Trio Detektif - Misteri Singa Gugup(1)




ALFRED HITCHCOCK & TRIO DETEKTIF dalam:
MISTERI SINGA GUGUP


Teks oleh Nick West
berdasarkan tokoh-tokoh ciptaan Robert Arthur
Daftar Isi
Pendahuluan
1. Kandang-kandang kosong
2. Kasus di Pemukiman Singa
3. Selamat Datang di Jungle Land
4. Mencari Singa
5. Permainan Berbahaya
6. Nyaris Celaka!
7. Masalah Dengan George
8. Pembeli Yang Ketus
9. Kesulitan Bertambah
10. Di Tengah Kegelapan
11. Menyongsong Bahaya
12. Berbagal Bunyi Dalam Kegelapan Malam
13. Diuber!
14. Bob Menemukan Sesuatu
15. Pembunuh Hitam
16. Batang-batang Besi
17. Penjelasan Jupiter
16. Terjebak!
19. Dalam kantung
20 Akhir Teka-teki
21. Laporan pada Alfred Hitchcock
PENDAHULUAN
SENANG rasanya mengetahul bahwa kalian mau bersama-sama aku, mengikuti
petualangan baru dari ketiga remaja yang menamakan diri mereka Trio Detektif.
Sekali ini seekor singa yang gugup menyebabkan mereka kemudian terlibat dalam
jalinan peristiwa-peristiwa misterius dan menegangkan.
Kurasa kalian tentunya bukan baru sekali ini berjumpa dengan Trio Detektif. Jadi
kalian tentu sudah tahu, mereka masing-masing bernama Jupiter Jones, Bob
Andrews, dan Pete Crenshaw, begitu pula bahwa mereka bertiga tinggal di Rocky
Beach, sebuah kota kecil di tepi Samudra Pasifik, tidak jauh dari kota pusat
perfilman Amerika, Hollywood. Tapi jika baru sekarang kalian mendapat
kesempatan untuk berkenalan dengan mereka bertiga, bisa kutambahkan di sini
bahwa mereka memiliki markas. Markas itu berupa sebuah karavan jadi kendaraan
mobil, yang sekaligus bisa dijadikan tempat tinggal. karavan itu tidak baru lagi,
dan selanjutnya juga banyak mengalami perombakan, yang dilakukan oleh ketiga
remaja kreatif itu. Dan markas itu tersembunyi letaknya di tengah tumpukan
barang bekas, di pangkalan barang loak yang dikelola paman serta bibi Jupiter
Jones. Ketiga remaja itu selama waktu senggang mereka bekerja di situ apabila
tidak sedang sibuk melakukan penyelidikan.
Cukup sekian saja kata pendahuluanku ini, dan kita mulai saja dengan kasus baru
yang mereka hadapi karena singa sudah semakin gugup!
ALFRED HITCHCOCK
Bab 1
KANDANG-KANDANG KOSONG
JUPITER Jones menoleh ketika terdengar bunyi tuter. Ia mengeluh.
“Wah Paman Titus datang, dengan muatan
segerobak penuh. Bagi kita, itu hanya satu saja artinya - ada tugas baru!”
Pete Crenshaw dan Bob Andrews mengikuti pandangan Jupiter. Mereka melihat
sebuah truk kecil yang saat itu masuk lewat gerbang besar pangkalan barang bekas
yang dikelola Paman Titus dan Bibi Mathilda. Kendaraan pengangkut itu
dikemudikan oleh Konrad, satu dari kedua abang adik pemuda Jerman, yang
bekerja sebagai pembantu di Jones Salvage Yard. Titus Jones, atau Pamnan Titus,
seorang pria bertubuh kecil, tapi dengan kumis panjang melintang, duduk di
sebelahnya.
Paman Titus langsung meloncat ke luar begitu truk berhenti. Jupiter serta kedua
temannya melihat bahwa kendaraan itu penuh berisi pipa berkarat, di samping
berbagai barang bekas lainnya. Di antaranya ada pula yang kelihatannya
merupakan kandang-kandang yang sudah rusak.
Bibi Mathilda, bibi Jupiter, yang sedang duduk-duduk di kursi kebun yang terbuat
dari batang besi cor di luar pondok yang merupakan kantor, bergegas berdiri.
“Titus Jones!” serunya. “Kau sudah sinting, ya?! Menurutmu, bagaimana caranya
kita bisa menjual pipa-pipa serta batang-batang besi satu truk penuh?”
“Itu soal gampang, Sayang,” jawab Titus Jones dengan santai. Berdasarkan
pengalaman masa lalu, Ia tahu bahwa barang-barang yang menarik perhatiannya,
kemudian pasti hampir semuanya akan bisa dijual lagi. Dan biasanya, dengan
keuntungan lumayan. “Beberapa di antara batang-batang besi ini merupakan
bagian dari kandang-kandang.”
“Kandang?” ulang istrinya dengan nada bertanya. Ia datang mendekat, sambil
memicingkan mata ke arah bak belakang truk. “Cuma burung kenari raksasa saja
yang pantas ditaruh dalam kandang-kandang sebesar itu, Titus Jones.”
“Ini kandang binatang buas,” kata suaminya. "Atau tepatnya, bekas kandang.
Kuserahkan saja urusan menanganinya pada Jupiter beserta teman-temannya. Coba
kauperiksa sebentar, Jupiter. Masih bisakah kandang-kandang ini kita
manfaatkan?”
Jupiter meneliti barang-barang itu.
“Yah,” katanya lambat-lambat, “kurasa masih bisa diperbaiki. Dilengkapi lagi rujirujinya,
dipasang atap baru, lantai dibetulkan, lalu seluruhnya dicat lagi. Itu bisa
saja kita lakukan tapi sesudah itu, lalu apa?"
“Lalu apa?” seru pamannya “Setelah itu, kandang-kandang binatang ini sudah siap
untuk dibeli orang yang memerlukannya. Ya kan?”
"Tapi siapa yang memerlukannya, Paman?" tanya Jupiter.
“Tentu saja sirkus, Nak,” jawab Paman Titus. “Sirkus kan saban tahun datang ke
kota kita ini? jika mereka nanti datang lagi kemari, kita akan sudah siap jika
mereka memerlukan kandang-kandang yang kokoh untuk dijadikan kurungan
binatang buas mereka.”
"Ya, mungkin," kata Jupiter sambil mengangkat bahu. Ia merasa sangsi.
“Mungkin katamu!” bentak pamannya. “Jangan lupa, semasa mudaku dulu, aku
pernah ikut rombongan sirkus. Sudah selayaknya jika aku mengetahui apa yang
akan mereka perlukan. Ya kan?”
Jupiter tersenyum.
"Ya, Paman,” katanya. Ia lupa, bahwa pamannya sangat membanggakan
hubungannya dengan sirkus, semasa mudanya.
“Nah, begitulah mestinya sikap yang baik!” kata Paman Titus. “Hans! Konrad!
Tolong turunkan barang-barang ini dari truk. Kandang-kandang kalian letakkan di
tempat tersendiri, supaya bisa dengan segera kita bereskan."
Hans, saudara Konrad, muncul dari bagian belakang pangkalan. Kedua pemuda
Jerman yang bersaudara itu dengan segera sudah sibuk bekerja menurunkan
muatan truk. Paman Titus menyelipkan pipanya ke mulut, merogoh-rogoh kantong
mencari korek api, dan tidak lama kemudian asap tembakau sudah mengepulngepul.
“Kandang-kandang itu,” kata Pamari Titus sambil mengisap pipa, “aku
membelinya dengan harga murah di lembah. Aku menemukannya di tengah
rosokan mobil-mobil. Pengelola pangkalan itu mengatakan bahwa ia tidak
memerlukan barang-barang begitu. Lantas kubeli saja, dengan harga sangat murah.
Kapan-kapan aku akan kembali lagi ke sana — siapa tahu mungkin ada lagi
kandang yang bisa dibeli dengan harga sangat rendah."
Paman Titus melangkah pergi sambil mengepul-ngepulkan asap tembakau. Ia
merasa puas. Jupiter dan kedua temannya memperhatikan laki-laki tua itu pergi.
Tapi Mrs. Jones tidak membiarkan mereka berlama-lama begitu terus. Ia
mempunyai gagasan yang lebih baik tentang apa yang harus dilakukan kaum
remaja dalam waktu luang mereka.
“Jupiter!” seru Bibi Mathilda. “Batang-batang besi yang di atas truk itu harus
ditumpuk di satu tempat. Barangkali kita bisa mengobral semuanya sekaligus."
“Baik, Bibi Mathilda,” kata Jupe. Anak bertubuh gempal itu naik dengan susahpayah
ke atas truk, diikuti oleh Bob dan Pete. “Yuk, kalian sudah mendengar
perintah tadi,” katanya.
Pete memperhatikan tumpukan batang besi yang sudah berkarat itu.
“Aku benar-benar heran, Jupe, di mana saja Pamanmu menemukan barang loakan
begini. Tapi aku terlebih-lebih lagi tidak tahu, bagaimana Ia nanti akan bisa
menjualnya lagi!”
“Kalau soal itu, Paman Titus selalu mujur nasibnya, Pete,” kata Jupiter sambil
nyengir. “Ia membeli barang yang menurut sangkaan kita tidak mungkin ada
peminatnya, tapi besoknya tahu-tahu sudah berhasil dijualnya. Jadi aku percaya
saja jika dikatakannya bahwa ia akan bisa menjual batang-batang ini.”
"Yah - pokoknya, kita bekerja kan dengan pembayaraan," sela Bob. "Dan uang itu
kita perlukan, karena kita perlu beberapa perlengkapan baru untuk markas.”
Markas mereka berupa sebuah karavan yang sudah tidak bisa dipakai lagi sebagai
kendaraan. Mr. Jones memberikannya pada Jupe untuk dipakai sebagai tempat
pertemuan bersama teman-temannya. Karavan itu ditempatkan pada satu sisi
pangkalan itu, tersembunyi di balik barang-barang bekas yang mereka tumpukkan
di sekelilingnya. Bengkel kerja Jupiter terletak di dekatnya, dilengkapi dengan
beraneka ragam perkakas, serta sebuah mesin cetak yang sudah usang.
Dalam markas ada sebuah ruang kantor kecil dengan perlengkapan telepon, alat
perekam suara, serta lemari-lemari arsip. Kecuali itu ada pula sebuah laboratorium
kecil, serta kamar gelap untuk mencuci film dan mencetak foto. Kebanyakan dan
perlengkapan itu merupakan barang loak yang diambil dari pangkalan, lalu
diperbaiki kembali oleh Jupiter beserta kedua temannya.
Awal mulanya ketiga remaja itu mendirikan perkumpulan dengan tujuan untuk
bersama-sama memecahkan teka-teki. Tapi perkumpulan itu. kemudian berubah
menjadi perusahaan penyelidik, dengan nama Trio Detektif. Walau perusahaan itu
dibentuk dengan maksud iseng-iseng saja, tapi sementara itu mereka sudah sering
berhasil memecahkan berbagai misteri yang mereka jumpai. Karenanya, mereka
kemudian memutuskan untuk benar-benar menjadi detektif.
Pete, yang paling kekar tubuhnya di antara mereka bertiga, dengan murung
menatap tumpukan batang besi yang tergeletak di bak belakang truk, setelah Hans
dan Konrad sudah menurunkan kandang-kandang.
"Baiklah kita mulai saja sekarang,” katanya dengan enggan. Ditariknya beberapa
batang yang panjang, lalu dipanggulnya. “Kita tumpukkan di mana, Jupe?”
tanyanya. Ia terhuyung-huyung, memikul beban berat itu.
Jupiter menuding ke suatu tempat, dekat sebuah bedeng.
"Di sana saja, Pete."
Pete mendengus. Ia mundur, sambil memikul bawaannya. Setelah itu Jupe dan Bob
silih berganti menyodorkan batang-batang besi pada Pete, yang memanggulnya ke
tempat yang sudah dipilih. Mereka bekerja dengan cekatan. Tidak lama kemudian,
hanya satu batang besi saja yang masih ada di atas truk.
Pete maju sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya.
"Kemarikan batang kecil yang terakhir itu, Jupe," katanya.
Jupe membungkuk untuk menyodorkan batang itu. Tapi tidak jadi. Batang besi
kecil itu diangkatnya.
"Batang ini lebih baik kita pisahkan saja,” kitanya kemudian. “Ukurannya cocok.”
“Cocok? Untuk apa?” tanya Bob tidak mengerti. “Kau hendak membuka
perusahaan barang bekas juga?"
“Batang ini kebetulan lebih pendek dari yang selebihnya,” kata Jupe. “Kita bisa
menggunakanya, dijadikan palang pintu Markas. Sebagai pengaman."
“Pengaman?” tanya Bob, yang masih saja belum mengerti.
Air muka Jupiter memerah.
“Aku sudah capek harus merangkak-rangkak terus lewat terowongan kalau mau
masuk ke Markas. Kan bisa kita adakan jalan yang Jebih gampang. Menurutku, ada
baiknya jika pintu karavan kita buka saja.”
Pete dan Bob tersenyum mendengar penjelasan yang berputar-putar itu. Mereka
tahu, kenyataannya ialah bahwa tubuh Jupiter agak terlalu gendut sehingga merasa
kewalahan kalau selalu harus masuk lewat lorong rahasia.
Jupiter melompat turun dari atas truk, lalu berjalan menuju tumpukan barang bekas
yang menutupi karavan mereka.
“Barangkali saja Paman Titus tidak memerlukannya,” katanya. “Atau kalau tidak,
kita membayarnya dengan jalan bekerja.”
Pete mengusap keringat yang membasahi kering.
“Menurutku, kita sudah melakukannya,” katanya. “Dalam waktu sejam tadi, kita
sudah melakukan pekerjaan satu hari."
“Baiklah, Jupe,” kata Bob. “Sekarang apa?"
Saat itu lampu merah yang terpasang di atas mesin cetak mereka menyala.
“Ada telepon untuk kita!” seru Pete. “Mungkin ada yang memerlukan kita untuk
mengusut salah satu misteri!
“Mudah-mudahan saja,” kate Jupe bersemangat. "Sudah agak lama juga kita
menganggur."
Dengan cepat kisi-kisi besi yang tersandar di sisi mesin cetak digeser ke samping.
Ketiga remaja itu menyusup masuk ke dalam Lorong Dua, suatu pipa besar yang
menuju ke tingkap yang terdapat di lantai karavan yang tidak nampak dari luar.
Mereka merangkak sambil bergegas-gegas, dan dengan segera sudah muncul
dalam ruang kantor Markas.
Jupiter menyambar pesawat telepon yang terletak di atas meja.
"Ya di sini Jupiter Jones,” katanya.
"Tunggu sebentar." Suara wanita yang berbicara itu terdengar jelas, lewat alat
pengeras suara yang dihubungkan oleh Jupiter pada pesawat telepon mereka. “Mr.
Hitchcock ingin bicara.”
Ketiga remaja itu berpandang-pandangan dengan heran. Mereka nyengir, karena
senang. Apabila Mr. Hitchcock menelepon, itu biasanya berrarti ada lagi kasus
misterius untuk mereka.
“Halo!” Suara berat sutradara kenamaan itu terdengar lewat alat pengeras suara.
“Ini Jupiter Jones?”
“Betul, Mr. Hitchcock,” kata Jupe.
“Moga-moga saja kau serta teman-temanmu tidak terlalu sibuk saat ini. Ada
seorang temanku yang memerlukan pertolongan, dan kurasa kalian bertigalah yang
paling cocok untuk menanggulangi kesulitannya."
“Boleh saja kami coba, Sir,” kata Jupiter. “Tapi bisakah Anda katakan, masalah
apakah yang sedang dihadapi teman Anda itu?”
“Tentu saja bisa,” kata Alfred Hitchcock. “Jika kalian besok pagi bisa datang ke
kantorku, dengan senang hati aku akan menceritakannya.”
Bab 2
KASUS DI PEMUKIMAN SINGA
BEBERAPA waktu berselang, Jupiter memenangkan suatu sayembara yang
hadiahnya berupa hak memakai sebuah mobil Rolls-Royce antik, lengkap dengan
supir. Ketika hak penggunaan itu akhirnya habis, mereka ditolong oleh seorang
remaja yang ditolong oleh mereka, dan yang kemudian mewarisi harta yang tidak
sedikit. Remaja klien mereka itu merasa berutang budi, dan atas bantuannya Trio
Detektif mendapat hak memakai mobil mewah itu kapan saja mereka
memerlukannya. Adanya kendaraan itu kemudian ternyata sangat berguna bagi
ketiga penyelidik remaja itu. Jarak yang harus ditempuh di wilayah California
Selatan jarang ada yang dekat. Jadi kalau tanpa mobil, mereka pasti kewalahan.
Jupiter mencondongkan tubuhnya ke depan. Dicoleknya bahu Worthington, supir
kendaraan mewah itu. Worthington berasal dari Inggris dan bertubuh jangkung.
“Di sini sajalah, Worthington,” kata Jupiter. “Tunggu di sini, ya kami takkan lama
di kantor Mr. Hitchcock.”
“Baik, Master Jones,” jawab Worthington, lalu menghentikan mobil kuno
berbentuk persegi itu.
Supir Inggris itu bergegas ke luar, untuk membukakan pintu bagi ketiga
penumpang remajanya. “Mr. Hitchcock rupanya punya tugas menarik lagi bagi
kalian.”
“Mudah-mudahan saja begitu, Worthington," kata Bob. “Akhir-akhir ini kami agak
merasa bosan, karena tidak ada kejadian apa-apa. Kami sudah kepingin bisa
menghadapi kasus yang menarik. "
Setelah itu Bob bergegas menyusul Jupe dan Pete, yang sementara itu sudah
memasuki gedung studio di mana Mr. Hitchcock berkantor.
