Trio Detektif - Misteri Setan Menandak(1)


 TRIO DETEKTIF MISTERI SETAN MENANDAK
Kata Pengantar dari Alfred Hitchcock

Penggemar misteri yang budiman,
Kembali aku diminta untuk memperkenalkan kasus yang telah berhasil diselesaikan oleh ketiga penyelidik hebat berusia remaja yang menamakan diri mereka Trio Detektif.
Dan sekali lagi harus kuakui bahwa kasus mereka yang terbaru ini benar-benar layak diketengahkan. Jarang kudengar kisah berlatar belakang sejarah yang begini luas: mulai dari Jenghis Khan, tokoh penakluk dunia yang dengan balatentaranya yang dahsyat bagaikan badai menyerbu ke Barat, sampai dengan suatu kelompok persekongkolan yang canggih pada zaman modern sekarang ini. Dan jarang pula kudengar ada kasus yang lebih aneh. Kalian nanti akan menjumpai sosok menyeramkan dalam wujud Setan Menandak. Aku berani memastikan, sekujur tubuh kalian pasti akan menggigil, jika benar-benar berjumpa dengan sosok yang begitu menakutkan!
Sebelum terlanjur menceritakan kisahnya, lebih baik kuperkenalkan saja dulu ketiga tokoh remaja yang memainkan peranan penting dalam kasus ini - itu jika masih ada juga yang baru sekarang ini berurusan dengan mereka. Jupiter Jones yang bertubuh gempal, "otak" kelompok penyelidik remaja ini, sangat gigih sikapnya dalam mengusut misteri, tanpa mempedulikan risiko. Pete Crenshaw, Penyelidik Dua yang berpotongan atletis, lebih berhati-hati dalam menghadapi bahaya. Tapi ketabahannya patut dipuji, jika bahaya sudah benar-benar dihadapi. Bob Andrews yang tenang dan tekun, bertugas mengelola catatan dan melakukan riset. Mereka bertiga tinggal di Rocky Beach, tidak jauh dari Hollywood, kota pusat perfilman yang termasyhur di California.
Sekarang, kalau kalian benar-benar berani berurusan dengan Setan Menandak, kupersilakan mulai dengan Bab 1.

ALFRED HITCHCOCK

Bab 1
ADA BONEKA BISA TERBANG?

"KALIAN kan detektif," ujar anak perempuan berambut merah itu dengan bersemangat. "Kalian pasti bisa menemukan Anastasia! Ini, bayarannya!" Disodorkannya uang lima puluh sen yang ada dalam genggaman tangannya yang tidak bisa dibilang bersih.
Pete tertawa saja.
"Pekerjaan kami bukan mencari boneka yang hilang, Winnie!"
"Ya, kami menangani kasus-kasus yang agak lebih penting daripada itu, Winnifred," ujar Jupiter Jones menimpali.
"Lagi pula, bonekamu yang hilang itu pasti terselip di salah satu tempat, di rumahmu sendiri." Bob Andrews memandang gadis cilik tetangga Pete yang baru berumur enam tahun itu sambil nyengir.
"Ya, betul!" Pete tertawa lagi. "Coba kaucari dulu baik-baik, Winnie. Sana, pulanglah - kami harus mengantar proyektor film ayahku ini, untuk dibetulkan."
Saat itu hari pertama liburan musim semi. Ketiga remaja pria itu, yang sebagai tim penyelidik Trio Detektif cukup dikenal orang di kota kecil Rocky Beach, baru saja selesai membenahi garasi rumah keluarga Pete. Sejak pagi mereka sibuk dengan pekerjaan itu. Mereka hendak pergi mengantarkan proyektor film milik ayah Pete ke tempat reparasi untuk diperbaiki, ketika Winnifred Dalton muncul dari balik semak tinggi pembatas pekarangan rumah Pete dengan rumah sebelah, lalu meminta bantuan pada mereka.
"Kami bukannya tidak kasihan mendengar kau kehilangan bonekamu," kata Pete lagi, "tapi Ayah ingin proyektor ini lekas-lekas dibetulkan. Kami harus pergi sekarang, Winnie."
"Anastasia bukan hilang, tapi pergi sendiri! Ia terbang!" seru Winnie. "Ia tadi ada di pekarangan, kutaruh di tempat tidurnya. Tahu-tahu ia terbang!"
Mata Jupe terbelalak.
"Bonekamu terbang -"
"Ayo, Winnie, jangan suka mengarang-ngarang," kata Pete memotong. "Sudahlah, kami harus pergi sekarang. Nanti ayahku marah!"
"Tapi aku tidak mau kehilangan Anastasia!" Gadis cilik itu menangis.
"Aduh, jangan menangis dong," kata Bob membujuk. "Kau pasti akan -"
"Apa maksudmu tadi, Anastasia, tahu-tahu terbang?" kata Jupiter. Keningnya berkerut.
"Terbang, ya terbang! Aku tidak bohong!" Winnifred menghapus air matanya. "Kemarin malam Anastasia kutinggalkan dengan tempat tidurnya di pekarangan. Ketika aku hendak masuk ke tempat tidur, aku memandang ke luar lewat jendela. Kulihat dia terbang, menuju sebuah pohon! Tadi pagi ayahku mencari di pohon itu, tapi Anastasia sudah tidak ada lagi di sana! Ia takkan pernah kembali lagi!"
"Yah," kata Jupiter, "bisa saja kita mencarinya sebentar."
"Aduh, Jupe," keluh Pete, "kita kan masih harus mengantar proyektor ini!"
"Mana mungkin boneka bisa terbang sendiri, Satu," kata Bob.
"Betul," ujar Jupiter mengiakan. Penyelidik Satu Trio Detektif itu kelihatan serius. "Dan justru karena itulah kita perlu memeriksa ke atas pohon. Takkan banyak waktu yang kita perlukan untuk itu." Winnifred mengeringkan air matanya.
"Kutunjukkan pohon itu!" katanya bersemangat, sambil tersenyum.
Ketiga remaja itu mengikutinya menembus pagar semak, memasuki pekarangan rumah sebelah. Mereka mendatangi sebatang pohon alpukat yang tumbuh dekat jalan, di balik pagar yang membatasi halaman depan rumah. Dahan-dahannya yang besar menjulur rendah, menaungi halaman itu. Winnifred menuding ke tanah di bawah sebuah dahan yang panjang.
"Anastasia kutinggal tidur di situ!"
Jupe dan kedua temannya mencari-cari di sela dedaunan lebat serta buah hijau yang bergelantungan pada pohon yang sudah tua itu. Mereka mengais-ngais tumpukan daun yang terhampar di bawahnya. "Tidak ada boneka di pohon," kata Pete. "Di tanah juga tidak ada," kata Bob melaporkan.
Jupiter mengitari pagar, masuk ke jalan. Sampai di situ dilihatnya bahwa pohon alpukat itu tumbuh di sebuah petak bunga sempit di depan pagar. Dihampirinya tempat itu, lalu ditelitinya petak bunga yang bertanah lunak. "He, Teman-teman!" serunya memanggil.
Sambil menyusup-nyusup di sela-sela dahan yang berjuluran, Bob dan Pete mendekati pagar, lalu memandang ke seberang. Jupiter menuding ke kaki pohon. Nampak jelas jejak kaki bersepatu di tempat itu. Jejak sepatu yang kecil dan sempit.
"Kalau dilihat dari tapak kaki ini," kata Jupiter lambat-lambat, "nampaknya ada orang yang baru-baru ini saja naik ke atas pohon. Seseorang yang kecil, dan memakai sepatu bersol karet."
"Kemungkinannya anak kecil," kata Pete. "Anak-anak di sekitar sini memang banyak yang suka memanjat-manjat ke atas pohon, Jupe."
"Betul," kata Jupe. "Tapi mungkin juga ada orang memanjat pohon ini, merayap lewat salah satu dahan yang rendah menuju ke pekarangan, lalu mengambil boneka yang terbaring di tempat tidurnya di tanah!"
"Wah!" kata Bob. "Karena saat itu sudah gelap, bisa saja kelihatannya seolah-olah boneka itu sendiri yang terbang, naik ke atas pohon!"
"Tapi untuk apa mengambil boneka anak-anak?" kata Pete dengan heran.
Jupe hanya bisa mengangkat bahu. Ia masuk lagi ke pekarangan, dengan mengitari pagar. Saat itu seorang wanita berambut merah muncul dari dalam rumah keluarga Dalton. Wanita itu mirip Winnifred, hanya ia lebih besar.
"Winnie? Peter? Apa yang kalian lakukan di situ?"
"Mencari Anastasia, Bu," seru Winnie menjawab. "Mereka ini detektif."
Mrs. Dalton tersenyum, lalu datang menghampiri.
"Ah, betul juga - aku lupa tadi." Kemudian ia menggeleng. "Tapi percuma saja kalian mencari. Kurasa Anastasia diambil orang."
"Anda yakin boneka itu dicuri, Mrs. Dalton?" tanya Bob.
"Mula-mulanya tidak," kata Mrs. Dalton. "Tapi setelah ayah Winnie mencari ke mana-mana, baik di dalam rumah maupun di pekarangan Anastasia tetap tak ada, kami kemudian melapor pada polisi." "Lalu apa kata mereka?" tanya Jupiter.
"Mereka sangat marah mendengar laporan kami. Ternyata kemarin malam bukan cuma kami saja yang kecurian di blok sini."
"Masih ada lagi boneka-boneka yang juga dicuri?" tanya Jupe dengan heran.
"Tidak. Bukan boneka, tapi alat bor listrik, sejumlah perkakas, sebuah mikroskop, dan beberapa barang lainnya lagi - aku sudah lupa lagi barang apa saja. Yang jelas, tidak satu pun di antaranya merupakan barang yang sangat berharga. Menurut Chief Reynolds, itu pasti perbuatan remaja yang iseng."
"Memang ada saja anak yang mengira, mencuri itu perbuatan gagah," kata Pete.
"Ya, sampai mereka tertangkap tangan!" kata Bob menimpali.
"Memang, nampaknya ini perbuatan anak-anak yang mencuri karena iseng saja." Jupiter mengatakannya dengan nada agak kecewa.
Tiba-tiba Winnie menangis lagi.
"Mana Anastasia-ku? Aku tidak mau bonekaku hilang!"
"Wah," kata Pete sambil memandang kedua temannya sekilas, "kalau begini, kurasa kita harus berusaha menemukan boneka itu kembali. Anak-anak yang tinggal di sekitar sini, kebanyakan kan kita kenal."
"Terima kasih, kalau kalian benar-benar bersedia melakukannya, Anak-anak," kata Mrs. Dalton. "Polisi saat ini sedang sibuk sekali, sehingga tidak sempat menangani kasus pencurian yang kecil-kecil seperti ini."
"Tapi kita harus membayar mereka, Bu! Itu, seperti detektif yang di TV," seru Winnie. Disodorkannya uang lima puluh sen yang masih ada dalam genggamannya. "Nih!"
Jupiter menerima uang itu dengan sikap serius.
"Kau sekarang klien kami, Winnie. Sekarang kau tinggal saja di sini dulu, menunggu kami menyampaikan laporan tentang hasil penyelidikan kami. Bagaimana - setuju?"
Gadis cilik itu mengangguk dengan air muka yang membayangkan kelegaan. Setelah itu Jupe, Bob, dan Pete, kembali ke pekarangan rumah Pete, sambil berunding tentang cara memulai usaha pencarian. Akhirnya diputuskan untuk mula-mula menanyai teman-teman sesekolah, apakah ada anak yang tingkah-lakunya akhir-akhir ini aneh. Tiba-tiba mereka mendengar suara ibu Pete berteriak di belakang rumah.
"Ayo keluar!" seru Mrs. Crenshaw dengan galak. "He, kau! Apa yang kaucari di situ?!"
"He, itu suara ibuku! Ayo, kita ke belakang!" seru Pete.
Ketiga anggota Trio Detektif itu lari ke belakang. Mereka masih sempat melihat sosok aneh bersayap lebar berwarna hitam melayang menyeberangi pagar belakang lalu menghilang! Pete dan kedua temannya melongo. Mrs. Crenshaw berdiri dekat kebunnya.
"Coba lihat bunga-bunga krisanku!" serunya dengan kesal. "Habis semuanya, diinjak-injak olehnya!"
Tapi ketiga remaja itu tidak mempedulikan kebun bunga yang terinjak-injak. Mereka masih menatap nanar ke arah pagar, di mana sosok tadi menghilang. Sosok berjubah hitam yang mereka lihat sekilas tadi nampak seperti memiliki sayap besar dan berwajah kurus. Ketika sosok itu menoleh sebentar ke belakang, nampak kumis tebal melintang di bawah hidungnya.
"Wow!" kata Pete. "Itu sudah jelas bukan anak-anak!"
Jupiter berbalik lalu lari ke garasi, diikuti kedua temannya. Sesampainya di situ ia menunjuk kotak yang tadi berisi proyektor film.
"Proyektor itu hilang!" katanya.

