Trio Detektif - Misteri Nyanyian Kobra(2)


 Bab 11 CATATAN RAHASIA DI KAMAR BENTLEY


­JUPE dan Pete sudah tiba kembali di Jones Salvage Yard. Sewaktu masuk ke bengkel, keduanya melihat lampu di atas mesin cetak menyala berkelap-kelip. Itu tanda bahwa telepon di dalam kantor mereka berdering.

"Mungkin Allie," kata Jupe."Aku memberi tahu nomor pribadi kita padanya."

Pete menggeser terali yang menutupi jalan masuk ke Lorong Dua, lalu merangkak lewat saluran pipa ke Markas. Ketika Jupiter yang menyusul masuk lewat lubang tingkap di lantai. Pete sudah sibuk menelepon.

"Ia memang menerima ular, tapi hanya dalam wujud gelang," kata Pete pada teman bicaranya.

"Jadi tidak mungkin mencederai dirinya."

Setelah itu Pete mendengarkan, sementara Allie berbicara. Jupiter hanya mendengar nadanya yang ribut.

"Salah satu roda mobilnya tahu-tahu terlepas," kata Pete."Cuma itu saja. Kecelakaan biasa!"

Allie diam sesaat, lalu mengatakan sesuatu yang menyebabkan tampang Pete langsung masam.

"Tapi kami baru saja kembali!" kata Pete.

Suara yang terdengar lewat sambungan telepon merepet lagi, dan agak lama. Pete menarik napas panjang. Diambilnya kertas lalu dicatatnya suatu alamat yang disebutkan oleh Allie.

"Baiklah," katanya kemudian."Sehabis makan malam." Setelah itu diletakkannya gagang telepon ke tempatnya.

"Ada apa lagi sekarang?" tanya Jupiter.

"Allie menelepon dengan pesawat yang ada di dapur." kata Pete."Katanya, Ariel mengurung diri di dalam perpustakaan bersama Bibi Pat, sedang Bentley pergi belanja. Bentley menyerahkan dua lembar surat keterangan, yang katanya merupakan pengantar dari majikan-majikannya sebelum ini. Surat pengantar yang satu dari seorang wanita di Brentwood yang kemudian ikut pindah dengan suaminya ke Kansas City. Sedang yang satu lagi dari seorang profesor di Arcadia. Allie mencoba menelepon ke Kansas City, tapi di sana nama wanita itu tidak terdaftar di dalam buku telepon. Kemudian ia mencoba menelepon profesor yang di Arcadia. Sambungan teleponnya ternyata dicabut."

"Allie sebenarnya harus mengadakan pengecekan dulu, sebelum menerima Bentley," kata Jupe.

"Tapi kenyataannya tidak begitu - dan sekarang ia menyuruh kita melakukannya." kata Pete. "Ia mengatakan pada Bentley bahwa ia harus mengisi formulir dari Kantor Jaminan Sosial agar bisa dibayarkan pajak jaminan sosial untuknya, dan orang itu lalu menyebutkan alamat rumahnya. Ia memiliki tempat tinggal di Santa Monica, di North Tennyson 1854. Sekarang Allie menghendaki kita dengan segera pergi ke sana untuk menyelidiki apakah Bentley benar-benar punya tempat tinggal di situ, di samping mengumpulkan informasi lain mengenainya, kalau ada."

"Dan kau mengatakan, sehabis makan malam?" kata Jupe.

"Betul! Jika aku tidak dengan segera muncul di rumah, ibuku pasti akan mendamprat habis-habisan!"

"Bibi Mathilda juga sudah mulai tidak sabar." kata Jupiter."Kurasa kau benar - memang sebaiknya sehabis makan saja kita ke Santa Monica."

"Kita ini budak Allie saja," kata Pete."Apa katanya, harus kita turuti."

"Ia kan klien kita," kata Jupiter mengetengahkan. "Ia sebetulnya tidak boleh langsung saja menerima Bentley - tapi kenyataannya begitu. Lalu sekarang ia ingin tahu lebih banyak tentang orang itu. Kurasa itu memang perlu. Bob nanti akan kutelepon, dan akan kuminta agar bertemu dengan kita pukul tujuh di jalan raya, di depan pasar. Bagaimana - setuju?"

"Kurasa saat itu bisa," kata Pete.

"Baiklah. Jadi pukul tujuh," kata Jupiter.

Pukul tujuh malam itu, Trio Detektif sudah mengendarai sepeda mereka di Jalan Raya Pesisir, menuju Santa Monica. Mereka berhasil menemukan North Tennyson Place, dengan bantuan peta kota. Alamat itu ternyata sebuah lapangan kecil yang menghadap ke 11th Street. Rumah nomor 1856 merupakan bangunan besar berdinding plesteran putih, dengan atap genting merah. Sebuah papan pemberitahuan yang ditancapkan di halaman rumput di depannya menyatakan bahwa rumah nomor 1854, yaitu alamat yang diberikan Allie pada Pete, terletak di belakang.

"Apartemen garasi," kata Jupiter menyimpulkan. Ia memasuki jalan yang pendek ke belakang, lalu kembali sambil mengangguk."Ya - apartemen di atas garasi untuk dua mobil."

"Lalu bagaimana kita bisa memastikan apakah itu benar-benar tempat tinggal Bentley?" tanya Pete."Ia sekarang kan tinggal di rumah keluarga Jamison."

"Kita tanyakan dia di rumah besar." kata Jupiter. "Kita mengaku - nanti dulu - ya, kita mengaku kawan Freddie, keponakannya. Kita baru saja datang dari Westwood, dan ingin bertamu ke tempatnya."

"Itu sudah cukup untuk membuka percakapan," kata Bob.

Jupiter menghampiri pintu depan rumah besar, lalu membunyikan bel. Ia menunggu selama kira-kira semenit, lalu menekan bel lagi. Tapi tidak ada yang datang membukakan pintu.

"Percuma saja gagasan bagus tadi," kata Pete.

­Jupe mengambil sepedanya. lalu didorongnya ke jalan masuk. Ia memandang lagi ke arah garasi.

"Kita anggap saja Bentley memang tinggal di situ," katanya."Sering banyak bisa diketahui tentang seseorang, hanya dengan jalan meneliti tempat kediamannya."

"Jadi kita mengintip?" kata Pete.

"Kita bisa melihat ke dalam, lewat jendela," balas Jupiter.

Ternyata memandang ke dalam apartemen garasi lewat jendela. sama sekali bukan pekerjaan sulit. Di sisi luar garasi ada tangga menuju ke atas, dan berakhir di suatu emperan kecil. Di samping pintu apartemen ada sebuah jendela, yang kerainya tergulung ke atas.

"Kita mujur," Jupiter merapatkan mukanya ke kaca jendela.

Pete mendesakkan diri di sisinya, lalu ikut mengintip ke dalam. Sedang Bob melakukannya sambil berjingkat di belakang Pete.

Sinar matahari yang sudah hampir terbenam memancar ke dalam lewat sebuah jendela yang terdapat di sisi depan apartemen, dan menerangi dinding seberang tempat berjejer rak-rak yang penuh dengan buku. Ketiga remaja itu melihat sebuah meja kerja, tempat tumpukan map serta sejumlah buku lagi. Sebuah mesin ketik terdapat di atas sebuah meja yang berukuran agak lebih kecil. Selanjutnya mereka juga melihat sebuah kursi putar, dan sebuah lampu tegak. Lalu sebuah bangku panjang yang ditutupi hamparan kain tebal berwarna sawo matang.

"Lebih mirip ruangan kantor " kata Pete mengomentari.

Jupiter melangkah mundur.

"Pelayan misterius itu kelihatannya gemar membaca," katanya menarik kesimpulan."Dan juga suka menulis."

"Coba kalian perhatikan judul-judul itu!" kata Bob sambil bersiul pelan."Itu - buku-buku yang ada di atas meja. Ilmu Gaib, Pengobatan Tradisional dan Perdukunan. Itu buku baru. Baru minggu ini kami memperolehnya di perpustakaan. Harganya $ 10,95. Ia juga punya Voodoo - Ritual dan Realitas. Bukan main!"

"Ada yang tentang ular?" tanya Pete.

Jupiter mencoba membuka pintu. Tombolnya ternyata tidak bisa diputar. Kemudian ia memeriksa jendela.

"Tidak terkunci," katanya. Dipandangnya kedua temannya. Pete memperhatikan pekarangan yang lengang di sekitar garasi, sedang Bob memandang ke arah rumah besar di depan.

"Habis riwayat kita, kalau ketahuan." kata Pete.

"Jangan sampai ketahuan." Jupe mendorong daun jendela ke atas. Jendela terbuka, hampir tanpa menimbulkan bunyi sama sekali. Sedetik kemudian Jupe sudah ada di dalam apartemen, disusul oleh Bob dan Pete.

Di samping buku-buku tentang ilmu gaib di atas meja, mereka masih melihat buku-buku sejenis di dalam rak. Uraian tentang berbagai upacara suku-suku primitif, buku-buku tebal tentang adat kebiasaan tradisional, serta beberapa judul uraian tentang ilmu hitam yang hidup di kota-kota modern.

"Ia pasti merasa cocok dengan Bibi Pat Osborne, dan Hugo Ariel." kata Pete.

"Aku salut padanya, jika semua buku ini sudah dibacanya," kata Bob."Aku tadi siang sempat membalik-balik halaman beberapa buku seperti ini. bacaannya ada yang alot."

"Pengetahuannya luas, tentang klenik," kata Jupiter."Bukan hal yang umum, seorang ahli di bidang klenik bekerja selaku pelayan."

Jupiter memperhatikan tumpukan map di atas meja kerja. Ada yang pada labelnya ditulisi, 'Langganan Mara', dan ada satu yang ditulisi, 'Segitiga Hijau'. Lalu ada pula map tebal, yang pada labelnya tertulis, 'Persekutuan Lingkar Bawah'.

"Jangan-jangan ini persekutuan yang sedang kita selidiki." Jupiter membuka map itu. "Ya, memang!"

"Apa isinya?" tanya Bob.

Jupiter mengambil dua lembar kertas dari map itu.

"Ini ada catatan tentang Miss Patricia Osborne. Rupanya Bentley tertarik pada bibi Allie itu. Misalnya saja, di sini dicatat bahwa ia selama sepuluh tahun belakangan ini pernah menjadi anggota lebih dari lima sekte yang tidak umum, begitu pula menjadi langganan dua majalah ramalan perbintangan, dan pernah sekali mengembara ke India, dan di sana menjadi murid seorang guru kebatinan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Miss Osborne tidak kerasan, karena kondisi higiene yang tidak memadai. Lalu ini juga ada catatan bahwa Miss Osborne sejak bulan Mei bertempat tinggal di Rocky Beach, sedang Hugo Ariel tiba belum lama berselang."

"Masih ada lagi?" tanya Bob.

Jupiter mengambil selembar kertas catatan lagi. "Ini ada laporan dari suatu perusahaan pengelola kredit." katanya."Tentang harta yang dimiliki Miss Osborne. Bibi Pat tidak bisa disebut kaya."

"Bentley menaruh minat pada uang?" tanya Pete.

Pete meneliti kertas-kertas lain yang ada di dalam map.

"Nampaknya begitu," katanya."Ini juga ada laporan serupa tentang Noxworth, pemilik toko makanan sedap-sedapan. Orang itu juga memiliki rumah sewaan di East Los Angeles. Rupanya ia lebih kaya, daripada yang dikesankan oleh penampilannya."

"Lalu wanita yang bergaun oranye?" tanya Pete.

"Penata rambut itu? Madelyn Enderby?" Jupe meneliti kertas-kertas catatan."Ia pernah menjadi anggota bermacam-macam perkumpulan aneh. Ia memiliki perusahaannya sendiri, sedang penghasilannya setahun puluhan ribu. Ia menanamkan uang pada seorang pialang saham, di San Fernando Valley."

­"Ada lagi yang kita kenal?" tanya Bob.

"Wanita pemilik toko makanan sehat," kata Jupe."Usaha di bidang itu rupanya menguntungkan. Ia mengajukan permohonan untuk membuka toko sejenis, di lokasi lain. Dan ini masih ada sejumlah laporan lagi, tentang orang-orang yang tidak kita kenal."

"Ilmu gaib dan klenik." Bob menjamah buku-buku yang ada di meja."Dan di samping itu, juga uang."

"Mungkin kesemuanya ini ada pertaliannya," kata Jupe.

Pete membuka laci yang ada di meja itu. Hanya beberapa penjepit kertas saja yang ada di dalamnya. Serta sebuah alat perekam suara berukuran mini. Pada alat itu terpasang gulungan pita rekaman suara.

"Aku mau punya alat seperti ini," kata Pete. "Praktis, gampang dibawa-bawa di dalam kantung."

Bob memungut alat itu.

"Bagus," katanya."Kerjanya dengan baterai."

Ditekannya sebuah tombol yang terdapat di sisi. Sebuah klep kecil terbuka, menampakkan mikrofon yang tersimpan di dalamnya.

"Benar-benar hebat," kata Bob."Alat perekam mini yang bisa disembunyikan di mana saja, dilengkapi mikrofon yang peka. Dinas Rahasia saja, kurasa takkan lebih baik perlengkapannya."

"Aku ingin tahu, apa yang terekam pada pita ini," kata Jupiter."Bagaimana cara kerjanya?"

­Pita rekaman diputar kembali oleh Bob. Kemudian ditekannya tombol, 'Start’. Sesaat hanya terdengar bunyi menggeresek. Tapi kemudian ketiga remaja penyelidik itu mendengar suara seseorang mengatakan, "Kita bisa mulai sekarang..."

"Itu suara Ariel!" kata Bob.

"Malam ini kita tidak lengkap." Suara yang direkam itu melanjutkan."Ada kemungkinan kita tidak bisa berbuat apa-apa, atau mungkin juga Dr. Shaitan akan mengirimkan rohnya kemari. Suara kobra mungkin akan berbicara pada kita, menjembatani jarak bermil-mil."

"Ia memasang alat ini di rumah Allie!" kata Pete.

"Mestinya disembunyikan di dekat pintu ke ruang makan," kata Bob menarik kesimpulan.

Ketiga remaja itu mendengar suara Madelyn Enderby yang serak, lalu suara Noxworth menggerutu. Kemudian terdengar kembali keinginan Pat Osborne agar Margaret Compton terpaksa pergi. Kemudian terdengar lagi bunyi itu. Jelas sekali kedengarannya, di dalam kesunyian kamar sempit tempat mereka berada. Mereka mendengar nyanyian yang menyebabkan Marie ketakutan sehingga lari dari rumah keluarga Jamison, dan yang mendorong Allie untuk minta tolong.

"Suara kobra," kata Jupe.

Bob bergidik. Alat perekam itu cepat-cepat dimasukkannya lagi ke dalam laci. Tapi bunyi nyanyian seram tanpa kata itu masih tetap terdengar terus.

­Gulungan pita sudah sampai ke ujungnya. Nyanyian seram itu melirih, lalu berhenti. Ketika yang terdengar hanya dengungan lembut saja, yang berasal dari motor alat perekam, barulah Jupiter menyadari bahwa ia merasa dingin. Sinar matahari yang masuk lewat jendela sudah tidak ada lagi. Di luar mulai gelap.

Dan di ambang pintu berdiri seorang laki-laki. Bentley!





Bab 12 BENTLEY PINDAH

­"ASTAGA!" kata Pete kaget.

Bob terlonjak, lalu cepat-cepat mematikan alat perekam.

Jupiter tidak beranjak dari tempatnya. Ia sibuk mencari alasan, yang rasanya bisa diterima Bentley. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan, bahwa tidak ada yang masuk akal.

"Kami baru saja hendak pergi," katanya.

Laki-laki berkumis lebat itu tetap berdiri di ambang pintu.

"Kalian hendak keluar lewat jalan yang sama?" katanya dengan nada bertanya."Kalian tadi masuk lewat jendela, kan?" Bentley marah. Ia tidak menggertak. Dan juga tidak takut. Jupiter melihat bahwa Bentley saat itu bukan pelayan yang bersikap patuh. Takkan mudah membuatnya menyingkir dari ambang pintu! Jupiter berpikir dengan cepat.

"Bob," katanya, "kemarikan pita rekaman itu."

Bob mengambil barang yang diminta, lalu menyerahkannya pada Jupiter.

"Pita itu milikku!" kata Bentley.

Jupiter mengacungkan pita itu.

­"Coba jelaskan, Bentley - bagaimana cara Anda memperoleh rekaman ini? Apakah Anda menyembunyikan alatnya di emperan malam itu, ketika di rumah itu sedang ada beberapa tamu Miss Osborne?"

Pelayan itu bergerak dengan tiba-tiba. Dengan cepat ia melangkah maju, lalu dicengkeramnya pergelangan tangan Jupiter.

"Lari!" seru Jupe pada kedua temannya.

Bob dan Pete langsung melesat ke arah pintu yang terbuka. Tiba-tiba Jupiter melepaskan pita rekaman yang dijadikan rebutan dengan Bentley, sedang kaki kanannya dikaitkan ke sisi belakang lutut Bentley yang sebelah kiri.

Orang itu terjengkang. Ia mengumpat-umpat. Gulungan pita terpental. Jupiter membiarkan saja. Ia lari ke pintu.

Bentley masih sempat menyambar bagian belakang kemeja Jupiter. Tapi Jupe berhasil membebaskan diri, lalu cepat-cepat menuruni tangga.

Bentley tidak mengejar. Ia berdiri di emper luar dengan secarik kain dari kemeja Jupe di tangannya. Ia hanya memandang saja, sementara ketiga remaja itu menyambar sepeda mereka, lalu cepat-cepat pergi.

Setelah cukup jauh dari Tennyson Place, barulah mereka berhenti mengayuh.

"Siapa yang sekarang dalam kesulitan, Jupe? Kita - atau Bentely?" kata Pete dengan nada bingung."Jika ia menghubungi polisi, nanti kita mengadukannya tentang pita rekaman tadi, serta tentang segala catatannya."

"Semuanya itu bisa dengan mudah disembunyikan, atau dimusnahkan," kata Jupiter. "Sedang kita bersalah memasuki rumah orang tanpa izin! Dan Bentley pernah melihat kita bersama Allie. Jika mau, ia tahu di mana kita bisa ditemukan."

"Jadi bagaimana sekarang?" tanya Bob.

"Kita kembali ke perusahaan. Di sana kita menyampaikan laporan pada klien kita. Sesudah itu kita menunggu. Ada kemungkinan kita takkan mengalami kesulitan. Kita tahu, Bentley pasti harus secara sembunyi-sembunyi memasuki pekarangan rumah keluarga Jamison, untuk bisa merekam pembicaraan Ariel dengan yang lain-lainnya. Kita tahu, padanya ada laporan tentang keadaan keuangan Miss Osborne. Tidakkah akan merepotkan baginya, jika ia harus menjelaskan bagaimana ia bisa memperoleh laporan itu?"

"Usaha pemerasan?" tanya Pete.

"Mungkin, " kata Jupe."Sekarang kita kembali saja dulu, lalu menelepon Allie."

"Anak itu seharusnya memperingatkan kita, bahwa Bentley akan datang ke apartemennya malam ini," kata Pete dengan sebal.

"Mungkin Allie juga tidak tahu." kata Jupe.

Dugaannya terbukti benar, ketika mereka tiba di Markas Trio Detektif. Telepon berdering, sewaktu mereka masuk lewat tingkap di lantai karavan Ternyata Allie Jamison yang menelepon.

­"Aduh, maaf!" kata gadis itu, begitu telepon diangkat. Jupiter menghubungkan pesawatnya dengan perlengkapan pengeras suara bikinannya sendiri, sehingga pembicaraan bisa diikuti oleh mereka bertiga sekaligus.

"Kami ketahuan oleh Bentley tadi," kata Jupiter

"Maaf," kata Allie mengulangi."Aku tadi sudah berusaha menghubungi kalian. tapi kalian ternyata sudah pergi. Bentley mengatakan kelupaan sesuatu yang diperlukannya. Sedang aku tidak bisa melarangnya pergi. Ya, kan?"

"Coba itu kaulakukan," kata Jupiter."Sekarang bajuku robek, dan ia tahu bahwa kita memata-matai dirinya. Ada kemungkinan kau akan tidak punya pelayan lagi."

"Menurutmu, ia takkan kembali lagi kemari?"

Jupiter sangsi sesaat, sebelum menjawab.

"Mungkin saja ia bersikap masa bodoh," katanya pada Allie, "tapi kami tadi memasuki apartemennya, dan cukup banyak yang kami lihat di situ untuk mencurigai dirinya. bahwa ia mungkin hendak mencoba memeras bibimu. Di kamarnya ada laporan tentang keadaan keuangan Bibi Pat. Dan ternyata memang Bentley yang waktu itu bersembunyi di dalam garasi rumah kalian, sewaktu bibimu mengadakan pertemuan dengan Ariel, serta para anggota persekutuan yang lainnya. Ia merekam pembicaraan di dalam pertemuan itu."

"Tapi itu tidak logis," kata Allie."Bibi Pat tidak bisa diperas, karena tidak ada apa-apa di dalam kehidupannya yang perlu dirahasiakan."

­"Kalau begitu, apa sebabnya ia bingung ketika mendengar kecelakaan yang menimpa Mrs. Compton?"

Allie diam saja.

"Ngomong-ngomong, di mana bibimu itu saat ini?" tanya Jupe.