Alfred Hitchcock menyilakan mereka duduk di kursi-kursi yang menghadap meja
kerjanya yang besar. Sutradara film yang terkenal itu mendorong beberapa lembar
surat bisnis ke samping, lalu menatap ketiga remaja itu dengan sikap merenung.
Setelah itu Ia bertanya secara sambil lalu, bagaimana perasaan kalian jika
menghadapi binatang liar?”
Ketiga anggota Trio Detektif yang duduk di hadapannya nampak terkejut
mendengar pertanyaan itu. Jupiter mendeham, lalu menjawab, “Itu tergantung dari
jenis binatangnya, Sir serta situasi lingkungannya. Jika ada jarak cukup aman
antara mereka dengan kami, saya berani mengatakan bahwa kami akan tetap
bersikap tenang serta menaruh minat pada tingkah laku serta kebiasaan mereka."
“Maksud Jupe, kami suka pada binatang,” kata Pete. “Jupe ini memang tidak bisa
mengatakan sesuatu dengan cara sederhana.”
“Kenapa Anda bertanya begitu, Mr. Hitchcock?" tanya Bob. “Ada hubungannya
dengan misteri yang pengusutannya hendak Anda tugaskan pada kami."
“Mungkin,” kata Mr. Hitchcock dengan nada lambat. “Dan jika kasus itu tidak bisa
dibilang misterius, yang jelas pasti menarik untuk diselidiki. Binatang-binatang
buas yang kusebut tadi merupakan bagian dari lokasi, di mana saat ini sedang
terjadi peristiwa-peristiwa misterius.”
Alfred Hitchcock berhenti sebentar, lalu menyambung, “Kalian pernah mendengar
tentang tempat yang bernama ‘Jungle Land’?”
"Tanah Rimba? Letaknya dalam lembah, dekat Chatwick,” kata Bob. “Itu kan
semacam peternakan binatang liar, di mana singa dan binatang binatang lain
berkeliaran dengan bebas. Rasanya, tempat itu diadakan sebagai atraksi wisata.”
“Ya, tempat itulah yang kumaksudkan,” kata Alfred Hitchcock. “Pemilik tempat
itu kawan lamaku. Namanya Jim Hall. Belakangan ini ia dirongrong suatu
masalah. Ketika mendengannya, aku langsung teringat pada kalian bertiga serta
bakat kalian selaku penyelidik.”
“Apa sebetulnya problem yang merongrong Mr. Hall itu, Sir?” tanya Jupiter.
"Salah satu singa peliharaannya belakangan ini nampak gugup,” kata Mr.
Hitchcock
Ketiga remaja yang duduk di hadapannya berpandang-pandangan dengan mata
terbelalak.
“Jungle Land memang dibuka untuk umum,” kata Mr. Hitchcock meneruskan
penjelasannya. “Di samping itu, perusahaan-perusahaan film kadang-kadang juga
menyewa tempat itu, untuk dijadikan lokasi pengambilan film, karena di sana ada
bagian-bagian yang mirip kawasan Barat untuk membuat film cowboy atau daerah
Afrika. Kadang-kadang Jim Hall juga menyewakan binatang-binatangnya, yang
umümnya liar. Tapi di antaranya ada juga yang jinak, karena dibesarkan oleh Jim
dan dilatih olehnya.”
“Singa kesayangan Jim merupakan contoh istimewa dari caranya menangani
binatang. Singa itu sudah sering tampil dalam film-film iklan di TV, serta dipakai
dalam berbagai film. Binatang itu merupakan daya penarik yang besar di ‘Jungle
Land', serta banyak menghasilkan uang bagi Jim Hall."
“Maksud Anda, selama ini,” kata Jupe. “Singa teman Anda itu sekarang berubah
menjadi penggugup, sehingga ia tidak bisa diandalkan lagi. Itu kan, problemnya?"
Alfred Hitchcock menatap Jupiter dengan tajam.
“Seperti biasa, kemampuan deduksimu setaraf dengan tugas yang dihadapi,
Sahabat mudaku yang cerdas! Saat ini tempat itu disewa suatu rombongan film,
yang hendak merekam beberapa adegan film rimba. Tentu saja Jim Hall kini harus
berupaya mencegah terjadinya kecelakaan, yang bisa mengganggu kelancaran
pembuatan film itu sampai selesai. Jika terjadi sesuatu, ada kemungkinan seluruh
usahanya akan ambruk karenanya.”
“Lalu kami diharapkan datang ke sana, serta menyelidiki apa sebabnya singa itu
menjadi gugup,” kata Jupe. “Itukah tugas kami?”
“Tepat,” kata Mr. Hitchcock “Dengan cepat, dan tanpa ribut-ribut. Dan kurasa tak
perlu kutambahkan, tanpa mengusik singa yang sudah gugup itu."
Pete Crenshaw menjilat bibirnya yang terasa kering.
“Sampai seberapa dekatkah kami harus menghampiri kucing besar yang sinting
itu?” katanya.
Alfred Hitchcock tersenyum simpul.
“Dekat itu relatif, Peter,” katanya. “kalian nanti akan berada dalam kompleks
‘Jungle Land’. Singa kesayangan Jim Hall juga ada di situ. Biasanya hal itu bisa
dibilang aman. Tapi perlu kuperingatkan bahwa keadaannya kini berubah. Singa
yang gelisah - binatang liar apa pun, yang sedang gelisah bisa berbahaya."
Ketiga anggota Trio Detektif meneguk ludah.
“Anda bisa mengatakan pada Jim Hall teman Anda itu, bahwa ía tidak perlu
khawatir,” kata Bob “Mulai saat ini, yang gugup bukan cuma singanya saja."
“Betul,” kata Pete. “Sekarang pun aku sudah gugup, padahal belum berada dalam
kompleks itu.
Mr. Hitchcock berpaling pada Jupiter.
“Masih ada yang ingin kaukatakan, sebelum kutelepon temanku itu untuk
mengatakan bahwa kalian menerima penugasan ini?”
“Tidak, Sir,” kata Jupiter sambil menggeleng. “Tapi mungkin ada baiknya jika
pada Mr. Hall diminta agar mau mengatakan yang baik-baik tentang kami pada
singanya."
Mr. Hitchcock tersenyum, lalu meraih gagang telepon.
“Akan kusampaikan pesanmu itu,” katanya. "Dan aku menunggu laporan kalian,
dalam waktu singkat. Sekarang selamat bekerja, semoga kalian berhasil!”
Ketiga remaja itu berdiri. Setelah meminta diri mereka keluar. Mereka bertanyatanya
dalam hati: nasib bagaimanakah yang akan mereka alami saat berhadapan
dengan seekor singa yang sedang gugup!
Bab 3
SELAMAT DATANG DI JUNGLE LAND
SAAT itu sudah lewat tengah hari ketika kendaraan yang ditumpangi Trio Detektif
meluncur dengan laju, menuruni bagian terjal terakhir dan suatu jalan pedesaan
yang sempit. Lembah yang dituju dikelilingi pegunungan yang sambungmenyambung.
Letaknya hanya sekitar tiga puluh menit saja naik mobil dari Rocky
Beach. Paman Titus yang kebetulan menyuruh Konrad pergi mengambil sesuatu
dengan mobil truk kecil di Chatwick, mengizinkan ketiga anak itu ikut.
"Pelankan Konrad.”kata Jupe. “Itu tempatnya."
"Oke, Jupe." Pemuda Jerman bertubuh besar itu menginjak rem. Truk berhenti
dengan seketika di depan gerbang utama. Di sampingnya terpasang papan, dengan
tulisan:
SELAMAT DATANG Dl JUNGLE LAND!
KARCIS MASUK 1 DOLLAR,
ANAK-ANAK ½ DOLLAR
Begitu turun dari truk, Jupiter serta kedua temannya langsung mendengar bunyibunyi
yang tidak biasa mereka dengar. Suara menerompet di kejauhan, menggema
pada lereng-lereng bukit. Suara itu disusul bunyi auman keras, seakan-akan
menjawab tantangan. Bulu roma ketiga remaja itu merinding.
Konrad menggerakkan tangannya, menunjuk ke arah gerbang.
“Kalian hendak masuk ke situ?” tanya pemuda itu. “Hati-hati saja — aku rasanya
seperti mendengar auman singa.”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Konrad,” kata Bob. “Mr. Hitchcock pasti
takkan memberi tugas ini pada kami, jika Ia merasa akan terlalu berbahaya."
“Kami cuma harus menyelidiki sesuatu saja untuk pemilik tempat ini,” kata
Jupiter. “Jungle Land merupakan atraksi wisata yang aman.”
“Oke,” kata Konrad sambil mengangkat bahu. "Jika kau mengatakan aman,
tentunya pasti aman. Tapi walau begitu, berhati-hati sajalah. Sebentar lagi aku
sudah kembali untuk menjemput kalian.”
Ia melambai, lalu mengemudikan truk kembali ke jalan raya. Beberapa saat
kemudian kendaraan itu sudah tidak kelihatan lagi,
Jupe memandang kedua temannya.
“Nah tunggu apa lagi sekarang?”
Pete menuding ke sebuah pengumuman kecil yang terpasang di gerbang:
HARI INI TUTUP
“Kenapa tidak ada siapa-siapa di sini, ya?” katanya.
“Mungkin karena di dalam ada rombongan film yang sedang bekerja,” kata Jupiter
menebak
Bob menjenguk ke dalam.
“Tidakkah Mr. Hall seharusnya ada di sini untuk menjemput kita?”
Jupiter mengangguk. .
"Aku tadi memang memperkirakan begitu," katanya. “Tapi barangkali ia sedang
sibuk di dalam dengan urusan lain."
"Urusan dengan singa gugupnya, barangkali," kata Pete. “Mungkin ia sedang
mengalami kesulitan meyakinkan singanya itu, bahwa kita datang bukan untuk
diterkam olehnya.”
Jupiter mendorong pintu pagar. Ternyata langsung terbuka.
“Tidak dikunci,” katanya dengan riang. “Mungkin supaya orang-orang film bisa
keluar-masuk dengan gampang. Atau untuk kita! Yuk, kita masuk saja."
Pintu pagar tertutup lagi dengan bunyi berderit ketika ketiga remaja itu sudah
masuk. Dari balik pepohonan terdengar suara ribut berceloteh, yang sekali-sekali
ditimpali jeritan melengking.
"Kawanan monyet serta burung-burung," kata Jupe. “Satwa yang tidak berbahaya.”
“Sebentar lagi akan kita ketahui benar tidaknya katamu itu,” kata Bob dengan
pelan.
Jalan masuk itu sempit dan berkelok-kelok diapit pepohonan serta semak berdaun
lebat. Akar rambat yang besar-besar terjulur dari dahan-dahan pohon.
“Kelihatannya memang persis rimba,” kata Pete sambil memperhatikan.
Kedua temannya mengangguk. Mereka berjalan dengan langkah-lambat, sambil
memandang ke kanan dan ke kiri dengan sikap waspada, mengamati belukar
rimbun yang mengapit jalan. Mereka bertanya-tanya dalam hati, binatang asing
apakah yang merunduk di dalamnya, slap untuk menerkam. Suara-suara aneh di
kejauhan terdengar terus, serta sekali-sekali auman berat yang menggema.
Mereka berhenti di depan tiang penunjuk jalan yang terpasang di tepi percabangàn
jalan.
“Desa Cowboy dan Kota Hantu.” Bob membaca tulisan itu, yang terpasang pada
papan yang penunjuk ke kiri. “Apa bunyi tulisan yang satunya lagi?”
Jupe sedang mengamat-amati papan itu.
“Ke binatang-binatang,” katanya sambil membaca.
Mereka mengambil jalan simpang sebelah kanan. Setelah berjalan beberapa ratus
meter di situ, Pete menuding ke depan.
“Itu ada bangunan,” katanya. “Mungkin kantor Mr. Hall ada di situ.”
“Kelihatannya sih seperti bangsal tempat para pekerja tidur,” kata Jupe, ketika
mereka sudah dekat. "Di belakangnya ada kandang terbuka.”
Tiba-tiba terdengar jeritan nyaring memekakkan telinga. Ketiga remaja itu berdiri
seperti terpaku di tempat masing-masing. Tapi hanya sekejap saja. Detik
berikutnya, mereka serempak menyusup ke dalam belukar, mencari perlindungan
di situ.
Dari tempatnya bersembunyi di balik batang palem yang besar, Pete mengintip ke
arah bangsal. Jupe dan Bob, yang meringkuk di belakang suatu semak, ikut
mengintip dengan perasaan gugup. Jantung mereka berdegup kencang. Mereka
menunggu suara tadi terdengar lagi. Tapi kini rimba lebat itu sunyi-senyap.
“He, Jupe,” bisik Pete. “Suara apa itu tadi?”
“Aku tidak tahu pasti,” kata Jupe sambil menggeleng. “Mungkin cetah.”
Ia pernah mendengar suara cetah dalam film tentang Afrika. Rasanya begitulah
suara binatang itu, yang kelihatannya mirip macan tutul, tapi sebenarnya tidak
tergolong keluarga kucing.
“Atau mungkin juga monyet,” kata Bob berbisik-bisik.
Mereka tetap mendekam dalam belukar sambil menunggu.
“Aduh,” keluh Pete dengan suara serak. “kita ini kemari untuk menyelidiki seekor
singa yang gugup. Tidak ada yang mengatakan apa-apa tentang monyet yang
gugup. Atau cetah!”
“Kita tidak boleh kaget, jika di sini mendengar berbagai suara binatang,” kata Jupe.
“Itu kan sudah sewajarnya. Pokoknya, binatang yang bersuara tadi, sekarang sudah
diam. Yuk, kita ke bangunan itu untuk melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Bob dan Pete nampak sangsi, sementara Jupiter sudah mulai melangkah maju
dengan lambat dan berhati-hati. Tapi kemudian kedua temannya itu menyusul.
"Suara itu datang dari sana," gumam Pete, sambil menunjuk jauh ke depan.
“Tempat binatang-binatang buas terkurung - mudah-mudahan saja tanpa
kemungkinan lepas,” kata Bob.
“Ayolah,” desak Jupiter. “kita sudah hampir sampai."
Bangsal yang mereka datangi sudah tua. Catnya sudah terkelupas. Di sisinya
berserakan ember dan tempat memberi makan binatang. Jejak kendaran
meninggalkan alur-alur dalam di jalan. Pagar kandang terbuka kelihatannya sudah
tidak kokoh.
Bangunan tua itu sunyi, seakan-akan menanti kedatangan mereka.
“Apa sekarang?” tanya Pete dengan suara lirih.
Jupe melangkah naik ke serambi rendah berlantai papan. Air mukanya
memancarkan tekad.
“Kita akan mengetuk pintu, lalu mengatakan pada Mr. Hall bahwa kita sudah
datang,” katanya tegas.
Pintu dkietuknya dengan keras. Tak terdengar suara orang menjawab.
“Mr. Hall!” seru Jupiter dengan lantang.
Bob menggaruk-garuk kepala.
“Mungkin Ia sedang tidak ada,” katanya.
“Ssst!" desis Pete, sambil mengangkat tangan menyuruh diam. “Aku mendengar
sesuatu.”
Kemudian ketiga-tiganya mendengar suara itu. Suara gumaman pelan, dengan
irama aneh. Suara itu semakin mendekat. Datangnya dari arah belakang rumah.
Mereka mendengar bunyi langkah kaki menginjak kerikil. Mereka cepat-cepat
mundur, dengan mata terbelalak lebar.
Tahu-tahu yang datang itu menerjang maju dengan gerakan seperti oleng, serta
kepala terangguk-angguk marah. Sepasang kaki berwarna kuning. mencengkeram
tanah.
Trio Detektif terpelotot serentak.
Bab 4
MENCARI SINGA
JUPITER yang paling dulu bisa berbicara lagi.
“Jangan gugup!” katanya. “Masak kita lari menghadapi seekor ayam jantan bego!”
"Uhh," kata Pete agak malu. "Itukah yang berbunyi tadi?”
Bob menghembuskan napas lega.
“Sedikit pun tak kusangka!”
Dipandanginya ayam jantan berbulu hitam, yang sebelum itu kedengaran begitu
menyeramkan. Ia tertawa. Bob yang tertawa, bukan ayam!
Bob mengepak-ngepakkan lengannya, mengusir ayam itu.
Unggas jantan itu terkejut. Sayapnya dikembangkan. Sambil bersuara marah, ia lari
ke seberang jalan, dengan jenggernya yang merah terangguk-angguk.
ketiga remaja itu tertawa melihatnya.
“Itu buktinya, bahwa kita bisa terkecoh oleh pikiran kita sendiri,” kata Jupiter.
“Hati kita tadi sudah kecut melihat kelebatan rimba, serta mendengar suara
berbagai binatang liar yang ada di sini. Karenanya kita lantas mengira, yang datang
pasti binatang berbahaya. Soalnya, pikiran kita sudah terarah ke situ.”
Ia menghampiri pintu bangsal lagi.
“He, Jupe,” kata Bob, “Coba lihat ke sana.”
Kedua temannya memandang ke arah yang dituding. Mereka melihat sesuatu
bergerak dalam kegelapan rimba. Seseorang berpakaian seperti pemburu muncul
dari balik sebatang pohon.
"Mr. Hall!" seru Jupe memanggil.
Orang yang muncul itu menunggu, sementara anak-anak berlari mendatangi.
“Hai,” sapa Pete. “Kami tadi mencari-cari Anda."
Pria itu memandang mereka dengan sikap bertanya. Orang itu bertubuh tegap.