Bab 2
SATU MISTERI TERJAWAB

"JADI," kata Jupiter, "tak seorang pun di antara kita yang bisa mengira-ngira, apa sebabnya ada orang mencuri proyektor milik ayah Pete, boneka Winnie, serta barang-barang lainnya yang lenyap itu." Pemimpin Trio Detektif yang bertubuh gempal itu berhenti sebentar, lalu meneruskan, "Jangan-jangan bukan barang-barang itu yang diingininya!"
Pete dan Bob menatap Jupiter sambil melongo.
"Kalau begitu kenapa -" kata Bob, disambung oleh Pete, "- ia mencuri barang-barang itu?"
Saat itu sudah lewat beberapa jam setelah pria bertubuh kecil dengan jubah hitam itu lari membawa proyektor film milik Mr. Crenshaw. Ketiga anggota Trio Detektif itu berkumpul lagi sehabis makan malam. Mereka berembuk di markas mereka yang tersembunyi, sebuah karavan tua yang terlindung di balik tumpukan barang-barang bekas di sebuah sudut pekarangan The Jones Salvage Yard yang berdagang barang-barang apkiran. Karavan itu kecuali tersembunyi di tempatnya, juga merupakan markas yang benar-benar praktis, karena dilengkapi dengan berbagai perabot, lemari arsip, serta peralatan untuk keperluan penyelidikan yang dibuat sendiri oleh ketiga remaja itu. Pemilik perusahaan yang menempati pekarangan itu, paman dan bibi Jupiter, sudah sejak lama tidak ingat lagi bahwa di situ ada karavan. Ada sejumlah jalan rahasia untuk keluar masuk karavan itu, dan sebuah teropong seperti teropong kapal selam yang dipasangkan ke atap kendaraan yang sudah tidak bisa dipakai itu, memungkinkan anak-anak melihat ke luar tanpa ketahuan. Dan kini mereka bertiga sedang berembuk di dalam, membicarakan rentetan peristiwa pencurian kecil-kecilan yang terjadi di lingkungan tempat tinggal Pete.
Cuma satu hal saja yang sudah pasti mengenai hal itu - yaitu bukan anak-anak yang melakukannya. Setelah pria berjubah itu menghilang di balik pagar belakang rumah keluarga Crenshaw, ketiga remaja yang dengan segera melakukan penelitian kemudian menemukan jejaknya di tanah kebun ibu Pete. Ternyata jejak-jejak yang nampak di situ persis sama dengan yang ditemukan di bawah pohon alpukat yang tumbuh di depan pekarangan rumah orang tua Winnie! Tapi apa sebabnya orang itu mencuri boneka, dan kemudian proyektor film?
"Mungkin pencurinya orang yang... yang..." Pete mencari-cari kata yang tepat, "- itu, yang mencuri karena ingin mencuri. Bukan karena menginginkan barang yang dicuri."
"Mengidap kelainan jiwa, maksudmu?" kata Bob. "Itu namanya kleptomani. Orang yang mengidap kelainan jiwa seperti itu disebut kleptomaniak. "
"Itu mungkin saja," kata Jupiter, "tapi pendapatku lain. Bukan kebiasaan kleptomaniak untuk gentayangan, mencuri di rumah-rumah orang. Mereka umumnya mencuri di toko-toko, atau di tempat-tempat yang ramai."
"Kalau tidak mengidap kelainan jiwa, tapi di pihak lain tidak menginginkan barang-barang yang dicuri olehnya," kata Bob, "lalu kenapa ia berbuat begitu?"
"Kurasa ada sesuatu yang dicari olehnya," kata Jupiter.
Bob dan Pete memandang teman mereka itu. Nampak jelas bahwa mereka bingung, dan juga agak sangsi. Bob yang paling dulu membantah.
"Nanti dulu, Jupe," katanya lambat-lambat. "Jika ada suatu barang tertentu yang dicari, lalu kenapa begitu banyak barang yang berlain-lainan dicuri olehnya? Maksudku, tentunya dia tahu apa yang diingininya. Jika barang itu bukan salah satu di antara yang sudah dicuri selama ini, kenapa barang-barang itu diambil?"
"Mungkin saja ia salah ambil, karena matanya cadok," kata Pete. Bob langsung mengerang ketika mendengarnya. Sebagai anggota Trio Detektif, dari Pete memang lebih diharapkan tenaga jasmaninya.
"Kalau sampai boneka dikira proyektor, dan proyektor dikira boneka, orang itu mestinya buta!" kata Bob.
"Baiklah," kata Pete. "Jika bukan barang-barang itu sendiri, barangkali saja ada sesuatu yang tersimpan di bagian dalamnya! Orang itu tahu bahwa barang yang dicarinya tersembunyi tempatnya, tapi ia tidak tahu di mana!"
"Ya, itu bisa saja - seperti kasus kita dulu, Misteri Kucing Bengkok." Jupiter mengangguk. "Tapi dengan begitu kita masih tetap menghadapi teka-teki yang sama! Kita anggap saja pencuri itu melakukan perbuatannya dengan sadar, maka mestinya ada sesuatu yang sama pada segala barang yang dicurinya selama ini. Sesuatu pada segala barang itu!"
"Sama, katamu? Pada proyektor film dan boneka?" tanya Bob dengan nada tidak percaya.
"Tapi pasti ada," kata Jupe berkeras. "Suatu kesamaan pada segala barang yang hilang itu. Kita tinggal menemukan kesamaan itu saja."
"Cuma itu saja katamu, Jupe?" kata Pete. "Boneka kesayangan Winnie, proyektor film kepunyaan ayahku, belum lagi segala barang dalam daftar yang diberikan polisi padamu ketika kau menghubungi mereka?" Diambilnya daftar itu yang terletak di meja tulis, lalu dibacanya. "Sebuah kotak berisi alat bor listrik, sebuah mikroskop, sebuah barometer, seperangkat pisau ukir dan seperangkat alat pemoles batu. Semuanya dicuri dari rumah-rumah yang termasuk dalam blok tempat tinggalku."
Ketiga remaja itu membisu sambil berpandang-pandangan, setelah Pete selesai membacakan isi daftar itu. "Yah," kata Pete kemudian, "tidak semuanya merupakan peralatan listrik." "Dan bukan semuanya peralatan," kata Bob.
"Atau boneka," ujar Jupiter menambahkan, "atau alat permainan." Ia berpikir-pikir. "Mungkin semuanya dibeli di satu tempat?"
Bob menggeleng.
"Mana mungkin barometer dan boneka dibeli di tempat yang sama," katanya membantah.
"Ayahku membeli proyektornya sekian tahun yang lalu, di New York." Pete mendesah. "Wah, Jupe, aku sama sekali tidak melihat adanya kesamaan di antara segala barang itu."
"Tapi mestinya ada sesuatu!" Jupiter belum mau menyerah. "Sesuatu yang sederhana. Kita harus berpikir, Teman-teman."
"Semuanya benda padat," kata Pete. "Maksudku, bukan cairan." "Masak itu saja kausebutkan," kata Bob mengecam.
"Semuanya perlu kita coba, Bob," kata Jupiter membela Pete. "Baiklah, semua barang itu merupakan benda padat. Apakah semuanya terbuat dari logam? Tidak. Bagaimana dengan warna, sama atau tidak? Tidak. Semuanya -" "Kecil ukurannya, sehingga bisa dibawa dengan mudah," kata Bob menyela. Jupiter melompat. Matanya bersinar-sinar.
"Dibawa? Mungkin itu dia jawaban yang kita cari! Yuk, kita perlu bicara sebentar dengan Winnie."
Sementara itu ia sudah mengangkat tingkap yang terdapat di lantai karavan. Karena mengenal wataknya, kedua temannya tidak lagi menanyakan apa yang timbul dalam pikirannya. Kalau Jupiter tiba-tiba merasa menemukan jejak, ia tidak pernah mau menjawab untuk memberikan penjelasan jika ditanya. Karenanya Pete dan Bob ikut saja turun lewat lubang tingkap itu, lalu merangkak-rangkak dalam Lorong Dua yang berwujud sebuah pipa besar dan panjang yang menembus di bawah karavan dan tumpukan barang bekas, menuju bengkel Jupiter yang terletak di luar. Sesampainya di sana mereka buru-buru mengambil sepeda masing-masing, lalu berangkat menuju blok tempat tinggal Pete. Sementara itu hari sudah mulai gelap. Jupiter bersepeda paling depan. Dilewatinya pekarangan rumah Pete, lalu masuk ke pekarangan rumah keluarga Dalton yang bersebelahan letaknya. Ia langsung membunyikan bel. Mrs. Dalton datang membukakan, ditemani Winnifred yang sudah memakai piyama.
"Kalian berhasil menemukan Anastasia?" seru gadis cilik itu.
"Belum," kata Jupiter sambil menggeleng. "Winnie, tadi kau mengatakan bahwa sebelum Anastasia terbang ke pohon, ia kaubaringkan di tempat tidurnya. Seperti apa tempat tidur itu?" "Tempat tidurnya sendiri," kata Winnie. "Anastasia selalu -"
"Ya, ya, aku mengerti," kata Jupe memotong, "tapi seperti apa tempat tidurnya itu? Maksudku, kan bukan tempat tidur yang seperti biasa?"
Mrs. Dalton yang menjawab pertanyaannya.
"Memang bukan, Jupiter. Suamiku yang membuatkan untuk Winnie, dari tasnya yang sudah tidak terpakai lagi." "Tas itu hitam?" kata Jupiter. "Tingginya sekitar lima puluh senti? Mirip kopor kecil, dengan gagang pada bagian atasnya?"
"Persis seperti kotak proyektor ayahku!" kata Pete.
"Ya, memang," kata Mrs. Dalton. "Seperti itulah bentuknya."
"Terima kasih." Mata Jupiter bersinar-sinar. "Kami akan datang lagi, Winnie!"
Ketiga penyelidik remaja itu pergi lagi. Mereka memasuki pekarangan rumah Pete, langsung ke dalam garasi. Tempat itu remang-remang.
"Kotak jinjing!" kata Bob dengan gembira. "Barang-barang yang dicuri itu mestinya terdapat dalam kotak-kotak jinjing berwarna hitam, seperti proyektor milik ayahmu itu, Pete!"
"Betul, Bob," kata Jupiter dengan nada puas. "Mestinya cuma itulah satu-satunya kesamaan yang ada antara boneka Winnie dengan barang-barang lainnya yang juga dicuri. Rupanya pencuri itu mencari sesuatu yang ditaruh dalam kotak jinjing berwarna hitam!"
"Tapi apa barangnya, Satu?" kata Pete.
"Yah, yang jelas bukan -" kata Jupe.
Tiba-tiba mereka mendengar sesuatu di belakang garasi. Bunyinya seperti ada sesuatu yang dipukulkan ke kayu, disertai suara geraman pelan, lalu bunyi sesuatu yang bergerak! Anak-anak lari ke jendela yang hanya ada satu di sisi belakang garasi. Di tengah keremangan senja, nampak sesuatu masuk ke tengah semak lebat yang terdapat di pekarangan belakang rumah Pete.
"Pencuri yang tadi!" seru Pete.
Mereka pergi ke depan garasi, lalu mengitarinya sambil menyelinap-nyelinap, menuju ke bagian belakang. Tapi tidak ada lagi yang bergerak-gerak dalam keremangan senja, dan tidak terdengar suatu apa pun. Pete membungkuk, memungut sebuah benda kecil yang terletak di bawah jendela di sisi belakang garasi itu.
"Kaki... kaki binatang!" serunya kaget sambil menatap benda kecil itu.
Jupiter mengambilnya.
"Kaki serigala, kelihatannya - dan sudah sangat kering. Mestinya sudah tua sekali. Mungkin semacam jimat." "Rupanya ada orang mengintai kita, karena ini kutemukan tepat di bawah jendela," kata Pete. "Orang itu mendengarkan pembicaraan kita tadi!" "Pasti pencuri berjubah itu," kata Bob. Jupiter menggeleng.
"Bukan, Bob! Orang yang ini lebih jangkung. Mungkin ada lebih dari satu orang yang mengincar kotak hitam itu - serta entah barang apa yang ada di dalamnya."
"Dan sekarang satu dari orang-orang yang mengincar itu sudah tahu bahwa kita mengetahui apa yang diincar olehnya," kata Pete dengan geram.
"Ya, betul," kata Jupe. Matanya berkilat-kilat dalam keremangan senja. "Ia sudah tahu, dan itu kita manfaatkan untuk menjebaknya! Akan kita pancing dia, agar mendatangi kita!"
"Bagaimana kita bisa -" ujar Pete dengan nada sangsi.
"Kemungkinannya orang itu mengawasi lingkungan sekitar sini, termasuk diri kita, Pete," kata Jupiter menjelaskan. "Jadi kita sekarang harus berkeliaran seolah-olah mencari kotak hitam itu - kemudian menemukannya! Saat itu kita harus menunjukkan sikap bergairah, seakan-akan sudah pasti berhasil menemukan kotak yang benar. Lalu -"
"Orang itu datang!" kata Bob dan Pete serempak.
"Ya, kita jebak dia! Atau mungkin juga mereka!" Jupiter meringis puas.

Bab 3
JEBAKAN MENGENA

MALAM itu kabut tipis datang bergulung-gulung dari arah pelabuhan dan Samudra Pasifik yang gelap. Jalan-jalan di Rocky Beach lengang. Sinar remang dua lampu jalan menimbulkan kesan seram. Terdengar suara anjing menggonggong. Seekor kucing melesat, menyeberang jalan yang lengang. Selama beberapa waktu, selain kucing itu tidak nampak sesuatu yang bergerak.
Kemudian Pete muncul di ambang pintu garasi rumahnya yang terbuka. Lampu di dalamnya menyala. Pete berjalan mondar-mandir, sambil memperhatikan jalan yang remang-remang penerangannya. Ia kelihatannya seperti sedang menunggu sesuatu. Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, memandang beberapa kotak hitam yang ada dalam garasi. Ia bersama kedua temannya dengan sengaja meletakkan kotak-kotak itu di situ, di tempat yang pasti akan kelihatan oleh siapa pun juga yang mengintai.
Tiba-tiba Jupiter dan Bob datang berlari-lari dari salah satu pekarangan lain di blok itu juga. Mereka membawa sebuah kotak lagi yang juga berwarna hitam. Kelihatan jelas sikap mereka yang bersemangat, sewaktu bergegas-gegas menuju rumah Pete.
"Ada apa?" seru Pete.
Bob dan Jupiter memasuki pekarangan rumah keluarga Crenshaw.
"Kata Jupe, kelihatannya kita sudah berhasil menemukannya!" jawab Bob dengan suara lantang. "Kaulihat saja apa yang kami temukan!" seru Jupiter menimpali, sambil berlari menuju garasi dengan napas terengah-engah.
Di dalam garasi yang pintunya dibiarkan tetap terbuka, ketiga remaja itu berdiri dengan sikap bergairah mengelilingi kotak hitam yang diletakkan Jupiter di lantai. Pemimpin Trio Detektif yang bertubuh gempal itu membuka kotak itu, lalu menatap Pete dengan bergairah. Pete memandang ke dalam kotak yang terbuka.
"Wow!" seru remaja bertubuh jangkung itu. "Ini lain lagi!"
"Aku yakin, pasti inilah yang dicari-cari pencuri itu!" Jupiter berbicara dengan suara yang sengaja dikeraskan. "Ya, betul," kata Bob menimpali. "Kita apakan sekarang, Jupe?"
"Yah..." Jupiter kelihatannya seperti berpikir sebentar. "Sekarang sudah terlalu malam. Aku sebenarnya sudah harus ada di rumah satu jam yang lalu. Lebih baik kita biarkan saja dulu malam ini di sini, dan pintu garasi kita kunci. Besok pagi kita serahkan pada polisi."
"Ya, sekarang memang sudah terlalu malam," kata Pete.
"Aku juga harus pulang," kata Bob. "Besok saja kita serahkan ke polisi."
Kotak hitam yang terakhir mereka letakkan di atas meja tempat bertukang yang terdapat di salah satu pojok garasi itu. Setelah memadamkan lampu, mereka bertiga keluar. Pintu garasi mereka amankan dengan kunci gembok. Bob dan Jupiter mengambil sepeda masing-masing. Mereka melambai ke arah Pete, lalu pergi mengendarai sepeda. Ketika keduanya sudah menghilang di balik tikungan, Pete masuk ke rumahnya.
Jalan yang gelap dan diselimuti kabut kembali lengang.
Tapi di balik tikungan, di tempat yang tidak mungkin kelihatan oleh orang yang mungkin saat itu sedang mengintai rumah dan garasi keluarga Crenshaw, Bob dan Jupiter cepat-cepat menaruh sepeda-sepeda mereka di suatu tempat yang terlindung bayangan segerombol pohon ekaliptus yang lebat. Setelah itu mereka menyelinap lewat pekarangan belakang rumah-rumah, kembali ke arah rumah keluarga Crenshaw. Mereka bergerak dengan sembunyi-sembunyi lewat pekarangan rumah keluarga Dalton yang bersebelahan letaknya dengan rumah keluarga Pete, lalu bersembunyi di balik bayangan semak tinggi yang membatasi pekarangan kedua rumah itu.
Pintu depan garasi rumah Pete terletak di balik pagar tanaman itu.
Dengan hati-hati kedua penyelidik remaja itu beringsut-ingsut maju, merangkak di bawah semak. Mereka berhenti ketika sudah sampai di tempat yang terlindung, tapi dari mana dengan cepat mereka bisa meloncat ke jalan masuk di pekarangan rumah keluarga Crenshaw. Mereka bisa dengan jelas melihat Pete, yang saat itu sedang berdiri di balik jendela kamar tidurnya yang menghadap ke garasi. Teman mereka itu sedang mengancingkan baju piyamanya. Ia masih berdiri selama beberapa saat di balik jendela. Beberapa kali ia menguap. Setelah itu lampu di kamarnya dipadamkan.
Tidak ada yang nampak bergerak dalam kegelapan malam berkabut.
Setengah jam sudah berlalu. Kaki Jupiter yang meringkuk di bawah semak sudah kesemutan, sedang Bob harus berkutat mengatupkan geraham, menahan gigi yang hendak gemeletuk kedinginan. Seekor kucing yang sedang mencari makan dalam tong sampah di pekarangan keluarga Dalton menimbulkan bunyi berkelontang di situ. Dua orang laki-laki lewat dijalan, sambil bercakap-cakap dengan suara lantang. Tapi mereka tidak berhenti. Suara mereka semakin samar, dan akhirnya tak kedengaran lagi ketika mereka sudah berada di blok berikut.
Kesangsian mulai timbul dalam diri Jupiter. Jangan-jangan rencananya gagal, katanya dalam hati. Habis, pencuri yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul! Sedang orang tua Pete yang malam itu kebetulan pergi, mungkin tidak lama lagi akan pulang dan menyebabkan jebakan yang dipasang itu gagal.
Bob masih terus menggigil di tengah kabut. Malam itu memang dingin. Mata Jupiter mulai terasa berat.
Tiba-tiba datanglah saat yang ditunggu-tunggu begitu lama.
"Jupe!" kata Bob dengan suara berbisik lirih.
Seorang laki-laki muncul di depan pekarangan di ujung jalan mobil yang menuju ke garasi. Sosoknya nampak samar-samar saja, diterangi sinar lampu jalan. Orang itu berkumis lebat. Dialah pencuri berjubah yang ditunggu-tunggu.
"Aku sudah melihatnya," balas Jupiter dengan berbisik pula.
Laki-laki bertubuh kecil itu celingukan dengan sikap gelisah. Setelah itu ia masuk ke pekarangan dan langsung menuju garasi. Jupiter berbicara dengan suara lirih,
"Ingat, kita biarkan dulu sampai ia sudah masuk ke garasi, lalu pintu kita ganjal dari luar! Kau menjaga jendela belakang, aku menjaga pintu, sedang Pete memanggil polisi!"
Bob mengangguk, tanda mengerti. Kedua remaja itu memperhatikan dengan tegang, sementara orang yang datang itu mengeluarkan semacam perkakas dari kantung jubahnya. Dengan perkakas itu dibukanya gembok pengunci pintu garasi. Begitu pintu sudah terbuka, dengan segera orang itu masuk. Jupiter cepat-cepat berdiri.
"Sekarang kita bertindak, Bob! Cepat!"
Kedua remaja itu merangkak keluar dari bawah semak lalu langsung meloncat, dan - sinar menyilaukan tepat mengenai mata mereka! "Apa - !" seru Bob.
Kedua remaja itu melindungi mata yang silau kena cahaya yang datang dari sisi garasi yang bersebelahan dengan semak pagar. Kemudian sinar itu lenyap, digantikan suara seram yang memecah kesunyian malam. Suara itu nyaring, menegakkan bulu roma. Bunyinya seperti geraman binatang buas!
Arah suara itu rasanya seperti dari tempat sinar menyilaukan tadi. Sementara kedua remaja yang ketakutan itu masih menatap ke arah di antara garasi dan pagar semak, tahu-tahu di situ muncul sesuatu wajah yang diterangi sinar remang menyeramkan.
Makhluk yang mereka tatap itu tidak berwajah manusia, tapi semacam binatang bermuka lebar, bersurai hitam, dan gondrong. Matanya sipit dan memancarkan sinar merah menyala, sementara mulutnya yang besar menganga lebar, memamerkan deretan gigi yang runcing! Sepasang tanduk panjang mencuat di sisi kepala yang besar, sedang dari bagian ubun-ubun tersembul surai yang panjang terjela seperti ekor. Bob dan Jupe menatap wajah suatu makhluk yang kelihatan bengis, dengan deretan gigi runcing yang kelihatan seperti menyala diterangi sinar remang yang aneh.
"Ju... Ju... Jupe!" Bob tergagap-gagap karena ngeri.
Kedua remaja itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menatap wajah menyeramkan itu. Kemudian sinar remang yang aneh itu padam, dan bersamanya lenyap pula wajah bengis itu.
Bob dan Jupe masih tetap belum mampu berkutik. Mereka tetap berdiri seperti terpaku, dengan tubuh menggigil.
"Jupe! Bob!" Pete memanggil-manggil dari rumahnya. Ia berdiri di depan jendela kamar tidurnya, sambil menuding-nuding dengan gugup ke arah jalan masuk yang menuju garasi. Nampak di situ pencuri yang bertubuh kecil lari ke jalan raya.
"Pencuri itu mengambil kotak kita!" seru Pete. "Sekarang ia melarikan diri!"
Rupanya orang itu berhasil menyelinap ke dalam garasi, ketika Jupe dan Bob masih belum mampu berbuat apa-apa karena ketakutan. Orang itu kini lari, dengan membawa kotak hitam yang sengaja ditaruh anak-anak di dalam garasi sebagai pancingan untuk menjebak orang itu.
Bob yang paling cepat bereaksi.
"Kita kejar dia, Jupe!" serunya, lalu lari menuju jalan raya, mengejar pencuri berjubah panjang itu. Jupe menyusul dengan segera, sementara Pete baru menggabungkan diri ketika kedua temannya sudah sampai dijalan. Pete menuding ke arah pencuri, yang lari menuju sebuah mobil Datsun yang diparkir di seberang jalan. Ketiga remaja itu langsung mengejar ke sana. Tahu-tahu Bob menubruk seorang pria yang secara tiba-tiba saja muncul di depan mereka.
"Ada apa ini?" tukas orang itu, sambil memegang Bob. "Seenaknya saja lari tanpa melihat, sehingga menubruk orang yang sedang berjalan!"
Pria itu bertubuh langsing. Rambutnya sudah beruban. Ia memakai kaca mata tak berbingkai. Pinggirnya diikat dengan pita hitam yang disematkan ke rompi setelan kelabunya yang rapi. Ia menatap ketiga remaja yang berdiri di depannya dengan sikap curiga, seperti guru yang sedang menghadapi murid-murid nakal. Kelopak matanya yang sebelah kiri bergerak-gerak.
"Orang itu pencuri!" seru Bob, sambil menunjuk ke arah laki-laki berjubah yang saat itu masuk ke dalam mobil Datsun merah.
"Dan ia lolos!" kata Pete sambil mengeluh.
Terdengar bunyi mesin dinyalakan, dan saat berikutnya mobil merah itu melesat pergi dengan bunyi menderu. Anak-anak dan pria yang ditubruk Bob tadi memperhatikan kendaraan itu menghilang di kejauhan.
"Kita tidak boleh sembarangan menuduh orang mencuri, Anak muda," kata pria tak dikenal itu dengan nada ketus. "Apakah yang diambilnya?"
"Sebuah kotak jinjing berwarna hitam!" kata Bob dengan sengit. "Jika Anda tadi tidak mencegat kami, pasti kami..."
"Apakah yang ada dalam kotak itu?" tanya pria itu.
"Di - di dalam -" Pete tergagap-gagap.
Melihat gelagat yang tidak enak itu, Jupiter buru-buru menyela,
"Kami tidak bisa mengatakan apa isinya, Sir."
"Aku mengerti." Pria itu melotot. "Rupanya keisengan remaja, ya? Baiklah kalau begitu. Sekarang lebih baik kalian pulang saja. Jangan suka berbuat iseng seperti itu."
Pria itu berbalik dengan sikap ketus, lalu pergi. Jupiter memperhatikannya terus sambil termenung, sampai orang itu tidak kelihatan lagi karena membelok di sudut jalan.
"Apakah orang itu tinggalnya di daerahmu ini, Pete?" tanya Jupiter kemudian.
"Baru sekali ini aku melihatnya," jawab Pete. "He! Maksudmu, mungkin dia tadi sengaja mencegat kita, supaya pencuri itu bisa meloloskan diri dari kejaran?" Jupiter mengangguk-angguk dengan lambat. "Kurasa itu mungkin saja, Dua."
"Jupe?" kata Bob. "Bagaimana dengan... itu dengan wajah yang kita lihat tadi? Makhluk yang kita lihat itu juga membantu pencuri, sehingga dia bisa mengambil kotak hitam tanpa kita ketahui. Makhluk apa itu?" "Aku tidak tahu, Bob," jawab Jupe sambil menggeleng lagi.
"Wajah yang mana?" tanya Pete. Ia tadi tidak melihat wajah menyeramkan itu muncul, karena pandangannya dari tingkat atas rumahnya terhalang garasi.
Bob menceritakan wujud wajah menyeramkan yang dilihatnya bersama Jupiter tadi.
"Mungkin kalian cuma melihat bentuk kabut yang bergerak-gerak," kata Pete, setelah menelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang tahu-tahu terasa kering.
"Apa pun juga yang kami lihat itu," kata Bob dengan geram, "yang jelas, hal itu menyebabkan pencuri berhasil meloloskan diri!"
"Itu belum pasti," ujar Jupe. Dipandangnya Bob dan Pete sambil nyengir. "Untuk berjaga-jaga kalau rencana kita yang semula meleset, aku memasang alat pemancar isyarat dalam kotak yang diambilnya itu. Jika kita bernasib mujur, alat itu akan mengarahkan kita ke pencuri itu."
"Itu kalau ia sementara ini belum terlalu jauh," keluh Pete.
"Kurasa belum," kata Jupe. "Selama dua hari belakangan ini ia berkeliaran di sekitar sini. Jadi kemungkinannya ia mempunyai tempat tinggal sementara di sini. Kita periksa saja, apakah dugaanku itu betul."
Jupiter mengeluarkan alat penerima isyarat buatannya sendiri untuk keperluan Trio Detektif, dan langsung menyalakannya. Setelah tidak ada apa-apa sesaat, kemudian terdengar bunyi isyarat yang teratur dan lambat. Tut... tut... tut...
"Itu dia!" seru Jupe dengan gembira. "Dari jarak antara dua bunyi isyarat, kurasa orang itu berada sekitar dua mil dari sini!"
Ketiga remaja itu bergegas mengambil sepeda masing-masing.

