Trio Detektif - Misteri Nyanyian Kobra(1)


 MISTERI NYANYIAN KOBRA


Ebook by Kiageng80
Edit by: zheraf
http://www.zheraf.net

KATA PENDAHULUAN

SELAMAT datang, para penggemar misteri! Kita berjumpa lagi, untuk bersama-sama mengikuti suatu kasus baru dan menarik, yang ditangani Trio Detektif. Mereka memakai semboyan, 'Kami Menyelidiki Apa Saja'. Jika dari semula mereka sudah tahu apa yang akan dihadapi ketika mereka mulai tertarik untuk menangani kasus aneh yang menyangkut suara nyanyian ular, mungkin saja mereka kemudian lekas-lekas mengubah semboyan mereka!

Tapi pokoknya, sekali ini mereka terjerumus ke dalam dunia sihir yang gelap, dalam mana misteri dan berbagai siasat tersembunyi membawa mereka dari teka-teki yang satu ke teka-teki berikut - sudahlah cukup sebegini saja! Aku tidak suka disebut pengoceh. Aku sudah berjanji tidak akan terlalu banyak bercerita di sini, dan janji itu harus kutepati.

Aku hanya masih ingin mengatakan bahwa Trio Detektif terdiri dari tiga remaja pria, yaitu Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Mereka tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di California, hanya beberapa mil saja dari kota pusat perfilman Amerika, Hollywood. Mereka bermarkas di sebuah karavan usang yang terdapat di Jones Salvage Yard, sebuah perusahaan barang bekas milik paman dan bibi Jupiter.

Ketiga remaja itu merupakan tim yang tangguh. Jupiter berotak cerdas dan tangkas dalam menarik kesimpulan. Pete lebih mengandalkan kekuatan jasmani. Ia juga tabah. Sedang Bob cenderung bercorak ilmuwan, dan merupakan peneliti yang sangat tekun. Mereka bertiga sudah berulang kali berhasil menyingkap berbagai misteri yang aneh.

Nah - sekarang nikmatilah kasus misteri mereka yang terbaru!

­ALFRED HITCHCOCK

Bab 1 ­GADIS PENONGGANG KUDA BURIK

"AKU sebenarnya lebih suka, jika kau tidak datang ke meja makan untuk sarapan dengan memakai celana renang, Jupiter," kata Bibi Mathilda Jones.

Jupiter menyingsingkan lengan baju kaus hangatnya, lalu meraih minuman sari jeruk yang sudah disediakan untuknya.

"Aku akan berenang dengan Bob dan Pete," katanya."Sebentar lagi mereka datang."

Paman Titus Jones, yang duduk berseberangan dengan Jupiter, menyingkirkan remah roti dari kumis hitamnya yang panjang.

"Jangan terlalu banyak makan," katanya memperingatkan Jupiter."Tidak baik, berenang dengan perut terisi penuh."

"Ya. nanti bisa kejang," kata Bibi Mathilda. Setelah itu ia menepikan cangkir kopinya, lalu membalik-balik halaman surat kabar Los Angeles Times.

Jupiter mengambil seiris roti panggang

"Wah - bukan main!" kata Bibi Mathilda. Kemudian terdengar desahannya.

Jupiter menoleh dengan sikap ingin tahu. Bukan kebiasaan Bibi Mathilda. mendesah seperti itu.

­"Ketika film itu mulai beredar, umurku baru tujuh belas tahun," kata Bibi Mathilda."Aku waktu itu menontonnya di Odeon."

Paman Titus hanya bisa melongo saja.

"Kurasa ada seminggu aku tidak bisa tidur, setelah itu," kata Bibi Mathilda lagi. Ia menyodorkan harian itu ke seberang meja, memberikannya pada Paman Titus. Jupiter berdiri, lalu ikut melihat dari balik punggung pamannya. Ia melihat foto seorang pria bertubuh kurus, dengan tulang pipi menonjol, hidung lancip, serta mata berwarna gelap yang menatap tajam. Dalam foto, pria itu sedang menekuri sebuah bola kristal yang memancarkan sinar pendar.

"Ramon Castillo, dalam film Sarang Vampir," kata Jupiter."Kemahirannya dalam seni tata rias, hebat sekali!"

Bibi Mathilda bergidik."Kau mesti melihatnya, dalam Jeritan Manusia Serigala," katanya.

"Aku sudah melihatnya," jawab Jupiter."Film itu diputar di televisi, sebulan yang lalu."

Sementara itu Paman Titus sudah selesai membaca berita yang berhubungan dengan foto aktor pemain watak yang sudah almarhum itu.

"Di sini dikatakan bahwa pelelangan harta milik Castillo akan diadakan tanggal dua puluh satu," kata Paman Titus."Aku ingin datang menghadirinya."

Kening Bibi Mathilda berkerut, memikirkan pemberitahuan suaminya. Ia tahu, Paman Titus ­sangat menyukai pelelangan. Ia juga tahu bahwa Jones Salvage Yard, perusahaan barang bekas milik mereka berdua, terkenal karena barang-barangnya yang sulit didapat di tempat lain. Orang-orang berdatangan ke perusahaan mereka itu untuk mencari apa saja: balok-balok besi, bak rendam model kuno, dan jam matahari yang antik. Tapi beberapa di antara barang pembelian Paman Titus yang tergolong lebih luar biasa, terbukti kemudian sukar dijual lagi. Sedang Bibi Mathilda berpedoman teguh bahwa usaha mereka harus menghasilkan keuntungan.

"Seluruh harta milik Castillo akan dilelang," kata Paman Titus."Semua kostumnya, dan bahkan bola kristal yang dipergunakannya dalam Sarang Vampir."

"Ada orang yang mengkhususkan diri berdagang barang-barang begitu," kata Bibi Mathilda."Di samping itu, penawaran pasti akan tinggi nanti."

"Ya, kurasa memang begitu," Paman Titus meletakkan surat kabar itu ke samping."Para pengumpul pasti akan datang berduyun-duyun."

"Itu sudah pasti." Bibi Mathilda berdiri, lalu membereskan meja. Ketika melangkah ke tempat cuci piring, tiba-tiba ia tertegun, lalu memasang telinga. Di luar terdengar derap langkah kuda. Datangnya dari arah jalan.

"Gadis keluarga Jamison," kata Bibi Mathilda dengan nada pasti

­Jupiter pergi ke jendela, lalu memandang ke luar. Ternyata memang gadis keluarga Jamison. Dan seperti biasa gadis itu menunggang kuda buriknya. Kuda itu berjalan dengan kepala terangkat tinggi. Jenisnya betina, berbulu burik coklat, dengan bercak putih pada paha sebelah belakang.

"Kudanya bagus," kata Jupiter."Khas kuda trah Appaloosa."

Ia tidak mengatakan apa-apa tentang penunggangnya, yaitu gadis yang duduk lurus-lurus di atas pelana, tanpa menoleh ke kiri maupun ke kanan.

"Kurasa mereka hendak berpacu di pantai," kata Bibi Mathilda."Anak itu pasti kesepian. Menurut Marie, orang tuanya ada di Eropa."

"Ya, aku tahu," kata Jupe. Marie, wanita yang disebut oleh Bibi Mathilda itu pembantu rumah tangga keluarga Jamison. Marie bersahabat dengan Bibi Mathilda. Sore hari kalau sedang bebas tugas, Marie sering datang untuk minum teh bersama Bibi Mathilda, sambil bercerita tentang seluk-beluk keluarga Jamison.

Berkat Marie, Jupe tahu bahwa setelah Mr. Jamison membeli gedung Littlefield yang sudah tua beberapa bulan yang lalu, ia kemudian tidak mempedulikan ongkos di dalam usaha pemugaran bangunan itu. Ia tahu bahwa lampu gantung di ruang makan, dulunya menghiasi sebuah istana di Wina, begitu pula bahwa Mrs. Jamison memiliki sebuah kalung berlian, yang pernah memperindah leher Ratu Eugenie. Jupiter tahu bahwa gadis yang menunggang kuda Appaloosa tadi bernama Allie, putri keluarga Jamison, dan bahwa kuda betina itu miliknya pribadi. Jupe bahkan tahu pula, bahwa saat itu seorang bibi Allie yang datang dari Los Angeles merupakan kepala rumah tangga di gedung besar itu. Dan menurut pendapat Marie, bibi itu sangat aneh.

Gadis bersama kudanya lenyap dari pandangan, karena membelok di tikungan. Tumpukan piring yang sedari tadi dipegang terus oleh Bibi Mathilda, diletakkan ke tempat cuci.

"Tidak ada salahnya, jika kau Mencoba bersikap ramah pada gadis itu," katanya pada Jupe "Keluarga Jamison, tinggalnya cuma tiga blok saja dari sini. Kita bisa dibilang bertetangga dengan mereka."

"Tapi sikapnya tidak terlalu ramah-tamah," kata Jupe."Kudengar, ia hanya berbicara dengan kuda-kudanya saja."

"Mungkin anak itu pemalu," kata Bibi Mathilda.

Jupiter tidak menjawab lagi, karena saat itu Bob Andrews nampak datang naik sepeda, bersama Pete Crenshaw. Bob dan Pete memakai sepatu tenis yang sudah kumuh celana berenang, serta baju kaus hangat berlengan panjang. Sama seperti dandanan Jupiter.

"Aku pergi dulu," kata Jupiter pada bibinya, lalu bergegas ke luar untuk menyongsong kedua temannya.

­Ketiga remaja itu langsung berangkat. Jupiter menggenjot pedal sepedanya. dengan napas terengah-engah Ketika masih kanak-kanak, ia pernah ikut main film. Julukannya waktu itu, "Baby Fatso" - Bayi Gendut. Kini pun masih nampak jelas, kenapa ia mendapat julukan begitu. Tapi walau tubuhnya tidak bisa dibilang langsing, ia lebih dulu sampai di sudut jalan. Ia membelok, memasuki jalan pendek menuruni bukit, menuju Jalan Raya Pesisir.

Tiba-tiba Pete berseru memperingatkan.

"Awas!"

Terdengar ringkikan kuda yang ketakutan. Jupiter melihat suatu sosok besar menegakkan diri di depannya. Dengan serta-merta Jupiter melindungi kepalanya dengan kedua lengan. Saat terjatuh, ia masih sempat melempar tubuh ke samping. Sepedanya terbanting ke aspal.

Ia mendengar suara teriakan lagi. Bunyinya lebih tinggi dan halus. Bukan jeritan binatang. Sesaat kemudian, sepasang kaki berkuku keras membentur aspal, nyaris mengenai kepala Jupiter.

Jupe berguling menjauh, lalu duduk. Kuda Appaloosa itu melangkah mundur sambil berjingkrak-jingkrak, dengan telinga dirapatkan ke belakang kepala. Gadis keluarga Jamison tergeletak di jalan.

Bob dan Pete melepaskan sepeda mereka, sementara Jupiter buru-buru berdiri. Mereka bertiga bergegas menghampiri gadis itu. Pete membungkuk. lalu menyentuh bahu gadis yang tergeletak itu.

Gadis itu tersengal-sengal, berusaha menarik napas. Ia berhasil mengisi paru-parunya dengan udara, lalu ia berteriak,

"Jangan sentuh aku!" teriaknya.

"Sudah." kata Bob dengan lembut "tenang sajalah dulu!"

Gadis itu duduk. Ia mencengkeram lututnya. Nampak darah mengalir, menembus sobekan pada celana jeans-nya yang sudah pudar warnanya. Matanya kering. Tapi napasnya tersengal-sengal, kedengarannya hampir seperti sedang menangis.

"Napasmu terdesak ke luar ketika jatuh tadi," kata Pete.

Gadis itu tidak mengacuhkannya. Ia menatap Jupiter dengan mata melotot.

"Tidak tahu, ya. bahwa kuda berhak lewat lebih dulu?" tukasnya.

"Maaf," kata Jupiter."Aku tadi tidak melihatmu."

Gadis itu berdiri dengan susah-payah. Ia memandang kudanya, lalu melotot lagi ke arah Jupiter. Bola mata gadis itu berwarna coklat muda - sewarna dengan rambutnya yang panjang. Tapi saat itu sinarnya dingin, penuh kemarahan.

"Jika kudaku sampai cedera..,"' katanya dengan nada menuduh.

"Kurasa kudamu itu sama sekali tidak apa-apa," balas Jupiter dengan nada kaku.

­Gadis itu berjalan terpincang-pincang, menghampiri kudanya.

"Tenang, Manis!" serunya."Sini, Manis! Tenang!"

Kuda betina itu datang menghampiri, lalu menaruh kepalanya yang besar ke bahu gadis itu.

"Kau tadi terkejut karena mereka?" tanya gadis itu. Ia mengelus-elus surai kudanya.

Saat itu Bu Mathilda muncul di ujung atas jalan."Jupiter! Pete, Bob! Apa yang terjadi?"

Gadis keluarga Jamison menepuk-nepuk kudanya lagi, lalu mencoba naik sambil berpegangan pada pelana. Kuda itu mundur selangkah.

"Tolong pegang kudanya, Pete," kata Jupe."Biar kubantu dia naik."

"Aku tidak perlu dibantu!" tukas gadis itu.

Sementara itu Bibi Mathilda datang menghampiri. Dipandangnya Allie Jamison - rambutnya yang kusut, celana jeans yang robek serta lutut yang berdarah.

"Apa yang terjadi tadi?" tanyanya.

"Mereka menyebabkan kudaku terkejut," kata gadis itu.

"Lalu ia terpelanting," kata Pete menyambung.

"Kecelakaan," ujar Jupe.

"O, begitu! Jupiter, bilang pada pamanmu, agar ia kemari dengan salah satu truk kita. Akan kuantar Miss Jamison pulang, supaya lututnya bisa diobati."

"Aku tidak perlu diantar pulang," kata Allie Jamison.

­"Truknya, Jupiter," kata Bibi Mathilda."Dan kau, Pete, kaupegang tali kekang kuda itu."

"Ia menggigit tidak?" tanya Pete.

"Tentu saja tidak," kata Bibi Mathilda dengan tandas. Padahal ia bisa dibilang tidak tahu apa-apa tentang kuda."Kuda tidak menggigit - tapi menendang."

"Hebat!" kata Pete, sambil mengeluh.

­Bab 2 TAMU MALAM HARI

­KETIKA Bob, Pete, dan Jupiter sampai di rumah keluarga Jamison sambil menuntun kuda Appaloosa, mereka melihat bahwa kendaraan truk dari perusahaan sudah ada di jalan masuk yang beralas batu bata. Gadis Jamison tidak nampak, dan begitu pula halnya dengan Bibi Mathilda. Pete memperhatikan pilar-pilar kokoh yang menunjang atap beranda depan.

"Sayang Bibi Mathilda tidak memakai gaun lebarnya hari ini," katanya.

Jupe terkekeh.

"Memang - kelihatannya seperti gedung zaman dulu, di daerah Louisiana," katanya.

"Gedung daerah Selatan yang tua dan besar," kata Bob."Di mana, ya - letak bagian untuk kuda?"

Pete menuding ke arah belakang rumah."Di sana ada lapangan yang dipagari," katanya.

"Baiklah," kata Jupe. Mereka membimbing kuda memasuki pekarangan, lalu melewati emperan terbuka dengan lantai batu ubin besar, dan dinaungi tumbuhan merambat.

­Di belakang rumah, jalan setapak beralas batu bata melebar, bersambungan dengan pekarangan belakang yang beralas batu bata pula. Di samping lapangan yang dipagari terdapat sebuah garasi berpintu tiga. Salah satu pintu gandanya terbuka, menampakkan sebuah istal di dalamnya. Beberapa buah takal tergantung pada sangkutan yang terpasang di dinding.

Pintu belakang rumah terbuka. Marie, pembantu di rumah itu, nampak menjenguk ke luar.

"Anak-anak! Tolong buka pelana Indian Queen, lalu bawa dia ke lapangan, ya? Setelah itu masuklah ke rumah. Miss Osborne ingin bertemu dengan kalian."

Pete memandang kuda itu.

"Indian Queen?" katanya, dengan nada bertanya.

"Kurasa Allie Jamison memanggilnya dengan Queenie," kata Jupe."Itu menurut cerita Marie pada Bibi Mathilda."

"Miss Osborne itu siapa?" tanya Bob.

"Dialah bibi yang tinggal di sini, selama Mr. dan Mrs. Jamison ada di Eropa," kata Jupe menjelaskan."Menurut Marie, orangnya agak aneh."

"Aneh bagaimana?"

"Bagaimana persisnya, aku tidak tahu - tapi menurut Marie, ada sesuatu yang aneh pada diri wanita itu. Kita nanti bisa menilainya sendiri, karena sebentar lagi akan berjumpa dengan dia."

Jupiter menurunkan pelana dari punggung kuda. Bob membukakan pintu pagar lapangan, dan kuda itu berlari-lari kecil ke tengah rerumputan yang tumbuh di situ. Jupe menaruh pelana di tempatnya di dalam garasi, sedang tali kekang digantungkannya pada sebuah sangkutan. Kemudian ketiga remaja itu membuka pintu belakang rumah, dan melangkah masuk ke sebuah dapur yang lapang dan terang.

