Trio Detektif - Misteri Kuda Tanpa Kepala(2)



Bab 9
SHERIFF BERTINDAK
SEKALI lagi terdengar suitan melengking. Keempat anjing itu dengan segera
berhenti menggeram dan melonjak-lonjak. Mereka berbaring di bawah pohon
tempat Bob dan kedua temannya menyelamatkan diri.
“Itu, di sana!” kata Bob. “Skinny dan manajer ranch ayahnya, Cody!”

Musuh mereka yang bertubuh ceking berlarian melintasi bendungan, bersama pria
kekar yang berpakaian koboi. Skinny tertawa lebar, senang nampaknya melihat
ketiga remaja yang duduk di atas pohon ek. Ketika mereka berdua sudah dekat,
Cody menyerukan perintah pada anjing-anjing itu, dengan suara keras. Keempat
binatang itu datang mènghampirinya lalu duduk dekat kakinya dengan sikap
waspada, sementara Cody memandang ke arah anak-anak yang berada di atas
pohon. Matanya yang kecil berkilat-kilat Ia menyeringai.
“Wah, ada yang memasuki tanah orang lain tanpa izin, rupanya! Pohon-pohon ini
kebetulan berada di tanah milik keluarga Norris!”
“Anda tahu sendiri, anjing-anjing Anda itu yang mengejar kami kemari!” tukas
Diego dan atas pohon.
“Apa yang kalian lakukan tadi di tanah Alvaro?!” seru Pete dengan sengit.
Cody malah tertawa.
“Bagaimana kalian mau membuktikan hal itu, hah?” tukasnya.
“Aku cuma melihat tiga anak yang tanpa izin masuk ke tanah milik ayahku,” kata
Skinny dengan gaya seperti tidak tahu apa-apa.
“Seperti kami katakan pada Sheriff,” kata Cody. sambil tersenyum, “belakangan
ini kami mengalarni gangguan orang-orang yang seenaknya saja masuk tanpa
izin.” Ia mengangguk ke arah jalan tak beraspal di sisi sungai. Sebuah mobil polisi
nampak meluncur di jalan itu, yang melintasi tanah milik Norris. “kurasa sekarang
Ia pasti mau percaya."
Mobil itu berhenti, dan Sheriff turun dari dalamnya bersama seorang asistennya.
Kedua petugas hukum itu menghampiri Skinny dan Cody.
“Ada apa ini?” tanya Sheriff.
“Kami memergoki orang-orang yang memasuki tanah kami tanpa izin, Sheriff,”
kata Cody. “Anak Alvaro itu bersama dua orang kawannya. Kan sudah kukatakan
pada Anda, kedua Alvaro itu dan kawan-kawannya bersikap seolah-olah seluruh
tanah di sini masih selalu merupakan milik mereka! Membiarkan kuda-kuda
mereka berkeliaran di tanah kami, merusak pagar, menyalakan api unggun dengan
seenaknya saja. Anda kan tahu, berbahaya sekali menyalakan api. unggun pada
musim kering seperti sekarang ini.”
Sheriff mendongak, memandang anak-anak yang mendekam di atas pohon.
"Turun," katanya pada mereka. "Cody, kautahan anjing-anjing itu.”
Diego beserta kedua kawannya turun dan pohon, sementara Cody menyuruh
keempat anjing yang menggeram-geram agar jangan menyerang. Sheriff
memperhatikan Bob dan Pete.
“Kalian berdua kukenal, kan? Pete Crenshaw dan Bob Andrews, dari Trio
Detektif! Dan cerita Chief Reynolds tentang kalian, mestinya kalian tahu bahwa
memasuki tanah orang tanpa izin pemiliknya merupakan pelanggaran yang tidak
bisa dipandang enteng.”
“Kami tidak melakukan hal itu, Sir,” kata Bob dengan tenang. “kami tadi berada di
tanah milik Alvaro, tapi kemudian anjing-anjing itu mengejar sehingga kami
terpaksa menyelamatkan diri kemari."
“Ya, ya, karang saja cerita yang bagus.” Skinny mencibir. “Mana mungkin mereka
mau mengaku, Sheriff.”
“Kau yang pembohong, Skinny Norris!” bentak Pete.
“Sheriff,” kata Bob lagi, “jika kami tadi ketika dikejar anjing-anjing itu sedang
berada di atas tanah milik Norris, lalu kenapa bulu keempat binatang itu basah
kuyup? Sekarang kan tidak sedang hujan."
"Basah?" Sheriff mengamati keempat anjing itu.
“Ya,” kata Bob dengan tegas, “dan itu disebabkan karena mereka tadi berenang
menyeberangi waduk untuk mengejar kami! Dan waduk serta sungai di sebelah
hulu bendungan terletak di atas tanah Alvaro!”
Muka Cody memerah. Tapi Ia masih berusaha menggertak
"Anda mau mendengarkan ocehan anak-anak ini, Sheriff? Anjing-anjing ini sudah
basah sejak sebelumnya. Ya, betul begitu!”
“Nah,” kata Sheriff sambil menatap Cody dengan tajam, “bulu anjing-anjing yang
basah itu menyebabkan ceritamu perlu diragukan kebenarannya, Cody. Mudahmudahan
bukti yang ingin kauperlihatkan sehingga aku memerlukan datang kemari
ini lebih bisa dipercaya.”
“Itu sudah pasti,” kata Cody dengan nada geram. “Marilah, benda itu ada dalam
mobilku, yang kuparkir di sebelah sana."
“Bukti apa?" tanya Bob, sementara Cody mengajak Sheriff pergi ke mobilnya.
“Kepingin tahu, ya!” ejek Skinny.
Diego beserta kedua temannya saling berpelototan dengan Skinny, sambil
menunggu di bawah pohon-pohon ek. Sheriff kembali sekitar lima belas menit
kemudian, dengan membawa sebuah kantung besar yang terbuat dari kertas
berwarna coklat. Sambil mengangguk dengan wajah tegar pada Diego serta kedua
temannya, ia berkata, "kalian boleh pergi sekarang. Aku tidak tahu siapa yang
bicara dengan sebenarnya, tapi Cody sudah kuperingatkan untuk mengawasi agar
anjing-anjingnya tetap berada di tanah mereka, dan kini kalian kuperingatkan agar
jangan masuk ke tanah orang tanpa izin pemiliknya”
Diego dan Pete hendak memprotes, tapi Bob sudah cepat-cepat mendului.
“Ya, Sir, kami akan mengingatnya baik-baik.” kemudian Ia menambahkan secara
sambil lalu, “Apa yang ada dalam kantung itu, Sir?”
“Itu bukan urusanmu, Bob Andrews,” tukas Sheriff. “Sekarang pergi!”
Dengan segan-segan ketiga remaja itu pergi meninggalkan tempat itu. Mereka
berjalan mengitari anjing-anjing dengan sikap waspada, lalu kembali ke jalan
dengan melintasi bendungan, menuju ke tempat sepeda-sepeda mereka. Hujan
lebat mulai turun lagi ketika mereka bersepeda di jalan tanah yang melintasi daerah
pertanian Alvaro, menuju puing-puing hacienda yang jauhnya sekitar satu mil.
Ketika melintas di depan rumah pertanian keluarga yang saat itu tinggal
reruntuhannya saja, mereka melihat Pico. Ia berjalan dengan langkah lambat di
tengah puing-puing rumah itu, seakan-akan mencari sesuatu yang barangkali saja
tidak sempat dimakan api.
“Anda menemukan sesuatu?’ seru Pete, sementara anak-anak membelokkan sepeda
mee reka memasuki pekarangan.
Pico terkejut, lalu menoleh. ketika melihat bahwa yang datang itu anak-anak,
sikapnya lantas berubah menjadi kikuk.
“Aku sedang mencari Pedang Cortes,” katanya mengaku. “Tiba-tiba terlintas
dalam pikiranku, jika Don Sebastian sempat menyembunyikannya, maka ada
kemungkinan itu dilakukannya di dalam hacienda ini. Dan setelah rumah ini
terbakar habis, mungkin pedang itu akan kelihatan di tempat penyembunyiannya.
Logam tidak luluh dalam api kayu yang terbakar. Jadi kalau pedang itu ada di sini,
pasti bisa ditemukan dengan mudah. Tapi," sambungnya sambil memandang
berkeliling, memperhatikan sisa-sisa dinding yang masih tegak, “sama sekali tidak
ada pedang di sini.” Disepaknya genteng-genteng atap yang terserak di lantai,
untuk melampiaskan kejengkelannya.
“Tapi Puri Nasar ada di sini, Pico!” seru Diego. “Kami sudah menemukannya!”
Dengan cepat anak-anak bercerita tentang ditemukannya peta kuno serta tempat
yang dinamakan Puri Nasar, dan juga tentang usaha pencarian mereka di punggung
bukit dekat bendungan. Pada awal laporan mereka mata Pico bersinar-sinar, tapi
kemudian hilang lagi serinya ketika anak-anak mengatakan bahwa mereka tidak
berhasil menemukan jejak adanya tempat penyembunyian dekat cadas besar yang
terdapat di atas bukit memanjang itu.
“Kalau begitu apa gunanya mengetahui di mana letak Puri Nasar?” kata Pico
kecewa. “Kalian tidak menemukan apa-apa di sana! Jadi kalian masih tetap saja
seperti semula.”
“Tidak! Itu tidak benar,” kata Bob mantap. “Kami berhasil menemukan sesuatu
yang sangat penting, tentu saja menemukan pedang itu sendiri ."
“Apa maksudmu, Bob?” tanya Pico.
“Kami kini tahu bahwa Don Sebastian ternyata memang merencanakan
penyembunyian pedang itu, untuk kemudian diambil putranya, Jose!” kata Bob.
“Nama Puri Nasar hanya tertera pada peta paling kuno yang ada. Tempat itu tidak
ada sangkut-pautnya dengan di mana Don Sebastian berada atau di mana Ia
bertempat tinggal. Jadi tidak ada alasan untuk menuliskan nama itu dalam
suratnya, kecuali jika dimaksudkan sebagai petunjuk. Petunjuk bagi Jose yang
menyatakan di mana ia harus pergi untuk mencari sesuatu. Dan sesuatu itu, yang
demikian berharga sehingga Don Sebastian sampai mau melakukan segalanya itu,
hanyalah Pedang Cortes saja!”
“Itu mungkin saja benar,” kata Pico mengakui, “tapi kalian masih tetap saja—”
Sebelum Pico sempat menyelesaikan kalimatnya, dua buah mobil muncul di jalan
yang menuju ke rUmah pertanian itu, dan masuk ke pekarangan. Mobil yang di
depan adalah ranch wagon dan tanah pertanian Mr. Norris, sedang yang satunya
lagi mobil Sheriff. Cody dan Skinny Norris meloncat ke luar dan ranch wagon
mereka.
“Itu dia!” seru Cody.
“Jangan sampal dia lari!” teriak Skinny.
Sheriff turun dari mobil dinasnya.
“Sudah kukatakan pada kalian berdua tadi, biar aku yang menangani urusan ini,"
katanya. "Ia sama sekali tidak menunjukkan gelagat hendak melarikan diri.”
Sheriff masih menenteng kantung besar dan kertas yang sudah dilihat anak-anak
sebelum itu, ketika masih berada di seberang waduk. Petugas kepolisian itu
berjalan dengan tenang, menghampiri Pico.
"Pico, aku harus menanyakan padamu," katanya, “di manakah kau ketika ada
kebakaran dekat bendungan?"
“Di mana aku waktu itu?” Kening Pico berkerut. “Di tempat kebakaran itu. Anda
sendiri kan melihat aku di sana! Dan sebelum itu, aku ada bersama Diego di Rocky
Beach, di sekolahnya."
“Ya, ada yang melihatmu waktu itu. Dan itu sekitar pukul tiga siang. Lalu sebelum
itu?"
“Sebelum itu? Di rumah. Apa-apaan ini sebenarnya, Sheriff?”
“Kami sudah berhasil mengetahui, apa yang menyebabkan kebakaran hutan itu.
Ada orang menyalakan api unggun di tanah pertanian Norris, jauh sebelum pukuL
tiga siang. Menyalakan api di daerah gersang pada musim sekarang ini merupakan
tindakan melanggar hukum! Apalagi api itu kemudian dipadamkan secara ceroboh.
Pagar pembatas tanah pertanian Norris rusak—”
“Dan kami menemukan jejak kaki kuda-kuda kalian!" sela Cody dengan cepat.
“Kau mengejar kuda-kuda itu, lalu menyalakan api!” teriak Skinny.
"Jika pagar kalian rusak. lalu kuda-kuda kami tersasar masuk ke tanah kalian, kami
pergi untuk mengambil dan menggiring mereka keluar lagi." Pico berbicara dengan
nada dingin. "Begitulah sikap tetangga yang balk, yang tahu aturan. Tapi aku dan
teman-temanku tidak menyalakan api dengan sembarangan!”
Sheriff membuka kantung kertas yang ditentengnya, lalu mengeluarkan topi
sombrero hitam yang dihiasi simpai yang terbuat dari bulatan-bulatan perak.
“Kaukenali topi ini, Pico?’ tanya Sheriff.
“Tentu saja,” jawab Pico, “itu sombrero-ku. Kusangka sudah musnah karena
terbakar. Untung Anda —“
“Maksudmu, kau berharap sudah ikut terbakar wáktu itu!” sergah Cody.
"Aku tidak suka berbelit-belit, Mr. Cody. Aku mengatakan persis seperti yang
kumaksudkan. Jelas?" Dengan mata berapi-api, Pico menatap manajer ranch
bertubuh kekar itu.
“Pico."’ kata Sheriff. “Kapan kau kehilangan topimu ini?” .
“Kapan?" Pico berpikir sebentar. "Kurasa pada waktu aku sedang ikut
memadamkan kebakaran dekat bendungan itu. Aku—”
“Tidak,” kata Sheriff. “Saat itu kau tidak memakai topi. Aku masih ingat. Begitu
pula para petugas pemadam kebakaran yang kutanyai.”
“Kalau begitu aku tidak ingat lagi kapan tepatnya,” kata Pico.
“Topi ini ditemukan di lokasi api unggun yang kemudian menyebabkan kebakaran
itu, Pico,” kata Sheriff.
“Kalau begitu kenapa tidak habis terbakar waktu itu?”
“Api yang kemudian berkobar menjalar ke satu arah, menjauhi lokasi api unggun
itu. Dan topi ini terletak di dekat lokasi itu, di tanah yang tidak menampakkan
bekas-bekas kebakaran.”
Sesaat lamanya tidak ada yang berbicara. Akhirnya Sheriff mendesah.
"Aku harus menahanmu, Pico," katanya. Diego berteriak. Tapi Pico menyuruhnya
diam, lalu mengangguk pada Sheriff.
“Anda harus melakukan apa yang merupakan kewajiban Anda, Sheriff,” katanya
dengan tenang, lalu berjalan menuju ke mobil sheriff itu. "Beritahu Don Emiliano
dengan segera!” serunya sambil menoleh ke arah Diego.
Kini Sheriff berpaling pada Cody dan Skinny. “Kalian berdua harus ikut, untuk
memberi keterangan.”
"Itu sudah jelas,” kata Cody.
“Dengan senang hati,” ujar Skinny menimpali, lalu sambil tertawa mengejek ke
arah anak-anak yang lain. Ia berjalan mengikuti Cody ke ranch wagon mereka.
Ketiga remaja yang ditinggal tidak bisa berbuat apa-apa, selain memandang
dengan nanar ke arah kedua mobil yang pergi meninggalkan tempat itu. Kemudian
Diego berpaling, memandang Bob dan Pete. Nampak matanya berkaca-kaca.
“Tidak mungkin Pico yang menyebabkan kebakaran itu!” serunya.
"Ya, tentu saja tidak,” kata Bob. “Aku yakin sekali, ada sesuatu yang aneh dalam
penuturan sheriff itu tadi, tapi saat ini aku tidak bisa memastikan bagian yang
mana. Dan aku juga merasa pasti, aku sudah pernah melihat topi itu sebelum ini.
Tapi kapan, dan di mana? Aduh, kenapa Jupiter tidak ada di sini sekarang!”
Bob mendesah karena sebal.
“Yah, sekarang ada dua masalah yang harus kita tanggulangi, Teman-teman.
Menemukan Pedang Cortes, dan berusaha membebaskan Pico!”
Bab 10
GAGASAN BARU
SEMENTARA Diego pergi untuk memberi tahu Emiliano Paz, Bob dan Pete
bergegas kembali ke Rocky Beach. Sesampainya di sana, sampai malam kedua
anggota Trio Detektif itu berusaha menelepon Jupiter. Tapi pesawat telepon di
rumah keluarga Jones tidak diangkat-angkat. Seperti sudah dikatakan
kemungkinannya oleh Jupiter, pesta ulang tahun Kakek Matthews ternyata
berlangsung sampai larut malam. Akhirnya Bob dan Pete menyerah, dan pergi
tidur.
Keesokan paginya ketika Bob turun ke bawah untuk sarapan, ayahnya yang sedang
membaca surat kabar terbitan pagi menoleh padanya.
“Kubaca di sini bahwa Pico Alvaro kenalanmu itu ditahan dengan tuduhan
menyebabkan kebakaran di padang belukar,” kata Mr. Andrews. “Itu merupakan
pelanggaran berat, Bob. Aku jadi heran, karena Alvaro itu kan petani yang
berpengalaman. Masak sampai bisa berbuat seperti itu.”
“Ia tidak bersalah, Ayah! Kami yakin sheriff itu keliru, atau ada yang dengan
sengaja memfitnah Pico. Dan itu akan kami buktikan."
“Mudah-mudahan saja, Nak,” kata Mr. Andrews.
Bob sarapan dengan terburu-buru, lalu menelepon Jupiter untuk melaporkan apa
yang telah terjadi. Jupiter kaget mendengar kabar bahwa Pico ditahan.
“Tentu saja bukan Pico yang menyebabkan kebakaran itu, dan kau seharusnya tahu
kenapa itu tidak mungkin! Kau kemarin sebenarnya bisa mencegah Sheriff untuk
menahan Pico, Bob. Bagaimana sih, ingatanmu? Masak begitu saja tidak bisa
ingat! Kita kan melihat topi Pico,” Jupiter sebenarnya sebal, karena tidak ikut
mengalami kejadian itu.
"Kebetulan ingatanku tidak seperti kau, yang bisa merekam segala sesuatu yang
pernah dilihat seperti dalam foto,” tukas Bob tersinggung. “Lalu di mana kita
melihat topinya itu?"
“Nanti sajalah kukatakan, di sekolah,” kata Jupiter.
“Bagus!” kata Bob, sambil membanting gagang telepon ke tempatnya. Ia sudah
ketularan perasaan Jupiter.
Tapi hari itu ketiga anggota Trio Detektif sibuk sekali di sekolah, sehingga tidak
sempat bercakap-cakap sesama mereka. Sementara itu perasaan sebal yang semula
menghinggapi Bob dan Jupiter sudah lenyap lagi. Sekolah cepat usai hari itu. Jadi
masih ada waktu hampir sepanjang siang sampai sore untuk melanjutkan
penyelidikan.
“Ada yang melihat Diego hari ini?” tanya Jupiter, sementara mereka bertiga
bersepeda di tengah hujan yang sudah turun lagi, menuju ke Jones Salvage Yard.
"Aku tadi mencari-carinya, tapi tidak berjumpa,” kata Pete. “Kurasa Ia tidak
sempat berangkat ke sekolah."
Hari itu Diego memang sibuk bersama Emiliano Paz, berusaha mencarikan
pengacara hukum untuk membela Pico. Ketika ketiga anggota Trio Detektif tiba di
pangkalan, ternyata remaja itu sudah menunggu mereka di luar. Dan bégitu mereka
berempat sudah masuk ke karavan yang tersembunyi letaknya, dengan segera
Diego menyampaikan laporan hasil kegiatannya.
“Kami tidak mampu menyewa tenaga pengacara hukum,” katanya, “karena itu
kami dibantu Badan Bantuan Hukum. Menurut mereka, kedudukan Pico sulit.”
“Kita tahu bahwa Ia tidak bersalah, Diego,” kata Bob dengan sengit.
“Tapi bagaimana kita bisa membuktikannya?” katä Diego dengan air mata
berlinang-linang. “Dan bagaimana kami bisa menyelamatkan tanah kami sekarang?
Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, setelah Pico ditahan. Bahkan uang untuk
membayar jaminan untuknya saja pun, kami tidak punya!”
“Jaminan? Jaminan untuk apa?” tanya Pete tidak mengerti.
"Uang itu diserahkan kepada pengadilan sebagai jaminan bahwa orang yang
ditahan akan muncul pada waktu perkaranya disidangkan di pengadilan, jika
sebelum itu Ia dibebaskan dari tahanan.” kata Jupiter menjelaskan. “Dengan
membayarnya, orang itu tidak perlu mendekam dalam tahanan selama sedang
berlangsung pemeriksaan prapengadilan. "
“Untuk pembebasan Pico dari tahanan, hakim menentukan uang jaminan setinggi
lima ribu dollar,” kata Diego.
“Lima ribu dollar!” seru Pete kaget. “Tidak banyak yang punya uang tunai
sebanyak itu!”
“Jumlah yang ditentukan itu tidak perlu dibayar dalam bentuk tunai,” kata Jupiter
menjelaskan lagi. “Hanya sekitar sepuluh persen yang harus tunai, sedang jaminan
selebihnya bisa dalam bentuk harta benda—seperti rumah, misalnya. Jadi jika nanti
orang yang akan diadili itu tidak muncul saat Ia dipanggil menghadap ke
pengadilan, maka pengadilan akan menyita uang dan harta milik itu. Tapi jika
muncul, jaminan dikembalikan. Orang-prang pada umumnya muncul, karena tidak
ingin terlibat dalam kesulitan yang lebih besar.”
Diego mengangguk.
“Pico pasti muncul,” katanya. “Ia takkan mungkin melarikan diri, karena itu akan
merendahkan harga dirinya. Tapi yang jelas, sekarang ini kami tidak memiliki apaapa
yang bisa dijadikan jaminan! Baik uang tunai lima ratus dollar, maupun harta
benda sebagai pelengkap untuk memenuhi jumlah yang ditentukan.”
“Bagaimana dengan tanah pertanian kalian?" tanya Pete.
“Itu kan sudah digadaikan pada Don Emiliano, jadi tidak bisa lagi digunakan
sebagai jaminan. Sementara ini kami masih berusaha meminjam uang dari temanteman.
Tapi selama itu, Pico terpaksa tetap berada dalam tahanan!”
"Kurasa," kata Jupiter dengan geram, "mungkin hal itu sudah diperhitungkan oleh
seseorang. Menurutku, urusan ini sebenarnya sudah direncanakan. Topi itu dicuri,
lalu ditaruh dekat lokasi api unggun.”
"Tapi bagaimana kita bisa membuktikannya, Jupiter?” kata Diego. Ia sudah hampir
menangis lagi.
“Kita bahkan tidak tahu, kapan saat terakhir Pico masih memakai topinya,” kata
Bob menambahkan.
“Tapi kita tahu, Pico masih memakainya sekitar pukul tiga siang hari Kamis yang
lalu, pada hari padang belukan itu terbakar,” kata Jupiter dengan gaya pasti.
“Masak kalian tidak ingat lagi? Ia masih memakainya, ketika kita melihatnya di
depan lapangan olahraga, di sekolah!”
“Aduh, betul juga katamu,” seru Bob sambil menepuk keningnya.
“Dan itu berarti tidak mungkin topinya itu tencecer dekat api unggun! Sebelum
pukul tiga, Ia masih memakainya. Dan sesudah itu ia bersama-sama dengan kita,
dan kemudian memerangi api kebakaran. Jika Sheriff tahu pasti bahwa pada waktu
itu Pico tidak memakal topinya, maka topi itu mestinya hilang, atau dicuri orang,
pada waktu antara saat kita meninggalkan sekolah pada hari itu, dan saat kita tiba
di lokasi kebakaran!”
“Jupe?’ kata Bob sambil merenung. “Bagalmana jika hilangnya topi itu ketika kita
sedang dalam perjalanan ke lokasi kebakaran? Pico waktu itu kan duduk di bak
belakang. Bagaimana jika topi itu diterbangkan angin, dan kemudian jatuh dekat
lokasi api unggun?”
“Topi Pico tidak mungkin diterbangkan angin,” kata Diego yakin, “Karena ada
talinya, yang selalu diselipkan ke bawah dagu. Kalau naik mobil, Pico selalu
mengencangkan tall pengikat itu.”
