Trio Detektif - Misteri Teka-Teki Aneh(2)



 Bab 9
BERKENDARAAN DARI SEORANG TEMAN

"Ada orang membuntuti kita!" kata Jupiter.

Saat itu mereka tinggal satu blok lagi dari depo bis di pusat kota Rocky Beach. Sejak dari tempat penimbunan barang bekas, mereka terus bersepe-n secepat-cepatnya. Tidak satu kali pun mereka menoleh ke belakang, sampai ketika terpaksa berhenti karena lampu lalu lintas sedang menyala merah.
"Mana dia?" kata Bob sambil memandang berkeliling dengan sembunyi-sembunyi. "Aku
tidak melihat siapa-siapa." "Sekarang bersembunyi di balik sebuah mobil
yang sedang diparkir," kata Jupiter. "Orang itu naik
sepeda, memakai topi aneh serta mantel seperti
jubah! Kalau lampu sudah hijau lagi, kita masuk ke jalan samping!"
Begitu lampu lalu lintas menyala hijau, ketiga remaja itu membelok ke kanan, lalu memacu sepeda mereka di jalan samping itu. Di sekitar tengah-tengah blok itu ada sebuah gang. Dengan
tempat mereka masuk ke situ lalu bersembunyi di belakang beberapa buah tong sampah. Mereka menunggu sambil mengintip ke jalan.
Ternyata orang yang naik sepeda dengan pakaian aneh itu ikut masuk ke jalan samping itu Tubuhnya yang kecil tapi gemuk terbungkuk bungkuk di atas setang sepeda. Orang itu memakai mantel jubah berwarna hitam, serta topi aneh seperti pet yang berlidah sebelah depan dan belakangnya!
"Pakaiannya seperti yang biasa dipakai detetif Sherlock Holmes," bisik Pete.
"Astaga!" seru Jupe tiba-tiba, lalu berdiri. "Billy Towne! Kenapa kau ada di sini?"
Anak yang disapa itu kaget. Sepedanya membentur sebuah mobil yang diparkir di tepi jalan, sehingga ia jatuh terguling, ia berusaha bangkit, tapi terhalang sepeda dan mantel jubah yang berjela-jela. Kakinya menyepak-nyepak menyingkirkan mantel yang merintangi. Sesudah berhasil berdiri, ia menegakkan tubuhnya selurus mungkin.
"Aku membantu kalian! Masa bodoh apa yang kalian katakan!"
"Dengan pakaian seperti itu?" Pete tertawa.
"Ini kan pakaian yang biasa dipakai detektif kata Billy dengan sengit.
"Bagaimana kau sampai bisa menemukan kami?" tanya Jupe ingin tahu.
"Aku membuntuti kalian," kata Billy dengan bangga. "Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, lalu mengawasi tempat kalian berkumpul. Wah, kedua Percival tadi marah sekali, ya? Tapi kalian sekarang kenapa ada di sini? Kalian sedang mengikuti salah satu petunjuk yang kalian temukan, ya?" "Jangan terlalu banyak bertanya, Billy," kata jupe. "Ayo, kita terus." Diambilnya sepedanya, lalu kembali ke persimpangan yang tadi. "He, mau ke mana kita?" seru Billy sambil berusaha mengikuti.
"Kau akan kami antarkan pulang," kata Jupiter dengan lesu. "Kami tidak bisa menangani kasus dan mengawasi keselamatanmu sekaligus!" "Aku tidak mau-"
Sebuah mobil Jaguar membelok masuk ke jalan samping itu, lalu berhenti. Roger Callow bergegas keluar dari kendaraan mewah itu.
"Rupanya kau di sini, Billy!" kata pengacara hukum itu. "Ibumu marah sekali." Roger Callow tersenyum ke arah Trio Detektif, "ia langsung Menduga ke mana anak ini pergi, ketika tahu-tahu ia menghilang. Untung saja kalian mengatakan
pada bibi Jupiter ke mana kalian hendak pergi, coba kalau tidak, aku takkan mungkin bisa
menemukan dia."
"Aku tidak mau pulang!" kata Billy. "Aku bekerja sama dengan mereka!"
"Billy," kata Jupiter, "Cecil dan Winifred Percival berhasil mengetahui bahwa kami bertiga bekerja untuk kalian. Mereka juga sudah mengetahui bahwa logat berima merupakan kunci jawaban teka-teki mendiang Dingo. Dari mana mereka bisa tahu? Karena kau yang mengatakannya pada mereka! Pegangan yang paling penting dalam bekerja sebagai detektif ialah jangan sekali-sekali bicara sembarangan, Billy. Kau melakukan keke liruan yang sangat besar!"
"Maaf, Jupiter," kata Billy. "Tapi aku saat itu marah sekali, ketika keduanya mengata-ngatai ibuku. Aku takkan berbuat kekeliruan lagi, Sungguh, aku berjanji!"
"Sayang, Billy," kata Jupiter. "Aku sendiri menyesal, tapi kau lebih banyak merugikan daripada membantu. Lebih baik kau ikut pulang saja dengan Mr. Callow."
Dengan murung Billy lambat-lambat mendo rong sepedanya ke mobil Roger Callow. Sementara pengacara hukum itu memasukkan sepeda itu ke dalam mobil, ia bertanya,
"Sudah ada kemajuan, Anak-anak?"
"Itu sudah jelas," kata Pete menyombongkan diri. "Sebentar lagi bait dua dari teka-teki aneh itu pasti sudah bisa kami uraikan artinya."
"Bagus! Sementara ini aku sudah sibuk mengurus persoalan surat wasiat itu di pengadilan dan semakin cepat kumpulan batu permata itu ditemukan, itu lebih baik bagi kita. Untungnya kebanyakan pemburu harta karun itu kini sudah menyerah. Kita harus tetap berhubungan, Anak anak."
"Baik," kata Bob.
Setelah itu Roger Callow dengan Jaguarnya meninggalkan tempat itu. Billy menoleh ke belakang, memandang Trio Detektif dengan sedih Ketiga remaja itu melanjutkan perjalanan ke depo bis. Anak yang menelepon mereka sudah menunggu di ambang pintu bangunan yang bersebelahan letaknya dengan depo. ia sengaja memilih tempat itu, supaya tidak terlihat oleh Skinny.
"Aku menemukan mobil itu sekitar satu jam yang lalu," kata anak itu, namanya Fred Merkle. "Anak yang kalian cari itu sepanjang pagi ini tidak henti-hentinya naik bis. Pengawas keberangkatan di situ yang mengatakannya padaku. Sampai sekarang ia sudah menempuh dua rute, dan sekarang akan berangkat lagi naik bis yang menempuh rute ketiga."
Seakan-akan hendak menegaskan keterangan Fred, saat itu sebuah bis muncul dari dalam depo dan lewat di depan anak-anak. Mereka cepat-cepat mundur, agar jangan sampai terlihat. Mereka melihat Skinny duduk di bagian depan-dengan air muka geram.
"Wah, nampaknya dia jengkel sekali," kata Pete.
"Kurasa ia tidak berhasil menemukan apa yang dicarinya," kata Fred Merkle. "Aku sudah bicara dengan pengemudi kedua bis yang sudah
dinaikinya, dan kedua-duanya mengatakan bahwa Skinny menanyakan apakah dalam rute mereka ada sesuatu yang namanya berima dengan kata teman. Dengan friend!" Anak laki-laki itu nyengir.
"Nah, aku harus pergi sekarang. Asyik juga tugasku
tadi."
"Terima kasih, Fred," kata Jupiter. "Nanti apabila kami mendapat hadiah, kau pasti akan kebagian."
Ketika asisten 'Hubungan Hantu ke Hantu' itu sudah pergi, Bob merenung.
"He, Jupe," katanya setelah beberapa saar "apakah yang ditunjuk laras pistol yang dipegang patung cowboy, sehingga Skinny mendatangi depo bis ini?"
"Kurasa itu sudah jelas sekarang, Bob," kata Jupiter. "Benda yang berima dengan 'Nyonya dari Bristol' itu mestinya semula teracung ke arah halte bis di jalan taman. Kau tentunya ingat, letaknya kan tidak jauh dari patung itu. Dan dengan kata 'berkendaraan' dalam bait petunjuk, bahkan Skinny pun mampu menarik kesimpulan bahwa kata itu pasti ada hubungannya dengan bis."
"Tapi kenapa lantas harus datang kemari?" tanya Bob lebih lanjut. "Kenapa tidak naik bis dari halte taman itu?"
"Dan apa sebabnya Skinny sekarang mondar mandir naik bis?" tambah Pete.
Jupiter berpikir sebentar.
"Kurasa cuma ada satu jawaban atas kedua pertanyaan itu, Teman-teman," katanya. "Coba kita teliti jadwal rute bis-bis yang ada di dalam."
Ketiga remaja itu masuk ke dalam, lalu mendatangi papan jadwal perjalanan bis.
"Seperti sudah kusangka," kata Jupiter, "ternyata ada tiga bis yang melewati halte taman di atas gunung itu!"
"Jadi Skinny tidak tahu rute mana yang dimaksudkan dalam teka-teki Dingo," kata Bob.
"Dan kita juga tidak!" keluh Pete. Tapi ia pasti memaksudkan satu rute tertentu saja," kata Jupe sambil mengerutkan kening, "dan dengan salah satu cara, itu merupakan petunjuk yang akan mengarahkan kita pada bait ketiga. Jadi ada sesuatu dalam bait kedua yang memberi tahu hal itu."
Pemimpin Trio Detektif yang bertubuh gempal itu mengeluarkan salinan sajak teka-teki itu dari
kantungnya:

"Above- the apples and pears all alone the Lady from Bristol rides from a friend."

"Mungkinkah nomor rute salah satu bis itu yang berima dengan kata friend?" tanya Pete.
"Rute 'sepuluh', rasanya cocok. Ten-friend," kata Bob, tapi dengan segera ia menyambung, "Tidak, kedua itu tidak tepat berima. Padahal harus tepat. Jupe, dalam buku-buku tentang logat berima yang kauteliti, kau tidak menemukan kata yang berima dengan rides from a friend?"
"Tidak," jawab Jupiter. "Jadi kata 'teman'
mestinya kata logat berima yang tidak begitu dikenal, atau hasil karangan Dingo sendiri. Atau mungkin juga sama sekali tidak termasuk logat berima! Kurasa ini merupakan salah satu tipuan Dingo lagi. Petunjuk ini dimaksudkannya secara harfiah. Bis yang kita cari ini bis yang sebenarnya.
Dengan bis itu ia biasa mendatangi seorang teman yang benar-benar ada. Kurasa teman yang biasa didatangi olehnya. Jadi mestinya ada yang bisa mengatakan siapa yang dulu biasa didatangi oleh Dingo. Kurasa-"
Jupiter tertegun. Matanya terkejap. Tahu-tahu Winifred Percival sudah berdiri di dalam depo, di depan ketiga remaja itu. Keponakan Dingo yang kurus itu kelihatannya seakan-akan ketakutan
"Kurasa kau benar, Anak muda," kata wanita itu "dan kurasa kau tahu siapa 'teman' yang dimaksudkan dalam teka-teki Dingo. Mungkin aku bisa menebus kesalahanku pada kalian."
"Awas, Jupe," kata Pete, "ini pasti-"
"Siasat licik?" kata Winifred memotong, ia mengangguk. "Aku tidak bisa menyalahkan kalian jika kalian merasa curiga terhadapku. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku dipaksa Cecil untuk ikut dengan dia. Aku takut padanya, karena wataknya yang kasar. Tapi aku harus berusaha mencegah perbuatannya, demi keselamatannya sendiri."
"Mencegah Cecil?" kata Jupiter dengan sikap waspada.
"Ya, dengan jalan mengusahakan agar ada orang yang lebih dulu berhasil memecahkan teka-teki itu, lalu menemukan harta yang disembunyikan! Aku tadi datang ke tempat penjualan barang-barang bekas untuk minta maaf serta mengajukan tawaran untuk membantu kalian. dan wanita yang katanya bibi salah seorang dari kalian tadi baik hati, karena ia mau mengatakan ke mana kalian pergi. Dari dia aku tahu bahwa kalian ke sini. Aku tidak mau lagi membantu Cecil, biarpun dia mengancamku."
"Wah," kata Pete. "akan sampai hatikah dia menyakiti Anda?"
"Cecil tega berbuat apa saja." Winifred bergidik. "Itulah sebabnya kenapa aku harus menolong kalian mendului dia. Maukah kalian menerimanya? Aku tidak tahu mana tepatnya alamat 'teman' yang dimaksudkan oleh Dingo, tapi aku bisa membawa kalian ke sana."
Kening Jupiter berkerut.
"Siapakah 'teman' itu, Miss Percival?" tanyanya.
"Yah..." wanita itu memandang Jupiter, "kau yang bernama Jupiter, ya? Dan kalian berdua Bob dan Pete?"
Anak-anak mengangguk, sambil terus mengawasi Winifred dengan perasaan sangsi. Wanita itu tersenyum.
"Baiklah. Nah, Paman Dingo semasa hidupnya suka bermain catur dengan seseorang yang bernama Pollinger."
"Dan kalau ke rumah orang itu, Dingo naik bis?" tanya Pete.
"Betul, tapi aku tidak tahu bis yang mana."
"Kalau begitu, di manakah tempat tinggal Mr. Pollinger?" tanya Bob.
"Di daerah perbukitan, di belakang taman yang bersebelahan dengan rumah Dingo," jawab Winifred.
Jupiter mengangguk. Ke daerah perbukitan itulah tujuan ketiga rute bis.
"Mungkin Mr. Pollinger itulah 'teman' yang dimaksudkan dalam teka-teki," katanya. "Tidak ada salahnya jika mencobanya. Bagaimana caranya kami bisa pergi ke rumah orang itu?"
"Kalau naik sepeda jaraknya terlalu jauh Anak-anak," kata Winifred Percival. "Jika kalian mau percaya padaku, kalian bisa kuantarkan dengan mobil. Tapi jika kalian tidak mau, aku juga bisa mengerti."
"Yah-" kata Jupiter agak ragu.
"Kurasa aku bisa menjelaskan letak rumah Mr Pollinger itu dengan cukup jelas," kata Winifred "atau bisa juga aku ikut naik bis dengan kalian untuk membuktikan bahwa aku tidak berniat menculik kalian." ia tersenyum.
Ketiga remaja itu berpandang-pandangan.
"Kalau naik mobil, kita bisa menghemat waktu,' kata Pete.
Akhirnya Jupiter mengambil keputusan.
"Waktu penting sekali dalam kasus ini," katanya. "Baiklah, kami terima tawaran Anda."
"Syukurlah," kata Winifred. "Mobilku ada di tempat parkir depo ini. Sepeda-sepeda kalian bisa ditinggal di situ."
Jupiter dan kedua temannya meyakinkan dulu bahwa tidak ada orang lain dalam mobil Winifred sebelum mereka naik. Mereka duduk dengan sikap siaga sementara mobil meluncur lewat Kebun Raya dan taman umum, menuju suatu daerah pemukiman yang terserak di perbukitan, terdiri dari rumah-rumah berukuran kecil. Setelah beberapa waktu, Winifred menuding sebuah jalan samping yang sempit.
"Kurasa di jalan itulah tempatnya, Anak-anak," katanya.
Ketegangan Jupiter dan Pete agak mengendur sementara mobil memasuki jalan sempit yang diterangi sinar matahari musim semi. Mobil itu kemudian dihentikan di depan sebuah rumah kecil bergaya pedesaan.
"Ini dia tempatnya!" kata Winifred Percival.
Anak-anak bergegas turun, lalu memandang berkeliling. Tempat itu indah. Di mana-mana terdengar kicauan burung.
Bob yang masih tetap berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan, berseru memanggil-manggil,
"Mr. Pollinger! Mr. Pollinger? Bisakah kami bertanya sedikit tentang Mr. Marcus Towne?"
Setelah sunyi sebentar, terdengar suara seorang tua yang lemah menjawab dari dalam rumah.
"Tentang siapa? Maksudmu Dingo? Aku selalu mengalahkan dia dalam setiap permainan! Ayo, masuklah!"
Anak-anak bergegas masuk, sementara Jupiter sudah mulai nyerocos.
"Dingo dulu selalu naik bis kemari, ya? Pernahkah ia mengatakan sesuatu tentang bis itu, serta tentang 'bola benang'?"
Seorang pria yang kelihatannya sudah tua berdiri di dekat sebuah rak buku yang terdapat di sisi seberang ruangan. Orang itu membelakangi anak-anak. Kini ia berbalik lambat-lambat.
"Wah, wah, anak-anak konyol yang suka mencampuri urusan orang lain, ternyata muncul juga!"
Pria itu ternyata tidak tua. Dan ia juga bukan Mr. Pollinger, melainkan Cecil Percival! Orang itu tertawa jelek, sambil mengacung-acungkan tong-katnya yang berat ke arah anak-anak. Dan di belakang mereka, Winifred Percival menghadang di pintu depan!

Bab 10
PENGEMUDI UGAL-UGALAN

Winifred menyergah Trio Detektif, "Kalian kira aku mau melepaskan apa yang merupakan hak kami, hah?!"
Pete dan Bob begitu kaget, sehingga tidak mampu menjawab. Tubuh Jupiter gemetar karena marah. Tapi ia diam saja, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kau berhasil, Winifred! Bagus!" kata Cecil. sambil menyeringai ke arah anak-anak.
Winifred tertawa
"Mereka terlalu jujur dan bersemangat," katanya. "Siapa pun bisa menipu mereka!"
"Kami hebat ya, menciptakan tokoh Mr. Pollinger?" kata Cecil dengan bangga. Pria gendut itu menggosok-gosokkan kedua belah tangannya, untuk menunjukkan kepuasannya. "Kau-!" sergah Pete dengan sengit. "Ck, ck, ck, tahanlah kemarahanmu," kecam Cecil. "Aku kan sudah mengatakan, kalian merecoki kami. Ini bukan berarti bahwa aku dan Winifred tidak menghargai pekerjaan kalian sejauh ini. Sama sekali bukan begitu! Tapi sekarang kami akan menemukan 'teman' yang sebenarnya,

begitu pula kata yang berima dengan 'bo|a benang', lalu menguraikan rentetan teki-teki yang masih tersisa. Sedang kalian boleh tetirah di pegunungan-terkurung dalam rumah ini!" Cecil terkekeh-kekeh geli. "Kalian akan aman di sini Rumah ini benar-benar terpencil letaknya, jadi jangan repot-repot berteriak minta tolong. Kami menyewanya untuk waktu satu bulan-tapi mu dah-mudahan saja kalian tidak perlu selama itu mendekam di sini!"
"Sudahlah," kata Winifred memotong. "Baga mana, kita giring sekarang anak-anak ini ke tempat mereka?"
Cecil mengangguk, lalu mengangkat tongkat nya seperti hendak menggiring anak-anak. Kedua Percival bersaudara bergerak maju, menghampiri Trio Detektif.
"Berpencar!" teriak Jupiter dengan tiba-tiba. Bob dan Pete langsung menanggapi aba-aba pemimpin mereka. Ketiga remaja itu dengan seketika lari memencar ke tiga arah, dengan gerakan yang tak terduga-duga. Mula-mula menuju ke jendela, pintu ke ruangan lain, dan bahkan ke arah kedua Percival, tapi kemudian dengan tiba-tiba berbalik dan lari menjauh. Kedua penculik mereka berusaha menangkap, tapi sia-sia belaka-karena itu seperti mencoba menangkap nyamuk beterbangan. Ketiga remaja itu bergerak kian kemari dengan cepatnya-dan tahu-tahu mereka sudah menghilang. Mereka lari lewat pintu depan, pintu belakang, dan juga jendela, meninggalkan Cecil dan Winifred dalam keadaan bingung, sehingga selama sesaat mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Pete lari paling depan, lewat jalan sempit lalu masuk ke jalan yang menuju ke kota. Sambil lari ketiga remaja itu memandang ke kiri dan ke kanan, mencari rumah atau semak yang bisa dijadikan tempat bersembunyi. Tapi daerah di situ lapang, tidak ada apa-apanya. Jadi mereka terpaksa terus berlari.
Dari arah belakang terdengar bunyi ban mobil berdecit-decit Bob menoleh sekilas. Dilihatnya mobil Winifred membelok keluar dari jalan sempit, memasuki jalan yang menuju kota!
"Jupe!" katanya gugup. "Mereka mengejar!"
"Lari lintas alam," teriak Pete.
Dengan gerakan serempak ketiga remaja itu melesat menyeberang jalan, melompati parit, lalu lari melintasi sebuah lapangan. Di belakang mereka terdengar decitan ban, disusul bunyi berdentang-dentang. Anak-anak menoleh ke belakang dengan cemas, karena mengira akan melihat mobil Percival mengejar mereka, ikut melintasi lapangan. Tapi yang nampak sama sekali
kan itu!
Mobil yang dinaiki kedua pengejar mereka ternyata terperosok ke dalam parit, di sisi kiri jalan! Kaca depan kendaraan itu berantakan, sedang salah satu bannya pecah. Cecil Percival terhuyung keluar dari mobil, lalu mengacung-acungkan

tongkatnya ke arah sebuah mobil biru yang melaju menjauhi tempat itu.
"Astaga, apa yang baru saja terjadi di sana?" tanya Pete, sambil memperhatikan Cecil yang terpincang-pincang ke sisi kiri mobil untuk menolong Winifred keluar.
Jupiter memandang mobil yang satu lagi, yang dengan cepat menjauh.
"Kasus tabrak lari, kelihatannya," katanya "Kurasa mobil biru itu tadi menyusul mobil Percival, lalu terlalu cepat masuk lagi ke jalur kiri, sehingga Percival terdesak ke pinggir. Tapi mobil itu, rasa-rasanya aku pernah melihatnya. Ada yang, melihat orang yang duduk di dalamnya?"
"Kalau tidak salah lihat, isinya ada dua orang," jawab Bob. "Yang menyetir nampaknya bertubuh besar. Laki-laki bertubuh besar."
"Lagi-lagi manusia raksasa itu!" kata Pete kaget.
"Mungkin," kata Jupiter, "tapi bisa juga cuma seorang pengemudi ugal-ugalan, yang sedang ngebut."
"Yah, siapa pun orangnya, kita tertolong oleh perbuatannya itu," kata Pete.
"Boleh juga, sekali-sekali," kata Bob. "Biasanya orang-orang yang tidak kita kenal berusaha merintangi kita!"
"He, lihatlah!" seru Pete sambil menuding.
Winifred dan Cecil nampak terpincang-pincang dijalan, menuju ke rumah kecil yang mereka sewa. Kedua orang itu menoleh sekali lagi ke arah anak-anak. Cecil menggerak-gerakkan tongkatnya

dengan sikap mengancam. Tapi saat itu ia sudah tidak berdaya lagi.
Anak-anak tertawa lega, lalu bergegas-gegas menuju kota. Sekali-sekali mereka menoleh sebentar ke belakang, untuk meyakinkan diri bahwa kedua Percival bersaudara tidak mengejar, tapi pria gendut serta saudara perempuannya yang bertubuh kurus sudah tidak kelihatan lagi.
Jupiter berjalan sambil menendang-nendang kerikil jalanan.
"Bisa-bisanya aku ditipu wanita itu!" gumamnya sebal. "Aku mestinya ingat apa yang dikatakan Roger Callow-kedua Percival itu sudah sejak sepuluh tahun yang lalu tidak pernah lagi melihat Dingo. Mereka boleh dibilang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan mendiang Dingo di sini." Jupiter paling tidak suka keliru. Dan dalam menghadapi kasus kali ini, itu sudah beberapa kali terjadi. ia merasa malu.
"Sudahlah, Jupe," kata Pete menghibur, "cerita-nya memang meyakinkan, sih! Dan rumah itu kan memang berada di tempat yang sesuai dengan sangkaan kita tentang di mana tempat tinggal teman Dingo. Menurut pendapatku, kedua Percival tadi memang kebetulan saja bernasib mujur." "Tapi sekarang mereka tidak lagi mujur!" kata Jupiter, yang sudah mulai riang kembali. "Bukan saja tidak bermobil lagi-dan kemungkinannya akan mengalami kesulitan dengan perusahaan di mana mereka menyewa kendaraan itu-tapi mereka juga akan mengalami kerepotan dalam usaha menyelidiki siapa sebenarnya 'teman' yang dimaksudkan oleh Dingo!" "Kenapa begitu?"
"Soalnya, yang paling besar kemungkinannya mengetahui siapa saja teman-teman Dingo adalah Mrs. Towne, Billy, dan Mr. Callow. Dan mereka takkan mungkin mau mengatakannya pada kedua Percival bersaudara!"
"Tapi pada kita, mereka akan mengatakannya, kata Bob bergairah.
"Betul," kata Jupe sependapat. "Ayo, sekarang ini juga kita mendatangi Mrs. Towne. Kita cari dulu halte bis di dekat-dekat sini."
Mereka segera sampai di sebuah jalan raya Tidak jauh dari situ anak-anak melihat sebuah halte bis. Tapi sebelum ada bis yang muncul, ibu salah seorang teman sekelas mereka kebetulan lewat dengan mobil. Wanita itu berhenti, lalu mengajak mereka ikut dengan dia.
Ketiga remaja itu membonceng sampai ke tempat tinggal Dingo, lalu mendatangi rumah yang didiami Mrs. Towne bersama Billy. Hanya wanita itu saja yang mereka temui di situ.
"Billy sedang merajuk di belakang, dan Roger harus ke Los Angeles setelah mengantar Billy pulang," kata Mrs. Towne menjelaskan. "Aku baru saja hendak makan siang. Kalian menemani aku ya, sambil menceritakan perkembangan terbaru
Sambil makan, Bob bercerita tentang apa yang baru mereka alami. Nelly Towne marah sekali "Benar-benar tamak Cecil dan Winifred itu

Kalian jangan mau mempercayai mereka," katanya.
"Jangan khawatir," kata Pete, "itu takkan pernah terjadi lagi!"
"Kami rasanya sudah menemukan makna petunjuk terakhir dari bait kedua," kata Jupe. "Kata 'berkendaraan' rupanya benar-benar berkendara-an, ke 'seorang teman' yang benar-benar ada. Menurut Anda, siapa kiranya 'teman' itu?" Mrs. Towne berpikir sebentar. "Teman baik Dingo hanya ada dua orang, yaitu Jack Dillon dan Sadie Jingle. Sadie tinggalnya di dekat sini. Tidak perlu berkendaraan, karena bisa berjalan kaki. Jadi mestinya Jack-lah yang dimaksudkan! Dingo dulu memang biasa naik bis sekali atau dua kali seminggu, pergi ke rumah Jack. ia naiknya dari situ, di depan rumah." "Dillon itu yang mendaftarkan surat wasiat aneh"
kata Jupiter. "Jadi pasti dia yang dimaksudkan dengan kata 'teman'! Di mana tempat tinggalnya?"
"Satu atau dua mil sesudah taman umum, di sebuah pondok yang terletak di suatu jalan samping. Dari jalan raya tidak bisa dilihat. Tapi di tepi jalan ada papan namanya, yang bisa dilihat dengan jelas dari atas bis. Bis nomor delapan." Setelah mengucapkan terima kasih pada Mrs. Towne, Jupiter mengajak kedua sahabatnya buru-buru pergi ke halte bis yang terdapat di seberang jalan. Ketika sampai di trotoar seberang, tahu-tahu Jupiter berhenti. Nyaris saja Bob menubruknya.

