Trio Detektif - Misteri Naga Batuk(2)



Bab 11

KENGERIAN DI MALAM BUTA

KEADAAN di sekitar tangga gelap gulita. Angin malam yang terasa asin menyengat muka. Dinding tebing menjulang di atas pantai.
Bayangannya gelap dan suram di pasir yang diterangi sinar bulan.

Tangga yang dituruni ternyata kokoh. Jenjang-jenjang paling bawah mereka lewati dengan langkah berlari. Akhirnya mereka melompat ke pasir, diiringi desahan napas lega.

Jupiter menoleh ke atas. Di sana-sini nampak cahaya lampu, di beberapa rumah yang terdapat di sepanjang bibir tebing.

Ketiga remaja itu kemudian mulai berjalan, di atas pasir lembab berwarna gelap. Mereka lewat di depan sisa-sisa tangga yang roboh ketika mereka lalui pagi itu.

Kemudian mereka berhenti, ketika sudah dekat ke mulut gua yang dituju. Mereka memasang telinga, sambil memandang berkeliling dengan hati-hati. Tapi mereka tidak melihat sesuatu yang bergerak di dalam gua. Di sekitarnya juga tidak!

Jupiter mendongak lagi. Dinding tebing yang menjorok ke depan, menyebabkan ia tidak bisa melihat bibir yang di atas. Keningnya berkerut. Ia berperasaan bahwa kenyataan itu penting-walau ia tidak tahu kenapa.

Akhirnya ia mengangguk.

"Aman!"

Dengan cepat ketiga remaja itu menyusup masuk ke dalam gua. Sesampainya di situ Jupiter berhenti lagi, lalu mendengarkan dengan cermat. Pete heran melihat kelakuannya. Jupiter bersikap seolah-olah mereka itu sedang hendak melancarkan aksi penyergapan.

"Kenapa kau begitu berhati-hati?" bisik Pete. "Kusangka penyelidikan kita ini tidak membahayakan."

"Walau begitu kita tidak boleh bersikap ceroboh," balas Jupiter sambil berbisik pula.

Pete menyalakan senternya. Sinarnya ditelusurkan ke sepanjang dinding gua. Setelah itu diturunkan arahnya, menerangi tanah di depan. Napasnya tersentak, karena kaget.

"Kalian lihat itu?" katanya. "Liang gua ini berakhir di sana - langsung di belakang lubang! Kalau begitu, lewat mana kedua penyelam tadi siang keluar?"

Jupiter maju lambat-lambat, sambil menyorotkan senternya berkeliling.

"Gua ini tidak sebesar perkiraanku," katanya sambil memperhatikan. "Pertanyaanmu itu baik sekali, Pete. Bagaimana kedua penyelam itu bisa keluar dari sini? Lewat mana? Dan ke mana?"

Ketiga remaja itu berkeliling, memeriksa dinding gua.

"Seluruhnya dari batu keras," kata Pete. "Bagus!"

"Apa maksudmu, Pete?" tanya Bob.

"Kau tidak mengerti?" balas Pete. "Lihat saja, betapa sempit gua ini! Begitu pula lubang ini. Maksudku tadi, tidak mungkin ada naga bisa masuk kemari!"

Jupiter kelihatan bingung.

"Tapi Mr. Allen mengatakan, ia melihat seekor naga muncul dari dalam laut, lalu masuk ke gua di bawah tebing ini." Ia memandang dengan cermat, ke dalam lubang. "Kedua penyelam bermasker tadi tidak mungkin menghilang begitu saja. Harus kita anggap, di sekitar sini pasti ada liang gua yang lain. Atau bisa juga lubang lain dalam gua yang ini. Mungkin ada lorong-lorong lain yang lebih besar, di dekat-dekat sini."

"Wow!" seru Bob dengan tiba-tiba. "Benar juga, untung teringat lagi!"

Dengan cepat diceritakannya hal-hal yang dibacanya di perpustakaan, serta yang didengar dari ayahnya.

"Terowongan, katamu?" ulang Jupiter sambil merenung.

Bob mengangguk dengan tegas.

"Menurut perencanaannya, terowongan itu dimaksudkan sebagai tempat lintasan jaringan kereta bawah tanah pertama di pesisir barat sini. Yang selesai baru sebagian saja - dan sekarang pun masih ada. Jadi bisa dibilang jaringan rel mati."

"Menarik juga keteranganmu itu, Bob," kata Jupiter. "Tapi letaknya mungkin jauh dari sini. Lagi pula, kita tidak tahu apakah pembangunan terowongan waktu itu sudah sampai ke sini, atau dimulai dari sini."

Kegairahan Bob langsung lenyap.

"Benar juga katamu itu, Jupe."

"Karena kita sudah ada di sini, tidak ada salahnya jika kita mencarinya," kata Jupiter lagi. "Tapi cara terbaik untuk mencari terowongan, adalah dengan melihat peta. Dan kemungkinannya itu bisa diperoleh di kantor Badan Perencana Kota Seaside."

"Sesudah lima puluh tahun lewat?" Pete tertawa. "Pembuat peta itu mungkin sudah lama mati. Dan jika peta itu masih ada, aku berani bertaruh bahwa letaknya tertimbun di bawah tumpukan naskah tua yang berdebu."

Jupiter mengangguk.

"Itu mungkin saja, Pete. Tapi karena sekarang kita sudah ada di sini, kita cari saja terowongan itu, sambil melakukan penyelidikan." Ia berpikir sebentar. "Kurasa sebaiknya kita mulai dengan lorong yang secara kebetulan kita temukan tadi pagi, di balik papan-papan penutup."

Pete dan Bob mengangguk, tanda setuju. Mereka mendatangi tempat di mana terdapat papan-papan panjang berjejer-jejer. Jupiter menghapus pasir dan debu yang menempel. Kini nampak bidang papan yang lebar. Tiba-tiba Bob melihat mata Jupiter berkilat-kilat.

"Ada apa, Jupe?" bisik Bob.

Kening Jupiter berkerut.

"Aku belum bisa memastikan," katanya. "Tapi papan-papan kelihatannya terbuat dari kayu lapis."

"Kayu lapis?" ulang Bob.

"Ya, kurasa begitu," kata Jupiter, sambil meraba-raba permukaan papan di depannya. "Tapi aku belum bisa memastikan, apa hubungannya dengan misteri kita. Sekarang sebaiknya kita gali dulu pasir yang tertimbun di sini, supaya papan-papan ini bisa digeser."

Dengan segera papan yang pernah mereka geser sudah tergali lagi sisi bawahnya, lalu didorong sehingga terbuka sedikit. Ketiga remaja itu menyusup lewat celah sempit, yang kemudian ditutup lagi. Setelah itu mereka menyalakan senter, untuk melihat di mana mereka berada.

Jupiter beserta kedua temannya berada di dalam gua kecil dan sempit. Langit-langitnya rendah. Tapi mereka masih bisa berdiri tegak di situ, tanpa perlu membungkuk. Ruangan itu lembab. Bentuknya miring, dan ke arah belakang berakhir pada dinding batu rendah.

"Buntu lagi," kata Pete menggerutu. "Ini cuma rongga biasa, bukan lorong."

Jupiter mengangkat bahu.

"Walau begitu, merupakan persembunyian yang baik sekali untuk penyelundup, atau bajak laut. Kurasa tempat ini dulu sering dipakai. Papan-papan yang menutupi menunjukkan bahwa tempat ini hendak dirahasiakan dari orang luar."

"Bajak laut, katamu?" Bob menyorotkan senternya ke dasar gua. "Mungkin saja ada keping-keping uang emas yang tercecer di sini."

Dengan segera Pete menemaninya. Kedua remaja itu merangkak-rangkak, sambil meraba-raba lapisan pasir yang tipis.

Pete yang paling dulu berdiri lagi.

"Tidak ada apa-apa," katanya dengan nada kecewa. "Jika tempat ini benar-benar pernah dijadikan tempat menyembunyikan harta rampasan, yang jelas para bajak laut itu sangat teliti ketika mengambil harta itu kembali."

Bob masih merangkak terus, sambil mencari-cari. Akhirnya ia sampai di ujung belakang gua. "Barangkali saja ada yang tercecer di sudut," bisiknya.

Sementara itu Jupiter mengarahkan sinar senternya ke bagian yang ditutupi papan. Ia meneliti permukaan papan, setelah dikeruknya pasir dan debu yang menempel. Tiba-tiba didengarnya Bob berteriak, belakangnya, dengan cepat ia berpaling untuk melihat. Bob tidak ada lagi! "Bob!" Jupiter melangkah ke arah belakang rongga, tapi kemudian tertegun. Ia bingung.

"Ada apa?" tanya Pete, Ia berdiri sambil menatap dengan heran. Jupiter hanya bisa menuding ke arah dinding gua yang ada di hadapan mereka.

"Baru saja ia masih ada di situ. Kau tidak melihatnya? Tahu-tahu lenyap, seakan-akan tertelan dinding gua."

"Apa?" Pete menerjang dinding gua. Tapi dinding itu tetap tegar. "Aneh," gumamnya. Ia menyorotkan senternya ke tanah. "Sekali ini tidak ada lubang yang menelannya."

Ia membungkuk, lalu meneliti dasar gua di tempat itu. Tiba-tiba terdengar lagi bunyi berat. Mata Pete terbelalak. Senter di tangannya digenggam lebih erat. Ia menoleh ke arah Jupiter, Ia heran, melihat temannya itu tersenyum.

"Tidak ada apa-apa," kata Jupiter. "Itu cuma Bob, yang muncul kembali."

Pete berpaling kembali dengan cepat. Ia masih sempat melihat sebagian dari dinding gua yang sebelah belakang bergeser. Saat berikutnya nampak lubang menganga. Bob merangkak ke luar lewat lubang itu.

"Bukan main!" kata Bob. "Bayangkan - ada sebagian dinding gua, yang sebenarnya pintu rahasia! Aku tadi kebetulan saja bersandar ke sini - lalu tahu-tahu terbuka!"

"Ada apa di belakang sana?" tanya Jupiter bersemangat. Bob kaget.

"Aduh - aku tidak sempat memperhatikan, Jupe! Habis, kejadiannya begitu cepat, sih! Coba kulihat, apakah aku bisa mendorongnya lagi sehingga terbuka!"

Ia berjongkok, lalu menyandarkan diri ke dinding rendah itu. Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Tapi ketika Bob menggeser letak bahunya, tahu-tahu terdengar detakan keras. Dinding batu itu tergeser dengan bunyi berat. Tubuh Bob terdorong ke belakang.

"Aku masuk lagi!" setunya. "Cepat - sementara masih terbuka!"

Pete dan Jupiter menyusul Bob yang sudah lebih dulu terpental masuk.

"Wow!" seru Pete bersemangat. "Ini baru lebih pantas!"

Gua yang mereka masuki sangat lapang, dan tinggi langit-langitnya. Ujung belakangnya tak tercapai sinar senter. Arahnya ke darat, sejajar dengan gua yang pertama-tama dimasuki.

Ketiga remaja itu berdiri, karena hendak memeriksa rongga besar itu. Saat itu terdengar bunyi benda berat tergeser. Mereka berpaling dengan cepat.

Tapi terlambat.

Lubang yang menganga sudah tertutup kem­bali! "Wah - mati kita!" gumam Pete lesu.

"Itulah yang terjadi dengan Bob tadi. Aku yakin, kita nanti pasti bisa mengetahui cara kerjanya," kata Jupiter dengan tenang. "Kemungkinannya dengan sistem ungkit yang sederhana. Tapi itu nanti saja, sekarang kita akan memeriksa gua ini dulu."

Bob mendongak, memandang langit-langit yang melengkung di atas kepala.

"Wow!" desahnya. "Coba kaulihat, Jupe, betapa tingginya. Mungkin inilah terowongan yang disebut dalam buku yang kubaca itu!"

Jupiter mengangguk.

"Itu bisa saja, Bob. Tapi coba kauperhatikan, dinding dan langit-langit di sini, permukaannya berupa lapisan batu alam yang kasar. Seperti Liang gua biasa. Sedang terowongan yang kauceritakan tadi, sudah selesai dibangun. Keadaannya pasti tidak begini lagi. Mestinya dengan dinding beton, serta lantai semen. Bahkan mungkin pula sudah ada rel yang terpasang. Atau paling sedikit landa­san untuk rel."

Jupiter menggelengkan kepala, lalu menyorot­kan senternya berkeliling.

"Tidak - ini kelihatannya seperti gua alam biasa, berukuran besar. Jalan masuk dari pantai juga tidak ada. Dinding di sekitar sini kelihatannya rata, tidak berlubang. Tapi coba kita telusuri terus, ke arah darat. Siapa tahu, mungkin kita nanti tahu-tahu sampai di lorong yang akan dijadikan terowongan kereta bawah tanah."

"Satu hal yang kusenangi tentang tempat ini, yaitu tidak ada hubungan dengan pantai di luar," kata Pete. "Itu berarti, tidak ada jalan masuk, untuk naga misalnya!"

"Berarti kita bernasib baik," kata Jupiter sambil tersenyum. "Pokoknya, satu hal sudah jelas tentang gua ini. Ukurannya cukup lapang untuk naga, atau makhluk lain sebesar itu."

