Trio Detektif - Setan Menandak(2)


  Bab 11
WAJAH YANG TAK TERDUGA DUGA MUNCUL

"DIA... dia ada di sini!" ujar Jupiter tergagap.
Ketiga remaja itu terpana, menatap penampilan yang mengejutkan itu.
"Apa maksudmu? Siapa yang ada di sini?" tanya Jim Clay, sementara lampu-lampu ruangan dinyalakan. Dengan bingung pemuda itu memandang kian kemari, meneliti ruangan yang penuh dengan berbagai benda itu. "Setan Menandak!" kata Pete sambil menuding.
"Itu, di sana -"
Ia tertegun, menatap sosok bisu tak bergerak yang berdiri setengah berjongkok di atas tiang tumpuan yang tidak tinggi. Jim Clay menghampiri sosok itu lalu mengetuk-ngetuk. Terdengar bunyi benda yang keras tapi berongga.
"Bukan," katanya, "Setan Menandak terbuat dari perunggu, dan ukurannya jauh lebih kecil. Ini cuma patung peraga biasa saja, yang dipakai untuk menyampirkan kostum syaman Mongol. Ayahku gemar mengumpulkan benda-benda seni dan kerajinan tangan Asia. Pakaian dukun ini seluruhnya asli."
Dengan lambat Jupiter menyeberangi ruangan, mengitari lemari-lemari pajangan dari kaca, lalu meraba kostum yang membalut patung peraga itu. Rabaannya menyebabkan debu mengepul. Jupiter mundur selangkah sambil mengangguk-angguk.
"Kulihat sekarang bahwa memang lain," katanya. "Tanduknya lebih pendek, sedang kulit yang menyelubungi berasal dari beruang, bukan serigala. Kecuali itu, dari debu yang menempel ketahuan bahwa kostum ini sudah lama tidak dijamah orang."
"Lain dari apa, Jupiter?" tanya Jim Clay.
"Kostum syaman, atau benar-benar syaman, atau entah apa yang sudah beberapa kali kami lihat," kata Pete. "Barangkali ayah Anda memiliki kostum syaman yang lain di sini?"
"Cuma itu saja yang ada. Kurasa kostum begini ini termasuk barang langka," jawab Jim Clay.
"Kostum yang kami lihat itu persis seperti yang nampak pada patung Setan Menandak," kata Bob.
"Mungkin saja patung itu yang menjelma menjadi makhluk hidup." Anak raja minyak itu tertawa lebar. "Patungnya sendiri ada di sana, di dalam kotak kaca itu."
Seketika itu juga ia melongo, sementara matanya terbelalak. Kotak kaca yang ditunjuknya ternyata kosong. Tidak ada apa-apa di dalamnya!
"Lenyap!" seru Pete.
Jim Clay memandang berkeliling dengan sikap bingung. Ia bergegas memeriksa setiap kotak kaca yang ada dalam ruangan besar itu. Di dalam tempat-tempat itu terdapat berbagai patung lain, begitu pula senjata-senjata, vas, topi ksatria, serta beraneka ragam karya seni dan kerajinan lain, tapi patung Setan Menandak tidak ada di ruangan itu!
"Aku... aku tidak mengerti! Mana mungkin ada orang -" Ia berpaling ke arah anak-anak. "Dari mana kalian tahu patung itu hilang?"
Mereka menceritakan semua yang mereka alami selama itu. Jim Clay mendengarkan dengan penuh minat sambil memperhatikan mereka. Setelah itu ia berjalan mondar-mandir.
"Hilang! Dicuri!" Kebingungan mewarnai nada suaranya. "Padahal aku ditugaskan menjaga barang-barang di sini! Ayahku pasti sangat marah jika pulang nanti. Patung itu tak ternilai harganya dan di samping itu..." Ia tertegun, lalu menggelengkan kepala. "Aku tidak begitu tertarik pada benda-benda dari Asia, dan karenanya tidak begitu mempedulikan patung itu. Tapi bagaimana mungkin ada pencuri bisa masuk kemari lalu mengambilnya tanpa ketahuan, dan tanpa meninggalkan jejak? Selama ini aku sibuk dengan tugas pelajaranku di college, tapi mestinya Stevens kan melihat kalau ada orang masuk. Atau Quail -" Dengan cepat ia berpaling, menghampiri sebuah pesawat telepon yang ada di dekat situ, lalu menekan sebuah tombol. "Quail? Coba datang sebentar ke Ruang Koleksi."
Jim Clay mondar-mandir lagi.
"Kata kalian tadi, si pencuri itu kemudian kehilangan patung itu? Kalau demikian, entah di mana barang itu sekarang! Ayahku pasti mengamuk. Aku ditugaskannya menjaga ketika ia pergi seminggu yang lalu, dan ia pasti -"
Saat itu pintu ruangan terbuka, dan seorang laki-laki melangkah masuk. Jim Clay berpaling, memandang orang yang baru datang, itu.
"Ah, Quail! Ada kejadian gawat -"
Mata Pete terbelalak.
"Itu dia!"
Bob dan Jupe ikut kaget. Ternyata yang masuk itu laki-laki kurus yang memakai kaca mata tanpa bingkai, yang mencegat sewaktu mereka mengejar pria kecil yang berjubah. Jim Clay memandang orang itu, lalu ganti menatap Jupiter serta kedua temannya.
"Apa katamu?" katanya, bertambah bingung. "Quail itu siapa?"
"Siapakah orang ini, Jim?" tanya Jupiter lambat-lambat.
"Asisten ayahku, Walter Quail. Ia membantu Ayah menulis artikel-artikel mengenai koleksinya. Kenapa kau bertanya?"
"Karena dia inilah orang yang kami ceritakan tadi, yang mencegat ketika kami hendak mengejar si pencuri, dan yang kemudian kami lihat masuk ke dalam kamar tempat si pencuri menginap di motel!" kata Bob. Jim Clay menatap pria itu. "Bagaimana, Quail?"
"Ya, itu memang benar," kata Walter Quail. "Saya melihat laki-laki kecil yang aneh dan bertampang seperti celurut itu berkeliaran di sekitar sini. Kecurigaan saya timbul, lalu dia saya buntuti. Ketika mendengar dari anak-anak ini bahwa orang itu pencuri, saya terus membuntuti. Tapi sesampainya di motel, saya kehilangan jejak. Ruang penginapannya saya periksa, tapi tidak ada sesuatu yang saya temukan di situ."
"Jadi Anda tahu Setan Menandak dicuri?"
"Dicuri!" Orang yang bernama Walter Quail itu kelihatannya kaget mendengarnya. Kejatan otot kelopak mata kirinya semakin bertambah nyata. Kemudian ia memandang ke arah kotak kaca yang kosong, lalu mengangguk lambat-lambat. "Ya, itu saya ketahui. Saya -"
Jupiter memperhatikan Quail dengan sikap waspada bercampur heran. Tapi Jim Clay langsung memotong dengan nada kurang sabar.
"Kenapa itu tidak Anda laporkan padaku?" bentaknya. "Anda melapor pada polisi? Atau ayahku?" "Tidak, James, saya belum melapor pada polisi, atau pada siapa pun juga," kata Quail, lalu memandang anak-anak. "Persoalannya bisa peka sekali, seperti Anda tahu sendiri." "Ya, memang, pihak Cina." Jim Clay menggigit-gigit bibir. "Ini bisa sangat merugikan nama baik ayah Anda," kata Quail lagi. "Tapi kita tidak bisa diam saja. Harus ada sesuatu yang kita lakukan!" kata Jim Clay lagi. "Bagaimana kalau kita menghubungi biro detektif!"
"Saya kurang yakin, apakah mereka bisa diandalkan," kata Quail. "Lagi pula, saya tahu bahwa ayah Anda pasti tidak ingin terlalu banyak orang tahu."
"Jim?" sela Jupiter dengan cepat. "Kebetulan kami tahu, ada tim detektif swasta yang sementara ini sudah tahu segala-galanya tentang kasus pencurian Setan Menandak."
"Apa?" seru Jim Clay kaget. "Siapa mereka, Jupiter?"
"Kami sendiri!" jawab Bob dan Pete serempak.
Jupiter mengeluarkan selembar kartu nama dari kantungnya, lalu menyodorkannya pada Jim Clay. Pemuda itu membaca tulisan yang tertera di situ, bersama Walter Quail.

TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
???
Penyelidik Satu - Jupiter Jones
Penyelidik Dua - Peter Crenshaw
Data dan Riset - Bob Andrews

"Kami dikontrak oleh salah seorang korban lain dari pencuri itu untuk menangani kasus ini," kata Jupiter. "Tapi urusan yang menyangkut orang itu sudah bisa kami selesaikan." "Kalian yang masih anak-anak ini detektif?" Quail mencibir. "Tunjukkan kartu kita yang satu lagi, Satu!" tukas Pete dengan sengit.
Jupiter menyodorkan kartu yang satu lagi pada Jim Clay, yang langsung membacanya. Pada kartu itu tertera:
Dengan ini diterangkan bahwa pemilik kartu ini adalah seorang Sukarelawan Remaja Asisten Pembantu Polisi yang bekerja sama dengan pihak kepolisian Rocky Beach. Harap padanya diberikan bantuan sejauh yang diperlukan.
(Ttd.) Samuel Reynolds Kepala Polisi
Anak raja minyak itu menoleh ke arah Quail.
"Nampaknya mereka ini memang benar-benar detektif," katanya, lalu berkata pada Jupiter, "dan kalian betul-betul tahu benar tentang masalah ini. Saat ini waktu sangat besar artinya, dan jika aku bekerja sama dengan -" "Itu kan omong kosong, James!" tukas Quail. "Ayah Anda -" Jupiter langsung memotong.
"Sementara ini kami sudah tahu di mana harus mencari selanjutnya, Jim. Ada petunjuk kongkret," katanya, lalu menuturkan tentang gelandangan tua itu.
"Kalau begitu, beres!" kata Jim Clay mengambil keputusan. "Aku ikut dengan kalian, sekarang ini juga!" Ia berpaling lagi, berbicara dengan Walter Quail. "Kecuali jika Anda merasa sebaiknya kita menghubungi polisi, Walter?"
Quail nampak ragu.
"Tidak, James, saya rasa keputusan Anda sudah benar."
Asisten yang sok menaati peraturan itu memutar tubuhnya, lalu pergi meninggalkan ruangan. Jim Clay tertawa nyengir, sementara Jupiter mengikuti orang yang keluar itu dengan matanya. "Sudah berapa lama ia bekerja untuk ayah Anda, Jim?" tanya Jupiter. "Sekitar dua tahun," jawab Clay. "Kau kan bukan -"
"Sering kali kasus-kasus begini melibatkan orang dalam," kata Jupiter dengan serius. "Anda lihat tidak tadi, bagaimana ia mula-mula berlagak kaget ketika Anda mengatakan padanya bahwa Setan Menandak dicuri orang? Tapi kemudian ia mengatakan bahwa ia sudah tahu?"
"Ya, aku juga melihatnya," kata Jim Clay. "Aneh, kenapa ia cuma membuntuti pencuri itu tanpa berusaha mencegat supaya jangan sampai bisa lari, dan apa sebabnya ia tidak memanggil polisi?" Anak raja minyak itu mengerutkan keningnya. "Tapi tentu saja kasus ini sangat peka, jadi harus ditangani dengan penuh pertimbangan. Ayahku pasti tidak ingin terjadi ribut-ribut karenanya."
"Kenapa begitu?" tanya Jupiter. "Apakah karena pemerintah Cina menghendaki agar patung itu dikembalikan, dan oleh sebab itu pencurian ini bisa menimbulkan kericuhan di tingkat internasional?"
"Ternyata kau memang detektif yang baik," kata Clay. "Ya, betul. Republik Rakyat Cina sudah sejak lama menghendaki agar patung itu dikembalikan tapi pemerintah kita tidak mengacuhkan keinginan itu, sampai beberapa waktu yang lampau. Tapi sekarang mereka hendak menjalin hubungan baik dengan pemerintah Cina. Mereka lantas meminta ayahku agar patung itu dikembalikan saja. Ayahku sebenarnya tidak mau - karena ia membelinya secara sah - tapi Presiden sendiri yang minta padanya. Akhirnya Ayah setuju. Saat ini ia sedang di Washington, untuk mengurus agar seorang pejabat dari pihak Cina datang mengambil sendiri. Karena urusan di sana sudah selesai, setiap saat ia bisa tiba kembali di sini, dan apabila saat itu Setan Menandak masih juga belum ketemu, bisa saja terjadi kericuhan dengan pihak Cina. Semua orang tahu, Ayah sebenarnya tidak mau melepaskan patung itu."
"Kalau begitu kita harus berhasil menemukannya kembali," kata Jupiter.
"Betul," kata Jim Clay. Kemudian matanya menyipit. "Menurut kalian tadi, bagaimana tampang pencuri itu?" "Apa?" kata Jupiter. "O, pencuri itu. Yah, orangnya kurus dan kecil, mukanya kurus dan lancip -" "Seperti dia itu?" kata Jim Clay, sambil menuding ke jendela.
Di situ nampak wajah seseorang yang memandang ke dalam. Seseorang berwajah lonjong, dengan mata tajam berkilat dengan rambut merah yang dibiarkan gondrong sampai ke bahu, serta jenggot merah berujung lancip. Persis tampang setan!