Bab 4
SETAN ITU MENYERGAP

BUNYI isyarat yang terdengar secara teratur menjadi pemandu jalan bagi ketiga remaja itu. Mereka bersepeda ke arah pantai. Mereka mengayuh lambat-lambat di tengah kabut tipis yang menyelubungi, sambil mendengarkan bunyi isyarat serta memperhatikan arah jarum penunjuk yang terpasang pada alat penerima yang dibawa Jupe.
"Kita semakin dekat," kata Jupiter. "Kelihatannya orang itu ada di dekat pelabuhan, tapi lebih ke arah pantai."
Alat penerima isyarat buatan Jupiter bekerja dengan dua sistem: bunyi yang masuk terdengar lebih nyaring dan juga lebih sering apabila posisi alat pemancar didekati, sedang sebuah jarum penunjuk arah memberi tahu apakah isyarat bunyi yang masuk itu datang dari kanan, kiri, atau dari depan. Selain itu masih ada pula suatu pemberi isyarat bahaya, berupa lampu merah yang akan langsung menyala apabila ada orang mengucapkan kata "tolong" di dekat alat pemancar. Tapi saat itu Jupe beserta kedua temannya tidak menaruh perhatian pada kemungkinan itu.
"Bunyinya agak bertambah nyaring," kata Pete mengomentari, ketika mereka sampai di tepi pantai.
"Dan panah menunjuk ke kiri," kata Bob, sambil memperhatikan alat penerima yang ditaruh di keranjang sepeda Jupiter.
Jarum pada alat itu menunjukkan arah menjauhi pelabuhan. Ketiga remaja itu membelokkan sepeda mereka memasuki jalan raya yang menyusur pantai. Tidak banyak mobil lewat pada saat malam berkabut itu. Orang-orang yang biasanya pesiar malam-malam di tepi pantai, begitu pula para remaja yang berpiknik tidak seorang pun nampak. Rupanya semua enggan keluar, karena kecuali kabut, hawa malam itu juga dingin. Jupiter, Bob, dan Pete mengayuh sepeda di tengah kesunyian. Satu-satunya bunyi yang terdengar hanyalah isyarat itu saja. Bunyinya semakin nyaring dan kerap.
Ketika mereka melewati daerah motel-motel, tahu-tahu bunyi isyarat itu kemudian menjadi lebih pelan dan bertambah jarang.
"Kita sudah melewatinya!" kata Bob.
"Mungkin orang itu berada di salah satu motel yang kita lewati," kata Pete.
"Bukan mungkin lagi, tapi sudah pasti," ujar Jupiter dengan mantap. "Sebaiknya kita taruh saja sepeda-sepeda kita di salah satu tempat, lalu maju dengan berjalan kaki. Kita harus berhati-hati, karena ia kan tahu kita ini siapa."
Ketiga anggota Trio Detektif itu menyembunyikan sepeda-sepeda mereka dalam semak hias yang ditanam di antara dua motel. Setelah itu mereka berjalan kaki, kembali menyusur jalan gelap yang tadi sudah dilewati dengan sepeda. Bunyi isyarat yang terdengar dari alat penerima yang dibawa Jupiter terdengar semakin jelas dan kerap. Akhirnya jarum pada alat itu menunjuk arah yang tegak lurus dengan jalan, menuju ke pantai.
"Orang itu pasti ada di situ!" kata Jupiter.
Ia menunjuk ke sebuah motel yang terselubung kabut. Letaknya antara jalan dan pantai. Tulisan "Palm Court" yang terbuat dari batang-batang lampu neon berwarna hijau dan merah muda berkedip-kedip, sebentar-sebentar menyala, padam, lalu menyala lagi. Lampu-lampu sorot berwarna-warni menerangi bagian depan motel itu. Bangunannya tidak besar dan tidak bertingkat, terdiri dari tiga bagian yang disusun membentuk huruf G, menghadap ke jalan. Di depan kebanyakan ruangannya nampak mobil-mobil diparkir. Dari jalan raya, Jupe beserta kedua temannya memperhatikan mobil-mobil yang ada dalam pekarangan penginapan itu. Akhirnya Pete menggeleng.
"Aku tidak melihat Datsun merah, Jupe," katanya. Mobil merah yang dipakai pencuri melarikan diri memang tidak ada di pekarangan penginapan itu.
"Jangan-jangan ia menemukan alat pelacak jejak itu," kata Bob, "lalu sengaja ditinggalnya di sini, untuk menipu kita!"
"Itu bisa saja," kata Jupiter. Suaranya agak bernada cemas.
"Orang itu pasti sudah tahu bahwa kita bermaksud memancing dia," kata Pete. "Cukup banyak waktu baginya untuk membuka kotak itu, dan melihat bahwa isinya cuma pipa besi yang sudah berkarat!"
"Ya, kurasa ia tahu bahwa kotak itu cuma jebakan saja," kata Jupe dengan murung. Tapi kemudian suaranya terdengar mantap kembali. "Walaupun begitu kita tidak boleh cepat-cepat menyerah, selama belum pasti bahwa tidak ada harapan lagi! Sekarang kita cari saja, dari mana datangnya isyarat yang masuk ke alat kita ini."
Tanpa menunggu persetujuan kedua temannya, remaja bertubuh gempal itu langsung saja lari memasuki pekarangan motel itu. Dengan pandangan terpaku pada alat penerima, ia mengitari bangunan-bangunan di situ ke arah belakang, diikuti oleh Bob dan Pete. Sisi belakang kompleks itu ternyata berbatasan langsung dengan pantai. Ketiga remaja itu menyelinap dalam gelap, di antara sisi belakang penginapan dan bukit-bukit pasir yang memagari pantai. Pohon-pohon palem tinggi yang terdapat di situ diselubungi kabut yang bergerak-gerak.
Ketika sudah sampai di pertengahan bangunan yang terletak di sisi belakang, jarum pada alat penerima menunjuk langsung ke salah satu ruang motel yang terdapat di situ!
"Kamar itu gelap, Jupe!" bisik Bob. "Tidak ada siapa-siapa di situ!"
"Orang itu sudah pergi lagi!" keluh Pete.
"Mungkin tadi ia harus pergi sebentar, dan sekarang kembali lagi. Mungkin juga ia belum sempat membuka kotak itu!" kata Jupiter. "Yuk!"
Sambil mengendap-endap dihampirinya sisi belakang ruangan yang gelap itu, diikuti oleh Bob dan Pete. Langkah mereka menimbulkan bunyi pelan di atas pasir pantai yang agak kasar. Sementara itu jarum penunjuk masih terus langsung mengarah ke ruangan yang dituju, sedang bunyi isyarat bertambah kerap datangnya, dan...
"Tiarap!" desis Pete. Sambil menjatuhkan diri ke pasir, didorongnya Bob dan Jupiter ke bawah.
Pintu belakang ruangan gelap itu kelihatan bergerak.
Seseorang bertubuh langsing melangkah keluar dari dalam ruangan. Sesaat ia berdiri dalam gelap, sambil memandang berkeliling. Mukanya tidak nampak, karena terlindung bayangan bangunan. Anak-anak yang tiarap di
tempat terbuka menahan napas. Mereka berusaha berbaring lebih rendah lagi di atas pasir, karena sadar bahwa hanya kabut saja yang melindungi mereka dari pandangan orang bertubuh langsing itu.
Sikap pria yang tidak nampak mukanya itu tiba-tiba menegang dan semakin nampak menyelidik.
Kelihatannya seperti mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan.
Pasti ia mendengar bunyi isyarat yang datang dari alatku, pikir Jupiter dengan perasaan cemas. Alat itu dibenamkannya ke dalam pasir, tapi bunyi yang terdengar belum juga sepenuhnya teredam. Dengan gugup ditekannya tombol untuk mematikannya. Jupiter menarik napas lega, ketika bunyi samar itu akhirnya lenyap.
Pria yang tidak nampak jelas di depan ruangan itu masih bersikap menyelidik selama sesaat lagi. Kemudian sikapnya berubah, tidak lagi nampak curiga. Ia melangkah pergi. Ketika membelok di sudut bangunan, wajahnya diterangi sebentar oleh lampu yang menyala di ruang penginapan di situ.
"Jupe!" bisik Bob.
Orang itu ternyata pria berpakaian setelan kelabu rapi yang tahu-tahu mencegat ketika mereka sedang mengejar pencuri berjubah di dekat rumah Pete!
"Ternyata ia ada sangkut-pautnya dengan pencuri itu!" seru Pete dengan suara tertahan. "Kelihatannya memang begitu," balas Jupe sambil berbisik.
Ketiga remaja itu masih tetap rebah di pasir selama beberapa menit lagi. Tapi laki-laki tadi tidak muncul kembali. Karenanya mereka lantas menyelinap ke sudut bangunan, untuk melihat ke mana orang itu pergi. Tapi mereka tidak melihat siapa-siapa. Mereka maju dengan berhati-hati menuju bagian yang terbuka antara bangunan belakang motel dan bangunan samping. Dari situ mereka melihat orang tadi. Ia berada di seberang halaman depan motel. Sementara Jupe dan kedua temannya mengintai, orang itu masuk ke sebuah mobil Mercedes berwarna hitam mengkilat. Mobil anggun itu langsung meluncur meninggalkan motel.
Anak-anak kembali ke kamar yang gelap, lalu mengintip ke dalam lewat celah tirai jendela belakang yang tidak ditutup rapat. Ruangan itu nampak remang-remang, diterangi sinar lampu-lampu sorot berwarna-warni di halaman motel, yang memancar masuk lewat celah-celah tirai jendela depan. Kelihatannya tidak ada orang di dalam. Tapi di lantai nampak sejumlah bentuk gelap.
"Nah!" ujar Jupiter dengan suara lirih. Dicobanya membuka pintu belakang. Ternyata bisa. Pete dan Bob mengikutinya masuk ke dalam kamar.
"Awasi sebelah depan, Pete," kata Jupe menginstruksikan.
Kotak-kotak hitam berukuran kecil berserakan di lantai. Sementara Pete berjaga-jaga dekat jendela sebelah depan, Jupe dan Bob meneliti kotak-kotak itu. "Semuanya ada di sini!" kata Bob.
"Betul," kata Jupe, "termasuk boneka Winnie dan pipa besi kita! Tapi kita masih tetap belum tahu, apa sebetulnya yang dicari-cari pencuri itu. Bob, kau memeriksa yang sebelah kiri, sedang aku mengambil yang sebelah kanan. Cari petunjuk-petunjuk yang mungkin bisa memberi penjelasan, apa sebetulnya yang dicari orang itu!"
Tapi di samping kotak-kotak yang ada di lantai, kamar motel itu boleh dibilang kosong sama sekali. Tidak ada kopor atau pakaian atau apa saja yang bisa dipakai sebagai petunjuk tentang niat si pencuri.
"Ada mobil merah datang!" kata Pete dengan tiba-tiba dari tempat penjagaannya di dekat jendela depan. Ia mengintip ke luar lewat celah tirai. "Datsun yang tadi, datang mengarah kemari!"
"Cepat, kita keluar! Kita lihat, mau apa orang itu!" kata Jupiter.
Mereka bergegas keluar lewat belakang, lalu berjongkok dekat jendela yang ada di situ. Beberapa saat kemudian lampu-lampu di dalam kamar dinyalakan. Untuk pertama kali Jupe, Bob, dan Pete bisa melihat pencuri bertubuh kecil itu dengan jelas. Orangnya pendek sekali, kira-kira satu meter lima puluh. Di balik mantel besar yang menyelubungi tubuh, ia memakai jas model santai yang sudah lusuh dan ditambal di sana-sini serta celana panjang berwarna coklat yang kelihatan sudah lama tidak disetrika. Rambutnya sudah beruban dan kusut. Mukanya kurus dan lancip, dengan deretan gigi kecil-kecil di bawah bentuk hidung yang lancip. Matanya kecil dan berair. Di balik kumis besar dan tebal, tampang pencuri itu mirip tikus kecil yang keriput.
"Wah," bisik Pete dari balik jendela, "kelihatannya ia bukan pencuri yang hebat."
"Ya, memang," sambut Bob sambil berbisik pula. "Coba lihat, Jupe - kelihatannya ia gugup sekali! Seperti tikus celurut yang ketakutan!"
Pencuri bertubuh kecil itu berdiri di dalam kamar, tidak jauh dari pintu depan yang dibiarkan terbuka. Ia menatap kotak-kotak hitam yang berserakan di lantai ruangan. Nampaknya ada sesuatu yang mengganggu perasaannya. Ia mengerutkan kening, sambil menggerak-gerakkan hidungnya yang lancip, seperti tikus yang sedang mengendus-endus, mencari-cari bau sesuatu yang berbahaya. Anak-anak yang mengintai dari balik jendela melihat bibir orang itu komat-kamit seperti sedang bicara pada dirinya sendiri. Jupiter menyenggol kedua temannya.
"Kurasa ia tahu, sebelum dia ada orang masuk ke situ!" bisiknya dengan sikap tegang.
"Kalau begitu, kita harus buru-buru menyingkir dari sini!" kata Pete menanggapi.
Sambil merunduk-runduk, ketiga penyelidik remaja itu menyelinap pergi menjauhi jendela, menuju bukit pasir terdekat. Kabut masih melayang-layang di udara. Pohon-pohon palem yang tinggi memagari pantai, seperti barisan pengawal yang bisu. Di balik bukit pasir yang dituju, ketiga remaja itu buru-buru berembuk sebentar.
"Mungkin sebaiknya orang itu kita tangkap saja," kata Bob menyarankan. "Tubuhnya kan kecil -jadi kalau kita sergap beramai-ramai, pasti bisa!"
Tapi Jupiter tidak setuju.
"Itu namanya cuma cari-cari kesulitan saja, Bob," katanya. "Menjebaknya dalam garasi, itu soal lain. Kalau menangkapnya secara langsung, risikonya tidak kecil. Karena siapa tahu, jangan-jangan ia membawa senjata. Kalau nanti kalap bagaimana?!"
"Tapi kita harus berbuat sesuatu," desak Pete.
"Kurasa sekarang sudah waktunya kita memanggil polisi," kata Jupiter mengambil keputusan. "Pete, kau mengamat-amati dari sini. Bob, kau mengitar ke depan, lalu catat nomor Datsun itu. Kita harus berjaga-jaga, siapa tahu pencuri itu tahu-tahu pergi lagi. Aku akan mencari pesawat telepon, untuk menghubungi Chief Reynolds. Setelah itu aku..."
Kalimatnya terpotong oleh sinar yang tahu-tahu muncul di sebuah bukit pasir yang terdapat dekat tempat mereka. Sinar terang yang disertai kepulan asap putih, serta suara ganas yang menggeram. Sebuah sosok buas tegak di atas bukit pasir itu. "Wajah... wajah itu!" kata Bob tergagap-gagap.
Benar! Itulah wajah yang dilihat oleh Bob dan Jupe di samping garasi! Berambut gondrong terjurai, dengan sepasang tanduk panjang, mata sipit merah nyala, dan sederet gigi runcing yang bersinar seperti api. Tapi kini anak-anak melihat keseluruhan sosok itu. Sosok jangkung menyeramkan, dengan rambut dan bulu lebat yang menumbuhi lengan dan kaki tegap berotot. Pada leher makhluk itu bergelantungan tulang-belulang. Tulang-tulang, sejumlah genta, giring-giring, serta berkas-berkas gandum bertonjolan dari pending yang melilit pinggangnya. Bagian dada dan punggungnya tertutup kulit seekor serigala yang masih ada kepalanya. Kepala serigala itu menyeringai, seakan-akan menatap langsung ke arah Jupiter serta kedua temannya.
"A... a... apa... itu?" tanya Pete terbata-bata dengan suara gemetar.
Bob dan Jupiter tidak sempat lagi menjawab. Sosok buas yang memancarkan sinar aneh dan menyeramkan itu mulai menandak-nandak dalam gelap. Genta-genta dan giring-giringnya bergemerincing, tulang-belulang gemeretak mengiringi irama geraknya. Dengan gerakan berat dan lamban, makhluk itu menari-nari, mendatangi anak-anak.
"Lari!" teriak Bob.

