Trio Detektif - Misteri Tambang Jebakan Maut(1)



MISTERI TAMBANG JEBAKAN MAUT
PESAN MR. HITCHCOCK

­SALAM jumpa, Temanku penggemar misteri,

Sekali lagi kuajak kalian terjun ke dalam petualangan Trio Detektif, yaitu ketiga penyelidik remaja yang gemar menangani misteri-misteri yang luar biasa, dan terkadang bahkan seakan-akan mustahil.
Semoga kalian yang berwatak tabah akan menikmati perjalanan bersama mereka ke sebuah kota pertambangan yang terpencil letaknya di negara bagian New Mexico. Di sana seseorang yang sudah mati menunggu di sebuah tambang yang sudah ditinggalkan, untuk membongkar rahasia seorang penjahat yang masih hidup, dan di sana seorang wanita misterius - ah, kurasa jangan terlalu banyak kukatakan di sini, karena nanti berkurang nikmatnya bagi kalian!

Bagi yang baru sekali .ini akan berjumpa dengan Trio Detektif - bagiku hal itu aneh, tapi mungkin bisa saja - baiklah mereka kuperkenalkan satu per satu: Jupiter Jones, pemimpin mereka, bertubuh gempal, daya ingatnya luar biasa, dan sangat berbakat dalam menarik kesimpulan. Pete Crenshaw bertubuh atletis dan tangkas gerak-geriknya, tapi pada saat-saat tertentu cenderung menyesali kegemaran Jupiter mencari-cari urusan yang merepotkan. Sedang Bob Andrews berwatak tekun. Dialah yang menangani urusan penelitian dan menyusun catatan tentang kasus-kasus mereka, Ketiga remaja ini bertempat tinggal di Rocky Beach, tidak jauh dari kota besar Los Angeles, U,S.A. Tapi mereka tidak pernah segan mengadakan perjalanan jauh, untuk mencari-cari kasus yang misterius, yang terselubung teka-teki.

Sekarang silakan mulai dengan Bab Satu, untuk turut serta dalam petualangan Trio Detektif yang terbaru.

­ALFRED HITCHCOCK.

­Bab 1

UNDANGAN

"HE, Jupe! Coba terka, kau dicari-cari siapa!" kata Pete Crenshaw sambil mendorong pintu tingkap yang terpasang di lantai, lalu memanjat masuk ke dalam karavan tua yang dijadikan kantor Trio Detektif.

"Aku tidak usah menerka, karena sudah tahu siapa yang kaumaksudkan," kata Jupiter Jones. Ia bersandar di kursinya, yang berdecit tertindih bobot tubuhnya yang gempal. "Bibi Mathilda tadi pagi bangun pukul enam," kata remaja itu dengan gayanya yang lugas. "Ia menghidangkan sarapan yang sedap dan mantap, lalu setelah itu menyuruh Paman Titus mendatangi salah satu alamat di Oxnard, yang hari ini mengadakan penjualan barang-barang bekas." Jupiter melirik arlojinya. "Sekarang ini tepat pukul satu lewat lima belas menit. Dari pertanyaanmu itu aku menarik kesimpulan bahwa Paman berhasil memborong barang-barang di Oxnard, dan kini Bibi Mathilda ingin aku ikut membantu menurunkan barang-barang itu dari truk."

"Ini dia Jupiter Jones, jenius muda belia!," kata Bob Andrews sambil tertawa kecil. Remaja langsing dan berkaca mata itu bersandar pada sebuah lemari arsip. Ia sedang meneliti beberapa lembar catatan.

Mereka bertiga berada di sebuah karavan usang yang sudah tidak terpakai lagi. Paman dan bibi Jupiter yang menghadiahkan bekas kendaraan itu pada mereka, untuk dijadikan semacam 'sanggar serbaguna’. Tempatnya di salah satu sudut yang agak terpencil dalam pekarangan tempat penimbunan barang bekas yang diperjualbelikan perusahaan The Jones Salvage Yard, tersembunyi di balik tumpukan papan bekas, balok-balok, dan besi tua. Pekarangan itu ramai keadaannya. Selain barang-barang bekas yang biasa, di situ juga terdapat bermacam-macam benda langka yang diselamatkan dari rumah-rumah yang akan dibongkar: jam-jam antik yang menunjukkan waktu dengan bantuan sinar matahari, bak-bak mandi kuno dari marmer, kusen-kusen pintu berukir, serta jendela-jendela kaca berwarna.

Karena selalu sibuk membersihkan, menyortir, menyimpan segala benda itu - ditambah kesibukan melayani orang-orang yang datang dari berbagai penjuru daerah pesisir barat Amerika dengan maksud mencari berbagai benda langka - paman dan bibi Jupiter akhirnya lupa bahwa di salah satu sudut kompleks perusahaan mereka ada karavan itu.

Oleh anak-anak, tempat tinggal beroda itu kemudian diubah menjadi kantor perusahaan detektif mereka, yang dinamakan Trio Detektif. Di dalamnya ada laboratorium kecil lengkap dengan kamar gelap untuk mencuci dan mencetak foto, selanjutnya ruang kantor dengan perlengkapan meja yang sudah usang, sejumlah kursi, serta sebuah pesawat telepon. Sebuah lemari arsip yang besar berisi map-map laporan tentang segala kasus yang pernah ditangani Trio Detektif.

Catatan itu disusun dengan cermat dan rapi oleh Bob Andrews. Jupiter, pemimpin kelompok kecil itu, pada saat-saat luangnya sering berada di ruang kantor mereka, untuk memikirkan kasus-kasus yang ditangani serta melatih kemampuan otaknya yang luar biasa.

Jupiter bangga akan kemampuannya yang hebat dalam menarik kesimpulan. Dan siang itu ia merengut, sementara Pete dan Bob memandangnya sambil meringis.

"Bibi Mathilda tidak mencari aku?" tanyanya,.

"Kau mestinya malah mengucap syukur," kata Pete. "Apa bila bibimu itu mencarimu, kau sendiri juga tahu bahwa itu berarti-bekerja! Tidak. Tadi pagi, sewaktu aku sedang di pasar Rocky Beach, aku berjumpa dengan Allie Jamison."

Jupe langsung meluruskan sikap duduknya. Bob juga ikut terkejut. Ia berhenti menyusun kertas-kertas catatan. Allie Jamison, anak salah satu keluarga yang paling kaya di Rocky Beach, pernah meminta bantuan mereka musim panas sebelumnya. Dalam kasus yang kemudian dikenal sebagai Misteri Nyanyian Kobra, mereka menolong gadis itu menyingkirkan seorang tamu yang menyeramkan dari rumahnya, serta menggagalkan rencana pemerasan yang jahat. Tapi bagi Trio Detektif, bergaul dengan gadis itu tidak bisa dibilang seratus persen menyenangkan. Soalnya, Allie berwatak impulsif, selalu menuruti kata hatinya sendiri. Ia pun tidak segan-segan berbohong sedikit, jika itu dianggapnya perlu.

"Mati aku!" kata Jupe setelah pulih dari kagetnya. "Kusangka musim panas sekarang ini ia berlibur bersama salah seorang pamannya, di New Mexico. Orang tuanya kan sedang pergi ke Jepang, sehingga di rumah tidak ada siapa-siapa!"

"Aku tahu," kata Pete sambil mengangguk. "Tapi saat ini Allie ada di sini, di Rocky Beach. Menurut ceritanya padaku tadi, ia pulang sebentar bersama pamannya. Ia kembali karena ada sesuatu yang harus diambilnya di rumah, sedang pamannya punya urusan di kota. Kelihatannya ada sesuatu yang sedang dihadapi gadis itu. Ada kabar hebat yang ingin diceritakannya pada kita, sebelum ia kembali bersama pamannya ke New Mexico. "

Bob mendesah.

"Padahal musim panas sekali ini kelihatannya kita akan bisa bersantai-santai," katanya,

"Sudahlah," ujar Jupiter. "Dia akan pergi lagi - mudah-mudahan dalam waktu dekat! He, Pete, akan berapa lama Allie ada di sini?"

"Hanya sampai besok!" kata seseorang dari balik tirai yang memisahkan bagian yang merupakan laboratorium kecil dari ruang kantor. Pete mengeluh ketika tirai ditarik ke samping dan Allie Jamison melangkah ke luar sambil nyengir. Dengan celana jeans yang sudah lusuh dan kemeja koboi, gadis remaja itu kelihatan seperti penunggang kuda yang biasa tampil dalam pertandingan-pertandingan ketangkasan berkuda. Kulit mukanya serta rambutnya yang panjang dan pirang kecokelatan jelas menampakkan bahwa ia sering berada di alam terbuka. "Kalian tidak senang melihat aku datang?" tanyanya dengan manis. Tapi bola matanya yang berwarna coklat muda berkilat-kilat nakal.

"Bagaimana caramu sampai bisa masuk kemari?" tanya Pete.

Allie tertawa. Ia menghampiri meja, lalu duduk di atasnya dengan kaki disilangkan.

"Aku sudah lebih dulu ada di sini daripada kalian," katanya. "Di pagar sebelah belakang kompleks ini ada lukisan kebakaran besar di San Fransisco, dan di latar depannya ada seekor anjing kecil yang sedang memperhatikan nyala api yang berkobar-kobar."

Sikap duduk Jupiter langsung lemas.

"Dan pada mata anjing itu ada lubang bekas mata kayu. Jika jari dimasukkan ke dalam lubang itu lalu menarik kaitan yang ada di sebelah dalam, sebagian dari papan pagar akan terangkat ke atas." Kata-kata Jupiter ini menggambarkan Kelana Gerbang Merah, salah satu jalan masuk ke pekarangan yang dibuat oleh Jupiter beserta kedua temannya, dan yang menurut sangkaan mereka tidak diketahui oleh orang lain.

"Sekali ini kesimpulanmu tepat," kata Allie.

"Aku paling sedikit sepuluh kali melihat kalian masuk lewat situ, musim panas yang lalu. Tidak perlu aku berotak cemerlang seperti Einstein untuk menarik kesimpulan bahwa kalian pasti punya semacam tempat berkumpul yang tersembunyi di sini."

''Ya, ya, teruskan sajalah menertawakan kami, Allie," kata Pete, ''Yang kutanyakan tadi, bagaimana caramu masuk kemari?"

"Kalian tidak sepintar sangkaan kalian!" kata Allie melanjutkan dengan sikap puas. "Di atas salah satu tumpukan barang bekas di balik pintu rahasia kalian itu terpasang papan dengan tulisan ‘Kantor'. Tapi panah yang digambar pada papan itu tidak menunjuk ke arah kantor perusahaan barang rombengan ini. Aku lantas menduga, tanda itu pasti menunjuk ke kantor kalian. Dan dugaanku itu ternyata tepat! Kuikuti saja arah yang ditunjukkan panah itu, melewati barang-barang bekas yang bertumpuk-tumpuk... dan akhirnya sampai di depan lembaran papan yang bisa digeser itu." Allie menuding papan lebar yang terdapat di sisi belakang karavan. "Apa yang kulakukan tadi itu benar-benar prestasi penyelidikan yang hebat. Boleh kan, sekali-sekali memuji diri sendiri!"

"Kita perlu memasang kunci pada papan itu," kata Jupe.

­"Ya, dan papan dengan tulisan 'Kantor' juga harus disingkirkan," kata Pete.

"Kalian tidak usah repot-repot," tukas Allie, "aku besok kan sudah pergi lagi. Kecuali itu, aku juga tidak berminat pada rahasia-rahasia kalian yang konyol." Gadis itu mengibaskan rambutnya dengan sikap meremehkan. "Lagi pula, aku punya urusan lain, yang lebih penting."

"Urusan apa, misalnya?" tanya Pete dengan nada menantang

Allie menggerakkan kepalanya ke depan.

"Aku punya kasus menarik," katanya dengan bersungguh-sungguh. "Aku akan melakukan penelitian seperti kalian, dan aku akan melindungi Paman Harry, agar ia jangan sampai tertipu."

"Ah, Paman Harry-mu itu tidak mampu mengurus dirinya sendiri?" kata Jupe.

Wajah Allie nampak tetap serius.

"Paman Harry-ku itu Harrison Osborne, dan ia bukan orang yang bodoh," katanya. "Ia sempat menjadi kaya karena bisnisnya di bursa saham, sebelum kemudian pensiun lalu membeli perkebunan pinus di New Mexico."

"Pinus? Pohon pinus, maksudmu?" tanya Pete.

"Betul, pohon pinus. Itu, untuk dijadikan pohon Natal. Masakan itu saja tidak tahu?! Nah-pokoknya, pamanku itu bisa memakai otaknya. Tapi kalau menghadapi manusia, kadang-kadang bodohnya bukan main!"

"Dan kau lebih pintar'?" tanya Pete dengan tertawa. Maksudnya hendak membalas ejekan Allie tadi. Tapi gadis itu tidak menanggapi.

"Kalau menghadapi orang yang berniat menipu, aku bisa langsung mengenalinya," katanya. "Lahan yang dibeli pamanku dan dijadikan kebun pinus itu, dulunya milik sebuah perusahaan tambang. Di tanah itu ada sebuah tambang, namanya Death Trap Mine."

"Hebat sekali nama itu - Tambang Jebakan Maut," kata Pete mengejek. "Lalu apa isinya? Tulang-tulang binatang purba, ya?"

"Dulu perak yang ditambang di situ," kata Allie. "Tapi sekarang sudah tidak ada lagi, karena sudah habis ditambang. Namanya Tambang Jebakan Maut, karena pernah ada seorang wanita masuk ke situ dan tewas karena jatuh ke dalam sebuah lubang. Orang-orang yang sudah lama tinggal di Twin Lakes-itu nama kota tempat perkebunan Paman Harry- mengatakan, arwah wanita itu sampai sekarang masih menghantui tambang itu. Aku tentu saja tidak mau percaya pada cerita-cerita macam begitu. Tapi kalau setan, memang ada di sana. Dalam wujud manusia! Dialah yang membeli tambang serta tanah di sekitarnya dari pamanku."

Kemarahan menyebabkan wajah Allie nampak merah.

"Orang itu hendak berbuat sesuatu," katanya. "Ada sesuatu yang disembunyikannya. Soalnya, ia dilahirkan di kota itu."

­"Itu merupakan kejahatan?" tanya Bob dengan heran.

"Bukan begitu. Tapi seseorang yang dilahirkan di sebuah kota lalu pergi dari situ sewaktu masih sangat kecil, dan sekian tahun kemudian kembali lagi sebagai jutawan yang gembar-gembor tentang betapa bahagia perasaannya karena pulang ke kota asal-orang seperti itu menimbulkan rasa aneh dalam hatiku. Padahal ramahnya-wah, ular berbisa pun masih lebih ramah daripada dia! Lalu, tambang yang semula sudah ditutup, dibukanya kembali. Jalan masuk yang ditutup dengan terali besi dibuka kembali, tapi kemudian dijaga seekor anjing galak yang sengaja dibelinya untuk keperluan itu. Ada apa dalam tambang yang sudah tidak menghasilkan lagi, sehingga perlu dijaga anjing galak? Orang itu berkeliaran di sana, dengan celana jeans yang masih baru. Ia bahkan memakai helm pengaman, seperti yang biasa dipakai pekerja di tempat pembangunan. Tapi dandanannya tidak cocok dengan penampilannya. Bayangkan, kukunya saja selalu dipotong rapi!"

Allie berhenti sebentar. Karena Jupe dan kedua temannya tidak mengatakan apa-apa, ia kemudian meneruskan ceritanya.

"Tidak seorang pun diizinkannya mendekati tambang itu. Aku merasa curiga bahwa Paman Harry hendak ditipunya mentah-mentah. Dan itulah yang akan kuselidiki sekarang!"

­"Selamat menyelidiki, kalau begitu," kata Pete menanggapi.

Saat itu terdengar suara samar seorang laki-laki memanggil-manggil Allie. Bob mengintip ke teropong -seperti di kapal selam -yang dipasangkan anak-anak ke atap karavan untuk bisa melihat ke luar tanpa ketahuan. Melalui periskop itu ia mengintip ke luar, ke balik tumpukan barang bekas yang menutupi karavan.

"Dekat gerbang utama ada seorang laki-laki berambut putih, dengan kumis besar melintang. Ia sedang berbicara dengan Bibi Mathilda," kata Bob melaporkan,

"Itu Paman Harry." Allie cepat-cepat turun dari meja tempatnya duduk selama itu. "Tadi kukatakan padanya bahwa aku akan kemari. Mau kalian berkenalan dengan dia? Orangnya baik-dia itu kerabatku yang paling kusukai."

Dengan cepat Allie menuju ke lembar papan yang bisa digeser, lalu melangkah ke luar lewat situ. Sambil mengikutinya, anak-anak yang lain menahan cengiran yang menyebabkan tepi bibir mereka bergerak-gerak. Mereka merasa menang, karena lembar papan itu bukan satu-satunya jalan rahasia untuk masuk ke kantor mereka. Setidak-tidaknya Allie, gadis badung itu, belum mengetahui jalan yang paling penting, yaitu tingkap yang terdapat di lantai kantor.