"Kenapa sih, Jupe?" kata Bob dengan kesal "He, kalian berdua," ujar Jupiter. Matanya bersinar-sinar. "Kurasa aku tahu makna petunjuk itu. Rasanya aku tahu apa yang harus kita carl apabila sudah berada dalam bis!"

Bab 11
BOLA BENANG KESEPULUH

Wow!" seru Pete bergairah. "Apa itu, Jupe?"
"Coba dengar baik-baik," kata Jupiter sambil mengeluarkan salinan teka-teki. "Kubacakan bait
ketiga:
At the tenth ball oftwine, you and me see our handsome mug ahead."
Jupiter tertawa lebar.
"Apakah yang sering terlihat kalau kita sedang naik bis, dan namanya berima dengan ungkapan ball of twine? Sesuatu yang menurut Mrs. Towne
di bisa kita lihat dari atas bis?"
"ia tadi mengatakan, pondok tempat tinggal jack Dillon tidak kelihatan dari jalan raya," kata Pete mengingat-ingat. "Setahuku ia tidak-"
"Tapi kita bisa melihat papan namanya!" seru Bob memotong.
"Ya, dan papan nama merupakan semacam Tanda pengenal. Tanda-sign. Twine-sign! Kedua kata itu berima!" kata Jupiter. "Mendiang Dingo dulu selalu naik bis dengan nomor rute yang sama untuk mendatangi teman yang itu-itu juga, sedang petunjuk berikutnya adalah 'bola benang kesepuluh', tenth ball of twine, yang bisa dilihat dari atas bis itu! Ternyata kita sama sekali tidak perlu mendatangi Jack Dillon, Teman-teman! Kita cukup menghitung tanda-tanda yang nampak dalam perjalanan dengan bis dari rumah Dingo menuju ke pondok tempat tinggalJack Dillon! Dan tanda kesepuluh, itulah yang dimaksudkan dengan 'bola benang kesepuluh'!"
Anak-anak tidak sabar lagi menunggu kedatang an bis nomor delapan. Akhirnya kendaraan umum itu muncul, dan berhenti di halte depan rumah Dingo. Anak-anak bergegas naik, lalu mulai menghitung papan-papan tanda yang terpasang di pinggir jalan yang dilewati. Dari Kebun Raya, bis itu" menuju pusat perbelanjaan. Di situ membelok, menyusur Kebun Raya dan taman umum, lalu terus mendaki daerah perbukitan. untungnya memasuki kawasan yang letaknya jauh dari rumah yang disewa oleh kedua Percival bersaudara.
Ketika sudah delapan tanda petunjuk yang dihitung, Bob menggeleng-geleng dengan wajah kurang enak.
"Ada sesuatu yang tidak beres, Jupe," katannya
Tanda kedelapan yang nampak sejak kepe rangkatan dari halte di depan rumah Dingo, ternyata papan nama Jack Dillon, terpasang di ujung jalan samping yang menuju ke tempat tinggalnya! Bis berhenti di situ.
"Ya, memang," kata Jupiter dengan lesu. "Apa sih yang tidak beres?" tanya Pete dengan

heran. "Kita kan belum sampai ke tanda yang kesepuluh!"
"Justru itulah yang tidak beres, Pete," ujar Bob menjelaskan. "Rasanya tidak mungkin yang dimaksudkan oleh Dingo adalah tanda yang ada setelah ia turun dari bis!" "Aku mengganggu sebentar, Anak-anak" Ketiga remaja itu kaget, lalu mendongak. ternyata pengemudi bis yang menyapa, ia berdiri di depan mereka. Ketiga remaja itu begitu sibuk dengan persoalan mereka, sehingga tidak menyadari bahwa pengemudi itu beranjak dari tempatnya dan mendatangi para penumpang.
"Kalian masing-masing harus menambah sepuluh sen lagi," kata pengemudi bis. "Hah?" Pete melongo.
"Mulai dari sini tarif bis naik," kata orang itu menjelaskan. "Jika kalian ingin terus, harus menambah sepuluh sen lagi."
"Apaan!" kata Pete sambil beranjak hendak berdiri. "Kami turun di sini!"
"Sebentar, Dua!" kata Jupe sambil menarik temannya itu agar duduk kembali. "Lebih baik kita terus saja dulu sampai terlihat tanda kesepuluh, karena siapa tahu, kan? Jangan lupa, Dingo itu banyak tipu dayanya." ia mengambil uang tiga puluh sen dari kantungnya, yang kemudian diserahkan pada pengemudi bis.
Bis berangkat lagi. Tidak lama kemudian nampak tanda kesepuluh-yang ternyata merupa-kan tanda larangan masuk di ujung lintasan keluar dari jalan bebas hambatan! Jupiter menggeleng geleng. Tangannya bergerak ke atas, hendak menarik tali isyarat untuk memberi tanda pada pengemudi bahwa mereka akan turun pada halte berikut.
"Jangan tarik!" seru Pete. ia menunjuk ke luar, Sebuah mobil baru yang masih mulus kelihatan diparkir di pinggir jalan dekat lintasan keluar dari jalan bebas hambatan. Winifred dan Cecil Percival berdiri di depan papan lalu lintas tanda larangan masuk. Kedua orang itu sedang bertengkar seru Sewaktu bis melintas di depan mereka, anak-anak melihat Cecil menendang tanda itu, lalu terpin cang-pincang menjauh sambil memegang ujung kakinya yang dipakai untuk menendang!
"Aduh," keluh Bob, "mereka sudah mulai beraksi lagi."
"Tapi mereka juga tidak berhasil menemukan tanda yang dimaksudkan," ujar Pete sambil nyengir.
"Memang," kata Jupe, "tapi rupanya sudah mengetahui makna sebenarnya dari ungkapan 'bola benang kesepuluh'. Dan juga sudah menduga bahwa 'teman' yang dimaksudkan oleh Dingo itu Jack Dillon-karena namanya tertera di surat wasiat selaku saksi! Kita terus saja dulu sampai ke halte yang satu lagi, tapi setelah itu kita harus cepat-cepat."
Pada halte selanjutnya, yang tidak kelihatan dari tempat kedua Percival sedang berada, anak-anak turun. Pete memperhatikan bis yang meneruskan

perjalanan, lalu mengangkat bahu dengan sikap lesu.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" katanya.
"Ini sebenarnya soal gampang," kata Jupiter. "Tanda kesepuluh mulai dari rumah Dingo letaknya sesudah pondok kediaman Dillon, dan karenanya sama sekali tak berarti. Jadi tinggal satu saja jawabannya. Dingo kan menulis, 'berkendaraan dari seorang teman'. Kita waktu itu kan sudah heran, apa sebabnya ia menggunakan kata 'dari'. Ingat tidak? Sekarang kita tahu sebabnya, ia memaksudkan tanda kesepuluh dalam perjalanan pulang, dari pondok Dillon!"
"Ya, tentu saja!" kata Bob. "Di sisi seberang jalan. Kita naiki bis yang kembali ke arah kota!"
Ketika bis datang dan mereka sudah naik, ketiga remaja itu langsung harus membayar tarif yang lebih tinggi.
"Ini pemerasan namanya!" keluh Bob, sambil mengeruk kantung untuk mengambil sepuluh sen lagi. "Mestinya kita tadi kembali saja ke depo, untuk mengambil sepeda-sepeda kita."
"Jangan mengomel, karena memang sudah begitu peraturannya jika menggunakan jasa angkutan umum dari tempat yang begini jauh di luar kota," kata Jupe dengan nada menguliahi. "Sekarang kita harus waspada. Sambil menghiitung tanda-tanda yang dilewati, kita juga harus berjaga-jaga terhadap Cecil dan Winifred."
Tapi ketika bis melintas di depan lintasan keluar dari jalan bebas hambatan, kedua Percival bersaudara sudah tidak ada lagi di situ. Kini anak-anak mulai memperhatikan tanda-tanda di pinggir jalan. Begitu tanda yang menunjukkan tempat tinggal Jack Dillon sudah dilewati, mereka pun mulai menghitung.
Kali ini tanda kedelapan sudah nampak jauh sebelum bis tiba di tujuan akhir. Tanda itu terpasang dekat halte bis di taman umum. Sedang tanda kesembilan merupakan tanda lalu lintas yang memberi isyarat pada pengendara mobil agar menurunkan kecepatan. Tanda itu terpasang di depan sebuah tikungan, sebelum jalan menurun ke arah waduk dan bendungan.
"Kurasa tanda kesepuluh itu pasti terdapat di tengah taman, atau di Kebun Raya!" seru Pete.
"Ya, betul," kata Jupiter membenarkan penda pat itu. "Nampaknya pencarian memang harus dilakukan di sekitar taman."
Sementara bis masih terus meluncur menuruni bukit, ketiga remaja itu mencondongkan tubuh ke depan, tidak sabar menunggu munculnya tanda berikut. Dan kemudian nampaklah yang ditunggu tunggu.
"Wah," kata Pete.
"Hh," dengus Bob.
"Aku... aku... tidak mengerti-" ujar Jupe terbata-bata.
Tanda kesepuluh mulai dari pondok kediaman Jack Dillon ternyata merupakan papan batas wilayah daerah dan kota Rocky Beach. Pada papan itu tertera kata-kata:

SELAMAT DATANG di
ROCKY BEACH

"Tidak mungkin tanda ini yang dimaksudkan Dingo, Jupe," kata Bob.
"Ya, memang tidak mungkin," kata Jupiter lambat-lambat. "Rupanya ada sesuatu yang keliru dalam penafsiran kita, Teman-teman."
Tiba-tiba Pete berseru,
"Bukan kita saja yang keliru! Lihatlah!"
Sebuah mobil merah yang tidak asing lagi bagi ketiga remaja itu diparkir di pinggir jalan. Dan Skinny Norris nampak sedang sibuk menggali tanah di sekeliling papan tanda batas kota. Kalau lilihat banyaknya lubang yang nampak, rupanya Skinny sudah agak lama juga menggali-gali di situ. Wajah remaja itu merah karena kesal. Ketika bis lewat, ia mencampakkan sekopnya, lalu menatap papan tanda sambil mendelik.
"Setidak-tidaknya kita tahu bahwa Skinny juga tidak menemukan apa-apa," kata Bob.
"Belum," kata Jupiter dengan geram, "tapi sampai sekarang kita harus tetap waspada terhadap dia, Teman-teman. Kita harus adu cepat dengan dia, dan juga dengan Percival bersaudara."
"Tapi sekarang bagaimana selanjutnya?" tanya Bob. "Di manakah kekeliruan kita?"
"Aku tidak tahu," jawab Jupiter. "Tapi aku yakin, ini pasti salah satu tipuan Dingo lagi. Kita harus kembali ke bait kedua, dan menyelesaikan penafsiran bagian yang kita lewati-yaitu mendatangi Jack Dillon!" Dengan kesal ditariknya tali pemberi isyarat untuk berhenti.
Setengah jam kemudian ketiga remaja itu sudah berada di jalan samping yang menuju ke rumah Jack Dillon. Di ujung jalan itu ada sebuah pondok reyot yang dindingnya dibiarkan tanpa cat. Di depannya ada pekarangan lebar beralas tanah. Anak-anak melintasi pekarangan itu. Tiba-tiba Pete berteriak. "Awas! Tunduk!" Sebuah benda aneh yang kelihatannya seperti burung besar melayang dengan laju di udara, langsung menuju kepala-kepala mereka!

Bab 12
JACK DILLON

Benda itu menyambar ke bawah, berkilat-kilat kena sinar matahari. Kelihatannya mirip pesawat luar angkasa kecil, berbentuk seperti huruf V!
Benda itu turun meluncur ke arah anak-anak... tapi tiba-tiba membubung, melayang lewat di atas kepala mereka, mengitar dengan membentuk lengkungan lebar, lalu menghilang di balik pondok.
"Apa... apa itu?" kata Pete. Dadanya terasa sesak.
Dari arah belakang pondok terdengar suara orang tertawa keras. Seorang laki-laki tua bertubuh kecil dan berambut panjang beruban muncul, lalu menghampiri anak-anak. Orang itu mengenakan jaket pemburu, celana panjang dari kain tebal, serta
sepatu bot seperti yang biasa dipakai pekerja tambang. Tangan kanannya menggenggam ben-da aneh tadi, yang berbentuk seperti huruf V.
"Kalian tadi setengah mati ketakutan, ya?" Orang itu terkekeh, sambil menggerak-gerakkan benda yang nampaknya berat dan terbuat dari kayu itu ke arah anak-anak. "Dengan ini, kanguru sejauh lima puluh meter bisa tamat riwayatnya!"
"Bumerang!" seru Bob. "Itu bumerang!" "Kami tadi bisa cedera karenanya!" tukas Pete.
"Ah, mana mungkin," kata lelaki bertubuh kecil itu dengan mata berkilat-kilat jenaka. "Dengan bumerang ini, Jack Dillon mampu dengan tepat membidik mata uang sepuluh sen! Pada zamanku dulu, aku ini pelempar bumerang yang paling jago di Queensland. Tidak ada yang mampu menan dingi."
"Kalau Anda melemparkan, selalukah kembali lagi ke Anda?" tanya Bob.
"Ya, kalau tahu cara melemparkannya, Anak muda," kata Jack Dillon.
"Dan jika tidak mengenai sasaran yang dibidik," kata Jupiter menambahkan. "Mulanya, bumerang digunakan untuk melempar sesuatu. Orang-orang Aborigin, penduduk asli Australia, dulu mengguna kannya untuk berburu dan berperang."
"Ya, kata anak gendut ini benar. Anak pintar rupanya," kata Jack Dillon. Tapi kemudian sinar matanya berubah. "Sekarang, mau apa kalian kemari?"
Bob dan Pete hendak menjelaskan siapa mereka.
"Aku tahu siapa kalian," kata Dillon memotong "Kalian ini yang membantu Nelly Towne dan Callow mencari harta peninggalan Dingo. Kenapa aku kalian datangi? Aku tidak tahu, di mana harta itu. Kalau tahu pun, takkan kukatakan di mana!"
Jupiter, yang paling benci jika ada yang menyebut dirinya anak gendut, menjawab dengan sikap kaku,
"Menurut kami, Anda tahu jawaban atas salah satu petunjuk dalam syair teka-teki itu. Anda tahu

walau Anda sendiri mungkin tidak tahu bahwa Anda tahu."
"Begitu, ya? Nah, jika Dingo dari semula ingin agar Nelly Towne mewarisi hartanya, ia pasti akan langsung saja menyerahkannya pada menantunya itu. Tapi ia membuat surat wasiat yang baru, lalu aku disuruhnya mendaftarkan wasiat itu ke pengadilan jika ia meninggal dengan tiba-tiba, lalu-"
"Maksud Anda, Dingo sudah memperkirakan akan mati dengan tiba-tiba?" seru Bob.
"Bukan begitu yang kukatakan. Kondisi jantungnya payah, dan banyak obat-obatan yang harus ditelannya. Waktu itu ia boleh dibilang cuma mengulur waktu ajalnya saja. Tapi kami berdua memang sudah biasa hidup menghadapi berbagai mara bahaya. Sewaktu remaja sama-sama suka menyamun, kemudian beralih menjadi penambang batu mulia. Aku tidak mau menolong siapa pun juga menebak makna surat wasiatnya yang terakhir."
"Menurut Anda, wasiat itu bukan lelucon?" kata Jupe.
"Dingo memang suka berkelakar, dan wasiat itu memang lelucon yang kocak." Jack Dillon terkekeh-kekeh. Kemudian matanya menyipit. "Sedang apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya, aku tak mau mengatakannya!"
"Barangkali Anda sendiri yang ingin memiliki harta itu!' kata Pete dengan sengit. "Anda pasti paling tahu tentang logat berima yang dipakai oleh Dingo!"
"Jaga mulutmu, Anak muda!" bentak Dillon. "Sahabat tetap sahabat, biarpun sudah mati. ia dulu selalu bersedia membantu sahabatnya. Aku tidak menginginkan hartanya. Kecuali itu, aku memang mengenal logat yang dipakainya, tapi tidak semua rima dalam surat wasiat itu."
"Anda pasti mengetahui sesuatu yang penting," kata Jupiter berkeras. "Tentang kunjungan yang secara teratur dilakukan oleh Dingo kemari, ia-"
"Sudah kukatakan tadi, aku tidak sudi membantu Nelly Towne!" tukas Jack Dillon.
"Maaf," kata Jupiter dengan tenang, "Dingo pasti menghendaki agar Anda membantu siapa saja! Soalnya, salah satu petunjuk pada wasiat itu menyuruh siapa saja yang hendak mencari hartanya, agar mendatangi Anda. Saya yakin. Dingo ingin bersikap adil dengan wasiatnya itu Kami ini hanya berbuat sesuai dengan petunjuknya."
"Yah... memang, kurasa kau memang benar! Si Tua yang banyak akalnya itu pasti menginginkan agar permainan ini berlangsung secara adil-dan ia pada akhirnya akan tetap menang!" Dillon terkekeh lagi. "Rasa-rasanya aku seperti bisa mendengar dia tertawa, asyik menikmati segala keributan ini dari tempat di mana ia sekarang berada. Tapi baiklah, tanya saja apa yang ingin kalian ketahui."

"Yah-" kata Jupiter memulai, "sejauh ini teka-teki itu sudah kami telusuri sehingga kami sekarang berada di sini. Kami juga sudah tahu, ball of twine berarti sign, suatu tanda tertentu di pinggir rute bis yang dulu biasa dipakai Dingo dalam perjalanan pulang dari sini."
"Ya, itu masuk akal. Aku tidak tahu bahwa 'bola benang' merupakan logat berima untuk kata 'tanda', tapi kedengarannya memang cocok. 'Kau dan aku' berarti 'cangkir teh', 'kesulitan dan pertengkaran' merupakan kiasan dari kata 'istri', sedang 'Ned tua' berarti 'tempat tidur'. 'Apel dan pir' serta 'botol dan sumbat' merupakan ungkapan-ungkapan yang sudah biasa. Tapi ungkapan-ungkapan berima yang lain-lainnya, aku sedikit pun tidak bisa membayangkan makna yang sebenarnya," kata Dillon. Matanya yang biru berkilat-kilat jail. "Tapi mendiang Dingo memang suka sekali mengarang-ngarang istilahnya sendiri, serta menggunakan ungkapan-ungkapan yang pernah didengar, mungkin lima puluh tahun yang lalu di salah satu tempat terpencil di pedalaman Australia. Jadi sama sekali tidak bisa dipastikan mana yang merupakan ungkapan berima, dan mana yang bukan!" Jack Dillon tertawa.
"Ya, bisa saja begitu," kata Jupiter dengan tampang sebal, ia tidak suka ditertawakan, hampir sama tidak sukanya kalau disebut gendut. "Tapi Kami cukup yakin, Dingo memaksudkan agar kami menaiki bis yang selalu ditumpanginya dalam perjalanan antara rumahnya dan tempat tinggal Anda ini, sedang tanda kesepuluh yang kami lihat merupakan petunjuk."
"Kalau begitu kenapa tidak kalian ikuti saja petunjuk itu?" tukas Dillon. "Kenapa harus merecoki diriku?"
"Kami sudah melakukannya," kata Pete dengan murung, "tapi tanda kesepuluh yang kami lihat tidak mungkin merupakan petunjuk. Baik kalau naik bis dari rumah Dingo ke arah sini, maupun dari sini ke rumahnya-kedua-duanya tidak mungkin."
"Begitu, ya?" kata Dillon, lalu nyengir. "Pak Tua "itu licin sekali, ya?"
"Ya," kata Jupe membenarkan, "jadi pasti ada sesuatu yang istimewa mengenai cara Dingo dulu naik bis. Sesuatu yang menurut saya hanya Anda saja yang tahu, Mr. Dillon."
"Begitu menurut pendapatmu? Apa ya kiranya sesuatu yang istimewa itu?" Mata pria bertubuh kecil itu bersinar jenaka lagi.
"Saya rasa sekarang Anda pasti sudah tahu Mr. Dillon," kata Jupiter.
"Wah, kau ini ternyata memang sungguh sungguh anak pintar," kata Jack Dillon, lalu mengangguk. "Ya, memang ada sesuatu yang istimewa dalam cara Dingo dulu mengendarai bis. Kalau kalian kenal dia, kalian takkan heran.'
"Apa caranya yang istimewa itu?" tanya Bob
Dillon tertawa geli.
"Semasa hidupnya mendiang Dingo selalu penuh perhitungan^ kalau harus mengeluarkan

uang," katanya. "Kebetulan halte bis di depan itu merupakan batas terakhir di mana kita harus membayar tarif yang lebih tinggi, kalau hendak ke kota. Jadi untuk menghemat uang sepuluh sen, Dingo dulu selalu berjalan kaki ke halte yang berikut, dan dari situ baru naik bis ke kota!"
Anak-anak melongo, mendengar penjelasan itu.
"Jadi maksud Anda, tanda kesepuluh itu harus kami hitung mulai dari halte berikut? Bukan dari halte yang di depan itu?" kata Pete, yang paling dulu pulih dari keheranan.
"Ya, kurasa itulah yang dimaksudkan oleh Pak tua yang licin seperti belut itu," kata Dillon sambil meringis.
Anak-anak masih bisa mendengar suara lelaki tua itu tertawa, sementara mereka bergegas-gegas lari menuju halte bis.
"Kita mestinya sudah bisa menebaknya sendiri," kata Jupe, "karena tepat di sinilah pengemudi bis yang kita tumpangi dari arah kota tadi meminta tambahan pembayaran. Sialan!"
"Dan kalau kita sekarang naik dari sini, pasti juga akan ditarik pembayaran ekstra," kata Pete mengingatkan. "Lebih baik kita berjalan saja dulu ke halte berikutnya, seperti yang biasa dilakukan oleh Dingo!"
"Setuju!" kata Bob.
Dalam perjalanan dari halte di depan pondok Dillon menuju ke halte berikut, anak-anak hanya melihat satu papan tanda saja di pinggir jalan.
"Itu berarti tanda yang dimaksudkan adalah yang nampak sesudah tulisan 'Selamat Datang-itu," kata Bob.
Mereka naik bis yang datang tidak lama kemudian. Dan mereka kembali menghitung hitung papan tanda yang dilewati. Bis melewati daerah taman umum. Skinny sudah tidak lagi kelihatan menggali-gali di sekitar papan tanda dengan tulisan 'Selamat Datang di Rocky Beach Jupiter dan kedua sahabatnya memandang dengan tegang ke arah depan, sementara bis melewati Kebun Raya, dan kemudian pos polisi daerah. Tapi tidak ada lagi papan tanda yang terpasang di pinggir jalan.
Bis membelok, memasuki jalan di mana terdapat rumah Dingo... dan sedikit di depan tampak sebuah papan dengan tulisan:

PUSAT PERBELANJAAN FAIRVIEW
Belok Ke Kiri di Sini

"Aduh, ini kan sama saja dengan yang lain-lainnya!" keluh Pete. "Masa kita harus mencari di dalam pusat perbelanjaan!"
"Aku yakin, ini pasti tanda yang kita cari," kata Jupe sambil menarik tali pemberi isyarat berhenti "Petunjuk berikut harus kita cari di dalam tempat ramai itu."
Anak-anak berlompatan turun dari bis, lalu menyeberang jalan dan menuju ke pusat perbe
lanjaan itu. Tempatnya sangat luas, dengan pasar swalayan yang besar, restoran-restoran serta kedai-kedai minum, begitu pula toko-toko kecil yang berderet-deret. Ketiga remaja itu memandang berkeliling. Ketiga-tiganya mengeluh.