"Terima kasih, atas kebaikan hatimu untuk mengingatkan," kata Pete menggerutu. "Padahal aku baru saja agak merasa lega di sini."

Lantai gua itu datar dan rata. Ketiga remaja itu bisa berjalan dengan langkah tetap di situ. Namun tiba-tiba mereka berhenti.

Langkah mereka terhalang dinding tinggi yang lurus ke atas dan berwarna kelabu.

"Kita sampai di ujungnya," kata Pete. "Kelihatannya kita menemukan tempat parkir tak terpakai, yang paling besar di dunia!"

Jupiter mencubiti bibir bawahnya. Ia kelihatannya seperti bertanya-tanya dalam hati.

"Ada yang tidak beres, Jupe?" tanya Bob.

"Dinding di depan kita ini," kata Jupiter. "Ada sesuatu mengenainya, yang tidak wajar."

Bob dan Pete menyinarkan senter mereka ke arah dinding itu. Kemudian kedua-duanya menggeleng.

"Kelihatannya seperti dinding biasa saja, Jupe," kata Bob. "Tentu, aku pun ikut kecewa, seperti kau. Aku ingin -"

Tapi Jupiter tidak memperhatikan kata-katanya. Matanya agak terpejam, mengamat-amati dinding yang ada di depannya. Diketuk-ketuknya suatu bagian, lalu berpindah ke bagian lain, dengan telinga dirapatkan ke permukaannya yang kelabu.

"Bunyinya ganjil, Jupe,"kata Bob.

Jupiter mengangguk. Keningnya berkerut. Ia pergi ke dinding samping, lalu mengetuk-ngetuk bagian itu.

"Berbeda," katanya kemudian. "Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi -"

"Ah - sudahlah, Jupe," kata Pete tidak sabaran, "jika kau tidak bisa membuktikan bahwa itu bukan dinding, maka itu dinding. Yuk, kita keluar lagi. Aku kedinginan di sini."

Air muka Jupiter langsung berubah.

"Itu dia!" serunya bersemangat. "Dingin! Dinding itu tidak dingin, seperti dinding yang sebelah pinggir. Coba kalian rasakan sendiri!"

Bob dan Pete bergegas membandingkan kedua bagian dinding itu.

"Kau benar, Jupe," kata Pete mengakui. "Dinding sebelah belakang tidak sedingin dinding samping. Tapi apalah artinya kenyataan itu?! Jangan lupa, gua ini terletak di bawah rumah-rumah yang ada di bibir tebing. Bisa saja panas dari atas merembes ke bawah, dan membuat dinding belakang itu terasa agak hangat."

"Panas naik ke atas, Pete," kata Jupiter.

"Di belakangnya mungkin ada rongga atau lorong lagi," kata Bob menduga. "Itu pun bisa menyebabkannya terasa lebih hangat, Jupe."

Tapi Jupiter menggeleng. Bibirnya menipis, seperti biasa jika ia tidak sependapat dengan kedua temannya.

Ia mengeluarkan pisau saku dari kantungnya, lalu mengorek-ngorek permukaan dinding yang kasar dan berwarna kelabu.

Pete tertawa.

"Paling-paling pisaumu yang rusak, jika kau hendak mengorek lubang menembus dinding batu itu, Jupe! Untuk itu kau memerlukan dinamit."

Jupiter tidak mengacuhkan ocehan Pete. Ia terus saja mengorek-ngorek. Setelah itu diperhatikannya mata pisaunya. Ada gumpalan-gumpalan kecil berwarna kelabu melekat di situ.

Ia berpaling, memandang teman-temannya. Setengah tersenyum puas, ia membuka mulut - seakan-akan hendak mengatakan sesuatu hal yang penting. Tapi senyumannya lenyap lagi, sementara matanya menatap sesuatu yang ada di belakang Bob dan Pete.

"G-gua -" kata Jupiter dengan suara serak, "e-entah dengan cara b-ba-bagaimana, t-tapi dinding gua di belakang kalian t-terbuka!"

Kedua temannya berpaling dengan sikap tak percaya. Tadi kan tidak ada apa-apa di situ. Mana mungkin sekarang terbuka?

Dengan mata terbelalak, mereka memandang hal yang mestinya tidak mungkin!

Gua terbuka dengan perlahan-lahan, makin lama makin lebar. Ruangan di dalamnya menjadi agak terang sekarang. Terasa angin menghembus.

Ketiga remaja itu menatap terus dengan jantung berdebar-debar, sementara gua terbuka semakin lebar. Kini mereka dapat melihat pasir pantai yang nampak samar, dan lebih jauh lagi, garis gelap yang merupakan laut.

Jupiter yang paling dulu bisa berbicara lagi, "Cepat! Kita harus kembali ke rongga yang tadi!"

Ketiga remaja itu lari, lalu menubrukkan diri ke bongkah batu yang tadi terbuka ketika Bob bersandar ke situ.

Bob menekan-nekan batu itu dengan sikap panik. Lalu dibentur-benturkan dengan bahunya. Akhirnya ia menoleh ke arah Pete dan Jupiter.

"Tidak bisa," katanya dengan suara bergetar. "A-aku lupa apa yang kulakukan tadi, sampai bisa terbuka!"

"Sini, aku yang mencoba," kata Jupiter. "Pasti memakai prinsip pengungkit. Kita mesti bisa menemukan tempat tepat yang harus didorong."

Ia dibantu Pete mendorong dan memukul-mukul permukaan batu yang tetap tegar, sementara Bob terus mencari-cari tempat yang terdorong olehnya tadi.

Tiba-tiba mereka seakan-akan terpaku di tempat masing-masing. Gua menjadi terang, karena sudah terbuka lebar. Dan ada sesuatu yang datang ke arah mereka. Sesuatu yang gelap dan besar sekali. Datangnya dari arah laut!

Pete mencengkeram bahu Jupiter. "Sedang mengkhayalkah aku ini?" katanya dengan napas sesak.

Jupiter hanya bisa menggeleng. Mulutnya terasa kering. Matanya terkejap-kejap cepat. Ia berusaha berbicara.

"Tidak -" katanya kemudian, "- itu memang naga!"

Makhluk dongeng yang menyeramkan itu semakin mendekat. Kini nampak jelas kulitnya yang berkilat basah karena air laut. Kepalanya hanya nampak samar, berukuran kecil dan berbentuk segi tiga, di ujung leher panjang melengkung yang bergerak-gerak terus. Matanya yang kuning tertatap ke arah gua. Sinarnya memancar ke dalam, seperti sepasang lampu sorot. Makhluk itu bergerak maju, dengan bunyi mendengung aneh.

Sesaat kemudian ia sudah begitu dekat, mulut gua seakan-akan penuh terisi badannya. Makhluk itu menundukkan kepala. Anak-anak melihat lidah yang bercabang bergerak keluar-masuk dengan cepat, seolah-olah hendak mencicip mereka. Naga itu mendesis-desis. Bunyi dengungannya seperti desahan rindu.

Ketiga remaja yang terkurung di dalam gua semakin panik. Mereka berusaha terus membuka tingkap rahasia yang tidak bisa digerakkan. Batu keras itu ditubruk-tubruk dari berbagai sudut.

"U-u-ugh!" Makhluk menyeramkan itu sudah masuk ke dalam gua. Anak-anak mendengar bunyi napasnya yang mendesah kasar.

Mereka merapatkan diri ke dinding gua, sementara kepala naga yang menakutkan itu menjulang tinggi di atas mereka. Kemudian lehernya yang panjang bergerak ke samping, lalu ke bawah. Makhluk itu membuka mulutnya yang basah berair. Nampak deretan giginya yang besar dan berkilat. Terdengar lagi bunyi napas mendesah kasar, disusul oleh suara batuk.

Jupiter pernah membaca bahwa harimau yang sedang berburu biasa batuk sesaat sebelum menerkam mangsanya. Waktu itu ia membacanya secara sambil lalu saja. Tapi kini ia bergidik, karena teringat.

Matanya seperti terpaku, menatap kepala naga yang kelihatan gelap. Kepala itu bergerak meng­ayun-ayun, seperti hendak memukau - lalu dengan tiba-tiba mengayun lagi, mendekati ketiga remaja itu. Jupiter mundur, merapatkan diri pada kedua temannya, sementara tangannya masih sibuk meraba-raba, mencari tempat yang tepat pada batu bandel itu supaya bisa didorong.

Rahang naga yang berkilat basah semakin mendekat, lalu terbuka lagi. Anak-anak merasakan napasnya yang panas dan beruap.

Tiba-tiba terdengar bunyi detakan di belakang mereka. Batu yang disandari bergetar. Jupiter berpaling dengan cepat. Ia melihat Bob terjungkir ke rongga sebelah. Sedang Pete masih terpaku, menatap naga seperti terpukau. Jupiter menyen­takkan tangan anak itu dan mendorongnya masuk ke dalam lubang yang kini terbuka. Setelah itu ia sendiri menyusul, sambil mengecilkan perut.

Batu tingkap tertutup kembali dengan suara berat, sementara anak-anak menghembuskan napas lega. Tapi kelegaan mereka hanya sesaat.

Mereka mendengar suara naga memekik marah. Dinding batu yang memisah terasa bergetar, sementara ada sesuatu yang berat menggaruk-garuk dan membenturnya dari sisi sebaliknya.



Bab 12

CENGKERAMAN KENGERIAN

"KITA dikejar!" teriak Pete.

Raungan di gua sebelah terdengar bertambah nyaring. Dinding batu yang memisahkan kedua rongga bawah tanah bergetar keras karena tumbukan yang bertubi-tubi. Pasir dan batu-batu kecil mulai berguguran dari langit-langit rongga sempit tempat anak-anak meringkuk ketakutan. Debu kering bercampur pasir berhamburan memenuhi ruangan.

"Tanah longsor!" kata Pete sambil terbatuk-batuk. "Kita terjebak!" seru Bob. "Kita tidak bisa bernapas lagi nanti!"

Jupiter teringat pada keterangan Arthur Shelby mengenai bahaya yang mengancam dalam gua - tentang tanah longsor, serta tertimbun hidup-hidup di dalamnya.

Ternyata Arthur Shelby tidak hanya hendak menakut-nakuti saja.

Semakin banyak batu berguguran. Bunyi benturan dan raungan bertambah nyaring terdengar. Jupiter mengguncang-guncangkan kepala. Dengan cara begitu hendak disingkirkannya rasa ngeri yang mencengkam.

Kemudian disadarinya bahwa matanya tertatap ke papan-papan yang berjejer-jejer di ujung seberang rongga. Aduh, tentu saja! Aneh, betapa rasa takut dapat membuat pikiran serasa lumpuh.

"Papan-papan di sana itu!" teriaknya sambil menuding. "Kita keluar lewat situ lagi!"

Ketiga penyelidik remaja yang sedang dicengkeram kengerian itu berlompatan ke sisi rongga yang dibatasi papan-papan. Dengan gugup Bob dan Jupiter mulai menggali pasir di situ, sementara Pete menggedor-gedor papan yang tebal, berusaha menggesernya. Sesaat kemudian papan itu sudah tergeser. Sesaat, tapi rasanya seperti seumur hidup! Ketiga remaja itu menyusup ke luar lewat celah yang terjadi.

Papan lebar mereka kembalikan ke tempat semula. Pasir di sekitarnya dirapatkan lagi dengan kaki, sehingga mengganjal papan itu. Kemudian mereka berpandang-pandangan. Napas mereka tersengal-sengal.

"Sekarang kita lari!" kata Jupiter, lalu mulai bergerak.

Ia sebenarnya tidak berniat lari paling cepat. Kakinyalah yang melakukannya. Kaki-kaki itu membawa tubuhnya langsung ke mulut gua. Kemudian ia berada di atas pasir pantai, masih dalam keadaan berlari.

Pete berlari di sampingnya. Anak itu yang paling kekar di antara mereka bertiga, dan biasanya yang paling cepat larinya. Bob menyusul di belakang.

Biasanya mereka dengan mudah saja bisa melewati Jupiter.

Gerak langkah mereka menyebabkan sinar senter yang dipegang nampak bergerak-gerak liar. Mereka melewati tangga yang sudah roboh. Akhirnya mereka sampai ke jenjang terbawah dari tangga berikut. Mereka tahu bahwa Worthington ada di atas tebing, dengan mobil Rolls-Royce yang dapat dengan cepat melarikan mereka ke tempat yang aman. Sedang di belakang ada makhluk meraung yang muncul dari dalam laut, dan yang saat itu sedang mencari-cari mereka dengan marah.

Dengan cepat mereka mendaki tangga yang terjal. Mereka sudah separuh jalan ke atas. Makhluk berahang ganas dan dengan napas panas beruap yang kelihatannya ingin memangsa mereka, masih belum muncul juga di belakang. Akhirnya mereka sampai di puncak tangga, dalam keadaan tersengal-sengal.

Jauh di depan nampak kelap-kelip lampu-lampu di kota Los Angeles. Dan tidak jauh dari mereka ada mobil Rolls-Royce yang diparkir di pinggir jalan, dengan Worthington yang pasti sudah siap di belakang kemudi.