Lewat dapur, mereka sampai di sebuah serambi tengah yang luas. Di serambi itu ada tangga menuju tingkat atas. Di kiri serambi terdapat ruang makan. Lampu gantung termasyhur dengan hiasan-hiasan kristalnya yang bergelantungan terpasang di situ. Di sisi luar ruang makan terhampar emperan yang diteduhi tanaman merambat. Sedang di sisi kanan serambi tengah terdapat ruang duduk. Warna utama di ruangan itu hijau pucat yang dikombinasikan dengan warna-warna keemasan. Sebuah pintu yang ada di ujung seberang ruangan itu membuka ke sebuah ruangan berpanel kayu lapis. Buku-buku nampak berjejer memenuhi dinding di situ.

Allie Jamison ada di ruang duduk. Gadis itu berbaring membujur di atas sofa, dengan sehelai handuk di bawah tungkai. Di sisinya duduk seorang wanita yang umurnya kira-kira sebaya dengan Bibi Mathilda - atau mungkin juga agak lebih tua sedikit. Wanita itu memakai gaun panjang dari bahan beledu berwarna ungu, yang pinggir bagian lehernya dihiasi semacam pita perak. Rambutnya putih kebiruan.

­"Bibi Pat, Ibu pasti mengamuk jika sofa ini sampai dikotori darah dari lukaku," kata Allie."Lebih baik aku ke atas saja, dan..."

"Sudah, kau berbaring dengan tenang saja dulu di sini. Kau baru saja mengalami kejutan " Wanita setengah baya itu tidak menoleh ketika Jupiter masuk ke situ bersama kedua kawannya. Jupe melihat bahwa tangan wanita itu gemetar, ketika memotong kaki celana jeans gadis itu dari bagian lutut."Aduh, masih berdarah," kata wanita itu.

"Parah juga luka parutan itu," kata Bibi Mathilda, yang sementara itu sudah duduk di sebuah kursi di dekat pendiangan."Tapi bagi anak-anak, luka begitu bukan apa-apa."

"Aku memerlukan sarang labah-labah," kata wanita tadi.

"Sarang labah-labah?" kata Bibi Mathilda mengulangi.

"Sarang labah-labah?" kata Marie menimpali. Ia ada di dekat sofa, menating sebuah pasu berisi air.

Bob dan Pete beringsut dengan sikap kikuk. Pete menoleh ke arah Jupiter dengan pandangan bertanya. Jupiter tersenyum.

"Sarang labah-labah," katanya pada Marie."Itu - jaringan, yang. dibuat labah-labah untuk menjebak mangsa."

Air muka Marie langsung menjadi semu merah. Nampak bahwa perasaannya tersinggung.

"Di dalam rumah ini tidak ada sarang labah-labah. Aku selalu menyemprot, seminggu sekali."

­"Wah, sayang," kata wanita yang bergaun ungu.

"Yah - kalau begitu, tolong ambilkan pot berwarna emas dari kotak obatku."

Marie mengambil barang yang diminta. Baru saat itulah wanita bergaun ungu seolah-olah menyadari kehadiran Jupiter serta kedua kawannya.

"Terima kasih atas pertolongan kalian," katanya."Tapi kesemuanya ini sebenarnya bisa dicegah, jika ia tadi memakai syalnya yang ungu. Warna ungu itu berkhasiat sebagai pelindung."

"Ya, tentu saja," kata Jupiter.

Sementara itu Marie sudah kembali, membawa sebuah pot kecil bersepuh emas.

"Ini mestinya sudah cukup," kata bibi Allie."Memang tidak sebaik sarang labah-labah, tapi cukup manjur. Aku sendiri yang meramunya." Ia membuka tutup pot, lalu mengoleskan sejenis cairan bening yang ada di dalamnya ke lutut Allie yang luka.

"Apa kata Ikatan Dokter Amerika nanti, kalau tahu lukaku ini diobati dengan cara begini?" tanya Allie.

"Percaya sajalah, obatku ini pasti manjur," kata Miss Osborne."Ramuannya kukumpulkan malam hari, saat bulan gelap. - Nah, lihatlah, perdarahan sudah terhenti."

"Tidak enak perasaanku mengatakannya, Bibi Pat," kata gadis itu, "tapi dari tadi memang sudah tidak berdarah lagi, sebelum lumpur itu kauoleskan. Nah, apa lagi sekarang? Kita memesan kursi beroda?"

"Kurasa perlu dibalut.." kata Miss Osborne.

"Biar aku sendiri saja yang membalut. Itu pekerjaan gampang." Allie berdiri, lalu menuju ke serambi tengah. Jupiter, Bob, dan Pete dilewatinya saja, seolah-olah mereka tidak nampak. Tapi sesampai di kaki tangga, gadis itu berhenti.

"Terima kasih," katanya."Maksudku, atas pertolongan menuntun Indian Queen pulang."

"Itu soal kecil," kata Pete, yang tadi selalu berusaha tidak terlalu dekat pada kuda itu.

Allie menaiki tangga, menuju ke atas.

"Aku tahu pasti, Allie sebenarnya sangat berterima kasih pada kalian," kata Miss Osborne."Saat ini ia perasaannya agak terguncang, sedang kalian begitu baik hati, dan... wah, aku sampai belum mengetahui nama kalian."

Bibi Mathilda bangkit.

"Saya Mrs. Titus Jones, dan ini keponakan saya Jupiter Jones. Dan kedua anak itu, masing-masing Pete Crenshaw, dan Bob Andrews."

Miss Osborne menatap Jupe, dengan mata terbuka lebar.

"Jupiter Jones! Astaga - kau kan Baby Fatso!"

Jupe merasa tidak enak, julukannya ketika masih bermain film itu diungkit-ungkit. Ia merasa mukanya memerah.

"Bekas tokoh paling muda di dunia," kata Pete sambil tersenyum.

­"Asyiknya - pernah termasuk dalam dunia perfilman yang menarik itu!" kata Miss Osborne dengan nada kagum. Pandangannya kemudian beralih. melayang ke arah jendela."Itu Mr. Ariel!" serunya.

Bibi Mathilda berpaling ke arah jendela, diikuti oleh Jupiter dan kedua temannya. Di jalan ada sebuah taksi, yang rupanya baru saja datang. Seorang pria dengan setelan serba hitam turun dari kendaraan itu. Menurut perasaan Jupiter ketika melihatnya, baru sekali itulah ia melihat wajah yang begitu pucat. Orang itu kelihatannya seperti selalu hidup di dalam gua yang dalam, tidak pernah terkena sinar matahari.

Sambil menjinjing sebuah koper, orang itu menyusuri jalan masuk, menuju ke pintu depan.

"Ternyata ia toh akan tinggal di sini!" Terdengar jelas bahwa Miss Osborne merasa girang."Itulah yang kuharap-harap selama ini."

"Kami tidak ingin mengganggu," kata Bibi Mathilda."Kami memang juga sudah hendak pergi." Sebelum Miss Osborne sempat mengatakan apa-apa lagi, Bibi Mathilda sudah menggiring anak-anak ke luar lewat pintu depan, lalu melintasi beranda. Mereka berpapasan dengan laki-laki berpakaian serba hitam tadi di jalan setapak menuju pintu depan.

Bibi Mathilda berhenti sebentar, sebelum naik ke kabin truk.

"Jika kalian masih hendak pergi berenang, lebih baik cepat-cepat saja berangkat sekarang," katanya."Kalian ingin kuantar sampai ke tempat sepeda kalian?"

"Terima kasih, tapi kami berjalan kaki saja ke sana," jawab Jupiter.

"Belum pernah kualami hal seperti itu!" Bibi Mathilda menggeleng-geleng."Sarang labah-labah untuk mengobati luka! Bayangkan!" Ia naik ke kabin truk, lalu menutup pintunya dengan keras.

"Itu obat tradisional, untuk menghentikan perdarahan," kata Jupiter. Ia banyak membaca dan kepalanya penuh dengan berbagai macam informasi.

"Ih'" kata Bibi Mathilda dengan nada ngeri, lalu mengundurkan truk ke luar dari pekarangan.

"Dan aneh," kata Pete."Marie memang benar. Bibi Allie Jamison tadi memang wanita yang sangat aneh."

"Setidak-tidaknya. percaya sekali pada takhyul," kata Jupiter menanggapi.

Setelah itu disingkirkannya persoalan tentang Allie Jamison dari pikirannya. Baru larut malam, ketika sudah hampir terlelap, Jupiter terkenang kembali pada keluarga Jamison, serta pot berisi ramuan obat - rempah-rempah yang dikumpulkan saat bulan sedang gelap. Jupiter tersenyum, sambil menarik selimut sampai ke dagu. Ia sudah hampir terlelap, ketika tiba-tiba terdengar pintu rumah digedor-gedor.

"Mrs. Jones! Buka pintu, Mrs. Jones!"

Jupiter meloncat dari tempat tidurnya. Disambarnya mantel kamarnya, lalu ia bergegas ke serambi depan. Dilihatnya Bibi Mathilda sudah sampai di pertengahan tangga, diikuti oleh Paman Titus. Jupiter membuntuti mereka. Dilihatnya bibinya membuka pintu.

Marie, pembantu di rumah keluarga Jamison, melangkah masuk dengan terburu-buru, sampai nyaris terjatuh.

"Aduh, Mrs. Jones!" katanya. Suaranya seperti sudah hampir menangis. Wanita itu hanya mengenakan mantel kamar serta selop.

"Ada apa, Marie?" tanya Bibi Mathilda.

"Bolehkah aku tidur di sini malam ini?" kata Marie memelas. Ia merebahkan diri ke sebuah kursi, lalu menangis.

"Ada apa, Marie?"

"Nyanyian itu!"

"Apa?" kata Bibi Mathilda. Ia masih belum mengerti.

"Nyanyian." Marie meremas-remas tangannya."Ada sesuatu yang menyanyi di dalam rumah." Ia menyambar lengan Bibi Mathilda, lalu memegangnya erat-erat."Menyeramkan! Belum pernah kudengar suara seperti itu Aku tidak mau kembali ke sana!"

­Bab 3 CALON KLIEN YANG MENGOTOT

­DENGAN lembut, Bibi Mathilda membebaskan lengannya dari cengkeraman Marie.

"Akan kutelepon rumah keluarga Jamison" katanya memberi tahu.

Marie terisak.

"Teleponlah ke sana," katanya, "tapi aku tidak mau di suruh kembali!"

Bibi Mathilda memutar nomor telepon keluarga Jamison. Ternyata Miss Patricia Osborne yang menerima Pembicaraan berlangsung dengan singkat.

"Menurut Miss Osborne, ia sama sekali tidak mendengar bunyi aneh," kata Bibi Mathilda sambil mengembalikan gagang telepon ke tempatnya.

"Tidak aneh, jika Miss Osborne mengatakan begitu!" tukas Marie.

"Apa maksud Anda?" tanya Bibi Mathilda.

"Maksudku... maksudku, ia memang aneh - dan di rumah itu terjadi hal-hal yang aneh, dan karenanya aku tidak mau kembali ke sana. Biar bagaimana, aku tetap tidak mau!"

Marie tidak mau berbicara lagi tentang urusan itu. Dan ia juga memang tidak kembali. Malam itu ia tidur di kamar tidur tamu. Paginya Paman Titus pergi ke rumah keluarga Jamison untuk menjemput koper-koper berisi segala milik Marie yang sudah dikemaskan sebelumnya oleh Allie Jamison.

Setelah itu Marie diantar oleh Paman Titus ke rumah ibunya, di Los Angeles.

"Apa ya. yang didengar Marie tadi malam?" kata Jupiter, ketika wanita itu sudah pergi.

Bibi Mathilda menanggapi ucapan itu dengan gerakan mengangkat bahu saja. .

Jupiter masih saja bertanya-tanya dalam hati beberapa hari kemudian, ketika menjelang tengah hari ia menyeberangi jalan, dari rumah menuju perusahaan barang bekas. Hans dan Konrad, kedua pemuda Jerman yang membantu di perusahaan itu, nampaknya sedang membersihkan sekeping marmer, yang merupakan rak sebelah atas tempat pendiangan. Paman Titus membeli barang itu dari para pekerja yang sedang membongkar sebuah rumah yang terbakar habis, di kawasan perbukitan kota Hollywood.

"Pete ada di bengkelmu," kata Hans.

"Ia hendak memakai mesin cetak," kata Konrad menambahkan.

Jupiter mengangguk. Ia tidak perlu diberi tahu lagi bahwa mesin itu sedang bekerja. Ia sendiri yang merakitnya dari berbagai bagian yang sudah tidak terpakai lagi. Dan walau mesin cetak itu bisa bekerja dengan cukup baik, tapi bunyinya berisik.

Begitu memasuki pekarangan Jones Salvage Yard lewat gerbang utama, ia langsung mendengar ­bunyi dentang dan decit yang dikenal baik olehnya.

Jupiter berjalan dengan cepat menuju bengkelnya yang terletak di luar, melewati tumpukan kayu bekas serta balok-balok baja. Bengkel itu menempati sebuah pojok pekarangan yang tidak bisa dilihat dari bagian utama, yang merupakan lingkungan khusus bagi Bibi Mathilda. Bengkel itu terlindung dari jalanan oleh pagar papan tinggi yang mengelilingi seluruh kompleks perusahaan. Dan sebagai pelindung terhadap gangguan cuaca buruk, di atasnya ada atap selebar hampir dua meter. Atap itu terpasang mengelilingi sisi dalam pagar. Paman Titus yang membangunnya, untuk melindungi barang-barang loak yang paling berharga.

Sesampai di bengkel, Jupiter menjumpai Pete Crenshaw sedang bekerja dengan tekun. Ia berdiri agak membungkuk di depan mesin cetak, memasukkan setumpuk kartu nama. Jupe memungut satu di antaranya, lalu menelitinya. Pada kartu itu tertera kata-kata berikut:

­TRIO DETEKTIF

"Kami Menyelidiki Apa Saja"

? ? ?

­Penyelidik Satu Jupiter Jones

Penyelidik Dua Pete Crenshaw

Catatan dan Riset Bob Andrews

­"Nah - puas. Satu?" kata Pete. Dimatikannya mesin cetak.

­Jupiter mengangguk.

"Rapi," katanya."Dan puas rasanya mengetahui bahwa perusahaan Trio Detektif ternyata begitu berhasil. Sewaktu kita mulai dulu, aku menyangsikan apakah kita akan pernah sampai perlu menambah cadangan kartu nama kita."

Pete tidak mengomentari ucapan itu. Ia tidak bisa dibilang bersikap yakin, sewaktu menggabungkan diri dengan Jupiter Jones dan Bob Andrews, untuk mendirikan Trio Detektif. Tapi kemampuan deduksi Jupiter yang hebat, ditambah bakat Bob untuk melakukan penelitian secara terperinci, begitu pula ketangguhan dirinya sendiri di segi jasmaniah, kemudian terbukti merupakan kombinasi yang ampuh. Ketiga detektif remaja itu berhasil menyingkap tabir berbagai misteri, yang oleh kalangan orang dewasa sering dianggap tidak mungkin bisa dipecahkan.

Ketiga penyelidik remaja itu berkantor di sebuah karavan sepanjang sepuluh meter, yang letaknya tersembunyi di balik tumpukan barang bekas, tidak jauh dari bengkel. Paman Titus menghadiahkan karavan itu pada mereka, setelah melihat bahwa keadaannya sudah terlalu rusak, sehingga tidak mungkin bisa dijual lagi. Dan anak-anak kemudian membetulkannya, disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Di dalamnya ada laboratorium kecil untuk meneliti benda-benda bukti, serta kamar gelap untuk mencuci foto. Lalu ada pula ruang kantor untuk tempat rapat, serta pesawat telepon yang biayanya ditanggung sendiri oleh mereka, dengan uang hasil membantu bekerja di perusahaan. Lemari-lemari arsip ada pula di situ. Bob yang bertugas menangani arsip, berupa laporan lengkap tentang berbagai kasus yang pernah ditangani Trio Detektif.

"Kesibukan kita selama ini selalu mengasyikkan," kata Pete setelah beberapa saat.

"Memang," kata Jupiter Jones sependapat.

Diperhatikannya ketiga tanda tanya yang tertera pada kartu nama yang sedang dipegang.

"Lambang yang dikenal di mana pun juga, untuk hal-hal yang tidak diketahui," katanya sambil menatap."Tanda tanya selalu membangkitkan perasaan ingin tahu. Misteri selalu menimbulkan rasa ingin tahu. Misalnya saja - saat ini aku ingin tahu tentang Marie."

"Wanita pembantu di rumah keluarga Jamison itu?" tanya Pete.

"Ya, betul! Suara apakah yang didengarnya di dalam rumah itu, yang menyebabkan ia ketakutan? Betul-betul anehkah suara itu - atau ia saat itu terlalu dipengaruhi perasaannya sendiri? Ia mengatakan bahwa Miss Osborne aneh - tapi ia tidak pernah menjelaskan alasannya."

"Miss Osborne membubuhkan sarang labah-labah pada luka," kata Pete.