"Di atas - sedang menangis."

"Dan Hugo Ariel?"

"Di perpustakaan. Entah sedang apa di situ."

"Kau mendengar suara nyanyian itu lagi?"

"Tidak. Saat ini di sini tenang sekali - setenang di kuburan. Dan suasananya juga seperti di situ," kata Allie.

"Yah - kalau begitu tetap waspada sajalah," kata Pete, "dan beri tahu kami, begitu Bentley muncul."

Tapi Bentley tidak muncul. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Allie menelepon Jupiter di rumahnya, untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Beberapa waktu kemudian Jupiter naik sepeda bersama Bob, pergi ke Santa Monica. Mereka kembali ke Tennyson Place. Jendela-jendela di bangunan kecil di belakang rumah besar tidak menampakkan apa-apa. Jupiter membunyikan bel pintu rumah besar. Seorang wanita bertubuh kecil membukakan pintu. Ia mengatakan pada Jupiter bahwa ia takkan bisa menyerahkan obat yang dipesan oleh penyewa kamar yang di atas garasi, karena orang itu tidak lagi tinggal di situ. Baru pagi itu pindah, tanpa meninggalkan alamatnya yang baru.

­"Anda tahu, perusahaan angkutan mana yang disewanya untuk mengangkut barang-barang?" tanya Jupe."Ia masih punya utang di toko tempat saya bekerja."

"Ia sendiri yang mengangkut semuanya," kata wanita yang membukakan pintu."Barangnya memang tidak begitu banyak."

Jupiter mengucapkan terima kasih, lalu mendatangi Bob yang menunggu di trotoar.

"Kurasa untuk sementara kita takkan mendengar apa-apa dari Bentley," kata Jupiter pada temannya itu."Aku tidak tahu, apakah harus bersyukur, atau menyesal."


Edit by: zheraf
http://www.zheraf.net


Bab 13 PERMATA KALUNG RATU EUGENIE

­"AKU mulai merasa kesepian, setelah Bentley menghilang," kata Allie pada Jupiter, tiga hari setelah pelayan itu pergi dengan tiba-tiba. "Ia setidak-tidaknya masih hilir mudik di dalam rumah. Bibi Pat selalu duduk termenung di dalam kamarnya, atau duduk di emperan sambil termenung-menung lagi. Sedang Ariel - tak pernah ia melepaskan Bibi Pat dari pengawasannya."

"Pagi ini juga begitu?"

"Tidak, pagi ini ia pergi, untuk cukur."

"Tentang apa saja mereka bercakap-cakap?" tanya Jupe. Saat itu ia dan Allie sedang bersandar ke pagar di belakang rumah keluarga Jamison, sambil memandang kuda milik gadis itu.

"Mereka tidak bercakap-cakap," kata Allie.

"Kurasa bibimu terlibat dalam suatu urusan gelap," kata Jupiter."Bob mengadakan riset tentang klenik, dan berbagai hal yang selama ini dilakukan bibimu di dalam buku-buku tentang klenik. Misalnya saja menggoreskan lingkaran dengan pisau di sekeliling tempat tidurnya. Di samping, itu terdapat banyak mantra untuk memanggil jasad halus, atau melancarkan guna-guna, dengan memakai lilin-lilin menyala."

"Di sini selama beberapa hari terakhir tidak pernah lagi dinyalakan lilin-lilin seperti waktu itu," kata Allie.

"Pelelangan harta milik Castillo akan dilangsungkan minggu depan," kata Jupiter."Apakah bibimu bermaksud menghadirinya? Sekarang tidak ada lagi Mrs. Compton, yang bisa menggagalkan keinginannya memiliki bola kristal itu."

"Memang, selama beberapa bulan mendatang ini Mrs. Compton takkan bisa ke mana-mana. Tulang kakinya patah di dua tempat. Tapi kurasa Bibi Pat saat ini tidak punya rencana apa-apa," kata Allie."Ia kelihatannya seperti kehilangan akal. Satu-satunya yang masih dilakukan cuma menelepon rumah sakit setiap hari untuk menanyakan keadaan Mrs. Compton. Tapi ia tidak berbicara langsung dengan wanita itu. Ia berbicara dengan perawat."

Allie memandang ke depan rumah. Sebuah sedan besar berwarna hitam memasuki pekarangan. Sopirnya turun, lalu membukakan pintu belakang. Seorang pria berpenampilan apik, dengan celana bersetrip-setrip serta jas panjang keluar. Tangannya yang terbungkus sarung tangan memegang sebuah bungkusan. Jupiter memandang dengan mata terbuka lebar. Adegan yang begitu anggun jarang kelihatan di Rocky Beach. Dan jelas, belum pernah pukul sebelas pagi!

Mata Allie menyipit.

­"Orang itu dari 'Van Storen and Chatsworth’!" katanya."Segala-galanya mereka lakukan dengan memperhatikan martabat. Tidak bisa mengantar barang dengan begitu saja. Kurasa itu kalung ibuku, yang diantar kembali. Bagaimana jika kita masuk sekarang, untuk melihat apa yang terjadi?"

Jupiter mengikutinya masuk lewat dapur. Mereka melihat Bibi Pat Osborne di ruang depan, sedang menerima bungkusan yang dibawa pesuruh toko 'Van Storen and Chatsworth'. Jupiter melihat bahwa gaun ungu yang dikenakannya sudah kusut dan agak kotor. Seakan-akan sudah dipakai berhari-hari - atau mungkin juga Bibi Pat sudah tidak peduli lagi, apa yang dipakainya. Tangan wanita itu agak gemetar, ketika menyodorkan surat tanda terima pada laki-laki anggun yang ada di hadapannya.

"Allie!" seru Bibi Pat, ketika melihat kedua remaja itu datang. Suaranya agak melengking. "Dan Jupiter. Selamat pagi!"

Orang dari toko permata ke luar, berjalan menuju mobil.

"Kalung ibumu, Nak," kata Miss Osborne pada Allie."Bukalah bungkusan itu, dan periksa apakah pekerjaan mereka rapi."

Tanpa mengatakan apa-apa, Allie membuka kertas pembungkus berwarna putih. Dibukanya kotak kulit berwarna hijau tua yang ada di dalamnya. Di dalam kotak itu nampak sebuah kalung berukuran lebar, diletakkan di atas alas dari kain satin putih. Kalung itu berhiaskan lebih dari seratus butir intan, semuanya memancarkan cahaya dingin yang kemilau.

"Norak, ya?" kata Allie pada Jupe.

"Itu perhiasan bersejarah, Nak," kata Bibi Pat.

"Dan sangat berat," kata Allie padanya."Saban kali Ibu memakainya, ia kemudian selalu mengeluh karena tengkuknya pegal." Kotak itu ditutupnya kembali."Aku lebih suka mutiara. Kalau memakai kalung mutiara, tidak perlu ada pengawal yang selalu ikut ke mana saja kita pergi."

Miss Osborne memandang ke pekarangan depan.

"Kedengarannya seperti ada mobil masuk," katanya.

"Paling-paling hantu dari Rocky Beach, yang kembali dari tukang cukur," kata Allie.

"Allie! Masukkan kalung itu ke lemari besi ibumu," kata Bibi Pat cepat-cepat.

Terdengar bunyi pintu mobil ditutup di pekarang an belakang. Bibi Pat memandang ke arah itu, lalu menyembunyikan tangannya ke dalam lipatan gaun.

"Sekarang. Nak," katanya pada Allie.

"Baiklah. Bibi Pat," kata Allie. Ia naik ke atas. Sesaat kemudian Hugo Ariel masuk. menghamburkan bau wewangian minyak rambut.

Allie muncul lagi di ujung atas tangga. Kotak tadi sudah tidak ada lagi di tangannya.

"Nanti kita bicara lagi" serunya dari atas pada Jupiter.

­"Aku akan menunggumu," kata Jupiter berjanji lalu pergi ke luar.

Setelah itu sepanjang hari Jupiter menyibukkan diri di perusahaan. Tapi ia tidak pernah jauh dari bengkelnya. supaya bisa setiap saat mendengar kalau telepon di dalam kantor Trio Detektif berdering. Pukul lima sore, Allie menelepon.

"Bagaimana pendapatmu tentang permainan Bibi Pat tadi pagi?" tanya gadis itu.

"Hampir bisa dibilang profesional," kata Jupe. "Tapi terasa jelas bahwa ia tidak ingin Hugo Ariel mengetahui bahwa kalung itu dikembalikan hari ini."

­"Rupanya ia menelepon perusahaan itu setelah Ariel mengadakan janji dengan tukang cukur," kata Allie lagi., "Kurasa saat penyerahan diatur begitu rupa, sehingga Ariel tidak bisa melihatnya. Tapi jika kalung itu harus dijauhkan dari jangkauan Ariel, lalu untuk apa dikembalikan sekarang? Kan bisa saja la meminta pada 'Van Storen and Chatsworth' unt­uk menyimpannya, sampai ibuku pulang."

"Kecuali jika ia memerlukannya," kata Jupiter.

"Bibi Pat tidak berhak memerlukannya!"' tukas Allie. Kalung itu kan milik ibuku!"

"Betul," kata Jupiter."Dan karena milik ibumu lagi pula kau mengetahui angka-angka kombinasi untuk membuka kunci lemari besi itu, bagimu mudah saja untuk mengambilnya lagi. Maukah kau meminjamkannya sebentar pada Trio Detektif? Ada sesuatu yang ingin kuperiksakan kebenarannya. Bisakah kau membawa kalung itu pergi dari rumah, tapi tanpa ketahuan?"

Allie sama sekali tidak menampakkan keraguan.

"Aku punya jaket bertudung, yang kadang-kadang kupakai saat pesiar dengan Queenie. Tudungnya lapang - kurasa ayam hidup pun bisa kusembunyikan di dalamnya."

"Bagus," kata Jupiter."Begitu ada kesempatan, kau cepat-cepat membawa kalung itu kemari. Kurasa di sini memang lebih aman. Kutunggu kau di bengkelku. Sekarang kita putuskan saja pembicaraan ini, karena aku perlu menelepon seorang kawan kami, Worthington. Kita memerlukannya besok."

Menjelang pukul enam, Allie sudah muncul di perusahaan. Ia membawa kotak berisi kalung. Jupiter mengambil kotak itu. Setelah Allie pergi lagi, kotak itu disimpannya di dalam laci meja di dalam kantor Trio Detektif.

Keesokan paginya mobil Rolls-Royce masuk ke perusahaan, dikemudikan oleh Worthington.

"Urusan ini besar sekali tanggung jawabnya, Jupiter" kata orang itu, ketika Jupiter menyerahkan kotak berisi kalung padanya. "Kalung yang pernah menjadi milik seorang ratu!"

"Anda satu-satunya yang bisa melakukannya, Worthington," kata Jupiter."Kalau salah satu dari kami bertiga yang mencobanya, pasti akan langsung menimbulkan kecurigaan."

Worthington mengangguk.

­"Saya akan berhati-hati sekali," katanya berjanji. "Sekitar pukul dua saya sudah akan kembali."

"Kami semua akan menunggu di sini," kata Jupiter.

Jam menunjukkan waktu sudah hampir pukul dua siang, ketika Worthington kembali. Jupiter menyongsongnya di gerbang depan, lalu mengajaknya ke bengkel. Bob dan Pete menunggu di sana bersama Allie. Gadis itu duduk mencangkung di atas sebuah peti yang ditelungkupkan.

"Miss Jamison," kata Worthington, lalu duduk di kursi yang biasanya ditempati Jupiter. Ia membuka kotak dari kulit berwarna hijau yang dibawanya. Dikeluarkannya kalung yang ada di dalamnya. lalu diselempangkannya di atas lutut "Indah," katanya, "tapi tak berharga. '.

"Tak berharga?" Allie terlonjak bangkit. "Itu kalung ibuku! Dulunya milik Ratu Eugenie. Harganya tak ternilai!"

Worthington kelihatan bingung.

"Maaf, Miss Jamison, tapi ini bukan kalung Ratu Eugenie. Ini imitasinya. Saya tadi menghubungi tiga juru taksir, dengan mengatakan bahwa saya menemukan kalung ini di antara barang-barang peninggalan seorang kerabat yang belum lama ini meninggal dunia. Saya dinasihati agar tidak berusaha mengasuransikannya, sebab perhiasan imitasi tidak biasa diasuransikan. Takkan ada yang mau!"

"Perhiasan imitasi?" seru Allie dengan suara seperti tercekik."Kemarikan kalung itu!"

­Worthington menyodorkan barang yang diminta.

"Kau hendak membicarakannya dengan bibimu?" tanya Jupiter dengan tenang.

"Membicarakannya? Akan kujejalkan barang ini ke depan hidungnya, lalu akan kupaksa dia mengatakan apa yang telah dilakukannya dengan kalung yang asli."

"Itu bisa kita terka sendiri," kata Jupe. "Kau sendiri menyarankan jalan yang paling aman. Bibimu meminta 'Van Storen and Chatsworth' membuat imitasinya, sedang kalung yang asli tetap ada di perusahaan itu, menunggu orang tuamu kembali."

Allie duduk lagi.

"Itu rasanya seperti menyadari bahwa si dungu di dalam kelas, ternyata Albert Einstein! Jadi kalung itu aman," katanya.

"Tapi untuk apa ia minta dibikinkan imitasinya?" tanya Pete."Mau apa ia dengan barang ini?"

Kening Allie berkerut.

"Segala siasat-siasatan ini pasti ada hubungannya dengan Ariel. Bibi Pat kan berhati-hati sekali, sama sekali tidak memberi peluang pada Ariel untuk melihat."

"Mungkin ia takut, orang itu akan mencurinya?" tebak Bob.

"Bagus! Biar saja ia mencuri barang palsu ini, lalu pergi dari sini!"

"Kurasa persoalannya tidak sesederhana itu," kata Jupiter."Entah dalam hubungan mana, tapi kurasa urusan kalung ini ada pertaliannya dengan kecelakaan yang dialami oleh Mrs, Compton, begitu pula dengan persekutuan dan kekuatan gaib kobra yang menyanyi."

"Apakah kobra itu masih terdengar nyanyiannya di rumahmu?" tanya Bob pada Allie.

"Tidak," kata Allie."Tidak ada yang menyanyi di rumah kami."

"Takut?" tanya Pete.

"Ya, sedikit."

"Kurasa keselamatanmu tidak terancam," kata Jupiter pada gadis itu."Selama Ariel tidak merasa kau merupakan ancaman bagi dirinya, kau takkan diapa-apakan olehnya. Bentley dalam salah satu bentuk ikut terlibat di dalam urusan ini, dan kemungkinan akan muncul lagi - tapi ia tidak menampakkan kesan akan bisa bertindak kasar."

"Aku bukan takut tentang diriku sendiri," kata Allie."Untuk apa? Mereka beranggapan, aku ini cuma anak yang merepotkan saja. Tidak - keselamatan Bibi Pat yang kukhawatirkan. Malam ini ia akan pergi dengan Ariel, menghadiri pertemuan persekutuan menyeramkan itu. Aku mendengar mereka bercakap-cakap mengenainya, tadi pagi. Ariel mengatakan bahwa Dr. Shaitan memanggil para anggota untuk berkumpul di Torrente Canyon, dan Bibi Pat harus menghadirinya. Bibiku tidak mau. Ia tidak henti-hentinya menangis. Tapi ia akan datang."

"Bagus!" kata Jupiter.

­Apanya bagus!" teriak Allie."Tak tahan hatiku melihat keadaan bibiku seperti sekarang ini. Ia sangat menderita!"

"Aku khawatir kau takkan bisa melihatnya dalam keadaan lain, selama kita belum berhasil membongkar rahasia persekutuan itu," kata Jupiter.

"Worthington, bisakah Anda..."

"Dengan senang saya akan mengantarkan kalian lagi ke rumah di Torrente Canyon itu," kata Worthington mendului.

"Aku juga ikut," kata Allie

"Aduh, Allie," kata Pete memprotes.

"Ia bibiku," kata Allie berkeras. "Kecuali itu urusan ini menyangkut kalung ibuku, dan Ariel tinggal di rumahku. Pokoknya aku ikut! Di mana aku harus menunggu jemputan nanti Worthington?"

"Bagaimana jika di pelataran parkir, di depan Pasar Rocky Beach...."

"Baik! Pukul berapa?"

"Bagaimana kalau setengah delapan, Miss?"

"Ya, bisa! Jadi sampai nanti, pukul setengah delapan." Allie melangkah pergi. Kotak berisi kalung imitasi disembunyikan di dalam jaket

"Gadis itu keras sekali kemauannya," kata Worthington.

Tidak ada yang membantah ucapannya.





­Bab 14 ROH DR. SHAITAN

­TIDAK ada alasan bagi Worthington untuk mengubah pendapatnya malam itu. Ketika ia muncul dengan mobil Ford kelabunya di pelataran parkir Pasar Rocky Beach, dilihatnya Allie sudah ada di situ, bersama Trio Detektif. Gadis remaja itu nampak tenang. Tapi dari caranya mengatupkan geraham, kelihatan jelas bahwa Allie sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

"Aku nanti akan masuk ke rumah itu," katanya pada sopir berbangsa Inggris itu, yang membukakan pintu untuknya.

"Baik, Miss," kata Worthington.

"Kita nanti masuk ke sana," kata Jupiter berjanji. "Kita sudah punya rencana."

"Bagaimana rencana itu?"

"Tunggu saja sampai nanti," kata Jupiter menyabarkan.

Lama juga Allie harus menunggu. Sesampai di Torrente Canyon, tidak nampak sebuah mobil pun diparkir di jalan sebelah depan rumah itu.

"Bagus!" kata Pete puas."Kita yang paling dulu datang."

­Wortingthon memarkir mobilnya agak jauh sedikit dari jalan masuk ke rumah. Bob turun dari kendaraan itu.

"Aku akan mengamat-amati dari semak oleander itu - yang di seberang gerbang."

"Baik," kata Jupe.

Bob berjalan kembali ke arah jalan masuk ke rumah besar, lalu menyembunyikan diri di dalam semak oleander di seberangnya. Ia mengintip, ketika mobil pertama datang.

Madelyn Enderby turun dari kendaraannya, menyeberangi jalan, lalu menghampiri tonggak gerbang. Diraihnya pesawat telepon yang ditaruh di dalam ceruk di tembok. Bob sudah hendak meninggalkan tempat persembunyiannya, ketika mobil Corvette ungu datang. Kendaraan itu dikemudikan oleh Hugo Ariel. Dalam keremangan senja, Bob hampir-hampir tidak melihat Miss Patricia Osborne. Wanita itu menunduk, sambil menyeka mata dengan sapu tangan. Ariel menolongnya ke luar dari mobil. Dari arah pintu gerbang terdengar bunyi mendengung pelan. Ariel dan Miss Osborne masuk, seiring dengan Madelyn Enderby.

Beberapa menit kemudian, sebuah Cadillac biru muda muncul, lalu berhenti di dekat gerbang. Bob melihat seorang laki-laki kurus dan berambut coklat turun lalu menghampiri pesawat telepon di tembok. Dengan gerakan menyelinap, Bob menyeberang jalan. Dihampirinya orang itu, yang sedang mendengar sesuatu yang diucapkan lewat sambungan telepon. Orang itu kemudian mengatakan, "Saya akan turun ke Lingkar Bawah." Ia mengembalikan gagang telepon ke tempatnya di dalam tembok, lalu memutar tubuh. Saat itu Bob menyapanya.

"Selamat malam," kata Bob."Saya mencari alamat Torrente Circle, nomor 1483."

"Ini bukan Torrente Circle, tapi Torrente Canyon Drive. Kau keliru jalan," jawab orang kurus itu

Alat pembuka pintu gerbang mendengung lagi. Laki-laki itu melewati Bob, membuka pintu gerbang, lalu melangkah masuk.

Bob kembali ke mobil Ford.

"Saya akan turun ke Lingkar Bawah," katanya. "Orang yang menerima telepon mengatakan, ‘Malam gelap', dan jawabannya, 'Saya akan turun ke Lingkar Bawah'."

"Itu sandi mereka!"' Allie meloncat ke luar.

Jupiter meminta pada Worthington agar tetap waspada selama mereka pergi.

"Saya akan menunggu kalian di sini," kata sopir itu berjanji.

Jupiter, Bob, dan Pete menyusul Allie, yang mendului berjalan menuju gerbang. Jupiter mengambil gagang telepon dari tempatnya, lalu mendekatkannya ke telinga.

"Malam gelap," kata seseorang bersuara berat dan parau.

"Saya akan turun ke Lingkar Bawah," jawab Jupiter. Ia memberat-beratkan suaranya.

­Pembicaraan terhenti sampai di situ. Jupiter meletakkan gagang pesawat ke tempatnya kembali. Sesaat kemudian terdengar bunyi mendengung. Pete memutar tangkai pegangan sambil mendorong pintu. Pintu gerbang yang besar itu terdorong dengan mudah ke dalam. Keempat remaja itu menyusup masuk. Pintu gerbang menutup kembali di belakang mereka. Bob mencoba menggerakkan tangkai pegangan pintu. Sedikit pun tidak bergerak.

"Di sebelah kanan gerbang ada tombol, letaknya tersembunyi di tengah tanaman merambat," kata Pete. "Malam itu, ketika aku jatuh dari atas tembok, orang yang menyergapku menggunakannya untuk membuka pintu, sebelum aku didepaknya ke luar."