Ketiga remaja itu berpacu menuju Rolls-Royce besar dan mulus, yang nampak berkilat karena bagian-bagiannya yang terbuat dari logam kena sinar rembulan. Pintu dibuka dengan cepat, dan mereka berebut-rebut masuk.

"Kita pulang, Worthington!" kata Jupiter dengan suara terputus-putus karena kepayahan berlari.

"Baik, Master Jones," kata sopir yang jangkung dan berpenampilan anggun itu. Seketika itu juga mesin dinyalakan. Mobil mewah itu mulai meluncur, menuruni jalan yang berbelok panjang, menuju Pacific Coast Highway. Jalannya makin lama makin laju.

"Tak kusangka kau mampu berlari secepat tadi, Jupe," kata Pete dengan napas masih tersengal-sengal.

"Aku sendiri pun tidak menyangka," jawab Jupiter sambil menghembus-hembus. "Mungkin - itu karena aku - selama ini - belum pernah melihat - naga."

"Bukan main!" keluh Bob, sambil merebahkan punggung ke sandaran bangku yang berlapis kulit. "Sekali ini aku benar-benar mengucap syukur, mempunyai hak memakai mobil ini!"

"Aku juga," kata Pete. "Tapi menurut pendapat­mu, kenapa naga tadi bisa tahu-tahu muncul, padahal kita sudah memutuskan bahwa tidak mungkin ada naga."

"Entahlah," kata Jupiter, Ia masih berusaha mengatur napas.

"Nah, kalau kau kapan-kapan berhasil mengetahuinya, aku tidak perlu kauberi tahu," kata Pete. "Yang kulihat tadi itu saja rasanya sudah sulit kulupakan!"

"Bagaimana itu sampai bisa terjadi?" tanya Bob. "Menurut keterangan dalam buku-buku yang pernah kubaca, katanya naga sudah punah. Itu pun bukan naga, tapi kadal raksasa! Dewasa ini makhluk raksasa seperti tadi sudah tidak ada lagi!"

Jupiter menarik-narik bibir bawahnya.

"Entahlah - aku tidak tahu." Ia menggeleng, sementara keningnya dikerutkan. "Jawaban yang paling gampang ialah, bahwa kita tadi sama sekali tidak melihat naga. Jika naga tidak ada, maka tidak mungkin kita tadi melihatnya."

"Bagaimana sih, kau ini?" tukas Pete. "Jika kita tadi tidak melihat naga, lalu apa yang masuk ke dalam gua, lalu menghembuskan napasnya yang panas ke arah kita?"

"Kelihatannya memang seperti naga," kata Bob. Saat itu Worthington menoleh ke belakang.

"Maaf, tapi mau tidak mau saya ikut menangkap pembicaraan kalian. Benarkah pendengaran saya, bahwa kalian tadi melihat naga? Naga sungguh-sungguhan, dan hidup?"

"Betul, Worthington," kata Pete, "Ia muncul dari dalam laut, lalu langsung menuju ke gua yang sedang kami periksa. Anda pernah melihat naga?"

Sopir berkebanggaan Inggris itu menggeleng. "Tidak, nasib saya tidak semujur itu. Tapi di Skotlandia ada makhluk yang juga menyeramkan, dan hanya beberapa orang saja yang pernah melihatnya. Seekor ular laut yang besar dan panjang, yang gerakannya seperti berombak. Makhluk itu disebut monster dari Loch Mess. Kabarnya ia masih muncul, sekali-sekali."

"Anda pernah melihatnya, Worthington?" tanya Jupiter.

"Belum pernah, Master Jones," jawab sopir itu. "Tapi ketika saya masih remaja, saya pernah berkelana dekat Loch Ness - yang berarti Danau Ness, dalam logat Skot - karena tersiar kabar bahwa ada yang melihat monster itu. Salah satu kekecewaan yang paling besar dalam hidup saya ialah bahwa saya tidak pernah melihat monster dari Loch Ness. Kabarnya, makhluk itu panjangnya sekitar seratus meter."

"Hmmm." Jupiter merenung. Kemudian ia berkata, "Dan menurut Anda tadi, Anda juga belum pernah melihat naga."

"Kalau naga yang sesungguhnya, belum," kata Worthington sambil tersenyum. "Yang pernah saya lihat hanya yang biasa muncul sebelum per­tandingan football."

"Pertandingan football?" tanya Bob. Ia mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Worthington bukan pertandingan sepak bola, melainkan olahraga bola khas Amerika yang mirip dengan rugby. Tapi naga, yang muncul sebelum pertandingan football? Sopir yang selalu bersikap sopan dan anggun itu mengangguk.

"Ya - pawai tahunan saat Tahun Baru yang biasa diadakan di dekat sini. Di Pasadena. Mobil-mobil berhias bunga-bunga. Kalau tidak salah, namanya Rose Bowl Parade."

"Tapi yang kami lihat tadi, tidak terbuat dari bunga-bunga yang dirangkai," kata Pete dengan cepat. "Sungguh! Ya kan, Jupe?"

"Hmm," jawab Jupiter. "Yang jelas, bukan terbuat dari bunga-bunga yang dirangkum. Yang tadi itu memang naga sungguhan." Ia berhenti sebentar, lalu menyambung, "Setidak-tidaknya, kita bertiga sependapat bahwa kelihatannya seperti naga."

"Senang juga rasanya, sekali ini kau mau sependapat dengan kami," kata Pete.

Jupiter merengut. Bibir bawahnya dicubit-cubit, tanda bahwa ia sedang sibuk berpikir. Ia tidak menjawab, melainkan memandang lewat jendela Rolls-Royce ke luar. Bibir bawahnya ditarik-tarik terus.

Beberapa waktu kemudian Rolls-Royce besar itu masuk ke pekarangan Jones Salvage Yard. Anak-anak turun. Jupiter mengucapkan terima kasih pada Worthington, sambil mengatakan bahwa ia akan menelepon lagi besok, jika ternyata memerlukan kendaraan.

"Baik, Master Jones," kata Worthington. "Perlu saya katakan bahwa tugas malam ini menyenangkan bagi saya. Senang juga rasanya, sekali-sekali tidak menjadi sopir nyonya-nyonya tua yang kaya-raya, atau pengusaha berada. Tapi sebelum kita berpisah, saya harapkan bisa mendapat jawaban atas satu pertanyaan yang timbul dalam diri saya. Tentang naga itu tadi."

"Ya, tentu saja, Worthington. Ada apa dengannya?"

"Begini," kata sopir itu, "kalian tadi dapat dikatakan bernasib baik, dapat melihat naga yang sebenarnya, katakanlah dalam keadaan hidup. Dan dari jarak dekat?"

"Terlalu dekat," jawab Pete dengan cepat. "Boleh dibilang sudah hampir menindih kami."

"Bagus!" Sekali ini Worthington tidak lagi bersikap menahan diri, seperti biasanya. "Jadi mestinya kalian sempat memperhatikan. Benarkah makhluk raksasa itu menyemburkan asap dan api dari mulutnya, seperti dikatakan dalam kisah-kisah lama?"

Jupiter berpikir sebentar, lalu menggelengkan kepalanya lambat-lambat.

"Tidak, Worthington, naga yang ini tidak menyemburkan api. Setidak-tidaknya, kami tadi hanya melihat asap."

"Ah, sayang!" kata Worthington. "Saya akan senang sekali, jika kalian tadi melihat naga dalam wujud seutuhnya!"

"Ya, Anda mungkin senang, Worthington," kata Pete. "Tapi apa yang kami lihat tadi sudah lebih dari cukup bagiku. Seumur hidupku aku tidak ingin mengalaminya sekali lagi. Baru berbicara mengenainya saja, aku sudah merinding."

Worthington mengangguk, lalu menjalankan Rolls-Royce yang disopirinya, meninggalkan tempat itu. Jupiter mengajak anak-anak masuk ke kompleks tempat penimbunan barang bekas.

Paman Titus dan Bibi Mathilda sudah tidur di rumah mungil yang terletak di sebelah kompleks. Hanya satu lampu kecil saja yang dibiarkan menyala, sebagai penerangan untuk Jupiter saat ia akan masuk.

Jupiter berpaling pada Bob dan Pete.

"Aku tidak tahu apakah kalian berdua akan menyukainya, tapi tidak peduli ada naga atau tidak, kita harus kembali ke gua tadi."

"Apaaa?" teriak Pete. "Tidak sadarkah kau, kita ini sudah mujur, bisa kembali dengan selamat?" Jupiter mengangguk. Ia mengangkat tangannya, yang tidak memegang apa-apa.

"Senterku tergantung pada ikat pinggangku, sama seperti punya kalian. Tapi karena panik ketika tadi lari meninggalkan gua, kita melupakan segala peralatan kita. Kameraku, alat perekam suara, tali - semuanya tertinggal di sana. Itu satu alasan, kenapa kita harus kembali ke sana."

"Baiklah," kata Pete menggerutu. "Alasan itu bisa diterima, walau bukan merupakan alasan kuat. Lalu apa alasanmu yang lain?"

"Naga itu sendiri," kata Jupiter lambat-lambat. "Menurutku, naga itu bukan naga sungguhan!" Kedua temannya menatap dengan mulut ternganga.

"Bukan naga sungguhan?" tukas Pete. "Kau hendak mengatakan, yang tadi menyebabkan kita lari pontang-panting ketakutan itu bukan sung­guhan?"

Jupiter mengangguk.

Bob menggeleng-geleng. "Jika yang tadi itu bukan naga sungguhan, akan kutelan kemejaku ini mentah-mentah!"

"Kuakui, kelihatannya memang seperti naga," kata Jupiter.

Pete nampak jengkel mendengar ucapan itu.

"Kalau begitu apa sebetulnya yang kauocehkan?" tukasnya.

"Kuakui, kelihatannya seperti naga," kata Jupiter mengulangi. "Tapi perangainya tidak!"

"Soal itu jangan kita perdebatkan sekarang, karena malam sudah larut," kata Jupiter. "Besok pagi akan kupaparkan dasar-dasar pertimbanganku, kenapa aku sampai mengatakan tidak percaya bahwa yang tadi itu naga sungguhan. Dan jika aku ternyata keliru apabila kita ke gua itu lagi, akan kulakukan apa yang kauancamkan tadi, Bob - akan kutelan kemejaku mentah-mentah."

"Kau tidak perlu repot-repot," kata Pete. "Naga yang akan menelannya untukmu. Dan sekaligus apa yang ada di dalam kemejamu itu."



Bab 13

KELAKAR ORANG YANG SUKA ISENG

BOB tidak bisa tidur enak malam itu. Padahal ia capek sekali, setelah mengalami rentetan kejadian mengerikan di dalam gua di Seaside. Tapi begitu matanya terpejam, ia langsung bermimpi dikejar-kejar naga besar yang menyembur-nyemburkan asap panas. Ia terbangun lagi, dengan jantung berdebar-debar. Setiap kali mata terpejam, setiap kali pula datang mimpi dikejar-kejar. Dalam mimpi terakhir, ia dan kedua temannya nyaris saja menjadi korban. Ia terbangun bersimbah keringat dingin. Badannya masih gemetar ketakutan.

Kini ada waktu baginya untuk merenungkan ucapan Jupiter, yang mengatakan bahwa makhluk yang menyeramkan itu bukan naga benar. Bob menggeleng-geleng. Tidak bisa dibayangkannya sesuatu yang lebih benar lagi.

Akhirnya ia terlelap kembali, dan baru bangun ketika ibunya memanggil-manggil, menyuruhnya sarapan. Bob mengenakan pakaian dengan gerakan lambat, sambil memikirkan kejadian yang dialami malam sebelumnya. Ia berusaha mengingat-ingat satu saat, waktu mana naga itu ternyata bukan naga tulen. Tapi ia terpaksa menyerah. Baginya, makhluk seram itu tetap naga tulen.

Wujudnya masih terbayang di mata, suaranya terngiang di telinga, dan baunya pun masih menusuk hidung. Naga palsu takkan mungkin bisa meninggalkan kesan begitu, pikirnya. Ah - mungkin Jupiter keliru!

Ketika Bob datang ke meja makan, ayahnya baru saja selesai sarapan. Mr. Andrews menganggukkan kepala ketika melihat Bob, lalu melirik arlojinya.

"Selamat pagi! Nah - kau asyik tadi malam, bersama teman-temanmu?"

"Ya, Ayah," jawab Bob. "Bisa dibilang begitu."

Ayahnya meletakkan serbet ke meja, lalu berdiri.

"Baguslah, kalau begitu. O ya - aku tidak tahu apakah ini penting atau tidak, tapi kau kemarin kelihatannya tertarik pada riwayat terowongan kereta bawah tanah di Seaside. Ketika kau sudah pergi, barulah aku secara kebetulan teringat pada nama orang yang kehilangan hartanya, karena terlibat dalam pembangunannya."

"O ya?" tanya Bob. "Siapa nama orang itu, Ayah?"

"Labron Carter."

"Carter?" Bob langsung teringat pada Mr. Carter, yang mereka jumpai kemarin. Laki-laki penaik darah, yang memiliki senapan buru kaliber besar.