"Lagi pula, hari itu boleh dibilang tidak ada angin sama sekali,” kata Pete
menambahkan. “Itulah sebabnya kebakaran tidak sampai menjalar ke mana-mana,
sehingga bisa dikuasai.”
"Pokoknya," kata Jupiter, "kebakaran itu sudah pasti berawal sebelum kita sampai
di rumah kalian, Diego. Itu berarti bahwa topi itu baru datang ke dekat api unggun
setelah terjadi kebakaran di padang belukar.”
“Tapi itu tidak bisa kita buktikan,” kata Bob dengan lesu. “Maksudku, kita tahu
Pico masih memakai topinya pada pukul tiga siang. Tapi kecuali kita, tidak ada
orang lain yang tahu. Jadi yang ada hanya keterangan kita, berhadapan dengan
kesaksian Cody dan Skinny!”
“Keterangan kita lumayan besar artinya." kata Jupe agak tersinggung, karena
merasa martabatnya direndahkan. “Tapi kau memang benar. Kita sama sekali tidak
punya bukti-bukti nyata. karena itu kita harus mencarinya, sampai ketemu! Kita
harus menyelidiki, apa sebenarnya yang terjadi dengan topi itu.”
“Bagaimana caranya, Jupe?” tanya Pete.
“Menurutku, pertama-tama kita harus bicara dulu dengan Pico, untuk melihat
apakah ia bisa ingat dengan pasti kapan saat terakhir ía masih memakai topinya,”
kata Jupiter mengambil keputusan. “Tapi sementara itu kita juga harus melanjutkan
usaha pencarian Pedang Cortes. Aku yakin, Skinny dan Cody pasti tahu bahwa kita
mencari-cari pedang itu, atau setidak-tidaknya suatu benda berharga yang akan
bisa membantu keluarga Alvaro menyelamatkan tanah milik mereka. Dan
penahanan terhadap Pico merupakan upaya untuk menghalang-halangi kita!”
“Jadi kita kembali lagi ke Perhimpunan Sejarah, untuk mencari informasi lebih
banyak lagi tentang Don Sebastian,” kata Bob.
Pete langsung mengeluh. "Aduh itu bisa memakan waktu satu abad!”
"Memang mungkin agak lama juga kita harus mencari, Dua,” kata Jupiter, “tapi
kalau seabad, itu sudah keterlaluan. Kita cuma perlu memusatkan perhatian pada
dua hari tertentu saja, yaitu tanggal 15 dan 16 September 1846. Sebelum melarikan
diri pada tanggal 15 September, Don Sebastian berada dalam tawanan, dan sejak
itu tidak ada lagi yang pernah mellhatnya. Dan langsung keesokan harinya, jadi
pada tanggal 16, ketiga tentara itu ketahuan melarikan diri dari pasukan. Mereka
pun tidak pernah terlihat lagi sejak itu."
“Maksudmu, di antara orang-orang yang kita ketahui,” kata Bob mengomentari. Ia
mengubah sikap duduknya, kini dengan tubuh dicondongkan ke depan. “Aku
selama ini berpikir-pikir tentang Puri Nasar, Satu. Selama ini kita beranggapan, itu
merupakan petunjuk mengenai lokasi di mana pedang itu disembunyikan. Tapi bisa
saja itu memang sudah seharusnya dituliskan sebagai kepala surat., karena
merupakan alamat Don Sebastian!”
Jupiter menggeleng, tanda tidak sependapat. “Tidak! Alamat Don Sebastian adalah
rumah Cabrillo. Atau hacienda-nya.”
“Tidak harus begitu,” kata Bob. “Begini soalnya, Teman-teman! Aku teringat
pernah membaca tentang seseorang yang sedang mengalami kesulitan yang serupa
dengan Don Sebastian. Namanya Cluny MacPherson, seorang Skot. Ketika bangsa
Inggris melancarkan penyerbuan ke dataran tinggi Skotlandia pada tahun 1745 dan
mengalahkan bangsa Skot dalam pertempuran di Culloden, mereka kemudian
berusaha menawan atau bahkan membunuhi semua kepala suku di daerah dataran
tinggi itu. Kepala-kepala suku yang berhasil meloloskan diri kemudian kebanyakan
lari meninggalkan tanah tumpah darah mereka. Kecuali Cluny, kepala suku, atau
klan, MacPherson. Walau tahu orang Inggris mengejar-ngejar dirinya, Ia tetap
tidak mau lari.”
“Jadi apa yang dilakukan olehnya, Bob?" tanya Diego.
“Ia mendekam dalam sebuah gua di tanah miliknya, selama hampir sebelas tahun!”
kata Bob. “Segenap anggota sukunya membantu dia bersembunyi. Mereka
mengantarkan makanan dan minuman serta pakaian. Orang Inggris tidak pernah
bisa berhasil melacaknya, sampal Ia sendiri muncul setelah keadaan aman
kembali!”
“Maksudmu,” kata Pete bersemangat, “kau sekarang menduga bahwa Puri Nasar
itu merupakan petunjuk tentang di mana Don Sebastian hendak menyembunyikan
diri?”
Bob mengangguk.
“Masih ingat tidak, Pico merasa heran apa sebabnya tidak ada seorang pun pemah
melihat Don Sebastian lagi jika moyangnya itu tidak kena tembak lalu tercebur ke
laut. Dan jika Ia benar berhasil meloloskan diri, lalu ke mana perginya? Nah,
kurasa Don Sebastian waktu itu sudah berniat hendak bersembunyi di tanah
pertaniannya sendiri, di suatu tempat dekat Puri Nasar!”
“Lalu kawan-kawannya yang akan membantunya, mengantar makanan dan
sebagainya!” kata Jupe bersemangat. “Mungkin dugaanmu ini benar, Bob! Tak
terpikir olehku kemungkinan itu selama ini. Jika itu ternyata benar, maka ada lagi
yang bisa kita carl dalam catatan-catatan dan surat-surat dari masa itu! Misalnya
saja tentang menyembunyikan makanan atau pakaian, atau tentang menolong
seseorang! Tapi dengan begitu pencarian harus kita perluas waktunya. katakanlah,
sebagai permulaan kita meneliti dokumen-dokumen kuno yang berkenaan dengan
waktu selama sisa bulan September itu.”
“Asyik, bertambah lagi pekerjaan kita!” tukas Pete. “Seperti sekarang ini kurang
pekerjaan saja."
“Kita memerlukan segala petunjuk yang bisa kita temukan,” kata Jupiter. “Tapi
dokumen-dokumen yang perlu kita teliti kebanyakan pasti dalam bahasa Spanyol.
Jadi aku dan Diego yang harus melakukan riset.”
“Lalu aku dan Pete, apa yahg harus kami kerjakan selama itu?" tanya Bob.
“Kalian pergi ke tempat Pico ditahan, dan usahakan agar ia bisa mengingat
kembali apa yang
terjadi dengan topinya!”
Bab 11
MENJENGUK PICO DI PENJARA
RUANG tahanan yang didatangi oleh Bob dan Pete terletak di lantal paling atas
gedung Markas Besar Kepolisian Rocky Beach. Untuk sampai ke situ harus
melewati sebuah gang khusus di lantai satu dulu, lalu naik lift. Gang yang terdapat
di sebelah kiri pintu masuk utama itu dirintangi dengan pintu berjeruji. Seorang
polisi duduk menghadap sebuah meja di depan pintu terali itu. Bob dan Pete
menghampiri meja itu dengan gugup, lalu minta izin untuk menjenguk Pico.
“Wah, sayang,” kata petugas itu, “waktu untuk menjenguk tahanan hanya terbatas
pada saat sehabis makan siang saja—kecuali jika kalian ini tim pembelanya!” Ia
mengatakannya sambil nyengir.
“Tahanan itu klien kami,” kata Bob, sambil berusaha bersikap anggun.
"Kami ini bisa dibilang pengacaranya," kata Pete menambahkan.
“Sudahlah, aku tidak punya waktu untuk main-"
“Kami ini detektif, Sir,” kata Bob dengan cepat.
“kami memang masih remaja, tapi Pico betul-betul klien kami. Kami perlu bicara
dengan dia, tentang kasus yang menyebabkan Ia sekarang ditahan. Urusannya
sangat penting. Kami—”
Tampang polisi itu berubah, menjadi masam. “Sudah, jangan membual terus! Ayo
keluar!” Bentakan itu menyebabkan Bob dan Pete hanya bisa menelan ludah, lalu
berpaling untuk meninggalkan tempat itu. Tahu-tahu terdengar suara di belakang
mereka,
“Tunjukkan kartu kalian padanya, Anak-anak.” Chief Reynolds, kepala kepolisian
Rocky Beach berdiri di belakang Bob dan Pete. Ia memandang mereka sambil
tersenyum. Bob menunjukkan kedua lembar kartu pengenal Trio Detektif yang
selalu ada di kantungnya pada polisi yang menjaga di belakang meja. Petugas itu
membaca tulisan yang tertera di situ dengan lambat-lambat.
“Ada perlu apa kalian kemari, Anak-anak?" tanya Chief Reynolds sementara itu.
Setelah mendengar penjelasan dan Bob dan Pete, Ia lantas mengangguk.
“Yah,” katanya, “dalam hal ini kurasa kita bisa memberi kelonggaran sedikit. Pico
Alvaro tidak bisa kita golongkan penjahat berbahaya, Sersan, dan kedua penyelidik
remaja ini memang berhak mendatangi klien mereka.”
"Ya, Sir,” kata sersan polisi itu. “Saya tidak tahu mereka ini teman Anda, Sir.”
“Bukan teman, Sersan, melainkan asisten tidak resmi. Kalau kuceritakan sudah
berapa sering anak-anak ini membantu kita, kurasa Anda pasti tercengang."
Kemudian Chief Reynolds pergi, setelah tersenyum lagi pada Bob dan Pete.
Petugas yang menjaga di meja menekan sebuah tombol. Terdengar bunyi
mendesum, dan seorang polisi lagi muncul dari sebuah ruang kantor yang terdapat
di sisi gang di balik pintu terali. Pintu itu dibukakan olehnya. Bob dan Pete
bergegas masuk ke gang. Mereka sempat kaget, ketika pintu terali itu tertutup
kembali dengan bunyi berdentang.
“Huh,” kata Pete, “untung kita cuma tamu saja di sini!”
Kedua remaja itu menuju ke sebuah lift, dan dengannya naik ke tingkat paling atas.
Sesampainya di sana mereka keluar lagi, dan kini tiba di sebuah gang yang panjang
dan sangat terang karena disinari lampu-lampu yang menyala. Di gang itu berjejer
meja-meja. Pada meja yang pertama orang yang masuk tahanan harus
mengeluarkan segala isi kantung dan menitipkannya ke situ, termasuk pula segala
milik pribadi lainnya. Pada meja kedua, yang juga terdapat di sisi kiri gang,
tahanan diambil sidik jarinya. Pada meja ketiga mereka diberi pakaian seragam
tahanan. Mereka harus berganti pakaian di sebuah ruang yang terletak di ujung
gang, juga di sisi kirinya. Di seberang ruang itu ada pintu berterali. Pada pintu itu
ada tulisan, “Ruang Tamu”. Sedang di samping pintu itu, jadi sepanjang sisi kanan
gang, ada lagi sejumlah meja. Sejumlah petugas kepolisian duduk di balik
beberapa meja itu. Mereka sedang menanyai tahanan-tahanan yang baru masuk.
“Ke sini,” panggil polisi yang duduk di meja yang paling dekat. “kalian Andrews
dan Crenshaw? Detektif swasta?"
Bob dan Pete mengangguk saja, karena kerongkongan mereka rasanya seperti
tersumbat saat itu. Petugas tadi mengetikkan nama dan alamat mereka ke selembar
formulir, lalu menambahkan nama tahanan yang hendak dijenguk serta untuk
keperluan apa.
“Oke, sekarang berdiri di sana, menghadap ke dinding.”
Bob dan Pete menurut saja. Seorang petugas lain menggeledah mereka dengan
cekatan, untuk memeriksa apakah mereka dengan diam-diam membawa senjata
atau benda lain yang bisa dipakai oleh tahanan yang akan dijenguk untuk
melarikan diri. Dalam hati Pete mengucap syukur, bahwa hari itu Ia tidak
mengantungi pisau lipatnya. Setelah penggeledahan selesai, polisi yang pertama
membawa Bob dan Pete ke pintu kamar yang berterali. Ia membuka pintu itu, lalu
menyuruh mereka masuk.
Bob dan Pete melihat sebuah ruangan sempit tapi panjang, dengan sebuah meja
rendah dan kokoh memanjang di tengah-tengahnya. Pada meja itu ada dua deretan
kotak berdinding pada ketiga sisinya. Kotak-kotak itu berpasang-pasangan. Deret
yang satu menghadap ke pintu masuk bagi para tamu, sedang deret kedua
menghadap ke dinding seberang, di mana terdapat pintu berterali. Penjara yang
sebenarnya terdapat di balik pintu itu. Apabila sudah duduk dalam sepasang kotak
yang tersedia, tamu dan tahanan yang dijenguk bisa saling melihat lewat sisi atas
dinding pembatas setinggi dagu. Jadi mereka bisa bercakap-cakap saja, tanpa
mungkin menyerahkan apa-apa tanpa kelihatan oleh polisi yang duduk sebagai
pengawas di ruangan itu.
Bob dan Pete mengambil tempat duduk dalam salah satu kotak. Tidak lama
kemudian pintu terali pada tembok seberang terbuka. Seorang penjaga mengawal
Pico masuk. Pico duduk menghadapi Bob dan Pete, di balik dinding pembatas.
“Terima kasih atas kedatangan kalian,” katanya dengan suara pelan, “tapi aku tidak
perlu apa-apa.
“Kami tahu, bukan Anda yang menyalakan api unggun itu!” kata Pete
bersemangat.
Pico tersenyum.
“Itu juga kuketahui. Tapi sayangnya, Sheriff tidak tahu.”
“Tapi kami rasanya bisa membuktikannya,” kata Bob.
“Membuktikannya? Dengan cara bagaimana?”
Kedua remaja itu menuturkan semua yang sementara itu sudah mereka ingat lagi,
sehubungan dengan topi sombrero milik Pico.
"Jadi,” kata Bob kemudian, “pukul tiga siang, di sekolah kami, topi itu masih Anda
pakai. Tidak mungkin ketinggalan dekat api unggun di tanah pertanian Norris,
sampai saat kita semua tiba di hacienda. Padahal waktu itu kebakaran sudah
terjadi—dan orang lain yang menyebabkannya!”
“Kalau begitu,” kata Pico dengan mata berkilat-kilat, “topiku itu mestinya baru
berada di tanah milik Norris ketika api kebakaran sudah berkobar! Hebat, kalian
ternyata memang penyelidik jempolan. Ya, topiku mestinya tercecer sampai ke
sana, atau —
“Atau,” kata Bob menyambung, “ada orang lain
yang meletakkannya di situ, dengan sengaja!”
“Supaya aku kemudian bisa dituduh.” Pico mengangguk. “Tapi kalian tidak bisa
membuktikan bahwa ketika di sekolah kalian, aku memakai topiku itu. Yang ada
hanya kesaksian kalian belaka.”
“Itu memang betul,” kata Bob mengakui, “tapi kini kami sudah mengetahui
bagaimana keadaan yang sebenarnya! Sekarang kami harus menyelidiki,
bagaimana topi itu bisa sampai ada dekat api unggun itu.”
“Jadi kami harus tahu, di mana topi itu Anda tinggalkan waktu itu,” kata Pete. “Di
sekolah, Anda masih memakainya. Dan aku rasanya ingat, di pangkalan pun topi
itu masih ada. Bagaimana ketika kita kemudian sudah naik truk untuk pergi ke
hacienda kalian?”
“Di truk?’ Kening Pico berkerut. “Kita waktu itu beramai-ramai duduk di bak
belakang. Ya, dan aku saat itu bercerita tentang keluarga kami. Mungkin... ah, aku
tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Aku tidak ingat apakah saat itu aku
melepaskannya. Atau bahkan apakah aku masih memakainya."
"Anda harus berusaha mengingatnya!” kata Pete mendesak.
“Pikir!” kata Bob.
Tapi Pico hanya bisa menatap mereka dengan sikap putus asa.
***
Sambil mendesah, dengan lesu Diego membalik halaman mikrofilm dan surat
kabar tua yang sedang dibacanya sepintas lalu. Saat itu Ia berada di ruang
perpustakaan umum kota Rocky Beach. Jupiter yang menugaskannya ke situ,
setelah ternyata bahwa koleksi surat kabar kuno di Perhimpunan Sejarah tidak
lengkap. Sementara itu Diego telah menyelesaikan terbitan selama dua bulan
dalam kurun waktu tahun 1846 dan koran mingguan yang terbit di Rocky Beach
waktu itu. Ia kini sudah sampai pada minggu keempat bulan Oktober. Dan sejauh
itu hanya sedikit sekali yang berhasil ditemukannya. Mengenai Don Sebastian
hanya ada berita singkat mengenai kematiannya. Berita itu jelas sekali didasarkan
pada laporan Sersan Brewster. Jadi tidak terkandung hal-hal baru di dalamnya.
Diego mendesah lagi, lalu menggeliat. Ruang baca itu sunyi. Hanya hujan yang
turun di luar saja yang kedengaran. Diego membalikkan tubuh, menghadapi
setumpuk buku yang terletak di meja di sampingnya. Buku-buku itu berisi tulisan
kenang-kenangan serta catatan harian penduduk Rocky Beach pada abad
kesembilan belas.
Diego membuka buku kenang-kenangan yang terletak paling atas, lalu mulai
mencari bagian sejak pertengahan bulan September tahun 1846.
***
Jupiter mendengarkan bunyi hujan yang berderai turun di luar gedung
Perhimpunan Sejarah. Ia baru saja menyelesaikan buku catatan kelima yang sudah
ditelitinya selama itu. Catatan harian kuno dari para pemukim bangsa Spanyol
yang ditulis dengan tangan sangat menarik perhatiannya. Berulang kali Jupiter
harus mengingatkan dirinya agar hanya menyimak catatan dari tanggal-tanggal
yang berdekatan dengan saat Don Sebastian melarikan diri. Tapi sampai sejauh itu,
bahkan catatan pada hari-hari bulan September 1846 yang penuh gejolak itu sama
sekali belum menghasilkan petunjuk baginya.
Dengan lesu dibukanya buku catatan harian keenam. Harapannya sudah tipis, akan
bisa menemukan sesuatu yang penting di dalamnya. Tapi setidak-tidaknya
menyimak buku catatan sekali ini takkan begitu merepotkan, karena ditulis dalam
bahasa Inggris. Penyusunnya seorang letnan dua barisan berkuda dari pasukan
Amerika yang dipimpin oleh Mayor Fremont.
Setelah menemukan halaman-halaman yang berisikan catatan untuk kurun waktu
pertengahan bulan September, dengan segera Jupiter mulai membaca.
Sekitar sepuluh menit kemudian sinar matanya tiba-tiba berubah. Sikap duduknya
pun menegang. Dengan seksama dibacanya sekali suatu halaman tertentu dalam
buku harian letnan dua itu.
Kemudian Ia bergegas bangkit untuk membuat fotokopi halaman itu, lalu pergi
setelah mengembalikan buku-buku harian yang dipinjamnya itu pada ahli sejarah
yang bertugas. Jupiter tidak mengacuhkan hujan yang masih saja mengguyur
***
Di ruang tempat tahanan menerima tamu di penjara Rocky Beach, sekali lagi Pico
menggeleng.
"Aku tidak ingat lagi. Apa boleh buat. "
“Baiklah,” kata Bob. Sikapnya tetap tenahg. “Kita telusuri saja lagi, langkah demi
langkah. Kita sekarang di sekolah, dan saat itu Anda masih memakai topi itu.
Tentang itu Jupiter benar-benar yakin, dan aku pun sekarang rasanya ingat lagi.
Nah—”
“Aku berani bertaruh, Skinny dan bahkan orang bernama Cody itu pun pasti ingat
bahwa ketika itu Pico memakai topinya,” kata Pete dengan getir.
"Tapi mereka takkan mau mengaku,” kata Bob. “Lalu Pete mengatakan bahwa ia
masih ingat, ketika beràda di pangkalan topi itu masih Anda pakai. kemudian
ketika sama-sama berada di bak belakang truk, Anda bercerita pada kami tentang
anugerah tanah yang kemudian menjadi milik keluarga Alvaro. Aku ingat Anda
saat itu menunjuk-nunjuk ke berbagai hal yang kita lewat. Jadi Anda tidak
memegang topi itu. Karena kita duduk di bak belakang yang terbuka,
kemungkinannya topi itu Anda pakai untuk menahan angin.”
"Lalu kemudian kita sampai di hacienda," sambung Pete. “Kita semua turun dari
truk, lalu Anda bercakap-cakap dengan Paman Titus, mengenai patung Cortes. Apa
yang terjadi sesudah itu, Pico? Apakah Anda masuk ke hacienda, dan saat itu
barangkali melepaskan topi Anda?"
“Aku...” Pico berusaha mengingat-ingat. “Tidak, aku tidak masuk ke rumah. Aku...
kita semua... Nanti dulu! Ya, kurasa akü ingat sekarang!”
“Apa?” seru Pete bersemangat.
“Teruskan!” desak Bob.
Mata Bob berkilat-kilat..
“Kita semua langsung masuk ke gudang, untuk melihat barang-barang yang saat
itu kutawarkan pada Mr. Jones. Keadaan di dalam bangunan itu agak gelap, dan
pandanganku terganggu tepi topiku. Karenanya lantas kubuka, agar bisa lebih jelas
melihat, lalu...” Kepala keluarga Alvaro yang jangkung itu menatap Bob dan Pete.
“Lalu topi itu kugantungkan ke sangkutan yang terdapat di sisi dalam pintu
gudang! Ya, aku tahu pasti sekarang. Topi itu kugantungkan di dalam gudang, lalu
ketika Huerta dan Cluerra berteriak-teriak di luar untuk memberi tahu bahwa ada
kebakaran, aku ikut lari ke luar bersama kalian semua. Topiku kutinggal di dalam
gudang."
“Kalau begitu mestinya tetap ada di situ, dan bukan dekat api unggun di tanah
pertanian Norris,” kata Bob.
“Jadi pasti ada yang mengambilnya, sebelum gudang itu terbakar,” kata Pete.
“Lalu orang yang mengambil itu meletakkannya di dekat api unggun, dengan
tujuan agar Pico kemudian bisa dituduh menyebabkan kebakaran!”
“Tapi,” kata Pico dengan pelan, “kita masih saja belum punya bukti sama sekali.”
“Mungkin kita bisa menemukan sesuatu didalam gudang, jika tidak semuanya
habis dimakan api di situ!” kata Bob. “Yuk, kita memberi tahu Jupiter, Pete.”
“Kami pergi, Pico!”
Setelah itu Bob dan Pete bergegas keluar, sementara Pico dibawa lagi oleh penjaga
ke selnya.
Pete dan Bob langsung menuju ke Perhimpunan Sejarah, lalu lari ke dalam gedung.
Sepeda-sepeda mereka dibiarkan saja kehujanan. Tapi Jupiter temyata tidak ada di
situ!
“Ke mana dia, Bob?" tanya Pete dengan heran.
“Entah, aku juga tidak tahu,” kata Bob sambil menggigit-gigit bibir. “Tapi masih
ada waktu beberapa jam lagi sebelum gelap, Dua! Masih ada waktu bagi kita untuk
mencari-cari tanda bukti di gudang Alvaro, yang bisa dipakai sebagai petunjuk
bahwa ada yang datang ke situ untuk mencuri topi Pico.”
"Ke mana saja kita sekarang, kalau begitu," kata Pete. “Mungkin Jupe juga ke
sana, bersama Diego."
Kedua remaja itu lari lagi ke luar untuk mengambil sepeda masing-masing, lalu
mengendarainya dengan terburu-buru di tengah hujan, menuju hacienda Alvaro
yang tinggal puing-puing.
Bab 12
TEMUAN DI TENGAH RERUNTUHAN
BOB dan Pete memasuki pekarangan hacienda Alvaro. Sementara itu hujan sudah
berhenti. Reruntuhan hangus di depan mereka lengang dan sunyi. Kelihatannya
seperti kerangka bangunan yang porak-poranda di tengah salah satu medan
pertempuran. Di atas punggung bukit yang terdapat di belakang hacienda itu
nampak patung kuda yang tidak berkepala lagi. Nampaknya aneh dan
menyeramkan, dengan latar belakang awan mendung yang berarak rendah. Balk
Jupiter maupun Diego tidak kelihatan di situ.
"Mungkin kita tadi lebih baik menunggu dulu, Bob,” kata Pete.