Bab 5
KEPANIKAN BERTUBI TUBI

KETIGA remaja itu lari pontang-panting. Dengan napas tersengal-sengal, mereka tersaruk-saruk melintasi pantai gelap yang berkerikil.
"Ke sana! Ke batu-batu itu!" teriak Pete.
Di sebelah kanan mereka ada batu-batu besar membentuk semacam punggung memotong pantai, dari bukit-bukit pasir menjorok sampai ke laut, membentuk penahan gelombang. Ketiga remaja itu lari ke sana. Ketika sampai di kaki tumpukan batu itu, mereka menoleh ke belakang.
"Makhluk itu lenyap!" kata Bob dengan heran. Suaranya gemetar.
Di belakang mereka, pantai nampak gelap dan lengang. Kecuali beberapa mobil yang melintas dijalan raya pantai di kejauhan, dengan lampu-lampu yang kelihatan redup karena cahayanya tertahan kabut, tidak ada apa-apa lagi yang nampak bergerak di malam yang gelap itu.
"Tapi tadi... tadi kan ada di sana," kata Pete tersengal-sengal. "Atau hanya sangkaan kita saja?"
"Kita sungguh-sungguh melihatnya! Kita mendengar suaranya!" kata Bob.
"Betul," ujar Jupiter sambil menjatuhkan diri ke atas sebuah batu besar. Ia berusaha mengatur napas yang terasa sesak karena lari pontang-panting tadi. "Kita melihatnya, kita mendengarnya, tapi... apa sebetulnya yang kita lihat dan dengar tadi, Teman-teman?"
Pete dan Bob menjatuhkan diri ke pasir.
"Aduh, ampun," keluh Pete. "Kan bukan hantu? Makhluk tadi itu kan benar-benar ada, Jupe? Bilang ya, Jupe!" Tapi dengan segera Pete mengeluh lagi. "Aduh, jangan -jangan, Jupe! Jangan bilang yang kita lihat itu benar-benar ada!"
"Kurasa tadi itu bukan hantu, Dua," kata Jupe, masih dengan suara terputus-putus. Nadanya tidak begitu yakin. "Memang mungkin saja ada penampilan-penampilan gaib yang biasa disebut hantu, tapi yang tadi itu..." "Semacam tipuan mata, Jupe?" sela Bob. "Semacam ilusi?"
"Mana mungkin, ilusi bisa menandak-nandak seperti tadi, lalu bergerak mendatangi kita?" bantah Pete. "Entahlah," kata Jupe, setelah berpikir sebentar.
"Tampangnya sih, seperti semacam setan," kata Bob. "Setan berwujud setengah binatang, setengah manusia." "Maksudmu, setan asli?" tanya Pete ketakutan. "Benar-benar setan?"
"Sosok yang kita lihat tadi itu memang ada kemiripannya dengan wujud salah satu setan dalam kebudayaan suku tertentu," kata Jupiter mengakui, lalu merenung lagi. "Hmmm. Yah, apa pun juga sebenarnya, makhluk tadi bermaksud menakut-nakuti kita. Itu sudah pasti!"
"Tapi kita kan tidak begitu gampang ditakut-takuti, ya, Jupe?" kata Bob dengan tabah.
"Aku sih, sudah jelas takut!" kata Pete tanpa malu-malu.
Jupiter dan Bob tersenyum. Soalnya mereka tahu, kata-kata itu diucapkan Pete hanya untuk mengurangi rasa tegang. Tapi kalau waktunya sudah tiba untuk bertindak, biasanya Pete yang paling dulu bergerak. Dan maju - bukan mundur teratur!
Ketiga remaja itu duduk di atas batu selama beberapa waktu, untuk memulihkan napas. Sebentar-sebentar Pete menatap ke tengah kabut dengan sikap gelisah, seakan-akan khawatir kalau-kalau sosok menyeramkan tadi akan muncul dan mengejarnya. Tapi keadaan tetap sunyi.
"Nah, sudah cukup lama kita beristirahat," kata Jupe kemudian. "Kurasa sebaiknya sekarang kita berjalan ke depan, lalu dari arah jalan raya mengitar kembali ke motel itu. Kita lanjutkan rencana kita seperti semula. Hanya sementara aku menghubungi polisi, kalian berdua sebaiknya mengintip lagi ke kamar tadi, kalau-kalau ada orang lain di situ. Aku yakin, pencuri itu tidak bekerja sendiri. Paling sedikit ada satu temannya. Ingat tidak, bagaimana sikap laki-laki berjubah itu ketika berada dalam kamar? Mulutnya komat-kamit seperti berbicara pada diri sendiri. Kurasa ia saat itu berbicara dengan seseorang yang ada di belakangnya. Jadi masih berada di luar! Karena itulah kita tidak melihatnya."
"Mungkin ia bicara dengan makhluk seram tadi," ujar Bob.
"Maksudmu, sosok seram itu peliharaannya? Asyik! Aku paling senang kalau harus berurusan dengan makhluk-makhluk seperti itu," kata Pete. Tapi nada suaranya bertolak belakang dengan kata-kata yang diucapkannya.
"Jangan takut, Pete." Bob tertawa. "Makhluk peliharaan, atau cuma ilusi saja, yang jelas makhluk itu sudah tidak ada lagi."
"Siapa bilang!" seru Pete dengan wajah pucat pasi. "Lalu... itu apa?"
Kedua temannya terkejut.
Terdengar suara geraman menyeramkan.
Makhluk menyeramkan itu muncul lagi, di batu-batu tepat di atas kepala mereka. Kepala yang besar, bertanduk dan berambut gondrong, mata sipit menyala dan deretan gigi yang seperti bersinar, sedangkan kepala serigala yang tergantung di dadanya seperti hendak menyihir ketiga remaja yang menggigil ketakutan itu. Sementara mereka terpana memandangnya, makhluk aneh itu mulai menandak dan berjingkrak-jingkrak. Bunyi gemerincing genta dan gemeretak tulang-tulang menambah keseraman. Tiba-tiba makhluk itu berbicara. Suaranya aneh dan bergaung, sehingga seakan-akan datang dari segala arah.
"Semua yang mencemarkan kesucian roh-roh harus ditumpas!"
Suara itu menggugah anak-anak dari keadaan terpukau. Mereka cepat-cepat berdiri dengan panik, lalu berpaling untuk melarikan diri. Tapi ketika Bob berbalik, kakinya tersandung batu besar yang terbenam dalam pasir. Ia terjerembab.
Pete dan Jupiter yang sementara itu sudah lari, mendengar bunyi berdebam. Mereka berhenti lalu memandang ke belakang. Keduanya kaget setengah mati melihat teman mereka menelungkup tanpa daya di pasir.
Makhluk ganas yang berdiri di atas batu-batu tertawa, lalu membungkukkan badan ke depan. Rupanya ia bermaksud meloncat ke bawah, menerkam Bob.
Dengan cepat Pete memungut sebuah batu lalu melemparkannya dengan sekuat tenaga ke arah makhluk itu.
"Ahhhhhrrrr - !"
Sosok ganas itu melangkah mundur, mengguncang-guncang kepalanya yang besar, lalu sekali lagi merunduk, mengambil ancang-ancang untuk menerpa.
"Bantu aku, Jupe!" seru Pete, sambil memungut batu lalu melempar lagi.
Jupiter pun ikut melempar. Berulang kali kedua anak itu melempari makhluk itu dengan batu, sementara Bob berusaha berdiri.
"Ini peringatan bagi kalian, hai manusia!"
Tahu-tahu ada sinar menyilaukan disertai kepulan asap putih - dan makhluk seram itu pun lenyap! Pete meneguk ludah karena kaget.
Bob datang berlari-lari menghampiri. Napasnya memburu. "Terima kasih, Teman-teman! Sesaat tadi kukira -" "Lenyap lagi!" kata Pete. "Tahu-tahu hilang!"
"Coba kita periksa ke sana!" ujar Jupiter dengan geram. Walau segan, tapi Pete dan Bob mengikutinya juga, menghampiri batu-batu tempat makhluk seram tadi muncul. Sesampainya di sana, mereka memandang ke segala arah. Tapi tidak ada sesuatu pun yang kelihatan bergerak, baik di pasir pantai, di batu-batu, atau di mana pun juga. Makhluk tadi sekali lagi menghilang, lenyap seperti ditelan kabut. Jupiter membungkuk, menyentuh suatu onggokan yang keputih-putihan.
"Abu!" katanya. "Abu panas!"
Hanya tumpukan abu panas itu saja yang masih tersisa di tempat makhluk ganas tadi berdiri. "Kita pulang saja, yuk," ajak Pete.
"Belum waktunya!" kata Jupiter dengan ketus. "Kita lanjutkan rencana kita yang tadi!" Pete mengerang.
"Maksudmu - kembali ke motel?"
"Betul, Dua," jawab Jupiter dengan tegas. "Dan aku akan menelepon Chief Reynolds."
Polisi datang sepuluh menit setelah Jupiter menghubungi mereka. Tapi sayang, itu sudah terlambat! Ketika Pete dan Bob tiba kembali di motel, ternyata mobil Datsun merah sudah tidak ada lagi di sana, begitu pula pencuri yang bertubuh kecil. Dalam kamar yang selama itu ditempati tidak ada apa-apa kecuali kotak-kotak hitam hasil curiannya.
"Menurut keterangan manager penginapan ini, laki-laki bertubuh kecil itu seorang diri saja menginap di sini, dan ia pergi tanpa meninggalkan alamat tujuan," kata Chief Reynolds memberitahukan hasil pemeriksaannya. "Sudah jelas ia mendaftarkan diri di sini dengan nama palsu, Anak-anak. Tapi aku sudah menugaskan orang-orangku untuk mencari Datsun merah itu. Mungkin sementara ini ia sudah jauh dari sini - tapi kami pasti akan berhasil menemukannya. Dan kami takkan bisa digertak dengan makhluk setan yang kalian ceritakan tadi. Itu pasti cuma tipuan belaka!"
Jupiter tersenyum sopan, sementara kepala polisi itu terkekeh-kekeh karena geli.
"Tapi pokoknya, kalian sudah bekerja dengan baik, Anak-anak," kata Chief Reynolds lagi. "Barang-barang yang hilang dicuri itu semua ada di sini. Kami akan mengurus pengembaliannya pada pemiliknya masing-masing. Jadi kalian berhasil lagi menyelesaikan suatu kasus, ya? Selamat! Ayo, kuantar kalian pulang."
"Terima kasih, Sir," kata Jupiter, "tapi kami tadi kemari naik sepeda."
Ketiga remaja itu mengambil proyektor film milik Mr. Crenshaw serta kotak mereka sendiri yang dipasangi alat pelacak jejak. Sesudah itu mereka pergi ke tempat sepeda-sepeda mereka, lalu pulang. Dalam perjalanan, ketiga-tiganya sama-sama membisu. Tapi sesampai di The Jones Salvage Yard, ketika Pete dan Bob hendak pulang ke rumah masing-masing, barulah Jupiter berbicara.
"Besok pagi-pagi sekali kita berkumpul lagi di sini, Teman-teman. Kasus ini baru selesai, jika polisi sudah berhasil membekuk pencuri itu. Mungkin besok pagi akan ada kabar dari mereka. Saat itu kita mungkin akan bisa tahu lebih banyak tentang sosok menyeramkan itu. Aku yakin, yang kita hadapi tadi benar-benar ada! Jadi bukan tipuan semata-mata, seperti yang dikatakan oleh Chief Reynolds."
"Jadi... jadi bukan merupakan ilusi?" Pete mengatakannya dengan suara gemetar.
"Ketika kau melemparnya dengan batu dan kena, makhluk itu berteriak serta terhuyung mundur, Dua. Ilusi tidak bisa bereaksi seperti itu. Lemparanmu akan lewat menembusnya!" "Kau yakin makhluk tadi itu benar-benar ada?" kata Bob. "Ya, benar-benar yakin!" kata Jupiter. "Dan mungkin, itu bukan manusia!"