"Ya, betul! Dan setelah Badan Perencana Kota Seaside menolak rancangannya untuk menjelmakan kota itu menjadi pusat pertetirahan seperti yang diidam-idamkannya, kesehatannya yang semula sangat baik, mengalami penurunan. Ia mulai sakit-sakitan. Hal itu, di samping kehilangan harta serta nama baik, ternyata merupakan beban yang terlalu berat baginya. Ia melakukan tindakan nekat, menghabisi nyawanya sendiri."

"Kasihan! Apakah ia berkeluarga?"

Mr. Andrews mengangguk.

"Istrinya meninggal dunia, tidak lama sesudah dia. Satu-satunya yang tinggal, hanya putra tunggalnya." Mr. Andrews berhenti sejenak. "Itu pun, kalau ia masih hidup," tambahnya kemudian. "Jangan lupa, kejadian itu sudah lebih dari setengah abad yang lalu."

Kemudian ia berangkat ke kantor surat kabar tempat ia bekerja. Bob menambahkan informasi yang baru diperoleh itu pada catatannya yang sudah ada sampai saat itu. Ia berpikir-pikir. Apa kiranya yang akan dikatakan Jupiter nanti, jika ia menyodorkan bukti-bukti dari pihaknya. Bukti bahwa seseorang yang tahu tentang terowongan yang dibangun sekitar lima puluh tahun, kini masih hidup. Seseorang dengan dendam dalam hatinya terhadap kota yang menyebabkan ayahnya patah hati. Seseorang yang pemarah!

Bob tidak bisa membayangkan, dengan cara bagaimana Mr. Carter yang sekarang akan membalas dendam. Itu jika ia memang ingin melakukannya! Bob mengantungi catatannya, lalu bergegas pergi begitu selesai sarapan.

Mungkin Jupiter nanti mampu menarik kesimpulan jelas mengenainya.

"Wah," kata Pete. Suaranya bernada suram. "Keterangan Bob mengenai keluarga Carter masuk akal, Jupe. Lebih masuk akal daripada anggapanmu, bahwa naga yang kemarin itu palsu, bukan naga tulen," sambungnya.

Ketiga penyelidik dari Trio Detektif itu sudah berkumpul lagi di ruang kantor mereka. Bob membuka pertemuan kali itu dengan pembacaan catatan, seperti yang biasa mereka lakukan. Pada kesempatan itu ia menyebut nama Labron Carter. Tapi kecuali itu masih ada lagi hal-hal yang baru bagi kedua kawannya.

"Aku masih ingat, apa yang kaukatakan kemarin malam tentang naga itu, Jupe," katanya. "Tadi pagi, dari rumah aku langsung ke perpustakaan. Cukup banyak penelitian yang kulakukan di situ tadi."

"Kurasa akan sangat bermanfaat bagi pertemuan kita pagi ini, jika kau langsung saja mengutarakan hasil risetmu itu, Bob," kata Jupiter. "Jadi, adakah naga pada zaman sekarang ini, atau tidak?"

Bob menggeleng.

"Tidak. Tidak ada naga! Tidak ada satu buku pun yang membahas bahwa ada naga pada masa sekarang ini."

"Itu kan gila!" tukas Pete. "Para pengarang buku-buku itu saja yang tidak tahu, di mana mereka harus mencari. Coba mereka mau sebentar saja mendatangi sebuah gua tertentu di Seaside saat malam hari, mereka pasti akan menjumpai seekor. Seekor naga yang besarnya tidak kepalang tanggung!" Jupiter mengangkat tangannya, meminta Pete berhenti bicara.

"Sebaiknya kita dengarkan dulu laporan Bob Sesudah itu barulah kita berdiskusi mengenainya. Silakan terus, Bob!"

Bob mempelajari catatannya sebentar.

"Satu-satunya informasi yang kutemukan tentang makhluk yang paling mirip dengan naga, ialah sebuah buku tentang kadal besar yang hidup di Pulau Komodo, di Indonesia. Sejenis biawak, tapi lebih besar lagi. Panjangnya bisa sampai tiga meteran. Tapi masih jauh dari naga yang kita lihat kemarin."

"Mungkin ada seekor di antaranya yang kebanyakan vitamin," kata Pete. "Mungkin dia itulah naga kita."

"Tidak mungkin," kata Bob. "Biawak Komodo tidak menyemburkan api, dan hidupnya hanya di Komodo serta beberapa pulau kecil lain di sekitar situ. Wujudnya juga sama sekali tidak mirip makhluk yang kita lihat itu. Kurasa kita bisa mengatakan dengan pasti, tidak ada naga yang hidup dewasa ini." Ia berhenti sebentar, lalu menyambung, "Tapi tadi kutemukan berbagai informasi tentang sejumlah besar makhluk yang menyerang dan membunuh manusia, dan bahkan memakannya!" Ia menoleh ke arah kedua temannya. "Bagaimana - aku teruskan?"

Jupiter mengangguk.

"Ya, tentu saja! Kita harus mengenal musuh-musuh kita dalam alam - dan begitu juga yang pura-pura merupakan makhluk alam, untuk mengelabui kita. Teruskan, Bob!"

"Baiklah," kata Bob. Ia menyimak catatannya sebentar. "Sejuta manusia tewas setiap tahunnya, menjadi korban serangga pembawa penyakit; 40.000 mati kena gigitan ular; 2.000 karena diterkam harimau; 1.000 orang setahun dimangsa buaya, dan 1.000 lagi dilalap ikan hiu."

"Kau dengar itu, Pete," kata Jupiter, "sejauh ini sama sekali tidak ada catatan statistik tentang perjumpaan manusia dengan naga. Teruskan, Bob."

"Yang tadi itu angka-angka korban yang tergolong banyak," kata Bob. "Kecuali itu masih banyak pula yang disebabkan oleh serangan gajah, kuda nil, badak, serigala, singa, dubuk atau hiena, dan macan kumbang. Kematian itu ada yang merupakan kecelakaan. Tapi di antara satwa itu ada juga yang merupakan pembunuh dan pemangsa manusia. Banyak di antaranya yang memang suka membunuh.

Tapi menurut buku karangan James Clarke - yang berjudul Manusialah Mangsa Mereka - keganasan beberapa binatang buas itu terlalu dilebih-lebihkan. Misalnya saja beruang kutub, puma, burung rajawali, dan juga buaya. Menurut James Clarke, labah-labah raksasa yang bernama tarantula, sebenarnya sama sekali tidak suka menyerang orang. Beruang grizzly sebenarnya tidak begitu banyak meminta korban, sedang monyet-monyet besar terlalu cerdas, jadi cenderung menjauhi manusia. Dalam buku itu juga dikatakan, jika ingin dimangsa binatang buas, sebaiknya pergi ke Afrika Tengah, atau ke India. Kawasan yang paling aman menurut buku itu, Irlandia. Satwa yang paling berbahaya di sana, hanyalah lebah besar!"

Bob melipat kertas-kertas catatannya. Ruang kantor sempit itu hening sesaat. "Kau mau memberi komentar?" tanya Jupe pada Pete.

Pete menggeleng.

"Setelah mendengar catatan Bob, Seaside masih tergolong tempat yang aman," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku tinggal kauyakinkan saja, bahwa naga yang kemarin malam itu palsu. Bukan naga tulen!"

"Pertama-tama," kata Jupiter. "Kita sama sekali tidak melihat -"

Pesawat telepon berdering.

Tangan Jupiter sudah bergerak, hendak meraih. Tapi tidak jadi.

"Ayo - terima saja," kata Pete. "Mungkin itu orang mati - atau hantu - yang kemarin itu lagi. Mungkin saja ia hendak mengatakan pada naga kita, agar jangan berani-berani masuk ke guanya."

Jupiter tersenyum. Diangkatnya gagang te­lepon. "Halo?"

Seperti biasa, pesawat itu didekatkannya ke mikrofon, agar Bob dan Pete bisa mengikuti pembicaraan.

"Halo."

Anak-anak sudah sering mendengar suara itu.

"Di sini Alfred Hitchcock. Apakah aku bicara dengan Jupiter Jones?"

"Betul, Mr. Hitchcock. Saya rasa Anda menelepon karena ingin mengetahui bagaimana perkembangan penyelidikan yang kami lakukan untuk kawan Anda, ya?"

"Betul," jawab Alfred Hitchcock. "Waktu itu kukatakan pada Allen, bahwa kujamin kalian akan berhasil mengusut teka-teki lenyapnya anjing kesayangannya dengan cepat, berkat kecerdikan kalian. Dan aku sekarang menelepon untuk mengetahui apakah keyakinanku itu beralasan atau tidak. Sudah kalian temukankah anjing yang hilang itu?"

"Belum, Mr. Hitchcock," kata Jupiter. "Soalnya, ada misteri lain yang perlu kami usut terlebih dulu. Suatu misteri yang menyangkut naga. Naga batuk!"

"Naga - yang batuk?" kata Mr. Hitchcock. "Maksudmu, naga yang benar-benar naga? Dan naga itu batuk, katamu? Aneh! Alam kehidupan kita ini rupanya penuh dengan misteri. Walau begitu, jika kemunculan naga itu membingungkan kalian, kusarankan agar kalian sebaiknya membicarakannya dengan orang yang dianggap paling ahli tentang hal-hal seperti itu."

"Siapa orang itu, Sir?" tanya Jupiter.

"Siapa lagi, kalau bukan kawan lamaku, Henry Allen," kata Mr. Hitchcock. "Aneh - bahwa itu tidak diceritakannya pada kalian! Dalam karya-karyanya dulu, ia lebih banyak menampilkan naga, dibandingkan dengan siapa pun juga sebelum dan sesudah zamannya."

"Ya, ia memang mengatakan bahwa ia menampilkan wujud naga dalam beberapa filmnya," kata Jupiter, "tapi walau demikian ia tetap saja kaget, ketika melihat ada naga di pantai depan rumahnya. Terima kasih atas pengecekan ini, Mr. Hitchcock. Saya rasa sebaiknya kami menyampaikan laporan tentang perkembangan penyelidikan kami pada Mr. Allen. Saya akan meneleponnya sekarang."

"Itu tidak perlu," kata Mr. Hitchcock dengan tidak disangka-sangka. "Ia ada di hubungan yang satu lagi, di kantorku. Ia baru saja menelepon, untuk mengatakan bahwa ia sangat terkesan melihat penampilan kalian. Tunggu sebentar, ya - akan kuminta sekretarisku menyambungkannya dengan kalian."

Hubungan terputus sesaat. Kemudian terdengar suara sutradara film yang sudah tua itu.

"Halo," kata Mr. Allen. "Kaukah ini, Jones?"

"Ya, Mr. Allen. Maaf, sampai sekarang kami belum berhasil menemukan petunjuk apa pun, mengenai anjing Anda yang hilang itu. Tapi kami akan terus berusaha."

"Bagus!" kata Mr. Allen. "Aku sendiri, sebenarnya juga tidak mengharapkan hasil secepat ini. Bisa saja anjingku itu diambil orang. Seperti sudah kukatakan, ia sangat ramah."

"Kemungkinan itu sudah kami pertimbangkan, Sir," kata Jupiter. "Bagaimana dengan tetangga-tetangga Anda yang juga kehilangan anjing? Ada di antara anjing-anjing itu yang sementara ini sudah kembali?"

"Tidak," jawab Mr. Allen. "Kurasa aku mengerti apa yang kaumaksudkan dengan pertanyaanmu itu, Anak muda. Kau masih memperhitungkan faktor kebetulan, ya? Yaitu bahwa anjing-anjing kami itu semua lenyap pada waktu yang boleh dibilang bersamaan."

"Ya," kata Jupiter.

"Kalian sudah berbicara dengan tetangga-tetanggaku?"

"Baru dengan yang menurut Anda tidak memelihara anjing," kata Jupiter. "Mr. Carter dan Mr. Shelby."

"Lalu, apa kata mereka?"

"Kedua tetangga Anda itu orang-orang aneh, Mr. Allen," kata Jupiter. "Mr. Carter marah-marah karena merasa diganggu. Ia menggertak kami dengan senapan burunya. Ia tidak suka pada anjing. Rupanya kebunnya sering rusak karena anjing-anjing yang berkeliaran di situ, Ia mengancam akan menembak mati, jika ada yang masuk lagi ke pekarangannya."

Mr. Allen tertawa. "Itu cuma gertakan saja, Anak muda! Carter memang suka ribut-ribut. Tapi kurasa ia takkan sampai hati, menembak binatang yang tidak apa-apa. Lalu bagaimana hasil perjumpaan kalian dengan temanku, Arthur Shelby?"

"Yah -" kata Jupiter menjawab, "ia agak mendingan, tapi tidak kalah anehnya. Ia mempunyai caranya sendiri, untuk menakut-nakuti kami."

Sutradara film yang sudah tua itu tertawa lagi..

"Ah - maksudmu segala peralatan yang terpasang di sekitar rumahnya, ya? Itu gunanya untuk menakut-nakuti pedagang keliling dan orang yang masuk tanpa izin, supaya tidak berani datang lagi. Aku seharusnya memang memberi tahu kalian, bahwa Arthur Shelby itu orang yang suka iseng."

"Bilang padanya, itu kita alami sendiri," bisik Bob.