Bob mengintip ke tembok yang ditutupi tanaman merambat.

"Ya, kelihatan," katanya."Nampaknya seperti sakelar pemutus hubungan listrik."

"Jangan sentuh," kata Jupiter memperingatkan. "Jangan-jangan bisa membunyikan salah satu tanda alarm. Pokoknya kita sudah tahu tempatnya untuk kita pergunakan nanti, jika terpaksa cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini."

"Sekarang ke rumah itu." kata Allie.

"Tidak. sekarang kita menunggu," kata Jupiter. "Jika pertemuan persekutuan ini serupa dengan yang sudah kita lihat waktu itu, maka mestinya masih ada yang akan datang"

­Dugaannya ternyata tepat. Dari salah satu sudut gelap di ­alam pekarangan itu, anak-anak melihat pintu gerbang berulang kali terbuka lagi, memasukkan tamu-tamu selanjutnya. Dalam waktu lima belas menit ada delapan orang lagi yang masuk, lalu berjalan kaki menuju rumah besar yang terletak agak jauh ke belakang.

"Delapan orang lagi, di samping Madelyn Enderby, Miss Osborne, Ariel, serta orang yang tadi kudatangi setelah ia menelepon," kata Bob. "Jadi semuanya dua belas orang - sama seperti waktu itu. Aku ingin tahu, apakah benar memang cuma mereka saja."

Ternyata memang begitu. Anak-anak akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat persembunyian mereka, setelah menunggu selama sepuluh menit lagi. Selama itu tidak ada lagi yang datang.

"Kita harus hati-hati sekarang," kata Pete. "Aku tidak kepingin berjumpa lagi dengan orang yang menjaga tempat ini."

Keempat remaja itu maju dengan gerakan menyelinap. Langkah mereka tak terdengar, karena mereka berjalan di atas rumput. Ketika sudah cukup dekat menghampiri rumah, mereka melihat seberkas cahaya terang menembus ke luar lewat celah di antara gorden yang menutupi sebuah jendela yang tinggi. Mereka menjauhi tempat itu, lalu berjalan memutar ke sisi belakang bangunan itu.

­"Itu ada pintu," kata Jupiter dengan suara lirih. Ia merayap maju dalam gelap, sambil berjaga-jaga jangan sampai kakinya tersandung jenjang yang tidak nampak. Ia meraba-raba mencari tombol pegangan pintu. Benda itu ditemukannya. Tapi pintu itu terkunci. Allie melangkah mundur, lalu memperhatikan keadaan sisi belakang bangunan.

"Di atas ada jendela." bisiknya."Jika di sini ada yang terbuka, pasti cuma jendela itu saja. Letaknya begitu tinggi, sehingga kemungkinannya mereka tidak mau repot-repot menutupnya."

"Mungkin itu jendela sepen atau gudang penyimpanan," kata Jupe menduga. Dipandangnya jendela itu dengan sikap sangsi. "Kecil sekali kelihatannya."

"Tapi aku bisa menyusup masuk lewat situ," kata Allie cepat -cepat.

"Tidak bisa," bantah Bob."Badanmu kurang kurus."

"Badanmu kecil, Bob," kata Jupiter. "Tapi hati-hati, ya!"

"Jangan khawatir," kata Bob.

Pete merapatkan diri ke tembok. Setelah itu Bob naik ke atas bahunya.

"Bagaimana? Terbuka?" tanya Allie.

Jupiter mendesis, menyuruhnya diam. Terdengar bunyi kayu tergeser pada kayu Bob mendengus, menarik tubuh ke atas, lalu menghilang ke dalam rumah lewat lubang jendela yang sudah berhasil dibuka. Sesudah menunggu selama semenit - yang rasanya seperti seabad - terdengar kunci pintu belakang terputar dengan pelan. Pintu terbuka.

"Yuk," kata Bob berbisik. "Mereka semua ada di depan."

Keempat remaja itu menyelinap masuk lewat sebuah ruangan yang nampaknya merupakan dapur. Mereka bisa melihat jalan, dituntun sinar samar dari bagian depan rumah. Mereka berhenti di ambang pintu dapur. Di depan mereka nampak sebuah ruangan yang luas. Di sisi kiri ada tangga lebar menuju ke atas. Sedang di sisi kanan, di seberang tangga, nampak sebuah ambang berbentuk lengkungan. Sinar yang memancar keluar datang dari balik ambang itu.

Jupe masuk lagi ke dapur. Lewat jendela yang tak bertirai, nampak sinar bulan remang-remang di balik pucuk pepohonan. Jupiter melihat bentuk samar sebuah tungku. Terdengar bunyi air menetes dari salah satu keran. Ia juga melihat sebuah pintu lain di ruangan itu. Nampaknya hanya berupa lubang gelap dan menganga di dinding, di sebelah kiri pintu pertama.

Jupe menepuk bahu Bob, lalu menuding. Bob mengangguk. Jupiter memegang lengan Allie, lalu membimbingnya lewat ambang pintu kedua, masuk ke tempat yang gelap. Pete dan Bob menyusul.

Mereka terpaksa berjalan sambil meraba-raba. Mereka maju bersingsut-ingsut. Langkah mereka terhalang berbagai benda. Pete menjamah salah satu di antaranya. Ia merasakan sesuatu yang lunak, seperti beledu Ternyata ia menjamah sebuah sofa.

Akhirnya nampak jalur cahaya tipis di depan. Nampaknya itu celah antara lantai dan sebuah pintu. Jupe melepaskan lengan Allie yang selama itu dipegangnya. Dengan hati-hati sekali ia maju dua langkah ke depan. Tangannya digeserkan pada daun pintu, sampai teraba olehnya sebuah tombol. Tombol itu bisa diputarnya, tanpa berbunyi sama sekali. Jupe menarik tombol itu. Pintu terbuka sedikit.

Di depannya nampak ruang tengah yang luas, serta ambang melengkung yang terang di seberang.

"Persekutuan sudah lengkap." Suara yang sudah dikenal itu terdengar dari seberang ruangan. Hugo Ariel berbicara.

Pintu dibuka agak lebar lagi oleh Jupiter. Teman-teman berkerumun di belakangnya. Mereka menatap ke sebuah kamar, di mana nampak menyala lilin-lilin tinggi berwarna hitam, terpasang pada kandil-kandil dari perak. Di tengah kamar ada meja bundar berukuran besar, ditutupi kain hitam. Dua belas orang mengelilingi meja itu, masing-masing berdiri di belakang sebuah kursi. Hugo Ariel nampaknya mengepalai kumpulan itu. Ia berdiri menghadap ke ruang tengah. Di depannya ada kursi yang lebih pantas disebut singgasana. Ukiran kobra disepuh emas melilit pada kedua lengan tempat duduk itu, merayap naik lewat sisi punggungnya. Pat Osborne berdiri di samping kursi yang mirip singgasana itu. Wajahnya kuyu.

Kumpulan manusia itu menunggu tanpa bergerak, di dalam kamar yang memberikan kesan penuh gerak. Jupiter melihat bahwa persekutuan itu dikelilingi kegelapan yang bergerak-gerak. Gorden berwarna hitam menutupi seluruh dinding dan jendela-jendela. Selubung itu bergerak-gerak, setiap kali ada angin berhembus sedikit Ariel bergerak sedikit di belakang singgasana.

"Persekutuan sudah berkumpul." katanya sekali lagi.

Anak-anak mendengar bunyi langkah di tangga. Sesosok tubuh muncul di antara mereka dan kamar yang diterangi cahaya lilin. Seseorang yang mengenakan jubah panjang hitam berhenti sebentar di ambang ruangan, lalu masuk ke dalam kamar. Ia menuju ke sisi ujung meja, tempat terdapatnya kursi yang merupakan singgasana. Ia duduk di situ. Untuk pertama kali keempat remaja yang mengintai dapat melihat wajahnya dengan jelas. Jupe mendengar napas Pete tersentak

Jika Hugo Ariel sudah pucat mukanya, orang ini masih lebih pucat lagi. Mukanya begitu lesi, sehingga nampak seolah-olah bersinar - mengambang di atas kehitaman pakaian yang dikenakannya. Orang yang baru datang itu pakaiannya serba hitam. Bahkan rambutnya pun tertutup tudung hitam yang rapat.

Orang itu menyelubungi tubuhnya dengan mantel hitamnya. Ketika melakukannya, anak-anak melihat bahwa tangannya juga putih sekali. Orang itu membungkukkan kepalanya sedikit. Orang-orang yang berkumpul duduk di tempat masing-masing.

Orang yang duduk di singgasana bertepuk dua kali berturut-turut. Hugo Ariel meluncur pergi, lalu kembali membawa baki. Di atas baki terdapat sebuah mangkuk dari perak, yang disodorkan oleh Ariel pada orang yang duduk di singgasana.

"Belial bermurah hati pada semua yang hadir di sini!" kata orang itu. Diterimanya mangkuk yang disodorkan, lalu mencecahkannya ke bibir.

"Molokh - dengarkan kami!" Kata-kata itu diucapkan hadirin dengan serempak.

Orang yang berjubah hitam menyodorkan mangkuk pada Pat Osborne. Bibi Pat menerimanya dengan wajah seperti sudah hampir menangis.

"Belial bermurah hati pada seluruh hadirin," katanya. Suaranya gemetar ketika mengucapkannya. Ia minum seteguk, lalu meneruskan mangkuk pada anggota persekutuan yang ada di sebelahnya, sementara hadirin mengucapkan kata-kata yang ditujukan pada Molokh.

Berulang kali terdengar ucapan meminta kemurahan hati Belial. Berulang kali kelompok itu berseru pada Molokh, agar mau mendengar mereka. Akhirnya mangkuk perak diserahkan kembali pada orang yang duduk di singgasana ular. Dan ia mengembalikannya pada Ariel.

Kemudian Ariel mengambil sebuah anglo berkaki empat Tempat pembakaran itu diletakkannya di atas meja. di depan orang berjubah. Orang itu berdiri, lalu menaungkan kedua tangannya di atas arang yang membara.

"Asmodeus, Abaddon, dan Eblis, perhatikanlah seruan kami!" seru orang itu.

Kini Ariel menyodorkan semacam piring yang juga terbuat dari perak. Laki-laki yang berpakaian serba hitam mencelupkan jari-jarinya ke dalam piring itu. lalu mencipratkan isinya ke atas api di anglo. Seketika itu juga nampak asap membubung. Bau harum menusuk hidung menyebar, tercium oleh keempat remaja yang mengintip dari seberang ruang tengah.

"Belial - dengarkan kami!" kata laki-laki yang berjubah, dengan nada memohon."Kirimkanlah kekuatan kobra untuk menjaga kami. Tampakkanlah dirimu. Biarlah kami mendengar suaramu!"

Kemudian orang itu diam. Semuanya diam.

Dalam kesunyian yang mencekam itu. Allie serta ketiga remaja yang ada bersamanya mulai mendengar bunyi yang menakutkan. Suara nyanyian seseorang. Atau sesuatu!

Allie bergerak. seolah-olah hendak lari. Dengan cepat Jupiter memegang lengan gadis itu, agar jangan bergerak.

Bunyi yang mulai terdengar, kini bertambah nyaring. Suara tanpa kata itu meninggi, semakin meninggi, sampai seakan menusuk tulang, menyebabkan bulu tengkuk meremang.

Laki-laki yang berjubah kembali mencecahkan jari-jarinya ke dalam piring. Kembali dicipratkannya sesuatu ke dalam api anglo. Dalam kepulan asap yang menjulang, nampak sesuatu bergerak-gerak!

Napas Bob tersentak.

"Belial bermurah hati pada kita!" ujar laki-laki yang berjubah."Kobra yang tak pernah mati hadir di tengah kita!"

Keempat remaja yang mengintai gemetar, ketika melihat wujud yang menggeliat-geliat di tengah asap yang mengepul. Wujud itu seekor kobra besar. Sosok biru hijau kemilau, dengan tudung mengembang, serta mata berkilat-kilat merah.

Sementara itu suara nyanyian terdengar terus. Suara itu kini sudah menjelma menjadi lengkingan berdenyut dan menyeramkan. Jupiter tidak tahan lagi mendengarnya. Tapi untunglah - akhirnya suara itu surut kembali, lenyap dengan perlahan-lahan. Asap menipis. Ular yang menakutkan mulai kabur wujudnya, lalu menghilang. Nyanyian terhenti. Adegan menyeramkan itu lenyap kembali

Laki-laki yang berjubah duduk di singgasana.

"Keuntungan salah seorang anggota persekutuan, merupakan keuntungan bagi semuanya," katanya."Marilah kita semua berpegangan tangan sekarang!"

Mata Pat Osborne menatap nanar ke depan. Tapi ia meletakkan tangannya ke atas meja. Laki-laki berjubah hitam memegang tangan wanita itu.

Jupiter menyikut Pete. Terdengar bunyi langkah menyelinap, menuruni tangga. Pandangan ke arah ­bilik tempat pertemuan persekutuan terhalang oleh sosok tubuh gelap yang muncul saat itu.

Anak-anak mengenali tubuh kekar laki-laki yang menyergap Pete, ketika ia jatuh dari atas tembok pagar. Laki-laki itu berdiri di ruang tengah. Ia memandang ke arah kamar, tempat orang berjubah hitam sedang memimpin upacara di tengah kumpulan persekutuan. Sesaat kemudian laki-laki kekar itu masuk ke situ. Ia menghampiri laki-laki yang berjubah, lalu membisikkan sesuatu di telinganya.

"Mustahil!" kata laki-laki yang berjubah."Kita semua ada di sini!"

"Tapi mestinya ada tiga belas orang," kata yang berbisik tadi."Miss Enderby, Mr. Ariel, dan Miss Osborne datang bersama-sama. Selebihnya masuk sendiri-sendiri. Tapi saya sebelas kali membukakan pintu gerbang. Jadi mestinya ada tiga belas orang di sini!"

Laki-laki yang berjubah berdiri.

"Nampaknya di tempat ini ada tamu tak diundang." katanya pada para pengikutnya. "Pertemuan selesai. Kalian akan kupanggil lagi, jika sudah tiba waktunya."

Para pengintai mundur dari pintu yang terbuka secelah. Jupiter menutupnya kembali dengan pelan-pelan.

"Mereka tahu bahwa kita ada di sini," bisik Pete.

Dari arah kamar tempat upacara terdengar bunyi kursi-kursi digeserkan, berbaur dengan suara orang bercakap-cakap.

­"Orang yang bertugas membukakan pintu gerbang ternyata bisa menghitung," kata Jupiter lirih.

"Kita harus lekas-lekas pergi," desak Bob. "Sebentar lagi tempat ini pasti akan digeledah."

"Kalian saja yang pergi," kata Jupiter Jones.

"Jangan bercanda!"

"Aku tidak ikut." Suara Jupiter sangat lirih di tengah keramaian para anggota persekutuan yang bubar, sampai teman-temannya nyaris tidak menangkap kata-katanya. "Kalian ke luar lewat jalan kita masuk tadi. Lewat belakang! Kalian harus mengalihkan perhatian. Panjat tembok pagar. Sengajakan agar tanda bahaya berbunyi. Kalian harus menyebabkan mereka mengira kita semua sudah lari Setelah itu kalian ke mobil. Katakan pada Worthington, agar nanti menungguku di sudut persimpangan antara Sunset dan Torrente. Selekas mungkin aku akan ke situ."

"Oke, Jupe - tapi hati-hati." kata Bob.

"Tentu saja." kata Jupiter berjanji.

Jupiter mendengar teman-temannya menyelinap kembali ke dapur. Kemudian terdengar bunyi pintu dapur terbuka, lalu ditutup kembali dengan keras, disusul suara teriakan ribut di luar rumah. Allie berteriak. Jupiter mendengar bunyi bising yang berasal dari bel tanda bahaya.

Lampu-lampu sorot menyilaukan bergerak kian kemari di dalam pekarangan. Dari arah jalan terdengar bunyi mesin mobil-mobil dihidupkan.

­Jupiter masih menunggu. Tidak lama kemudian keadaan menjadi sunyi. Kesunyian rumah kosong. Jupiter membuka pintu, memandang berkeliling ke dalam ruang tengah, lalu bergegas menyeberanginya. Ia masuk ke kamar tempat upacara. Sesampai di situ, ia bersembunyi di balik tirai hitam. Beberapa saat kemudian terdengar langkah orang berjalan di luar. Para penghuni rumah di Torrente Canyon itu masuk ke ruang tengah, lalu menutup pintu.

"Cuma, anak-anak saja," kata seorang dari mereka. Anak-anak yang ingin tahu."

"Mereka memang gesit, Max.," kata seorang lagi. Dari suaranya, Jupiter menduga bahwa ialah yang ­­di duduk di kursi yang menyerupai singgasana. Cepat sekali gerakan mereka, sewaktu memanjat tembok, lalu meloncat ke seberang."

Jupiter tersenyum di tempat persembunyiannya yang gelap. Jadi Bob, Pete, dan Allie, ternyata berhasil lolos. Dan kini ia akan berusaha sebanyak mungkin mengetahui kenyataan di balik peristiwa misterius itu!





Bab 15 PERTOLONGAN YANG TAK TERDUGA

­JUPITER menemukan sobekan kecil di tengah tirai hitam yang menutupi dinding kamar upacara itu. Ia berdiri tanpa bergerak. agar kehadirannya di situ tidak diketahui orang-orang yang ada di dalam kamar. Tapi jari-jarinya sibuk melebarkan sobekan kecil tadi. Tidak lama kemudian ia sudah bisa mengintip lewat lubang yang dibuatnya itu. Ia memandang ke dalam kamar. Dilihatnya laki-laki yang bernama Max menekan sebuah sakelar yang ada di dekat pintu, menyalakan lampu yang terpasang di langit-langit kamar.

Jupiter hampir merasa kecewa. Ketika hanya diterangi sinar lilin yang berkelip-kelip, kamar upacara itu terasa mengandung daya tarik menakutkan. Kini kesan itu lenyap. Jupiter melihat bahwa kain hitam yang menutup meja upacara ternyata kumal, begitu pula tirai penyelubung ruangan terbuat dari bahan murahan yang kedodoran. Kandil-kandil perak tempat lilin sudah penyok-penyok dan kusam.

Kamar yang lusuh itu sesuai dengan penampilan kedua laki-laki yang berada di dalamnya. Laki-laki dengan rambut beruban - yang waktu itu ­mengusir Pete ke luar - menghampiri lilin-lilin yang masih menyala, dan memadamkannya satu demi satu. Kulit mukanya menampakkan kerutan dalam, memanjang dari bawah mata sampai ke sudut-sudut bibir. Tubuhnya sudah mengarah ke gemuk. Daging dagunya menggelambir, menyentuh tepi atas kemejanya yang berwarna gelap.

Orang yang satu lagi duduk dengan sikap seenaknya di singgasana. Tangannya mengelus-elus ukiran kobra yang melilit pada salah satu lengan tempat duduk itu. Singgasana itu didorongnya agak ke belakang, rupanya supaya ia dapat dengan santai meletakkan kaki ke atas meja. Diterangi sinar lampu terang yang memancar dari atas. Jupiter melihat bahwa kelesian wajahnya tidak asli. Suatu bahan seperti kapur berwarna kehijauan nampak mengering dalam lipatan-lipatan di sekitar mulut serta di samping hidungnya.

"Perlengkapan telepon di tembok luar, ternyata tak ada gunanya sama sekali," kata laki-laki yang duduk bersandar di singgasana.

Laki-laki yang bernama Max memadamkan nyala lilin terakhir lalu duduk dengan sikap lesu. "Aku bisa saja berdiri di pintu gerbang, dan mengecek semua yang masuk," katanya, "tapi itu pun kurasa takkan banyak gunanya. Anak-anak tidak mungkin bisa ditahan. Dengan cara bagaimanapun, mereka pasti berhasil menyusup masuk. Dan mereka pasti mengoceh. Sudah cukup banyak uang yang kita keruk di sini. Kenapa kita tidak gulung tikar saja, lalu pergi ke tempat lain? ­Kau nanti bisa asyik lagi. menjadi Dr. Shaitan di San Francisco, atau San Diego atau bisa juga Chicago. Sebaiknya kita lekas-lekas pergi saja dari sini, sebelum terlambat."

"Tapi hasil kita selama ini belum apa-apa. Max," kata laki-laki yang disapa dengan sebutan Dr. Shaitan. T angannya bergerak ke atas, menarik tudung yang menyelubungi kepalanya. Jupiter yang mengintip, nyaris tertawa ketika melihat bahwa rambut pemimpin persekutuan ilmu hitam itu berwarna merah nyala. Sesaat kemudian tudung kepala itu sudah terlepas, lalu dicampakkan dengan begitu saja. Laki-laki itu mengambil sapu tangan kertas yang sudah kumal dari kantungnya, lalu mengusap-usap muka dengannya. Bubuk berwarna kehijauan itu terlepas, menampakkan jalur-jalur kulit berwarna putih kemerahan.

"Haruskah kau melakukannya di sini?" kata Max dengan nada memprotes."Bedakmu itu bertebaran ke mana-mana."

"Aku harus berpikir sebentar." Dr. Shaitan menggulung-gulung sapu tangan kertas yang sudah kotor itu dengan kedua belah tangannya.

