, barangkali ia
mengenali mereka kembali."
Ia bergegas masuk ke kamar gelap, mengambil kamera yang diperlengkapi dengan
lensa tele.
"Kau menjaga terus di sini,” katanya pada Pete. “Nanti kutelepon kemari, kalau sudah berjumpa dengan Bob.”
Setengah jam kemudian Jupe sudah berada di pinggir jalan, di seberang Dermaga
Denicola. Kapal Maria III  tidak kelihatan, dan juga tidak ada siapa-siapa dalam kantor kecil yang di dekat dermaga. Jupiter tidak melihat Ernie dan Eileen di
sekitar situ.
Ia mengangkat bahu, lalu mendorong sepedanya ke seberang jalan dan langsung menuju ke bawah dermaga. Ditemukannya sepeda Bob di sana. Terikat dengan
rantai yang digembok ke salah satu tiang penyangga. Jupe mengunci sepedanya di
samping sepeda itu, lalu memandang ke kanan dan ke kiri. Tapi ia tidak melihat
Bob. Hanya orang-orang yang sedang memancing di pantai saja yang nampak,
serta anak-anak yang sedang bermain-main dengan seekor anjing. Sambil
menenteng kamera, ia menuju pelataran parkir Denicola. Tidak ada siapa-siapa di
situ. Kemudian dilihatnya mobil station wagon di dalam garasi terbuka di sebelah
rumah beratap genting batu kelabu yang tenletak dekat dermaga. Rupanya ada
orang di rumah keluarga Denicola.
Jupiter pergi ke sana. Ia tidak perlu membunyikan bel lagi, karena pintu depan
langsung terbuka. Mrs. Denicola yang tua muncul di ambangnya. Ia menatap
Jupiter dengan tajam.
“Anda melihat teman saya di sini tadi, Mrs. Denicola?" kata Jupiter.
“Temanmu?"
"Ya, ia kemari tadi pagi dan Anda berbicara dengan dia,” kata Jupiter. “Anda bermimpi tentang dia."
“Ah!’ kata Mrs. Denicola. “Jadi anak itu—bertubuh kecil dan berkaca mata—dia
itu temanmu. Kurasa ini sebelumnya sudah kuketahui."
Ia menatap Jupiter sambil mengerutkan kening. Tapi Jupe merasa bahwa wanita
tua itu tidak benar-benar marah.
“Anda masih melihatnya lagi setelah itu?” tanya Jupe. "Sepedanya ada di bawah lantai dermaga, tapi ía sendiri tidak kelihatan di mana-mana. Mungkinkah ia ikut
keluar dengan kapal? Barangkali ia diajak pesiar sebentar oleh menantu Anda.”
Mrs. Denicola mengge!eng. "Eileen pergi bersama Ernie naik Maria,”  katanya.
“Aku melihat mereka berangkat berdua saja.”
“Kalau begitu ke mana si Bob?” kata Jupe, setengah pada dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu," kata Mrs. Denicola. Ia mundur selangkah sambil membuka pintu lebar-lebar. “Tapi kurasa akan terjadi suatu bencana. Aku memimpikannya, dan
aku takut. Kurasa kau perlu bercerita tentang dirimu dan temanmu itu. Ayo,
masuklah."
Mendengar suara Mrs. Denicola, untuk pertama kalinya Jupe benar-benar merasa waswas memikirkan Bob.
Sementara itu di Oxnard, Bob mendatangi perusahaan ekspedisi Pacific States.
Tempatnya di sebuah pekarangan gersang, di Albert Road. Bob melihat pagar
kawat yang tinggi, sebuah bangunan dari batako tanpa jendela, serta beberapa truk pengangkut barang berwarna putih kotor. Jalan masuk dari gerbang ke dalam
berlubang-lubang. Di sana-sini nampak genangan air. Gerbang itu dikunci dengan
gembok.
Tidak ada siapa-siapa di situ. Bob berjalan, mengelilingi pekarangan berpagar
tinggi itu. Di mana-mana dilihatnya semak dan rumput liar, peti-peti yang sudah
dibongkar, serta kertas-kertas berserakan. Di belakang diparkir beberapa truk
pengangkut barang, sehingga ia tidak bisa melihat sisi belakang bangunan. Tapi ia mendengar suara orang bercakap-cakap. Datangnya dari dalam pekarangan.
Bob berhenti berjalan. Ia memasang telinga. Percakapan itu masih terus terdengar, tapi kata-katanya tidak bisa ditangkap dengan jelas oleh Bob. Dilihatnya ada
sebuah truk di parkir dekat sekali ke pagar. Ia memandang ke kin dan ke kanan
sebentar, menarik napas dalam-dalam, memanjat pagar. Dari situ ia merangkak ke
atap truk tadi.
Bob berbaring di situ sesaat, sambil mengatur napas. Ia memang tidak setangkas
Pete, tapi ia berhasil sampai di atas. kini ia sudah berada di dalam pekarangan.
Bob merangkak maju di atas atap.
“Takkan bisa kering pada waktunya,” kata seseorang. Suaranya kini terdengar
dekat sekali.
“Biar saja," kata seseorang lagi. “Kering atau basah, kan bisa saja kita pakai.”
Sebuah truk lain diparkir beradu punggung dengan truk di mana Bob berada.
Sepatunya yang bersol karet sedikit pun tidak menimbulkan bunyi ketika ia
melangkah untuk pindah ke atap bak belakang truk yang satu lagi itu. Sesampai di
situ Bob cepat-cepat berjongkok lagi lalu merangkak maju ke sebelah depan. Dari
situ ia melihat ke bawah. Ia melihat suatu tempat yang lapang. Di situ ado dua
orang laki-laki. Mereka berdiri membelakangi truk di atas mana Bob berada.
Mereka sedang memandang sebuah truk bercat putih bersih. Dengan cepat Bob
merebahkan diri di atas atap truk tempatnya berada, lalu mengintip ke bawah.
“Bagus, Harry,” kata salah seorang dari kedua laki-laki itu. Orang itu Strauss. Ia berdiri bercekak pinggang, dengan kepala dimiringkan.
Orang yang bernama Harry hanya mendengus sebagai jawaban. Ia memegang
sebuah kaleng berisi cat serta sebuah kuas. Tercium bau cat basah. Pada sisi truk yang sedang diperhatikan kedua laki-laki itu nampak tulisan yang kelihatannya
baru saja selesai dibuat, menggantikan nama perusahaan ekspedisi yang berlokasi
di situ. Bob membaca tulisan baru itu: McCUTCHEONS MARITIME SUPPLIES.
Bob nyengir dalam hati. Rupanya kedua orang itu mengubah truk itu menjadi milik
sebuah perusahaan yang menyediakan perbekalan kapal.
“Kenapa repot-repot, sih?" kata Harry sambil menunjuk dengan kuas.
“Kita tidak boleh mengambil risiko, karena taruhannya besar sekali,” kata Strauss.
“Jika ada yang melihat truk perusahaan ekspedisi di dekat Dermaga Denicola, ada
kemungkinan nanti timbul berbagai pertanyaan."
Setelah itu Strauss berbalik, lalu masuk ke bangunan besar tanpa jendela yang
terbuka pintunya. Sesaat kemudian orang yang satu lagi menyusul ke dalam.
Selama beberapa saat Bob hanya mendengar bunyi kayu bergeser di atas beton.
Akhirnya Strauss muncul lagi. Ia mendorong gerobak dengan tiga peti kayu di
atasnya, menuju truk yang baru selesai dicat huruf-huruf namanya yang baru.
Harry menyusul dengan gerobak sorong pula, berisi peti-peti. Tapi tahu-tahu
gerobaknya terperosok ke dalam lubang. Salah satu peti yang ada di atasnya jatuh
ke tanah dan pecah. Berlusin-lusin kotak yang lebih kecil berserakan dalam
lumpur.
“He, hati-hati!” teriak Strauss.
“Oke, oke,” jawab Harry. “Tenang-tenang saja!” Orang itu berlutut
Dikumpulkannya kotak kota yang berserakan lalu dimasukkannya kembali ke
dalam peti yang pecah. Kemudian diangkatnya peti itu, ditaruhnya lagi di atas
gerobak sorong.
Dari tempatnya mengintip di atas atap truk yang diparkir, Bob bisa melihat bahwa
salah satu kotak kecil itu pecah. Sebagian isinya terjatuh ke tanah. Bob menunggu sambil menahan napas. Baik Strauss maupun Harry tidak melihat benda-benda
yang tercecer itu. Mereka terus saja memuat peti-peti ke bak belakang truk yang
putih bersih, lalu kembali ke dalam bangunan untuk mengambil peti-peti selanjutnya.
Mereka sibuk dengan pekerjaan itu selama hampir setengah jam. Mereka memuat
peti-peti dengan berbagai ukuran dan bentuk ke dalam truk. Peti-peti itu ada yang dari kayu, dan ada pula yang dari kardus bergelombang. Di antaranya ada yang
begitu berat, sehingga perlu dijunjung oleh mereka berdua. Akhirnya mereka
menutup pintu bak belakang truk, lalu menguncinya dengan gembok.
“Tidak ada salahnya jika tadi ada yang membantu kita,” kata Harry. Ia menepuk-
nepuk keningnya dengan sapu tangan.
“Tidak perlu ada orang lain ikut tahu,” kata Strauss.
Kedua orang itu masuk lagi ke dalam bangunan besar itu. Bob tetap rebah di atas
truk. Ia menunggu. Lima menit sudah benlalu. Kemudian sepuluh. Tapi Straus dan
Harry tidak muncul lagi. Menurut perkiraan Bob, mereka pasti takkan kembali ke
tnuk yang sudah dimuat itu.
Bob meluncur turun ke atap kabin. Dan situ ke kap mesin, lalu ke tanah. Dengan
cepat Ia berlari menghampiri benda-benda yang tercecer dan kotak yang pecah dan
kini berserakan di tanah. Dipungutnya salah satu benda itu, yang ternyata berat.
Bob merinding ketakutan ketika sadar benda apa yang dipegangnya itu. Sebutir
peluru!
Ketakutannya semakin bertambah ketika ia kemudian mendongak. Ia hendak
meneguk ludah, tapi lehernya serasa tersumbat. Bob merasa sekujur tubuhnya
seperti lumpuh, sama sekali tidak mampu bergerak.
Seekor anjing memandangnya. Seekor Doberman! Anjing penjaga itu berdiri
dengan sikap siaga, tidak sampai tiga meter dari tempat Bob berada. Matanya yang
hitam legam menatap Bob. Telinganya yang runcing ditegakkan. Anjing itu sedikit
pun tidak bersuara. Ia hanya menatap dengan tajam.
“He,” kata Bob berbisik Tapi yang terdengar hanya desahan. “He, sini, Anjing
baik!”
Bob berdiri lambat-lambat, lalu mundur selangkah menjauhi anjing itu.
Doberman itu langsung memperlihatkan taringnya. Kini baru terdengar suaranya.
Menggeram, penuh ancaman.
“He!” kata Bob lagi.
Geraman yang terdengar bertambah keras. Anjing itu bergerak maju, lalu berhenti.
Bob tidak berani lagi mundur. Ia kini benar-benar tahu bahwa anjing itu sudah
dilatih khusus untuk menjaga. Bob tidak bisa berkutik lagi!





Bab 16
JUPE TERJEBAK
BAU keju, bumbu, dan saus tomat menghambur, memenuhi ruangan dalam rumah
keluarga Denicola. Tapi sekali ini Jupe sama sekali tidak menyadari bau hidangan
makanan yang sedap itu. Ia duduk berhadapan dengan Mrs. Denicola di ruang
duduk, mendengarkan wanita tua itu menceritakan mimpinya.
“Dalam mimpiku aku melihat temanmu dalam sebuah ruangan." katanya.
"Terdengar bunyi yang sangat keras, dan dinding pun merekah lalu ambruk. Aku belum pernah melihat—baik ruangan maupun anak itu. Tapi tadi pagi, ketika aku
melihatnya sedang mengecat dinding anjungan kapal menggantikan Ernesto,
dengan segera aku tahu bahwa ialah anak yang muncul dalam mimpiku itu, dan
bahwa ia harus pergi meninggalkan tempat ini. Ada bahaya baginya di sini. Itu
jelas sekali kurasakan. Dan bahaya itu bukan mengancam ìa sendiri saja, tapi juga aku. Karenanya aku menyuruhnya pergi. dan rupanya ia mau mendengar.
Buktinya, ia tidak ada lagi di sini.”