Dadanya kekar. Kemeja safarinya yang sudah luntur terbuka kancingnya yang
paling atas. Matanya yang berwarna biru cerah nampak sangat menyolok tengah
wajah cokelat terbakar sinar matahari. Hidungnya panjang dan bengkok ke
samping. Ia memakai topi berpinggir lebar model gembala Australia. Pinggirnya
yang sebelah dilekukkan bawah, menutupi telinga.
Orang itu menggerakkan tangannya dengan sikap tidak sabar ketika anak-anak
sudah dekat. Ada sesuatu yang berkilat dalam genggamannya.
Jupe dan teman-temannya memandang parang panjang yang dipegang dengan
santai oleh orang itu. Jupiter bergegas-gegas memperkenalkan di mereka.
“Kami inilah Trio Detektif, Mr. Hall. Tidakkah Mr. Hitchcock memberitahukan
kedatangan kami?"
Laki-laki itu terkejap. Nampaknya terkejut.
“Hitchcock? Ya, ya, betul Hitchcock! Kau mengatakan bahwa kalian bertiga ini
detektif?”
“Betul, Mr. Hall,” kata Jupiter. Diambilnya selembar kartu nama dari kantungnya,
dan disodorkannya pada orang itu.
TRIO DETEKTIF
“Kami Menyelidiki Apa Saja”
? ? ?
Penyelidik Satu ...... Jupiter Jones
Penyelidik Dua ...... Peter Crenshaw
Catatan dan Riset .... Bob Andrews
“Saya Jupiter Jones. Dan mereka ihi kedua patner saya, Peter Crenshaw, dan Bob
Andrews.”
“Halo, apa kabar?” Laki-laki itu mengamat-amati kartu nama yang dipegangnya.
“Ketiga tanda tanya ini, apa artinya?”
“Itu melambangkan hal-hal yang tidak diketahui,” kata Jupiter menjelaskan.
“Pertanyaan yang belum terjawab, teka-teki, misteri. Pekerjaan kami mencari
jawaban atas pertanyaan yang dihadapi, menguraikan teka-teki yang
memusingkan, serta menyelesaikan masalah yang membingungkan. Karena itulah
kami kemari. Mr. Hitchcock memberitahu kami tentang masalah yang Anda hadapi
sehubungan dengan singa Anda yang gugup itu. "
“0 ya?"
"Ia sebenarnya hanya mengatakan, singa Anda saat ini sedang gelisah. Saya rasa,
Ia memperkirakan bahwa perincian selanjutnya akan kami dengar dari Anda.”
Laki-laki bertubuh gempal itu mengangguk, sambil memasukkan kartu nama Trio
Detektif ke kantungnya. Kemudian pandangannya diarahkan ke kejauhan,
sementara keningnya berkerut. Saat itu terdengar bunyi menerompet, disusul
dengan segera oleh auman lantang.
“Nah,” kata orang itu sambil tersenyum. “Jika kallan mau, kita pergi saja sekarang
untuk melihatnya.”
"Untuk itu kami kemari,” kata Jupe.
"Bagus. Kita pergi sekarang."
Orang itu berpaling dengan cepat. Ia pergi ke balik bangsal, lalu berjalan menyusur
jalan setapak yang tidak jelas, menembus rimba. Jupe dan kedua kawannya
mengikuti.
“Mungkin sambil berjalan Anda bisa memberi penjelasan, Mr. Hall,” kata Jupiter,
sambil merunduk untuk mengelakkan sulur akar yang besar.
Parang yang besar terayun, memotong akar itu.
“Apa yang ingin kauketahui?” tanya orang itu, tanpa memperlambat jalannya.
Dengan bersusah-payah Jupiter berusaha agar jangan tertinggal.
“Yah misalnya saja, kami cuma tahu bahwa singa Anda gugup. Itu kan yah, singa
kan biasanya tidak begitu?”
Laki-laki itu mengangguk, sambil berjalan dengan langkah-langkah cepat, serta
sekali-sekali mengayunkan parangnya untuk menyingkirkan semak yang
merintangi.
“Memang, sama sekali tidak biasa. Ada yang kalian ketahui tentang singa?”
Jupiter meneguk ludah.
“Tidak, Sir,” katanya. “Karena itulah kami ingin tahu. Aneh, ya? Maksud saya,
perkembangan baru ini."
“Yep,” kata orang itu dengan singkat. Ia mengangkat tangannya ke atas, menyuruh
semua diam. Semua mendengar bunyi celoteh samar, disusul suara auman
membahana. “Itu dia! Itu suaranya,” kata orang itu. Ia menelengkan kepala ke arah
Jupiter. “Kuserahkan sekarang pada kalian untuk menanganinya. Gugupkah bunyi
aumannya."
“S-saya tidak tahu. kedengarannya sih yah, seperti auman singa yang biasa.”
Jupiter bertekad tidak akan menampakkan kegugupannya pada Mr. Hall.
“Betul,” kata laki-laki itu. Ia berhenti sebentar, sambil mengayun-ayunkan
parangnya, menebas rumput tinggi yang mengelilingi. “Singa memang bukan
binatang penggugup.”
"Tapi —" kata Jupe dengan bingung.
Laki-laki itu mengangguk.
"Kecuali," sambungnya, "kecuali jika ada orang, atau sesuatu yang membuatnya
gugup. Bagaimana pendapat kalian?"
Ketiga remaja yang menghadapinya mengangguk serentak.
“Betul, tapi apa?” tanya Bob.
Tiba-tiba orang itu mengubah sikapnya.
“Jangan bergerak,” bisiknya. “Ada sesuatu di sana."
Sebelum disadari oleh ketiga remaja yang menyertainya, orang itu tahu-tahu sudah
menghilang ke tengah rumput yang tumbuh tinggi. Mereka mendengar langkahnya,
serta desau rerumputan yang dilewati. Kemudian sunyi.
Ketiga remaja itu terlonjak karena kaget, ketika tiba-tiba terdengar teriakan burung
di atas kepala.
“Tenang, Teman-teman,” kata Pete. “Cuma burung saja."
“Cuma burung,” kata Bob menirukan. “Cuma burung, katamu? Bunyinya seperti
suara burung nasar.”
Mereka menunggu selama beberapa menit d tempat yang sama. Jupiter melirik
arlojinya.
“Ada pikiran aneh yang timbul dalam diriku seakan-akan burung pemakan bangkai
itu hendak mengatakan sesuatu,” katanya.
“Ah kau ini, Jupe,” kata Bob. “Mengatakan apa?”
Wajah Jupe pucat. Ia membasahi bibirnya.
“Aku mendapat firasat, bahwa Mr. Hall takkan muncul lagi di sini. Kurasa ia
hendak menguji kita - melihat bagaimana sikap kita menghadapi bahaya dalam
rimba belantara.”
“Tapi kenapa, Jupe?” tanya Pete bingung. “Apa alasannya? Kita kemari ini kan
untuk menolongnya? Ia kan mengetahuinya.”
Jupiter memasang telinga sesaat. Ia mendengar seruan-seruan aneh, datang dari
arah atas - dari arah pepohonan tinggi. Kemudian sekali lagi terdengar auman
keras, penuh ancaman.
Jupiter memiringkan kepala ke arah suara terakhir.
“Alasan Mr. Hall, tidak kuketahui,” katanya. “Tapi aku tahu, singa itu kini
terdengar jauh lebih dekat daripada tadi. Rupa-rupanya menuju kemari. Kurasa
itulah yang hendak diberitahukan burung nasar itu pada kita. Kita akan dijadikan
mangsa oleh singa itu. Burung pemakan bangkai biasanya terbang berkelilingkeliling
di atas binatang yang sudah mati atau sebentar lagi akan mati. Tapi sekali
ini bukan binatang yang dikitarinya melainkan kita!”
Pete dan Bob memandang Jupiter. Mereka tampak sangat kaget. Tapi mereka tahu,
teman mereka itu tidak biasa berkelakar kalau sedang menghadapi situasi serius.
Tanpa sadar, ketiga remaja itu saling merapatkan diri.
Mereka mendengarkan dengan tegang.
Mereka mendengar desau nenumputan dilalui sesuatu. Kemudian bunyi langkah.
Pelan dan menyelinap.
Mereka menahan napas, sambil beringsut mendekati sebatang pohon besar.
Tiba-tiba terdengar suara menyeramkan. Bunyinya dekat sekali, di belakang
mereka.
Auman singa!
Bab 5
PERMAINAN BERBAHAYA
“CEPAT!” desis Jupiter dengan tegang. “Naik ke pohon ini! Itu satu-satunya
kemungkinan bagi kità untuk menyelamatkan diri!”
Seketika itu juga ketiga-tiganya sudah memanjat pohon besar berbatang licin itu.
Mereka bertengger dengan napas tersengal-sengal di percabangan pohon itu,
sekitar tiga meter dari tanah. Mereka menatap ke arah rumput setinggi pinggang
yang terhampar di bawah.
Pete menunjuk ke arah semak yang lebat. “A-aku melihat rumput bergerak-gerak
di situ,”katanya gugup. “kalian dengar tidak, bunyinya? Ada sesuatu bergerak -"
Ia terkejap, karena saat itu terdengar bunyi pelan Bunyi siulan yang datang dari
tengah rumput tinggi. Ketiga remaja itu melongo ketika tahu-tahu muncul seorang
anak laki-laki dari tengah semak. Anak itu memandang berkeliling dengan
waspada, seperti mencari-cari.
"He!" seru Bob memanggil. "Ke sini di atas pohon!”
Anak laki-laki itu berpaling dengan cepat. Dengan gerakan sama, ia
mengacungkan sepucuk senapan ke atas, ke arab pohon tempat Bob beserta kedua
rekannya bertengger.
“Siapa kalian?” seru anak itu.
“T-teman,” kata Bob tergagap. “Turunkan senapanmu itu.”
“Kami diminta datang kemari,” kata Pete ,menambahkan. “kami ini Trio Detektif.”
“Kami menunggu Mr. Hall kembali,” sambung Jupiter. “Kami ditinggalkannya
tadi, karena Ia hendak memeriksa sesuatu,”
Anak laki-laki itu menurunkan laras senapannya.
“Turunlah,” katanya.
Dengan berhati-hati ketiga remaja yang bertengger di atas pohon merosot turun.
Jupiter menuding ke arah rumput tinggi.
“Tadi kami mendengar suara singa di situ. Kami langsung saja naik ke atas pohon
ini, karena menurut kami itu lebih aman.”
Anak laki-laki itu tersenyum. Umurnya kira-kira sebaya dengan Jupe serta kedua
rekannya.
"Itu George," katanya.
“George?” Pete meneguk ludah. “Nama singa itu George?”
Anak laki-laki itu mengangguk.
“Kalian tidak usah takut padanya. Ia singa ramah.”
Saat itu terdengar auman keras. Datangnya dari arah rerumputan tinggi, dan dekat
sekali!
Trio detektif terkesiap kaget.
"Auman begitu — kaukatakan ramah?” tanya Pete.
“Kalian memang masih harus membiasakan diri dulu. Tapi itu memang George -
dan Ia takkan mengapa-apakan siapa pun juga.”
Terdengar bunyi ranting patah. Muka Bob, langsung pucat.
“Kenapa kau berani bersikap begitu yakin?" tanyanya.
“Aku bekerja di sini,” jawab anak laki-laki itu sambil tersenyum. “Aku biasa
bergaul dengan George setiap hari. 0 ya ngomong-ngomong, namaku Mike. Mike
Hall.”
“Senang hati kami bertemu denganmu, Mike," kata Jupe. Ia memperkenalkan
dirinya, lalu kedua rekannya. Setelah itu ia menyambung, “Perasaan humor
ayahmu agak aneh!”
Mike Hall nampak tercengang mendengar ucapan itu.
"Membawa kami kemari, lalu pergi meninggalkan kami sementara di dekat sini
ada singa,” sela Pete dengan perasaan panas. “Itu bukan lelucon namanya!”
“Barangkali karena itulah Ia kini mengalami kesulitan di sini,” kata Bob
menambahkan. "Dengan keisengan seperti itu, orang-orang yang ingin membantu
bisa pergi lagi semuanya.”
Remaja yang bernama Mike memandang ketiga penyelidik muda yang sedang
marah-marah itu. Ia bertambah heran.
“Aku tidak mengerti,” katanya. “Tapi pertama tama perlu kukatakan, aku ini
keponakan Jim Hall - bukan anaknya. Lalu, Jim takkan mungkin meninggalkan
kalian sendiri di sini, sementara singa itu ada di dekat kalian. Kami selama ini
mencari-cari dia! Entah dengan cara bagaimana, tapi ternyata George terlepas.
karena kami sibuk mencari, sampai lupa bahwa kalian akan datang. Aku tadi
mendengar suara auman George, dan sekarang ini sedang berusaha mengejarnya.”
Jupiter mendengarkan penjelasan itu dengan tenang.
"Maaf, Mike,” katanya kemudian, “tapi kami tidak bohong. kami tadi dibawa Mr.
Hall kemari, lalu kami ditinggal olehnya di sini. Ia pergi ke arah arah auman singa,
sedang kami disuruhnya menunggu. Ia menghilang ke tengah rerumputan. Sudah
lama juga kami menunggu dengan hati berdebar-debar karena cemas!”
Tapi Mike menggeleng.
"Pasti ada kekeliruan tadi,” katanya berkeras. "Orang itu tidak mungkin Jim.
Sepanjang hari aku bersama dia, dan baru saja aku meninggalkannya. Kalian tadi
pasti berjumpa dengan orang lain. seperti apa rupanya?”
Bob menuturkan penampilan laki-laki gempal yang memakai topi Australia yang
berpinggiran lebar.
"Ketika kami menyapanya dengan Mr. Hall, ia tidak membantah,” sambungnya.
"Ia membawa parang panjang," kata Pete. "Dan nampak bahwa ia biasa
mempergunakannya. Ia juga mengenal lingkungan sini. Ia merambah jalan lewat
rimba, langsung ke tempat ini untuk menunjukkan singa itu pada kami.”
“Bisa kumengerti bahwa kau membela pamanmu, Mike," sela Jupe, tapi-"
“Aku bukan membelanya,” potong Mike dengan marah. “Orang yang kalian
lukiskan itu Hank Morton. Ia dulu bekerja di sini selaku pelatih dan pengasuh
binatang."
Ia menatap ke arah rerumputan tinggi, sambil mendengarkan dengan saksama.
“Aku tidak mengerti, kenapa Ia tahu-tahu ada sini. Pamanku sudah memecatnya.”
"Dipecat?" tanya Jupiter. "Apa kesalahannya?"
“Salah satu alasannya, karena Ia kejam terhadap binatang," kata Mike. "Pamanku
tidak suka sikap begitu. Lalu Ia juga jahat. Gemar mencari-cari keributan. Belum
lagi kegemarannya minum-minum. Ia peminum! Kalau sudah mabuk tingkahlakunya
sulit diterka.”
“Tapi jika memang Hank Morton yang tadi membawa kami kemari, Ia
kelihatannya sama sekali tidak sedang mabuk,” kata Jupiter sambil merenung. "Ia
kelihatannya tahu persis apa yang dilakukannya.”
“Tapi kenapa?" tanya Bob. “Untuk apa ia melakukannya? Apa maunya
meninggalkan kita terdampar di sini?”
“Entah,” kata Mike Hall. “Barangkali-" Matanya tiba-tiba berkilat-kilat. “Kalian
tadi mengatakan apa-apa padanya? Maksudku, kenapa kalian datang kemari?"
Jupiter menepuk keningnya dengan sikap menyesal.
“Itu dia!” katanya. “Kami tadi bercerita padanya, kami ditugaskan Alfred
Hitchcock kemari untuk menemuinya - maksud kami, tentu saja pamanmu —
mengenai singanya yang gugup. Aku ingat lagi sekarang mula-mula ia nampak
heran.”
"Aku bisa membayangkan satu alasan," kata Pete. “Ia hendak membalas dendam
pada Jim Hall, karena memecatnya. Sedang kita tadi kebetulan saja muncul lalu
langsung saja dijadikannya alat membalas dendam,”
“Tapi kenapa kita?” tanya Bob. “kita kan tidak ada hubungan dengan pemecatan
dirinya.”
“Singa gugup itu,” kata Jupe mengingatkan. "Kasus yang akan kita tangani, serta
alasan kenapa kita datang kemari. Mungkin orang itu tidak ingin kita mengetahui
sebab singa itu menjadi gugup.”
"Mungkin itulah jawabannya,” kata Mike Hall. "Dan barangkali Hank Morton juga
yang melepaskan George. George tidak mungkin keluar sendiri.”
“Yah,” kata Jupiter memutuskan, “Nanti jika kita bertemu dengan pamanmu,
mungkin ia bisa lebih menjelaskannya. Kurasa kita kembali saja sekarang, Mike,
lalu berbicara dengan pamanmu.”
"Kurasa itu belum bisa sekarang,” kata Bob dengan suara lirih.
Jupiter menoleh ke arahnya dengan heran.
"Kenapa tidak bisa? Kau tidak setuju dengan gagasanku itu?”
“Bukari itu persoalannya.” Suara Bob pelan dan bergetar. “Itu di belakang kalian!
Seekor singa besar baru saja keluar dari tengah belukar. Mungkin itu George —
tapi kelihatannya ia sama sekali tidak ramah!"
Mike berpaling.
“Ya, itu memang George,” katanya. “Ia kenal padaku. Kalian tenang saja —
jangan melakukan gerakan mengejut. Biar aku menghadapinya.”
Ketiga remaja itu memandang dengan gelisah sementara Mike maju selangkah. Ia
mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terarah ke atas.
“Tenang, George tenang! Kau anak manis George.”