Bab 6
JUPITER MENARIK KESIMPULAN

"KASUS ini masih jauh dari selesai!" kata Jupiter. "Aku bahkan merasa kita baru mulai!"
Ketiga remaja itu berada di kantor mereka yang tersembunyi dalam kompleks pangkalan tempat barang-barang bekas diperjualbelikan. Setelah buru-buru sarapan pagi, Bob dan Pete bergegas dengan sepeda masing-masing ke tempat itu. Mereka menjumpai Jupiter duduk menghadapi meja tulis, sedang sibuk menulis dalam sebuah buku catatan berukuran besar.
"Wah, Jupe -jadi polisi ternyata tidak berhasil menemukan pencuri itu?" kata Pete.
"Tidak," kata Jupiter mengiyakan. "Tapi mereka menemukan mobil Datsunnya - ditinggal begitu saja di pusat kota. Aku baru saja bicara dengan Chief Reynolds, beberapa menit yang lalu. Katanya, mobil itu tidak bisa dipakai untuk melacak jejaknya lebih jauh. Datsun itu disewa si pencuri dengan memakai nama palsu. Chief Reynolds merasa yakin, orang itu pasti sudah lari dari kota ini. Tapi aku tidak sependapat dengan dia! Aku bahkan yakin, orang itu ada di dekat-dekat sini!"
"Bagaimana kau sampai bisa berpendapat begitu?" tanya Bob.
"Menurutku, orang itu belum berhasil menemukan benda yang dicari-carinya selama ini. Ingat, semua barang yang dilaporkan dicuri ditinggal oleh pencuri itu di kamar motel," kata Jupiter menjelaskan. "Di samping itu, jika si pencuri sudah berhasil menemukan apa yang dicarinya, ia takkan perlu lagi repot menakut-nakuti kita supaya lari!"
"Tapi kan bisa saja barang yang dicari itu ditemukannya kemarin malam, setelah ia minggat dari motel," kata Bob.
"Kemungkinan itu memang ada, Bob, tapi kecil sekali. Menurut Chief Reynolds tadi, tidak ada laporan masuk tentang peristiwa pencurian di daerah kediaman Pete. Jadi kurasa kita bisa beranggapan bahwa si pencuri masih terus mencari-cari."
"Lalu di mana barang yang diminatinya itu?" kata Pete bertanya-tanya. "Justru itulah yang harus kita selidiki, Dua!" "Tapi bagaimana caranya, Jupe?" tanya Bob.
"Dengan menggunakan logika dan deduksi," kata Jupiter. Nada suaranya terdengar sedikit sombong. "Pertama-tama: apakah yang sudah berhasil kita ketahui sampai sejauh ini?"
"Pencuri itu mencari-cari sesuatu yang rupanya ditaruh dalam sebuah kotak kecil berwarna hitam!" "Dan ia tahu, barang itu ada di suatu tempat, di daerah lingkungan tempat kediaman Pete!"
"Dan," ujar Jupiter menambahkan dengan cepat, "barang itu bukan milik siapa pun juga yang tinggal di lingkungan itu."
Bob dan Pete memandangnya dengan heran.
"Soalnya, meski pencuri itu mestinya tahu barang apa yang dicarinya, tapi ia sudah jelas tidak tahu tempatnya, atau di tangan siapa barang itu berada! Jika itu diketahuinya, ia pasti akan mencuri di satu tempat saja. Tapi kenyataannya, ia mencuri kotak-kotak dari berbagai rumah di lingkungan tempat kediaman Pete!"
"Tapi," ujar Bob menyanggah, "jika ia tahu barang yang dicari, mestinya ia juga mengetahui pemiliknya."
"O, kalau itu ia memang tahu - karena barang itu miliknya sendiri!" kata Jupiter. "Setidak-tidaknya, aku yakin barang itu paling akhir berada di tangannya."
Pete cuma bertambah bingung saja mendengar ucapan Jupe yang terakhir, tapi Bob mengerti.
"Maksudmu, barang itu semula ada padanya tapi kemudian hilang! Ya, mestinya begitu!"
"Tentu saja begitu," kata Jupiter. "Hilang, atau dicuri orang."
"Orang itu tidak tahu siapa yang mengambil atau menemukan barang yang sekarang dicari-carinya," kata Bob sambil berpikir-pikir, "tapi entah dengan cara bagaimana, kemudian ia berhasil mengetahui bahwa orang itu bertempat tinggal di daerah kediaman Pete."
Pete masih saja belum bisa mengerti.
"Tapi kalau begitu kenapa ia tidak langsung saja memintanya kembali, Satu? Jika barang itu miliknya, kenapa tidak didatanginya saja rumah demi rumah, untuk menanyakan siapa yang menemukan? Atau pergi melapor pada polisi, jika barang itu hilang karena dicuri?"
"Itu tidak bisa dilakukan olehnya, karena kurasa benda itu juga bukan miliknya," kata Jupiter. "Selama ini ia menyelinap-nyelinap, mengambil kotak-kotak hitam secara sembunyi-sembunyi, dan ketika kita muncul ia berusaha menakut-nakuti kita supaya ia bisa beraksi dengan leluasa. Barang yang hilang itu mestinya penting artinya, mungkin sangat berharga, dan ia memperolehnya dengan cara mencuri!"
"Wow!" seru Pete. "Ia mencurinya, lalu lepas lagi dari tangannya!"
"Ya - menurutku, tepat itulah yang terjadi!"
Kening Bob berkerut.
"Wah, Jupe, seingatku sama sekali tidak ada berita tentang perampokan yang berarti di kota kita ini," ujarnya.
"Kemungkinan memang tidak terjadi di Rocky Beach," kata Jupiter, "atau mungkin juga kejadiannya belum sampai ketahuan. Sobat kita yang berjubah itu kelihatannya ingin sekali bisa menemukan barang yang dicari-carinya itu secepat-cepatnya."
"Kalau begitu kita harus lebih cepat lagi menemukannya!" kata Bob bersemangat. Tapi sikapnya itu dengan cepat berubah lagi, menjadi lesu. "Tapi bagaimana caranya? Kalau orang itu sendiri tidak tahu pada siapa barang itu sekarang berada, bagaimana kita bisa mengetahuinya?"
"Lagi pula, Jupe," kata Pete nimbrung dengan nada lambat, "jika si pencuri tidak tahu di tangan siapa barang itu sekarang, lalu dari mana ia tahu bahwa orang itu ada di lingkungan tempat tinggalku?"
"Itulah teka-teki yang harus kita temukan jawabannya, jika kita hendak menangkap si pencuri," jawab Jupe.
Bob dan Pete berpandang-pandangan. Sinar mata mereka seolah-olah hendak mengatakan bahwa sahabat mereka yang cerdas itu pasti sudah sinting. Tapi Jupiter tidak merasa tersinggung. Ia hanya memandang kedua temannya sambil nyengir puas.
"Wah, Satu," kata Bob kemudian, tanpa mengacuhkan cengiran Jupiter. "Bagaimana kita bisa tahu, di mana harus mulai dengan penyelidikan kita?"
"Itu kita ketahui," jawab Jupiter dengan nada senang, "karena sementara itu aku sudah mulai!" Ia mengubah sikap duduknya, mencondongkan tubuh ke depan. "Kapankah awal mula rentetan pencurian itu?"
"Dua hari yang lalu," kata Pete.
Jupiter mengangguk.
"Tepat! Dan kurasa si pencuri itu dengan segera tahu bahwa barang yang menjadi persoalan dalam kasus kita ini lenyap, lalu ia langsung mulai mencari. Jadi karena rentetan pencurian dimulai malam-malam dua hari yang lalu, maka mestinya lenyapnya barang itu terjadi pada siangnya. Katakanlah, sore-sore."
"Di suatu tempat, di daerah lingkungan tempat tinggal Pete?" kata Bob menebak.
"Begitulah menurut dugaanku, Bob," jawab Jupiter. "Dan bagaimana caranya seseorang sampai bisa kehilangan sebuah kotak yang isinya berharga? Sesuatu yang dijaganya dengan hati-hati? Sesuatu yang dalam keadaan normal takkan mungkin bisa dilupakan?"
"Itu hanya mungkin, pada keadaan yang tidak normal!" kata Bob.
"Betul," kata Jupiter. "Ada suatu kejadian luar biasa yang mengalihkan perhatiannya! Mungkin saat itu terjadi sesuatu yang menyebabkan ia ketakutan, lalu bertindak dengan terburu-buru!"
"Ada musuh yang muncul dengan tiba-tiba?" kata Bob. "Laki-laki kurus berkaca mata aneh itu?" "Mungkin polisi yang menyebabkan ia ketakutan?" kata Pete menimbrung.
"Atau ia terlibat dalam kecelakaan lalu-lintas," kata Jupiter. "Kecelakaan yang menyebabkan ia keluar dari mobil dengan menenteng kotak itu, tapi kemudian buru-buru masuk lagi tanpa kotak itu lalu cepat-cepat meninggalkan tempat kecelakaan, supaya tidak terlibat dalam kesulitan lebih lanjut."
"Dan kotak itu tertinggal di tempat kecelakaan!" kata Bob. "Tapi katakanlah memang begitu kejadiannya, lalu bagaimana kita bisa -"
Pete mengeluh.
"Kita terjebak, Bob," katanya dengan jengkel. "Jupe sudah tahu, memang ada kecelakaan lalu-lintas. Ia sudah mengeceknya ke polisi."
"Betul, Dua, itu memang sudah kulakukan," ujar Jupiter sambil nyengir lagi. "Ternyata dua hari yang lalu, tepat pukul setengah enam sore ada sebuah mobil selip di jalan dan nyelonong masuk pekarangan sebuah rumah di balik sudut jalan dekat rumah Pete! Pengemudinya melarikan diri. Biasa, kasus tabrak lari - cuma dalam kasus ini, tidak ada yang ditabrak. Orang-orang yang ada di sekitar itu pada saat kejadian, tidak ada yang sempat mencatat nomor mobil itu, tapi semuanya mengatakan bahwa mobil itu merek Datsun, berwarna merah! Aku yakin pengemudinya si pencuri itu, dan saat itulah kotaknya tertinggal. Jadi sekarang kita mulai saja dengan -"
Tiba-tiba Pete menelengkan kepala dengan sikap mendengarkan, sementara tangannya diangkat menyuruh yang lain diam. Dari arah luar, sayup-sayup terdengar suara orang bertengkar.
"Coba lihat lewat teropong kita," kata Bob.
Pete mendorong teropong yang dibuat oleh Jupiter dari sepotong pipa bekas saluran pembuang asap oven ke atas, lalu mendekatkan matanya ke bagian yang merupakan tempat melihat. Dengan begitu ia bisa dengan jelas memandang ke luar, lewat bagian atas tumpukan barang bekas yang menimbuni karavan tua yang dijadikan kantor Trio Detektif.
"Itu Bibi Mathilda, Jupe," kata Pete melaporkan, lalu menyambung dengan nada kaget, "Ia ribut-ribut dengan laki-laki kurus yang mencegat kita tadi malam, yang kemudian muncul di motel! Sekarang orang itu pergi!"
"Cepat!" desak Jupiter.
Mereka menerobos ke kolong karavan lewat lubang tingkap yang ada di lantai kantor, lalu buru-buru merangkak keluar lewat Lorong Dua. Sesampainya di luar mereka cepat-cepat lari mengitari tumpukan barang bekas, menuju ke tempat dari mana mereka bisa melihat Bibi Mathilda yang berdiri di ujung seberang kompleks itu. Wanita bertubuh gemuk itu memandang pria kurus yang sementara itu masuk ke sebuah Mercedes hitam. Jupiter dan kedua temannya sudah pernah melihat mobil mewah itu, yaitu malam sebelumnya di Palm Court Motel. Sementara mereka berlari-lari mendatangi Bibi Mathilda, mobil itu pergi.
"Siapa itu, Bibi Mathilda?" tanya Jupiter tersengal-sengal. "Mau apa dia?"
"Aku memergokinya menyelinap-nyelinap di sini," tukas bibinya. "Ketika kutanyakan apa yang dicarinya, ia membalas dengan pertanyaan, apakah ada orang - katakanlah, tiga orang remaja, menjual sesuatu di sini. Sesuatu yang ditempatkan dalam kotak berwarna hitam." Bibi Mathilda menatap ketiga remaja itu dengan tajam. "Nampaknya ia marah. Apa lagi yang kalian lakukan sekarang?"
"Bukan kami, tapi justru dialah yang melakukan sesuatu!" kata Pete dengan sengit.
Jupiter menjelaskan duduk perkaranya pada Bibi Mathilda. Tentang kotak-kotak hitam, kecurigaan mereka, serta tindakan membantu Chief Reynolds. "Sekarang kami hendak mendatangi tempat kejadian kecelakaan itu, Bibi Mathilda. Kami hendak berusaha melacak jejak kasus yang sebenarnya."
"Nanti dulu, Jupiter Jones!" tukas Bibi Mathilda. "Untuk hari ini, aku sudah punya serentetan pekerjaan bagimu!"
Jupiter langsung lesu. Melihat tampangnya, akhirnya Bibi Mathilda merasa kasihan.
"Yah, sudahlah -jika kalian memang membantu Chief Reynolds," ujarnya.
Dengan cepat ketiga remaja itu lari ke tempat sepeda-sepeda mereka.