Kening Jupiter berkerut.
“Mimpi Anda selalu benar-benar terjadi, Mrs. Denicola?” tanyanya.
“Tidak. Mimpiku, pada umumnya seperti mimpi yang dialami orang lain juga, sama sekali tidak ada artinya. Tapi beberapa di antaranya lain. Kadang-kadang aku mimpi berjumpa orang yang sama sekali tak kukenal. Kemudian aku benar-benar
ketemu dengan orang itu. Sehingga aku lantas tahu bahwa mimpiku itu lain. Tapi
tentu saja tidak semuanya kuketahui. Dalam mimpi, aku cuma sekilas saja melihat
sesuatu. Seperti kilatan sinar.”
“Mimpi Anda, apakah selalu tentang bahaya?” tanya Jupe lagi.
“Tidak!” Tiba-tiba wanita tua itu tersenyum. “Misalnya saja aku mimpi tentang
seorang wanita muda berambut merah, sebelum anakku Alfredo berkenalan dengan
Eileen. Nah, itu   mimpi pertanda baik..."
Jupe merasa bahwa Mrs. Denicola kini pasti akan bercerita panjang lebar tentang
keluarganya. Karena itu ia buru-buru mengalihkan pokok pembicaraan. “Orang
yang bernama Ernesto itu—ia keluarga Anda?”
“Dia? Bukan!” Pada air muka wanita tua itu terbayang sikap merendahkan. "Dia itu orang yang oleh kami di sini dinamakan gelandangan. Tapi bisa saja hatinya
baik Kedua pemuda yang tinggal bersama dia di rumah kecil di pantai itu, mereka
berasal dari Amerika Selatan. Selalu ada saja satu atau dua orang dari sana yang
tinggal bersama Ernesto. Mereka menumpang sampai sudah mendapat kerja.
Mereka belajar bahasa Inggris sedikit-sedikit. Kemudian mereka pergi lagi. Kalau
tidak salah ayah Ernesto orang Amerika Selatan. Ia dulu pernah sangat
memerlukan pertolongan, jadi Ernesto kini menolong orang untuk menghormati
ayahnya. Itulah — setiap orang selalu ada nilainya masing-masing. Tidak ada yang
sama sekali tidak berguna."
Kini Mrs. Denicola mengerutkan keningnya.
“Dan kau?" katanya pada Jupe. “Kau kemari sebenarnya bukan untuk mencari
dompet yang hilang, kan? Dan temanmu pura-pura sedang iseng saja kemari —
kurasa ia sedang memata-matai, ya? Siapakah yang dimata-matal olehnya?
Ernesto? Ada sesuatu yang terjadi di sini, yang tidak diketahui oleh aku dan
Eileen.”
“Saya rasa memang ada sesuatu yang sedang terjadi,” kata Jupiter. “Tapi apa
tepatnya, saya tidak tahu. Mrs. Denicola, Anda kan pernah memimpikan seorang
tunanetra yang menemukan dompet. Sejak mimpi itu, pernahkah Anda berjumpa
dengan orang itu? Maksud saya, bukan dalam mimpi?
“Tidak, tidak pernah.”
“Tapi saya dan teman saya Bob, kami melihat dia,” kata Jupe. Dikeluarkannya
selembar kartu nama Trio Detektif dan dompetnya. Ditulisnya sederetan angka
pada kartu itu, lalu disodorkannya pada wanita tua itu. “Jika Anda kapan-kapan
melihat orang itu, harap Anda hubungi nomor ini,” katartya. “Jika saya sendiri
kebetulan tidak di sana, ada orang lain yang akan menerima pesan Anda. Dan jika
terjadi sesuatu yang tidak biasa— umpamanya saja, sesuatu yang dilakukan atau
dikatakan oleh Ernie— harap Anda beritahu kami. Saya cemas memikirkan kawan
saya."
“Baiklah,” kata Mrs. Denicola. “kau bijaksana, mengkhawatirkan keselamatan
kawanmu itu.”
“Bolehkah saya meminjam telepon Anda sebentar?" kata Jupe lagi. “Barangkali
saja ada kabar dari Bob.”
Mrs. Denicola menggerakkan tangannya ke arah serambi depan. Jupiter pergi ke
sana untuk menelepon. Diputarnya nomor kantor Trio Detektif. Dengan segera
terdengar- bunyi gagang diangkat, disusul suara Pete.
“Bob tadi menelepon lagi,” kata Pete. “Segera setelah kau pergi. Ia ada di Oxnard.
Katanya muncul orang baru dalam teka-teki yang kita hadapi — seseorang
bernama Strauss. Bob mengatakan hendak menyelidiki apa yang akan ditakukan
orang itu, dan nanti dia akan menelepon lagi.”
“Syukurlah, kalau begitu!” kata Jupe. “Aku sudah khawatir saja jangan-jangan ada
sesuatu yang terjadi dengari dirinya, karena aku menemukan sepedanya di sini."
“Tidak, ia tidak apa-apa. Di mana kau sekarang?"
“Di rumah Mrs. Denicola. Nanti aku menelepon lagi.”
Jupiter mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Sementara itu Mrs. Denicola
sudah berdiri di sampingnya.
“Temanmu tidak apa-apa?’ kata wanita tua itu. Jupiter tersenyum. “Tidak, tadi ia
menelepon dari Oxnard. Ia... ia ada urusan di sana."
“Syukurlah,” kata Mrs. Denicola. “Sekarang aku bisa dengan tenang menyelesaikan persiapan hidangan untuk tamuku, yang sebentar lagi datang. Dan
kau, tentunya akan melanjutkan urusanmu. Tapi hati-hati, ya?”
Jupiter berjanji. Setelah itu ia keluar, dan langsung menuju rumah tempat tinggal Ernie bersama kedua kawannya yang dari Amerika Selatan.
Jupiter menemukan tempat yang cocok untuk duduk-duduk di seberang jalan. Ia
duduk di situ, dengan kamera siap di tangan. Tapi lebih dari satu jam kemudian
barulah muncul sebuah truk tua berdebu. Truk itu berhenti, dan salah seorang
teman Ernie turun.
Jupiter mengarahkan kameranya ke pemuda itu, lalu memotretnya sebanyak enam
kali, sampai pemuda itu masuk ke dalam rumah.
Sesudah itu Jupe menunggu lagi. Ia tersenyum, ketika Maria III  muncul. Kapal penangkap ikan itu lewat agak jauh di depannya, lalu merapat ke dermaga. Dua
orang turun dari kapal itu. Ernie dan Eileen. Ernie nanti pasti harus pulang ke
rumahnya yang di seberang jalan. Selama itu, Jupiter menunggu kemunculan
temannya yang satu lagi.
Menit demi menit berlalu. Jupiter memperhatikan burung-burung camar yang
terbang menyambar-nyambar di pantai. Jika ia memandang ke kiri, ía bisa melihat
jalan menuju Dermaga Denicola. Sekali-sekali dilihatnya ada mobil membelok dan
masuk ke situ, dan sekali-sekali ada pula yang keluar dan situ. Jupiter tidak bisa melihat kantor perusahaan itu karena tertutup rumah keluarga Denicola. Tapi Jupe
menduga, Eileen pasti ada di dalam. Dan Ernie mungkin juga ada di situ,
membantunya.
Kini Jupe memperhatikan pantai di sebelah kanannya. Ada beberapa orang sedang
memancing di tepi air di sana, dan seseorang yang berjalan menyusur pantai
dengan membawa alat penginderia logam. Orang-orang dengan papan selancar
nampak agak jauh ke tengah, menunggu ombak datang. Awan menggumpal di
langit yang jauh, dan angin yang bertiup mulai terasa dingin. Hari itu dimulai
dengan cuaca cerah, tapi kelihatannya akan berakhir dengan hujan.
Teman Ernie yang tadi masuk ke dalam rumah muncul lagi dan berjalan menuju
dermaga.
Jupiter memandang arlojinya sekilas. Sudah hampir pukul tiga. Bob tadi
mengatakan pada Pete bahwa pagi itu kedua teman Ernie ada di situ. Mana orang
yang satu lagi sekarang?
Jupe memandang ke arah rumah keluarga Denicola. Tadi ia melihat sebuah mobil station wagon diparkir di garasi terbuka di samping rumah itu. Kini dengan tiba-tiba disadarinya bahwa mobil itu tidak ada lagi. Ke manakah kendaraan itu
dipindahkan? Ia tidak melihat ada yang membawanya pergi. Rupanya ia terlena
tadi, dibuai angin, suara burung-burung camar, dan ombak yang memecah di
pantai.
Jupiter berdiri lalu melangkah sepanjang pinggiran jalan raya. Ketika sudah sampai di seberang jalan masuk ke Dermaga Denicola, dilihatnya bahwa Eileen tidak ada
di dalam kantor. Ernie yang ada di situ, duduk di kursi Mrs. Denicola, dengan kaki terangkat ke atas meja. Duduknya menyandar dengan santai, sambil merokok dan
tertawa-tawa. Temannya duduk bersila di atas meja. Kelihatannya ia sedang
menceritakan sesuatu kepada Ernie. Air mukanya nampak bersemangat. Ia
berbicara terus, dengan tangan digerak-gerakkan.
Di manakah Eileen Denicola? Di rumah, bersama mertuanya? Apa yang akan
dikatakannya jika ia kebetulan memandang keluar dan melihat Ernie serta
temannya begitu santai duduk-duduk di kantor? Jupe merasa bahwa Eileen pasti
akan sangat marah.
Tapi kemudian Jupiter menyadari bahwa rumah keluarga Denicola kelihatan
sedang kosong. Jendela-jendela ditutup, begitu pula tirai-tirainya. Sementara Jupe masih bertanya-tanya dalam hati, dilihatnya sebuah mobil membelok masuk ke
jalan yang menuju dermaga lalu berhenti di dekat rumah keluarga Denicola.
Seorang wanita berambut putih turun, membawa bingkisan kecil yang terbungkus
kertas berwarna merah jambu. Pasti itu tamu yang ditunggu makan oleh Mrs.
Denicola yang tim, kata Jupe dalam hati. Diperhatikannya wanita itu menekan bel
di samping pintu rumah. Tapi tidak ada yang datang membukakan. Setelah
menunggu sebentar, wanita itu membunyikan bel lagi. Tetap saja tidak ada yang
datang. Lantas wanita itu pergi ke kantor perusahaan.
Ernie sejak tadi memperhatikan wanita itu. Dan melihat tamu itu datang ke arah
kantor, Ernie berdiri dengan gerakan lambat. Temannya tetap saja duduk bersila di atas meja.
Ernie berbicara sebentar dengan wanita itu, yang kemudian menuliskan sesuatu
pada secarik kertas, melipatnya, lalu menyerahkannya kepada Ernie. Ketika
kembali ke mobilnya, nampak oleh Jupiter bahwa ia marah.
Ernie duduk lagi ketika wanita itu sudah pergi. Dinaikkannya kembali kakinya ke atas meja, sedang kertas yang tadi diserahkan tamu wanita itu dicampakkannya ke
keranjang sampah.
Temannya tertawa.
Kini Jupiter benar-benar cemas. Ia berbalik lalu melangkah lagi menyusur tepi
jalan raya sampai ia tidak kelihatan lagi dari kantor, karena tertutup rumah
keluarga Denicola. Lalu ia menyeberang jalan mendatangi rumah itu.
Di sebelah belakang ditemukannya sebuah jendela yang tidak dikunci, di samping
pintu dapur. Ia membukanya, lalu meraih ke dalam untuk memutar anak kunci
yang terselip di lubangnya di sebelah dalam daun pintu. Setelah terbuka, ia pun
masuk. Pintu ditutupnya lagi, tapi tidak dikunci. Siapa tahu, mungkin nanti ia harus cepat-cepat keluar.
Hawa di dapur panas, dan tercium bau makanan. Tapi saus tomat dan daging cacah
nampak sudah mengeras dalam panci yang terletak di atas oven. Daging panggang
di dalam oven kelihatan mulai mendingin, sementara sayuran untuk hidangan
selada terbengkalai di dalam tempat pencampur. Kelihatannya Mrs. Denicola
terburu-buru ketika pergi.
Jupiter menyelinap ke kamar makan, di mana nampak perlengkapan makan diatur
untuk tiga orang. Ruang itu gelap karena tirai-tirai ditutup semua. Begitu pula
keadaan di ruang duduk di mana Jupe kurang lebih sejam sebelumnya berada
bersama Mrs. Denicola yang tua. Di ruang duduk tercium bau tidak enak. Bau itu
nyaris mengalahkan- bau hidangan makanan yang datang dari dapur. Jupiter
melihat sebatang rokok yang sudah padam di perapian. Rokok itu dipadamkan
dengan jalan menginjaknya.