Suaranya yang menenangkan itu disambut dengan sergahan. Singa besar bersurai
tebal itu maju dengan sikap mengancam. Kepalanya merunduk, sedang matanya
yang besar dan kuning menyipit. Ia menggerakkan kepalanya ke samping, lalu
menggeram lagi. Ketika jarak yang memisahkan tidak sampai tiga meter lagi,
binatang besar itu berhenti. Mulutnya yang besar dingangakan, menampakkan
taring yang panjang menakutkan.
Kemudian singa itu maju lagi, sambil mengeram ganas.
Trio Detektif hanya bisa memandang saja tanpa daya. Mereka tidak mampu lagi
bergerak.
Tenggorokan mereka serasa tersumbat karena ngeri.
Sementara itu Mike berbicara lagi.
“Tenang, George,” katanya dengan suara lembut. “Tenanglah. Kau kan kenal
padaku, George. Tenang. Jangan gugup.”
Binatang besar berbulu kuning keemasan itu mengibaskan ekornya. Dari
kerongkongannya terdengar suara geraman berat. Ia maju selangkah lagi.
Mike menggelengkan kepala.
“Ada sesuatu yang tidak beres. George kenal padaku. Tapi sikapnya tidak ramah
seperti biasanya."
Mike melangkah mundur. Pelan-pelan.
Dan singa besar itu maju terus.
Bab 6
NYARIS CELAKA!
JUPITER serta kedua temannya tegak seperti terpaku di tanah, sementara Mike
Hall mundur setapak demi setapak, diikuti oleh singa yang maju terus. Remaja itu
masih tetap berbicara denga suara pelan dan ramah. Tapi singa itu nampaknya
tidak mempedulikannya.
Jupiter sebenarnya sama saja perasaannya seperti kedua temannya, yang ketakutan
setengah mati. Tapi otaknya masih mampu bekerja seperti biasa. Ia heran melihat
kelakuan singa itu terhadap orang yang dikenalnya. Singa itu kelihatannya tidak
mengenali Mike.
Tiba-tiba dilihatnya apa yang mungkin menjadi penyebabnya. Ia membuka mulut,
lalu berbicara dengan suara sepelan mungkin, supaya tidak menarik perhatian
singa.
"Lihat kaki depannya yang sebelah kiri, Mike." katanya. "Kakinya luka!"
Mike mamandang kaki kiri singa itu. Kaki itu berlumur darah yang sudah
mengental.
“Pantas George tidak mau menurut” kata Mike dengan suara pelan. "Keadaan klta
gawat. Binatang yang terluka, berbahaya. Aku tidak yakin apakah aku bisa
menangani.”
“Kau kan memegang senapan,” bisik Bob. "Mungkin sebaiknya kautembak saja
dia!”
“Senapan ini kaliber 22. George paling-paling akan merasa tergelitik saja
dengannya. Jangan-jangan Ia malah bertambah marah karenanya. Aku membawa
senjata ini untuk berjaga-jaga saja, Untuk melepaskan tembakan peringatan.”
Sementara itu singa maju selangkah lagi. Binatang besar itu mengernyit ketika
kakinya yang luka harus menahan berat tubuhnya. Mulutnya menyeringai.
Jupiter beserta kedua rekannya mdndur pelan-pelan, menghampiri pohon yang
mereka panjat tadi. Mike melihat gerakan mereka. Ia menggeleng.
“Jangan coba-coba lari,” katanya. “Sebelum
kalian sempat memanjat, Ia pasti akan sudah menerkam”
“Oke, Mike,” kata Jupiter. “Tapi kenapa tidak kaulepaskan tembakan peringatan?
Tidak akan larikah George karenanya?”
Mike tersenyum kecut.
"Tidak!” jawabnya. "Lihat saja, kepalanya merunduk. Itu berarti tekadnya sudah
bulat. Takkan ada yang bisa menyebabkan tekadnya itu berubah.” Mike .menggigit
bibir. “Coba pamanku ada di sini sekarang.”
Saat itu terdengar suitan melengking tinggi dari arah rerumputan tinggi. Seorang
pria jangkung dengan kulit berwarna seperti tembaga muncul dari situ.
“Doamu terkabul, Mike,” katanya dengan santai. “Sekarang jangan ada yang
bergerak, kecuali aku mengerti?"
Orang itu maju dengan langkah ringan. “Nah, George ada apa?” tanyanya dengan
ramah.
Ia berbicara dengan nada seperti mengobrol. Dan ternyata cara bicaranya itu ada
pengaruhnya. Singa yang bernama George berpaling ke arahnya. Ekornya yang
panjang dikibaskan, kemudian ia memiringkan kepala. Mulutnya ternganga, lalu
mengaum.
Laki-laki yang baru datang itu mengangguk “Oh, begitu,” katanya dengan lembut.
“Kau luka?”
Anak-anak tercengang, karena kemudian laki-laki itu menghampiri singa, lalu
memegang kepalanya yang besar.
“Mana, George coba kulihat lukamu itu." katanya.
Singa itu membuka mulutnya lagi. Tapi yang terdengar bukan auman, melainkan
suara keluhan yang kedengarannya seperti merengek. Dengan lambat singa itu
mengacungkan kakinya yang luka.
“Ah, kakimu, ya?” kata Jim Hall. “Baiklah George tenang sajalah. Aku akan
merawat lukamu itu.”
Diambilnya sapu tangan dari kantung, Ia berlutut. Dengan cekatan dibalutnya kaki
singa yang luka. Kepalanya dekat sekali ke mulut singa. Terlalu dekat, pikir Jupiter
serta kedua temannya.
Singa menunggu dengan sabar, sementara Jim Hall menyimpulkan ujung-ujung
sapu tangan yang membalut kakinya. kemudian laki-laki itu berdiri lagi. Diusapusapnya
telinga singa itu, serta diremasnya surai yang panjang. Kemudian
dipukulnya bahu binatang besar itu dengan perasaan sayang.
"Nah, George sekarang kakimu sudah seperti baru lagi."
Ia berpaling sambil tersenyum. Singa yang baru dirawatnya menggeram. Ototototnya
nampak bergetar. Tiba-tiba terjadi gerakan yang sangat cepat, sehingga
nyaris tak kelihatan. Tahu-tahu Jim Hall sudah terkapar di tanah, ditindih singa.
“Awas!” teriak Pete.
Ia beserta kedua temannya hanya bisa memandang dengan ngeri, sementara lakilaki
itu menggeliat-geliat di bawah tubuh kucing besar yang menindihnya.
Jupiter menoleh ke arah Mike Hall. Dilihatnya remaja itu menonton dengan
tenang, sambil tersenyum. Jupe bertambah bingung.
"Lakukanlah sesuatu!" serunya panik.
"Pakai senapanmu, Mike!” teriak Bob.
Tapi Mike hanya mengangkat tangannya.
"Jangan khawatir, Teman-teman. Mereka cuma bercanda. George kan dibesarkan
oleh Jim. Ia sayang pada pamanku.”
"Tapi- “ Jupiter tidak sanggup meneruskan kalimatnya, karena saat itu dilihatnya
singa terguling, didorong oleh Jim Hall. Sambil menggeram sengit binatang itu
mengayunkan kaki depannya, menerkam bahu laki-laki itu. Ia mengangakan mulut.
Taring-taringnya yang panjang dan runcing hanya beberapa senti saja jaraknya dari
muka orang itu.
Tapi Jim Hall malah tertawa!
Ia memasang kuda-kuda, menyambut serbuan singa yang menggeram-geram.
Sementara tubuhnya terdorong ke samping, Ia menumbuk rusuk binatang itu, lalu
menyentakkan ekornya yang panjang. Ketiga remaja yang baru saat itu melihat
adegan demikian hanya bisa melongo, karena singa itu langsung berbaring
telentang. Dar kerongkongannya terdengar suara aneh.
"Seperti kucing yang sedang senang!" kata Bob dengan heran.
Jim Hall duduk, lalu membersihkan debu yang menempel ke pakaiannya.
"Wah!" desahnya, seakan-akan cemas. "Kucing itu tidak tahu bahwa badannya
berat! Dulu lebih gampang, ketika ia masih kecil."
Jupiter mendesah lega. Ia memandang Mike. “Aku sudah setengah mati ketakutan
tadi. Selalukah mereka bercanda sekasar itu?”
“Aku dulu juga ketakutan, ketika pertama kali melihat mereka begitu,” kata Mike.
“Tapi sekarang sudah terbiasa. George terlatih baik, tingkah lakunya seperti anak
anjing saja, cuma badannya saja yang besar. Sekarang bisa kalian lihat, bahwa Ia
sebenarnya sangat ramah.”
Jupiter memicingkan mata.
"Tapi menurut Mr. Hitchcock -" Ia memandang laki-laki jangkung yang saat itu
sedang mengelus-elus dada George. "Mr. Hall," katanya. "Kami ini trio detektif.
Menurut Mr. Hitchcock Anda saat ini sedang mengalami kesulitan. Katanya singa
Anda gugup, karena salah satu sebab."
“Ya, itu betul, Nak,” kata Jim Hall. “Misalnya saja apa yang terjadi tadi. Selama
ini George belum pernah bersikap begitu. Ia mengenal Mike, dan seharusnya
takkan mungkin bersikap mengancam terhadapnya. Aku yang membesarkannya,
jadi dengan sendirinya ia menurut padaku. Tapi belakangan ini Ia tidak lagi bisa
diandalkan.”
“Mungkin kami nanti bisa menyelidiki penyebabnya." kata Jupiter menawarkan."
Luka pada kakinya itu, umpamanya. Menurut Anda, mungkinkah itu karena
kecelakaan?”
“Apa maksudmu?”
"Luka itu panjang, seperti disebabkan suatu alat yang panjang dan tajam,” kata
Jupiter. “Seperti parang, misalnya.”
"Memang," kata laki-laki itu sambil mengangguk. "Tapi-"
“Ketika kami tiba tadi, kami berjumpa dengan seseorang yang kami kira Anda,
Sir,” kata Jupite lagi. “Ia mengajak kami kemari. Ia membawa parang-"
"Orang itu Hank Morton,” kata Mike menyela. "Mestinya dia, menurut penuturan
Jupiter tentang tampangnya. Dan mestinya ialah yang melepaskan George.”
Jim Hal mengatupkan gerahamnya.
“Hank Morton kemari? Ketika kupecat, sudah kukatakan jangan datang lagi ke
sini.” Jim Hall memandang singanya. “Pasti George dikeluarkan oleh seseorang.
Orang itu mungkin saja Hank. Kaukatakan ia yang membawa kalian kemari?’
“Ya,” kata Bob menyela. “Kemudian kami ditinggalkan, sedang Ia sendiri
menyusup ke tengah rerumputan tinggi, setelah mengatakan bahwa kami harus
menunggu.”
“Jika Ia biasa mengurus singa Anda, barangkali Ia bisa cukup dekat
menghampirinya, lalu melukainya dengan parang, sehingga singa ini menjadi
bingung karena kesakitan, dan karenanya hendak menyerang kami,” kata Pete.
“Jika betul-betul dia yang melakukannya,” kata Jim Hall dengan sengit, “maka itu
merupakan kejailannya yang terakhir. Karena jika bukan aku yang membalas
perbuatannya, pasti George!”
Ditariknya telinga singanya dengan sayang.
“Yuk, kita ke Doc Dawson untuk memeriksakan lukamu itu."
Mike melihat pandangan Jupe, yang seolah-olah bertanya.
“Doc Dawson itu dokter hewan kami. Ia yang menangani urusan kesehatan
George, serta binatang-binatang kami yang lain,” kata Mike menjelaskan.
Jim Hall membimbing singanya pergi, merintis rimba.
“Yuk,” katanya mengajak Trio Detektif. “Nanti kalau sudah kembali di rumah,
akan kuceritakan selengkapnya, apa yang selama ini terjadi di sini. Menurut Alfred
Hitchcock, kalian cukup trampil dalam mengusut misteri. Mungkin kalian akan
bisa mengetahui, apa sebetulnya yang tidak beres. Satu hal sudah jelas saat ini di
sini sedang terjadi sesuatu, yang tidak kuketahui?"
Bab 7
MASALAH DENGAN GEORGE
“KITA sudah sampai.”
Jim Hall berhenti dekat sebuah mobil pengangkut kecil yang diparkir di sebuah
jalan kecil. Ia membuka dinding belakang kendaraan itu. George disuruhnya
masuk. Setelah itu dinding belakang ditutupnya lagi, lalu digerendel.
"Yuk," kata Mike pada Jupe serta kedua rekannya, “kita duduk di depan dengan
Jim.”
Pemilik ‘Jungle Land’ duduk di belakang kemudi, lalu menghidupkan mesin
kendaraan itu. Sementara orang itu mengundurkan mobil lalu memutarnya, Jupiter
mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Bagaimana George sampai bisa keluar, Mr. Hall?” tanyanya. “Ia biasanya
ditempatkan di mana? Dalam kandangnya sendiri?"
Jim Hall menggeleng.
“Ia tinggal dalam rumah bersama aku dan Mike. Aku tidak tahu bagaimana Ia
sampai bisa keluar kecuali jika Hank Morton melihat aku pergi! Kalau begitu,
mungkin dia yang mengeluarkan. George sudah terbiasa pada Hank, jadi itu takkan
merupakan masalah. Lalu begitu George sudah keluar, bisa saja Ia berkeliaran ke
mana-mana. Itulah yang menyebabkan aku gelisah,” tambah orang itu, dengan
bibir menipis.
Ia mengemudikan kendaraan pengangkut itu menelusuri jalan berkelok-kelok,
mendaki sebuah bukit, lalu membelokkannya memasuki jalan kerikil yang menuju
ke sebuah rumah papan yang besar dan dicat putih.
“Kita sudah sampai,” katanya. “Mike! Coba kau - lari sebentar ke dalam dan
panggilkan Doc Dawson, ya.”
Jupiter memandang berkeliling dengan heran, sementara Mike meloncat turun dari
kendaraan.
“Di sinikah Anda tinggal'” tanya Jupe. “kami sangka bangunan yang kami datangi
tadi."
“Itu cuma untuk atraksi saja,” kata Jim Hall sambil tersenyum. “Para wisatawan
datang ke Jungle Land dengan bermacam-macam tujuan. Tempat ini merupakan
semacam kebun binatang serta peternakan. Tapi kami juga menyajikan suasana
kehidupan gembala sapi untuk mereka. Kadang-kadang bangsal tempat tidur itu
dipakai untuk membuat film. Saat ini di sini sedang ada pembuatan film. Film
rimba.”
“Begitulah cerita Mr. Hitchcock pada kami,” kata Jupiter. “Dari penuturannya
kami memperoleh kesimpulan bahwa masalah yang sedang Anda hadapi saat ini
ialah bahwa singa Anda tidak bisa diandalkan akan tetap jinak, padahal di sini
sedang berlangsung pembuatan film.
“Betul,” kata Jim Hall. “kebetulan George juga dikontrak untuk film itu. Jika Ia
sampai lupa bahwa Ia sebenarnya sudah jinak, lalu tidak mau mematuhi
komandoku, ada kemungkinan Jay Eastland akan kehilangan pria pemeran utama
yang penting."
“Jay Eastland? Siapa itu?" tanya Bob.
“Aku rasanya seperti sudah pernah mendengar nama itu," kata Pete." Ayahku ahli
efek khusus, dan bekerja untuk berbagai perusahaan film. Aku yakin pernah
mendengarnya menyebut nama Jay Eastland.”
“Eastland itu produser film merangkap sutradara yang sangat penting,” kata Jim
Hall. “Setidak-tidaknya, begitulah anggapannya sendiri.”
Ia pergi ke belakang untuk membuka dinding belakang kendaraan. Sementara itu
Mike sudah keluar lagi dari dalam rumah. Ia bersiul sambil menuding ke arah
gumpalan debu yang bergerak mendekat.
“Ada kesulitan, Paman Jim,” serunya.
Jim Hall menoleh. Keningnya berkerut.
“Kata kesulitan itu tepat! Ini dia - Mr. Eastland!”
Ketika kepulan debu sudah mengendap nampaklah sebuah mobil jenis station
wagon. Beberapa detik kemudian mobil itu menepi, lalu berhenti. Seorang laki-laki
bertubuh buntak dan berkapala botak meloncat dari jok belakang. Ia datang
menghampiri dengan langkah tersentak-sentak. Mukanya merah padam.
Kelihatannya marah.
“Hall!” teriaknya. “Kuingatkan kau pada persyaratan kontrak kita!”
Jim Hall memandang pada sutradara pendek yang bersimbah keringat itu. “Aku
tidak mengerti, Eastland. Ada apa?”
Eastland mengacungkan tinjunya yang terkepal ke arah Jim Hall.
“Dalam kontrak itu tertulis bahwa orang-orangku tidak boleh sampai terancam
bahaya, begitu pula diriku sendiri. Ingat? Nah coba kaujelaskan sekarang, kenapa
hal itu sampai bisa terjadi?!”
AIls Jim Hall terangkat.
“Persyaratan dalam kontrak itu tetap berlaku,” katanya dengan dingin. “Lalu apa
yang terjadi?”
“Rock Randall terluka,” teriak Eastland. “Seekor dari binatang-binatangmu lepas,
lalu menyerangnya! ltulah yang terjadi!”
“Itu tidak mungkin!” kata Hall dengan mantap.
Orang yang marah-marah itu menuding singa besar yang ada di bak belakang
mobil pengangkut dengan sikap menuduh.
“Itu buktinya! Singa kesayanganmu! Aku kebetulan tahu bahwa Ia terlepas satu
jam yang lalu dan berkeliaran ke mana-mana. Kau mau memungkirinya?"
"Itu memang benar, Eastland .George memang terlepas beberapa saat yang lalu.
Tapi itu belum merupakan bukti bahwa Ia menyerang Randall. Kalau itu, aku tak
percaya!"