Bab 13
BAHAYA MENGHADANG!

"Ini pasti tanda yang keliru lagi," ujar Bob dengan lesu, sambil memperhatikan suasana di pusat perbelanjaan itu.
"Dan kalau tidak," kata Pete menambahkan "inilah akhir dari perburuan harta yang meng asyikkan."
"Mungkin saja kita tadi salah menghitung," kata Bob berharap, "atau mungkin juga tidak melihat tanda kecil yang terdapat antara tanda kesembilan dan tanda yang di sini."
"Tidak," kata Jupiter. "Aku yakin, tanda penunjuk ke pusat perbelanjaan inilah yang harus kita cari. Kita sudah mengetahui kebiasaan Dingo? kalau hendak naik bis, dan kita tadi juga sudah menghitung dengan seksama. Jadi petunjuk berikut pasti terdapat di tempat ini."
"Di sini? Di mana?" Bob mendesah, sambil memandang toko-toko yang berjejer di depannya.
"Teka-teki Dingo sejauh ini sudah kita telusuri dengan benar," kata Jupiter. "Kini mulai nampak suatu pola tertentu. Jika suatu petunjuk sudah mengarahkan kita ke salah satu tempat, maka petunjuk berikutnya mengatakan apa yang harus kita cari di tempat itu."

Pemimpin Trio Dektektif bertubuh gempal itu mengeluarkan salinan surat wasiat dari kantungnya.
" 'Teman' yang dimaksudkan di sini menyuruh kita datang ke 'bola benang kesepuluh', yang ternyata merupakan pusat perbelanjaan ini. Jadi petunjuk selanjutnya dalam bait ketiga pasti mengatakan apa yang harus kita cari di sini."
Jupiter membaca bait ketiga dari syair teka-teki itu dengan jelas:
"At the tenth ball of twine, you and me see our handsome mug ahead."
"Kita sudah tahu, ungkapan 'kau dan aku' itu logat berima yang artinya 'secangkir teh'," kata Bob.
"Hebat," gumam Pete. ia memandang berkeliling, memperhatikan tempat luas yang sedang penuh sesak dengan orang-orang yang hendak berbelanja. "Ada di antara kalian yang melihat secangkir teh menunggu kita?"
"Tidak," kata Jupiter, "tapi aku melihat di mana kita bisa memperolehnya!" ia menuding. "Itu-di sana!"
Bob dan Pete memandang ke arah yang ditunjuk. Di antara sebuah toko yang menjual keju dan toko permadani ada sebuah restoran kecil, bernama The Stratford Tea Shoppe! Mama itu tertulis dengan huruf Inggris Kuno pada sebuah papan yang digantungkan di dinding depan toko itu. Sebagian dinding itu dilapisi papan. Di balik jendela dengan kaca yang kecil-kecil berbingkai timah nampak dipajang sejumlah kue. "Restoran," kata Bob.
"Betul," kata Jupiter, "dan tempat ini hanya beberapa blok saja dari tempat tinggal mendiang Dingo. Aku berani bertaruh, ia dulu pasti sering kemari untuk minum teh."
Mereka mendatangi restoran itu, lalu masuk ke dalam. Tempat itu terdiri dari sejumlah bilik kecil berlangit-langit rendah, persis seperti kedai-kedai tempat minum teh yang asli di Inggris. Di dinding terpajang ikan-ikan yang sudah diawetkan, begitu pula kepala berbagai jenis binatang buruan serta foto-foto berbingkai yang menampakkan pemandangan kota Rocky Beach. Meja-meja kecil di situ penuh sesak dengan orang-orang yang berbelanja. Mereka minum teh, serta menikmati hidangan kue dan berbagai jenis jajanan lainnya.
Seorang gadis pelayan restoran yang cantik menghampiri ketiga remaja itu.
"Barangkali aku bisa membantu, Anak-anak?" kata wanita muda itu menyapa dengan ramah.
Jupiter menjawab dengan suara penuh wibawa.
"Mr. Marcus Towne dulu sering datang kemari, Miss?"
"Ya, betul. Paling sedikit tiga atau empat kali dalam seminggu."
"Dan tentu saja untuk dia tersedia mangkuk yang khusus," sambung Jupiter. "Bolehkah kami melihat mangkuk itu sebentar?"
"Mangkuk?" Pelayan itu kelihatan bingung. "Di sini tidak ada mangkuk khusus untuk dia."
"Kalau begitu rupanya ada mangkuk tertentu di sini, yang disukainya. Bolehkah kami-"
"Kami di sini sama sekali tidak menggunakan mangkuk untuk hidangan teh. Kami memakai cangkir."
"Ti-tidak memakai mangkuk?" kata Jupiter. Jadi... jadi..." Jupiter tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Ia bingung. Padahal tadi ia sudah begitu yakin!
"Tapi barangkali Anda bisa mengatakan apa yang biasa dilakukan olehnya di sini, Miss?" kata Bob menyela. "Maksud saya, ia langganan di sini?"
"Apa yang dilakukan Mr. Towne di sini? Yah-ia dulu biasa datang menjelang sore, seperti saat sekarang ini, memesan Oolong barang dua atau tiga cangkir serta sepotong roti empuk. Sesudah selesai minum, ia langsung pergi."
"Oolong?" kata Pete mengulangi tanpa mengerti.
Ya, itu suatu jenis teh yang berasal dari Cina," kata pelayan cantik itu menjelaskan. "Itu teh terbaik yang kami sajikan di sini. Peminatnya banyak sekali."
Bob berpikir sebentar.
"Ada meja tertentu yang biasa dipilih Mr. Towne, Miss?" tanyanya kemudian.
"Yah, biasanya ia memilih duduk di meja enam. dia selalu duduk di situ, apabila tidak kebetulan
sudah ditempati orang lain."

Jupiter mulai bersemangat lagi.
"Pasti itu dia jawabannya! Meja yang mana itu? Bolehkah kami melihatnya?"
"Boleh saja. Kebetulan sedang tidak ditempati orang," kata wanita itu.
Anak-anak mengikutinya, menuju sebuah meja yang terletak di sudut ruangan. Seekor ikan todak yang besar terpajang di dinding, di dekat meja itu. Pete duduk dengan wajah lesu.
"Dari sini, cuma dinding seberang itu saja yang bisa kita lihat," katanya.
Bob ikut duduk.
"Cuma dinding itu saja yang ada di depan meja ini, Jupe. Dan yang terdapat di situ cuma kepala seekor rusa, sebuah cermin besar, serta dua buah foto berbingkai. Sama sekali tidak ada mangkuk di situ."
"He, Jupe!" kata Pete dengan tiba-tiba. "Kepala rusa itu kan berhidung. Jangan-jangan itu petunjuk yang berikut!"
Jupiter membacakan bait teka-teki keempat:

"One man's victim is another's darlin' follow the nose to the place."

Sekali lagi ia membacakan bait itu,

"Korban bagi yang satu, adalah kekasih bagi yang lain, ikuti hidung ke tempat.
"Rusa yang diawetkan memang bisa disebut 'korban'," katanya melanjutkan, "sedang 'rusa',

deer, bunyinya mirip dengan kata dear, yang merupakan "kata lain untuk darlin', 'kekasih'." "Tapi," kata Bob, "hidung rusa itu hanya mengarah ke meja ini saja. Dan di meja ini sudah jelas tidak terdapat apa-apa yang mungkin merupakan petunjuk!" Jupiter mengangguk dengan lesu. "Tapi barangkali foto-foto itu-," katanya. Ketiga remaja itu menghampiri dinding seberang, lalu memperhatikan foto-foto yang terpajang di situ. Satu di antaranya menampakkan sebuah hotel tua di Rocky Beach yang sudah digusur beberapa tahun yang lalu. Sedang yang satu lagi adalah foto arak-arakan Hari Fiesta yang entah kapan dibuatnya. Jupiter menggeleng.
"Mungkin ada sesuatu yang disembunyikan di bawah meja," kata Bob menduga. Ketiga remaja itu mencari-cari di bawah meja yang dulu biasa diduduki Dingo. Tapi mereka tidak Menemukan apa-apa di situ. Pelayan tadi meman-dang arlojinya.
"Kami sangat sibuk, Anak-anak. Jika kalian tidak berniat memesan apa-apa, sebaiknya pergi saja sekarang."
Ketiga remaja anggota Trio Detektif itu mening-lkan restoran dengan perasaan murung. Se-sementara itu hari sudah malam. Sudah hampir waktu makan malam.
"Aku sudah lapar sekali," kata Pete. "Sudahlah, kita hentikan saja pencarian kita untuk sementara, kita ambil sepeda-sepeda kita, lalu pulang."

"Baiklah," kata Jupiter dengan sedih. "Tapi sebelumnya kita datangi lagi Mrs. Towne. Kedai teh ini mungkin lebih banyak artinya bagi dia dibandingkan dengan kita."
Jarak beberapa blok ke rumah kecil yang didiami Mrs. Towne mereka tempuh dengan berjalan kaki. Wanita itu masih tetap seorang diri saja di rumahnya, ia berdiri di depan jendela, tanpa terlalu memperhatikan cerita Jupiter dan kedua sahabatnya tentang kedai teh yang baru saja mereka datangi.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang restoran kecil itu, Anak-anak," katanya.
"Tapi kalau Oolong, mungkin itu ada artinya yang khusus," kata Bob.
"Apa katamu?" Mrs. Towne bertanya dengan sikap agak linglung. "Maaf, tapi aku sedang menunggu-nunggu Billy. Sejak makan siang tadi ia belum pulang. Oolong, katamu? Itu jenis teh kegemaran mendiang Dingo, dan... nah, syukur lah! Itu Billy datang, bersama Roger!"
ia bergegas membukakan pintu. Billy dan Roger Callow masuk. Billy kelihatan bertampang sebal dan menantang.
"Dalam perjalanan pulang, kebetulan aku melihatnya di pusat perbelanjaan," kata Mr. Callow
"Rupanya ia membuntuti kami lagi," kata Pete
"Jalanan kan bukan milik kalian!" teriak Billy "Aku tadi bukan-"
"Sudahlah, Billy!" kata Mrs. Towne. "Kau kan ta hu apa kataku tentang kau keluyuran seorang diri!"

"Nanti sajalah urusan itu," sela Roger Callow. "Coba kalian ceritakan apa-apa saja yang selama ini sudah berhasil kalian ketahui, Anak-anak. sepanjang hari tadi aku sibuk terus dengan pekerjaanku."
Sementara pengacara hukum itu mondar-mandir dalam ruangan, Jupiter dan kedua temannya melaporkan segala pengalaman mereka sejak mereka bertemu Roger Callow dekat depo bis pagi itu.
"Kalian yakin, di kedai teh itu tidak ada mangkuk?" tanya Roger Callow. "Tentang itu kami yakin sekali," kata Jupiter. "Tapi barangkali Dingo mempunyai sebuah mangkuk tertentu di rumahnya?"
Roger Callow bergegas pergi ke rumah reyot yang dulu didiami oleh Dingo. Semua mengikutinya masuk ke dalam, lalu ikut mencari-cari. Mereka hanya menemukan sebuah mangkuk. Mangkuk itu biasa-biasa saja, berwarna coklat polos dan sama sekali tanpa hiasan atau tanda-tanda tertentu.
"Tidak mungkin ini mangkuk yang dimaksud-kan olehnya," kata Jupiter. "Soalnya, di sini tidak ada apa-apa yang bisa mengarahkan perhatian pada petunjuk berikut Urusan ini benar-benar payah!"
"Ya, memang," kata Roger Callow. Mangkuk di tangannya dibanting dengan kesal ke lantai, sehingga pecah berantakan. Muka pengacara hukum itu memerah.

"Maaf, Anak-anak-tapi aku merasa khawatir Kita harus berhasil menemukan batu-batu perma ta itu dengan segera! Kalau tidak, ada kemungkin an nanti didului kedua Percival bersaudara, atau mungkin juga remaja bernama Norris itu!"
Billy menyela,
"Bu, Kakek dulu kan suka-" "Kau harus mandi sekarang, Anak muda! ayo cepat!"
Roger Callow mondar-mandir di tengah ruangan rumah tua yang penuh debu itu.
"Kata 'mangkuk', adakah kata lain yang berima dengannya?" katanya sambil berpikir-pikir.
"Semua yang kami lihat di kedai teh tadi, tidak ada satu pun yang cocok," kata Jupiter. "Rasanya memang tidak banyak kata yang berima dengan mangkuk."
"Pokoknya kalian harus cepat-cepat menemu kan jawabannya," kata Roger Callow dengan nada tajam. "Kalau tidak, aku akan terpaksa menyewa tenaga detektif yang asli!"
Dengan perasaan murung, ketiga remaja itu meninggalkan rumah Dingo sambil membisu Mereka menuju halte di seberang jalan, untuk naik bis yang akan membawa mereka kembali ke depo Ketika sudah hampir sampai di halte, tiba-tiba Bob tertegun.
"He, Teman-teman-lagi-lagi mobil itu!" seru nya dengan suara tertahan.
Sebuah mobil biru diparkir di seberang jalan Anak-anak mengenal mobil itu. Dan seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar menunduk-runduk di
belakangnya, terlindung di bawah bayangan
pepohonan.
"Ini yang ketiga kalinya, paling kurang," kata Jupiter lirih. "Jadi tidak mungkin lagi disebut ketebetulan. ia pasti mengintai kita, atau-"
"He, Jupe," bisik Pete, "ia tidak seorang diri! Masih ada seorang lagi!"
Seseorang bertubuh kecil menghampiri lelaki tinggi besar itu.
"Kita coba mendengarkan percakapan mereka," kata Jupiter mendesak teman-temannya. "Kita
pura-pura hendak berjalan pulang, tapi kemudian menyelinap lagi ke sana!"
Ketiga remaja itu mendaki bukit yang terdapat di seberang tanah pekarangan Dingo. Begitu sudah melewati puncaknya sehingga tidak kelihatan lagi oleh kedua pengintai tadi, mereka berbalik arah. sambil menunduk-nunduk mereka menyeberangi jalan, dan langsung masuk ke tengah gerumbul pepohonan. Mereka menyelinap-nyelinap menuju ke tempat kedua lelaki tadi. Ketika merasa sudah cukup dekat, Pete mengangkat kepala sebentar.
"Laki-laki raksasa itu sekarang sudah seorang lari lagi!" bisiknya memberi tahu. Tahu-tahu terdengar bunyi ranting patah di belakang ketiga remaja itu. Dengan cepat mereka berpaling. Seorang laki-laki kurus dengan tatap mata galak berdiri di belakang mereka, ia memakai topi yang tepi sebelah depannya ditarik ke bawah sehingga menutupi wajahnya. Jasnya yang berwar-na hitam tidak- dikancingkan, nampak sepucuk pistol terselip dalam sarungnya!
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Suara orang itu tajam, bernada mengancam.
Sementara itu lelaki yang bertubuh tinggi besar muncul di sebelah sana! Orang itu benar-benar besar. Tingginya paling tidak dua meter! Bentuk hidung dan telinganya menunjukkan bahwa orang itu pasti bekas petinju. Apalagi kalau melihat ukuran lengannya, yang nyaris sebesar dahan pohon yang besar!
"Kenapa kalian berdua mengintai kami?!" kata Pete cepat-cepat.
"Siapa bilang kami mengintai kalian?" ujar lelaki yang bertubuh seperu' raksasa dengan suara besar dan serak.
"Kalau begitu untuk apa kalian ada di sini?" balas Bob bertanya.
"Itu urusan kami," kata lelaki yang bertubuh kecil. "Sebaiknya kalian juga begitu, jangan mencampuri urusan orang lain. Sekarang pergi-cepat!"
Dengan gugup ketiga remaja itu lari keluar dari situ, lalu cepat-cepat mendaki bukit lagi. Ketika mereka menoleh sebentar ke belakang, nampak sebuah bis datang. Mereka mempercepat langkah menuju halte berikut, lalu buru-buru naik ke dalam bis. Ketika kendaraan itu sudah berada di pertengahan jalan ke kota, barulah ketiga remaja itu bisa merasa lega.

"Menurut kalian, siapakah kedua orang tadi?" tanya Bob setelah beberapa saat
"Entah, tapi yang kecil membawa pistol di balik Jasnya," kata Jupe. "Jadi mungkin detektif. Tapi bisa juga penjahat! Penjahat yang mencari-cari kumpulan batu permata peninggalan Dingo! Mungkin ada yang menyewa mereka!"
"Cecil dan Winifred Percival?" kata Bob menebak.
"Mungkin saja," jawab Jupiter. "Teman-teman, kita harus berhasil mengetahui makna ungkapan melihat mangkuk bagus kita di depan'! Hm, apa kemungkinannya, ya? See our handsome mugs ahead!"
Dengan adanya bandit-bandit itu," kata Pete sambil mengeluh, "satu-satunya yang kulihat di depan cuma mara bahaya belaka!"

Bab 14
PETE MENEMUKAN
'MANGKUK YANG BAGUS'

Pete menggigit roti panggangnya. Dengan yang itu, sudah lima potong yang dimakannya. Pada hari-hari Minggu, keluarga Crenshaw biasa sarap an agak lambat, disatukan dengan makan siang Ayah dan ibu Pete sedang asyik membaca surat kabar terbitan hari Minggu. Sedang Pete asyik memikirkan kasus terbaru yang dihadapi Trio Detektif. 'Mangkuk bagus'-yang sulit sekali ditebak maknanya.
Penyidikan nampak terhenti sampai di situ saja Malam sebelumnya ketiga remaja itu harus tinggal di rumah masing-masing. Sedang percakapan lewat telepon antara mereka bertiga yang dilaku kan sebelum pergi ke gereja tidak menghasilkan gagasan baru.
"Ayah, kecuali 'mangkuk', apa kiranya arti yang lain dari kata mug?"
"Bagaimana?" Mr. Crenshaw menurunkan halaman surat kabar yang sedang dibaca. "Mug berarti mug, 'mangkuk'." Wajah ayah Pete menghilang kembali di balik halaman surat kabar "Kecuali jika yang kaumaksudkan itu, 'orang yang tidak bermutu'."

"Kalau itu artinya, aku tidak melihat hubungannya," gumam Pete.
Mr. Crenshaw berhenti membaca sebentar.
"Kau tahu pasti, yang kaumaksudkan itu bukan kata mugger? Orang yang merampok setelah memukul jatuh korbannya?"
"Bukan itu! Katanya memang mug" kata Pete sambil mengeluh.
"Yah," kata Mr. Crenshaw dari balik halaman surat kabar, "bagaimana kalau mug shots? Itu-foto-foto tampang para penjahat yang dibuat polisi setelah mereka ditahan."
"Mug shots?" kata Pete. Matanya terpentang lebar. "Itu dia!"
"Apa katamu?" ujar Mr. Crenshaw dari balik surat kabar.
Tapi Pete sudah sibuk menelepon kantor Trio Detektif. Sayang, tidak ada yang mengangkat di sana. Kini ia menelepon rumah Jupiter. Anak itu sendiri yang menerima.
"Aku sudah berhasil mengetahuinya, Jupe!" seru Pete bersemangat. "Cepat, suruh Bob datang ke kantor!"
Pete buru-buru mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, lalu lari ke luar untuk mengambil sepeda. Beberapa menit kemudian ia sudah merangkak masuk ke karavan. Jupiter sudah lebih dulu ada di situ. Tapi Bob belum nampak.
"Sebentar lagi datang," kata Jupiter. "Apa yang berhasil kauketahui, Dua?"
"Arti ungkapan see our handsome mug ahead!" ujar Pete. ia nyengir, lalu duduk "Sekarang aku melihatnya!"
Jupiter terkejap karena heran, lalu memandang berkeliling.
"Di mana?" katanya.
Ketika Pete hendak menjawab, tahu-tahu telepon berdering. Ternyata Mrs. Towne yang menelepon.
"Billy menghilang lagi, Jupiter," kata wanita muda itu dengan cemas. "Tadi pagi ia mengatakan bahwa ia tahu arti kata mug. Setelah itu ia pergi-kurasa ke kedai teh itu. Tapi sampai sekarang belum juga kembali. Aku cemas, sebab kulihat ada beberapa orang berpenampilan aneh berkeliaran di sekitar sini. Dan kalau aku tidak keliru, tadi aku juga melihat mobil kedua Percival di dekat-dekat sini."
"Orang-orang berpenampilan aneh itu, satu di antaranya bertubuh besar tinggi? Hampir-hampir seperti raksasa?"
"Ya, orang itulah yang kami lihat tadi! Aku sudah menelepon Roger, tapi sayangnya ia tidak ada di rumah."
"Dengan segera kami akan pergi ke kedai teh itu," kata Jupiter berjanji. "Billy tadi sempat mengatakan, apa arti kata mug menurut perki raannya?"
"Tidak, ia tidak mengatakannya," jawab Mrs Towne. "Cepat-cepatlah ke sana, Jupiter!" . Jupiter berjanji akan melakukannya. Ketika ia mengembalikan gagang telepon ke tempatnya,