“Yah, yang jelas kita sudah ada di sini sekarang," kata Bob. "Tidak ada salahnya
jika kita mulai saja mencari, kalau-kalau ada salah satu tanda bukti yang bisa
ditemukan.”
Pete memandang bekas-bekas dinding dan balok-balok bangunan gudang yang
ambruk terbakar itu.
“Benar-benar berantakan! Di mana kita mulai?"
“Jupiter pasti akan mengatakan, mulai dari awal,” jawab Bob sambil berpikir.
“Kita harus mencari-cari di luar dulu, barangkali ada sesuatu yang tercecer. Atau
mungkin juga ada jejak kaki.”
Pete mengangguk. Kedua remaja itu memencar, masing-masing mulai mencari
pada satu sisi kandang terbuka yang terdapat di depan reruntuhan bangunan itu.
Keduanya beringsut-ingsut sambil membungkuk dan memperhatikan setiap jengkal
tanah yang becek, menuju ke arah pintu bangunan. Hujan yang turun selama
beberapa hari menyebabkan seluruh pekarangan becek. Lumpur melekat ke telapak
sepatu mereka, dan menimbulkan bunyi menyedot setiap kali mereka melangkah.
Mereka bertemu lagi di depan tempat yang dulunya merupakan pintu gudang.
Yang kini tinggal kusen yang hangus dan terpuntir saja.
“Bahkan ranting saja pun tak kutemukan di tanah,” kata Pete sambil mengeluh.
“Lumpurnya begitu tebal, sehingga benda yang ukurannya lebih kecil dari kepala
kita pasti terbenam di dalamnya."
“Dan kurasa kalau tidak ada hujan pun, kita takkan menemukan jejak kaki di sini.
Tanah begini keras sekali dalam keadaan kering,” kata Bob. "Kita coba saja di
dalam. "
Keadaan di dalam gudang yang terbakar itu sangat berantakan. Kayu konstruksi
atap dan dinding yang ambruk bertumpang tindih dengan sisa kamar, kandang, dan
sekian banyak barang berharga yang mulanya hendak dijual oleh Pico pada Paman
Titus. Kini semuanya hangus! Dua sisi dinding luar ambruk sama sekali, sedang
yang dua lagi tinggal kerangkanya saja. Jendela-jendela di kedua kerangka dinding
itu nampak sepertI luka menganga. Bau reruntuhan yang hangus terbakar menusuk
hidung, setelah ditimpa hujan berhari-hari. Hampir tidak ada sesuatu yang masih
bisa dikenali wujudnya di situ. Pete dan Bob berdiri sambil memandang dengan
bingung, memperhatikan keadaan yang begitu kacau.
“Mana mungkin kita bisa menemukan sesuatu di sini?" keluh Pete. “Maksudku,
kita bahkan tidak tahu apa sebenarnya yang harus dicari.”
“Kita harus mencari apa saja yang bisa dijadikan petunjuk tentang orang yang
datang kemari dan mengambil topi Pico,” kata Bob. Ia tidak mau segampang itu
menyerah. “Dan kau tahu sendiri apa yang akan dikatakan Jupiter dalam
menghadapi keadaan begini—kalau kita sudah melihatnya, saat itu kita pasti tahu!”
"Hebat,” kata Pete, “tapi bagaimana kita bisa menemukan sesuatu di tengah puingpuing
berantakan seperti ini? Dan di mana kita harus mulai mencari?”
“Kita mulai di tempat topi itu pada saat terakhir yang masih kita ketahui.” kata
Bob. Ia menuding ke sisi kusen pintu. Dinding depan di situ merupakan satu dari
kedua dinding luar yang masih tegak kerangkanya. “Lihatlah, sangkutan tempat
Pico menggantungkan topinya waktu itu masih ada di bagian dinding yang masih
tegak.”
“Sisa sangkutan itu, maksudmu,” kata Pete menggerutu. Tapi diikutinya juga Bob,
yang sementara itu menghampiri dinding yang ditunjuknya tadi.
Sangkutan yang terdiri dari tiga kait di sebelah dalam pintu juga tidak selamat dari
amukan api. Tapi sisa-sisanya masih nampak pada kerangka dinding yang hangus.
Bob dan Pete mulai mencari-cari di tanah, di bawah sangkutan itu.
Sisa benda-benda yang terbakar bercampur aduk dengan abu yang berasal dari
kayu. Sulit sekali mengenali apa sebenarnya benda-benda itu, kecuali genteng atap.
Kedua remaja itu menemukan sejumlah besar benda yang sudah tidak bisa
diketahui lagi wujud asalnya, sementara mereka mencari dengan gerak melingkar
yang semakin melebar. Tapi tidak satu pun dan benda-benda itu kelihatannya
berarti penting, atau mungkin merupakan milik orang lain.
Akhirnya Pete menghenyakkan diri pada sebatang balok penyangga atap yang
sudah ambruk.
“Jika ada tanda bukti tertentu di tengah reruntuhan ini, maka barang itu perlu ada
tanda khusus,” katanya. “Kalau tidak, aku takkan bisa mengenalinya.”
“Kurasa katamu itu benar, Dua,” kata Bob terpaksa mengakui. “Begitu banyak
barang rusak—”
“Ada yang datang,” kata Pete memotong, lalu bergegas menghampiri pintu. “Pasti
itu Jupe dan Diego. Ju—” Tahu-tahu Ia meloncat dan bersembunyi di balik dinding
depan, sambil berbisik, “Bob, yang datang itu tiga orang! Aku belum pernah
melihat mereka!”
Sambil cepat-cepat merunduk di belakang tumpukan reruntuhan yang ada di
dekatnya, Bob mengintip ke arah pintu.
“Mereka kemari!” katanya dengan suara lirih. “Tampang mereka mencurigakan,
Dua! Cepat ke sana, ke bawah balok-balok itu. Cepat!”
Kedua remaja itu bergegas menyelinap ke sisi bekas gudang itu, di mana dinding
sampingnya ambruk menimpa beberapa balok penyangga atap yang jatuh tersandar
ke dinding depan. Di bawah balok-balok yang ambruk itu terdapat rongga sempit
yang gelap dan berbentuk segitiga. Anak-anak merangkak ke dalamnya, lalu
merebahkan diri sambil mengintip keluar. Mereka menahan napas, karena takut
terdengar orang-orang yang datang itu.
Tidak lama kemudian ketiga pria yang dilihat Pete tadi masuk
“Ih, tampang mereka jahat-jahat” bisik Pete dengan cemas.
Ketiga orang itu masuk, lalu berdiri tidak jauh dari ambang pintu sambil
memandang puing-puing reruntuhan di depan mereka. Seorang di antara mereka
bertubuh besar, berambut hitam, dengan kumis tebal serta jenggot yang
kelihatannya tidak dicukur beberapa hari. Temannya bentubuh kecil dan
kerempeng, dengan muka sempit seperti celurut. Matanya yang kecil memancarkan
kelicikan. Sedang orang yang ketiga gendut, botak, dengan hidung besar berwarna
merah serta gigi depan gerepes. Ketiga-tiganya berpenampilan kumal dan kasar,
berpakaian seperti koboi yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, celana jeans
lusuh, sepatu koboi berlumur lumpur, kemeja biru yang dekil, serta topi kobol yang
kumuh karena sudah terlalu lama dipakai. Melihat muka dan tangan mereka,
terdapat kesan bahwa mereka pasti paling sedikit sudah satu bulan tidak mandi.
Ketiga orang itu memandang puing-puing di depan mata mereka dengan perasaan
yang tidak bisa dibilang senang.
“Kita takkan mungkin menemukan apa-apa di sini,” kata yang beitubuh kecil
kerempeng. “Mana mungkin bisa menemukan sesuatu di antara reruntuhan ini,
Cap?”
“Kita harus menemukannya,” kata orang yang bertubuh besar dan berkumis tebal.
“Mustahil, Cap,” kata yang gendut dengan suara tinggi mencicit. Ia menggelenggeleng.
“Tidak mungkin. Mustahil.”
"Pokoknya kalian harus mencari, mengerti?” tukas orang yang bernama Cap.
“Mestinya ada di sekitar sini.”
“Oke, Cap,” kata si Gendut, lalu menendang-nendang tumpukan puing sambil
menatap lantai dengan sikap seolah-olah benda yang dicari itu setiap saat akan
nampak.
Sedang orang yang bertubuh kecil kerempeng dan bertampang seperti celurut
mulai mondar-mandir mencari, tapi nampak tidak dengan bersungguh-sungguh.
Orang bertubuh besar yang dipanggil dengan sebutan ‘Cap’ membentaknya.
“Carl yang benar, Pike! Kau bukan sedang memetik kembang!”
Pike yang kerempeng itu melirik Cap dengan sebal, lalu membungkuk dan mencari
dengan lebih teliti. Kini Cap berpaling ke arah si Gendut.
“Kau juga, Tulsa. kita masing-masing mencari di satu bagian, mengerti?"
Dengan segera Tulsa berlutut di tengah-tengah puing bekas kebakaran, lalu
merangkak-rangkak dengan muka nyaris menyentuh tanah. Cap dan Pike
memperhatikan orang itu sesaat dengan wajah sebal, lalu memencar untuk mencari
di kedua sisi kusen pintu yang meliuk.
“Kau yakin hilangnya di sini, Cap?” tanya Pike. “Tentu saja aku yakin. Ketika
hendak pergi lagi waktu itu, kita kan terpaksa mengontak langsung lewat kabel
supaya bisa jalan! Dan kemudian terpaksa mengambil serepnya.”
Selama ketiga orang itu mencari-cari di tengah reruntuhan, dua kali mereka sudah
dekat sekali ke tempat Bob dan Pete bersembunyi sambil menahan napas. Cap
bahkan sudah begitu dekat, sehingga kedua remaja itu bisa menyentuh sepatunya,
kalau mereka mau—dan berani! Sambil meneguk ludah, Pete menuding ke pisau
runcing bergagang besar yang terselip dalam sepatu laki- laki bertubuh kekar dan
berkumis lebat itu.
“Ah, tidak tahu," kata Pike yang kerempeng setelah beberapa lama mencari-cari.
"Siapa bilang hilangnya sebelum kita sampai di sini?"
“Kita kan memerlukannya supaya bisa sampai di sini, Goblok!” tukas Cap dengan
sebaL
“Oke, tapi kan bisa saja kemudian tercecer di luar?” balas Pike dengan berteriak
pula.
Laki-laki kerempeng itu duduk pada sebuah balok, tepat di atas tempat Bob dan
Pete bersembunyi. Ia mengambil pisaunya yang juga nampak menyeramkan, lalu
menyayat-nyayat sepotong kayu yang hangus.
“Oke,” kata Cap akhirnya, “mungkin juga kau benar. Lagi pula, kurasa kita takkan
mungkin bisa menemukannya di sini, tanpa penerangan lampu. Kita cari saja
sekarang di tempat kita memarkir mobil kita waktu itu. Kalau di sana juga tidak
ketemu, kita ambil lampu untuk menerangi.”
Sementara Bob dan Pete meringkuk ketakutan, Pike bergegas berdiri lalu ikut
keluar bersama kedua temannya. Bob dan Pete masih mendengarkan saja selama
beberapa saat, tanpa berani berkutik. Mereka mendengar ketiga orang itu bercakapcakap
dengan nada kesal di pekarangan. Bob dan Pete masih terus menunggu.
Ketika di luar tidak terdengar apa-apa lagi, akhirnya mereka menyelinap keluar
dari bawah dinding yang ambruk, lalu menghampini ambang pintu. Di pekarangan
tidak kelihatan siapa-siapa lagi. Bob berpaling, memandang Pete dengan mata
bersinar gembira.
“Aku tidak tahu siapa ketiga orang tadi, Dua,” katanya, “tapi kuduga mereka
datang kemari pada hari kebakaran itu terjadi. Barangkali mereka ada sangkutpautnya
dengan topi Pico! Dan kurasa mereka kehilangan kunci mobil!”
“Kedengarannya memang begitu,” kata Pete sependapat. “Dan penampilan mereka,
kelihatannya mereka itu pekerja di ranch. Mungkin mereka bekerja untuk Mr.
Norris!”
“Dan mereka tadi berusaha keras untuk menemukan kunci itu,” kata Bob
menambahkan. "Itu berarti kunci itu bisa membahayakan diri mereka—atau
seseorang yang ada hubungannya dengan mereka. Yuk, kita cari sampai kétemu!”
“Kan sudah," kata Pete mengingatkan. “Dan orang-orang itu juga tidak berhasil
menemukannya."
“Mereka tadi mencari asal-asalan saja, dan kita sekarang tahu apa yang harus
dicari,” kata Bob. “Aku tadi sempat melihat sebuah penggaruk yang terbakar
gagangnya, di sebelah sana. Coba kauambil, lalu kita garuk puing-puing di sekitar
ambang pintu!”
Pete menemukan penggaruk itu, yang tertetak di salah satu sudut. Gagangnya
memang sudah terbakar separuh, tapi bagiannya yang terbuat dari logam masih
bisa dipakai. Dengan alat itu ia menggaruk-garuk reruntuhan dan abu yang
menumpuk di sekitar ambang pintu. Setiap kali terkena sesuatu yang berbunyi
seperti logam, dengan cepat Ia dan Bob membungkuk untuk memeriksa. Usaha
pencarian mereka agak lebih mudah dari sebelumnya karena langit tidak begitu
mendung lagi.
Akhirnya terdengar Bob berseru,
“Pete!” sambil menuding ke tanah. "Ada sesuatu yang berkilat di situ."
Pete menggaruknya sehingga muncul keluar dari tengah abu. Nyaris saja kepala
kedua remaja itu saling membentur, karena kedua-duanya membungkuk serempak
untuk memungut benda itu.
“Sepasang anak kunci!” seru Bob dengan gembira.
Kedua anak kunci itu tergantung pada rantai yang berhiaskan mata uang dollar.
“Ada tanda-tanda pengenal tertentu?” tanya Pete cepat-cepat.
“Tidak,” kata Bob, setelah mengamat-amati sebentar. “Tapi ini jelas kunci mobil,
dan pasti inilah yang dicari-cari ketiga orang tadi.”
“kecuali jika itu kepunyaan Pico,” kata Pete. "Atau salah seorang kawannya."
“He! kalian berdua!”
Bob dan Pete kaget. Mereka berpaling dengan cepat. Pria gendut yang bernama
Tulsa berdiri di ambang pintu sambil menatap mereka. Sesaat orang itu ragu, tidak
tahu apa yang harus diperbuat.
“Lari lewat belakang!” bisik Pete pada Bob.
Keduanya lari keluar lewat bagian belakang bangunan yang sudah runtuh itu, lalu
bersembunyi di balik beberapa batang pohon ek yang tumbuh di situ. Sambil
menyelinap dari pohon ke pohon, mereka bengerak ke suatu posisi dari mana
mereka bisa melihat pekarangan hacienda.
"He! Kalian!"
Pria bertubuh besar yang bernama Cap berdiri dekat hacienda yang sudah habis
terbakar. Ia menggerakkan tangan, menyuruh Bob dan Pete datang. Tiba-tiba pria
kerempeng yang bertampang seperti celurut datang dari arah kandang terbuka.
“Cap!” serunya. “Kata Tulsa, anak-anak itu menemukan sesuatu di dalam
gudang!”
Bob dan Pete celingukan. Jalan lari ke sepeda-sepeda mereka yang tadi ditaruh di
pekarangan hacienda terhalang, sedang di dekat-dekat situ tidak ada tempat yang
bisa dipakai untuk menyembunyikan diri.
“Ke bukit!” desis Pete.
Kedua remaja itu lari menuju punggung bukit tinggi, di mana patung kuda tanpa
kepala nampak menjulang berlatarbelakangkan langit!
Bab 13
BAHAYA DI RANCH
DARI Perhimpunan Sejarah, Jupiter pergi ke Perpustakaan Umum Rocky Beach.
Dijumpainya Diego dalam keadaan murung di sana.
“Dalam koran-koran kuno itu banyak berita tentang tembak-menembak di sekitar
sini pada waktu itu," kata remaja langsing berdarah Spanyol itu, “tapi tidak satu
pun di antaranya yang bisa kita jadikan petunjuk tentang apa yang sebenarnya
terjadi dengan Don Sebastian.”
“Tidak apa,” kata Jupiter bersemangat, “karena kurasa aku sudah berhasil
menemukan sesuatu! Bob dan Pete mestinya sementara ini sudah selesai dengan
tugas mereka di penjara. Mungkin mereka sudah menunggu di kantor. Yuk, kita ke
sana!”
Jupe dan Diego mengayuh sepeda mereka cepat-cepat menembus hujan, menuju ke
The Jones Salvage Yard. Jupe mengajak Diego masuk lewat jalan belakang, untuk
menghindari kemungkinan dilihat oleh Bibi Mathilda atau Paman Titus yang
barangkali kemudian akan menyuruh melakukan ini atau itu. Jupe mengerem
sepedanya di sisi pagar belakang, sekitar lima belas meter dari pojok. Sekeliling
pagar yang mengitari pangkalan barang bekas itu dihiasi dengan lukisan dinding
yang dibuat oleh sejumlah pelukis kota Rocky Beach, dan Jupe berhenti di depan
bagian yang menggambarkan peristiwa kebakaran kota San Francisco, yang terjadi
pada tahun 1906. Gambar seekor anjing kecil nampak duduk dekat kobaran api
berwarna merah.
“Anjing ini kami beri nama Kelana,” kata Jupiter pada Diego, “jadi jalan rahasia
untuk masuk ke dalam yang ada di sini disebut Kelana Gerbang Merah!”
Salah satu mata anjing kecil itu sebenarnya mata kayu papan pagar. Dengan hatihati
Jupiter mencongkel mata kayu itu, lalu meraihkan jarinya ke dalam lubang
yang terjadi untuk menarik gerendel yang tersembunyi di sebelah dalam. Seketika
itu juga tiga lembar papan pagar terayun ke atas, dan dengan cepat Jupiter
menyuruh Diego masuk ke pekarangan, diikuti olehnya sendiri.
Sesampainya di dalam mereka menaruh Sepeda-sepeda mereka dulu, lalu
merangkak lewat lorong-lorong yang tersembunyi di tengah tumpukan barang
bekas, dan akhirnya sampai di depan selembar papan tripleks. Mereka masuk ke
dalam karavan yang merupakan kantor Trio Detektif dengan jalan menggeser
papan itu. Tapi Bob dan Pete temyata tidak ada di situ.
“Mungkin mereka masih sibuk dengan Pico,” kata Jupiter. “Kita tunggu saja di
sini.”
"Baiklah,” kata Diego. “Tapi tadi kaukatakan menemukan sesuatu. Apa itu?”
Dengan mata bersinar-sinar, Jupiter mengeluarkan secarik kertas.
“Seorang letnan anak buah Fremont yang datang kemari, ternyata menyusun buku
catatan harian. Aku menemukan catatan ini, dengan tanggal 15 September 1846,”
kata Jupiter, lalu mulai membacakan isi fotokopi catatan itu. “Pikiranku kalut!
Kurasa akal sehatku terganggu, karena ketegangan saat-saat penyerbuan. Tadi
malam aku ditugaskan pergi ke hacienda Don Sebastian Alvaro untuk mencari
barang-barang terlarang yang mungkin disembunyikan di sana. Saat itu sudah
temaram senja, dan aku melihat sesuatu yang hanya mungkin disebabkan oleh
pikiran yang sedang kacau. Di atas punggung bukit memanjang, di seberang sungai
kecil yang oleh orang-orang setempat dinamakan Santa Inez Creek, aku merasa
dengan jelas sekali melihat Don Sebastian Alvaro yang sedang menuntun kudanya,
sambil mengacungkan pedang! Sebelum aku sempat mencoba menyeberangi
sungai itu, sekelilingku sudah gelap. Karena tidak mau mengambil risiko terlibat
dalam perkelahian sementara aku seorang diri saja saat itu, aku lantas, kembali ke
perkemahan pasukan. Sesampainya di sana aku diberi tahu bahwa Don Sebastian
pagi itu mati ditembak ketika berusaha melarikan diri. Kalau begitu, lalu apa yang
kulihat di seberang sungai, ketika aku pergi dari hacienda Alvaro? Hantu? Atau
hanya bayangan dalam khayalanku? Mungkinkah aku sebelumnya sepintas talu
mendengar orang berbicara tentang kematian Don Sebastian tapi melupakannya
lagi, lalu baru teringat ketika kedatanganku di hacienda Alvaro membangkitkannya
dari lubuk pikiranku yang saat itu sudah sangat lelah? Aku tidak tahu.”
“Tapi Don Sebastian kan sama sekali tidak mati ditembak saat itu!” seru Diego
bergairah. “Jadi letnan itu rupanya benar-benar melihat dia! Dan Don Sebastian
saat itu membawa pedangnya, Jupiter!”
“Betul,” kata Jupiter dengan nada puas, “kurasa kita sekarang sudah berhasil
membuktikan secara jelas bahwa pada malam tanggal 15 September itu Don
Sebastian masih hidup, dan Pedang Cortes ada padanya setelah Ia berhasil
meloloskan diri. Baik penglihatan maupun pikiran letnan itu tidak terganggu!
Nanti, begitu Bob dan Pete sudah datang, kita datangi tempat yang dikatakan oleh
letnan itu, untuk mengadakan pemeriksaan di situ!”
Tapi sampai setengah jam kemudian, Bob dan Pete masih juga belum muncul di
kantor Trio Detektif. Diego mulai cemas.
“Mungkin ada sesuatu yang terjadi dengan mereka. Atau mungkin dengan Pico,”
kata remaja itu dengan gelisah.
“Kemungkinan itu selalu ada,” kata Jupiter dengan wajah serius, “tapi kurasa yang
lebih mungkin ialah bahwa mereka berhasil mengetahui sesuatu dari pembicaraan
mereka dengan Pico, lalu setelah itu langsung mengadakan penyelidikan sendiri.
“Tapi ke mana kemungkinannya mereka pergi?"
“Kalau mengingat bahwa mereka bertugas menanyai Pico tentang di mana
abangmu itu terakhir kalinya masih melihat topinya, maka kuduga mereka setelah
itu pergi ke hacienda kalian. Yuk, kita cari mereka ke sana.”
Diajaknyä Diego menyelinap lagi ke luar lewat Kelana Gerbang Merah, lalu
mereka memacu sepeda secepat-cepatnya menuju hacienda yang sudah habis
dimakan api. Sementara itu hujan sudah berhenti, dan langit mulai terang kembali.
Air di dalam Santa Inez Creek sudah tinggi ketika kedua remaja itu melintasinya
lewat jembatan batu. Ketika sedang menyusur deretan punggung bukit yang
memanjang antara sungai dan arroyo, mereka sempat mengarahkan pandangan ke
patung Cortes di atas kuda tak berkepala yang terdapat di punggung bukit terakhir.
“Jupiter! Patung itu! Dia... dia bergerak!” seru Diego.
Keduanya Iangsung mengerem sepeda masing-masing, lalu menatap ke arah
patung.
“Tidak! Bukan patung itu yang bergerak!” kata Jbpiter. “Ada orang di sana, di
dekatnya!”
“Dia bersembunyi di belakang patung!” seru
Diego.
“Mereka berdua! Dan sekarang mereka lari!”
“Menuruni bukit, menuju kemaril”
“Itu Bob dan Pete!”
“Yuk, kita songsong mereka!”
Dengan terburu-buru mereka menyurukkan sepeda-sepeda mereka ke dalam semak
di tepi jalan, lalu lari menyongsong Bob dan Pete yang sementara itu sedang
pontang-panting menuruni lereng sebelah ujung bukit yang memanjang, menuju ke
jalan. Dengan napas tersengal-sengal, keempat remaja itu bergabung di kaki bukit,
dalam parit yang dalam di sisi jalan.
"Kami berhasil menemukan petunjuk, Satu!" kata Pete dengan napas putus-putus.
“Dan kami kepergok tiga orang,” kata Bob.
“Siapä mereka!" tanya Diego.
“Kami tidak tahu, tapi kami dikejar oleh mereka!"
“Lari ke jembatán,” kata Jupiter. “Kita bersembunyi di bawahnya!”
“Mereka nanti pasti mencari ke sana!” kata Bob.
“Di sebelah sana ada pipa saluran air yang besar!” seru Diego. “Ujungnya di parit
ini, tapi tidak kelihatan karena sekelilingnya penuh dengan semak! Ayo, kita ke
sana!”
Keempat remaja itu lari menyusur parit yang becek dan penuh semak itu.