Tiba-tiba Jupiter mengangkat tangannya memberi isyarat agar waspada. Dari arah tumpukan barang bekas yang memisahkan lingkungan bengkel dari kompleks perusahaan yang selebihnya, terdengar bunyi pelan yang mencurigakan.

Dengan cepat Pete keluar dari bengkel. Sesaat kemudian terdengar suaranya berseru dengan nada agak kaget.

"Aku tadi memang merasa seperti mencium bau kuda!"

Allie Jamison masuk ke bengkel dengan langkah jengkel, diikuti oleh Pete.

"Hahh, lucu!" tukas gadis itu.

"Sudah berapa lama kau di situ tadi mendengarkan percakapan kami?" tanya Jupiter.

"Cukup lama," jawab gadis itu. Tanpa menunggu dipersilakan, ia langsung duduk di sebuah kursi tua, di dekat mesin cetak.

"Cukup lama untuk apa?" tanya Jupiter dengan nada datar.

Gadis itu mengambil selembar kartu nama dari tumpukan yang terdapat di atas mesin cetak, lalu mengamat-amatinya sejenak.

"Uang sakuku tidak mencukupi, untuk menyewa seorang detektif dari Perusahaan Pinkerton," katanya."Bagaimana tarif kalian?"

"Kau hendak menyewa tenaga Trio Detektif?" tanya Jupe.

"Ya, mulai saat ini."

"Kami perlu tahu lebih banyak dulu tentang urusannya, sebelum memutuskan apakah kami berminat atau tidak," kata Jupiter Jones.

"Kalian berminat," balas Allie."Aku tadi mendengarkan percakapan kalian jadi aku tahu bahwa kalian berminat. Kalian ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada malam saat Marie lari dari rumah. Di samping itu, kalian tidak punya pilihan lain."

"Apa lagi maksudmu dengan ucapan itu?" tanya Pete.

"Kalian mulai sembrono," kata Allie."Di pagar sisi belakang tempat ini ada lukisan kebakaran tahun 1905 di San Francisco"

"Kejadiannya tahun 1906," kata Jupiter.

"Masa bodoh! Yang penting. di dalam lukisan itu ada gambar seekor anjing kecil. Pagar itu sudah kuteliti. Jika jari dimasukkan lewat lubang mata kayu pada bagian mata anjing itu, sebuah pintu rahasia pada pagar itu akan bisa dibuka. Kalian mempunyai jalan masuk rahasia ke tempat ini. Apakah bibi kalian mengetahuinya?"

"Pemerasan!" seru Pete.

"Bukan, bukan pemerasan," kata gadis itu."Aku tidak menginginkan uang. Aku bahkan akan membayar kalian. Yang kuinginkan adalah pertolongan, dan kudengar kalian yang paling berbakat di kota ini - meski itu tidak banyak artinya."

"Terima kasih!" tukas Pete dengan masam.

"Kembali! Nah - sekarang, maukah kalian membantu aku, atau perlukah aku bercerita pada bibimu?"

Jupiter menghenyakkan diri ke atas sebuah kotak kosong.

"Apa tepatnya yang kauingini?" tanyanya.

­"Aku ingin agar Hugo Ariel pergi dari rumah kami," kata Allie dengan cepat."Aku seram melihatnya."

"Ariel? Bukankah ia yang datang ketika kau jatuh dari kuda? Mukanya pucat dan pakaiannya serba hitam?"

"Ya, itulah orang yang kumaksudkan. Mukanya pucat, karena ia tidak pernah ke luar rumah saat siang hari. Kurasa ayahnya tikus mondok."

"Ia datang ke rumahmu pagi itu, ketika kau mengalami kecelakaan. Lalu malamnya, Marie minggat dari sana." Jupiter menarik-narik bibir bawahnya."Ia memang mendengar bunyi aneh," katanya menduga."Bunyi itu benar-benar ada, dan bukan cuma khayalannya saja."

"Betul." Dengan tiba-tiba, Allie Jamison tidak kelihatan bersikap penuh keyakinan lagi. Ia melipat-lipat kartu nama Trio Detektif dengan tingkah gelisah, lalu membentangkan kembali.

"Bunyi itu ada sangkut-pautnya dengan Ariel," katanya lambat-lambat."Ialah yang menimbulkan bunyi itu - dengan salah satu cara. Sebelum ia datang, aku tak pernah mendengar bunyi itu."

"Ia sekarang masih ada di rumahmu?" tanya Pete.

"Ya - dan Bibi Pat nampaknya menganggap dia hebat. Tapi bibiku itu memang sudah benar-benar sinting. Bahkan sebelum Ariel muncul, ia sudah biasa saban malam menggoreskan lingkaran dengan pisau, mengelilingi tempat tidurnya. Itu gunanya untuk menjauhkan pengaruh-pengaruh jahat, katanya. Dan kini ia mulai dengan kebiasaan baru. Menyalakan lilin - sejumlah besar lilin. Lilin istimewa, dipesan khusus dari sebuah toko di Hollywood. Warnanya macam-macam. Ungu untuk memberi perlindungan. Biru lain lagi khasiatnya. Oranye mengandung arti baik, sedang merah sangat kuat. Setiap malam Bibi Pat masuk ke ruang perpustakaan bersama Ariel. Setelah mengunci pintu. mereka menyalakan lilin-lilin."

"Setelah itu?" kata Jupiter.

"Setelah itu, kadang-kadang kudengar bunyi itu," Allie bergidik sebentar."Aku bahkan bisa mendengarnya apabila aku berada di tingkat atas. Tapi paling jelas, jika aku berada di ruang duduk. Datangnya dari ruang perpustakaan."

"Kata Marie, suaranya seperti nyanyian," kata Jupe.

­Ia menunduk, mengamat-amati tangannya."Bisa Juga dibilang begitu, tapi... tapi aku belum pernah mendengar nyanyian seperti begitu Benar-benar seram!"

Kening Jupiter berkerut.

"Menurut Marie, ada sesuatu yang menyanyi. Ia tidak mengatakan seseorang, melainkan sesuatu! Ia seakan-akan hendak mengatakan, yang terdengar itu bukan suara orang."

Allie menegakkan punggungnya. lalu menatap Jupiter lurus-lurus.

"Soal itu tidak penting," katanya mantap."Pokoknya, Ariel yang dengan salah satu cara menimbulkan bunyi itu, dan aku tidak tahan mendengarnya. Bunyi itu harus dihentikan!"

"Sebegitu menyeramkan?"

"Ya, sangat menyeramkan. Sampai-sampai tidak ada pembantu yang tahan lama di rumah kami. Sejak Marie pergi, agen perantara sudah dua kali mengirimkan pengganti. Tapi kedua-duanya langsung minta berhenti lagi. Debu kini sudah bertumpuk di dalam rumah, dan aku kelaparan terus. Soalnya, aku tidak bisa memasak. Sedang Bibi Pat - ia lebih parah lagi! Lalu aku juga tidak boleh bersuara agak ribut, karena Ariel tidur sepanjang hari, sedang malam hari ia berkeliaran di dalam rumah. Aku tidak suka dibegitukan, dan karenanya aku ingin agar ia pergi!"

"Mengusir tamu yang tidak menyenangkan, tidak bisa dibilang termasuk tugas yang kami tangani," kata Jupe."Bagaimana jika kau berbicara saja dengan Miss Osborne...."

"Aku sudah berbicara dengan Bibi Pat, sampai kerongkonganku kering," kata Allie."Tapi ia cuma tersenyum saja padaku - seolah-olah aku ini yang sinting -lalu mengalihkan pembicaraan, bercerita tentang sampah filmnya."

"Sampah film?" kata Pete mengulangi.

"Bibiku itu mengumpulkan bermacam-macam kenangan dari film-film tua," kata Allie menjelaskan."Ia mengumpulkan apa saja, mulai dari bulu mata palsu yang dipakai Della LaFonte dalam film Demam Musim Semi, sampai-sampai pedang yang dipergunakan John Maybanks dalam Pembalasan Marko. Setiap kali ada bintang film pindah rumah dan melelang barang-barang miliknya, Bibi Pat ­selalu hadir di situ. Uangnya semua habis ke situ saja."

"Menurutku, itu merupakan kegemaran yang sama sekali tidak berbahaya," kata Jupe.

"Menyalakan lilin juga begitu halnya, " kata Allie mengetengahkan."Cuma jika Ariel ikut datang dengan lilin-lilin itu, bagiku itu sudah keterlaluan! Ia harus pergi - bersama bunyinya yang seram itu!"

Pete menyandarkan diri ke mesin cetak.

"Urusan ini bisa saja mengasyikkan, Jupe," katanya.."Misalnya saja kita ambil seprai dari tempat tidur Ariel, atau kita masukkan kodok ke dalam bak mandinya, atau ular yang tak berbisa ke dalam sepatunya."

"Kurasa ia malah akan senang karenanya," kata Allie. sambil mendengus."Yang kuingini ialah menjebaknya, sehingga mau tidak mau ia harus pergi!"

"Pemerasan lagi?" kata Jupiter dengan datar.

"Salahnya sendiri, kenapa seenaknya saja datang tanpa kuundang. Tapi aku tidak berhasil menemukan apa-apa tentang dirinya! Ia tidak pernah bicara denganku - ia bahkan seolah-olah sama sekali tidak melihatku. Sedang Bibi Pat, ia tidak mau mengatakan apa-apa. Tapi ada sesuatu yang tidak beres dengan orang itu, sedang Bibi Pat tidak mau aku mengetahuinya."

"Tapi jika bibimu sudah tahu -" kata Pete

"Apa yang diketahui Bibi Pat, tidak mungkin ­benar-benar brengsek," kata Allie memotong, "sebab jika begitu, ia takkan mau Ariel datang. Bibiku itu bisa dibilang agak goblok, tapi orangnya baik hati, Aku menginginkan informasi tertentu yang bisa kupakai untuk membuatnya menyingkir. Aku perlu tahu dari mana ia berasal, dan apa yang sedang direncanakan olehnya. Itulah tugas kalian.

"Sekarang dengar baik-baik. Malam ini Bibi Pat akan mengadakan pesta di rumah. Sedari tadi ia sibuk mengundang orang lewat telepon, sementara Ariel asyik mencampur minuman. Jika ternyata nanti memang ada pesta, maka pasti ada orang-orang lain di rumah. Mungkin dari mereka, kita akan bisa memperoleh petunjuk tentang Ariel. Jadi, karena pesta itu diadakan di rumahku, kalian juga kuundang."

"Apakah kami nanti juga mencicipi minuman yang diramu oleh Ariel itu?" tanya Pete.

"Tidak. Kalian jangan membaurkan diri dengan para tamu. Kalian hanya mengamat-amati saja. Kemudian kalian buntuti para tamu ke tempat tinggal mereka - atau melakukan apa yang sebaiknya dilakukan. Itu kita putuskan nanti! Kutunggu kedatangan kalian pukul delapan, di dekat garasi. Ambil jalan pintas lewat belakang, supaya tidak ada yang melihat kalian dari dalam rumah." Allie berdiri lagi."Kalian lebih baik datang nanti," katanya memperingatkan, "sebab kalau tidak, aku akan terpaksa bicara dengan Mrs. Jones, tentang jalan masuk rahasia itu."

­Jupe dan Pete membisu, sambil mendengarkan langkah gadis itu menjauh, melintasi pekarangan perusahaan.

"Senang atau tidak senang, kita mendapat klien baru," kata Jupiter kemudian.

Digeserkan kisi-kisi yang ada di belakang mesin cetak. Kini nampak ujung sebuah pipa saluran besar, yang sisi dalamnya dilapisi potongan-potongan permadani. Itulah Lorong Dua, lorong rahasia lainnya yang ada di perusahaan barang bekas itu. Lorong itu menjorok di bawah tumpukan barang rombengan yang menutupi karavan yang merupakan markas Trio Detektif. Ujung seberang pipa saluran itu berakhir pada sebuah tingkap, yang terpasang di lantai karavan.

"Apa yang hendak kaulakukan?" tanya Pete.

"Kurasa pagi ini Bob tidak bekerja di perpustakaan. Aku hendak meneleponnya, untuk mengatakan bahwa kita bertiga diundang untuk menghadiri pesta."

"Aku ikut" kata Pete."Aku hendak memaku papan-papan lepas di pagar sebelah belakang itu. Tidak enak rasanya kehilangan Kelana Gerbang Merah - tapi tidak ada pilihan lain bagi kita, selama Allie Jamison ada di sekitar sini."

­Bab 4 NYANYIAN KOBRA

­­­HARI sudah remang-remang gelap, ketika Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews berjalan kaki lewat di depan rumah keluarga Jamison.

"Rupanya bukan pesta besar," kata Jupiter.

Tiga buah mobil diparkir di depan rumah itu. Sebuah mobil model sport berwarna oranye, sebuah station wagon hijau dan sebuah sedan coklat yang berdebu.

Setelah melewati rumah, ketiga remaja itu melintasi lewat sebidang tanah kosong, menuju garasi yang letaknya di belakang rumah keluarga Jamison. Allie Jamison ada di sana, menunggu mereka.

"Kelompok itu sudah berkumpul," katanya memberi tahu."Mereka ada di ruang makan sedang pintu emperan dibuka. Sekarang ikutlah - tapi jangan sampai berisik."

Para remaja itu menyelinap lewat pekarangan belakang yang dialasi batu bata, menyusur jalan samping ke emperan yang dinaungi tumbuhan merambat. Sesampai di tepi emperan, Allie berhenti.

Jupiter menyibakkan tumbuhan yang merintangi ke samping, lalu dari posisi di belakang Allie memandang ke ruang makan.

Apa yang dilihatnya di situ, sedikit pun tidak menyerupai pesta mana saja yang pernah dilihatnya. Di ruangan itu ada lima orang, yang berdiri sambil membisu mengelilingi meja Miss Osborne memakai gaun panjang berwarna ungu, dengan lengan lebar serta leher tinggi. Ia berhadap-hadapan dengan laki-laki yang bernama Hugo Ariel. Pria itu berpakaian serba hitam, serupa seperti ketika Jupiter dan kedua temannya melihatnya untuk pertama kali. Wajahnya yang pucat nampak kemilau diterangi cahaya dua batang lilin panjang berwarna merah, yang ditancapkan pada gagang-gagang lilin yang terbuat dari perak masif. Rambutnya yang hitam dipangkas pendek, tapi disikat ke depan, sehingga kelihatan seperti sulur-sulur kecil yang menjulur ke arah alisnya yang tebal.

Di sebelah kiri Ariel berdiri seorang wanita bertubuh kurus, mengenakan gaun oranye. Ia juga mengecat rambutnya, seperti Miss Osborne. Tapi warna yang dipilihnya tidak tepat. Warna merah nyala beradu menyolok dengan gaunnya yang oranye.

Di seberang wanita berambut merah itu nampak seorang nyonya berambut pirang. Gaunnya yang hijau pucat, nampak terlalu kecil untuk tubuhnya yang tidak bisa disebut langsing. Dan di sampingnya berdiri orang kelima dalam kelompok itu. Ia kelihatan tidak cocok di situ. Sementara yang selebihnya berdiri tegak - seolah-olah menunggu sesuatu - orang itu bersikap lunglai. Yang lain-lain nampak jelas berdandan untuk pesta itu. Hanya ia sendiri yang tidak. Jaketnya nampak lusuh, sedang baju kausnya yang nampak sedikit di ujung atas kemeja sportnya yang terbuka pada bagian leher, rasanya sudah sangat perlu dicuci. Rambutnya yang jarang dan beruban nampak gondrong.

Allie memberi isyarat pada ketiga remaja yang menyertainya, untuk ikut menjauh sedikit. Ketika sudah agak jauh, gadis itu berhenti lagi

"Asyik, ya, kelompok itu," katanya.

"Mereka cuma akan berdiri begitu saja di situ?" tanya Pete.

"Entah, aku juga tidak tahu," kata Allie."Aku tadi sempat berkeliaran di antara para tamu, sampai Ariel mulai memandang ke arahku dengan tatapan matanya yang khas. Laki-laki berpakaian kumuh itu pemilik sebuah toko makanan. Namanya Noxworth. Perempuan kurus bergaun oranye itu Madelyn Enderby, penata rambut Bibi Pat. Katanya, getarannya akan baik jika memakai warna oranye. Kurasa ucapannya itu benar. Setidak-tidaknya, ia sering terkejat-kejat. Sedang Si Pirang, memiliki toko makanan khusus untuk kesehatan."

Dari arah pintu emperan yang terbuka terdengar samar bunyi tepuk tangan.

"Ada sesuatu yang terjadi," bisik Allie."Yuk, kita ke sana."

­Para anggota Trio Detektif mengikuti Allie kembali ke emperan, lalu mengintip ke dalam dari sela-sela tumbuhan merambat. Mereka masih sempat melihat Miss Osborne menyodorkan sebuah piala kristal pada Ariel. Pria itu menerima piala berisi cairan yang hampir tak berwarna itu tanpa memandang Miss Osborne. Piala itu kemudian diacungkannya ke arah lilin-lilin yang menyala. Wajah Ariel saat itu nampak bagaikan topeng. Seputih tembok, dan tanpa menampakkan gerak perasaan sama sekali. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak, kelihatan berkilat-kilat kena cahaya lilin.