Bab 7
SALAH SATU TEKA TEKI TERJAWAB

RUMAH itu berukuran kecil dan berwarna putih, hanya tiga pintu dari sudut jalan rumah Pete. Letaknya agak ke belakang, di balik tiang yang dicat putih. Pekarangannya berumput dan dipelihara dengan rapi, dihiasi dengan semak mawar yang tumbuh subur. Tapi ketika Jupe beserta kedua kawannya tiba di situ, mereka melihat pagar dalam keadaan rusak, empat semak mawar tercabut sedang halaman rumput berantakan.
Jupiter menekan tombol bel. Wanita yang membukakan pintu berambut putih. Air mukanya nampak marah. Ia kelihatan bertambah marah ketika ia melotot memandang halamannya yang rusak. Ketiga remaja yang datang itu seakan-akan tidak terlihat olehnya.
"Mau apa kalian?" tukasnya dengan sengit. "Tanpa diganggu kalian pun, aku sudah cukup pusing!"
"Kami ikut sedih melihat keadaan halaman Anda, Ma'am," kata Jupiter dengan gayanya yang paling sopan dan anggun. "Kami ini kemari -"
Pete malas berbasa-basi.
"Tahukah Anda siapa pelakunya?" tanyanya dengan cepat. "Aku tidak punya waktu untuk -" sergah wanita itu.
"Ya, itu kami mengerti, Ma'am," kata Jupiter, sambil diam-diam menendang kaki Pete. "Kerugian yang Anda derita memang sangat menyedihkan. Bayangkan, mawar Queen Elizabeth yang indah itu, lalu sebatang Mister Lincoln. "
"Kau juga memelihara mawar, Anak muda?" tanya wanita itu dengan heran. "Tapi kalah indah kalau dibandingkan dengan Anda punya, Ma'am," kata Jupiter. Wajah wanita itu langsung berseri-seri.
"Terus terang, aku memang sudah beberapa kali memenangkan hadiah."
"Dan orang itu kemudian langsung saja minggat?" ujar Jupiter menggeleng-geleng, sambil memandang ke arah semak-semak mawar. "Maksud saya, orang yang melakukan perbuatan itu?"
"Orang itu sama sekali tidak tahu adat! Langsung saja minggat tanpa mengatakan apa-apa!"
"Orangnya bertubuh kecil?" sambut Jupiter dengan segera. "Dan memakai jubah, barangkali?"
"Ya, betul, ia memakai semacam jubah. Buru-buru keluar dari sebuah mobil merah, seolah-olah takut kendaraannya akan meledak. Tapi detik berikutnya masuk lagi, lalu minggat - menerobos pagar! Beberapa tetanggaku berusaha mencegat, tapi ia bisa meloloskan diri. Mereka bahkan tidak sempat mencatat nomor kendaraannya."
"Ia tidak meninggalkan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk mengenalinya?" Jupiter tetap berbicara dengan nada mengobrol. "Sebuah kopor, misalnya?"
"Kalaupun ada, aku tidak melihatnya," kata wanita itu dengan lesu. "Tapi sebenarnya tidak banyak yang sempat kulihat. Kejadiannya begitu cepat, lalu setelah itu begitu banyak orang masuk berkerumun ke dalam pekarangan ini."
"Saya yakin, mereka semuanya bermaksud baik," kata Jupiter. "Terima kasih, Ma'am."
Ia memberi isyarat pada Bob dan Pete, lalu ketiga remaja itu pergi meninggalkan pekarangan yang rusak berantakan itu.
"Kedengarannya memang pencuri itu," kata Bob.
"Dan ia ternyata memang turun dari mobil!" sambung Pete.
"Ya," kata Jupiter. "Barangkali ada salah seorang tetangga yang sempat melihat lebih banyak."
Di pekarangan rumah sebelah, seorang pria sedang menyirami halaman rumputnya, sambil berdiri di tempat yang diterangi sinar matahari pagi. Anak-anak menghampirinya.
"Maaf, Sir," ujar Jupiter, "bolehkah kami bertanya sedikit tentang kecelakaan yang terjadi di pekarangan rumah sebelah? Kami sedang menyelidiki -"
"Menyelidiki?" Pria itu memandang mereka dengan sikap curiga.
"Untuk tugas sekolah, Sir," sambut Bob dengan cepat. "Kami sedang mengadakan penelitian kasus-kasus tabrak lari, untuk pelajaran ilmu pengetahuan sosial."
Jupiter kadang-kadang lupa bahwa kebanyakan orang dewasa tidak mau percaya bahwa mereka detektif, dan sering kali bahkan tidak mau memberikan jawaban serius. Tapi kebanyakan orang dewasa suka memberi bantuan untuk keperluan proyek-proyek pelajaran sekolah! Dan benarlah, pria itu langsung tersenyum ramah.
"Itu bagus, kita semua memang perlu belajar menjunjung tinggi hukum yang berlaku," katanya. "Tapi sayangnya, aku tidak bisa banyak memberikan keterangan. Aku sedang berada di dalam rumah, ketika melihat mobil itu selip lalu menabrak pagar rumah sebelah. Asap langsung saja mengepul, lalu pengemudinya cepat-cepat meloncat ke luar. Ia menenteng kotak, kelihatannya seperti kotak tempat peralatan. Mungkin mengira mobilnya terbakar. Tapi asap ternyata berasal dari saluran air radiator yang robek, gampang dibetulkan di bengkel mana saja. Ketika aku sampai di luar, orang itu sudah minggat dengan mobilnya."
"Kotak tempat peralatan?" ujar Pete dengan penuh minat. "Diapakannya kemudian kotak itu?"
"Entahlah, aku tidak tahu - karena saat itu sudah banyak orang berkerumun, termasuk anak-anak. Mungkin Kastner yang tinggal di seberang jalan di sebelah sana itu tahu lebih banyak mengenai kejadian itu. Biasanya ia suka duduk-duduk di beranda depan."
Setelah mengucapkan terima kasih, Jupiter beserta kedua temannya menyeberangi jalan, menuju sebuah rumah besar bercat biru. Seorang pria yang sudah tua duduk di beranda depan yang lapang.
"Aku kenal orang itu," kata Pete sambil mendatangi orang yang sedang duduk itu. "Mr. Kastner adalah salah seorang petugas gereja kami." Ketika sudah dekat ke beranda, Pete menyapa, "Selamat pagi, Mr. Kastner. Maaf kalau mengganggu. Bisakah kami bertanya sedikit tentang -"
"Tentang kasus kecelakaan yang terjadi di seberang, ya, Peter?" potong pria yang sudah berumur itu dengan ramah. "Sejak tadi aku sudah melihat kalian. Kukatakan pada diriku sendiri, Trio Detektif ini pasti sedang melacak pengemudi mobil kasus tabrak lari ini. Ya, kan?"
"Betul, Sir," jawab Pete sambil nyengir. "Bisakah Anda memberi keterangan tentang dia?"
"Aku saksi seluruh kejadian itu, Nak. Apakah yang ingin kalian tanyakan?"
"Pengemudi itu menenteng sebuah kotak tempat peralatan," kata Bob. "Anda melihat kotak itu? Sebuah kotak kecil seperti kopor, berwarna hitam. Ada kemungkinan kotak itu tertinggal ketika ia tahu-tahu minggat." "Memang itulah yang terjadi! Seperti kukatakan pada detektif itu -" "Detektif, Sir?" tanya Jupiter. Matanya menyipit.
"Betul! Orangnya datang kurang lebih lima menit setelah Datsun itu minggat," ujar Mr. Kastner. "Orangnya bertubuh kecil, bermuka lancip, dan memakai jas model sport yang lusuh. Kelihatannya gaji pegawai kepolisian perlu dinaikkan. Ia ingin tahu apakah aku melihat sebuah kotak hitam tergeletak di tanah di seberang sana. Kujawab dengan ya, karena aku memang melihat kotak itu. Aku juga melihat seorang anak laki-laki naik sepeda memungutnya. Umurnya sepantar denganmu, Peter, atau mungkin juga agak lebih tua. Aku rasanya pernah melihat anak itu di sekitar sini. Tapi aku tidak mengenalnya."
"Lalu apa yang diperbuatnya dengan kotak itu?" tanya Bob bersemangat.
"Dibawa pergi, membelok masuk ke jalan tempat tinggal Peter. Itulah terakhir kalinya aku melihat anak itu. Ia tidak muncul lagi dari sana. Itu kukatakan pada detektif itu, yang langsung buru-buru mengejar ke sana." Kening pria tua itu berkerut. "Aneh, tapi sekarang baru kuingat bahwa detektif itu berjalan kaki. Ia tidak naik mobil."
"Terima kasih, Mr. Kastner," kata Pete dengan gembira.
Dengan segera ketiga remaja itu menuju ke jalan tempat tinggal Pete.
"Dia kan pencuri itu, ya, Jupe!" kata Bob, sementara mereka menikung masuk ke jalan yang dituju. "Mengaku-aku detektif!"
"Ia kembali, untuk mengambil kotak yang ketinggalan!" sambung Pete.
"Dan Mr. Kastner memberi tahu tentang anak yang naik sepeda," kata Jupiter. "Dengan cara begitu ia mengetahui bahwa kotak itu mestinya ada di blok tempat tinggal Pete." Bob berhenti berjalan.
"Tapi bagaimana pencuri itu bisa merasa yakin bahwa anak itu tinggal di blok ini?" katanya dengan wajah sangsi. "Maksudku, Mr. Kastner kan cuma mengatakan bahwa ia melihat anak itu bersepeda masuk ke jalan ini, dan tidak muncul kembali. Anak itu bisa saja terus ke blok yang berikut, atau bahkan lebih jauh ke blok yang berikutnya lagi?"
Jupiter tertegun.
"Pasti ada sesuatu -"
"Penggalian saluran!" seru Pete, sambil memandang ke ujung blok itu. "Aku lupa tentang penggalian itu!"
Sebuah lubang galian menganga, melintasi seluruh badan jalan dekat ujung blok, memotong trotoar dan masuk ke pekarangan rumah-rumah yang ada di situ.
"Wah," seru Bob, "tidak ada yang bisa lewat di situ, naik sepeda pun tidak mungkin! Jadi jika anak itu masuk ke jalan ini dan tidak keluar lagi, maka berarti mestinya ia tinggal di salah satu rumah di blok ini!"
"Pete," kata Jupiter, "ada berapa anak seumur kita yang tinggal di blok ini?"
"Cuma anak baru itu, Joey Marsh. Tinggalnya empat rumah dari rumahku," jawab Pete. "Lalu Frankie Bender. Itu, Jupe, anak sok jago yang suka bergerombol dengan anak-anak brengsek di sekolah kita." "Ya, aku tahu yang kaumaksudkan. Baiklah, kita cari saja kedua anak itu."
Pete berjalan mendului, menuju sebuah rumah besar yang letaknya empat pintu dari rumahnya. Seorang wanita berpenampilan keibuan membukakan pintu, sambil tersenyum ramah. Pete menanyakan Joey.
"Kau ini Peter Crenshaw, kan?" kata wanita itu, setelah mengatakan bahwa ia Mrs. Marsh, ibu Joey. "Joey pasti menyesal tidak bisa bertemu denganmu, tapi saat ini ia sedang ada di San Francisco, menjenguk neneknya."
"Kapan ia berangkat ke sana, Ma'am?" tanya Pete.
"Hampir seminggu yang lalu, Peter."
Setelah anak-anak mengucapkan terima kasih pada Mrs. Marsh, Pete mengajak kedua temannya ke seberang jalan, menuju ke sebuah rumah yang agak lebih jauh masuk ke dalam blok itu. Rumah yang didatangi itu beratap rendah, dan terletak dalam sebuah pekarangan yang teduh.
"Kurasa dengan begitu tinggal Frankie Bender saja," kata Pete, sementara ketiga remaja itu menuju ke rumah itu, melewati jalan masuk yang diapit pepohonan. "Aku sebetulnya malas bicara dengan anak itu, tapi jika ada yang menyambar kotak itu, maka orangnya hanya mungkin Frankie."
"Kita nanti sebaiknya hati-hati kalau bicara," kata Jupiter. "Jangan sampai ia curiga -"
Tiba-tiba mereka dihujani dedaunan yang rontok dari pepohonan. Terdengar bunyi mendesing lewat di atas kepala. Bob terpekik karena kaget.
Sekali lagi ada sesuatu yang mendesing lewat di atas kepala! Sesuatu yang berukuran kecil dan melesat laju, mendesing seperti peluru, menerabas dedaunan. Setelah itu ada satu lagi, dan... "Aduh!" Pete terpekik, karena kakinya terkena salah satu benda itu.
"Tiarap!" teriak Bob. Dengan cepat ketiga remaja itu merebahkan diri ke tanah, sementara benda-benda kecil berdesingan susul-menyusul lewat di atas mereka.

Bab 8 ISI KOTAK HITAM

KETIGA remaja yang meniarap itu mendengar suara tertawa mengejek. Datangnya dari atap garasi! Mereka mendongak, memandang ke arah situ. Nampak seorang anak laki-laki bertubuh pendek tapi berdada tegap berdiri di atas atap. Umurnya sepantar dengan Pete. Rupanya ia memang sengaja bersembunyi di situ, sambil melancarkan serangan dengan ketapel. Alat pelontar batu itu ada di tangannya.
"Tar - tar - tar!" Anak itu tertawa lagi. "Kalau aku mau, kalian tadi merupakan sasaran empuk! Tidak tahu ya, caranya berlindung terhadap serangan? Huh, kalian benar-benar tidak tahu apa-apa!"
Pete cepat-cepat berdiri.
"Kakiku bisa patah tadi, Bender!" serunya dengan marah. "Ketapel itu senjata yang berbahaya!"
"Ah, omong kosong," balas Frankie Bender. Diambilnya sesuatu dari sebuah kantung yang tergantung di pinggangnya, lalu ditembakkannya dengan ketapel ke arah Pete, tapi tidak dengan sekuat tenaga. "Itu, lihat - pelorku cuma dari kayu! Kecuali itu bidikanku selalu tepat, dan aku tadi menembakkan kebanyakan dari pelor-pelorku ke sekitar kalian saja. Nih, lihat!"
Frankie menembakkan ketapelnya lagi, sekarang dengan sekuat tenaga. Pelornya melesat, lewat dekat sekali dengan kepala Pete. Pete langsung pucat mukanya, tapi ia tidak bergeming. Jupiter mendekati garasi lalu mendongak, menatap anak laki-laki yang berdiri di atas atap bangunan itu.
"Kau tidak berotak, Frank Bender," kata Jupiter dengan suara dingin. "Kapan-kapan pasti akan ada yang cedera karena perbuatanmu, dan kalau itu terjadi, kau benar-benar akan mengalami kesulitan. Kecuali itu, kalau tidak salah ada peraturan yang melarang penggunaan ketapel seperti yang kaupegang itu."
"He, he, nanti dulu!" Frankie meringis, tapi nampak jelas bahwa ia merasa tidak enak. "Ngomongmu pintar sekali, masak kau tidak tahu bahwa aku cuma main-main saja tadi?"
"Mungkin maksudmu memang cuma main-main saja, tapi ketapelmu itu bukan alat permainan!" sergah Pete dengan sengit.
Jupiter berbicara lagi dengan gaya tenang, "Aku berniat melaporkan perbuatanmu pada polisi." Cengiran Frankie langsung lenyap. Ia memandang ke bawah dengan masam.
"Jangan coba-coba, Gendut! Kalian anak-anak manis ini sebenarnya mau apa kemari, hah? Kalian memasuki rumahku tanpa izin. Ya, betul, aku tadi cuma mempertahankan hakku sebagai penghuni tempat ini!"
"Kau rupanya perlu tahu lebih banyak tentang undang-undang," kata Bob, lalu tertawa. "Aduh, apa saja sih yang tidak kauketahui, Frankie?"
"Jangan coba-coba bersilat lidah, Bender, karena untuk itu diperlukan otak," kata Jupiter menyindir. "Yang kami inginkan darimu adalah kotak jinjing berwarna hitam yang kaucuri dari tempat kecelakaan mobil dua hari yang lalu. Kotak itu, beserta isinya."
"He, dari mana kau -" Frankie tidak meneruskan kalimatnya. Matanya yang kecil nampak memancarkan sinar licik, di tengah wajahnya yang tembam. "Kotak yang mana? Aku tidak tahu apa-apa tentang kotak hitam." "Ada yang melihatmu membawanya!" tukas Pete. "Itu bukan aku!" balas Bender. "Ada saksinya!" kata Bob dengan tegas. "O ya? Kalau begitu, kenapa belum ada polisi datang kemari?"
"Karena mereka belum mengetahui apa yang sudah kami ketahui," ujar Jupiter. "Dengar dulu baik-baik, Bender! Orang yang naik mobil Datsun itu pencuri! Isi kotak itu barang curian. Kau bisa terlibat dalam kesulitan nanti, jika menyembunyikannya."
"Aku tidak mengerti, kau ini bicara tentang apa," kata Bender berkilah.
"Janganlah bersikap tolol," kata Jupiter sambil menggeleng-geleng. "Jika kau tidak mengalami kesulitan dengan polisi, yang jelas kau akan dirongrong pencuri itu! Saat ini ia sedang mencari-cari kotaknya itu. Jika sampai kau ditemukannya -"
Frankie Bender berdiri di atas garasi sambil menggigit-gigit bibirnya selama beberapa saat. Kemudian ia mengambil sikap menantang.
"Aaah, kalian cuma mau menipuku saja, ya! Aku tidak pernah melihat kotak hitam, yang mana pun juga. Sekarang pergi dari sini, sebelum aku bersuit memanggil gengku!"
"Kalau terpaksa, kami akan memanggil polisi," balas Jupiter.
"Aku tidak bisa kaugertak, Jupiter Jones! Jika kalian tidak mau pergi dari sini, mungkin aku yang nanti memanggil polisi. Sekali lagi kukatakan, pergi!"
"Coba turun kemari, dan katakan itu sekali lagi!" kata Pete menantang. "Tanpa gerombolanmu," kata Bob menimpali. Muka Frankie memerah. "Pergi!" sergahnya. "Sekarang!"
"Yuk, kita pergi saja," kata Jupiter mengajak kedua temannya.
Dengan perasaan segan, Bob dan Pete mengikutinya ke luar. Sesampainya dijalan, Jupiter membelok ke arah yang menuju rumah Pete, di mana sepeda-sepeda mereka tadi ditaruh.
"Kita kan tidak menyerah, Satu?" kata Bob. "Aku yakin, kotak itu ada padanya!" "Ya, betul!" kata Pete dengan ketus.
"Memang," kata Jupiter, "dan kita sudah membuatnya gelisah sekarang. Begitu ia merasa kita sudah pergi, ia pasti akan pergi ke tempat kotak itu disembunyikan, untuk memastikan bahwa benda itu masih ada di situ."
"Menurutmu, ia tanpa sadar akan mengantar kita ke tempat barang itu?" kata Pete, sementara ia bersama kedua temannya menyeberangi jalan menuju ke rumahnya. Jupiter mengangguk.
"Ia kelihatan begitu kepingin kita cepat-cepat pergi. Lagi pula, sikapnya gelisah. Ia pasti akan mengecek untuk mengetahui bahwa barang itu masih ada di tempat semula, dan saat itu - kita nanti tahu-tahu muncul!"
Begitu sudah memasuki pekarangan rumah Pete dan tidak nampak lagi dari jalan, ketiga remaja itu lantas lari melintasi pekarangan belakang rumah-rumah sebelah, ke arah rumah di depan rumah Frankie Bender. Sesampainya di rumah yang berhadap-hadapan dengan tempat tinggal anak itu, mereka mempelajari situasi dulu. Antara pekarangan tempat mereka berdiri saat itu dan pekarangan rumah sebelah ada pagar yang terdiri dari semak lebat. Dengan gaya seperti regu patroli tentara yang sedang melintasi daerah musuh ketiga remaja itu menerobos pagar semak, sampai hampir mencapai trotoar. Mereka mengintip ke luar. Kelihatan jelas pekarangan depan rumah Frankie, di seberang jalan.
Jupiter beserta kedua temannya merunduk, sambil mengamat-amati rumah di seberang jalan itu. Beberapa menit kemudian Frankie Bender muncul dari dalam garasi. Ia bergegas-gegas menuju ke jalan. "Dia pergi, Jupe!" bisik Bob. "Tapi tidak membawa kotak," kata Pete menimpali. "Kalau begitu kita ikuti dia," ujar Jupiter. "Tapi jangan sampai ketahuan!"
Anak sok jago bertubuh tegap itu, dengan ketapel terselip di pinggang, berjalan ke ujung jalan yang tidak terhalang lubang galian, lalu berbelok ke arah yang menjauhi laut. Ketiga detektif remaja yang membuntutinya menyelinap dari pekarangan ke pekarangan, mengikuti Frankie sampai ke pinggir kota, dan dari situ menuju ke kaki bukit-bukit gersang yang mengelilingi kota Rocky Beach.
Sambil berjalan, berulang kali Frankie celingukan, memandang ke sekelilingnya dengan sikap gelisah. Tapi ia tidak biasa melakukan pengamatan, dan karenanya tidak melihat ketiga remaja yang membuntuti. Ia menyeberangi lintasan rel kereta, lalu mendaki lereng sebuah bukit yang ditumbuhi semak berduri. Di sana-sini nampak pohon ek berbatang kerdil dan berdaun hijau kusam. Ketika sudah sampai separuh jalan ke puncak, sementara Trio Detektif yang membuntuti menyelinap di belakangnya, berpindah-pindah dari semak yang satu ke semak atau pohon berikutnya, Frankie menghampiri sebuah semak lebat yang rantingnya bercabang-cabang kusut - lalu tahu-tahu lenyap!
"Ia menghilang!" seru Pete dengan suara tertahan.
"Hati-hati," kata Jupiter mengingatkan, "ada kemungkinan ia saat ini sedang mengintai."
Ketiga remaja itu bergerak ke atas dengan sangat hati-hati. Jarak beberapa meter terakhir dari semak lebat yang dituju, mereka tempuh dengan merayap. Pete mendongak sedikit, mengintip ke tengah semak gersang itu. "Ada gua kecil di belakangnya!" bisik remaja itu pada kedua temannya.
Mereka merangkak masuk ke dalam semak, menuju lubang gelap yang menganga di lereng bukit, tanpa mempedulikan pakaian yang berulang kali tersangkut ke ranting-ranting kusut. Masih dengan cara merangkak, mereka merayapi sebuah lorong pendek, yang tahu-tahu berujung di sebuah gua besar yang remang-remang. Sesaat lamanya mereka tidak berkutik di tempat masing-masing. Hanya mata mereka saja yang bergerak-gerak, memandang ke sekeliling.
Mereka tidak melihat buronan mereka di situ. Tapi ketika mata mereka sudah terbiasa dengan keadaan remang-remang, mereka melihat kursi-kursi dan meja-meja yang terbuat dari peti-peti tempat jeruk serta peti-peti kemas berukuran kecil. Beberapa lembar permadani usang terhampar di lantai, beberapa kantung tidur, lentera-lentera listrik, kotak-kotak roti kering dan kue-kue, sebuah papan rambu halte bis, sebuah sepeda motor dalam keadaan terbongkar, dua pintu mobil yang sudah tua, bagian-bagian dari pakaian seragam, serta beraneka ragam barang rombengan lainnya.
"Kelihatannya seperti -" Kalimat Pete langsung disambung oleh Bob, "- tempat berkumpul! Rupanya ini tempat berkumpul gerombolan Frankie!"
"Ya, tentu saja," bisik Jupiter. "Memang inilah tempat yang pasti dipilihnya untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak diingininya ditemukan orang lain. Hati-hati, anak itu ada di sekitar sini."
Mereka menegakkan tubuh dengan hati-hati, lalu bergerak maju sambil menyelinap. Sekitar sepuluh meter lebih dalam masuk ke perut bukit, gua itu menikung tajam ke kiri. Dan di balik tikungan itu Frankie Bender nampak sedang berjongkok di depan sebuah batu yang datar sisi atasnya. Di atas batu itu terletak sebuah kotak jinjing berwarna hitam, dalam keadaan terbuka!
Frankie berpaling dengan gugup. Rupanya ia mendengar langkah anak-anak yang datang menghampiri. "Ternyata barang itu memang ada padamu!" kata Jupiter.
Air muka Frankie yang semula ketakutan langsung berubah, digantikan oleh kebingungan. "Barang itu... barang itu lenyap!"
Jupiter, Bob, dan Pete lari mendekati. Sisi sebelah dalam dari kotak hitam itu dilapisi dengan kain beledu tebal berwarna biru. Tapi tidak ada apa-apa di situ. Kosong!
"Barang itu patung," kata Frankie dengan gugup. "Patung yang bagus! Cocok sekali untuk dijadikan jimat geng kami. Bentuknya berupa wujud aneh -"
"Seperti apa - katakan secara tepat!" tukas Jupiter.
Frankie Bender yang berhadap-hadapan dengan mereka bertiga, tiba-tiba terbelalak. Matanya memancarkan kengerian.
"Rupanya seperti -" Ia menuding ke belakang ketiga remaja yang menghadapinya, "- seperti itu!" Jupe, Bob, dan Pete berpaling dengan cepat. Napas Pete tersentak.
Makhluk menyeramkan yang waktu itu muncul di pantai, saat itu tahu-tahu sudah ada di dalam gua! "Patung itu menjelma jadi makhluk hidup!" kata Frankie dengan suara parau karena ngeri.
Teriring bunyi gemerincing dan mengentak-entak, makhluk gondrong, bertanduk dan bermata merah menyala mulai menandak-nandak, bergerak mendekati mereka berempat!