Keempat remaja itu berjalan 'menembus' tumpukan barang bekas yang membukit, menuju ke gerbang depan.

­"Nah, itu mereka!" kata Bibi Mathilda mengomentari, ketika melihat Trio Detektif muncul. Ditatapnya ketiga remaja itu. "Dari semula aku sudah menyangka, kalian pasti ada di sekitar sini. Halo, Allie! Apa kabar?" •

"Baik-baik saja, Mrs. Jones," kata Allie dengan sopan sekali. "Perkenalkan, Paman Harry-ini Jupiter Jones, Bob Andrews, dan Pete Crenshaw."

"Hai," ujar Harrison Osborne sambil menyalami Jupe dan menganggukkan kepala ke arah Bob dan Pete. "Jadi kalian bertiga inilah rupanya Trio Detektif. Allie sudah bercerita tentang kalian."

"Tapi jangan dikira aku memuji-muji," kata Allie sambil mencibir.

Ketiga remaja itu tidak memperdulikannya. Jupe merogoh kantungnya, lalu menyodorkan selembar kartu nama berukuran besar pada Harrison Osborne.

"Jika Anda kapan-kapan memerlukan kami, Sir..."

Mr. Osborne membaca kartu itu:

­TRIO DETEKTIF

"Kami Menyelidiki Apa Saja"

? ? ?

Penyelidik Satu.......... Jupiter Jones

Penyelidik Dua .......... Pete Crenshaw

Catatan dan Riset ....... Bob Andrews

"Apa arti ketiga tanda tanya itu?" tanya Paman Harry sambil mengembalikan kartu itu pada Jupiter.

­"Tanda tanya, di mana-mana merupakan lambang hal-hal yang tidak diketahui," jawab Jupe. "Ketiga tanda tanya pada kartu nama kami ini merupakan lambang Trio Detektif, karena kami mengkhususkan diri menyelidiki segala teka-teki, misteri, atau kasus-kasus membingungkan yang disodorkan pada kami"

"Kurasa di Twin Lakes kecil sekali kemungkinannya aku akan memerlukan tenaga detektif," kata Mr. Osborne sambit tertawa kecil. "Tapi..." tiba-tiba ia merenung, lalu meneruskan, "tapi tenaga tiga orang remaja yang kuat-kuat seperti kalian ini, bisa kupakai di perkebunanku. Dan Allie memerlukan kawan yang kurang lebih sebaya dengan dia.... Ngomong-ngomong, kalian ini sudah pernah memangkas tanaman, kan?"

"Memangkas?" ulang Bob. "Tentu saja pernah."

"Bagus," kata Paman Harry, "Pohon-pohon pinus perlu dipangkas secara teratur,..Kalau tidak, bentuknya nanti tidak cocok jika diambil untuk dijual sebagai pohon Natal. Aku mengalami kesulitan dalam memperoleh tenaga pembantu di Twin Lakes. Kenapa kalian bertiga tidak ikut saja dengan aku dan Allie besok pagi, lalu tinggal selama beberapa minggu di perkebunanku?"

Ia menoleh pada Bibi Mathilda.

"Saya ingin mengundang mereka selama beberapa waktu, jika Anda kebetulan tidak memerlukan mereka. Di rumah banyak tempat, dan saya akan membayar mereka dengan sistem jam kerja, sama dengan tenaga setempat."

Bibi Mathilda agak ragu-ragu.

"Bagaimana, ya?" katanya. "Sebenarnya minggu ini saya bermaksud menyingkirkan tumpukan yang di pojok sana itu, karena cuma makan tempat saja."

Melihat tumpukan yang dituding Bibi Mathilda, Jupe dan kedua rekannya kaget. Ternyata Bibi Mathilda berniat menyingkirkan tumpukan barang bekas yang menutupi karavan mereka! Jupiter cepat-cepat mencari akal. Tanpa bantuan anak-anak, niat itu takkan mungkin terlaksana.

"Wah, sebenarnya aku kepingin sekali ikut Allie dan pamannya, Bibi Mathilda," katanya. "Itu akan merupakan pengalaman baru bagiku."

"Dan pengalaman baru, pasti ada gunanya bagimu!" kata Allie sambil tertawa. "Di samping itu, mungkin saja di Twin Lakes nanti kau akan menjumpai misteri. Asyik, kan, jika itu terjadi?"

Saat itu barulah Jupiter sadar bahwa Allie dengan halus telah berhasil mendorong pamannya agar mengundang mereka bertiga. Gadis badung itu berhasil dengan siasatnya, sehingga Trio Detektif mau tidak mau harus membantunya menangani kasus yang hendak ditelitinya.

"Ya, memang asyik," kata Pete. "Kurasa orang tuaku akan mau memberi izin."

"Sedang aku, aku tahu pasti bisa minta cuti dari pekerjaan sambilanku di perpustakaan," kata Bob menimpali dengan bersemangat. "Saat-saat ini di sana sedang sepi."

"Baiklah, kalau begitu," kata Bibi Mathilda mengalah.

Harrison Osborne menyalaminya.

"Saya berjanji, anak-anak ini takkan saya suruh bekerja terlalu keras," katanya.

"Tentang itu, saya tidak khawatir," balas Bibi Mathilda. "Itu takkan mungkin terjadi! Selalu ada-ada saja alasan mereka, agar dibebaskan dari tugas bekerja!"

­Bab 2 SAMBUTAN 'MERIAH'

"NAH, itulah kotanya," kata Harrison Osborne. "Twin Lakes!"

Ia memperlambat jalan mobil besar ber-AC yang telah membawa mereka melintasi daerah gurun Arizona yang gersang, lalu mendaki bukit-bukit di sudut barat daya New Mexico. Jupiter dan kedua temannya yang duduk di bagian belakang mobil model station wagon itu memandang ke depan, mengikuti alur jalan tanah yang licin karena disirami minyak. Mereka melihat sebuah lembah yang hijau, diapit lereng dua jajaran pegunungan yang ditumbuhi pepohonan. Sejumlah jalan berdebu dengan rumah-rumah kecil dari kayu berujung pada jalan besar yang saat itu sedang dituju. Beberapa bangunan menghadap ke jalan besar itu: sebuah pasar, sebuah drugstore - semacam toko obat .yang juga menjual es krim dan berbagai barang kecil keperluan sehari-hari - lalu sebuah kantor surat kabar, dan sebuah toko kecil yang menjual peralatan dari logam. Toko itu kelihatan tidak dirawat. Selanjutnya, di tengah-tengah kota ada gedung pengadilan yang terbuat dari batu bata yang nampak pudar karena termakan cuaca. Dibandingkan dengan bangunan lain-lainnya gedung itu nampak mengesankan, karena bertingkat dua. Setelah pompa bensin, terdapat bangunan tempat jawatan pemadam kebakaran kota Twin Lakes.

Tiba-tiba Pete berteriak

"Kebakaran!" serunya, sambil menuding ke suatu tempat di belakang kota. Di sana nampak asap mengepul ke langit yang cerah siang itu.

"Jangan panik," kata Allie, yang duduk di depan, di samping pamannya. "Itu cuma asap yang keluar dari tungku di tempat penggergajian kayu."

"Dulu, pertambangan merupakan bisnis penting di sini," kata Paman Harry. "Sekarang, setelah tambang-tambang tidak beroperasi lagi, usaha penggergajian kayulah yang membuat kota ini bisa bertahan terus. Hanya bisnis kayu sajalah satu-satunya usaha yang masih ada. Empat puluh lima tahun yang silam, Twin Lakes merupakan kota yang sangat ramai. Tapi sekarang, tidak lagi."

"Jika hendak mencari untung dengan jalan menipu, pasti bukan kota ini yang akan kupilih untuk tempat beraksi," kata Pete.

Harrison Osborne kaget. Perhatiannya teralih sekejap dari jalan yang sedang dilalui.

"Menipu, katamu?" ujarnya. "He, Allie, apa saja yang kauocehkan pada ketiga anak ini?"

Allie menatap lurus-lurus ke depan.

"Allie?" ulang pamannya, sambil mengerem mobil untuk memberi kesempatan pada seorang wanita bercelana jeans dan berkemeja kotak-kotak untuk menyeberang jalan.

"Aku cuma mengatakan bahwa Wesley Thurgood berwatak culas - dan kenyataannya memang begitu, Paman Harryl"

Paman Harry terdengus geli. Sementara kakinya masih menginjak rem, ia berpaling memandang Trio Detektif yang duduk di belakang.

"Aku tahu, kalian bertiga ini detektif amatir," katanya, "karenanya kuperingatkan saja, jangan kalian campuri urusan Wesley Thurgood. Orang itu tetanggaku, dan aku tidak ingin ribut dengan para tetangga. Thurgood itu orang baik-baik. Ia menjadi kaya karena bisnis tanah dan rumah, kemudian kembali ke Twin Lakes karena di kota inilah ia mulai mengembangkan bisnisnya. Ia lahir di sini - tidak lama sebelum perusahaan tambang yang dulu ada ditutup. Keluarganya pindah beberapa waktu setelah itu. Tapi menurut ceritanya padaku, sejak masa kanak-kanak ia banyak mendengar cerita yang mengasyikkan tentang kota Twin Lakes semasa jayanya. Tambang Jebakan Maut dibelinya karena ayahnya dulu pernah bekerja di situ. Menurut perasaanku, itu tidak bisa dibilang perbuatan yang sangat aneh."

"Kalau begitu, untuk apa tambang itu kemudian dibukanya lagi?" tanya Allie dengan gaya sok tahu.

"Itu bukan urusan kita, n kata paman gadis remaja itu. "Yang kuketahui, tujuannya ialah agar anak-anak jangan berkeliaran di sana sehingga mungkin akan mengalami kecelakaan. Thurgood itu seratus persen orang yang bisa dipercaya. Aku sudah melakukan pengecekan mengenai dirinya, begitu pula bank-ku. Ia benar-benar jutawan."

Paman Harry berpaling lagi pada ketiga remaja yang duduk di belakang, sambil tersenyum.

"Allie ini, sering belum apa-apa sudah ribut," katanya. "Ia benci pada Thurgood, karena pernah diseret pulang oleh orang itu ketika ketahuan hendak memasuki tambang. Thurgood sudah sepantasnya berbuat begitu. Tambang itu dinamakan Jebakan Maut, karena pernah ada seorang wanita tewas di dalamnya - tiga tahun yang lalu, ketika sedang berkeliaran di situ. Persis seperti yang hendak dilakukan Allie."

Pete terbahak mendengar keterangan itu.

"Allie, Allie - tidak kauceritakan bahwa kau diusir oleh Thurgood dari tanah miliknya!"

"Jangan banyak omong!" Suara Allie bergetar karena marah.

Jupe tertawa geli, membayangkan gadis yang cepat tersinggung itu digiring ke luar tambang.

"Tidak mau percaya, ya? Orang itu culas wataknya!" seru Allie dengan sengit.

"Jangan-jangan orang itu cuma ‘nyentrik' saja," kata Jupe. "Orang-orang kaya, kadang-kadang memang begitu sifatnya." .

"Itu bukan kejahatan," kata Paman Harry. Diangkatnya kakinya yang menginjak rem, dan kendaraan mereka mulai meluncur lagi. "Jangan kauganggu lagi orang itu, Allie. Larangan ini juga berlaku bagi kalian bertiga."

Mobil dibelokkannya dari jalan besar yang berminyak. Kendaraan itu terguncang-guncang ketika menyeberangi sebuah jembatan kayu yang terbentang di atas jeram yang membatasi dua buah danau, yang lebih tepat disebut telaga. Jupe dan kedua temannya menduga bahwa nama kota Twin Lakes didasarkan pada kedua danau itu.

Jalan di seberang jembatan terbuat dari tanah yang tidak dikeraskan. Debu mengepul di belakang mobil. Tidak sampai dua kilometer dari jembatan, di sisi kiri jalan, nampak tanah luas yang ditanami pohon-pohon pinus yang masih muda. Kemudian ada pintu pagar yang terbuka. Di seberang jalan terdapat beberapa rumah berukuran kecil. Satu di antaranya nampak baru dicat lagi. Sedang yang selebihnya kelihatan tak terurus, seakan-akan tidak dihuni. Paman Harry memperlambat jalan mobilnya lalu membunyikan tuter, memberi isyarat pada seorang wanita bertubuh tinggi langsing yang sedang menyirami kebun di sebelah satu-satunya rumah yang terawat rapi tadi.

"Itu Mrs. Macomber," kata Allie.

Wanita itu melambai sambil tersenyum. Ia memakai celana panjang berwarna gelap serta kemeja putih. Dadanya dihiasi kalung Indian yang besar, terbuat dari perak dan batu pirus. Ketika ia memutar tubuh untuk menutup keran air, anak-anak melihat bahwa gerak-geriknya masih selincah gadis remaja. Padahal rambutnya yang hitam sudah mulai memutih di sana-sini. Mereka menaksir bahwa umur wanita itu paling sedikit sudah enam puluh tahun.

"Ia kelahiran sini, semasa daerah ini sedang jaya-jayanya," kata Allie. "Ia menikah dengan pengawas tambang. Ketika tambang itu kemudian ditutup, mereka pindah dari sini. Setelah suaminya meninggal dunia, ia bekerja di Phoenix. Ketika tabungannya sudah cukup banyak, ia kembali lagi kemari, dan di sini dibelinya rumah yang ditinggalinya dulu sewaktu baru menikah. Rumah-rumah lain-yang tidak terawat itu-juga kepunyaannya. Tapi tidak dipergunakan untuk apa pun juga."

"Jadi kisahnya tidak begitu berbeda dengan Wesley Thurgood, ya?" kata Bob.

"Bukan itu persoalannya," bentak Allie. "Mrs. Macomber orang baik."

"Justru itulah persoalannya," kata Paman Harry menyela. "Twin Lakes menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal, dan cocok sekali untuk orang pensiunan." Ia menghentikan mobil di depan pintu pagar yang terbuka, lalu menuding ke depan, ke arah ujung jalan serta lereng pegunungan terjal yang membatasi sisi barat lembah. Di lereng itu, sedikit ke sebelah kiri dan hampir setengah kilometer dari tempat mereka berada, anak-anak melihat sebuah lubang gelap berbentuk persegi empat, ditopang balok-balok kayu.

­"Itu dia, Tambang Jebakan Maut," kata Paman Harry. "Lalu pondok yang nampak di atas sana, itu tempat tinggal Mr. Thurgood. Bangunan besar di belakangnya, juga kepunyaannya. Dulu di situ diolah bijih yang digali dari dalam tambang. Jadi bisa dibilang semacam pabrik pengolahan hasil tambang."

Sementara anak-anak mengangguk, Paman Harry membelokkan mobil ke kiri lewat pintu pagar, masuk ke sebuah jalan sempit yang penuh dengan jalur bekas roda kendaraan. Di sisi kiri-kanan jalan itu berjejer-jejer pohon pinus. Mobil terangguk-angguk melewati sisi kiri sebuah padang rumput yang dipagari. Di tengah padang itu kuda kesayangan Allie, seekor kuda jenis Appaloosa yang diberi nama Indian Queen, sedang merumput bersama tiga ekor kuda lain.

Lebih ke belakang lagi, di sebelah kiri jalan itu, nampak sebuah rumah yang masih baru. Rumah perkebunan itu dibangun di tempat yang agak lapang, di tengah pepohonan rendah. Dindingnya berwarna merah bata, sedang pintu-pintu dan kusennya berwarna putih mulus. Di ujung jalan terdapat sebuah gudang tua yang sudah reyot. Kelihatan jelas bahwa bangunan itu sudah bertahun-tahun tidak pernah dicat.

Paman Harry menghentikan mobil di depan rumahnya. Ia menguap, sambil merentangkan tubuh.

"Sampai juga akhirnya," katanya.

Anak-anak buru-buru turun dari mobil. Jupe, Pete dan Bob berdiri sejenak sambil memandang berkeliling. Sebuah mobil pick-up yang ringkas dan penuh debu diparkir di depan gudang. Di balik rumah nampak ujung pekarangan yang dipagari. Di dalamnya ada ayam-ayam yang sibuk mengais-ngais tanah sambil berkotek-kotek.

Paman Harry meninggalkan tempat duduknya di belakang kemudi. Gerakannya agak kaku, karena terlalu lama duduk.

"Kalau makan telur, aku maunya yang benar-benar masih baru," katanya, sambil menunjuk ayam-ayam itu. "Kecuali itu, tenteram rasanya jika saat bangun pagi terdengar suara ayam berkotek-kotek. Dan aku memang selalu bangun pagi, karena ayam jantanku rupanya beranggapan bahwa ia wajib mengawali hari baru dengan kokoknya."

Baru saja Paman Harry mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba terdengar suara ayam jantan di balik rumah. Tapi unggas itu bukan berkokok-melainkan berkotek-kotek panik.

Suaranya disusul keributan yang luar biasa di pekarangan tempat ayam-ayam dikurung: suara berkotek-kotek ribut, berbaur dengan bunyi gelepar dan kelepak sayap. Keributan bertambah lagi sesaat kemudian, dengan bunyi letusan senapan yang menggelegar.