"Cukup lama waktu yang kita perlukan untuk mengumpulkan kelompok manusia-manusia dungu ini. Madelyn Enderby langsung menyerah begitu pemilik tempat tinggalnya pergi ke Dubuque, sedang Si Tua Robertson menyerahkan sumbangan dalam jumlah yang sedap ketika pengaruh kobra yang menyanyi dikerahkan untuk mencegah kontraktor bangunan itu mendirikan bangunan bertingkat tinggi di samping rumahnya. Pat Osborne masih belum membayar. Tapi ia pasti akan melakukannya, dan yang diserahkannya pasti akan sangat mengasyikkan. Hugo Ariel akan menangani urusan itu."

"Tapi jangan-jangan nanti terlalu sedap, sampai kita tak mampu menanganinya," kata Max.

" Apa saja, pasti bisa kita tangani," kata Shaitan. "Yang penting, kita tahu harus dilemparkan ke mana." Ia tersenyum. "Cara Ellis membereskan Compton itu sangat baik. Tidak ada yang merasa curiga. Kau tadi melihat bagaimana sikap Pat Osborne?"

"Ketakutan," kata Max

"Sangat ketakutan," kata Shaitan dengan nada puas. Dan ia masih akan lebih ketakutan lagi, jika tidak mau menyerahkan upetinya. Sedang Noxworth - orang itu tidak gampang ditakut-takuti. Tapi ia juga tidak terlalu peduli dengan perasaan bersalah, dan hartanya benar-benar banyak. Dalam hal dirinya, kita takkan berurusan dengan barang panas. Kita akan menerima uang tunai! Jika kita sudah berhasil membuat saingannya ambruk, ia pasti akan membuktikan rasa terima kasihnya dengan cara yang sepadan. Untuk itu. ada gunanya kita masih bertahan agak lama di sini."

Max mendengus.

"Aku benar-benar bingung - tentang apa saja yang diributkan manusia-manusia sinting itu," katanya. "Perempuan Osborne itu misalnya! Ia menginginkan bola kristal yang dulu kepunyaan seorang bintang film. Noxworth tidak mau toko saingan yang di seberang jalan menarik lebih banyak pembeli, dibandingkan dengan tokonya sendiri yang brengsek itu. Padahal uangnya begitu berlimpah, sampai belum sempat dihitung olehnya. Kenapa ia masih harus ribut-ribut?"

"Soalnya bukan uang semata-mata, tapi kekuasaan," kata Shaitan."Mereka itu ingin merasa mempunyai kekuasaan. Jadi kita timbulkan keyakinan itu."

"Bagaimana rencanamu untuk meyakinkan Noxworth?" tanya Max."Apakah saingannya juga akan mengalami kecelakaan di jalan raya?"

Laki-laki yang nampaknya menikmati peranan selaku Dr. Shaitan itu mengerucutkan jari-jari kedua tangannya, yang kemudian ditatap sambil tepekur.

"Kau tidak punya fantasi, Max," katanya. "Tidak! Kobra yang menyanyi akan beraksi dengan cara lain untuk Noxworth. Risikonya agak lebih besar - tapi ada kemungkinan bisa berhasil. Dan kalaupun tidak berhasil, Noxworth masih tetap akan tidak bisa membebaskan diri dari libatan - karena ia sendiri yang akan kita suruh menyerahkan kobra. Dan akan kita atur sedemikian rupa, sehingga ia menyaksikan hasilnya. Noxworth pasti akan takluk - sama seperti yang pasti akan terjadi dengan Pat Osborne."

Dr. Shaitan menguap.

­"Aku capek," katanya."Aku tidur saja sekarang."

Ia berdiri dari singgasana, lalu menuju ke pintu.

"Jubahmu ketinggalan," kata Max.

"Biar saja sampai besok pagi."

Jupiter mendengar langkah orang itu menaiki tangga.

"Brengsek!" sergah Max dengan kesal. Didorongnya kursi yang didudukinya agak ke belakang, lalu melangkah ke pintu. Tangannya menyentuh sakelar, dan seketika itu juga bagian tingkat bawah dari rumah di T orrente Canyon itu diselubungi kegelapan. Jupiter mendengar Max menaiki tangga ke atas, menyusul pemimpin persekutuan Lingkar Bawah. Sesaat kemudian terdengar pintu ditutup dengan keras di tingkat atas. Air mengalir di dalam pipa-pipa saluran di belakang rumah.

Jupiter keluar dari balik tirai hitam tempatnya bersembunyi selama itu. Ia berjingkat-jingkat ke luar darii kamar upacara, masuk ke ruang tengah. Dari situ ia menyelinap ke arah belakang rumah. Ia merasa lega, karena baik Dr. Shaitan maupun asistennya ternyata bersikap sembrono. Pintu dapur tidak mereka kunci, ketika tadi masuk lagi ke dalam rumah. Jupiter menyelinap ke luar tanpa menimbulkan bunyi sama sekali, lalu menuju ke pintu gerbang. Ia menoleh sebentar. Dilihatnya sinar lampu di balik beberapa jendela di tingkat atas. Bayangan seseorang nampak jelas pada tirai jendela yang diturunkan. Jupiter nyengir. Dr. Shaitan sedang mendongak. Rupanya sedang berkumur.

­Jupiter ingin sekali bisa memotret pemimpin persekutuan pemuja setan itu ketika sedang bersiap-siap akan masuk ke tempat tidur Tapi ia juga tahu, bahwa itu tidak mungkin! Kemudian ia tiba di sisi tembok sebelah dalam. Dibantu sinar bulan, ia mencari-cari sakelar yang tersembunyi di tengah tumbuhan merambat. Sakelar pembuka kunci pintu gerbang. Tangannya menyentuh benda yang dicari. Sambil menahan napas, jari Jupiter menjentikkan sakelar itu. Tanda bahaya tidak berbunyi. Lampu-lampu sorot tidak memancar Dari arah rumah terdengar bunyi samar. Mungkin itu sesuatu yang diaktifkan oleh gerakan sakelar yang dijentikkan. Tapi Jupiter tidak punya waktu untuk memikirkannya. Ia melangkah ke arah gerbang. Diputarnya tangkai pegangan pintu, lalu ditarik. Pintu gerbang terbuka.

Tanpa terduga, lampu-lampu sorot menyala serempak.

"He! He, kau! Jangan lari!"

Jupiter tidak berpaling. Dan memang tidak perlu, karena ia langsung mengenali suara orang yang berseru. Itu pasti Max, laki-laki bertubuh kekar itu. Jupiter lari.

"Jangan lari, kataku!" seru Max.

Saat itu ada sesuatu menubruk Jupiter - sesuatu yang besar. Jupiter terjatuh, berguling-guling di jalan. Dan ada seseorang ikut berguling-guling bersamanya.

"Jangan berdiri, Goblok'" desis orang itu dekat telinga Jupiter.

­Detik itu juga terdengar bunyi menggelegar. Mimis mendesing lewat di atas kepala berhamburan ke dalam semak oleander di seberang jalan.

"Jangan bergerak," kata orang yang menahan tubuh Jupiter agar jangan berdiri.

Jupiter mengernyit ketika terdengar lagi bunyi menggelegar dari jalan masuk ke rumah yang dikelilingi tembok tinggi itu, dan mimis kembali mendesing lewat di atasnya.

"Sekarang!" seru orang yang selama itu mencengkeram Jupiter, sambil melepaskan anak itu. Jupiter bergegas bangkit. Ia melihat seseorang lari cepat-cepat menuju ujung yang buntu dari Torrente Canyon Road. Orang itu menoleh sekilas.

"Lari!" seru orang itu.

Jupiter melesat ke arah yang berlawanan. Ia lari secepat kemampuan kakinya yang gemetar.

Mobil Ford yang dikemudikan Worthington diparkir di sudut persimpangan Sunset Boulevard dan jalan ngarai itu. Mesinnya tetap menyala. Pintu belakang dibuka, ketika Jupiter sampai di situ.

"Oke?" tanya Bob dari dalam kendaraan.

Jupiter bergegas masuk.

"Berangkat!" serunya.

Worthington menjalankan mobilnya dengan gerakan mengejut, sampai Jupiter terpelanting ke lantai karenanya.

"Apa yang terjadi tadi?" tanya Allie, yang duduk di depan.

Jupiter menarik tubuhnya ke atas bangku.

"Tadi ada seseorang di luar pintu gerbang, dengan kumis besar. Rasanya kalian kenai tidak, orang seperti itu ?"

"Bentley?"

"Ya, kurasa orang itu dia," kata Jupe."Aku bahkan hampir-hampir yakin! Dan aku kepingin bisa bicara dengan dia sekarang. Aku ingin mengucapkan terima kasih."

"Untuk apa?" tanya Allie.

"Jika tadi tidak ada Bentley, mungkin badanku kini sudah berlubang-lubang ditembus pelor. Teman Dr. Shaitan rupanya sudah tidak mau sabar lagi menghadapi remaja yang berani masuk tanpa diundang. Dan teman Dr. Shaitan itu menggenggam senapan buru berlaras ganda."





Bab 16 ­URUSAN DENGAN BIBI PAT

­"MEREKA berkecimpung di dalam ilmu gaib, tapi bukan yang asli," kata Bob dengan tegas.

Ia beserta kedua temannya berada di dalam Markas Trio Detektif. Mereka sedang melakukan peninjauan kembali terhadap peristiwa yang mereka saksikan malam sebelumnya. Bob menghadapi catatannya, tentang kasus kobra yang menyanyi. Kecuali itu pula beberapa jilid buku. Satu di antaranya berjudul Ilmu Gaib, Pengobatan Tradisional, dan Perdukunan, yang pernah mereka lihat di dalam apartemen tempat tinggal Bentley. Bob mengetuk-ngetukkan jari ke sampul buku itu.

"Orang-orang itu beraksi berdasarkan pengetahuan yang diambil dari buku," katanya. "Mungkin buku ini, tapi bisa juga buku lainnya, yang membahas tema ilmu gaib dan perdukunan. Isi buku-buku semacam ini boleh dibilang selalu serupa, baik yang membahas tentang ilmu hitam yang disebut voodoo di Kepulauan Karibia. atau tentang kejadian-kejadian di kalangan suku Aborigin di Australia. Semuanya bekerja dengan cara serupa. Tapi apa yang dilakukan orang-orang di Torrente Canyon, tidak mungkin bisa benar-benar terjadi."

"Karena korban mereka tidak percaya?" tanya Jupiter Jones.

"Tepat! Karena yang menjadi korban, sebenarnya tidak percaya."

"Tolong kaujelaskan maksudmu," kata Pete.

"Soalnya gampang saja:" Bob mengangkat buku yang isinya tentang Ilmu gaib. Buku ini dikarang oleh Dr. Henry W. Barrister, seorang guru besar bidang antropologi di Universitas Ruxton. Ia mengadakan penelitian ke Afrika, ke Amerika Selatan, begitu pula ke Mexico dan Australia. Di tempat-tempat yang didatanginya, ia selalu ­menjumpai kesamaan dalam kasus-kasus yang diteliti. Apabila seorang dukun hendak mengguna-guna seseorang, bermacam-macam cara yang bisa diterapkan olehnya. Jika menggunakan voodoo, ia menusuk-nusuk sebuah boneka dengan jarum. Di Mexico, dukun masuk ke sebuah gua gelap, lalu menyalakan lilin-lilin di situ sambil mengucapkan berbagai mantra. Setelah itu dipotongnya seutas benang. Benang itu lambang umur si korban. Jadi dukun memutuskan tali umur si korban. Dan begitu orang itu mendengar bahwa nyawanya dipotong, ia langsung jatuh sakit, lalu mati."

"Aku masih saja belum mengerti," kata Pete.

"Korban yang diguna-gunai, percaya akan kekuatan dukun," kata Jupiter menyela. "Setelah tahu bahwa ia menjadi sasaran ilmu hitam. Ia percaya bahwa ia akan mati karenanya. Kepercayaan itu menyebabkan ia akhirnya benar-benar mati."

"Maksudmu, kita bisa celaka jika percaya pada hal-hal begitu?" Wajah Pete nampak agak pucat.

"Ya, jika kepercayaanmu cukup tebal," kata Bob. Tangannya kembali mengetuk-ngetuk buku karangan guru besar antropologi itu. "Penulis buku ini pernah melihat orang jatuh sakit lalu mati ketakutan karena ada yang mengguna-gunai dirinya."

"Kalau begitu Ariel dan Shaitan melakukan hal yang sama," kata pete, "cuma bedanya, mereka memakai ular. Ular diserahkan - dan peng! - penerima ular itu mengalami kesulitan besar, kalau tidak bahkan bencana."

"Memang itulah yang terjadi," kata Jupe sependapat. "Tapi seperti sudah dikatakan oleh Bob tadi, yang terjadi tidak mungkin ilmu gaib. Para korban yang menjadi sasaran tidak percaya. Margaret Compton tidak takut pada kobra yang diserahkan. Baginya, itu cuma gelang berbentuk aneh saja. Bibi Pat yang percaya kecelakaan itu terjadi karena kobra itu diserahkan pada Mrs. Compton. Karenanya ia merasa bersalah ia ketakutan. Reaksi itu wajar karena bibi Allie itu tidak berwatak dengki. Ia sama sekali tidak mengira akan terjadi hal yang begitu parah. - Tapi kita tentu saja tahu, kecelakaan itu sebenarnya bukan kecelakaan. Laki-laki yang menamakan dirinya Dr. Shaitan menyuruh seseorang bernama Ellis untuk membuat salah satu roda mobil Mrs. Compton ­terlepas saat sedang berjalan. Aku mendengar soal itu kemarin malam"

"Dan kini Shaitan beserta kawannya sedang sibuk mencari-cari siasat untuk menyingkirkan saingan Noxworth," kata Bob dengan nada murung.

Jupiter mengusap-usap keningnya.

"Yang akan dijadikan korban, pemilik toko yang di seberang jalan," katanya."Begitulah kata Max. Toko di seberang jalan itu lebih banyak langganannya, dibandingkan dengan toko milik Noxwarth."

"Toko makanan sedap-sedapan juga?" kata Pete."Itu kan edan!"

"Bagi kita memang begitu," kata Jupiter sependapat."Tapi jangan lupa, apa yang diingini oleh Miss Osborne! Ia menginginkan bola kristal peninggalan Ramon Castillo. Miss Enderby memohon bantuan kobra, karena bertengkar dengan pemilik tempat tinggalnya. Soal-soal sepele semacam begitu bisa membangkitkan gejolak perasaan. Dan belum lagi keinginan berkuasa. Begitulah kata Shaitan. Orang-orang itu menginginkan kekuasaan. Sedang Shaitan menginginkan harta. Aku ingin tahu - apa yang dikehendaki oleh Bentley. Orang itu merupakan tanda tanya besar bagiku. Ia datang untuk bekerja selaku pelayan, lalu menghilang ketika minatnya terhadap ilmu gaib, serta pada persekutuan itu ketahuan. Apakah sebetulnya yang diminati olehnya?"

"Mungkin juga uang," kata Bob."Mungkin dia itu pemeras. Tapi pokoknya, kau harus bersyukur. Ia menyelamatkan dirimu, sehingga tidak berlubang-lubang ditembus mimis."

"Aku memang harus berterima kasih padanya. Ia mestinya melihat bahwa Max muncul membawa senapan. Seketika itu juga aku ditubruknya sehingga lepas dari bidikan. Bukan itu saja - ia juga menahan agar aku tetap tidak bisa berdiri, sampai Max sudah menembakkan isi laras yang kedua."

"Jadi Bentley masih tetap merupakan misteri bagi kita," kata Bob."Tapi sementara ini kita sudah berhasil menyingkap selubung teka-teki yang menutupi Persekutuan Lingkar Bawah. Mereka itu kawanan penipu, yang memeras orang-orang yang percaya pada takhyul - seperti Miss Pat Osborne. Sekarang bagaimana tindakan kita ?"

"Kita laporkan pada polisi?" kata Pete mengajukan usul.

"Akan percayakah mereka?" tanya Jupe dengan tenang.

"Tapi Mrs. Compton kan sampai cedera sebagai akibat ulah mereka," kata Pete berkeras.

"Karena kecelakaan. Salah satu roda mobilnya terlepas. Siapa bisa mengatakan dengan pasti, apa yang menyebabkan hal itu sampai terjadi? Jika dilakukan dengan cukup cerdik, takkan mungkin bisa dibuktikan. Dan katakanlah, kita berhasil mendesak polisi agar mereka menggerebek rumah yang di Torrente Canyon - lalu apa yang akan mereka jumpai di sana? Dua orang laki-laki, dan sejumlah lilin berwarna hitam. Tidak, kita tidak bisa melapor pada polisi. Setidak-tidaknya, saat ini belum bisa. Kita masih memerlukan bukti-bukti untuk memperkuat laporan kita."

"Bagaimana dengan Ariel?" kata Bob."Sudah jelas, Bibi Pat mengalami penekanan oleh orang itu."

"Ariel takkan mau mengaku, sedang Bibi Pat takkan mau menjadi saksi - biarpun diminta," kata Jupiter."Ia takut sekali pada Ariel. Apa pun yang diminta Persekutuan itu dari dirinya, lambat laun pasti akan diberikannya juga. Ia tidak berani membangkang."

"Kita semua bisa menerka, apa yang mereka ingini." kata Pete.

Jupiter mengangguk.

"Ya, sesuatu yang sulit dijual karena besar risikonya, kecuali jika diketahui saluran yang bisa diandalkan!" katanya."Bukan uang yang mereka inginkan dari Miss Osborne. Uangnya tidak begitu banyak. Mereka mengincar kalung Ratu Eugenie."

" - yang aman tersimpan di dalam lemari besi, di toko permata," kata Bob.

"Jupe! Jupiter! Di mana kau?" Seruan itu terdengar lewat lubang angin karavan. "Jupiter Jones!"

Jupiter bergegas bangun.

"Itu suara Allie!"

Pete cepat-cepat membuka pintu tingkap Lorong Dua. "Kita tidak bisa tenang, selama anak itu ada," katanya.

­Bob dan Jupe menyusulnya ke luar lewat Lorong Dua, lalu lari menuju ke bagian depan pekarangan. Allie ada di situ, di dekat bedeng yang dijadikan kantor. Gadis itu kelihatannya seperti mau menangis. Pipinya yang sebelah nampak merah.

"Dr. Shaitan!" katanya."Ia ada di rumah!"

Pete bersiul pelan.

"Itu perbuatannya?" tanyanya.

"Berbuat apa?" tanya Allie.

"Itu - mukamu! Kelihatannya seperti kena tempeleng."

Allie menyibakkan rambutnya ke belakang dengan kedua tangannya.

"Bibi Pat," katanya dengan singkat.

"Ah, yang benar! Kau ditempeleng bibimu?"

"Bukan maksudnya menyakiti aku," kata Allie cepat-cepat. "Soalnya, ia ketakutan sewaktu melihat ada mobil besar berhenti di depan rumah. Di dalamnya ada orang yang mengaku bernama Shaitan itu, lengkap dengan jubah hitam, selubung kepala - pokoknya berdandan lengkap seperti waktu itu. Manusia menyeramkan yang satu lagi - yang tinggal serumah - berpakaian sopir. Bibi Pat menyuruhku ke luar. Aku tidak mau. Karena itu aku ditempeleng, lalu didorongnya ke luar lewat pintu belakang, tepat saat bel pintu depan berbunyi. Lalu Bibi mengunci pintu." Allie tertawa sekejap. "Tak kusangka ia sanggup melakukannya."

"Sekarang kita melapor pada polisi!" kata Pete.

"Tidak, jangan! Bibi seorang diri di rumah, dengan orang-orang itu. Nanti ia diapa-apakan oleh mereka!"

"Kalau begitu, kita ke rumahmu," kata Jupe. "Cepat!"

Mereka berlari menuju rumah keluarga Jamison. Tapi setiba di sana, mereka hanya masih sempat melihat sebuah mobil hitam berangkat. Pengemudinya orang yang bernama Max, sedang Ariel duduk di sampingnya. Shaitan duduk di belakang, lengkap dengan jubah dan selubung kepala berwarna hitam.

Pintu depan rumah Allie tidak terkunci. Allie bergegas masuk. Pintu dipentangnya dengan buru-buru, sehingga membentur dinding.

"Bibi Pat!" seru gadis itu memanggil.

Miss Osborne ada di ruang duduk

"Allie? Maaf, Allie - aku tadi tidak sengaja menempeleng."

Allie lari menghampiri bibinya.

"Bibi tidak apa-apa?"

"Ya, aku baik-baik saja." Setetes air mata membasahi pipi Miss Osborne, lalu menggantung di dagunya tanpa diacuhkan. "Mr. Ariel dan... dan..."

"Dr. Shaitan?" tanya Jupiter Jones.

Miss Osborne meraba-raba dengan tangannya, menyentuh sebuah kursi, lalu duduk di situ.

"Apakah mereka meminta kalung itu?" tanya Jupiter."Lalu Anda berikan imitasinya?"

Miss Osborne menatapnya, lalu memandang ketiga remaja yang lain.

­"Kalian tahu?"

"Sudah sejak beberapa waktu kami tahu bahwa kalung itu ada tiruannya. Kami berhasil menebak bahwa Shaitan pasti mengingini kalung intan peninggalan Ratu Eugenie, dan itu sebabnya kenapa Hugo Ariel datang lalu tinggal di rumah ini. Apakah mereka mengancam Anda, Miss Ossborne ?"

Wanita itu menangis.