Bob muncul lewat tingkap di lantai kantor. Jupiter menceritakan padanya apa yang baru saja dikatakan oleh Mrs. Towne lewat telepon, lalu menambahkan dengan geram, "Jika terjadi sesuatu dengan Billy, kedua Percival yang akan berhak menerima harta warisan Dingo!" "Tapi apakah jawaban yang ditemukan Pete, tentang makna teka-teki itu?" tanya Bob.
"Aku saat ini sedang memandang barang itu," kata Pete yang masih tetap duduk, sambil nyengir.
"Di mana dia?" Bob memandang berkeliling, seperti yang sebelumnya sudah dilakukan oleh Jupiter.
"Aku hanya melihat meja, dinding, cermin Jupiter yang sudah tua, patung dada pujangga Shakespeare-" kata Bob.
"Ah, sekarang aku mengerti!" seru Jupiter. Wajahnya merah padam, ia paling tidak senang jika ada yang mendului dalam menebak sesuatu. "Mug
juga berarti tampang! Tampang kita yang bagus, yang tampan'! Ini satu keisengan Dingo lagi!"
"Apa maksudmu?" kata Bob. ia kesal, karena merasa dipermainkan.
"Dalam cermin, Bob!" kata Jupiter. "Di situ kita bisa melihat tampang kita! Mug, dalam logat kasar berarti 'tampang'! Di kedai teh itu ada cermin yang berhadapan letaknya dengan meja enam. Melihat mug kita yang tampan di depan, berarti kita harus memandang ke cermin yang ada di depan kita!"
"Kalau begitu cepat-cepat saja kita ke sana, untuk melihat apa yang nampak di situ!" kata Pete.
Ketiga remaja itu bergegas keluar lewat Lorong Dua. Dengan sepeda masing-masing mereka berangkat ke kedai teh yang biasa didatangi Dingo semasa hidupnya. Restoran itu buka, tapi tidak banyak orang di situ. Saat itu memang belum tengah hari. Billy tidak ada di situ.
"Ya, tadi ada seorang anak laki-laki kecil datang kemari, sekitar satu jam yang lalu," kata pelayan cantik yang kemarin juga sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Trio Detektif, "ia duduk di meja enam, dan setelah itu keluar lagi."
"Waktu itu ada orang lain di sini, Miss?" tanya Jupiter.
"Ya, ada! Seorang pria gemuk bersama seorang wanita bertubuh kurus. Mereka masuk tidak lama sebelum kedatangan anak laki-laki itu. Mereka bertanya tentang Mr. Towne, dan sebagai jawaban kusebutkan meja enam. Keduanya lantas duduk di situ. Tapi mereka tidak kelihatan senang. Tidak seperti anak laki-laki itu."
"Terima kasih," kata Jupiter, sambil meman dang kedua temannya.
"Kedua Percival bersaudara," kata Bob mene bak. "Mungkinkah mereka kemudian menyekap Billy?"
"Atau bisa juga membuntuti anak itu," kata Jupiter.
"Sekarang bagaimana cara kita mencarinya,?" kata Pete sambil berpikir-pikir.
"Rupanya Billy berhasil menemukan jawaban teka-teki makna kata mug, Pete! Dan jika ia

kemudian pergi dari sini dengan perasaan senang, maka aku berani bertaruh bahwa itu berarti ia berhasil menguraikan makna petunjuk yang berikut," kata Jupiter. "Jadi kalau kita hendak menemukan anak itu, kita juga harus bisa mengetahuinya!"
Jupiter menghampiri meja enam lalu duduk di situ. Dipandangnya cermin yang terpasang di dinding seberang, sementara Bob dan Pete ikut memandang dari balik bahunya. Yah," kata Jupiter, "dari sini yang kulihat adalah diriku sendiri, dan ikan todak yang terpajang di dinding sebelah atas meja ini, kartu menu tua yang juga dipajang di dinding, dua buah foto lagi, dan... yah, cuma itu saja yang bisa kulihat"
"Coba kaubacakan bait berikut syair teka-teki itu, Jupe," kata Bob menyarankan.
Jupiter membacakan salinan yang selalu dibawa-bawa dalam kantungnya:
"One man's victim is another's darlin', follow the nose to the place."
"Tidak mungkin yang dimaksudkan oleh Dingo, wajah seseorang yang tertentu dalam cermin," kata Bob. "ia kan tidak mungkin tahu, siapa saja yang akan datang mencari kemari."
"Kedua-dua foto itu menampakkan pemandangan pelabuhan," kata Pete, "tapi di situ tidak ada 'korban', dan juga tidak nampak 'kekasih' siapa pun juga. Sedang hidung-yang kulihat hanya hidung kita bertiga saja."
"Bagaimana dengan kartu daftar makanan yang sudah usang itu?" kata Bob.
"Tidak, bukan itu yang dimaksudkan," kata Jupiter lambat-lambat, ia mencubit-cubit bibir bawahnya. Begitulah kebiasaannya kalau sedang sibuk berpikir. "Kurasa aku sudah tahu apa yang merupakan petunjuk di sini-tapi aku harus benar-benar yakin dulu. Ayo!"
Remaja bertubuh gempal itu menghampiri pelayan yang tadi, untuk menanyakan tempat telepon umum.
"Di sini tidak ada," jawab wanita cantik itu. "Coba saja ke pompa bensin, di seberang jalan!"
Pompa bensin itu tidak buka, tapi di luar ada sebuah bilik telepon umum. Jupiter memutar nomor pesawat di rumah Jack Dillon.
"Lagi-lagi kau," kata lelaki tua berlidah tajam itu
"Maaf kalau saya mengganggu," kata Jupiter dengan sopan, "tapi Anda kemarin mengatakan bahwa Anda tidak mengenal semua kata dalam logat berima yang ada dalam teka-teki Dingo Walau begitu mungkinkah Anda bisa mengenali suatu rima, jika saya katakan bahwa itu rima terbalik?"
"Rima terbalik, katamu? Apa lagi maksudmu Anak pintar?"
"Menurut perkiraan saya, Dingo memperguna kan sebuah kata yang ada padanannya dalam logat berima, dan ia menghendaki agar kami menemu kan istilah itu. Maksud saya, sebagai ganti logat berima ia menyebutkan makna kata itu. Jadi kami
harus mengusutnya dengan langkah mundur! Bait ketempat dimulai dengan ungkapan 'korban bagi yang satu, adalah kekasih bagi yang lain'. One
man's victim is another's darlin'. Adalah suatu kata dalam logat berima yang artinya 'kekasih'?
Darling? Barangkali-sesuatu, lalu disambung
dengan marlin?"
Terdengar suara Jack Dillon terkekeh geli. "Jadi itu pun berhasil kautemukan pula?"
katanya.
"Temukan pula?" sambut Jupiter dengan cepat ada orang lain menelepon Anda sebelum saya?"
"Anak kecil itu, Billy Towne-tidak sampai satu jam yang lalu," kata Dillon. "Dingo ternyata banyak akalnya, ya? Betul, Nak, di Australia kekasih seseorang memang bisa disebut briny marlin-nya."
Setelah mengucapkan terima kasih pada lelaki tua itu, Jupiter meletakkan gagang telepon lalu kembali ke kedai teh. Bob dan Pete bergegas-gegas mengikuti.
"Tapi apakah arti kata marlin, Jupe?" tanya Pete ingin tahu.
"Marlin itu sejenis ikan yang besar-ikan todak," jawab Jupiter. "Itu, seperti yang terpajang di dinding kedai!" "Wow!" kata Pete. "Dan hidungnya, panjang
sekali!"
Pelayan yang di kedai teh kelihatan agak jengkel ketika ketiga remaja itu masuk lagi dan langsung menghampiri ikan todak yang dipajang di dinding sebelah atas meja enam. Bob merapatkan mukanya ke dinding, lalu memicingkan mata sambil memandang dengan mengikuti arah tombak yang ada di depan mulut ikan itu.
"Arahnya tepat ke sebuah foto yang ada di depan!"
Anak-anak menghampiri foto berbingkai di dinding depan, di antara sudut ruangan dari sebuah jendela pajangan.
"Wah," kata Pete, "ini kan foto gedung balaikota Rocky Beach! Foto ini memang sudah tua, tapi yang nampak di sini jelas-jelas gedung balaikota.
"Jadi follow the nose to the place artinya," kau Jupiter, "pergi ke tempat yang ditunjuk hidung ikan todak itu-ke balaikota!"
"Ya, di mana orang 'membeli kesulitan dan pertengkaran' mereka! Di Kantor Urusan Perka winan! Itulah sebabnya kenapa Dingo mengatakan 'membeli'!" kata Bob.
"Ya, aku yakin bahwa itulah jawabannya," kata Jupiter sependapat "Billy mestinya sudah ada di sana sekarang. Sebaiknya kita telepon saja Mrs Towne, untuk memberi tahu."
Ketiga remaja itu kembali lagi ke pompa bensin Dengan segera Jupiter mengangkat gagang pesawat Maksudnya hendak menelepon Mrs Towne. Tapi tiba-tiba Pete terkesiap.
"He, Jupe! Bob! Coba dengarkan sebentar!" kata anak bertubuh jangkung itu.
Tangan Jupiter berhenti memutar. Mereka semua mendengarnya. Bunyi aneh, terseret-seret Seperti ada sesuatu yang berat, tergeser pada permukaan yang terbuat dari logam! "Apa-" kata Pete.
"Datangnya dari dalam kantor pompa bensin ini!" kata Bob.
Semuanya memandang ke arah kantor yang tertutup dan sunyi itu. Saat itu mereka mendengar bunyi lain. Suara seseorang yang terdengar samar,
"Tolong! Tolong!"

Bab 15
KELUARLAH KALAU KAU BISA!

Ketiga remaja itu mengintip ke dalam kantor pompa bensin yang terkunci pintunya.
"Aku tidak melihat siapa-siapa di dalam!" kata Pete.
"Tolong! Tolong!"
Seman itu masih tetap terdengar samar-samar "Datangnya dari arah belakang bangunan ini seru Bob.
Di belakang bangunan kantor pompa bensin itu nampak tiga mobil diparkir, serta sebuah mobil boks tertutup. Sementara ketiga remaja itu memandang ke arah sana, terdengar kembali bunyi berat yang kedengarannya seperti ada sesuatu yang terseret.
"Dalam mobil boks itu," kata Pete.
"Tolong!" Suara samar itu terdengar sekali lagi
"Itu suara Billy!" seru Jupiter. "Buka pintu belakang kendaraan itu!"
Pintu belakang mobil boks itu tidak dikunci Begitu anak-anak membukanya, mereka melihat tumpukan tinggi kain terpal yang biasa dipakai oleh para montir apabila sedang bekerja di bawah mobil. Tumpukan terpal itu bergerak-gerak

mengenai sebuah katrol berat yang tergantung pada langit-langit ruangan dalam kendaraan itu, sehingga benda itu menggeser sisi ruangan yang terbuat dari logam!
Jupiter beserta kedua sahabatnya menarik tumpukan terpal ke samping, membebaskan Billy yang meringkuk di bawahnya. Anak kecil itu terikat tangan dan kakinya, sedang kepalanya tersungkup di bawah sebuah karung. Dengan segera ia dibebaskan dari ikatannya, ia berusaha berdiri. Mukanya pucat, tapi ia masih tetap bersemangat.
"Apa yang terjadi tadi, Billy?" tanya Bob.
"Aku ingat, Kakek biasa mengatakan orang itu bertampang jelek, atau bertampang bagus. Gntuk kata 'tampang', ia selalu menggunakan kata mug. Begitu aku teringat, aku lantas bisa menebak petunjuk cermin itu," kata Billy dengan bangga. "Sesampainya di kedai teh kulihat ikan besar yang dipajang di dinding. Aku tahu bahwa itu ikan todak, atau marlin. Aku juga melihat bahwa tombak, atau hidung'-nya menunjuk ke arah foto gedung balaikota. Kemudian kutelepon Mr. Dillon, untuk memastikan bahwa aku tidak keliru. Begitu selesai menelepon, aku mendengar kalian memanggil-manggil namaku."
"Kami memanggil?" kata Pete dengan heran.
"Maksudku, orang yang mengatakan bahwa dia Pete," kata Billy. "Dan begitu aku kemari, orang itu menyungkup kepalaku dengan karung ini, lalu aku ditangkapnya. Aku tidak sempat melihat siapa dia sebenarnya. Tahu-tahu aku sudah tergeletak disini, di bawah tumpukan kain yang berat itu. aku langsung saja menjerit dan menendang-nen dang!"
"Untung saja kau berbuat begitu," kata Pete
'Tadi aku sempat melihat Cecil dan Winifred berkeliaran di sini, begitu pula Skinny Norris," kata Billy mengaku. "Kurasa sewaktu menelepon Mr Dillon tadi bicaraku terlalu keras, sehingga ada yang mendengar hal-hal yang berhasil kuketahui, Lagi-lagi aku melakukan kesalahan!" Wajah anak kecil itu nampak lesu.
"Kau hebat, berhasil menguraikan makna sebagian dari teka-teki itu tanpa bantuan orang lain," kata Jupiter memuji. "Dan kau juga tabah tidak panik dalam menghadapi bahaya. Sudah wajar jika kalau melakukan kesalahan, karena semua juga pernah! Tapi lain kali, ada baiknya jika kau lebih berhati-hati."
"Jadi aku sekarang boleh membantu kalian?, kata Billy dengan nada memohon. "Boleh, ya? Aku berjanji akan sangat berhati-hati, dan mengikuti segala petunjuk kalian."
"Ya..." kata Jupe dengan perasaan sangsi.
"Kenapa tidak?" kata Pete. "Dia kan sudah membuktikan bahwa dia tahan bantingan-dan berhasil menemukan jawaban satu petunjuk, lebih lekas daripada kita bertiga! Biarlah dia ikut, Jupe!"
"Aku sih setuju saja," kata Bob mendukung. Baiklah," kata Jupiter kemudian. "Mulai seka rang kau boleh membantu kami-tapi itu jika ibumu memberi izin."

Dengan segera ia menelepon Mrs. Towne. Wanita muda itu terdengar lega ketika mengetahui bahwa Billy berada dalam keadaan selamat. Tapi ia ragu-ragu, ketika Jupiter menanyakan apakah Billy boleh ikut membantu mereka.
"Anak itu cerdas," kata Jupiter, "dan di samping itu saya rasa jauh lebih berbahaya jika ia berkeliaran seorang diri, Ma'am."
"Benar juga katamu itu," kata Mrs. Towne. "Baiklah, tapi tolong awasi dia, Jupiter Jones."
Jupiter menyampaikan kabar baik itu pada Billy. Setelah itu mereka beramai-ramai mengambil sepeda anak itu, yang ditaruh dekat kedai teh.
Mereka sekarang berempat. Dengan sepeda masing-masing, mereka menelusuri jalan-jalan yang lengang pada hari Minggu itu, menuju pusat kota Rocky Beach. Hanya beberapa orang saja yang nampak sedang berjalan-jalan di sekitar gedung pengadilan dan balaikota. Kedua gedung yang indah itu tetap dibuka, tapi khusus sebagai obyek pariwisata.
Kantor Urusan Perkawinan ternyata merupakan ruang kantor yang sempit. Letaknya di lantai satu, di sudut kiri belakang gedung balaikota. Keempat anak itu masuk ke ruangan yang saat itu sedang kosong. Jupiter membacakan bait kelima teka-teki Dingo:

"Where men buy their trouble and strife, get out if you can."

Billy mengulangi kata-kata itu, seolah-olah ingin menghafalkannya:

"Di mana orang membeli kesulitan dan pertengkaran, keluarlah kalau kau bisa."

Mereka memandang ke sekeliling ruang sempit dan sunyi itu. Jendela-jendela loket yang saat itu tertutup terletak di sebelah kanan, di hadapan dinding belakang gedung balaikota. Di sebelah kiri ada semacam meja panjang tempat orang-orang menulis. Meja itu menjulur sepanjang dinding. Sedang di depan ada bangku kayu yang panjang, dengan sandaran tinggi. Bangku itu ditempatkan di bawah dua buah jendela berterali. Di dinding tergantung kertas-kertas pengumuman resmi serta foto-foto gubernur negara bagian serta walikota.
"Nah," kata Pete, "di sinilah tempat orang membeli istri, maksudku, memperoleh surat izin menikah. Sekarang, barang apakah di sini yang namanya berima dengan get out if you can?"
"Atau mungkin juga rima terbalik," kata Bob. "Atau barangkali ini juga merupakan petunjuk yang tidak termasuk logat berima."
Jupiter berpikir-pikir.
"Kita harus ingat, apa pun makna yang tersembunyi di balik ungkapan 'keluarlah kalau kau bisa' ini, yang jelas itu harus mengarahkan kita pada petunjuk selanjutnya-yang merupakan petunjuk pertama dalam bait keenam, yaitu bait terakhir dalam syair teka-teki Dingo:

"In theposh Queen's oldNed, be bright and natural, and the prize is yours."

"Kita sudah tahu, 'Ned tua' merupakan kiasan untuk 'tempat tidur'. Jadi harus ada sesuatu di sini yang mengarahkan kita pada seorang ratu, atau sebuah tempat tidur."
"Wah," kata Billy, "di sini tidak ada sesuatu pun yang menurutku kelihatan seperti ratu, atau tempat tidur."
"Memang," kata Jupiter sambil merenung. "Tapi benda yang namanya terkias dalam ungkapan posh Oueen's old Ned itu tidak mesti ada dalam ruangan ini. Begini sajalah-kita cobakan rima terbalik untuk bait kelima. Dalam rima yang begitu, kata petunjuknya hanya satu! Misalnya saja kata kekasih', darling, begitu pula 'polisi' yang dalam » logat kasar disebut copper, atau kata 'pistol'. Barangkali jawabannya bisa kita temukan, jika get out kita artikan sebagai sesuatu yang dipakai untuk melarikan diri."
"Mungkin yang dimaksudkan itu tangga darurat," kata Billy.
Tapi ruangan di mana mereka berada saat itu terletak di lantai satu. Tidak ada tangga darurat di lekat-dekat situ.
"Lagi pula itu bukan rima," kata Bob.
"Bagaimana kalau jendela?" kata Pete. "Jendela-jendela di sini berterali, jadi sukar dilewati."
"Jendela bukan kata yang berima dengan keluar' atau 'lari'," kata Bob lagi.

Walau begitu anak-anak memandang juga lewat jendela-jendela ruangan itu. Tapi yang kelihatan hanya semak-semak tanaman yang tumbuh di luar gedung. Pandangan ke luar lewat pintu juga tidak menampakkan sesuatu pun yang bisa dijadikan petunjuk yang berhubungan dengan kata 'ratu', atau 'tempat tidur'.
Setelah sibuk menebak kian kemari tanpa hasil akhirnya Jupiter menarik kesimpulan,
"Kurasa ungkapan 'keluarlah kalau kau bisa' itu sama sekali bukan petunjuk berima!"
"Lagi-lagi akal bulus Dingo!" keluh Pete.
"Jangan-jangan itu harus kita tafsirkan seada nya," kata Jupiter. "Kita harus mencari jalan keluar dari sini."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Bob. "Jendela-jendela terhalang terali, di dekat-dekat sini tidak ada tangga darurat, sedang pintu cuma ada satu-yang kita lewati sewaktu masuk ke sini."
"He," kata Jupiter tiba-tiba. ia menunjuk ke lantai dekat pintu. "Lihatlah, ubin di situ sudah aus, karena banyak dilewati orang yang keluar-masuk ruangan ini!"
Bob hanya mengangkat bahu.
"Lalu, apa anehnya?" katanya tidak berminat.
"Tapi coba kalian perhatikan ubin yang ada di bawah bangku!" balas Jupe.
Di bawah bangku panjang ada sejalur ubin yang sudah aus. Jalur itu berakhir di dinding seberang!
"Di sana ada pintu rahasia!" seru Bob dan Pete serempak.
Anak-anak bergegas mendatangi dinding itu, lalu mulai mencari-cari di situ. Tapi dinding itu mulus. Semen yang melapisi sama sekali tidak menampakkan celah atau retakan. Semangat yang sudah bangkit, pupus lagi.
"Cuma dinding biasa saja," keluh Billy.
Pete memperhatikan keadaan dinding itu dengan seksama.
"Tapi di sini dulu pernah ada pintu," katanya setelah beberapa saat. "Sekarang tidak ada lagi, karena ditutup tembok. Lihatlah, cat yang di atas ubin yang aus ini warnanya agak lebih muda dibandingkan dengan bagian dinding selebihnya. Jadi mestinya baru dicat beberapa bulan yang lalu. tapi ketika di sini masih ada pintu, sama sekali tidak sulit untuk pergi ke luar lewat sini."
"Bekas pintu yang sekarang tertutup tembok," kata Jupiter sambil berpikir-pikir, ia memandang teman-temannya sambil mengejap-ngejapkan mata. Tiba-tiba ia berseru, "Apakah nama jalan yang ada di balik tembok ini? Kalau pintu di sini masih ada dan kita pergi ke luar, akan sampai di jalan apakah kita?"
"Jalan?" kata Bob dengan heran. "Yah, kurasa nama jalan itu Salsipuedes Street. Ya, begitulah nama jalan itu! Tapi-"
Tapi Jupiter sudah lari ke luar, lewat pintu sebelah depan!

Bab 16
RATU DARI SELATAN

Jupiter berlari ke luar lewat gerbang depan gedung balaikota lalu mengitar ke samping, dibuntuti oleh Bob, Pete, dan juga Billy. Setibanya di samping gedung, Jupiter berhenti di depan semacam ambang yang agak menjorok masuk ke dalam Walau ambang itu tertutup tembok, tapi jelas bahwa itulah yang dulu merupakan jalan keluar dari Kantor Grusan Perkawinan. Jupiter memper hatikan ambang itu. Napasnya tersengal-sengal tapi tatapan matanya bersemangat.
"Mau apa kita di sini, Jupe?" tanya Pete dengan napas yang juga putus-putus.
"Jalan ini bukan 'keluarlah kalau kau bisa'," kata Bob memprotes, "tapi keluarlah kalau kau tidak bisa'!"
"Memang," kata Jupiter sambil menghembus hembus kepayahan, "tapi Pete tadi benar, tentang pintu yang ditutup dengan tembok. Dinding bata yang menutupi ambang ini masih sangat baru Beberapa bulan yang lalu kita masih bisa keluar lewat sini-dan aku yakin ketika terakhir kalinya mendiang Dingo datang ke balaikota, pintu di sini masih ada!"

"Tapi apa hubungan kenyataan itu dengan petunjuk dalam teka-teki, Jupe?" kata Billy mengajukan kesangsiannya. "Maksudku, jika pintu itu masih ada, kan gampang saja keluar lewat sini!"
"Ya, memang," kata Pete. "Pendapat Billy memang benar, Satu."
"Betul," kata Jupiter dengan mata bersinar tenang, "tapi kalian tahu tidak arti kata Salsipue-des, Teman-teman? Nama jalan yang akan dimasuki, apabila masih bisa keluar lewat pintu yang sekarang tidak ada lagi-apakah arti nama
itu'
"Artinya?" kata Bob lambat-lambat, dengan mata yang semakin terbuka lebar. "Itu kan bahasa spanyol, dan artinya-'keluarlah kalau kau bisa'! maksud Dingo-" "Kita harus keluar lewat pintu yang menuju ke Salsipuedes Street, lalu mencari posh Queen 's old Ne'd!" kata Jupiter menyelesaikan kalimat Bob. Bekas jalan keluar itu terdapat di bagian samping gedung balaikota, dekat dinding bela-kangnya. Semak lebat dan pepohonan tumbuh dekat dinding bangunan itu. Sebuah jalan setapak yang sempit menembus kehijauan itu, melintasi semacam taman berumput menuju ke Salsipue-des Street. Keempat anak itu mengamat-amati ambang pintu yang sudah ditutup tembok, karena barangkali saja di situ ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan untuk mengetahui petunjuk yang berikut. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Karenanya mereka lantas bergegas menuju ke jalan yang namanya berarti 'keluarlah kalau kau bisa', lewat jalan setapak.
Ketika sudah sampai di pinggir jalan yang dituju, mereka berhenti. Diterangi sinar matahari siang, di seberang jalan nampak gedung Kantor Kamar Dagang. Dan pada kaca jendela depan kantor terpasang sebuah poster besar:

LEGENDA BAHARI!!
Kapal Gap Queen of The South
Setelah Mengalami Pemugaran
Kembali ke Wujud Aslinya kini
TERBUKA UNTUK UMUM
di
DERMAGA PELABUHAN ROCKY BEACH
Menyediakan: Makanan dan Minuman Cenderamata

"Queen of the South!" seru Pete. "Itu kan atraksi wisata yang baru selesai dipugar! Pasti itulah 'Ratu yang kita cari!"
"Kau yakin?" kata Billy dengan nada sangsi "Ya, pasti itu 'Ratu' yang dimaksudkan," kata Jupiter. "Dalam teka-tekinya, Dingo kan menyebut posh Oueen, ratu yang hebat, anggun, ratu yang 'wah'! Dan Oueen of the South sudah jelas merupakan kapal yang mewah dan anggun, dan karena dulu melayani dinas pelayaran lintas samudra, dengan sendirinya diperlengkapi dengan tempat tidur!"
"Jadi langkah kita yang berikut, pergi mengunjungi 'Ratu' itu!" kata Pete.
"Dan di sana mencari 'Ned tua', alias tempat tidur yang dimaksudkan!" kata Bob menimpali.
"Sebentar lagi, harta kakek pasti akan kita temukan!" seru Billy bersemangat.
Jupiter tidak mengatakan apa-apa, hanya wajahnya saja yang berseri-seri. ia beranjak, hendak menuju ke tempat parkir di balik gedung balaikota, karena di sanalah anak-anak tadi menaruh sepeda-sepeda mereka. Tapi tiba-tiba ia berhenti.
Ada orang lari menjauh, menyelinap di tengah semak! Sementara anak-anak memperhatikan dengan heran, orang itu muncul dari tengah semak, dan terus lari melintasi taman rumput yang terdapat sebelum tempat parkir. Orang itu ternyata-Skinny Norris!
"Kejar dia!" teriak Pete. "Rupanya ia tadi dengan diam-diam mengikuti percakapan kita!"
"Manusia licik!" seru Bob dengan marah, sementara mereka mengejar musuh bebuyutan itu. "Dasar otak udang, bisanya cuma membonceng pikiran orang lain!"
Ketika anak-anak yang mengejar tiba di tempat parkir, mereka hanya sempat melihat Skinny mengundurkan mobilnya, lalu memacunya-lurus ke arah anak-anak! Mereka cepat-cepat berlompatan meminggir untuk menyelamatkan diri. Skinny lewat sambil tertawa dan menggerak-gerakkan tangan di depan hidung untuk mengejek.