Jupiter pergi ke kaki tangga lalu memanggil-manggil dengan suara lirih, meski
sebenarnya ia tidak memperkirakan akan mendengar jawaban.
“Mrs. Denicola?! Anda ada di atas?! Ini saya, Jupiter Jones!"
Dan memang tidak didengarnya suara menja wab. Sesudah menunggu sebentar,
Jupiter menaiki tangga menuju ke tingkat atas.
Tirai-tirai tidak ditutup di kamar-kamar tidur, sehingga sinar matahari bisa masuk ke dalam dengan leluasa. Salah satu kamar itu penuh dengan perabot besar yang
terbuat dari kayu berwarna coklat tua. Ada pula sebuah meja tulis besar di situ,
penuh dengan foto-foto yang dipajang di atasnya. Di seberang serambi ada kamar
tidur lagi dengan perabotan berwarna putih serta gambar-gambar berwarna cerah tergantung di dinding. Jupe baru saja menjenguk ke dalam kamar itu, kelika
terdengar bunyi telepon berdering.
Jupiter terkejut. Kemudian dilihatnya pesawat telepon yang terletak di atas meja di samping tempat tidur. Ia memandang ke arah kantor yang bisa dilihat lewat
jendela.
Dilihatnya Ernie menatap pesawat telepon yang ada di meja tulis Eileen di situ.
Nampaknya ia bimbang. Kemudian diangkatnya gagang telepon. Seketika itu juga
pesawat yang ada di kamar tidur tidak berdering lagi. Jupiter tersenyum. Rupanya
pesawat itu sambungan dari yang ada di kantor. Dengan cepat tapi hati-hati
diangkatnya gagang itu dan didekatkannya ke telinga. Didengarnya suara Ernie. 
" Si."
Orang yang menelepon berbicara dengan ccepat dalam bahasa Spanyol Jupiter
mendengarkan sambil menahan napas. Dengan susah-payah diusahakannya
sebanyak mungkin menangkap inti percakapan itu.
Orang yang menelepon menyebut namanya sendiri. Ia bernama Alejandro. Katanya
ia akan berangkat sekarang untuk menemui Strauss. Ia juga mengatakan sesuatu
tentang uang. Jupe mendengar nama Denicola disebut— Lalu namanya sendiri!
Alejandro mengingatkan Ernie bahwa Jupiter Jones berbicara dengan si tua
Bonestell mengenai Denicola dan tentang orang yang buta. Alejandro mewanti-
wanti Ernie, agar berhati-hati. Ernie menjawab bahwa ia akan berhati-hati, dan
bahwa ia dan Rafi sudah mengatur segala-galanya. Jupiter menarik kesimpulan
bahwa orang yang bernama Rafi itu pasti teman Ernie yang saat itu ada bersama
dia di dalam kantor. Setelah bercakap-cakap lagi sebentar, percakapan lewat
telepon itu diakhiri.
Jupiter mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, lalu memandang ke luar.
Kini Ernie nampak berdiri di depan kantor, memandang ke kanan dan ke kiri,
meneliti pantai. keningnya berkerut. Ketika temannya ikut keluar, Ernie menunjuk
ke arah rumahnya.
Rail mengangkat bahu, lalu menuju ke sana. Ernie memandang ke arah rumah
keluarga Denicola. Tiba-tiba sikapnya nampak berubah, seperti heran. Setelah itu
ìa beranjak dari tempatnya berdiri, menuju rumah keluarga Denicola.
Jupiter cepat-cepat menjauh dari jendela. Sialan, umpatnya dalam hati. Ernie pasti tadi mendengar bunyi pelan ketika Jupiter mengangkat gagang telepon.
Jupiter mendengar langkah orang naik ke beranda di bawah, lalu bunyi anak kunci yang dimasukkan ke dalam lubangnya. Ernie ada di bawah. Sebentar tagi ia pasti
sudah akan ada di dalam. Jupiter tidak punya waktu lagi untuk lari ke bawah. Ia
akan tertangkap, lalu...
Lalu apa?
Di samping kamar tidur ada kamar mandi. Jupiter mendengar bunyi air menetes-
netes di dalamnya.
Terdengar bunyi berderik di bawah. Pintu depan sudah dibuka.
Dengan tiga langkah saja Jupiter sudah berada di kamar mandi. Diputarnya keran,
menyebabkan air mengucur dari pancuran. Setelah itu ia kembali ke kamar tidur.
Disembunyikannya kamera di bawah ranjang, lalu ia sendiri berdiri di belakang
pintu.
Terdengar langkah Ernie bergegas naik tangga ke atas dan lari ke ambang pintu
kamar tidur. Ia berdiri sesaat di situ, memandang ke kamar mandi. Nampak uap
mengepul keluar dari situ.
Ernie bergegas melintasi kamar dan masuk ke kamar mandi. Disentakkannya tirai
plastik yang menutupi tempat pancuran ke samping. Sementara itu Jupiter
menyelinap keluar dari balik pintu, lari ke serambi dan cepat-cepat menuruni
tangga. Didengarnya suara Ernie berteriak ketika ia mem buka pintu belakang.
Tapi Jupiter tidak berhenti. Ia lari meninggalkan rumah itu.
Tapi sekarang ke mana? Ia berada di tempat yang terbuka, dan setiap saat ia akan
bisa terlihat oleh Ernie!






Bab 17
PETUNJUK YANG MENENTUKAN
JUPITER lari melintasi pekarangan rumah ketuarga Denicola, menuju jalan raya.
Ia tidak mampu lama-lama berlari secepat itu, karena tubuhnya terlalu berat. Ia
perlu menemukan tempat di mana ia bisa menyemburiyikan diri. Tapi di mana?
Jupiter melihat sebuah karavan yang diparkir di pinggir jalan, dekat tempat ia
berada saat itu. Pintu belakang kendaraan itu terbuka. Pemiliknya ada di situ. Tapi ia sedang memandang ke atas bukit di seberang jalan, sambil membersihkan
tangan dengan tisu.
Jupiter tidak menunggu lama-lama lagi. Dengan cepat ia menyelinap masuk ke
dalam karavan itu, lalu meringkuk di samping beberapa ember berisi kerang.
Ditariknya selembar terpal dekil, menutupi tubuhnya. Sesaat kemudian
didengarnya bunyi pintu belakang karavan itu di tutup. Pemiliknya masuk ke
belakang setir lalu menghidupkan mesin.
Karavan itu meninggalkan pinggiran jalan, meluncur sejauh beberapa ratus meter
ke arah selatan, berputar arah lalu melaju ke utara. Jupiter menyingkirkan terpal yang menutupi tubuhnya. Ia duduk, lalu memandang ke luar lewat jendela. Ia
melihat Ernie ketika karavan itu lewat di depan jalan masuk ke Dermaga Denicola.
Pemuda itu berdiri di pinggir jalan, sambil memandang ke kiri dan ke kanan.
Kedua tangannya terkepal, sementara air mukanya kelihatan bingung.
Jupiter tertawa.
Ketika sudah separuh jalan melintasi kota Oxnard, karavan itu untuk pertama kali
sejak berangkat tadi berhenti, karena ada rambu lalu lintas. Jupe yang sudah sejak sebelumnya bersiap-siap, langsung meloncat turun lewat pintu belakang begitu
kendaraan itu sudah tidak bergerak lagi. Dengan segera ia lari ke pinggir jalan.
Ia bergegas-gegas berjalan menuju terminal bis antarkota. Sepuluh menit kemudian
Ia sudah sampai di sana. Dan ketika bis ke Santa Monica berangkat, Jupe sudah
ada di dalamnya.
Jupe merasa bergairah, sementara bis meluncur laju ke arah selatan. Kini sudah
tidak ada keragu-raguan lagi bahwa para pemuda yang ada di Dermaga Denicola
ternyata memata-matai Mr. Bonestell. Mereka tahu tentang percakapan Jupe dengan laki-laki tua itu kemarin, dalam mana disebut-sebut tentang si Buta.
Tapi bagaimana mereka bisa tahu? Kening Jupiter berkerut. Mestinya Mr.
Bonestell berbicara mengenainya dengan seseorang. Mungkinkah orang itu Gracie
Montoya? Jupiter merasa jengkel. Disesalinya Mr. Bonestell, jika memang dia
yang tidak bisa menyimpan rahasia.
Bis meluncur terus, lewat di depan jalan masuk ke Dermaga Denicola. Tidak ada
mobil di pelataran parkir tempat itu. Di kantor yang kecil juga tidak kelihatan
siapa-siapa.
Mana Ernie? Mana teman-temannya? Dan mana Mrs. Denicola yang tua serta
menantunya? Jupe merasa yakin, Ernie pasti berniat melakukan sesuatu yang jahat.
Ada persekongkolan sedang berlangsung di tempat itu. Apakah Eileen Denicola
dan mertuanya merupakan korban persekongkolan itu? Atau mungkinkah mereka
sebenarnya tidak terlibat, tapi karena secara kebetulan menjadi saksi mata lalu
disingkirkan ke salah satu tempat? Atau mereka justru termasuk dalam
persekongkolan?
Tiba-tiba Jupiter merasa cemas. Eileen dan Mrs. Denicola tahu-tahu lenyap!
Apakah giliran berikut jatuh pada Mr. Bonestell?
Jupe yang paling dulu keluar ketika bis berhenti di Santa Monica. Ia membawa
uang, dan di pinggir jalan ada beberapa taksi. Dengan salah satu di antaranya ia
pergi ke Dolphin Court.
Pukul lima kurang sepuluh menit taksi yang ditumpanginya berhenti di depan
rumah Mr. Bonestell. Jupiter turun, lalu membunyikan bel rumah itu. Ia merasa
lega, ketika Mr. Bonestell sendiri yang datang membukakan pintu.
“Padahal aku sama sekali tidak memintamu datang!” seru Laki-laki tua itu. Air
mukanya kelihatan harap-harap cemas. “Kutunggu-tunggu kau menelepon. Ada
perkembangan baru?”
"Saya rasa ada,” jawab Jupiter. Diikutinya Mr. Bonestell ke dapur, lalu duduk menghadap meja di situ.
“Mr. Bonestell,” katanya, “dengan siapa Anda berbicara kemarin, setelah saya
pergi dari sini?”
Mr. Bonestell kelihatan terkejut. “Bicara dengan siapa? Tidak dengan siapa-siapa.
Aku sama sekali tidak meninggalkan rumah.”
“Kalau begitu ada yang menelepon,” kata Jupe lagi, “atau ada yang kemari.”
“Tidak,” kata Mr. Bonestell. “Sama sekali tidak ada yang menelepon atau datang
kemari. Aku... aku tidak punya banyak teman yang benar-benar akrab. kenapa kau
bertanya?"
“Karena ini penting. Coba Anda ingat-ingat, Mr. Bonestell. Kemarin siang kita
berbicara tentang Dermaga Denicola, dan tentang seorang pengemis tunanetra.
Anda pasti bicara dengan orang lain mengenai percakapan itu. Kalau tidak, kenapa
ada orang bernama Alejandro bisa tahu mengenainya?”
Mr. Bonestell kelihatan bingung.
“Aku tidak bicara dengan siapa-siapa,” katanya berkeras. “Sama sekali tidak ada
orang di sini — kecuali Shelby, dan aku tidak mengatakan apa-apa kepadanya.
Sungguh! Shelby itu—yah, dia bukan orang yang gampang diajak mengobrol. Ia
selalu bersikap seakan-akan apa yang kukatakan tidak ada yang menarik. Mungkin
memang begitu. Pokoknya, ketika ia pulang kemarin malam, ia langsung ke atas
lalu mengurung diri di kamarnya."
“Anda tidak bicara dengan dia waktu itu? Atau pagi ini?"
‘Tidak. Cuma bilang selamat malam dan selamat pagi saja. Aku yakin sekali!"
Jupe mendesah. Ia menatap tempat gula dengan pandangan kosong, sambil
menarik-narik bibir bawahnya. Kemudian terbayang dalam ingatannya wajah
Shelby Tuckerman—Shelby dengan kaca mata hitamnya yang lebar dan
kemejanya yang berkerah bulat membungkus leher. “Berdasarkan sistem hukum
kalian,” kata Shelby waktu itu, “di sini berlaku prinsip praduga tak bersalah’
“Aneh, kenapa itu lewat begitu saja dan pengamatanku ” kata Jupiter pada dirinya
sendiri.