Sambil berteriak, Pete menjatuhkan diri ke tanah, sementara kedua lengannya secara otomatis melindungi kepalanya. Jupe dan Bob cepat-cepat bersembunyi di belakang mobil.

­Suatu sosok besar kehitam-hitaman melesat lari dari belakang tempat ayam, menuju ke arah Jupe. Dalam keadaan gugup, remaja itu hanya sempat sekilas melihat deretan gigi putih mengkilat serta mata. yang berwarna kelam. Detik berikutnya Jupe sudah diterjang sehingga terjerembab. Makhluk aneh itu tidak berhenti, melainkan terus lari ke arah bara, masuk ke kebun pinus.

­Bab 3 JUTAWAN MISTERIUS

­"SELAMAT datang di tempat yang aman tenteram!" kata Allie sambit tertawa. Sementara itu keadaan siang itu sudah sunyi kembali.

Pete bangkit, tapi tetap duduk di tanah. Matanya terkejap-kejap.

"Apa itu tadi?"

"Ah, cuma anjing penjaga milik Thurgood saja, yang kembali mencoba memangsa ayam," kata Allie menjelaskan, sementara Jupe berusaha berdiri. "Anjing sialan itu selalu berusaha masuk ke tempat ayam, dengan jalan menggali lubang di bawah pagar. Tapi sial baginya, ayam-ayam selalu ribut begitu ia datang. Dan Magdalena pasti dengan segera keluar lalu menembak dengan senapan burunya. Jika anjing itu masih juga nekat, kapan-kapan Magdalena mungkin akan bosan menembak ke atas. Kalau itu terjadi, bisa putus ekornya, disambar peluru."

"Magdalena?" kata Bob. "Siapa dia?"

"Pengurus rumah tanggaku," jawab Paman Harry menjelaskan.

Seorang wanita Mexico bertubuh gemuk dan berambut hitam datang dari balik rumah. Gaunnya terbuat dari kain katun kasar dengan sulaman bunga-bunga meriah pada bagian lengan dan leher. Ia menenteng senapan buru.

"Senor Osborne!" serunya dengan gembira. "Dan Allie! Senang hatiku melihat kalian sudah kembali. Di sini sepi sekali, selama kalian tidak ada. "

Harrison Osborne tertawa geli.

"Dan karenanya kau lantas membuat keramaian dengan caramu sendiri," katanya.

"Anjing itu pencuri!" tukas wanita itu sambil merengut.

"Sudahlah, jangan marah-marah," kata Paman Harry. "Lama-lama ia pasti akan jera, jika setiap kali kautembakkan senapanmu itu. Magdalena, ketiga anak laki-laki ini teman Allie. Nama mereka Jupiter Jones, Bob Andrews, dan Pete Crenshaw. Mereka akan tinggal di sini, selama beberapa minggu."

Mata Magdalena yang hitam bersinar-sinar. "Ah, good, good, " serunya dengan logat Mexico yang kental. "Makin banyak anak muda di sini, makin senang rasanya. Akan kukeluarkan daging yang paling enak dari lemari pendingin. Kalian pasti lapar, setelah begitu lama dalam perjalanan."

Wanita itu bergegas masuk ke rumah.

"Moga-moga kalian sungguh-sungguh merasa lapar sekarang," kata Paman Harry. "Magdalena paling tidak suka melihat orang yang makan tanpa selera."

"Soal itu, jangan khawatir!" kata Jupe mantap.

Paman Harry mulai menurunkan koper-koper dari mobil, untuk ditaruh di beranda depan. Jupe dan kedua temannya bergegas membantu. Dalam beberapa menit, barang-barang sudah dibawa masuk ke rumah, langsung ke sebuah ruang tidur luas di tingkat dua. Letak ruang tidur itu tepat di atas ruang keluarga yang juga lapang. Kamar Allie di tingkat bawah, bersebelahan dengan kamar pamannya. Magdalena mempunyai tempat tinggal tersendiri yang berukuran kecil, di belakang dapur.

"Kalian pasti ingin mandi-mandi dulu," seru Paman Harry dari bawah pada ketiga anak laki-laki yang sedang mengeluarkan pakaian mereka dari dalam koper. "Tapi jangan lama-lama, karena aku ingin mengajak kalian melihat-lihat tempatku ini sebelum kita makan."

Pete langsung tidak berminat untuk membereskan pakaian ke dalam lemari.

"Ini bisa kita lakukan nanti-nanti saja," katanya, sambil berjalan menuju kamar mandi yang terletak di seberang serambi tangga.

Tidak lama kemudian mereka bertiga sudah berada di luar lagi bersama Allie dan Paman Harry.

Allie berlari-lari mendului, dengan dua bongkah gula batu di tangan.

"Queenie! Sini, Queenie!" serunya memanggil-manggil. Kuda Appaloosa-nya mendengus, lalu lari menderap menghampiri pagar yang membatasi padang rumput di tepi jalan masuk. Gadis remaja itu merangkul leher kudanya. Kuda itu menggerakkan kepalanya ke atas, sambil meringkik gembira.

"Sulit sekali memisahkan Allie dari kudanya walau hanya untuk beberapa hari saja," kata Harrison Osborne. "Yuk, ingin kutunjukkan pada kalian alat yang akan kalian pakai nanti untuk memangkas dahan-dahan pohon pinus."

"Alat apa itu?" tanya Pete.

"Parang," 'kata Paman Harry, "Itu, yang dipakai para jagoan dalam kisah-kisah petualangan, guna merambah jalan di dalam rimba." Ia pergi ke bangunan gudang yang bobrok, lalu membuka pintunya. Dengan segera tercium bau jerami, yang nampak terkemas rapi dan ditumpukkan di satu sudut bangunan itu. Selang karet untuk menyiram tanaman digantungkan dalam keadaan tergulung pada sejumlah pasak yang terpasang di dinding. Bermacam-macam peralatan, seperti tembilang, gunting besar, sekop, serta tajak disusun rapi di samping sebuah meja kerja yang diperlengkapi dengan gerinda. Di dinding sebelah atas meja itu terdapat sebuah rak. Dan di rak itu ada lima bilah parang besar yang nampaknya sangat tajam.

"Di rumah, kami selalu memakai gunting besar untuk memangkas tanaman," kata Pete.

"Memangkas dengan gunting terlalu lambat, karena pohon pinusku ribuan jumlahnya," kata Paman Harry. "Di samping itu, bekerja dengan parang bisa rapi."

Diambilnya sebilah parang, lalu menjauh sedikit dari ketiga remaja itu untuk menunjukkan cara memangkas dengan senjata tajam itu.

"Pohon-pohon pinus tidak dengan sendirinya tumbuh menjadi pohon Natal yang sempurna bentuknya," ujarnya menjelaskan. "Ketika aku membeli tempat ini tiga tahun yang lalu, kusangka aku tinggal menanamkan saja pohon-pohon yang masih kecil, lalu menunggu sampai semuanya sudah besar. Ternyata urusannya tidak cuma sampai di situ saja. Pohon-pohon itu perlu diairi, tumbuhan liar harus dibasmi, dan dahan-dahan perlu dipangkas agar tumbuh rapi. Kita perhatikan sebatang pohon pinus, dan kita bayangkan bentuk pohon Natal yang seharusnya - indah, berbentuk kerucut, lebar di bagian bawah lalu makin ke atas makin langsing. Setelah mengira-ngira arah sebentar, parang kita tebaskan begini -"

Mata parang berkelebat teriring bunyi berdesau, ketika lengan Paman Harry melakukan gerakan menebas miring ke bawah. "Semua yang tidak sesuai dengan gambaran kita tentang bentuk yang indah, kita tebas! Tapi hati-hati, karena jika salah tebas bisa-bisa kaki kalian sendiri yang tersambar mata parang. Aku selalu memangkas pada waktu musim panas. Lalu sewaktu pohon-pohon ku sudah siap untuk dipanen bulan November sementara itu sudah tumbuh ranting-ranting baru yang menutupi bekas-bekas tebasan, dan pohon sudah rimbun kembali. Bagaimana - sudah mengerti?"

"Beres," kata Pete.

­Dengan hati-hati Paman Harry mengembalikan parang ke tempatnya. Setelah itu ia menunjuk ke arah sebuah mobil tua yang berdebu, di bagian belakang bangunan itu.

"Kapan-kapan aku akan membangun gudang baru, " katanya, "dan selain itu, aku juga perlu berbuat sesuatu dengan mobil itu."

Jupe menghampiri mobil yang memakai ban mati itu, lalu memandang ke dalam lewat jendela yang kacanya terbuka separuh. Dilihatnya tempat duduk di dalam kendaraan itu dilapisi dengan kulit berwarna hitam yang sudah retak-retak. Sedang lantainya terbuat dari kayu tanpa pelapis.

"Ford model T, ya?" katanya.

"Betul," jawab Paman Harry. "Aku mendapatnya sebagai semacam hadiah, ketika membeli tempat ini. Waktu itu tempatnya sudah di situ, setengah tertimbun jerami. Aku masih sempat menyingkirkan jeraminya, tapi sesudah itu terpaksa membiarkannya begitu saja, karena terlalu sibuk dengan berbagai urusan. Tapi jika nanti sudah sempat, aku akan memugarnya. Mobil model T sekarang ini dicari-cari para penggemar mobil kuno."

Allie muncul di ambang pintu.

"Wesley Thurgood datang," katanya memberi tahu.

"Oke, Allie. Kau jangan macam-macam nanti ya," kata pamannya mengingatkan. '

Allie diam saja. Anak-anak yang lain mendengar langkah orang datang di luar, disusul suara seseorang.

"Mr. Osborne?" seru orang itu.

"Aku di sini," balas Paman Harry.

Seorang pria berumur empat puluhan, berbadan kurus, dan berambut pirang bergelombang masuk ke dalam gudang. Ia mengenakan celana jeans yang kaku karena masih sangat baru. Sepatu larsnya kemilau, sedikit pun belum nampak bagian yang lecet. Kemeja koboinya kelihatan seperti baru siang itu dikeluarkan dari dos pengemas. Jupiter memperhatikan orang itu bersalaman dengan Paman Harry, lalu mendengarkan kata-katanya yang meminta maaf atas perbuatan lancang anjing penjaganya. Kesan yang didapat Jupiter ialah, bahwa paling tidak satu tuduhan Allie terhadap Wesley Thurgood memang beralasan. Orang itu memang menimbulkan kesan seperti seseorang yang sedang bersandiwara. Seperti aktor yang berdandan khusus untuk suatu peranan tertentu. Tapi apabila dipikir lebih lanjut, apa lagi yang cocok dipakai di lingkungan seperti Twin Lakes, kalau bukan celana jeans, sepatu Lars dan kemeja koboi? Dan jika Wesley Thurgood tidak memiliki jeans yang sudah usang, kan sudah sewajarnya jika ia membeli yang baru?

"Anjing itu sudah kurantai," kata Thurgood. "Ia takkan datang mengganggu Anda lagi."

"Sebetulnya tidak apa-apa," kata Paman Harry, "selama ia tidak menyambar ayam! Dan kurasa itu takkan bisa dilakukannya, selama Magdalena masih ada."

Setelah itu Paman Harry memperkenalkannya pada Jupe dan kedua rekannya, Allie bersikap, seolah-olah Wesley Thurgood tidak ada di situ.

Pria itu melirik ke arah gadis remaja itu. Untuk sesaat sinar matanya yang biru cerah berubah, nampak tajam menusuk. Tapi hanya sesaat saja, setelah itu ia berbuat seolah-olah tidak melihat Allie. Perhatiannya terarah pada mobil antik.

"Wah, mobil itu barang yang cukup langka," katanya

"Aku baru saja mengatakan pada anak-anak ini, kapan-kapan aku akan memugarnya," kata Paman Harry.

Wesley Thurgood menghampiri kendaraan kuno itu, lalu menyentuhnya. Tiba-tiba Pete tersentak seperti teringat pada sesuatu.

"Wesley Thurgood!" katanya. "Dari tadi aku merasa sudah pernah mendengar nama itu!"

"Bagaimana?" kata Thurgood.

"Ayah saya bekerja sebagai spesialis efek khusus, untuk film," kata Pete menjelaskan. "Beberapa waktu yang lalu, sewaktu kami di rumah sedang makan malam, ia menyebut nama Anda, Mr. Thurgood. Kata Ayah, bagian properti di studionya memerlukan sebuah Reo kuno untuk salah satu film yang sedang mereka buat, dan mobil itu kemudian mereka peroleh dari Anda. Anda penggemar mobil-mobil kuno."

­"O ya? Ya, ya, itu memang benar," kata Thurgood.

"Ayah juga bercerita tentang koleksi mobil kuno Anda," sambung Pete. "Katanya, Anda mempunyai bengkel khusus di mana mobil-mobil itu disimpan, lengkap dengan seorang montir yang kerjanya tidak lain daripada mengurus mobil-mobil itu, supaya selalu berada dalam keadaan mulus."

"Ya, memang," kata Thurgood. "Kenapa tidak? Mobil-mobil seperti itu, sekarang mana yang masih dibuat?"

"Kalau tidak salah, mobil Silver Cloud milik Anda kan yang dipakai dalam film The Fortune Hunters?" tanya Pete.

"Silver Cloud? Ya, memang. Aku memang pernah meminjamkannya pada salah satu studio film... beberapa waktu yang lalu."

"Silver Cloud?" ujar Paman Harry dengan nada kagum. "Wah, dibandingkan dengan itu, model T-ku ini sama sekali tak berarti."

"Aku mulainya juga kecil-kecilan," kata Thurgood. "Tapi nanti jika sudah ketagihan, ada kemungkinan Anda tahu-tahu sudah mulai mencari-cari mobil kuno yang lain. Gudang ini perlu diperbesar. "

"Maksud Anda, aku perlu membangun gudang yang baru," kata Paman Harry. Kedua pria itu kemudian keluar, sementara Paman Harry asyik menceritakan berbagai hal yang hendak dilakukannya dengan perkebunannya.

­"Bagaimana," kata Allie, ketika kedua pria itu sudah tidak kelihatan lagi, "pernahkah kalian melihat orang seculas dia?"

"Pakaiannya memang masih baru," kata Pete. "Tapi apakah itu dilarang? Nama Wesley Thurgood tidak berarti apa-apa bagiku, sampai ia menunjukkan minatnya pada model T ini. Ayahku banyak bercerita tentang dia serta koleksi mobil kunonya. Uangnya banyak sekali. Hidupnya mirip pertapa - tinggalnya di sebuah gedung besar di Mandelville Canyon, yang dikelilingi tembok kokoh setinggi tiga meter,"

Jupiter mendeham.

"Tapi bukan dia yang meminjamkan mobil Silver Cloud yang dipakai dalam film The Fortune Hunters," kata Jupiter dengan gayanya yang agak sok, seperti biasanya jika menyampaikan informasi. "Dalam majalah Film Fun ada artikel tentang mobil itu. Pemiliknya bukan Thurgood, melainkan Jonathan Carrington, seorang pemilik modal. Lalu, film The Fortune Hunters juga bukan baru dibuat belakangan ini, melainkan sudah beberapa tahun beredar."

Tidak ada yang membantah keterangan Jupiter, yang selalu membanggakan pengetahuannya tentang film dan teater. Tapi Allie berseru puas.

"Nah, apa kataku? Dia bohong! Orangnya memang culas!"

Jupiter tersenyum.

"Belum tentu harus begitu, Allie. Kau lagi-lagi terlalu cepat menarik kesimpulan. Wesley Thurgood itu orang yang kaya-raya, dan jika mobil antiknya segudang dan dirawat khusus oleh seorang montir yang dipekerjakan untuk melakukan tugas itu, maka masuk akal jika ia tidak begitu tahu tentang soal-soal sepele. Bisa saja ia memang tidak ingat pernah-tidaknya meminjamkan sebuah mobil tertentu pada suatu perusahaan film, pada suatu waktu tertentu. Kurasa urusan seperti itu pasti ditangani salah seorang pegawainya, lalu montirnya yang mengantarkan mobil itu ke studio."

"Hah!" tukas Allie, karena rupanya ia tidak tahu lagi apa yang masih bisa dikatakannya.

Suasana di dalam gudang menjadi agak kaku. Untung tak lama kemudian terdengar suara Magdalena memanggil-manggil mereka, menyuruh makan.

­Bab 4 TEMBAKAN DALAM GELAP

"TAMBAH lagi kue arbeinya, ya?" kata Magdalena menawarkan dari tempatnya di ujung meja panjang dalam dapur yang luas itu. Saat itu Jupe baru saja menyuapkan remah-remah terakhir dari hidangan penutup itu.

"Wah, terima kasih," kata Jupe sambil menggeleng. "Kuenya enak sekali, tapi aku sedang berusaha menurunkan berat badan."

Kening Magdalena berkerut.

"Anak muda zaman sekarang ini payah - selalu saja takut menjadi gemuk. Lihat saja Allie! Makannya seperti burung, sehingga kurus seperti ranting. Musim panas sekarang ini aku hendak membuatnya montok, seperti burung dara."