"Kita bisa mulai sekarang," kata pria itu.

Orang-orang yang mengelilingi meja kelihatan bergerak-gerak sedikit Jupiter merasa seperti mendengar suara desahan seseorang.

"Malam ini kita tidak lengkap," kata Ariel."Ada kemungkinan kita tidak bisa berbuat apa-apa, atau mungkin juga Dr. Shaitan akan mengirimkan rohnya kemari. Suara kobra mungkin akan berbicara pada kita, menjembatani jarak bermil-mil. Kita coba saja."

Ia menyentuhkan piala berisi cairan tadi ke bibirnya, lalu menyodorkannya pada wanita yang bergaun oranye.

"Persekutuan kita tidak mungkin gagal!" kata wanita itu dengan suara parau."Ketika aku mengalami keributan dengan pemilik tempat tinggalku, aku -"

­"Diam!" kata Ariel."Anda mengganggu upacara."

Wanita tadi langsung terdiam. Disodorkannya piala pada Miss Osborne, yang setelah mencicip isinya, kemudian meneruskannya pada Mr Noxworth. Pria berpenampilan lusuh itu juga mencicip sedikit, lalu meneruskan piala pada wanita berambut pirang yang memakai gaun hijau pucat. Ia mengembalikan wadah cairan itu pada Hugo Ariel.

"Kita duduk sekarang." kata Ariel.

Semua duduk di kursi masing-masing.

"Miss Osborne, katakan niat Anda." kata Ariel dengan nada memberi komando.

Bibi Pat menundukkan kepalanya."Saya menghendaki bola kristal itu. Saya ingin agar Margaret Compton terpaksa pergi, sehingga ia tidak bisa memperolehnya."

"Apakah kita memohon kekuatan Belial?"

"Kuminta agar hal itu terjadi," kata Bibi Pat

Ariel memandang berkeliling.

"Bagaimana pendapat kalian?" tanyanya pada hadirin selebihnya.

"Aku sendiri juga punya masalah," kata Noxworth.

"Masalah yang melibat seorang dari kita, merupakan masalah seluruh persekutuan," kata Ariel dengan nada mengecam .

"Kita minta saja pada Belial agar si Compton itu dibuatnya melakukan perjalanan jauh," kata wanita bergaun oranye dengan suaranya yang seperti kicauan burung."Perjalanan yang dimulai... kapan waktunya, Manis?"

"Sekitar tanggal dua puluh satu," kata Bibi Pat.

Tatapan mata Ariel yang gelap bergerak dari Bibi Pat ke wanita berambut pirang, lalu beralih ke Noxworth.

"Kalau begitu kita sudah sependapat," katanya memutuskan.

Ia menyandarkan diri ke punggung kursinya, lalu memejamkan mata. Hadirin selebihnya menatap nanar ke arah nyala lilin-lilin yang bergerak seperti menari-nari. Selama beberapa menit, tidak terjadi sesuatu pun. Orang-orang dalam ruang makan itu seolah-olah merupakan sosok-sosok dalam lukisan, karena sedikit pun tidak nampak bergerak.

Kemudian keempat remaja yang ada di luar mendengarnya. Mereka mendengar bunyi itu, di tengah kegelapan malam yang sementara itu sudah sangat kelam. Mulanya hanya samar-samar, semacam denyutan lembut, yang seakan-akan menggetarkan udara. Bunyi nyanyian, tapi tidak mirip nyanyian yang mana pun juga. Tidak terdengar kata-kata. Bahkan suku kata pun tidak. Yang terdengar hanya naik-turunnya nada-nada - tapi itu pun bukan nada-nada yang sebenarnya. Bunyinya melengking, lalu berubah ke arah lembut. Tinggi menusuk telinga, lalu gumaman lirih. Bergetar dan terhenti sesaat, lalu mulai lagi, bergelombang, menggelegak dengan cara yang tidak enak didengar.

­Jupiter beserta kedua temannya mendengarkan bunyi itu dengan perasaan ngeri yang semakin memuncak. Belum pernah mereka mendengar sesuatu yang bunyinya seperti lagu mengerikan itu - yang mengancam mereka dengan kekejian, keseraman, serta kekuatan yang gelap dan dalam. Bunyi itu seakan menarik-narik mereka, untuk turut terlibat dalam deritanya yang tak terhingga. Bob terdengar meneguk ludah berkali-kali. Sedang Pete menarik napas dalam-dalam, lalu menahannya.

Hanya Jupiter saja yang tetap tenang. Setidak-tidaknya masih cukup tenang, sehingga mampu memusatkan perhatian pada adegan yang sedang berlangsung di depan mata. Dilihatnya bahwa tak seorang pun yang bergerak di dalam ruang makan. Hugo Ariel mendongak, wajahnya terangkat ke arah langit-langit ruangan. Ia juga tidak bergerak sama sekali.

Akhirnya Allie melangkah mundur, meninggalkan emperan. Jupiter beserta kedua temannya menyusul. Mereka bergegas melalui jalan setapak, diikuti bunyi nyanyian yang membuntuti mereka seperti sesuatu yang hidup. Hidup - dan jahat!

Allie menyandarkan diri ke tembok rumah, ketika mereka sudah sampai di pekarangan belakang. Ketiga teman prianya merasa bahwa rasa ngeri yang tadi seakan mencengkeram, kini berangsur-angsur susut kembali.

"Itukah bunyi yang didengar Marie waktu itu?" tanya Jupiter.

­Allie tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menganggukkan kepala.

Pete menyisir rambut dengan jari-jari tangannya."Aku pasti minggat karenanya," katanya.

Allie menarik napas dalam-dalam.

"Aku tidak bisa minggat," ujarnya kemudian."Ini rumahku, dan Bibi Pat bibiku. Ariel itu harus pergi dari sini!"

"Tapi tidak mungkin itu tadi Ariel," kata Jupe dengan cepat."Mustahil ia bisa menimbulkan suara seperti itu, tanpa sedikit pun nampak otot-ototnya bergerak!"

Kuda Appaloosa menendang-nendang dinding istalnya di dalam garasi, sambil meringkik-ringkik.

"Queenie!" seru Allie."Ada orang di dalam!"

Jupiter melompat, menghampiri pintu garasi yang dipentangkannya lebar-lebar. Detik berikutnya ia terjengkang, ditubruk seseorang yang bergegas keluar. Orang itu memukul secara liar di dalam gelap, lalu lari gedebak-gedebuk ke tanah kosong di sebelah.

"Jupe?" Pete berlutut di atas hamparan batu bata yang melapisi pekarangan belakang.

"Aku tidak apa-apa." Jupiter bangkit lambat-lambat."Kau sempat melihat siapa orang itu tadi?"

"Potongannya gempal." kata Bob."Tidak begitu tinggi. Berkumis lebat. Kemungkinannya kumis yang menggantung ke bawah."

Allie memandang mereka dengan sikap agak kagum.

­"Banyak juga yang sempat kalian perhatikan. Bagaimana kalian bisa tahu, di tempat segelap begini?"

"Kan ada bulan." kata Jupiter menjelaskan."Dan penyelidik perlu memiliki kemampuan mengamati dengan cepat," katanya menambahkan dengan sikap membanggakan diri."Misalnya saja - kausadari tidak, bahwa suara nyanyian tadi sudah tidak terdengar lagi?"

Saat itu lampu di dapur dinyalakan orang. Jupiter dan kedua temannya cepat-cepat bersembunyi di balik bayangan garasi.

Pintu garasi terbuka.

"Siapa itu di luar?" seru Miss Osborne. .

"Aku, Bibi Pat," jawab Allie."Aku hendak melihat keadaan Queenie sebentar."

"Sibuk benar kau mengurus kudamu itu," kata Miss Osborne."Ayo masuk - sekarang ini juga."

Pintu dapur ditutup lagi.

Dari arah depan rumah, terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan.

"Pesta sudah bubar," bisik Bob.

"Datanglah lagi, besok pagi," kata Allie dengan suara lirih.

"Kami akan datang," kata Jupiter berjanji. Allie berjalan menjauh, menuju ke rumah. Bunyi langkah kakinya yang memakai sepatu tenis terdengar seperti berbisik di atas hamparan batu bata.

­"Yuk, kita cepat-cepat pergi dari sini," kata Pete."Aku sedikit pun tak berkeberatan,jika tidak pernah lagi mendengar bunyi tadi!"

­Bab 5 PERSEKUTUAN MISTERIUS

­KEESOKAN paginya, Trio Detektif bersandar ke pagar, sambil memperhatikan kuda Appaloosa peliharaan Allie merumput di lapangan yang tersedia baginya sendiri.

"Ada manusia yang tidak sebegitu baik nasibnya seperti kuda ini," kata Pete mengomentari.

"Manusia umumnya tidak makan rumput," kata seseorang di belakang mereka.

Ketiga remaja itu berpaling. Mereka melihat Allie, dengan celana jeans pudarnya yang biasa, tapi dengan kemeja yang nampak baru disetrika. Tidak kelihatan lagi tanda-tanda bahwa ia kemarin malam ketakutan. Tatapan matanya menantang.

"Nah?" katanya."Kalian punya gagasan hebat?"

Jupiter memandang sebentar ke arah rumah keluarga Jamison.

"Ada kejadian lain atau tidak tadi malam, setelah kami pergi?" tanyanya.

"Tidak" jawab Allie."Nyanyian aneh itu tidak terdengar lagi. Juga tidak ada orang misterius berkumis, yang masuk tanpa diketahui. Tidak ada kejadian apa-apa." Allie memanjat pagar, lalu duduk di atasnya."Bagaimana dengan orang yang bersembunyi di dalam garasi? Menurut kalian, apakah yang hendak dilakukannya di situ?"

Bob menggelengkan kepala, sambil tersenyum ke arah Allie.

"Kita tidak tahu apa-apa tentang dia, dan tanpa fakta apa pun juga, kita cuma bisa menduga-duga saja. Mungkin orang itu pencuri biasa yang sedang mencari-cari jalan masuk ke rumah, atau mungkin pula gelandangan yang mencari tempat bermalam."

"Atau bisa juga ia ada hubungannya dengan bunyi seram itu," kata Jupiter Jones."Hugo Ariel berbicara tentang suara kobra. yang datang dari tempat yang bermil-mil jauhnya."

"Tapi kobra kan termasuk jenis ular," kata Allie."Dan ular tidak menyanyi, melainkan mendesis"

"Sebelum Ariel datang ke rumah kalian, kau tidak pernah mendengar suara itu," kata Jupiter.

"Jadi kurasa Ariel yang menimbulkan bunyi itu, dengan salah satu cara. Tapi kemarin malam, ketika nyanyian itu mulai terdengar, ia nampak jelas sedang duduk di ruang makan. Dan ia tidak kelihatan bergerak sama sekali. Kenyataannya, ia bahkan seperti sedang berada dalam keadaan tidak sadar. Tidak mungkin ia yang menyanyi Suara itu mestinya terjadi dengan cara lain."

"Bagaimana kalau dengan rekaman?" sela Pete."Kemajuan di bidang rekaman suara, sekarang ini kan sudah sangat hebat. Jika Ariel menggunakan suara yang direkam, bisa saja orang di dalam garasi itu kaki tangannya. Ia bisa saja menaruh alat
rekaman di dekat ruang makan, lalu menunggu di dalam garasi. Mungkin maksudnya hendak mengambil kembali alat itu apabila pertemuan sudah bubar. Tapi sebelumnya, kita sudah memergoki dirinya di dalam garasi."

"Kemungkinan itu bisa saja," kata Jupe, "tapi lebih baik kita jangan terburu menarik kesimpulan. Ariel mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan tamu tak diundang yang berkumis itu. Jika ia memakai alat perekam suara, ia takkan memerlukan pembantu."

Allie nampak lesu.

"Jadi kita kembali lagi ke permulaan, dan Ariel masih tetap bisa makan dan tidur dengan bebas di sini. Kawan-kawan Bibi Pat yang lain, juga tidak bisa dibilang sesuai dengan seleraku."

"Maksudmu tamu-tamu yang kemarin malam?" kata Jupe."Orang yang bernama Noxworth itu kelihatannya aneh."

"Ya, memang. Mana mungkin, orang seperti dia, mengusahakan toko makanan sedap-sedapan. Mestinya itu dilarang oleh Dinas Kesehatan!"

"Orangnya lusuh," kata Jupiter."Tapi dari kata-kata Ariel kemarin malam, ia dan bibimu sepersekutuan - walau entah persekutuan apa. Dan para anggota yang hadir kemarin malam bersatu dalam memusatkan keinginan, agar seseorang bernama Compton dibuat terpaksa pergi selama seminggu yang mencakup tanggal dua puluh satu, supaya bibimu bisa memperoleh sebuah bola kristal"

­"Gila!" kata Allie dengan nada bingung."Benar-benar edan!"

Jupiter tidak bisa menahan senyuman yang membayangkan rasa unggul.

"Kurasa aku tahu, bola kristal yang mana," katanya.

"O, ya?"

"Tanggal dua puluh satu akan ada pelelangan harta milik peninggalan almarhum bintang film Ramon Castillo. Di antara barang-barang yang akan dilelang, terdapat sebuah bola kristal yang termasuk properti yang dipergunakannya di dalam film Sarang Vampir. Paman dan bibiku masih berbicara mengenainya. Bibimu gemar mengumpulkan benda-benda yang pernah dipakai di dalam film-film termasyhur. Tidak mungkinkah bola kristal itu yang diingininya?"

"Wah, bukan kepingin lagi," kata Allie menimpali.

"Dan ia ingin agar seseorang bernama Compton tidak ada di kota, saat pelelangan sedang berlangsung."

"Bibi Pat dan Margaret Compton saling membenci," kata Allie.

"Apakah Margaret Compton itu juga pengumpul benda-benda antik?"

"Ya - dan sangat berhasil. Ia janda kaya - uang yang dimilikinya jauh lebih banyak daripada Bibi Pat. Jika ia mengingini sesuatu, ia sanggup menawar begitu tinggi, sehingga tidak bisa ditandingi oleh Bibi Pat."

­"Dan Hugo Ariel. dengan jalan menyalakan lilin-lilin serta menimbulkan suara-suara aneh, hendak membuat wanita Compton itu tidak bisa mengikuti pelelangan."

"Baik hati," kata Allie mengomentari dengan nada sebal."Tapi untuk apa ia melakukannya? Tidak mungkin karena ingin mendapat upah. Bibi Pat ada juga pemasukannya sedikit, dari saham-saham yang dimilikinya. Tapi cuma itu saja sumber keuangannya. Jika ia mengkhawatirkan adanya penawaran tinggi untuk suatu bola kristal, mustahil banyak uang yang bisa diberikannya pada Ariel. Ya, kan?"

"Jadi kita tidak mengetahui alasannya," kata Bob.

"Tapi kita punya tujuan," balas Jupiter."Tujuan kita mengusahakan agar Hugo pergi dari rumah Allie. Kita tidak bisa memastikan bahwa Ariel mempunyai kaki tangan - jadi kita anggap saja bahwa ia bertindak seorang diri. Jika kita bisa memeriksa rumah itu, mungkin kita akan menemukan alat yang dipakainya untuk menghasilkan suara nyanyian aneh itu - lalu kita peragakan pada bibimu, Allie. Kurasa itu akan menyebabkan bibimu tidak percaya lagi pada orang itu."

Allie meringis, "Ariel pasti akan langsung diusirnya!" katanya puas."Itu ide yang hebat! Dan memeriksa rumah merupakan soal gampang, karena tadi ada yang menelepon Ariel."

­"Luar biasakah itu? tanya Jupiter.

"Ya - karena tidak pernah ada yang meneleponnya. Ia tidak pernah ke mana-mana. Tapi tadi pagi ada telepon untuknya. Seorang laki-laki ingin bicara dengan Ariel. Aku terpaksa menggedor-gedor pintu kamar untuk membangunkannya."

"Dan kau kemudian tentunya ikut mendengarkan lewat sambungan paralel," kata Pete dengan nada menyindir.

"Tidak sempat," kata Allie."Hanya beberapa detik saja ia berbicara. Ia hanya mengatakan 'Baik,' - selesai. Setelah itu ia mengatakan pada Bibi Pat, bahwa malam ini akan ada pertemuan seluruh anggota persekutuan."

"Tidak pernahkah kau bertanya pada bibimu, tentang persekutuan itu?" tanya Bob.

"Tentu saja itu kutanyakan, tapi tanpa banyak membawa hasil. Kata Bibi, itu sebuah perkumpulan, tempat ia menjadi anggota. Katanya aku anak manis, mau menaruh minat pada kehidupannya. Bibi Pat kelihatannya asyik sekali. Ia akan bepergian malam ini, dan Ariel akan menemaninya. Jadi jika kita hendak memeriksa rumah, untuk mencari alat yang dipakai Ariel untuk menimbulkan bunyi itu, saat itu kita akan bisa melakukannya dengan leluasa - tanpa ada yang mengganggu."