Bab 12
SI PENCURI MUNCUL LAGI

WAJAH berjenggot merah di luar jendela itu tertawa nyengir. "Itu Andy!" seru Pete. "Masuklah, Andy, tapi lewat pintu depan!"
Andy pergi, dan tidak lama kemudian masuk ke dalam Ruang Koleksi, diantar oleh Stevens, kepala pelayan.
"Halo," katanya menyapa anak-anak sambil tersenyum lebar. Kemudian, sebelum Jupe sempat memperkenalkannya pada Jim Clay, Andy melihat segala benda seni Asia yang terdapat dalam ruangan itu. "Wah, asyik!"
Ia berkeliling ruangan.
"Kostum syaman Mongol asli! Dan ini, vas dari dinasti Ming, dan juga asli! Permadani dinding dari zaman Sung, singa-singaan zaman Ch'ing dari batu giok, dan sebuah patung Budha dari zaman Tang! Semuanya serba asli!"
Andy berumur sekitar dua puluh lima tahun, bertubuh jangkung dan keren. Ia memakai kemeja yang sudah nampak tua. Kemeja yang bergaya Indian lengkap dengan rumbai-rumbai itu dipakainya di luar celana kordoroi yang sudah bertambal-tambal. Kakinya terbungkus sepatu Indian berlaras tinggi. Sebuah gitar tersandang di punggungnya, sedang sebuah medalion besar dari perak tergantung pada rantai yang melilit lehernya, di tengah-tengah dada yang nampak di balik kemeja yang terbuka kancing-kancing atasnya. Perhiasan itu terayun-ayun sementara ia berjalan dengan asyik berkeliling ruangan, mengamat-amati koleksi benda-benda seni yang terpajang di situ.
"Indah!" katanya penuh semangat. "Benar-benar top!"
Jim Clay memperhatikan pakaian dan gitar yang disandang Andy, dengan mata terkejap-kejap.
"Anda tahu tentang seni Asia, Mr. - ?"
"Cukup Andy saja," kata pemuda pengembara itu.
"Andy ini sarjana seni rupa," kata Jupiter menjelaskan.
"Aku suka hidup bebas," kata Andy sambil memandang anak raja minyak itu. "Tanpa dibebani rumah, mobil, serta pekerjaan tetap. Aku pergi ke mana aku mau dan kapan saja aku kepingin, itulah yang kuingini." Diperhatikannya Jim Clay. "Kau ini anak H. P. Clay? Jalan pikiran ayahmu sangat berbeda dengan aku. Bagaimana dengan kau?"
"Ayahku pengusaha yang sangat sukses!" kata Jim Clay.
"Itu tergantung dari bagaimana kita menafsirkan kata sukses," kata Andy. "Coba lihat segala barang bagus yang ada di sini. Membuat dan memandangnya, itu asyik, tapi mengumpulkannya dalam sebuah ruangan sehingga orang-orang tertentu saja yang bisa melihatnya, itu merupakan kejahatan!"
"Semua diperoleh ayahku secara jujur! Ia membelinya!" tukas Jim Clay.
"Mestinya semua ini dihadiahkan - dikembalikan pada pemilik semula," balas Andy dengan menukas pula. Kemudian ia nyengir. "Tapi kalian bukan meminta aku datang untuk mendengar ceramahku. Ada apa, Jupe?"
Jupiter lantas bercerita tentang gelandangan tua yang dilihat Frankie Bender berkeliaran dekat gua.
"Aku kenal orang itu. Dia biasa kami sapa dengan sebutan 'Mayor'," kata Andy. "Soalnya, ia selalu memakai jaket sersan mayor Angkatan Laut."
"Anda tahu di mana ia sekarang berada?" tanya Jim Clay.
"Mungkin saja," kata Andy, sambil memandang Jupe serta kedua temannya. "Kenapa kalian mencari dia?"
Bob menjawabnya.
"Kami diminta untuk -"
Jim Clay buru-buru memotong.
"Maaf, aku ingin bicara sebentar dengan kalian bertiga saja," katanya sambil memandang Trio Detektif.
Andy menatap anak raja minyak itu sekilas dengan sikap geli, lalu mengangkat bahu dan melangkah pergi, untuk melihat-lihat benda-benda seni yang terpajang dalam ruangan itu.
"Begini," kata Jim buru-buru pada ketiga remaja yang ada di dekatnya. "Sebaiknya kalian jangan mengatakan apa-apa padanya tentang Setan Menandak. Jangan sampai terlalu banyak orang yang tahu tentang pencurian itu."
Jupiter mengerutkan keningnya.
"Andy rasanya takkan mau menolong kita menemukan gelandangan tua itu, jika kita tidak menyebutkan alasan yang jelas kenapa kita mencarinya," katanya. "Sedang kalau kita sendiri yang mencari, bisa jadi akan makan waktu berhari-hari."
Jim Clay nampak masih ragu.
"Tapi teman kalian itu, sikapnya tidak menunjukkan respek pada ayahku. Kalian yakin dia bisa dipercaya?"
"Itu sudah pasti," jawab Jupe. "Dan aku yakin ia pasti senang bisa membantu kita, begitu kita sudah menceritakan segala-galanya padanya. Anda tadi kan mendengar sendiri kata-katanya, tentang mengembalikan karya-karya seni pada para pemiliknya yang sebenarnya?"
Jim Clay tertawa kecut.
"Baiklah, kalau begitu ceritakan saja padanya."
Ternyata dugaan Jupiter tepat. Andy ternyata mau sekali membantu menemukan patung yang hilang dicuri itu, agar kemudian bisa dikembalikan ke Cina.
"Kurasa aku tadi terlalu gegabah berbicara tentang ayahmu," katanya pada Jim Clay. "Sekali ini ayahmu mengambil keputusan yang tepat." Ia berpaling pada Jupiter. "Katamu tadi, kawanku yang gelandangan itu mungkin merupakan orang terakhir yang melihat patung itu? Kalau begitu, kita cari saja dia!"
"Jauhkah tempat dia berada saat ini?" tanya Jim Clay.
"Bisa jauh, bisa juga dekat," kata Andy. "Mayor suka berkeliaran ke mana-mana, sama saja seperti aku."
"Kalau begitu kita naik mobilku saja," kata Jim mengajak, sementara mereka beramai-ramai pergi ke luar. "Anak-anak bisa menaikkan sepeda-sepeda mereka di bak belakang. Mobilku station wagon."
Tepatnya, sebuah Buick Estate Wagon yang besar dan lapang. Andy menjadi penunjuk jalan. Disuruhnya Jim Clay mengambil arah menuju ke pelataran langsir kereta dekat stasiun. Banyak gelandangan yang mereka jumpai di sana, tapi Mayor tidak ada di antaranya. Para gelandangan yang ditanyai, tidak ada yang tahu di mana Mayor saat itu berada. Andy menggeleng-geleng, sementara pencarian dilanjutkan ke suatu tempat yang dikenal dengan julukan "Bird Refuge", Suaka Burung.
"Sebaiknya gerobak bertenaga gajah ini nanti kita parkir saja agak jauh," katanya. "Jika kawan-kawanku yang ada di sana melihatnya, mereka pasti akan curiga, lalu langsung tutup mulut."
Tapi walau mobil besar itu sudah diparkir agak jauh sehingga tidak kelihatan, tidak seorang pun dari para gelandangan yang mangkal di Bird Refuge tahu apa-apa tentang Mayor.
Selanjutnya mereka menyusur pesisir, menuju sebuah kawasan pantai milik negara bagian, di mana para gelandangan dan pengembara berkumpul di suatu daerah hutan yang sepi, di belakang tempat piknik. Sekali ini Andy seorang diri yang pergi. Dengan segera ia sudah kembali lagi.
"Mungkin Mayor ada di tempat mangkal dekat tempat pembuangan sampah kotapraja!"
Jim mengemudikan mobilnya melintasi jalan bebas hambatan, menuju ke pedalaman, lalu menuju ke kaki bukit-bukit tempat pembuangan sampah yang dimaksudkan. Tempat itu berisik dan menyebarkan bau busuk menusuk hidung. Sejumlah buldozer yang besar-besar bergerak mundur-maju dengan suara gemuruh di atas tumpukan sampah, sementara beratus-ratus burung camar terbang berkeliling di atas sambil menjerit-jerit dan sekali-sekali menukik untuk menyambar sesuatu dari tengah tumpukan itu. Tempat mangkal kaum gelandangan terletak di seberang jalan yang membatasi tempat pembuangan sampah, dalam sebuah lembah lebar yang penuh semak belukar.
Mobil Buick ditinggal di sisi atas lembah, lalu mereka beramai-ramai menuruni sebuah jalan tanah, menuju tempat para gelandangan duduk-duduk, di depan sekelompok gubuk reyot. Andy menggamit Jim Clay dan ketiga remaja yang menyertai agar ikut dengannya, lalu ia bergegas-gegas menuju gubuk yang terletak di ujung. Sesampainya di situ ia membungkuk, lalu masuk lewat ambang pintu yang rendah. Yang lain-lain ikut masuk.
"Mayor?" kata Andy. "Ayo bangun, Sobat!"
Ketika mata Jupiter dan kedua temannya sudah terbiasa dengan keremangan di dalam gubuk itu, barulah mereka melihat laki-laki tua yang berbaring di atas kasur yang sudah robek-robek. Orang itu berjenggot putih acak-acakan, dan memakai jaket sersan mayor Angkatan Laut serta sepatu koboi. Ia membuka matanya, lalu memandang Andy sambil tersenyum. Ia melambaikan tangannya. Tangan itu menggenggam uang.
"Istirahat sebentar, Andy!" katanya sambil memejamkan mata kembali.
"Kau dapat dari mana uang itu, Mayor?" kata Andy dengan nada bertanya.
"Kau akan kubagi, Nak," kata gelandangan tua itu dengan mata masih terpejam. "Aku menemukan sesuatu. Mujur." Ia mendesis, melarang dirinya sendiri bercerita terlalu banyak.
Jim Clay melangkah maju, sambil menendang sebuah botol anggur kosong yang merintangi jalannya. "Kau menemukan sebuah patung dalam gua itu! Kauapakan patung itu?"
Seketika itu juga mata gelandangan yang dijuluki "Mayor" itu terbelalak ketakutan. Andy menepuk-nepuk bahunya. Laki-laki tua itu tersenyum, lalu memejamkan matanya kembali.
"Tenang, Mayor. Tidak ada yang berniat mengganggumu. Kami cuma ingin tahu, kauapakan patung itu. Kau menjualnya, kan?"
"Mungkin sedikit hadiah akan membantu Anda untuk menjawab," kata Jupiter.
Mata Mayor terbuka lagi.
"Hadiah?"
"Sepuluh dolar," sambut Jim Clay dengan cepat, sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh dolar. "Dan Anda tidak akan mengalami kesulitan. Kepada siapa Anda menjual patung itu?"
"Aku menemukannya. Itu kan guaku? Kemarin malam," kata laki-laki tua itu sambil mengangguk-angguk, membenarkan ucapannya sendiri. "Kujual tadi pagi. Ke toko loak. Kau tahu kan, Andy? Tempat di mana kita bisa menjual barang-barang." Ia terkekeh. "Sekali ini si Fritz berhasil kutipu. Aku dibayarnya dua puluh dolar!"
"Dua puluh dolar?" Jim Clay mengeluh. "Di mana letak toko itu?"
"Hummer's Curio Shop, di pelabuhan," kata Andy menjelaskan. "Kami sering menjual barang yang kami temukan pada Fritz Hummer."
"Hadiah!" kata Mayor dengan cepat, sambil mengulurkan tangan.
Jim Clay menyodorkan lembaran sepuluh dolar yang dijanjikan, lalu berjalan menuju ambang pintu yang rendah sambil berkata, "Tanyakan apa lagi yang diketahuinya! Ada orang lain yang kemari? Sementara aku mengambil mobil, supaya kita tidak membuang-buang waktu lebih banyak!"
Sementara pemuda itu bergegas ke luar, Andy berpaling pada Mayor yang memandang sambil nyengir ke arah lembaran uang sepuluh dolar baru yang ada dalam genggamannya.
"Apa lagi yang bisa kauceritakan tentang patung itu, Mayor?"
"Ada orang lain kemari dan bertanya-tanya mengenainya?" tanya Jupiter.
Laki-laki tua itu menggerak-gerakkan kepalanya mundur-maju, lalu mulai mengejap-ngejapkan mata sambil mencari-cari di kasur, seperti kehilangan sesuatu. Ia melihat uang sepuluh dolar yang masih ada di tangannya, lalu memandangnya sambil tersenyum.
"Coba kauingat-ingat, Mayor!" desak Andy. "Adakah orang datang mencarimu?"
Laki-laki tua itu menggeleng, lalu pelan-pelan merebahkan diri sambil memejamkan mata. Saat berikutnya ia sudah mendengkur. Andy menggamit anak-anak, mengajak mereka keluar. Para gelandangan yang lain memandang sekilas dengan sikap ingin tahu, lalu membuang muka. Jim Clay belum muncul dengan mobilnya. Jupiter menoleh ke belakang, memandang gubuk sambil merenung.
"Aku ingin tahu, apakah pemilik toko loak itu tahu nilai patung itu sebenarnya," katanya.
"Kurasa tidak, Jupe," kata Andy. "Barang-barang yang dijualnya kebanyakan hanya rombengan saja."
Kemudian mobil Buick yang besar datang, terantuk-antuk di atas jalan tanah yang tidak rata permukaannya. Begitu Andy dan anak-anak sudah masuk, dengan segera Jim Clay melarikan kendaraannya itu, menyebabkan kerikil berhamburan. Sesampainya di jalan bebas hambatan, ia pun ngebut ke arah pelabuhan. Tapi kemudian terpaksa menurunkan kecepatan, begitu sudah keluar lagi dari jalan yang lebar dan mulus itu. Lalu-lintas sangat ramai di pusat kota Rocky Beach. Mobil Buick bergerak seakan merangkak, menuju daerah pelabuhan.
Toko barang-barang bekas yang bernama Hummer's Curio Shop ternyata agak jauh letaknya dari pelataran parkir.
"Kalian duluan saja ke sana, sementara aku memarkir mobil," kata Jim. Andy dan anak-anak diturunkannya di sudut jalan terdekat, lalu ia pergi memarkir kendaraannya.
Hummer's Curio Shop terletak dalam deretan toko yang diapit lorong-lorong yang menuju ke pangkalan perahu. Andy beserta ketiga remaja yang menemani bergegas-gegas menyusur blok. Di ujung lorong-lorong penyela toko nampak perahu-perahu yang berlabuh serta permukaan air yang kemilau di pelabuhan. Seorang pria berdiri di ujung lorong yang bersebelahan dengan toko loak yang hendak mereka datangi. Pete memandang orang itu sekilas. Ia kaget, lalu memandang sekali lagi.
"Itu dia si pencuri! Di ujung lorong!"
Anak-anak melihat pria berwajah celurut itu kaget melihat mereka. Ia masih memakai jubahnya, yang menyelubungi tubuhnya yang kecil. Jubah itu menggembung ketika ia membalikkan tubuh lalu lari. "Kejar!" seru Bob.
Dengan segera semuanya mengejar lewat lorong sempit itu menuju pangkalan yang penuh dengan perahu, di bagian pinggir pelabuhan. "Itu dia!" seru Andy.
Si pencuri lari menyusur dermaga kayu yang mencuat tegak lurus dari tepi pelabuhan, lalu buru-buru naik ke sebuah perahu pesiar bermotor yang tertambat di sisi dermaga itu. Ia menghilang ke dalam bilik kemudi. Andy dan anak-anak lari menghampiri perahu pesiar itu. Pete menuding ke arah sebuah lubang palka yang terbuka di dekat haluan.
"Kupotong jalan larinya dari depan," serunya.
Jupiter, Bob, dan Andy melompat naik ke atas geladak lalu masuk ke bilik kemudi. Tapi si pencuri tidak kelihatan. Pintu menuju ke kabin yang terletak di bawah terbuka.
"Hati-hati," kata Andy mengingatkan, sementara mereka menuruni tangga ke bawah yang curam dengan sikap waspada.
Tapi di bawah pun pencuri itu tidak ada. Andy dan anak-anak beranjak menuju kabin sebelah depan. Di sana mereka disongsong oleh Pete.
"Ia tidak melewati aku!" katanya.
"Kita ditipu olehnya!" ujar Jupiter. Suaranya bernada kecut, karena menyadari kenyataan itu. "Ia masih di atas, di
Saat itu terdengar pintu bilik kemudi ditutup dengan keras, disusul bunyi kunci diputar. Dengan cepat Andy dan anak-anak membalik tubuh, hendak menuju ke lubang palka di haluan. Tapi detik itu juga pintunya ditutup dan langsung dikunci dari atas. Bunyinya menggema dalam kesunyian di bawah geladak.