“Kau harus percaya jika sudah melihat Randall,” kata Eastland sambil mencibir.
“Parahkah lukanya?" tanya Jim Hall dengan
cepat.
"Orang yang diserang singa yang sedang marah, tidak bisa dibilang segar-bugar,”
kata sutradara itu sambil mengangkat bahu.
“Nanti dulu!” Bibir Jim Hall menipis. “Kita masih tetap belum dapat memastikan,
bahwa itu perbuatan George."
“Siapa lagi, kalau bukan dia? Tunggu saja sampai kau melihat -"
“Itulah yang akan kulakukan sekarang,” tukas Jim Hall. “Begitu George sudah
kukurung dalam rumah.”
Këtika Ia sedang menurunkan dinding belakang kendaraan pengangkutnya,
terdengar bunyi tuter mobil. Sebuah truk kecil yang sudah tua muncul dari balik
tikungan. Jalannya terguncang-guncang.
“Itu Doc Dawson,” bisik Mike Hall pada anak-anak.
Pengemudi truk itu menghentikan kendaraannya dengan tiba-tiba, lalu meloncat
turun. Orang itu kurus jangkung. Sebatang cerutu yang tidak menyala mencuat dari
bawah kumisnya yang penuh uban. Pria itu bergegas-gegas menghampiri dengan
langkah panjang-panjang. Ia menjinjing tas dokter yang terbuat dari kulit berwarna
hitam.
Ia berhenti ketika melihat singa yang masih ada dalam kendaraan pengangkut.
Tanpa mempedulikan Eastland, disapanya Jim Hall. Suaranya kasar dan tegar.
“Dengan segera aku tadi berangkat, Jim, setelah ditelepon oleh Mike. Katanya
George luka!”
"Ya, kaki depannya yang sebelah kiri, Doc,” kata Jim. “Ada orang melepaskannya
ketika aku serta Mike sedang tidak ada di rumah. Kami menangkapnya kembali di
sebelah utara bangsal tempat tidur.”
“Kelihatannya Ia dilukai dengan pisau atau parang, Doc,” kata Mike Hall
menambahkan.
Dokter hewan berpenampilan kaku itu menoleh ke arab Mike, sambil mengerutkan
kening.
“Siapakah orang yang tega berbuat begitu terhadap George? Coba kuperiksa
sebentar. Coba kaupegang dia sebentar, Jim!”
Dokter hewan itu membuka sapu tangan pembalut luka, lalu mengangkat kaki
George. Singa itu mengerang pelan.
“Ayolah, George,” kata Doc Dawson, “Aku takkan menyakiti dirimu. Kan aku
yang merawatmu sejak kau masih bayi.”
Kaki singa dilepaskan lagi setelah diperiksa sekilas.
“Lukanya tidak dalam, tapi cukup serius, Jim,” katanya. “kurasa lebih baik Ia
kubawa ke klinikku untuk kuperiksa dengan lebih teliti. Jangan sampai kakinya itu
kena infeksi."
“Baik,” kata Jim Hall. “Kau harus ikut dengan Doc Dawson, George,” katanya
pada singa itu, sambil membimbingnya menuruni dinding bak yang terletak miring
sampai ke tanah.
Ketika dokter hewan melangkah menuju truknya, tahu-tahu sutradara film yang
tadi marah-marah maju merintangi.
“Ada apa ini?” teriak sutradara itu. “Mau Anda kemanakan singa itu? Kami
mengontraknya untuk ikut tampil dalam film kami. Besok pagi pukul delapan
tepat, Ia akan sudah mulai bekerja.”
Doc Dawson berhenti. Ia menyalakan puntung cerutunya, lalu mengepulkan
asapnya ke muka Eastland.
“Singa ini akan sudah bisa mulai bekerja jika aku mengatakan begitu. Kakinya bisa
saja sudah sembuh besok pagi tapi mungkin pula tidak. Tugasku menjaga
kesehatan George. Aku tidak peduli pada urusan film brengsekmu. Sekarang
menepilah kalau tidak ingin kutabrak!”
Jupe serta yang lain-lainnya memperhatikan kejadian itu sambil membisu.
Menghadapi kesengitan suara dokter hewan, air muka Eastland memucat. Ia buruburu
mundur. Dawson membuka pintu belakang truknya. Jim Hall membimbing
George menghampiri kendaraan itu. Ia menepuk-nepuk punggung binatang besar
itu, lalu mengangkat tangannya.
“Naiklah, George!”
Singa itu mematuhi komandonya. Ia meloncat ke atas truk. Doc Dawson berangkat
setelah Jim Hall menutupkan pintu belakang untuknya. George merapatkan
badannya ke sisi truk yang berpagar kawat. Binatang itu nampak sedih. Ia
mengerang pelan.
Kini Eastland maju lagi.
“Kuperingatkan saja sekarang, Hall - singa itu harus sudah slap besok pagi,”
katanya mengancam. “Sekarang kau mau atau tidak melihat apa yang diperbuatnya
terhadap Rock Randall?”
Tanpa mengatakan apa-apa, Jim Hall mengikuti sutradara film itu ke mobilnya. Ia
melambai ke arah Mike, sementara pengemudi mobil itu memutar kendaraannya.
Ia berseru ketika melihat Jupe memandang ke arahnya, “Maaf ya — nanti kita
bicara lagi."
Jupiter memandang sambil merenung sampai station wagon itu sudah menghilang
dalam rimba.
“Gawat juga kejadian itu —jika memang betul,” katanya.
“Apa yang kalau betul?” tukas Mike Hall. “Cerita pamanku, atau Mr. Eastland?”
Jupiter mengangkat bahu.
"Aku bukan bermaksud meragukan ucapan pamanmu, Mike. Tapi harus kauakui,
Ia nampak risau."
“Maaf, Jupe,” kata Mike. Suaranya lemas. “Bukan maksudku marah-marah
padamu. Tapi semua yang mengenal pamanku, juga mengenal diriku. Aku yah, aku
dipelihara olehnya sejak orang tuaku meninggal dunia dalam kecelakaan di jalan
raya. Ia saudara ayahku, dan satu-satunya keluargaku sekarang di samping Cal.”
“Cal?” tanya Bob.
“Siapa itu?” desak Pete.
"Nama lengkapnya Cal Hall. Ia pamanku juga. Ia pemburu binatang besar dan
penjelajah di Afrika,” kata Mike menjelaskan. “Ia yang mengirimkan binatangbinatang
pada Jim untuk ‘Jungle Land’. Jika binatang yang dikirimkan itu masih
cukup kecil seperti George dulu Jim bisa dengan mudah melatihnya sehingga
menjadi jinak dan ramah. Sedang binatang-binatang selebihnya ditaruh di sini
untuk dipertunjukkan pada umum, dengan harapan kapan-kapan akan bisa melatih
mereka pula. Tapi melatih binatang liar yang sudah dewasa jauh lebih sulit.”
“Apa sebabnya Jay Eastland tadi begitu sengit sikapnya?” tanya Pete. “Bencikah
dia pada pamanmu?”
"Sepanjang pengetahuanku, tidak," jawab Mike. “Ia rupanya risau, memikirkan
apakah film yang dibuatnya bisa selesai menurut jadwal. Lalu sebelum Ia
menyewa ‘Jungle Land’, Ia menghendaki tambahan dalam kontrak mengenai
keselamatan bekerja di sini mengingat binatang-binatang liar yang ada di sini. Jim
menyatakan bahwa keselamatan pasti terjamin.”
“Apakah yang terjadi jika pamanmu ternyata keliru dan terjadi kecelakaan di sini?”
tanya Bob.
“Jim akan mengalami kerugian besar. Sebagai jaminan keselamatan, ia
menyediakan uang sebanyak lima puluh ribu dollar. Sang jaminan itu tidak ada
padanya. Ia harus meminjam dan bank, dengan ‘Jungle Land’ sebagai jaminan.
Dengan begitu jika ada kecelakaan di sini selama pembuatan film, Ia akan
kehilangan segala-galanya. Selama ini Ia sudah menderita kerugian, karena para
wisatawan dilarang masuk sampai pembuatan film selesai, karena dikhawatirkan
bahwa mereka akan mengganggu kelancaran pengambilan adegan-adegan."
Jupiter mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tapi di pihak lain, katanya, kurasa pamanmu tentunya akan mendapat keuntungan
yang cukup besar jika pembuatan film selesai dalam waktu yang sesuai dengan
jadwal — tanpa terjadi kecelakaan. Betulkah itu?”
“Ya, betul,” kata Mike. “Aku tidak tahu jumlahnya yang tepat, tapi perhitungannya
sekian untuk satu hari pembuatan film. Sedang George dibayar lima ratus dollar
untuk ketampilannya. Binatang liar yang sudah terlatih dibayar tinggi sama saja
seperti bintang film.”
“Pernahkah George selama ini menyebabkan terjadinya kecelakaan?" tanya Jupe.
“Pernahkah Ia menyerang orang?”
“Tidak,” jawab Mike, “Belum pernah! George sangat ramah dan terlatih baik”
Mike menggigit bibir. “Setidak-tidaknya, sampai belakangan ini. Akhir-akhir ini
kelakuannya aneh.”
Bob, yang mengelola bagian catatan dan riset, sibuk menulis dalam buku
catatannya.
“Tentang itu kami belum mendapat keterangan,” katanya. “Kelakuan aneh itu
bagaimana? Apakah yang dilakukan George sekarang? Maksudku, yang dulu tidak
pernah dilakukan olehnya? Mungkin itu bisa kami jadikan petunjuk, Mike —
tentang apa yang menyebabkan Ia menjadI gugup.”
“Yah pokoknya, Ia tidak seperti biasa. Sikapnya tegang. Ia tinggal dalam rumah
bersama kami, tapi belakangan ini Ia sulit tidur. Hampir setiap malam Ia
terbangun, lalu berjalan mondar-mandir sambil menggeram-geram. Berusaha
hendak keluar! Jim tidak bisa menyuruhnya tidur kembali. Dan Ia tidak lagi
mematuhi perintah seperti dulu. Ia sekarang agak sulit ditangani. Kurasa Ia sudah
bukan binatang yang ramah dan terlatih baik seperti sebelumnya.”
“Rupanya ada sesuatu di luar yang membuatnya gelisah,” kata Jupe. “Adakah
binatang yang dibiarkan berkeliaran malam-malam di sini?”
Mike menggeleng.
“Kijang-kijang kami pelihara dalam kandang terbuka, tapi mereka tidak bisa keluar
dari situ. Lalu ada pula kuda-kuda, yang dipakai dalam pembuatan film-film
cowboy. Tapi mereka juga ditaruh dalam kandang terbuka yang berpagar kokoh.
Dekat danau ada dua ekor gajah. Tapi mereka pun tidak bisa meninggalkan
kandang mereka. Pokoknya, semua binatang yang ada di sini monyet, burung,
anjing, ayam, dan masih banyak lagi yang lain semuanya kalau malam dimasukkan
ke dalam kandang dan dihitung jumlahnya. Kalau ada yang lepas, pasti akan kami
ketahui.”
“Walau begitu,” kata Jupiter, “ada sesuatu
atau seseorang yang menyebabkan George gelisah."
“Dan mungkin cukup gelisah, sehingga menyerang Rock Randall,” kata Pete.
“Tapi mungkin itu karena kesalahan pemain film itu sendiri. Pernah kudengar
cerita, bahwa perangainya buruk.”
“Kecuali itu, Ia juga goblok sekali kalau sampai bisa diserang oleh George," kata
Bob. "Ketika kami tahu-tahu berhadap-hadapan dengannya, George tidak
menampakkan kesan ramah dan jinak. Mungkin itu disebabkan karena kakinya
yang Juka. Tapi mungkin juga bukan itu penyebabnya."
“Saat ini kita belum bisa memastikan apa-apa,” kata Jupe. “kita belum bisa
mengatakan bahwa kecelakaan Randall disebabkan oleh George, selama Jim belum
kembali dan bercerita apa sebenarnya yang terjadi tadi. Mungkin penyebabnya
kecelakaan lain. Kecelakaan yang tidak satu pun dari binatang-binatang yang ada
di sini."
Tiba-tiba Mike menepukkan tangannya. “Gorila itu!” serunya kemudian.
“Gorila? Gorila yang mana?” tanya Pete.
“Di sini juga ada gorila?” kata Bob.
“Saat ini belum, tapi kami akan mendapat seekor. Sebagian dari kiriman baru
pamanku, Cal. Mungkin juga saat ini sudah tiba, tapi kemudian terlepas lalu
menyerang Rock Randall!”
Jupiter mengangkat tangannya.
“Katakanlah binatang itu sudah tiba di sini,” katanya. “Tapi bagaimana mungkin Ia
bisa terlepas? Apakah tidak diangkut dalam kurungan yang terkunci?”
Mike mengangguk.
“Kau benar,” katanya. “Aku kini juga sudah mulai segugup George. Jim tidak
mengatakan apa-apa tentang kedatangan gorila, dan kalau kiriman itu sudah
datang, Ia pasti tahu. Kecuali itu, jika saat ini sudah tiba di sini, Ia takkan bisa
lepas dari kandang, kecuali kecuali -"
“Kecuali apa, Mike?” tanya Bob.
Remaja yang ditanyai membasahi bibirnya.
“Kecuali ada seseorang yang tidak suka pada Jim membuka kandang itu,
membiarkan gorila terlepas!”
Bab 8
PEMBELI YANG KETUS
HARI masih siang ketika Trio Detektif sudah berada dalam perjalanan pulang ke
Jones Salvage Yard bersama Konrad. Mereka sudah terpaksa pergi, padahal Jim
Hall belum kembali. Ketika meninggalkan Mike, mereka berjanji selekas mungkin
akan datang lagi.
Ketika ketiga remaja itu sampai di gerbang luar dari ‘Jungle Land’, ternyata
Konrad sudah menunggu di situ. Pemuda Jerman itu nampak lega ketika melihat
Jupe serta kedua rekannya.
“Kalian kelihatannya sehat-sehat saja,” katanya. “Rupanya kalian tidak apa-apa
dengan singa yang ada di dalam.”
“Singa itu suaranya lebih galak daripada wataknya, Konrad,” kata Jupe. “Kita lihat
saja apa yang terjadi lain kali.”
Pemuda Jerman berbadan kekar itu menggelengkan kepala dengan sikap ragu.
“Kalian hendak datang lagi kemari? Jangan terlalu nekat, Jupe!”
“Kurasa itu bukan perbuatan nekat, Konrad,” kata Jupiter sambil tersenyum.
"Setidak-tidaknya, begitulah harapanku. Pokoknya, kami sekarang terlibat dalam
suatu kasus yang misterius! Kami harus selalu kembali lagi kemari, sampai urusan
itu sudah kami selesaikan sampai tuntas.”
Konrad hanya bisa menggelengkan kepalanya sekali lagi. Selama perjalanan
pulang Ia diam saja. Hanya wajahhya saja yang tampak cemas.
Ketiga remaja yang ikut dengannya melanjutkan perembukan mereka.
“Saat ini setidak-tidaknya ada seorang yang bisa kita curigai,” kata Bob. "Hank
Morton! Ia mempunyal alasan untuk melepaskan George yaitu sebagai pembalasan
dendam atas pemecatan terhadap dirinya. Aku sebenarnya juga cenderung
mencurigai Jay Eastland. Tapi kalau dia, apa alasannya? Aku tidak melihat
keuntungan baginya, jika pembuatan filmnya sampai mengalaml kelambatan.
Mereka biasanya selalu berusaha menyelesaikan pembuatan film pada waktunya.
Ya kan, Pete?”
“Memang,” kata Pete membenarkan. “Itu sudah sering kudengar dari ayahku.
Anggaran yang tersedia dalam pembuatan film selalu dibatasi, dan jadwal
pembuatannya biasanya juga ketat sekali. Apalagi jika sedang merekam di lokasi,
seperti yang saat ini sedang dilakukan Mr. Eastland di ‘Jungle Land’. Bagaimana
pendapatmu, Jupe?”
“Saat ini aku belum bisa mempunyai pendapat yang jelas,” kata remaja bertubuh
gempal itu lambat-lambat. “Mungkin saja peristiwa itu merupakan pembalasan
dendam oleh Hank Morton. Atau bisa juga ada hubungannya dengan tindakan Jim
Hall mempertaruhkan seluruh usahanya sebagai jaminan bahwa binatang-binatang
peliharaannya tetap tenang selama film sedang dibuat di tempatnya. Jika ada
sèsuatu yang tidak beres, risiko yang dipikulnya berat sekali. Menurutku, bahkan
terlalu berat!”
“Pokoknya, bukan untuk itu kita ke sana tadi,” kata Pete. “Jangan lupa, urusan kita
ialah singa yang gugup. Dan segala-galanya yang dibicarakan tadi, semuanya tidak
ada hubungannya dengan soal itu. Kita masih tetap belum tahu, apa sebenarnya
yang menyebabkan George gugup.”
“Itu memang benar,” kata Jupiter mengakui. “Sepanjang yang kita ketahui,
keluarnya singa itu dari dalam rumah lalu pula peristiwa lukanya, kedua-duanya
bisa saja terjadi secara kebetulan. Ia bisa saja keluar dengan jalan meloncat lewat
jendela yang terbuka. Atau mungkin juga ada pintu yang terbuka ditiup angin.
Sedang kakinya bisa saja luka karena bermacam-macam sebab. Kegugupannya
merupakan urusan lain."
"Mungkin yang mereka perlukan bukan dokter hewan, melainkan ahli jiwa
binatang yang benar-benar ahli,” kata Bob.
Pembicaraan mereka terputus, karena saat itu Konrad membunyikan tuter, sebagai
tanda bahwa mereka sudah tiba kembali di pangkalan barang bekas yang dikelola
Paman Titus dan Bibi Mathilda.