"Anda sudah ketinggalan zaman, Magdalena," kata Allie. "Menurut Ikatan Dokter Amerika, kurus itu justru yang bagus. Itu perlu dicamkan Baby Fatso ini," katanya sambil menganggukkan kepala ke arah Jupiter.

Wajah remaja bertubuh gempal itu langsung merah. Ia paling tidak suka diingatkan pada masa kecilnya, sewaktu ia masih main film. Waktu itu ia memang benar-benar gemuk. Julukannya Baby Fatso.

­"Aku tidak pernah lupa diet," kata Jupe.

"Jika kau tidak sedang makan, maksudmu," kata Allie sambil berdiri, lalu pergi membawa perabot makannya ke tempat cuci piring.

"Kau benar-benar brengsek sebagai nyonya rumah, Allie," ujar paman gadis remaja itu. "Coba kau masih lebih kecil, pasti sudah kupukul pantatmu."

Allie tidak menjawab. Ia menyabun piring-piringnya, yang kemudian dimasukkannya ke dalam air pembilas.

Magdalena berdiri, hendak meninggalkan meja makan."

"Sana, mengobrol dengan kawan-kawa­mu," katanya pada Allie. "Biar aku yang mencucinya."

"Kami juga bisa membantu, Magdalena," kata Bob menawarkan diri. .

"Jangan, jangan! Aku tidak suka jika di dapurku banyak orang. Kecuali itu kan ada air pembilas. Air itu yang membersihkan."

Paman Harry, Allie, dan ketiga anak lainnya pergi ke ruang duduk. Di situ Paman H.arry langsung tertidur di depan pesawat TV. Tidak lama kemudian Jupe, Bob, dan Pete mulai menguap.

"Dasar pengantuk!" ejek Allie. "Padahal pukul sembilan saja belum!"'

"Kami tadi pagi pukul lima sudah bangun," kata Bob.

"Aku juga," tukas Allie. "He-bagaimana jika kuambil papan catur, lalu..."

­"Terima kasih, tapi tidak sajalah," kata Jupe memotong. "Menurut pengukur waktuku yang resmi, yang ada di dalam kepalaku, sekarang ini pukul setengah sebelas. Aku mau tidur."

"Aku juga." Pete melangkah ke tangga.

"Perusak suasana!" ejek Allie.

"Anak itu kadang-kadang menyebalkan," keluh Pete, ketika ia bersama kedua temannya sudah hendak masuk ke tempat tidur di tingkat atas. "Seakan-akan tidak kenal yang namanya capek."

Jupe merebahkan diri di tempat tidur, lalu mengalasi kepala dengan kedua tangannya. "Tentang itu, aku tidak begitu yakin," katanya.

"Coba dengar!"

Bob dan Pete memasang telinga. Suara samar dari pesawat TV yang selama itu terdengar, tiba-tiba lenyap. Rupanya ada yang mematikan. Sesaat kemudian terdengar suara Paman Harry, bernada mengantuk. Selanjutnya ada bunyi pintu ditutup serta air mengucur. Lalu ada pintu lain yang ditutup pula,

"Allie juga pergi tidur," kata Jupe.

Ia memiringkan tubuh, lalu memadamkan lampu yang terdapat di atas meja kecil di sebelah tempat tidur. Ruangan gelap, karena hanya diterangi sinar bulan yang masuk lewat jendela-jendela yang terbuka. Cahayanya di lantai berbentuk persegi empat yang pudar.

Jupiter memejamkan mata. Detik berikutnya ia sudah terlelap. Tidurnya nyenyak, sedikit pun tak bergerak. Tiba-tiba ia tergugah oleh bunyi sesuatu yang datang dari luar. Bunyi derum samar yang menggema, bergulung-gulung, dan akhirnya lenyap lagi.

Jupe langsung siaga. Ia duduk dengan cepat sambil memusatkan perhatian, menunggu kalau-kalau bunyi itu terulang.

Pete mengerang di tempat tidurnya.

"Magdalena," katanya dengan suara tidak jelas. "Menembak anjing itu lagi."

"Bukan." Jupe meninggalkan tempat tidurnya, pergi ke jendela. "Bunyinya memang seperti tembakan, tapi tadi itu bukan Magdalena. Terlalu jauh."

Jupiter memandang ke luar, ke arah kebun Pinus yang terbentang luas diterangi sinar bulan. Di sisi kanan nampak rumah Mrs. Macomber, serta rumah-rumah kosong tak berpenghuni milik wanita itu. Pada arah lurus ke depan nampak jelas tanah milik Wesley Thurgood di lereng yang menanjak. Sebuah truk kecil berbentuk kotak diparkir dekat tempat masuk ke dalam tambang:

Bayangan sesuatu kelihatan bergerak-gerak di samping pondok yang dihuni Thurgood. Anjing penjaganya mondar-mandir dengan gelisah di ujung rantai pengikatnya. Binatang itu mendongak, lalu melolong.

Ada lampu dinyalakan di rumah kecil di seberang jalan, di depan pintu pagar tanah milik Paman Harry. Pintu depan rumah itu terbuka, dan Jupe melihat Mrs. Macomber keluar, dengan mengenakan kimono. Wanita itu berdiri di beranda rumahnya, sambil memandang ke arah rumah Thurgood yang letaknya di tempat yang lebih tinggi.

Terdengar suara orang berbicara, di ruang duduk di tingkat bawah. Paman Harry rupanya juga bangun, begitu pula Magdalena.

"Bukan saya," Anak-anak yang masih tetap berada di tingkat atas mendengar suara Magdalena mengucapkan kata-kata itu. "Bukan saya yang menembakkan senapan."

Langkah kaki tak beralas terdengar bergegas menaiki tangga, disusul bunyi pintu kamar tidur digedor-gedor.

"He, kalian juga mendengar itu tadi?" Ternyata Allie yang datang,

Jupe dan kedua temannya keluar dari kamar tidur mereka, menuju serambi tangga sebelah atas. Allie berlutut di belakang jendela yang ada di situ, sambil menopangkan siku ke ambangnya. "Tadi itu Thurgood!" bisik gadis remaja itu. "Aku yakin, bunyi tembakan itu datang dari tempat tinggal Thurgood. Lalu itu -lihatlah!"

Pete menghampiri jendela tempat Allie masih berlutut.

"Ada apa?" katanya dengan nada bertanya.

Allie menuding ke seberang jalan, ke arah rumah Mrs. Macomber. Wanita yang selama itu berdiri di beranda kini membalikkan tubuh, masuk lagi ke rumah lalu menutup pintu.

"Bunyi tadi membangunkan Mrs. Macomber," kata Allie menjelaskan maksudnya. "Anjing penjaga yang di sana juga terbangun karenanya. Ia menggonggong. Dan kita pun ikut terbangun.

Tapi Thurgood tidak! Atau setidak-tidaknya, ia tidak lantas menyalakan lampu lalu pergi ke luar untuk menyuruh anjingnya diam. Aku berani bertaruh, pasti dia tadi yang menembak!"

"Allie!" Harrison Osborne berseru dari bawah. "Apa yang kaulakukan di situ?"

"Cuma memandang apa yang bisa kulihat," balas Allie berseru pula. Ia berdiri, lalu pergi ke ujung atas tangga. "Paman Harry, aku yakin bahwa yang menembak tadi pasti Wesley Thurgood. "

"Aduh, Allie," keluh paman gadis itu dengan suara lesu, "lama-lama kau bisa sinting sendiri karena ketidaksenanganmu pada Thurgood. Mungkin saja yang menembak itu orang lain, yang sedang berburu kelinci, atau coyote."

"Orang lain itu siapa?" tanya Allie menukas. "Dari sini aku bisa melihat dengan leluasa sampai ke bukit-bukit. Aku tidak melihat siapa-siapa di luar. Kecuali itu, jika memang ada coyote berkeliaran, masakan tidak mencoba menyambar ayam kita?"

"Tidak, jika sebelumnya sudah ada yang menembaknya," kata Paman Harry. "Kau turun saja lagi sekarang lalu masuk ke tempat tidur. Biarkan anak-anak itu tidur."

­Sambil mengumpat pelan Allie berdiri. Ia sudah mulai menuruni tangga, ketika tiba-tiba Jupe memanggilnya kembali ke jendela.

Ternyata sementara itu Thurgood muncul di tempat terbuka yang terdapat dekat pondoknya. Ia mengepit senapan buru. Anak-anak melihat orang itu memandang ke arah perbukitan di seberang jalan yang melintas di depan tempat tinggalnya.

Kemudian Thurgood mengangkat senapannya, membidik sebentar, lalu menembak.

Bunyi tembakan sekali lagi memecah kesunyian malam. Sekali lagi anjing penjaga melolong. Thurgood menghampiri binatang itu, lalu menepuk-nepuk kepalanya. Anjing itu diam, dan Thurgood masuk ke dalam pondoknya.

"Tentang satu hal kau benar, Allie," kata Pete. "Ternyata tadi itu memang Thurgood."

"Dan kelihatannya pamanmu juga benar tentang hal yang lain," kata Bob menambahkan. "Rupanya yang ditembak memang coyote."

Allie mendengus dengan kesal, lalu bergegas menuruni tangga

"Allie rupanya benar-benar tidak suka pada Thurgood," kata Bob sambil berjalan dengan gontai kembali ke kamar tidur. "Tidak peduli apa yang dilakukan orang itu, Allie pasti akan langsung curiga."

Jupiter naik kembali ke tempat tidur.

"Jika aku punya tambang, rasanya mendingan Allie Jamison kuajak saja melihat-lihat di dalamnya, supaya ia bisa melampiaskan rasa ingin tahunya," katanya. "Itu lebih gampang, daripada dimusuhi olehnya."

Bob dan Pete merebahkan diri ke tempat tidur masing-masing. Dan beberapa menit kemudian, Jupe menarik kesimpulan bahwa keduanya pasti sudah tidur nyenyak, kalau ditilik dari bunyi napas mereka yang teratur. Jupiter berbaring dengan mata nyalang dalam ruangan yang gelap. Didengarkannya desau angin malam menggoyangkan pohon-pohon pinus.

Tiba-tiba Jupe duduk dengan cepat.

'"Di manakah Thurgood ketika pertama kali menembak?" katanya dengan lantang.

Pete menggumam dalam tidurnya sambit membalikkan badan.

"A... apa?" kata Bob tergagap.

"Di manakah Thurgood sewaktu ia pertama kali menembak?"

"Tembakan yang pertama?" kata Pete, yang sementara itu juga terbangun. "Di dalam rumah mestinya."

"Lalu kau melihat dia keluar?" tanya Jupe. "Kau melihatnya pergi ke pekarangan, sebelum melepaskan tembakan yang kedua kalinya?"

"Rasanya tidak, karena saat itu aku sedang memandang ke arah Allie."

"Aku juga," kata Jupe. "Bob, kau melihat dari mana Thurgood muncul sebelum ia sekali lagi menembak?"

"Tidak, aku tidak melihatnya," kata Bob.

"Kalau begitu, ia bisa saja muncul dari tempat yang mana saja," kata Jupiter menarik kesimpulan. "Kurasa sebelum itu ia tidak berada di dalam rumahnya. Bunyi tembakan pertama kedengarannya sangat samar, sehingga aku bahkan tidak yakin apakah itu memang bunyi tembakan. Sedang yang kedua lebih jelas, dan kedengarannya lebih dekat. Kurasa Thurgood berada di dalam tambang ketika melepaskan tembakan yang pertama."

"Kalau memang begitu, lantas kenapa?" tanya Pete.

"Mungkin tidak apa-apa," kata Jupe, "cuma kurasa tadi sama sekali tidak ada coyote. Kalau ada, anjing penjaganya pasti sudah ribut menggonggong, dan suaranya itu kita dengar. Sedang binatang itu baru bersuara setelah ada tembakan. Bagaimana jika Thurgood tadi menembak sesuatu di dalam tambang, lalu kemudian baru mengetahui ketika keluar dari situ bahwa bunyi tembakannya menyebabkan para tetangga terbangun? Jika ia tidak ingin orang lain tahu bahwa ia menembak di dalam tambang -apakah yang akan dilakukannya?"

Pete dan Bob tidak menjawab.

"Tidakkah ia lantas menembak sekali lagi, sambil berdiri di tempat terbuka?" tanya Jupe. "Tidakkah ia lantas berbuat seolah-olah sedang menembak coyote yang berkeliaran di dekat rumahnya?"

"Kau rupanya sudah ketularan Allie," kata Bob.

­"Mungkin," kata Jupe mengaku, "tapi mungkin juga memang ada sesuatu yang aneh pada diri Mr. Thurgood. Mungkin saja Allie benar-benar menemukan suatu kasus!"

­Bab 5 TAMBANG TERLARANG

KETIKA Jupe bangun keesokan paginya dan melihat sinar matahari yang cerah di luar, kecurigaan malam sebelumnya terasa konyol. Setelah berpakaian ia pergi ke dapur di tingkat bawah, di mana Pete dan Bob sudah mendahului sarapan pagi.

Paman Harry duduk di kepala meja, sementara Magdalena sibuk di depan kompor, menuangkan adonan kue dadar ke wajan ceper.

Pete melambai sekilas, memberi salam.

"Allie sudah pergi berkuda, dan kami baru saja hendak ke atas untuk membangunkan kamu," katanya pada Jupe. "Hari ini kita akan mulai beraksi dengan parang."

"Ada juga selingan, sekali-sekali," kata Jupe mengomentari.

"Selingan apa?" tanya Paman Harry.

"Dari mengusung-usung barang bekas, di The Jones Salvage Yard," kata Jupiter.

"Moga-moga kalian menyukainya." Paman Harry tersenyum. "Aku sendiri senang mengerjakannya. Kreatif rasanya, jika membayangkan sedang membentuk pohon yang akan menjadi pohon Natal. Tapi pada hari pertama ini, kalian jangan terlalu memaksakan diri bekerja. Sekitar satu jam saja sudah cukup, lalu beristirahat."

Selesai sarapan, Paman Harry mengambilkan tiga bilah parang dari persediaannya yang digantungkan di atas meja kerja di gudang. Setelah itu diajaknya ketiga remaja itu ke bagian kebun yang terletak antara rumah dan jalan di depan, lalu ditunjukkannya cara memangkas pohon pinus untuk dijadikan pohon Natal. Dengan gesit diayunkannya parang dengan gerakan miring, memotong dahan-dahan yang tidak rapi tumbuhnya.

"Tapi jangan terlalu dekat ke batangnya,"katanya mengingatkan. "Dan jangan ayunkan parang terlalu dekat ke tubuh. Gerakan kalian harus selalu miring ke samping. Aku tidak ingin terjadi kecelakaan."

Kemudian Jupe, Bob, dan Pete mencoba memangkas, dengan diawasi Paman Harry. Setelah merasa yakin bahwa ketiga remaja itu benar-benar mampu, Paman Harry membiarkan mereka bekerja sendiri. Ia masuk lagi ke rumah, dan beberapa menit kemudian pergi dengan mobilnya, bersama Magdalena.

Anak-anak bekerja tanpa bicara, sampai terdengar derap kaki kuda Appaloosa milik Allie di kebun pinus yang terbentang antara jalan masuk dan tanah milik Wesley Thurgood. Mereka menoleh ke arah bunyi itu, memperhatikan Allie yang mengarahkan kudanya masuk ke tempat merumput. Ia menurunkan pelana dari kuda itu, kemudian mengeringkan keringatnya dengan segenggam jerami. Setelah itu Allie masuk ke rumah.

Tidak lama kemudian anak-anak mendengar bunyi mesin mobil dihidupkan. Mereka menoleh ke arah gudang.

"Astaga!" seru Pete. "Apa lagi yang akan terjadi sekarang?"

Ternyata Allie naik ke kabin mobil pick-up pamannya, dan duduk di belakang kemudi. Terdengar bunyi persneling dimasukkan dengan kasar. Sesaat kemudian kendaraan pengangkut itu sudah bergerak terhuyung-huyung ke arah luar.

"Kau sinting, Allie!" seru Pete. "Mau apa kau?"

Allie menginjak rem, ketika kendaraan yang dikemudikannya sampai di dekat anak-anak. Mesin mobil terbatuk-batuk, lalu mati.

"Jangan khawatir," ujar gadis itu dengan riang. "Aku boleh membawanya, asal jangan keluar dari pekarangan."

"Tapi kau masih terlalu muda!" ujar Bob.

"Kalau untuk mendapat SIM, memang," kata Allie. "Tapi karena kakiku bisa menginjak pedal gas dan rem, aku tidak terlalu muda untuk mengemudi."

Ia mencoba menghidupkan mesin pick-up itu lagi, tapi tidak berhasil.

"Kurasa aku masih perlu lebih banyak berlatih," katanya.

"Pamanmu tahu perbuatanmu ini?" tanya Pete.

"Tentu saja," kata Allie. "Menurut dia, anak-anak perempuan perlu tahu segala-galanya yang bisa dilakukan anak laki-laki."