"Mungkin ia hendak mengingatkan diriku, bahwa aku bukan satu-satunya di sekitar sini yang bisa menakut-nakuti orang," sambung Mr. Allen. "Shelby mengenal film-film horor ciptaanku dulu, dan mungkin saja ia membuat aku mengalami bagaimana rasanya jika ditakut-takuti. " Mr. Allen terkekeh. "Ngomong-ngomong, kegemaran Shel­by berbuat iseng pernah menyebabkan ia kehilangan posisinya yang cukup penting di jawatan kotapraja. Ia waktu itu bekerja di Badan Perencana Kota. Ia bisa dibilang mengenal seluk-beluk kerja kota. Pada suatu hari timbul niatnya untuk memanfaatkan pengetahuannya itu."

"Dengan cara bagaimana?" tanya Jupiter. "Apa yang dilakukan olehnya?"

Sekali lagi Mr. Allen terdengar tertawa geli.

"Hal itu terjadi pada hari ulang tahunnya, dan merupakan ide Shelby sendiri untuk berkelakar. Peristiwa yang terjadi sebenarnya tidak bisa dibilang terlalu serius. Dia itu insinyur. Karenanya ia berhasil memadamkan semua lampu lalu lintas dalam kota secara serempak. Katanya, itu seperti kue ulang tahun, tapi tanpa lilin. Tidak perlu kukatakan lagi, bagaimana situasi lalu lintas di tengah kota saat itu. Kacau-balau! Orang-orang bisnis terlambat datang untuk memenuhi perjanjian dengan nasabah serta rekan usaha. Para pegawai terlambat datang ke kantor, dan terlambat pula pulang ke rumah.

Pemadaman yang terjadi karena ulahnya itu hanya sebentar - beberapa jam saja. Tapi akibatnya, banyak yang marah-marah! Masa, hal seperti itu bisa terjadi di kota kita yang modern dan selalu sibuk. Tokoh-tokoh penting banyak yang marah. Orang yang bertanggung jawab atas kejadian itu langsung dicari. Anehnya, Shelby mengakui perbuatannya. Ia mengatakan dengan terang-terangan, hal itu dilakukannya untuk merayakan hari ulang tahunnya. Hanya untuk iseng belaka!"

"Lalu apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Jupiter.

"Tentu saja ia langsung dipecat. Bukan itu saja, pihak yang berkuasa yang menetapkan bahwa Shelby tidak boleh lagi diberi pekerjaan yang ada pertaliannya dengan kotapraja. Ia sedikit-banyak senasib denganku, sama-sama tidak diberi kesempatan mencari nafkah."

"Maksud Anda, ia tidak diizinkan bekerja lagi setelah itu?" tanya Jupiter.

"Hidupnya tidak bisa dibilang gampang," kata laki-laki tua itu. "Sekali-sekali ia mendapat pekerjaan sambilan di salah satu perusahaan dagang, yang hendak melancarkan aksi promosi, dalam wujud gambar dengan lampu-lampu listrik yang bergerak-gerak untuk menarik perhatian konsumen. Pokoknya hal-hal seperti itulah! Tapi itu pun cuma sekali-sekali saja. Tidak sering! Ia harus menebus dosa yang dilakukannya karena iseng waktu itu."

"Bagaimana dengan pawai Rose Bowl?" tanya Jupiter. "Apakah Mr. Shelby pernah membuat dekorasi mobil hias yang ikut dalam arak-arakan meriah itu?"

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Ketika Mr. Allen berbicara lagi, suaranya terdengar agak ragu-ragu.

"Sepanjang pengetahuanku, tidak! Mobil-mobil hias yang ikut dalam arak-arakan itu, hiasannya„ kan bunga-bunga yang dirangkum menjadi dekorasi indah. Sedang Shelby lebih banyak berurusan dengan dekorasi yang bercorak meka­nik, jadi yang bisa bergerak-gerak. Kecuali itu, para penyelenggara Rose Bowl bersikap sangat serius mengenai pawai mereka. Banyak orang yang membayar karcis untuk menonton pawai itu di Pasadena, dan arak-arakan meriah itu juga disiarkan lewat TV. Tidak, Anak muda, kurasa orang yang suka iseng seperti Shelby takkan mungkin mereka kontrak untuk ikut terlibat dalam atraksi seserius itu. Apalagi karena reputasinya di masa yang lalu."

"Sayang," kata Jupiter. "Yah - pokoknya banyak yang dibuatnya sekarang untuk menyenangkan hatinya sendiri, dan katanya segala ciptaannya itu tidak berbahaya."

"Tapi ada saja orang yang tidak menyenangi keisengannya. Begitulah kenyataannya. Nah, untuk sekarang kurasa sudah cukup - "

"Satu pertanyaan lagi, Sir," kata Jupiter buru-buru. "Naga yang Anda lihat waktu itu - Anda tahu pasti bahwa ia batuk?"

"Pasti," kata sutradara tua itu. "Bunyinya seperti batuk."

"Dan Anda melihatnya dari bibir tebing dekat rumah Anda, ketika naga itu masuk ke dalam gua yang terdapat di kaki tebing di bawah Anda?"

"Ya, betul! Tentang itu aku tahu pasti. Saat itu malam sudah larut, tapi segala kemampuan jasmaniku masih lengkap, biar belakangan ini tidak ada yang mau menjadi sponsorku untuk membuat film. Penglihatanku masih sempurna."

"Terima kasih, Mr. Allen. Kita akan tetap berhubungan." Jupiter mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Kemudian ia berpaling, menatap kedua temannya.

"Ada komentar?" tanyanya.

Bob mengangkat bahu, begitu pula Pete.

"Katanya tadi, Shelby suka berbuat iseng," kata Pete. "Kalau itu, aku pun bisa mengatakannya. Aku ketakutan setengah mati ketika burung-burungannya tahu-tahu menyambar. Sama seperti ketika naga masuk ke dalam gua."

"Nah - dengan komentarmu itu kita sampai pada pengamatanku yang berikut," kata Jupiter. "Aku menarik kesimpulan, bahwa Mr. Allen - untuk siapa kita sebenarnya bekerja - ternyata tidak bisa terlalu diandalkan pernyataannya, kalau itu ditilik dari sudut benar-tidaknya."

"Hahh?" Pete memandang Jupiter dengan kening berkerut.

"Dengan kalimat sederhana, Jupiter hendak mengatakan bahwa Mr. Allen berbohong," kata Bob menjelaskan.

"Kalau begitu, kenapa tidak begitu dikatakannya?" tukas Pete dengan nada sebal. Ia memandang Jupiter. "Coba kaukatakan dengan kalimat-kalimat yang bisa kumengerti, tentang apa ia berbohong."

Jupiter mengangguk.

"Ia mengatakan, ia sedang berdiri di bibir tebing, ketika ia melihat naga itu masuk ke dalam gua di bawahnya."

"Lalu, apakah itu tidak boleh?" tanya Pete dengan air muka bingung.

Jupiter menggeleng.

"Di tempat itu, dinding tebing sebelah atas menjorok ke luar. Tidak mungkin orang yang berdiri di bibir tebing bisa melihat gua, atau melihat sesuatu yang masuk ke situ. Hal itu kualami sendiri, kemarin malam."

Pete menggaruk-garuk kepala dengan sikap bingung. "Aku tidak tahu. Mungkin kau benar, dan ia keliru. Bisakah kau membuktikannya?"

"Memang begitulah niatku," kata Jupiter serius. "Malam ini, saat kita kembali mendatangi gua itu. Mungkin saat itu aku bukan saja akan berhasil membuktikan bahwa Mr. Allen tidak mengatakan yang sebenarnya, tapi juga bahwa naga yang kita lihat itu sebenarnya palsu, bikin-bikinan orang saja!"

"Jangan lupa," katanya menyambung, "dalam kasus ini ada sejumlah orang yang perlu kita curigai, yaitu orang-orang yang tahu-menahu tentang terowongan kereta bawah tanah yang tidak jadi diselesaikan, serta yang menaruh dendam pada orang lain. Mr. Allen dan Mr. Shelby, kedua-duanya kehilangan pekerjaan, dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja kembali. Lalu Mr. Carter-jika ia ternyata memang putra orang yang dulu mulai membangun terowongan itu - tentunya juga tahu-menahu mengenainya. Dan aku tidak heran jika ia menyimpan dendam, yang ingin dilampiaskannya terhadap sekian banyak orang yang dianggapnya ikut bersalah. Saat ini aku belum tahu, apa hubungan segala hal ini dengan naga, serta dengan gua yang kita temukan. Tapi malam ini kita mungkin akan bisa menemukan sesuatu di dalam gua itu."

"Maksudmu," kata Pete cemas, "kita akan kembali ke gua itu? Malam ini? Ke tempat itu lagi? Dengan kemungkinan si Itu ada di sana, menunggu kita?"

Jupiter tidak menjawab. Ia sibuk menulis. Setelah itu ia meraih gagang telepon.

"Pertama-tama, perlu terlebih dulu mengetahui sesuatu," katanya. "Mestinya itu sebelumnya sudah terpikir olehku."



Bab 14

BERBURU NAGA

"TOLONG sambungkan dengan Mr. Alfred Hitch­cock," kata Jupiter lewat saluran telepon. "Katakan saja, Jupiter Jones yang menelepon."

Bob dan Pete berpandang-pandangan dengan sikap tidak mengerti. Setelah itu keduanya menatap Jupiter. Tapi temannya itu tidak mengacuhkan pandangan mereka, yang seakan-akan bertanya. Ia menulis terus, sambil menunggu disambungkan dengan Alfred Hitchcock.

Sesaat kemudian didengarnya suara sutradara termasyhur itu.

"Di sini Alfred Hitchcock. Apakah ini berarti kalian baru saja berhasil mengusut teka-teki anjing-anjing yang lenyap di Seaside?"

Jupiter tersenyum.

"Bukan begitu tepatnya, Sir," jawabnya. "Saya menelepon ini, sehubungan dengan keterangan Anda tadi. Anda mengatakan, teman Anda Mr. Allen merupakan tokoh ahli tentang naga, serta menampilkan wujud makhluk-makhluk itu dalam film-film horornya yang dulu."

"Memang betul," jawab Mr. Hitchcock. "Dan bukan cuma naga, tapi juga kelelawar, serigala, jadi-jadian, vampir, hantu kubur, mayat hidup - pokoknya semua yang menyebabkan orang akan ketakutan setengah mati! Sayang film-filmnya dibuat jauh sebelum kalian ada. Para penggemar film-filmnya, sekarang pun masih gemetar dan merinding, kalau teringat pada segala makhluk menyeramkan ciptaannya!"

"Ya, kabarnya memang begitu," jawab Jupiter. "Saya rasa segala monster itu tentunya benar-benar seperti hidup, sehingga Mr. Allen bisa membangkitkan kesan yang begitu."

"Ya, tentu saja," kata Mr. Hitchcock mantap. "Orang takkan bisa ditakut-takuti dengan tiruan buruk dari makhluk-makhluk yang mestinya menakutkan. Wujud-wujud itu harus nampak dan bertingkah laku persis seperti aslinya."

Jupiter mengangguk. "Dan siapakah yang membuat makhluk-makhluk untuk filmnya itu, Sir?"

"Tentu saja kami memiliki tenaga-tenaga yang sangat terampil di studio," kata Mr. Hitchcock sambil tertawa. "Kadang-kadang, suatu makhluk menyeramkan bisa bergerak-gerak karena di dalamnya ada semacam alat mekanis yang hebat. Alat itu digerakkan dengan mesin, atau dengan sistem roda gigi dan engkol. Dan kadang-kadang, jika adegan yang ditampilkan menghendakinya, kami memakai teknik lain. Makhluk seram itu kami buat fotonya dalam posisi gerak yang setiap kali berubah sedikit. Begitu terus, sampai seluruh gerakan selesai diambil. Inilah yang disebut teknik stop-motion. Jika foto-foto yang diambil beruntun-runtun itu diputar dengan kecepatan film yang biasa, maka akan timbul kesan seolah-olah makhluk itu bergerak. Mengerti sekarang?"

"Ya, Sir," kata Jupiter. "Lalu apa yang terjadi dengan monster-monster itu, setelah film selesai dibuat?"

"Kadang-kadang disimpan, untuk dipakai lagi pada kesempatan lain," kata Mr. Hitchcock menjelaskan. "Ada juga yang dijual ke perusahaan lelang. Atau kadang-kadang dimusnahkan saja. Cukupkah jawaban itu?"

"Ya, Sir," kata Jupiter. "Tapi saya masih punya satu pertanyaan lagi. Apakah Anda kebetulan memiliki salah satu film karya Mr. Allen? Kami ingin melihatnya, terutama jika ada naga tampil di dalamnya."

"Aneh - kenapa justru sekarang kau menanyakannya," kata sutradara terkenal itu, setelah diam sejenak. "Aku baru saja membongkar arsip film kami, untuk mencari sebuah film klasik ciptaannya. Judul film itu, ‘Makhluk Gua', yang hampir seluruhnya menyangkut seekor naga. Aku bermaksud mempelajarinya, untuk filmku yang berikut. Bukannya aku hendak menjiplak ide-ide Allen," sambungnya agak terburu-buru, "tapi agar aku benar-benar sadar bahwa filmku harus benar-benar bagus, apabila hendak mengalahkan ciptaannya itu."