Jupiter kaget ketika menyadari bahwa mereka sudah kembali di Jones Salvage
Yard.
“Terima kasih, Konrad,” katanya. “Cepat juga kita sudah sampai.”
“Besok aku akan lewat di tempat tadi lagi dalam perjalanan untuk mengambil
barang-barang yang dibeli pamanmu,” kata Konrad. “Mungkin kalian masih punya
urusan dengan singa itu.”
“Terima kasih, Konrad,” kata Jupe lagi. "Nantilah akan kami katakan, jika kami
hendak ke sana lagi.”
Ketiga remaja itu berlompatan turun, sementara Konrad membawa truk sampai ke
ujung belakang pangkalan. Jupe berjalan menuju jalan masuk ke markas. Tapi tibatiba
Ia tertegun. Wajahnya menampakkan perasaan heran.
“Wah, sudah tidak ada lagi!” serunya.
“Apa yang tidak ada lagi?” tanya Pete.
“Batang-batang besi itu!” kata Jupe. “Batang-batang besi yang kita turunkan dari
truk kemarin pagi, sekarang semuanya sudah tidak ada lagi! Rupanya Paman Titus
berhasil menjualnya lagi dengan cepat!”
Bob menggaruk-garuk kepalanya. Ia merasa heran.
“Siapa sih yang mau membeli batang-batang besi berkarat satu truk penuh?”
“Entah," kata Jupiter sambil mengangkat bahu. “Tapi memang begitulah pamanku,
selalu bernasib baik.”
Tiba-tiba Bob mengerang, sementara pandangannya terarah ke belakang Jupiter.
“Aduh, bibimu datang, Jupe! Dari sinar matanya bisa kuketahui bahwa kita harus
bekerja lagi!”
Jupiter berpaling, menghadap bibinya.
“Anda mencari kami, Bibi Mathilda?”
“Betul,” jawab bibinya. “Ke mana saja kalian? Tadi ada orang datang. Ia
memborong segala batang besi yang kemarin. Tapi tidak seorang pun ada di sini
untuk membantu memuat batang-batang itu.”
Jupiter menjelaskan, bahwa mereka diizinkan oleh Paman Titus ikut dengan
Konrad ke Chatwick.
"Apa Hans tadi tidak ada?” tanyanya.
"Ya, ia tidak ada," jawab bibinya. "Sudah pergi lagi bersama pamanmu untuk
mengambil sejumlah batang besi semacam itu lagi. Rupanya pamanmu
menemukan tempat barang-barang itu dijual dengan harga murah."
Jupiter tersenyum.
“Baiklah, Bibi Mathilda,” katanya. “Lain kali akan kami usahakan agar kami ada
di sini jika pembeli tadi datang lagi untuk membeli barang-barang yang sama.”
“Aku takkan heran jika itu terjadi,” kata bibinya. “Jadi usahakan agar kalian ada di
sini besok” Sambil berpaling, Ia menambahkan, “0 ya, aku sudah menyiapkan
setumpuk roti sandwich untuk kalian. Kutaruh dalam kantor. Kalian tentunya
sudah lapar.”
Melihat anak-anak bergerak ke arah kantor dengan perasaan gembira, ia
menambahkan lagi, "Dan kalau sudah selesai makan nanti, tolong jaga kantor,
Jupiter! Aku hendak ke kota, karena harus berbelanja. Pamanmu sebentar lagi
mestinya sudah kembali.”
“Baiklah, Bibi Mathilda,” kata Jupiter.
“Konrad yang akan mengantarkan aku dengan truk yang kecil,” kata’ Bibi
Mathilda. “Jadi jangan pergi-pergi lagi! Layani semua pembeli, Jupiter!”
“Balk, Bibi Mathilda. Anda tidak usah khawatir.” Mrs. Jones mengangguk, lalu
melangkah pergi. Ketiga remaja itu masuk ke ruang kantor. Di situ ada setumpuk
roti yang dibungkus dengan kertas minyak, serta beberapa botol limun jahe dan
jeruk.
“Sayang kita harus bekerja besok, Jupe,” kata Pete, sambil memakan roti dengan
lahap. “Padahal aku sudah siap untuk kembali ke ‘Jungle Land’ untuk diantar Mike
melihat-lihat di sana.”
“Saat itu kita akan bisa mengetahui, apa sebenarnya yang terjadi dengan Rock
Randall," kata Bob. “Jika ternyata memang karena George, Jim Hall akan
terjerumus dalam kesulitan besar.”
Jupiter nampak berwajah murung.
“Masih banyak yang perlu kita lakukan di ‘Jungle Land’. Saat ini kita belum
mengenal keadaan di situ. Dan terlalu banyak kemungkinan peristiwa yang bisa
terjadi malam-malam. Mike mengatakan, saat itu George belakangan ini selalu
menjadi gelisah. Jadi itu perlu kita selidiki.” keningnya berkerut. “Binatang
biasanya gelisah apabila akan ada badai. Tapi Mike tidak mengatakan apa-apa
tentang perubahan cuaca. Sepanjang yang bisa kuingat, cuaca selama bulan
terakhir ini selalu cerah. Jadi jika bukan karena sebab itu, lalu apa atau siapa yang
menyebabkan singa itu gugup? Itu masih merupakan misteri bagi kita.”
“Apa sebabnya Hank Morton bersikap seakan-akan dia itu Jim Hall, lalu membawa
kita ke tempat di mana George berada?” tanya Bob. “Menurutku, itu juga
merupakan misteri. Kenapa Ia bertindak begitu terhadap kita?"
“Aku tidak tahu,” kata Jupe. “Tapi masih ada satu hal lagi yang juga aneh. Kalian
perhatikan tidak, bahwa sebelum berjumpa dengan kita, George sudah mengaum
marah. Mungkin saja bukan Hank Morton yang melukai kakinya. "
"Tidak,” katanya sambil menggeleng-geleng, “kurasa, lain kali kalau kita ke sana
lagi, kita harus membuka mata dan telinga lebar-lebar. Kita perlu tahu lebih
banyak lagi daripada yang sudah kita
ketahui saat ini.”
Saat itu Pete kebetulan memandang ke arah jendela. Ia melihat gerakan di luar.
"Eh, Jupe — kurasa di luar ada orang datang. Mungkin hendak membeli sesuatu.
Bukankah bibimu tadi mengatakan, jangan sampai ada pembeli yang
kaulewatkan?”
Sebuah mobil penumpang berwarna gelap memasuki pangkalan. Seorang laki-laki
berambut pirang turun dan dalamnya, lalu melihat-lihat segala barang bekas yang
teratur rapi di situ. Ia berjalan dengan cepat, sambit mengangkat berbagai barang
yang tenletak di sebelah atas untuk melihat apa yang ada di bawah. Ia nampaknya
tidak puas. Sambil membersihkan debu dan tangannya, Ia berpaling lalu menuju ke
pintu kantor.
Jupe menunggu di ambang pintu. Bob dan Pete ada di belakangnya, siap untuk
membantu.
Laki-laki yang datang itu bertubuh kurus, tapi berbahu bidang. Ia mengenakan
setelan rapi dengan dasi. kupu-kupu. Matanya berwarna biru pucat, sedang behtuk
mukanya aneh, bertulang pipi menonjol, lalu lancip ke bawah. Bentuknya mirip
kapak yang matanya terarah ke bawah.
“Aku mencari sejumlah batang besi,” katanya. Suaranya tandas, seperti orang yang
biasa memerintah. Ditatapnya Jupiter dengan pandangan menyelidik “Mana
pemilik pangkalan ini?"
"Ia sedang keluar, Sir," kata Jupiter. "Tapi saya bekerja di sini. Sayang, saat ini tak
ada lagi persediaan batang-batang besi. Baru saja seluruh persediaan kami
diborong orang."
“Apa? Kapan itu terjadi siapa yang membelinya?"
“Saya rasa tadi. Siapa pembelinya, saya tidak tahu."
“Kenapa tidak tahu?” desak orang itu. “Tidakkah kalian memiliki catatan tentang
penjualan?”
“Yang ada cuma tentang uang yang masuk,” kata Jupiter. “Pembeli batang-batang
besi situ memuat dan mengangkut semuanya sendiri. Jadi pada kami tidak ada
catatan, ke mana barang itu dibawa. Dalam usaha jual-beli barang bekas seperti di
pangkalan ini, orang-orang biasanya datang, membeli apa yang mereka inginkan,
lalu mereka sendiri yang membawa barang yang dibeli itu pulang."
“Begitu,” kata orang itu. Ia memandang berkeliling. Nampak bahwa ía merasa
kecewa.
“Pemilik pangkalan ini, paman saya Titus, saat ini sedang keluar,” kata Jupiter.
“Mungkin ia nanti kembali membawa batang-batang besi lagi. Jika Anda
tinggalkan nama serta alamat Anda, Ia nanti bisa menghubungi Anda.”
“Boleh juga gagasanmu itu,” kata orang tadi, sementara matanya masih tetap
berkeliaran, memandang tumpukan barang bekas di pangkalan itu. “Tapi sepanjang
pengetahuanmu, saat ini di sini tidak ada satu batang besi pun lagi? Baik kecil,
maupun besar?”
“Betul, Sir,” kata Jupiter. “Sayang! Tapi jika Anda bersedia mengatakan untuk apa
Anda memerlukannya, mungkin saya bisa mencarikan sesuatu di sini, yang bisa
dipakai sebagai pengganti.”
Tapi orang itu menggeleng.
“Aku tidak berminat pada barang lain.” Tiba-tiba ia menuding, sambil
menyambung dengan suara keras, bernada menang, “Apa itu yang ada di sana?
Apa sebetulnya maumu, hah? Kenapa bersikap sok rahasia?”
Jupiter menoleh ke arah yang dituding laki-laki itu.
“Itu kandang-kandang binatang, Sir,” katanya.
“Aku juga tahu,” kata laki-laki itu dengan sengit.
“Tapi kandang-kandang itu ada jerujinya, kan?”
"Ada yang berjeruji, dan ada pula yang tidak," kata Jupiter sambil mengangkat
bahu. “Kandang-kandang itu harus kami perbaiki dulu. Jeruji-jeruji yang hilang
diganti dengan yang baru, lalu bagian atas dan dasarnya dibetulkan serta dicat lagi,
dan—
“Ah, sudahlah!” tukas orang tidak sabaran. “Aku cuma ingin membeli batangbatang
besinya saja. Aku memerlukan sebanyak yang bisa kuperoleh.
" Berapa?”
Ia mengeluarkan sebuah dompet tebal, lalu mulai menghitung-hitung setumpuk
uang kertas.
Jupiter terkejap melihatnya.
“Anda menginginkan batang-batangnya? Bukan kandang-kandang itu?”
“Betul, Anak pintar! Berapa?"
Kening Jupiter berkerut. Ia ingat, bahwa pamannya berniat hendak memperbaiki
kandang-kandang itu, lalu kemudian ditawarkan pada sirkus. Dan Jupiter tidak
pernah bertanya-tanya tentang niat pamannya, begitu pula mengenai alasannya.
“Maaf,” jawabnya kemudian, “batang-batang besi dari kandang-kandang itu tidak
dijual. Kami memerlukannya untuk melengkapkan kandang-kandang itu kembali,
supaya nanti bisa dijual pada sirkus."
Orang itu meringis.
“Oke,” katanya, “itu malah kebetulan. Memang itulah yang kucari kandangkandang
sirkus. Aku mau membelinya dalam keadaan seperti sekarang, karena
nanti bisa kubetulkan sendini. Berapa?”
Sekali lagi Ia mulai mengipaskan tumpukan uangnya dengan sikap tidak sabar.
“Anda ini orang sirkus?" tanya Jupiter.
“Apa urusanmu, apakah aku ini orang sirkus atau bukan?” bentak orang itu. “Aku
memerlukan kandang-kandang sirkus, dan kau memilikinya. Berapa? Ayo cepat
waktuku tidak banyak!”
Jupiter memandang ke arah kandang-kandang yang diminati sambil mereka-reka.
Kandang-kandang itu ada empat buah, dan semuanya dalam keadaan sangat rusak.
“Yah, begitulah seribu dollar,” kata Jupiter dengan lagak tak acuh.
Tangan orang itu langsung mencengkeram dompetnya.
“Seribu dollar, untuk barang-barang brengsek begitu? Jangan main-main! Coba
kaulihat sendiri sudah hampir berantakan semuanya!” Jupiter mendengar Bob dan
Pete di belakangnya mendeham-deham dengan gugup. Ia memandang lagi ke arah
kandang-kandang, lalu menatap laki-laki itu.
“Seribu dollar itu untuk satu kandang,” katanya mantap. “Empat buah kandang,
jadi empat ribu dollar.”
Laki-laki bermuka kapak itu menatap Jupiter. Dompetnya dikantunginya lagi
lambat-lambat.
“Kurasa kau tidak boleh dibiarkan sendiri mengurus perusahaan ini. Dengan uang
sebanyak itu, aku bisa mendapat kandang-kandang baru."
Jupiter hanya mengangkat bahu dengan sikap tak acuh. Ia menikmati peranan yang
sedang dimainkannya, karena Ia semasa kecil memang pernah menjadi pemain
film.
“Mungkin saja Anda bisa, Sir,” katanya. “Saya tidak tahu, berapa harga pasar
dewasa ini untuk kandang sirkus yang baru. Jika Anda bersedia mampir lagi nanti,
jika paman saya sudah kembali, mungkin ia bisa memberikan harga yang menurut
Anda lebih pantas.”
Laki-laki itu menggeleng dengan cepat.
“Aku tidak punya waktu untuk kembali lagi.”
Diambilnya selembar uang dari dompet, lalu disodorkannya ke arah Jupiter. “Nih
dua puluh dollar, untuk keempat-empatnya. Terserah padamu, kauterima atau
tidak. Menurut dugaanku, pamanmu pasti memborong kesemuanya itu dengan
harga lima dollar saja. Kandang-kandang itu kan sudah rusak.” Dilambailambaikannya
lembaran uang dua puluh dollar itu di depan hidung Jupiter. “Nah
bagaimana? Dua puluh dollar?”
Jupiter menahan napas. Ia ragu-ragu. Ia tahu, kata orang itu memang benar. Baik
batang-batang besi, maupun kandang-kandang itu, sebenarnya tidak ada harganya
lagi. Tapi Ia lebih mempercayai nalurinya.
“Maaf tapi tidak bisa,” katanya, sambil berpaling.
Dilihatnya tangan orang itu bergerak dengan cepat ke arah kantung. Jupiter
menahan napas, khawatir bahwa ia telah melakukan kekeliruan.
Bab 9
KESULITAN BERTAMBAH
SUARA lakj-laki dengan muka seperti kapak itu terdengar dingin, bernada
mengancam.
“Baiklah kalau begitu kemauanmu. Tapi aku akan kembali lagi!”
Dengan cepat orang itu memasuki mobilnya, yang langsung dihidupkan mesinnya.
Detik berikutnya, kendaraan itu sudah melesat ke luar, meninggalkan kompleks
pangkalan.
Jupiter terhenyak, sambil menghembuskan napas lega.
“Bukan main!” kata Bob. “Kenapa itu tadi?"
“Seribu dollar, untuk masing-masing kandang reyot itu?” tukas Pete. “Aku berani
bertaruh, orang itu benar harga yang dibayar pamanmu itu kesemuanya pasti tidak
mencapai lima dollar termasuk batang-batang serta pipa-pipa lepas yang kita
tumpuk-tumpukkan!”
Jupiter mengangguk. Ia merasa lesu.
“Aku tahu,” katanya. “Paman Titus boleh dibilang tidak pernah membayar lebih
dari lima dollar untuk apa saja yang dibelinya.”
“Kalau begitu, kenapa begitu tinggi harga yang kauminta?" tanya Bob. “Orang tadi
galak kelihatannya. Ia kelihatannya tidak senang sewaktu pergi!
“Aku tahu.” Jupiter berusaha menjelaskan. “Soalnya, aku aku berperasaan, ada
sesuatu yang tidak beres. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Tapi menurut perasaanku
tadi, orang itu terlalu menyolok keinginannya memperoleh batang-batang besi itu.
karenanya aku lantas menaikkan harga, untuk melihat seberapa tinggi nilai barangbarang
itu baginya.”
"Dan sekarang kau sudah tahu,” kata Pete. “Dua puluh dollar! Dan kurasa
pamanmu pasti akan marah-marah, jika sampai tahu bahwa uang sebanyak itu
kautampik.”
Jupiter menoleh, lalu mendesah.
"Itu akan segera kita ketahui. Paman Titus datang!”
Mobil truk yang besar masuk ke pekarangan, dikemudikan oleh Hans. Jupiter
melihat bahwa bak belakang kendaraan itu kosong.
“Kenapa tidak membawa apa-apa, Paman Titus?” tanya Jupiter pada pamannya,
yang sementara itu sudah turun dan kendaraan.
Paman Titus menarik-narik kumisnya yang lebat dan panjang.
“Rupanya belakangan ini banyak orang tertarik pada batang-batang besi tua. Aku
tadi terlambat datang. Semua yang ada di sana, sudah diborong orang lain."
Jupiter mendeham-deham.
“Partai yang Paman beli kemarin, sudah dijual lagi oleh Bibi Mathilda. Dan baru
saja ada orang datang. Ia juga hendak membeli batang-batang besi."
“0 ya?” kata pamannya. Ia mengambil pipa, mengisinya dengan tembakau, lalu
menyalakannya. "Yah biarlah! Lain kali bisa kita beli lagi."
Jupiter berdiri dengan sikap gelisah.