Kemudian Diego menyuruk masuk ke tengah belukar lebat dan berduri. Benarlah,
di balik belukar itu nampak ujung sebuah pipa besar yang menyalurkan air yang
datang dari lereng bukit. Anak-anak bergegas masuk ke dalam pipa itu, tanpa
mempedulikan air hujan setinggi mata kaki yang mengalir di dalamnya. Begitu
semua sudah masuk, belukar yang tadi ditarik kembali sehingga menutupi jalan
masuk. Setelah itu mereka hanya bisa duduk menongkrong bersesak-sesak,
menunggu dengan perasaan gugup.
“Petunjuk apa yang kalian temukan?” tanya Jupe berbisik.
Bob dan Pete menuturkan tentang sepasang anak kunci yang mereka temukan di
dalam gudang yang sudah habis terbakar, serta pengalaman mereka di situ. Dalam
keremangan tempat mereka bersembunyi itu, Diego memperhatikan temuan Bob
dan Pete.
“Aku yakin, ini bukan punya kami,” katanya.
“Orang-orang itu mengatakan bahwa mereka kehilangan ini sehingga terpaksa
menghidupkan mesin mobil dengan cara mengontak kabel-kabel?” Jupiter
merenung. “Dan cerita kalian kelihatannya orang-orang itu berada di dalam gudang
sebelum bangunan itu terbakar. Dan mereka rupanya tidak ingin orang lain
menemukan kunci-kunci itu, sehingga tahu bahwa mereka pernah ke sana!
Mungkin mereka bertiga itu yang mencuri topi dan meletakkannya dekat api
unggun!”
“Tapi siapakah mereka, Satu?” tanya Pete dengan sikap bingung.
“Aku tidak tahu, Dua, tapi mereka pasti ada sangkut-pautnya dengan peristiwa
kebakaran serta penahanan Pico. Aku... Ssst!”
Keempat remaja yang sedang bersembunyi itu langsung membisu. Dan arah
sebelah atas, terdengar bunyi langkah berlari-lari di jalan! Anak-anak mengintip ke
luar lewat sela-sela belukar lebat. Mereka melihat ketiga pria berpenampilan
kumuh itu. Dengan wajah sangar, ketiga koboi itu berlari lewat. Mereka tidak
berbicara.
“Baru sekali ini aku melihat mereka!” bisik Diego. “Jika mereka itu bekerja untuk
Mr. Norris, jelas mereka itu orang baru.”
“Kalau begitu mau apa mereka di sini?" tanya Pete.
“Itulah yang perlu kita selidiki, Dua,” kata Jupiter.
“Cuma satu hal saja kuharapkan,” kata Bob sepenuh hati, “mudah-mudahan
mereka tidak muncul kembali!”
Keempat remaja itu menunggu sambil memasang kuping. Mereka tidak mendengar
bunyi apa-apa lagi di jalan. Setetah lima belas menit dalam keadaan tegang,
akhimya Jupiter mendesah.
“Kurasa sebaiknya salah seorang dari kita keluar untuk memeriksa,” katanya lirih.
“Biar aku saja,” kata Diego. “Mereka itu kan mengejar Bob dan Pete, bukan aku.
Dan aku tinggal di sini, jadi ada kemungkinan mereka tidak begitu curiga jika nanti
melihat aku.”
Remaja bertubuh langsing itu begitu cepat menyelinap ke luar, sehingga sangat
kecil kemungkinannya ada orang yang melihat dari mana Ia muncul. Diego naik ke
badan jalan, lain berjalan menuju ke jembatan yang terdapat di sebelah kiri. Anak
anak yang bersembunyi dalam pipa saluran menunggu lagi. Akhirnya Bob yang
paling dulu mendengar bunyi orang datang, lalu beranjak hendak keluar.
“Tunggu dulu!” desis Pete. “Jangan-jangan itu bukan Diego!”
Bob tidak jadi keluar. Sesaat kemudian orang yang datang itu berhenti tepat di
depan ujung pipa.
“Oke, keadaan sudah aman.”
Ternyata yang datang itu Diego. Ketiga remaja yang masih berada di daiam pipa
bergegas keluar, lain mengikuti Diego kembali ke jembatan yang melintas di atas
Santa Inez Creek. Diego menunjuk ke arah bukit-bukit. Di kejauhan nampak ketiga
pria tadi, di jalan tanah yang melintasi tanah pertanian milik Mr. Norris. Mereka
menuju ke utara.
“Mereka putus asa,” kata Diego sambil nyengir. “Dan kira-kira di sini kan
tempatnya, di mana kita hendak mengadakan penyelidikan, Jupiter?"
“Menyeiidiki apa?” tanya Bob dan Pete serempak
Jupiter memberi tahu mereka tentang buku harian letnan itu, lalu menunjukkan
fotokopi dari halaman yang dimaksudkan.
“Wow!” seru Pete. “Jadi Don Sebastian ternyata memang berhasil meloloskan diri,
dan dengan membawa Pedang Cortes!”
"Ya, begitulah keyakinanku pula,” kata Jupiter. Tapi kemudian Ia mendesah.
“Sayangnya, catatan ini takkan bisa menotong kita menernukan pedang itu!”
“Tapi letnan itu kan menulis—” kata Diego.
“Tidak mungkin Ia melihat apa yang dikatakan dilihat olehnya,” kata Jupiter
memotong, “atau setidak-tidaknya, di tempat Ia merasa melihatnya. Coba pikir
saja—ia menulis bahwa saat itu ía baru saja meninggatkan hacienda. Itu berarti Ia
berada di sisi sungai di sebelah sini, di sisi barat. Ia memandang ke timur, ke
seberang sungai, kira-kira dari tempat kita sekarang ini. Ia menulis bahwa Ia
melihat punggung bukit—padahal dilihat dari sini, sama sekali tidak ada bukit di
seberang sana!”
Di seberang Santa Inez Creek yang saat itu sedang penuh dengan air, sejauh mata
memandang hanya dataran saja yang nampak, bahkan sampai di balik bangunanbangunan
ranch milik Mr. Norris!
“Kelihatannya Ia keliru,” kata Jupiter dengan murung, “dan itu bisa tentang di
mana Ia berada waktu itu, atau kalau tidak, apa yang diingatnya saat menulis
catatan harian itu.”
Keempat remaja itu berpandang-pandangan dengan lesu.
“Kurasa lagi-lagi kita sampai di ujung jalan buntu, Teman-teman,” kata Jupiter.
Dengan sedih mereka kembali ke tempat sepeda-sepeda mereka, lalu pulang.
Bab 14
KEADAAN SEMAKIN GENTING
MALAM itu hujan lebat turun lagi, dan masih berlanjut sepanjang hari besoknya.
Anak-anak tidak sempat berembuk tentang Pedang Cortes. Mereka juga tidak ada
waktu untuk berusaha mengadakan penyelidikan tentang kunci mobil yang
ditemukan di lokasi bekas gudang yang terbakar. Seusai sekolah, sampai sore
mereka sibuk terus dengan tugas-tugas pelajaran.
Sorenya Diego menjenguk abangnya, dan menunjukkan pasangan anak kunci yang
ditemukan padanya. Ia juga melaporkan tentang ketiga pekerja ranch yang muncul
di hacienda. Tapi Pico tidak mengenali kedua anak kunci yang ditunjukkan. Ia juga
tidak tahu siapa ketiga orang asing itu, dan kenapa mereka tampaknya berminat
terhadap gudang yang kini sudah tinggal reruntuhannya saja.
“Kecuali,” kata Pico dengan getir, "Jika Mr. Norris mengambil mereka untuk
memaksa kita agar melepaskan pertanian kita!”
Sehabis makan malam itu ketiga anggota Trio Detektif datang lagi ke perpustakaan
umum serta ke Perhimpunan Sejarah. Di sana mereka sekali lagi meneliti korankoran
kuno, begitu pula buku-buku dan catatan-catatan harian, buku kenangkenangan,
serta dokumen-dokumen laporan tentang Amerika Serikat yang
sebelumnya sudah mereka periksa. Sekali lagi mereka menyimak laporan palsu
tentang kematian Don Sebastian, serta pernyataan resmi tentang perginya Sersan
Brewster beserta kedua kawannya meninggalkan pasukan tanpa izin. Surat Don
Sebastian yang aneh pada anaknya, dengan tulisan “Puri Nasar’ pada bagian kepala
surat, begitu pula catatan letnan Amerika yang nampaknya mengandung
kekeliruan. Tapi ketiga anggota Trio Detektif tidak menemukan hal-hal baru,
apalagi sesuatu yang penting.
Hujan masih terus turun semalaman itu, dan juga sepanjang hari Rabu besoknya.
Pihak berwenang langsung siaga, menyiarkan pengumuman pada penduduk di
kawasan itu agar berjaga-jaga terhadap kemungkinan akan ada banjir. Sehabis
sekolah, sudah ada tugas menunggu Bob dan Pete di rumah masing-masing. Diego
pergi menjenguk Pico lagi, sementara Jupiter dengan lesu kembali lagi ke
Perhimpunan Sejarah, untuk melanjutkan pekerjaan pelacakan yang membosankan.
Selesai melakukan tugas masing-masing di rumah, Bob dan Pete dengan segera
pergi ke kantor Trio Detektif. Setelah membuka mantel yang basah kuyup.
keduanya duduk mendekam di depan alat pemanas listrik yang juga ada dalam
karavan yang tersembunyi letaknya itu, menunggu Jupiter dan Diego datang.
“Bagaimana menurut perasaanmu, Bob— mungkinkah kita akan berhasil
menemukan pedang itu?" tanya Pete.
“Entah ya,” jawab Bob. “Coba kejadiannya belum begitu lama, mungkin harapan
kita bisa lebih besar. Memang ada bermacam-macam laporan tentang kejadian
tembak-menembak dan keributan antara para pemukim Meksiko dengan tentara
Amerika di kawasan perbukitan sana, tapi kita tidak bisa tahu apakah di antaranya
ada yang melibatkan Don Sebastian, atau ketiga perajurit Amerika yang lain itu.”
Tidak lama kemudian Diego datang, lewat Lorong Dua. Bob dan Pete kaget
melihat tampangnya, ketika muncul dari lubang tingkap di lantai. Diego kelihatan
semakin sedih saja, dibandingkan dengan dua hari belakangan.
“Ada sesuatu yang terjadi dengan Pico?” tanya Bob dengan cemas.
“Ada lagi kesulitan menimpanya?" kata Pete menimpali.
“Pico tidak apa-apa, tapi ada kesulitan lain menimpa dia. Menimpa kami berdua!”
Diego membuka jaketnya yang basah kuyup, lalu duduk di sisi Bob dan Pete, di
depan alat pemanas yang memancarkan kehangatan. Diego menggeleng-geleng
dengan sikap putus asa.
“Senor Paz sudah menjual surat tanda pinjaman kami pada Mr. Norris,” katanya.
“Aduh, gawat’ keluh Pete.
“Tapi,” kata Bob, “Ia kan berjanji akan menangguhkan selama—”
“Don Emiliano tidak bisa dipersalahkan,” kata Diego. “Ia sangat memerlukan
uangnya, sedang karena Pico ditahan, entah baru kapan kami akan melunasi utang.
Di samping itu, Pico kan perlu uang untuk membayar jaminan serta untuk
pembelaannya. karenanya Pico menyuruh Don Emiliano untuk menjual surat tanda
pinjaman itu sekarang ini juga.”
“Kami ikut menyesal, Diego,” kata Bob dengan suara lirih.
“Wah, kelihatannya benar-benar payah,” kata Pete. “Maksudku, tanpa ada
petunjuk-petunjuk lain kita takkan mungkin bisa menemukan pedang itu, dan
sekarang tidak banyak lagi waktu yang tersisa untuk mencari-cari petunjuk.
Menurut perkiraanmu, masih berapa lama lagi kita—”
Tiba-tiba terdengar bunyi berisik di sisi luar panil yang merupakan ujung jalan
rahasia lewat kelana Gerbang Merah. Panil itu digeser, disusul masuknya Jupiter
yang basah kuyup dan terengah-engah.
“Aku tadi dibuntuti Skinny,” kata Jupiter dengan napas putus-putus, “tapi aku
berhasil meninggalkannya, lalu masuk lewat Kelana Gerbang Merah tanpa
ketahuan!”
“Kenapa ia mengejarmu?” tanya Diego heran.
“Mana aku tahu? Masak aku tadi harus berhenti untuk menanyakan?" tukas Jupiter.
“Mungkin saja Ia bermaksud hendak bicara, tapi aku ingin cepat-cepat kemari
tanpa membuang-buang waktu dengan Skinny! Teman-teman, aku berhasil
menemukan—"
Terdengar bunyi nyaring, seperti ada sesuatu
jatuh ke tengah tumpukan barang bekas yang menutupi karavan yang tersembunyi
letaknya. kemudian terdengar bunyi keras lagi, di tempat lain dalam pekarangan
pangkalan itu, disusul suara Skinny.
“Aku tahu kau ada di sekitar sini, Fatso Jones! Aku tahu pasti, kalian semua ada di
sini! kalian mengira kalian pintar, ya?"
Sekali lagi terdengar bunyi nyaring di luar. Skinny berdiri di tengah pekarangan
yang becek karena hujan, sambil melemparkan berbagai benda yang berat ke
tumpukan barang bekas yang ada di situ. Ia merasa yakin bahwa para anggota Trio
Detektif pasti bersembunyi di sekitar situ, tapi tidak tahu di mana tepatnya.
“Tapi kalian ternyata kalah cerdik!” seru Skinny di tengah hujan. “Dengar tidak?
Kawan-kawan kalian orang Meksiko itu tidak bisa berkutik lagi sekarang! Hari
Sabtu nanti pertanian mereka akan kami ambil alih! Kalian dengar itu?”
Keempat remaja yang berada dalam karavan berpandang-pandangan. Hanya
Jupiter saja yang nampak bingung saat itu. Ia belum mendengar kabar bahwa surat
gadai tanah pertanian Alvaro sudah dijual Emiliano Paz pada Mr. Norris.
“Jadi tinggal beberapa hari lagi!” teriak Skinny lagi. “Tidak ada kemungkinan lagi
bagi kalian untuk menolong kedua pendatang gelap itu! Apa pun juga yang kalian
rencanakan, semuanya tidak ada gunanya lagi! Sekali ini kalian terpaksa mengaku
kalah, Sok jago!” Skinny tertawa mengejek “Nah, selamat bermimpi, Anak-anak
konyol! Selamat berkhayal!”
Sambil tertawa terus, Skinny pergi lagi. Ana-kanak yang berada dalam karavan
masih mendengar suaranya selama beberapa waktu, makin lama makin menjauh.
Akhirnya tinggal bunyi hujan saja yang terdengar menderu di atap.
“Sok aksi benar Skinny itu!” tukas Jupiter marah-marah. “Padahal Ia cuma ingin
membuat kita mengira — "
“Tidak,” kata Diego. “Sekali ini ia mengatakan
yang sebenarnya, Jupiter.” Ia lantas menuturkan tentang penjualan surat gadai oleh
Emiliano Paz.
"Dan hari Sabtu nanti kami sudah harus melunasinya,” kata Diego dengan wajah
murung. “Don Emiliano memberi kelonggaran pada kami untuk membayar
sebagian dulu, tapi Mr. Norris —jika kami tidak langsung melunasi seluruhnya,
pertanian kami akan langsung disita olehnya sebagai tebusan.”
“Jadi kelihatannya Mr. Norris menang juga akhirnya,” kata Jupiter.
“Jupe!” seru Bob kaget
“Kau kan tidak berniat menyerah dengan begitu saja!” ujar Pete.
“Aku — aku tidak bisa menyalahkan sikapmu,” kata Diego terbata-bata.
Mata Jupiter berkilat-kilat.
“Aku tadi bilang, Mr. Norris kelihatannya sudah menang! Itu berarti sekarang tidak
ada lagi yang akan merintangi kita. Kita harus memanfaatkan waktu yang masih
tersisa—dan itu tidak banyak!”
“Tidak ada waktu, maupun petunjuk,” keluh Pete.
“Kau keliru,” kata Jupiter mantap. “Kalau petunjuk, sebenarnya banyak! Cuma kita
saja yang belum berhasil menafsirkannya dengan tepat. Dan aku sudah
menemukan satu petunjuk lagi, bahwa dugaan kita selama ini ternyata benar.”
Pemimpin Trio Detektif yang bertubuh montok itu mengeluarkan secarik kertas
dari kantungnya.
“Bob benar ketika mengatakan bahwa ada kemungkinan Don Sebastian berniat
menyembunyikan diri di perbukitan, dengan membawa Pedang Cortes. Ia memang
berniat begitu, dan kemudian juga dilakukan olehnya.” Disodorkannya kertas yang
dipegangnya pada Diego. “Tulisannya dalam bahasa Spanyol, Diego, dan aku tidak
pasti apakah aku benar-benar menangkap maksudnya. Coba tolong terjemahkan.”
“Kelihatannya ini berasal dari catatan harian,” kata Diego sambil mengangguk.
“Tanggalnya 15, September, tahun 1846.” Ia mulai menerjemahkan isi seterusnya.
“Malam ini kelompok kami yang kecil dan terdiri dari para patriot, mendengar
berita bahwa Rajawali sudah berhasil menemukan sarang. Kita harus menyusun
rencana mengenai kesejahteraannya. Tugas itu tidak enteng, mengingat di mana
mana ada pemangsa yang siap menerkam. Tapi mungkin kami bisa menemukan
jalan!” Diego berhenti membaca. “Menurut perasaanmu, rajawali itu Don
Sebastian, Jupiter? Bahwa catatan inl berarti ada sejumlah patriot Meksiko yang
berhasil meloloskan diri, dan merencanakan untuk membantunya bersembunyi?"
“Itu kuyakini,” kata Jupiter. "Buku catatan harian itu berasal dari seseorang yang
waktu itu menjadi walikota pemerintahan Spanyol, seorang sahabat keluarga
Alvaro. Dan dari dokumen-dokumen kuno yang kubaca, Don Sebastian itu
sewaktu mudanya ternyata dijuluki ‘Rajawali.’ "
“Tapi,” kata Bob, sambil memandang kertas catatan harlan yang ditulis dalam
bahasa Spanyol itu, “apa gunanya ini bagi kita, Satu? Maksudku, mungkin saja
dugaanku waktu itu benar dan Don Sebastian memang menyembunyikan diri
seperti yang dilakukan oleh Cluny MacPhenson—tapi di sini tidak ada keterangan
tentang di mana Ia menyembunyikan diri. Bagaimana dengan catatan hari-hari
selanjutnya dalam buku harian walikota itu Jupe? Ada informasi yang lebih jelas
dari yang ini?".
“Catatan ini merupakan yang paling akhir dalam buku itu, Bob. Sedang buku
catatan walikota itu yang lain, sayangnya tidak ada. Ia tewas beberapa minggu
setelah tanggal ini, dalam pertempuran melawan pasukan yang menyerbu. Kurasa
Ia kemudian begitu sibuk, sehingga tidak sempat meneruskan catatannya.”
“Yah, jika Don Sebastian memang menyembunyikan diri di kawasan perbukitan,”
kata Pete, “lalu apa yang kemudian terjadi dengan dirinya? Mungkin Ia dibantu
kawan-kawannya melarikan diri meninggalkan kawasan ini dengan membawa
pedangnya, dan sejak itu tidak pernah lagi kembali!”
“Itu mungkin saja, Dua,” kata Jupiter, “tapi menurutku, bukan itu yang terjadi.
Karena jika Don Sebastian berhasil meloloskan diri ke luar, mestinya hal itu
disinggung dalam catatan-catatan harian serta kenang-kenangan yang sudah kita
baca selama ini. Tidak, menurutku kemudian ada sesuatu yang terjadi dengannya,
ketika sudah sampai di perbukitan. Tepatnya apa, aku tidak tahu. Dan kurasa waktu
itu pun tidak seorang pun yang tahu! kurasa itulah kunci misteri ini—apa yang
sebetulnya terjadi waktu itu dengan Don Sebastian!”
“Kalau waktu itu saja sudah tidak ada yang tahu,” kata Pete, “bagaimana kita mau
mengetahuinya sekarang?”
“Kita harus menyelidikinya, Dua, sebab kita tahu di mana Ia berniat hendak
menyembunyikan diri!” ujar Jupiter dengan nada yakin. “Itu dinyatakannya dengan
diterangkannya ‘Puri Nasar’ pada kepala suratnya! Aku yakin, jawabannya ada di
sana, dekat cadas besar itu. Ada sesuatu di sana yang terlepas dari pengamatan
kita—dan besok begitu sekolah bubar, kita ke sana dan menemukannya!”
Bab 15
TEMPAT PERSEMBUNYIAN
HUJAN agak mereda ketika sekolah usai hari Kamis itu, sehingga keempat remaja
itu bisa dengan agak leluasa bersepeda menuju reruntuhan bekas hacienda keluarga
Alvaro. Tapi mereka terus berjaga-jaga, jangan sampai kepergok ketiga orang yang
berpenampilan seperti gelandangan itu.
Jalan tanah menuju ke pegunungan sudah menjelma menjadi kubangan lumpur
setelah hujan turun terus-menerus selama seminggu. Karenanya mereka
meninggalkan sepeda-sepeda mereka di bawah pondok darurat yang mereka buat
dari papan-papan yang masih agak utuh. Bob berbekal tas yang berisi perkakas dan
senter. Tas itu dilepaskannya dari sadel sepeda, lalu digantungkannya ke ikat
pinggang. Setelah itu mereka berempat menuju ke arah bendungan, dan dari situ ke
cadas besar yang dinamakan Puri Nasar.
“Jika hujan masih terus turun juga, bisa-bisa pulangnya kita terpaksa berenang,”
kata Pete mengeluh.
Mereka berusaha sedapat-dapatnya berjalan melintas belukar, karena tanah di situ
berbatu-batu. Dengan begitu tidak akan begitu tebal lumpur yang melekat ke
telapak sepatu. Ketika sudah dekat ke punggung bukit berbatu dengan Puri Nasar
di puncaknya, mereka melihat bahwa arroyo tidak bisa diseberangi, karena penuh
berisi air. Jadi mereka terpaksa mengambil jalan memutar, mendaki lewat bukit
rendah di ujung, yang memisahkan arroyo dan Santa Inez Creek.
Banyak belukar tercabut akar-akarnya di lereng bukit itu, yang menjadi lembek
tanahnya. Sambil melangkah dalam lumpur, akhirnya mereka sampai di punggung
bukit yang tinggi. Tapi tanah pada lereng sebelah bawah ternyata sudah becek
pula!
Dari atas cadas Puri Nasar, keempat remaja itu melihat pemandangan yang
menakjubkan. Di sebelah hulu bendungan, air Santa Inez Creek melimpah dan
tepi-tepinya, menggenangi tanah di kiri-kanan yang hangus bekas terbakar. Di
bendungan, air tidak hanya tumpah dari pintu tengah saja, tapi menghambur ke
bawah lewat seluruh sisi atas, sehingga merupakan air terjun yang besar. Sungai di
bawahnya bergolak. Bertalu-talu air menyapu bukit rendah, lalu mengalir deras ke
hulu, menuju jalan daerah dan kemudian
ke samudra.
Tapi bukan pemandangan itu yang menyebabkan Jupiter mengajak temantemannya
naik ke Puri Nasar.
“Kita mencari tempat di mana seseorang bisa bersembunyi dengan cukup aman,”
katanya sambil memandang berkeliling, "di mana ia bisa hidup dengan sedikitbanyak
nyaman —jika ada kawan-kawan yang membantu. "
"Yang jelas, tempatnya bukan di punggung bukit ini," kata Pete. "Waktu itu kita
sudah memeriksa seluruh permukaannya, dan bahkan celah saja pun tidak kita
jumpai."
“Adakah gua di sekitar sjni, Diego?” tanya Bob.
“Sepanjang pengetahuanku, tidak ada,” jawab Diego." Atau mungkin di
pegunungan sana."
"Tidak." Jupiter menggeleng. "Tempat itu mesti ada di dekat-dekat sini."
“Mungkin bendungan itu berlubang,” kata Pete.
“Hahaha, lucu." tukas Bob dengan kesaL
“Barangkali ada ngarai yang tersembunyi letaknya,” kata Jupiter, “di mana bisa
dipasang tenda atau atap sederhana untuk tempat berteduh?”
“Tidak ada tempat sepertI yang kaubayangkan itu, Jupiter,” kata Diego lagi. “Aku
tahu pasti, karena aku sudah ke mana-mana di daerah bukit-bukit ini.”
“Bagaimana dengan pondok-pondok? Untuk tempat tinggal para pekerja waktu
itu!” kata Bob mengajukan pendapat. “Don Sebastian mestinya kan banyak
pekerjanya, untuk mengerjakan tanah miliknya yang begini luas!”