“Apa?” kata Mr. Donestell.
“Shelby itu bersikap tidak peduli terhadap para tetangga Anda, ya?"
“Ya, kurasa begitu,” kata Mr. Bonestell. “Ia menganggap mereka itu begitu biasa.”
“Apakah ia sendiri istimewa?" kata Jupe.
Mr. Bonestell hanya mengangkat bahu, sementara Jupe terus saja menatap tempat
gula.
“Sejak kapan Shelby minum kopinya dengan gula?" kata Jupe dengan tiba-tiba.
“Tidak selalu, kan? Malam pertama kami kemari, ia membuat kopi untuk dia
sendiri, dan ia meminumnya tanpa gula."
“Eh... ya, kurasá memang begitulah kebiasaannya,” kata Mr. BonestelL “Baru satu
atau dua hari yang lalu ia mulai meminumnya dengan gula. Katanya, dengan
begitu badannya terasa bertambah segar."
Dengan mata berkilat-kilat, Jupe meraih tempat gula yang ada di depannya, lalu
merogoh ke dalam. Dengan cepat dikeluarkannya sebuah kotak plastik berukuran
kecil dan datar. Salah satu sisinya berlubang-lubang.
Mr. Bonestell menatap benda itu.
“Ape itu?" katanya dengan nada bertanya.
“Alat penyadap percakapan. Mr. Bonestell,” kata Jupe. “Anda sama sekali tidak
usah bicara secara langsung dengan Shelby. Begitu tempat gula ini sudah ditaruh di atas meja, dengan mudah ia bisa mengikuti segala sesuatu yang dikatakan di
tempat ini.”
Jupe mendatangi pesawat telepon yang ada di situ.
“Shelby bekerja di perusahaan Systems TX-4,” katanya. “Anda ingat nomor
perusahaan itu?”
Mr. Bonestell menyebutkannya, dan Jupiter memutar nomor itu. Ketika ia
mendapat sambungan ke sana, waktu sudah pukul lima kurang semenit. Ia minta
disambungkan dengan Shelby Tuckerman. Tapi ia mendapat jawaban bahwa tidak
ada orang bernama begitu di perusahaan Systems TX-4.
“Tapi Mr. Tuckerman selama ini bekerja di situ,” kata Jupe. “Sejak kapan ia
berhenti?”
“Saya tidak berhak memberi keterangan mengenainya,” kata operator yang bertugas. “Coba saja menelepon lagi hari Senin pagi, mungkin bagian personalia
bisa membantu.
“Ia tidak bekerja di sana." kata Mr. Bonestell, ketika Jupe sudah mengakhiri pembicaraan. “Aku tidak mengerti. Itu tidak mungkin, karena beberapa hari yang
lalu ia masih bertugas ke Fresno untuk perusahaan itu.”
“Itu saya ragukan,” kata Jupe. Ia pergi ke lemari es, lalu membuka kotak tempat
penyimpanan bahan pangan beku. Barang-barang yang dimasukkan oleh Shelby
beberapa hari yang lalu sudah tidak ada lagi di situ. Yang tinggal hanya sebuah
kotak es krim, di sudut belakang.
Jupiter menutup kotak itu lagi. “Di situ rupanya ia menaruhnya selama ini,”
katanya.
“Apa?’ tanya Mr. Bonestell.
“Saya tidak tahu pasti,” kata Jupe. “Dan mungkin kita sudah terlambat. Mr.
Bonestell, Anda kan pernah bercerita bahwa Shelby Tuckerman selalu mengunci
pintu kamarnya?"
“Betul. Ia itu sangat tertutup sifatnya.”
“Itu sudah jelas,” kate Jupiter. “Mr. Bonestell, saya harus masuk ke kamarnya—
sekarang ini juga!”








Bab 18
PARA TAWANAN
JUPE dan Mr. Bonestell mengambil tangga yang dapat diulur dari garasi lalu
menyandarkannya ke dinding rumah di bawah jendela kamar Shelby Tuckerman.
Jendela itu tidak dikunci, sehingga Jupe bisa masuk lewat situ.
Ia melihat sebuah alat perekam suara di atas bupet. Diputarnya kembali pita
rekaman yang terpasang, lalu dijalankan. Ia mendengar percakapan yang baru saja
terjadi di dapur antara dia dan Mr. Bonestell. Didengarnya bagaimana ia memutar
nomor telepon lalu bicara dengan operator di penusahaan Systems TX-4.
Terdengar bunyi pintu lemari es dibuka lalu ditutup lagi, dan didengarnya
ucapannya yang mengatakan bahwa mungkin mereka sudah terlambat.
Jupiter tersenyum masam, lalu menghapus rekaman dari pita itu. Setelah itu
ditekannya lagi tombol perekam. Setelah itu diperiksanya secara sepintas lalu
kamar Shelby.
Ruangan itu kelihatan seperti tidak dihuni. Di meja tidak ada surat-surat atau kartu pos. Tidak ada buku di atas meja yang terdapat di sisi tempat tidur. Juga tidak ada gambar dan tanaman. Bahkan peniti yang tercecer pun tidak ditemukan.
Jupe memeriksa lemari pakaian. Di situ ada beberapa jas, kemeja, dan celana
panjang. Diperiksanya kantung-kantungnya. Semuanya kosong. Ditariknya laci-
laci bupet. Di dalamnya ada pakaian dalam, kaus kaki, dan kemeja berkerah tinggi
membungkus leher.
Ditariknya laci yang paling bawah. Di situ ditemukannya sebilah pisau, ditutupi
beberapa lembar baju hangat yang dilipat rapi.
Pisau itu sangat tajam, terselip dalam sarungnya yang terbuat dari kulit halus.
Bentuknya bukan seperti yang biasa dipakai untuk meruncingkan pensil atau
memotong tali pancing. Pisau itu senjata yang cara penggunaannya dengan jalan
melempar.
Jupiter membiarkan pisau itu di tempatnya. la keluar lagi lewat jendela. Sambil
mengembalikan tangga ke garasi, diceritakannya pada Mr. Bonestell apa yang
ditemukannya dalam kamar Shelby.
“Saya ingin tahu apakah pisau itu dibawanya seperti caranya membawa pistol, yaitu sarungnya diikatkan ke betis,” kata Jupiter.
Mr. Sonestell kelihatan seperti terpana. Ia menggeleng-geleng. "Katanya, pistol itu diperlukannya karena ia sering bepergian ke luar kota, dan siapa tahu apa yang bisa terjadi jika mobilnya mogok di jalan yang sepi. Tapi pisau? Untuk apa pisau
baginya? Ia tidak pernah berkemah, atau melakukan rekreasi lain-lainnya yang
seperti itu. Bahkan bisa dibilang kerjanya tidak lain daripada nonton TV. Dan
tidur."
Jupe mengangguk.
“Ia bukan orang yang bisa dibilang aktif dalam kehidupan sehari-hari. Tapi di
pihak lain, gerak-geriknya misterius. Ia menyadap dapur Anda, untuk mengikuti
percakapan yang berlangsung di situ. Dan ia menyimpan sesuatu yang sangat
berharga dalam lemari es Anda."
"Apa? Hanya bahan makanan bekunya saja yang selama ini disimpannya di situ.”
“Saya rasa bungkusan-bungkusan itu bukan berisi makanan, tapi uang! Mungkin
saja itu basil perampokan bank.”
“Bukan,” kata Mr. Bonestell. “Shelby sudah sejak lama biasa banyak menyimpan
bahan makanan beku. Itu tidak berarti bahwa Ia sering makan di rumah. Rupanya
ia merasa tenang jika ada persediaan makanan. Ia tahu aku jarang menaruh apa-apa
dalam lemari es. Karena itu selalu diisinya dengan bahan makanannya."
“Hm!’ kata Jupe. Keningnya berkerut, sementara tangannya menarik-narik bibir
bawahnya. “Jika ia tidak makan di rumah, lalu apa yang terjadi dengan bahan
makanan dalam lemari es itu? Pernahkah ia pergi dengan membawa apa-apa?"
“Wah, kalau kupikir-pikir, aku... terus terang saja, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan segala makanan yang begitu banyak itu. Sekali sekali ia masak di sini. Dan memang banyak sekali yang dimasukkannya ke dalam lemari es, tapi... tapi tidak
mungkin itu uang hasil perampokan—kecuali jika Shelby sudah sejak lama sering
merampok. Lagi pula, menurutku Shelby bukan jenis orang yang berbuat begitu.”
“Aha!" kata Jupe. “Kalau begitu mungkin saja narkotika! Itu bisa menjelaskan hubungannya dengan Dermaga Denicola. Mungkin saja Maria III dipakai untuk mendatangi kapal lain di tengah laut. Atau mungkin untuk pergi menjemput
narkotika di kawasan Baja California."
“Atau mungkin juga Shelby dan Ernie menyelundupkan pendatang gelap, dan orang buta itu—"
Jupiter tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Tidak,” katanya lagi. "itu tidak ada sangkut pautnya dengan lemari es, kecuali jika... yah, kita tidak bisa mengatakannya secara pasti, karena belum cukup banyak yang bisa dijadikan pegangan. Belum!”
“Apakah kita akan menghubungi polisi?” kata Mr. Bonestell.
“Saya rasa belum waktunya. Karena bagaimana kita bisa membuktikan bahwa
Shelby tidak membagi-bagikan makanannya pada kaum miskin? Atau bahwa alat
penyadap percakapan itu ditaruhnya dalam tempat gula karena iseng saja?
Terlibatkah Shelby dalam kasus perampokan itu, atau ia berurusan dengan
persoalan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu? Dan bagaimana
dengan Mrs. Denicola serta menantunya? Di mana mereka? Keras sekali dugaan
saya bahwa Shelby tahu tentang itu.”
Untuk pertama kalinya Mr. Bonestell kelihatan marah. Dan juga bertekad. “Aku
ingin membantu." katanya. "Apa yang bisa kulakukan?”
“Banyak,” kata Jupe, lalu diceritakannya rencananya.
Mr. Bonestell mengangguk-angguk dengan bersemangat. Setelah itu mereka
berdua mendatangi rumah sebelah untuk meminjam telepon. Pada wanita yang
membukakan pintu, Mr. Bonestell mengatakan bahwa teleponnya rusak.
Jupiter menelepon Pete yang masih terus menunggu di kantor Trio Detektif, untuk
memintanya agar datang ke sudut jalan antara Dolphin Court dan Second Street.
“Dalam dua puluh menit aku sudah akan ada di sana,” kata Pete.
“Jika kami tidak ada di situ,” kata Jupe, “kau kembali ke kantor. Nanti kutelepon, kalau bisa.”
Sesudah itu Jupe dan Mr. Bonestell kembali ke pekarangan belakang rumah Mr.
Bonestell untuk berlatih sebentar. Kemudian mereka masuk ke dapur dan
memainkan adegan untuk alat penyadap percakapan yang sebelumnya sudah
dimasukkan lagi oleh Jupe ke dalam tempat gula.
“Mr. Bonestell,” kata Jupe dengan suara yang jelas, “Saya tahu Anda tentunya mulai merasa tidak sabar. Tapi mungkin sebentar lagi akan ada perkembangan
baru, yaitu dari Eileen Denicola. Tadi Pete mendatangi Chief Reynolds di Rocky
Beach, karena ada urusan sedikit; Nah, ketika ia sedang ada di situ, Eileen
Denicola menelepon. Pete tentu saja hanya bisa mendengar kata-kata yang
diucapkan oleh Chief Reynolds, tapi dari situ pun ia bisa menarik kesimpulan
bahwa menantu Mrs. Denicola itu bingung sekali, karena Chief Reynolds sampai
repot berusaha menenangkannya. Akhirnya Chief Reynolds mengatakan bahwa ia
akan segera ke sana. Setelah itu ia buru-buru keluar."
“Tapi aku sama sekali tidak kenal wanita itu,” kata Mr. Bonestell, juga dengan
suara jelas. “Apa hubungan dia dengan kasus perampokan bank itu?"
“Hubungan itu pasti ada,” kata Jupe. “Pete meminta kita datang ke kantor poiisi
Rocky Beach, karena menurut perkiraannya, Chief Reynolds akan membawa
Eileen Denicola ke sana."
“Sebentar, kuambil dulu jasku,” kata Mr. Bonestell.