"Bagi kami pun akan sangat bermanfaat jika dapat melihat film itu, Mr. Hitchcock," kata Jupiter dengan cepat. "Saya sendiri ingin sekali melihat, bagaimana perangai naga yang sebenarnya. Bisakah Anda mengatur agar kami bisa ikut melihatnya, Sir?"

Alfred Hitchcock langsung memberi jawaban. "Datanglah satu jam lagi ke studioku. Aku akan ada di Ruang Proyeksi Empat."

Jupiter menaruh gagang telepon lambat-lambat, ketika pembicaraan selesai. Kemudian ia berpaling pada Pete dan Bob.

"Ingat," katanya, "wujud yang akan kita lihat nanti, merupakan naga sejati menurut gambaran yang lazim mengenainya. Jadi kalian perhatikan baik-baik nanti. Barangkali saja kalian melihat sesuatu, yang akan bisa menyelamatkan nyawa kita."

"Apa maksudmu?" tanya Bob.

Jupiter berdiri, lalu menggeliat.

"Aku bersandar pada teoriku, bahwa naga di Seaside itu palsu. Tapi mungkin juga aku keliru. Dan jika begitu, kita menghadapi naga yang benar-benar naga!"

Trio Detektif berangkat ke Hollywood naik Rolls-Royce, yang seperti biasa dikemudikan oleh Worthington. Tepat pada waktu yang ditentukan mereka masuk ke kompleks perfilman, dan berhenti di depan sebuah bungalow. Itulah Ruang Proyeksi Empat, menurut tulisan yang tertera di situ. Mereka langsung masuk. Mr. Hitchcock duduk di belakang ruangan, bersama sekretarisnya. Ia mengangguk, sebagai pengganti ucapan selamat datang.

"Kalian duduk saja di depan," ujar sutradara itu dengan suara berat. "Aku baru saja hendak memberi isyarat pada juru proyeksi agar mulai."

Ia menekan sebuah tombol yang terdapat pada kursi yang didudukinya. Ruangan menjadi gelap. Saat itu juga ada sinar terang memancar dari lubang kecil yang terdapat pada dinding bilik di belakang kursi Mr. Hitchcock, diiringi bunyi mendesir.

"Ingat - film ini sudah kuno," kata Mr. Hitchcock memberi tahu. "Dan mungkin ini merupakan satu-satunya copy yang masih ada. Mutu pencuciannya kurang bagus. Pada beberapa bagian nampak gelap dan buram. Tapi apa boleh buat! - Nah, kurasa itu cukup, sebagai penjelasan. Kita lihat saja sekarang, bersama-sama!"

Dengan segera ketiga remaja itu sudah melupakan sekeliling mereka. Ternyata Mr. Hich­cock tidak melebih-lebihkan ketika menyatakan bahwa film itu sangat tegang. Jupiter dan kedua temannya seperti terpukau mengikuti jalan cerita horor itu, yang diolah dengan sangat ahli oleh sutradaranya.

Adegan yang nampak pada layar putih beralih. Kini nampak sebuah gua. Detik itu juga, ketiga remaja itu sudah merasa seperti benar-benar berada di dalamnya. Dan sementara jantung mereka sudah berdebar-debar lagi, mereka melihatnya kembali - naga itu!

Makhluk seram yang masuk ke dalam gua, seakan-akan mengisi layar sampai ke sudut­sudutnya. Makhluk itu besar sekali, jelek dan menakutkan. Sayapnya yang pendek terangkat, menampakkan otot-otot panjang yang bergerak-gerak seperti ular hidup di bawah selaput kulit yang basah dan bersisik. Kemudian lehernya yang panjang dan lentur bergerak - dan kepalanya yang kecil dan nampak gelap menghadap ke arah mereka.

Naga itu meraung, menampakkan rahang yang panjang dan kuat. "Iiih!" desah Pete. Tanpa disadari, duduknya agak diringkukkan. "Itu naga sungguhan!"

Bob terpana, menatap makhluk seram yang semakin maju di layar. Tangan remaja itu mencengkeram sandaran kursinya.

Jupiter duduk dengan tenang, memperhatikan setiap gerak-gerik naga yang nampak di layar film.

Enam pasang mata seperti terpaku menatap layar, sampai film selesai. Ketika lampu ruangan menyala lagi dengan tiba-tiba, mereka masih tetap tegang, terkesan oleh film yang baru saja dilihat.

Dan ketika berjalan menuju ke belakang ruangan, lutut mereka terasa lemas.

"Astaga - sekujur tubuhku lemas rasanya," kata Bob. "Rasanya seolah-olah pengalaman kemarin malam berulang kembali. Aku sampai lupa, bahwa kita sedang menonton film!"

Jupiter mengangguk.

"Itu merupakan bukti, betapa seorang ahli pencipta kengerian bisa mencapai apa yang ingin dikesankan. Mr. Allen memiliki keahlian untuk membuat kita menerima dan mempercayai apa saja yang hendak dikesankan olehnya. Kita dibuatnya setengah mati ketakutan, dengan naga bikin-bikinan yang muncul di atas layar film. Memang kesan itulah yang hendak ditimbulkannya, sedang kita membiarkan dia membuat kita takut. Itu perlu selalu kita ingat."

"Nan?" kata Mr. Hitchcock, ketika ketiga remaja itu sudah sampai di dekatnya. "Kalian mengerti sekarang, apa sebabnya kawanku itu pernah dipandang raja film-film horor?"

Jupiter mengangguk. Banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin diajukan olehnya. Tapi ia melihat bahwa Mr. Hitchcock sedang sibuk, sedang sekretarisnya sudah siap untuk mencatat. Karenanya, ia hanya mengucapkan terima kasih atas kesempatan melihat film itu.

"Kalian sekarang sudah melihat naga yang di film," kata Mr. Hitchcock. "Kini kutunggu hasil pengusutan kalian terhadap misteri naga yang di Seaside."

Anak-anak diantarnya ke luar. Ketiga remaja itu langsung menuju ke Rolls-Royce mengkilat yang menunggu di luar, dengan Worthington di belakang kemudi.

Mereka duduk bersandar di jok belakang, sementara kendaraan mewah itu meluncur lambat-lambat ke arah pintu gerbang.

"Kau tadi menyuruh kami mengamat-amati dengan teliti," kata Bob setelah beberapa saat, "dan itu sudah kulakukan. Aku sama sekali tidak melihat perbedaan antara naga yang di film tadi, dengan naga kita yang di gua. Kau bagaimana, Pete?"

Pete menggeleng. "Satu-satunya perbedaan, naga film tadi lebih dahsyat raungannya."

"Bukan lebih dahsyat," kata Bob, "tapi naga kita rasanya sering terbatuk-batuk."

Jupiter tersenyum.

"Tepat," katanya singkat.

"Apa lagi maksudmu, Jupe?" tanya Pete.

"Kelihatannya naga yang di Seaside itu lebih peka terhadap cuaca buruk, karena kedengarannya seperti sedang pilek."

Bob memperhatikan Jupiter, yang duduk bersandar dengan sikap puas. Bagi Bob, air muka temannya itu merupakan pertanda buruk. Berdasarkan pengalaman selama mereka bergaul, air muka yang begitu berarti bahwa Jupiter berhasil mengetahui sesuatu. Sesuatu yang lolos dari pengamatan Bob dan Pete.

"Mana mungkin, naga terserang pilek?" kata Bob. "Naga, katanya kan biasa hidup dalam air dan gua-gua lembab."

"Pendapatku juga begitu," kata Jupiter sambil mengangguk. "Dan beberapa jam lagi, kalau kita kembali ke sana, kita akan bisa menyibakkan teka-teki tentang apa sebabnya naga kita batuk. Jika teoriku benar, kita akan memperoleh jawaban tentang apa sebabnya kita bisa lolos dari dalam gua itu, dan sekarang masih hidup."

Pete memikirkan ucapan Jupiter.

"Itu boleh saja, Jupe," katanya sambil mengerutkan kening. "Tapi bagaimana jika teorimu ternyata keliru?"

Jupiter menggembungkan pipinya. "Teoriku harus benar," katanya. "Karena bagaimanapun juga, itu menyangkut nyawa kita!"



Bab 15

PERTANYAAN DAN JAWABANNYA

TIBA-TIBA kejengkelan Pete meledak.

"Sudahlah, jangan sok misterius lagi, Jupe! Ayo katakan, apa sebenarnya yang sedang kaurencanakan. Kita membentuk Trio Detektif kan untuk mengusut teka-teki serta misteri-misteri yang tidak bisa dijelaskan. Waktu itu tidak disinggung-singgung tentang perbuatan berani mati. Aku sayang pada nyawaku. Dan Bob pun kurasa begitu juga. Bagaimana, Bob?"

Bob mengangguk, sambil tersenyum.

"Ya, tentu saja aku sayang pada nyawaku! Kalau nyawaku hilang, lalu siapa yang melakukan riset dan membuat catatan untuk kalian? Pete benar, Jupe. Ada apa, sih?"

Jupiter hanya mengangkat bahu.

"Aku belum tahu pasti. Tentu saja aku tidak berniat menyabung nyawa kita, tanpa perlu. Tapi ada kalanya kita perlu mengambil risiko."

Pete menggeleng.

"Eh, eh, nanti dulu! Sebelumnya, aku perlu kauyakinkan dulu. Beberapa malam yang lalu aku menonton film yang dibawa ayahku pulang. Film itu penuh dengan efek khusus, hasil buatannya. Tokoh utamanya seorang ilmuwan yang berani mengambil resiko. Tak perlu kuceritakan, apa yang kemudian terjadi dengan dirinya."

Kening Jupiter berkerut.

"Aku lupa bahwa ayahmu ahli efek khusus untuk film, Pete. Tentang apa cerita film yang kaulihat itu?"

Pete tertawa nyengir.

"Tentang serangga."

"Serangga?"

"Tentang semut dan kumbang, yang menguasai dunia," kata Pete menjelaskan. "Biasa, film fiksi ilmiah. Percayalah - film itu sama seramnya seperti film kuno dengan naga yang baru saja kita lihat tadi. Serangga-serangga itu berukuran raksasa - setinggi bangunan bertingkat banyak."

"Bagaimana cara mereka membuatnya?" tanya Jupe.

"Mereka memakai serangga sungguhan," jawab Pete.

"Alaa, Pete," tukas Bob. "Serangga tulen, yang besarnya sama dengan gedung bertingkat tinggi?"

Pete mengangguk.

"Ayah menjelaskannya padaku. Yang dipakai proses yang berbeda dari yang tadi diterangkan oleh Mr. Hitchcock. Dalam film yang kulihat itu, serangga-serangga di film lewat lensa prisma. Setelah itu gambar-gambarnya dibesarkan sampai sekian kali lipat, lalu digabungkan dengan film yang menampakkan gedung-gedung besar. Tentu saja mereka kelihatan asli dan menyeramkan - karena memang serangga yang sebenarnya! Begitu teknik yang kini biasa dipakai untuk membuat film-film tentang makhluk-makhluk seram yang datang dari angkasa luar."

Jupiter merenung, sementara jari-jarinya sibuk mencubiti bibir bawahnya.

"Film itu sekarang masih ada di rumahmu?"

"Ya - paling sedikit selama satu minggu lagi," kata Pete. "Ayahku bahkan menawarkan, kalau kau dan Bob ingin melihatnya, kalian boleh datang kapan saja, saat malam hari. Jadi silakan!"

Jupiter kelihatannya tidak sabar.

"Kurasa kita memerlukannya sebelum nanti malam, Pete." Ia melirik arlojinya, lalu menoleh lagi ke arah Pete. "Proyektormu bekerja dengan baterai?"

Pete mengangguk.

"Pakai baterai bisa, pakai listrik pun boleh."

Jupiter memonyongkan mulutnya.

"Dan itu kepunyaan kalian sendiri? Bukan pinjaman dari studio?"

"Ya, proyektor itu milik kami," kata Pete. "Atau tepatnya, kepunyaan Ayah. Kenapa sih, kau bertanya-tanya begitu?"

"Soalnya menyangkut nyawa kita - dan mungkin juga sekaligus membongkar suatu misteri. Menurutmu, mungkinkah ayahmu mau meminjamkan proyektor serta film itu pada kita, hanya untuk malam ini saja?"

Pete terkejap karena kaget.

"Maksudmu, untuk dibawa pergi?"

"Untuk dibawa pergi," kata Jupiter menegaskan. "Film itu kurasa cocok untuk diperlihatkan pada seseorang."

Pete mengusap-usap hidungnya, lalu mengangkat bahu.

"Tidak tahu, ya. Tapi kurasa bisa, Jupe. Tentu saja aku harus menelepon Ayah dulu, untuk minta izin."

"Bagus," kata Jupiter.

"Oke," kata Pete. "Tapi sebelum aku mencoba meyakinkan ayahku, aku ingin tahu dulu, akan ke mana kita malam ini - dan untuk apa. Aku sudah bosan disuruh meraba-raba terus."

Bob mengangguk, tanda sependapat dengan Pete.

Kedua remaja itu memandang Jupiter Jones, yang selama beberapa saat mencoba tak mengacuhkan tatapan mata mereka. Akhirnya ia mengangkat bahu, sambil membentangkan tangan.