“Itu memang benar,” kata Diego, “tapi rumah-rumah para penggarap itu letaknya
dekat jalan daerah sana, di bagian tanah yang subur. Lagi pula, rumah-rumah itu
sudah tidak ada lagi sekarang.”
“He, Diego,” kata Pete. “Cabang yang satu lagi di jalan tanah di tempat kalian, ke
mana tujuannya. Maksudku yang bukan menuju ke bendungan sini."
“0, itu terus sampai ke pegunungan, lalu dari sana membelok lagi ke jalan daerah
yang melintasi tanah Senor Paz.”
Pete menunjuk ke seberang arroyo.
“Apakah jalan setapak yang kelihatan di sana itu kemudian bersambung dengan
cabang satu lagi yang kutanyakan itu?” katanya lagi.
"Jalan setapak?" Jupiter memicingkan mata, berusaha melihat ke arah yang
ditunjuk Pete.
“Ya, itu, yang di sana! Awalnya di jalan tanah, lalu mengitari bukit itu.”
Mereka semua melihat jalan sempit yang menyusur di tengah belukar dan
kemudian lenyap di tengah pohon-pohon ek rendah yang tumbuh di sekitar lereng
sebuah bukit.
“Aduh, betul, pondok itu!” seru Diego. “Aku lupa sama . sekali! Di belakang sana
ada sebuah pondok, tempat para vaquero —“
“Vaquero? Apa itu?” tanya Pete.
“Koboi, dalam bahasa Spanyol!” cetus Jupiter tidak sabar.
“Ya, pondok itu tempat para vaquero bermalam pada zaman dulu, apabila sedang
bertugas menggiring sapi-sapi ke tempat pengumpulan. Bangunannya sederhana
sekali, hanya terbuat dari papan dan lembaran seng. Aku sudah lama sekali tidak
ke arah sana.” -
“Apakah pondok itu sudah ada pada zaman Don Sebastian?” tanya Jupiter.
“0 ya! Atau setidak-tidaknya, menurut Pico sudah sejak dulu di sana ada semacam
pondok. Dulunya terbuat dari tanah liat.”
"Nyaris tersembunyi tempatnya, jarang didatangi, dan jalan setapak menuju ke
sana dapat dilihat dari Puri Nasar sini!” kata Jupiter bergairah, sambil menatap ke
seberang arroyo. "Bisa jadi itulah tempat yang kita cari!”
Mereka turun dari cadas yang besar itu. kaki mereka terbenam ke dalam tanah
yang lunak ketika mereka menuruni bagian lereng sebelah bawah lalu melintasi
bukit kecil di sebelah atas arroyo.
Jupiter menoleh ke belakang dengan gelisah, memandang bendungan yang
melimpah airnya.
“Kurasa bendungan ini bisa tahan,” katanya. Jupiter memang bukan jago berenang.
“Selama ini selalu tahan,” kata Diego. “Tapi di pihak lain, umurnya sudah tua.”
"Tenang perasaanku mendengarnya," gumam Pete, yang saat itu selalu saja merasa
perlu mengomel.
Sesampainya di seberang jalan yang berlumpur, anak-anak lantas memasuki jalan
setapak yang menyusur di tengah-tengah belukar dan pohon-pohon ek yang
tumbuh kerdil. Daenah yang sedang mereka lewati penuh semak-belukar, karena
boleh dibilang tidak pernah diapa-apakan sejak dulu. Setelah melintasi punggung
sebuah bukit berbatu, jalan setapak itu masuk ke sebuah ngarai kecil yang terjepit
di antara dua buah bukit yang lebih besar. Ngarai itu gelap, apalagi saat itu langit
masih terus mendung.
“Itu dia, Teman-teman!" kata Diego sambil menunjuk.
Sebuah pondok kecil dan reyot nampak di bawah sebuah cadas besar yang
menaunginya. Pondok itu nyaris tidak kelihatan, di belakang pepohonan dan semak
tinggi. Atapnya datar dan terbuat dan lembaran seng, sedang dindingnya dan
papan-papan yang kasar penggarapannya. Papan-papan itu dipasang asal jadi,
sehingga dindingnya berlubang-lubang. Ketika Diego membuka pintu, daunnya
tahu-tahu terlepas dari engselnya dan jatuh ke tanah. Debu berhamburan, karena
cadas yang menaungi menyebabkan pondok dan tanah di sekitarnya tetap kering.
Di dalam hanya satu ruangan saja, berlantai tanah. Papan-papan yang merupakan
dinding luar dipasang ke kerangka yang hanya terdiri dari beberapa batang kasau
saja, sedang atap yang terbuat dar lembaran seng diletakkan langsung di atas
balok-balok penyangga. Sama sekali tidak ada jendela maupun kamar kecil di situ,
apalagi yang namanya listrik. Perabot juga sama sekali tidak ada. Yang terdapat di
situ hanya sebuah tungku tua yang sudah berkarat.
“Tempat yang hebat untuk menyembunyikan diri selama bertahun-tahun,” kata
Pete. “Tapi aku tidak mau tinggal di sini, biar cuma untuk dua hari sajapun!"
"Perasaanmu mungkin akan lain, Dua, jika kau sedang dikejar-kejar orang, dan
padamu ada pedang berharga yang sedang diincar orang lain," kata Jupiter. “Tapi
kuakui, tempat ini memang serba darurat. "
“Bahkan terlalu sederhana, Satu,” kata Bob. "Tidak ada kamar kecil, tanpa lemari,
semua dindingnya polos! Sama sekali tidak ada tempat di sini untuk
menyembunyikan sesuatu!”
“Betul juga kata Bob itu,” kata Diego sambil mengamat-amati dinding-dinding
serta langit-langit yang serba terbuka. “Memang tidak ada.”
“Bagaimana dengan di lantai?" kata Pete. “Bisa saja Don Sebastian
menguburkannya di sini, lalu ditimbun lagi. tanpa diberi tánda apa-apa.”
Tapi Jupiter menggeleng.
“Tidak, karena jika pedang itu dikuburkannya di sini, tanah segar bekas galian
pasti masih akan nampak jelas sampai lama sesudahnya. Tidak, menurutku Don
Sebastian tidak mau mengambil resiko seperti itu. Tapi—”
Jupiter menatap tungku tua yang sudah berkarat. Pipa cerobongnya keluar lewat
atap. Sedang kaki-kaki tungku itu terletak di atas batu yang pipih.
“Gampang tidak ya, menggeser tungku ini?" katanya sambil merenung.
“Kita coba saja,” ujar Pete, lalu mendorong tungku itu. Ternyata berat, tapi
bergerak juga sedikit. Tungku itu tidak dipasang mati ke batu pipih di bawahnya.
Bagiannya untuk menyalurkan asap ke luar dihubungkan oleh sepotong sambungan
pendek ke pipa cerobong. Sambungan itu terpasang sedikit di sebelah atas tungku.
"Coba kaugeser sambungan pendek itu ke atas,” kata Jupiter.
Pete mencobanya.
“Tidak bisa,” katanya., “Sudah terlalu berkarat!”
“Tapi pada tahun 1846 pasti belum,” kata Jupiter bersemangat. “Patahkan saja,
kalau tidak bisa dengan cara lain!”
Dengan menggunakan perkakas yang diambilnya dari dalam tas yang dibawa oleh
Bob, Pete mematahkan pipa cerobong yang sudah berkarat itu, pada bagian yang
letaknya sedikit di atas tungku. Setelah itu mereka berempat mengangkat tungku
itu, menggesernya dari batu pipih yang merupakan landasannya. Kemudian Pete
berlutut, berusaha mengangkat batu itu.
“Uuuhh,” dengusnya. “Terlalu berat, Satu!”
“Itu, kasau yang di sana itu,” kata Diego sambil menunjuk salah satu dinding
ruangan itu, “kelihatannya sudah agak longgar.”
Jupiter membantu Diego merenggut batang kasau yang sudah longgar itu,
sementara Bob dan Pete menggulingkan tungku sampai ke dekat batu pipih.
Setelah itu Pete menggali tanah di samping batu itu sampai mencapai sisi
bawahnya, lalu Ia menggali lubang yang cukup besar di situ sehingga ujung batang
kasau bisa diselipkan ke tepi bawah batu. Bagian tengah batang kasau itu
disandarkan ke tungku sebagai tumpuan, lalu keempat remaja itu menekan
ujungnya yang satu lagi dengan sekuat tenaga ke bawah.
"Batu pipih itu terangkat dan jatuh terpelanting ke samping. Ternyata tanah yang
tertutup di bawahnya tadi berlubang! Lubang itu sempit tapi dalam. Diego
membungkuk, mengintip ke dalamnya.
“Aku melihat sesuatu!" serunya, sebelum Bob sempat menyalakan senternya.
Diego menjulurkan lengannya ke dalam lubang itu, dan menarik ke luar beberapa
utas tali pendek yang sudah terlepas-lepas seratnya, beserta selembar kertas tebal
yang sudah coklat karena tuanya, begitu pula segulung kain kanvas panjang yang
dilapisi ter. Diego memandang lembaran kertas yang sudah coklat itu.
“Tulisannya dalam bahasa Spanyol,” katanya. “He, ini pengumuman balatentara
Amerika Seri kat, tertanggal 9 September 1846! Isinya mengenai beberapa
peraturan bagi penduduk sipil."
“Kain kanvas berlapis ter itu cocok ukurannya sebagai pembungkus pedang,” kata
Jupiter menyadari, lalu membuka kain terpal yang tergulung itu dengan tangan
gemetar.
“Kosong!” kata Pete mengerang, ketika gulungan itu sudah sepenuhnya terbuka,
dan ternyata tidak berisi apa-apa.
“Ada barang lain lagi di dalam situ, Diego!” ujar Jupiter.
Bob berdiri di sebelah atas lubang dengan senternya, sementara Diego merogohrogoh
sambil memandang ke dalam.
“Aku tidak merasakan ada...” kata Diego. “Nanti dulu! Ini ada sesuatu! Rasanya
seperti. Ah, cuma batu kecil.”
Dengan lesu Diego menarik tangannya ke luar. Dalam genggamannya ada sebutir
batu kecil yang berlumur tanah. Batu itu digosok-gosoknya ke kemejanya. kini
batu kecil yang bentuknya hampir persegi empat itu berubah warna. Menjadi hijau,
hijau tua dan kemilau!
“Itu kan...” kata Bob.
“Batu zamrud!” seru Jupiter. “Temyata Pedang Cortes pernah ada di dalam lubang
ini! Rupanya di situlah Don Sebastian menyembunyikannya pada mulanya. Lalu
ketika ia berhasil meloloskan diri dan kejaran Sersan Brewster, pedang itu diambil
lalu disembunyikannya di tempat lain. Mungkin karena ada yang mendengar
bahwa pedang itu ada di sini, atau bisa juga Don Sebastian merasa pondok ini
bukan tempat penyembunyian yang cukup aman."
“Dan ia benar,” kata Bob. “Kita berhasil menemukannya dengan lumayan cepat.”
“Kalau begitu Ia sendiri takkan mau bersembunyi di sini,” kata Diego. “Bukan ini
tempatnya.”
“Betul,” kata Jupiter, “tapi zamrud ini berarti bahwa kita sudah mulai dekat dengan
tujuan kita. Sekarang kita tahu bahwa Don Sebastian pernah menaruh pedang itu di
sini. Jadi bukan diselundupkan orang ke tempatnya. Ternyata ada satu lagi
kebohongan dalam laporan Sersan Brewster. Pedang itu ada di sini sampai Don
Sebastian datang mengambilnya malam itu lalu menyembunyikannya di tempat
lain! Ia menyembunyikan pedang itu serta dirinya sendiri, dan Ia waktu itu harus
melakukannya dengan cepat!”
“He, Jupe!” kata Pete tiba-tiba. “Bunyi apa itu?”
Keempat remaja itu memasang telinga. Terdengar bunyi berderu nyaring.
Datangnya dari sebelah luar, tapi entah dari arah mana. Bunyinya hampir-hampir
seperti tanah longsor...
"Itu bunyi hujan!” kata Bob. “Hujan di mana-mana, kecuali di sini, karena kita
berada di bawah naungan batu besar yang ada di atas pondok ini. Huh, bunyinya
seperti banjir saja!”
“Tidak, bukan bunyi itu maksudku,” kata Pete. “Kalian dengar tidak?"
Jupiter menggeleng, sementara Bob hanya nengangkat bahu saja. Tapi Diego
mendengarnya.
“Suara orang!” bisiknya. “Ada orang di luar.”
Dengan cepat keempat remaja itu meninggalkan pondok dengan gerakan
menyelinap, Lalu bersembunyi di tengah belukar yang menutupi tempat itu.
Mereka melihat ketiga koboi yang berpenampilan kumuh meneberang ngarai kecil
itu di tengah hujan lebat. Suara mereka bercakap-cakap terdengar samar.
“...kulihat mereka menuju kemari, Cap. Mereka berempat. "
“..ikuti terus jalan setapak ini.”
Ketiga orang itu berjalan melewati pondok tanpa melihatnya, lalu lenyap di bailk
bukit yang berikut.
“Mereka takkan cepat kembali lagi kemari,” kata Jupiter sambil berdiri. “Kita akan
bisa mencapai Puri Nasar sebelum mereka melihat kita. Yuk, kita buru-buru saja
kembali.”
Tapi sekali itu Jupiter salah duga. Ketika anak-anak baru saja melintasi dasar
ngarai yang terbuka, terdengar suara orang berseru-seru di belakang mereka!
“He! Kalian berempat!”
Tanpa menunggu disuruh lagi, keempat remaja itu langsung lari!
Bab 16
LUMPUR LONGSOR!
KEEMPAT remaja itu lari dari jalan setapak yang penuh belukar menuju ke jalan
tanah yang becek, lalu berhenti. Mereka memandang ke kiri dan ke kanan dengan
napas tersengal-sengal. Mereka bingung, tidak tahu harus lari ke mana!
“Jika kita terus lari di jalan ini." kata Pete, “mungkin orang-orang itu sudah
berhasil mengejar sebelum kita sampai di jalan besar!”
“Kalau kita naik ke atas punggung bukit, mereka pasti akan melihat kita!” kata
Bob.
“Lari melintas waduk juga tidak bisa,” kata Diego menambahkan, "karena pasti
dihanyutkan air yang begitu deras melimpah!”
Keempat remaja itu berdiri dengan sikap bingung di tengah jalan, diguyur hujan
lebat.
Di belakang mereka, ketiga koboi yang mengejar berlari membabi buta merambah
belukar, sambil saling mengumpat dan marah-marah kanena terhalang teman.
Terdengar jelas suara galak pria berambut hitam yang bernama Cap, menyuruh
kawan-kawannya terus mengejar.
“Cepat!” seru Pete. “Kita coba saja menuju ke jalan besar!”
“Jangan!” bantah Jupiter dengan tegas. “Masuk ke arroyo, ke ujungnya, dekat
bendungan! Orang-orang itu pasti yakin kita takkan lari ke sana! Jadi ke sanalah
kita lari!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keempat remaja itu lari ke dalam lekukan
dalam itu. Mereka bergerak sambil berpegangan ke sisinya, agar jangan sampai
terbenam dalam air yang sudah hampir memenuhi tempat yang biasanya selalu
kering itu. Dilindungi sisi yang terjal serta semak belukar lebat, mereka bergerak
menuju bendungan.
Di atas kepala, terdengar bunyi sepatu-sepatu berat berlari di tengah lumpur
jalanan. Dengan cepat keempat remàja itu merapatkan tubuh ke tebing arroyo.
Jantung mereka berdebar-debar. Sedikit pun mereka tidak bergerak, bersembunyi
dalam perlindungan belukar tebal. Mereka mendengar suara kasar ketiga orang itu
berbicara sambil marah-marah, nyaris tepat di sebelah atas kepala mereka!
“Ke mana mereka lari tadi?”
“Licin sekali anak-anak itu!”
“Menurutmu, mereka benar-benar berhasil menemukan kunci-kunci itu?”
“Itu sudah pasti! Buktinya mereka lari, dan kita tidak berhasil menemukan kuncikunci
itu di dalam gudang!”
“He, Cap! Jangan-jangan mereka lari ke bendungan!
“Janganlah setolol itu, Goblok! Anak kecil saja pasti tahu, bendungan itu mustahil
bisa diseberangi dalam keadaan seperti sekarang ini. Pakai otakmu, Tulsa!”
“Mereka tidak ada di punggung bukit sebelah sana itu, jadi mestinya lari menuju
jalan besar. Ayo, kita kejar!”
Anak-anak yang bersembunyi mendengar derap sepatu-sepatu berat berlari di
tengah lumpur, ke arah jalan besar yang terletak di balik hacienda Alvaro.
Keempat remaja itu tetap menunggu dalam arroyo.
“Mereka sudah pergi,” kata Bob akhirnya, dengan perasaan lega.
“Kalau begitu sebaiknya kita juga pergi saja,” kata Diego. “Kita tidak bisa terlalu
lama bersembunyi di sini."
“Tapi pergi ke mana?’ tanya Pete. “Ke jalan besar, ada orang-orang itu. Bendungan
tidak bisa diseberangi, karena terlalu besar risikonya. Dan kalau menunggu terus di
sini, kapan-kapan ketiga orang itu pasti akan kembali lewat sini lagi.”
“Mungkin,” kata Jupiter, “di dekat-dekat bendungan ada tempat di mana kita bisa
bersembunyi, sampai sudah bisa dipastikan bahwa mereka sudah benar-benar
pergi. Dan jika di sana sama sekali tidak ada kemungkinan untuk
menyembunyikan diri, kita seberangi bukit rendah itu, lalu dengan berlindung di
belakangnya kita menyelinap ke sisi punggung bukit di sebelah sana dan
bersembunyi di belakang Puri Nasar. Di arroyo ini tidak aman, karena sewaktuwaktu
ketiga orahg itu pasti menengok ke bawah. Dan jika itu terjadi, kita pasti
langsung ketahuan.”
Sambil merapatkan diri ke tebing agar tidak terlihat dari arah jalan, keempat
remaja itu merayap ke ujung arroyo. Kini terdengar jelas bunyi air menghambur
lewat tepi atas bendungan dari sisi seberang bukit rendah yang memisahkan arroyo
dan sungal kecil.
“Cari tempat di belakang batu, atau lubang di tebing,” kata Jupiter. “Tebing yang
sebelah bawahnya agak menjorok ke dalam, itu juga bisa!”
Sementara tubuh mereka tetap dirapatkan ke tebing, mata mereka berkeliaran
mencari-cari tempat yang cocok di ujung arroyo itu.
“Wah, Jupe, tidak ada tempat yang aman di ujung sini, kecuali jika kita menyelam
di air!" kata Pete. “Bahkan lubang tikus tanah pun tidak kulihat!”
“Mungkin ada batu-batu besar di seberang jalan, kata Diego. Disembulkannya
kepala lewat sisi atas arroyo. Tapi seketika itu juga Ia mengendap lagi, lalu
merapatkan diri ke tebing. “Aku melihat mereka! Mereka kembali lagi kemari!”
Keempat remaja itu semakin merapatkan tubuh ke sisi arroyo yang dalam itu.
Meneka berbisik-bisik.
"Mereka melihat kita?” tanya Bob.
"Kurasa tidak," kata Diego.
"Di mana mereka sekarang?” tanya Jupiter.
"Kurang lebih pada ujung jalan setapak," balas Diego, masih terus berbisik-bisik.
“Di mana kita tadi masuk ke arroyo.”
“Mungkin mereka hendak kembali ke pondok, untuk mencari kita di sana,” kata
Pete setengah berharap.
“Tidak,” kata Jupiter dengan perasaan suram, “mereka pasti hendak mencari dekat
bendungan. Kita terjebak di sini. Mudah-mudahan saja mereka nanti tidak
memutuskan untuk mencari di dalam arroyo ini.”
Anak-anak menajamkan pendengaran mereka di tengah deru bunyi air terjun yang
menghambur dari sisi atas bendungan. Akhirnya terdengar samar suara orang
berbicara.
“..dan di bendungan juga tidak ada, kita kembali kemari dan memukul-mukul
belukar yang tumbuh di sepanjang tepi parit!”
“Aduh, gawat!” kata Jupiter berbisik “Kita harus cepat-cepat lari dari sini!
Sebentar lagi, kalau orang-orang itu sudah lewat dan tidak kelihatan lagi di balik
bukit kecil itu, kita secepat mungkin menyeberangi bukit itu dan turun di sebelah
sana. Dan situ kita bisa naik ke punggung bukit di atas sungai dan bersembunyi di
balik Puri Nasar!”
“Nanti dulu, Jupe!” bantah Pete. “Bagian atas bukit itu kan terbuka.”
“Memáng, tapi kita harus melintasinya dengan cepat,” kata Jupe. “Jika nasib kita
mujur, ketiga orang itu tidak menoleh-noleh ke belakang saat berjaian menuju
bendungan. Dan apabila mereka sampai di sana, kita bisa sudah bersembunyi di
balik batu-batu besar yang bertebaran di punggung bukit.”
Pete menggeleng-geleng dengan sikap sangsi. Tapi saat itu tidak ada waktu untuk
memikirkan jalan yang lebih baik. Sementara itu ketiga koboi yang berada di jalan,
melintas di sebelah atas anak-anak yang sedang bersembunyi itu. Mereka masih
saja ribut-ribut sesama mereka. Jupiter mengintip dengan hati-hati lewat tepi atas
arroyo. Begitu ketiga orang itu tidak kelihatan lagi karena sudah berada di
belakang bukit kecil, dengan segera Jupe memberi aba-aba, “Sekarang!”
Keempat remaja itu merangkak keluar dari arroyo. Lalu lari mendaki bukit kecil
itu. Kaki mereka terbenam dalam tanah yang lunak karena hujan. Mereka merasa
seakan-akan perhatian seluruh dunia terarah pada diri mereka yang ketika itu
berada di tempat yang terbuka. Tapi tidak terdengar suara orang berteriak di
belakang mereka, sementara mereka bergegas melintasi sisi atas bukit itu lalu
menuruni sisi seberangnya, sampai ke tepi sungai kecil yang sedang banjir.
“Selamat!” kata Pete dengan lega.
“Sekarang ke punggung bukit!” desak Jupiter. “Lari sambil merunduk serendah
mungkin!”
Dengan tubuh nyaris terlipat dua, mereka lari sambil merunduk-runduk menyusur
bukit kecil yang becek. Dua kali Jupiter dan Bob terjerembab karena terpeleset,
sedang Diego sekali hampir saja tercebur ke dalam sungal kecil yang sedang
bergejolak airnya. Tapi mereka terus lari, walau dengan tubuh berlumur lumpur,
dibantu oleh Pete yang lebih cekatan. Akhirnya mereka sampai di bagian lereng
bukit tinggi yang lebih terjal dan berbatu-batu.
Mereka cepat-cepat merangkak ke atas, menuju batu Puri Nasar. Gerak lari mereka
di lereng berlumpur itu menyebabkan batu-batu kecil terlepas dan berjatuhan ke
bawah.
Saat itu terdengar suara berteriak-teriak di belakang mereka, mengalahkan deru air
sungal yang mengalir deras.
“Itu mereka, Cap! Di sana!”
“Di atas bukit!”
“Kejar!”
Anak-ariak tertegun mendengarnya, lalu menoleh ke belakang. Nampak ketiga
koboi itu berdiri dekat bendungan.
"Mereka melihat kita!” kata Diego dengan cemas.
“Padahal jarak masih belum jauh!” keluh Pete.
Sementara anak-anak masih memandang dengan bingung, ketiga orang itu sudah
berlari melintasi bukit rendah yang becek.
“Apa yang kita lakukan sekarang, Jupe?” seru Bob panik. “kita terjebak di sini!”
“Aku... aku...” Jupiter kehilangan akal.
Saat itu terdengar bunyi aneh, lebih nyaring daripada hujan yang terus mengguyur
dan langit serta deru air yang membanjir di dalam sungal kecil. Bunyinya
mengguruh, dan rasanya makin lama makin membahana. Datangnya dari sebelah
hulu bendungan, makin lama makin dekat. Ketiga koboi yang saat itu sudah
separuh jalan melintasi bukit kecil yang terletak antara bendungan dan punggung
bukit yang tinggi, juga tertegun sambil mendengarkan.
“Lihat!” teriak Pete.
Tahu-tahu nampak air menggunung setinggi tiga meter di atas bendungan!
“Ada sesuatu yang jebol di hulu!” seru Diego.