"Ambil sepeda-sepeda kita! Cepat!" seru Jupiter "Tapi... tapi..." keluh Billy, "mana mungkin dia kita kejar dengan sepeda? ia pasti akan bisa mendului kita, dan merampas harta warisan Kakek!"
"ia masih harus mencari tempat tidur yang dimaksudkan," kata Jupiter dengan geram, "lalu kalau berhasil, kemudian menemukan petunjuk yang tepat di tempat tidur itu. Ayo, kita harus buru-buru ke sana!"
"He, sepeda-sepeda kita tidak ada lagi!" seru Pete.
Teman-temannya kaget. Mereka memandang kian kemari, mencari-cari di tempat parkir itu.
"Pasti tadi disembunyikan oleh Skinny!" kata Bob.
"Tenang, tenang," kata Jupiter. "Itu sepeda sepeda kita, di sebelah sana!"
Keempat sepeda anak-anak itu ternyata sudah berpindah tempat, kini di ujung seberang tempat parkir, tersuruk ke dalam semak di antara tempat parkir dan sebuah jalan samping. Keempat anak itu berlari-lari ke tempat itu. Ketika sedang berlari, Billy tersandung. Rupanya tali sepatunya lepas. ia membungkuk, untuk mengikatkannya lagi. Ketiga anak lainnya yang sudah sampai di tempat sepeda-sepeda mereka berpaling, lalu memanggil manggil Billy dengan perasaan tidak sabar.
"He, Billy!" seru Pete. "Cepatlah sedi-"
ia tidak menyelesaikan kalimatnya, karena tahu-tahu muncul dua orang laki-laki yang langsung menyergap Trio Detektif. Orang yang berbadan besar seperti raksasa, serta temannya yang lebih kecil, dengan pistol di balik jasnya! Tanpa mengatakan apa-apa, manusia raksasa itu langsung mencengkeram Pete dan Jupiter, sementara temannya yang berbadan kecil meringkus Bob. Ketiga remaja itu tidak mampu memberontak, karena kedua lawan mereka terlalu tangguh. Mereka digiring pergi dari tempat parkir, lalu dimasukkan ke dalam sebuah mobil!

Bab 17
TERKURUNG!

"Kalau kalian bersikap manis, pasti takkan kami apa-apakan," kata lelaki yang bertubuh kecil sambil menoleh sebentar ke belakang, ia yang menyetir kendaraan itu.
Ketiga anggota Trio Detektif bersesak-sesak duduk di jok belakang, dengan si Raksasa di tengah-tengah. Pete di satu sisinya, sedang Bob dan Jupe di sisi lainnya. Kedua jendela mobil yang sebelah belakang ditutupi dengan tirai.
"Bagaimana dengan anak yang satu lagi Mr. Savo?" tanya si Raksasa.
"Kita ditugaskan untuk menyekap ketiga anak ini," kata lelaki yang menyetir. "Jaga agar mereka tidak ribut, Turk. Dan kau sendiri, jangan ikut-ikutan berpikir. Oke?"
"Baik, Bos," kata si Raksasa dengan tenang Ternyata ia bernama Turk.
Jupiter dan kedua sahabatnya membisu. Mereka ngeri menghadapi kedua penjahat itu. Mr. Savo menyetir mobil dengan hati-hati, tanpa mengebut Kendaraan itu berbelok-belok menyusur jalan jalan sempit di tengah kota. Lambat laun ketegangan ketiga remaja itu surut. Savo dan Turk

nampaknya tidak berniat menyakiti mereka. Jupiter yang paling dulu mampu membuka mulut.
"Untuk apa kami disekap?" katanya dengan suara agak bergetar.
Savo tertawa.
"Untuk apa? Untuk sementara," katanya.
"Tidak, maksudku atas tugas siapa kami Anda sekap?" desak Jupiter.
"Aku tadi sudah mengerti maksudmu," sergah Savo. "Kita bilang saja, kami ini menolong teman. Oke?"
"Kalian menghalang-halangi," kata Turk yang berbadan seperti raksasa.
"Tutup mulut, Turk!" bentak Savo.
Lelaki bertubuh kecil, yang nampaknya lebih berwibawa di antara kedua penjahat itu, tidak mengatakan apa-apa lagi. ia menyetir sambil membisu. Setelah beberapa blok lagi dilalui, mobil yang disetirnya dibelokkan memasuki pekarangan sebuah rumah besar, di bagian barat Rocky Beach. Mobil itu tidak dihentikan di depan, tapi terus ke belakang. Di dekat sebuah rumah kecil yang tersembunyi di belakang rumah besar, barulah kendaraan itu berhenti.
"Keluar," kata orang yang bernama Savo.
Turk menggiring ketiga remaja sekapannya ke dalam rumah yang kecil, dan langsung masuk ke sebuah kamar sempit yang terletak di sisi belakang. Dalam kamar itu ada tiga buah pembaringan. Daun pintu dilapisi lembaran logam, sedang jendela yang hanya ada satu di situ diamankan dengan terali. Sebuah pintu lain menuju ke kamar mandi yang kecil dan tak berjendela.
"Oke," kata Savo, "sekarang-"
"Teman Anda itu, untuk siapa Anda menyekap kami, siapakah dia?" tanya Jupiter memotong. "Tapi siapa pun orangnya, Mrs. Towne akan memberi imbalan lebih banyak pada Anda, apabila kami berhasil menemukan-"
"Pokoknya seseorang yang menginginkan agar kalian disingkirkan untuk sementara waktu! Oke?" kata Savo tanpa menanggapi ucapan Jupiter yang selanjutnya.
"Tapi perbuatan Anda ini kan penculikan namanya!" kata Bob.
"He, he," tukas Turk dengan suaranya yang berat, "siapa yang kalian katakan penculik, hahh?"
"Kami bukan penculik, Kunyuk!" sergah Savo dengan tampang masam.
"Pada hakikatnya," kata Jupiter lagi, "kalian
ini-"
"Persetan!" bentak Savo. Kemudian ia mengangkat bahu. "Coba dengar sebentar, ya! Kami sebenarnya tidak punya urusan dengan kalian, tahu?! Kami cuma melindungi kepentingan kami sendiri-lain tidak!"
"Kepentingan apa?" tanya Pete.
"Gang! Apalagi, kalau bukan uang! Orang yang kami bantu itu berutang pada kami. Utangnya terlalu banyak, dan juga sudah terlalu lama. Itu tidak kami sukai!"

Turk tertawa. Tubuhnya terguncang-guncang, sehingga kelihatannya seperti beruang besar.
"Orang yang tidak pintar main kartu sebaiknya jangan mencoba-coba. Ya kan, Bos?"
"Tutup mulut, Turk!" kata Savo.
Bob melongo.
"Jadi... jadi kalian ini... penjudi!"
"Bukan penjudi," kata Savo. "Orang-orang yang kalah main itulah yang penjudi. Sedang kami ini pengusaha. Ada orang ingin berjudi, baik! Kami sediakan tempat dan waktu agar mereka bisa melampiaskan keinginan itu. Tapi kami sendiri tidak berjudi."
"Mr. Savo," kata Jupiter, "siapa pun juga teman Anda itu, yang jelas aku tahu bahwa Mrs. Towne pasti bersedia membayar lebih banyak jika Anda mau melepaskan kami, dan apabila kami sudah menemukan harta yang diwariskan mertuanya. Atau pamanku yang akan membayar-"
"Sudah kukatakan tadi, kami bukan penculik!" tukas Savo. "Ini urusan bisnis semata-mata. Kami menginginkan utang pada kami dibayar oleh pihak yang kukatakan tadi. Cuma itu saja keinginan kami. Dari kalian, kami tidak menginginkan apa-apa! Sekarang semuanya diam. Kalian terlalu banyak bertanya. Turk!"
Si Raksasa menuju pintu.
"Sekarang jangan macam-macam lagi, ya!"
"untuk kalian, di sini tersedia pembaringan. Kamar mandi juga ada. Makanan ada dalam lemari itu, begitu pula air. Persis seperti di rumah sendiri.

Kalian beristirahat sajalah, karena takkan mungkin bisa lari dari sini."
Lelaki bertubuh kecil itu mengangguk, memberi isyarat pada si Raksasa supaya keluar. Setelah keduanya berada di luar, pintu ditutup. Anak-anak mendengar bunyi anak kunci diputar, disusul suara palang yang berat diturunkan. Ketiga remaja itu terkurung!
Kemudian terdengar bunyi pintu depan rumah kecil itu ditutup. Tapi setelah itu tidak ada bunyi mobil dihidupkan. Masih ada orang di ruang depan. Anak-anak mendengar bunyi kursi berde rak, disusul suara desahan berat.
"Turk masih ada di luar," kata Pete berbisik.
"Pertama-tama kita periksa dulu ruangan ini kalau-kalau'ada jalan keluar," kata Jupe dengan suara pelan, "setelah itu baru kita pikirkan urusan dengan Turk."
Pete berjingkat-jingkat ke pintu. Bob memeriksa keadaan jendela, sementara Jupiter meneliti kamar mandi yang tidak berjendela. Pete yang paling dulu menyerah.
"Kecuali dikunci rangkap dari luar, pintu juga dilapisi lembaran logam. Jadi kita tidak bisa mencongkel daunnya, sedang engselnya ada di sebelah luar," katanya lirih. "Kita tidak membawa apa-apa yang bisa dipakai untuk memotong lembaran logam itu-dan itu pun jika Turk tidak ada di luar!"

Jupiter keluar dari kamar mandi.
"Tertutup rapat," katanya melaporkan. "Bahkan lubang angin pun tidak ada."
"Terali jendela tidak bisa dibongkar," kata Bob. "Kecuali itu jendela kayu yang ada di sebelah luar itu terlalu kokoh. Tidak mungkin kita bisa mendobraknya!"
"Kita belum memeriksa lantai," kata Pete.
Dengan segera mereka melakukannya. Dan pekerjaan itu tidak banyak memerlukan waktu.
"Rumah ini rupanya dibangun di atas alas beton," kata Pete. ia mendesah. "Tidak ada jalan lain untuk keluar dari sini, Jupe-kecuali lewat pintu itu. Sebaiknya kita berbaring saja, menunggu nasib." Dan itu langsung dilakukan oleh Pete.
"Savo dan Turk ternyata bukan amatir," kata Jupe. Wajahnya membayangkan perasaannya yang lesu. "Kurasa mereka tahu betul cara yang paling baik untuk mengurung orang."
"Yah," kata Bob, sambil merebahkan diri di atas pembaringan yang bersebelahan dengan tempat Pete, "dengan begini berakhirlah perburuan harta yang selama ini sangat mengasyikkan! Orang yang menyuruh Savo dan Turk menyekap kita, sekarang pasti sudah berada di atas kapal Queen of the South!"
"Aduh, kenapa kita tidak membawa walkie-talkie atau alat pemantau arah kita kali ini?" keluh Jupiter.
"Kalau kita bawa pun, apalah gunanya bagi kita sekarang," jawab Bob. "Kita ketiga-tiganya terkurung di sini!"

"Kan bisa satu di antaranya kita pinjamkan pada Billy," kata Jupe.
"O ya, Billy!" kata Pete. Semangatnya mulai bangkit. "Barangkali saja ia tadi melihat kita disergap, lalu memanggil polisi!"
"Dan mungkin mereka sekarang sudah sibuk mencari-cari kita!" kata Bob menambahkan.
"Janganlah itu kalian harapkan," kata Jupiter "Sewaktu kita tiba-tiba disergap tadi, Billy sama sekali tidak memandang ke arah kita. ia kan sedang sibuk mengikat tali sepatunya! Dan andaikata melihat pun, tempatnya saat itu terlalu jauh, jadi mustahil ia bisa melihat nomor mobil yang menculik kita. ia hanya bisa melaporkan pada polisi bahwa mobil itu berwarna biru. Berapa banyak mobil biru yang ada di kota Rocky Beach ini? Pasti ribuan!" Remaja bertubuh gempal itu terhenyak di pembaringan.
"Mungkin juga Billy kemudian meneruskan perjalanan ke kapal, lalu di situ mencari-cari petunjuk selanjutnya," kata Bob menduga-duga, "Anak itu pintar, jadi bisa saja ia berhasil menemukan 'Ned tua'!"
"Dan mungkin juga ia menjumpai kesulitan!" kata Jupiter. "ia cuma sendiri saja, menghadapi bahaya! Karena mungkin saja kedua Percival bersaudara muncul di sana-dan mungkin mereka tidak segan-segan lagi berbuat apa saja karena sudah begini dekat dengan akhir pencarian."
"Kalau begitu tamatlah riwayat Billy," kata Pete dengan suram.
Sambil mendesah, Jupiter merebahkan diri di pembaringannya, ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Billy, kecuali berdoa semoga Billy tidak kehilangan akal.
Waktu berlalu, jam demi jam. Dari sela-sela daun jendela yang tertutup, anak-anak yang terkurung itu bisa melihat sinar matahari semakin condong. Sekali mereka mendengar Savo datang lagi. Orang itu berbicara selama beberapa saat dengan Turk, dan setelah itu pergi lagi. Akhirnya Pete tidak kuat menahan rasa lapar, lalu mulai menyikat makanan yang disediakan di dalam lemari. Sedang kedua temannya hanya memakan roti dan keju sedikit. Mereka tidak merasa lapar, tapi mereka juga tahu bahwa ketahanan tubuh harus dijaga. Jangan sampai badan mereka lemas!
Jupiter berbaring sambil mencubit-cubit bibir bawahnya, ia sibuk berpikir.
"Ada sesuatu yang menurutku sangat aneh," katanya kemudian.
"Apa itu?" tanya Pete.
"Dari mana Turk dan Savo bisa tahu tentang kita? Apa sebabnya mereka berhari-hari mengintai kita, tapi tanpa pernah berbuat apa-apa? Kurasa mereka bahkan pernah melakukan tindakan menolong kita, yaitu ketika mobil kedua Percival mereka jepit ke pinggir sehingga masuk ke parit! Rasanya seakan-akan mereka selama ini menunggu sampai kita mengarahkan mereka--atau bisa juga orang lain-ke tempat harta warisan itu disembunyikan. Tapi dari mana mereka bisa mengetahui, kapan mereka harus turun tangan? Siapa yang menyuruh mereka melakukannya? Siapakah yang menginginkan warisan itu-dan ingin agar kita disingkirkan?''
"Wah, entahlah," kata Pete. "Cecil dan Winifred Percival, barangkali?"
"Mungkin saja, tapi kurasa mereka belum begitu lama ada di sini sehingga utang judi mereka sampai bertumpuk-tumpuk," kata Jupiter menilai.
"Jangan-jangan ada orang lain, yang selama ini belum pernah kita ketahui," kata Bob.
"Mungkin juga," kata Jupe, sambil terus merenung.
Akhirnya tidak kelihatan lagi sinar matahari di luar. Ruangan tempat ketiga remaja itu terkurung kini menjadi gelap. Sudah sepanjang sore mereka mendekam di situ! Terdengar bunyi dengkuran Turk di ruang sebelah. Sekali ini ketiga remaja itu benar-benar merasa tak berdaya! Teka-teki yang dihadapi sudah mereka temukan jawabannya, bait demi bait sampai yang terakhir. Tapi kini orang lain yang akan menyelesaikan perburuan harta warisan itu. Mereka kalah karena kelicikan orang itu!
Jupiter dan kedua sahabatnya mulai terlena. Habis, tidak bisa berbuat apa-apa lagi?...
Pete menegakkan tubuh dengan cepat!
"Apa itu?"
Ketiga remaja itu memasang telinga. Dengkuran Turk terdengar sangat keras. Rumah kecil itu
seakan-akan terguncang karena bunyinya. Tapi masih ada bunyi lain. Bunyi mengetuk-ngetuk!"
"Di jendela!" bisik Bob.
Dari balik jendela yang tertutup terdengar bunyi ketukan pelan berulang-ulang, disertai bisikan lirih,
"He, Teman-teman! Jupiter? Pete?"
"Ya, kami ada di sini," balas Pete dengan berbisik pula.
Daun jendela berderik. Terdengar desahan napas berat, seakan-akan orang yang di luar itu sedang berusaha membuka gerendel, ia berhasil, karena detik berikutnya daun jendela itu terbuka. Anak-anak yang ada di dalam melongo.
"Billy!" ujar mereka serempak. Karena kaget, nyaris saja mereka berteriak.
"Ssst," kata anak kecil yang disapa, sambil tertawa nyengir. "Manusia raksasa itu tidur lelap di kursinya. Pintu depan sudah kuganjal dari luar. tapi bisa saja ia tahu-tahu bangun! Jadi cepatlah!"
"Tapi terali ini-" kata Pete.
"Aduh, kita ini benar-benar buta! Terali ini kan juga jendela!" kata Jupiter sambil menepuk kening. "Lihat, ini bingkainya. Kalau gerendel yang di dalam ini kutarik-nah, kan bisa dibuka ke arah dalam. Kita bebas!"
Ketiga remaja itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengkuran Turk yang keras seakan-akan mendorong mereka keluar lewat jendela yang sudah terbuka. Dalam keremangan senja, mereka bergegas menyelinap lewat samping rumah besar, menuju ke jalan raya.

"Bagaimana caramu sampai bisa menemukan kami, Billy?" tanya Jupiter.
"Yah," kata anak kecil itu dengan nada senang sementara keempat anak itu sudah sampai di jalan besar, "ketika aku melihat kedua orang itu tahu-tahu menyergap dan meringkus kalian, aku kemudian berusaha menelepon Mr. Callow. Tapi ia tidak ada di rumah. Di kantornya, juga tidak ada Aku tidak ingin membuat Ibu atau orang tua kalian merasa cemas, tapi aku sudah bersiap-siap akan menelepon Mr. Jones-ketika aku tiba-tiba men dapat akal."
"Akal? Akal yang bagaimana?" tanya Jupiter terengah-engah, karena mereka bercakap-cakap sambil terus berlari. "Hubungan Hantu ke Hantu!" Nyaris saja Pete berhenti berlari, ketika mende ngar jawaban itu.
"Kau memakai Hubungan Hantu ke Hantu kami untuk-"
"Sebelum berjumpa dengan kalian, aku sudah mendengar cerita teman-teman tentang hal itu Dan aku melakukannya persis seperti kebiasaan kalian! Tapi sebagai pusat hubungan, aku mempergunakan bilik telepon umum. Akhirnya ada salah seorang anak melihat mobil yang kucari."
"Luar biasa!" kata Pete dengan kagum. "Padahal kau kan tidak tahu nomor mobil itu!"
"Siapa bilang?" kata Billy dengan sikap bangga. "Kedua orang itu begitu sering berkeliaran di

sekitar rumah kami, sehingga akhirnya aku merasa curiga. Tadi pagi kucatat nomor mobil mereka. Persis seperti yang biasa dilakukan detek-"
Saat itu terdengar suara teriakan nyaring, diiringi bunyi berisik!
"Si Raksasa sudah keluar!" seru Billy. "Aku tadi mengganjal pintu depan rumah kecil itu dengan tong-tong sampah! Cepat, lari!"
Keempat anak itu mempercepat langkah mereka, menyusur blok ke arah jalan raya, membelok di sebuah sudut, lalu lari lagi secepat mungkin.
"Cepat!" kata Bob terdengus-dengus. "ia punya mobil!"
"Tapi tidak bisa dipakai," kata Billy putus-putus, sambil mengacungkan sebuah benda berwarna hitam. "Aku tadi sempat mencabut tutup distributornya."
Mereka berhenti berlari. Bob, Pete, dan juga Jupiter tertawa cekakakan. Mereka membayangkan Turk yang bertubuh besar seperti raksasa itu mengamuk-ngamuk sambil berulang kali mencoba menghidupkan mesin mobil, tapi setiap kali tetap saja tidak bisa. Orang-orang yang lalu-lalang memandang ketiga anak itu dengan heran. Tapi Jupiter dan kedua temannya tidak peduli.
"Kau benar-benar hebat Billy! Selamat," kata Jupiter di sela-sela gelak tawanya. Akhirnya ia bisa tenang kembali. "Cuma-mudah-mudahan saja belum terlambat!"
Semua langsung berhenti tertawa.
"Kita takkan bisa tahu sampai kita sudah menemukan petunjuk terakhir," kata Jupiter lagi. "Ayo, kita ambil sepeda-sepeda kita, lalu kita cari the Oueen's Old Ned!"

Bab 18
NYARIS!

Ahak-anak mengambil sepeda-sepeda mereka yang masih ada di tempat parkir dekat gedung balaikota. Setelah itu mereka cepat-cepat pergi ke pelabuhan. Di ujung pelabuhan, kapal samudra yang merupakan tujuan mereka nampak menjulang tinggi di dermaga. Lampu-lampu menyala di sana-sini di atas kapal berukuran raksasa itu, menembus ketemaraman senja yang sudah mulai menyelubungi. Sementara Jupiter beserta ketiga temannya datang dengan sepeda mereka, nampak orang banyak berduyun-duyun pergi meninggalkan kapal.
"Perhatikan, kalau-kalau kalian melihat Skinny atau kedua Percival!" kata Jupiter.
Keempat anak itu memperhatikan wajah orang ramai yang pergi, sementara mereka sendiri menerobos dengan susah payah ke tempat penjualan karcis masuk di depan tangga masuk ke kapal yang khusus disediakan untuk wisatawan.
tapi baik Skinny maupun kedua orang Inggris yang banyak tipu daya itu tidak mereka lihat. Setiba di depan tempat penjualan karcis, seorang petugas menghadang mereka.

"Maaf, sekarang sudah tutup, Anak-anak," kata orang itu.
"Tapi kami harus cepat-cepat naik ke kapal," seru Billy dengan cemas.
"Tidak bisa, Nak," kata petugas itu sambil berpaling. "Datang saja lagi hari Minggu yang akan datang."
Dengan kesal anak-anak memandang petugas itu pergi melintasi pelataran, menghampiri segerombolan wisatawan yang paling akhir menuruni tangga kapal.
"Hari Minggu depan!" kata Bob kecut. "Kenapa tidak dibuka setiap hari?"
"Mungkin karena sebelum musim panas, pengunjung belum cukup ramai," kata Jupiter menduga.
Tiba-tiba Pete kaget, lalu berseru,
"Lihatlah! Itu, di atas kapal!"
Jauh di atas mereka, di dek paling atas nampak seseorang berpotongan janggal berdiri di tempat yang agak gelap. Anak-anak melihat kilatan giginya ketika orang itu menyeringai. Kemudian orang itu menggerak-gerakkan tangannya di depan hidung, ditujukan ke arah mereka!
"Itu Skinny," keluh Pete.
Mata Jupiter bergerak liar kian kemari, mencari-cari. Sebuah gerbang lebar tempat lewat barang-barang muatan yang terdapat di pinggir kanan dermaga masih terbuka. Dengan cepat Jupiter memandang ke arah para petugas kapal yang sedang sibuk mengatur orang-orang yang keluar lewat gerbang karcis terakhir yang masih buka. Tidak seorang pun dari mereka memandang ke arah anak-anak. "Cepat!" kata Jupiter.
Keempat anak itu menyelinap masuk lewat gerbang muatan yang belum ditutup, lalu bergegas lari menuju tangga kapal. Pete yang paling dulu sampai di situ, dan-menubruk seorang pria jangkung yang saat itu turun dari kapal!
"Uhhh!" Pete terdengus.
Orang yang ditubruknya cepat-cepat menahan agar Pete tidak jatuh. Orang itu mengenakan pakaian seragam nakhoda.
"Hati-hati, Nak," katanya dengan suara berat. "Sayang, kalian tidak bisa naik ke kapal, karena untuk hari ini sudah tutup."
"Kami tahu, Sir," kata Jupiter, "tapi kami-"
"Kalian tahu? Kalau begitu kupersilakan meninggalkan dermaga."
Beberapa petugas karcis masuk yang ada di belakang anak-anak memandang ke arah mereka dengan marah, sambil mengisyaratkan agar mereka keluar.
"Kapten," kata Jupiter dengan bersungguh-sungguh, "bisakah kami bicara dengan Anda sebentar?"
Pria jangkung itu tersenyum.
"Aku bukan benar-benar nakhoda kapal, Anak-anak, tapi cuma manajer pameran ini. Tapi untuk gampangnya, boleh saja kalian menyapaku dengan sebutan Kapten. Aku sedang bercakap-cakap dengan pengunjung kapal ini, tapi sayang sekarang ini-"
"Kami bukan pengunjung biasa, tapi penyelidik. Detektif!" kata Billy cepat-cepat. "Saat ini kami sedang melakukan penyelidikan, tentang suatu kasus! Tunjukkan kartu pengenal kita, Jupiter!"
Jupiter menyodorkan kartu Trio Detektif pada si Kapten.
"Kami ini detektif amatir, Sir, tapi saat ini sedang menangani kasus yang benar-benar ada! Dan kami tahu, ada sesuatu disembunyikan di atas kapal Anda."
Selesai membaca tulisan yang tertera pada kartu pengenal itu, Kapten mendongak.
"Ada sesuatu yang disembunyikan di atas sana?" katanya.
"Ya, batu-batu permata yang bernilai tinggi, Sir, kata Pete.
"Batu permata, katamu?" ujar Kapten. "Hmm, mungkin itu sebabnya-"
Beberapa petugas karcis datang mendekat dengan sikap tidak sabar. Tapi Kapten melambai-kan tangan, menyuruh mereka pergi. Setelah itu ditatapnya anak-anak yang ada di depannya.
"Tadi banyak tempat tidur dalam kabin-kabin diobrak-abrik orang yang tak dikenal," katanya. "Kami sangka, itu pasti perbuatan iseng saja. Kalian yakin bahwa itu bukan keisengan saja. Anak-anak?"
"Tentang itu kami yakin, Sir," kata Jupiter. "Dan Anda baru saja memberi penegasan pada kami bahwa ada orang lain yang juga mencari harta berwujud batu-batu mulia itu! Harta itu disembunyikan di dalam atau dekat salah satu tempat tidur di kapal ini!" Dengan ringkas Jupiter bercerita tentang surat wasiat yang aneh, serta tantangan Dingo Towne. "Kami sudah berhasil menemukan jawaban teka-teki itu, sampai bait yang panghabis-an. Sekarang kami tinggal menemukan tempat tidur yang benar-jika belum terlambat"
"Itu mungkin saja," kata Kapten. "Banyak tempat tidur yang tadi diobrak-abrik. Tapi katakanlah kumpulan batu permata itu belum ditemukan orang yang mencari tadi-bagaimana kalian akan bisa menemukan tempat tidur yang sesungguhnya? Di kapal ini ada lima ratus tempat tidur!"
Jupiter meneguk ludah, sementara anak-anak yang lain mengeluh.
"Li-lima ratus?" kata Bob tergagap.
"Dalam masing-masing kabin ada dua atau tiga," kata Kapten, "tapi betul, lima ratus tempat tidur."
"Adakah di antaranya tempat tidur khusus? Tempat tidur Ratu?" tanya Pete.
"Tidak, di kapal ini tidak ada kamar istimewa."
"Bagaimana kalau tempat tidur yang ukurannya lebih besar daripada yang lazim?" kata Bob.
"Itu juga tidak ada. Kapal ini sudah ditarik dari dinas pelayaran sebelum muncul model tempat tidur yang lebarnya melebihi ukuran biasa."