Jupiter berpikir-pikir, sambil menarik-narik bibir bawahnya.

­"Bisa saja alat itu selalu dibawa-bawa olehnya," katanya."Kalau begitu, kita takkan bisa menemukan apa-apa nanti."

"Tapi kita kan bisa saja mencoba?!" kata Allie."Mungkin diselipkan di bawah permadani, atau di dalam lipatan gorden, atau..."

"Ya, itu mungkin saja," kata Jupe membenarkan."Bagaimana kemampuanmu, kalau disuruh memeriksa rumah untuk mencari sesuatu?"

"Yah - aku belum pernah melakukannya," kata gadis itu berterus terang, "tapi kalau cuma memeriksa rumah, kita kan tidak perlu kursus dulu."

"Baiklah. Malam ini, kau memeriksa! Jangan lupa garasi, karena siapa tahu, mungkin saja Ariel memang dibantu seorang kaki tangannya. Kau harus mencari sesuatu yang tidak biasanya ada di rumahmu - peralatan kecil, seperti alat perekam mini - atau sebangsanya."

"Senang hatiku telah mengontrak kalian," kata Allie menyindir."Aku yang harus melakukan segala tugas."

"Cari ke mana-mana," kata Jupe menginstruksikan."Mungkin barang itu ada di bawah meja, atau bupet, atau..."

"Di tengah tumbuhan merambat, barangkali?" kata Allie.

"Ya, di situ juga mungkin! Tapi hati-hati, jangan sampai kau terjatuh sewaktu memanjat."

"Jangan khawatir! Lalu sementara aku sibuk mencari ke mana-mana, apa yang akan kalian lakukan ?"

"Kami akan membuntuti Ariel dan bibimu, ke pertemuan persekutuan itu."





Bab 6 ­RUMAH DI NGARAI TORRENTE

­"ANDA baik hati, mau membawa mobil Anda sendiri, Worthington," kata Pete.

Worthington tersenyum. Sopir berkebangsaan Inggris itu mengemudikan mobil Ford-nya yang kecil menyusur Jalan Raya Pesisir, beberapa ratus meter di belakang mobil Corvette ungu milik Pat Osborne.

"Rolls-Royce bersepuh emas bukan kendaraan yang cocok untuk membuntuti orang," kata Worthington.

Jupiter dulu pernah mengikuti sayembara yang disponsori oleh Rent-'n-Ride Auto Rental Company, sebuah perusahaan yang menyewakan mobil ia memenangkan hadiah, berupa hak penggunaan sebuah mobil Rolls-Royce antik, yang bagian-bagiannya bersepuh emas. Mobil mewah itu lengkap dengan sopir yang anggun berkebangsaan Inggris, yaitu Worthington. Ia sudah cukup sering mengantar Trio Detektif, dalam melakukan tugas mereka sebagai penyelidik. Setelah masa tiga puluh hari berlalu, berkat seorang klien yang berterima kasih karena ditolong, mereka mendapat hak menggunakan Rolls-Royce itu tanpa batasan waktu. Sementara itu Worthington sudah begitu tertarik pada kegiatan Trio Detektif, sehingga ia menganggap dirinya bagian dari tim penyelidik itu. Begitulah, Penyelidik Keempat tidak resmi. Ketika pagi itu Jupiter menelepon perusahaan pemilik Rolls-Royce, sopir itu dengan senang menawarkan penggunaan mobilnya sendiri untuk dipakai membuntuti Miss Osborne dan Hugo Ariel ke pertemuan persekutuan misterius itu.

­"Mobil itu membelok masuk ke Sunset Boulevard," kata Worthington.

"Jangan sampai tertahan lampu lalu lintas yang di depan itu." kata Jupiter Jones, yang duduk di samping Worthington.

"Jangan khawatir." Worthington menyalakan lampu tanda akan membelok Mobilnya melewati persimpangan dengan laju, tepat ketika lampu lalu lintas berganti dari hijau ke kuning."Mudah-mudahan saja ia sudah sampai di tempat yang dituju sebelum gelap," katanya, sambil mengemudikan mobilnya mendaki bukit terjal, menjauhi daerah pesisir. Sunset Boulevard berkelok-kelok di depan, diapit rumah-rumah apik, serta kebun-kebun yang nampak meriah dengan bunga geranium yang tumbuh di situ. Berulang kali mobil Corvette lenyap dari pandangan saat memasuki tikungan yang kesekian - tapi sekejap kemudian selalu kelihatan lagi. Akhirnya mobil kecil itu nampak mengurangi kecepatan.

­"Torrente Canyon." kata Worthington menggumam. "Sekarang ia tidak mungkin hilang karena jalan ini buntu."

Mobil Corvette tadi membelok masuk ke jalan ngarai itu. Sebuah mobil sport berwarna oranye meluncur laju di Sunset Boulevard. mengikuti mobil yang di depan.

"Penata rambut Bibi Pat," kata Jupiter. "Ikuti saja rambut merahnya, Worthington." kata Pete."Warna itu mungkin bercahaya dalam gelap."

Sambil tertawa geli, Worthington membelokkan mobilnya, memasuki Torrente Canyon Road. Ia mengikuti mobil sport oranye, sampai mobil itu berhenti di pinggiran berumput, di sisi suatu dinding bata yang tinggi. Nampak beberapa mobil lagi, yang juga diparkir di pinggir jalan itu. Jupiter dan kedua temannya merunduk, ketika Worthington mengemudikan mobil Ford-nya melewati Corvette ungu. Mereka tidak ingin dilihat Miss Osborne dan Hugo Ariel, yang saat itu turun dari mobil.

Worthington memandang ke belakang lewat kaca spion.

"Wanita yang bergaun oranye melambai ke arah Miss Osborne," katanya.

Bob dan Pete memutar tubuh, menengok lewat kaca belakang.

"Aku melihat sedan coklat yang kemarin malam ada di depan rumah Allie," kata Bob.

"Pemilik toko makanan," kata Pete menduga. "Banyak juga yang datang malam ini."

Worthington mengarahkan mobilnya ke pinggir sebelah kanan jalan, lalu menghentikannya di pinggiran yang tidak beraspal. "Kuhitung ada sebelas mobil." katanya.

Anak-anak memandang ke belakang. Mereka melihat wanita yang rambutnya dicat merah menggabungkan diri dengan Ariel dan Pat Osborne, di depan pintu gerbang yang terbuat dari besi. Pintu itu tinggi, dan ujung batang-batang besinya lancip seperti tombak. Ariel berbicara sebentar dengan kedua wanita yang menemani, lalu menghampiri tembok pagar di dekat gerbang. Ia meraih sesuatu dari sebuah ceruk di situ.

"Kurasa yang diambilnya itu pesawat telepon," kata Bob.

Dugaannya ternyata benar. Ariel merapatkan gagang pesawat ke telinga, mendengar sebentar, mengatakan sesuatu, lalu mengembalikan pesawat itu ke tempat semula. Beberapa detik kemudian para pengamat yang masih tetap berada di dalam mobil mendengar bunyi mendenging.

Hugo Ariel menyandarkan diri ke pintu gerbang yang langsung terbuka. Kedua wanita temannya ikut masuk, sementara pintu kemudian tertutup kembali dengan sendirinya.

Anak-anak menunggu bersama Worthington, tanpa bercakap-cakap. Tidak nampak lagi mobil datang lewat jalan ngarai. Tidak ada lagi yang menghampiri pintu gerbang besar. Setelah menunggu selama lima belas menit akhirnya Jupiter membuka pintu mobil Ford.

­"Para anggota persekutuan rupanya sudah lengkap," katanya."Sekarang kita tinggal menyelidiki, persekutuan macam apa itu."

Kedua temannya turun dari mobil, lalu mengikuti Jupiter ke pintu gerbang.

"Paman Titus-mu pasti kepingin kalau melihat ini," kata Bob dengan nada kagum sambil menyentuh salah satu ukiran yang menghiasi gerbang.

"Kurasa itu tidak akan dijual," kata Jupiter. Ia mencoba menekan gagang pegangan yang terbuat dari kuningan yang dipoles mengkilat. Mula-mula ke bawah, lalu ke atas. Tapi gagang itu tidak bisa digerakkan.

"Dikunci," katanya."Itu sudah kukira."

Pete mengamat-amati ceruk di tembok di dekat gerbang.

"Bagaimana jika kita coba menelepon," katanya. "Rupanya ini hubungan langsung dengan rumah, karena tidak ada cakram putarnya."

"Hati-hati, Pete," kata Worthington memperingatkan.

Pete hanya nyengir saja. Diangkatnya gagang telepon, lalu didekatkan ke telinga. Ia mendengar bunyi, 'klik', disusul suara seseorang yang mengatakan, "Malam gelap".

"Eh - ya, betul, sebentar lagi," kata Pete."Maaf, Sir, saya mewakili perusahaan kue United Cookie Company, dan minggu ini kami mengadakan penawaran khusus berupa coklat...."

­Bunyi 'klik' yang tadi terdengar lagi. Sambungan terputus.

"Mereka tidak tertarik membeli kue?" tanya Jupe.

"Betul." Pete mengembalikan gagang telepon ke tempatnya."Baru sekali ini kudengar cara menerima telepon seaneh tadi. Mau tahu apa yang dikatakannya? Orang itu mengatakan, 'Malam gelap'."

"Pasti itu bagian dari suatu sandi tertentu," kata Jupiter."Jika kita anggota persekutuan itu, kita pasti tahu kata apa yang harus kita sebutkan sebagai jawaban."

Bob memandang ke dalam, lewat celah terali pintu.

"Hari memang sudah mulai gelap," katanya. "dan coba lihat rumah itu. Itu, yang nampak samar di ujung jalan masuk. Tidak satu pun lampu dinyalakan di sana."

Memang benar - tidak nampak jendela yang terang di rumah itu. Bangunan itu hanya nampak berupa bentuk besar saja, dengan latar belakang langit malam.

"Ada sebelas mobil diparkir di tepi jalan," kata Jupiter."Dua di antaranya membawa tiga orang - yaitu yang kita lihat masuk lewat gerbang ini. Itu berarti paling sedikit ada sembilan orang lagi di rumah itu. Keseluruhannya dua belas."

"Apakah yang mereka lakukan di situ"" tanya Worthington."Mestinya kan nampak cahaya lampu di salah satu tempat."

­"Barangkali terhalang gorden tebal," kata Jupiter.

"Dan mungkin juga mereka mempergunakan lilin," kata Bob."Lilin nampaknya penting bagi mereka - sedang cahaya lilin takkan nampak di balik gorden."

Ketiga remaja itu berdiri di tepi jalan yang semakin gelap. Mereka teringat pada kelompok yang berkumpul malam sebelumnya di rumah keluarga Jamison, serta pada lilin yang menyala di ruang makan, dan piala yang dikelilingkan di antara hadirin. Mereka juga teringat pada bunyi yang terdengar. Bunyi nyanyian seram yang tak bernada.

"Aku ingin tahu, apakah kita akan mendengarnya malam ini," kata Pete, setengah pada dirinya sendiri.

"Mendengar apa?" tanya Worthington.

"Kami tidak begitu tahu, Worthington," kata Jupiter."Tapi kami rasa, bunyi itu yang disebut suara kobra oleh Ariel. Namun kita takkan bisa mengetahui apa-apa, jika tetap berdiri di sini saja."

"Mungkin ada gerbang lain kecuali yang ini," kata Bob.

"Ya, mungkin saja," kata Jupiter sependapat, dan barangkali pintu itu tidak terkunci. Orang umumnya sangat memperhatikan penguncian pintu depan mereka, tapi jarang yang cermat tentang pintu belakang. Itu yang menyebabkan polisi selalu sibuk."

"Baiklah." kata Pete."Kita lihat saja."

­"Worthington, sebaiknya Anda menunggu saja di mobil, dengan mesin tetap dihidupkan," kata Jupe."Kita tidak tahu apa-apa tentang persekutuan ini. Ada kemungkinan kita nanti harus cepat-cepat pergi dari sini."

Sopir Rolls-Royce itu nampak sangsi sebentar.

"Baiklah," katanya kemudian."Mobil akan kuputar, lalu aku akan menunggu di dalamnya dengan mesin dalam keadaan hidup terus." Pria Inggris itu berjalan menuju ke mobilnya. Anak-anak mendengar bunyi pintu mobil Ford dibuka dan ditutup kembali. disusul bunyi mesin dihidupkan. Lampu-lampu besar dinyalakan. Worthington memutar mobilnya, lalu meluncur lewat di depan pintu gerbang. Sekitar lima belas sampai dua puluh meter lebih jauh, kendaraan dihentikan. Lampu-lampu besar dipadamkan kembali. Dengan seketika jalan menjadi gelap gulita.

"Coba kita tadi membawa senter," kata Pete.

"Begini malah lebih baik." kata Jupe."Kita harus menghindari pengamatan. Yuk!"

Ketiga remaja itu melangkah dengan hati-hati, menelusuri tembok bata. Mereka berjalan dengan lambat-lambat, sebentar-sebentar berhenti sambil memasang telinga. Tak terdengar bunyi apa-apa dari arah batik tembok. Sekali Bob kaget sekali. Nyaris saja ia terpekik, ketika seekor binatang berukuran kecil melintas di dekat kakinya.

"Rubah," kata Pete dengan cepat.

"Kau melihatnya?" tanya Bob.

­"Tidak - tapi kita anggap saja itu tadi memang rubah."

"Diam!" desis Jupiter memperingatkan.

Sementara itu mereka sudah kembali ke tepi Jalan beraspal. Mereka melewati Worthington, yang duduk di dalam mobilnya yang diparkir dengan mesin dihidupkan terus. Kemudian mereka sampai di pintu gerbang besar. Mereka sudah mengelilingi pekarangan yang membatasi tembok bata. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Tidak ada pintu masuk lain. Dari pemeriksaan berkeliling itu mereka kini hanya tahu bahwa kompleks yang termasuk pekarangan rumah itu besar - kurang lebih sama besarnya dengan satu blok di kota. Di dekatnya sama sekali tidak ada rumah lain. Dan rumah di ujung jalan masuk masih tetap gelap.

"Kita terpaksa masuk lewat sebelah atas tembok," kata Jupiter memutuskan."Pete - kau yang paling kuat di antara kita bertiga. Aku akan menyandar ke dinding tembok ini, lalu kau naik ke atas punggungku."

"Kau edan, ya!" tukas Pete.

"Aku tidak melihat jalan lain," balas Jupe."Jika kau tidak mau, terpaksa aku yang melakukannya. Tapi menurutku, sudah sepantasnya jika kau yang naik paling dulu. Nanti kalau kau sudah berada di atas tembok, kaubantu aku naik -lalu kita berdua menarik Bob ke atas. Itu satu-satunya cara bagi kita untuk bisa masuk, agar bisa melihat apa sebetulnya yang sedang berlangsung di dalam rumah itu."

Pete mengeluh. Itu sudah sering dilakukannya, sejak ia bergabung dengan Jupiter Jones dan Bob Andrews

"Aku sangsi, apakah aku memang angin melihat" gerutunya. Tapi akhirnya ia menurut juga. Ia naik ke punggung Jupiter yang berdiri membungkuk sambil menopangkan kedua tangannya ke tembok. Sambil berlutut di atas punggung Jupe, Pete menempelkan tangannya ke tembok, lalu dengan hati-hati berdiri tegak. Diletakkannya kedua tangannya ke sisi atas tembok, lalu ditariknya tubuh ke atas.

Ia duduk di atas tembok, sambil memperhatikan lingkungan sekitar rumah yang gelap. Kemudian terjadilah hal yang dikhawatirkan.

Mula-mula terdengar deringan bel tanda bahaya. Bunyinya nyaring, nyaris pekak telinga mendengarnya.

"Cepat turun!" seru Jupiter dari tepi jalan.

Tiba-tiba beberapa lampu sorot menyala. Jumlahnya ada delapan, dua pada masing-masing sudut. Pete berpegang erat-erat pada bata tembok. Ia tidak bisa melihat apa-apa, kena sinar menyilaukan itu.

"Lompat!" seru Jupiter dan bawah.

Pete mencoba meloncat turun. Ia memutar tubuh,lalu mengayunkan kedua kakinya ke sisi luar tembok. Tapi tahu-tahu batu bata yang dipegangnya lepas dari tembok, dan jatuh ke tanah. Pete ikut jatuh. Ia terjengkang, jatuh ke sisi dalam tembok!

Bab 7 ­KETAHUAN!

­PETE jatuh di atas tanah yang lunak. Ia terguling, lalu mengangkat tubuhnya sampai ke posisi berlutut. Bel tanda bahaya sudah tidak kedengaran lagi. Pete terkejap-kejap, lalu memalingkan muka dari sorotan lampu yang menyilaukan.

Seorang laki-laki bertubuh gempal berdiri di antara Pete dengan tembok.

"Penyelinap ingusan," kata orang itu. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Tapi nada suaranya menyebabkan bulu tengkuk Pete meremang."Apa yang hendak kaulakukan di sini?"