"Ya deh, baiklah," katanya. "Aku sebenarnya berharap bisa merahasiakan dulu kesimpulan-kesimpulanku. Soalnya terutama karena aku sendiri belum sepenuhnya yakin apakah semuanya itu benar. Dan katakanlah kesimpulanku itu benar - aku saat ini masih buta tentang maknanya. Pengusutan kita ini diawali dengan usaha mencari anjing yang hilang. Tapi sejak itu kita menemukan berbagai misteri lainnya, yang satu pun kelihatannya tidak ada sangkut pautnya dengan misteri hilangnya anjing - atau tepatnya, anjing-anjing, di Seaside. Mr. Allen menugaskan kita untuk menemukan kembali anjingnya, Red Rover. Tapi sejak semula aku sudah merasa bahwa misteri hilangnya anjing-anjing lain yang juga hilang akan terjawab, jika kita menemukan anjingnya. Itu sebelum kita berjumpa dengan naga."

"Bagaimana dengan naga itu?" tanya Bob. "Kau menandaskan bahwa menurut pendapatmu yang kita lihat itu naga palsu. Kenapa kau sampai bisa berpendapat begitu?"

"Ya, betul," kata Jupiter. "Walau aku juga ikut panik dan lari seperti kalian, ada beberapa alasanku untuk menyangsikan keaslian naga di dalam gua itu."

"Coba kaukatakan satu saja," kata Pete. "Apa yang menyebabkan kau merasa itu bukan naga tulen?"

"Ada bermacam-macam hal yang menyebabkannya. Gua yang kita masuki bukan gua asli. Lorong yang kita masuki juga bukan lorong alam. Lubang masuk ke situ juga tidak! Mengingat segala kenyataan itu, tentu saja timbul kecenderungan untuk menyangsikan keaslian naga."

"Aku tidak menyadari segala yang kausebutkan itu," kata Bob.

"Kita mulai saja dengan gua yang pertama-tama kita masuki," kata Jupiter. "Di situ kita menemukan papan yang berjejer-jejer, memanjang ke atas. Satu di antaranya kita geser, supaya bisa masuk ke rongga yang kita katakan tempat persembunyian penyelundup."

"Aku ingat, kau mengamat-amatinya dengan sikap aneh," kata Bob. "Apanya yang tidak asli pada gua itu?"

"Itu kan mestinya gua yang sudah tua, tempat para penyelundup dan bajak laut bersembunyi. Papan-papan itu sudah tua - atau tepatnya, beberapa di antaranya sudah tua."

"Beberapa di antaranya?" tanya Pete mengulangi.

Jupiter mengangguk.

"Papan yang kita geser ke samping, misalnya. Tapi di situ ada pula papan lebar, terbuat dari kayu lapis. Kalian tentunya tidak perlu kuingatkan lagi, bahwa kayu lapis merupakan produk pengolahan kayu yang tergolong modern. Zaman bajak laut belum ada. Para penyelundup zaman dulu pun belum mengenal bahan itu."

"Kayu lapis?" ulang Pete. Keningnya berkerut, lalu berkata lagi, "Yah, mungkin saja! Tapi itu kan belum membuktikan apa-apa."

Jupiter melanjutkan penuturannya.

"Kita sekarang ke gua yang berikut. Maksudku gua besar yang kita temukan, ketika Bob bersandar ke batu yang ternyata bisa bergerak. Kita masih belum tahu, apa yang menyebabkan hal itu mungkin. Jika kalian masih ingat, sewaktu memasuki gua itu kita mengarah ke darat, karena tidak ada jalan lain kecuali itu. Tidak ada lubang di luar. Tidak ada mulut gua, seperti yang pertama kita masuki.

Kemudian langkah kita terhenti, karena terhalang apa yang kelihatannya merupakan dinding padat di ujungnya. Kita mulanya berharap, gua itu akan membawa kita ke terowongan tua yang riwayatnya dibaca oleh Bob, ketika ia melakukan riset di perpustakaan."

Kedua temannya mengangguk.

"Aku ingat, kau waktu itu kemudian mengorek-ngorek dinding itu dengan pisau sakumu," kata Pete sambil tersenyum. "Apa hasil yang kautemukan, di samping kenyataan bahwa mata pisau yang bagus bisa rusak jika dipakai mengorek-ngorek permukaan batu?"

Jupiter merogoh kantungnya. Ia mengeluarkan pisau sakunya, lalu membuka salah satu matanya. "Perhatikan gumpalan-gumpalan kelabu yang melekat pada mata pisau ini," katanya.

Pete dan Bob melakukan seperti yang diminta.

"Sekarang cium."

"Cat!" seru kedua remaja itu serempak, setelah mengendus sebentar. Jupiter mengangguk. Ia melipat pisau sakunya, lalu memasukkannya lagi ke dalam kantung.

"Dinding gua yang sudah lama, tidak dicat," katanya. "Lalu ketika aku mengorek-ngorek cat yang melapisinya, mata pisauku menyebabkan permukaan di situ tergores. Menurut pendapatku, itu sama sekali bukan dinding batu, tapi terbuat dari semacam bahan gips - yang disemprot dengan cat berwarna kelabu, serta ditaburi pasir dan kerikil permukaannya, agar kelihatan seperti batu asli. Dan kalian tentunya tahu, gips sebagai bahan bangunan merupakan produk industri modern, yang biasa dipakai untuk dinding pemisah dalam rumah atau gedung perkantoran. Banyak pula yang diproduksi dengan permukaan yang dibuat seperti gabus, atau batu bata." Jupiter berhenti sebentar, lalu meneruskan, "Kurasa orang yang memasang dinding itu hendak menutupi suatu temuan yang menarik-dan barangkali juga berharga!"

"Seperti apa, misalnya?" desak Bob.

"Sesuatu yang lebih penting, di balik dinding itu," kata Jupiter. "Pokoknya sesuatu. Dan menurut dugaanku, seperti terowongan jaringan kereta bawah tanah yang tidak diselesaikan pembangunannya itu, misalnya!"

"Itu dia!" seru Pete bersemangat. "Ada orang yang menemukan terowongan tua itu, lalu menyembunyikannya lagi, supaya tidak bisa ditemukan orang lain! Dengan adanya dinding palsu itu, diperkirakan orang yang bisa masuk sampai ke situ akan berpaling dan ke luar lagi!"

"Kecuali," kata Bob, "jika itu memang sudah merupakan penutupnya, sejak awal!"

"Lima puluh tahun yang lalu, belum ada bahan bangunan seperti itu," kata Jupiter.

"Itu mungkin saja," kata Bob. "Tapi kita kan tidak tahu, kapan tepatnya terowongan itu ditutup. Mungkin baru kemudian dilakukan, untuk mencegah, supaya anak-anak dan binatang tidak masuk ke dalamnya."

Kening Jupiter berkerut.

"Itu bisa saja, Bob. Tapi terus terang, aku sangsi! Pokoknya, kita sekarang perlu merenungkan kejadian misterius yang ketiga. Kita berada di depan dinding. Aku sedang sibuk menelitinya. Kemudian aku berpaling, untuk memperlihatkan apa yang ada pada mata pisauku pada kalian. Saat itu -"

Pete mengangguk, sambil meneguk ludah.

"Saat itu gua terbuka dan tahu-tahu menjadi terang. Lalu naga itu masuk. Ya, aku mengerti maksudmu." Ia menggaruk-garuk kepala. "Seti­dak-tidaknya, kurasa aku mengerti. Sebaiknya kau saja yang mengatakannya, supaya aku tahu apakah aku memang mengerti atau tidak!"

"Baiklah," kata Jupiter. "Gua terbuka. Dengan cara bagaimana? Kenapa gua itu sampai bisa terbuka? Sewaktu di luar, kita sama sekali tidak melihat adanya lubang di situ. Kalau ada, tentunya itu yang kita masuki, dan bukan memasuki mulut gua di mana Bob tercebur ke dalam lubang berlumpur."

"Baiklah," kata Bob. "Jadi kita sama sekali tidak melihat ada lubang di situ, pada mulanya. Tapi naga itu rupa-rupanya tahu bahwa di situ ada lubang. Soalnya, ia membukanya. Jangan-jangan ia lebih pintar, dibandingkan dengan kita."

Jupiter mengangkat tangannya.

"Jangan lupa, teoriku didasarkan pada firasatku, bahwa segala-galanya yang ada di situ palsu. Bikinan manusia! Jadi, termasuk naga itu pula.

Dan jika naga itu lebih pintar dari kita, maka itu hanya karena ia sebenarnya bukan naga, tapi sesuatu yang dikendalikan oleh kemampuan otak manusia."

Pete terkejap bingung, lalu menoleh ke arah Bob.

"Apa katanya?"

Bob menggeleng.

"Kurasa ia hendak mengatakan, naga kita itu sebenarnya bukan naga, melainkan robot. Betul­kah begitu, Jupe?"

"Aku belum bisa memastikan," kata Jupiter terus terang. "Mungkin robot, atau sesuatu konstruksi yang mirip dengan naga yang dipakai Mr. Allen dalam film horornya. Itu akan kita ketahui juga, jika sudah tiba waktunya untuk itu. Tapi tentang satu hal aku yakin seyakin-yakinnya. Yaitu tentang mulut gua. Itu pun palsu! Sayangnya, kita tidak sempat memeriksanya dari luar. Tapi aku yakin bila itu kita lakukan, kita akan melihat bahwa mulut gua itu palsu - terbuat dari bahan enteng, seperti berbagai properti yang dipakai dalam film, yang dicat dan diberi lapisan agar kelihatan seperti benda aslinya. Siapa pun bisa membuat batu karang palsu. Dan orang yang melakukannya, berbuat begitu untuk menutupi mulut gua yang sebenarnya. Jika ia hendak masuk, atau menghendaki naganya masuk, ambang gua yang palsu digesernya ke samping." Ia berhenti sebentar, lalu menyambung, "Kalian berdua tentu sependapat denganku, jika kota Seaside ingin menyumbat sebuah gua besar, atau sebuah terowongan, mereka tentunya tidak memakai bahan dari gips yang enteng dan dicat di sebelah dalam, dan di luar mempergunakan batu karang palsu. Mereka pasti menutupnya rapat-rapat - dengan beton!"

Pete memandang ke luar, lewat jendela Rolls-Royce yang meluncur dengan mulus di jalan raya. Ia mengerutkan kening, lalu mengangguk.

"Mungkin kau benar, sampai sejauh ini. Jika kita kembali ke sana malam nanti, akan kita periksa batu-batu itu, yang di dekat lubang masuk ke gua pertama. Tapi aku memang tidak takut pada batu. Yang ingin kuketahui sekarang, ialah tentang naga itu. Kenapa itu bukan naga tulen?"

Jupiter duduk bersandar sambil menyilangkan lengan.

"Kita sama-sama melihatnya, secara serempak. Jarak kita dari dia, kurang lebih sama jauhnya. Jadi baik penglihatan maupun pendengaran kita, kurasa sama saja. Nah - apa yang kita dengar waktu itu? Apa yang kita lihat?"

Pete dan Bob berdiam diri sesaat. Mereka berusaha mengingat-ingat. "Aku mendengar dengungan," kata Bob kemudian. "Setelah itu barulah aku melihatnya."

"Aku melihat cahaya terang - yang berasal dari matanya yang bersinar," kata Pete. "Tentang bunyi mendengung - ya, kurasa aku juga mendengarnya. Setidak-tidaknya sesaat sebelum ia meraung."

Jupiter mengangguk.

"Lalu bagaimana geraknya?"

"Bagaimana?" kata Pete. "Cepat sekali!"

"Kau bagaimana, Bob?" tanya Jupiter pada temannya yang itu.

"Sebentar - kuingat-ingat dulu!" Bob mengusap keningnya. "Ya, aku sependapat dengan Pete. Ia masuk dengan cepat sekali. Seakan-akan meluncur!"

Jupiter memandangnya dengan penuh perhatian.

"Seperti naga yang kita lihat dalam film yang kita lihat di tempat Mr. Hitchcock? Seperti itukah geraknya?"

Bob menggeleng.

"Tidak! Naga dalam film buatan Mr. Allen kelihatan seperti berjalan. Sedang yang ini seakan-akan meluncur."

"Kesan yang kuperoleh juga begitu," kata Jupiter. "Naga kita tidak terbang. Kakinya tidak bergerak-gerak. Ia meluncur maju. Jadi menurut kesimpulanku - yang kita lihat itu hanya dibuat sehingga menyerupai naga. Sengaja dibuat begitu, agar menimbulkan kesan yang mengagetkan, di samping menakutkan.

"Sedang tentang geraknya yang meluncur, keterangannya gampang saja. Naga kita bergerak - atau digerakkan - dengan roda! Ingat tidak, bahwa kita melihat jejak roda di atas pasir, ketika kita pertama kali turun ke pantai?"

Pete dan Bob memandang Jupiter sambil melongo.

"Naga dengan roda?" kata Pete, mengulangi kata-kata Jupiter. "Maksudmu, itulah yang menyebabkan kita setengah mati ketakutan?"