"Ya, ya," kata Pete, "dan karena itulah kau menunggu sampai ia sudah pergi, bersama Magdalena. "

Allie menjulurkan badannya ke luar. Matanya berkilat-kilat bandel.

"Mereka pergi berbelanja, dan baru nanti kembali. Sedang Wesley Thurgood juga sedang tidak ada di rumah. Anjing penjaganya dirantai."

"Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu," kata Pete. "Kau berniat menjelajahi tambang itu. Lakukan saja sendiri!"

Jupe merenung, sambil menimang-nimang parang. Ia teringat pada bunyi tembakan malam sebelumnya - bunyinya samar, seakan-akan datang dari sebuah terowongan di lereng bukit.

"Kalian ini benar-benar payah," ejek Allie. "Baiklah! Tetap sajalah di situ, dan lupakan urusan misteri." Sekali lagi dicobanya menyalakan mesin mobil, dan sekali ini berhasil.

"Tunggu! Aku ikut!" seru Jupe.

"Bagus!" Allie tertawa. "Dan bawa parangmu. Jika Thurgood nanti tahu-tahu pulang, kita cepat-cepat lari ke mobil, lalu pura-pura sibuk memangkas di bagian kebun yang berdekatan dengan tanahnya. Nah - bagaimana dengan kau, Pete? Dan kau, Bob?"

Pete memandang Jupe dengan sangsi. Anggota Trio Detektif yang paling jangkung dan berpotongan sigap itu gemar menghadapi petualangan yang memerlukan tenaga jasmani. Tapi ia paling tidak suka mencari-cari perkara. Sedang Jupe sebaliknya: ia paling tidak bisa menahan diri kalau tahu ada misteri yang bisa diselidiki, tidak peduli betapa sepele atau besar bahaya yang mungkin timbul. Dan begitu ia sudah memutuskan untuk bertindak, tidak ada lagi yang bisa menghalang-halangi. Akhirnya Pete mengangkat bahu, lalu masuk ke mobil dan duduk di sebelah Allie. Bob yang juga menyadari bahwa Jupiter pasti hendak melacak sesuatu, menyusul Pete dan naik ke bak belakang.

Sekali lagi Allie menghidupkan mesin mobil, yang setelah itu dikemudikannya melalui jalan tanah yang benjol-benjol permukaannya, karena hanya diratakan dengan buldoser-melintasi perkebunan milik Harrison Osborne.

"Mobil ini asyik," kata Allie dengan gembira. Ia sibuk sekali berusaha menguasai kendaraan itu, sehingga seluruh bagian tubuhnya seakan-akan ikut bergerak-gerak. Ia harus menjulurkan badannya ke bawah setiap kali kakinya menginjak pedal kopling, dan ia harus mendorong dengan sekuat tenaga untuk menggerakkan tongkat persneling.

Tangannya berkelebat menyentuh sebuah tuas yang terdapat di sebelah tongkat persneling. "Ini gunanya supaya mesin memutar keempat roda sekaligus, apabila kita hendak mendaki lereng yang curam," katanya menjelaskan. "Kecuali itu, di depan ada lir (semacam derek), apabila kita terperosok dalam lumpur atau masuk ke selokan. Untuk maju, kita punya empat persneling. Pada tombol tongkatnya ini ada gambar untuk menunjukkan posisi-posisinya. Untuk persneling satu tongkat didorong ke sini, lalu ditarik ke arah kita kalau mau dimasukkan ke gigi dua, dan..."

"...Dan mudah-mudahan kita nanti bisa mengembalikannya ke gudang dalam keadaan utuh!" kata Pete cepat-cepat, sementara mobil itu maju dengan gerakan terantuk-antuk

"Kau terlalu penakut," tukas Allie. Ia menghentikan pick-up itu di pinggir bagian kebun yang berbatasan dengan tanah milik Wesley Thurgood.

Jupe dan kedua temannya turun, lalu memandang berkeliling.

Lereng bukit nampak langsung mencuat ke atas, di tepi sebidang tanah gersang. Jalan masuk ke tambang kelihatan berupa lubang gelap dan menyeramkan di kaki lereng itu. Anak-anak masih bisa melihat beberapa meter ke dalam liang tambang di balik balok-balok penunjang yang membentuk kerangka jalan masuk. Pada dasar liang nampak pasir putih yang kering, bercampur dengan sedikit kerikil. Uang itu sendiri kelihatannya melandai ke arah bawah. Di sisi kanan tambang terdapat sebuah gubuk yang sudah reyot. Itulah tempat tinggal Wesley Thurgood.

"Reyot, ya?" kata Allie sambil menuding ke arah gubuk,

"Mungkin akan dibetulkannya juga, kapan-kapan," kata Bob mengomentari. "Sudah berapa lama ia tinggal di sini?"

­"Hampir sebulan," jawab Allie. "Ia datang hanya dengan membawa kasur gulung serta beberapa panci. Kurasa memang cuma itu saja barang-barangnya. Hidupnya di sini benar-benar seadanya saja. Bangunan besar yang di belakang pondoknya itu dulunya pabrik tambang ini. Ke situlah hasil galian dari dalam tambang dibawa, untuk dipisahkan kandungan peraknya."

Saat itu terdengar bunyi gemerincing rantai, disusul munculnya anjing penjaga dari balik pondok. Binatang itu ternyata tidak sebesar sangkaan Jupe dan kedua temannya, tapi walau begitu masih saja tetap sangat besar. Menurut taksiran Jupe, anjing itu mungkin blasteran anjing pemburu jenis Labrador dan anjing gembala Jerman. Binatang bertubuh besar itu menggeram ketika melihat Allie dan ketiga remaja temannya.

"Kau tahu pasti rantainya diikatkan pada sesuatu yang tidak gampang terlepas?" kata Pete.

Allie tertawa.

"Kau tak perlu takut," katanya. "Tadi ketika aku lewat di sini dengan Queenie, aku melemparkan sepotong ranting ke arahnya. Ia tidak bisa menyerang kita."

"Aku suka pada caramu mendekati anjing, Allie," kata Bob menyindir. "Bagaimana jika tadi tahu-tahu ia bisa lepas dari rantainya?"

"Ia takkan mampu mengejar, karena kan ada Queenie! Tidak ada anjing yang lebih cepat larinya daripada kuda kesayanganku," kata Allie dengan gaya mantap. Ia mengambil senter dari laci kabin pick-up. ''Yuk!''

Keempat remaja itu melintasi tanah yang gersang, menuju jalan masuk ke tambang. Anjing penjaga langsung ribut. melonjak-lonjak hendak membebaskan diri dari rantai yang mengikat, untuk menyergap mereka. Tapi Allie bersikap tak peduli. Ia terus berjalan, masuk ke dalam tambang, diikuti ketiga anggota Trio Detektif.

Setelah masuk sejauh beberapa meter, Allie menyalakan senter. Sinarnya menyusur dasar lorong yang agak condong ke bawah. Pada jarak-jarak tertentu terdapat lorong-lorong yang menjorok ke samping. Dinding lorong-lorong itu ditopang balok-balok berukuran sebesar bantalan rel kereta. Balok-balok melintang ikut menahan langit-langit yang berbatu.

Kecuali suara gonggongan anjing di luar yang masih terdengar, keadaan dalam tambang sunyi senyap. Tapi kesenyapan itu tidak damai. Samar-samar terasa ada ancaman yang melingkungi.

Allie beserta ketiga temannya melangkah lambat-lambat dan berhati-hati dalam terowongan utama yang dasarnya terdiri dari batu yang tidak rata.

Jupiter terus menatap jalur sinar senter yang bergerak-gerak menembus kegelapan yang menghadang di depan.

Sekitar lima puluh meter di dalam bukit, terowongan utama bercabang dua. Cabang yang satu mengarah ke kanan, sedang yang lainnya miring sedikit ke kiri. Anak-anak ragu sejenak.

­Kemudian Allie masuk ke lorong yang menuju ke kiri. Anak-anak yang lain mengikutinya. Sinar remang yang berasal dari jalan masuk, kini sudah tidak kelihatan lagi. Kalau tidak ada sinar senter, sekeliling mereka pasti gelap-gulita. Bunyi langkah anak-anak menggema dalam lorong itu.

"Di mana ya, tempat wanita itu jatuh?" kata Allie. "Maksudku, yang tewas dalam tambang ini."

la bergidik. Rupanya ia bisa juga merasa seram. (

"Sebentar, Allie," kata Jupe. Ia melihat sesuatu

di dasar lorong. ttCoba sorotkan sentermu seben-

tar kemari," katanya.

Allie mengarahkan sinar senternya ke suatu tumpukan batu dan kerikil, yang kelihatannya merupakan bagian dari dinding lorong yang runtuh. Ketika Jupe membungkuk untuk memungut sebutir batu, tahu-tahu Allie pergi menjauh, sehingga tempat itu gelap lagi.

"He!" seru Pete. "Kemarikan senter itu!"

Tapi Allie terus berjalan. Sinar senternya bergerak-gerak makin menjauh di dalam suatu lorong samping yang dimasuki gadis remaja itu.

"Allie!" seru Bob memanggil.

Tiba-tiba ada cahaya di dalam lorong, di belakang mereka. Cahaya itu sangat terang, seolah-olah memaku ketiga anggota Trio Detektif di tempat mereka berada.

"Sedang apa kalian di sini?" kata seseorang dengan nada marah. Anak-anak mengenali suaranya. Orang yang tahu-tahu muncul itu adalah Wesley Thurgood.

­"Wah, gawat!" keluh Pete.

Anak-anak mendengar bunyi senter terlepas dari tangan Allie, membentur batu. Terdengar bunyi kaca pecah.

Di ujung lorong samping yang dimasukinya, Allie menjerit. Ia menjerit, menjerit, dan terus menjerit.

­Bab 6 JEBAKAN MAUT

­"ALLIE! Kenapa kau?" seru Jupe dengan cemas.

Gadis remaja itu masih saja menjerit. Suaranya melengking, histeris.

"Sialan anak itu!" Thurgood bergegas melewati ketiga anggota Trio Detektif, masuk ke lorong samping. Ketiga remaja itu tersaruk-saruk menyusul, dengan berpedoman pada sinar senter orang itu.

Allie berdiri terpaku di pinggir sebuah lubang yang menganga di dasar lorong. Ia menatap ke bawah, ke dalam kegelapan yang menganga dekat kakinya. Lagi-lagi ia menjerit

"Jangan menjerit lagi!" Thurgood menyambar lengan gadis itu, lalu menariknya dari tepi lubang. Dengan tangan gemetar, Allie menunjuk ke arah lubang,

"D-d-di-s-situ!" ujarnya tergagap-gagap.

Anak-anak menghampiri pinggiran lubang dengan berhati-hati. Thurgood menyorotkan senternya ke bawah. Lubang itu tidak begitu dalam - hanya sekitar tiga sampai empat meter dalamnya - tetapi dindingnya tegak lurus.

Di dasar lubang itu ada sesuatu, yang kelihatannya merupakan tumpukan pakaian. Tapi dengan diterangi sinar senter, anak-anak mengenali sesuatu yang dulunya merupakan tangan. Tangan manusia. Sedang pakaian yang teronggok, ternyata bukan hanya pakaian saja, Ada badan manusia di dalamnya. Badan yang tergeletak dengan sikap aneh di atas batu dasar lubang. Anak-anak melihat mata yang tinggal rongganya saja, serta segumpal rambut kusut dan berdebu.

"Mati!" jerit Allie. "Orang itu... orang itu mati! Sudah mati!"

"Diam!" bentak Thurgood.

Allie terteguk, lalu diam.

"Sekarang keluar!" bentak Thurgood lagi. "Semua!"

Jupiter dan Bob menyambar lengan Allie, lalu menariknya kembali ke terowongan utama dan dari situ langsung keluar, diikuti oleh Pete yang tersandung-sandung di belakang mereka, serta Thurgood yang menggiring dengan senternya.

Anjing penjaga menggonggong, Tapi suaranya seperti tidak benar-benar ada, menurut perasaan Jupe saat itu. Seolah-olah merupakan bagian dari mimpi buruk. Dalam pikirannya, Jupe masih tetap melihat onggokan pakaian dalam lubang di ujung lorong tadi. Masih tetap terbayang kepala dengan rongga mata yang tidak melihat lagi, serta tangan kurus terbalut kulit yang sudah kering.

"Ayo pulang sekarang!" kata Thurgood. "Semuanya pulang, dan tetap tinggal di sana. Jika kupergoki lagi kalian di dalam tambangku, kupatahkan batang leher kalian nanti!'

­Wesley Thurgood masuk ke pondoknya Pintu ditutupnya dengan kasar. Allie beserta ketiga temannya pergi lambat-lambat, melewati mobil Chevrolet Suburban berwarna merah mengkilat, milik Thurgood yang kini diparkir dekat tambang, melewati mobil pick-up Paman Harry yang tadi mereka tinggalkan di kebun.

Ketika keempat remaja itu sampai di rumah, air muka Allie sudah tidak pucat lagi.

"Kita beri tahu Sheriff," katanya. "Thurgood itu - sudah kusangka ada sesuatu yang tidak beres dengan dia!"

"Kurasa pasti sementara ini ia sudah menelepon polisi," kata Jupe. "Dan kurasa sebaiknya kau jangan menuduh-nuduh dia."

"Kenapa jangan?" kata Allie. "Kan ada orang mati di dalam tambangnya!"

"Dan saat ini kita sama sekali tidak tahu, bagaimana orang mati itu sampai bisa ada di situ, " kata Jupe menegaskan.

Tidak lama kemudian nampak debu mengepul di jalan yang menuju ke kota. Sedetik kemudian sebuah mobil sedan berwarna coklat lewat dengan laju. Di pintunya terpampang tulisan 'Sheriff’. Anak-anak sempat melihat pengemudinya sekilas, seorang pria bertubuh besar memakai topi bertepi lebar, seperti yang biasa dipakai koboi!

Mobil itu membelok ke arah pondok tempat kediaman Thurgood, lalu berhenti.

Jupe tersenyum.

"Nah, apa kataku tadi?" katanya pada Allie.

­Allie membalas senyumnya, tapi dengan tepi mulut ditarik ke bawah.

"Aku ingin tahu, apa yang akan dikatakan Thurgood pada Sheriff," katanya.

"Dan kau, apa yang akan kaukatakan pada pamanmu?" ujar Jupe sambil menggerakkan kepala ke arah jalan, di mana nampak mobil besar milik Paman Harry datang mendekat. Paman Harry dan Magdalena duduk di depan. Paman Harry membelokkan kendaraannya memasuki pekarangan, Jupe melihat bahwa wajah paman Allie itu serius.

"Allie!" seru Paman Harry. Mobilnya dihentikan di jalan masuk. Paman Harry menjulurkan kepalanya ke luar. "Sheriff Tait tadi melewati kami di jalan. Apa yang terjadi?"

"Ada mayat di tambang Thurgood," kata Allie dengan wajah puas.

"Mayat? Dalam tambang?"

Allie mengangguk.

"Madre de Dios!" Magdalena turun dari mobil. "Bunda Maria-Allie, dari mana kau tahu?"

Pertanyaan itu menimbulkan kesunyian yang tidak enak. Harrison Osborne memandang keponakannya.

"Kau tadi masuk lagi ke tambang itu, Allie?"

Jupiter maju selangkah.

"Ya kami semua tadi ke sana, Mr. Osborne. Saya ingin tahu tentang tembakan-tembakan yang tadi malam, dan..."

"Aku sama sekali tidak ingin mendengar penjelasan!" kata Paman Harry memotong "Sekarang kalian semua masuk ke rumah dan jangan keluar lagi, mengerti?"

Sambil marah-marah Paman Harry pergi melintasi kebun, menuju ke tanah milik Wesley Thurgood. Di tengah jalan ia disusul Mrs. Macomber yang keluar dari rumahnya ketika mobil Sheriff tadi lewat.

Anak-anak berpindah-pindah dari jendela yang satu ke jendela lainnya di tingkat dua rumah Paman Harry, berusaha melihat kalau-kalau terjadi sesuatu yang menarik. Beberapa waktu kemudian sebuah mobil ambulans masuk ke tanah milik Thurgood, lalu bergerak mundur sampai di depan jalan masuk ke tambang. Setelah lewat waktu satu jam, barulah kendaraan itu pergi lagi, menuju ke kota. Sementara itu beberapa mobil lain berdatangan. Satu di antaranya mobil Patroli Jalan Raya. Pukul tiga Harrison Osborne pulang, membawa mobil pick-up-nya.

"Nah?" kata Allie menyambut kedatangan pamannya. "Bagaimana, Thurgood ditangkap?"

"Tentu saja tidak," kata Paman Harry. "Kenapa ia harus ditangkap? Orang yang tergeletak di dalam tambang itu, sudah lama mati. Oleh pihak yang berwajib akan dilakukan pemeriksaan terhadap mayatnya, tapi kelihatannya orang itu masuk ke sana sekian tahun yang lewat. Ia mati karena batang lehernya patah, sewaktu jatuh ke dalam lubang itu. Thurgood sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kejadian itu, yang mestinya terjadi sebelum jalan masuk ke dalam tambang ditutup."