Jupiter memadamkan lampu, lalu bersama Mr. Bonestell ia pergi ke luar, menuju
mobil kecil milik laki-laki tua itu. Mr. Bonestell memundurkan kendaraan itu
sampai ke jalan lalu menjalankannya sampai ke sudut tikungan, di mana ia
memarkirnya di bawah bayangan sebatang pohon besar yang daun-daunnya
menaungi trotoar. Mereka menunggu di situ.
Tidak lama kemudian Pete muncul, naik sepeda. Mr. Bonestell memberi isyarat
dengan lampu-lampu depannya untuk memberi tahu di mana mereka berada. Pete
menyurukkan sepedanya ke dalam semak yang ada di dekat situ, lalu ia masuk ke
mobil dan duduk di jok belakang.
“Ada apa?" tanyanya bersemangat.
“Shelby menyadap percakapan di dapur Mr. Bonestell dengan alat yang
dimasukkan ke dalam tempat gula,” kata Jupe. “Di kamarnya ada alat perekam
yang langsung menyala jika ada suara orang masuk. Nah, teringat pada siapa kau
sekarang?”
“Si Buta!” kata Pete bergairah. “Ia mencoba memasang alat penyadap seperti itu di Pangkalan. Jadi menurutmu Shelby itu...”
“Mungkin,’ kata Jupe. “Kita lihat saja nanti.”
Lalu diceritakannya adegan percakapan yang baru saja dilakukannya bersama Mr.
Boriestell.
“Aku prihatin memikirkan keselamatan Mrs. Denicola serta menantunya, karena
mereka tahu-tahu lenyap,” kata Jupe. “Mudah-mudahan saja sesudah Shelby
mendengar rekaman percakapan kami tadi ia akan pergi ke tempat mereka berada
sekarang ini, dan kita akan membuntutinya.”
Sementara itu di luar sudah sangat gelap. Hujan mulai turun, setelah langit semakin mendung sejak siangnya. Tidak banyak kendaraan yang lewat di Second Street,
dan di Dolphin Court bahkan sama sekali tidak ada.
Tapi ketika waktu sudah pukul enam lewat beberapa belas menit, mobil Shelby
muncul di tikungan. Mr. Bonestell dan kedua remaja yang ada dalam mobilnya
memperhatikan Shelby membelokkan kendaraannya memasuki pekarangan rumah
Mr. Bonestell. Kemudian Shelby turun, sesudah memarkir mobilnya. Beberapa
saat setelah itu lampu-lampu di bagian belakang rumah menyala, lalu yang terdapat di ruang-ruang depan.
“Ia mencari aku," kata Mr. Bonestell. “Saat seperti ini aku selalu ada di rumah, kecuali jika ada tugas."
Tidak lama kemudian nampak lampu menyala di tingkat atas, di dalam kamar
tempat tinggal Shelby.
“Sebentar lagi,” kata Mr. Bonestell. Ia mengatakannya dengan nada gembira. Baru
saat itu Jupiter sadar bahwa laki-laki tua itu benar-benar tidak suka pada Shelby Tuckerman.
Lampu-lampu di rumah itu tetap menyala. Tapi tahu-tahu pintu depan terbuka
dengan cepat, disusul munculnya Shelby. Ia lari melintasi halaman berumput
menuju ke mobilnya. Terdengar bunyi mesin dihidupkan, dan dengan segera
kendaraan itu melesat ke jalan. Sesaat kemudian Shelby sudah lewat di dekat mobil Mr. Bonestell yang diparkir di tempat gelap, lalu membelok memasuki Second
Street.
Sementara itu Mr. Bonestell sudah menghidupkan mesin mobilnya. Dengan segera
diikutinya kendaraan Shelby yang meluncur menuju jalan raya pesisir.
"Ia hendak ke Dermaga Denicola,” kata Jupe menduga.
Mr. Bonestell memperlambat jalan mobilnya. Dibiarkannya sebuah mobil lain menyusul dan menempati posisi di antara kendaraannya dan mobil Shelby, tapi
tanpa sampai mobil itu terlalu jauh di depan sehingga tidak kelihatan lagi. Mereka meluncur terus ke arah utara, di tengah hujan lebat. Shelby menjalankan mobilnya
tepat pada batas kecepatan maksimum yang diperbolehkan. Sewaktu melintasi
Malibu ia agak memperlambat sedikit, lalu menambah kecepatan lagi sesudah
melewati kawasan pemukiman itu.
“Ia hendak ke Dermaga Denicola,” kata Jupe. “Jangan-jangan... Mr. Bonestell,
Anda kenal seseorang yang bernama Alejandro?"
“Tidak. Shelby itu nama lengkapnya Shelby A.. Tuckerman, tapi kurasa huruf A di
tengah itu bukan singkatan dan Alejandro. Soalnya, itu nama Spanyol yang berarti
Alexander, kan? Sedang Shelby bukan orang Spanyol."
Mr. Bonestell memperlambat jalan mobilnya. Mereka sudah hampir sampai di
dermaga perusahaan keluarga Denicola. Saat itu lalu lintas di situ tidak ramai.
Mereka bisa melihat mobil Shelby di depan. Lampu-lampu belakangnya tercermin
pada permukaan jalan yang licin karena air hujan. Samar-samar juga nampak
sebuah truk berwarna putih diparkir dekat sekali ke dermaga, dengan posisi
membelakangi. Tapi sebelum Jupe sempat heran melihatnya, tahu-tahu Shelby
mengerem lalu membelok ke kanan, menjauhi laut. Ia masuk ke jalan sempit yang
menuju ke motel yang terletak di atas tebing. Ke Ocean-view Motel!
“Jangan-jangan Eileen Denicola ada di sana!” seru Pete sementara Mr. Bonestell
buru-buru menepikan mobilnya ke pinggir jalan. “Bersama mertuanya."
“Mestinya sudah terpikir olehku kemungkinan itu." kata Jupe. “Tapi baiklah,
sekarang kita sudah tahu. Maukah Anda menunggu di sini sebentar, Mr. Bonestell!
Kalau dalam lima belas menit kami belum kembali tolong teleponkan polisi.”
“Beres!” kata Mr. Bonestell. “Tapi hati-hati, ya!”
Jupe dan Pete turun dan mobil, lalu memandang ke atas tebing. Bangunan motel
yang ada di sana hanya nampak berupa bayangan gelap saja. Tidak ada lampu yang
menyala. Kedua remaja itu lantas mulai mendaki jalan sempit yang berkelok-
kelok. Mereka berjalan merunduk-runduk, tanpa berbicara. Ketika sudah sampai di
atas dan jalan yang sempit melebar menjadi pelataran parkir, Pete menarik lengan
Jupe.
“Itu dia, mobil Shelby,” bisiknya. “Tapi dia sendiri tidak nampak."
“Mungkin di dalam motel,” kata Jupe.
Keduanya menyelinap ke bagian kolam renang yang terletak di sebelah belakang.
Begitu sudah sampai di sana, tiupan angin tidak lagi terasa sekeras tadi. Malam
juga tidak lagi gelap gulita, karena tetesan air hujan yang jatub miring
memantulkan sinar cahaya yang remang-remang.
Jupiter menunjuk ke arah sinar samar-samar yang membentuk segi empat Rupanya
ada lampu dinyalakan dalam sebuah ruangan yang tirai jendelanya ditutup.
Jupe den Pete menyelinap mendekati jendela itu, lalu mendekatkan kepala ke situ
untuk mendengarkan.
Tiba-tiba Jupiter mendengar bunyi di belakangnya, yang bukan bunyi hujan atau
angin. Ada orang di situ.
Jupiter berpaling.
“Jangan bergerak!” bentak Shelby Tuckerman. Ia memegang pistol. Setelah itu ia
berteriak.
Pintu kamar motel yang lampu di dalamnya menyala itu terbuka dengan cepat.
Sinar terang memancar ke luar. Di ambang pintu berdiri satu dari kedua pemuda
yang serumah dengan Ernie. Dialah yang tidak kelihatan di dermaga sejak siang. Ia juga memegang pistol.
“Kalian berdua, masuk!” bentak Shelby.
Jupe dan Pete memasuki sebuah ruangan yang penuh asap rokok. Eileen Denicola
ada di situ. Ia duduk di kursi sempit bersandaran lurus. Kedua pergelangan
tangannya terikat ke sandaran itu. Wajahnya memancarkan kemarahan. Mertuanya
juga duduk dalam keadaan terikat pada sebuah kursi dengan sandaran lengan,
dekat tempat tidur.
Shelby masuk. Pakaiannya basah kuyup. Dengan segera pemuda yang serumah
dengan Ernie menutup pintu kembali.
Suara itu dikenal baik oleh Jupe dan Pete. Di sudut kamar di belakang pintu, duduk Bob Andrews. Juga dalam keadaan terikat.





Bab 19
M1MPI MENJADI KENYATAAN
“PERCAKAPANMU tadi dengan Walter mengenal polisi,” kata Shelby
Tuckerman sambil menatap Jupiter, “itu hanya tipuan saja, kan? Hanya
pancingan!”
"Dan pancingan itu termakan oleh Anda. Anda membawa kami kemari,” kata
Jupiter.
Ia dan Pete sudah duduk pula sekarang. Pemuda yang serumah dengan Ernie—ia
ternyata bernama Luis—menyimpan pistolnya, lalu mengambil dua kursi lagi dan
kamar lain, dan menyuruh kedua remaja itu duduk di situ. Dan sementara Shelby
menjaga dengan pistol teracung, Luis mengikat mereka dengan tali yang dibuat
dari kain seprai yang dirobek-robek memanjang.
“Tapi kalian malah sial, membuntuti aku kemari," kata Shelby. “Mana Walter?
Menunggu kalian di bawah?"
Jupiter tidak menjawab. Shelby tersenyum jahat. “Akan kita buat agar ia tidak usah terlalu lama menunggu," katanya. “Aku tidak ingin membuatnya gelisah."
Luis sudah selesai mengikat Jupe dan Pete. Shelby menyimpan pistolnya, lalu
berbicara dengan cepat dalam bahasa Spanyol pada Luis. ketika ia sedang
berbicara, terdengar ketukan dua kali berturut-turut di pintu, disusul dua ketukan lagi. Pintu terbuka dan Ernie masuk ke dalam kamar. Ia tertegun ketika melihat
Jupe dan Pete ada di situ.
“Kenapa yang dua lagi ini ada di sini juga?’ tanyanya dengan marah pada Shelby.
“Satu saja sudah repot! Tapi sudahlah, itu urusanmu. Aku kemari untuk menjemput
Luis. Kapal sudah hampir selesai dimuat. Rafi yang menyelesaikan sisanya.
Strauss sudah hendak pergi lagi.”
Bob berbicara dengan suara lirih pada Jupe, yang ditempatkan di sampingnya,
“Strauss itu pemilik perusahaan ekspedisi di Oxnard. Aku mengintip sewaktu ia
memuati sebuah truk siang tadi. Salah satu peti yang dimuatnya terjatuh sehingga
pecah. Isinya peluru."
“Dan pasti juga senjata api!” kata Jupiter, dengan suara lirih pula. Ia memandang Shelby Tuckerman. “Kusangka narkotika," katanya lagi. Kusangka Ernie dan
kawan-kawannya mempergunakan Maria III  untuk keperluan penyelundupan
barang-barang terlarang itu.”
“Itu tidak mungkin bisa terjadi!” seru Eileen Denicola, yang rupanya ikut
mendengarkan. "Kau keliru, jika mengira Ernie pernah membawa Maria  barang semeter pun meninggalkan dermaga, tanpa aku!”
Ernie meringis.
“Tapi sekarang kami akan membawanya pergi, Mrs. Denicola," katanya, "dan Anda tidak ikut."
“Kalian akan mengangkut senjata,’ káta Jupiter. "itu rupanya alasan kenapa kalian merampok bank. Kalian perlu uang untuk membeli senjata api! Senjata itu akan
kalian bawa ke Mesa d’Oro, dan di sana akan dipakai untuk membunuh orang-
orang yang tidak bersalah.”
Ernie menegakkan tubuhnya lurus-lurus.
“Senjata-senjata itu akan dipakai dalam perjuangan menegakkan kebenaran,”
katanya bersemangat.
“Menurut laporan-laporan di berbagai media massa,” kata Jupiter, “perjuangan
menegakkan kebenaran itu termasuk pula aksi-aksi penembakan terhadap
penduduk biasa, yang tidak bersenjata.’