Pete membuka mulutnya. Maksudnya hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak sanggup. Kerongkongan terasa kering. Ia berusaha berdiri. Dengan segera orang itu maju selangkah, dengan sikap mengancam. Pete tertegun. dalam sikap agak merunduk.

"Pete?"

Terdengar suara Jupiter Jones memanggil dari balik tembok.

"He, Pete! Kau berhasil menemukannya?"

Laki-laki itu berpaling.

"Siapa itu?"

­Terdengar bunyi langkah bergegas di balik tembok Sesaat kemudian wajah Jupiter muncul di sela-sela terali pintu gerbang.

"He, Mister," katanya pada laki-laki yang berdiri di depan Pete."Anda melihatnya?"

Ketegangan Pete berkurang, karena langsung menyadari bahwa Jupiter bermain sandiwara. Walau tidak mengetahui apa tujuannya, namun Pete tahu bahwa permainan Jupiter pasti meyakinkan.

"Melihat siapa?" tanya laki-laki itu.

"Kucing," jawab Jupiter dengan sikap polos. "Aku pasti akan kena dampratan nanti, jika tidak berhasil menemukannya. Kucing itu kucing Siam berbulu kecoklatan dengan bintik-bintik coklat tua, dan ibuku tidak tahu bahwa ia minggat. Aku tadi melihatnya masuk ke dalam, lewat tembok ini."

"Yah, begitulah," kata laki-laki itu menanggapi dengan sikap tak peduli.

"Mungkin ia naik ke salah satu pohon di dalam," kata Jupiter lagi.

"Sial bagimu." laki-laki itu berpaling dari Jupe. Ia menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna kelabu ke belakang dengan satu tangan, lalu menatap Pete dengan wajah masam.

"Ayo keluar!" sergahnya.

Pete berdiri.

"He!" seru Jupiter dari pintu gerbang."Izinkanlah aku masuk, biar aku membantu temanku mencari kucing itu."

­"Tidak bisa!" Laki-laki itu mencengkeram siku Pete, lalu mendorongnya ke arah gerbang.

"Bisa habis aku nanti, didamprat ibuku!" keluh Jupiter.

"Itu urusanmu!" sergah laki-laki itu dengan kasar. "Ayo pergi dari sini! Kalau tidak, kupanggil polisi nanti!"

Jupiter mundur selangkah, sambil memperhatikan. Ketika laki-laki itu sudah sampai di dekat gerbang, tangannya bergerak menyentuh sesuatu yang terdapat di tengah tanaman merambat yang merayapi sisi tembok sebelah dalam. Terdengar bunyi pelan. Kunci pintu gerbang terbuka.

"Jika kau berani masuk lagi kemari lewat tembok, nanti bukan kucing hilang itu saja yang akan merepotkanmu," kata laki-laki bertubuh gempal itu. Ia membuka pintu gerbang, lalu didorongnya Pete ke luar. Setelah itu dengan segera pintu ditutupnya kembali.

"Jika Anda nanti melihat kucing itu..." kata Jupe.

"Pergi!" teriak laki-laki itu.

Jupe dan Pete memutar tubuh, lalu berjalan beberapa langkah ke arah tempat Bob menunggu. Lampu-lampu sorot di sudut-sudut pekarangan padam kembali. Kedua remaja itu diselubungi kegelapan lagi.

Pete menghembuskan napas lega.

"Untung kau cepat mendapat akal, Jupe," kata Bob lirih.

Mereka mendengar langkah orang tadi berjalan ke arah rumah Tapi hanya beberapa langkah saja. Kemudian berhenti lagi.

"Ia menunggu, untuk meyakinkan bahwa kita benar-benar pergi." bisik Jupiter."Sebaiknya kita pergi dengan berjalan kaki. Biar Worthington mengikuti kita dengan mobilnya. Orang itu tadi sudah merasa curiga. Jika ia melihat kita masuk ke dalam sebuah mobil, pasti ia akan langsung tahu bahwa kita bukan sedang mencari kucing yang minggat."

"Yuk, kita pergi." kata Pete dengan cepat.

Ketiga remaja itu berjalan dengan sikap santai ke arah Sunset Boulevard, sambil bercakap-cakap dengan suara keras tentang sulitnya menangkap kucing yang lari, tentang mahalnya harga kucing Siam, serta nasib buruk yang akan menimpa mereka, karena membiarkan binatang kesayangan orang tua mereka lepas. Sesampai di sisi mobil Ford, Jupe berbisik sebentar pada Worthington, memintanya untuk menyusul dengan mobilnya setelah mereka agak jauh.

Ketika sudah sampai di ujung jalan ngarai, ketiga remaja itu berhenti. Jarak mereka dari gerbang rumah tadi sudah cukup jauh, sehingga laki-laki itu takkan bisa mendengar, atau melihat mereka lagi.

"Rumah tangga yang menarik," kata Jupiter. "Di rumah itu ada pertemuan yang dihadiri paling sedikit dua belas orang, tapi kita sama sekali tidak melihat ada lampu menyala. Di situ ada peralatan ­tanda bahaya. yang menurut dugaanku diaktifkan oleh sebuah alat elektronik yang terpasang di bagian atas tembok. Dan orang yang hendak masuk lewat gerbang, harus mengenal kata sandi tertentu."

Mobil Ford yang dikemudikan oleh Worthington meluncur menuruni jalan ngarai, lalu berhenti di sisi mereka. Anak-anak membuka pintu kendaraan itu, lalu masuk.

"Orang tadi benar-benar kasar," kata Worthington, sambil menggerakkan tangannya ke arah pintu gerbang.

"Anda juga mendengarnya?" tanya Pete.

"Bicaranya tidak bisa dibilang pelan," jawab Worthington."Saya sudah hampir saja bertindak karenanya. Kau disakiti olehnya, Pete?"

Pete duduk dengan sikap melendut.

"Tidak," jawabnya."tapi kurasa ia takkan segan-segan melakukannya."

Worthington mengemudikan mobilnya, menyusup ke tengah arus lalu lintas kendaraan di Sunset Boulevard. Sebuah truk datang dari arah kiri, sehingga Worthington harus menunggu sebentar untuk memberi kesempatan lewat Saat itu sebuah mobil datang dengan laju menuruni jalan ngarai, lalu berhenti dengan gerakan mendadak di sisi mobil Ford. Mesin mobil kecil itu berderam-deram. Kelihatannya pengemudinya tidak sabar menunggu.

"Penata rambut Bibi Pat." kata Bob, sambil melirik ke dalam mobil sport berwarna oranye itu.

­"Kalau begitu pertemuan di rumah itu sudah selesai," kata Jupiter menarik kesimpulan."Kita harus cepat-cepat mencari tempat untuk bisa menelepon. Allie saat ini kan bertugas menggeledah rumahnya, mencari bukti yang bisa dijadikan senjata untuk mengusir Ariel. Jangan sampai ia kepergok Ariel dan bibinya, saat ia sedang mencari-cari."

"Sekitar setengah mil dari sini ada pompa bensin. Di situ ada telepon," kata Worthington, sambil membelokkan mobilnya memasuki Sunset Boulevard.

Sesampai di tempat pompa bensin, Jupe menelepon ke rumah keluarga Jamison. Dengan segera pesawat di rumah itu di angkat, tanpa sempat berdering sampai dua kali, Allie yang menerima.

"Pertemuan persekutuan sudah bubar," kata Jupe memberi tahu."Tapi kami boleh dibilang tidak berhasil mengetahui apa-apa. Kau sudah selesai dengan pemeriksaanmu?"

"Ya, dan aku tidak menemukan apa-apa."

"Kau sudah memeriksa semua tempat?"

"Seluruh rumah kuperiksa. Aku juga mempergunakan magnet. Tidak ada apa-apa di sini kecuali debu yang sudah menumpuk sejak Marie pergi."

"Jadi jika Ariel menggunakan salah satu alat untuk menimbulkan bunyi itu, alat itu pasti selalu dibawa ke mana-mana," kata Jupe."Atau mungkin juga ia memang bekerja dengan bantuan kaki tangan."

"Ada sesuatu yang menarik, sehubungan dengan dugaanmu itu," kata Allie bersemangat

"Kami sudah punya pelayan lagi."

"O, ya?" kata Jupiter.

"Ya! Tapi sekali ini bukan wanita. tapi pembantu laki-laki. Ia tadi menelepon kemari. Katanya, saat ini ia ada di Rocky Beach. Ia mendengar bahwa kami sedang tidak ada pembantu di rumah, dan mungkin kami memerlukan seseorang. Itu memang benar! Ia menelepon untuk menanyakan, apakah ia bisa datang untuk bertemu dengan nyonya rumah."

"Lalu?"

"Lalu aku menarik kesimpulan bahwa akulah nyonya rumah di sini saat ini, karena ibuku sedang di Eropa. Bibi Pat kan tidak menaruh minat pada hal-hal seperti begitu."

"Allie! Kau kan tidak bisa membuat janji dengan seseorang tak dikenal yang menelepon. tanpa terlebih dulu..."

"Bukan itu saja yang kulakukan," kata Allie dengan nada bangga."Aku menyuruhnya datang kemari, dan setelah itu aku menerimanya untuk bekerja di sini."

Jupe diam saja, karena merasa bahwa masih ada lagi yang akan datang.

"Kau tidak bertanya apa sebabnya aku menerima orang itu?" kata Allie.

"Kenapa kau menerimanya?"

­"Karena orang itu berkumis besar, yang tergantung ke bawah," kata Allie."Katamu, orang yang bersembunyi di dalam garasi kemarin malam berkumis seperti itu. Aku tidak tahu apakah itu orangnya. Tapi jika ternyata betul, mestinya ia menaruh minat tertentu tentang apa yang terjadi di sini. Mungkin saja ia orang suruhan. Jadi bukankah lebih baik jika kita bisa mengamat-amati gerak-geriknya? Ia akan mulai bekerja pukul delapan besok pagi. Mudah-mudahan saja kerjanya ceroboh, sehingga menyebalkan Ariel."

"Tapi apa kata bibimu nanti?" tanya Jupiter.

"Nanti akan kupikirkan alasan yang enak, untuk kukatakan padanya. Datang lagi besok pagi, di pagar lapangan kandang."

Selesai menelepon, Jupiter bergegas kembali ke mobil.

"Bagaimana dengan Allie?" tanya Pete."Semuanya beres?"

"Entahlah," kata Jupe."Anak itu mungkin gadis terpintar yang pernah kujumpai, atau mungkin juga berotak udang. Tapi mungkin juga ia pintar, tapi sekaligus juga goblok."

"Mana mungkin, pintar tapi bodoh?" tanya Pete.

"Kurasa pada Allie Jamison, itu mungkin saja." kata Jupiter Jones.



Bab 8 KOBRA MENYAMBAR

­KETIKA Trio Detektif tiba di rumah keluarga Jamison keesokan paginya, mereka menjumpai Allie sedang duduk di jenjang depan pintu muka. Gadis itu nyengir lebar, kelihatannya seperti kucing yang baru saja memangsa tikus.

"Pembantu idaman!" katanya menyambut mereka."Coba dengar saja!"

Jupiter, Bob, dan Pete memperhatikan. Di dalam rumah terdengar dengung alat pengisap debu.

"Aku sama sekali tidak menyuruhnya," kata Allie. "Ia tadi menaruh kopornya di kamar Marie, lalu berkeliling rumah sebentar. Setelah itu langsung mengambil alat pengisap debu, dan mulai sibuk bekerja. Bibi Pat takkan bisa mengobati luka dengan sarang labah-labah."

"Kalau begitu ia akan tinggal di sini?" tanya Bob.

"Ya! Bagus, kan?" kata Allie."Dengan begitu kita bisa terus mengamat-amati."

"Mudah-mudahan saja memang begitu," kata Jupiter menanggapi."Apa kata bibimu ketika kaukatakan padanya bahwa kau menerima laki-laki untuk menjadi pembantu di sini?"

"Ini rumah siapa?" tukas Allie."Kukatakan padanya bahwa aku sudah mencari keterangan mengenainya, dan orang itu nampaknya beres, lalu Bibi Pat mengatakan bahwa tindakanku itu bagus, lalu ia masuk ke kamar tidur. Bibiku itu tidak pedulian tentang hal-hal kecil."

"Di mana saja orang itu pernah bekerja?" tanya Jupiter.

"Ia tidak mengatakannya, sedang aku ini bukan orang yang selalu ingin tahu segalanya," kata Allie. dengan sikap seperti anak baik

"Uh, sok, kau!" tukas Pete.

"Kalian ingin bertemu dengannya?" tanya Allie. "Mungkinkah kalian bisa mengatakan apakah benar dia orang yang kemarin malam ada di dalam garasi?"

"Aku sangsi," kata Jupiter, "karena aku cuma sekilas saja melihatnya. Bob yang paling jelas melihat"

Bob mengangguk.

"Nanti jika ternyata memang dia orang itu," kata Jupiter memberi petunjuk. "kau pura-pura tak mengenalinya saja, Bob."

Allie membuka pintu luar yang dipasangi kawat nyamuk. Jupiter dan kedua temannya mengikuti gadis itu masuk ke dalam rumah. Pembantu yang baru sedang sibuk membersihkan permadani hijau keemasan yang terhampar di ruang duduk. Ia menoleh ketika anak-anak masuk. Begitu melihat mereka berdiri di ruang masuk, dimatikannya alat pengisap debu.

"Anda perlu sesuatu, Miss Jamison?" tanya laki-laki itu.

­"Tidak, Bentley," kata Allie."Kami cuma ingin mengambil minuman Saja."

"Baik, Miss Jamison." laki-laki itu menghidupkan alat pengisap debu, lalu meneruskan kerjanya.

Sesampai di dapur, Allie mengeluarkan empat botol limun dari lemari pendingin.

"Diakah orangnya?" tanyanya.

"Aku tidak tahu pasti," kata Bob mengaku. "Besarnya kurang lebih sama, dan kumis orang yang kemarin juga begitu. Tapi tempat itu gelap, dan kejadian itu berlangsung dengan cepat sekali."

"Penampilannya tidak seperti orang yang biasa menerjang orang lain sampai jatuh," kata Pete."Ia kelihatannya... yah, biasa-biasa saja."

"Hambar," kata Allie."Bentley itu manusia hambar. Tidak tinggi, tapi juga tidak pendek. Tidak kurus, tapi gemuk juga tidak. Rambutnya berwarna biasa, sedang warna matanya juga tidak jelas. Tanpa kumis besar itu, orang takkan menyadari bahwa ia ada." Allie mengambil pembuka botol dari salah satu laci, lalu membuka keempat botol limun. Ada yang perlu kalian laporkan?"

Dengan ringkas Jupiter bercerita tentang kejadian yang dialami malam sebelumnya.

"Kurasa aku lebih banyak mencapai kemajuan, dibandingkan dengan kalian," kata Allie, ketika Jupiter selesai dengan penuturannya."Hasil pekerjaan kalian kemarin malam cukup jatuh dari atas tembok - sedang aku berhasil menemukan seseorang yang benar-benar misterius."

­"Kau menghubungi kami, dengan maksud hendak menyingkirkan seseorang yang misterius," kata Pete mengingatkan."Ngomong-ngomong, kau tidak takut bunyi pengisap debu itu akan membangunkan tamumu?"

"Ariel sudah pergi tadi," kata Allie, sambil meneguk limunnya,

"Kusangka ia tidak pernah meninggalkan rumah sebelum malam."

"Tapi pagi ini ia pergi. Ia memakai mobil Bibi Pat, tanpa mengatakan hendak ke mana."

Saat itu Bibi Pat muncul di ambang pintu dapur.

"Siapa laki-laki yang sedang membersihkan ruang duduk, Allie?" tanya Miss Osborne. Ia memakai daster berwarna lembayung, dengan ikat pinggang ungu. Rambutnya rapi.

"Pembantu kita yang baru, Bibi Pat," kata Allie. "Masa tidak ingat lagi - kita kan menerimanya kemarin malam?"

"O, ya, betul juga. Siapa katamu nama orang itu, Sayang ?"

"Aku belum mengatakannya," balas Allie, "tapi namanya Bentley."

"Bentley. Bentley - seperti merek mobil itu. Aku pasti bisa mengingatnya." Ia tersenyum dengan sikap linglung pada ketiga remaja yang mengucapkan selamat pagi padanya.

"Ia bisa masak?" tanya Miss Osborne pada keponakannya.

"Katanya sih, bisa."

­"Kalau begitu aku akan bicara padanya tentang hidangan untuk makan kita nanti." Miss Osborne meninggalkan dapur.

Allie bersandar ke tepi bak tempat cuci piring. "Aku tidak peduli siapa sebetulnya Bentley itu, asal ia bisa masak. Barang-barang di dapur ini gunanya bukan cuma untuk dilihat-lihat saja." Allie memutar kepalanya, memandang ke arah pekarangan belakang. "Ngomong-ngomong tentang melihat," katanya, "jika kalian menengok ke arah timur, akan kalian lihat Ariel yang seperti mayat hidup itu berjuang mati-matian. berusaha keluar dari mobil Bibi Pat."