"Mereka mengatakan bahwa aku harus memberi upeti. Seram! Mengerikan!" Diambilnya sapu tangan dari kantung gaunnya, lalu disapukannya ke matanya. Setelah itu ia membersihkan hidung dengan bunyi yang nyaring.

"Tapi mereka kutipu," katanya dengan nada bangga."Aku pura-pura mencoba mengulur waktu. Kusengaja bersikap begitu rupa, sehingga mereka terpaksa bersabar. Hebat, kan? Karena kalung yang kemudian kuserahkan, sebenarnya cuma barang tiruan saja. Kalung yang asli tetap aman!"

"Dalam lemari besi toko permata?" tanya Jupe.

"Di toko permata? Tidak - bukan di sana. Kalung yang asli ikut diantar kemari, bersama tiruannya. Tapi dimasukkan ke dalam kantung. Dalam sebuah kantung yang biasa saja, dari kertas. Aku mengantunginya, lalu kusembunyikan."

Allie mendesah.

"Jadi masih ada di sini?"

"Tentu saja masih di sini. Mau ditaruh di mana lagi? Tapi pokoknya perhiasan itu aman. Takkan ­ada yang bisa menemukannya. Aku takkan bisa dipaksa membuka mulut mengenainya. Bahkan padamu pun, takkan kubilang di mana."

Allie berlutut di sisi bibinya.

"Baiklah, Bibi Pat - aku juga tidak perlu diberi tahu. Tapi kita harus melaporkan kejadian ini pada polisi." Gadis itu berbicara dengan lembut.

"Tidak!"

"Sekarang kita sudah punya bukti," kata Jupiter. "Perbuatan mereka terhadap Anda, merupakan tindakan pemerasan. Anda harus berbicara dengan Chief Reynold, untuk melaporkan perbuatan mereka itu."

"Tidak!"

"Miss Osborne," kata Jupiter menyabarkan diri. "Orang-orang yang tadi itu berbahaya, dan mereka belum selesai dengan aksi mereka di Los Angeles. Mungkin ada orang tak bersalah akan mengalami apa-apa nanti, jika Anda tetap berkeras tidak mau ke polisi untuk melaporkan mereka."

"Sudah ada orang tak bersalah yang menjadi korban dan itu terjadi karena kesalahanku. Aku tidak bisa! Tidak mau! Kalian tidak tahu, apa yang kalian tuntut dariku! Kalian tidak menyadari akibatnya!"

"Baiklah, Miss Osborne," kata Jupiter. "Tapi coba renungkan hal ini, bagaimana jika Dr. Shaitan nanti tahu bahwa kalung yang diterimanya itu cuma imitasi belaka? Karena ia lambat laun pasti akan mengetahuinya juga!"

­Pat Osborne membisu.

"Renungkanlah, Miss Osborne," kata Jupe lagi, "dan jangan terlalu lama menunggu."





Bab 17 PETE MENYAMPAIKAN PERINGATAN

­AKHIRNYA Trio Detektif pergi meninggalkan Miss Osborne yang masih duduk dalam keadaan bingung di ruang duduk.

"Wanita itu benar-benar dungu!" tukas Pete.

"Ya, betul!" kata Bob menimpali. "Dan kita tidak bisa berbuat apa-apa jika ia tidak mau melapor pada polisi."

"Ada satu hal yang bisa kita kerjakan," kata Jupiter."Kita tahu apa yang hendak dilakukan Shaitan. Ia hendak menyingkirkan toko makanan yang berseberangan jalan dengan toko Noxworth. Sebaiknya kita peringatkan pemilik toko itu. Ia orang berikut, yang akan menerima kiriman kobra."

"Tapi akan maukah ia mempercayai kita?" tanya Bob.

"Kemungkinan tidak." kata Jupiter. "Tapi kita bisa memberikan kartu nama kita padanya. serta minta padanya agar kita dihubungi, jika tiba-tiba muncul kobra dalam wujud apa pun juga. Jika kobra benar-benar disampaikan padanya, rasa ingin tahu pasti timbul pada dirinya. Kurasa saat itu ia akan menghubungi kita."

­Ketiga remaja itu sampai di Jones Salvage Yard, dan langsung masuk ke kantor. Jupiter mengambil buku telepon kota Los Angeles, lalu mencari-cari sebentar.

"Noxworth rupanya memiliki semacam toko serba ada kecil-kecilan. Namanya, Noxworth' s Mini Market, dan letaknya di pojokan Beverly dan 3th Street," katanya.

"Tak mungkin ada dua toko senama," kata Bob. "Bagaimana - kita minta Worthington mengantarkan kita ke sana?"

Jupiter berpikir sebentar.

"Kurasa kita jangan terlalu sering minta tolong pada Worthington. Lama-lama kan capek juga orang itu! Tidak - kita naik bis saja ke Los Angeles. Begitu toko Noxworth sudah kita lihat, dengan gampang akan kita ketahui letak toko saingannya. Tapi kurasa kita jangan beramai-ramai ke sana. Soalnya, jika Shaitan muncul lagi di rumah Allie, anak itu pasti akan menelepon kemari. Aku ingin ada di sini, jika ia menelepon."

Bob menyandarkan diri ke lemari arsip.

"Aku juga ingin ada di sini," katanya.

"Baiklah - kalau begitu aku saja yang pergi," kata Pete. "Tapi jika Allie nanti menelepon, kalian sebaiknya cepat-cepat saja menghubungi Chief Reynolds, serta kantor polisi Rocky Beach. Siapa tahu tindakan apa yang akan dilakukan bandit-bandit itu, jika menyadari bahwa kalung yang ada pada mereka ternyata cuma imitasi saja."

Setelah itu Pete menuju ke jalan raya, untuk pergi dengan bis ke Santa Monica. Di situ ia pindah ke bis yang menuju ke Los Angeles. Dan menjelang tengah hari, ia sudah berdiri di pojok jalan yang dituju.

Dengan segera Pete sudah melihat Noxworth's Mini Market. Letaknya persis di seberang halte. Pete langsung menarik kesimpulan, bahwa wujud toko itu sebanding dengan penampilan pemiliknya. Jendela-jendelanya nampak sudah perlu sekali dicuci - serupa seperti baju dalam Mr. Noxworth. Lembaran koran-koran lama berserakan di tempat parkir, dan kelihatannya ada yang menjatuhkan botol limun di dekat pintu. Beling berwarna hijau tersebar di situ, tanpa ada yang mempedulikan.

Pete mengamat-amati sisi jalan tempat ia berada. Blok bangunan di situ ditempati suatu tempat reparasi televisi, yang berdampingan dengan sebuah toko makanan. Tulisan krom mengkilat yang terpasang di tembok memberi tahu bahwa H. Hendricks menyediakan makanan untuk para pesantap sedap. Di dalam toko nampak seorang laki-laki bertubuh besar dan berambut ikal berwarna coklat tua. Orang itu sedang menyendokkan selada kentang ke dalam sebuah kotak, sementara seorang wanita bertubuh montok sedang asyik meneliti daftar belanjaan yang ada di tangannya. Meja pelayanan berlapis formika nampak putih bersih dan rapi. Selain tempat penjualan makanan H. Hendricks itu, tidak nampak toko lainnya yang sejenis di sekitar situ.

­Pete merasa bahwa pasti itulah saingan toko Noxworth. Ia menunggu di luar, sampai wanita montok tadi pergi. Kemudian ia masuk.

"Mr. Hendricks?" kata Pete.

"Ya?" jawab orang yang berdiri di batik meja pelayanan.

"Anda Mr. Hendricks?" tanya Pete. "Maksud saya, Anda pemilik toko ini?"

Laki-laki itu memperhatikan Pete. Pete melihat bahwa orang itu bertubuh kekar. Rambutnya sama sekali belum menampakkan uban, sedang matanya yang coklat menatap dengan sikap tegas. Pendek kata, Mr. Hendricks kelihatannya pasti mampu membela diri.

"Kau perlu pekerjaan, Nak?" tanya Mr. Hendricks."Aku baru saja minggu lalu menerima seorang anak sebagai pesuruh, tapi jika..."

"Saya bukan mencari kerja," kata Pete."Saya hanya perlu memastikan dulu, bahwa Anda pemilik toko ini."

"Kau pemilih dalam menentukan ke mana kau hendak menjual asinanmu? - Tapi baiklah, aku ini yang bernama Hendricks, dan aku pemilik toko ini. Sekarang, ada perlu apa?"

"Saya datang ini untuk menyampaikan peringatan pada Anda Mr. Hendricks. Saya tahu, kedengarannya memang aneh - tapi Anda akan mengalami sesuatu yang tidak enak. Apa tepatnya saya juga tidak tahu - tapi pokoknya, takkan menyenangkan."

Pete menyodorkan selembar kartu nama Trio Detektif ke atas meja, lalu menuliskan nomor telepon yang ada di markas. Setelah berpikir sejenak, ditambahkannya nomor telepon Jones Salvage Yard

"Jika Anda melihat ular -" kata Pete.

"Akan kutelepon kebun binatang," kata Hendricks memotong.

"Bukan ular yang begitu, maksud saya," kata Pete. "Ular itu bukan yang benar. Kemungkinannya berwujud patung, atau peniti - pokoknya. yang begitulah! Ular itu seekor kobra. Jika ada orang datang menyampaikan suatu wujud kobra, harap Anda menelepon ke salah satu nomor yang saya tuliskan di sini. Jika pada yang satu tidak ada yang mengangkat, pada yang satu lagi pasti ada orang."

Hendricks membiarkan kartu nama itu tergeletak di atas mejanya. Dari wajahnya nampak bahwa ia mengira Pete hendak menceritakan sesuatu yang lucu.

"Kami rasa kami akan bisa membantu Anda," kata Pete cepat-cepat. "Urusannya sangat serius. Ada orang hendak mencelakakan Anda. Jika Anda kapan-kapan melihat ular, ketahuilah bahwa setelah itu akan terjadi sesuatu yang tidak enak. Jika Anda bersedia bekerja sama dengan kami, kita nanti akan -"

"Keluar," kata Hendricks.

"Kami hanya ingin menolong, Mr. Hendricks."

"Keluar, kataku!" Tatapan mata Mr. Hendricks menajam.

­"Jika Anda nanti melihat ular, mungkin Anda mau berubah pikiran," kata Pete.

Hendricks bergerak dengan sikap mengancam, sehingga Pete terpaksa cepat-cepat lari ke pintu.

"Anda bisa kapan saja menelepon kami," serunya dari pintu.

"Pergi!" teriak Mr. Hendricks.

Pete lari ke luar. Ketika sudah duduk di dalam bis yang membawanya kembali ke Rocky Beach. ia berpikir-pikir. Ia merasa tidak puas, karena menganggap dirinya sama sekali tidak berhasil. Menurut perasaannya. Jupiter pasti akan bisa menanggulangi tugas itu dengan lebih baik. Jupe memang pandai meyakinkan orang, kata Pete dalam hati.

Ketika ia tiba di Jones Salvage Yard. hari sudah menjelang sore. Bob dan Jupe ada di situ. Bob sedang memperhatikan Jupe, yang sibuk dengan selang air, mencuci sebuah jam matahari yang baru dibeli Paman Titus.

"Saingan Noxworth bernama Hendricks," kata Pete."Orangnya tangguh."

"Kau sudah menyampaikan peringatan padanya?" tanya Bob.

"Ya, sudah - dan aku juga meninggalkan kartu nama kita, yang kulengkapi dengan nomor telepon perusahaan, serta pesawat yang ada di markas kita. Tapi aku malah diusirnya."

"Ia tidak mau percaya." Jupiter menutup keran air. "Itu memang sudah kita sangka. Tapi jika nanti ada benda berwujud ular disampaikan padanya, kemungkinannya ia akan menelepon kita."

"Kurasa kita sebaiknya jangan menunggu sampai ditelepon," kata Bob."Sekarang saja kita pergi ke polisi! Bagaimana kita bisa melindungi orang yang tidak mau percaya pada kita?"

Jupiter menoleh ke arah gerbang masuk ke perusahaan. Sebuah mobil patroli polisi masuk, dikemudikan oleh Chief Reynolds.

"Kelihatannya kita tidak perlu lagi ke polisi," kata Jupe, "karena sudah ada yang datang."

Kepala polisi Rocky Beach turun dari kendaraannya, lalu menghampiri anak-anak dengan sikap capek bercampur kesal.

"Coba kalian katakan padaku, apa lagi yang kalian kerjakan sekarang?" tanyanya.

"Ada yang mengadu tentang kami?" tanya Jupiter.

"Aku baru saja ditelepon polisi kota Los Angeles, dari bagian yang menangani urusan remaja. Mereka menanyakan apakah aku kenal dengan kalian - dan itu terpaksa kuakui." Chief Reynolds menuding Pete."Kau tadi mendatangi seorang pemilik toko di sana, yang bernama Hendricks," katanya dengan nada menuduh.

Pete langsung gugup.

"Kau meninggalkan kartu nama kalian, yang dilengkapi dengan nomor telepon tempat ini," sambung kepala polisi itu."Itu sebabnya mereka meneleponku. Mereka beranggapan bahwa kau hendak mencoba memeras Mr. Hendricks."

­"Memeras?" seru Pete kaget. "Saya sama sekali tidak berbuat begitu. Saya malah hendak memberi peringatan, agar ia berjaga-jaga."

"Tapi tidak begitu tanggapan Hendricks. Ia mengatakan, ucapanmu lebih mengarah pada ancaman. Coba kaujelaskan!"

"Dengan senang hati!" kata Jupiter dengan cepat

"Baiklah, akan kudengarkan," kata Chief Reynolds.

Jupiter merasa bahwa mereka tidak boleh menyebut-nyebut nama Allie serta bibinya karena pertimbangan etika profesi selaku penyelidik - tapi di samping itu, segala-galanya dituturkan pada kepala polisi itu. Ia bercerita tentang ditemukannya sebuah rumah yang misterius di Torrente Canyon, serta ilmu gaib aneh yang dipraktekkan di sana. Ia berterus terang, bahwa mereka masuk ke rumah itu secara sembunyi-sembunyi. Diceritakannya percakapan yang didengarnya, antara Shaitan dengan pembantunya.

"Kami beranggapan bahwa keselamatan Mr. Hendricks saat ini terancam," katanya mengakhiri penuturan. "Jika kekuatan kobra yang menyanyi dikerahkan -"

Chief Reynolds mengangkat tangannya. "Cukup! Jangan ikut-ikut terpengaruh. Los Angeles memang penuh dengan manusia aneh yang membakar lilin sambil menyanyi-nyanyi memuja bulan. Jika polisi menangkap semua orang yang merasa mempunyai hubungan langsung dengan alam gaib, tempat tahanan pasti akan penuh sesak! - Tapi baiklah, akan kujelaskan

pada polisi di sana tentang kalian bertiga, walau itu takkan merupakan tugas gampang. Tapi ada satu permintaanku. Jangan suka ke rumah orang tanpa izin, karena nanti tahu-tahu kalian sudah berlubang-lubang ditembus mimis."

Ketika kepala polisi Rocky Beach itu sudah pergi,

Pete berkata dengan nada mengecam pada Jupiter, "Kau tadi seharusnya bercerita juga, tentang Miss Osborne, serta kalung itu."

"Tidak bisa," kata Jupiter."Allie klien kita, dan karenanya harus kita lindungi. Sedang tentang Miss Osborne - ia pasti akan memungkiri segala-galanya."

Saat itu terdengar bunyi pesawat telepon berdering, di kantor perusahaan. Jupiter bergegas masuk, untuk menerima. Dalam beberapa detik saja ia sudah muncul lagi.

"Itu tadi Allie," katanya."Kekuatan kobra menyanyi sudah dikerahkan - tapi terhadap bibinya! Baru saja ada wujud kobra diantar ke rumahnya!"





Bab 18 ANCAMAN KOBRA

­ALLIE nampak menunggu di ambang pintu, ketika Jupiter tiba di rumah keluarga Jamison bersama kedua rekannya. Gadis itu memegang kobra yang baru diantarkan. Benda itu tidak berwujud perhiasan, seperti yang dikirimkan pada Margaret Compton, melainkan sebuah patung setinggi lima belas senti, yang disepuh keemasan. Tubuh ular itu dibentuk melingkar-lingkar, sedang kepalanya yang bertudung tegak di atasnya. Matanya yang merah nampak berkilau, ketika Allie mengangkatnya untuk diperlihatkan pada Trio Detektif.

"Siapa yang mengantarkannya?" tanya Jupiter. Allie mengajak mereka masuk ke ruang duduk. Sesampai di situ, diletakkannya patung kobra di atas meja kecil tempat menghidangkan kopi.

"Tidak tahu," katanya menjawab pertanyaan Jupiter yang tadi. "Aku hanya tahu bahwa ada orang membunyikan bel lalu pergi lagi, dengan meninggalkan kotak di serambi depan."

"Kurasa itu juga tidak penting," kata Pete.

"Yah, memang! Yang penting adalah bahwa Bibi Pat menduluiku, mengambil kotak itu. Sebelum membukanya pun, badannya sudah gemetar. Ia tahu apa isinya."

"Lalu?" tanya Bob.

"Ia melihat ular yang ada di dalamnya, lalu membaca kartu yang menyertai."

Jupiter menekuri kartu berwarna putih yang terletak di atas meja.

"Belial akan mengambil haknya. Jiwa lebih berharga daripada intan-berlian," katanya sambil membaca.

"Tulisannya besar-besar - biar Bibi Pat langsung menangkap makna yang terkandung," kata Allie.

"Dan ia mengerti?" tanya Bob.

"Yang jelas, Bibi langsung jatuh pingsan. Baru sekali ini aku melihat orang jatuh pingsan. Aku bingung jadinya. Tapi kemudian Bibi Pat membuka matanya kembali, lalu mengerang. Kubimbing dia ke atas, lalu kubaringkan di tempat tidur."

"Maukah ia bicara dengan polisi sekarang?" tanya Bob.

"Tidak! Tadi kukatakan padanya, bahwa ia harus melakukannya. Kataku, kita sekarang punya bukti nyata - kotak pembungkus, kartu ancaman, dan lain-lainnya. Tapi ia mengatakan, semuanya akan percuma saja. Katanya mungkin akan sudah terlambat, dan satu-satunya yang mungkin masih bisa menolong ialah apabila kalung yang asli diserahkan pada Shaitan."

Jupiter kaget mendengarnya.

"Ia kan tidak berniat melakukannya?"

"Tidak bisa," kata Allie."Kalung itu tidak ada lagi di tempat semula, karena sudah kutemukan."

Anak-anak memandang Allie dengan sikap menunggu.

"Beberapa waktu yang lalu, kami melihat sebuah film di televisi," kata Allie menjelaskan."Kisahnya tentang spionase, dan wanita yang menjadi mata-mata dalam film itu menyembunyikan segulung mikrofilm dalam sebuah dos tempat bedak. Bibi Pat bukan orang yang mempunyai banyak gagasan orisinal. Ketika kalian sudah pergi tadi pagi, aku masuk ke kamar mandinya - dan ternyata memang disembunyikan di dalam dos bedak."

"Mudah-mudahan saja kau menemukan tempat penyembunyian yang baik," kata Pete.

"Jika aku sampai dilindas mobil sebelum orang tuaku kembali, carilah di dalam tempat makanan kuda, di garasi," kata Allie.

"Boleh juga," kata Pete mengakui.

"Memang. Tapi sekarang akulah yang harus mengambil keputusan, dan itu beban yang tidak enteng. Bibi Pat cuma berbaring saja di tempat tidur, sambil menatap dinding. Aku khawatir, ia sakit Maksudku, sungguh-sungguh sakit."

"Keadaannya bisa bertambah parah," kata Jupe mengingatkan."Sudah agak lama juga kesehatannya terganggu, kan?"

"Betul. Sejak Mrs. Compton mengalami kecelakaan."

­"Kurasa kau tidak boleh sendirian saja di rumahmu, bersama bibimu itu," kata Jupe."Aku akan minta tolong pada Bibi Mathilda, untuk datang menemani kalian di sana."

Seketika itu juga wajah Allie nampak cerah kembali.

"He, Jupe - bibimu itu berwibawa, kan? Menurutmu, jika kita mengisahkan segala-galanya padanya, akan bisakah ia mendesak Bibi Pat agar mau membuka mulut?"

"Bibi Mathilda itu wanita baja," kata Jupe, "tapi dalam urusan ini, kurasa ia takkan bisa menolong. Bibimu terlalu takut pada Shaitan, dan pada Ariel. Tidak! Lebih baik kita katakan saja pada Bibi Mathilda bahwa bibimu sedang terganggu keseimbangan jiwanya, dan kau tidak sanggup menanganinya seorang diri."

"Memang begitu kenyataannya," kata Allie.

"Oke," kata Jupe, lalu menelepon ke rumah. Lima belas menit kemudian, Bibi Mathilda sudah muncul di situ. Dengan segera wanita setengah baya itu memeriksa situasi yang dihadapi. Keningnya berkerut ketika melihat Pat Osborne meringkuk di tempat tidur. Kemudian diputuskannya bahwa Jupiter dan kedua rekannya harus pergi, karena Allie perlu beristirahat.

"Kauajak saja pamanmu makan di luar malam ini, Jupiter," katanya. "Aku akan tidur di sini. Kita lihat saja bagaimana keadaannya besok pagi."