Bab 13
SI GENDUT YANG TAMAK

TERDENGAR langkah orang berlari di atas geladak. Lalu perahu agak terayun-ayun, ketika orang itu meloncat dari situ ke dermaga. Setelah itu perahu ditelan kesunyian. Anak-anak hanya bisa membisu dengan perasaan kecut di dalam kabin yang terkunci.
"Yah," kata Andy sambil mengangkat bahu, "kita tertipu mentah-mentah."
"Rupanya ia tadi bersembunyi dalam bilik kemudi," kata Bob dengan murung. "Dalam lemari, atau begitu. Kita benar-benar ditipu olehnya."
"Atau memang dari semula ia sudah berniat menjebak," ujar Jupiter. "Walau tubuhnya kecil, kurasa hampir tidak mungkin ia bisa menyembunyikan diri dengan begitu baik, apabila ia tidak sebelumnya sudah tahu di mana harus bersembunyi. Menurutku, aksinya ini sudah direncanakan lebih dulu!"
"Yah, setidak-tidaknya kita dikurungnya dalam tempat yang nyaman," kata Andy sambil memandang ke sekeliling kabin mewah itu dengan sikap senang. Tempat itu merupakan kombinasi antara ruang duduk dan kamar tidur, sedang letaknya di bagian buritan. Pada kedua sisinya terdapat bangku-bangku berbantal, di bawah jendela-jendela bulat. Bangku-bangku itu kelihatannya dimaksudkan sebagai tempat duduk pada siang hari, dan pada malam hari dijadikan tempat tidur. Di tengah-tengah ruangan ada meja yang kaki-kakinya disekrupkan ke lantai. Meja itu dikelilingi kursi-kursi yang nyaman diduduki. Seluruh permukaan kabin dilapisi kayu jati yang kemilau lembut karena sering digosok dengan minyak.
"He, coba lihat itu!" kata Andy. Ia menuding ke sebuah gang yang menghubungkan kabin buritan dengan ruang tidur di haluan. Pada kedua sisinya terdapat sebuah pintu yang sempit dengan tulisan yang rapi. Tulisan pada pintu yang satu berbunyi, 'Dapur', sedang yang satunya lagi ditulisi, 'Kamar Mandi'. "Kamar mandi dan dapur. Aku berani bertaruh, di dalamnya ada persediaan makanan. Semua keperluan kita tersedia lengkap!" Sambil tersenyum, pemuda berjenggot itu menaruh gitar yang selama itu masih tersandang di punggung. Ia duduk dengan nyaman pada sebuah bangku, lalu mulai memainkan lagu kuno yang dulu biasa dinyanyikan para pelaut pada saat sedang minum-minum.
"Bagaimana kau ini, Andy? Tenang-tenang saja, sambil main gitar!" tukas Pete dengan sengit. "Kita terkurung di sini, dan kita harus berusaha keluar!"
"Keluar sih boleh-boleh saja, tapi dengan cara bagaimana? Tubuh kita terlalu besar, jadi tidak mungkin bisa merangkak lewat lubang jendela. Tapi jangan khawatir, kapan-kapan pemilik kapal ini, atau orang lain, pasti akan muncul juga nanti. Tahu tidak, Pete," kata Andy dengan ramah, "menurutku, kau ini jenis orang yang mati tiga kali."
"Apa?!" seru Pete dengan kaget.
"Maksudku, kau sudah gelisah memikirkan hal-hal yang akan terjadi, lalu saat kejadiannya berlangsung kau menderita, lalu kemudian setelah peristiwa itu berlalu kau masih terus sibuk memikirkannya. Kalau aku, aku ini menerima kenyataan seperti adanya. Kita terkurung di sini? Ya sudah, kita nikmati saja keadaan ini."
"Sudah, berhenti ngoceh!" tukas Jupiter, yang dengan tiba-tiba saja merasa kesal melihat teman mereka yang selalu bersikap santai itu. "Sementara kita hanya omong kosong saja di sini, si pencuri bisa terus mengejar patung itu. Bahkan mungkin barang itu kini sudah berhasil jatuh ke tangannya. Kita harus mencari jalan keluar dari sini - dan dengan segera!"
"Terserah, kau kan bos kami!" kata Andy dengan santai. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Bob, kaulihat ke luar lewat jendela-jendela, barangkali saja ada orang di luar, pada jarak yang cukup dekat untuk dipanggil. Pete, kau memeriksa ke depan, kalau-kalau ada lubang palka yang tidak terkunci. Andy, kau memeriksa kabin ini. Kadang-kadang ada yang dilengkapi dengan lubang khusus untuk saluran pelayanan. Aku sendiri akan memeriksa bilik kemudi. Mungkin saja pintunya bisa didobrak!"
Pete yang paling cepat menyelesaikan tugasnya. Ia kembali sambil menggeleng-geleng. Di depan tidak ada lubang palka yang tutupnya bisa dibuka dari bawah. Andy juga tidak menemukan jalan keluar. Sedang Jupiter melaporkan bahwa pintu bilik kemudi terkunci rapat. Ruangan itu sempit, sehingga tidak ada ruang gerak yang memadai guna mendobrak pintu dengan dorongan bahu.
"Jupe!" seru Bob, yang memandang ke luar lewat lubang jendela sempit di seberang sisi yang menghadap ke dermaga. "Aku rasanya seperti melihat si asisten itu! Walter Quail!"
Semua bergegas mendatangi lubang-lubang jendela pada sisi itu. Mereka melihat seseorang di tempat yang agak tertutup di taman pelabuhan, jauh di seberang perahu-perahu yang berjejer-jejer di sepanjang pangkalan. Pete dan Jupiter memicingkan mata agar bisa melihat lebih jelas, karena terganggu sinar matahari sore yang terpantul dari permukaan air.
"Aku... aku tidak begitu pasti," kata Pete, "tapi mungkin saja orang itu memang dia." "Ia memakai kaca mata, dan memandang kemari!" kata Bob.
"Betul," kata Jupiter sependapat, "dan nampaknya ia berusaha jangan sampai terlihat. Kalian melihat Mercedes yang biasa dipakainya?"
Mereka mencari-cari Mercedes itu, di antara mobil-mobil yang nampak diparkir di kejauhan. "Aku bisa melihat Buick kepunyaan Jim," kata Bob. "Di mana Jim sekarang?" tanya Pete dengan heran.
"Sekarang orang itu pergi!" seru Jupiter dengan tegang. "Betulkah itu Quail?" Tidak ada yang bisa memberikan jawaban secara pasti. Tiba-tiba Andy melihat seseorang lagi masuk ke taman.
"He, bukankah itu Jim Clay - yang di sana itu. Itu, yang muncul dari dalam lorong?" Anak-anak mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk, lalu menghembuskan napas lega. Dengan cepat mereka membuka jendela.
"He, Jim!" Mereka berteriak-teriak sambil melambai-lambai. "Kami di sini, Jim!"
Tapi Jim Clay rupanya terlalu jauh, sehingga tidak mendengar suara mereka. Ia berdiri sambil memandang berkeliling, mencari-cari ke arah pangkalan, lalu melangkah dengan sikap ragu menuju tempat itu. Mulutnya bergerak-gerak, seperti orang yang sedang memanggil-manggil. Akhirnya anak-anak mendengar suaranya dari seberang air.
"Jupe! Bob! Di mana kalian? Pete!"
"Di sini!" teriak Pete. "Dalam perahu pesiar yang besar!" Ia melambai-lambai. Akhirnya ia berhasil menarik perhatian Jim.
Pemuda itu langsung lari ke arah mereka. Sesaat lenyap dari penglihatan - disusul bunyi langkah bergegas di lantai geladak yang terbuat dari kayu. Tahu-tahu wajah Jim Clay sudah muncul di ambang jendela perahu yang menghadap ke dermaga.
"Kami terkunci di dalam!" seru Bob.
"Tunggu sebentar!"
Terdengar bunyi berdebam-debam di luar bilik kemudi, dan dengan segera pintu di situ sudah terbuka. Andy dan anak-anak naik ke atas lalu keluar, menghampiri Jim Clay yang berdiri dengan wajah cemas. "Apakah yang terjadi tadi?" tanya pemuda itu.
Dengan cepat anak-anak menceritakan pengalaman mereka, dan diakhiri oleh Pete dengan komentar, "Mungkin pencuri itu sementara ini sudah berhasil mengambil kembali Setan Menandak, lalu minggat dengannya!"
"Tapi mungkin juga tidak," kata Jim dengan geram. "Selama beberapa waktu tadi aku berdiri di luar toko loak itu, dan aku tidak melihat orang datang yang tampangnya seperti dia!"
"Kalau begitu mungkin kita belum terlambat!" kata Jupiter.
Jim berbalik dengan cepat, lalu lari kembali lewat lorong, disusul yang lain-lain. Mereka bergegas masuk ke Hummer's Curio Shop. Saat itu hari kerja biasa dan sudah sore, jadi tinggal beberapa orang turis saja yang masih sibuk melihat-lihat dalam toko yang kumuh itu. Barang-barang rombengan yang diperoleh di pelelangan barang-barang bekas kebakaran, tukang loak, serta produsen barang murahan, ditumpuk secara sembarangan.
Seorang laki-laki bertubuh gemuk pendek dan berbaju hangat dekil duduk di balik sebuah meja layan, sambil mengisap pipa yang bau asapnya menusuk hidung. Diperhatikannya para turis yang ada di tokonya dengan mata yang berkilat-kilat, memancarkan ketamakan. Ia berpaling ketika anak-anak masuk bersama Jim, sambil tersenyum penuh kepalsuan. Tapi senyuman itu langsung lenyap, begitu ia melihat Andy.
"Waktu untuk gelandangan sesudah toko ditutup," sergah si gendut itu, lalu menatap anak-anak dengan mata melotot. "Dan anak-anak tidak boleh masuk, aku tidak punya waktu! Keluar!"
"Anda berkewajiban melayani umum," kata Jupiter dengan tajam, dan dengan sikap angkuh. "Melakukan pembeda-bedaan umur merupakan perbuatan melanggar hukum, dan kurasa itu kebiasaan Anda. Ini, kartu kami!"
Laki-laki gendut itu tertegun mendengar banjir kata-kata yang terlontar dari mulut Jupiter. Diambilnya kartu yang disodorkan oleh Penyelidik Satu Trio Detektif itu. Andy tersenyum melihat reaksinya.
"Lebih baik kau berhati-hati saja, Fritz. Baca baik-baik apa yang tertulis di kartu itu," katanya.
Jupiter menyodorkan kartu yang diperolehnya dari Chief Reynolds, dalam mana kepala polisi Rocky Beach itu menyatakan bahwa ketiga remaja itu asisten pembantu polisi. Muka laki-laki gendut itu langsung pucat ketika membacanya. Tapi ia masih berusaha menutupi kegugupannya.
"Tidak ada yang perlu kututup-tutupi, dan anak-anak tidak -"
Jim Clay maju, mendekati laki-laki gendut itu.
"Kurasa banyak yang Anda tutupi agar tidak ketahuan, tapi untuk saat ini biar sajalah. Namaku James L. Clay Ketiga. Anda menyuruh aku keluar juga?"
"C - C - Clay?" Fritz Hummer tergagap. "Maksud Anda, anak -"
"H. P. Clay? Tepat!" tukas Jim. "Nah, bagaimana sekarang - kami masih harus keluar juga, atau bisakah kita bicara?"
Fritz Hummer mengangguk dengan cepat, sambil mengusapkan tangannya yang dekil ke bajunya. "Ya, ya, tentu saja, Mr. Clay. Apakah yang bisa saya lakukan untuk kalian, eh, untuk Tuan-tuan?" Sementara pertengkaran berlangsung, para turis yang masih ada di situ sudah buru-buru keluar semuanya, sehingga tak ada orang lain lagi di toko itu kecuali Hummer, anak-anak, Jim, dan Andy.
"Patung yang Anda beli dari Mayor, jual saja barang itu pada kami," kata Pete dengan cepat.
"Patung?" Hummer kelihatannya agak bingung. Tapi kemudian matanya berkilat licik. "Ah, yang itu - patung bertanduk yang sedang menandak. Barang bagus!"
"Artinya hanya sebagai kenang-kenangan belaka," sambut Jupiter dengan cepat. "Barang itu ada pada Anda, kan? Kami bersedia membelinya dengan harga yang pantas."
"Yah, bagaimana ya," kata Hummer. "Saya menjualnya -"
Jim Clay langsung mendelik.
"Patung itu milikku, Hummer," sergahnya, "dan aku menginginkannya kembali. Sebutkan harga yang Anda minta!"
Mata laki-laki gendut itu terpentang. "Anda menginginkannya kembali?"
"Patung itu dicuri, Fritz," kata Andy, "tapi bukan Mayor pencurinya." Hummer masih terus memandang Jim Clay.
"Dicuri? Dari Anda, Mr. Clay? Dari koleksi ayah Anda barangkali, ya? Pasti itu barang yang sangat berharga. Yah, kalau begitu - sebentar, aku membelinya dengan harga seratus dolar, jadi -" "Anda membayar dua puluh dolar untuknya!" tukas Bob.
"Yah, bohong sedikit kan boleh." Fritz Hummer menyeringai. "Kan layak jika mendapat keuntungan sedikit."
"Laba itu akan Anda peroleh," kata Jim Clay lagi. "Sekarang, mana dia?" "Di belakang," kata Hummer.
Diajaknya mereka ke ruang belakang yang penuh dengan berbagai barang - lalu tertegun. "Lenyap!" teriaknya. Ia menuding sebuah meja yang ada dekat pintu sebelah belakang. "Tadi masih ada di situ!" "Pasti perbuatan pencuri itu!" kata Jupiter. Setelah mengatakan ciri-ciri pria bertubuh kecil itu, ia bertanya, "Anda melihatnya di sekitar sini?"
"Laki-laki aneh bertubuh kecil, memakai jubah?" kata Hummer. "Kalau kuingat-ingat, tadi memang ada orang seperti itu, melihat-lihat dalam tokoku!"
Sementara itu Pete sudah memeriksa pintu belakang. "Jupe!" serunya. "Kuncinya rusak, dibongkar!"
Jupiter datang memeriksa, lalu pintu itu didorongnya, sehingga terbuka dengan bunyi yang menyakitkan telinga. Lorong sebelah toko ternyata terletak di luar pintu itu. Jupiter memperhatikan pintu dan lorong selama beberapa saat.
"Kurasa si pencuri tadi memang masuk lewat sini," kata Pete dengan lesu. "Sementara kita dikurung olehnya dalam perahu pesiar tadi."
"Ya, begitulah kelihatannya," kata Jupiter sependapat.
"Fritz, mungkinkah orang masuk dari depan ke ruangan ini tanpa kau melihatnya?" tanya Andy. "Mustahil! Kausangka aku tidak mengamati orang-orang yang masuk ke tokoku? Aku dirampok! Patung yang begitu berharga!"
Semuanya kembali ke ruang toko di depan, bersama laki-laki gendut pemilik toko yang marah-marah karena kehilangan peluang untuk menerima pembayaran dari Jim Clay untuk pengembalian patung itu. Jupiter menepuk-nepuk kantungnya.
"Penaku terjatuh rupanya," kata remaja bertubuh gempal itu. "Sebentar, kucari di belakang."
Beberapa saat kemudian ia muncul lagi, sementara Fritz Hummer masih mengomel-ngomel menyesali nasib. Setelah itu anak-anak bersama Andy keluar. Andy menanggapi kejadian itu seperti biasa, dengan tenang. Tapi Bob, Pete, dan juga Jim Clay sedih sekali.
"Lenyap!" kata Jim, dengan suara seakan-akan tidak bisa percaya bahwa hal itu bisa terjadi.
"Pencuri itu pasti sudah jauh," kata Bob. "Mungkin saat ini sudah dalam perjalanan, minggat ke Meksiko!"
"Itu mungkin saja," kata Jupiter. "Tapi jika ia jauh dari sini, patung itu tidak ada padanya!"
Yang lain-lain memandangnya dengan heran.

Bab 14
SETAN MENANDAK TAHU!