Jupiter menggeleng lambat-lambat.
"Mestinya ada cara untuk dengan langsung menemukan tempat tidur yang dimaksudkan oleh Dingo," katanya. "Kapten, pernahkah Queen of the South ini berlayar ke Australia?"
"Bukan hanya pernah saja, malahan sering sekali! Kapal ini dulu jalur pelayaran tetapnya London-Australia-Kanada. Menurut kalian apa-kah mungkin Dingo yang kalian katakan itu pernah berlayar naik kapal ini?"
"Ungkapan 'Ned tua', old Ned, maknanya bukan sembarang tempat tidur, melainkan tempat tidur seseorang, tempat dia berbaring," kata Jupiter. "Barangkali masih ada daftar penumpang kapal ini, peninggalan ketika masih melayari samudra, Sir?"
"Ada sih ada-tapi di London! Rasanya tidak mungkin teka-teki kalian itu menyuruh kalian pergi ke sana!"
"Aku tak heran jika kenyataannya begitu, mengingat bahwa penciptanya mendiang Dingo!" keluh Pete, setengah pada diri sendiri.
"Tapi pasti ada satu petunjuk tegas yang mengatakan tempat tidur mana yang dimaksudkan," kata Jupiter berkeras. "Coba kita sekarang ini tidak terdesak oleh waktu! Kalau melihat bahwa Skinny masih ada di atas kapal, kurasa permata itu pasti belum ditemukan. Tapi bisa saja setiap saat diketahui tempat penyembunyiannya-oleh Skinny, atau orang lain!"

"Skinny?" kata Kapten menanggapi dengan cepat. "Maksudmu, sekarang ini masih ada orang di atas kapal? ku tidak bisa kubiarkan!"
Pengelola pameran terapung itu bergegas menuju tangga kapal, diikuti oleh anak-anak.
Jupiter agak tertinggal, karena sibuk dengan pikirannya. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya.
"He, Teman-teman! Kurasa cuma ada satu kemungkinan-" Tiba-tiba matanya terbelalak. "Awas! Di atas kalian!"
Jauh di atas kepala mereka, salah satu sekoci kapal terlepas dari tiang penggantungnya yang sebelah depan. Tubuh sekoci itu terayun ke bawah, membentur sisi kapal. Perlengkapan yang ada di dalamnya-dayung, tong-tong, peti-peti serta berbagai barang berat lainnya-semuanya berhamburan ke arah Kapten dan anak-anak!
"Loncat!" teriak Kapten sambil mendorong Pete ke pinggir dan menyambar Billy.
Bob menyusup masuk ke bawah tangga, Pete terhuyung ke pinggir, sedang Jupiter tidak mungkin kejatuhan karena jaraknya terlalu jauh. Kapten menjatuhkan diri menutupi Billy. Myaris saja ia tertimpa sebuah tong.
Sesaat sesudah itu tidak seorang pun bergerak. Tapi tidak ada yang cedera. Kemudian mereka berdiri lagi. Para petugas pameran berlari-lari menghampiri. Kapten mendongak dengan wajah pucat, memandang sekoci yang masih tergantung pada tiang penggantung sebelah belakang. Kapten buru-buru menyapa salah seorang petugas, "Naiklah ke atas, dan ikat lagi sekoci itu." Setelah itu dipandangnya anak-anak. "Sebaiknya kalian menjauh-karena itu tadi mungkin saja bukan kecelakaan. Tali-tali pengikat sekoci selama ini selalu diperiksa dengan teliti." "Pasti ini perbuatan Skinny!" tukas Bob dengan sengit. "Kurasa bukan," ujar Jupiter. "Kita tadi bisa tewas, dan bahkan Skinny pun takkan tega melakukan perbuatan yang begitu berbahaya." "Kalau begitu kita selidiki saja siapa pelakunya!" kata Billy, sambil melangkah ke arah tangga. "Stop!" kata Kapten dengan tegas. "Sayang, tapi aku tidak bisa mengizinkan kalian naik sekarang, karena bisa sangat berbahaya. Kurasa kejadian ini merupakan urusan polisi." "Betul, Sir," kata Jupiter dengan serius. "Anda benar. Jika Anda sekarang menelepon Chief Reynolds, nanti Bob akan menjelaskan padanya apa yang terjadi di sini. Pete, kau tetap di sini' menemani Billy, sampai polisi datang." Pete dan Bob memandang teman mereka itu. "Lalu kau, apa yang akan kaulakukan, Jupe?" tanya Bob. "Aku hendak mencoba menemukan 'Ned tua' itu tanpa perlu menggeledah seluruh tempat tidur di kapal ini," kata Jupiter. "Beri aku waktu satu jam. Jika aku belum juga kembali setelah itu, katakan pada Chief Reynolds agar menyuruh anak buahnya memeriksa kapal!"
Sementara yang lain-lainnya hanya bisa melongo, remaja bertubuh gempal itu lari kembali ke sepedanya yang ditaruh di luar gerbang, lalu bergegas pergi mengendarainya.

Bab 19
GELAK TERTAWA ORANG YANG SUDAH MATI

Waktu, satu jam sudah berlalu. Bob, Pete, dan Billy berdiri di bawah sinar lampu-lampu dermaga yang terang, bersama Kapten dan Chief Reynolds. Di samping mereka, tubuh kapal Queen of the South menjulang tinggi dalam kegelapan malam. Kapten memandang arlojinya.
"Sudah hampir pukul delapan, Chief. Batas waktu satu jam sudah lewat," kata pemimpin pameran terapung itu. "Kurasa kita jangan menunggu lebih lama lagi. Entah apa saja yang sementara ini sudah terjadi di atas."
"Jika Jupiter berhasil menemukan tempat tidur yang dimaksudkan, akan banyak waktu yang bsa dihemat," kata Chief Reynolds berkilah. "Anak itu banyak akalnya! Kita beri dia waktu lima belas menit lagi."
"Jupe pasti kembali!" kata Bob dan Pete serempak.
"Ya, itu juga kuyakini, Anak-anak," kata Chief
Reynolds sambil tersenyum. "He-dengar itu!" seru Billy. "Itu pasti dia!" Terdengar bunyi langkah bergegas-gegas di
dermaga, menuju ke arah mereka. Bob dan Pete

beranjak, hendak menyongsong orang yang datang itu. Mereka beranggapan bahwa itu pasti Jupiter. Tapi mereka tidak jadi menyongsong, karena yang datang ternyata Roger Callow. Pengacara hukum itu bergegas-gegas melewati gerbang masuk, lalu datang menghampiri. Wajahnya mencerminkan perasaan lega.
"Di sini kalian rupanya, Anak-anak-dan Billy ada bersama kalian," katanya. "Mrs. Towne mengatakan bahwa kalian beramai-ramai pergi ke balaikota. Tapi ketika aku ke sana dan kalian ternyata tidak ada di situ, aku lantas gelisah. Aku menelepon kantor polisi. Petugas di sana mengatakan bahwa Chief Reynolds ada di sini, bersama kalian."
"Kami sudah sampai pada bait terakhir teka-teki itu, Mr. Callow," ujar Bob. Dijelaskannya makna teka-teki yang terkandung dalam bait yang penghabisan. "Tapi sekarang ada orang lain yang mendului naik ke atas kapal, dan mungkin sementara ini sudah berhasil menemukan permata itu."
"Kalau begitu kenapa kita masih di sini terus?" kata Callow.
"Jupiter tadi merasa bisa mengetahui cara menemukan kabin yang dimaksudkan," kata Pete.
"Kami ini sedang menunggu dia kembali. Tapi "sampai sekarang belum datang-datang juga."
"Jika kita memencar," kata Mr. Callow, "aku yakin kita akan bisa menemukan-"

"Untuk itu," kata seseorang yang tahu-tahu muncul dari tempat yang gelap, "diperlukan nasib mujur."
"Jupiter!" seru Billy.
Penyelidik Satu Trio Detektif menghampiri yang lain-lainnya, lewat pintu gerbang, ia memandang Mr. Callow.
"Kenapa Anda tiba-tiba ada di sini?" katanya
"Aku tadi mencari-cari kalian," kata pengacara hukum yang ditanya. "Tapi itu tidak penting Bagaimana, Jupiter, kau sudah berhasil menemu kan kamar yang dimaksudkan oleh teka-teki itu?
Jupiter mengangguk dengan gembira.
"Hanya ada satu cara yang gampang untuk mengetahui apakah Dingo memang pernah berlayar naik kapal ini, dan dalam kabin yang mana. Caranya ialah, bertanya pada orang yang mungkin pernah sama-sama berlayar dengan dia! Aku tadi mengambil kesimpulan bahwa hanya dua orang saja yang pantas masuk perhitungan! Jack Dillon, atau teman Dingo yang satu lagi, yang ikut menandatangani surat wasiat itu selaku saksi Sadie Jingle!"
"Lalu bagaimana-apakah keduanya pernah seperjalanan dengan Dingo?" tanya Bob.
"Ya, seorang dari mereka! Mrs. Jingle. Wanita itu sekapal dengan Dingo, ketika datang kemari dari Australia tiga puluh tahun yang lewat! Kurasa Dingo menyertakan wanita itu sebagai saksi dalam wasiatnya, dengan tujuan agar kita mengenalinya

Tapi pokoknya-" Jupiter mengatakannya sambil nyengir, "kini aku sudah tahu jawabannya!"
"Kalau begitu kita cepat-cepat saja naik ke kapal," kata Kapten.
ia berjalan mendului naik tangga, menuju dek utama, yaitu Dek A. Hanya beberapa lampu saja dinyalakan di atas kapal besar itu. Lorong-lorong panjang berpenerangan remang-remang, sedang geladak-geladak yang gelap di atas Dek A tidak bisa dilihat. Chief Reynolds menempatkan sejumlah anak buahnya di tangga dan beberapa tempat penting lainnya. Setelah itu pencarian dimulai. Semua yang ikut mencari masuk ke ruang duduk kelas satu yang lapang dan nampak mewah. Jupiter mengambil selembar brosur dari tumpukan yang disediakan untuk para wisatawan di atas sebuah meja, lalu meneliti denah susunan kabin yang tertera di situ.
"Kamar yang mana, Jupiter?" tanya Chief Reynolds.
"Ini dia-Kabin 22, di Dek D. Mrs. Jingle waktu itu menempati kamar di sebelahnya, Kabin 21. Wanita tua itu tertawa ketika kutanyakan padanya apakah ia tahu pasti. Katanya, ia takkan mungkin melupakan kedua kabin itu, karena keduanya merupakan yang paling tidak enak di kapal! Tepat di bawah haluan!' katanya tadi. Sepanjang ingatannya, Dingo sewaktu berlayar itu menempati tempat tidur bawah. Tapi kurasa batu-batu permata itu tidak ditaruh di dalam tempat tidur."

Jupiter mengantungi gambar denah kabin kabin, lalu mengeluarkan salinan teka-teki.
"Bait keenam, yang merupakan bait terakhir, mengatakan:

"In the posh Oueen's old Ned, be bright and natural and the prize is yours."

Chief Reynolds menyimak dengan penuh minat, lalu mengulangi,
"Di Ned tua Ratu yang hebat, cerdaslah serta wajar, sehingga hadiah menjadi milikmu."

"Aneh-sedikit pun aku tidak melihat adanya petunjuk dalam kalimat itu," katanya sambil menggeleng-geleng.
"Jika kita bicara tentang tempat tidur, maka kata 'wajarlah' pasti berarti kita harus berbaring di dalamnya; sedang tentang kata 'cerdaslah', be bright-aku yakin itu pasti merupakan petunjuk rangkap! Artinya di samping cerdas, kita juga harus mencari sesuatu yang terang!"
"Wah, Jupe," kata Billy. "Sesuatu yang terang? Apa itu ya?"
"Kurasa itu mungkin cahaya atau sinar yang bisa dilihat jika kita berbaring di tempat tidur itu!"
"Kalau begitu kita periksa saja ke sana!" kata Kapten. "Tapi kita harus jalan kaki ke bawah sana-karena lift sudah dihentikan semuanya."
Sewaktu mereka menuruni tangga demi tangga menuju ke Dek D, tiba-tiba Pete menelengkan kepala, ia memasang telinga.
"Apa itu? Aku mendengar sesuatu!" Semua ikut mendengarkan. Tapi tidak terdengar bunyi apa-apa.
"Bunyinya seperti ada yang menggedor-gedor dinding!" kata Pete menjelaskan.
"Mungkin itu salah seorang dari kita, tapi tanpa kita sadari melakukannya," kata Kapten. "Dek D terletak paling bawah. Tapi hati-hati melangkah, karena di situ gelap."
Mereka meneruskan langkah, menuruni tangga demi tangga, yang dari dek yang satu ke dek selanjutnya semakin menyempit. Sesampai di Dek D, mereka menuju ke haluan, ke bagian yang merupakan tempat kabin-kabin kelas ekonomi. Saat melangkahi sebuah ambang pintu kedap air yang membatasi rongga kapal tempat kabin-kabin yang lebih kecil ukurannya, semuanya mendengar bunyi yang datangnya dari arah haluan. Bunyi teredam, mendengus-dengus!
"Sekali ini kita semua tidak mungkin salah dengar!" kata Pete.
"Tikus, mungkin," kata Chief Reynolds. "Tidak ada kapal yang tidak ada tikusnya!"
"Tapi dalam kabin-kabin penumpang di sini, tidak ada!" tukas Kapten yang merasa tersinggung. "Lagi pula bunyi itu terlalu keras. Tidak mungkin tikus yang menyebabkannya."
Dengan hati-hati rombongan itu maju ke arah haluan, menyusur lorong yang hanya remang-remang penerangannya. Bunyi mendengus samar itu datang dari sebuah kabin yang sempit. Dari sebuah lemari dinding!
"Mundur, Anak-anak," kata Chief Reynolds, lalu membuka pintu lemari itu.
"Skinny!" Keempat anak yang disuruh mundur tadi berteriak serempak.
Remaja kurus jangkung itu meringkuk dalam lemari dengan tangan dan kaki terikat, sedang mulutnya disumbat dengan kain. ia mendengus-dengus karena ingin mengatakan sesuatu. Mata-nya terputar-putar liar. Dua orang petugas polisi bawahan Chief Reynolds melepaskan ikatan Skinny, lalu menolongnya keluar.
Remaja brengsek itu tidak bertingkah lagi sekarang, ia terhuyung-huyung menghampiri sebuah tempat tidur lalu duduk di situ.
"Berjam-jam lamanya aku terkurung dalam lemari itu! Aku... aku tadi baru saja hendak memeriksa kabin-kabin di bawah sini, ketika tahu-tahu ada orang menyekap dari belakang dan memukul kepalaku!"
"Bohong!" kata Bob dengan sengit. "Kami melihatmu di atas dek tadi, sekitar satu jam yang lalu!"
"Itu pasti seseorang yang sengaja menampak kan diri agar dikira aku," kata Skinny. ia gemetar Suaranya terdengar lemah, ketakutan. "Kemudian aku diikat, mulutku disumbat-lalu aku didorong masuk ke dalam lemari itu. Aku setengah mati ketakutan, karena kukira aku takkan mungkin bisa keluar lagi!"

"Itulah-siapa suruh berbuat licik!" tukas Pete.
"Orang yang menyekapmu itu, ia seorang diri saja atau berdua?" tanya Jupiter dengan nada menyelidik.
Skinny menggeleng.
"Aku tidak tahu," katanya. "Aku tidak melihat Jengan jelas, karena saat itu terlalu pusing." ia meraba-raba bagian kepalanya yang benjol kena pukulan.
Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring, seperti ada gelas atau kaca jatuh. Datangnya dari arah haluan.
"Bunyinya seperti datang dari sekitar Kabin 22!" seru Kapten.
"Cepat, kita ke sana!" kata Jupiter.
Tapi Skinny tidak beranjak dari tempatnya.
"Aku tidak mau. Biar kalian sajalah yang mendapat harta itu," katanya.
Chief Reynolds menugaskan seorang bawahannya menemani Skinny. Rombongan selebihnya lari menyusur lorong-lorong sempit, mengikuti Kapten. Setelah menikung di sudut terakhir, pemimpin pameran terapung itu menuding ke depan.
"Itu, Kabin D-22 ada di sana!"
"Lihat!" seru Pete.
Winifred Percival muncul dari kabin yang dituding, diikuti oleh Cecil yang gendut! Keduanya melihat rombongan pencari yang muncul, lalu lari ke arah yang berlawanan. Cecil menggenggam "sebuah kotak kecil berwarna hitam.
"Jangan lari! Polisi!" seru Chief Reynolds.
Tapi kedua orang Inggris itu tidak berhenti.

Mereka malah mempercepat langkah. Tubuh Cecil yang gendut terguncang-guncang seperti agar agar, sementara ia lari mengikuti saudaranya yang kurus. Keduanya bergegas mendaki tangga demi tangga, sementara para pengejar menyusul dekat sekali di belakang mereka. Kedua orang itu melesat lewat sebuah pintu, masuk ke ruang duduk kelas ekonomi yang terdapat di Dek B.
"Pintu keluar ada di sebelah kiri," ujar Kapten dengan napas terengah-engah. "Kita potong jalan mereka di sana!"
Bersama Pete, pemimpin pameran terapung itu lari menyusur lorong untuk menuju pintu yang satu lagi, sementara sisa rombongan menghadang di pintu utama. Winifred melihat Kapten dan Pete muncul di pintu keluar, lalu cepat-cepat berganti arah. ia lari menuju pintu masuk ke ruang baca yang ada di sebelah. Cecil hendak mengikutinya membelok. Tapi pria gendut itu terpeleset lalu jatuh, menubruk tiga buah meja dan akhirnya roboh setelah membentur dinding, ia terhenyak di lantai, terengah-engah kepayahan. Kotak hitam yang digenggamnya tadi terlempar dari tangannya
Winifred berhenti lari ketika melihat bencana itu. ia menatap saudaranya yang roboh dengan mata dipelototkan.
"Sudah gendut, tolol lagi!" bentak wanita kurus itu.
Cecil masih berusaha hendak bangkit, ketika Kapten dan Chief Reynolds menghampiri lalu menariknya berdiri. Salah seorang bawahan Chief Reynolds memegang Winifred. Jupiter memungut kotak hitam yang tercampak tadi.
"Rupanya mereka mendengar kata-kataku ketika masih di atas tadi," kata Jupiter menduga. "Merekalah yang didengar oleh Pete sewaktu kita menuruni tangga menuju kemari. Mereka lari ke sini, mendului kita. Di mana Anda menemukan kotak ini, Miss Percival? Di dalam tempat lampu di Kabin D-22?"
Winifred mengangguk dengan tampang lesu.
"Di langit-langit, di sebelah atas lampu."
"Buka kotak itu, Jupe," desak Bob.
Jupiter membuka kotak hitam itu.
Semua menatap batu-batu gemerlapan yang ada di dalamnya. Kemudian Chief Reynolds membungkuk ke depan, memungut salah satu batu itu yang berwarna hijau lalu mengamat-amatinya.
"Ini bukan jamrud, tapi sepotong kaca!" Kepala polisi Rocky Beach itu mengacak-acak 'batu permata' yang ada di dalam kotak. "Semuanya kaca. Permata palsu!"
"Di bawahnya ada sepucuk sampul," kata Bob sambil menunjuk.
Chief Reynolds mengeluarkannya dari dalam kotak. Di dalam sampul itu ada surat yang ditulis pada sepotong karton tipis.

Kepada semua pemburu harta yang mata duitan.
Kalian mestinya tahu bahwa orang yang
berpikiran waras tentu akan memakai uang nya secara bijak. Dan itu telah kulakukan-aku menghabiskannya! Tapi asyik rasanya membayangkan segerombolan manusia ta mak sibuk membuntuti petunjuk demi petun juk, karena ingin menemukan hartaku! Jadi inilah dia-hadiah bagi manusia-manusia konyol!