Setelah itu Bibi Mathilda masuk ke dapur, untuk memeriksa isi lemari pendingin, serta tempat penyimpanan makanan. Jupiter mendengar bunyi panci diletakkan di atas oven.

"Kau akan bisa makan enak malam ini," katanya pada Allie.

"Aku sebenarnya tidak ingin pergi," kata Pete. "Maksudku, apakah kita tidak seharusnya menjaga di sini, agar jangan ada kejadian apa-apa?"

"Kurasa sekarang takkan ada yang akan mencoba apa-apa lagi," kata Jupiter. "Kecuali itu! Bibi Mathilda pasti mampu menanggulangi apa saja. Ia tidak takut pada kobra yang menyanyi - atau apa pun juga yang bisa kubayangkan."

Ia berpaling, memandang Allie.

"Walau bibimu tidak mau membuka mulut, tapi kau kan bisa," katanya. "Kau bisa menghubungi polisi. Kau sendiri tadi mengatakan, bahwa kini kau yang harus mengambil keputusan."

Allie menggeleng. "Itu bukan soal gampang," katanya."Apalah yang bisa kukatakan nanti! Bahwa bibiku dirongrong kawanan dukun? Lagi pula, Bibi Pat merasa malu sekali. Ia beranggapan bahwa dialah yang menyebabkan Mrs. Compton cedera."

Saat itu pintu dapur terbuka.

"Jupiter!" seru Bibi Mathilda."Pete! Bob! Ayo pergi sekarang - biar anak itu bisa beristirahat!"

Anak-anak langsung pergi. Ketika Jupiter menelepon rumah keluarga Jamison petang itu, ternyata Bibi Mathilda yang menerima. Nadanya ketus! Dikatakannya pada Jupiter bahwa Allie sudah tidur, sedang Miss Osborne tidak, dan ia bisa menangani sendiri segala urusan di situ. Jupiter disuruhnya tidur, dan jangan menelepon lagi.

Jupiter Jones masuk ke tempat tidur. Agak lama juga ia berbaring dengan mata nyalang, menatap langit-langit. Ketika akhirnya terlelap, ia dirongrong impian seram. Ia mengikuti nyala lilin yang berkelip-kelip, menelusuri lorong-lorong lembab dan berbau pengap, sementara makhluk-makhluk yang tak nampak terasa menggeleser di dekat kakinya di tanah. Ia terbangun saat fajar belum menyingsing. Pikirannya langsung kembali pada patung ular yang terletak di meja kopi, di ruang duduk rumah keluarga Jamison. Ia teringat pada Pat Osborne, yang menderita karena ketakutan.

Terlintas lagi dalam ingatannya, Shaitan yang berwajah lesi, dengan jubahnya yang hitam. Dua malam sebelumnya, Shaitan masih duduk bersantai-santai dengan segala dandanannya yang serba hitam, sambil mereka-reka rencana selanjutnya. Kini orang itu buru-buru. Ia datang secara terbuka ke rumah keluarga Jamison, untuk mengancam Pat Osborne. Kenapa sikapnya tiba-tiba berubah?

Akhirnya Jupe merasa bahwa ia mengetahui sebabnya. Shaitan beserta kaki-tangannya melihat Jupiter Jones, diterangi sinar lampu-lampu sorot yang menyilaukan di Torrente Canyon. Seorang remaja yang ingin tahu, mengintip kesibukan yang dianggap aneh di sebuah rumah. Tapi Shaitan mestinya saat itu juga melihat laki-laki yang berkumis besar, yang kemungkinan Bentley. Dan Bentley saat itu bertindak dengan cepat untuk menyelamatkan Jupiter serta menantang Shaitan. Bentley rupanya menyebabkan Shaitan gentar. Entah apa sebabnya!

Jupiter tidak bisa tenang di tempat tidurnya. Ia ingin sekali bisa berjumpa dengan Bentley. Tapi kelihatannya tidak ada kemungkinan untuk itu. Oknum pelayan misterius itu mungkin merupakan kunci yang akan membuat seluruh kasus itu bisa dibeberkan. Tapi Jupiter tidak berhasil menemukan siasat yang baik. untuk memancing Bentley agar mau muncul. Sedang sementara itu keadaan Pat Osborne semakin bertambah parah saja. Mungkinkah kengeriannya terhadap Shaitan akan bisa menyebabkan kematiannya? Lalu masih ada pula Hendricks, pemilik toko makanan sedapan di Beverly Boulevard, yang tidak tahu apa-apa. Kejadian apakah yang akan menimpa orang itu?

Kemudian Jupiter teringat pada buku yang dibawa oleh Bob dari perpustakaan. Buku tentang ilmu gaib dan perdukunan. Buku itu ditulis seorang guru besar Universitas Ruxton. Perguruan tinggi itu tidak sampai sepuluh mil jauhnya dari Rocky Beach.

Tiba-tiba Jupiter tersenyum. Ia melihat kemungkinan untuk menyelamatkan Pat Osborne, walau tanpa Bentley sekalipun. Kenyataan bahwa Shaitan kini ingin buru-buru, malah lebih menguntungkan. Trio Detektif harus melakukan perjuangan dengan sistem bertahan. Sebelum pulas kembali, Jupe merasa sudah mengetahui wujud langkah yang berikut.





Bab 19 KOBRA MEMATUK LAGI!

­KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar Trio Detektif sudah muncul di rumah keluarga Jamison. Saat mereka tiba di situ, Bibi Mathilda baru saja naik ke tingkat atas, mengantarkan sarapan pagi untuk Miss Patricia Osborne. Allie ada di dapur sedang minum sari jeruk.

"Sudah kuputuskan, apa yang akan kulakukan dengan kalung itu," kata Allie pada Jupiter dan kedua temannya."Aku akan mengembalikannya ke 'Van Storen and Chatsworth', untuk disimpan di sana. Biar mereka saja yang kerepotan."

"Bagus!" kata Bob.

"Dan kalian?" tanya Allie."Apa yang akan kalian kerjakan ?"

"Di Los Angeles ada orang bernama Hendricks," kata Jupe."Ia memiliki sebuah toko makanan sedap-sedapan, dan kami rasa ia berikutnya yang akan menerima kiriman kobra. Menurut dugaanku, itu akan dengan segera terjadi - mungkin hari ini. Shaitan ingin lekas-lekas menyelesaikan operasinya di sini. Hendricks itu saingan Noxworth, sedang kini tiba giliran Noxworth untuk membayar upeti pada Belial. Jadi kami akan ke Los Angeles."

­"Tapi bagaimana dengan Bibi Pat? Keadaannya payah."

"Kan ada Bibi Mathilda," kata Jupe mengingatkan."Kau tinggal saja di sini. Kau kan bisa memanggil seseorang dari toko permata itu untuk mengambil kalung."

"Ya, memang. Tapi bagaimana jika Shaitan nanti muncul?"

"Ia takkan muncul," kata Jupiter meramalkan. "Allie, bibimu percaya pada kekuatan kobra itu, dan itu yang menyebabkan ia seperti sekarang ini. Shaitan mengenal baik sifat bibimu - jadi hal itu diketahuinya pula. Ia takkan muncul lagi kemari. Ia menunggu, sampai bibimu memanggilnya."

"Kurasa itu takkan bisa," kata Allie. "Bibi Pat nyaris tidak bisa bergerak lagi. Seakan-akan lumpuh."

"Ada satu cara untuk menolong bibimu, Allie - tapi sekarang kita harus mengurus persoalan Hendricks dulu. Apa yang kami niatkan bagi Miss Osborne akan memakan waktu. Tapi ia punya waktu - sedang Hendricks, mungkin tidak!"

"Apa yang hendak kalian kerjakan?" tanya Allie.

"Mengamat-amati toko Hendricks," jawab Bob.

"Kalau begitu aku ikut," kata Allie tegas.

"Tidak bisa," bantah Pete."Ada kemungkinan Shaitan akan main kasar nanti, karena Hendricks bukan orang yang lemah."

"Aku ikut!" bentak Allie."Coba dengar sebentar. Jika Bibi Pat masih punya waktu, sedang Shaitan takkan datang kemari, maka itu berarti bahwa kalung pasti aman di tempatnya yang sekarang. Aku tidak mau menunggu dengan perasaan gelisah di sini, sementara kalian menangkap manusia-manusia edan yang menyebabkan segala keributan ini terjadi. Aku ikut - habis perkara!"

Saat itu Bibi Mathilda masuk, membawa baki.

"Mrs. Jones, aku mau pergi ke Los Angeles," kata Allie cepat-cepat."Aku ingin bicara dengan dokter yang biasa merawat Bibi Pat. Bolehkah Jupiter ikut denganku?"

Bibi Mathilda kelihatan heran.

"Kurasa kau memang perlu menghubungi dokternya," katanya kemudian "Keadaan bibimu pagi ini tidak bertambah baik. Ia sama sekali tidak mau makan. Tapi kenapa tidak kautelepon saja? Untuk apa jauh-jauh pergi ke Los Angeles?"

"Aku tidak ingat nama dokter itu," kata Allie, "sedang nomor teleponnya tidak kutemukan dalam buku catatan Bibi Pal Tapi aku ingat di mana tempat prakteknya. Di sebuah gedung di Wilshire Boulevard, di sebelah gereja. Letaknya dekat Western. Sesampai di sana, aku pasti bisa menemukannya."

"Masa tidak ada jalan yang lebih mudah," kata Bibi Mathilda lagi."Kenapa kita tidak tanyakan saja pada Miss Osborne?"

"Ia kan tidak mau bicara sama sekali," kata Allie. "Aku sudah menanyakan, tapi ia diam saja."

"Baiklah," kata Bibi Mathilda, "tapi jangan keluyuran ke mana-mana, ya! Jupiter, suruh Hans mengantar kalian dengan truk. Kalau naik bis bisa sehari penuh, sedang pamanmu tidak punya waktu."

"Terima kasih, Mrs. Jones!" Allie merangkul wanita setengah baya itu.

Anak-anak yang lain diam saja. Mereka mengikuti Allie ke luar, sementara Bibi Mathilda membuang hidangan sarapan Miss Osborne yang sama sekali tidak disentuh itu ke tempat sampah.

Dengan perasaan senang, Hans mengeluarkan satu dari kedua truk milik Paman Titus, untuk mengantarkan anak-anak ke kota.

"Kepojokan antara Beverly Boulevard dan Third Street," kata Pete memberi petunjuk, lalu naik ke bak belakang, bersama Bob dan Jupe. Allie duduk di depan, di samping Hans.

Sesampai di tempat yang dituju, Jupe meminta Hans untuk terus ke tikungan berikut, lalu memarkir kendaraan di salah satu jalan samping. Hans menuruti permintaan itu. Kemudian ia membukakan pintu untuk Allie.

"Aku perlu ikut?" tanyanya pada Jupiter.

"Tidak," jawab Jupe. "Tunggu saja di sini, sambil beristirahat sedikit Mungkin kali ini akan agak lama."

"Oke." Hans mengambil surat kabar dari bawah jok, lalu mulai membaca dengan santai.

Keempat remaja itu melewati tikungan, lalu menyeberang ke pelataran parkir toko Hendricks.

"Toko Noxworth yang di sana itu," kata Pete sambil menuding ke tempat tak terawat yang nampak di seberang jalan.

Allie mengernyitkan hidung. Kelihatan bahwa ia jijik.

Saat itu seorang anak laki-laki membuka pintu toko Hendricks, lalu bergegas ke luar, disusul oleh Hendricks.

"Kau tidak perlu datang lagi hari ini," kata Hendricks pada anak itu.

Jupiter sampai di depan pintu, saat Hendricks hendak menguncinya.

"Maaf, toko sudah ditutup," kata Hendricks, tanpa berpaling.

"Anda sudah menerima kobra," kata Jupiter.

Mr. Hen­ricks menegakkan tubuh, lalu berpaling. Saat itu barulah ia melihat Pete

"Kau lagi!" tukasnya.

"Kami hanya ingin membantu, Mr. Hendricks," kata Pete.

"O, ya? Nah - aku sudah tahu tentang kalian sekarang. Polisi yang memberi tahu! Kalian ini detektif amatir, dan kalian saat ini merasa menemukan kasus besar, yang menyangkut dukun, atau sebangsanya. Menurutku, kalian ini sinting semua - tapi karena tidak mau kena perkara, lebih baik kututup saja tokoku. Sekarang pergi!"

"Anda menerima kobra itu," kata Jupiter sekali lagi.

Mr. Hendricks mencengkeram leher kemeja Jupiter.

"Kau yang tadi membawanya?" tanyanya. "Kalau betul begitu, kupilin lehermu sekarang!"

­Jupiter sama sekali tidak berusaha membebaskan diri.

"Bukan kami yang membawa ular itu, tapi kami tahu wujudnya pasti kobra bermata batu mulia. Dengan cara bagaimana Anda menerimanya tadi?"

Orang itu mengamat-amati air muka Jupiter. Kemudian dilepaskannya kemeja remaja itu. Ia membuka pintu tokonya, lalu menuding ke arah meja pelayanan. Di situ nampak sebuah patung kobra bersepuh emas. Persis seperti yang dikirimkan pada Pat Osborne.

"Aku tadi pergi sebentar ke ruang belakang," kata Mr. Hendricks."Lalu ketika kembali, tahu-tahu benda itu sudah terletak di situ."

"Begitu," kata Jupiter.

"Jadi kau mengerti, ya? Bagus! Sekarang pergi dari sini. Aku sudah memanggil polisi, tapi aku tidak mau ada orang lain di sini, jika nanti benar-benar terjadi sesuatu. Jadi sekarang pergi!"

Saat itu muncul seorang anak perempuan. Hendricks menyambar bahu anak itu, lalu memutarnya.

"Pulanglah ke ibumu, dan tetap tinggal di situ," katanya.

Anak tadi memandangnya sambil melongo.

"Pulang!" teriak pemilik toko makanan itu. Anak kecil itu pergi.

"Huh - sulit sekali rasanya menyingkirkan pembeli," keluh Hendricks. "Seperti rayap saja mereka itu - selalu saja ada yang datang!"

­Seorang laki-laki dengan celana biru yang kotor, serta jas kedodoran, datang menghampiri dengan langkah gontai. Ia muncul dari balik bangunan.

"Kopi?" katanya dengan nada memelas.

Allie mengamati orang itu dengan penuh minat Ia jarang melihat gelandangan, dan orang itu benar-benar kumuh penampilannya. Gelandangan itu nampaknya tidak memiliki kemeja, karena kulitnya yang berkerut dan berwarna kemerah-merahan nampak pada belahan kerah jas. Rambutnya yang beruban sudah lama tidak disentuh gunting pencukur, sedang pipinya ditumbuhi rambut pendek dan jarang.

"Kopi?" kata gelandangan itu sekali lagi."Atau roti, Mister? Sudah dua hari perutku tak terisi."

Mr. Hendricks merogoh kantungnya, lalu mengeluarkan segulung uang kertas. Tanpa melihat lagi diambilnya selembar, lalu disodorkannya pada gelandangan itu.

"Tokoku sudah tutup. Kau bisa membeli roti di toko seberang."

"Anda orang baik," kata gelandangan itu dengan nada berterima kasih. Diterimanya uang yang disodorkan, lalu berbalik. Tahu-tahu ia terhuyung, lalu jatuh menimpa rak tempat surat kabar yang terdapat di samping pintu toko.

Mr. Hendricks mengumpat.

Gelandangan itu sibuk berusaha membebaskan diri dari timbunan surat kabar yang menimpa.

"Tidapapa," gumamnya tak jelas. Ia berhasil tegak kembali, lalu pergi dengan gontai.

­"He, Mister!" seru Allie memanggil."Tunggu dulu!" Ia membungkuk, mengambil sebuah benda kecil persegi berwarna hitam dari tengah tumpukan surat kabar yang kini terserak di depan pintu toko. "Radio Anda terjatuh."

Gelandangan tadi malah lari.

"Allie." Jupiter berusaha keras, agar suaranya terdengar tetap tenang."Allie, kemarikan barang itu."

"Astaga!" ucap Mr. Hendricks.

Allie memandang kotak hitam kecil yang ada di tangannya.

"Benda apa ini? Kenapa kau memintanya?"

Mr. Hendricks menyambar barang itu, lalu membuangnya. Ia melemparnya dengan asal-asalan saja, tanpa mengarahkannya ke suatu tempat tertentu. Benda itu melayang tinggi ke udara, jatuh di atas trotoar di seberang jalan, terpental dua kali, dan akhirnya membentur dinding toko Noxworth.

Saat itu juga terdengar bunyi ledakan keras.

Kaca-kaca jendela Noxworth's Mini Market pecah berantakan ke arah dalam!

Jupiter melihat wajah Noxworth sekilas. Pemilik toko itu pucat pasi. Ia mengintip dari batik meja pelayanan. Sementara itu Mr. Hendricks sudah mengejar gelandangan yang lari.

"Itu tadi bom!" kata Allie."Kusangka radio."

"Kau ini rupanya hidup di menara gading, Allie," kata Pete."Jarang ada gelandangan yang mempunyai radio."





Bab 20 DICARI: SEORANG DUKUN

­DALAM perjalanan pulang dari Los Angeles, Allie duduk di bak belakang. Bersama-sama dengan Jupiter, Bob, dan Pete.

"Polisi sekarang mestinya akan menanyai Bibi Pat, ya?" tanya gadis itu.

"Aku yakin, mereka akan bersikap lemah lembut terhadapnya," kata Jupe."Bibimu kan bukan penjahat."

"Aku sebenarnya ingin ia tak terlibat sama sekali."

"Tapi itu tidak mungkin," kata Bob."Begitu polisi sudah tahu bahwa Shaitan sangat berbahaya, kita tadi harus menceritakan segala-galanya. ,.

"Kau tadi hebat, Allie," kata Pete "Coba kau tidak memungut bom itu, toko Mr. Hendricks pasti sudah hancur berantakan." Ia terkekeh. "Tidak enak hatiku membayangkan Hendricks mengalami bencana. Bukan main, orang itu! Asyik sekali melihat caranya menyeruduk kaki gelandangan gadungan itu dari belakang! Lalu caranya memiting penjahat itu, menunggu polisi muncul!"

"Aku lebih asyik melihat tampang Noxworth," kata Jupe."Ia sama sekali tak mengira bahwa jendela tokonya sendiri yang akan hancur kena ledakan."

Truk yang membawa mereka berhenti di depan rumah Allie. Bibi Mathilda rupanya sudah menunggu-nunggu, karena dengan segera ia membuka pintu.

"Ke mana saja kalian?" serunya."Keadaan Miss Osborne bertambah parah. Dr. Peters sedang memeriksanya sekarang. Aku terpaksa memanggilnya. Kalian berhasil menemukan dokter yang biasa merawatnya?"

"Tidak." Jupiter bergegas menghampiri Bibi Mathilda, lalu memandang ke dalam rumah. Ia melihat Dr. Peters.

"Adakah kerabat dekatnya di sini?" tanya dokter itu.

Allie menyelip masuk, lewat di antara Jupe dan Bibi Mathilda.

"Saya satu-satunya kerabatnya di sini, untuk saat ini," kata gadis itu.

"Ia harus dibawa ke rumah sakit," kata Dr. Peters. "Tapi Miss Osborne tidak mau."

Allie masuk ke rumah, lalu langsung bergegas naik ke tingkat atas. Jupiter mengikutinya.

Di bawah selimut, Miss Osborne tergeletak di tempat tidurnya yang besar. Penampilannya sangat memelas. Ia membuang muka, ketika Allie masuk.

"Anda harus menguatkan hati, Bibi Pat," kata Allie dengan nada memarahi."Urusannya sudah beres. Shaitan itu ternyata penipu, dan polisi kini akan menangkapnya."

Pat Osborne tidak berkutik.

Allie memegang lengan bibinya, lalu digoncang-goncang.

"Bibi harus membantu diri sendiri sekarang. Ayolah! Bibi harus masuk ke rumah sakit."

Miss Osborne menyentuh tangan Allie.

"Kalung itu," katanya dengan suara lemah.

"Tolong ambilkan ya, Allie?"

Allie menjauhkan tangannya.

"Tidak! Bibi tidak boleh menyerahkan kalung itu pada Shaitan. Bibi tidak mendengar apa yang kukatakan tadi? Saat ini, Shaitan pasti sudah dijebloskan ke dalam tahanan. Ia tidak bisa mencelakakan orang lagi."

"Kau mengadukannya pada polisi?" Pat Osborne nampak ketakutan lagi."Aduh, Allie - pasti aku yang akan dipersalahkan olehnya!"

"Omong kosong!" Allie menarik pergelangan tangan bibinya."Ayolah, Bibi Pat."

Jupiter menjamah siku Allie.

"Biarkan ia sendiri dulu," katanya menyarankan.

Diajaknya Allie ke ruang tengah. "Ia takkan bisa menolong dirinya sendiri," kata Jupe."Ia lebih takut pada Shaitan dalam penjara, daripada saat orang itu masih bebas. Hanya ada satu jalan yang masih bisa kita ambil. Kita memerangi api dengan api."

"Dengan cara bagaimana?" tanya Allie.

"Bibimu kena guna-guna."

"Jupiter Jones!" tukas Allie. "Kau kan tahu itu omong kosong!"

"Memang, tapi bibimu percaya, dan itu yang menyebabkan ia merana seperti sekarang. Kita harus mencari dukun lain. Semuanya itu ada di dalam buku-buku tentang antropologi. Jika ada orang kena guna-guna, carilah dukun lain yang bisa mengembalikan guna-guna itu pada pengirimnya."