"HUMMER tadi berbohong," kata Jupiter dengan tegas. "Aku yakin ia tahu di mana patung itu berada saat ini - dan aku yakin bukan di tangan si pencuri."
"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Jupiter?" tanya Jim Clay dengan heran.
"Dari keadaan pintu belakang," kata Jupiter. "Kuncinya terbongkar, itu memang benar - tapi pintu itu sudah lama tidak pernah lagi dibuka orang, sebelum aku melakukannya tadi! Engselnya begitu kaku, sampai aku nyaris tidak mampu membukanya. Dan sewaktu kugerakkan, sisi bawahnya menggeser tanah. Ada bekasnya yang jelas di tanah - dan itu satu-satunya bekas yang ada. Antara daun pintu dan bingkai ada bagian-bagian berkarat yang terkelupas. Jika pintu itu pernah dibuka sebelum aku melakukannya, karat itu mestinya sudah lebih dulu rontok."
"He, itu memang benar!" kata Pete. "Sekarang aku juga ingat, tentang karat itu!"
"Hummer tahu bahwa patung itu sama sekali tidak dicuri orang! Ia cuma pura-pura saja, dan ikut-ikutan dengan kita menimpakan kesalahan pada si pencuri, ingat tidak tadi, Hummer pada mulanya hendak mengatakan bahwa patung itu dijualnya - tapi kemudian ceritanya berubah? Aku yakin, ia tadi tiba-tiba sadar bahwa patung itu mungkin sangat berharga. Kalian lihat ketamakan yang terpancar dari matanya ketika Anda membuatnya menduga bahwa benda itu berasal dari koleksi ayah Anda, Jim?"
"Saat itu juga aku memang sudah sadar bahwa aku melakukan kesalahan besar," ujar Jim dengan lesu.
"Memang, itu merupakan kekeliruan," tukas Jupiter. "Tapi pokoknya, perubahan pikiran yang terjadi secara tiba-tiba pada diri Hummer tadi menimbulkan kecurigaanku. Lalu pintu yang macet membuktikan bahwa tidak mungkin orang masuk secara diam-diam lewat pintu belakang, dan sekarang ini penegasannya!" Ia menyodorkan selembar kertas kecil yang bergaris-garis. "Ini berasal dari semacam buku kas. Ketika Hummer mengajak kita ke ruang belakang, aku melihatnya cepat-cepat menutup sebuah buku catatan yang terletak di situ. Karenanya aku lantas mengarang-ngarang alasan untuk bisa kembali ke situ seorang diri - lalu merobek halaman ini dari buku yang kuceritakan itu. Dan di sini tertulis: 'Patung makhluk menandak, $100!'"
"Ternyata ia memang sudah menjualnya!" tukas Bob sambil marah-marah. "Pembohong!"
"Tapi dijual kepada siapa?" seru Jim. "Kita harus memaksanya agar menceritakannya pada kita!"
"Jangan khawatir, kita masih bisa mengetahuinya juga, Jim," kata Jupiter. "Kecuali jika aku benar-benar keliru. Setelah Mr. Hummer kita yang tamak itu tahu bahwa Setan Menandak bernilai jauh lebih tinggi daripada seratus dolar, kini ia pasti akan berusaha memperolehnya kembali. Kita tinggal menunggu saja, sambil mengintai!"
"Ya, betul," kata Andy, "dan aku berani bertaruh, kita takkan perlu terlalu lama menunggu."
Dugaannya itu ternyata tepat. Ketika Jim sudah kembali dari mengambil mobilnya, laki-laki gendut itu pun keluar dari tokonya. Setelah mengunci pintu depan, ia masuk ke sebuah mobil Ford tua yang langsung dijalankannya meninggalkan tempat itu. Anak-anak bersama kedua teman mereka membuntuti dalam Buick yang besar.
Tidak sampai satu mil kemudian Hummer menghentikan mobilnya - di depan sebuah toko binatu yang dikelola orang Cina.
"Lihat itu!" kata Jim, sambil menjalankan mobilnya lambat-lambat melewati toko itu. "Di jendela terpajang patung-patung!"
"Cuma imitasi murahan saja," kata Andy. "Tapi - ?"
Jim Clay memarkir mobilnya agak jauh dari situ, lalu Pete berjalan kaki kembali untuk mengamat-amati Hummer yang mestinya masih ada di dalam toko. Ketika ia sampai di sana, nyaris saja ia bertubrukan dengan laki-laki gendut itu, yang berjalan ke luar. Sementara Pete cepat-cepat menyelinap ke balik bayangan ambang sebuah pintu, yang lain-lain di dalam Buick melihat bahwa Fritz Hummer membawa sebuah bungkusan.
"Jangan buru-buru bersemangat!" kata Pete ketika ia kembali ke mobil. "Itu cuma cuciannya belaka!"
Jim Clay langsung lemas. Ia terkulai di belakang setir, karena merasa kecewa.
"Itu kan sudah wajar," kata Jupiter membesarkan hati. "Dia pun tentunya punya urusan sehari-hari, seperti orang lain pada umumnya."
Jim Clay menjalankan mobilnya lagi, membuntuti Fritz Hummer. Laki-laki gendut itu kemudian masuk ke sebuah pusat perbelanjaan di seberang kota, dekat kaki perbukitan. Hummer memarkir mobilnya, lalu masuk ke sebuah restoran tempat minum-minum. Andy menawarkan untuk menyusul masuk dan melihat apa yang dilakukan pemilik toko loak itu di situ.
"Tapi nanti kau terlihat olehnya!" kata Pete.
"Mungkin juga tidak," balas Andy. "Tempat itu kelihatannya ramai. Lagi pula, ia sudah biasa melihat aku berkeliaran di mana-mana. Ia akan lebih curiga, jika Jim yang muncul di dalam. Sedang kalian bertiga masih terlalu muda, belum boleh masuk ke sana."
Akhirnya pemuda berjenggot itu masuk, dengan menyandang gitarnya. Lima menit kemudian ia keluar lagi.
"Hummer sedang duduk-duduk di bar, mengobrol dengan pelayan di situ, sambil makan sandwich dan minum bir," katanya melaporkan. "Nampaknya akan agak lama juga ia berada di dalam."
Jim Clay memukul-mukulkan tangannya yang terkepal ke setir.
"Ia harus membawa kita ke patung itu! Harus!"
Andy mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi lebih lama membantu membuntuti Hummer. "Aku sudah punya janji di tempat lain, jadi aku terpaksa sampai di sini saja," katanya.
Anak-anak kecewa, tapi Jim mengangguk sambil mengucapkan terima kasih pada Andy atas bantuannya sejauh itu. "Nah, semoga kalian berhasil," kata pemuda berjenggot merah itu. "Dan ingat apa yang kukatakan di perahu tadi, Pete," sambungnya sambil mengedipkan mata pada remaja jangkung itu. "Tenang-tenang sajalah!" Setelah itu sambil tersenyum Andy pergi dengan santai, melintasi pelataran parkir.
"Tenang-tenang saja," kata Pete menggerutu. "Mana mungkin tenang, jika dalam keadaan tegang!"
Bob dan Jupe tertawa, lalu mengambil sikap menunggu. Lain halnya dengan Jim Clay, yang rupanya tidak terlatih untuk bersikap sabar. Berulang kali ia mendesah, sambil mengubah sikap duduk di belakang setir.
Beberapa waktu kemudian Hummer muncul dari dalam restoran. Setelah itu mobil Ford tuanya menuju ke kaki perbukitan, menuju ke sebuah rumah besar bergaya arsitektur zaman Ratu Victoria. Letaknya dalam sebuah ngarai yang penuh dengan tetumbuhan. Sementara Pete menunggu dalam mobil, Jupiter, Bob, dan Jim menyelinap di sela-sela belukar dan rerumputan tinggi, menghampiri jendela-jendela rumah besar yang dilengkapi dengan menara-menara kecil itu. Dengan jalan mengintip dari balik jendela ruang keluarga, mereka melihat Fritz Hummer sedang berbicara dengan seseorang. Orang itu sangat jangkung, berwajah pucat, dengan hidung lancip dan berambut hitam. Kelihatannya seakan-akan tidak ada darah yang mengalir dalam tubuhnya, apalagi karena pakaiannya serba hitam.
"Ih," kata Bob berbisik. "Untung Pete tidak ikut! Orang itu kelihatannya seperti vampir -jadi-jadian pengisap darah!"
"Ya, persis Drakula!" kata Jupe sependapat.
Mata orang itu cekung, seakan-akan sepasang rongga di tengah mukanya yang pucat. Ia mendengarkan Fritz Hummer berbicara, lalu memberi isyarat agar laki-laki gendut itu ikut dengannya. Mereka pergi ke sebuah ruangan lain. Anak-anak bergegas bersama Jim, menuju ke sisi rumah yang dituju lalu mendekati jendela-jendela ruangan itu. Tapi kerai jendela-jendela itu tertutup semua.
Mereka mencoba mengintip dari jendela-jendela lain. Tapi ruangan-ruangan di baliknya kosong semua. Akhirnya mereka terpaksa kembali ke mobil.
Fritz Hummer muncul beberapa menit kemudian. Ia masih tetap tidak membawa apa-apa. Mobil Ford tuanya berangkat lagi.
"Ia masih tetap belum membawa patung," kata Pete, sementara Jim Clay menjalankan Buick besarnya untuk membuntuti.
"Ya, memang," kata Jupiter lambat-lambat. Nada suaranya kini terdengar agak sangsi. "Ngomong-ngomong," kata Jim Clay, "aku rasanya pernah melihat laki-laki yang seperti vampir tadi itu." "Ya, dalam film!" kata Bob.
"Bukan, di tempat lain! Tapi aku tidak bisa ingat..." Pemuda itu terdiam. Selanjutnya ia mengemudikan mobilnya sambil merenung.
Ternyata Fritz Hummer kini kembali ke pelabuhan! Laki-laki gendut itu kembali ke tokonya. Tapi tidak masuk ke situ, melainkan menaiki tangga menuju ke tingkat dua. Sesaat kemudian nampak lampu dinyalakan di salah satu jendela di situ. Rupanya laki-laki gendut itu tinggal di atas tokonya.
"Rasanya inilah akhir pembuntutan kita," kata Pete. "Tidak ada patung, Satu."
"Ya," kata Jupiter mengakui dengan murung. "Padahal aku tadi begitu yakin, ia pasti dengan segera akan berusaha memperolehnya kembali..."
"He, mungkin itu memang sudah terjadi!" seru Jim Clay dengan tiba-tiba. "Sekarang aku ingat siapa laki-laki tadi! Jason Wilkes!"
"Siapa itu?" tanya Pete.
"Pedagang benda-benda seni! Pedagang benda-benda seni yang tahunya cuma cari untung saja! Ia dikeluarkan dari Perhimpunan Pedagang Kesenian karena melakukan bisnis kotor, dan ia sudah dua kali dituduh terlibat dalam kasus penjualan karya-karya palsu! Pengetahuannya lumayan tentang kesenian Asia. Aku tahu tentang itu karena ia pernah mencoba mengadakan bisnis dengan ayahku! Ia pernah sekali datang ke rumah, tapi langsung disuruh pergi oleh ayahku!"
"Hmm," gumam Jupiter. Matanya bersinar-sinar. "Orang seperti dialah yang memang mungkin bisa melihat adanya barang bernilai di tengah tumpukan benda-benda rombeng di toko Fritz Hummer - serta tidak bertanya-tanya lagi dari mana benda itu berasal!"
"Nanti dulu, Jupe," kata Pete, "jika patung itu ada pada Jason Wilkes, lalu kenapa Fritz Hummer tadi tidak pergi dari sana dengan membawanya?"
"Alasannya bisa macam-macam, Dua. Bisa saja Wilkes menolak untuk menjualnya kembali atau barang itu sudah dijual lebih lanjut olehnya. Atau bisa juga Hummer tidak ingin terlihat membawanya, atau tadi tidak cukup banyak uang yang dibawanya."
"Atau mungkin juga patung itu sama sekali tidak ada pada Wilkes," kata Jim Clay menambahkan, dengan nada yang tiba-tiba terdengar murung. Tapi kemudian ia bersemangat kembali. "Mungkin Hummer tadi menawarkan patung itu pada Wilkes, dan sementara ini ia belum membeli patung itu kembali dari orang yang membelinya."
"Wah, hebat!" kata Pete dengan sebal. "Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?"
"Kenapa tidak kita tanyakan saja pada Jason Wilkes, apakah patung itu ada padanya?" tanya Bob mengusulkan.
"Wah, jangan, itu tidak bisa," kata Jim dengan cepat. "Setidak-tidaknya, itu tidak bisa kita lakukan selama kita belum tahu pasti bahwa barang itu betul-betul ada padanya. Jangan sampai ada orang lain terlibat dalam urusan ini, kalau itu tidak benar-benar perlu."
"Menurutku, kita perlu melakukan pengintaian rangkap," kata Jupiter mengambil keputusan. "Kita amat-amati baik Wilkes maupun Hummer, untuk melihat apa yang selanjutnya mereka lakukan!"
"Itu juga sudah terpikir olehku," kata Jim. "Tapi dengan begitu kita harus berpencar. Lalu bagaimana cara kita berhubungan?"
"Dengan walkie-talkie kita!" kata Bob. "Di kantor kami ada beberapa buah!"
"Mungkin kita nanti perlu melakukan pembuntutan," kata Jim, "dan saat itu mungkin jarak yang memisahkan bisa terlalu besar. Kita perlu merencanakan salah satu cara untuk meninggalkan jejak."
"Nah, untuk itu kita bisa memanfaatkan sistem penandaan kami," kata Jupiter. "Masing-masing membawa sepotong kapur berwarna, dan setiap tempat yang kita datangi harus diberi tanda, berupa tanda tanya. Tanda begitu
bisa dibuat dengan cepat dan tidak begitu menyolok kelihatannya. Tapi," katanya menyambung dengan nada sangsi, "sistem itu sulit diterapkan, jika pembuntutan dilakukan dengan mobil."
"Ide itu bagus," kata Jim, tanpa mengacuhkan kesulitan yang diajukan oleh Jupiter. Ia menelengkan kepala, mendekatkan telinga ke jendela mobilnya. "Kalian dengar itu? Rupanya Hummer sedang nonton televisi di atas. Aku mendengar keramaian suara penonton. Mungkin sedang menonton pertandingan football. Kalau begitu untuk sementara waktu ia pasti takkan ke mana-mana. Kalian tentunya sudah ditunggu di rumah untuk makan malam, ya? Kuantar saja kalian pulang dulu, sambil mengambil walkie-talkie serta sepotong kapur untukku. Setelah itu aku kembali lagi kemari, untuk meneruskan pengintaian terhadap Hummer. Nanti kalian sesegera mungkin berangkat ke rumah Wilkes dengan naik sepeda, untuk melakukan pengintaian di sana. Jika terjadi sesuatu, cepat-cepat berikan laporan padaku, sementara aku juga akan menyampaikan laporan kalau terjadi sesuatu di sini. Oke?"
"Cihui!" seru Pete. "Sekarang kami mulai benar-benar beraksi, Setan Menandak!"
Menjelang saat matahari terbenam, ketiga anggota Trio Detektif sudah mengambil posisi dalam semak belukar di sekitar rumah Jason Wilkes. Pete dan Jupiter mengintai dari kedua sisi rumah itu, pada posisi sebelah depan. Sedang Bob berjaga-jaga dekat jalan raya, sehingga ia bisa dengan segera memberi tanda jika ada orang datang.
Jupiter menyampaikan laporan pada Jim Clay lewat walkie-talkienya,
"Di sini tidak ada perkembangan baru, Jim. Dalam garasi yang terletak di belakang ada sebuah mobil, dan di atas ada lampu yang menyala, tapi sampai sekarang kami belum melihat apa-apa."
"Di sini juga belum terjadi apa-apa," bisik Jim membalas dengan laporannya. "Pesawat TV di kamar Hummer menyala - dari tempatku di sini aku bisa melihat sinarnya bergerak-gerak. Ia masih terus menonton pertandingan football yang tadi. Tapi kini pertandingan antara kedua regu yang lain. Aku juga mengikutinya lewat radioku - baru saja dimulai."
"Wah, kalau begitu bisa lama kita harus mengintai," kata Jupiter mengomentari. "Aku akan melapor setiap setengah j am sekali."
Sementara itu langit bertambah gelap, sampai akhirnya hanya sinar bintang-bintang yang pudar serta bulan tua saja penerangan yang ada untuk membantu penglihatan. Tidak nampak nyala lampu di sepanjang jalan ngarai. Rupanya tidak ada rumah-rumah lain yang berdekatan dengan tempat kediaman Jason Wilkes itu. Ngarai di belakang rumah nampak gelap. Sekali-sekali Jupe dan Pete menyelinap menyusur rumah, lalu mengintip ke dalam lewat jendela-jendela yang tidak ditutup kerainya. Tapi mereka tidak melihat apa-apa. Tidak ada sesuatu pun yang bergerak di dalam rumah.
Sejam kemudian terdengar suara Bob berseru lirih. "Ada mobil datang!"
Ketiga remaja itu langsung siaga. Mobil yang datang itu meluncur dengan lambat, lewat di depan rumah yang terpencil dan sunyi itu, lalu berhenti di ujung jalan itu, yang berakhir agak jauh sedikit masuk ke dalam ngarai. Tapi tidak ada yang turun. Sesaat kemudian mobil itu berbalik, lalu kembali lagi.
"Salah duga," kata Bob. "Mungkin orang itu keliru mengambil jalan."
Waktu berlalu lagi. Jim masuk dengan laporan bahwa pertandingan di TV sudah selesai, tapi Hummer masih juga belum muncul dari apartemennya. Sementara itu malam bertambah larut. Pengintaian rangkap itu kelihatannya akan sia-sia. Tapi kemudian terdengar suara Pete tergagap-gagap menyampaikan laporan dari balik rumah,
"He - ada sesuatu yang datang ke arah sini! Aku tidak bisa mengenali... nanti dulu... Aduh! Makhluk itu lagi! Setan Menandak! Aku bisa mengenali kepalanya!"
Setelah itu sunyi.
"Pete!" seru Jupiter memanggil dengan suara lirih lewat walkie-talkienya, sementara ia bergegas mendatangi tempat pengintaian temannya itu. "Aku datang!"
"Pete?" panggil Bob dengan cemas dari arah jalan, lewat walkie-talkienya. Suara Jim terdengar sayup-sayup. "Ada apa dengan Pete?" Saat itu suara Pete terdengar kembali.
"Pergi lagi! Tadi ia memandang ke dalam lewat jendela, lalu pergi, masuk ke ngarai! Mungkinkah ia tahu patung itu ada di sini?"
"Itu sudah pasti!" kata Jim dengan nada yakin. "Tunggu, aku datang dengan segera!"

Bab 15 MENANG DAN KALAH!

"SUDAH pergi lagi, Teman-teman," kata Pete dengan suara lemah.
Jupiter dan Bob menyelinap lewat semak belukar ke tempat Pete duduk berjongkok. Diterangi sinar bulan yang remang, wajahnya nampak sepucat mayat.
"Hati-hati," kata Jupiter mengingatkan. "Setan Menandak itu mungkin ada di mana saja."
Sambil membisu mata mereka bergerak-gerak mencari, berusaha menembus kegelapan malam, di luar rumah besar yang sunyi itu.
"Di mana dia tadi ketika kau terakhir kali melihatnya, Dua?" tanya Jupiter.
"Tepat di sisi rumah. Lalu tahu-tahu seakan menghilang dengan begitu saja - mungkin masuk ke ngarai, atau setidak-tidaknya ke sebelah sana rumah."
"Munculnya dari mana, Pete?" tanya Bob ingin tahu.
"Aku... aku tidak tahu. Tiba-tiba saja muncul, langsung di sisi rumah, seolah-olah... yah..."
"Seolah-olah muncul ke luar dari tembok rumah? Menembus dinding?" kata Bob. "Seperti... seperti hantu?"
"Kau yang bilang begitu," kata Pete. "Bukan aku!"
Bob memandang ke arah rumah yang gelap dan sunyi.
"He, Jupe! Mungkinkah Jason Wilkes itu Setan Menandak?"
"Kemungkinan itu juga timbul dalam pikiranku, Bob," kata Jupiter mengakui.
"Tapi untuk apa, Satu?" tanya Pete dengan heran. "Maksudku, jika patung itu toh sudah ada di tangannya?"
"Barangkali justru karena itulah, Dua," kata Jupiter menarik kesimpulan. "Untuk menakut-nakuti orang lain, supaya tidak ada yang melacak jejak patung itu kemari. Ia kan pedagang benda-benda seni - jadi mestinya ia tahu apa sebenarnya patung itu, begitu pula tentang nilainya. Mungkin pencuri itu ketika kehilangan patung sedang dalam perjalanan untuk menyerahkannya pada Wilkes, dan sejak itu Wilkes berusaha menakut-nakuti kita agar kita tidak meneruskan pelacakan jejak."
Ketiga remaja itu menunggu lagi di tengah kegelapan malam. Tapi Setan Menandak tidak muncul lagi. Kemudian mereka mengelilingi rumah, beramai-ramai dan dengan berhati-hati. Tapi tidak nampak sesuatu yang bergerak, baik di dalam rumah maupun di luar.
Beberapa menit kemudian Jim Clay tiba. Ia memarkir mobilnya di jalan sebelum sampai di rumah, lalu berjalan menghampiri dengan lambat-lambat.
"Jupe! Pete! Bob!" serunya memanggil dengan suara lirih.
"Kami di sini," bisik Jupiter dari balik belukar di tepi jalan. Dengan segera diceritakannya pada Jim apa yang baru mereka alami, sambil mengetengahkan teori barunya, yaitu mungkin Jason Wilkes itulah Setan Menandak. Jim Clay mengamat-amati rumah yang gelap itu. Matanya nampak gelisah.
"Jika benar Wilkes itu Setan Menandak, dan kalian melihat makhluk itu tadi pergi, maka mestinya rumah itu sekarang kosong, Jupe," kata pemuda itu. "Kalian melihat orang di dalam, sejak setan itu muncul?"
"Tidak," jawab Pete, "tapi sebelumnya pun kami tidak melihat siapa-siapa di dalam. Bangunan itu kelihatannya kosong -juga ketika Setan Menandak gentayangan di sini."
"Nah, sekarang siapa yang merasa melihat hantu!" tukas Bob.
"Menurutku Setan Menandak kita itu benar-benar ada," kata Jupiter. "Maksudku benar-benar hidup, dan sebenarnya manusia biasa. Aku bahkan yakin bahwa pendapatku itu benar."
"Aku ingin bisa sama yakinnya," kata Jim Clay, "padahal aku sendiri belum melihatnya! Tapi dari cerita kalian tentang penampilannya, wujudnya persis seperti patung itu, dan ayahku mengatakan bahwa menurut kepercayaan orang Mongol, segala sesuatu itu ada rohnya!"
"Ya, kami tahu," kata Pete dengan suara lemah.
"Yah," ujar Jim menyambung, "makhluk nyata atau hantu, yang jelas sekarang ia tidak ada lagi di sini. Menurutmu apa yang harus kita lakukan sekarang, Jupiter?"
"Sama seperti yang ada dalam pikiranmu, Jim," balas Jupiter sambil menganggukkan kepala. "Kita harus mencoba memeriksa rumah itu!"
"Masuk ke dalam?" seru Pete dengan suara tertahan.
"Mungkin ini kesempatan satu-satunya bagi kita, Dua," kata Jupiter.
"Wah, Jupe," kata Bob, "mungkin lebih baik sebelumnya kita memanggil Chief Reynolds dulu."
"Mungkin nanti malah sudah terlambat, Bob," ujar Jim. "Lagi pula, kita kan belum bisa memastikan apakah patung itu benar-benar ada di dalam situ. Yang kuketahui, ayahku sudah pasti tidak ingin polisi ikut terlibat, jika kita bisa memperolehnya kembali tanpa ramai-ramai."
"Yah," kata Pete akhirnya, "selama Setan Menandak tadi sudah tidak ada lagi di sini, tidak ada salahnya jika kita mencoba. Tapi aku menjaga di luar!"
"Itu gagasan yang bagus," kata Jupiter menyetujui. "Jika kau melihat ada orang, kau harus memberi tahu."
"Biar kalian ada di New York pun, kalian pasti akan mendengar suaraku!"
Setelah itu Jupe, Bob, dan Jim bergerak menghampiri rumah yang gelap. Dengan segera Jim sudah berhasil menemukan sebuah jendela yang tidak terkunci, lalu mereka masuk ke dalam dengan diam-diam. Ketika mata mereka sudah agak terbiasa melihat dalam gelap, tahulah mereka bahwa mereka masuk ke dalam sebuah ruangan yang ukurannya hampir sebesar Ruang Koleksi di rumah ayah Jim. Ruangan itu juga penuh sesak dengan kotak-kotak pameran berdinding kaca, lemari-lemari, serta benda-benda yang kelihatan gelap.
"Jupe!" tiba-tiba terdengar suara Bob berbisik ketakutan. "Itu, di sana!"
Nampak wajah sesuatu yang aneh, mirip singa, seakan-akan menatap mereka, di atas tubuh manusia yang hanya kelihatan samar-samar! Jupe dan Bob berbalik dengan cepat, siap untuk lari pontang-panting. Tapi Jim Clay tetap tenang. Ditatapnya sosok itu dengan penuh minat.
"Itu kan patung," katanya kemudian lambat-lambat. "Penjaga kuil Tibet. Kelihatannya cuma tiruan saja."
Bob dan Jupiter tenang kembali. Mereka mengeluarkan senter berbentuk langsing seperti pensil yang mereka bawa serta. Mereka menyalakannya, lalu mengikuti Jim yang sementara itu berkeliaran di dalam ruangan. Jupiter yang kemudian melihat suatu sosok lagi dalam kegelapan.
"A... apa itu!" katanya tergagap.
Sosok yang seperti sedang menari, dengan dua pasang lengan, mahkota tinggi, serta lingkaran yang terdiri dari tangan-tangan saja!
"Itu Shiwa," kata Jim menjelaskan dengan suara lirih. "Dewa Hindu. Juga tiruan!" Jupiter mendongak, memandang patung yang terselubung kegelapan itu.
"Shiwa? Dewa orang Hindu itu? Kalau tidak salah, kau kan mengatakan tidak tahu apa-apa tentang kesenian Asia."
"Rupanya aku lebih banyak tahu dari yang kukira," bisik Jim sambil nyengir. "Rupanya ketularan, karena ayahku selalu berbicara tentang kesenian."
"Barangkali ia juga bisa menulari aku," balas Jupiter sambil berbisik pula. "Aku ingin tahu lebih banyak dari yang kuketahui sekarang."
"Yah," kata Jim, "nanti jika ia sudah kembali, aku akan -"
Bob memutar tubuhnya. Saat itu ia ada di seberang ruangan itu.
"Jim!" serunya dengan suara lirih. "Ini juga tiruan?"
Jim dan Jupiter melintasi ruangan yang penuh sesak itu, menghampiri Bob yang memegang sebuah patung berukuran kecil. Patung itu berwarna kehijau-hijauan, dengan kepala berbulu gondrong dan bertanduk!
"Setan Menandak!" seru Jim Clay. Ia begitu bersemangat, sampai lupa berbisik. "Kau menemukannya, Bob!" "Sssst!" desis Jupe mengingatkan.
Jim tertegun. Mereka langsung memasang telinga. Tapi tidak terdengar apa-apa. Tidak ada sesuatu pun yang bergerak. Semua menarik napas lega, lalu mengerumuni patung kecil itu, diterangi sinar kedua senter yang dipegang oleh Bob dan Jupiter.
"Wow!" seru Bob dengan suara tertahan. "Persis seperti Setan Menandak rupanya!"
Patung perunggu yang sudah hijau karena tuanya itu terbuat dengan sangat rapi. Segala detilnya terukir dengan jelas. Tanduk yak yang melengkung ke luar halus permukaannya, sedang ujungnya runcing. Setiap lembar rambut nampak jelas di atas kepala yang bermata sipit serta bermulut menganga dengan gigi runcing yang berderet-deret. Kepala serigala yang tergantung di bagian depannya nampak seakan-akan hidup. Begitu persis aslinya, sehingga nampak siap menerkam! Bulu yang ada pada lengan dan tungkai yang terangkat dalam posisi menari nampak seolah-olah bukan terbuat dari perunggu. Seakan-akan bulu asli, yang lunak!
"Perhatikan pendingnya," kata Bob dengan suara pelan. "Pada genta-genta yang tergantung di situ bahkan terpasang pemukul berukuran kecil sekali, sedang pada akar-akar ini menempel tanah. Lalu jagung itu, panjangnya tidak lebih dari satu senti - tapi biji-bijinya kelihatan jelas semua!"
"Kita berhasil!" kata Jim dengan gembira.
"Kau yakin ini Setan Menandak yang asli?" kata Jupiter. "Nampaknya terlalu bersih, kalau diingat bahwa patungnya sudah sangat tua."
"Tentu saja aku yakin!" kata Jim dengan mantap. "Aku sudah sering melihatnya sebelum ini. Patung ini cuma satu-satunya di dunia, dan kita berhasil menemukannya kembali! Yuk, kita pulang! Kalian pasti akan dihadiahi oleh ayahku, atas keberhasilan ini!"
Bob dan Jupiter masih menatap patung syaman Mongol yang menandak itu selama sesaat lagi. Begitu lama mereka mencarinya, dan kini akhirnya berhasil! Mereka berpandang-pandangan sambil nyengir puas, sementara Bob mengambil patung itu dan mengepitnya. Kedua remaja itu mengikuti Jim ke luar.
Tapi Jim Clay tidak keluar! Anak raja minyak itu hanya berdiri saja, sambil memandang ke arah pintu ruangan. Ada orang datang!
"Itu pasti Pete!" kata Jupe dan Bob serempak.
Penyelidik Dua Trio Detektif itu melangkah masuk.
"Kita berhasil mendapat Setan Menandak, Pete!" seru Bob bangga sambil nyengir. Dari arah belakang Pete, seseorang berbicara dengan suara bernada cempreng. "O ya? Kurasa tidak."
"Ma... maaf, Teman-teman," kata Pete dengan lesu. "Aku disergapnya dari belakang. Aku... aku tadi tidak mendengar dia datang menyelinap."
Lampu-lampu ruangan dinyalakan. Jason Wilkes yang bermuka pucat dan bermata cekung itu masuk di belakang Pete. Tangannya yang hanya tulang terbalut kulit menggenggam pistol.
"Kemarikan patung itu!" katanya dengan suara dingin.
Dengan sikap enggan, Bob menyodorkan patung Setan Menandak. Wilkes memandang patung itu dengan perasaan senang, lalu meletakkannya di salah satu tempat.
"Aku menyita ini -" Wilkes mengacungkan sebuah walkie-talkie, "- dari kawan kalian. Yang lain-lain sekarang kuminta agar menjatuhkan alat masing-masing ke lantai."
Jim Clay, Bob, dan juga Jupiter melepaskan walkie-talkie masing-masing dengan gerakan lambat, lalu menjatuhkannya ke lantai. Sementara itu dengan cepat Bob dan Jupe mengantungi senter mereka. Jason Wilkes nampaknya tidak melihat perbuatan itu. Atau bisa juga ia tidak peduli.
"Sekarang kalian berjalan di depanku, menuju ke belakang rumah."
Dengan langkah lambat, semua menuju ke belakang, diterangi lampu-lampu yang setiap kali dinyalakan oleh Wilkes. Akhirnya mereka disuruhnya berhenti di depan sebuah pintu yang nampak kokoh, di dekat dapur. "Buka, lalu masuk dan turun."
Pete membuka pintu. Di depan mereka nampak tangga sempit dari kayu, menuju ke bawah, ke tempat yang gelap gulita.
"Anda tetap di atas bersamaku, Mr. Clay," kata Wilkes. "Sebagai jaminan bagiku, ya? Sebagai penambah rangsangan dalam urusanku nanti dengan ayah Anda yang terhormat - atau siapa saja yang mungkin akan menawar patung ini dengan harga yang paling tinggi."
Wilkes terkekeh pelan. Jim Clay hanya bisa memandang saja tanpa bisa berbuat apa-apa, sementara anak-anak menuruni tangga. Ketika mereka baru setengah jalan ke bawah, tahu-tahu pintu yang berat dan kokoh itu cepat-cepat ditutup kembali!