Ombak besar yang menyeret belukar, batang-batang kayu, batu-batu besar dan
bahkan pohon-pohon lengkap dengan akarnya melimpah lewat sisi atas bendungan
dan jatuh ke sungai sebelah hilirnya, yang saat itu penuh air yang bergejolak. Bukit
berbatu-batu tempat anak-anak berada seakan-akan menggigil. Di tepi seberang
sungai kecil, lumpur longsor menyeret semak dan pohon ke dalam air.
“Awas! Mereka mengejar lagi!” seru Diego.
Ketiga koboi tadi sudah mengejar lagi, lari melintasi bukit rendah, menuju ke
tempat mereka. Anak-anak sudah hendak lari. Tapi tidak jadi, karena saat itu juga
nampak bukit rendah di bawah mereka seakan-akan terbelah dua! Sebongkah besar
tanah yang sudah lunak meluncur jatuh ke dalam sungai yang banjir, menyeret
ketiga orang yang mengejar itu ke dalamnya. Sambil berteriak-teriak dan
mengumpat-umpat, dengan tangan dan kaki bergerak-gerak liar karena berusaha
berenang sambil menggapai-gapai apa saja yang bisa dijadikan pegangan, ketiga
koboi itu diseret arus deras ke hilir.
“Kita selamat!” seru Bob dengan gembira.
"Jangan terburu senang," kata Jupiter. "Orang-orang itu nanti pasti berhasil menepi
kalau sudah sampai di hilir, lalu menghadang kita dekat jalan besar! Kita harus
cepat-cepat lari.”
Pete mendului berjalan mendaki lereng, menuju cadas Purl Nasar. Mereka naik ke
atasnya, lalu menuruninya lagI di sisi seberang. Pada kedua lereng bukit
memanjang itu lumpur dan batu-batu besar merosot terbawa air. Kini nampak batubatu
besar serta tonjolan-tonjolan cadas di bawah Puri Nasar, yang sebelumnya
tidak kelihatan.
“Wah, di mana-mana ada tanah longsor!” kata Pete sambil berjalan mendului,
menuruni lereng yang terjal dan licin karena lumpur.
Ia melompati sederetan batu besar. Anak-anak yang lain menyusul. Tapi tidak ikut
meloncat, melainkan memanjat batu-batu itu. Tiba-tiba mereka melongo.
Pete tidak kelihatan lagi!
Bab 17
SARANG RAJAWALI
TAHU-TAHU Pete lenyap, seolah-olah ditelan bukit yang sedang dilintasi.
“Eh — ke mana dia tadi?" kata Diego tergagap.
“Pete!" seru Bob.
“He, Dua! Di mana kau?” teriak Jupiter dengan bingung.
Mata mereka berkeliaran, mencari-cari. Tapi tidak nampak sesuatu yang bergerak
di lereng itu. Mereka memasang telinga, dan akhirnya mendengar sesuatu. Suara
orang, tapi datangnya entah dari arah mana!
“Di sini, Teman-teman! Di bawah!”
Itu suara Pete! Tapi terdengar samar, seperti keluar dari dalam bukit!
“Di mana kau, Pete?" seru Diego.
“Di bawah sini! Lihat tepat ke depan batu-batu
besar itu!” -
Jupe, Bob, dan Diego meloncat turun ke depan batu-batu besar yang baru nampak
karena tanah yang semula menutupi longsor. Mereka melihat sebuah lubang yang
panjang dan sempit di lereng! Lubang itu baru kelihatan ketika mereka sudah
berdiri di atasnya! Dan semula belum ada!
“Rupanya lubang ini baru terbuka setelah tanah yang di atasnya longsor!” kata
Bob.
Jupiter membungkuk, mendekati celah sempit dan panjang itu.
“He, Dua, kau perlu bantuan untuk naik ke atàs?”
“Aku tidak mau keluar!” kata Pete, yang masih belum kelihatan. “Tempat ini
semacam gua, Jupe! Dan di sini ada batu-batu yang lepas. Jika lubang di atasku
kita sumbat, ketiga pengejar kita itu takkan bisa menemukan kita! Turunlah
kemari, semuanya!”
Ketiga remaja yang masih berada di lereng berpandang-pandangan.
"Yah —" Jupiter agak ragu.
“Ayo,” desak Pete. “Tempat ini lapang, lagi pula kering. Dan orang-orang itu
setiap saat akan sampai di sini!”
Ketiga anak yang berada di atas tidak menunggu lama-lama lagi. Bob yang paling
dulu meluncur masuk ke dalam lubang sempit itu. Jupiter menyusul, dengan susah
payah dan terdengus-dengus. Tapi ketika sudah separuh jalan, ia tidak bisa terus.
Jupiter terjepit!
“Aku... lubangnya terlalu sempit,” katanya dengan wajah merah karena malu.
Bob berseru dari dalam gua, “Dorong dia ke bawah Diego, sedang kami menarik
dari sini!”
Jupiter merasa kedua kakinya dipegang lalu ditarik dan bawah. Sementara Diego
yang berada di atas mendorong bahu Jupiter. Teriring bunyi seperti sumbat yang
tercabut dari botol, tubuh Jupiter terdorong dan menghilang dalam lubang. Dengan
cepat Diego menyusul, melompat ke bawah.
Di dalam lubang yang gelap, Bob sudah menyalakan senternya.
“Wah!” kata Diego, sambil memandang berkeliling. “Tak kusangka di sini ada
gua!”
Sinar yang berasal dari senter menampakkan ruang sempit berdinding batu.
Ukurannya kurang lebih sebesar garasi yang muat satu mobil. Langit-langitnya
rendah, sedang di dasarnya berserakan batu besar dan kecil. Gua itu masih kering,
walau air hujan kini menghambur masuk lewat lubang di sebelah atasnya. Rupanya
lubang itu belum begitu lama terbuka.
“Sorotkan sentermu berkeliling, Bob,” kata Jupiter.
Gua sempit dan rendah itu menjorok masuk ke tengah bukit sejauh kira-kira empat
sampai lima meter. Di ujungnya yang sebelah dalam nampak batu-batu bertumpuk
sampai menyentuh langit-langit. Jupiter memeriksa lubang yang menganga di atas
kepala, lalu mengangguk lambat-lambat.
“Kelihatannya lubang ini tersumbat, mungkin ketika tenjadi gempa entah kapan
pada masa silam. Batu-batu bergulingan menutupi—”
“Masa bodoh dengan cara bagaimana lubang itu jadi tersumbat,” kata Pete dengan
gugup. “Yang jelas sekarang terbuka lagi akibat tanah longsor, dan ketiga orang itu
nanti mungkin bisa melihatnya, sama seperti yang kita alami tadi! Ayo, buru-buru
saja kita tutup kembali!”
“Di sini banyak batu-batu besar," kata Diego.
keempat remaja itu menggulingkan batu-batu paling besar yang ada di situ, lalu
menjunjungnya ke atas untuk menutupi lubang. Akhirnya tidak ada lagi cahaya
masuk dari luar karena lubang itu sudah ditutup, tidak ada pula air hujan yang
masuk ke dalam. Keempat remaja itu saling berpandangan sambil nyengir puas.
“Kita tunggu di sini selama beberapa jam,” kata Jupiter. “Nanti orang-orang itu
pasti akan menyerah juga, lalu pergi.”
“Aku masih saja bingung, siapa sebenarnya mereka itu,” kata Bob sambil
merenung.
“Mestinya ada sangkut-pautnya dengan Mr. Norris,” kata Diego dengan geram.
“Sebab kalau tidak, untuk apa mereka mengambil topi Pico lalu meletakkannya
dekat api unggun itu."
“Itu jika benar mereka yang melakukannya,” kata Jupiter. “Kita hanya tahu bahwa
mereka mencari-cari kunci mobil yang ditemukan Bob dan Pete dalam gudang.
Kenapa kita tidak melihat mereka naik mobil, ya?”
“Yah,” kata Pete, “yang jelas mereka ingin sekali memperoleh kunci-kunci itu!
Jadi mestinya kunci-kunci itu penting sekali artinya.”
“Betul,” kata Jupiter sependapat “Mungkin mereka—”
Tiba-tiba terdengar suara Bob tergagap-gagap.
“Ju —Jupe!”
Sinar senternya terarah ke batu-batu yang bertumpuk di bagian belakang gua.
“Ba...ba...bátu itu,” katanya, “batu itu b...ber...”
“Mata!” Kata itu terlontar dan mulut Diego. “Mata... dan gigi!”
"Itu tengkorak!” pekik Pete dengan suara tertahan.
Jupiter menatap tumpukan batu itu dengan pandangan nanar. Matanya terkejap,
lalu nampak seperti bersinar. Ia bergegas menghampiri tumpukan itu.
“Memang tengkorak!” katanya. “Kita gali tanah di sekelilingnya!”
“Ini ada tulang-tulang lagi,” kata Pete dengan nada kecut. “Rupanya Ia terkubur di
sini, sewaktu terjadi gempa!”
“Di bawah batu-batu ini ada kain,” seru Bob.
“Ini ada kancing baju!” kata Diego, sambil menunjukkan sebuah bulatan dan
kuningan yang sudah hitam warnanya. “Kancing baju seragam tentara Amerika!”
“Orang ini tidak terkubur di sini—atau tepatnya, tidak terkubur hidup-hidup!” kata
Jupiter bersemangat. “Ini, di tengkoraknya ada lubang! Orang ini kena tembak!”
Remaja bertubuh montok itu memandang teman-temannya.
“Kurasa akhirnya kita berhasil juga menemukan sarang rajawali! Tempat di mana
Don Sebastian hendak menyembunyikan diri—serta menyembunyikan Pedang
Cortes! Sebuah gua, di bawah Puri Nasar! Dan Jose pasti mengetahui tempat ini!”
“Menurutmu, prajurit ini satu dari ketiga desertir yang mengejar-ngejar
moyangku?” tanya Diego.
“Ya, begitulah menurut dugaanku,” kata Jupiter. “Dan kurasa bukan cuma rahasia
ini saja yang tersimpan dalam gua ini!”
“Tumpukan batu ini longgar letaknya,” kata Pete sambil memeriksa. “Mungkin
pada saat mulut gua tersumbat, batu-batu ini juga berguguran sehingga menutup
sebagian dari gua ini.”
Jupiter mengangguk, untuk menyatakan bahwa Ia juga berpendapat begitu.
Pete bukannya senang, melainkan malah mengeluh.
“Oke, kalau begitu kita mulai saja menggali!”
Dengan cepat anak-anak mulai bekerja, menarik batu-batu yang bertumpuk itu dan
melemparkannya ke samping. Pekerjaan itu memakan waktu lama, karena semakin
banyak batu yang disingkirkan, semakin banyak pula yang berjatuhan dari atas dan
menutup lubang yang sudah ada. Tapi nampak juga hasil jerih payah keempat
remaja itu. Dinding batu bertumpuk-tumpuk itu menipis, dan akhirnya...
“Aku melihat tempat kosong!” seru Bob. Disorotkannya senternya ke depan.
“Betul! Di belakang tumpukan batu ini ada semacam lorong!”
Mendengar itu semangat anak-anak bertambah. Dengan giat mereka
menyingkirkan lebih banyak batu lagi, dan akhirnya nampaklah sebuah lorong
yang sempit. KaIau Jupiter yang masuk, pasti harus dengan susah payah.
karenanya Bob yang paling dulu menyusup ke dalam, sambil membawa senternya
yang menyala. Lorong itu mengarah lurus ke belakang. Beberapa menit kemudian
Bob sampai di sebuah gua lain, yang ukurannya tiga kali lebih lapang daripada
yang di luar.
“Wah, besar juga gua ini!” kata Diego sambil menegakkan diri, setelah keluar dari
lorong.
Gua yang lebih besar itu tingginya dua kali yang di luar, rata berdinding batu.
Begitu pula dasarnya. Hanya di sana-sini saja ada batu menonjol ke luar.
“Mestinya sekarang ini kita berada tepat di bawah Puri Nasar,” kata Bob menduga.
“Benar-benar tempat persembunyian yang hebat!” kata Pete kagum. “Jalan masuk
di luar bisa disumbat sehingga tidak ketahuan orang lain, sedang masuk kemari
gampang.”
“Jika dibantu orang di luar yang mengantarkan makanan dan minuman,” kata
Diego menambahkan, “orang bisa bersembunyi dengan aman di sini sampai lama."
“Itu jika Ia bisa sampai tanpa ketahuan, dan ada waktu untuk menutup jalan-jalan
masuk,” kata Jupiter. “Tapi kurasa Don Sebastian tidak berhasil."
Ia berkata begitu sambil menuding ke sebelah kiri lorong. Bob menyorotkan
senternya ke arah yang ditunjuk. Ternyata di situ ada kerangka manusia lagi!
Kerangka itu telentang, di belakang salah satu batu besar yang menonjol. Di
sekitarnya nampak kancing-kancing baju dan kuningan yang sudah hitam, sedang
di sisinya terletak senapan kuno yang sudah berkarat.
“Rupanya ia berusaha berlindung di balik batu itu,” kata Pete. “Kurasa Ia prajurit
yang nomor dua.”
“Dan itu yang nomor tiga!” seru JupIter.
Sinar senter yang dipegang Bob sementara itu sudah bergerak ke depan,
menampakkan satu kerangka lagi. Kerangka itu tertelungkup, di tengah-tengah
gua. Di dekatnya nampak sejumlah kancing kuningan berserakan, serta sisa-sisa
sepatu bot dan pending kulit lengkap dengan sarung pistol. Barang-barang dan
kulit itu sudah rapuh sekali nampaknya. Sepucuk pistol kuno terletak dekat sekali
dengan jari kanan kerangka itu. Melihat bentuknya, pistol itu berasal dari masa
Perang Amerika-Meksiko.
“Kelihatannya itu pasti Sersan Brewster,” kata Jupiter. “Memegang pistol, dan
memakai sepatu berlaras tinggi dan kulit bermutu.” Ia menggeleng-geleng. “Pantas
ketiga prajurit ini tidak pernah muncul-muncul lagi."
“Ternyata tidak jauh mereka minggat, ya?” kata Pete.
“Tiga orang tamak, yang ingin menjadi kaya dengan gampang,” kata Bob
menambahkan.
“Tapi,” kata Diego, “mana moyangku?”
Bob menerangi sekeliling gua dengan sinar senternya. Dan tempat mereka berada
saat itu, anak-anak tidak melihat apa-apa lagi. kelihatannya tidak ada tempat pada
dinding-dinding yang rata di situ.
“Ada orang yang menembak mereka bertiga ini,” kata Pete. “Kalau bukan Don
Sebastian, lalu siapa? Atau mungkin Don Sebastian pergi meninggalkan gua ini?”
“Itu mungkin saja, Dua,” kata Jupiter sambil merenung. “Tapi jika Ia berhasil
menewaskan ketiga prajurit ini, kenapa mereka tidak kemudian dikuburkan saja
olehnya, dan Ia sendiri tetap bersembunyi di sini?”
“Barangkali bukan Don Sebastian yang menembak mereka,” kata Pete.
“Maksudku, tiga lawan satu, sedang mereka ini prajurit-prajurit yang terlatih.
Mungkin ada orang-orang lain, dan Don Sebastian tidak ingin—”
“Don Sebastian yang menembak mereka,” kata Bob memotong. “Coba lihat ke
sana. Itu, di belakang sana! Ada lorong lagi di situ, dan ada sesuatu di dalamnya!”
Ketika keempat remaja itu sampai di ujung belakang qua, mereka melihat bahwa
yang nampak tadi bukan lorong, melainkan semacam rongga yang dalamnya
sekitar satu setengah meter. Di dalamnya, di tempat yang tidak langsung nampak
walau dari jarak dekat, terletak satu kerangka lagi. Kerangka itu tersandar pada
satu dari beberapa bongkah batu lepas yang ada di situ. Sisa-sisa pakaian yang
masih nampak lain wujudnya dari yang ditemukan pada ketiga kerangka lainnya.
Di dekat kerangka tergeletak sejumlah perhiasan bulat dan perak, dengan motif
Indian. Dan di sampingnya terdapat dua pucuk senapan kuno yang sudah berkarat.
Diego mengambil sebuah perhiasan perak itu.
“Buatan daerah kami,” katanya dengan sedih. “Kurasa sekarang kita sudah tahu
kenapa moyangku tidak pernah kelihatan lagi sejak ia berhasil meloloskan diri.
Sejak sekian lama, jenazahnya ternyata terkubur di dalam gua ini.”
Jupiter mengangguk
“Dugaan kita semula ternyata benar. Don Sebastian memang berniat untuk
bersembunyi di sini. itu sebabnya ia menulis 'Puri Nasar' pada kepala surat yang
ditujukan pada Jose, untuk memberi tahu anaknya itu di mana ia akan berada. Ia
berhasil meloloskan diri dari kejaran Brewster serta kedua konconya, lalu setelah
mengambil pedangnya dan pondok ia kemari, ke gua ini. Tapi ketiga prajurit itu
membuntutinya, dan di sini kemudian terjadi tembak-menembak. Don Sebastian
berada di atas angin, karena tahu lekuk liku gua ini. Dengan bersembunyi di
rongga ini, ia bisa dengan seenaknya menembaki prajurit-prajurit itu, sewaktu
mereka masuk kemari dengan merangkak-rangkak lewat lorong sempit itu. Ketigatiganya
berhasil ditembak olehnya. Tapi Ia pun kena tembak. Beberapa waktu
kemudian terjadi gempa bumi yang menyebabkan gua ini tertimbun. Jadi tidak ada
seorang pun yang bisa tahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan keempat orang
yang ada di sini.”
“Nanti dulu, Jupe,” kata Bob. “Apa sebabnya teman-teman Don Sebastian
kemudian tidak muncul di sini untuk mencarinya? Mereka kan sudah tahu,
Rajawali sudah menemukan sarang."
“Kenapa?” Jupiter mengangkat bahu. “Itu takkan pernah bisa kita ketahui.
Mungkin saja teman-temannya itu tidak tahu secara tepat di mana Don Sebastian
berada, dan mereka menunggu-nunggu berita selanjutnya. Atau mungkin juga
gempa sudah menyebabkan gua ini tertutup, sebelum mereka bisa datang kemari.
Dan kelihatannya teman-temannya itu kemudian tewas, atau tercerai-berai dalam
pertempuran yang menyusul. Ketika Jose pulang seusai perang, tidak ada lagi yang
bisa memberi tahu bahwa laporan Sersan Brewster tentang kematian Don
Sebastian sebenarnya palsu. Mungkin saja Jose tidak percaya bahwa pedang itu
ikut tercebur ke laut bersama ayahnya — tapi bisa jadi ia beranggapan bahwa
benda berharga itu dicuri orang.”
“He, Jupe! Pedang Cortes!” sew Pete. “Pedang ini mestinya kan ada di sini, di
tempat Don Sebastian!”
Dengan cepat mereka memeriksa rongga sempit itu. Tapi pedang itu tidak ada di
situ. Keempat remaja itu berpandang-pandangan dengan perasaan kecut.
Bab 18
PESAN RAHASIA
“MUNGKIN pedang itu disembunyikan oleh Don Sebastian di dalam gua,” kata
Bob.
“Ya, untuk berjaga-jaga, kalau kemudian terjadi sesuatu dengan dirinya,” kata
Diego menimpali. “Kemungkinannya Ia mengetahui bahwa para prajurit itu masih
membuntutinya terus. Selain merupakan benda berharga, Pedang Cortes juga
merupakan lambang keluarga kami. Ia pasti berusaha menyelamatkannya untuk
Jose.”
“Yuk, kita cari!” seru Pete.
Mereka tidak bisa memencar, karena hanya berbekal sebuah senter. Jadi usaha
pencarian mereka berlangsung dengan lambat. Kecuali itu juga ternyata sia-sia!
Gua itu luas, tapi boleh dibilang tidak ada tempat di situ yang bisa dipakai untuk
menyembunyikan sesuatu. Bahkan peniti saja pun tidak bisa! Anak-anak masih
menemukan sebuah rongga serta beberapa ceruk di dinding batu. Tapi cuma itu
saja yang mereka jumpai. Tidak ada lubang di dasar gua yang terdiri dari batu
utuh. Tidak ada reruntuhan yang bisa dimanfaatkan untuk menyembunyikan
sesuatu di bawahnya. Tidak mungkin dasar dari batu itu digali, untuk kemudian
pedang itu disembunyikan di dalamnya.
“Karena Brewster beserta kedua konconya masih membuntuti, dan mungkin sudah
menuju ke gua ini, kurasa tidak mungkin Don Sebastian masih punya waktu untuk
menyembunyikan pedang itu, andaikan di sini ada tempat yang baik untuk
keperluan itu,” kata Jupiter dengan nada murung. “Tidak, kurasa Ia tidak
membawa pedangnya ke gua ini, Teman-teman.”
“Kalau begitu, di mana barang itu?" tanya Pete. “Kita masih tetap belum beranjak
dari keadaan sewaktu kita mulai mencari!”
Bob sependapat dengannya.
“Kita sudah berhasil membuktikan bahwa boleh dibilang semua dugaan kita
ternyata benar,” katanya, “tapi kita masih saja belum memiliki petunjuk apa-apa,
tentang di mana pedang itu berada."
“Aku... aku sebenarnya sudah begitu yakin, kita sebentar lagi berhasil,” kata
Jupiter. “Pasti ada sesuatu yang terlepas dari perhatian kita! Coba kita pikirkan,
apa—”
“Jupiter,” kata Diego. Keningnya berkerut. “Jika Don Sebastian menuliskan ‘Puri
Nasar’ di atas surat yang ditujukannya pada Jose, itu berarti ia tentu tahu bahwa
Jose pada suatu ketika akan kemari mencarinya. Ya, kan?"
“Betul, dan kurasa ia memperkirakan akan masih terus bersembunyi di sini sampai
Jose datang suatu saat."
“Tapi yang terjadi kemudian, Don Sebastian tewas kena tembak di sini. Sekarang,
jika Ia ketika itu tidak langsung tewas, tapi sudah merasa bahwa Ia pasti akan
tewas, Ia tentunya memikirkan bagaimana caranya Jose akan bisa menemukan
pedang itu. Jadi—”
“Jadi, mestinya Ia meninggalkan pesan untuk Jose!” seru Jupiter. "Ya, tentu saja!
Ia pasti berusaha untuk meninggalkan pesan! Cuma, apakah pesan itu masih bisa
dibaca sekarang, setelah begitu lama waktu berlalu?”
“Itu tergantung dari di mana dan dengan apa ia menulis pesan itu,” kata Pete. “Itu
pun, jika benar Ia meninggalkan pesan. Ketika kita mencari ke mana-mana tadi,
aku tidak melihat pesan apa-apa."
“Memang tidak,” kata Diego mengakui, “tapi tadi kita bukan mencari-cari pesan.”
“Lagi pula, dengan apa Ia bisa menuliskannya?” tanya Bob sangsi. “Menurutku,
kecil sekali kemungkinannya ia membawa kertas dan tinta sewaktu lari
bersembunyi kemari.”
“Betul juga katamu itu,” kata Diego. “Tapi kan bisa saja ia menulis dengan apa
yang ada pada dirinya, Teman-teman. Maksudku, dengan darahnya sendiri!”
“Lalu menulisnya di mana?" kata Pete. “Kalau di kemejanya, atau bahan lain
seperti itu, yang jelas sekarang sudah tidak ada lagi. Sudah hancur."
“Bagaimana kalau di dinding?" kata Bob, sambil memandang berkeliling gua.
“Luka parah, sudah mendekati ajal,” kata Jupiter sambil berpikir-pikir. “Tidak
mungkin ia masih mampu banyak bergerak. Teman-teman, kita periksa dinding
rongga itu!”
Keempat remaja itu menyuruk masuk, lalu meneliti dinding batu rongga kecil
tempat Don Sebastian menghembuskan napas yang penghabisan. Kerangkanya
yang tersandar ke batu, seolah-olah memperhatikan kesibukan mereka.
“Aku tidak melihat apa-apa,” kata Pete, setelah mencari-cari tanpa mau terlalu
dekat dengan kerangka Don Sebastian.
“Bisakah darah tetap nampak selama itu, Satu?” tanya Bob.
"Aku tidak tahu pasti," kata Jupiter menjawab. “Kemungkinannya, tidak”
“Eh, apa ini?” kata Diego. Dipungutnya sebuah benda kecil yang sebelumnya tidak
terlihat. Benda itu sebuah kendi yang bagian atasnya pecah. Nampaknya
merupakan hasil kerajinan orang Indian.
“Ada sesuatu di dasarnya,” kata Diego lagi. “keras, dan kehitam-hitaman.”
Jupiter mengambil kendi itu dan tangan Diego.
“Buatan orang Indian,” katanya memastikan. “Yang keras dan berwarna hitam itu
cat, yang sudah kering."