Allie melendutkan diri ke dinding. "Lalu di mana bisa kita temukan dukun seperti itu?"

"Kurasa aku tahu," kata Jupiter, sambil menuruni tangga.

Di ruang tengah tingkat bawah, Bob dan Pete berdiri bersama Bibi Mathilda yang nampak cemas, sementara Dr. Peters berjalan mondar-mandir.

"Profesor yang di Universitas Ruxton itu," kata Jupe pada Bob, "yang menulis buku tentang ilmu gaib dan perdukunan - kau masih ingat namanya ?"

"Kalau tidak salah, Bannister. Tidak, bukan - Barrister. Henry Barrister."

"Ya, kurasa itulah namanya. Dan Ruxton letaknya cuma di balik bukit-bukit, di dalam lembah." Jupiter bergegas ke dapur, diikuti oleh kedua rekannya.

­"Kau hendak melakukan apa yang kuduga akan kaulakukan?" tanya Bob.

"Betul," jawab Jupiter atas pertanyaan aneh itu. "Kita menghadapi ilmu hitam, dan untuk itu kita sekarang memerlukan ilmu putih. Mungkin Profesor Barrister bisa membantu. Yang jelas, ia pasti menguasai pokok persoalan itu."

Jupiter mengangkat gagang pesawat telepon yang tergantung di dinding dapur, lalu menghubungi bagian penerangan.

"Saya ingin mengetahui nomor telepon Profesor Henry Barrister, di Ruxton," katanya.

Bob menyodorkan kertas dan pensil pada Jupiter. Jupe mencatat nomor yang disebutkan oleh petugas bagian informasi. "Mudah-mudahan saja ia ada di rumah," katanya, lalu memutar nomor yang baru saja diterima. Di ujung sambungan, terdengar bunyi berdering-dering. Disusul bunyi pesawat diangkat.

"Ini Dr. Barrister, guru besar di Universitas Ruxton?" tanya Jupiter.

Orang yang ditelepon mengatakan sesuatu. Kemudian Jupiter berbicara lagi.

"Syukurlah! Nama saya Jupiter Jones, Dr. Barrister, dan saya memerlukan pertolongan Anda. Sulit menjelaskannya lewat telepon, tapi di sini ada seorang wanita yang kena guna-guna, dan kami -"

Jupiter berhenti berbicara. Ia mendengarkan.

"Ya, ia sakit parah," katanya kemudian. Jupiter mendengar lagi.

­"Kemarin," katanya sesudah itu."Ada sebuah bungkusan yang dialamatkan padanya. Isinya patung ular."

Setelah mendengarkan lagi sebentar, Jupiter menyambung, "Saya menelepon dari Rocky Beach. Nama wanita itu Miss Patricia Osborne."

Dr. Barrister mengatakan sesuatu.

"Terima kasih, Dr. Barrister," balas Jupiter.

Disebutkannya alamat rumah keluarga Jamison. Pembicaraan diakhiri sampai di situ.

"Ia akan datang kemari," kata Jupiter pada Bob dan Pete."Katanya, ia akan membawa seseorang yang bisa menyingkirkan kutukan itu."

"Bukan main!" seru Pete dengan gembira. "Barangkali dukun voodoo?"

"Kita lihat saja nanti," balas Jupiter.

Saat itu pintu dapur terbuka. Bibi Mathilda menjengukkan kepalanya ke dalam.

"Apa yang kaulakukan di situ, Jupiter?"

"Aku berhasil menemukan dokter, Bibi Mathilda. Dr. Barrister namanya."

"Syukurlah! Dr. Peters tidak mampu menangani Miss Osborne. Mungkin ia mau menurut, jika dinasihati dokternya sendiri."

"Mudah-mudahan! Ia sudah dalam perjalanan sekarang."

"Bagus! Sementara itu lebih baik aku menemani Miss Osborne. Dan salah seorang dari kalian, coba uruskan kuda itu"

Allie masuk ke dapur.

"Itu tugasku," katanya pada Bibi Mathilda.

­"Dokter akan datang," kata Jupe pada Allie.

"Kau berhasil menemukan dokter? Syukurlah!"

Bibi Mathilda naik ke tingkat atas. Dr. Peters pergi sambil mengomel-omel. Katanya, nanti ia akan datang lagi. Anak-anak pergi ke beranda depan, lalu duduk di jenjang. Tidak lama kemudian Allie datang menggabungkan diri.

"Masih berapa lama?" tanyanya.

"Sebentar lagi," jawab Jupiter.

Dan benarlah - tidak lama kemudian sebuah mobil nampak meluncur dengan laju, menuju rumah keluarga Jamison, lalu masuk ke pekarangan. Pengemudinya turun, lalu bergegas menghampiri beranda.

"Jupiter Jones!" seru orang itu.

Jupiter terkejut. Yang lain-lain menunjukkan reaksi serupa.

"Saya sangat menyesal, Miss Jamison," kata orang yang baru datang itu pada Allie, "tapi tidak saya sangka bahwa urusannya akan berlarut-larut sampai sejauh ini."

Jupiter berdiri.

"Anda sebenarnya siapa?" tanyanya.

"Akulah Dr. Barrister, dan mestinya kejadian ini sudah harus kuketahui dari semula. Aku menyangka mereka orang baik-baik saja yang ingin coba-coba menekuni ilmu gaib."

Allie terkesiap.

"Anda... Anda mencukur kumis!" katanya kemudian.

­Laki-laki yang selama itu dikenal dengan nama Bentley tersenyum, sambil menjamah sisi atas bibirnya.

"Itu hanya kumis palsu," katanya."Aku beranggapan bahwa aku perlu menyamar, jika ingin mengintip tanpa ketahuan!"





Bab 21 MARA DENGAN ILMU PUTIHNYA

­DI ruang duduk rumah keluarga Jamison, Dr. Barrister duduk sambil mengamat-amati patung kobra yang dipegangnya.

"Buatannya halus," katanya, "tapi mereka juga tidak menghadapi kalangan primitif. Boneka lilin takkan bisa meyakinkan."

"Pentingkah benda apa yang dipakai?" tanya Pete.

Dr. Barrister meletakkan patung ular itu.

"Sama sekali tidak, asal orang yang menjadi korban tahu bahwa ia diguna-gunai. Selebihnya disebabkan oleh pengaruh sugesti. Korban ketakutan, dan itu menyebabkan ia semakin merana."

"Bisakah Anda menolong?" tanya Allie."Bisakah Anda membuat Bibi Pat percaya bahwa Anda mampu menyingkirkan kutukan itu?"

"Aku? Tidak bisa. Apakah tampangku ini seperti dukun ?"

Anak-anak terpaksa mengakui kenyataan itu. Baik bernama Bentley, atau Barrister, orangnya tetap sama. Tenang dan sabar.

"Bibimu sudah melihatku, ketika sedang menyedot debu di rumah ini," katanya."Ia takkan percaya padaku. Tapi kurasa, Mara akan dipercayai olehnya. Mara sangat meyakinkan penampilannya. Ia kusuruh menunggu di dalam mobil. Seluruh urusan ini sudah kujelaskan padanya, dan ia tahu apa yang harus dilakukan"

"Dia itu dukun?" tanya Bob.

"Mara itu orang gipsi, dan kelihatannya memiliki bakat-bakat tertentu," kata Dr. Barrister."Misalnya saja, ia bisa menghilangkan kutil. Dan ia juga cukup berhasil, sebagai peramal nasib. Ia juga bisa mengembalikan kutukan pada orang yang mengirimkannya. Kalian nanti harus membantunya - tapi kurasa kalian pasti akan asyik. Sebentar - kupanggil saja dia sekarang."

Sarjana antropologi itu keluar. Tidak lama kemudian ia sudah kembali, bersama seorang wanita yang keriput. Rambut wanita itu diikat dengan sejumlah selampai. Itulah yang bernama Mara! Ia memakai blus merah muda yang sudah pudar warnanya. Gaun hijaunya yang lebar menyentuh ujung atas sepatunya yang nampak lecet kulitnya. Wanita itu menimbulkan kesan berdebu serta bau pakaian tua - tapi juga kecerahan. Matanya yang hitam berkilat-kilat, di bawah sepasang alis tebal.

Mara memungut patung ular yang terletak di atas meja.

"Ini bendanya?"

"Betul," kata Dr. Barrister.

"Hah!" kata Mara. Ia mengangguk ke arah anak-anak "Kita akan bekerja sama nanti," ­katanya pada mereka."Kalian lakukan apa yang kukatakan, tanpa mengatakan apa-apa. Mengerti?"

"Kami mengerti," kata Jupe.

"Apakah Bibi Pat ada di atas?"

"Ya," kata Allie.

"Kalau begitu kita ke atas sekarang." Mara melangkah ke tangga, sambil membawa patung ular.

"Astaganaga!" Bibi Mathilda berhadap-hadapan dengan Mara di kaki tangga. Kasihan, bibi Jupiter kaget setengah mati.

"Tenang sajalah, Bibi Mathilda," kata Jupiter menenangkan."Kenapa Bibi tidak menunggu di sini saja, dengan Dr. Barrister?"

"Dr. Barrister? Dokter yang biasa merawat Miss Osborne sudah datang? Kenapa tidak kaupanggil aku tadi? Mau apa lagi kalian?"

"Nanti akan dijelaskan oleh Dr. Barrister."

Jupiter menoleh ke arah guru besar itu."Ini bibi saya, Mrs. Jones. Ia yang selama ini mengurus Miss Osborne."

"Mrs. Jones," sapa Dr. Barrister."Yuk, kita duduk saja - nanti akan saya jelaskan. Anda takkan percaya, tapi segala-galanya akan saya lakukan."

Bibi Mathilda tetap berdiri.

"Jupiter," katanya, "kau harus menjelaskan sekarang ini juga -"

"Minggir!" kata Mara.

"Apaa?" teriak Bibi Mathilda

­"Ada urusan penting yang harus kulakukan," kata Mara. "Jika kau tidak minggir juga, nanti bisa menyesal."

Kedua wanita itu beradu mata. Tatapan mata Mara yang tegas, beradu dengan pandangan mata Bibi Mathilda yang galak. Selama beberapa detik, Bibi Mathilda menatap Mara sambil melotot Jupiter tercengang, ketika bibinya kemudian minggir. Mara ternyata memang memiliki bakat-bakat tertentu.

Wanita gipsi itu naik tangga ke tingkat atas, diantar oleh Allie ke kamar bibinya. Jupiter beserta kedua rekannya mengikuti dari belakang.

Pat Osborne baru melihat Mara, ketika wanita itu berseru dari kaki tempat tidur.

"Wahai, Terkutuk!" seru Mara. "Dengarkan suaraku, agar kau tetap hidup!"

Pat Osborne gemetar di bawah selimut yang menyelubungi tubuhnya.

"Tambah bantalnya," kata Mara pada Allie. "Letakkan beberapa bantal di bawah kepalanya, supaya ia bisa melihat kemari."

Allie bergegas mengambil tiga buah bantal. Dibantunya bibinya ke posisi setengah duduk. Kemudian diletakkannya ketiga bantal, sehingga mengganjal punggung Bibi Pat.

"Lihat!" Mara mengangkat patung kobra yang berwarna keemasan. "Inilah yang membawa malapetaka!"

Pat Osborne tersentak ketakutan.

­"Belial!' bisiknya."Kobra itu suruhan Belial!"

"Hah!" tukas Mara, dukun penangkal guna-guna. Aku punya sepuluh jin, yang masing-masing lebih kuat dari Belial! Tapi orang yang memanggil Belial, kini akan merasakan kutukan."

Wanita gipsi itu menghampiri Pat Osborne, lalu menyodorkan kobra kemilau itu padanya.

"Kau harus menggenggamnya!"

"Tidak! Jangan - aku tidak berani!"

"Kau harus memegangnya, Perempuan!" kata Mara dengan nada memerintah. Dipegangnya tangan Bibi Pat, lalu dirapatkannya jari-jari yang gemetar sehingga merangkum patung ular.

"Pegang erat-erat, jika kau ingin menyelamatkan dirimu sendiri!"

Untuk pertama kali nampak lagi sinar kehidupan pada diri Pat Osborne, yang dibangkitkan oleh pengharapan. Ia memegang patung kobra erat-erat.

Mara mengambil sebuah kantung kain berwarna hijau dari batik lipatan gaunnya yang lebar.

"Hijau warna musim semi," katanya pada Bibi Pat. "Warna kehidupan! Masukkan benda durjana itu ke dalam kantung hijau ini."

Bibi Pat mematuhi perintah itu, tanpa melepaskan pandangan dari wajah Mara.

"Bagus." Mara mengencangkan tali pengikat di ujung atas kantung, sehingga patung ular terbungkus di dalamnya.

"Kunci pintu," kata wanita itu pada Allie. "Setelah itu nyalakan sebatang lilin."

­Cukup banyak lilin di kamar itu, terpasang di segala tempat. Lilin hijau, lilin ungu, merah, dan putih.

"Ulin merah," kata Mara. "Merah mengandung kekuatan."

Allie menyalakan sebatang lilin merah.

"Sekarang jangan ada yang bicara," kata Mara.

Tidak ada yang berbicara sesudah itu. Hanya suara Mara sendiri yang terdengar. Ia berbicara dengan suara tinggi dan serak, dalam bahasa yang asing bagi keempat remaja yang ada di dalam kamar itu. Mara memegang kantung hijau yang membungkus kobra. Kata-katanya ditujukan pada kantung, dengan suara seperti menyanyi. Suaranya kadang-kadang terdengar seperti lagu buaian lembut, tapi sekali-sekali berubah menjadi ancaman keras.

Tiba-tiba dirapatkannya kantung hijau itu ke dadanya. Mara menyentakkan kepalanya ke belakang. Matanya berputar-putar liar. Kemudian ia ambruk ke lantai.

Bibi Pat memandang dengan mata terpentang lebar. Mulut Mara ternganga. Dari kerongkongannya keluar suara seram menggelegak, disusul serangkaian nada tinggi menusuk.

Mara, wanita kaum pengembara itu menyanyi. Ia menyuarakan nyanyian kobra. Sementara bunyi itu terdengar terus, Mara mengejat-ngejat. Punggungnya melengkung ke belakang, sehingga hanya tumit dan ujung kepalanya saja yang menyentuh lantai. Kemudian ia membalik-balik tubuh, berguling-guling sambil menimang-nimang kantung. Matanya nyalang tanpa melihat.

Selampai-selampai yang membungkus kepalanya terlepas satu demi satu. Rambutnya yang panjang dan beruban tergerai menutupi muka. Nyanyian terdengar berlarut-larut, semakin nyaring, semakin meninggi. Menusuk gendang telinga, serasa membekukan tulang.

Pat Osborne duduk lurus-lurus di tempat tidur. Tubuh Mara bergetar keras. Wanita itu memekik. Setelah itu tubuhnya langsung lunglai.

Anak-anak menunggu. Pat Osborne memandang. Wanita gipsi itu nampak seperti pulas.

"Jupiter!" Suara Bibi Mathilda berkumandang lantang di dalam ruangan di luar kamar."Jupiter! Apa yang sedang terjadi di dalam? Buka pintu!"

Mara mengerang, lalu duduk. Ia menggapai-gapai kantung hijau, yang ternyata masih ada di dalam genggamannya. Ia tersenyum.

"Aku melihatnya," katanya. "Ada seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Mukanya pucat lesi. Ia meronta-ronta. Tubuhnya terbelit kobra."

"Jupiter! Cepat, buka pintu!" seru Bibi Mathilda dari balik pintu.

Mara berdiri. Dihampirinya Pat Osborne, sambil membawa kantung yang sedari tadi dipegangnya.

"Seperti yang sudah kujanjikan," katanya.

Dengan gemetar. Miss Orborne membuka tali pengikat ujung kantung, lalu melihat ke dalam. Dipegang-pegangnya kantung itu digoncang-goncang. Kantung itu kosong!

"Jin-jinku kuat," kata Mara."Kobra sudah mengembalikan racun patukannya pada orang yang mengirimkannya. Kekuasaan Belial sudah berhasil dipatahkan, dan Belial kini kembali pada tuannya. Tidak ada lagi yang perlu kautakutkan."

Mara menghampiri pintu kamar, lalu membukanya.

"Kau boleh masuk sekarang." katanya pada Bibi Mathilda. "Perempuan yang di terlipat tidur sudah selamat."





Bab 22 UIAR YANG TERAKHIR

­"BENAR-BENAR BENAR ajaib." kata Allie pada Trio Detektif.

"Sebelum tidur tadi malam, Bibi Pat makan sup dengan biskuit, dan minum susu. Lalu pagi ini, dua butir telur. Sekarang ia sudah lapar lagi."

Allie mengambil dua iris roti dari panggangan, lalu mengolesi keduanya dengan mentega.

"Aku tidak tahu bagaimana jadinya, jika tidak ada bibimu yang membantuku selama ini," katanya pada Jupiter.

"Ia selalu bersedia membantu jika kau memerlukannya," kata Jupiter. "Tapi Bibi Mathilda tetap tidak bisa menerima kenyataan tentang kasus kobra menyanyi ini. Ia tetap tidak mau percaya, walau Dr. Barrister sudah bersusah payah berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Bibiku itu sekarang ada di perusahaan kami, sibuk dengan urusannya yang biasa, serta mengawasi pekerjaan Hans dan Konrad."

Allie meletakkan kedua iris roti panggang yang sudah diolesi mentega ke sebuah baki, lalu menuangkan susu ke dalam sebuah gelas.

"Kenapa kau sendiri tidak ada di sana?" tanyanya pada Jupiter."Aku mendapat kesan, bibimu juga tidak suka melihatmu tidak sibuk bekerja."

"Chief Reynolds tadi datang ke perusahaan," kata Jupe."Katanya, kami dipanggil lagi oleh polisi Los Angeles Kami ini hanya mampir sebentar di sini, dalam perjalanan ke sana"

"Ada kabar baru yang diceritakan Cheif Reynolds tadi?" tanya Allie.

"Ya - gelandangan gadungan itu kini sudah mendekam di rumah tahanan. Namanya Ellis," kata Bob.

"Memang itulah tempat yang pantas untuk pemasang bom," kata Allie.

"Menurut Chief Reynolds, orang itu mengoceh panjang lebar, dengan harapan akan mendapat keringanan," kata Pete. "Noxworth juga sudah mengaku. Polisi berhasil membekuk Hugo Ariel, serta laki-laki kasar yang bernama Max. Keduanya dijumpai di rumah Torrente Canyon. Noxworth mengaku tidak tahu-menahu bahwa mereka mengupah Ellis untuk menaruh bom di toko Hendricks. Sangkanya, hanya akan terjadi sesuatu untuk merongrong kelancaran usaha toko saingannya itu."

"Jadi semuanya sudah dibereskan," kata Allie menarik kesimpulan."Kecuali seorang lagi."

"Dr. Shaitan," kata Jupiter.

Allie duduk menghadap meja

"Shaitan tidak ikut terbekuk?"

"Orang itu tidak ada di Torrente Canyon," kata Jupe. "Ia menghilang dengan meninggalkan segala-galanya termasuk mobilnya Menurut dugaan Chief Reynolds, penipu itu pasti sudah lari ke Kanada."

Allie menyelipkan kakinya ke batang pijakan di kursi yang didudukinya.

"Pendapatmu bagaimana?" tanyanya.

"Kau masih klien kami," kata Jupiter Jones. "Kasus ini belum bisa kami tutup, selama Shaitan belum tertangkap."

"Kalau begitu, akan lama sekali kalian harus menunggu," kata seseorang dari arah pintu. Allie berpaling dengan cepat, sementara ketiga remaja lainnya berdiri seperti terpaku di tempat masing-masing.

Laki-laki yang dikenal dengan nama Dr. Shaitan berdiri di ambang pintu, membelakangi ruang tengah. Penampilannya persis seperti ketika anak-anak mengintip upacara yang dilangsungkan di dalam bilik bergorden hitam. Tapi kini jubahnya nampak kotor berdebu, dan penuh duri. T angannya yang langsing menggenggam pistol.

"Aku sekarang sembrono, dalam urusan mengunci pintu," kata Allie dengan getir. "Setiap orang bisa masuk seenaknya."

"Banyak orang yang masuk selama waktu-waktu belakangan ini," kata Shaitan. "Tapi mereka semua kini sudah pergi lagi, kan? Yang tinggal cuma kalian yang brengsek ini saja, serta perempuan tolol itu."

­"Kau tahu sekali tentang keadaan di sini," kata Jupiter Jones."Kau mengintai dari bukit yang di seberang padang rumput?"

Laki-laki itu memberi hormat pada Jupe, dengan membungkukkan badan.

"Pekerjaan itu melelahkan," katanya."Dan capek juga rasanya berjalan menyusur jalan-jalan setapak di perbukitan, menuju ke Rocky Beach. Namun aku merasa lebih aman pergi tanpa mobil, ketika kulihat mobil polisi masuk ke pekarangan rumahku."

"Aku ingin tahu, bagaimana kau sampai bisa minggat dari rumah di Torrente Canyon itu?" tanya Pete. "Kedua kaki-tanganmu, Ariel dan Max, dibekuk polisi di sana."

"Untungnya ketika mereka datang, aku sedang di kebun belakang."

"Lantas kau lari lewat tembok belakang, meninggalkan kawananmu yang tidak sempat melarikan diri," kata Bob.