Bab 16
BOB MENEMUKAN JALAN KELUAR

"SETAN Menandak terlepas lagi dari kita!" keluh Bob, sementara ketiga remaja itu berdiri seperti terpaku di tangga sempit yang gelap. "Jatuh ke tangannya, dan Jim juga ada dalam kekuasaannya!"
"Aku di luar tadi mestinya melihat dia," kata Pete menyesali dirinya sendiri. "Tapi sebelum aku mendengar apa-apa, tahu-tahu aku sudah disergapnya! Rupanya selama ini ia sudah mengamat-amati gerak-gerik kita! Ia langsung tahu di mana aku berada."
"Sekarang kita takkan bisa menghalang-halangi dia lagi," kata Bob dengan nada putus asa.
"Sekarang bukan waktunya untuk menyerah, Bob!" kata Jupiter menukas. "Kita harus keluar dari sini. Sorotkan sentermu ke sebelah atas tangga! Periksa apakah ada sakelar lampu di situ," katanya menginstruksikan.
Bob menyorotkan sinar senternya ke arah sebelah atas. Ia menggerak-gerakkannya, menerangi segala sudut bagian atas tangga sempit itu. Tapi tidak nampak sakelar lampu di situ.
"Mungkin di bawah," kata Pete.
Mereka melangkah turun pelan-pelan, diterangi sorotan langsing sinar senter mereka. Akhirnya mereka menginjak lantai tanah yang dipadatkan. Tapi di situ pun mereka tidak menemukan sakelar lampu.
"Ruang kolong ini sudah tua," kata Jupiter sambil memperhatikan sekelilingnya. "Mungkin sakelarnya berupa tali yang harus ditarik."
Ketiga remaja itu mengarahkan sinar senter masing-masing ke berbagai bagian dari langit-langit ruangan yang rendah itu. Tapi bukan saja tidak ada tali sakelar yang nampak, piting dengan bola lampunya pun tidak ada. Pete menghenyakkan diri, duduk dengan lesu di atas sebuah peti berdebu.
"Kita terkurung dalam gelap," katanya dengan kecut.
"Dan sama sekali tidak ada yang tahu bahwa kita di sini," kata Bob menambahkan dengan murung.
"Mungkin lama-kelamaan kita akan dikeluarkan juga oleh Jason Wilkes," kata Jupiter. "Tapi itu pasti setelah patung Setan Menandak dijualnya! Dengan begitu kita tidak punya bukti apa pun juga terhadapnya. Saat itu pasti sudah terlambat bagi kita untuk berbuat sesuatu. Kita harus bisa keluar sekarang ini juga!"
"Tapi bagaimana caranya, Jupe?" tanya Pete. Sambil duduk di atas peti reyot, ia menggerak-gerakkan senternya dengan lambat menelusuri ruang kolong yang rendah dan gelap itu.
Cahayanya menyinari lantai tanah yang lembab, serta balok-balok kokoh penyangga langit-langit yang rendah. Kolong berdinding batu itu kosong sama sekali. Tidak ada perabot apa-apa di situ. Tidak ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan sebagai alat. Anak-anak hanya melihat tangga sempit yang menuju ke pintu dekat dapur, satu pintu lagi yang rendah di ujung seberang ruangan, dua jendela sempit yang tinggi letaknya, bak-bak air tempat mencuci pakaian, beberapa peti tempat menyimpan barang yang berjejer-jejer, serta sebuah tungku perapian model kuno. Tungku berukuran kecil yang sudah berkarat itu terletak di tengah-tengah lantai.
"Jalan selalu ada, Dua, asal kita mau mencarinya! Itu sudah beberapa kali terbukti," kata Jupiter dengan tabah. "Pintu rendah itu! Tidak mungkin keliru, itu pasti jalan masuk kemari dari luar."
Pemimpin Trio Detektif yang bertubuh gempal itu menghampiri pintu sempit yang terletak di seberang ruangan itu, sementara Pete dan Bob menyorotkan sinar senter mereka ke situ. Pintu itu tidak ada kuncinya, tapi diberi perintang di sebelah dalam dengan palang, dan dipakukan ke bingkainya. Pete menggeleng.
"Paling sedikit ada dua puluh lima batang paku tertancap di situ," katanya, "sedang kita tidak punya apa-apa untuk mencabutnya."
"Kecuali itu," kata Bob sambil mundur sedikit, lalu mengamati dinding batu tempat pintu itu terpasang, "tadi kalau tidak salah kita sudah memeriksa dinding ini dari sebelah luar, dan aku tidak ingat melihat ada pintu, Satu. Pintu ini pasti sebelah luarnya ditutup dengan tembok."
"Kalau begitu jendela-jendela!" kata Jupiter.
Dengan langkah mantap diseberanginya ruang kolong gelap itu, lalu mendongak untuk memperhatikan kedua jendela sempit yang terdapat sedikit di bawah langit-langit. Diterangi sinar senternya nampak bahwa jendela-jendela itu hanya diamankan dengan gerendel biasa!
"Pete! Bob! Kemarikan peti itu! Jendela-jendela ini tidak dikunci!"
Pete menggotong peti yang tadi didudukinya ke jendela yang terdekat. Bob naik ke atas peti itu, lalu dengan bersemangat menarik gerendelnya ke belakang, menarik daun jendela ke atas untuk disangkutkan ke kaitannya di langit-langit, dan...
"Jeruji!" seru Bob dengan lesu bercampur jengkel. "Jendela-jendela ini dirintangi jeruji di sebelah luarnya!"
Kesunyian menyelubungi ruang kolong yang gelap. Bahkan Jupiter pun terhenyak lesu, sementara Bob turun dari atas peti lalu berdiri sambil memandang jendela berjeruji itu dengan perasaan kecut. Tapi Jupiter bukan jenis remaja yang cepat menyerah.
"Sudahlah, kalau begitu!" katanya. "Tapi peti-peti tempat penyimpanan, kadang-kadang ada salurannya untuk memasukkan barang-barang perbekalan dari luar. Atau mungkin juga kita bisa menemukan peralatan yang sudah tua di dalamnya, yang bisa dipakai untuk mencabuti paku-paku dari pintu itu."
Pete duduk lagi di atas peti.
"Kau saja yang memeriksa, Satu," katanya dengan lesu. "Aku tidak kepingin kecewa lagi."
Bob membantu Jupiter memeriksa peti-peti rendah yang dibuat menempel ke salah satu dinding ruangan, dengan bantuan penerangan senter masing-masing. Kayu peti-peti itu sudah lapuk, dan di dalamnya hanya ada sarang labah-labah saja. Dinding batu yang merupakan bagian belakang peti-peti nampak rata, tanpa ada lubang saluran yang menghubungkannya ke luar.
"Kurasa percuma saja, Satu," kata Bob akhirnya. "Kita benar-benar terkurung di sini sampai saat Wilkes mengeluarkan kita lagi - itu pun jika ia berniat begitu."
Ia menghampiri Pete yang ada di bawah jendela, lalu duduk di tanah sambil menyandarkan diri ke dinding batu. Jupiter berdiri seorang diri, diterangi sinar senternya sendiri.
"Setidak-tidaknya ada jendela yang terbuka," katanya. "Jika kita berteriak, suara kita pasti terdengar jelas di luar. Kita berganti-ganti berteriak selama lima menit, setiap lima belas menit sekali."
"Rumah ini cuma satu-satunya di dalam ngarai, Jupe," kata Bob dengan lesu. "Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini, yang bisa mendengar teriakan kita."
"Mungkin, kecuali Setan Menandak!" kata Pete.
Bahkan Jupiter yang biasanya selalu bersemangat pun tidak mungkin bisa tetap tabah menghadapi keadaan tanpa harapan itu. Ia mendesah, lalu duduk di anak tangga paling bawah sambil mencongkel-congkel tanah lantai dengan ujung sepatunya. Seketika itu matanya berkilat-kilat lagi, walau mungkin untuk terakhir kalinya.
"Lantai ini dari tanah," katanya. "Barangkali saja kalau kita gali, kita bisa keluar."
Pete mengangguk lesu.
"Betul, Jupe. Menggali, dengan tangan saja. Paling lama hanya makan waktu satu minggu." Jupiter mendesah lagi.
"He, Teman-teman," kata Bob. "Tungku perapian! Coba lihat pipa salurannya."
Tungku perapian tua yang sudah berkarat itu terletak tepat di tengah-tengah ruang kolong rendah itu. Dua pipa bulat berukuran besar dan tiga berukuran kecil terpasang melingkar padanya. Pipa-pipa yang besar rasanya masih cukup lega lubangnya apabila seorang remaja merangkak di dalamnya. Jupiter mengangguk, tapi dengan segera ia mengeluh lagi.
"Itu sudah terpikir juga olehku tadi, Bob. Tapi saluran tungku perapian model kuno begini naik ke atas, ke pipa-pipa saluran kecil tapi kokoh yang terpasang di bawah lantai rumah. Jadi sama saja artinya dengan jeruji."
"Ya, memang, jika pipa ini hanya naik ke atas, ke dalam rumah," kata Bob. Ia berdiri dalam kolong gelap itu. "Tapi ini kolong model California, Jupe, yang hanya berukuran separuh lebar rumah. Coba kaulihat sendiri lebarnya! Mungkin di bawah lantai sisa rumah ada rongga yang cukup lapang untuk dirangkaki. Pipa besar itu mengarah ke luar dulu, dan kemudian baru masuk ke dalam rumah!"
"Ya, itu betul, Jupe!" sambut Pete dengan cepat. Ketiga remaja itu bergegas menarik pipa yang enteng dan sudah berkarat itu dari dinding. Pada bekas tempat pipa terpasang nampak lubang yang cukup besar. Kelihatannya anak remaja bisa menyusup masuk lalu merangkak di dalamnya. Setidak-tidaknya, kebanyakan anak remaja.
"Kuperiksa sebentar, ke mana arah lubang ini," kata Bob, yang tubuhnya terkecil di antara mereka bertiga.
Ia menyusup masuk ke dalam lubang gelap itu. Sambil berjingkat, Pete ikut memasukkan kepalanya ke dalam, untuk memperhatikan sinar senter yang nampak bergerak-gerak dalam saluran. Kemudian Bob sampai ke sambungan siku, tempat saluran yang dirangkakinya itu menuju ke atas. Terdengar bunyi logam disobek, disusul suara samar Bob,
"Ternyata di sini memang ada rongga yang cukup lapang untuk dirangkaki! Aku sekarang ada di bawah lantai rumah. Ayo, ikut masuk!"
Pete menawarkan untuk membantu Jupiter masuk ke dalam lubang saluran. Dengan muka merah, pemimpin Trio Detektif yang tidak bisa dibilang langsing itu menjawab,
"Kau dan Bob saja yang merangkak ke luar, Dua, lalu bukakan pintu."
Pete meringis, lalu merangkak dalam saluran untuk menggabungkan diri dengan Bob di bawah lantai rumah. Kemudian keduanya bersama-sama merangkak ke bagian pinggir bangunan itu. Lubang yang membatasi rumah dan tanah di luar ditutup dengan kawat halus yang terpasang pada bingkai-bingkai. Mereka melepaskan salah satu bingkai itu, lalu menyusup ke luar, ke tempat yang terbuka.
"P -Pete?" bisik Bob.
Di depan mereka nampak sepasang kaki! Kedua remaja itu mendongak - dan menatap sepasang mata yang hitam. Mata orang Asia yang memandang dengan dingin!