Dingo

Semuanya hanya bisa melongo.
"Jadi.... jadi segala-galanya cuma... tipuan belaka?" kata Billy tergagap.
"Padahal aku sudah begitu yakin...," ujar Jupiter dengan suara lemah.
"Cuma keisengan konyol!" seru Pete dengan kesal.
"Tak mungkin cuma ini saja yang ada!" teriak Roger Callow, lalu dengan cepat berpaling untuk menatap kedua Percival bersaudara. "Apa lagi yang kalian temukan di langit-langit kabin?"
"Tidak ada apa-apa lagi," tukas Cecil dengar marah. "Jika kau berpendapat batu-batu permata asli itu mestinya ada di sana, periksa saja sendiri!"
"Apa lagi yang mungkin disembunyikan Dingo, Mr. Callow?" kata Jupiter.
"Pasti ada sesuatu," kata Callow. "Ayo, kita lihat ke sana!"
Semuanya pergi ke bawah lagi, kembali ke Kabin D-22. Cecil dan Winifred juga ikut, digiring bawahan Chief Reynolds. Gagang lampu kabin
tergantung pada engsel yang terpasang di langit-langit, menampakkan lubang di sebelah atasnya. Pete menjulurkan tangan ke dalam lubang itu. ia melakukannya dengan berhati-hati, agar tidak menyentuh kabel-kabel yang ada di situ. ia merogoh-rogoh, menggeleng-geleng, lalu menarik tangannya keluar dari lubang, ia memegang sepucuk sampul.
Dengan cepat Roger Callow menyambar sampul itu, lalu membukanya.
"Ini surat wasiat yang asli! Wasiat yang mewariskan segala-galanya pada Nelly dan Billy!" Pengacara hukum itu tertawa.
"Tapi-tapi itu kan tidak mungkin," seru Jupiter.
"Kenapa tidak mungkin?" kata Roger Callow dengan suara tajam.
"Maksudku," kata Jupiter lambat-lambat, "jika itu surat wasiat yang lenyap dari kantor Anda, kenapa lalu disembunyikan di sini?"
"Sebabnya, tentu saja karena Dingo tidak menginginkannya jatuh ke tangan orang lain yang kemudian memusnahkannya," kata Roger Callow. "ia tahu, kedua Percival ini pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk merampas hartanya!" ia menatap kedua orang Inggris yang sudah merasa kalah itu dengan sikap menang.
"Tapi," kata Jupiter, "jika surat wasiat yang ada di tangan Anda itu tidak ditemukan, bukankah tetap saja Billy yang akan menerima seluruh warisan itu? Dan seperti dikatakan oleh Dingo dalam suratnya,

tidak ada lagi uangnya yang masih tersisa! Jadi untuk apa surat wasiat itu disembunyikan?"
"Kita tidak bisa menduga jalan pikiran orang yang tidak waras," kata Roger Callow sambil mengangkat bahu. "Setidak-tidaknya dengan ditemukannya surat wasiat ini Billy dan Nelly' mendapat pengesahan selaku ahli waris yang berhak memperoleh kedua rumah dan tanah peninggalan Dingo!"
"Ya, memang," kata Jupiter sambil termenung "Yah-kalau begitu segala urusan dengan batu batu permata itu ternyata cuma tipuan belaka."
"Aku tidak percaya!" teriak Billy. "Surat yang di tangan Chief Reynolds itu palsu!"
"Itu mungkin saja," kata Bob. "Barangkali-"
"Apa itu, Chief?" tanya Pete dengan tiba-tiba. "Itu, yang tergantung di sampul!"
"Ini, maksudmu? Sepotong tali," kata Bob sambil meneliti.
Chief Reynolds memeriksa tali pendek yang menempel pada sisi belakang sampul yang ditemukan di bawah tumpukan batu-batu permata palsu. Tali itu ditariknya pelan-pelan.
Suara orang tertawa menggema dalam kabin!
"Tali itu ternyata berisi rekaman suara!" kata Jupe.
"Suara tertawa Kakek!" seru Billy. Gelak tertawa mendiang Dingo memenuhi ruangan.

Bab 20
JUPITER MENGATUR JEBAKAN

"Cuma keisengan belaka, lain tidak!" tukas Chief Reynolds dengan sebal. "Kau yakin itu suara kakekmu, Billy?"
Billy mengangguk lesu.
"Ya, itu memang suara Kakek," katanya, "ia... ia rupanya merekam suara tertawanya sendiri di tali itu!"
"ia pasti sudah tidak waras lagi," kata Chief Reynolds. "Masa, lelucon begitu dilakukannya terhadap keluarga yang ditinggalkannya."
"Segala-galanya cuma lelucon belaka," kata Winifred berkeluh-kesah. "Dingo ternyata memang benar-benar bandit!"
Chief Reynolds menatap wanita kurus itu dengan galak.
"Bagi Anda dan saudara Anda, urusan ini lebih daripada sekadar hanya lelucon! Kapten, apakah kedua orang ini mendapat izin untuk berada di atas kapal setelah tempat ini dinyatakan ditutup untuk umum? Atau untuk merusak perlengkapan kapal?"
"Tentu saja tidak!" tukas Kapten.
"Dengan begitu mereka bersalah, masuk kemari tanpa izin, kata Chief Reynolds. "Ditambah lagi merusak-"

"Anda tidak bisa menuduh kami-" tukas Cecil dengan gugup.
"Jangan lupa, urusan melepaskan tali pengikat sekoci tadi, sehingga kita nyaris saja celaka," kata Jupiter mengingatkan.
"Ya, itu memang merupakan pelanggaran berat," kata Chief Reynolds bersungguh-sungguh.
"Goblok!" Tiba-tiba Winifred menukas saudara nya. "Kan sudah kukatakan tadi, jangan kaulaku-kan! Lihat sekarang akibatnya!"
"Diam!" bentak Cecil dengan marah. "Anak dungu itu-"
Tapi Winifred malah mengadu pada Chief Reynolds.
"Semuanya ini akalnya! Semua! Urusan dengan sekoci, pencurian, segala-galanya berasal dari rencana edannya!"
Jupiter tertawa nyengir.
"Sudah kusangka mereka melakukannya untuk membuat kami ketakutan sehingga mereka bisa beraksi dengan lebih leluasa-tapi aku belum yakin. Tadi pagi mereka juga sudah melakukan perbuatan serupa, sewaktu mengurung Billy dalam mobil boks."
"Apa?" teriak Winifred. "Kami tidak pernah-"
"Bawa mereka," kata Chief Reynolds pada anak buahnya.
Dua petugas polisi menggiring Cecil dan Winifred Percival pergi dari situ. Cecil mengayunkan tangannya hendak memukul Winifred, tapi sempat ditahan seorang polisi.

"Mereka tadinya kan tidak tahu, Goblok!" bentak Cecil.
"Kau kan yang mengajak kemari, Kodok Gendut!" teriak Winifred.
"Kau kan juga bernafsu sekali, ingin mendapat bagian, Jeruk Asam!" balas Cecil.
Keduanya diseret ke luar oleh polisi-polisi yang ditugaskan. Suara kedua orang Inggris bersaudara itu terdengar lantang di dalam gang, berteriak-teriak saling mengata-ngatai. Chief Reynolds menggeleng-geleng, nyaris tidak bisa menahan tertawa.
"Aku tidak tahu, apakah mereka tidak akan lebih merasa terhukum jika dipulangkan bersama-sama ke Inggris," katanya.
Setelah itu ia melangkah ke luar, bersama Kapten, diikuti oleh Billy dan Roger Callow. Pengacara hukum itu membawa sampul yang berisi surat wasiat. Bob dan Pete juga sudah hendak ikut keluar. Tapi Jupiter menahan.
"Biar mereka saja yang duluan, Teman-teman," katanya.
Saat itu Roger Callow sudah sampai di ambang pintu, ia menoleh ke arah ketiga remaja itu dengan sikap bertanya.
"Kami akan segera menyusul," kata Jupiter padanya. Pengacara hukum itu hanya mengangkat bahu, lalu keluar.
Pete dan Bob memandang Jupiter dengan heran.

"Tapi urusan ini kan sudah selesai, Jupe," kata Bob.
"Cuma lelucon brengsek belaka," kata Pete.
Sementara itu Jupiter sibuk meneliti denah susunan kabin-kabin sekali lagi. Setelah beberapa saat ia mendengus puas, lalu memandang teman-temannya.
"Tidak! Menurutku ini bukan cuma lelucon, dan urusan juga belum selesai. Kurasa ini tipuan Dingo yang terakhir. Dan juga yang terhebat!"
"Tapi teka-tekinya kan sudah kita selesaikan semua," kata Pete. "Bait penghabisan sudah kita temukan jawabannya, dan hadiahnya juga sudah kita peroleh-koleksi batu permata palsu!"
"Tidak," kata Jupiter sekali lagi, "menurutku, kita belum menyelesaikan teka-teki terakhir. Aku yakin, masih ada teka-teki ketujuh-tapi yang secara cerdik telah disembunyikan!"
Dikeluarkannya salinan surat wasiat dari kantungnya.
"Lihatlah," sambungnya, "sesudah-bait ke-enam-yang kita anggap merupakan teka-teki terakhir-masih menyusul dua kalimat lagi: 'Siapa mengira ada begitu banyak uang pada diri Pak Tua itu? Lemparkan dadu, dan harta itu menjadi milikmu!'"
"Itu kan cuma untuk mempertegas tantangannya, Jupe," kata Bob. "Dingo kan suka menertawa-kan orang."
"Sangkaku semula juga begitu," kata Jupiter membenarkan. "Tapi sekarang... coba kita tilik kalimat yang pertama: 'Siapa mengira ada begitu banyak uang pada diri Pak Tua itu?'"
"Itu kan kalimat biasa-biasa saja," bantah Pete.
"Kedengarannya memang begitu," kata Jupe. "Tapi kalau kau tahu bahwa itu merupakan kutipan yang nyaris tepat dari satu kalimat yang berasal dari sandiwara Macbeth, buah karya pujangga Inggris beberapa abad yang lalu, Shakespeare, yang berbunyi: 'Siapa mengira ada begitu banyak darah dalam tubuh Pak Tua itu?'-pasti itu bukan kebetulan saja, kan?"
"Bisa saja kan, Dingo itu menyukai Macbeth," kata Pete. "Lagi pula apa yang menyebabkan kau beranggapan bahwa mesti ada teka-teki yang ketujuh?"
"Sebab kalimat yang merupakan kutipan itu tidak ada hubungannya dengan urusan wasiat," jawab Jupiter. "Kecuali itu aku yakin mendiang Dingo yang begitu pelit takkan mungkin menghambur-hamburkan uangnya. Dan juga karena ia mempergunakan logat penjudi."
"Penjudi?" kata Bob. "Apa hubungannya logat itu dengan teka-teki tambahan, Jupe?"
"ia mengatakan, 'Lemparkan dadu, dan harta itu menjadi milikmu!'" ujar Jupiter yang membacakannya dari salinan teka-teki. "Kenapa dikatakan 'lemparkan dadu', jika banyak kata-kata lain yang bisa digunakan di situ?"
"Kenapa? Siapa yang bisa tahu?" kata Pete mengeluh.

"Kurasa aku tahu maksudnya," kata Jupiter dengan tegas. "Dalam permainan dadu, apakah arti kata natural? Artinya memang 'wajar' dalam bahasa biasa-tapi dalam permainan dadu?"
Mata Bob membesar.
"Aku pernah membaca mengenai hal itu dalam sebuah buku kumpulan permainan," katanya. "Artinya 'tujuh' atau 'sebelas' dalam lemparan pertama. 'Tujuh'! Dengannya Dingo memberi petunjuk bahwa masih ada lagi satu teka-teki. Yang ketujuh, dan tersembunyi!"
"Wow!" kata Pete kagum. 'Tapi apa yang merupakan teka-teki ketujuh? Apakah sesuatu di dalam kalimat yang merupakan kutipan Macbeth yang nyaris persis?"
"Mestinya begitu," kata Jupiter-lalu terdiam; seolah-olah sedang mendengarkan. Tapi kemudian ia meneruskan, dengan suara lebih lantang. "Tapi aku tidak bisa menafsirkan maknanya. Kuakui terus terang, aku bingung. Mungkin sebaiknya kita katakan saja hal ini pada yang lain-lain. Kita dengar pendapat mereka mengenai hal ini."
"Wah-kenapa tidak kita coba saja menguraikannya sendiri, Jupe?" kata Pete. "Kedua Percival dan Skinny sekarang kan tidak bisa merongrong lagi."
"Memang tidak," kata Jupiter dengan suara keras,- "tapi kita perlu bantuan sekarang. Ayo!"
Penyelidik Satu bertubuh gend-eh, gempal itu mendului keluar dari kabin, lalu menuju tangga besar yang mengarah ke atas. Mereka pergi ke ruang duduk penumpang kelas satu, dan dari situ melangkah ke luar, ke dek yang gelap dan sunyi. Sesampainya di situ Jupiter berhenti, lalu cepat-cepat menarik Pete dan Bob ke tempat yang lebih gelap.
"Sampai di sini sudah cukup jauh. Teman-teman," katanya berbisik.
"Cukup jauh?" tanya Pete dengan heran. "Untuk apa, Jupe?"
"Apa yang akan kita lakukan di sini?" bisik Bob dengan heran.
"Kita menunggu selama beberapa menit," kata Jupiter, "lalu setelah itu pergi ke bawah, ke tempat batu-batu permata itu disembunyikan!"
"Kau tahu tempatnya?" seru Bob dengan suara tertahan.
"Di mana?" tanya Pete, nyaris terlalu lantang.
Dengan cepat Jupiter memandang berkeliling. Tapi tidak ada yang kelihatan bergerak-gerak di dek yang gelap itu.
"Di denah kapal yang kuteliti tadi kulihat bahwa di kapal ini ada sebuah ruang duduk kecil yang diberi nama Ruang Macbeth! Di situlah harta peninggalan Dingo disembunyikan!"
"Wah-Tapi kenapa tadi kaukatakan bahwa kau bingung?" tanya Pete.
"Sebentar lagi akan kauketahui sebabnya," kata Jupiter. ia memandang arlojinya. "Nah-kita berangkat sekarang. Tapi pelan-pelan. Kalian berjalan di belakangku, ikuti segala perbuatanku."
Dengan langkah menyelinap ia kembali ke ruang duduk besar. Dari situ turun ke bawah lewat tangga yang lebar dan berkarpet, ke Dek B. Pete dan Bob mengikutinya sambil membisu. Pemimpin mereka membawa keduanya melewati lorong-lorong remang di dek itu. Akhirnya ia berhenti di tempat gelap, dekat sebuah pintu yang ada jendelanya. Jendela itu bundar.
"Ini jalan samping khusus bagi pelayan untuk masuk ke Ruang Macbeth," bisik Jupiter.
"Lalu sekarang bagaimana selanjutnya?" tanya Pete dengan berbisik pula.
"Kita menunggu," jawab Jupiter dengan suara lirih. "Menunggu, dan memperhatikan!"
Sementara ia sedang bicara, tiba-tiba nampak jalur cahaya menembus kegelapan dalam ruangan itu. Sementara sumbernya tetap berada di satu tempat, cahaya itu berpindah-pindah menerangi, seluruh bagian ruangan: meja-meja, kursi-kursi, empuk dan rendah yang diperlengkapi dengan sandaran lengan serta dilapisi kain berpola kotak-kotak, sebuah bar sederhana tempat menyajikan minuman, dinding-dinding yang dihiasi dengan ketopong-ketopong satria kuno serta tameng-tameng, serta patung-patung dada prajurit suku skot berjanggut lebat yang ditaruh di atas tiang-tiang penopang.
Orang yang memegang senter mulai berkeliaran dalam ruangan itu.
Sambil menahan napas, ketiga remaja yang mengintip memperhatikan sinar senter yang bergerak-gerak di antara meja-meja. Mereka hanya bisa melihat tangan yang memegang senter. Orangnya sendiri tidak nampak. Ketiga remaja itu hanya bisa mengenali sosok gelap yang bergerak kian kemari dengan cepat, berhenti sebentar di setiap meja, mencari-cari di bawah bar, merogoh-rogoh kumpulan tameng dan ketopong yang tergantung di dinding. Sekali-sekali tangan orang itu-yang tidak memegang senter-diterangi berkas sinar, pada saat ia mengulurkannya ke depan untuk merenggut benda-benda dari dinding atau meja, lalu mendekatkannya ke muka untuk diteliti, lalu kemudian mencampakkannya lagi.
Kemudian berkas sinar bergerak menerangi patung-patung dada para prajurit Skot, lalu kembali menerangi jajaran itu sekali lagi-dan akhirnya berhenti. Sinar senter menerangi sebuah patung yang terbuat dari perunggu. Patung seseorang berjanggut lebat, dengan mahkota raja di atas kepala. Sambil mendengus keras sosok gelap itu menghampiri patung itu, lalu mengangkatnya. Terdengar seruan puas, sementara tangan orang yang rupanya sedang mencari-cari sesuatu itu menimang-nimang patung perunggu.
Jupiter mencengkeram bahu Bob dengan keras, sehingga nyaris saja temannya itu terjerit.
"ia sudah tahu bahwa patung itu berongga sebelah dalamnya," bisik Jupiter. "ia sudah menemukannya!"

Sementara ketiga remaja itu memperhatikan dengan tegang, sosok gelap itu meletakkan senternya ke sebuah meja, lalu merogoh ke dalam rongga yang terdapat di bagian bawah patung, ia mengeluarkan sebuah kantung besar yang keli hatannya terbuat dari kulit! Sementara patung perunggu itu dilepaskan dengan begitu saja sehingga jatuh ke lantai, kedua tangan sosok gelap itu buru-buru membuka kantung. Sekali lagi terdengar dengusan. Dengusan yang menyuara-kan perasaan menang! Sosok gelap itu menuju ke pintu besar Ruang Macbeth, lalu keluar lewat situ.
"Cepat," bisik Jupiter. "Kita harus membuntuti dia, tapi jangan sampai ketahuan!"
Mereka mengintip dari balik sudut lorong utama Dek B. Sosok gelap itu bergegas-gegas menjauh. Sebelum anak-anak sempat melihat siapa dia, orang itu sudah menghilang ke dalam sebuah lorong samping. Anak-anak menyusul ke situ, dan masih sempat melihatnya memasuki sebuah, kabin. Ketiga remaja itu mendekati pintu ruangan itu, sambil menyelinap-nyelinap.
Di dalam, sosok gelap itu kelihatan sibuk melakukan sesuatu dalam sebuah lemari dinding! yang kecil. Kemudian ia mundur. Kantung kulit yang tadi sudah tidak ada lagi di tangannya! Jupiter menepuk punggung Pete dan Bob, lalu menuding sebuah kabin yang terdapat di seberang lorong.
Dengan diam-diam mereka masuk ke kabin itu. Baru saja mereka masuk ke situ, sosok gelap tadi keluar dari kabin seberang lalu bergegas-gegas pergi ke lorong utama lagi. Pete beranjak, hendak mengikuti. Tapi Jupiter menahannya.
"Jangan-biar dia pergi. Kita mencari kantung tadi."
Jupiter masuk ke kabin yang di seberang lorong, lalu membuka pintu lemari kecil di situ. Bob dan Pete memperhatikan pemimpin mereka mengeluarkan senternya yang langsing, lalu dengan senter itu menerangi bagian dalam lemari. Di dinding tempat itu ada kisi-kisi penutup lubang angin. Kantung kulit yang dicari terdapat di belakangnya. Mata Jupiter bersinar-sinar-tetapi kemudian pintu lemari kecil itu ditutupnya kembali!
"Pasti isinya batu-batu permata itu!" seru Pete dengan suara tertahan. "Kita tidak mengambilnya, Jupe? Atau setidak-tidaknya melihat sebentar?"
"Lalu setelah itu mengejar pencuri tadi?" kata Bob menambahkan. "Maksudku, orang itu pasti hendak mencuri harta warisan yang di dalam itu, kan?"
"Itu sudah jelas," kata Jupiter. "Tapi ia takkan pergi jauh-jauh, dan kita tidak boleh menyentuh kantung itu-karena itu merupakan bukti yang akan membuat pencuri tadi ketahuan belangnya!"
"Jadi kau ini sedang mengatur jebakan, ya?" kata Bob. Sekarang ia baru memahami niat temannya itu. "Kau tahu bahwa akan ada orang mencuri kumpulan permata itu dari Ruang Macbeth! Dari mana kau mengetahuinya, Jupe?"
"Karena aku kebetulan tahu bahwa surat wasiat tadi, yang ditemukan bersama batu-batu yang ternyata cuma kaca belaka, bukan surat wasiat asli Surat wasiat itu palsu! Bukan Dingo yang menaruhnya di situ. Dan itu berarti ada orang yang sudah lebih dulu menemukan batu-batu mulia palsu itu-lalu mengembalikan ke tempatnya yang semula!"
"Mengembalikannya?" kata Pete bingung.
"Ya, supaya kita tidak curiga, dan karenanya akan mengarahkan pencuri itu ke tempat permata-permata yang asli disembunyikan! Saat itulah aku sadar bahwa sepanjang hari kita dibuntuti terus oleh orang yang berutang pada Savo dan Turk. Aku juga yakin saat itu, orang yang kumaksudkan itu pasti masih terus mengamat-amati gerak-gerik kita. Karenanya aku lantas memasang jebakan.
"Aku tadi sengaja mengatakan makna dari teka-teki ketujuh dengan suara keras, lalu pura-pura bingung. Aku tahu Ruang Macbeth merupakan ruang duduk di kapal ini, dan aku juga yakin bahwa itu diketahui pula oleh orang yang membuntuti kita. Orang itu pasti akan .langsung pergi mengambil harta itu, begitu ia mengira kita sudah turun dari kapal!"
"Dan ternyata itu memang dilakukannya!" seru Pete.
"Ya," kata Jupiter senang. "Sekarang kita cari Chief Reynolds, lalu kita tunjukkan di mana batu-batu permata asli disembunyikan lagi oleh si pencuri, untuk kemudian baru diambil kalau keadaan sudah dirasakan aman. Kantung, ditambah sidik jari pada kisi-kisi-kurasa itu sudah cukup untuk menjebloskan pencuri itu ke dalam penjara. Nah-"
"Ternyata kalian terpaksa kusingkirkan!"
Ketiga remaja itu berpaling dengan cepat. Roger Callow berdiri di ambang pintu kabin yang terbuka. Tangannya menggenggam pistol.

Bab 21
PETE MENYELAMATKAN WARISAN

"Apa boleh buat," kata pengacara hukum itu dengan geram. "Semula kusangka kalian tidak perlu kuapa-apakan lagi, begitu batu-batu permata itu sudah ada di tanganku."
"Sejak semula Anda sudah berniat mencurinya!" kata Bob dengan sengit.
Roger Callow melangkah maju menghampiri anak-anak dengan pistol yang siap untuk ditembakkan, ia tersenyum geram.
"Harta itu harus kumiliki, tapi bandit tua itu mencoba menghalang-halangi aku dengan surat wasiat edannya," katanya sengit, "ia tidak ingin aku menikah dengan Nelly-karena dia menduga bahwa aku menghendaki hartanya. Tapi sekarang segala-galanya akan jatuh ke tanganku!"
"Anda memperalat kami," kata Jupiter lambat-lambat. "Itu sebabnya Anda menugaskan kami untuk mencari batu-batu permata itu, dan bukan detektif dewasa! Anda mengira karena kami masih remaja, kami akan lebih gampang tertipu."
"Rupanya sangkaanku itu keliru," kata Callow. "Kalian terlalu cerdik, sehingga mencelakakan diri kalian sendiri!"