"Siapa yang takkan berbuat begitu?" tukas Shaitan. "Perempuan tolol itu mestinya ada di atas, ya." Ia menggerakkan pistolnya. "Kalian berempat berjalan di depan, naik ke atas. Jika urusanku dengan Miss Osborne nanti sudah selesai, akan kujamin bahwa tidak ada yang bisa meninggalkan tempat ini untuk beberapa waktu."

"Tak kuizinkan kau mendatangi bibiku," kata Allie tanpa gentar.

"Orang itu bersenjata api, Allie!" kata Pete memperingatkan.

­"Biar! Sudah cukup banyak penderitaan yang disebabkan oleh perbuatannya. Ia takkan kuberi kesempatan melihatnya."

Allie berkacak pinggang, sambil menatap lurus ke arah muka Shaitan yang nampak capek.

"Aku tahu apa yang kauingini," kata gadis tabah itu. "Kau menginginkan kalung Ratu Eugenie. Barang itu tidak ada di sini, dan Bibi Pat tidak tahu apa-apa lagi mengenainya - jadi sekarang keluar! Kau sudah mendapat semua yang bisa kauperoleh."

"Jika disimpan di dalam bank, atau di toko permata, bisa saja diambil," kata Shaitan dengan tenang."Miss Osborne akan menelepon ke sana. Tapi jika disembunyikan di sini, itu bisa dicari."

"Kalung itu bukan di -"

"Allie!" seru Jupe.

Tatapan mata Shaitan beralih ke Jupiter sekejap, lalu berpindah lagi ke Allie.

"Kau hendak mengatakan, bukan di bank," kata orang itu."Jadi di toko permata? Tidak - kurasa juga bukan di situ. Dan di dalam rumah ini, juga tidak? Nah - di mana rasanya kalung berharga seperti itu bisa disembunyikan?" Shaitan menggerakkan tangan yang memegang pistol, menyuruh Jupiter dan kedua temannya mundur. Setelah itu dihampirinya Allie, sampai dekat sekali. "Kau tahu di mana. Kau harus mengatakannya padaku."

Allie mundur.

"Aku tidak tahu."

­"Tentu saja kau tahu. Kau tahu di mana saja barang itu tidak ada, jadi mestinya kau tahu di mana tempatnya disembunyikan." Tangan kanannya masih menggenggam pistol. Tapi tahu-tahu tangan kirinya bergerak dengan cepat mencengkeram bahu Allie."Di mana kalung itu?"

"Lepaskan anak itu!" teriak Pete.

"Aku takkan mengatakannya," jerit Allie. "Persetan denganmu!"

"Kau pasti akan mengatakannya." Shaitan memperkeras cengkeramannya. Allie digoncang-goncang olehnya.

"Jangan kausakiti dia!" seru Bob.

Di luar, terdengar bunyi kaki kuda Appaloosa kesayangan Allie mengentak-ngentak di dalam kandangnya. Ringkikannya terdengar jelas.

"Suara apa itu?" tanya Shaitan.

"Cuma Queenie saja," kata Allie."Kudaku."

"Ah, kuda Appaloosa itu," kata Shaitan."Ya, aku tahu tentang kudamu itu. Kau sangat menyayanginya, dan ia... ia dikandangkan di dalam garasi."

Keempat remaja itu membisu.

"Bukan di rumah, tapi di dalam garasi," kata Shaitan. "Ya - kalung itu disembunyikan di dalam garasi, tempat barang itu tidak bisa diambil tanpa menyebabkan kudamu merasa terganggu. Itu kan yang kaulakukan?"

Allie meronta, membebaskan diri dari cengkeraman.

"Kalian semua - keluar!" bentak Shaitan. Dari arah luar terdengar ringkikan kuda lagi. ­

"Ayo cepat!" kata Shaitan memerintah. "Ke garasi, lalu tunjukkan tempat kalung itu disembunyikan!"

"Tidak mau!" Allie sudah hampir menangis.

"Turuti katanya, Allie," kata Jupe."Kau kan tidak kebal peluru."

"Takkan berani ia menembak," kata Bob.

"Kita lihat saja," kata Shaitan. Digiringnya keempat remaja itu ke luar lewat pintu belakang, lalu menyeberang ke garasi. Pintu garasi terbuka sedikit. Jupiter mementangkannya lebar-lebar, lalu masuk bersama yang lain-lainnya.

"Sekarang, di mana kau menyembunyikannya?" bentak Shaitan.

Begitu melihat Allie, Queenie langsung meringkik, sambil menggerak-gerakkan kepalanya naik turun.

Shaitan memandang kuda betina itu. "Tidak mungkin kausembunyikan di dalam istal," katanya, "karena risikonya terlalu besar. Ikut termakan, atau terinjak. Sebentar - bagaimana kalau di dalam jerami? Mungkin saja. Atau di palung tempat makanan?"

Allie terkesiap sedikit.

"Dalam palung!" seru Shaitan, ketika melihat reaksi gadis itu."Kau menyembunyikannya di dalam tempat makanan kudamu!"

Dengan ketus disuruhnya Jupiter, Bob, dan Pete mundur, berdiri di sisi istal. Setelah itu didorongnya Allie ke arah palung.

­"Ayo ambil!" katanya. Suaranya dingin menyayat. "Masukkan tanganmu ke dalam, dan ambil kalung itu - kalau tidak ingin lenganmu kupatahkan!"

Saat itu Pete bergerak dengan sembunyi-sembunyi. Tanpa memandang Queenie, dibukanya pengancing pintu istal.

"Ambil!" bentak Shaitan sekali lagi. Dicengkeramnya pergelangan tangan Allie, lalu dipilinnya ke belakang.

"Kau menyakitiku!" teriak gadis itu.

Pete menggeser ke samping, sambil memandang Queenie. Telinga kuda Appaloosa itu ditarik ke belakang, rapat ke kepala.

"Ayo, Queenie!" seru Pete, sambil mementangkan pintu istal.

Queenie melesat seperti setan belang. Kuku-kukunya terdengar menghentak di lantai semen garasi. Detik berikut, kedua kaki depannya sudah terangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak liar di hadapan Shaitan. Kuda betina itu meringkik keras. Ringkikan kuda yang marah, atau ketakutan. Shaitan melepaskan Allie.

"Pergi!" teriak laki-laki itu. Pistolnya bergerak, hendak dibidikkan ke arah kuda.

Allie bereaksi secepat kilat Ditepiskannya tangan Shaitan yang menggenggam pistol.

Senjata api itu menyalak. Bunyinya menggema di dalam garasi. Terdengar desingan peluru membentur lantai, lalu terpental mengenai dinding.

­Kuku kaki-kaki depan Queenie membentur lantai semen. Kepalanya yang besar menyodok maju. Kuda betina itu mengangakan mulutnya yang lebar. Giginya yang besar-besar dikatupkan. mencengkeram lengan Shaitan.

Laki-laki itu terpekik kesakitan. Pistol terlepas dari genggamannya, jatuh meluncur di atas lantai semen. Jupiter membungkuk sambil terus mengawasi Shaitan, yang berusaha membebaskan diri dari gigitan Queenie. Jupiter memungut pistol.

"Beres, Allie!" serunya."Jauhkan kudamu."

Allie lari menghampiri Queenie, lalu merangkul lehernya.

"Tenang, Manis!" katanya."Lepaskan! Tenang!"

Kuda Appaloosa itu melepaskan Shaitan. Dukun jahat itu terhenyak ke sudut garasi. Lengannya yang cedera dirapatkan ke tubuhnya.

Jupiter mengambil posisi mencegat di dekat pintu.

"Jangan coba-coba lari," katanya dengan suara pelan tapi pasti."Aku bukan penembak ulung, jadi mungkin saja akibat tembakanku nanti akan lebih gawat dari yang kumaksudkan."

Shaitan menatap pistol yang ada di tangan Jupiter. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya duduk terhenyak dengan napas tersengal-sengal, sambil memegang lengannya yang cedera.

"Kupanggil Chief Reynolds sekarang," kata Bob, sambil melangkah ke pintu."Paling lama lima menit lagi, ia pasti akan sudah ada di sini."

­"Tidak perlu buru-buru," kata Jupiter Jones dengan riang.

Pete memandang Queenie sambil nyengir gembira. Allie membujuk-bujuk kuda itu, masuk kembali ke istal.

"Dari semula aku sudah menduga bahwa ia tidak segan-segan menggigit," kata Pete. "Tapi tak kusangka bahwa itu akan menolong kita!"

­Bab 23 LAPORAN PADA ALFRED HITCHCOCK

"AKU meminta kalian datang, terdorong rasa ingin tahu," kata Alfred Hitchcock.

Sutradara film yang terkenal itu menepuk-nepuk tumpukan surat kabar yang ada di mejanya. Ditatapnya ketiga anggota Trio Detektif dengan pandangan menyelidik."Aku membaca berita tentang kasus pemboman yang terjadi di Los Angeles. Saksi mata tindakan makar itu tiga remaja pria dari Rocky Beach, serta seorang gadis yang sebaya dengan kalian. Nama para remaja di bawah umur itu tidak diumumkan."

Bob menyodorkan sebuah map ke hadapan Mr. Hitchcock.

"Memang kamilah yang waktu itu ada di sana," katanya

"Sedang sibuk melakukan pengusutan, ya?" kata Mr. Hitchcock."Itu sudah kuduga." Dibukanya map, lalu disimaknya catatan Bob tentang Misteri Nyanyian Kobra.

Hanya bunyi kertas digeser saja yang terdengar selama beberapa waktu. Akhirnya Mr. Hitchcock memandang ketiga remaja itu lagi.

"Catatan ini tidak lengkap."

­"Saya memang belum selesai," kata Bob.

Mr. Hitchcock mendengus.

"Luar biasa - apa saja yang dipercayai orang," katanya. "Kurasa kobra yang kalian lihat sewaktu mengintip upacara di Torrente Canyon itu merupakan hasil teknik tertentu, ya?"

"Mereka memasang proyektor-proyektor di langit-langit, untuk menimbulkan wujud ular besar di tengah kepulan asap tebal," kata Pete. "Rasanya memang tidak mungkin - karena mestinya kan diperlukan kaca mata khusus agar ular yang muncul itu bisa kelihatan seperti benar-benar hidup. Tapi asap yang bergerak-gerak, menimbulkan kesan seperti yang diinginkan. Ular yang muncul itu kelihatan seperti benar-benar hidup.

"Bahkan kami pun ikut terkecoh," kata Jupiter. "Sedang orang-orang, yang ikut di dalam upacara, memang sudah percaya bahwa kobra itu akan muncul. Dan nyanyiannya harus ada, guna menutupi bunyi motor proyektor yang berputar."

"Segala-galanya, biasanya memang ada ­­penjelasannya yang logis," kata Mr. Hitchcock. "Lalu dengan cara bagaimana ular itu bisa menyany?"

"Itu urusan Ariel," kata Jupe. "Mulanya kami menyangka bahwa suara nyanyian itu ditimbulkannya dengan bantuan alat tertentu. Tapi ternyata tidak. Ia dulu artis, yang tampil dengan kemahirannya memindahkan suara. Ia bisa menimbulkan berbagai suara, tanpa mulutnya sedikit pun nampak bergerak-gerak. Ketika Mara melakukan hal yang sama, kami bisa melihat siapa sebenarnya yang menyanyi."

"Mara itu banyak bakatnya, ya?"

"Ya, banyak," kata Jupiter membenarkan. "Ia sangat pandai meniru. Dalam perjalanan ke Rocky Beach, Dr. Barrister memutar pita hasil rekaman yang diambilnya dari upacara Persekutuan Lingkar Bawah yang dilangsungkan di ruang makan rumah Allie. Dan setelah mendengar sekali itu saja, Mara sudah bisa menirukan nyanyian kobra, sebelum mereka sampai di rumah Allie.

"Mara juga main sulap dengan patung kobra, yang dimasukkan oleh Miss Osborne ke dalam kantung hijau yang disodorkannya pada wanita itu. Mara tidak mau mengaku ketika ditanya, tapi Dr. Barrister merasa yakin bahwa ia menyembunyikan sebuah kantung yang serupa di dalam gaunnya. Kedua kantung itu dipertukarkannya saat ia sedang berguling-guling di lantai. Kantung yang kosong kemudian diserahkannya pada Miss Osborne, sedang yang berisi patung ular disembunyikan."

"Itu teknik sulap yang sudah kuno," kata Mr. Hitchcock. "Apakah Dr. Barrister mengatakan pada kalian, apa sebabnya ia begitu tertarik pada Miss Osborne. serta pada persekutuan konyol itu?"

"Ia sedang menyusun buku, tentang psikologi takhyul," kata Jupiter menjelaskan. "Ia mengenal hampir semua kelompok klenik yang aneh-aneh di Los Angeles, karena itu memang bidang keilmuannya. Ia bahkan pernah menjadi anggota dari berbagai sekte yang begitu. Miss Osborne juga begitu pula. Dr. Barrister sudah sering melihatnya - sebelum ia menjadi Bentley pelayan yang baru. Kemudian Miss Osborne mengundurkan diri dari segala persekutuan itu. Ia, dan Madelyn Enderby."

"Dan itu menimbulkan rasa ingin tahunya?" tanya Mr. Hitchcock.

"Betul, karena itu tidak sesuai dengan pola umum. Miss Osborne kelihatan sekali mencari-cari sesuatu yang istimewa di dalam segala kelompok aneh itu, serupa seperti wanita yang satu lagi, yaitu Madelyn Enderby. Dr. Barrister langsung ingin tahu, apakah sesuatu yang istimewa itu telah mereka temukan dalam kelompok lain. Ia kemudian menyuruh istrinya merawatkan rambut di salon yang dikelola Miss Enderby. Untungnya, Madelyn Enderby senang mengobrol. Banyak yang diceritakannya tentang persekutuan yang baru dimasukinya. Dr. Barrister berhasil memperoleh berbagai data, berupa nama-nama orang dan tempat. Ia mengecek para anggota yang disebutkan oleh penata rambut itu. Ternyata semuanya tergolong kaum berharta."

"Ia merasa curiga karenanya?" tanya Mr. Hitchcock.

"Mula-mula, belum! Disangkanya mereka itu cuma kumpulan golongan berada yang membayar mahal untuk duduk di rumah yang di Torrente Canyon, untuk mendengar nyanyian kobra. Itu bukan hal yang aneh. Tapi ketika mencoba, ternyata bahwa ia tidak bisa masuk ke situ. Keanggotaan persekutuan itu khusus melalui undangan, dan tidak ada yang mengundang Dr. Barrister - atau istrinya. Rupanya Shaitan sempat mengecek siapa sarjana itu, dan menarik kesimpulan bahwa orang itu berbahaya.

"Karenanya Dr. Barrister kemudian terpaksa menjadi pengamat saja. Kegiatannya itu beralih menjadi mengintip, yaitu ketika Hugo Ariel pindah ke rumah keluarga Jamison, di Rocky Beach. Dr. Barrister juga sangat tertarik pada tokoh Pat Osborne. Wanita itu merupakan subyek yang sangat memikat bagi orang yang ingin menulis buku tentang psikologi takhyul. Miss Osborne lain d­ari para anggota selebihnya, karena uangnya tidak bisa dibilang banyak. Tapi Shaitan rupanya tahu bahwa kerabat wanita itu berharta."

"Siapakah yang menyebarkan berita bahwa pembantu yang lama di rumah keluarga Jamison sudah minta berhenti? Madelyn Enderby?" tanya Mr. Hitchcock.

"Ya, memang dia. Dan saat itulah Dr. Barrister mendapat gagasan memasang kumis palsu yang tebal itu, lalu masuk ke rumah keluarga Jamison dengan cara mengaku bernama Bentley, dengan tujuan mengamat-amati Miss Osborne. Dr. Barrister yang sedang menyamar jadi pelayan mulai merasa tidak enak setelah Mrs. Compton mengalami kecelakaan, dan Miss Osborne menyuruhnya membawa kalung yang sedang diincar ke toko permata."

Bob menyela penuturan Jupiter yang panjang lebar. ­"Mulai saat itulah ia berkeliaran di sekitar rumah yang di Torrente Canyon," katanya."Ia ada di sana ketika Allie, Pete, dan saya sendiri lari melompati pagar. Ia melihat lampu-lampu sorot yang dinyalakan, serta bunyi bel tanda bahaya. Untung ia masih ada di tempat itu, ketika Jupiter kemudian lari ke luar."

"Orang yang berguna dijadikan teman," kata Alfred Hitchcock."Kasihan - ia terpaksa menyingkir dari rumah keluarga Jamison, setelah kalian menggeledah apartemennya di Santa Monica. Tapi untuk apa apartemen itu sebenarnya? Kata kalian, ia bertempat tinggal di Ruxton."

"Itu cuma untuk mengaburkan jejak saja," kata Pete. "Ia memerlukan tempat tinggal di dekat Rocky Beach, untuk berjaga-jaga jika ada yang mengecek dirinya. Di samping itu, katanya tempat itu tenang, sehingga ia bisa bekerja tanpa gangguan. Anaknya ada empat."

Mr. Hitchcock terkekeh.

"Jadi itu bagian dari samarannya, seperti kumis yang tebal," katanya.

"Padahal itu sebetulnya tidak perlu," kata Jupiter. "Berkumis atau tidak, saya rasa Pat Osborne takkan bisa mengenalinya lagi. Tampang Dr. Barrister biasa-biasa saja - jadi gampang dilupakan."

"Lalu ketika kalian memerlukan dukun ilmu putih, tanpa tersangka kalian menelepon dia," kata Mr. Hitchcock.

­"Itu memang kebetulan sekali," kata Jupe. "Kami tidak perlu lagi memberi penjelasan panjang lebar. Lalu ia memiliki rekaman suara nyanyian kobra, yang kemudian ditirukan oleh Mara dengan jalan mendengarkan sekali saja. Polisi memanfaatkan catatannya untuk menghubungi semua anggota persekutuan, yang kemudian diminta datang untuk mengenali para penjahat."

"Anda mestinya ikut hadir waktu itu!" kata Pete dengan nada geli. "Kocak sekali air muka para anggota persekutuan konyol itu, ketika melihat Shaitan tanpa jubah dan selubung kepala. Orang itu mukanya seperti tuyul kesasar. Namanya yang sebenarnya Henry Longstreet. Tapi juga dikenal dengan julukan Harry the Dip, karena dulu ia pencopet. Ariel, nama aslinya Johnny Boye. Ia pernah ditangkap, karena menjual obat pengilap palsu di suatu pelataran parkir. Orang yang bernama Max dulunya pembongkar rumah. Sedang Ellis, yang menjadi pelaku sebenarnya di dalam peristiwa bom serta yang mengutik-utik roda mobil Mrs. Compton - bagi pihak kepolisian, dia itu langganan lama. Ia mau disuruh melakukan apa saja, asal dibayar."

"Kesemuanya ini diceritakan oleh Allie pada bibinya," sambung Jupiter. "Tapi percuma saja, Miss Osborne yang sekarang sudah bisa duduk-duduk di emperan, sudah tidak sabar lagi menunggu saat ia bisa ke Hollywood, untuk mendatangi Mara dan minta diramalkan peruntungannya."

"Payah," kata Mr. Hitchcock mengomentari. "Tapi apa sebetulnya yang terjadi dengan wanita pemilik tempat tinggal Miss Enderby?"

"Tidak ada apa-apa," kata Bob. "Ia pergi ke Dubuque, karena diminta datang oleh saudaranya yang tinggal di sana. Mungkin itu merupakan kemujuran baginya, tapi Miss Enderby menyangka pasti Belial yang mengatur sehingga itu yang terjadi. Dan tidak ada yang mengatakan, sangkaannya itu omong kosong."

"Bagaimana dengan orang yang takut kalau ada gedung bertingkat tinggi dibangun di samping tanah miliknya?"

"Tanah di situ tidak cukup kokoh, sehingga tidak menguntungkan jika dijadikan tempat pembangunan gedung bertingkat tinggi," kata Jupe. "Mereka mengatakan, itu karena pengaruh Belial."

"Ada satu yang menyenangkan di dalam segala kejadian itu," kata Pete."Bola kristal yang mengawali segala kesulitan - akhirnya dibeli oleh Allie. Bibinya tidak mau memiliki benda itu lagi - setelah segala hal yang terjadi - jadi Allie kemudian membawanya ke rumah sakit, lalu memberikannya pada Mrs. Compton."

"Itu sikap yang layak dipuji," kata Mr. Hitchcock, sambil mengangguk puas.

"Ya, memang," kata Pete. "Allie itu sebenarnya anak baik - tapi walau begitu saya rasanya akan lega jika musim gugur nanti ia pergi untuk bersekolah di internat. Kami akan bisa lagi memakai Kelana Gerbang Merah. Kecuali itu, kalau dia ada, hati ini rasanya tegang terus. Kemampuannya berbohong luar biasa! Belum lagi adatnya, yang selalu ingin menang sendiri."

"Kelihatannya memang begitu," kata Mr. Hitchcock, "tapi kan ada imbangannya. Misalnya saja, jika ia diperlakukan dengan ramah, mungkin ia akan mengizinkan kalian menunggang kudanya."

"Terima kasih," kata Pete sambil mengernyitkan hidung, "tapi daripada duduk di atas punggung kuda Appaloosa itu, mendingan saya tinggal di rumah saja!"

Selesai