Bab 17
MENGIKUTI JEJAK PENJAHAT

LAKI-LAKI itu bertubuh pendek dan tegap. Ia memakai semacam jaket biru tua berkerah tinggi menutup leher, celana panjang potongan lurus berwarna biru tua pula, tanpa menampakkan garis setrikaan. Sinar matanya memancarkan kemarahan. Di belakangnya, dalam kegelapan, berdiri dua orang laki-laki.
Satu di antaranya adalah Walter Quail, asisten ayah Jim Clay! Mobil Mercedes yang biasa dipakai olehnya diparkir di tepi jalan.
"Nah?" sergah laki-laki Asia itu. "Mana dia, Setan Menandak?"
Dengan lambat Pete dan Bob berdiri, lalu membersihkan tanah yang menempel ke pakaian mereka. "Kami... kami tidak tahu," kata Bob berterus terang. "Wilkes mengambil -"
Laki-laki yang ketiga kini melangkah maju. Dengan kasar didorongnya orang Asia itu ke pinggir dengan sikunya, lalu ditatapnya kedua remaja itu dengan mata melotot.
"Wilkes, katamu, Anak muda? Maksudmu - Jason Wilkes?"
Orang itu bertubuh besar dan kekar, dengan wajah tegas, berambut kelabu kehitaman. Bahunya bidang dan tegap, seperti pemain football. Setelannya yang nampak mahal mencolok sekali di samping pakaian orang Asia itu, yang kelihatan murah.
"Betul, Sir. Pedagang benda-benda seni itu," jawab Pete. "Ia memperoleh Setan Menandak dari Fritz Hummer, yang mendapatnya dari Mayor, yang -"
"Hummer? Mayor? Persetan, apa sebetulnya yang terjadi di sini?" bentak laki-laki bertubuh besar itu. "Kau tahu aku ini siapa, Anak muda?"
"Anda H. P. Clay! Raja minyak," jawab Bob.
"Raja minyak?" H. P. Clay tertawa. "Cuma pengusaha biasa saja, Nak." Ayah Jim itu menganggukkan kepalanya, menunjuk laki-laki yang kelihatannya orang Asia. "Dia ini Chiang Pi-Peng, utusan khusus Republik Rakyat Cina yang sengaja datang kemari sebagai wakil pemerintahnya untuk menerima pengembalian patung Setan Menandak. Sedang Quail ini, kurasa kalian sudah mengenal dia."
"Ya, Sir," kata Bob. "Saya Bob Andrews, dan dia ini Pete Crenshaw. Teman kami yang satu lagi masih terkurung di dalam rumah, Sir. Jika -"
"Terkurung?" kata Mr. Clay. "Kalau begitu kita keluarkan dia!"
Beramai-ramai mereka masuk ke rumah. Jupiter memandang Chiang Pi-Peng dan Mr. Clay dengan mata terkedip-kedip tapi membelalak, ketika ia dikeluarkan dari dalam ruang kolong. Tapi matanya langsung menyipit, begitu melihat Walter Quail. Pria berkaca mata itu nampak kikuk ditatap oleh Jupiter, yang memandangnya dengan sikap menyelidik.
"Kau ini tentunya yang bernama Jupiter Jones," kata H. P. Clay dengan suaranya yang berat. "Nama yang tidak terlalu biasa! Tapi barangkali kau bisa mengatakan, apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini?"
Jupiter menuturkan upaya yang dilakukan oleh Trio Detektif bersama Jim untuk memperoleh kembali patung yang lenyap. Ia menceritakannya secara singkat saja.
"Jim memang benar, urusan ini sangat peka. Lebih baik tidak terlalu banyak orang yang tahu. Nah, sekarang -" Pengusaha kaya bertubuh besar itu tertegun, lalu memandang berkeliling. "Mana Jim? Bukankah ia bersama kalian?"
"Tidak, Sir," kata Jupiter, lalu menceritakan apa yang terjadi sebelum itu.
"Maksudmu, Jason Wilkes brengsek itu menawan Jim? Jim dan Setan Menandak!" Wajah Mr. Clay langsung pucat. Ia berpaling pada asistennya. "Menurutmu tadi, Jim mengatakan bahwa ia ada di sini, bersama mereka ini!" Mata Walter Quail terkejat-kejat. Ia mengangguk dengan gugup.
"Ya, Sir, ia tadi mengatakan bagaimana bentuk gedung ini serta letaknya, dan ia juga mengatakan bahwa ia menelepon dari sini. Ia -"
"Ia menelepon Anda?" kata Jupiter. "Malam ini? Dan karena itu Anda tahu di mana kami berada?"
"Ia menelepon sekitar satu jam yang lalu," kata Walter Quail menjelaskan. "Saat itu saya baru saja hendak berangkat ke pelabuhan udara, menjemput Mr. Clay dan Mr. Chiang ini. Setelah itu saya langsung ke sana, karena menurut saya lebih baik mereka dijemput dulu, lalu setelah itu langsung kemari."
"Jangan banyak omong!" bentak H. P. Clay. "Apa tepatnya yang dikatakan oleh Jim ketika menelepon Anda, Walter? Aku ingin tahu setiap kata-katanya!"
"Ya," kata Jupiter sependapat. "Mungkin di antaranya ada yang bisa dijadikan petunjuk, di mana ia sekarang berada."
"Yah." Alis Quail berkerut di balik lensa kaca matanya yang tidak berbingkai. "Saya hendak berangkat ke pelabuhan udara ketika Stevens mengatakan bahwa James menelepon, ingin bicara dengan saya. Stevens mengomentari bahwa suara James terdengar tegang. Begitu saya mengangkat gagang telepon, terdengar suara James yang gugup sekali. Katanya ia harus cepat-cepat bicara. Katanya, ia terkurung dalam rumah bersama anak-anak ini, dan ia juga menyebutkan tempatnya. Setelah itu ia mengatakan bahwa ia berhasil menemukan Setan Menandak, tapi kemudian ada lagi yang mengambilnya. Ia hendak menyebutkan orang yang menawannya, tapi tahu-tahu hubungan putus."
"Wah," kata Pete, "rupanya ia berhasil meloloskan diri sebentar dari Wilkes, lalu cepat-cepat menelepon." "Lebih besar kemungkinannya Wilkes mengurungnya dalam salah satu kamar di sini, tanpa sadar bahwa di situ ada pesawat telepon," kata Bob.
"Tapi pokoknya, semuanya itu tidak memberikan petunjuk apa-apa bagi kita," ujar Mr. Clay sambil berjalan mondar-mandir. "Kita menghadapi jalan buntu! Semua kartu ada di tangan Wilkes!" Tahu-tahu Chiang Pi-Peng berbicara.
"Putra Anda dalam bahaya, Mr. Clay?" katanya tenang, dalam bahasa Inggris yang sempurna. "Dan orang yang Anda sebutkan itu, Setan Menandak juga ada di tangannya?"
"Setan Menandak itu memang ada padanya, Mr. Chiang," tukas Mr. Clay dengan geram, sambil terus mondar-mandir. "Tapi kurasa Jim tidak terancam keselamatannya. Orang yang bernama Wilkes itu sudah pasti ingin menjual Setan Menandak itu kembali padaku, dan tentu dengan harga gila-gilaan. Jim disandera olehnya, agar aku tidak berbuat macam-macam."
"Sir," kata Jupiter menyela. "Masih ada satu hal lagi -" Lalu diceritakannya tentang makhluk seram yang mengejar-ngejar.
"Setan Menandak yang hidup? Itu tidak mungkin!" kata Mr. Clay dengan tandas. "Atau roh," sambut Bob. "Roh patung itu."
"Ocehan reaksioner!" kata Mr. Chiang. Tapi pejabat Cina itu mengusap keningnya dengan gerakan gugup. "Takhyul orang Mongol! Dongengan suku bangsa terbelakang yang perlu kami selamatkan dari kebodohan mereka sendiri! Roh tidak ada!"
Suaranya tegas dan jelas, tapi sementara itu ia memandang berkeliling, seakan mengamati segala bayangan yang nampak dengan saksama.
"Kalau begitu, seorang syaman," kata Jupiter. "Atau mungkin seseorang yang hendak membuat kami mengira ia benar-benar syaman."
"Benar-benar syaman atau palsu," tukas Mr. Clay, "bingung atau tidak, yang jelas aku tidak sudi menyerah dengan begitu saja! Ayo, semuanya mencari, kalau-kalau ada sesuatu di sini yang bisa dijadikan petunjuk. Anak-anak, dua dari kalian ikut aku memeriksa isi rumah ini. Yang satu lagi ikut dengan Quail dan Mr. Chiang, meneliti di sebelah luar."
Bob dan Pete ikut dengan Mr. Clay, memeriksa seluruh bangunan tua itu. Jupiter pergi ke luar, ikut dengan Chiang dan Quail.
Menjelang tengah malam, akhirnya mereka yang mencari di dalam menyerah, lalu menggabungkan diri dengan yang lain-lainnya di luar. Mereka tidak menemukan apa-apa di dalam rumah, yang bisa dijadikan petunjuk di mana Jason Wilkes dan Jim saat itu berada. Ternyata Mr. Chiang dan Quail juga tidak berhasil menemukan apa-apa di luar.
"Yah, apa boleh buat, kalau begini. Kita terpaksa pulang, dan menunggu perkembangan selanjutnya," ujar Mr. Clay dengan nada lesu. "Kita sama sekali tidak punya pegangan, di mana mereka berdua berada."
Saat itu Jupiter muncul dari dalam garasi.
"Mereka tidak mungkin jauh dari sini, Sir," katanya. "Mobil Jason Wilkes masih ada di dalam garasi. Saya telah mengecek nomornya, dan itu memang mobilnya. Saya tidak melihat tanda-tanda di sini tadi ada mobil lain, dan saya juga sudah melihat mobil Buick milik Jim, diparkir agak jauh dari sini di tepi jalan. Itu berarti ke mana pun mereka pergi, mereka pasti berjalan kaki! Sebaiknya kita memencar, lalu mencari ke segala arah!"
Bob dan Quail mencari ke jalan yang menuju ke luar ngarai. Kedua sisinya diteliti dengan saksama. Jupiter ikut dengan Mr. Chiang, memeriksa ke arah belakang. Sedang Pete menemani Mr. Clay, memeriksa jalan yang makin masuk ke dalam ngarai. Semuanya bergerak lambat-lambat dalam lingkaran yang semakin membesar, menjauhi rumah tua itu.
Beberapa saat kemudian terdengar suara Pete memanggil-manggil. "Jupe! Bob!"
Dalam kegelapan malam semua bergegas mengarah ke tempat Pete. Ia berdiri di dalam ngarai yang sempit dan gelap, beberapa ratus meter dari rumah. Remaja bertubuh jangkung itu menuding dengan sinar senternya, menerangi sebuah batu besar. Setelah itu digesernya arah sinar senter, menerangi selembar papan pagar yang patah.
"Ternyata Jim ingat untuk meninggalkan jejak kapur!" seru Bob.
Beberapa tanda tanya yang dibuat dengan kapur nampak samar-samar pada batu yang pipih serta papan pagar. Arahnya menunjuk ke dalam ngarai.

Bab 18
SETAN MENANDAK MENYERANG

"CARI tanda tanya yang berikut!" desak Jupiter.
Bob menemukannya sekitar dua puluh meter lebih jauh ke dalam ngarai.
"Kalau begitu urusannya sudah jelas!" kata Jupiter bersemangat. "Jim dan patung itu pasti dibawa oleh Wilkes ke salah satu tempat di dalam ngarai."
"Apa alasannya kau bisa begitu yakin?" tanya Mr. Clay.
"Tanda tanya ini merupakan isyarat rahasia yang biasa kami pakai sebagai tanda jejak yang harus diikuti," kata Pete menjelaskan.
"Tanda tanya bisa dibuat dengan cepat, tanpa menimbulkan kecurigaan," tambah Jupiter.
"Dan Jim kami beri sepotong kapur, dengan petunjuk agar ia meninggalkan jejak jika kami sampai terpencar," kata Bob.
"Kalau begitu apa lagi yang kita tunggu di sini?" kata Mr. Clay. "Kita cari anakku!"
Pete paling mahir melacak jejak. Karenanya ia berjalan di depan, disusul pada jarak dekat sekali oleh Mr. Clay. Yang lain-lain mengikuti dalam barisan satu-satu. Quail dan Mr. Chiang mengambil posisi paling belakang. Pete menemukan tanda tanya yang keempat dan kelima di atas batu-batu. Jejak itu langsung menuju ke dalam ngarai.
"Ada apa di sana?" tanya Mr. Clay ingin tahu.
"Kemungkinannya tidak ada apa-apa yang berarti - karena jalan ke sana pun sudah tidak ada lagi," kata Bob. "Barangkali kita nanti akan menjumpai rumah petani yang sudah tua dan tidak dipakai lagi, atau gubuk pencari bahan tambang yang sudah tidak dihuni lagi. Saya yakin, pasti tidak ada orang tinggal di dalam ngarai ini."
Isyarat-isyarat berupa tanda tanya membawa mereka semakin dalam memasuki ngarai, yang makin lama makin sempit. Tanah yang dilalui semakin berbatu-batu dan curam, dengan kedua sisi semakin menjulang ke atas. Pakaian mereka berulang kali terkait pada duri-duri belukar. Sementara itu bulan sudah menghilang di balik horison. Tinggal sinar tipis yang berasal dari senter-senter saja yang menerangi jalan yang harus diambil. Rombongan pencari yang terdiri dari enam orang itu berjalan tersaruk-saruk di atas tanah yang tidak rata. Tahu-tahu jejak yang diikuti terputus!
"Mana tanda tanya yang berikut?" seru Mr. Clay dengan gugup.
"Kita harus menyebar untuk mencarinya," kata Jupiter. "Tapi jangan sampai terlalu berjauhan. Harus masih bisa saling melihat atau mendengar. Malam-malam begini, kita bisa gampang tersesat di sini."
Dua puluh menit kemudian, barulah Mr. Chiang berhasil menemukan tanda tanya berikut, sekitar seratus meter ke depan dan agak ke kanan.
"Rupanya Wilkes tadi memutuskan untuk berjalan berkelok-kelok sedikit, untuk menghilangkan jejaknya di tengah belukar ini," kata Pete. "Sekarang cari tanda tanya berikut di sebelah kiri."
Mereka terus mencari setelah tanda tanya yang berikut ditemukan. Gerakan maju mereka kini lebih lambat, karena tanda-tanda penunjuk itu terletak lebih berjauhan, dan mengikuti pola mata gergaji. Rupanya Wilkes cukup berhati-hati. Tapi tanda-tanda yang ditinggalkan oleh Jim Clay masih terus mengarah ke dalam ngarai. Jadi pedagang benda-benda seni yang jahat itu belum tahu apa yang dilakukan oleh Jim!
Ketika para pencari sudah sekitar setengah mil masuk ke dalam ngarai, di tempat yang tebing pengapitnya sudah lumayan tinggi, tiba-tiba Walter Quail berteriak. Dengan cepat semua yang berada di depan berpaling, lalu kembali menghampiri Walter Quail yang berada pada posisi paling belakang. Pria itu duduk di tanah yang berbatu-batu, sambil memegang pergelangan kaki kirinya.
"Terkilir," katanya singkat dengan rahang terkatup menahan sakit. "Batu itu tadi terguling ketika saya pijak. Maaf, Mr. Clay."
"Kau masih bisa berjalan?" tanya H. P. Clay.
"Bisa sih bisa, tapi nanti malah menghambat. Sebaiknya Anda semua berjalan lebih dulu saja. Mungkin James memerlukan bantuan saat ini!"
Mr. Clay agak ragu, tapi hanya sesaat saja.
"Baiklah, Walter," katanya. "Kau menyusul secepat kemampuanmu."
Setelah itu yang lain-lainnya meneruskan pencarian merambah belukar, kini dengan Mr. Chiang pada posisi paling belakang. Mereka berjalan dengan lebih berhati-hati lagi, karena daerah yang dilewati semakin berbatu-batu, sedang semak belukar juga semakin rapat. Kemudian ngarai sempit itu menikung tajam ke kiri, lalu dengan tiba-tiba melebar kembali, tepat pada saat untuk kedua kalinya mereka kehilangan jejak. Mereka tidak menemukan tanda tanya yang berikut.
"Ayo, menyebar lagi," kata Pete. "Maju dengan lambat-lambat, sampai kita menemukan -" Sosok samar itu tahu-tahu muncul di depan, dan bergerak langsung menuju mereka. "Jim?" seru Mr. Clay dengan nada bertanya.
Sosok gelap itu kaget, dan langsung berhenti. Ia berdiri dalam kegelapan malam, tanpa bergerak dan tanpa bersuara.
"Kaukah itu, Jim?" seru Mr. Clay sekali lagi.
Orang yang hanya nampak samar itu kini bergerak, berjalan menuju sisi kanan ngarai. Anak-anak langsung menyorotkan senter mereka ke arahnya, menerangi wajah pucat, rambut hitam, dan pakaian yang juga serba hitam. Orang itu menenteng sebuah karung berukuran kecil. Tahu-tahu ia lari.
"Itu Jason Wilkes!" seru Jupiter.
"Ia membawa sesuatu!" teriak Pete.
"Jangan biarkan dia lari!" kata Mr. Clay dengan suara lantang.
Jason Wilkes lari menuju tebing ngarai yang terjal, sementara para pengejarnya berusaha memotong jalan.
Tapi tahu-tahu Wilkes lenyap!
Sambil tersandung-sandung dalam gelap dan menubruk-nubruk belukar yang rapat, kelima pengejarnya lari mendaki tebing yang terjal sambil memandang ke depan dengan mata disipitkan, ke tempat Wilkes tadi menghilang. "Di depan ada tempat yang terbuka!" seru Bob sambil menuding. "Sebuah ngarai samping!" kata Pete dengan napas tersengal-sengal.
Mereka melewati celah sempit yang ditumbuhi pohon-pohon ek yang tumbuh kerdil, lalu muncul di sebuah ngarai yang kecil dan buntu ujungnya. Kedua sisinya tinggi dan retak-retak. Tidak ada jalan keluar dari situ, kecuali jalan pertama tadi!
Para pengejar berhenti.
Di depan mereka, Jason Wilkes berdiri di depan dinding ngarai yang tinggi. Matanya yang hitam legam berkilat-kilat, seperti mata binatang yang terpojok. Dan Wilkes saat itu memang sudah terkepung. "Apa yang kaulakukan dengan anakku, Bandit?!" seru Mr. Clay.
Pedagang benda-benda seni yang seperti vampir tampangnya itu memandang ke kiri dan ke kanan, seperti mencari-cari jalan untuk minggat. Sementara itu para pengejarnya maju dengan lambat-lambat ke arahnya. Sinar senter yang dipegang oleh ketiga anggota Trio Detektif seolah-olah memakunya ke dinding ngarai, bagaikan serangga yang besar dan hitam. Serangga penyengat, yang mata hitamnya masih bersinar sengit.
"Jangan mendekat, atau kau takkan pernah tahu!" sergah Wilkes. "Aku sebenarnya berniat menghubungimu, tapi mungkin begini lebih baik. Aku tidak perlu repot-repot lagi!"
"Aku tidak sudi berurusan dengan penculik!" bentak Mr. Clay dengan berang.
Wilkes tertawa saja.
"Anakmu tadi memasuki rumahku tanpa izin, bersama anak-anak konyol itu. Sekarang ini aku cuma menahan anakmu, sampai bisa kuserahkan pada polisi. Aku cuma melakukan apa yang sudah sepantasnya kulakukan, Mr. Clay. Aku akan minta polisi agar menahan anakmu itu - kecuali jika kita bisa mengadakan bisnis secara pantas."
"Karung yang dibawanya itu!" seru Pete. "Pasti patung itu ada di dalamnya!"
"Kau mengambil milikku! Milikku yang dicuri!" kata Mr. Clay.
Kini Wilkes tersenyum.
"Tentang itu aku tidak tahu," katanya. "Kalau begitu kita menghadapi jalan buntu, tapi dapat diselesaikan dengan gampang - asal kau membayar. Imbalan yang kuminta tidak tinggi!"
Sementara itu Mr. Chiang terus menatap karung yang dipegang Jason Wilkes. "Setan Menandak ada dalam karung itu? Kalau begitu kita harus mengadakan -"
Saat itu tahu-tahu ada sinar menyilaukan, menerangi seluruh ngarai! Semua terhuyung mundur karena silau, sambil menutupi mata dengan tangan masing-masing.
Asap mengepul tinggi di tebing, di belakang Jason Wilkes.
"Haaaaaaaaa - "
Sosok Setan Menandak berdiri di atas dinding tebing ngarai, dengan tanduknya yang mencuat dan mata merah sipit menyala-nyala. Makhluk itu bergerak lambat-lambat, seakan-akan dalam keadaan tersihir. Genta-genta dan tulang-belulang yang bergelantungan di tubuhnya terdengar berdering dan gemeretak, memecah kesunyian malam.
Terdengar suara bergaung dalam ngarai sempit itu. "Setan Menandak dari Batu Khan dicemari!"
Jason Wilkes gemetar. Karung yang dipegang terlepas dari tangannya, sementara ia sendiri tersaruk-saruk mundur ke arah para pengejarnya. Ia menatap makhluk yang tiba-tiba muncul di atas tebing. Matanya terbelalak karena ngeri. "Jangan biarkan ia mendekat!" katanya dengan suara gemetar. "Tahan dia!" Wajah Mr. Clay pucat, tapi ia tetap bersikap tabah. "Apa pun kau sebenarnya, aku tidak takut -"
"Diam!" bentak suara yang seakan-akan muncul dari dalam kubur. "Jasad kasar yang dicemari harus dimusnahkan! Rohnya harus dibebaskan!"
Makhluk dengan kepala berambut atau berbulu gondrong itu mengangkat kedua lengannya lebar-lebar di atas kepalanya yang bertanduk, lalu lengannya yang sebelah kanan diayunkan, menuding lurus-lurus ke karung yang tergeletak di tanah. Sinar silau menyambar, asap tetal mengepul, dan - karung itu terbakar!
"Rohnya kembali pada Khan Yang Agung!"
Kilatan api menyambar lagi, kini di atas tebing ngarai. Asap tebal menjulang, menyelubungi sosok liar yang tegak di situ, lalu menghambur pelan-pelan dibawa angin malam. Setan Menandak lenyap.