“Jika yang kaumaksudkan adalah anggota pertahanan sipil Mesa dOro, mereka itu
mewakili perampok-perampok yang merampas tanah milik kami!” tukas Ernie.
Mukanya merah padam.
“Jangan kaudengarkan dia, Ernesto,” kata Shelby. “Kita tidak perlu peduli apa yang dipikirkan anak itu.”
“Andalah pengemis dengan bekas luka di pipi itu,” kata Jupe pada Shelby.
“Dengan penyamaran itu Anda   bisa mengamat-arnati bank tanpa ketahuan oleh Mr. Bonestell. Anda mengetahui seluk-beluk lemari besi di situ, dan Anda juga
tahu bahwa Mr. Bonestell akan tinggal seorang diri di dalam, sesudah para petugas pembersih rungan pergi. Sayangnya, Anda tidak tahan melihat uang. Sehari
sebelum perampokan terjadi, Anda menemukan dompet Mr. Sebastian di sekitar
Dermaga Denicola. Dompet itu bagus, jadi Anda bukannya mengembalikan pada
pemiliknya atau memasukkannya ke dalam kotak Pos agar kemudian
dikembalikan, Anda malah mengantunginya. Tapi kemudian dompet itu terjatuh
dari kantung Anda di lokasi tempat perampokan, dan kejadian itu akhirnya
membawa kami ke dermaga."
“Aku... aku berniat akan memasukkannya ke kotak surat,” kata Shelby buru-buru.
Luis memandang Ernie, berpindah ke Shelby, lalu memandang Ernie lagi. Ia
mengatakan sesuatu dalam bahasa Spanyol. Ernie menggerakkan tangan,
menyuruh kawannya diam.
“Jadi orang buta itu memungut dompet yang tercecer,” kata Ernie dengan nada
menuduh. Air rnukanya nampak keras. "Hanya karena sebuah dompet saja, kau
membahayakan perjuangan kita? Betulkah itu?"
"Tentu saja tidak!” tukas Shelby. “Sudah kukatakan tadi, aku bermaksud
memasukkannya ke dalam kotak surat. Sudahlah, untuk apa kita masih bertengkar
terus di sini. Si tua itu ada di bawah, di jalan raya, dan — "
“Kenapa tidak kauserahkan saja dompet itu padaku?" seru Ernie. “Aku kan bisa menelepon Mr. Sebastian untuk mengatakan bahwa aku menemukannya. Dengan
begitu, takkan terjadi hal-hal seperti sekarang ini!”
“Itu tidak penting, kataku!” ujar Shelby berkeras. “Sebentar lagi kau sudah akan
pergi meninggalkan negeri ini. Anak-anak ini, itu urusanku!”
“Anda   tidak ikut dengan mereka, Mr. Tuckerman?” kata Jupe. “Kurasa aku tahu apa sebabnya. Anda ingin tetap di sini agar bisa hidup enak dengan sebagian hasil perampokan. Ya, kan? Anda tidak bermaksud menyerahkan uang itu pada kaum
Republik."
Ernie menatap Shelby. Air muka orang yang ditatapnya itu berubah menjadi merah, tapi kemudian berubah lagi menjadi pucat pasi. Nampak jelas bahwa
tuduhan Jupiter tepat mengenai sasaran!
“Apa-apaan ini?’ tukas Ernie. Suaranya mengandung ancaman.
“Uang itu sudah habis, dipakai untuk membayar senjata-senjata itu!” bentak
Shelby. “Itu kan kauketahui sendiri, Ernesto!”
“Aku cuma tahu tentang uang yang dua ratus ribu dolar,” kata Ernie. “Tadi siang
kauserahkan separuhnya pada Strauss. Lalu malam itu aku yang menyerahkan
separuhnya lagi. Tapi bagalmana dengan sisa uang dari bank itu? Kau mengatakan
sudah kaukirimkan ke Rodriguez, tapi dari air mukamu aku bisa tahu bahwa itu
tidak benar! Pokoknya semua pasti beres, katamu. Selalu kau yang mengatur
segala-galanya. Kau yang mengusahakan penyamaran kita, begitu pula mobil
untuk melarikan diri. Lalu uang yang kita rampas. Kami percaya saja padamu. Kau
sudah begitu lama menjadi kurir. Kau yang membawa uang yang kami kumpulkan
untuk Rodriguez, dan kaukatakan uang tidak ada artinya sama sekali bagimu.
Katamu, membawa uang bagimu sama saja seperti membawa potongan-potongan
kertas biasa. Bagimu itu cuma kiriman biasa saja, katamu. Apakah dan uang
kiniman itu juga ada yang tersesat masuk ke kantungmu sendiri, hah?"
“Seenaknya saja kau bicara begitu!” teniak Shelby. “Kau harus
mempertanggungjawabkannya!"
"Tidak! Bukán aku, tapi kau yang harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu,”
kata Ernie. “Kau harus ikut dengan kami malam ini, dan kau harus bicara dengan
kelompok pengikut Rodriguez di Mexico-City. Mungkin pula kau harus ikut
pulang—ke Mesa d’Oro, lalu—”
“Jangan ngawur!” seru Shelby. “Aku tIdak bisa ikut pergi malam ini, karena ada
tugas penting di sini. Tugasku belum selesai!”
“Di rumah Mr. Bonestell paling sedikit ada lima puluh ribu dolar,” kata Jupiter
menyela.
“Kau bohong!” teniak Shelby. Tiba-tiba ia berpaling, menatap Mrs. Denicola yang
tua sambil mengumpat dengan kasar. “Pasti itu juga kaumimpikan! Dan kau
menceritakannya pada anak ini, dan...
“Mrs. Denicola tidak bercerita apa-apa padaku," kata Jupiter. “Tapi aku bisa memberi tahu temanmu Ernesto di mana uang itu berada. Di dalam lemari es Mr.
Bonestell, disembunyikan dalam kotak es krim."
Shelby menghampiri Jupiter dengan cepat, lalu menempelengnya.
Ernie menggeleng-geleng.
“Itu perbuatan yang sangat dungu, Kawan,” katanya. “Sekarang kita tidak perlu
bicara panjang lebar lagi. Kau harus ikut dengan kami.”
Tangan Shelby bergerak ke balik jasnya. Dan tahu-tahu ia sudah menggenggam
pistol.
“Ah—begitu rupanya, ya?” kata Ernie.
Selama itu Luis hanya memandang saja dengan diam-diam. Tidak ada yang
memperhatikan dia. Dan kini ia bergerak dengan begitu cepat. Sebelum Shelby
sempat berbuat apa-apa, Luis sudah ada di belakangnya dan langsung
mencengkeram lehernya. Shelby terpekik, lalu roboh. Pistolnya terlepas dari
tangannya yang lunglai.
Ernie memungut pistol itu, lalu mengarahkannya pada Shelby. Orang itu
mengerang dan mencoba duduk. Luis menyentakkannya sehingga berdiri. Sesaat
kemudian tiga orang itu sudah pergi. Mereka bergegas menuruni lereng. Eileen
Denicola meronta-ronta, berusaha membebaskan diri dan ikatan. Sementara itu
hujan lebat masih turun terus. Bunyinya menderu menimpa atap motel.
“Aku sudah berusaha mengulur waktu selama mungkin,” kata Jupe. “Mudah-
mudahan Mr. Bonestell sempat pergi menghubungi polisi, sehingga meréka bisa
diringkus sebelum berhasil meninggalkan dermaga."
"Kurasa bukan begitu hal yang akan terjadi nanti,” kata Mrs. Denicola yang tua.
“Kurasa akan terjadi sesuatu sebelum polisi sempat kemari —sebelum kita bisa
meninggalkan ruangan ini.”
“Apa?” kata Eileen Denicola. Tiba-tiba napasnya tersentak. Terdengar bunyi lain!
Bukan bunyi hujan. Datangnya dari arah bawah. Seperti suara raksasa yang
menggeram. Tidak jauh dari situ terdengar bunyi kaca jendela pecah.
“Astaga!” kata Eileen Denicola.
“Mimpiku!” kata Mrs. Denicola yang tua dengan suara berbisik. “Bahaya itu!
Kamar bergerak-gerak, sementara aku dan anak itu ada di dalamnya!” Ia
memejamkan mata, lalu berdoa dalam bahasa Italia.
Terdengar bunyi balok-balok kayu berderak-derak, dan lebih banyak lagi kaca
pecah berantakan. Tapi yang terjadi bukan gempa bumi seperti perkiraan Bob.
Sedikit demi sedikit, lereng bukit yang basah kuyup diguyur hujan mulai meluncur
turun!





Bab 20
AKHIR YANG DAHSYAT
SELURUH ruangan itu terhuyung!
Lampu-lampu pecah terbanting di lantai. Kabel-kabel listrik yang meretas
menyebabkan timbulnya percikan api di mana-mana.
Eileen Denicola berdoa, memohon agar jangan sampai terjadi kebakaran.
Sementara itu semakin banyak api memercik. Tiba-tiba seluruh ruangan
diselubungi kegelapan—kegelapan yang penuh dengan bunyi kayu berderak dan
decitan paku-paku yang tercabut.
Sekali lagi seluruh ruangan terhuyung. Mrs. Denicola yang tua terpekik.
"Tolong!" teriak Pete. “Tolong, tolong!"
Tapi tidak ada yang   datang.
"Sebentar lagi seluruh tebing ini akan longsor!” kata Eileen Denicola. Dan baru saja ia berkata begitu ketika bangunan itu meluncur lagi sedikit dengan gerakan
terhuyung-huyung, menyebabkan kursi-kursi berjatuhan dalam gelap.
Pete jatuh terbanting ke tempat tidur, sementara kursi yang diduduki Jupiter
terguling ke samping.
“Mrs. Denicola?” seru Jupe. “Anda tidak apa- apa?"
"Jika aku yang kaumaksudkan, keadaanku biasanya lebih baik,” jawab wanita tua itu. "Di mana kau, Eileen?"
"Di lantai," jawab Eileen.
“Polisi mestinya sudah harus muncul sekarang!” kata Jupe. “Mestinya Mr.
Bonestell sudah berhasil menghubungi mereka. Bagaimana keadaanmu, Bob?
Oke? Kau, Pete?”
“Oke,” kata Bob dengan napas sesak.
“Aku di sini,” kata Pete dari tempat tidur.
Mereka menunggu lagi. Semua memasang telinga. Jupiter mendengar bunyi air
mengalir. Bunyinya lebih dekat daripada bunyi hujan yang menderu di atas atap.
Jupe meringkuk pada posisi miring. Tanganriya terasa sakit, karena terikat ke kursi ia merasa tubuhnya pelan-pelan menjadi basah. Tercium olehnya bau lumpur
bercampur bau bahan kimia. Sesaat ia bingung. Tapi detik berikutnya ia
memejamkan mata karena putus asa.
Kolam renang mulai retak dindingnya? Air dari situlah yang mulai mengalir ke
dalam kamar. Jika kolam itu benar-benar pecah nanti, akan datang air berton-ton
membanjiri mereka!
"He! Dari mana datangnya air sebanyak ini?" Itu suara Pete.
Eileen Denicola berteriak minta tolong. Rupanya ia juga menyadari apa yang akan
terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara orang berseru di luar.
“Di sana! Mereka ada di sana!"
Terdengar bunyi orang berusaha membuka pintu. Tapi tidak bisa, karena macet.
Sekali lagi terasa segala-galanya terhuyung. Kaca jendela yang menghadap ke
kolam pecah berantakan. Serpihannya terpental ke dalam kamar. Kemudian ada
cahaya terang. Dua orang berdiri di lereng, dengan membawa senter. Terdengar
lagi suara berteriak-teriak, sementara semakin banyak air mengalir ke dalam
kamar.
“Mrs. Denicola!” teriak Jupe. “Bantu Mrs. Denicola dulu!”
Seorang polisi jalan raya masuk lewat jendela yang sudah tidak berkaca lagi,
disusul oleh seorang petugas pemadam kebakaran. Ketika petugas itu melihat
mereka yang terikat pada kursi-kursi, ia terkejut dan berseru, “Ada apa di sini?”
Tapi hanya itu saja yang dikatakannya. Kedua petugas itu dengan cepat membawa
Mrs. Denicola ke luar, masih dalam keadaan terikat ke kursi. Wanita tua itu berdoa terus. Sementara itu bertambah banyak orang bermunculan. Eileen Denicola
diusung keluar, lalu menyusul Jupe dan kedua temannya. Dalam beberapa detik
saja mereka sudah dibebaskan dari ikatan. Mereka bergegas menuruni lereng
tebing, jatuh bangun dan tersandung-sandung. Jatuh, dibantu berdiri, lari, lalu jatuh lagi.