Pengacara hukum itu menggerakkan pistolnya dengan sikap mengancam. Anak-anak langsung pucat. Tapi mereka tetap tabah.
"Aku bisa mengerti, apa sebabnya Anda ingin agar batu-batu ini ditemukan sebelum dicuri orang lain," kata Bob, "tapi kenapa harus Anda curi? Kan sebagian akan menjadi milik Anda juga, apabila Anda sudah menikah dengan Mrs. Towne."
"Dan itu juga Anda yang mengatur, kan?" kata Jupiter menambahkan. "Anda yang menaruh salinan palsu dari surat wasiat yang pertama, dalam mana Nelly Towne ditunjuk sebagai ahli waris."
"Anak pintar!" kata Callow. "Tapi aku memerlukan lebih dari hanya sebagian batu-batu permata itu-dan aku tidak ingin terpaksa menjelaskan sebabnya pada Nelly."
"Kami tahu sebabnya!" kata Pete dengan cepat.
"Karena utang Anda yang banyak pada Mr. Savo dan Turk, setelah kalah berjudi!" sambung Bob dengan sengit.
"Dan Nelly pasti tidak senang, jika mendengar bahwa Anda banyak utang karena kalah berjudi," kata Jupiter.
"Rupanya kalian ini terlalu banyak tahu! Sayang-bagi kalian sendiri," kata Roger Callow. "Tapi kalian benar. Mungkin Nelly akan memutuskan hubungan dengan aku, jika tahu apa sebabnya aku perlu uang begitu banyak. Lagipula, untuk apa aku berbagi permata itu dengan dia dan Billy, apabila semuanya bisa menjadi milikku? Kini tidak ada orang lain yang bisa mengambilnya, lalu setelah aku menikah dengan Nelly, tanah dan kedua rumah itu juga akan menjadi milikku!"
Pengacara hukum itu tertawa, sementara laras pistolnya tetap diacungkan ke arah anak-anak, Jupiter memandang ke belakang Roger Callow, ke arah ambang pintu yang terbuka.
"Mrs. Towne takkan sudi menikah dengan Anda, jika ia tahu bahwa Anda mencuri harta yang seharusnya diwarisi olehnya," kata remaja bertu-buh gempal itu.
Pengacara hukum itu tersenyum jahat.
"Tapi ia takkan tahu," katanya. "Cuma kalian bertiga saja yang tahu bahwa aku berhasil menemukan harta itu-dan kalian takkan bisa menceritakan hal itu pada siapa pun juga."
"Itu mungkin saja," kata Jupiter dengan tabah, "tapi walau begitu ia tetap akan tahu-ya kan, Billy? Cepat, laporkan pada Chief Reynolds apa yang baru saja kaudengar!"
Roger Callow menatap Jupiter, lalu tertawa lagi. ia menggelengkan kepala.
"Itu taktik kuno, Jupiter," katanya. "Aku takkan bisa kautipu."
"Cepat, Billy!" desak Pete.
"Sudah, hentikan ocehan kalian!" tukas Callow. "Kalian bertiga takkan mampu mengalahkan aku."
"Ayo cepat, Billy!" seru Jupiter gugup. "Lari!"
Mata Roger Callow menyipit setelah mendengar nada suara Jupiter. Kemudian ia berpaling, ketika terdengar bunyi sesuatu di belakangnya. Tapi sudah terlambat! Billy yang selama itu tegak di dalam lorong remang sambil memandang anak-anak serta Roger Callow, akhirnya mau juga lari!
"Berhasil!" seru Pete dengan gembira.
Sambil mengumpat, Roger Callow memandang anak kecil yang dengan cepat lari menjauh. Kemudian ia berpaling lagi lambat-lambat, lalu menatap Trio Detektif.
"Anda menjadi korban ketamakan Anda sendiri, Mr. Callow," kata Jupiter. "Kini Anda kehilangan segala-galanya, tidak peduli apa yang akan Anda lakukan terhadap kami!"
Pengacara hukum itu mengangguk.
"Ya, harus kuakui bahwa siasatmu tadi hebat," katanya. "Aku tertipu! Kukira tadi itu cuma siasatmu saja, ketika kau berbicara pada Billy. Hebat!"
"Jadi". kami sekarang tidak berbahaya lagi bagi Anda," kata Jupiter datar.
"Memang, tapi kalian masih ada gunanya bagiku," kata Callow. "Untungnya aku sudah mempersiapkan rencana guna menghadapi keadaan seperti ini. Pete, ambil kantung berisi batu-batu permata dari dalam lemari itu!" Pengacara hukum itu mengacungkan pistolnya lurus-lurus ke arah anak-anak. "Jangan coba-coba jadi pahlawan! Aku kini tidak peduli lagi apakah akan ada orang mendengar bunyi letusan pistolku ini!"
Pete meneguk ludah dengan gugup, lalu menuruti perintah orang itu. Setelah membuka sekerup pemegang kisi-kisi lubang angin, diambilnya kantung yang disembunyikan di belakangnya lalu diserahkan pada Roger Callow. Pengacara hukum itu menerimanya sambil mendesah.
"Karena rahasiaku sudah terbongkar, kini sebaiknya aku menghilang saja, dengan harta karun ini," katanya. "Di tempat tujuanku nanti, kurasa takkan ada orang yang akan mengenali batu-batu mulia ini. Kurasa Meksiko merupakan tempat yang nyaman saat sekarang ini-apalagi bagi orang yang berharta." ia menggerakkan pistolnya, memberi isyarat. "Sekarang kalian berjalan di depanku. Di lorong nanti belok ke kiri."
Anak-anak berjalan melalui lorong-lorong yang remang-remang, didorong-dorong dan diarahkan oleh ujung pistol yang ada di tangan Roger Callow. Mereka semua mendengar derap langkah Chief Reynolds beserta anak buahnya yang bergegas-gegas ke kabin yang baru saja ditinggalkan oleh Roger Callow bersama ketiga tawanan remajanya. Pengacara hukum itu mendengarkan sebentar dengan seksama, lalu menyuruh anak-anak menuruni sejumlah tangga dan kemudian melalui lorong-lorong yang berliku-liku dalam perut kapal besar itu. Suara berteriak-teriak terdengar di kejauhan, ketika polisi menyadari bahwa Callow dan ketiga anggota Trio Detektif sudah tidak ada lagi di dalam kabin.
Roger Callow memandang kian ke mari, melihat keadaan sebuah lorong yang melintang di Dek C. Kemudian ia menggerakkan pistolnya ke arah Bob dan Jupiter.
"Kalian berdua-ke sana! Cepat!"
Bob hendak memprotes, tapi langsung dibentak oleh Roger Callow.
"Pete ikut dengan aku!" katanya. "Jika kalian masih ingin berjumpa dengan teman kalian ini, cepat ke sana-dan jangan menoleh-noleh!"
Bob dan Jupiter menurut. Ketika sampai di ujung lorong, barulah mereka berani berbalik lalu lari kembali ke tempat tadi.
Tapi Pete sudah tidak ada lagi di situ, begitu pula Roger Callow!
Bob dan Jupiter berteriak memanggil-manggil, sambil berusaha menemukan jalan untuk mendatangi Chief Reynolds. Akhirnya teriakan mereka terdengar. Setelah saling berteriak berulang-ulang, akhirnya semua berkumpul di sebuah ruang duduk terbuka di Dek B.
"Mana Callow?" tanya Chief Reynolds.
Bob dan Jupiter cepat-cepat menceritakan peristiwa yang terjadi selama itu.
"Callow memang benar. Jika ia berhasil sampai di Meksiko, kita takkan bisa lagi membuktikan bahwa ia mencuri batu-batu permata itu," kata Chief Reynolds. "Tapi ia takkan bisa lari dari sini. Anak buahku kan ada yang menjaga di tangga."
Kening Jupiter berkerut.
"Hanya itukah jalan satu-satunya turun dari sini, Chief? Kata Callow tadi ia sudah menyiapkan rencana untuk melarikan diri-dan tadi rasanya ia mengarah ke bawah."

"Sepanjang pengetahuanku, cuma tangga itu saja satu-satunya jalan turun ke dermaga," kata kepala polisi itu.
Kapten yang juga ada di situ kaget.
"Dermaga, kata Anda?" katanya. "Bagaimana dengan pintu untuk tempat lewat muatan yang ada di dekat buritan? Apakah di situ juga ada yang menjaga?"
"Tidak!" kata Chief Reynolds. "Aku tidak tahu bahwa pintu itu terbuka!"
"Mestinya memang tidak, tapi-" kata Kapten.
"Cepat, Chief!" seru Jupiter.
Pemimpin pameran terapung yang senang jika disapa dengan sebutan Kapten mengajak mereka menyusur perut kapal besar yang sudah sunyi senyap, menuju tempat memasukkan muatan. Pintu-pintu yang menuju ke situ kelihatan dibuka secara paksa. Sesampai di dalam, Kapten menuding ke depan, ke arah gerbang tempat lewat muatan.
"Pintu itu terbuka!" serunya.
Semua bergegas maju, mendatangi pintu besar yang terbuka itu. Mereka melihat Roger Callow berdiri di tangga sempit dan curam yang menghubungkan tempat pemasukan muatan dengan pelataran dermaga yang gelap, jauh dari tangga yang dijaga ketat. Pengacara hukum itu menghadap ke arah pintu, sambil memegang Pete sebagai tameng di depannya. Pistolnya diacungkan ke arah kepala anak itu. Keduanya melangkah

mundur dengan lambat-lambat, menuruni papan tangga yang terayun-ayun.
"Jangan ada yang berani maju," seru Callow.
"Anda takkan mungkin bisa melarikan diri, Callow!" bentak Chief Reynolds.
"Bisa saja! Atau kalian ingin anak ini kutembak?"
Hanya sampai di situ saja kata-katanya. Karena selama sesaat perhatiannya terarah pada orang-orang yang berada dalam kapal, ia tidak melihat bahwa Pete dengan cepat mengulurkan kakinya ke belakang, mengait pergelangan kaki pengacara hukum itu lalu mendorongnya ke belakang. Callow kehilangan keseimbangan dan jatuh membentur pagar tangga. Pete ikut terseret.
Keduanya jatuh ke air yang terbentang gelap sepuluh meter di bawah mereka. Callow, Pete, pistol, dan kantung berisi batu-batu permata! Teriring teriakan marah, Roger Callow tercebur ke air dengan kaki terlipat, ia muncul lagi ke permukaan, sambil menjerit-jerit mengatakan bahwa kakinya patah!
Pete tidak seburuk itu jatuhnya, berkat kesigapannya. Maklum, ia kan atlet tangguh, ia melakukan gerak jumpalitan, menyambar kantung permata yang melayang ke bawah, lalu mencebur ke dalam air dengan mulus, ia muncul kembali di permukaan sambil tertawa lebar. Kantung permata diacungkannya tinggi-tinggi ke atas.
Diiringi tepukan tangan Billy dan Chief Reynolds, Pete berenang menghampiri sebuah tangga panjat yang ada di sisi dermaga. Anak buah Chief Reynolds mengeluarkan Roger Callow dari dalam air. Pengacara hukum itu jatuh terhenyak di lantai dermaga di antara dua orang polisi, ia memegangi kakinya. Tampangnya saat itu jauh dari mengesankan.
"Ia takkan bisa mencuri lagi," kata Chief Reynolds dengan galak, lalu menyapa Jupiter dengan nada yang sama kerasnya. "Tapi kau juga tidak boleh bertindak sendiri, berusaha menangkapnya, Jupiter. Seharusnya kaulaporkan padaku, begitu kecurigaanmu timbul."
"Tapi kami saat itu belum punya bukti sama sekali, Sir," kata Jupiter berdalih, "ia belum berbuat apa-apa selain menaruh surat wasiat palsu-dan itu pun tidak bisa saya buktikan. Jika kami tadi tidak memasang jebakan, pasti ia berhasil menikah dengan Mrs. Towne, dan dengan begitu memperoleh hartanya."
"Yah," kata Chief Reynolds, "kalau begitu persoalannya...."
"Saya merasa yakin bahwa ia akan digagalkan oleh ketamakannya sendiri, jika kami memberinya peluang yang seakan-akan aman untuk mencuri batu-batu permata itu untuk dimiliki sendiri," kata Jupiter melanjutkan.
"Batu-batu permata!" seru Billy.
Semua berpaling, memandang Pete. Remaja bertubuh kekar itu membuka kantung kulit, lalu menaburkan isinya ke lantai. Seonggok batu berwarna merah, kuning, biru, dan hijau meman-
228
carkan sinar kemilau, tertimpa sinar remang-remang yang berasal dari kapal yang besar.
Semua tertawa puas, melihat pemandangan seindah itu. Semua, kecuali Roger Callow, tentu saja!

Bab 22
JUPITER MENGAKUI KEKELIRUANNYA

Beberapa hari kemudian Trio Detektif mendatangi Alfred Hitchcock, untuk menyampaikan laporan tentang kasus teka-teki wasiat mendiang Dingo. Sutradara film yang termasyhur itu mendengarkan kisah ketiga remaja itu sambil bergoyang-goyang di kursi kerjanya yang bersandaran tinggi.
"Keterlaluan!" seru Mr. Hitchcock, ketika anak-anak selesai bercerita. Suaranya mengguntur, sampai bola dunia yang ada di sisi kanannya bergetar. "Jadi Callow itu ternyata hanya mengincar harta Dingo saja?"
"Kelihatannya memang begitu, Sir," kata Jupiter.
"Dasar penjahat!"
"Dari semula Dingo sudah curiga bahwa orang itu pasti hanya menginginkan hartanya," kata Pete, "tapi Mrs. Towne tidak mau mendengarkan nasihat Dingo."
"Dalam urusan yang menyangkut perasaan, orang sering tidak mau mendengarkan nasihat Cinta itu buta," kata sutradara terkenal itu mengomentari. "Dan karenanya Dingo lantas membuat surat wasiat aneh itu? Untuk menggagalkan niat jahat Callow?"
"Untuk sebagian, memang itulah alasannya," kata Jupiter. "Ia beranggapan bahwa kesibukan mencari-cari harta akan menyebabkan langkah-langkah Callow agak mengalami hambatan-dan barangkali saja akan membeberkan niatnya yang sebenarnya, mengapa ia ingin menikah dengan Nelly Towne. Dingo mengatakan pada Jack Dillon, bahwa akan ditunjukkannya pada pengacara hukum itu perburuan harta yang hebat! Tapi alasan Dingo yang sebenarnya sehingga membuat surat wasiat itu ialah kesebalannya pada Mrs. Towne karena mau-maunya jatuh hati pada Callow. Setidak-tidaknya, begitulah menurut cerita Mr. Dillon. Katanya, Dingo sungguh-sungguh berharap orang lain yang akan menemukan harta itu dan juga mengambilnya-karena keluarganya sendiri tidak pantas menerimanya!"
"Mr. Callow dua kali melongo," kata Pete menambahkan. "Pertama kali ketika melihat bahwa surat wasiat yang semula ada tahu-tahu lenyap dari kantornya, lalu yang kedua ketika surat wasiat yang aneh didaftarkan!"
"Maksudmu, bukan Callow sendiri yang memusnahkan surat wasiat yang pertama?" tanya Mr. Hitchcock.
"Bukan dia, tapi Dingo! Dingo mencurinya dari kantor Roger Callow," jawab Jupiter.
"Dan surat wasiat yang berisi teka-teki dititipkannya pada Jack Dillon," kata Bob menyela, "sebab kalau ditaruh di kantor Mr. Callow, pengacara hukum itu pasti akan buru-buru memusnah-kannya!"
"Callow harus cepat-cepat bertindak ketika tahu ada surat wasiat edan itu," kata Jupiter menyambung. "Ia sangat memerlukan uang guna menebus utang judinya, ia takut sekali, kalau-kalau ada orang lain lebih dulu menemukan batu-batu permata itu, karena ia sendiri mulanya bingung menghadapi isi surat wasiat yang berupa teka-teki itu. Karenanya tenaga kami lantas disewa olehnya."
"Ya, tapi dengan sangkaan bahwa kami gampang ditipu," kata Bob. "Kami dipekerjakan olehnya, untuk menunjukkan di mana harta warisan itu disembunyikan. Mr. Callow begitu yakin bahwa kami akan bisa dengan gampang disingkir-kan, apabila tujuannya sudah tercapai."
"Dan ternyata dugaannya meleset jauh," kata Mr. Hitchcock dengan tatapan mata jenaka.
"Sebenarnya ia gagal karena perbuatannya sendiri," kata Jupiter merendah. "Ketika hasil penyelidikan kami sudah mengarahkannya ke tempat harta permata itu, ketamakannya sendiri yang akhirnya menyebabkan ia gagal."
"Bagaimana sampai bisa timbul kecurigaan kalian terhadap Mr. Callow?" tanya sutradara terkenal itu.
Jupiter menarik napas dalam-dalam, ia paling senang jika ada peluang untuk memamerkan kemampuan penalarannya.
"Ya-kecurigaan saya mulai timbul ketika Turk dan Savo terlepas kata, mengatakan alasan kenapa kenalan mereka yang ingin paling dulu menemukan batu-batu permata itu. Nah-kedua orang itu di samping mengintai kami, juga terus-menerus mengamat-amati rumah kelurga Towne. Kenyataan itu menunjukkan bahwa mungkin penjudi itu ada di situ. Dan di antara yang ada di situ, siapa orangnya yang mungkin adalah si penjudi sendiri? Hanya Mrs. Towne, dan Roger Callow.
"Lalu apa sebabnya Billy tidak ikut disekap juga? Rupanya karena penjudi kenalan Mr. Savo dan Turk tidak tahu bahwa Billy bekerja sama dengan kami. Mrs. Towne sudah tahu, karena kami sendiri yang menceritakan padanya. Tapi Roger Callow mungkin saat itu belum tahu. Begitu pula halnya dengan kedua Percival bersaudara-atau orang yang sebelum kami disekap sudah mengurung Billy dalam mobil boks di belakang pompa bensin.
"Jadi ketika kami mendatangi kapal yang dipamerkan itu, saya tahu bahwa penjudi itu mungkin Roger Callow. Saat itu saya baru menduga saja. Namun kemudian terjadi sesuatu yang membuat saya yakin bahwa ialah orangnya. Yaitu ketika surat wasiat yang dipalsukan ditemukan di atas langit-langit kabin!"
"Tapi dari mana kau bisa mengetahui bahwa surat wasiat itu palsu?" tanya Mr. Hitchcock. "Begitu pula bahwa pelakunya pasti Roger?"
"Sebab Sadie Jingle telah menceritakan bahwa surat wasiat yang asli kemudian dimusnahkan oleh Dingo!" kata Jupe. "Ketika Sadie dan Jack Dillon diminta datang untuk menandatangani surat wasiat berisi teka-teki aneh itu selaku saksi, Dingo sempat bercerita bahwa secara diam-diam ia telah mengambil kembali surat wasiatnya yang pertama, dan kemudian memusnahkannya, ia meminta kedua sahabatnya itu agar membuka mulut apabila kemudian muncul surat wasiat lain yang dinyatakan merupakan surat wasiat yang pertama. Menurut Dingo, orang seperti Callow takkan segan-segan memalsukan. Dan ternyata mendiang Dingo benar!"
"Yah, lalu setelah surat wasiat yang dikatakan merupakan surat yang asli itu muncul, dengan gampang saja bisa diketahui siapa yang menaruhnya di tempat batu-batu permata palsu-dan kenapa ia berbuat begitu," kata Jupiter menutup keterangannya.
"Teruskan ceritamu," kata Mr. Hitchcock.
"Ya, sambung saja ceritamu sampai selesai," kata Pete. "Aku rasanya belum begitu memahami kelanjutannya!"
"Baiklah," kata Jupiter. "Sebetulnya persoalan yang dihadapi cuma menentukan siapa sebenarnya yang akan menarik keuntungan di sini. Sebelum surat wasiat yang dipalsukan muncul, Billy selaku satu-satunya keturunan langsunglah yang berhak mewarisi segala-galanya. Tidak ada yang bisa mengutak-utik-bahkan ibunya sendiri pun tidak bisa!
"Kemudian muncul surat wasiat palsu, yang menyebutkan Billy dan Nelly sebagai ahli waris. Di sini Billy kembali mendapat warisan, tapi cuma separuh dari semula. Kini Mrs. Towne ikut beruntung, ia memperoleh separuh dari harta yang diwariskan. Dan jika Roger Callow jadi menikah dengan dia, ia pun akan menarik keuntungan- selaku suami Nelly Towne!
"Nah, menurut saya tidak mungkin Mrs. Towne akan merampas hak anaknya sendiri. Jadi tinggal Roger Callow, sebagai satu-satunya tersangka yang masih tersisa. Menurut dugaan saya, setelah mengurung Billy dalam mobil boks dan menyuruh Turk dan Savo menculik kami, sepanjang siang sampai sore Roger sibuk mencari-cari di atas kapal, ia menemukan batu-batu permata yang palsu, tapi tidak tahu di mana yang asli disembunyikan, ia tidak percaya Dingo benar-benar sudah menghabiskan hartanya. Karena tidak berhasil lebih dulu menemukan harta warisan itu, Roger lantas menaruh surat wasiat palsu di tempat permata-permata palsu itu-untuk memastikan bahwa masih tetap akan memperoleh sebagian dari warisan, yaitu lewat pernikahannya dengan Nelly Towne. Dan sudah pasti ia juga meminta pada Savo agar kami dibebaskan, supaya kemudian bisa mencari dan menemukan surat wasiat palsu, dan juga batu-batu permata yang asli. Tapi sebelum itu kami sudah berhasil melarikan diri.
"Begitu semuanya itu berhasil saya simpulkan, saya lantas menyusun siasat. Saya akan mengatur jebakan, untuk mengetahui benarkah Callow memang berniat jahat. Saya sengaja tidak ikuft keluar dari kabin, dengan harapan orang itu diam-diam akan ikut mendengarkan percakapan kami-dan ternyata itu memang dilakukannya! Penyelesaian teka-teki ketujuh sengaja saya paparkan dengan suara keras. Setelah itu Callow langsung bergegas ke Ruang Macbeth-masuk ke dalam perangkap saya!"
"Tapi kalian sendiri yang nyaris terjerumus ke dalam perangkap itu!" kata Mr. Hitchcock mengomentari. "Tapi syukurlah, semuanya berakhir dengan memuaskan!"
"Ya, Sir." Jupiter mengatakannya dengan wajah berseri.
"Kau telah menampakkan kesigapanmu berpikir, Jupiter-tapi kau juga beberapa kali main asal tebak saja!" kata Mr. Hitchcock dengan nada mengecam. "Mengaku sajalah, .kau kan asal menebak saja ketika menuduh Cecil dan Winifred Percival bahwa mereka yang menyebabkan sekoci kapal terlepas dari tambatan!"
"Tidak, saya tidak asal tebak saja," kata Jupiter bersungguh-sungguh. "Orang yang menjatuhkan-nya ingin agar kami tidak naik ke kapal. Itu berarti mereka tidak tahu bahwa kumpulan batu permata di Kabin D 22 sebenarnya palsu. Mr. Callow sudah mengetahuinya, Skinny mendekam dalam lemari kabin dengan kaki dan tangan terikat. Jadi yang tinggal hanya kedua Percival itu saja."
"Wah, bukan main!" seru sutradara film itu dengan kagum. "Sekarang bagaimana nasib para
pengacau dalam kasus aneh ini? Kalau nasib Roger Callow, itu sudah jelas-ia pasti akan dijatuhi hukuman penjara karena kejahatannya yang bermacam-macam. Lalu bagaimana dengan yang lain-lainnya?"
"Savo dan Turk menghilang," kata Bob. "Mereka sekarang dicari-cari polisi. Kedua Percival bersaudara akan diajukan ke pengadilan, dengan tuduhan membahayakan keselamatan orang lain. Mereka bisa dijatuhi hukuman denda atau penjara, tapi mungkin juga hanya diusir saja dari negeri ini. Seperti dikatakan oleh Chief Reynolds, mereka berdua pasti akan paling menderita jika diusir bersama-sama!"
"Itu memang hukuman setimpal," kata Mr. Hitchcock. "Dan Skinny?"
"Ia bersumpah bahwa sekarang sudah jera, setelah ketakutan setengah mati ketika dijebloskan ke dalam lemari dengan kaki dan tangan terikat serta mulut tersumbat!"
"Kalau ia benar-benar jera, itu merupakan keajaiban! Tapi kita lihat sajalah, bagaimana kenyataannya nanti," kata sutradara kenamaan itu. "Jadi sekali lagi kegiatan penyidikan yang tekun dan berencana menghasilkan prestasi yang memuaskan. Selamat, Anak-anak. Aku merasa bangga atas kemampuan kalian!"
"Terima kasih-" kata Jupiter. Tahu-tahu Bob dan Pete tertawa terbahak-bahak. Mr. Hitchcock menatap mereka dengan heran, sementara air muka Jupiter berubah menjadi semu merah. "Ada apa? 'Aku tidak-" kata Mr. Hitchcock. "Mereka menertawakan saya," kata Jupiter menjelaskan. "Soalnya, kemudian ternyata bahwa kami sebenarnya tidak perlu repot-repot mencari jawaban lima bait teka-teki itu jika saya sedikit lebih rajin mengadakan riset!" "Maksudmu langsung saja mengusut makna bait keenam? Kenapa begitu?" "Dalam bait itu, mendiang Dingo memakai kata posh di depan Queen. Saya tahu kata itu berarti hebat, anggun-jadi saya tidak mengusut lebih lanjut," kata Jupiter sambil mendesah. "Tapi kemudian Kapten menjelaskan asal-usul kata itu. Ternyata kata posh merupakan ciptaan orang-orang Inggris yang dulu sering hilir .mudik naik kapal dari Inggris ke India dan sebaliknya. Mengingat pengaruh angin dan sinar matahari, rupanya kabin-kabin yang paling nyaman di kapal-kapal waktu itu terletak di sisi kiri yang dalam istilah bahari disebut port-kalau berlayar menuju India. Sedang kalau berlayar dari India pulang ke Inggris, kabin-kabin yang menyenangkan letaknya di sisi kanan. Di sisi starboard! Sedang pelayaran pergi dari Inggris mereka namakan ke luar, out. Pulang ya tetap pulang, home. Berlayar dengan nyaman dan sentosa, diistilahkan dengan kata-kata: Ke luar Kiri, Pulang Kanan. Port Out, Home Starboard. P.O.S.H- posh!"

"Dan karena Queen of the South dulu dalam dinas pelayarannya antara Inggris dan Australia juga singgah di India," kata Bob menambahkan, "Dingo sebenarnya memberi petunjuk yang merupakan jalan pintas-posh Queen!"
"Queen of the South merupakan satu-satunya kapal di sini yang cocok dengan julukan itu," keluh Jupiter, "tapi saya tidak menyadarinya!"
"Tapi rupanya bukan kau saja yang tidak langsung sadar," kata Mr. Hitchcock. "Dan tanpa menempuh jalan pintas itu, kalian dihadang berbagai tantangan berat yang akhirnya kalian singkirkan semua. Prestasi kalian sekali ini benar-benar gemilang! Sekali lagi kuucapkan selamat, Anak-anak!"
Sementara ketiga remaja yang menamakan diri mereka Trio Dektektif meninggalkan ruangan, Mr. Hitchcock tersenyum sendiri. Kasihan penjahat berikut yang memandang rendah kemampuan Jupiter Jones serta kedua sahabat karibnya, kata sutradara itu dalam hati.

TAMAT