"Itu lima tahun yang lalu," kata Magdalena, yang muncul dari dapur. "Kasihan-terkapar di situ selama lima tahun, tanpa ada yang mengetahui nasibnya."

"Saat itukah tambang ditutup?" tanya Pete. "Kukira sudah empat puluh tahun yang lalu."

"Kau benar, Pete," kata Magdalena, "tambangnya memang sudah sejak lama ditutup, tapi orang masih bisa masuk ke sana. Si - betul. lima tahun yang lalu - waktu itu sedang musim semi - jalan masuk ke tambang ditutup dengan terali besi. Aku masih ingat kejadiannya."

Jupe duduk di lantai, iseng melambung-lambungkan sebutir batu.

"Apa itu?" tanya Allie ingin tahu.

Jupe menangkap batu itu. "Aku memungutnya tadi pagi di dalam tambang, sebelum kau pergi lagi membawa senter."

Jupe membasahi salah satu jarinya dengan lidah, lalu digosoknya batu yang dipegangnya. Ia memandang Paman Harry. "Kata Anda, Jebakan Maut itu tambang perak yang sementara ini sudah habis kandungan peraknya," katanya. "Ada jugakah emas di situ?"

"Sepanjang pengetahuanku, tidak," jawab Paman Harry.

Jupe mengacungkan batu yang dipegangnya ke arah yang lebih terang.

­"Ada jalur kecil mengkilat pada batu ini," katanya. "Mungkin cuma sulfida besi saja, atau pirit - yang biasa disebut emas gadungan."

"Masa bodoh, apakah itu pirit atau bukan," kata Allie. "Yang ingin kuketahui adalah, kenapa Wesley Thurgood selama ini tidak melaporkan bahwa di dalam tambangnya ada mayat orang. Ketika kita masuk ke sana dan menemukannya, barulah ia terpaksa memanggil Sheriff. Maksudku, ketika kita sudah melihat mayat itu apa lagi yang bisa dilakukan olehnya kecuali melaporkan?"

Paman Harry sudah tidak sabar lagi.

"Wesley Thurgood tidak tahu-menahu bahwa di dalam tambangnya ada mayat," katanya. "Baru minggu lalu ia menyingkirkan terali besi yang selama ini menutup jalan masuk ke sana, dan sejak itu ia belum punya waktu untuk menjelajahi seluruh lorong dan liang yang ada di dalam. Sama sekali tidak ada alasan baginya untuk menyembunyikan mayat itu, Allie. Jika kau masih juga menuduh-nuduh orang seenakmu sendiri, aku terpaksa akan mengurungmu dalam gudang bawah tanah, dan menyungkup kepalamu dengan karung!"

Saat itu terdengar bunyi mobil datang diri berhenti di luar. Nampak Sheriff turun dari kendaraannya lalu naik ke beranda, menuju pintu depan. Magdalena sudah membukakannya, sebelum polisi itu sempat mengetuk. Paman Harry berdiri dengan segera. Tapi Sheriff memandang ke arah Allie. T atapannya galak.

­"Allie," katanya, "kau tahu apa sebabnya tambang itu dijuluki 'jebakan maut'?"

Allie mengangguk.

"Orang bisa mati jika terjebak di dalamnya, kan?"

Sekali lagi Allie mengangguk.

"Saya tahu, Sheriff Tait."

"Kalau kau berani masuk lagi ke sana, kau akan kutahan lalu kuseret ke gedung pengadilan. Kau akan ditahan terus di sana, sampai pamanmu datang untuk membebaskan dirimu. Peringatan ini juga berlaku untuk kalian bertiga," sambung Sheriff Tait sambil memandang Jupe, Bob, dan Pete.

Setelah itu ia duduk di kursi yang berhadapan dengan tempat duduk Paman Harry.

"Anda berhasil mengetahui, siapa orang yang mati itu?" tanya Paman Harry.

Sheriff Tait mengangguk.

"Ya, kurasa itu sudah berhasil diketahui. Di kantung belakangnya ada dompet, berisi selembar kartu penduduk dengan alamat San Francisco. Kami lantas menelepon ke San Francisco, untuk menanyakan apakah polisi di sana pernah menerima laporan tentang lenyapnya seorang pria bernama Gilbert Morgan, yang mungkin hilang lima tahun silam, atau mungkin sudah lebih lama lagi. Ternyata memang ada laporan yang masuk mengenai orang itu. Pada bulan Januari, sedikit lebih dari lima tahun yang lalu, Gilbert Morgan-yang juga memakai nama George Milling, Glenn Mercer, dan George Martins, dibebaskan dari penjara San Quentin setelah menjalani enam tahun dari hukuman lima belas tahun karena melakukan perampokan bersenjata. Setelah itu ia pernah dua kali menghadap petugas kehakiman di San Francisco yang berwenang menangani kasusnya, sesuai dengan ketentuan pembebasan bersyarat. Tapi cuma dua kali saja ia melapor, karena. setelah itu menghilang tanpa meninggalkan jejak. Sejak itu namanya tertera dalam daftar orang-orang yang dicari polisi. Kami masih akan menegaskan identitasnya dengan mencocokkan pola, giginya dengan catatan yang ada di arsip kepolisian, tapi secara garis besar data-data mengenai dirinya cocok. Mayat itu belum terlalu rusak. Hawa di dalam tambang begitu kering, sehingga badannya seolah-olah diawetkan. Seperti mumi orang Mesir."

"Kasihan M­r. Thurgood," kata Allie dengan suara dimanis-maniskan, "kurasa ia pasti tidak tahu bahwa mayat itu ada di situ."

"Tentu saja ia tidak tahu! Kalau tahu, tentu ia sudah langsung memberi tahu aku," Sheriff Tait berdiri. "Ingat apa kataku tadi tentang tambang itu, Anak bandel!"

Paman Harry mengantarkannya ke luar Mereka masih berdiri sambil bercakap-cakap sebentar di dekat mobil polisi itu,

"Memang aneh-apa sebabnya Thurgood tidak langsung menjelajahi tambangnya, begitu terali yang menghalang di jalan masuk disingkirkan," kata Jupe. "Kalau aku membeli tambang, itu pasti akan kulakukan."

"Kan sudah ku, katakan orang itu mencurigakan!" kata Allie.

"Lima tahun yang lalu," kata Jupiter. "Lima tahun yang lalu, pada bulan Januari, seorang pencuri bernama Gilbert Morgan dibebaskan dari penjara. Ia pernah melapor pada petugas kehakiman yang berwenang di San Francisco, tapi setelah itu ia menghilang. Antara bulan Januari dan saat tambang ditutup pada musim semi berikutnya, ia tiba di Twin Lakes, masuk ke dalam tambang, lalu tewas di dalamnya. Aku ingin tahu, ke mana dia sejak menghilang sampai saat itu. Magdalena, mungkinkah sebelumnya ia sudah ada di kota ini?"

Magdalena menggeleng. "Twin Lakes tidak besar, jadi kalau ada orang asing, pasti ketahuan."

Jupe mengangguk.

"Betul," katanya. "Dan jika orang asing itu buronan polisi, tentunya ia tidak ingin menarik perhatian. Ia akan pergi ke tempat yang ramai, agar kehadirannya di situ tidak mencolok di tengah orang banyak. Tapi kenyataannya, ia datang kemari."

"Aku ingin tahu, apa lagi yang terjadi di Twin Lakes, lima tahun yang lewat," kata Allie. "Tambang ditutup, sementara penjahat itu ada di dalam. Masih ada orang lain di kota yang mungkin juga menarik? Seperti Wesley Thurgood, misalnya? "

"Aku akan sangat heran, jika ternyata ia memang ada di kota ini waktu itu," kata Bob, sambil melihat-lihat setumpuk surat kabar yang terletak di meja tempat menaruh asbak. "Tapi jika kau benar-benar ingin tahu, kita bisa mengeceknya. "

"Bagaimana caranya?" tanya Allie.

"Lewat koran lokal." kata Bob. Diacungkannya lembaran surat kabar berukuran kecil. "Ini, mingguan Twin Lakes Gazette. Isinya cerita-cerita tentang segala-galanya yang terjadi di kota ini, termasuk daftar orang-orang yang kedatangan tamu, dan dari mana tamu itu berasal. Jika kita bisa meneliti arsip mereka, ada kemungkinan nanti kita menemukan petunjuk dalam salah satu edisi lama mengenai apa yang menyebabkan penjahat bernama Gilbert Morgan itu datang ke Twin Lakes."

"He, itu ide yang bagus sekali!" kata Allie dengan gembira. "Yuk, kita ke sana! Aku kenal wartawannya - aku pernah diwawancarainya ketika aku datang kemari pertama kali, Nanti akan kuajak dia mengobrol, sementara kalian meneliti arsip edisi-edisi yang sudah lewat."

"Menurutmu, pamanmu akan mengizinkan kita pergi?" tanya Pete.

"Kurasa, bagi dia kita boleh pergi ke mana saja," kata Allie dengan gaya yakin, "asal jangan ke tambang itu!"

­Bab 7 MELACAK JEJAK S1 MATI

­TERNYATA Paman Harry menolak mentah-mentah. Allie dan ketiga temannya dilarang meninggalkan perkebunan sore itu. Mereka malah disuruhnya memangkas pohon-pohon pinus, sampai saat makan malam. Allie langsung ngambek, sampai berjam-Jam.

Tapi keesokan paginya sikap Paman Harry sudah lunak kembali. Ketika Allie mengatakan padanya bahwa ia ingin mengajak ketiga tamunya ke kota, Paman Harry hanya mengomentari, "Tapi jangan sampai malam, ya!"

"Mana mungkin, sampai malam," kata Allie. "Apa sih yang mau dilihat, di kota sekecil Twin Lakes?"

Setelah itu Allie mengajak teman-temannya berangkat. Mereka berjalan kaki menempuh jarak sekitar satu mil ke kota, lewat jalan yang berdebu. Dalam perjalanan mereka berpapasan dengan beberapa mobil yang dijalankan dengan lambat. Semuanya menuju ke tanah milik Thurgood. Satu di antaranya berhenti di dekat mereka. Pengemudinya, seorang pria, menjulurkan kepala ke luar.

"Inikah jalan yang menuju ke Tambang Jebakan Maut?" serunya bertanya pada anak-anak.

­"Betul," jawab Allie.

"Terima kasih," Mobil mulai berjalan lagi. Tapi tiba-tiba direm. "Kaliankah anak-anak yang menemukan mayat itu?" seru pria tadi.

"Yuk, kita terus, Allie," Bob memegang lengan gadis remaja itu, untuk mengajaknya meneruskan langkah.

"He, tunggu sebentar!" Pria yang bertanya itu turun dari mobilnya. Ia memegang kamera foto.

"He, aku cuma ingin memotret kalian! Oke?"

"Tidak, kami tidak mau," kata Pete.

Keempat remaja itu cepat-cepat pergi meninggalkan orang itu. Mereka berpapasan dengan sebuah mobil lagi. Pengemudinya memandang mereka dengan perasaan ingin tahu.

"Rasanya ini sudah bisa diperkirakan akan terjadi," kata Jupe mengomentari. "Tambang Jebakan Maut memang masuk dalam berita TV tadi malam, dan kini tentu saja orang-orang lantas ingin tahu."

"Tapi sebaiknya kau jangan mau, jika ada yang hendak memotret," kata Pete pada Allie. "Aku punya perasaan, pamanmu tak akan menyukainya."

"Aku tahu, ia tidak akan suka," kata Allie.

Jalan besar di kota ramai. Mobil-mobil lalu-lalang, dan banyak orang berjalan-jalan sambil melihat-lihat di sepanjang trotoar. Sekelompok kecil pria dan wanita berkerumun di luar gedung pengadilan. Di tengah-tengah mereka nampak Sheriff Tait yang sedang berbicara dengan sibuk, sambil menggerak-gerakkan tangan. Polisi itu nampak repot. Mukanya merah.

"Biasa - para reporter yang sedang mengumpulkan berita," kata Bob mengomentari.

Kantor surat kabar mingguan Twin Lakes Gazette menempati ruangan yang dulunya merupakan toko. Dinding depannya yang menghadap ke jalan berupa jendela besar berkaca tebal. Di dalam terdapat dua buah meja tulis yang sudah dimakan umur Di atas salah satu meja itu bertumpuk-tumpuk kertas rekening dan catatan, serta koran dari daerah-daerah lainnya di Barat. Sedang di belakang meja yang satu lagi duduk seorang pria bertubuh ceking, dengan raut muka tajam serta rambut kemerah-merahan yang sudah menipis. Ketika anak-anak masuk, orang itu sedang sibuk mengetik dengan penuh semangat.

"Allie!" serunya, ketika melihat gadis remaja itu masuk. "Kebetulan sekali kau kemari. Aku memang ingin ketemu kau! Tadi aku berbicara dengan Ben Tait, dan katanya kau yang menemukan mayat di tambang itu!"

Allie tertawa nyengir.

"Sejauh ini cuma Anda saja yang senang karenanya, Mr. Kingsley," kata gadis itu. "Mr. Thurgood mengancam hendak menempeleng, Sheriff Tait mengatakan aku akan dijebloskannya ke penjara jika datang lagi ke tambang, sedang Paman Harry begitu marah padaku...."

­"Aku tahu. Jangan khawatir, ia takkan terus-menerus marah. Tapi sebaiknya mulai sekarang, kaujauhi saja segala macam tambang. Aku tidak kepingin menulis berita kematianmu," Pria itu menatap Trio Detektif dengan mata terpicing.

"Mereka ini kawan-kawanmu yang dari Los Angeles?"

"Ini Jupiter Jones, Mr. Kingsley," kata Allie memperkenalkan. "Yang di dekat pintu itu Peter Crenshaw, dan Bob Andrews yang berkaca mata - ayahnya bekerja di Los Angeles Times."

"Begitu, ya?" kata Kingsley. "Itu bukan koran sembarangan. "

"Ya, Sir," kata Bob menanggapi. Saat itu ia sedang beringsut-ingsut menuju sekat yang memisahkan kantor dari sebuah ruangan besar dan agak gelap, yang terletak di bagian belakang bangunan itu. Ia melihat sebuah mesin cetak dan sebuah mesin set model tua di dalamnya. Tercium bau tinta cetak, berbaur dengan bau debu dan bau apak.

"Ingin melihat-lihat?" tanya Kingsley.

"Ingin sekali," kata Bob. "Saya tertarik pada persuratkabaran. Anda sendiri yang melayani mesin set itu?"

"Segala-galanya kukerjakan sendiri," kata Kingsley. "Biasanya, koran ini sepi-sepi saja, aku tidak bisa dibilang repot karenanya. Tapi minggu ini lain. Minggu ini ada berita menarik! Duduklah, Allie, dan ceritakan bagaimana kau melongok ke dalam lubang itu, dan melihat mayat tergeletak di dalamnya. Kalian bertiga, anggap saja ini rumah kalian sendiri. Nyalakan lampu di belakang. Kalau mau, kalian boleh melihat-lihat mesin cetak itu."

Jupe dan kedua temannya masuk ke ruangan belakang yang dibatasi sekat. Jupe menekan sebuah sakelar, dan seketika itu juga lampu-lampu neon yang terpasang di langit-langit menerangi ruangan itu. Bob menunjuk rak-rak yang terdapat di sepanjang salah satu dinding. Di atas rak-rak itu berjejer-jejer kotak arsip, masing-masing ditulisi tanggal.

"Mestinya di situlah disimpan koran-koran edisi lama," kata Bob.

"Yang kata perlukan adalah terbitan lima tahun yang lalu," kata Jupe dengan suara lirih.

Bob mengangguk. Ketiga anggota Trio Detektif itu mulai menurunkan kotak-kotak arsip dari atas rak. Koran-koran terbitan tahun ditutupnya Tambang Jebakan Maut, ditempatkan, dalam enam buah kotak. "Teliti baik-baik setiap berita," kata Jupe. "Perhatikan berita utama. Jangan sampai ada yang terlewat yang mungkin penting."

Ketiga remaja itu duduk di lantai. Masing-masing membuka sebuah kotak. Lalu mengeluarkan tumpukan surat kabar yang disimpan di dalamnya, lalu mulai membalik-balik satu demi satu. Mereka mendengar suara Allie di kantor.

Gadis itu berbicara dengan penuh semangat. Kisahnya pada Kingsley pasti juga sudah diketahui wartawan itu-yaitu menemukan mayat merupakan pengalaman yang asyik, tapi juga mengejutkan.

Koran-koran lama yang paling dulu diteliti, isinya mengecewakan. Misalnya saja berita tentang dua peristiwa kebakaran kecil di kota. Lalu laporan tentang kantor Sheriff membeli mobil baru. Lalu berita-berita tentang tamu-tamu yang mengunjungi kerabat mereka di Twin Lakes selama beberapa hari. Sama sekali tidak ada yang mungkin bertalian dengan Gilbert Morgan. Tapi ketika sedang menelusuri berita hari Minggu tanggal 29 April, tiba-tiba Jupe berkata,

"Nah - ini mungkin penting."