“Orang yang tadi datang itu ingin membeli batang-batang besi yang masib tersisa
— yang dimaksudkan untuk membetulkan kandang-kandang. Ia mau membeli
semuanya, dengan atau tanpa kandang."
Paman Titus memandang keponakannya.
“Membeli batang besi tanpa kandang? Ia berani membayar dengan harga berapa?"
"Dua puluh dollar," jawab Jupiter. Ia meneguk ludah berkali-kali.
kerongkongannya terasa kering.
"Dua puluh dollar?" ulang pamannya. Ia berpikir sebentar. “Lalu apa yang
kaukatakan?”
“Itu terlalu sedikit! kukatakan pula, kita tidak ingin menjual barang-barang besi itu
saja, karena kita bermaksud hendak membetulkan kandang-kandang itu untuk
kemudian menjualnya pada sirkus."
Paman Titus menggerak-gerakkan badannya mundur-maju. Mulutnya
mengepulkan asap tembakau.
"Dan berapa harga yang kauminta untuk kandang-kandang itu?"
Jupiter menarik napas panjang-panjang, sebelum menjawab.
"Seribu dollar," katanya. Ia menunggu kemarahan pamannya meledak. Tapi hanya
asap tembakau saja yang mehgepul-ngepul. Paman Titus membisu.
“Seribu dollar untuk tiap kandang,” kata Jupiter menambahkan lambat-lambat.
“Jadi keseluruhannya, empat ribu dollar.”
Paman Titus mengambil pipa dari mulutnya. Jupiter sudah bersiap-siap, menunggu
didamprat habis-habisan. Tapi saat itu ada sebuah mobil masuk ke pekarangan, lalu
berhenti dengan cepat di dekat mereka. Seorang laki-laki turun.
“Itu orangnya,” kata Jupiter.
Pria berpotongan muka lancip seperti kapak itu datang menghampiri.
“Anda pemilik pangkalan barang bekas ini?” tanyanya dengan ketus.
“Betul,” jawab Titus Jones
“Namaku Olsen.” Laki-laki itu menuding Jupiter. “Hebat sekali pembantu Anda
jika Anda sedang tidak ada. Aku tadi hendak membeli satu partai batang besi tua.
Tapi anak ini memasang harga gila-gilaan.”
“0 ya?" kata Mr. Jones dengan tenang. "Wah, itu sama sekali tak kusangka!”
Laki-laki itu meringis.
“Sudah kukira komentar Anda akan begitu.” Ia mengeluarkan dompetnya, lalu
mengambil selembar uang kertas ?bernilai dua puluh dollar. “Aku tadi
menawarkan uang dua puluh dollar untuk batang-batang besi yang ada di
tumpukan itu. Tapi Ia menolak.”
Titus Jones menoleh ke arah tumpukan yang ditunjuk laki-laki itu.
“Di sana tidak ada batang-batang besi. Yang ada cuma beberapa kandang binatang
yang sudah rusak.”
“Aku tahu,” kata Mr. Olsen dengan sikap tidak sabar. “Tapi aku tidak memerlukan
kandang-kandang itu, melainkan hanya batang-batangnya saja.” Disodorkannya
lembaran uang kertas pada Titus Jones. “Nih dua puluh dollar. Setuju?"
Titus Jones menyalakan kembali pipanya. Ia menyedot-nyedot dengan keras.
Jupiter bersikap menunggu. Laki-laki bermuka lancip itu bergerak-gerak gelisah.
“Maaf tapi kata keponakanku tadi memang benar,” kata Paman Titus setelah
beberapa saat. “Batang-batang besi yang Anda maksudkan memang disediakan
untuk membetulkan kandang-kandang itu. Jika semua sudah kami rapikan lagi, aku
bermaksud akan menjualnya pada sirkus untuk dijadikan kurungan bagi binatangbinatang
mereka."
Jupiter memandang pamannya, sementara Pete dan Bob hanya bisa melongo.
Tampang Mr. Olsen cemberut.
“Baiklah jadi kandang-kandang binatang. Tahukah Anda, dia ini-“ sambil
menuding .Jupiter, “- tadi memasang harga empat ribu dollar untuk keempat
kandang itu? Empat ribu dollar! Seribu dollar untuk tiap-tiap kandang!”
“Yah,” kata Paman Titus, “keponakanku ini masih muda, jadi Ia memang keliru
memasang harga.”
“Itu sudah kusangka.” Laki-laki bertampang galak itu tersenyum puas.
"Harga sebenarnya enam ribu dollar," sambung Titus Jones. “Tiap kandang, seribu
lima ratus dollar.”
Calon pembeli itu melotot. Titus Jones menyelipkan pipa di antara bibirnya. Ia
menggoyang-goyangkan tubuhnya mundur-maju, sambil mengepul-ngepulkan
asap tembakau. Sekali lagi Jupiter menahan napas, menunggu kemarahan Mr.
Olsen meledak.
Saat itu Hans datang menghampiri.
“Masih ada lagi yang bisa kukerjakan, Bos?” tanyanya pada Mr. Jones. “Aku
masih punya waktu untuk membereskan barang-barang.”
Mr. Olsen memandang pembantu perusahaan yang bertubuh kekar itu. Matanya
yang bersinar dingin bergerak-gerak. Kemudian ia menyergah.
“Sudahlah, kalau begitu aku tidak jadi membeli! Uangku bisa kupakai untuk
keperluan lain!”
Jupiter memperhatikan mobil orang itu, yang dengan cepat meninggalkan tempat
itu. Jupiter senang sekali, ingin rasanya merangkul pamannya.
Beberapa menit kemudian, Trio Detektif sudah berada dalam Markas. Jupiter
mengintai sebentar — lewat teropong kapal selam yang mencuat ke atas lewat atap
karavan. Ia mengamat-amati kompleks pangkalan.
“Aman,” katanya setelah beberapa saat. “Mr. Olsen tidak muncul lagi.”
“Bukan main!” kata Bob. “Aku tadi kaget sekali ketika pamanmu ternyata malah
mendukungmu.”
“Enam ribu dollar!” kata Pete kagum. “Padahal kau saja kuanggap sudah sinting!”
Jupiter mengangguk.
“Perasaanmu itu bisa kumengerti, Dua,” katanya. “Tapi kesayangan Paman Titus
pada sirkus, jauh melebihi naluri bisnisnya mendapat keuntungan lumayan."
“Aku tidak mengerti, apa sebabnya dengan tiba-tiba saja seakan-akan semua orang
kepingin membeli batang-batang besi tua,” kata Bob.
“Kau perlu bertanya pada Bibi Mathilda, siapa pembeli peflama, yang memborong
seluruh batang-batang dan pipa-pipa besi,” kata Pete pada Jupiter.
Ketika Jupiter hendak menjawab, pesawat telepon berdering.
“Halo! Di sini Jupiter Jones.”
Suara orang yang menelepon terdengar jelas lewat alat pengeras suara yang
disambungkan pada pesawat telepon.
“Hal, Jupe! Di sini Mike Hall. Bisakah kalian datang lagi ke tempat kami malam
ini?"
“Itu belum bisa kukatakan sekarang, Mike,” jawab Jupiter. “Kenapa? Ada yang
tidak beres di 'Jungle Land?'”
“Bukan begitu,” kata Mike. “Aku cuma mengira, kalian tentunya ingin melihat
gorila yang kuceritakan itu. Baru saja datang!”
“0 ya?” kata Jupiter menanggapi. “Bagaimana
besar atau tidak?”
Mike tertawa.
“Lumayan,” jawabnya. “Kalian memang tidak perlu buru-buru datang untuk
melihatnya, karena ia akan tetap di sini tapi George masih tetap sangat
memusingkan kami. Dan kalian tentunya belum lupa, begitu hari sudah malam, Ia
mulai gelisah.”
"Kami belum lupa, Mike. Kami bahkan sudah membicarakan soal itu, yaitu bahwa
saat ini kami belum tahu apa yang terjadi di sana begitu hari sudah gelap.”
“Nah ini kan kesempatan bagi kalian untuk mengetahuinya,” kata Mike.
“Baiklah, kalau begitu. Akan kami usahakan agar kami diizinkan pergi malam ini.
Setelah itu, tinggal mengurus soal pengangkutan saja ke sana.”
“Bagus,” kata Mike. “kutunggu kalian nanti di pintu gerbang. Kalian akan datang
dengan truk kecil lagi?”
“Kurasa tidak,” jawab Jupiter. “Rasanya, kali ini kami akan datang naik Rolls-
Royce.”
Terdengar bunyi napas tersentak di seberang sambungan.
“Kau punya Rolls-Royce?” tanya Mike. Kemudian Ia tertawa.
“Tanyakan padanya, kenapa Ia tertawa,” kata Bob.
“Aku sudah mendengar pertanyaanmu itu,” kata Mike. "Aku tertawa, karena
merasa geli. Mr. Jay Eastland kan berlagak seolah-olah dia itu orang hebat dan
penting. Dan mobil itulah yang dipakainya untuk membuat orang lain terkesan
melihatnya.”
Jupiter memandang arlojinya.
“Kami nanti datang sekitar pukul sembilan, Mike sehabis makan malam. Segera
setelah aku menghubungi Worthington.”
"Worthingthon?" tanya Mike. “Siapa itu?”
"Supir kami."
Dari seberang sambungan terdengar suara terbahak.
“Wah!” kata Mike, setelah gelaknya menyurut. “Baiklah, jadi sampai nanti!”
Jupiter mengembalikan gagang telepon ke tempatnya.
“Mestinya aku tadi menjelaskan padanya, bahwa Rolls-Royce itu sebenarnya
bukan milik kita, dan Worthington bukan supir pribadi kita.”
“Ah, biar saja,” kata Bob. “Dengan begitu, kita setidak-tidaknya sudah
menyebabkan Mike bisa tertawa. Kurasa itu diperlukannya, mengingat situasi di
'Jungle Land' saat ini.”
Tepat pukul sembilan malam itu, mobil Rolls-Royce kuno yang kemilau meluncur
dengan mulus, menghampiri pintu gerbang masuk ke 'Jungle Land'.
Jupiter menjengukkan kepalanya ke luar.
“Kusangka Mike tadi mengatakan, Ia akan menyongsong kita di sini.”
Di atas pintu gerbang terpasang lampu yang menerangi tempat itu. kompleks
'Jungle Land' sendiri nampak gelap. Dedaunan pohon palem berdesir dihembus
angin malam. Di kejauhan terdengar suara berceloteh.
Pete keluar dan mobil lalu membuka pintu gerbang. Mobil Rolls-Royce memasuki
kompleks. Pete menutup pintu kembali, lalu masuk lagi ke dalam mobil mewah itu.
“Enak rasa hatiku, karena kita masuk diantar Worthington,” katanya. "Tempat ini
menyeramkan kalau malam."
Dengan Pete sebagai penunjuk jalan, Worthington mengemudikan Rolls-Royce
melewati beberapa persimpangan, serta jalan samping. Ketika supir yang selalu
bersikap anggun itu hendak membelok masuk ke jalan yang menuju ke rumah
putih besar di atas bukit, Pete menepuk bahunya.
"Berhenti sebentar, Worthington,” katanya.
Alis Jupiter terangkat.
“Ada apa, Pete?”
“Aku merasa seperti mendengar suara berteriak-teriak di depan serta bunyi-bunyi
lain.”
Mereka menunggu dalam mobil yang berhenti sambil memasang telinga. Mereka
mendengar berbagai suara malam dalam belukar. Kemudian mereka mendengar
raungan sirene di kejauhan.
Bob menunjuk ke tempat yang gelap.
“Lihat!” katanya. “Itu, di sana lampu-lampu sorot!”
Sementara mata mereka terpaku memandang jalur sinar yang bergerak-gerak
menembus kegelapan, mereka mendengar bunyi gemerisik ribut. Datangnya tepat
dari arah depan. Sekejap kemudian terdengar suara napas terengah-engah. Detik
berikutnya, seseorang muncul dari tengah rimba. Lampu-lampu besar mobil Rolls-
Royce menerangi orang itu ketika Ia berlari melintasi jalan.
Mata orang itu terbelalak. Mukanya yang kotor bersimbah keringat di bawah topi
lebar model Australia.
“Hank Morton!” seru Bob, mengenali orang itu.
“Lari pontang-panting dalam rimba dengan wajah ketàkutan,” sambung Pete. “Apa
lagi yang baru dilakukannya sekarang?”
Laki-laki yang tersengal-sengal itu menerobos masuk dan menghilang ke tengah
belukar di seberang jalan. Bunyi langkahnya berlari semakin menjauh.
Setelah itu anak-anak yang masih berada dalam Rolls-Royce mendengar suara
orang berteriak-teriak marah. Datangnya dari arah depan. Mereka melihat sorotan
sinar senter bergerak-gerak.
“Ada keributan rupanya,” kata Bob, sambil memandang ke luar.
“Yuk, kita lihat,” seru Jupiter mengajak. Dengan segera ketiga remaja itu sudah
keluar dari mobil, lalu berlari-lari menghampiri. Mereka mendengar suara orang
berseru memanggil-manggil.
"Jupiter! Bob! Pete!"
Jupiter berpaling. Ia memandang dengan sikap sangsi, berusaha menembus
kegelapan.
Nampak sorotan senter, memberi tanda. “Di sini! Ini aku Mike!”
Remaja itu menunjukkan jalan dengan sinar senternya sampai ketiga remaja yang
datang menghampiri sudah sampai di tempatnya. Jupiter melihat bahwa Mike
terengah-engah. Di belakangnya, nampak samar beberapa orang berjalan lambatlambat
merintis rimba, sambil menggerak-gerakkan senter yang menyala.
Sebentar-sebentar disorotkan ke tanah, lalu setelah itu ke atas, ke arah pepohonan.
Beberapa dari mereka menyandang senapan.
Napas Jupiter tersentak menyaksikan adegan menyeramkan itu.
“Ada apa?” tanyanya. “George lepas lagi?”
“Sekali ini bukan George,” kata Mike tersengalsengal. “Ada kesulitan yang lebih
besar lagi.”
“Apa yang terjadi tadi?” tanya Bob. “Kulihat orang-orang itu ada yang membawa
senapan. Kalian mencari Hank Morton?”
"Siapa?”
“Hank Morton,” kata Pete. “Kami baru saja melihatnya lari memintas dengan
wajah ketakutan. Ia muncul dari tengah hutan di kaki bukit itu, lalu menyeberang
jalan.
“Jadi dia rupanya!” kata Mike Hall dengan geram. “Sudah kusangka begitu!”
“Apa, Mike?” tanya Bob. “Apa sebetulnya yang terjadi di sini?”
“Gorila yang kuceritakan tadi,” kata Mike, “Ia terlepas dari kandangnya lalu lari."
“Kapan kejadiannya?” tanya Pete. “Maksudmu, saat ini ada gorila berkeliaran di
sini?”
“Kejadiannya tadi petang, langsung setelah Doc Dawson datang untuk
memulangkan George.”
“Gorilla liar, serta seekor singa,” gumam Jupiter. “Aku tidak tahu, bagaimana
sikap kedua binatang itu jika bertemu, Mike! Takutkah gorila melihat singa,
sehingga mendobrak kandang lalu lari?"
“Kalau soal itu, Jim Iebih tahu,” kata Mike sambil mengangkat bahu. “Tapi dari
kata kalian tadi, aku kini tidak yakin bahwa Ia lepas karena perbuatannya sendiri."
“Apa maksudmu, Mike?” tanya Pete.
“Maksudku, kemungkinannya ada yang melepaskan. Seseorang yang begitu benci
pada pamanku Jim, sampai nekat melakukan hal itu. Kalian sendiri tadi
mengatakan, melihat orang itu lari melintas. Aku berani bertaruh, pasti Hank
Morton-lah yang melepaskan gorilla itu!” katanya dengan getir.
Bab 10
DI TENGAH KEGELAPAN
JUPITER menggelengkan kepalanya.
“Hank Morton lari dalam hutan tadi bisa karena berbagai sebab. Itu bukan bukti
bahwa Ia yang melepaskan gorila kalian. Jika kami boleh melihat kandangnya,
mungkin kami nanti bisa menemukan beberapa petunjuk,” katanya.
“Baiklah, kalian kan yang menyelidiki urusan ini,” kata Mike. “Mungkin saja
kalian nanti menemukan sesuatu.” Diajaknya ketiga remaja itu naik ke atas bukit.
“He mana mobil Rolls-Royce, yang menurutmu tadi akan kalian pakai untuk
datang kemari, Jupe?”
“Di bawah, di kaki bukit,” kata Bob. “Worthington sudah mengenal kebiasaan
kami. Ia akan menunggu terus di situ sampai kami muncul lagi.”
Mike terkekeh. Diajaknya ketiga penyelidik remaja itu ke suatu tempat lapangan di
sisi rumah. Lampu-lampu kamar di rumah itu menyala semua, menerangi daerah
sekitar. Mike menuding. Trio Detektif melihat sebuah kandang besar. kandang itu
kosong.
“Kiriman datang tadi sore, tidak lama setelah kalian pergi. Dua buah kandang, dan
-"
“Dua buah kandang?” tanya Jupiter.
Saat itu juga ia berpaling dengan cepat. Ia kaget, karena mendengar suara
menyembur-nyembur galak di belakangnya. Bob dan Pete tersentak ketakutan.
“Astaga!” kata Bob. “Apa itu?”
Mike menyorotkan senternya ke sisi rumah yang agak jauh.
“Aku tadi mestinya memperingatkan kalian. Lihatlah bagus, ya?”
Jupiter serta kedua rekannya memandang dengan hati berdebar-debar. Mereka
melihat seekor binatang menakutkan dalam sebuah kandang yang letaknya tidak
sampal tujuh meter dari tempat mereka berada. Binatang itu menggeram lagi,
sementara anak-anak mendekati.