Bab 19
WAJAH DI BALIK JENDELA

HANYA asap mengambang saja yang masih nampak di atas tebing.
"Le - lenyap!" kata Pete tergagap.
"Tinggal asap," kata Bob. Mulutnya ternganga bingung.
"Omong kosong!" ujar H. P. Clay dengan tegas. "Itu cuma tipuan mata belaka!"
Chiang Pi-Peng tegak seperti terpaku di tempatnya, sementara matanya menatap asap yang masih mengambang di atas tebing. Ketika akhirnya ia membuka mulut, suaranya terdengar lirih dan aneh. "Mungkinkah roh-roh sebenarnya ada?" katanya. Mr. Clay mendengus.
"Cuma tipuan belaka! Semacam gambar yang diproyeksikan ke atas tebing, ditambah dengan suara yang berkumandang lewat alat pengeras suara. Lalu roket-roket dan bom asap. Semua hanya tipuan belaka. Mungkin semuanya hasil kerja Wilkes itu!"
Dengan galak Mr. Clay menatap Jason Wilkes yang langsung mengkerut ketakutan.
"Mengaku sajalah, Wilkes! Mana anakku, serta patung Setan Menandak?"
"Teman-teman! Mr. Clay!" Pete berseru sambil berdiri dekat abu sisa karung yang terbakar tadi.
"Jika semuanya tadi tipuan belaka, mudah-mudahan ini juga hanya ada dalam khayalanku belaka," katanya. Ia mengais kain karung yang hangus, untuk memperlihatkan sebuah benda kecil tapi berat yang terdapat di dalamnya.
Semua menunduk, memandang seonggok logam yang tidak keruan bentuknya.
"Patung Setan Menandak!" seru Bob.
"Bekasnya," kata Pete membetulkan.
"Musnah!" seru Mr. Clay. Wajahnya pucat.
"Lumer!" kata Mr. Chiang dengan kecut. "Musnah untuk selama-lamanya!"
Jupiter berlutut, lalu menyingkirkan sisa-sisa kain hangus yang masih menyelubungi. Dirabanya logam yang lumer itu.
"Cuma hangat saja," katanya. Suaranya bernada heran. "Karung yang terbakar tadi tidak cukup panas untuk melumerkan perunggu."
"Lumernya karena sebab lain," kata Pete.
Semua berpandang-pandangan dengan kelu. Akhirnya Chiang Pi-Peng membuka mulut.
"Roh... hantu... makhluk tadi," katanya dengan nada gelisah. "Tadi ia berkata, patung harus dimusnahkan, demi Batu, cucu Jenghis, dan Khan dari Gerombolan Kencana!" Setelah itu kebisuan kembali mencengkam.
"Kau yakin yang lumer itu patung Setan Menandak, Jupiter?" tanya Mr. Clay beberapa saat kemudian, dengan suara seperti tercekik. Jupiter mengangguk.
"Ini, masih kelihatan satu tanduk, serta sisa tungkai yang menempel pada alasnya. Sebagian dari pinggang tidak lumer, dan saya bisa melihat sepotong jagung di pending yang -" Ia berhenti bicara. Matanya terkejap, lalu mendekatkan kepalanya ke potongan logam yang lumer dan mengamat-amatinya dengan cermat.
"Kalau begitu benar-benar musnah! Lenyap!" keluh Jason Wilkes tiba-tiba. "Barang yang begitu berharga, dan sudah ada di tanganku! Aku kehilangan harta karun!"
"Sesudah lebih dari tujuh abad - kini musnah," kata Mr. Chiang, lalu berpaling.
"Sudahlah, kalau memang benar-benar musnah," ujar Mr. Clay dengan suara seperti biasa lagi. "Kita takkan bisa memulihkannya seperti semula lagi. Tapi anakku masih tetap lenyap! Wilkes - !"
"Ia tidak apa-apa," kata Jason Wilkes dengan cepat, tapi bernada sebal. "Masa bodohlah sekarang, kuantar kalian ke tempatnya. Tapi ingat, ia memasuki rumahku tanpa izin! Jadi aku berhak menahannya."
"Kita lihat saja apa kata polisi nanti mengenai hal itu, Bandit!" tukas Mr. Clay. "Sekarang antar kami ke tempatnya!"
Seluruh rombongan itu berjalan beriring-iring dengan Mr. Clay dekat sekali di belakang Jason Wilkes, meninggalkan ngarai kecil yang buntu, masuk ke ngarai yang sebenarnya. Dengan didorong-dorong dari belakang oleh Mr. Clay, Wilkes berbelok masuk ke arah sebelah dalam ngarai itu, semakin jauh memasuki daerah pegunungan. Tiba-tiba Bob memberi isyarat dengan tangannya, menyuruh rombongan berhenti.
"Itu, di sana! Apa itu?" Bob menuding ke dalam kegelapan.
Di tempat yang agak lapang di tengah belukar nampak sosok gelap terkapar di tanah. Sementara rombongan itu datang menghampiri, sosok itu mulai mengerang-erang. Walter Quail duduk sambil memegang kepalanya. "Walter!" seru Mr. Clay. "Apa yang terjadi?"
"Saya tadi menyusul Anda sebisa-bisa saya," kata asisten raja minyak itu dengan suara lemah. "Saya berhasil sampai di sini, lalu tak terdengar lagi suara-suara Anda semua di depan saya. Saya memasang telinga, dan rasanya seperti mendengar suara-suara kalian di arah sebelah kanan. Ketika saya berpaling hendak menuju ke arah itu, saya merasa seperti ada sesuatu di atas saya. Sebelum sempat berpaling, saya sudah dipukul dari belakang. Itu yang terakhir saya ingat sampai sesaat yang lalu, ketika saya mendengar suara Anda beramai-ramai kembali ke arah sini."
Asisten bertubuh kurus itu meraba kepalanya, lalu mengernyit kesakitan. Kaca matanya yang tidak berbingkai terlepas dari batang hidungnya, tergantung pada pita yang hitam. Setelannya yang rapi kini kotor. Walter Quail menepiskan daun-daun yang menempel sambil meringis-ringis. Kelihatannya setiap gerak yang dilakukan olehnya menyebabkan kepalanya terasa sakit.
"Anda tidak melihat siapa yang memukul Anda tadi?" tanya Jupiter.
"Sayangnya, tidak," jawab Quail. "Saya tidak melihat apa-apa, dan juga tidak mendengar apa-apa. Saya tadi hanya merasa bahwa ada sesuatu, lalu saat berikutnya saya sudah kena pukul."
"Roh memang tidak bisa dilihat atau didengar," kata Chiang Pi-Peng, "kecuali jika ia menampakkan diri." "Roh?" kata Quail gugup.
Mr. Clay menuturkan kejadian di dalam ngarai yang buntu.
"Patung itu musnah?" seru asistennya, sambil menggigit bibir. "Dan menurut dugaan Anda, roh... makhluk itu yang memukul saya?"
"Mungkin saja," kata H. P. Clay. "Tapi sudahlah, sekarang kita harus membebaskan Jim. Bagaimana, mampukah kau ikut berjalan dengan kami?" "Akan saya coba," jawab Quail.
Ia dibantu berdiri, lalu sambil terpincang-pincang ikut berjalan dengan rombongan, sementara Mr. Clay mendorong-dorong Wilkes lebih jauh masuk ke dalam ngarai. Tiba-tiba Wilkes melihat jejak-jejak penunjuk berupa tanda tanya yang dibuat dengan kapur tulis.
"Dengan cara begitu rupanya kalian bisa menemukan aku," katanya dengan suara getir.
"Kau kalah siasat," kata Mr. Clay. "Jim dan anak-anak ini terlalu pintar bagimu."
Kemudian mereka sampai di suatu bagian di mana ngarai menikung lagi. Sebuah pondok nampak di depan, di ujung tempat yang agak lapang.
"Ia ada di dalam," kata Jason Wilkes. "Ia tidak kuapa-apakan - cuma kukurung saja."
Mr. Clay bergegas mendatangi pondok itu. Pintunya dirintangi dari sebelah luar dengan palang dan gerendel. Pete dan Bob membantu raja minyak itu menarik palang dan gerendel, lalu membuka pintu yang terbuat dari kayu yang ringan. Anak-anak menyorotkan senter mereka ke dalam.
"Jangan... ganggu... aku!" Suara yang mengatakannya bergetar, terdengar takut tapi bersikap menantang.
Jim Clay meringkuk di salah satu sudut pondok kecil itu, yang terdiri dari dua buah bilik. Lututnya ditarik ke atas sampai menyentuh dagu. Matanya terpentang lebar, menatap liar seperti binatang yang ketakutan. Tapi mata itu juga memancarkan sinar menantang. Pemuda jangkung itu bangkit dengan susah payah, siap melawan dengan sebilah papan di tangan.
"Jim!" seru Mr. Clay, sambil datang menghampiri.
"Ayah?" kata Jim Clay. Matanya terkejap-kejap kena cahaya senter. Rupanya karena selama itu berada dalam pondok yang gelap. "Pete! Bob! Kalian berhasil membekuk manusia busuk itu!"
"Ya, kami berhasil membekuknya," kata Mr. Clay. Dipegangnya bahu anaknya erat-erat. "Kami mengikuti jejak yang kaubuat," kata Bob sambil nyengir.
"Aku berharap-harap sejak tadi, mudah-mudahan kalian melihatnya. Aku sudah mulai putus asa setelah Wilkes pergi dengan membawa patung itu, meninggalkan aku terkurung di sini.... Patung itu! Kalian berhasil memperolehnya kembali?"
Mr. Clay menggeleng.
"Tidak, Nak! Apa boleh buat, Setan Menandak musnah untuk selama-lamanya." "Setan... makhluk seram itu yang memusnahkannya," kata Bob. "Rusak! Lumer!" ujar Pete menambahkan.
"Setan Menandak telah mengembalikan rohnya pada Batu, Khan dari Gerombolan Kencana," Mr. Chiang berbicara dengan logatnya yang khas.
"Jadi... jadi makhluk itu sungguh-sungguh ada? Syaman yang sebenarnya? Dukun Gaib? Dan ia memusnahkan patung itu, untuk membebaskan rohnya?" tanya Jim bertubi-tubi.
"Yah, menurut Jupiter -" kata Bob, lalu tertegun, memandang berkeliling dalam pondok yang remang-remang itu. "Mana Jupe?"
Secepat kilat Pete berpaling, lalu mencari-cari dengan matanya. "Anak itu tidak ada di sini," kata Mr. Clay kaget. "Ia -" "Lihat! Itu!" seru Walter Quail. "Di balik jendela!"
Bob dan Pete mengarahkan sinar senter mereka ke jendela yang terdapat di dinding sebelah belakang. Nampak di situ kepala yang bertanduk, berbulu gondrong dengan mata sipit bersinar merah dan mulut menganga, memandang ke dalam!
"Ia datang lagi!" seru Mr. Clay.
Kepala menyeramkan itu kemudian bergerak, menjulang ke atas, dan tahu-tahu di tempatnya semula muncul wajah Jupiter yang bulat.
"Tidak, ia tidak akan datang lagi," katanya dari luar.
Setelah itu ia lenyap dari penglihatan, ditelan kegelapan. Tapi terdengar langkahnya mengitari pondok. Semua memandang dengan tegang ke arah pintu. Remaja bertubuh gempal pemimpin Trio Detektif itu masuk ke dalam pondok, sambil membawa kepala berbulu gondrong dengan tanduk yak yang mencuat, serta pending yang digantungi genta-genta, tulang-belulang, serta berbagai jenis akar.
"Ia tidak akan datang lagi, karena dari semula memang tidak ada," katanya. "Sedang Setan Menandak, patung itu juga tidak musnah!"