"Berita tentang apa?" tanya Bob.

Jupe tidak langsung menjawab, karena menyimak isi berita itu. Kemudian barulah ia menoleh.

"Seorang anak perempuan berumur lima tahun hilang selama tiga jam, setelah pergi dari rumahnya di dekat kota tanpa diketahui orang tuanya. Ia ditemukan regu pencari di dalam Tambang Jebakan Maut. Rupanya jalan masuk ke situ dulunya ditutup dengan papan, tapi dalam tahun-tahun setelah itu beberapa lembar papan penutup dicopot oleh orang-orang iseng. Gadis kecil itu masuk ke situ, lalu tertidur di dalam. Orang tuanya kemudian mengusulkan pembukaan dana untuk mengumpulkan uang guna membiayai penutupan tambang itu untuk selama-lamanya. Mereka mengatakan, anak mereka bisa mati jika lebih jauh masuk ke dalamnya. Kita tahu, kemungkinan itu memang ada. Mana terbitan tanggal 6 Mei?" tanyanya sambil memandang berkeliling.

"Ini dia." Bob menyodorkan surat kabar yang sedang dibacanya. "Di sini ada berita di halaman depan, tentang tambang itu. Pemilik Toserba Twin Lakes Market menaruh sebuah tempat air yang besar dan kosong di samping tempat pembayaran, disertai permintaan pada warga kota agar memberi sumbangan untuk biaya menutup Tambang Jebakan Maut. Dalam waktu dua hari saja sudah terkumpul uang untuk membeli sebuah terali besi penutup jalan masuk ke tambang. Terali itu dipesan dari Lordsburg, dan pihak penyelenggara dana merencanakan penutupan tambang pada tanggal 14 Mei."

Selain itu dalam koran terbitan 13 Mei masih ada lagi kelanjutan berita mengenai penutupan yang direncanakan. Sedang terbitan 20 Mei memuat kisah tindakan pengamanan sederhana itu, yang disambut dengan ramai di kota kecil itu. Sebelum tambang ditutup, dilangsungkan parade, disusul dengan upacara sewaktu terali dipasang dan diperkokoh posisinya dengan semen."

"Ramai sekali tanggapan mereka di sini," kata Pete.

"Kau tadi kan mendengar apa kata Mr. Kingsley," kata Bob mengingat. "Tidak banyak kejadian di sini. Penutupan tambang, merupakan peristiwa penting bagi mereka."

Ia membalik-balik halaman surat kabar yang sedang dibaca, memperhatikan foto-foto warga Twin Lakes yang sedang berbaris dalam parade.

Tiba-tiba ia berkata, "He, ini ada berita menarik. Di halaman empat. Ketika orang-orang berangkat untuk memasang terali di jalan masuk ke tambang, mereka menjumpai sebuah mobil kosong, di dekat situ. Sebuah Chevrolet. Kemudian ternyata bahwa itu mobil yang dicuri tiga hari sebelumnya di tempat parkir sebuah toserba di Lordsburg. Artikel ini bahkan mengutip komentar Sheriff Tait, yang mengatakan bahwa mungkin mobil itu dicuri anak-anak tanggung penduduk Twin Lakes yang ingin pulang naik mobil dari Lordsburg. Ia menambahkan, jika sampai ketahuan olehnya ada remaja yang iseng memakai mobil orang lain tanpa minta izin, mereka akan dijebloskan ke penjara."

Bob memandang ke arah Jupe, yang menarik-narik bibir bawahnya. Bob langsung tahu, temannya itu sedang sibuk berpikir.

"Sebuah mobil yang dicuri di Lordsburg, kemudian ditemukan dekat tambang pada hari tambang itu akan ditutup jalan masuknya," kata Jupe, setengah pada dirinya sendiri. "Dan di dalam tambang, ada buronan polisi. Kurasa kita takkan mengada-ada, jika memperkirakan bahwa orang. yang kemudian ditemukan sudah mati itulah yang mencuri mobil itu. Ia pergi naik mobil itu ke Twin Lakes, lalu meninggalkannya di dekat tambang. Kemudian, karena salah satu alasan tertentu ia masuk ke dalam, lalu... lalu tidak pernah keluar lagi. "

­"Baiklah," kata Pete. "Tapi dengan begitu kita masih saja belum mencapai kemajuan, kecuali adanya dugaan bahwa orang itu datang dari San Francisco ke Lordsburg, dan dari situ terus ke Twin Lakes. Tapi untuk apa? Apa tujuannya kemari?"

Jupe hanya bisa mengangkat bahu.

Bob masih terus membalik-balik halaman koran-koran edisi tua itu. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang rasanya sedikit ada sangkut-pautnya dengan misteri yang sedang dihadapi.

Nama Wesley Thurgood sedikit pun tidak disebut-sebut. Dalam salah satu edisi bulan Oktober tahun itu ada pengumuman tentang Mrs. Macomber yang pulang ke Twin Lakes. Dua laporan yang menyusul memberitakan bahwa wanita itu membeli tanah yang dulu merupakan bagian dari harta perusahaan Tambang Jebakan Maut.

"Aku ingin tahu," kata .Jupiter, "berapa lama Gilbert Morgan berada di Lordsburg, setelah pergi dari San Francisco."

Pete menyandarkan punggungnya ke mesin set.

"Siapa yang bisa mengetahuinya?" katanya. "Orang itu kan buronan polisi. Pasti ia menyembunyikan diri. Dan kejadiannya sudah lima tahun yang lewat. Jejaknya sekarang sudah dingin, tidak mungkin bisa dilacak lagi."

"Betul," kata Jupe. "Dan datangnya kemari, seakan-akan tanpa alasan tertentu. Tapi kenyataannya ia ada di sini, di dalam sebuah tambang yang kemudian dibeli oleh Wesley Thurgood. Bagaimana sampai bisa terjadi bahwa Thurgood tidak tahu tentang mayat yang ada di dalam? Mungkinkah ada hubungan antara Thurgood, seorang pengusaha real estate yang kaya, dengan Morgan yang jalan hidupnya penuh kegagalan, seorang narapidana yang kemudian menjadi buronan? Cuma ada satu yang bisa kita lakukan saat ini."

"Apa maksudmu?" tanya Pete.

"Kita coba melangkah mundur, meneliti masa silam Morgan Jika ia memang pernah berada di Lordsburg, mestinya waktu itu ia tinggal di salah satu tempat. Aku tahu, melacak hal itu bisa dibilang mustahil karena sudah begitu lama kejadiannya - tapi kita bisa saja berusaha. Kita bisa mengecek lewat arsip surat kabar, atau buku petunjuk alamat penduduk kota itu. Cuma itu saja yang bisa kita lakukan."

­Bab 8 TAMU TAK DIUNDANG

­HARI masih siang, ketika Allie beserta ketiga temannya tiba lagi di perkebunan pohon Natal. Mereka menjumpai Paman Harry sedang marah-marah. Ia berdiri di beranda rumah, menghadapi beberapa orang yang berkerumun di dekatnya. Mereka berusaha membujuk-bujuk Paman Harry. Di jalan masuk diparkir tiga buah mobil.

"Aku tidak mengizinkan keponakanku berbicara dengan siapa pun juga," kata Paman Harry pada orang-orang itu. "Ia masih remaja dan berperasaan halus. Jiwanya sangat terguncang setelah..."

Harrison Osborne berhenti berbicara, begitu melihat Allie datang bersama ketiga temannya.

"Allie-cepat masuk ke rumah!" Paman Harry turun dengan cepat dari beranda. Dipegangnya siku keponakannya lalu digiringnya masuk lewat pintu depan. Jupe, Pete, dan Bob bergegas menyusul Allie. Begitu semua sudah ada di dalam, Paman Harry buru-buru menutup pintu.

"Orang-orang yang di luar itu wartawan, dan aku tidak mau kau bicara dengan mereka," kata Paman Harry.

­"Kenapa begitu?" tanya Allie. "Saat ini aku kan lagi jadi berita!"

"Jika ibumu sampai mengetahui perbuatanmu, bisa habis aku didampratnya! Itu sebabnya aku tidak mau," kata Paman Harry.

"Yah, Paman sudah terlambat kalau begitu" kata Allie. "Aku tadi sempat bercakap-cakap dengan Mr, Kingsley."

"Kalau Mr. Kingsley, lain persoalannya," kata Paman Harry. "Orang tuamu takkan mungkin membaca Twin Lakes Gazette di Asia. Sekarang aku ingin kalian tetap tinggal di dalam rumah selama sisa hari ini. Kalian bertiga juga! Dan besok jangan pergi jauh-jauh, jika orang-orang yang di luar itu masih ada di sekitar sini."

"Mr. Osborne," kata Jupe, "kami sebenarnya ingin ke Lordsburg besok."

"Untuk apa?" tanya Paman Harry.

Jupe merogoh kantungnya, dan mengeluarkan batu kecil yang ditemukannya di dalam tambang kemarin.

"Saya ingin menunjukkan ini pada ahli permata di sana, Saya menemukannya kemarin, di dalam Tambang Jebakan Maut."

Harrison Osborne tersenyum.

"Kau tentunya mengira, batu yang kaupegang itu emas. Tapi bukan, karena di tambang itu sama sekali tidak ada emas. Walau begitu aku juga perlu ke Lordsburg, masih dalam minggu ini juga. Nanti kau boleh ikut, bersama Allie. Kalian semua saja ikut, karena tidak enak hatiku meninggalkan kalian di rumah. Nanti ada-ada lagi yang kalian lakukan. "

Paman Harry keluar untuk menyuruh para wartawan pergi. Sampai petang anak-anak menyibukkan diri dengan membaca dan bermain Monopoli. Sebentar-sebentar Allie lari ke atas, untuk melihat ke arah tanah milik Wesley Thurgood dari balik jendela yang terdapat di serambi di depan ruang tidur Jupe serta kedua temannya.

Gadis bandel itu melaporkan dengan perasaan senang bahwa ia melihat Thurgood berdiri dengan senapan menjaga tanahnya, sedang anjing penjaganya terkapar tidur. Rupanya anjing itu capek, menggonggongi orang-orang yang berdatangan mencari sensasi.

Malam itu Jupe, Bob, dan Pete cepat masuk ke ruang tidur mereka. Dari balik jendela mereka dapat melihat nyala lampu di pondok tempat tinggal Thurgood. Tapi sebelum mereka masuk ke tempat tidur masing-masing, Thurgood sudah memadamkan lampunya. Tidak lama setelah itu lampu-lampu di rumah Mrs. Macomber di seberang jalan juga dipadamkan.

"Rupanya semuanya capek malam ini," kata Pete sambil masuk ke tempat tidurnya. "Kalau aku sudah jelas capek, tapi tanpa tahu apa sebabnya."

"Itu reaksi yang baru timbul kemudian," kata Bob. "Kan menyeramkan, melihat orang mati di dalam tambang, kemarin Aku tahu orang itu penjahat, tapi mati dengan cara begitu tetap saja tidak enak."

­"Apa ya, yang dilakukannya di situ?" kata Jupe. Sepanjang hari berulang kali pertanyaan itu diajukannya pada diri sendiri. "Mungkin kita bisa menemukan jejaknya di Lordsburg nanti."

"Kau benar-benar hendak menunjukkan batu yang kautemukan itu pada ahli permata?" tanya Bob.

"Tidak ada salahnya, kan?" balas Jupiter. "Di samping itu kita akan punya alasan berpisah dari Paman Harry dan pergi sendiri, begitu sudah sampai di sana. Ia pasti tidak mau kita melibatkan diri dengan urusan buronan yang mati itu. Tapi kita tertarik!"

"Kecuali Allie," kata Bob, sambit memadamkan lampu. "Anak itu hanya mau tahu tentang Wesley Thurgood saja, dan menurut perasaanku kita takkan menemukan pertalian apa pun juga antara Thurgood dan buronan itu."

"Mungkin kau benar, tapi aku heran apa sebabnya Thurgood sendiri tidak menemukan mayat itu," jawab Jupiter. "Ia bahkan tidak ingin menjelajahi tambang miliknya sendiri. itu kan aneh!"

Setelah itu ketiga-tiganya terdiam, Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri, memikirkan orang yang mati di dalam tambang, bagaimana ia sampai bisa masuk ke situ, dan bagaimana tepatnya cara orang itu tewas.

Akhirnya mereka terlelap.

Malam sudah sangat larut, ketika Pete tiba-tiba terbangun. Lampu dibiarkannya mati. Ia mendengarkan baik-baik. Ada sesuatu yang bergerak di luar, di balik jendela yang terbuka. Pete mengangkat badannya sedikit ketika bunyi itu terdengar lagi. Bunyi berdecit yang putus-putus, seperti benda macet yang digerakkan dengan hati-hati.

"Jupe!" bisik Pete dengan suara lirih. "Bob! Coba dengar itu!"

"Ha?" Bob membalikkan badannya. "Ada apa?"

"Ada orang membuka pintu gudang." Pete cepat -cepat bangun, dan langsung menuju ke jendela. Ia memandang ke luar. Dengan segera Bob dan Jupe menyusul, lalu ikut -ikut bersandar ke ambang jendela sambil memandang ke luar.

"Pintunya tertutup sekarang," kata Bob.

Kemudian anak-anak melihat cahaya di dalam gudang. Sinarnya bergerak-gerak di balik kaca jendela samping yang berdebu. Berkelip-kelip, padam, lalu menyala lagi.

"Ada orang menyalakan korek api di situ," kata Jupe. "Ayo!"

Ketiga remaja itu hanya memerlukan beberapa detik saja untuk memakai kemeja dan celana jeans mereka, serta memasukkan kaki ke dalam sepatu, tanpa mengenakan kaus terlebih dulu.

Mereka menyelinap-nyelinap menuruni tangga, lalu membuka pintu depan tanpa sedikit pun menimbulkan bunyi.

Bulan sudah terbenam ketika mereka sampai di luar. Ketiga remaja itu menuju ke gudang sambil meraba-raba dalam gelap. Jupe berjalan paling depan. Ketika sudah hampir sampai di gudang, Bob menginjak sebongkah batu yang tergeletak di jalan. Sambil berteriak dengan suara tertahan, ia roboh ke tanah. Pergelangan kakinya terkilir.

Cahaya di dalam gudang berkelip-kelip lagi, lalu padam. Gudang menjadi gelap gulita.

"Sialan!" desis Pete.

Bob duduk di tanah sambil menggosok-gosok pergelangan kakinya, sementara matanya terus ditatapkan ke arah gudang. Sesaat kemudian ia berdiri lagi. Ketiga remaja itu kembali berjalan merunduk-runduk, menuju bangunan yang sudah tua itu. Jupe mengulurkan tangannya ke depan untuk menjamah gerendel pintu. Alat pengunci itu berbunyi sedikit ketika tersentuh.

Tiba-tiba pintu gudang terbuka dengan cepat membentur dada Jupe sehingga ia terpelanting ke tanah. Pete meloncat ke samping sementara seseorang bertubuh gempal lari ke luar, melewati mereka, lalu menghilang di antara pohon-pohon pinus di samping jalan masuk.

"Apa itu?" Bentakan itu datang dari dalam rumah. "Siapa di luar?"

Dengan susah payah Jupe berdiri lagi.

"T adi ada orang masuk ke- gudang," serunya memberi tahu.

"Akan kupanggil Sheriff," kata Paman Harry sambit mengumpat.

Anak-anak memasang telinga. Tapi mereka tidak mendengar apa-apa. Kesunyian menyelubungi pohon-pohon pinus di dalam kebun yang gelap.

"Ia pasti masih ada di dekat-dekat sini," kata Jupe.

Pete meneguk untuk melonggarkan tenggorokkan yang serasa tersumbat, lalu dengan lambat-lambat masuk ke sela-sela pepohonan. Ia menajamkan pendengarannya, berusaha menangkap bunyi yang mungkin ada. Sikapnya waspada, kalau-kalau ada sesuatu yang bergerak di dalam kebun. Selama beberapa menit ia merasa bahwa Bob dan Jupe mengikutinya dari belakang. Tapi kemudian Jupe menyelinap ke kiri, sementara Bob menyusup ke arah kanan. Pete maju seorang diri, selangkah demi selangkah, dengan hati-hati, menghindari ranting-ranting yang bisa mengait kakinya.

Pete berhenti. Terdengar bunyi darahnya sendiri mengalir dalam pembuluh dekat telinga. Tapi ada lagi yang juga terdengar suara napas yang memburu. Ada orang yang dekat sekali dengannya, orang yang napasnya tersengal-sengal- seperti habis lari menempuh jarak yang jauh.

Pete terpaku di tempatnya sambit memasang telinga, sementara bunyi napas yang memburu masih terus terdengar. Orang tak dikenal itu rasanya dekat sekali dengan Pete, di balik sebatang pohon pinus yang hanya sejangkauan saja jaraknya. Mulut Pete bergerak. Maksudnya hendak memanggil Jupe dan Bob. Tapi ia ragu, karena Jangan-jangan teriakannya akan menyebabkan orang itu lari lagi.