Bab 9 TERJEBAK!

KEEMPAT remaja itu tidak mampu berkutik. Kalau dapat bergerak pun, mereka takkan bisa lari ke mana-mana. Makhluk mengerikan itu terus menandak-nandak sambil bergerak maju, sementara matanya yang sipit memancarkan sinar merah menyala.
Anak-anak terjebak, karena di belakang mereka gua buntu.
"Bagaimana sekarang, Jupe?" seru Bob ketakutan.
"Aku... aku tidak -" jawab Jupe tergagap.
Tahu-tahu Frankie Bender beraksi. Anak itu memang sok jago dan suka menjaili orang lain, tapi ia bukan pengecut. Sementara mukanya pucat pasi ketakutan, tangannya menyambar ketapel yang terselip di pinggang. Dipungutnya sebutir batu dari lantai gua, lalu ditembakkannya ke arah sosok hantu yang bergerak maju. Dan kena! Sosok berpenampilan ganas itu mendengus sambil mundur selangkah. Sementara itu Frankie cepat-cepat mengambil beberapa butir batu lagi.
"Lempari dengan batu!" katanya pada anak-anak yang lain.
Pete dan Bob mengambil batu-batu berukuran agak lebih besar, dan melemparkannya beruntun-runtun ke arah sosok menyeramkan itu. Sedang Bender terus beraksi dengan ketapelnya. Tapi batu-batu yang berhamburan hanya mengenai bagian luar yang tebal serta kepala makhluk aneh itu, sehingga tidak berakibat apa-apa baginya.
Sosok seram itu menggerak-gerakkan kepalanya, sambil mengerang-erang. Gerakan majunya bertambah cepat, sementara anak-anak mundur terus sampai tertahan dinding belakang gua.
"Batu-batu kita tidak berpengaruh sama sekali!" seru Frankie dengan gugup.
Sosok seram itu semakin mendekat, menandak-nandak dalam gua yang remang-remang.
Kini Jupiter beraksi. Dengan cepat ia melompat ke arah kotak hitam yang masih tergeletak dalam keadaan terbuka di atas batu yang datar, lalu menyambarnya. Ia mengambil sebuah batu besar. Batu itu diacungkannya di atas kotak yang terbuka, siap untuk dipukulkan.
"Kuremukkan patung ini!" serunya.
Makhluk menyeramkan itu langsung berhenti menandak. Matanya yang merah menyala ditatapkan ke arah Jupiter, tapi tanpa melakukan gerakan lain. Jupiter membalas tatapannya, dengan mata berkilat-kilat penuh tekad. "Ternyata kau mengerti juga bahasa Inggris," katanya. "Dan ia sangat menginginkan patung itu," sambung Bob.
"Kenapa tidak?" kata Frankie Bender. Suaranya gemetar. "Kan dia sendiri patung itu. Atau patung itu dia. Atau... barangkali..."
Makhluk itu mulai bergetar dalam keadaan tegak seperti terpaku di tempatnya. Genta-genta, tulang-belulang, giring-giring yang bergelantungan di leher dan di pinggangnya berdering, gemerincing dan gemeretak, seperti ada kekuatan besar yang mendesak hendak ke luar dari dalam tubuhnya. Terdengar suara bergaung, memenuhi seluruh ruangan gua.
"Awas, Makhluk-makhluk kecil! Mereka yang mencemari kesucian harus ditumpas!" Jupiter tetap mengacungkan batu yang dipegangnya di atas kotak hitam itu. "Apakah sebenarnya patung itu?" katanya. "Siapa kau?"
"Dengarkan suara Dukun Gaib, hai Manusia-manusia tolol!" tukas suara yang bergaung. "Khan Yang Agung dari Gerombolan Kencana menunggu di angkasa - menunggu kembalinya Setan Menandak!" Pete terteguk karena kaget. "Setan Menandak? Khan? Gerombolan - apa?"
"Patung itukah Setan Menandak?" ujar Jupiter, sambil mengamat-amati sosok seram yang tegak menghalangi jalan lari ke luar. "Atau kaukah itu? Hantu yang bisa berbahasa Inggris?"
"Kami satu, dan kami juga semuanya! Kami melihat dan tahu segala-galanya! Kami langit yang biru, matahari yang bersinar keemasan, gurun luas tak berbatas, pedang, dan jagung! Kami memusnahkan dengan nyala bayu. Perhatikan!"
Lengan makhluk itu bergerak ke depan, menunjuk ke arah batu yang datar. Saat itu juga ada nyala api menyambar, disertai kepulan asap putih yang tebal!
"Awas!" seru Frankie Bender sambil menghindar dengan cepat. "Gemetarlah ketakutan!" seru suara bergaung itu.
Lengan makhluk itu bergerak lagi dengan cepat, dan sekali lagi nyala api dan asap tebal mengepul, sekali ini dari lantai gua - tidak sampai dua meter dari Pete! "Khan Yang Agung menunggu miliknya!"
Jupiter, Bob, Frankie, dan Pete meloncat mundur dengan tubuh gemetar, sampai akhirnya merapat ke dinding belakang gua. Sambil mengacungkan lengannya lurus-lurus ke arah mereka, makhluk seram itu bergerak maju lagi. Jupiter membuang batu yang tadi dipegangnya di atas kotak yang terbuka.
"Nih, ambil!" serunya, sambil menutup kotak itu dan melemparkannya sejauh mungkin ke seberang gua. Makhluk yang entah roh, Setan Menandak, atau apa pun sebenarnya itu berteriak kaget lalu melompat ke arah kotak hitam yang sementara itu jatuh berdebam di lantai gua, di antara barang-barang rombeng milik gerombolan Frankie.
"Cepat lari!" seru Jupiter.
Anak-anak yang lain tidak perlu disuruh lagi. Sementara Setan Menandak lari menghampiri kotak hitam, mereka lari menuju mulut gua. Kalaupun makhluk seram itu melihat mereka minggat, nampaknya ia tidak peduli. Seluruh minatnya terarah pada kotak yang dicari-carinya dalam kegelapan gua.
Anak-anak yang melarikan diri tersaruk-saruk, tersandung peti-peti, saling bertubrukan dalam usaha mencapai jalan keluar.
Mereka tidak peduli pakaian mereka tersangkut ranting-ranting semak lebat yang tumbuh di luar gua. Didului oleh Frankie Bender, dan Jupiter yang napasnya mendengus-dengus sebagai yang paling akhir, keempat remaja itu bergegas menuruni lereng bukit, tanpa sadar apakah mereka lari, terpeleset, atau terguling-guling.
Akhirnya mereka terguling masuk ke dalam sebuah parit dangkal yang bertebing terjal. Mereka berbaring di situ dengan napas tersengal-sengal. Selama beberapa menit, tidak satu pun mampu berkutik. Berbicara pun tidak! Mereka memasang telinga dengan napas memburu, mendengarkan tanda-tanda - kalau-kalau ada yang mengejar.
Tapi hanya kesunyian saja yang ada di bukit gersang dan panas itu.
"Jangan lupa kejadian di pantai!" kata Pete dengan napas putus-putus. "Ia bisa tahu-tahu muncul di mana saja!"
Keempat remaja itu memasang telinga lagi sambil terus meringkuk dalam parit. Tapi mereka tidak mendengar apa-apa. Akhirnya dengan hati-hati sekali mereka memandang ke luar lewat tepi atas parit, meneliti lereng yang gersang dan semak belukar yang tumbuh di situ. Tapi mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, dan di atas tidak kelihatan ada sesuatu menerobos semak yang menutupi lubang gua.
"Mana... anu... eh... entah apa itu tadi?" tanya Frankie Bender.
"Rasanya lebih baikjika aku tidak tahu," kata Pete. "Kau, Jupe?"
Penyelidik Satu Trio Detektif itu tidak menjawab. Ia masih terus mengamat-amati semak yang menutupi lubang gua. Sampai setengah jam kemudian, masih tetap tidak nampak sesuatu keluar dari situ. Akhirnya Jupiter berdiri. "Kita harus kembali ke sana," ujarnya.
"Sudah sinting, ya!" seru Frank Bender ketakutan. "Aku tidak mau. Aku pulang!"
"Kau harus ikut dengan kami, Bender," kata Jupiter dengan tegas. "Atau kau memilih lebih baik bicara dengan polisi, tentang bagaimana patung itu sampai ada di tanganmu?"
Frankie Bender langsung masam mukanya. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia mengikuti Jupe beserta kedua temannya, ketika ketiga remaja itu dengan hati-hati kembali mendaki lereng, menuju ke arah gua. Mereka menemukan lubang di dalam bukit itu dalam keadaan senyap.
Para remaja itu memeriksa rongga gelap itu, tanpa meninggalkan sikap waspada. Gua itu ternyata sudah kosong. Kotak hitam yang tadi sudah tidak ada lagi. Di tempat mereka melihat Setan Menandak terakhir kali berdiri, mereka menemukan dua onggokan abu berwarna keputih-putihan. Pete menyentuhnya. Ternyata abu itu sudah mulai mendingin.
"Ada jalan lain untuk keluar dari sini?" tanya Jupe.
"Tidak ada," kata Frankie. "Tapi kalau begitu, lewat mana Setan Menandak tadi pergi?" "Ia mengubah diri menjadi asap, lalu melayang ke luar," kata Pete.
"Atau menyelinap dengan diam-diam, sementara kita masih lari ke bawah," kata Jupiter. "Kita tadi kan tidak sempat menoleh ke belakang."
"Pokoknya, kita takkan dikejar-kejar lagi olehnya," kata Bob dengan lesu. "Patung itu pasti sudah diambil oleh si pencuri, jadi setan itu takkan muncul lagi. Yah, begitulah - kurasa dengannya berakhirlah kasus kita ini."
"Kau keliru, Bob," tukas Jupiter. "Aku yakin, bukan si pencuri yang mengambil patung itu! Bahkan sebaliknya, ia kini bahkan lebih tidak tahu lagi di mana benda itu berada."
"Wah!" kata Pete. "Dari mana kau sampai bisa memperoleh kesimpulan itu, Satu?"
"Setan Menandak itu nampaknya ada sangkut-pautnya dengan si pencuri," ujar Jupiter menjelaskan. "Jadi jika si pencuri sudah mengambil patung itu dari dalam gua, maka Setan Menandak tadi takkan membuntuti kita, dan mestinya ia tahu bahwa kotak hitam itu tidak berisi apa-apa lagi! Tapi kenyataannya ia tidak tahu. Jadi pasti orang lain yang telah mengambil patung itu." Jupiter berpaling, berkata pada Frankie Bender. "Di samping teman-temanmu segerombolan, adakah orang lain yang datang kemari belakangan ini, Frankie?"
Remaja berdada tegap itu tidak menjawab. Sikap sok jagonya muncul lagi, setelah bahaya menghilang.
"Kau mencuri patung itu, Bender!" tukas Jupiter. Suaranya biasa-biasa saja, tapi mengandung nada mengancam. "Kalau kami mau, kau bisa mengalami kesulitan besar. Tapi jika kau mau berkompromi, kami akan tutup mulut."
Akhirnya Frankie mengangguk, walau dengan tampang masam.
"Ada seorang laki-laki tua, seorang gelandangan. Ia dulu biasa memakai gua ini sebagai tempat berteduh, sebelum kami mengusirnya. Aku kemarin melihatnya berkeliaran di sekitar sini. Dan tadi aku menemukan sebotol anggur di dalam gua ini."
"Siapa namanya?" tanya Bob.
"Aku tidak tahu, tapi orangnya gampang dikenali. Umurnya sekitar tujuh puluh, berjanggut putih, bertubuh besar, dan selalu memakai sepatu koboi serta mantel Angkatan Laut yang sudah rombeng."
"Awas, kalau kau menipu kami, Bender," kata Jupiter, lalu mengajak kedua temannya keluar. Frankie Bender mereka tinggalkan di dalam gua.
Mereka bergegas menuruni bukit, lalu melintasi Rocky Beach yang cerah diterangi sinar matahari, menuju rumah Pete. Saat itu sudah waktunya makan siang. Tapi bukan makanan yang ada dalam pikiran Jupiter.
"Gelandangan," katanya dengan penuh minat. "Ingat tidak, Pete, pengembara yang suka menawarkan barang-barang bekas ke pangkalan? Itu, Andy, yang pintar main gitar! Yang menurut Paman Titus sebenarnya genius, tapi lebih suka hidup mengembara? Ia kenal semua gelandangan yang berkeliaran di sekitar sini. Nanti sehabis makan siang, kau dan Bob pergi ke markas kita, untuk menemukan semua tempat yang suka disinggahi Andy. Cari dia sampai dapat."
"Oke, Satu," kata Pete. "Dan kau, apa yang akan kaulakukan?" Mata Jupiter berkilat-kilat.
"Aku hendak melacak jejak seorang Khan Yang Agung, suatu Gerombolan Kencana, serta Setan Menandak!"