Bab 20
RAHASIA TERBONGKAR

"APA maksudmu, Jupiter?" tanya Mr. Clay. "Di mana topeng itu kautemukan?"
"Di tengah belukar, di belakang pondok ini, Sir," kata Jupiter, sambil melangkah lambat-lambat memasuki ruangan. "Kostum yang selebihnya juga ada di situ, termasuk lampu-lampu merah berukuran kecil serta baterai yang membuat mata topeng ini nampak seperti menyala. Begitu pula bahan-bahan kimia untuk menimbulkan asap dan api yang memancar. Bukan soal sulit, bagi orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kimia." Dipandangnya Mr. Clay. "Jika Anda periksa topeng ini serta bagian-bagian lain dari kostum makhluk itu, saya rasa nanti Anda akan melihat bahwa semuanya itu berasal dari koleksi Anda."
"Memang - seingatku memang ada topeng-topeng seperti itu dalam gudang tempat penyimpananku," kata Mr. Clay sambil mengerutkan kening. "Di situ banyak benda-benda dari Mongolia yang tidak kutaruh dalam Ruang Koleksi, karena belum kuklasifikasikan. Tapi apa yang menyebabkan kau pergi mencari ke belakang?"
"Sejak semula saya tidak percaya bahwa yang selalu muncul itu benar-benar makhluk gaib. Lalu setelah menyadari tipuan yang ditujukan pada kita, berbagai hal yang kelihatannya sepele mulai saya lihat pertaliannya. Untuk sementara saya mengira, mungkin itu sebenarnya seorang syaman dari Mongolia yang datang hendak mengambil Setan Menandak. Tapi itu saya anggap tidak mungkin, ketika Mr. Chiang kemudian muncul. Mr. Clay berniat mengembalikan patung itu, jadi untuk apa seorang syaman datang untuk mengambilnya?" Remaja bertubuh gempal itu menggeleng-geleng. "Tidak, sosok itu pasti sesuatu yang lain! Karenanya saya lantas pergi mencari ke belakang, mengikuti dugaan yang timbul."
"Tipuan apa maksudmu, yang ditujukan pada kita?" tanya Pete yang tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
"Itu, pemusnahan patung, Pete. Setan Menandak tidak musnah!"
"Tapi kita semua kan melihatnya sendiri," kata Mr. Chiang sambil menggeleng. "Kau sendiri juga melihat -" "Kita melihat sebuah patung dimusnahkan," kata Jupiter. "Tapi kita tidak melihat patung yang itu dimusnahkan. Bukan Setan Menandak asli yang kita lihat tadi itu, tapi yang palsu!" "Palsu?" kata Bob sangsi. "He, Jupe, kau kan bukan ahli tentang -"
"Wah, Jupe," kata Jim Clay. "Kau tidak mungkin bisa mengatakannya dengan begitu pasti. Bahkan aku pun takkan mungkin bisa."
Mata H. P. Clay menyipit.
"Kau benar-benar yakin, Jupiter?"
"O ya, yakin seyakin-yakinnya! Yang lumer itu tiruannya yang benar-benar persis. Itu saya ketahui. Menurut perkiraan saya, yang membuatnya pencuri bertubuh kecil yang berjubah itu. Tampangnya sama sekali tidak seperti pencuri, ya, Pete?"
"Memang," kata Pete. "Aku ingat, waktu itu kita sempat merasa heran."
"Saya rasa, nanti kita akan tahu bahwa sebenarnya ia seniman, walau bukan seniman yang jujur," kata Jupiter lagi. "Ia yang membuat tiruan itu, yang kemudian dibawa ke Rocky Beach, tapi tercecer di tengah jalan! Dan karena itulah kita terlibat dalam urusan ini."
"Apa yang menyebabkan kau bisa merasa begitu yakin, Jupiter?" tanya Jim Clay dengan heran. "Ketika kita menemukannya tadi, kelihatannya seratus persen sama dengan yang asli."
Jupiter mengangguk.
"Tiruannya memang bagus, tapi menurut dugaanku itu dibuat berdasarkan contoh dari foto-foto saja. Bukan dengan melihat patung yang asli! Mungkin karena hal itu tidak mungkin dilakukannya tanpa menimbulkan kecurigaan, sedang foto-foto yang dipakainya sebagai contoh tidak menampakkan semua detil dengan jelas. Jadi karenanya ia membuat suatu kekeliruan!"
"Kekeliruan?" tukas Mr. Clay.
"Betul, Sir, kekeliruan," kata Jupiter. Matanya berkilat-kilat. "Dari foto-foto, ia tidak bisa dengan jelas mengenali wujud benda-benda yang tergantung di pinggang patung itu. Karenanya ia lantas mengambil jalan pintas. Ia membuatnya dengan mengandalkan keterangan yang tertulis. Bahkan mungkin dari keterangan yang sama dengan yang kami baca. Kau masih ingat tidak, Bob?"
Bob berpikir sebentar, sebelum menjawab.
"Dalam keterangan di bawah foto dikatakan bahwa topeng itu dilengkapi dengan tanduk yak, sedang pada tubuhnya digantungkan genta-genta, tulang-belulang, giring-giring, rerumputan, jagung, akar tumbuh-tumbuhan -" "Betul," kata Jupiter memotong. "Rumput, akar, dan jagung. Jagung!"
"Jagung?" kata Mr. Chiang. Matanya yang sipit terbuka lebar. Tentu saja selebar yang mungkin terjadi pada mata yang sipit!
"Tapi jagung kan memang ada pada patung itu," kata Mr. Clay. "Aku ingat kau tadi mengatakan bahwa jagungnya yang tergantung pada pending patung itu tidak ikut lumer, Jupiter."
"Betul, Sir - dan justru di situlah letak kekeliruan seniman yang membuatnya! Seharusnya saya dengan segera menyadarinya, ketika melihat patung itu di rumah Jason Wilkes tadi. Tapi saat itu saya belum menyadarinya. Saya baru sadar ketika melihat bonggol jagung yang utuh pada patung yang lumer itu."
"Menyadari apa, Satu?" kata Pete sambil mengeluh.
"Bahwa pada patung Setan Menandak yang asli tidak mungkin ada jagung tergantung di pinggangnya! Coba kaukatakan, Bob, kata apa yang tertulis dalam keterangan itu, sampai kau mengatakan bahwa yang tergantung itu jagung?"
"Corn, "jawab Bob dengan singkat.
"Betul, corn!" kata Jupiter lagi. "Tapi kata corn berbeda artinya dalam bahasa Inggris di Inggris dan di Amerika sini. Bagi orang Inggris, corn berarti gandum. Sedang buku yang kubawa waktu itu, Bob, buku itu terbitan Inggris! Ketika pengarangnya menggunakan kata corn untuk memaparkan benda yang tergantung pada pinggang patung Setan Menandak, yang dimaksudkannya 'gandum'! Corn dalam arti jagung' untuk kita di sini, di Inggris disebut maize. Kata itu berasal dari bangsa Indian Amerika, dan artinya memang jagung."
"Indian?" kata Mr. Clay lambat-lambat.
"Betul, Sir," kata Jupiter lagi. "Jagung berasal dari Amerika. Orang Eropa, dan juga orang Mongol belum pernah melihat jagung, sampai Columbus menemukan Amerika - hampir tiga abad setelah patung Setan Menandak yang asli dibuat, pada tahun 1240 Masehi! Jadi pada pinggang patung yang asli mestinya tergantung seberkas tanaman gandum, dan patung yang kita lihat musnah dimakan api tadi patung yang palsu!"
Selama beberapa waktu, semua yang berada dalam pondok itu tidak berbicara sama sekali.
"Tapi kenapa?" kata Mr. Clay kemudian. "Untuk apa tiruan itu dibuat? Siapakah orang yang memakai kostum Setan Menandak itu?"
Jupiter berpaling, memandang Walter Quail.
"Bagaimana, Mr. Quail?" katanya. "Anda bersedia menjawab pertanyaan majikan Anda?" Air muka pria itu langsung menjadi pucat. "Saya... saya... Tidak, saya tidak bisa -"
"Tiruan!" tukas Chiang Pi-Peng dengan tiba-tiba. Matanya yang sipit menyala-nyala. "Untuk menipu aku! Menipu negaraku! Barang tiruan yang hendak diserahkan pada negaraku!"
"Saya rasa begitulah kenyataannya," kata Jupiter. "Agar Setan Menandak yang sejati tidak jadi dikembalikan ke Cina. Mr. Chiang bukan ahli seni, jadi karena itu pasti takkan sadar bahwa ia menerima barang palsu. Tapi para ahli di tanah airnya pasti akan tahu. Jadi karenanya tiruan itu harus dimusnahkan dengan dilihat orang banyak, agar tidak ada yang sadar bahwa patung Setan Menandak yang asli sebenarnya masih utuh."
"Quail!" bentak Mr. Clay. "Kalau ini perbuatanmu -"
"Bukan, bukan Quail," kata Jupiter, "walau sebenarnya sejak semula ia tahu apa sebenarnya yang terjadi." Pemimpin Trio Detektif itu berpaling dengan cepat. "Begitu kan, Jim?" "Aku?" seru Jim Clay. "Kau... kau sinting!" Mr. Clay terbelalak. "Jim? Maksudmu... anakku yang - ?"
"Betul, Jim inilah sosok Setan Menandak," kata Jupiter dengan wajah serius. "Dan Jim pula yang menyuruh tiruan patung asli dibuat. Saya mestinya sudah langsung bisa menduga bahwa ia terlibat, begitu kami untuk pertama kalinya berjumpa dengan Quail. Quail saat itu benar-benar kaget ketika mendengar bahwa patung itu lenyap - mungkin karena tidak lama sebelumnya ia masih melihatnya. Tapi ketika kami tahu-tahu muncul di rumah Anda, Mr. Clay, Jim terpaksa buru-buru menyembunyikannya lalu mengatakan bahwa patung itu dicuri orang. Sebab kalau tidak begitu, kami akan tahu bahwa patung itu ada dua!"
"Kau keliru!" kata Jim Clay. Ia masih mencoba menangkis tuduhan. "Aku sejak tadi kan terkurung terus di sini!"
Jupiter menggeleng.
"Ketika aku tadi pergi ke belakang pondok ini, aku melihat papan-papan dinding yang longgar karena kaubuka, agar bisa masuk kembali setelah muncul sebagai Setan Menandak. Kecuali itu aku juga menemukan ini." Disodorkannya pending kostum Setan Menandak. Pada pending itu ada sebuah kantung kecil. Jupiter mengguncang-guncangkan kantung itu, dan sebatang kapur tulis jatuh dari dalamnya!
"Jejak-jejak berupa tanda tanya kauteruskan membuatnya ketika kau sudah memakai kostum Setan Menandak - tapi kemudian kau lupa membuang kapur ini!"
Jim Clay memandang semua yang ada dalam pondok itu satu demi satu, lalu berpaling menatap ayahnya.
"Aku melakukannya untukmu, Ayah! Supaya Setan Menandak tetap jadi milikmu! Supaya kau tidak usah menyerahkannya pada orang Cina!"
Pemuda itu terhenyak ke lantai, sementara Mr. Clay hanya bisa menggeleng-geleng sedih.

Bab 21
Mr. HITCHCOCK NYARIS TERGODA

BEBERAPA hari kemudian, ketiga anggota Trio Detektif mendatangi Alfred Hitchcock di kantornya. Sutradara film terkenal itu duduk di balik meja kerjanya yang besar, membaca laporan yang disusun oleh Bob tentang kasus mereka yang terbaru. Selesai membaca, Mr. Hitchcock memandang mereka dengan kening berkerut.
"Jadi Jason Wilkes disuap untuk membantu Jim Clay mengecoh kalian, dalam usahanya mempertahankan Setan Menandak agar tetap jadi milik ayahnya?"
"Mulanya belum, Sir," kata Jupiter menjelaskan. "Rencana Jim yang semula adalah menyerahkan patung tiruan pada Mr. Chiang, lalu mengambilnya kembali dengan jalan mencuri, dan kemudian memusnahkannya sementara pejabat Cina itu melihatnya. Tapi ketika kami kemudian ikut terlibat, Jim memutuskan untuk memakai kami selaku saksi pemusnahan patung tiruan itu."
"Keputusan yang ternyata mencelakakan dirinya sendiri," kata sutradara itu. Matanya memancarkan rasa geli.
"Ya, kan?" kata Jupe sambil tertawa kecil. "Beberapa kali Jim berubah pikiran mengenai kami, tapi akhirnya mengambil keputusan yang keliru!"
"Apa lagi maksudmu?"
"Yah, mula-mula, ketika Jim membantu pencuri bertubuh kecil itu mencari patung tiruan yang hilang di lingkungan tempat kediaman Pete, ia berusaha menakut-nakuti kami, supaya kami gentar dan tidak ikut campur dalam urusannya. Tapi kemudian, setelah ternyata bahwa ia seorang diri tidak berhasil menemukan patung itu, ia lantas terpaksa membiarkan kami mencari, agar dengan begitu patung itu bisa ditemukan. Setiap kali kami kelihatannya hampir berhasil, selalu saja ia mencoba menakut-nakuti kami, agar ia bisa lebih dulu mengambil patung itu."
"Ia benar-benar mengira sudah berhasil, ketika gelandangan yang dikenal dengan julukan Mayor mengatakan bahwa ia menjual patung itu pada Fritz Hummer," kata Pete menyela.
"Itulah sebabnya kenapa kami dikurung dalam perahu pesiar itu," sambung Bob.
"O ya?" kata Mr. Hitchcock. "Bagaimana cara Jim Clay melakukannya?"
Jupiter melanjutkan ceritanya.
"Ketika ia pergi untuk mengambil mobilnya yang diparkir agak jauh dari tempat mangkal para gelandangan dekat tempat pembuangan sampah, ia cepat-cepat menelepon si pencuri untuk menyuruhnya menjebak kami dalam perahu motor itu - yang sebenarnya milik ayahnya. Tapi ketika Jim kemudian tiba di toko loak Fritz Hummer, ternyata bahwa pencuri yang menjadi kaki-tangannya sudah lebih dulu tahu bahwa patung itu tidak ada lagi di situ. Jadi Jim lantas terpaksa membebaskan kami, supaya kami bisa membantu melacak jejak patung itu lagi. Begitu kami sampai di rumah Jason Wilkes, dengan Hummer selaku penunjuk jalan yang tidak menyadari hal itu, Jim merasa pasti bahwa ia akhirnya berhasil juga. Saat itulah ia memutuskan untuk memakai kami untuk terakhir kalinya, selaku saksi pemusnahan patung. Ia tidak tahu bahwa ayahnya sedang berada dalam perjalanan pulang ke Rocky Beach malam itu, bersama Mr. Chiang. Kami disingkirkannya untuk sementara, lalu Wilkes dibujuknya dengan uang agar mau bersandiwara guna mengelabui kami, lalu setelah itu ia melanjutkan dengan aksinya menipu kami. Wilkes disuruhnya mengurung kami di kolong, lalu ia sendiri menelepon Quail, untuk berjaga-jaga apabila kami ternyata tidak bisa dengan kemampuan sendiri membebaskan diri. Setelah itu ia membuat jejak berupa rangkaian tanda tanya, lalu menyiapkan peranannya sebagai Setan Menandak di ngarai, dengan maksud agar kami menjadi saksi saat patung yang palsu dimusnahkan."
"Padahal patung itu memang sudah dilumerkan terlebih dulu, sebelum dimasukkan ke dalam karung," kata Bob. "Untuk itu ia menggunakan alat las," kata Pete menambahkan.
"Tapi begitu saya sadar bahwa patung itu tiruan," kata Jupiter menyambung cerita, "saya juga langsung tahu, yang ada di balik segala peristiwa yang terjadi pasti Jim. Cukup banyak waktunya ketika tidak ada bersama kami, untuk mengatur penyekapan kami baik di perahu maupun di rumah Wilkes. Ketika Pete melihat Setan Menandak muncul di rumah Wilkes, Jim sedang tidak bersama kami, menurut dia karena sedang sibuk mengamat-amati Hummer. Saat itu hubungan antara kami dengan dia hanya lewat walkie-talkie saja! Dan Jim pula yang mendesak agar kami semua membawa kapur tulis."
"Ia juga mengatakan tidak tahu apa-apa tentang seni Benua Asia, tapi ketika di rumah Wilkes ternyata bahwa ia tahu," kata Bob.
Alfred Hitchcock mengangguk.
"Serentetan kekeliruan kecil, yang berhasil kalian kupas maknanya," kata sutradara itu. "Tapi bagaimana dengan Walter Quail? Ia tahu apa sebetulnya yang terjadi, tapi ia tidak berbuat sesuatu untuk mencegah perbuatan Jim Clay, anak bandel itu!"
"Ia tidak sanggup, Sir," kata Jupiter. "Ia asisten Mr. Clay yang taat, dan ia tidak ingin Jim terjerumus dalam kesulitan. Ia melihat Jim ketika pemuda itu sedang bersama si pencuri yang bertubuh kecil. Karena itulah ia kemudian melakukan pengintaian. Maksudnya hendak mencegah Jim berbuat sembrono. Tapi di pihak lain, ia juga ingin melindungi pemuda itu. Jadi ia tidak bisa mengatakan apa-apa, pada siapa pun juga. Bisanya cuma berusaha mencegah perbuatan Jim."
"Jadi anak bandel itu tahu bahwa Quail takkan mengadu pada polisi atau memberi tahu siapa pun juga, dan kenyataan itu disalahgunakan olehnya," kata Mr. Hitchcock menarik kesimpulan. "Benar-benar bandel pemuda itu!"
"Saya rasa lebih cocok jika dikatakan anak manja, Sir," ujar Bob menilai. "Ia tahu, Mr. Clay sebenarnya enggan melepaskan Setan Menandak. Ia ingin menyenangkan hati ayahnya. Dikiranya Mr. Clay pasti senang. Mungkin sebenarnya Mr. Clay yang keliru mendidik Jim."
"Mungkin juga," kata sutradara terkenal itu. "Jadi rahasia terbongkar karena jagung, ya? Ternyata ada gunanya memiliki pengetahuan sejarah. O ya, apakah pencuri yang juga seniman itu sementara ini sudah tertangkap?"
"Sudah, Sir," kata Pete. "Ia mengaku, memang dialah yang membuat patung tiruan itu." "Lalu bagaimana selanjutnya nasib pelaku-pelaku dalam kasus kalian yang ini?"
"Mr. Clay mengatakan, ia tidak bermaksud mengajukan mereka ke pengadilan," kata Bob. "Ia juga berhasil membujuk Mr. Chiang untuk tidak melakukannya. Tapi Jim akan dikirimnya ke salah satu ladang minyaknya yang di luar negeri, disuruh bekerja di sana - sebagai buruh kasar, dan dengan gaji yang lazim diterima buruh biasa!"
"Untuk memberi pelajaran padanya, bahwa jika mengingini sesuatu, kita perlu bekerja keras secara jujur," kata Jupiter menjelaskan.
"Sementara itu seniman yang merangkap pencuri, begitu pula Jason Wilkes saat ini sedang diteliti oleh anak buah Chief Reynolds, sehubungan dengan perbuatan mereka yang lain-lain, karena barangkali saja ada di antaranya yang melanggar hukum," kata Bob.
"Kalau begitu masa depan mereka tidak bisa dibilang cerah," kata Mr. Hitchcock dengan nada puas. "Masih ada satu hal lagi, Sahabat-sahabatku yang cerdas - aku tahu seluk-beluk penggunaan bahan-bahan kimia untuk menimbulkan nyala api dan asap dalam aksi Setan Menandak, tapi bagaimana cara Jim Clay menyebabkan karung tiba-tiba terbakar, padahal ia saat itu berada di tempat yang cukup jauh dari situ?"
"Sebelumnya karung itu sudah dipasangi sumbu ledak yang bekerja dengan isyarat gelombang radio," kata Jupiter. "Di universitas, Jim mengambil mata kuliah ilmu kimia dan elektronika sebagai mata kuliah utama."
"Kita harapkan saja pengetahuannya itu di kemudian hari akan dipergunakannya untuk tujuan yang lebih baik," kata Alfred Hitchcock mengomentari. "Lalu apa yang kemudian terjadi dengan Setan Menandak yang asli? Apakah berhasil ditemukan dalam keadaan utuh, dan kini sudah dalam perjalanan untuk dikembalikan ke tempat asalnya, di Cina?"
"Selama ini patung itu ada dalam kolong rumah Mr. Clay," kata Pete sambil membungkuk, untuk mengambil sebuah tas jinjing yang terletak di lantai. "Tapi mungkin Anda ingin melihat wujudnya, sebelum dibawa pulang oleh Mr. Chiang."
Dibukanya tas berwarna hitam itu, lalu diletakkannya sebuah patung berukuran kecil di atas meja kerja Mr. Hitchcock. Patung itu berwarna hijau kemilau diterangi sinar lampu ruangan. Ia dalam posisi menandak-nandak.
"Hebat," ujar Alfred Hitchcock sambil memandang dengan kagum. "Bayangkan, benda itu pernah dipegang oleh Khan Yang Agung, dari Gerombolan Kencana! Cepat simpan kembali dan bawa pergi dari sini, sebelum aku tergoda untuk memilikinya!"
Pete memasukkan patung syaman Mongol yang menandak-nandak itu ke dalam tas, lalu ketiga remaja itu keluar sambil nyengir.
Ketika sudah sendiri di kantornya, Mr. Hitchcock tersenyum. Bahkan Setan Menandak pun ternyata bukan tandingan Trio Detektif. Ia bertanya-tanya, kapankah ketiga sahabatnya yang remaja itu akan menjumpai lawan yang sebanding? Mungkinkah dalam kasus yang berikut?