Ketiga remaja yang ada di dapur tersenyum geli. Mereka melihat, betapa repotnya Ariel yang bertungkai panjang berusaha keluar dari dalam mobil Corvette yang rendah. Orang itu beringsut-ingsut menyamping, lalu membelokkan kakinya ke luar. Setelah berhasil berdiri, dibetulkannya letak kemejanya yang hitam di sekeliling pinggangnya yang tipis.

"Aku ingin tahu, ke mana ia tadi," kata Allie.

Ariel masuk lewat pintu belakang. Matanya yang berwarna gelap menatap Allie sesaat. Hanya sesaat saja, setelah itu ia hendak meneruskan langkah, tanpa mengatakan apa-apa.

Dengan cepat Allie mencegatnya.

"Mr. Ariel," katanya, "rasanya Anda belum kenal dengan kawan-kawanku ini."

Ariel nampak sangat jengkel. Tapi ia berhenti, memberi kesempatan pada Allie untuk memperkenalkan Jupiter, Bob, dan Pete. Ketika Bob menyodorkan tangan dengan gaya riang Ariel menyambutnya dengan tangan lemas. Ia tidak mengatakan apa-apa. Selesai diperkenalkan, ia berjalan mengitari Allie seolah-olah gadis itu sebuah tonggak. Ariel masuk ke ruang tengah. Pintu dapur ditutup olehnya.

"Nah - apa kata kalian tentang sikapnya tadi?" kata Allie."Ia selalu begitu terhadapku. Seolah-olah aku ini benda mati! Aku tidak mau ia lebih lama di sini, biar ternyata bukan dia yang menimbulkan suara nyanyian seram itu!"

"Mr. Ariel!" Suara Bibi Pat yang melengking terdengar jelas di dapur. Nadanya seperti harap-harap cemas."Sudah Anda lakukan?"

Allie membuka pintu dapur secelah, lalu menempelkan telinganya ke situ.

"Jangan khawatir," kata Ariel dari ruang depan. "Kehendak persekutuan - kehendak Anda - pasti akan terlaksana. Kobra sudah diserahkan. Semuanya ada di tangan Belial- dan Anda tinggal menunggu hasilnya."

"Tapi tanggal dua puluh satu sudah tinggal beberapa hari lagi," kata Bibi Pat, dengan suara yang masih tetap cemas. "Anda yakin waktunya masih cukup? Ah, mungkin ini cuma keinginan sepele saja - tapi aku sungguh-sungguh menginginkannya, dan jika Margaret Compton sampai bisa mendului..."

"Keyakinan Anda mulai goyah?" tanya Ariel. Nada suaranya agak menajam.

­"Tentu saja tidak!" kata Bibi Pat cepat-cepat.

"Aku berkeyakinan penuh."

"Kalau begitu aku permisi dulu," kata Ariel."Aku harus beristirahat. Segala urusan ini sangat menyita tenaga."

"Aku mengerti," kata Miss Osborne.

Ariel naik ke tingkat atas.

"Kelihatannya ia hendak tidur lagi, sampai malam," kata Allie."Dasar pemalas!"

"Kobra sudah diserahkan," kata Jupiter."Apa maksudnya?"

"Mungkin ada orang yang kerjanya mengirimkan ular ke mana-mana?" kata Pete.

Allie menggeleng.

"Bibi Pat tidak suka pada ular. Itu tadi cuma cara bicara mereka saja. Mengatakan sesuatu, tapi maksudnya lain. Kalian ingat tidak, ketika mengadakan pertemuan malam hari di sini, mereka berbicara tentang suara kobra yang datang menjembatani jarak bermil-mil!"

"Tapi kita mendengarnya, kan?" kata Jupe mengingatkan Allie."Kita mendengar nyanyiannya."

"Walau entah apa, tapi yang pasti itu bukan suara ular," kata Allie berkeras."Mana ada ular menyanyi!"

"Tapi ada sesuatu yang terjadi di sini," kata Jupe. "Dan kejadian itu ada hubungannya dengan Hugo Ariel, serta dengan rumah di Torrente Canyon, dan dengan nyanyian aneh itu. Mungkin juga ada hubungannya dengan pelayan kalian yang baru. Saat ini tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali menunggu dengan waspada. Beri tahu kami, jika terjadi sesuatu yang aneh di sini. Sekarang aku harus kembali ke perusahaan."

"Dan aku sudah harus mulai bekerja lagi di perpustakaan." kata Bob

"Aku harus memotong rumput di rumah," kata Pete.

"Penyelidik model apa kalian ini," keluh Allie. "Semuanya ada tugas lain. Tapi baiklah! Lakukanlah apa yang harus kalian kerjakan di samping jatuh dari atas tembok! Nanti kalian kutelepon, jika terjadi apa-apa di sini."

Jupiter dan kedua temannya menghabiskan minuman mereka. Setelah itu mereka berpisah.

Ketika Jupiter tiba di Jones Salvage Yard, dilihatnya Bibi Mathilda sedang sibuk mengatur Hans dan Konrad. Kedua pemuda Jerman itu sedang menurunkan barang-barang dari truk yang besar.

"Aku memerlukanmu, Jupiter," kata Bibi Mathilda ketika melihat keponakannya datang.

"Ya, Bibi Mathilda."

"Pamanmu sudah tidak waras lagi rupanya. Coba lihat saja, apa yang dibelinya!"

Jupiter memandang ke atas truk, yang berisi tungku-tungku tua, terbuat dari besi cor.

"Tungku kayu bakar!" kata Bibi Mathilda. "Zaman modern sekarang ini, ia membeli tungku-tungku kuno! Barang-barang loak ini dibelinya di sebuah gudang tua di kawasan timur Los Angeles Gudang itu akan digusur. Kata pamanmu, tungku-tungku ini begitu murah, sehingga sayang kalau tidak dibeli. Tapi bagaimana kita bisa menjualnya lagi nanti?"

"Pasti nanti bisa juga," kata Jupiter membesarkan hati bibinya.

"Yah, sekarang kaubantu saja Hans dan Konrad menurunkan semuanya, lalu taruh di suatu tempat di mana aku tidak akan melihatnya. Keterlaluan!"

Bibi Mathilda pergi sambil marah-marah. Jupiter langsung ikut sibuk, menurunkan tungku-tungku itu, lalu menaruh semuanya di suatu tempat di bagian belakang kompleks perusahaan. Mereka tidak bisa bekerja dengan cepat, karena tungku-tungku itu berat. Belum lagi pintu-pintunya, yang saban kali copot. Selesai makan siang, sudah menunggu lagi pekerjaan selanjutnya. Jupiter sibuk terus sampai pukul tiga. Setelah itu ia pulang untuk mandi. Sesampai di rumah yang terletak di seberang jalan, ditemukannya Paman Titus sedang tekun, mengikuti warta berita di televisi.

"Mengerikan!" kata Paman Titus.

"Apa yang mengerikan?" tanya Jupiter.

"Tingkah laku orang di jalan raya. Lihat saja itu!"

Di tabir televisi nampak adegan yang sudah sering terjadi. Sebuah sedan menubruk pagar sebuah jembatan di Hollywood Freeway, sebuah jalan raya bebas hambatan. Patroli jalan raya sibuk mengatur kelancaran lalu lintas di tempat kecelakaan itu.

Suara penyiar terdengar mengomentari.

­"Pengemudi sedan, Mrs. Margaret Compton, sementara itu sudah diangkut ke Rumah Sakit 'Angel of Mercy'. Ia dikabarkan berada dalam keadaan lumayan."

"Astaga! Mrs. Margaret Compton!" seru Jupiter.

"Kau kenal wanita itu?" tanya Paman Titus.

"Pernah mendengar namanya, Paman Titus," kata Jupiter."Maaf - aku perlu buru-buru menelepon seorang klien!"





Bab 9 PEREMBUKAN RAHASIA

­PUKUL tujuh malam itu Jupiter pergi lagi ke perusahaan. Pada bibinya ia mengatakan bahwa di bengkelnya ada pekerjaan yang masih harus diselesaikan, dan mungkin baru larut malam ia pulang. Ketika ia sampai di bengkelnya, Bob dan Pete sudah menunggu dengan sepeda masing-masing. .

"Kita akan bertemu dengan Allie di Swanson's Cove." kata Jupiter cepat-cepat.

"Kita keluar lewat Gerbang Hijau Satu?" tanya Bob.

"Sebaiknya begitu," jawab Jupe."Jalan keluar itu agak jauh dari rumah. Jadi Bibi Mathilda takkan bisa melihat kita keluar."

Pete menghampiri bagian pagar yang letaknya dekat dengan bengkel, lalu memasukkan dua jari tangannya ke dalam sebuah celah yang ada di situ. Ia melakukan gerakan menarik, dan dua lembar papan mengayun ke atas. Pete menjenguk ke luar, melihat ke kiri dan ke kanan, lalu melaporkan bahwa keadaan di luar aman. Jupiter bergegas menyambar sepedanya yang tersandar ke mesin cetak. Ketiga remaja itu menyusup ke luar, lewat lubang di pagar.

Papan yang terangkat diturunkan lagi, sehingga pagar nampak utuh seperti semula. Bob mengamat-amati bagian yang tadi terbuka. Seperti pagar sebelah belakang, bagian pagar sebelah depan itu juga dihiasi lukisan oleh sejumlah seniman Rocky Beach. Lukisan yang di depan menampakkan samudra yang sedang dilanda badai, dengan sebuah perahu layar terombang-ambing di tengah ombak menggelora. Di latar depan, tidak jauh dari mata Bob, seekor ikan tersembul dari dalam air, memandang ke arah perahu layar.

"Rahasia Kelana Gerbang Merah sudah diketahui Allie," kata Bob dengan sedih."Moga-moga saja ia tidak mengintai pula di bagian depan sini. Tidak enak rasanya membayangkan ia tahu bahwa ikan ini menandai tempat Gerbang Hijau Satu."

"Jika ini juga sudah ketahuan olehnya," kata Jupiter Jones, "kita terpaksa membuat jalan keluar-masuk yang lain. Tapi sudahlah, jangan kita pikirkan hal itu sekarang. Ada urusan yang lebih mendesak."

"Betul," kata Pete."Kita berangkat saja sekarang."

Ketiga remaja itu bersepeda menuju Jalan Raya Pesisir. Lima menit kemudian mereka sudah sampai di teluk yang diberi nama Swanson's Cove. Allie Jamison sudah lebih dulu tiba di situ. Gadis itu menyandar pada sebuah batu besar yang mencuat di tengah hamparan pasir. Kudanya ada di dekatnya, berdiri dengan tali kekang terjuntai ke bawah.

"Margaret Compton tadi mengalami kecelakaan mobil di jalan raya," kata Allie.

"Aku sudah menceritakannya pada Bob dan Pete," kata Jupiter. Ia duduk di pasir, berhadap-hadapan dengan Allie."Bagaimana kabar bibimu? Apa saja yang terjadi sejak aku tadi bicara denganmu lewat telepon?"

"Ia sangat terkejut," kata Allie."Ia tidak henti-hentinya menangis sejak kami mendengar berita itu."

Bob menyandarkan punggungnya ke batu besar.

"Perkembangan berlanjut rupanya, ya?" katanya mengomentari.

"Ya, dan dengan cepat," kata Jupe."Baru saja tadi pagi Hugo Ariel mengatakan pada Miss Osborne, bahwa kobra sudah diserahkan, dan kehendak Miss Osborne akan dilaksanakan. Dan malam ini Mrs. Compton sudah tergeletak di rumah sakit. Masalah yang dihadapinya kini, lebih serius dibandingkan dengan urusan pelelangan harta peninggalan Castillo. Ia takkan bisa hadir di situ, untuk melebihi Miss Osborne dalam menawar bola kristal peninggalan Ramon Castillo."

"Tapi itu bukan cara yang dikehendaki Bibi Pat," kata Allie dengan tegas."Ketika melihat siaran warta berita mengenainya, bibiku berteriak, 'Ia bisa tewas karenanya, dan akulah yang bersalah jika itu terjadil' Kemudian Ariel memapahnya ke kamar tidur. Pintu kamar mereka tutup. Tapi aku yang saat itu berada di ruang tengah, mendengarkan pembicaraan mereka."

"Tentu saja," kata Pete.

Allie membiarkan sindiran itu "Bibiku mengatakan, ia tidak mengira kejadiannya akan begini," katanya melanjutkan."Lalu Ariel mengatakan bahwa itu keinginan Bibi Pat, dan kini tiba giliran padanya untuk melakukan sesuatu. Aku tidak bisa menangkap seluruh pembicaraan mereka, tapi bibiku menolak melakukan apa yang diingini Ariel. Laki-laki itu mengatakan bahwa ia mau menunggu tapi dengan batas waktu tertentu. Beberapa saat kemudian ia keluar, lalu pergi ke tingkat bawah.

"Setelah ia pergi, aku masuk ke kamar Bibi Pat. Tapi ia tidak mau kuajak bicara. Aku disuruhnya pergi. Aku pergi, tapi tidak jauh-jauh."

"Kau tetap berada di ruang tengah," kata Pete.

"Tentu saja," tukas Allie."Lalu aku mendengar Bibi Pat menelepon. Ia mengatakan ingin bicara dengan seseorang bernama Mr. Van Storen."

"Beberapa lama kemudian kau dapat mengikuti pembicaraannya lewat sambungan paralel?" tanya Jupiter.

"Agak terlambat," kata Allie."Saat aku mengangkat gagang pesawat yang ada di bawah, aku hanya masih sempat mendengar Bibi mengatakan pada seseorang bahwa ia akan mengutus pelayannya dengan disertai surat pengantar, lalu laki-laki yang berbicara dengannya mengatakan, 'Baiklah, Miss Osborne'. Pembicaraan mereka sampai di situ saja."

"Setelah itu?" tanya Bob.

"Setelah itu kudengar Bibi Pat mondar-mandir di atas. Kemudian ia memanggil Bentley. Orang itu naik ke atas. Ketika turun lagi, kulihat dia mengantungi sesuatu yang dibungkus kertas berwarna coklat. Bentley kemudian berangkat, dengan mobil Bibi Pat. Katanya, ia disuruh oleh Bibi."

"Bagaimana sikap Ariel? Tertarik?" tanya Jupe.

"Bukan tertarik lagi," kata Allie."Ia bergegas, naik lagi ke atas. Ternyata Bibi Pat sudah siap. Aku mendengar Ariel berteriak-teriak, dan dibalas oleh bibiku dengan berteriak-teriak pula. Kata Bibi, ia menyuruh Bentley ke Beverly Hills, untuk membeli krim khusus untuk merawat kulit muka baginya. Cuma itu saja."

"Kau percaya?"

"Tidak - dan Ariel juga tidak! Tapi kemudian Bentley kembali dengan membawa krim perawat kulit muka, jadi Ariel tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Tapi itu sebenarnya dusta. Bibi Pat tidak pernah membeli krim untuk kulit mukanya. Ia selalu meramunya sendiri, dari kelopak bunga mawar, dicampur dengan gliserin, dan macam-macam lagi."

"Apakah kau menanyai bibimu?" tanya Jupe. "Atau Bentley yang kaukorek?"

"Aku sama sekali tidak perlu melakukan kedua-duanya," kata Allie."Aku tahu, Bentley sebenarnya pergi ke mana. Mr. Van Storen itu salah satu patner pemilik perusahaan 'Van Storen and Chatsworth' di Beverly Hills. Orang itu ahli permata yang terkenal. Aku kebetulan juga mengenal angka-angka sandi kunci kombinasi lemari besi di kamar ibuku. Kubuka lemari itu. Ternyata kalung permata milik ibuku tidak ada lagi di dalamnya."

Ketiga remaja yang duduk di pasir duduk tepekur, menyerap berita itu. Akhirnya Jupiter membuka mulut.

"Maksudmu, bibimu menyerahkan kalung yang dulu pernah merupakan milik Ratu Eugenie pada seseorang yang belum begitu dikenalnya, dan menyuruhnya membawa perhiasan itu ke toko permata ?"

"Aku tidak pernah mengatakan bibiku itu cerdas," kata Allie."Tapi ia sudah dewasa, jadi mestinya kan bisa diandalkan. Kurasa karena itu pula ibuku memberi tahu angka-angka kombinasi kunci lemari besi padanya - supaya kalung itu bisa diselamatkannya jika terjadi sesuatu - seperti kalau rumah kami terbakar, misalnya."

"Tahukah dia, bahwa kau tahu kalung itu tidak ada lagi di dalam lemari besi?" tanya Bob. .

"Tentu saja. Begitu ada kesempatan berdua saja dengannya, ia langsung kupojokkan. Katanya ibuku memintanya agar kalung itu disuruh bersihkan sementara ibuku tidak ada."

"Dan alasan itu tidak meyakinkan?" tanya Jupiter.

Allie mengernyitkan muka.

­"Membersihkan kalung, bukan urusan yang perlu dilakukan secara terburu-buru," katanya mengetengahkan."Dan ia juga tidak perlu menyuruh Bentley, karena bisa dijemput orang suruhan dari perusahaan 'Van Storen and Chatsworth'."