“Cat hitam?” kata Bob.
Keempat remaja itu menatap kendi, lalu berpandang-pandangan.
“Jika ia menuliskan sesuatu dengan cat hitam,” kata Pete, “tulisan itu sementara ini
bisa sudah memudar sehingga nyaris tidak bisa dibaca lagi! Apalagi kemudian
tertutup debu!”
“Kita bersihkan debu yang menempel di dinding rongga ini!” kata Jupiter memberi
instruksi sambil mengeluarkan sapu tangannya. “Kerjakan dengan hati-hati sekali,
jangan sampal cat yang sudah kering terkelupas!”
Dengan sangat berhati-hati keempat remaja itu menyingkirkan debu yang
menempel dengan sapu tangan mereka. Akhirnya Pete yang menemukan bekasbekas
samar.
“Bob! Coba sorotkan sentermu itu kemari!”
Pada dinding, di sebelah kiri kerangka nampak samar empat buah kata, dalam
bahasa Spanyol. Diego menerjemahkan artinya.
“Abu... debu... hujan... samudra.”
Semua menatap keempat kata itu, sambil berpikir-pikir mencari maknanya.
“Kedua kata yang paling belakang dituliskan pada posisi lebih rapat,” kata Diego
sambil memperhatikan. “Dan semuanya nampak dituliskan dengan tangan yang
gemetar.”
“Barangkali,” kata Pete mencoba menebak, “pedang itu disembunyikan dalam
salah satu tempat perapian, di suatu tempat?”
“Dekat samudra, barangkali?” kata Bob menimpali.
“Tapi, kalau begitu apa hubungannya dengan kata hujan?” kata Diego sambil
berpikir.
“Mungkin dekat sebuah tempat perapian di luar ada tong penadah air hujan yang
sudah berdebu,” kata Pete, asal tebak saja. “Sudahlah, kita akui saja, kata-kata ini
sama sekali tidak punya arti yang tertentu!”
“Untuk apa moyangku menuliskan kata-kata yang tidak ada artinya?" tukas Diego.
"Ya, itu tidak masuk akal,” kata Jupiter. “Tapi... abu, debu, hujan, dan samudra?”
Ia menggeleng. “Terus terang saja, aku tidak melihat sangkut-paut antara keempat
kata ini.”
“Mungkin bukan Don Sebastian yang menuliskan kata-kata,” kata Bob. “Mungkin
sudah lebih dulu ada, dan ditulis oleh orang lain.”
“Kurasa itu tidak benar, Bob! Don Sebastian pasti meninggalkan salah satu pesan
untuk Jose. Tentang itu, aku yakin sekali! Lagi pula, tempat cat kan ada di
sisinya,” kata Jupiter. “Dan tidak mungkin tulisan ini dibuat orang lain, setelah
Don Sebastian tewas. Jika ada orang masuk kemari kemudian, ia tentunya
menemukan keempat orang yang mati di sini dan melaporkan hal itu, dan kita
takkan menemukan keempat kerangka ini di sini. Pasti sudah dimakamkan! Tidak,
aku yakin bahwa Don Sebastian yang menuliskan keempat kata ini. Tapi—"
“Mungkin saat itu Ia sudah dalam keadaan mengigau sebagai akibat lukanya,
Satu,” kata Bob. “Mungkin, Ia sudah sekarat. Jadi Ia tidak benar-benar sadar, apa
sebenarnya yang dituliskan otehnya.”
"Ya, itu mungkin saja,” kata Jupiter sambil mengangguk. “Tapi entah kenapa, aku
merasa bahwa kata-kata ini pasti punya makna tertentu, secara keseluruhan.
Sesuatu yang oleh Don Sebastian diketahui bahwa Jose pasti akan mengerti. Abu...
debu... hujan... samudra.”
Kata-kata yang diucapkannya itu menggema dalam gue tersembunyi itu. Anakanak
menyimaknya dalam hati, seakan-akan jika diulang-ulangi pasti akan bisa
diketahui rahasianya.
Perhatian mereka begitu terpaku pada kata-kata itu, sehingga baru kemudian sadar
bahwa ada bunyi aneh masuk ke tempat itu.
“Jupe!” kata Diego secara tiba-tiba. “Apa itu? kedengarannya seperti mengetukngetuk.
Datangnya dari atas." Ia mendongak, memandang langit-langit gua.
“Bunyi langkah,” kata Bob lirih. “Datangnya dari luar. Ada orang di atas, dekat
Puri Nasar!”
“Barangkali ketiga orang yang mengejar-ngejar kita,” kata Diego.
“Jika benar mereka, takkan bisa mereka menemukan kita,” kata Jupiter. “Lubang
masuk kemari kan sudah kita sumbat lagi.”
“Aduh, jejak kaki kita." kata Pete kaget. “Jika mereka menemukannya di atas tanah
yang becek, mereka pasti akan langsung menebak bahwa kita turun kemari. Dan
dengan mudah mereka bisa menyingkirkan batu-batu yang menutupi jalan masuk.
Setelah itu mereka bisa—”
Dengan cepat Jupiter mengajak teman-temannya meninggalkan tempat itu, pindah
ke gua sebelah depan. Di situ mereka menunggu dalam gelap, merunduk di sisi kiri
dan kanan lubang yang tersumbat batu-batu. Tidak lama kemudian mereka
mendengar suara orang bercakap-cakap di luar.
“Mereka turun,” bisik Pete.
Suara-suara yang di luar terdengar semakin jelas. kemudian anak-anak yang
bersembunyi itu mendengar bunyi samar langkah orang berjalan terpeleset-peleset
menuruni lereng yang terjal.
“Rapatkan diri ke dinding,” kata Jupiter memberi petunjuk. “Jika nanti orangorang
itu ternyata mendorong batu-batu penyumbat ke dalam lalu masuk kemari,
ada kemungkinan mereka tidak langsung melihat kita. Jadi begitu mereka sudah
lewat, kita cepat-cepat lari ke luar.”
Bunyi nyaring sepatu bot membentur batu terdengar di sebelah atas mereka. Suarasuara
berbicara rasanya datang dari arah yang hampir tepat di hadapan lubang yang
tersumbat batu-batu. Orang-orang yang di luar itu berbicara dengan nada sengit,
seperti sedang bertengkar!
“Apa kata mereka?” bisik Bob. “Aku tidak bisa menangkap kata-katanya dengan
jelas.”
“Aku juga tidak,” balas Pete dengan berbisik pula.
Anak-anak berusaha menangkap percakapan orang-orang yang berada di luar.
Suara mereka yang bernada marah-marah kedengarannya seperti berada tepat di
hadapan lubang. Tapi masih tetap tidak bisa ditangkap dengan jelas, karena samar.
“Kenapa mereka tidak berusaha masuk kemari?” tanya Diego dengan heran.
“Mestinya mereka melihat jejak kaki kita,” bisik Pete, “karena kalau tidak, kenapa
mereka bisa langsung menuju kemari?”
Keempat remaja itu menunggu dengan tegang di dalam gua yang gelap.
“Sudah sepuluh menit mereka berada di luar,” bisik Bob kemudian.
Anak-anak menunggu lagi. Waktu rasanya seperti berhenti.
“Sudah lima belas menit,” kata Bob berbisik. “Apa yang sedang mereka—”
Saat itu terdengar bunyi langkah di balik tumpukan batu yang menyumbat lubang
gua. Langkah orang tergelincir-gelincir — menjauh! Akhirnya tidak terdengar apaapa
lagi. Orang-orang itu sudah pergi.
Anak-anak masih menunggu selama lima belas menit lagi di dalam.
"Mereka tidak melihat lubang di luar!” kata Diego kemudian.
“Tapi mereka mestinya tadi mengikuti jejak kaki kita ke bawah,” kata Pete. “Mana
mungkin lubang itu tidak terlihat? Biar di luar saat ini sudah gelap!"
Jupiter memandang batu-batu yang menyumbat lubang.
“Dan apa sebabnya kita tidak bisa menangkap kata-kata mereka?” katanya
bertanya. “Mestinya kan terdengar, apabila mereka berada tepat di luar lubang ini.
Sesaat keempat remaja itu sama-sama membisu.
“Coba kita singkirkan beberapa buah batu ini,” kata Pete kemudian. Bob
menyalakan senter, lalu menyandarkannya pada sebuah batu. Keempat remaja itu
menarik sebuah batu besar dan tumpukan yang menyumbat lubang. Lalu satu lagi.
Dan satu lagi!
Tapi tidak ada cahaya masuk dari luar. Udara segar juga tidak.
Dengan gugup anak-anak menyingkirkan semua batu yang semula mereka desakdesakkan
ke dalam mulut lubang.
Tidak ada cahaya, angin, ataupun hujan masuk ke dalam.
“Mana lubangnya?” seru Diego dengan panik. Pete merangkak masuk ke dalam
rongga tempat batu-batu tadi, lalu meraba-raba bagian ujungnya.
“Batul” katanya. Suaranya terdengar samar. “Di mana-mana batu semata-mata!”
“Maksudmu, mulut lubang disumbat orang-orang itu!” seru Bob.
Pete merangkak mundur, keluar dari rongga. Matanya terbelalak.
“Tidak, bukàn disumbat!” katanya gugup. “Rupanya tadi terjadi tanah longsor lagi,
dan sebongkah batuu besar tergelincir, lalu menutupi mulut lubang. Itu sebabnya
orang-orang tidak bisa melihatnya. Tidak ada lagi lubang di luar. Itu sebabnya kita
tidak bisa menangkap suara mereka dengan jelas! Kita terjebak di sini! Bagaimana
sekarang?"
Bab 19
AKHIRNYA JUPITER MENGERTI
“KAU tahu pasti, Pete?” tanya Jupiter lambat-lambat . "Mungkin yang menyumbat
itu bukan batu besar. Kita coba saja menggesernya.”
Dengan susah payah keempat remaja itu masuk ke dalam rongga yang semula
merupakan mulut gua. Pete menghitung sampai tiga, lalu bersama-sama mereka
mencoba mengangkat batu yang merintangi jalan itu.
“Uhhh!” dengan Pete.
“Aduh!” Diego terpeleset dan jatuh.
Bob dan Pete mendorong sekuat tenaga. Tapi batu itu sedikit pun tidak bergerak.
“Percuma, Satu,” keluh Bob.
“Berusaha mendorongnya, sama saja seperti berusaha menggeser seluruh
punggung bukit ini,” kata Pete menimpali.
Anak-anak merangkak ke luar lagi, lalu duduk dengan perasaan suram di dasar
gua.
“Tidak ada alasan untuk panik,” kata Jupiter dengan tenang. “Biar kita tidak bisa
keluar dengan kemampuan sendiri, paling lambat besok pagi keluarga kita pasti
mulai mencari-cari, dan dari Pico mereka akan tahu tentang Puri Nasar. Kita bisa
mendengar suara-suara tadi, meski tidak bisa menangkap kata-katanya dengan
jelas. Jadi kita pasti akan bisa mendengar suara orang-orang yang datang mencari
kita, dan mereka jugaakan bisa mendengar suara kita.”
“Yah,” kata Bob dengan nada menyesali, “sayangnya, keluarga kita sementara ini
sudah terbiasa kalau kita tahu-tahu menghilang.”
Pete mengerang.
“Maksudmu, kita akan terkurung di sini sepanjang malam?”
“Kalau terpaksa,” kata Jupiter. Nadanya terdengar gembira. “Gua ini kan lumayan
nyamannya. Tidak basah, dan cukup banyak udara di dalam sini. Ketika kita
pertama kali masuk tadi, aku langsung merasa adanya udara segar. Karena lubang
masuk ini lama sekali tersumbat, maka mestlnya ada retak-retak atau bahkan
lubang-lubang di tengah bebatuan, lewat mana udara bisa masuk. Mungkin juga
ada jalan keluar yang lain dan lewat lubang ini. Kuusulkan, sebaiknya sekarang ini
juga kita mencarinya.”
“Aku sependapat dengan Jupiter,” kata Diego. “Kalau kita banyak bergerak, tubuh
kita akan bertambah hangat rasanya.”
Jupiter, Diego, dan juga Pete meneliti dinding dan langit-langit gua sempit itu,
sementara Bob menyorotkan senternya ke segala arah. Tapi tidak ditemukan jalan
keluar lain.
“Tapi dinding yang di sebelah sana itu kelihatannya dari tanah,” kata Jupiter
sambil menunjuk ke sebelah kiri lubang yang tersumbat. “Dan ketika kupegang,
rasanya agak lembab. Barangkali saja kita bisa menggali jalan keluar lewat situ.”
“Mungkin saja, jika kita punya peralatan yang cocok. Tapi itu tidak ada pada kita
sekarang,” kata Pete mengetengahkan. “Selain itu, di bagian situ dinding
melengkung ke dalam. Entah berapa meter saja tebalnya!”
Jupiter mengangguk.
“Sebaiknya kita kembali saja dulu ke gua yang lebih besar,” katanya menyarankan.
“Kita lihat di situ, barangkali saja ada jalan keluar yang lain.”
“Tadi kan sudah kita periksa sampai ke segala pojoknya, Satu,” kata Bob.
“Memang betul, tapi kita coba saja sekali lagi. Kecuali itu, aku ingin sekali lagi
melihat kata-kata yang dituliskan oleh Don Sebastian.”
Ia mendahului merangkak lewat lorong sempit, masuk ke gua yang ada kerangkakerangkanya.
Sementara Bob kembali bertugas memegang senter, anak-anak yang
lain memeriksa sekeliling dinding gua. Mereka melakukannya dengan sangat
cermat. Memang terasa ada aliran udara di situ, tapi mereka tidak menemukan
jalan keluar.
“Kurasa pilihan cuma ada dua,’ kata Bob. “Tetap tinggal di sini sampai datang
bantuan, atau menggali jalan keluar di gua sebelah depan.”
“Pilihan apa itu?!” tukas Pete sambil mengeluh. “Aku tidak mau tinggal di sini,
tapi menggali juga malas."
“Jika kita harus tinggal di sini sampai besok,” kata Jupiter, “kusarankan agar kita
selama itu berusaha menguraikan teka-teki yang dihadapi. Abu... debu... hujan...
samüdra.”
“Bagiku, masih saja tetap tidak ada maknanya sama sekali," kata Pete dengan
tandas.
“Mungkin tidak dapat dimengerti,” kata Jupiter, “tapi aku yakin bukan tidak ada
maknanya. Coba kita lihat lagi kata-kata itu.”
Keempat remaja itu menyuruk lagi ke dalam rongga yang sempit, dan kembali
memperhatikan keempat kata dalam bahasa Spanyol itu. Jupiter mengamatamatinya
sambil merenung.
“Diego memang benar ketika mengatakan bahwa jarak antara masing-masing kata
tidak sama jauhnya,” katanya kemudian. “Kata yang berarti ‘abu’ agak terpisah,
dan begitu pula ‘debu’. Tapi ‘hujan’ dan ‘samudra’ saling berdekatan. Mungkin
mulanya bahkan ada tanda baca, seperti garis penghubung. Jadi seakan-akan Don
Sebastian menghendaki kedua kata itu dibaca bersamaan. Maka kata-kata itu harus
dibaca begini: ‘Abu... debu... hujan-samudra’. Nah, kalau begitu apa yang bisa kita
tafsirkan daripadanya, Teman-teman?"
“Tidak ada,” kata Pete dengan cepat.
“Hujan dan samudra, kedua-duanya berwujud air,” kata Diego.
“Ya,” kata Jupiter sambil mengangguk. “itu satu hal.”
“Mungkin kita harus menafsirkan bahwa hujan dan samudra pada hakikatnya sama
saja." kata Bob mengajukan dugaan. "Maksudku, kita tahu hujan sebenarnya
berasal dari uap air yang naik dan samudra. Lalu di langit berubah menjadi air
yang kemudian jatuh ke bumi dalam wujud hujan. Dan hujan terjadi sungai dan
sebagainya.”
“Baiklah,” kata Jupiter. “Jadi hujan berasal dari samudra, dan kemudian kembali
lagi ke samudra. Lalu apa hubungannya dengan debu, atau abu."
“Debu bisa berasal dari abu,” kata Diego. “Tapi tidak harus selalu begitu, menurut
pendapatku.”
“Abu tidak berasal dari debu,” kata Pete. “Abu sama sekali bukan debu.”
“Memang bukan,” kata Jupiter lambat-lambat. “Pikir terus, Teman-teman. Pasti
ada salah satu hubungannya, satu petunjuk yang menggabungkan keempat kata itu.
Pesan apa untuk Jose yang bisa disimpulkan daripadanya?”
Tidak seorang pun mampu menjawab.
“Yah, kita coba saja terus,” kata Jupiter lagi, “dan sementara itu kita kembali ke
gua di depan. Kita coba saja menggali jalan keluar.”
“Senapan-senapan kuno itu bisa kita gunakan sebagai alat untuk menggali,” kata
Pete.
Bob membuka tas peralatannya.
“Tidak ada yang berarti di sini, tapi obengku ini bisa kita pakai untuk
mehghancurkan tanah.”
Ketika sudah kembali di gua sebelah depan, anak-anak memeriksa tanah yang
lunak di sisi kiri lubang yang tersumbat. Tanah itu lembab dan lengket.
“Hujan seminggu ini turun terus," kata Pete mengetengahkan pendapatnya, “jadi
tanah ini hanya lembab saja. Mestinya cukup tebal lapisan yang ada antara sini dan
sebelah luar. Yah,” sambungnya sambil nyengir, “kita lihat saja nanti!”
Dengan menggunakan laras senapan-senapan kuno, obeng, serta batu-batu pipih
yang mereka temukan, keempat remaja itu mulai menggali. Mulanya tanah di situ
berbongkah-bongkah dan agak lengket. Tapi semakin dalam mereka menggall,
semakin basah tanahnya. Setiap kali mereka sudah agak berhasil maju agak jauh,
tanah lempung itu melesak lagi. Mereka terpaksa mempercepat penggalian agar
bisa maju. Dan sebentar-sebentar mereka terbentur pada batu-batu yang harus
dikeluarkan dulu sebelum mereka bisa melanjutkan.
Keringat mereka bercucuran, sementara muka dan pakaian berlumuran tanah
lempung yang lengket. Setelah berjam-jam bekerja, keempat remaja itu mulai
lelah. Belum lagi rongrongan rasa lapar! Akhirnya mereka kehabisan tenaga.
Keempat remaja itu tertidur. Ketika bangun lagi hari sudah pagi. Itu hanya mereka
ketahui dengan jalan melihat arloji mereka, karena di dalam gua masih tetap gelap
gulita. Baterai senter sudah lemah, sehingga sinarnya sangat redup. Tapi anak-anak
mulai menggali lagi, dengan lebih bersemángat daripada sebelumnya.
Pukul setengah delapan, tiba-tiba Pete berseru, “Aku melihat cahaya terang!”
Keempat remaja itu seolah-olah mendapat suntikan semangat. Keempat-empatnya
menyuruk ke dalam lubang hasil galian mereka, dan menggali seperti kesetanan.
Lubang yang terjadi bertambah besar, sinar yang masuk bertambah banyak, dan
akhirnya mereka berhasil tembus! Sambil berbicara campur aduk karena gembira,
mereka merangkak satu per satu ke luar, dan berdiri di lereng punggung bukit
tinggi itu, di tengah hujan yang masih saja turun.
“Wow!” seru Pete, “coba dengar suara gemuruh itu!”
Deru air yang bergejolak dalam sungai kecil yang banjir seakan-akan
mengguncangkan seluruh lingkungan di situ. Diego menuding ke arah bendungan.
“Bendungan itu runtuh separuh!” serunya. "Dan—"
“Bukit kecil di sisinya tidak ada lagi!” kata Bob.
“Lihat!” seru Jupiter. Ia menunjuk ke bawah, ke arah arroyo.
Cekungan yang biasanya kering dan arahnya menuju ke hacienda yang letaknya
sekitar satu mil lagi, kini tidak bisa lagi disebut arroyo, karena sudah menjelma
menjadi sungai kecil yang dalam dan deras. Banjir yang melimpah lewat bagian
bendungan yang sudah ambruk ternyata telah mengikis habis bukit kecil yang
memisahkan bekas arroyo itu dan Santa Inez Creek. Kini air deras mengalir ke
arah laut, bukan lewat satu sungai saja, tapi dua!
"Wah, banjir ini pasti melanda hacienda kalian," kata Bob pada Diego.
Tiba-tiba mata Jupiter bersinar-sinar.
“Itu dia, Teman-teman!” katanya, nyaris bernada kagum. “Aku tahu sekarang
jawabannya!”
Bab 20
PEDANG CORTES
"JAWABAN tentang apa, Satu?" seru Pete dan Bob serempak.
Jupiter tidak jadi menjawab, karena tiba-tiba Ia menuding ke arah jalan besar yang
nampak di kejauhan, searah dengan punggung bukit.
“Ada beberapa orang datang!” serunya. “Jika itu mereka lagi-”
Pete menudungi matanya, agar bisa iebih jelas melihat. Nampak empat orang lakilaki
berlari menyusur jalan setapak yang melewati punggung-punggung bukit di
sebelah selatan. Jalan itu pernah dilewati Diego bersama ketiga anggota Trio
Detektif seminggu yang lalu, sewaktu kembali ke hacienda setelah ikut
memadamkan kebakaran yang melanda padang belukar.
“Itu ayahku, bersama Mr. Andrews!" seru Pete. “Dan juga Sheriff, bersama Chief
Reynolds!”
Keempat remaja itu bergegas menuruni bukit, menyongsong mereka.
“Pete!” sew Mr. Crenshaw, begitu melihat anaknya. “Kalian baik-baik semua?”
“Ya, Ayah,” kata Pete. Dipandangnya ayahnya sambil nyengir.
Mr. Andrews marah-marah.
“Apa saja yang kalian lakukan di sini sepanjang malam!”
“Bukan niat kami begitu, Ayah,” kata Bob, lalu diceritakannya pengalaman
terjebak di dalam gua. “Mulut gua itu muncul karena ada tanah longsor, lalu tanah
longsor berikutnya menyebabkan jalan keluar itu tersumbat kembali. Tapi sekarang
kami sudah tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan Don Sebastian dan ketiga
prajurit Amerika yang hilang itu!"
“Dan berhasil menyibak satu misteri kuno lagi,” sela Chief Reynolds sambil
tersenyum.
“Tapi menyebabkan orang tua kalian bingung setengah mati!” tukas Sheriff dengan
nada galak.. “Pico Alvaro melaporkan tentang tindak-tanduk kalian melacak
Pedang Cortes dengan niat menyelamatkan pertaniannya, dan kami separuh malam
ribut mencari kalian ke mana-mana! Pamanmu, Jupiter Jones, mencari di daerah
seberang sungai bersama kedua pembantunya, begitu pula Mr. Norris dengan
orang-orangnya! Coba katakan, bagaimana kalian sampai bisa masuk ke gua itu!”
“Ya, Sir,” kata Pete. “kami—”
“Nanti saja itu kami jelaskan, dalam perjalanan ke hacienda, Sir,” kata Jupiter
cepat-cepat memotong . “Saya tidak ingin paman saya harus terus merasa cemas.
Bisakah Anda memberi tahu padanya, agar dia dan yang lain-lainnya menjumpai
kita di reruntuhan hacienda?”
“Baiklah, tapi kau nanti harus bisa memberikan alasan tegas, kenapa kalian masuk
ke gua itu. Aku tidak mau ada anak-anak sembrono berkeliaran di daerah
pengawasanku!”
Dengan walkie-talkie-nya, Sheriff menginstruksikan segenap rombongan pencari
agar berkumpul di hacienda Alvaro. Setelah itu, sambil berjalan lewat jalan setapak
melintasi punggung-punggung bukit menuju ke hacienda, keempat remaja itu
menceritakan pengalaman mereka selama itu. Mengenal usaha mencari Pedang
Cortes, lalu tentang ketiga orang tak dikenal yang mengejar-ngejar mereka. Ketika
selesai bercerita, mereka sudah sampai di jalan besar yang merupakan jalan daerah.
Dan situ mereka menyeberangi jembatan. yang terbentang di atas sungai deras
yang semula merupakan arroyo. Akhirnya mereka sampai di hacienda.
Paman Titus sudah lebih dulu sampal di situ, bersama Hans dan Konrad, saudara
Hans. Mr. Norris berdiri di belakang Paman Titus, dekat mobil yang selama itu
dilihat anak-anak dinaiki oleh Skinny dan Cody. Mereka berdua juga ada di situ,
bersama dua orang lagi.
Seorang asisten sheriff duduk menunggu dalam mobil Sheriff. Paman Titus
bergegas menghampiri keponakannya.