Bab 10
SETAN MENANDAK DARI BATU KHAN

"INI dia, yang bernama Setan Menandak!" kata Jupiter.
Anak-anak sudah berkumpul lagi siang itu, di dalam karavan usang yang diubah menjadi kantor Trio Detektif. Bob dan Pete sebelumnya sudah menelepon ke berbagai tempat yang biasa didatangi Andy, si pengembara, dan meninggalkan pesan bahwa Jupiter meminta agar ia datang ke The Jones Salvage Yard, pangkalan tempat berjual-beli barang-barang bekas yang dikelola oleh paman dan bibi Jupiter.
Keduanya masih terus sibuk menelepon ketika Jupiter muncul lewat tingkap di lantai, dengan membawa sebuah buku berukuran besar. Dengan sikap bersemangat dibukanya buku itu lalu diletakkannya ke atas meja. Sambil menuding sebuah gambar, ia mengucapkan kata-kata yang mengejutkan itu. Bob dan Pete memperhatikan gambar itu, yang ternyata sebuah foto.
"Itu kan patung yang hilang," kata Bob menebak.
"Dan juga... eh... itu, yang berulang kali muncul dengan tiba-tiba," kata Pete kecut.
Foto dalam buku itu menampakkan sebuah patung kecil, berukuran sekitar tiga puluh lima senti dari kepala sampai dasar landasan. Wujud patung yang terbuat dari logam berwarna hijau itu berupa sosok yang sedang menandak-nandak dengan satu kaki terangkat tinggi dan kedua lengan terbentang. Dengan kepala yang berambut atau berbulu gondrong, tanduk mencuat, berselubung kulit serigala dan lengan serta tungkai ditutupi bulu lebat, patung itu persis makhluk seram yang berulang kali muncul di depan Trio Detektif, tapi dalam ukuran kecil.
Bob membaca keterangan yang tertera di bawah foto patung itu.
"Setan Menandak dari Batu Khan. Nama ini diberikan pada saat penemuannya di Cina pada akhir abad ke-19. Patung ini terbuat dari perunggu, dibuat pada tahun 1241 M., dan dibubuhi tulisan latin yang berbunyi, 'Untuk Khan Yang Mulia dari Gerombolan Kencana'. Patung yang rupanya dibuat oleh seorang seniman berbangsa Eropa ini merupakan penghormatan pada Batu Khan, atau mungkin juga jimat penangkal terhadapnya. Yang digambarkan adalah dukun sihir orang Mongol, lengkap dengan jubah dari kulit serigala serta topeng yang memakai tanduk yak- sejenis sapi berbulu lebat dan panjang yang hidup di Tibet. Genta-genta, tulang-belulang, giring-giring, serta berkas-berkas rerumputan, jagung dan akar tetumbuhan yang digantungkan pada tubuhnya melambangkan roh-roh alam semesta."
Bob menoleh ke arah Jupiter.
"Wah, Jupe, apa arti semuanya ini?"
"Artinya, benda itu tak ternilai harganya!"
Pete memperhatikan foto itu dengan penuh minat.
"Tak kusangka perunggu bisa sangat berharga," katanya mengomentari.
"Yang menentukan bukan bahannya, Dua, tapi kapan patung dibuat dan dengan tujuan apa," kata Jupiter menjelaskan. "Ketika makhluk menyeramkan seperti hantu itu berbicara tentang Gerombolan Kencana dan dukun sihir - atau bisa juga dikatakan dukun gaib aku langsung memutuskan untuk menghubungi Profesor Hsiang di universitas. Profesor itu ahli di bidang kesenian Dunia Timur. Dan ia ternyata langsung mengenali Setan Menandak, begitu aku memaparkan ciri-cirinya! Ia -"
"Apa sebetulnya yang dimaksud dengan Gerombolan Kencana?" tanya Pete. "Kedengarannya seperti nama regu football yang termasuk Sepuluh Besar. Dan siapa pula Batu Khan?"
"Kau tentunya sudah pernah mendengar tentang Jenghis Khan. Atau mungkin Kubilai Khan!"
"Yah," kata Pete agak ragu, "kalau tidak salah, mereka itu sebangsa raja. Atau mungkin juga jenderal besar, sama seperti Napoleon, atau Alexander Agung. Bukankah Kubilai Khan itu yang didatangi Marco Polo di Cina? Kurasa kedua nama yang kausebutkan tadi itu kaisar-kaisar Cina pada zaman dulu."
"Para khan itu bangsa Asia, tapi bukan Cina - meski Kubilai pernah berkuasa di Cina sebagai kaisar. Mereka orang Mongol, bangsa pengembara yang berasal dari kawasan sebelah utara Cina. Mereka bangsa yang suka berperang, dan ke mana-mana selalu naik kuda. Tinggalnya dalam tenda-tenda, dan mengembara dalam kelompok-kelompok kecil. Sampai sekarang pun di tempat asal mereka masih tetap ada yang hidup dengan cara demikian. Tapi dewasa ini sebagian dari daerah Mongolia termasuk wilayah kedaulatan Republik Rakyat Cina."
"Jadi mereka bukan orang Cina, suka berperang dan ke mana-mana naik kuda. Lalu apa urusannya dengan patung yang ada dalam foto ini?"
"Sekitar tahun 1206, beberapa suku pengembara bangsa Mongol digabungkan oleh Jenghis Khan, kebanyakan dengan cara memerangi dan menaklukkan mereka. Dengan balatentara yang terdiri dari suku-suku itu, ia kemudian mulai beraksi, menaklukkan seluruh dunia yang waktu itu sudah dikenal! Penaklukan itu dilanjutkan oleh putra-putra dan kemudian juga oleh cucu-cucunya, sehingga akhirnya mereka berkuasa di seluruh kawasan yang terletak di sebelah utara India, mulai dari Korea di timur sampai Hongaria di barat! Mereka penguasa kawasan Siberia, Cina, Rusia, Persia - yang sekarang dikenal sebagai Iran - dan juga sebagian besar dari Eropa bagian timur. Putra-putranya banyak, di antaranya bernama Juchi, Ogadai, dan Chagatai. Sedang Kubilai Khan itu cucunya, begitu pula halnya dengan Batu."
"Wah, mendengar nama-nama mereka saja bulu tengkukku sudah merinding rasanya," kata Pete.
"Mereka memang galak-galak," kata Jupiter. "Siapa saja yang berani membangkang, pasti ditumpas. Batu Khan itu yang mengalahkan orang Rusia dan Hongaria, serta berkuasa di bagian paling barat dari Kekaisaran Mongol. Balatentaranya - begitu pula kekaisaran yang merupakan daerah kekuasaannya - dikenal dengan julukan Gerombolan Kencana. Tapi orang Mongol ternyata lebih mahir berperang daripada memerintah suatu negara, jadi keutuhan kekaisaran mereka tidak begitu lama. Walau begitu, Gerombolan Kencana masih tetap ada di Rusia, sampai tahun 1480."
"Baiklah, tapi apa hubungannya dengan patung itu?" tanya Pete lagi. "Dan juga tentang dukun sihir yang kau sebut-sebut tadi?"
"Yah," kata Jupiter melanjutkan, "kepercayaan yang dianut oleh Batu Khan -jadi agama orang Mongol waktu itu - disebut syamanisme. Orang Mongol percaya bahwa ada roh dalam batu, angin, langit, bumi, begitu pula dalam pohon-pohon. Lalu mereka juga percaya bahwa ada seseorang tertentu yang bisa berhubungan dengan roh-roh itu. Orang itu disebut syaman, atau dukun sihir, atau dukun gaib."
"Eh, kalau begitu mirip dengan dukun orang Indian, ya!" kata Bob.
"Memang! Pada hakikatnya, orang Indian Amerika sebenarnya berasal dari Asia, dan mungkin memang satu keturunan dengan orang Mongol. Pokoknya, tadi banyak sekali yang diceritakan oleh Profesor Hsiang padaku, tentang syaman atau dukun gaib. Dukun-dukun itu mahir memindahkan suara. Itu, seperti yang pernah kita alami dalam kasus Bisikan Mumi! Mereka bisa memanggil roh-roh, dengan jalan menari-nari. Syaman yang paling hebat, bahkan bisa memanggil setan-setan! Dalam melakukan hal itu mereka selalu menyamarkan diri, supaya roh-roh yang dipanggil tidak bisa tahu siapa mereka sebenarnya. Dukun-dukun itu menyelubungi diri mereka dengan topeng dan kulit binatang, persis seperti yang nampak pada patung dalam foto ini."
"Lalu kenapa patung ini lantas begitu istimewa artinya?" tanya Pete.
"Karena tidak ada duanya di dunia ini!" jawab Jupiter. "Orang Mongol tidak punya kebiasaan membuat patung, atau setidak-tidaknya, patung yang tahan lama. Mereka memang memiliki patung-patung para dewa mereka, tapi itu terbuat dari tanah liat, lakan, dan bahan-bahan lain yang cepat rusak. Sedangkan patung dari logam ini dibuat oleh seorang berbangsa Eropa. Ini satu-satunya contoh figur Mongol yang bersifat permanen, tahan untuk selama-lamanya. Jadi merupakan benda unik!"
"Kalau begitu, bagaimana bisa sampai ditemukan di Cina?" kata Bob sambil merenung. "Tadi kaukatakan, patung ini kepunyaan Batu, padahal dia berkuasa di kawasan Barat."
"Tentang itu, tidak ada yang bisa memberikan jawaban secara pasti, Bob. Profesor Hsiang mengatakan, Batu Khan tidak selalu berada di kawasan Rusia. Ibukota kekaisarannya terletak di Mongolia, yaitu di Karakorum. Semua pangeran Rusia dulu harus ke sana, untuk mengucapkan sumpah setia pada Khan Yang Agung, sang kaisar. Pada tahun 1242, Batu harus menghentikan aksi perangnya dan juga pergi ke sana, untuk ikut memilih Khan Agung yang baru setelah yang lama meninggal dunia. Mungkin saat itu patung tersebut dibawanya, lalu karena salah satu sebab - ditinggal di sana. Sekitar empat puluh tahun kemudian, Kubilai Khan menaklukkan Cina dan menjadi Khan Agung. Ibukota Kekaisaran Mongol dipindahkannya ke kota yang sekarang bernama Beijing. Mungkin patung yang menjadi persoalan dalam kasus kita waktu itu dikirim ke sana. Tapi kita takkan bisa mengetahui dengan tepat, apa sebenarnya yang terjadi waktu itu."
"Baiklah! Tapi apakah kau tahu bagaimana patung itu kemudian bisa ada di sini?"
"Teruskan membaca keterangan di bawah foto itu, Bob."
Bob membaca lagi.
"Patung itu berada di Cina sampai Perang Dunia II, lalu lenyap pada masa pendudukan Jepang. Pada tahun 1956 muncul di London, dan di sana dibeli oleh H. P. Clay, seorang jutawan Amerika, untuk melengkapi koleksi karya seni Asia miliknya."
"H. P. Clay?" kata Pete. "Bukankah itu raja minyak yang memiliki rumah besar di Fernand Point? Jadi patung itu sudah dua puluh tahun lamanya ada di Rocky Beach? Kalau begitu pencuri itu -"
"Mestinya di kota ini mencurinya!" kata Jupiter memotong. "Kurasa kita perlu bicara sedikit dengan Mr. H. P. Clay!"
Untuk berjaga-jaga kalau Andy kemudian datang, ketiga remaja itu meninggalkan pesan pada Konrad, satu dari kedua pemuda Jerman yang bekerja di pangkalan, bahwa mereka hendak pergi ke tempat tinggal keluarga Clay di Fernand Point. Mereka berangkat naik sepeda. Sesampainya dijalan raya yang menyusur pesisir, mereka membelok ke arah selatan.
"Jupe?" kata Pete tiba-tiba, ketika mereka sedang bersepeda di tengah lalu-lintas yang ramai di jalan raya itu. "Tentang patung kita sudah tahu, tapi bagaimana dengan Setan Menandak yang hidup itu?"
"Dewasa ini ada orang Mongol yang masih menganut kepercayaan syamanisme. Jadi mungkin saja dia seorang syaman yang datang kemari, mencari patung itu. Menurut Profesor Hsiang, pihak Cina menghendaki patung itu dikembalikan pada mereka. Mereka sudah minta pada presiden kita agar memberi bantuan dalam usaha pengembaliannya, ketika waktu itu beliau berkunjung ke Beijing. Jadi mungkin makhluk yang menyeramkan itu syaman yang ingin mendesak agar patung itu benar-benar dikembalikan. Atau mungkin juga -"
"Mungkin juga apa, Jupe?"
"Menurut kepercayaan orang Mongol, segala sesuatu ada rohnya," kata Jupiter meneruskan. "Mungkin yang kita lihat itu roh Setan Menandak!"
"Aduh," keluh Pete, "kenapa aku tadi bertanya?"
Jupiter dan Bob tertawa. Tapi dalam hati mereka pun bertanya-tanya dengan perasaan kurang enak, apa sebenarnya yang mereka lihat itu. Setelah itu tidak ada yang bicara lagi, sampai di Fernand Point, di mana garis pantai melengkung ke arah laut. Tempat yang luasnya sekitar delapan hektar itu berbukit-bukit dan penuh dengan pepohonan yang tumbuh liar. Anak-anak tidak melihat sebuah bangunan pun di balik pagar besi tinggi yang membatasi tanah itu.
Pintu gerbang pagar itu terbuka. Jupe dan kedua temannya terus bersepeda masuk, melalui jalan pribadi yang panjang dan berkelok, sampai akhirnya nampak di depan mereka sebuah gedung yang terletak di seberang taman rumput yang luas. Gedung itu bertingkat dua, dibangun bergaya Afrika Utara dengan dinding berwarna putih bersih, balok-balok penyangga coklat tua, atap genting berwarna merah, serta jendela kecil-kecil berderet-deret di balik terali besi yang indah dan berbelit-belit buatannya.
Jupiter naik ke serambi, menuju ke pintu rangkap yang besar, lalu menekan bel. Tahu-tahu ia kelihatan lebih jangkung dari sebenarnya, karena saat itu ia mengambil sikap yang digagah-gagahkan. Seorang pria yang sudah agak
berumur membukakan pintu. Menilik pakaiannya, yaitu jas berpotongan resmi serta celana panjang bergaris-garis, orang itu pasti butler, atau kepala pelayan, yang biasanya ada di rumah-rumah megah seperti tempat kediaman H. P. Clay itu. Orang itu memperhatikan anak-anak yang berdiri di depannya dengan sikap angker, memperhatikan dari ujung kepala sampai ke ujung sepatu, lalu kembali lagi ke atas. "Ya, Anak muda?"
"Mr. Jupiter Jones, my good man, " kata Jupiter dengan lagak bicara seperti bangsawan. Ungkapan good man dipakainya untuk menyebut orang itu, karena ia tahu bahwa kaum bangsawan menyapa bawahan mereka dengan sebutan demikian. "Hendak bertemu dengan Mr. H. P. Clay."
"O, begitu," kata pelayan itu sambil tersenyum tipis. "Sayang, Mr. Jones, tapi Mr. Clay saat ini sedang tidak ada."
"Urusannya sangat penting," kata Jupiter berkeras. "Bolehkah saya mengetahui, di mana Mr. Clay bisa dengan segera dihubungi?"
Saat itu terdengar suara seseorang dari dalam gedung.
"Siapa itu, Stevens?"
"Seseorang bernama Jupiter Jones, ingin bertemu dengan ayah Anda, Master James."
Seorang pemuda bertubuh jangkung, berumur tidak lebih dari dua puluh tahun muncul di samping pelayan. Wajahnya tersenyum ramah. Sambil nyengir dipandangnya ketiga remaja itu. "Ayahku sedang ke luar kota. Mungkin aku bisa membantu?" "Yah -" Jupiter agak ragu.
"Yuk, kita ke ruang perpustakaan," kata pemuda itu, yang memperkenalkan diri dengan nama James Clay. "Biar aku saja yang mengambil alih urusannya, Stevens."
Pelayan yang bernama Stevens itu mengangguk, lalu meninggalkan mereka berempat. Pemuda bertubuh jangkung itu mengajak Jupiter serta kedua temannya masuk ke sebuah ruangan besar yang penuh dengan buku, diatur rapi dalam rak-rak yang berjejer sepanjang dinding.
"Oke, di sini saja kita bicara," kata James Clay. "Ada urusan apa?"
"Urusan tentang Setan Menandak, Mr. Clay," kata Jupiter, tanpa berbasa-basi lagi.
"Namaku Jim, itu lebih gampang daripada Mr. Clay," kata pemuda itu dengan ramah. "Ada apa dengan setan itu?" "Setan itu dicuri orang!" kata Pete dengan cepat.
"Dicuri?" James Clay menggeleng. "Tidak mungkin. Tiga atau empat hari yang lalu aku masih melihatnya. Itu kuingat benar, karena -"
"Dicurinya dua hari yang lalu," sela Bob dengan cepat.
"Dua hari yang lalu?" Jim Clay menatap Bob. "Baiklah kalau begitu kita periksa saja."
Diajaknya ketiga remaja yang datang itu menyusur gang-gang yang lebar, menuju bagian belakang gedung. Sesampainya di sana, dibukanya sebuah pintu rangkap yang kokoh dengan anak kunci yang tergantung pada rantai kunci-kuncinya. Mereka melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan luas berpenerangan remang-remang. Ruangan itu penuh dengan benda-benda yang bermacam-macam bentuknya, dan...
Suatu sosok dengan kepala bertanduk dan berbulu gondrong serta mata sipit berwarna merah, dengan posisi agak merunduk, memandang langsung ke arah mereka dari seberang ruangan remang-remang itu, dengan mulut ternganga serta berselubung kulit serigala! Lanjut ke bagian 2