“Macan tutul,” kata Mike. “Kalian senang melihatnya?”
Sepasang mata kuning berkilat-kilat menatap tanpa mengedip dari balik jeruji besi
kokoh. Ketika anak-anak maju selangkah lagi dengan hati-hati, macan tutul itu
mendesis. Mulutnya dingangakan, menampakkan sepasang taring runcing dan
panjang. Anak-anak mundur lagi dengan cepat.
Bob meneguk ludah.
“Aku senang saja melihatnya, asal ia tetap terkurung dalam kandang.
“Bukan main!” seru Pete kagum. “Perhatikan otot-ototnya! Menurutku, macan
tutul ini nampak lebih galak daripada George!”
Tahu-tahu binatang buas itu menyergah, lalu menubruk jeruji besi dengan keras. Ia
seakan-akan Ia hendak menegaskap ucapan Pete. Anak-anak mundur selangkah
lagi, sambil mengamat-amati binatang itu dengan sikap curiga.
“Singa lawan macan tutul pasti akan sengit perkelahiannya,” kata Mike. “Macan
kumbang, sebenarnya macan tutul juga cuma bulunya hitam mulus, tidak bertutultutul.
Gerakan mereka kalau menyerang, sangat cepat. Cakar mereka sangat tajam,
begitu pula taring mereka. Tapi janganlah kalian salah menduga George, kalau
melihat tingkah lakunya yang ramah seakan-akan tolol itu. Ia tetap singa - singa
yang lumayan besarnya, karena beratnya lebih dari dua ratus kilo. Ia terlalu besar
dan kuat! Macan tutul takkan mampu melawannya. Belum pernah ada macan tutul
yang bisa menang berkelahi melawan singa sepanjang pengetahuanku. Kalau
macan belang, lain persoalannya!”
Anak-anak membisu sambil memperhatikan binatang buas yang mondar-mandir
dengan sikap gelisah di dalam kandang.
“Aku sependapat dengan Pete,” kata Bob kemudian. “Macan ini kelihatannya
benar-benar ganas dan juga ulet. Bagaimana pendapatmu, Jupe?” Bob menoleh,
mencari-cari. “Jupe?”
Penyelidik Pertama Trio Detektif itu sudah berdiri di dekat kandang kosong, yang
semula ditempati gorila. Ia menggamit, menyuruh mereka datang.
“Ada apa, Jupe?” tanya Bob sambil menghampiri.
“Kandang ini diutik-utik orang,” kata Jupiter pada teman-temannya. “Kalau bukan
Hank Morton yang melapaskan gorila itu, pasti orang lain! Binatang itu tidak
terlepas sendiri!”
“Bagaimana kau bisa mengetahuinya?” tanya Pete.
Jupiter menunjuk sisi kandang. Sikapnya dramatis.
"Kalian lihat itu? Ada jeruji yang dilepaskan dari tempat itu, sedang dua jeruji di
sampingnya bengkok. Jarak antara masing-masing jeruji sekitar lima belas senti.
Kurasa orang yang mélepaskan batang jeruji itu memberi peluang pada gorila
untuk keluar dari kandang. Kedua jeruji lainnya dibengkokkan sedemikian rupa,
sehingga binatang liar itu bisa menyusup ke luar lewat situ. Kaukatakan gorila itu
besar, Mike. Seberapa besarnya?”
“Belum seperti gorila yang sudah dewasa. Tapi cukup besar,” kata Mike. “Kuranglebih
sebesar kita-kita jni.” Diamat-amatinya sejenak ketiga remaja yang ada
bersamanya, lalu menggelengkan kepala. “Tapi ukuran sebegitu jangan
diremehkan. Tenaganya luar biasa! Dua kali lipat dari orang dewasa!”
“Dari mana asalnya?” tanya Jupiter.
“Dari Ruanda, di Afrika Tengah. Kami memang mengharapkan akan mendapat
seekor gorila yang masih muda dari kawasan itu. Lama juga kami menunggununggu.
Pamanku, Cal, mengembara — di kawasan tempat gorila bermukim. Ia ke
Ruanda, Kongo, begitu pula Uganda. Akhirnya Ia menyurati kami dari Ruanda.
Dalam surat itu Ia mengabarkan bahwa Ia sudah berhasil menangkap seekor gorila,
tapi kemudian mengalami kesulitan dalam usaha mengirimnya ke luar negeri.
Gorila termasuk satwa langka yang nyaris punah jadi hanya kebun binatang, atau
ilmuwan saja yang bisa mendapat izin untuk membawa ke luar negeri. Lama juga
Paman Cal harus berurusan dengan pihak berwenang di sana, sampai akhirnya Ia
berhasil meyakinkan mereka bahwa ‘Jungle Land’ ini juga semacam kebun
binatang.
“Wah!” kata Pete. “Apakah tidak lebih gampang jika dicari saja jenis gorila yang
lain?”
"Gorila lain memang ada, yaitu yang hidup di dataran rendah,” kata Mike
menjelaskan. “Tapi untuk jenis itu pun ada larangan pengiriman ke luar negeri.
Aku sebenarnya tidak tahu pasti, jenis mana yang dikirimkan pamanku kemari.”
"Gorila pegunungan jantan yang masih muda," kata seseorang dari tempat gelap.
Orang itu Jim Hall. Ia datang menghampiri, lalu menganggukkan kepala pada
Jupiter, Bob, dan Pete.
“Ia sudah ditemukan kembali?” tanya Mike.
Jim Hall menggeleng. Wajahnya nampak capek dan kotor kena debu.
“Aku baru saja mendengar bahwa ada yang melihatnya dekat ngarai. Aku ingin
memeriksa sebentar kemari sebelum berangkat ke sana."
“Apakah yang terjadi dengan Mr. Eastland?” tanya Jupe. “Betulkah George yang
menyerang Rock Randall?”
Jim Hall tertawa getir.
“Itu ternyata omong kosong saja!” katanya. "Rupanya Randall berkelahi dengan
seseorang di lokasi pembuatan film. Mereka berkelahi di tempat yang berbatubatu.
Randall berdarah-darah, Sehingga kelihatannya memang bisa saja bahwa Ia
diserang George. Tapi dokter yang memeriksanya mengatakan, luka-luka begitu
tidak mungkin disebabkan binatang. Persoalan itu beres, tapi sekarang datang lagi
kesulitan baru. Senang hatiku melihat kalian bisa datang lagi malam ini! Kalian
bisa melihat sendiri sekarang bahwa Alfred Hitchcock tidak melebih-lebihkan
ketika Ia mengatakan pada kalian bahwa ada yang tidak beres di ‘Jungle Land’.”
Saat itu terdengar suara berteriak-teriak di kejauhan. Jim Hall mengibaskan
tangannya dengan kesal.
"Aku harus berangkat sekarang untuk menjebak gorila itu sebelum terjadi apa-apa
nanti,” katanya.
"Binatang itu kurasa sangat berbahaya jika kita berjumpa dengan dia,” kata Pete.
“Mungkin Ia sekarang ketakutan mendengar ribut-ribut di sekelilingnya. Tapi
kalian tidak perlu takut jika nanti kebetulan berjumpa dengannya. Kalian
menghindar saja."
Bob terkejap kaget.
“Apa? Kami tidak perlu takut bertatapan muka dengan gorila? Bagaimana
caranya?”
Jim Hall tertawa.
“Bisa kuceritakan sesuatu tentang gorila, tapi yang secara umum juga berlaku
untuk sekian banyak binatang liar,” katanya. “Gorila hampir tidak pernah bersikap
agresif. Kalau menggertak itu biasa mereka lakukan. Berteriak-teriak, dan bergerak
seolah-olah hendak menyerbu. Begitulah cara mereka mengusir binatang di dekat
mereka, yang nampaknya bisa berbahaya bagi mereka. Tapi gorila biasanya hidup
damai dan menyendiri. Mereka mencari makan di lingkungan sama dengan gajah,
misalnya. Tapi tidak pernah terjadi apa-apa, walau makanan mereka serupa.”
“Lalu apa yang terjadi jika gorila bertemu dengan gajah?” tanya Bob.
“Mereka saling tidak peduli,” kata Jim Hall, sambil mengangkat bahu. Setelah itu
Ia melirik arlojinya sebentar. “Itu pasti Doc,” katanya, ketika saat itu terdengar
bunyi tuter mobil di depan. Jim Hall melambai, lalu metangkah pergi.
Sesaat kemudian Ia lewat naik jip dengan kap terbuka. Laki-laki kurus berkumis
yang duduk di sampingnya memangku senapan.
"Tidak aneh jika Doc Dawson langsung muncul untuk memberi bantuan,” kata
Mike sambil tersenyum. “Ia sangat sayang pada binatang.”
Pete menoleh ke arah jip yang sementara itu sudah menjauh membawa kedua
penumpangnya. Kedua orang itu nampaknya sudah siap untuk beraksi.
“Jika Ia memang penyayang binatang, kenapa membawa senapan?" tanyanya.
“Itu bukan senapan biasa — tapi berisi anak panah yang dibubuhi obat bius,” kata
Mike menjelaskan. “Binatang yang kena tembak tidak luka, melainkan hanya
pingsan saja — selama beberapa waktu.”
“Jim Hall rasanya pasti akan berhasil menemukan gorila itu bersama regu pencari,"
kata Jupiter. “Sebaiknya kita sekarang melihat-lihat di sekitar sini, mumpung ada
kesempatan. Mungkin saja kita akan bisa mengetahui, apa yang sebetulnya ada di
balik kejadian-kejadian lepasnya binatang-binatang. Mula-mula George, lalu
sekarang gorila.”
“Yah George kelihatannya sudah biasa lagi sekarang,” kata Mike. “Saat ini Ia
sedang tidur di rumah setelah dibius oleh Doc Dawson dan diberi obat antitetanus.
Doc juga sudah membersihkan lukanya. George besok pasti sudah dapat beraksi di
depan kamera, sehingga ada uang masuk untuk kami.”
“George kadang-kadang dikandangkan juga?” tanya Jupiter, sambil memandang
berkeliling.
“Tidak! Kandangnya sudah kami singkirkan sebulan yang lalu,” kata Mike. “Ia
sekarang tidur dalam rumah bersama aku serta Jim. Untuknya ada kamar khusus,
tapi ia lebih suka tidur menemani Jim.
Jupiter memandang sebentar ke arah rumah yang diterangi lampu-lampu.
"Katamu, pasti ada orang yang melepaskannya. Tidakkah hal itu bisa terjadi lagi?”
Mike merogoh kantungnya, lalu mengeluarkan sebuah anak kunci.
“Sekarang rumah kami selalu terkunci. Cuma aku serta Jim saja yang memiliki
anak kunci untuk membukanya.”
Jupiter berpikir-pikir sebentar.
“He, Mike kau mengatakan, George belakangan ini suka menjadi gugup dan
gelisah apabila hari sudah malam. Bagaimana jika kita memeriksa ke sekeliling
rumah sebentar, untuk melihat kalau-kalau bisa menemukan penyebab
kegelisahannya itu. kita mulai saja dengan memeriksa di dekat rumah.”
“Oke,” kata Mike menanggapi. “Seperti bisa kalian lihat sendiri, rumah kami
terletak di tempat lapangan, di puncak bukit. Di sebelah sana ada bangsal tempat
perkakas dan kayu bakar. Itu sebetulnya garasi, tapi Jim memarkir mobilnya di
luar, di sini. Jalan di ujung jalan keluar mengarah ke utara dan bersambung dengan
jalan-jalan lainnya.”
Diantarnya teman-temannya berkeliling melihat-lihat. Malam sunyi, setelah
keributan sebelumnya. Sementara itu bulan sudah muncul di langit tak berawan.
Jupiter mengangguk puas setelah mereka selesai mengelilingi rumah. Mereka
kembali ke tempat kandang-kandang. kandang gorila masih tetap kosong. Macan
kumbang dalam kandang yang satu lagi berbaring diam sambil menatap anak-anak
dengan sikap bermusuhan. Hanya ekornya yang panjang saja yang bergerak-gerak.
Jupiter beserta kedua rekannya mengikuti Mike menuruni bukit masuk ke dalam
rimba.
“Sambil berjalan, aku akan bercerita tentang ‘Jungle Land’.Jadi kalau kalian
datang lagi lain kali, kalian akan sudah tahu jalan, tanpa perlu kuantarkan lagi.”
“Berapa luaskah kompleks ‘Jungle Land’?” tanya Bob. “Kelihatannya sangat luas,
sehingga sulit mengetahui apa saja yang mungkin terjadi di sini."
“Luasnya sekitar 100 acre, dan sedang bentuknya segi delapan. Memang cukup
luas, tapi selama ini kami tidak pernah mengalami kesulitan untuk mengetahui halhal
yang terjadi di sini.”
(1 acre = 0,4 hektar)
“Di manakah tempat Jay Eastland membuat filmnya?” tanya Pete.
“Sebelah utara dari sini, sekitar lima menit kalau naik mobil,” kata Mike. “Saat ini
kita sedang menuju ke timur, ke arah pagar batas yang paling dekat”
Jalan setapak yang mereka lalui menurun dengan terjal, melewati belukar, batubatu,
serta celah-celah. Sinar bulan nampak samar, menembus ke bawah lewat
celah-celah dedaunan rimbun di atas kepala.
“Di manakah letak ngarai yang menurut pamanmu tadi gorila itu terlihat?” tanya
Bob. “Pamanmu tadi kelihatannya juga mengarah ke utara.”
“Memang, tapi kemudian membelok ke kiri, memasuki jalan lain. Letak ngarai itu
di sebelah barat laut, sekitar lima belas menit dan sini. Tidak jauh dari situ ada
bidang tanah seluas beberapa acre yang kelihatannya seperti padang rumput di
Afrika, datar dan ditumbuhi rumput panjang. Kami memelihara sejumlah gajah di
sana, dibatasi parit dalam. Dengan begitu mereka tidak bisa berkeliaran ke luar.
Tapi kalian bisa mendengar suara mereka menerompet.” Mike tertawa nyengir.
“Aku senang mendengar suara mereka.”
“Aku juga, sekarang,” kata Pete, “karena sudah tahu bahwa mereka tidak bisa
keluar.”
Sambil berjalan menurun, Mike meneruskan cerita tentang ‘Jungle Land’.
“Di batas sebelah barat jadi ke arah berlawanan terletak bagian yang dibangun
khusus untuk atraksi wisata. Atraksi utama kami dulu binatang-binatang liar serta
rimba ini tapi banyak orang yang nampaknya lebih menyukai Wild West.
karenanya kami lantas membangun kota cowboy lengkap dengan kompleks
pekuburan — tentu saja hanya tiruan belaka — begitu pula kota hantu, serta acara
pesiar naik kereta pos untuk anak-anak. Kuda-kuda kami dipelihara dekat tempat
itu."
(Wild West: Alam kehidupan gembala sapi zaman dulu, di daerah barat amerika
serikat)
“Di selatan terdapat jalan masuk yang sudah kalian kenal, serta hutan rimba luas.
Di bagian tengah ada danau. Di sebelah utaranya rimba lagi. Di situlah Eastland
saat ini sedang membuat filmnya. Ujung sebelah utara dibatasi pegunungan,
dengan sebuah jurang yang dalam. Tempat itu sering dijadikan lokasi pembuatan
film, dalam mana jagoannya harus meloncat ke air dari tubir tebing yang tinggi.
Klinik Doc Dawson terletak di arah itu.”
Saat itu terdengar suara celoteh serta teriakan. Anak-anak berhenti. Mereka
memandang Mike.
“Itu suara monyet serta burung hantu,” kata Mike menjelaskan. “Kami juga
memelihara ular dalam kandang yang letaknya di arah timur laut dari sini. Tapi
ular tidak berisik. Kami menaruh mereka di tempat yang paling jauh, karena
mereka paling sulit ditemukan lagi jika terlepas. Jenis yang kami pelihara macam
macam. Ada ular berbisa dari daerah gersang sebelah barat negara kita ini, lalu
seekor ular air bersetrip-setrip, serta seekor ular raja yang lumayan besarnya."
Jupiter menoleh ke belakang. Ia memandang dengan mata terpicing.
“Sudah seberapa jauh kita sekarang dari rumah kalian, Mike?”
“Sekitar lima ratus meter. Di ujung bawah lereng ini ada pagar -"
“Ssst!” desis Pete. “Apa itu?”
Dengan segera semua sudah mendengarnya. Bunyi lambat dan berat, dengan irama
tetap. Trio Detektif berpandang-pandangan. Bunyl berat itu semakin jelas
terdengar. Arahnya seperti mendekat ke tempat mereka. Bulu tengkuk ketiga
remaja itu meremang. kemudian mereka mendengar bunyi lain. Awalnya berupa
dengingan bernada rendah, yang makin lama makin meninggi.
“Perasaanku tidak enak,” kata Pete dengan suara parau. “Mungkin sebaiknya kita
kembali saja."
Mata Jupiter juga terbelalak karena takut. Tapi juga nampak bertanya-tanya.
“Bunyi itu -“ katanya, “kedengarannya seperti -"
Sementara Ia masih mencari-cari kata, suara mendenging itu sudah semakin
meninggi, menjadi jeritan melengking. Suara itu seolah-olah datang dari segala
arah, menyelubungi keempat remaja itu.
“Aku lari!” seru Bob berteriak.
Seketika itu juga kedua rekannya ikut berpaling, lalu lari.
“Tunggu!” seru Mike.
Ketiga remaja itu tertegun. Mereka berpaling, memandang remaja itu dengan
bingung.
Mike tertawa keras-keras.
“Kalian tidak perlu takut pada bunyi itu,” serunya, “itu kan cuma mesin
pencincang logam!”
Lanjut ke bagian 2