“Kau tidak apa-apa, Jupiter? Bagaimana dengan yang lain-lain?”
“Semua baik-baik saja, Paman Titus.”
Skinny datang menghampiri, bersama Mr. Norris dan Cody.
“Aduh, kalian ml benar-benar keterlaluan dungunya,” kata Skinny mengejek.
“Sudah, Skinner,” bentak Mr. Norris. “Lega hatiku melihat kalian semua selamat,
Anak-anak.”
“Sekarang coba kalian jelaskan,” kata Sheriff, “apa sebabnya ketiga orang itu
mengejar-ngejar kalian!”
“Karena mereka yang menyebabkan Pico dituduh menyebabkan padang belukar
waktu itu terbakar,” kata Pete bersemangàt, “dan mungkin mereka pula yang
membakar hacienda ini!”
Cody mendengus.
“Alvaro yang menyebabkan kebakaran itu,” tukas manajer ranch milik Mr. Norris
itu. “Ia tidak layak mengusahakan pertanian di daerah sini, karena orangnya terlalu
sembrono.”
“Mulai besok, ia bukan pemilik pertanian lagi.” Skinny mengatakannya sambil
tertawa.
“Aku tadi sudah menyuruhmu diam, Skinner! kau juga, Cody!” bentak Mr. Norris.
Ditatapnya Jupiter. “Bisakah kau membuktikan bahwa bukan Pico Alvaro yang
menyebabkan padang belukar terbakar waktu itu, Jones?”
“Kami tahu bahwa bukan dia yang melakukannya, Mr. Norris,” jawab Jupiter.
“Pada pukul tiga siang hari itu Pico masih memakainya, yaitu saat Ia berada
bersama kami di sekolah. Karena Sheriff mengatakan api unggun itu dinyalakan
sebelum pukul tiga, maka mustahil Pico ketinggalan topinya di tempat itu.”
Bob menyela, "Skinny — maksud saya Skinnerf Sir, dia dan Mr. Cody mestinya
juga melihat bahwa Pico masih memakai topinya sewaktu berada di sekolah!”
“Aku tidak ingat Ia memakai topi,” kata Skinny.
"Karena Ia memang tidak memakainya,” kata Cody menimpali.
“Tapi waktu itu Ia memakai topi, Sir,” kata Jupiter dengan tegas. “Dan topi itu
masih terus dipakainya ketika kami kemudian tiba di hacienda ini. Setelah itu Ia
menggantungkannya ke sangkutan yang ada di dalam gudang. Lalu ketika ada
yang memberi tahu bahwa padang belukar terbakar, ia bergegas lari ke luar, tanpa
membawa topi itu. Jadi mestinya topi itu ikut terbakar dengan gudang, tapi
nyatanya tidak. Ketiga orang tak dikenal itu datang ke gudang sewaktu semua
sedang sibuk berusaha memadamkan api kebakaran. Mereka mengambil topi itu,
lalu meletakkannya dekat lokasi api unggun, agar dengan begitu tuduhan
dilemparkan pada Pico.”
“Kau tidak bisa membuktikan ocehanmu itu,” kata Cody dengan geram. “Untuk
apa orang-orang itu berusaha melemparkan kesalahan pada Alvaro? Apa
alasannya?”
Jupiter tidak mengacuhkan manajer itu.
“Mereka melemparkan kesalahan pada Pico, karena merekalah sebenarnya yang
menyalakan api unggun secara sembrono itu. Saya yakin, mereka jugalah yang
kemudian membakar hacienda dan gudang di sini.
“Kau bisa membuktikannya, Jupiter?” tanya Chief Reynolds.
“Dan di mana ketiga orang itu sekarang?” tanya Sheriff.
“Saya rasa mereka bisa ditemukan di ranch milik Mr. Norris,” jawab Jupiter.
Mr. Norris langsung naik darah.
“Kau hendak mengatakan, aku terlibat dengan urusan ketiga orang itu, Anak
muda?”
“Bukan begitu, Sir,” jawab Jupifer tenang., “Saya rasa Anda tidak tahu apa-apa
tentang. mereka. Tapi ada orang di sini yang dari semula sudah mengetahuinya.
Mereka kan tidak sendiri saja datang ke gudang Alvaro untuk mengambil topi itu,
Skinny?”
"Skinner?" Mr. Norris menatap anaknya.
"Dia ini asal ngomong saja, Ayah!" seru Skinny. Jupiter merogoh kantungnya, lalu
mengacungkan sepasang anak kunci, yang nampak jelas merupakan kunci mobil.
“Kunci-kunci ini kami temukan dalam gudang yang sudah habis terbakar, yang di
sana itu!” katanya. “ketiga orang itu ke sana untuk mencari kunci-kunci ini, dan
itulah sebabnya kenapa mereka kemudian mengejar-ngejar kami —yaitu untuk
merebut kunci-kunci ini. Kedua kunci ini terjatuh sewaktu mereka datang untuk
mengambil topi Pico. Anda bisa memeriksanya sendiri, tapi saya yakin kuncikunci
ini berasal dari mobil Anda yang di sana itu?" Sambil berkata begitu Jupiter
menunjuk ranch wagon.
“Mobil kami itu?" seru Mr. Norris kaget.
"Ya, tentang itu saya yakin, Sir,” kata Jupiter. “Saya bisa mencobanya, atau bisa
juga Skinner menunjukkan kunci-kunci yang ada padanya, supaya bisa kita
bandingkan."
"Bagaimana, Skinner?” Mr. Norris menatap anaknya lagi.
"Aku — aku —," Skinny tergagap-gagap. Tiba-tiba Ia menatap Cody sambil
melotot. “Aku memberikannya pada Cody, Ayah! Katanya, kunci-kuncinya
tercecer di tempat kebakaran! Ia tidak mengatakan —“
“Dasar pengecut!” tukas Cody dengan marah. “Oke, kunci-kunci itu memang dari
ranch wagon. Aku menjatuhkannya tanpa mengetahuinya sewaktu masuk ke
gudang untuk mengambil topi si Meksiko. Dan itu semua diketahui oleh Skinny!”
“Ketiga koboi goblok itu teman-temanku,” sambung manajer itu dengan marah.
"Mereka sedang dalam kesulitan, dan aku berutang budi pada meneka, jadi mereka
lantas mendatangiku. Kuizinkan mereka bersembunyi di tanah pertanian Mr.
Norris. Mereka kemudian menyalakan api unggun, walau sudah kupesar agar
jangan melakukannya. Api itu kemudian menyebabkan padang belukar terbakar.
Aku tahu, jika Mr. Norris sampai mengetahui kejadian sebenarnya, aku pasti
langsung dipecat. Karena itu kami lantas mendatangi tempat Alvaro ini. Saat itu
aku secara kebetulan melihat topi Pico tergantung dalam gudang. Sialnya, kuricikunci
mobil yang ada padaku tercecer!”
“Kenapa tidak langsung kaucari waktu itu juga?" tukas Sheriff.
“Aku terburu-buru hendak menaruh topi itu,” kata Cody dengan sikap agak kikuk,
“dan kami juga khawatir kalau-kalau ada yang melihat, sedang — "
“Sedang saat itu gudang sudah mulai terbakar!
Ya, kan?” seru Pete mendului.
“Betul,” kata Cody dengan wajah lesu. “Tapi bukan aku yang melakukannya! Aku
tidak berniat merusak, atau merugikan siapa pun juga. Aku saat itu cuma berusaha
agar Mr. Norris jangan sampai tahu bahwa Cap, Pike, dan Tulsa berkemah di tanah
pertaniannya dan bahwa kesembronoan merekalah yang menyebabkan padang
belukar terbakar. Tapi manusia-manusia dungu itu mendengar aku mengatakan
bahwa kami ingin mengambil alih pertanian Alvaro. Mereka lantas berniat
membantuku, dengan jalan membakar gudang dan hacienda ini! Aku terlambat
mengetahuinya, sedang kunci-kunciku terjatuh dalam gudang!”
“Tapi Anda berusaha keras menghalang-halangI kami membantu keluarga
Alvaro,” tukas Bob. “Anda dan Skinny! Mengintip-ngintip, menguping di balik
jendela, berusaha menggertak kami."
“Aku cuma melakukan tugasku!” bantah Cody.
“Mulai saat ini juga kau tak bertugas lagi, Cody!” bentak Mr. Norris. “Ambil
barang-barangmu! Kau kupecat!” Mr. Norris memandang Skinny sarnbil melotot.
“Dan kau, Anak muda, kita masih harus bicara lagi nantil”
“Cody boleh mengambil barang-barangnya,” kata Sheriff, “tapi dengan
pengawalan asistenku! Cody harus kutahan, dengan tuduhan melakukan
persekongkolan untuk memfitnah Pico Alvaro, dan kemungkinannya juga untuk
tindakan pembakaran rumah.”
Sheriff beserta asistennya menggiring Cody ke mobil polisi. Mr. Norris menyuruh
Skinny masuk ke ranch wagon. Setelah itu Ia mengarahkan kata-katanya pada
anak-anak yang lain.
“Aku menginginkan pertanian Alvaro, dan aku pasti berhasil,” katanya tandas.
"Tapi aku tidak pernah berniat mencapainya dengan cara yang tidak jujur. Aku
menyesali segala kejadian selama ini."
“Kalian berhasil membersihkan nama seseorang yang tidak tersalah, Anak-anak,”
ujar Chief Reynolds sambil tersenyum. “Pico akan segera dibebaskan lagi. Kalian
telah bekerja dengan sangat baik!”
Setelah itu Ia pergi ke mobilnya.
Sementara yang lain-lain pergi meninggalkan tempat itu, Paman Titus memandang
arlojinya. Dipanggilnya Hans dan Konrad, lalu disuruhnya kedua pembantunya itu
mengambil truk perusahaan.
“Kalian perlu cepat-cepat mandi dan makan,” katanya pada anak-anak. “Sesudah
itu kita lihat, apakah kalian masih sanggup berangkat ke sekolah.”
“Tapi sebelum itu kami masih harus di sini dulu selama lima belas menit lagi,”
kata Jupiter. "Kurasa itu sudah memadai."
Paman Titus heran mendengarnya.
“Untuk apa lagi, Jupiter?”
“Cukup waktu untuk apa, Satu?” tanya Bob menimpali.
“Ya, tentu saja untuk mencegah Mr. Norris berhasil merebut pertanian Alvaro”
kata Jupiter dengan sikap puas. “Mencari Pedang Cortes!”
“Aduh, betul juga! Aku sampai lupa!” seru Diego. “kau tadi mengatakan, sekarang
kau sudah tahu jawabannya!”
“Dan aku memang tahu,” kata Jupiter yakin. "Ikut aku!"
Ia melangkah menuju jalan besar, diikuti oleh yang lain-lainnya. Sementara itu
hujan sudah berhenti. Matahari pagi mengintip dari balik tumpukan awan
mendung. ketika rombongan kecil itu sudah dekat ke jembatan yang melintas di
atas arroyo, Jupiter berhenti.
“Kalian masih ingat catatan harian letnan Amerika itu?" katanya pada temantemannya.
“Dalam mana letnan itu menulis bahwa ia melihat Don Sebastian di atas
punggung sebuah bukit di seberang sungai kecil, sedang menuntun kuda sambil
menggenggam pedang?”
“Ya, aku masih ingat,” kata Pete. “Catatan itu keliru, karena jika datang dari
hacienda, sama sekali tidak ada bukit di seberang sungai kecil.”
“Tapi sekarang ada,” kata Jupiter bersemangat, “begitu pula pada tahun 1846.
Lihat saja sendiri!”
Di seberang arroyo yang saat itu sudah menjadi sungai yang deras airnya nampak
patung kuda yang tidak berkepala lagi, menjulang di atas punggung bukit yang
tinggi!
“Pada tahun 1846 itu, dan juga sebelum itu, rupanya ada dua cabang Santa Inez
Creek,” kata Jupiter mengemukakan pertimbangannya. “Sungai kecil ini dulu
mempunyai dua alur di sini. Itu tidak bisa kita ketahui dari peta-peta kuno, karena
sungai kecil dan arroyo serupa penggambarannya di situ. Tapi pada tahun 1846 itu,
ketika letnan penulis catatan harian itu berada di tempat ini, arroyc ini juga sedang
berupa sungai. Tanah longsor dan punggung bukit di dekat bendungan tua itu
kemudian membentuk bukit kecil yang sekarang sudah lenyap lagi, dan bukit kecil
itu membendung satu alur sungai itu sehingga berubah menjadi arroyo, alur cekung
yang kering. Mungkin tanah longsor itu disebabkan gempa yang mengakibatkan
mulut gua tertimbun. Tapi pokoknya, alur sungai yang satu menjadi arnoyo yang
selalu kering sejak itu. Karenanya tidak ada lagi yang ingat, bahwa arroyo itu
pernah merupakan sungai."
“Jadi letnan itu benar!” kata Bob. “Ia memang melihat Don Sebastian di atas
punggung sebuah bukit di seberang Santa Inez Creek. Ia melihatnya dekat patung
yang dikiranya kuda hidup! Ia tidak tahu-menahu tentang patung itu; karena bukan
orang sini!”
“Tepat, Bob!”
Jupiter mendahului yang lain-lainnya menyeberang jembatan, lalu mendaki lereng
bukit yang terjal. Pete mendongak, memandang patung kuda tanpa kepala yang
kini nampak dengan latar belakang langit yang mulai cerah.
“Rupanya ketika Ia dilihat oleh letnan itu, Don Sebastian rupanya sedang
menyembunyikan pembungkus pedangnya,” kata anggota kedua Trio Detektif itu.
“Jadi menurutmu, ada suatu petunjuk pada patung itu yang terlepas dari perhatian
kita, Satu?”
“Abu... debu... hujan-samudra,” ujar pemimpin penyelidik remaja itu dengan gaya
berdeklamasi. “Aku dari semula sudah yakin, itu pasti merupäkan pesan terakhir
Don Sebastian pada Jose, anaknya, dan kenyataannya memang begitu! Pakai otak
kalian, Teman-teman! Hujan berasal dari samudra, dan akhirnya kembali lagi ke
samudra. Kalau abu, ke mana kembalinya? Dan debu? Orang-orang Spanyol yang
bermukim di California sini waktu itu sangat saleh. Mereka taat sekali
menjalankan ajaran agama. Mereka—”
“Abu kembali menjadi abu!" seru Diego.
“Dan debu, kembali menjadi debu!” kata Bob menimpali. “Kata-kata yang selalu
diucapkan dalam upacara pemakaman gereja! Artinya, pada akhirnya segalasegalanya
kembali lagi ke asalnya. Ke pangkalnya!
“Betul!” kata Jupiter dengan bangga. “Don Sebastian yang saat itu dalam keadaan
luka berat, tahu bahwa waktunya tidak banyak lagI yang tersisa. Karenanya ìa
menuliskan petunjuk yang diyakininya pasti akan dengan segera dimengerti oleh
anaknya, Jose. Ia tahu, Jose pasti langsung menarik kesimpulan bahwa ayahnya
berusaha menyelamatkan pedang itu agar jangan dirampas orang Amerika, dan
keempat kata tadi ditulisnya untuk mengatakan di mana pedang itu disembunyikan
olehnya—yaitu kembali ke asalnya. Kembali ke Cortes!”
Sementara itu mereka sudah sampai di atas punggung bukit. Semua menatap
patung kuda tanpa kepala dengan penunggangnya yang berjenggot menatap dengan
sikap bangga ke arah tanah yang dulu keseluruhannya merupakan milik keluarga
Alvaro.
“Maksudmu,” kata Paman Titus, “pedang itu sebenarnya disembunyikan dalam
patung ini? Bersama pembungkusnya?"
“Tapi patung ini kan sudah kita periksa habis-habisan,” kata Diego membantah.
“Tidak ada satu tempat pun yang mungkin bisa dipakai untuk menyembunyikan
pedang!”
“Jangan kaubilang pedang itu dikuburkan!” kata Pete sambil mengerang. “Aku
sudah bosan menggali dan menggali terus!”
“Jangan khawatir, Dua,” kata Jupiter, “menurutku, kita tidák perlu melakukan
penggalian lagi. Masih ingat, -kita sejak semula sudah heran, apa sebabnya Don
Sebastian memisahkan pedang itu dari pembungkusnya yang dari kulit?
Pembungkus itu gunanya untuk melindungi pedang yang berharga dan
kemungkinan rusak, tapi walau begitu Ia memisahkannya! Nah, sekarang aku tahu
apa sebabnya!”
"Kenapa, Jupe?"
“Ayo, bilang saja!”
“Di mana pedang itu, Satu?"
Jupiter nyengir gembira.
“Masih ingat cat hitam yang di dalam gua, yang dipakai Don Sebastian untuk
menulis pesannya? Nah, cat itu juga dipergunakannya untuk tujuan lain. Pedang itu
benar-benar dikembalikannya ke asalnya. Bukan disembunyikannya di dalam
patung, tapi pada patung!”
Jupiter mengulurkan tangannya ke atas, menarik pedang kayu yang dipakukan ke
pinggang patung Cortes, yang juga terbuat dan kayu. Pedang itu .terlepas.
Terdengar bunyi bendentang ketika membentur pinggul patung kuda! Jupiter
mengeluarkan pisau lipatnya, dan dengan pisau itu dikeruknya permukaan sarung
pedang yang berwarna hitam. Tepat saat itu matahari muncul dari balik awan.
Pada bagian permukaan yang dikeruk oleh Jupiter nampak sederet batu permata
berwarna-warni menyilaukan, terpasang pada permukaan yang terbuat dari perak
murni!
“Pedang Cortes!” kata Jupiter. Dijunjungnya pedang itu tinggi-tinggi, kemilau
ditimpa sinar matahari.
Bab 21
KEBENARAN MENANG JUGA AKHIRNYA
“ABU kembali menjadi abu, debu kembali menjadi debu," kata Alfred HLtchcock
berdeklamasi. “Gagasan hebat di pihak Don Sebastian untuk menyampaikan
pesannya, dan penarikan kesimpulan yang lebih hebat lagi oleh Jupiter, teman kita
yang cerdas ini!”
Saat itu Jupe, Bob, dan Pete sedang berada di ruang kantor sutradara film
termasyhur yang nyaman itu. Mereka datang untuk menyampaikan laporan tentang
kasus penyelidikan mereka yang telah berhasil diselesaikan beberapa hari sebelum
itu. Mereka meminta kesediaan Mr. Hitchcock menuliskan kata pengantar untuk
laporan tertulis yang disusun oleh Bob mengenainya. Ketiga remaja itu datang
bersama seorang pengawal bersenjata, karena mereka membawa Pedang Cortes
untuk diperlihatkan pada Mr. Hitchcock. Kini pedang itu tenletak di atas meja
sutradara itu. Cat hitam yang semula melapisinya sudah disingkirkan, sehingga
kini tampil dengan segala keindahannya: emas, perak, dan batu-batu permata.
Jupiter menuding, menunjuk sebuah zamrud. Batu mulia itulah yang dlitemukan
oleh anak-anak dalam pondok di tengah ngarai sempit. Batu itu sudah dipasang
lagi di tempatnya semula.
“Memang harta yang sangat berharga.” Mr. Hitchcock mengatakannya dengan
suara lirih karena kagum, sambil menyentuh pedang legendaris itu dengan
perasaan iri. “Jadi tanah milik keluarga Alvaro yang berhasil kalian selamatkan.
Lalu bagaimana dengari orang-orang yang menyebabkan timbulnya segala
kericuhan selama ini?"
“Ketiga koboi gelandangan diringkus oleh Sheriff di daerah perbukitan yang
termasuk tanah milik Norris, persis seperti yang saya duga,” kata Jupiter.
“Rupanya mereka bersembunyl di sana dengan bantuan Cody. Mereka dicari-cari
polisi Texas karena melakukan perampokan di sana. Mereka mengaku membakar
hacienda, jadi Cody bebas dari tuduhan.”
“Maksudmu, Cody sama sekali bebas?" tanya Mr. Hitchcock
“Tidak, Sir,” kata Bob menjawab. “Ia tetap ditahan dengan tuduhan melakukan
berbagai tindakan melanggar hukum: memfitnah Pico, menyembunyikan pelarian,
dan menyuruh anjing-anjing penjaga mengèjar kami. Itu baru beberapa saja!”
“Ah,” kata Mr. Hitchcock. Nampaknya Ia puas mendengarnya. “Kelihatannya ia
tidak perlu repot mencari pekerjaan baru selama beberapa tahun mendatang, ya!”
“Tapi Skinny bisa dibilang tidak diapa-apakan,” kata Pete menimpali. “Ia memang
tidak berbuat apa-apa, kecuali membisu tentang perbuatan Cody dan ketiga koboi
gelandangan itu. Para pengacara ayahnya melemparkan segala kesalahan pada
pengaruh buruk Cody, dan karenanya Skinny dibebaskan dengan bersyarat.
Sementara ini Ia sudah disekolahkan oleh ayahnya di luar California, ke sebuah
sekolah dengan pendidikan dasar kemiliteran. Agar ía belajar berdisiplin!”
“Kurasa tingkah laku buruk Skinner itu disebabkan oleb orang tuanya yang terlalu
memanjakan,” kata Mr. Hitchcock sambil mendesah. “Mudah-mudahan saja
wataknya masih bisa berubah di sekolahnya yang baru! Tapi sekarang, apa yang
selanjutnya akan terjadi dengan Pedang Cortes ini?
"Yah,” kata Jupiter sambA nyengir, “begitu Mr. Norris melihatnya, ia langsung
menawar hendak membelinya!”
“Tentu saja dengan harga lebih murah daripada yang diajukan peminat-peminat
selebihnya,” kata Bob menambahkan. “Rupanya Mr. Norris itu memang dasarnya
tamak!”
“Sebuah bank setempat sementara itu sudah memberikan kredit pada Pico dan
Diego agar bisa dengan segera melunasi utang pada Mr. Norris. Dengan begitu
mereka tidak perlu cepat-cepat mengambil keputusan, hendak mereka apakan
pedang itu nantinya.”
“Murah hati bank itu." Mr. Hitchcock mendengus. “Pada saat tidak diperlukan lagi,
baru mereka mau membantu!”
“Pokoknya,” kata Pete, “Pico dan Diego bisa dibilang sudah menemukan kata
sepakat mengenainya. Mereka akan menjual pedang warisan itu pada pemerintah
Meksiko, untuk disimpan dalam Museum Sejarah Nasional di sana. Mereka
memutuskan begitu, walau penawaran dari pihak sana bukan yang paling tinggi.
Menurut Pico, pedang itu merupakan bagian dari sejarah Meksiko, dan keluarga
Alvaro!”
“Itu merupakan keputusan yang mulia dan patut dihormati,” kata sutradara film itu.
“Pembayaran oleh pemerintah Meksiko lebih dari cukup bagi kedua Alvaro
bersaudara itu untuk melunasi pinjaman mereka, membangun kembali hacienda,
serta membeli tambahan peralatan pertanian,” kata Jupiter, lalu tersenyum. “Dan
sisanya masih cukup untuk membeli tanah pertanian Mr. Norris pula!”
Mr. Hitchcock terkejut.
“Maksudmu, Norris yang angkuh itu melepaskan niatnya untuk menjadi tuan
tanah?”
“Betul, Sir.” Pete mengatakannya sambil tertawa. “Rupanya Pico sebenarnya bisa
menuntut ganti rugi padanya atas segala perbuatan Cody selama bekerja untuk Mr.
Norris. Ketika kemungkinan itu terdengar oleh Mr. Norris, ía lantas buru-buru
menawarkan tanahnya pada kedua Alvaro bersaudara, dengan harga yang sangat
rendah —asal mereka tidak mengajukan tuntutan ganti rugi.”
“Dan kecuali itu, Pico dan Diego mungkin bahkan masih mampu pula membeli
lebih banyak lagi tanah yang semula termasuk kawasan yang dianugerahkan pada
leluhur mereka,” kata Bob menimpali.
Mr. Hitchcock terbahak-bahak
“Hebat!” serunya. “Kebenaran menang juga akhirnya! Ini satu kasus yang dengan
sepenuh hati mau kutuliskan kata pengantarnya!”
Anak-anak mengucapkan terima kasih, lalu pergi dengan membawa Pedang
Cortes, diiringi pengawal bersenjata. Mr. Hitchcock masih tetap duduk di
tempatnya. Ia tersenyum. Dalam kasus Kuda Tanpa Kepala ini keadilan berhasil
dibela dengan sebaik-baiknya. Sutradara termasyhur itu yakin, dalam kasus Trio
Detektif yang berikut mereka pasti akan mencapai prestasi serupa!
End