Jalan raya di bawah ditutup untuk lalu lintas. Bunyi mesin-mesin berderu mengisi
suasana malam itu. Lampu-lampu sorot bergerak-gerak kian kemari, menerangi
tebing. Anak—anak dan kedua wanita itu buru-buru dibawa oleh para penolong
mereka ke tempat aman di seberang jalan.
“Kukatakan pada mereka bahwa kalian ada di atas!” Itu suara Mr. Bonestell. Ia
menerobos lewat pagar perintang. Ia nyaris menandak-nandak ketika
menggenggam tangan Jupiter dan mengguncang-guncangnya. "Kukatakan pada
mereka, kalian ada di atas! Kalian selamat! Puji Tuhan!”
“Kapal kita!” teriak Mrs. Denicola dengan tiba-tiba, sambil menunjuk.
Rumahnya terselubung kegelapan, bégitu pula bangunan kecil yang merupakan
kantor. Truk putih yang tadi, tidak ada lagi di ujung dermaga. Tapi beberapa ratus meter di depan dermaga nampak nyala lampu-lampu rambu kapal Maria III.
“Pembajak!” teriak Eileen Denicola sambil menatap kapal penangkap ikan itu
dengan marah. "Jika mereka mengira bisa meloloskan diri...!"
Wanita muda berambut merah itu lari ke arah dermaga.
“Ayo!” seru Pete. Disambarnya lengan Bob, diajaknya menyusul wanita muda itu.
"M Bonestell! Bilang pada polisi, suruh mereka menghubungi Penjaga Pantai,”
kata Jupe. “Orang-orang yang lari dengan kapal itu penyelundup senjata!”
“Aku yang akan menceritakan segala-galanya pada mereka” kata Mrs. Denicola
yang tua. Jupe mengangguk, lalu menyusul teman-temannya.
Eileen melesat masuk ke kantor dan menyambar anak kunci yang disembunyikan
dalam salah satu laci sebuah meja. Pete disuruhnya mengambil sepasang dayung
dari lemari yang terdapat di belakang kantor.
Dari arah jalan raya terdengar suara orang berteriak, disusul deru mesin mobil-
mobil pemadam kebakaran yang buru-buru disingkirkan. Akhirnya tebing longsor
menyeret bangunan motel. Tanah, batu-batu dan bekas-bekas bangunan
berserakan, memenuhi separuh jalan. Kolam renang pecah berantakan. Airnya
membanjir ke bawah, bercampur dengan tanah tebing menjadi lumpur yang
mengalir sampai ke seberang jalan.
Hanya sesaat saja Eileen dan anak-anak berpaling untuk menatap bencana itu.
Kemudian wanita muda itu berbalik, lalu lari ke dermaga yang basah tersiram
hujan. Anak-anak lari menyusul.
“Akan kita pakai perahu motor Sebastian,” Seru Eileen sambil menoleh ke
belakang sebentar. "Dengan gampang kita bisa mengejar Maria III."
Mereka masuk ke sampan yang tertambat di tepi dermaga, lalu Pete
mendayungnya sekuat tenaga mendatangi pelampung tempat speedboat itu
ditambatkan.
“Tidak bisa kulihat lagi lampu-lampu Maria,” kata Eileen Denicola.
“Mereka pasti menyusur pantai ke arah selatan," kata Jupe.
"Kalau Ernie yang mengemudikan, gawat!” kata Eileen. "Pasti nanti menubruk karang!”
Mereka sampai di pelampung, lalu buru-buru membuka terpal yang menutupi
kokpit. Begitu sudah terbuka, Eileen pun buru-buru masuk, disusul oleh anak-anak.
Jupiter menambatkan sampan ke pelampung. Terdengar bunyi mesin terbatuk-batuk, lalu menyala. Beberapa saat kemudian mereka sudah terangguk-angguk
sementara speedboat itu meluncur mengiris ombak. Haluannya menampar-nampar
air, menimbulkan bunyi nyaring seperti tembakan. Eileen Denicola menggenggam
roda kemudi dengan kedua tangannya. Anak-anak berpegang erat-erat ke sisi
speedboat sambil menjaga keseimbangan tubuh.
Lampu-lampu di pantai sudah jauh dan hanya kelihatan samar-samar ketika
akhirnya Bob melihat sinar di depan haluan.
“Itu dia!” serunya.
“Betul!” Eileen Denicola menambah kecepatan speedboat
Kemudian sesaat mata mereka silau karena tiba-tiba ada cahaya terang benderang
menyinar ke arah mereka. Terdengar bunyi helikopter terbang melayang di atas
kepala. Kemudian lampu sorot helikopter bergerak menjauh, menerangi
perrnukaan air yang nampak hitam kelam. Speedboat diselubungi kegelapan lagi.
“Itu Penjaga Pantai!” kata Eileen.
Lampu-lampu Maria III  dipadamkan. Kini kapal penangkap ikan itu hanya nampak berupa sosok hitam saja di tengah kekelaman malam. Tapi speedboat yang
mengejar sudah dekat sekali. Eileen dan anak-anak bisa melihat gelombang yang
melebar di buritan kapal itu.
"Setan!” teriak Eileen panas. “Mereka mengarahkannya ke tengah laut! Bandit-
bandit! Mereka akan bisa meloloskan diri!”
Disentakkannya roda kemudi, dan speedboat itu dengan segera berubah haluan.
Perahu motor berukuran kecil itu melesat maju, memotong ombak di belakang
buritan Maria III.  Kemudian keduanya sejajar sebentar. Terdengar bunyi tembakan dari atas kapal penangkap ikan itu.
"Pengecut!” teriak Eileen Denicola.
Speedboat melesat maju mendului kapal penangkap ikan, lalu memotong jalan di
depan haluannya.
Maria III  buru-buru dibelokkan, dan itu mengakibatkan kecepatannya turun.
Lampu sorot yang ada di atas kapal itu kini menyala, diarahkan ke speedboat.
Terdengar lagi bunyi tembakan. Tapi meleset, pelurunya jatuh ke air. Lalu
helikopter yang tadi muncul lagi. Lampu sorotnya yang terang benderang seperti
memaku Maria III.
Jupiter memàndang ke arah pantai. Sinar lampu-lampu di sana kelihatan lebih
dekat sekarang.
“Mana sih, kapal patroli Penjaga Pantai?" tukas Eileen Denicola sambil
mengumpat.
Sementara itu Maria III  meningkatkan kecepatannya lagi. Kapal itu berkelok-kelok selama beberapa saat. Seakan-akan dengan begitu bisa melepaskan diri dari
helikopter yang melayang-layang di atasnya. Setelah itu haluannya diarahkan
kembali ke lautan lepas.
Eileen Denicola tertawa geram. Speedboat dikebutnya, mengejar kapal penangkap
ikan itu. Sekali lagi speedboat itu melesat ke depan haluan Maria,  dan sekali lagi orang yang memegang kemudinya bereaksi menghindari terjadinya tubrukan.
Jupiter melihat air memutih di sebelah kirinya, dan di dengarnya bunyi ombak
memecah.
“Awas!” teriak Pete.
Eileen Denicola memutar roda kemudi dengan cepat. Perahu motor berukuran kecil
itu langsung miring, nyaris meniti ombak. Kemudian mereka sudah kembali di
perairan yang gelap. Tetapi Maria III  menabrak beting dengan keras sehingga separuh lunasnya robek. Kapal penangkap ikan itu terangkat dari dalam air dan
langsung miring ke samping. Orang-orang yang ada di geladaknya berteriak-teriak
panik. Para penumpang speedboat melihat kobaran api berwarna merah
kekuningan.
“Dia terbakar,” kata Eileen Denicola.
Teriakan-teriakan terhenti. Kemarahan sudah lenyap dengan seketika. Eileen
Denicola menangis, sementara speedboat terapung-apung dipermainkan ombak.
“Rupanya saluran bahan bakar robek di salah satu tempat” katanya dengan air mata
berlinang-linang.
Nampak seseorang terjun ke laut dan geladak Maria,  disusul oleh yang kedua, lalu terjun pula dua orang lagi.
"Ambil tongkat berkait itu,” kata Eileen DenicoIa. “Jika ada yang mencoba naik kemari, gebuk saja!”
“Ya, Maam,”  kata Pete.
Satu dari keempat orang yang terjun ke laut tadi berenang menghampiri.
“Di bawah tempat duduk ada jaket pelampung,” kata Eileen Denicola.
Jupe melemparkan jaket-jaket pelampung ke arah keempat orang yang terapung-
apung di air. Ernie mencoba berenang mendekat, tapi Pete langsung mengacung-
acungkan tongkat berkait di atas kepalanya. Keempat orang yang terapung-apung
itu langsung mengerti. Mereka tidak berani mendekat.
Bob menemukan seutas tali yang bisa dijadikan pegangan oleh keempat orang itu.
Mereka terapung-apung di air, memandang ke arah Maria III.
Api di kapal itu berkobar-kobar di tengah kegelapan malam. Kemudian terdengar
bunyi ledakan. Sebagian tubuh kapal pecah berkeping-keping. kapal itu tergelincir dari beting karang dan langsung tenggelam.
Ketika kapal patroli Penjaga Pantai tiba, speedboat dengan Eileen Denicola dan
ketiga remaja penumpangnya masih ada di situ. Dan empat pria berjaket
pelampung terapung-apung di dekatnya.
Hanya beberapa potong kayu yang terombang-ambing dipermainkan ombak saja
yang tersisa dari Maria III  dengan muatannya yang sangat berbahaya itu.






Bob 21
MR. SEBASTIAN MERASA INGIN TAHU
SEMINGGU setelah peristiwa tenggelamnya Maria III,  ketiga anggota Trio
Detektif kembali nampak bersepeda ke arah utara. kawasan Malibu sudah mereka
lewati. kemudian mereka keluar dari jalan raya pesisir, masuk ke Cypress Canyon
Drive yang menanjak dan kemudian sejajar dengan jalan raya. Hector Sebastian
sudah menunggu mereka di luar bangunan yang dulu bernama Charlie’s Place,
ketika masih merupakan restoran. Di dalam, di ruang besar yang menghadap ke
samudra, pemuda Vietnam bernama Don yang selalu tersenyum itu sibuk mengatur
hidangan makanan di atas meja yang beralas kaca. Sambil bekerja ia nyerocos
terus, menyebutkan berbagai merek makanan yang sering tampil di iklan-ikian
televisi.
Ketika semua sudah terhidang, Don tersenyum lebar lalu berjalan mundur
meninggalkan ruangan, sambil membungkuk-bungkukkan tubuh.
Mr. Sebastian mendesah.
“Kurasa jika Don disuruh ke pasar di mana dijual barang-barang yang tidak pernah
diiklankan, ia pasti akan bingung. Tidak bisa membeli apa-apa."
Jupiter dan kedua temannya tertawa geli.
“Tapi sungguh, Don perlu menghadapi kenyataan hidup," kata Mr. Sebastian lagi.
"Tidak ada salahnya jika ia tahu bahwa orang Amerika tidak hidup dari bahan
makanan yang begini saja."
"Sekarang tentang orang yang mukanya rusak dan dompet itu. Aku benar-benar
ingin tahu. Aku sudah beberapa kali bicara dengan Eileen Denicola. Tapi watak
pemarahnya cocok dengan warna rambutnya yang merah. Setiap kali ia teringat
pada Ernie Villalobos serta kawanannya, ia langsung begitu marah sehingga tidak
mampu bicara lagi. Kurasa ia merasa dirinya pribadi dirugikan oleh mereka.”
"Karena kapal penangkap than itu tenggelam?" tanya Pete.
"Bukan. Karena polisi tidak mengizinkan dia melabrak Ernie."
Jupe terkekeh. "Menantu Mrs. Denicola itu galak sekali orangnya. Ia tidak suka dibodohi.”
“Mana ada orang yang suka?" kata Mr. Sebastian. “Tapi pokoknya, karena ia
punya kebiasaan tidak bisa menahan marah, dan mengingat bahwa ia saat ini sibuk
sekali berdebat dengan petugas perusahaan asuransi tentang nilai ganti rugi untuk Maria III.  Ditambah urusan tawar-menawar dalam pembelian kapal baru yang akan dijadikannya Maria IV,  kuharap aku bisa memperoleh keterangan dari kalian tentang kasus itu. Aku ingin tahu lebih banyak lagi daripada yang dimuat dalam
koran-koran. Maklumlah, aku ini dulu kan detektif, selama bertahun-tahun.”