"Jadi ia telah repot-repot menyuruh agar kalung itu diantar ke toko permata, tanpa diketahui Ariel," kata Jupiter."Kurasa dengan begitu kita bisa menarik beberapa kesimpulan."

"Misalnya ?"

"Pertama, dari ucapan bibimu tentang kecelakaan yang dialami Mrs. Compton, hal itu disebabkan - atau ia beranggapan bahwa itu disebabkan karena ia menginginkan agar wanita itu disingkirkan. Ia telah mengimbau kekuatan persekutuan. Dan kini ia merasa bersalah.

"Kedua, ia ditekan oleh Ariel. Orang itu kini tidak lagi bersikap sesuai dengan tamu terhormat, dan berusaha menggertak bibimu. Apakah Ariel melihat bahwa pelayan kalian pergi dengan membawa bungkusan itu?"

"Tidak," kata Allie."Ia hanya melihat Bentley masuk ke dalam mobil, lalu pergi dengannya."

"Tahukah ia bahwa kalung itu disimpan di dalam lemari besi?"

"Soal itu, aku tidak tahu. Tapi kurasa tidak. Ia tidak berusaha mendekati lemari besi itu. Ia hanya ingin tahu, untuk apa Bibi Pat menyuruh Bentley pergi."

­"Besok masih ada waktu," kata Jupiter menyarankan."Kalau mau, kau bisa menelepon dari tempatku, supaya tidak terdengar orang lain. Dan besok kita juga perlu menyelidiki, apakah kecelakaan yang menimpa Margaret Compton benar-benar ada hubungannya dengan persekutuan. Misalnya saja - benarkah Ariel mengirimkan seekor ular padanya?"

­"Tapi Bibi Pat sama sekali tidak mengirimkan ular, pada siapa pun juga!" kata Allie membantah. "Ia tidak suka pada Margaret Compton, tapi ia takkan mungkin tega menghendaki hal seperti itu menimpanya. Ia takkan mau ada orang membuka kotak, dan melihat ada ular di dalamnya - walau orang itu musuh besarnya sekalipun!"

"Kalau begitu, apa yang dikirimkan?" kata Jupe.

"Aku tidak tahu."

Bob menyela pembicaraan. "Ariel mengatakan, bibimu tidak usah khawatir, karena semuanya ada di tangan Belial. Aku sudah mengeceknya di perpustakaan. Belial itu nama salah satu iblis. Dan Ariel waktu itu juga menyebut nama Dr. Shaitan. Itu juga sudah kuselidiki di perpustakaan. Shaitan merupakan nama lain dari Satan."

Pete bergidik. "Iblis, dan ular! Gabungan yang menyeramkan!"

Allie duduk sambil mempermainkan pasir di sela jari-jarinya.

"Dalam urusan apakah Bibi Pat terlibat?" tanyanya setelah beberapa saat.

"Kami tidak tahu," kata Jupe, "tapi mungkin saja urusan yang sangat tidak menyenangkan."

­"Dengan begitu kembali pada tokoh Bentley yang misterius," kata Jupiter. "Iakah laki-laki yang bersembunyi di dalam garasi rumah kalian malam itu, ketika bibimu menjamu teman-temannya sepersekutuan? Atau mungkin orang yang kebetulan saja mendengar bahwa kalian memerlukan pembantu rumah tangga? Jika benar dia yang menubrukku waktu itu, apakah yang dicarinya di rumah kalian? Kita setidak-tidaknya tahu bahwa ia tidak mungkin kaki tangan Ariel. Karena kalau ia kaki tangannya, Ariel kan tidak perlu merasa curiga padanya." Jupiter berpikir-pikir, sambil menarik-narik bibir bawahnya. Sikapnya selalu begitu, jika sedang sibuk memeras otak.

"Ada beberapa hal yang perlu dengan segera kita selidiki," katanya kemudian."Pertama-tama, apakah kalung itu benar-benar diserahkan ke toko permata."

Allie mengumpat dengan nada kesal.

"Kenapa itu tak terpikir olehku tadi siang? Aku kan bisa langsung menelepon Van Storen and Chatsworth!"





Bab 10 KOBRA EMAS

­KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Allie muncul di perusahaan dengan tampang kusut, seakan-akan tidak tidur semalaman. Jupiter, Bob, dan Pete menunggunya di dekat bedeng yang dijadikan kantor Jones Salvage Yard.

"Bibi Pat menangis di rumah," kata Allie melaporkan."Ariel tidur. Sedang Bentley mencuci kaca-kaca jendela."

"Dan Bibi Mathilda sedang mencuci piring bekas sarapan," kata Jupe."Jadi kau bisa memakai telepon di kantor untuk menelepon toko permata."

Tanpa segan-segan Allie langsung duduk menghadap meja di ruang kantor. Ia memutar nomor telepon toko permata 'Van Storen and Chatsworth', lalu sambil menirukan suara bibinya dengan persis sekali. ditanyakannya kapan kalung Ratu Eugenie bisa selesai. Didengarkannya jawaban yang diberikan, lalu berkata, "Baiklah. Terima kasih!" Diletakkannya gagang pesawat telepon.

"Kalung itu ada pada mereka." katanya pada

Trio Detektif. "Menurut mereka, pekerjaan itu memakan waktu beberapa hari, dan mereka akan menyimpannya sampai diberi tahu untuk mengantarkannya. Ah, syukurlah!"

"Jadi kalung itu aman," kata Jupiter, "dan apa pun juga pelayan kalian yang baru itu sebenarnya, yang jelas ia bukan maling permata. Sekarang kita harus menyelidiki, apakah ada kobra muncul dalam kehidupan Mrs. Compton kemarin."

"Mungkinkah Ariel dengan diam-diam memasukkan seekor ular ke dalam mobil wanita itu?" tanya Pete.

Allie bergidik.

"Itu akan sudah mencukupi untuk menyebabkan siapa saja panik, dan menubruk pinggir jembatan," kata Jupiter."Tapi itu akan kita ketahui juga nanti."

"Apa yang hendak kaulakukan sekarang?" tanya Allie.

"Aku akan ke perpustakaan untuk mengumpulkan data tentang kobra, jin, dan berbagai kepercayaan aneh," kata Bob.

"Sedang aku akan ke rumah sakit bersama Pete mendatangi Mrs. Compton," kata Jupiter."Hans akan ke Los Angeles dengan truk yang kecil, dan kami boleh ikut dengan dia."

Allie berdiri, lalu menuju ke pintu.

"Dan aku pulang ke rumah, lalu semua yang ada di sana kuamat-amati," katanya.

"Kami nanti akan menelepon," kata Jupiter berjanji.

Allie mengangguk, lalu melangkah ke luar.

Sesaat kemudian Hans datang dengan truk yang kecil. Ia menghentikan kendaraan yang sudah agak tua itu di depan pintu kantor.

"Siap?" serunya dari dalam truk.

Jupe dan Pete duduk di samping Hans. Dalam perjalanan ke Los Angeles mereka diam saja, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Sesampai di jalan yang bernama Vermon­ Boulevard, Jupe meminta Hans agar berhenti sebentar di depan sebuah toko kecil yang berjualan bunga. Ia membeli sebuah pot berisi violces yang sedang mekar. Ia meminta selembar kartu, yang ditulisnya sebagai pengiring tanaman itu. Kemudian Hans mengantar mereka ke rumah sakit 'Angel of Mercy'.

Hans menghentikan truk di depan rumah sakit itu.

"Aku perlu menunggu atau tidak?" kata pemuda bertubuh kekar itu."Mau apa sih, kau kemari?"

"Kami perlu bicara dengan seorang wanita, tentang seekor ular," jawab Pete.

Hans terbelalak, karena kaget.

"Sudahlah, Hans, jangan tanya-tanya," kata Pete. "Kujamin kau pasti lebih senang jika tidak tahu apa-apa tentang urusan ini."

Jupe turun dari kendaraan.

"Kurasa lebih baik ini kulakukan sendiri saja, katanya."Kita tidak boleh terlalu menyolok."

"Oke," kata Pete."Kalau begitu aku menunggu di sini, bersama Hans." .

Jupe menaiki tangga depan rumah sakit, sambil menenteng tanaman yang dibelinya.

­"Saya ingin menjenguk Mrs. Margaret Compton," kata Jupiter pada wanita yang bertugas di bagian pendaftaran."Sudah bolehkah ia menerima tamu?"

Wanita itu mencongkel-congkel deretan kartu data yang terdapat di dalam sebuah kotak.

"Kamar nomor 203, Sayap Timur," katanya setelah menemukan yang dicari."Lift ada di gang itu, di sebelah kanan."

Jupiter mengucapkan terima kasih. Ia menyusur gang sambil membawa pot bunga, lalu naik lift menuju tingkat berikut. Sesampai di lantai dua, lift berhenti. Pintunya terbuka di depan ruang juru rawat. Keadaan di situ sangat sibuk. Seorang dokter nampak sedang menelepon. Seorang pembantu meletakkan baki yang penuh dengan gelas kecil-kecil. Di situ ada pula seorang perawat. Wanita itu bersikap seolah-olah tidak melihat Jupiter. Ia sibuk dengan sebuah daftar.

Jupiter mendehem.

"Mrs. Margaret Compton, kamar nomor 203," katanya."Bisakah ia dijenguk?"

Perawat tadi mendongak.

"Ia baru saja diberi obat penenang." katanya dengan galak.

"Oh." Wajah Jupiter yang bulat dan ceria ditekuk, sehingga menimbulkan kesan kecewa.

"Saya bisa saja kembali lagi nanti" katanya dengan sikap memelas, "tapi saya ingin sekali berjumpa dengan Bibi Margaret, sedang nanti siang saya harus bekerja. Kalau tidak datang tepat pada waktunya di toko, gaji langsung dipotong."

"Ya, baiklah! Tunggu sebentar - akan kulihat dulu keadaannya."

Perawat itu pergi menyusur lorong. Tidak sampai semenit kemudian, ia sudah kembali.

"Ia belum tidur," katanya."Kau boleh masuk, tapi jangan lama-lama, ya! Ia perlu sekali beristirahat."

Jupe mengatakan bahwa ia pasti takkan terlalu lama, lalu bergegas ke kamar 203. Pintu kamar itu terbuka. Di satu-satunya tempat tidur yang ada di dalamnya berbaring seorang wanita berwajah bulat kemerah-merahan. Rambutnya lebat, sudah putih seluruhnya. Matanya nampak mengantuk. Ia tidak bisa bergerak dengan leluasa, karena bagian tubuhnya dari pinggang sampai ke ujung kaki terbungkus pembalut dari gips. Pembalut itu nampak menggembung di bawah seprai penutup tubuh.

"Mrs. Compton?" kata Jupiter Jones.

Mata wanita yang sudah nyaris terpejam itu melihat bunga violces di dalam pot yang dibawa Jupiter.

"Bagusnya," kata wanita itu.

"Violces ini bagus sekali," kata Jupiter."Dari Pasar Kembang Barat, dan orang yang membelinya tadi menghendaki agar diserahkan langsung pada Anda."

Wanita berambut putih itu mengambil sebuah kotak berisi kaca mata dari bawah bantal. Kaca mata itu dikeluarkannya dari dalam kotak lalu dipakai.

"Tolong kemarikan kartu itu," katanya.

Jupiter meletakkan pot bunga ke atas meja yang terdapat di samping tempat tidur, lalu menyodorkan kartu yang mengiringi pada Mrs. Compton.

Wanita itu memicingkan mata, lalu membaca tulisan yang tertera di situ.

"Semoga lekas sembuh." Ia nampak heran. Dibaliknya kartu itu."Tidak ditandatangani" katanya.

Itu tidak perlu lagi dikatakan pada Jupiter.

"Seperti barang yang kemarin juga," kata Margaret Compton.

"Penyerahannya juga disertai kartu pengiring, tapi tanpa tanda tangan. Ceroboh sekali, mengirim kartu - tapi tidak ditandatangani."

"Mungkin saya bisa membantu menjelaskannya," kata Jupiter Jones."Laki-laki yang membeli bunga ini tadi jangkung, dan sangat kurus. Rambutnya hitam, dan tampangnya pucat sekali."

Mrs. Compton hanya menggumam saja. Nampaknya ia sudah akan terlelap.

Jupiter mencari-cari akal, untuk mengetengahkan persoalan kobra. Tapi sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, wanita itu sudah lebih dulu membuka mulut.

"Aneh - laki-laki yang kemarin mengantar kobra, tampangnya seperti begitu. Siapa ya - yang, yang..."

"Kobra?" kata Jupiter mengulangi.

Mrs. Compton kelihatannya sudah hampir tidur lagi. Jupiter cepat-cepat mendului berbicara.

"Kobra? Aneh! Anda gemar mengumpulkan reptil?"

Wanita berambut putih itu membuka matanya.

"Tidak, bukan kobra benar. Cuma gelang saja. Aku sebetulnya..." Ia terlena sesaat.

"Anda biasanya tidak suka benda-benda berwujud ular?" desak Jupe.

"Betul. Ular itu binatang menjijikkan. Tapi yang ini nampak... kelihatannya bagus! Aku langsung memakainya. Ingin rasanya tahu, siapa yang mengirimkannya." Tangan wanita itu bergerak ke arah laci meja yang ada di sisi tempat tidur."Akan kutunjukkan padamu," katanya."Di dalam dompetku."

Jupiter menarik laci, lalu menyerahkan dompet yang ditemukannya di situ pada Mrs. Compton. Tangan wanita itu meraba-raba dompet, membukanya, dan menggerapai ke dalam.

"Lihatlah. Bagus, kan...?"

"Sangat menarik," kata Jupiter Jones. Diambilnya gelang dari tangan wanita itu, lalu diperhatikan. Benda itu memang menarik - sebuah lingkaran dari logam berwarna emas yang terputus sebagian, untuk menyelipkan pergelangan tangan ke dalamnya. Ujung lingkaran berbentuk kepala kobra. Matanya batu mulia - atau setengah mulia - berukuran kecil sekali. Di belakang bagian yang merupakan kepala, lingkaran agak pipih, membentuk tudung kobra itu. Tudung itu dihiasi lapisan halus berwarna hijau dan biru. Jupiter mengusap-usap sisi dalam gelang itu dengan jari. Terasa halus sekali.

"Anda memakai gelang ini kemarin, sewaktu mengemudikan mobil?"

"Ya, aku memakainya. Kemarinkah itu? Rasanya sudah lama sekali." Wanita itu memutar kepalanya. Matanya dipejamkan."Konyol," katanya dengan nada mengeluh. "Masa, roda bisa begitu saja copot!"

"Salah satu roda terlepas," kata Jupiter."Tidak ada lainnya yang mengejutkan Anda? Sesuatu yang ada di dalam mobil?"

Mrs. Compton membuka matanya lagi. "Sesuatu di dalam mobil? Tidak ada. Tapi roda. Roda itu tiba-tiba terlepas. Aku melihatnya berguling-guling mendului di jalanan - lalu setelah itu jembatan, dan... dan..."

Jupiter mendengar bunyi menggeresek di ambang pintu yang dibelakanginya. Ia berpaling. Dilihatnya perawat yang tadi menatapnya dengan kening berkerut.

"Ah ya, saya memang sudah hendak pergi," kata Jupiter pada perawat itu. Ia mengembalikan gelang berkepala kobra pada Mrs. Compton."Mudah-mudahan Anda menyukai tanaman bunga itu." katanya lirih, lalu ke luar.

"Sudah kubilang tadi, jangan lama-lama," tukas perawat itu.

­"Maaf," kata Jupiter."Saya tadi hanya ingin bicara sebentar saja."

Ia turun kembali dengan lift ke lantai satu, lalu bergegas meninggalkan rumah sakit.

"Ada hasil?" tanya Pete, ketika Jupiter sudah sampai di samping truk.

"Ya." Jupiter naik, lalu duduk di sisi Pete."Ular itu ada padanya."

"Ular?" Hans tercengang."Maksudmu, ia membawa ular? Di rumah sakit?"

"Bukan ular benar, Hans," kata Jupiter, "cuma gelang saja, dengan hiasan kepala kobra."

"Mungkin gelang itu mengandung rahasia tertentu," kata Pete berusaha menduga."Para bangsawan Borgia di Italia dulu memiliki cincin-cincin dengan rongga tersembunyi yang berisi racun, dan jarum yang bisa diluncurkan untuk menusuk orang yang tidak disukai."

Jupiter menggeleng.

"Aku tadi sempat meneliti gelang itu dengan cermat. Gelang itu biasa-biasa saja - tapi Hugo Ariel sendiri yang menyerahkannya pada Mrs. Compton. Kecuali gelang itu tidak ada ular lain di dalam mobil yang dikemudikan olehnya, sewaktu kendaraan itu menabrak pinggiran jembatan kemarin. Salah satu rodanya terlepas dengan tiba-tiba, sehingga mobil tidak bisa dikendalikan lagi, lalu menubruk. Jika ada yang bisa menjelaskan bagaimana sebuah gelang bisa menyebabkan roda mobil terlepas, dengan senang hati aku akan memakan tungku-tungku besi yang baru saja dibeli Paman Titus!"