­Ketika mendengar bunyi mobil datang dari arah kota, Pete meringis. Itu pasti Sheriff yang dipanggil Paman Harry, katanya dalam hati. Sedang ia sudah mengetahui tempat orang tak dikenal itu bersembunyi.

Tapi ketika mobil yang datang itu membelok di pintu pagar dan lampu-lampu besarnya menyapu perkebunan, tahu-tahu orang tak dikenal itu lari dari balik sebatang pohon yang berdaun lebat. Dengan segera Pete meloncat untuk mengejar. Tapi kemudian dilihatnya lengan yang terangkat, dilatarbelakangi langit malam. Sesuatu yang juga nampak saat itu menyebabkan Pete langsung menjatuhkan diri ke tanah Sementara tubuhnya masih bergerak, benda yang dilihatnya tadi berkelebat - menyebabkan sebatang pohon yang masih kecil kehilangan pucuknya! Kemudian orang tak dikenal itu lari lagi. Dengan napas tersengal-sengal orang itu lari tersaruk-saruk, menerobos kebun.

Pete menegakkan tubuhnya sampai ke posisi berlutut. Ia gemetar.

Tahu-tahu Jupe sudah ada di sisinya.

"Parang!" kata Pete. "Orang itu membawa parang! Nyaris saja kepalaku copot ditebasnya!"

Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net

Bab 9 BUMI BERGEMURUH

­SHERIFF Tait disertai seorang asistennya, seorang Deputy Sheriff. Orangnya masih muda, dan bernama Blythe. Setelah mendengar laporan tentang orang tak dikenal yang masuk ke gudang, lalu serangan yang dilakukannya dengan parang, kedua polisi itu masuk ke kebun dengan berbekal senter yang sangat terang sinarnya. Mereka menemukan jejak orang tak dikenal itu di samping pohon yang dekat dengan tempat Pete berdiri tadi. Nampak jejak kaki menjauhi pohon itu. Sheriff mengikuti jejak itu, yang akhirnya berbaur dengan sekian banyak jejak di jalan dekat tanah milik Thurgood.

Allie beserta ketiga temannya menonton dari jendela tingkat atas rumah Paman Harry, sementara Sheriff beserta Deputy Blythe melanjutkan pencarian. Kedua polisi itu membangunkan Thurgood lalu masuk ke pondoknya, sementara anjing penjaga yang di luar menggonggong-gonggong dengan sengit. Kemudian mereka masuk ke dalam tambang. Mrs. Macomber rupanya juga terbangun, sebab lampu-lampu di rumahnya kini menyala. Sheriff Tait beserta asistennya masuk ke rumah wanita itu, kemudian ke rumah-rumah kosong di sebelah-menyebelah, yang juga merupakan milik Mrs. Macomber. Lebih dari sejam kemudian, kedua polisi itu kembali ke rumah Paman Harry.

"Siapa pun orang itu," kata Sheriff pada Paman Harry, "rupanya ia lari ke atas bukit. Kami takkan mungkin bisa mengejarnya ke sana, dalam keadaan segelap ini. Lagi pula, itu takkan banyak manfaatnya. Mungkin dia salah satu manusia sinting yang berdatangan dari Lordsburg atau Silver City, begitu tersiar kabar tentang mayat di dalam tambang. Setiap kali terjadi sesuatu yang tidak lumrah, selalu saja muncul orang-orang sinting seperti itu. Tapi sayangnya, ia panik lalu mengambil parang."

Setelah Sheriff Tait kembali ke kota bersama asistennya, Paman Harry mengunci pintu depan dan menutup semua jendela yang terdapat di tingkat bawah.

Keesokan paginya Jupe dan kedua temannya terbangun oleh suara tertawa riang yang datang dari tingkat bawah. Mereka turun, dan menjumpai Allie sedang duduk di sebuah kursi tinggi di dapur. Gadis remaja itu asyik mengikuti percakapan antara Mrs. Macomber dan Magdalena. Sambil duduk menghadapi secangkir kopi yang ada di meja, Mrs. Macomber bercerita dengan penuh semangat. .

"Maaf, jika Anda terganggu oleh kami kemarin malam," kata Jupe, setelah ia dan kedua temannya diperkenalkan pada wanita itu "Aku tidak merasa terganggu." Wanita yang sudah berumur itu tertawa. "Aku jadi teringat kembali pada zaman dulu. Empat puluh lima tahun yang lewat, Twin Lakes ini merupakan kota yang mengasyikkan! Setiap malam Minggu, Sheriff selalu terpaksa turun tangan, melerai perkelahian."

"Ngomong-ngomong tentang masa silam," kata Allie, "ingatkah Anda pada Wesley Thurgood?"

"Mana mungkin aku lupa? Kan setiap hari bertemu." Mrs. Macomber tertawa.

"Bukan begitu maksudku," kata Allie. "Ingatkah Anda ketika ia masih anak-anak? Katanya, ia kelahiran sini."

"Memang begitu kenyataannya," kata Mrs. Macomber. "Orang tuanya dulu tinggal di rumah kecil bercat hijau yang di dekat gedung pengadilan. Ayahnya mandor regu kerja malam. Orang itu pekerja tambang sejati. Wesley itu anak terakhir yang kualami dilahirkan di sini, sebelum aku kemudian pindah. Itu menjelang akhir masa gemilang, dan saat itu orang mulai pindah satu demi satu dari sini. Wesley baru mulai belajar berjalan ketika orang tuanya pindah, setelah perusahaan tambang mengakhiri kegiatan. Selama ini aku sebenarnya ingin bertanya padanya tentang ayah dan ibunya - apa yang mereka lakukan setelah pindah dari sini - tapi sampai sekarang belum ada kesempatan untuk itu. Wesley begitu sibuk mondar-mandir dengan mobil truk merahnya yang mentereng itu, mengangkut entah apa saja ke tempatnya, dan selalu sibuk di dalam tambang. Pagi ini saat matahari terbit ia sudah keluar lagi. Aku melihatnya lewat dengan topi helmnya yang konyol itu. Topi itu sama sekali tidak perlu dipakainya, sama saja seperti aku, yang tidak memerlukan kepala yang baru."

Saat itu terdengar bunyi mobil lewat di jalan. Allie bergegas ke tingkat atas, untuk melihat dari jendela serambi tangga di atas. Dengan segera ia sudah kembali lagi ke dapur dengan laporan bahwa Thurgood sudah kembali, bersama dua orang laki-laki.

"Mereka kelihatannya orang Meksiko," katanya. "Mau apa lagi dia sekarang?"

"Kenapa tidak kautanyakan saja padanya?" kata Mrs. Macomber mengusulkan.

"Tidak bisa, karena ia tidak mau lagi bicara padaku, " kata Allie. "Dan Paman Harry sudah mengancam, aku akan dikurungnya, jika mengganggu orang itu lagi."

"Ah, kurasa ia takkan sampai hati melakukannya," kata Mrs. Macomber sambil berdiri, lalu pulang ke rumahnya di seberang jalan.

Beberapa hari selanjutnya, Jupe, Bob, dan Pete menyelesaikan pekerjaan memangkas pohon-pohon pinus di petak kebun yang paling luas, lalu meneruskan - ke petak berikut. Allie juga ikut bekerja. Tapi ia juga sering berkeliaran menunggang Queenie di bagian kebun yang berdekatan letaknya dengan tanah milik Wesley Thurgood. Ia melihat bahwa kedua pekerja yang berambut dan bermata hitam - yang dilihatnya datang naik mobil bersama Thurgood - nampaknya tinggal di bangunan besar yang dulunya merupakan tempat pengolahan hasil galian tambang. Pintu sebuah gudang kecil dari kayu yang terletak dekat jalan masuk ke tambang, diamankan dengan gembok yang nampak masih baru. Thurgood masih terus saja mondar-mandir pergi, entah untuk urusan apa. Dua hari setelah kedua pekerja yang kelihatannya orang Meksiko itu tiba, sebuah truk datang ke sana untuk mengantarkan semen berkarung-karung, berlusin-lusin tonggak pagar dari besi, serta beberapa gulungan besar pagar kawat.

Dengan dimandori Thurgood, kedua pekerjanya kemudian mulai memasang pagar kawat yang tingginya lebih dari tiga meter di sekeliling tanah miliknya.

"Aneh - kenapa ia sampai begitu repot, mengamankan tambang yang sudah tidak ada apa-apanya lagi?" kata Allie sewaktu makan siang, pada hari ketika kedua pekerja di tanah milik Thurgood mulai memasang pagar, "Siapa sih, yang mau peduli terhadap tambang itu?"

"Kamu," kata pamannya. "Kau sanggup berbuat apa saja asal bisa masuk ke sana, dan itu diketahui olehnya. Belum lagi orang-orang sinting yang berdatangan, setelah mayat ditemukan waktu itu. Aku bisa mengerti, kenapa Thurgood sekarang memasang pagar di sekeliling tanah miliknya. Jika minat orang-orang terhadap pohon Natal sama seperti terhadap tambang, tanahku ini pun akan kupagari."

Sehabis makan siang Paman Harry pergi menyemprot hama di kebun yang dekat jalan. Jupe duduk bersandar di kursinya Keningnya berkerut.

"Tidak ada yang merasa tertarik pada pohon-pohon Natal," katanya. "Kalau begitu, kenapa ada orang yang secara sembunyi-sembunyi masuk ke gudang malam itu? Ada apa di situ yang mungkin menarik perhatian orang iseng?"

Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya itu. Ketika meja makan sudah dibereskan, anak-anak kemudian pergi ke gudang untuk sekali lagi mencari kalau-kalau ada sesuatu di situ yang mungkin menarik perhatian.

"Tidak ada apa-apa di sini," kata Pete. "Yang ada cuma tumpukan jerami makanan kuda sejumlah perkakas dan selang air, serta sebuah mobil kuno yang rusak."

"Mungkin orang itu cuma ingin mengambil parang," kata Allie.

"Menyeramkan, jika dugaanmu itu benar," kata Bob. "Parang kan senjata yang sangar. Jika membutuhkan senjata, kenapa harus parang? Senjata api kan lebih mantap. Di sekitar sini mestinya banyak yang memiliki senjata api."

Ketika kemudian keluar dari gudang, keempat remaja itu masih sempat melihat mobil Chevrolet merah milik Thurgood lewat. Mobil itu menuju ke tambang. Seorang pria duduk di depan, di samping Thurgood. Pria itu kelihatannya dari golongan terhormat. Ia memakai setelan musim panas berwarna cerah serta topi putih. Anak-anak bergegas lari pulang dan langsung naik ke serambi ruang tidur di tingkat atas, agar bisa lebih jelas melihat tanah milik Thurgood serta tamunya. Kedua pekerja Meksiko tidak nampak bekerja memasang pagar kawat. Anak-anak melihat salah seorang dari mereka keluar dari dalam tambang.

Sambil menatap kaku ke depan, orang itu mendorong gerobak yang berisi tanah dan bebatuan. Ketika sampai di dekat Thurgood serta tamunya, Thurgood menyuruh pekerja itu berhenti, lalu meraup segenggam tanah dari dalam gerobak. Tanah itu ditunjukkannya pada tamunya.

Thurgood mengatakan sesuatu pada pekerjanya, yang setelah itu mendorong gerobaknya lagi, naik ke semacam jembatan yang terbuat dari dua lembar papan kokoh, dan lewat jembatan itu memasuki sebuah pintu yang terdapat di sisi samping bangunan besar yang dulu merupakan pabrik tambang. Sedang Thurgood mengajak tamunya masuk ke dalam tambang.

Semenit kemudian Allie serta anak-anak yang lain mendengar bunyi letusan yang samar-samar. Gemanya menggemuruh selama beberapa detik, dan akhirnya hilang.

"Ia menembak lagi" seru Allie.

"Bunyinya tidak seperti tembakan," kata Jupiter. "Kedengarannya itu sesuatu yang jauh lebih hebat daripada letusan senapan. Semacam ledakan!"

Anak-anak melihat Mrs. Macomber keluar dari dalam rumahnya di seberang jalan. Sambil berdiri di beranda depan, wanita itu memandang ke arah tambang.

Thurgood muncul di ambang jalan masuk ke ambang,. bersama tamunya. Bersama mereka, ikut keluar pula pekerja yang satu lagi. Ia pun mendorong gerobak, yang dibawanya masuk ke bangunan yang dulu merupakan tempat mengolah tanah galian. Selama beberapa menit, Thurgood. dan tamunya berdiri di tempat terbuka sambil bercakap-cakap. Setelah itu mereka masuk ke mobil merah milik Thurgood. Begitu keduanya sudah duduk di tempat masing-masing mobil itu langsung berangkat. Ketika lewat di depan .rumah Mrs. Macomber, Thurgood sama sekali tidak mengacuhkan wanita yang masih ada di beranda rumahnya itu. Ketika mobil Chevrolet merah sudah tidak kelihatan lagi, Mrs. Macomber menyeberangi jalan lalu masuk ke jalan kecil yang menuju ke rumah Paman Harry, sambil sibuk memasang kembali sebuah gelang Indian berukuran besar yang rupanya tadi lepas.

Anak-anak turun ke bawah, lalu menyongsong Mrs. Macomber di pintu.

"Tahu tidak kalian," serunya, "Wesley Thurgood melakukan penggalian di dalam tambang!"

Magdalena muncul dari dalam dapur.

Itu tidak mungkin, Senora Macomber" katanya membantah. "Dalam tambang tidak ada apa-apa lagi. Anda sendiri yang mengatakan begitu. Seluruh perak yang dulu ada di situ, sudah habis."

"Tapi kenyataannya, ia melakukan penggalian," kata Mrs. Macomber berkeras. "Ia melakukan peledakan. Kalian tidak mendengarnya? Aku tidak mungkin keliru, karena begitu sering mendengar bunyi semacam itu."

"Ia cuma iseng saja," kata Pete. "Atau mungkin juga tambang itu hendak dijadikannya atraksi pariwisata. Itu, seperti yang dilakukan orang-orang yang membeli kota-kota lama yang sudah tidak sudah tidak berpenghuni lagi. Kota-kota itu dipugar persis aslinya untuk menarik para pelancong."

Mrs. Macomber terkejut. .

"Aduh bisa rusak daerah ini, kalau begitu! Turis, itu berarti jalan-jalan macet, sampah berserakan di mana-mana, dan... dan..."

"Yah, tambang itu kan miliknya pribadi," kata Allie, dengan gaya menirukan suara, pamannya. Mrs. Macomber mendengus, lalu keluar lagi.

Jupe menggerak-gerakkan tubuhnya berungkat-ungkit, sambit merenung.

"Aku tidak percaya, Wesley Thurgood bermaksud membuka tambangnya sebagai atraksi wisata," katanya kemudian. "Letak Twin Lakes terlalu jauh dari jalur arus wisatawan."

"Kalau begitu apa yang sedang diperbuatnya di sana?" tanya Pete.

Jupiter tersenyum.

­"Kita bisa mencoba menanyakannya pada pekerja-pekerjanya, kedua orang Meksiko itu," katanya. "Thurgood sudah pergi, bersama tamu-tamunya. Kita ke sana saja sekarang, lalu kita lihat apa kata kedua pekerja itu nanti."

Beberapa menit kemudian keempat remaja itu sudah berdiri di luar pagar kawat yang membatasi tanah milik Thurgood. Mereka memanggil-manggil kedua pekerja itu. Mula-mula dalam bahasa Inggris, tapi tidak dijawab. Mereka mencoba dengan beberapa patah kata bahasa Spanyol. Tapi hasilnya sama saja. Kedua orang Meksiko itu hanya menatap mereka dengan sikap curiga.

Akhirnya keempat remaja itu putus asa. Mereka kembali ke rumah, untuk meminta bantuan Magdalena.

"Anda bisa bahasa mereka, Magdalena," kata Pete. "Mestinya mereka tidak merasa curiga pada Anda."

Magdalena mau pergi ke tempat Thurgood. Tapi dengan segera ia sudah kembali lagi, untuk melaporkan bahwa ia pun tidak berhasil. Kedua pria Meksiko itu tidak mengacuhkannya. Tapi Magdalena sempat datang menghampiri sebelum anjing penjaga melihatnya lalu menggonggong, dan ia masih bisa menangkap kedua orang itu bercakap-cakap dengan suara pelan. Tapi hanya satu patah kata saja yang didengarnya dengan jelas: oro .

"Oro?" kata Jupe mengulangi. "Itu artinya kan emas! Mungkinkah Thurgood melakukan penggalian untuk mencari emas.

"Tapi itu tambang perak!" bantah, Magdalena:

"Emas dan perak sering kali ditemukan di tempat yang berdekatan," kata Jupe. Dikeluarkanya batu kecil yang beralur kecil mengkilat.

"Kapan kata pamanmu ia hendak ke Lordsburg, Allie?"

"Besok," jawab Allie.

"Kita ikut" kata Jupe lagi. Akan kita pastikan, apa sebetulnya yang ada dalam batu ini." Lanjut ke bagian 2