“Anda mau membaca catatan saya mengenai kasus itu?" kata Bob. Diambilnya
amplop besar yang selama ini diletakkannya di bawah kursi, lalu dikeluarkannya
sebuah map arsip dari dalamnya.
“Selama ini Mr. Hitchcock yang selalu membahasnya bersama kami,” kata Pete.
“Wah, aku mendapat kehormatan, kalau begitu,” kata Mr. Sebastian sambil
membungkukkan badan, memberi hormat. Setelah itu dimulainya membaca naskah
catatan Bob mengenai kasus pengemis yang misterius serta para pemuda yang
menganggap diri mereka berjuang demi kebebasan di negara mereka, Mesa d’Oro.
Selama beberapa waktu ruangan itu sunyi. Hanya deru lalu lintas di jalan raya
pesisir saja yang kedengaran. Mr. Sebastian asyik menekuni catatan yang disusun
oleh Bob. Ketika sudah selesai membaca, detektif yang sudah beralih profesi
menjadi pengarang itu menoleh ke luar, memandang ke arah pepohonan dan
samudra biru yang nampak di kejauhan.
“Ada kalanya kita perlu bensyukur bahwa manusia tidak ada yang benar-benar
sempurna,” katanya. “Apabila Shelby Tuckerman itu tidak tamak, tidak langsung
silau kalau melihat sesuatu yang berharga, ia takkan menahan dompetku yang
ditemukan olehnya, dan kalian takkan menemukan jejak persekongkolan
penyelundupan senjata. Coba bayangkan andaikata penyelundupan itu berhasil,
akan berapa banyak korban jiwa yang tewas sebagal akibatnya? Kita takkan
mungkin bisa mengetahuinya.”
Jupiter mengangguk. “Orang-orang seperti Ernie itu, kemungkinan akan terus
melakukan aksi-aksi kekerasan di Mesa d’Oro. Tapi setidak-tidaknya, suatu
pengiriman senjata ke sana berhasil kami gagalkan.”
“Mr. Bonestell tentunya tidak dicurigai lagi sekarang, ya!" kata Mr. Sebastian.
“Namanya tidak disebut-sebut dalam berita yang ditulis dalam koran-koran."
“Ia memang tidak pernah termasuk orang yang dicurigai,” kata Jupe. “Di samping
itu, Ernie dan kedua temannya membebaskan namanya dari segala kecurigaan.
Mereka benar-benar marah pada Shelby. Karenanya mereka lantas membeberkan
segala-galanya. Menurut mereka, Shelby itu penipu. Cuma berlagak menjadi mata-
mata dan kurir. Banyak kelompok seperti Ernie dan kawan-kawannya yang aktif
demi kepentingan kaurn Republik Mesa d Oro. Shelby bertugas mengumpulkan
dana dari para pemimpin kelompok-kelompok itu yang kemudian dibawa pulang
ke rumah Mr. Bonestell lalu disembunyikan dalam lemari es, disamarkan sebagai
bahan makanan beku. Sekali sebulan ia naik pesawat terbang ke Mexico City untuk
menyerahkan uang yang dikumpulkan pada orang-orang Rodriguez di sana. Ernie
dan kawan-kawannya menduga bahwa Shelby menggelapkan sebagian dari dana
yang terkumpul itu. Dan kemungkinan itu memang benar."
"Alejandro itu sebenarnya Shelby, kan?” kata Mr. Sebastian.
“Itu nama tengahnya.” kata Jupe. “Ibunya berasal dari Mesa d'Oro. Wanita itu
salah seorang teroris di sana yang kemudian terpaksa melarikan diri ke luar negeri.
Kemudian ia menikah dengan seorang warga Amerika, bernama Tuckerman.
Shelby itu nama kecil ayahnya, sedang Alejandro nama kakeknya dari pihak ibu."
“Meski Shelby Tuckerman warga negara Amerika, tapi ia dididik ibunya untuk
beranggapan bahwa ia seorang bangsawan Mesa d’Oro, dan bahwa yang paling
penting baginya adalah penjuangan kaum Republik di sana. Ibunya selama masih
hidup aktif sekali. Kerjanya berpidato dalam pertemuan-pertemuan mencari dana.
Banyak uang yang berhasil dikumpulkan olehnya untuk kepentingan golongannya
di Mesa d’Oro. Setelah ibunya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, Shelby
berusaha mengambil alih peranan mendiang. Tapi ternyata ia tidak mempunyai
kewibawaan yang dimiliki ibunya. Ia tidak bisa membuat orang-orang terus-
menerus memberi. Karenanya ia lantas beralih peranan, menjadi kurir.”
“Dari mana kau bisa mengetahui bahwa ia menggelapkan sebagian uang hasil
perampokan itu?” tanya Mn. Sebastian.
“Saya cuma menebak saja, walau dengan alasan yang cukup kuat. Waktu itu saya
harus mengatakan sesuatu untuk mengulur waktu, agar Mr. Bonestell sempat pergi
memberi tahu polisi. Di samping itu, saya mengkhawatirkan tindakan yang akan
diambil oleh Shelby apabila Ernie berangkat tanpa dia. Kami, dan juga Mrs.
Denicola serta menantunya, Eileen, kemudian kan bisa membongkar rahasianya!
Tapi jika Shelby berhasil membungkam Mr. Bonestell, dan setelah itu kami...’
Jupiter tidak melanjutkan kalimatnya. Air mukanya nampak tegang.
“Betul,” kata Mr. Sebastian. “Situasi kalian saat itu memang gawat. kalian
mungkin bernasib baik, bahwa Ernie kemudian ternyata memaksa Shelby ikut
ketika ia dan kawan—kawannya berangkat dengan Maria III.”
“Saya tahu pasti bahwa nasib kami mujur saat itu.” kata Bob. “Soalnya, Shelby
itulah yang membawa saya ke motel. Saya tepergok olehnya ketika ia datang
membawa separuh pertama dari uang pembayaran senjata yang dibeli. Wah, ia
benar-benar marah waktu itu! Saya mendengar dia ribut dengan Ernie tentang apa
yang harus terjadi dengan saya. Ernie sendiri bersikap masa bodoh. Karena ia
sebentar lagi akan pergi. Tapi Shelby merasa terjepit. Ia berusaha meyakinkan
Ernie agar saya dibawa dengan kapal, lalu diceburkan di tengah laut!”
Mr. Sebastian mengernyitkan muka. “Kalian memang bisa sangat menyulitkan
dirinya! Tapi adakah bukti kongkret bahwa ia ikut berperan dalam perampokan
bank?”
Pete tertawa geli.
"Ada," katanya, “dan tepat seperti diduga oleh Jupe, bukti itu disembunyikan dalam lemari es, ditaruh dalam kotak es krim. Shelby sebenarnya disuruh menjual
sebagian dari barang-barang perhiasan yang diambil Ernie dari kotak-kotak
penyimpanan milik nasabah bank ketika perampokan itu berlangsung. Tapi Shelby
menahan beberapa perhiasan yang paling berharga untuk dimiliki sendiri, dan itu
disembunyikan olehnya dalam lemari es. Polisi kemudian mengamankan barang-
barang itu, yang sementara ini telah dikenali oleh para pemilik sebenarnya."
“Polisi juga menemukan perlengkapan rias wajah serta kumpulan rambut, kumis,
dan cambang palsu di bagasi mobil Shelby. Shelby menyangka ia berani dan hebat,
menjadi mata-mata selama perampokan berlangsung dengan menyamar sebagai
Altranto, teroris yang sudah mati itu.”
Mr. Sebastian tertawa. “Kurasa aku boleh mengucap syukur bahwa bukan aku
yang menangani kasus ini” katanya. “Shelby itu begitu sibuk beraksi dengan segala macam peranannya, sampai sulit rasanya membayangkan bahwa orang seperti dia
benar-benar ada.”
“Tapi begitulah kenyataannya,” kata Jupe. “Demikian pula halnya dengan Ernie serta kawanannya. Saat ini mereka juga sedang sibuk dengan peranan mereka,
sebagai pahlawan. Di Mesa d’Oro, jika kita teroris dan kemudian tertangkap,
dianggap hebat apabila menyombongkan betapa berat kejahatan yang kita lakukan.
Nampaknya itu malah rnembuat pelakunya dianggap pahlawan. Dan bukan cuma
orang yang tidak waras dan menyukai aksi-aksi kekerasan dengan bahan peledak
dan senjata api.
Mendingan menjadi pejuang revolusioner daripada jembel di pantai, ya?” kata Mr.
Sebastian.
“Lebih mulia, menurut mereka,” kata Jupiter. “Tapi seharusnya sejak semula saya
langsung curiga pada Shelby. Ia memiliki peluang yang sangat baik untuk
menyelidiki segala seluk-beluk kegiatan di bank. Lagi pula, ketika saya ada
bersama mereka, ia pernah mengatakan pada Mr. Bonestell begini, ‘Berdasarkan
sistem hukum kalian,  di sini berlaku prinsip praduga tak bersalah.’ Seseorang yang merasa dirinya warga Amerika, mestinya mengatakan begini, ‘Berdasarkan sistem
hukum kita...' "
“Itu betul,” kata Mr. Sebastian, “tapi kau tidak perlu menyesali dirimu. Prestasi kalian hebat.”
Bob meringis.
“Terima kasih, bahwa Anda tidak mengatakan begini: 'Prestasi kalian hebat, jika
diingat bahwa kalian ini masih anak-anak.' "
“Prestasi kalian hebat, titik,” kata Mr. Sebastian. “Hasil yang kalian capai lebih baik daripada kalau yang melakukannya sekian banyak detektif lainnya. Kurasa
Shelby waktu itu ingin sekali Mr. Bonestell memberi tugas penyelidikan pada
kalian, karena disangkanya kalian takkan mungkin mampu. Tapi kemudian ia
rupanya berubah pikiran, lalu mencoba menyadap percakapan di bengkel kalian.”
“Ia juga menaruh alat seperti itu di tempat gula, di alas meja di dapur rumah Mr.
Bonestell,” kata Jupe. “Begitu alat itu saya temukan dengan segera saya tahu
bahwa Shelby itulah orang yang mukanya rusak karena bekas luka di pipi, dan
dialah penghubung dengan para perampok. Tapi saya tidak mengira bahwa
urusannya juga melibatkan penyelundupan senjata. Saya sangka mereka berurusan
dengan narkotika, atau penyelundupan pendatang gelap."
"Ngomong-ngomong tentang penyelundupan senjata, bagaimana urusannya dengan
perusahaan ekspedisi yang di Oxnard?” tanya Mr. Sebastian.
“Strauss beserta kawanannya ternyata perampok juga,” kata Bob. “Senjata api dan mesiu yang dijual pada Ernie dan kawanannya merupakan basil perampokan
mereka dari sebuah truk yang mengangkutnya di kawasan timur. Beberapa dari
senjata itu sudah diambil para penyelam dari bangkai kapal Maria III  dan dikenali memang berasal dari pengiriman yang diangkut dengan truk yang dirampok itu.
Strauss sendiri sudah menghilang, bersama kawanannya."
“Lalu bagaimana dengan wanita muda yang bekerja sebagai perias wajah dan yang
dalam pertemuan malam-malam di motel juga berpidato itu?" tanya Mr. Sebastian.
“Gracie Montoya ternyata sama sekali tidak terlibat dalam kasus ini,” kata Pete.
“keluarganya berasal dari Mesa d’Oro. Ia dibesarkan dalam lingkungan pendukung
perjuangan kaum Republik. Cuma itu saja.”
“Yah, begitulah halnya dengan tradisi yang diturunkan dari orang tua ke anak-anak mereka,” kata Jupiter. “Saya rasa, Gracie kini berpikir-pikir lagi mengenainya. Ia tidak merasa berkeberatan mengumpulkan dana untuk orang-orang yang hidup
dalam pengasingan di Meksiko. Tapi mengumpulkan dana guna membeli senjata
yang kemudian dipakai untuk menembaki orang—itu lain lagi!”
“Polisi sudah menanyainya tentang pertengkarannya dengan Ernie,” kata Bob
menyela. “Ternyata Ernie ingin mengajaknya kencan, tapi ia tidak mau. Jadi
ramai-ramai waktu itu cuma tentang itu.”
Mr. Sebastian mengangguk-angguk, lalu mengembalikan map berisi catatan yang
sudah selesai dibaca olehnya pada Bob.

End