"Ada lagi yang kuingat," kata Bob. "Kita sudah membicarakannya. Naga dalam film Mr. Allen meraung. Sedang naga kita lebih banyak batuk-batuk."

"Tepat!" Jupiter tersenyum. "Itulah yang kumaksudkan dengan kemampuan otak manusia di belakangnya. Atau mungkin lebih tepat jika kukatakan, di dalamnya."

"Apa lagi yang kaubicarakan sekarang?" tanya Pete sambil mengeluh.

Jupiter tersenyum.

"Orang dalam naga kita itu sedang pilek," katanya menjelaskan. Perembukan mereka terpotong oleh suara Worthington yang selalu menjaga martabat. "Kita sudah sampai di Jones Salvage Yard, Master Jones. Perlukah saya menunggu?"

"Ya, Worthington," kata Jupiter sambil mengangguk. "Pete hanya perlu menelepon sebentar. Setelah itu mudah-mudahan kita akan bisa mampir di rumahnya, untuk mengambil sesuatu. Dan malam ini, kita pergi lagi ke Seaside." Ia melirik teman-temannya sebentar. "Betulkah aku sampai sejauh ini?"

Pete tertawa nyengir.

"Mudah-mudahan kau betul pula nanti -" katanya, "- saat kita kembali berhadap-hadapan dengan naga yang suka batuk-batuk itu!"



Bab 16

MENGHADANG BAHAYA LAGI

JUPITER bertambah hormat terhadap Mr. Crenshaw, ketika ayah Pete itu langsung mengizinkan anak-anak meminjam proyektornya serta film baru dari studio, tanpa mempertanyakan keperluan mereka.

"Ia bahkan tidak menyuruh kita berhati-hati dengannya," kata Jupiter. "Kurasa ia mempercayai kematangan diri kita."

"Kalau soal itu, entahlah," kata Pete. "Aku yang tinggal di sini. Jika ada sesuatu yang terjadi dengan film itu - atau dengan proyektor Ayah, akulah yang akan merasakan akibatnya!"

Saat itu mereka berada di rumah Pete, dalam ruangan yang dipakai oleh Mr. Crenshaw untuk memutar film-film buatannya sendiri. Pete sedang sibuk bekerja. Film dalam tempat rol pemutar digulungnya kembali. Jupiter ingin melihat film itu dulu, agar bisa menilai efeknya.

"Siap!" seru Pete. "Padamkan lampu, Bob!"

Ia menekan tombol, ketika ruangan sudah gelap. Film yang akan dipertunjukkan mulai berputar. Dinding yang dijadikan tabir diterangi cahaya yang memancar dari lubang proyektor. Sesaat kemudian Bob dan Jupiter melihat sendiri bahwa Pete memang tidak melebih-lebihkan. Serangga-serangga yang diambil gambarnya memang menyeramkan kelihatannya, jika dibesarkan berlipat ganda.

Suara yang mengiringi tiba-tiba berubah bunyinya, lalu terhenti. Gambar yang nampak di tabir lenyap. Ruangan gelap kembali, karena Pete mematikan mesin proyektor.

"Tolong nyalakan lampu lagi, Bob!" serunya. "Sorry - aku memutar rol yang keliru. Yang tadi itu baru datang kemudian. Kurasa Ayah memutarnya lagi, untuk mengecek efek khusus yang dibuatnya."

Tangannya sibuk mengaduk-aduk setumpuk kaleng film yang diberi tanda nomor-nomor.

"Kurasa itu tidak begitu penting, Pete," kata Jupiter. "Kita tidak perlu melihat seluruh film itu sekarang. Bagian pada rol ini menampakkan serangga-serangga itu di lingkungan aslinya. Tepat itulah yang kucari."

"Tapi itu kan rol nomor enam," balas Pete. "Itu merupakan flashback. Yang kelihatan cuma semut-semut yang berkeliaran di perbukitan dan sepanjang pantai, bersiap-siap untuk menyerbu ke kota-kota." Ia mengambil sebuah kaleng lain. "Nah, dalam rol pertama ini kita bisa melihat mereka menyerang kota-kota. Pada bagian inilah mereka kelihatan setinggi bangunan bertingkat."

Jupiter malah menggeleng.

"Kita tidak boleh menampakkan bangunan-bangunan, atau kota-kota. Kita harus menimbulkan kesan, seolah-olah gua diserbu semut-semut raksasa!" Dengan cepat Bob dan Pete menoleh ke arah Jupiter. Keduanya nampak heran.

"Di situkah kita akan memutar film ini?"

Jupiter mengangguk.

"Dengan speaker yang ada di proyektormu itu, kita bisa menimbulkan efek suara yang kita kehendaki. Lensa bersudut lebar itu juga akan sangat menolong kita. Dan yang paling penting, proyektormu bisa bekerja dengan baterai. Jadi kita bisa memutarnya dalam gua."

"Untung saja," kata Pete. "Perlengkapan baterainya dibuat khusus, sehingga Ayah bisa mempergunakannya jika sedang berada di lokasi pembuatan film."

"Sekarang kita lihat saja dulu rol film yang sudah terpasang itu, Pete," kata Bob menyela. "Untuk melihat seluruhnya, kami kan bisa datang kapan-kapan."

"Terserah -jika kalian suka melihat film yang berjalan mundur," kata Pete sambil mengangkat bahu.

Bob memadamkan lampu, dan Pete melanjutkan pemutaran film yang sudah ada di proyektor. Setelah itu anak-anak menonton dengan tekun. Hanya sekali-sekali saja terdengar gumaman kaget, atau ngeri.

"Astaga!" kata Bob ketika rol film itu habis. "Ini baru film! Tidak sabar lagi rasanya, ingin melihat keseluruhannya."

Pete menekan tombol pembalik putaran film, lalu memandang sejenak ke arah Jupiter. "Menurutmu, itu tadi sudah cukup?"

Jupiter tersenyum.

"Tepat sekali, untuk keperluan kita sekarang!"

"Baiklah," kata Pete. "Cuma, aku masih juga belum mengerti apa maumu dengannya. Siapakah yang kauinginkan akan melihatnya di dalam gua? Orang mati - atau hantu - itu, yang menelepon kita?"

"Mungkin," kata Jupiter. "Tapi tujuan utamaku ialah mengetahui bagaimana reaksi orang yang suka berbuat iseng, jika ia sendiri dipermainkan."

"Orang iseng?" kata Bob. "Kurasa Mr. Carter tidak cuma iseng saja, ketika ia menggertak kita dengan senapan burunya!"

"Bukan dia yang kumaksudkan," kata Jupiter dengan tenang.

"Bukan dia?" tanya Bob. "Mungkin kau lupa, ia mungkin keturunan Carter yang riwayat sedihnya kubaca waktu itu! Labron Carter, yang hartanya habis sama sekali karena semuanya dipertaruhkan Untuk proyek pembangunan jaringan kereta bawah tanah di Seaside, dan yang kemudian melakukan tindakan bunuh diri sebagai akibatnya. Kau sendiri yang mengatakan, ia rasanya pasti tahu tentang terowongan tua itu, serta guanya. Dan bahwa ada kemungkinannya ia ingin membalas dendam terhadap penduduk kota Seaside, yang menyebabkan kehancuran ayahnya. Kalau diingat sifatnya yang pemarah, ia memang bisa saja berbuat begitu!"

Tapi Jupiter menggeleng.

"Bukan Mr. Carter yang kucurigai sebagai pencipta naga dalam gua itu."

"Kenapa bukan dia?" sela Pete. "Apa yang

menyebabkan kau bisa begitu yakin?"

"Karena satu hal," jawab Jupiter. "Ketika kita berjumpa dengan Mr. Carter, ia berteriak-teriak marah. Tapi ia tidak pilek. Lalu kita berjumpa pula dengan seseorang, yang pandai menciptakan barang-barang yang menyebabkan orang ketakutan. Dan orang itu sedang pilek. Kurasa kalian juga masih ingat. Aku mempertalikan dirinya dengan naga itu, karena seperti kalian ingat, makhluk itu batuk-batuk!"

Bob terkejap.

"Jadi kau beranggapan, Arthur Shelby itulah orang iseng yang membuat naga kita? Maksudku -jika naga itu memang buatan orang, dan bukan naga asli!"

Jupiter mengangguk, lalu menambahkan,

"Tapi mungkin juga Mr. Allen. Pengetahuannya banyak, tentang naga. Tapi aku lebih menduga bahwa orang itu Mr. Shelby."

"Kenapa dia?" tanya Bob. "Ia menciptakan alat-alat untuk menakut-nakuti orang yang suka datang tanpa diundang. Apa urusannya dengan gua itu? Gua itu kan bukan kepunyaannya!"

"Justru itulah yang perlu kita selidiki malam ini," kata Jupiter, Ia memandang arlojinya. "Kita bersiap-siap saja sekarang."

"Ada orang yang kalian lupakan," kata Pete menyela. "Kalian berdua selama ini hanya membicarakan Carter, Allen, dan Shelby. Tapi masih ada dua orang lagi di tempat itu, dan kita sama-sama melihat mereka!"

"Ya, betul!" kata Bob. "Kedua penyelam bermasker itu! Dan sebelum menghilang, mereka masih berbicara tentang meneruskan pekerjaan!"

Pete menutup kotak tempat proyektor, lalu memandang ke arah Jupiter.

"Nah, bagaimana dengan kedua orang itu?" tanyanya. "Tidak mungkinkah mereka ada sangkut pautnya dengan urusan ini?"

"Mungkin saja," kata Jupiter sambil mengangguk. "Dan jika mereka muncul lagi nanti, aku menyarankan agar kita memutar film ini - sebagai hiburan untuk mereka."

"Bagaimana dengan naga itu?" tanya Pete. "Mungkin juga ia ada pula di situ."

Sekali lagi Jupiter mengangguk.

"Itu malah akan menyebabkan urusan kita menjadi bertambah asyik! Kita mengenal kisah tentang tikus kecil, yang menyebabkan gajah ketakutan. Kita lihat saja nanti - apakah semut bisa menyebabkan naga gemetar!"

Bibir tebing yang menaungi pantai di Seaside diselubungi kegelapan. Jalan sempit dan terpencil di situ sepi, ketika Worthington menepikan Rolls-Royce ke pinggir jalan lalu menghentikannya.

Bob turun paling dulu. Ia memandang ke kanan dan ke kiri dengan perasaan heran. "Kenapa harus begini jauh kali ini, Jupe?" tanyanya. "Kini kita harus berjalan jauh ke tangga."

"Ini cuma untuk berjaga-jaga saja," jawab Jupiter. "Ada kemungkinan perhatian orang sudah tertarik pada Rolls-Royce ini. Coba tadi ada Hans, aku sebenarnya lebih senang pergi kemari naik truknya, karena itu tidak menyolok mata."

Pete terhuyung-huyung turun dari mobil, sambil menenteng kotak yang berisi proyektor. Ia mengeluh, setelah memandang ke arah tangga yang nampak agak jauh dari situ.

"Aduh - jika sampai di sana nanti dengan beban ini, lenganku pasti akan sudah menyentuh tanah. Tapi biarlah - memang sudah nasibku."

"Itu kan malah bagus," kata Bob sambil tersenyum kecut. "Dengan begitu kau bisa pura-pura menjadi manusia monyet. Siapa tahu, barangkali saja naga kita nanti ketakutan melihatmu!"

Pete tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya mendengus, lalu memanggul kotak proyektor. "Tunggu, Pete - biar kubantu," kata Jupiter menawarkan diri.

Tapi temannya yang jangkung itu menggeleng.

"Terima kasih, tidak usahlah! Ini tanggung jawabku. Kurasa aku takkan bisa lepas daripadanya malam ini, kalau mengingat bahwa aku satu­-satunya di antara kita bertiga yang tahu bagaimana cara menjalankannya."

Jupiter tersenyum.

"Perananmu mungkin akan merupakan faktor penentu malam ini, Pete. Mudah-mudahan saja rencana kita berhasil!"

Mereka meminta Worthington agar menunggu dalam mobil. Setelah itu mereka berjalan dengan langkah-langkah cepat, menyusuri jalan yang sunyi. Bulan bersembunyi di balik gumpalan awan gelap. Dari arah bawah terdengar deru ombak memecah di pantai.

"Aku lebih senang jika malam ini tidak begitu gelap," kata Pete dengan nada gugup, setelah mendongak sebentar, memandang langit.

"Kita semua agak gugup," kata Jupiter berterus terang. "Tapi keadaan segelap ini malah menguntungkan kita, karena dengannya kita tidak mudah nampak."

Ketika mereka tinggal sekitar dua puluh langkah lagi dari tangga yang akan dituruni untuk pergi ke pantai, tiba-tiba mereka mendengar bunyi langkah orang berjalan.

"Cepat! Tiarap!" desis Pete.

Seketika itu juga Trio Detektif menjatuhkan diri ke samping, lalu berguling ke dalam semak yang membatasi jalan dengan tanah kosong yang berpasir.

Langkah yang terdengar itu semakin mendekat. Langkah-langkah berat dan mantap. Tapi kemudian berubah. Melambat, dan seperti menyelinap.

Ketiga remaja yang bersembunyi merapatkan diri. Mereka merunduk semakin rendah. Ada orang mengintai, mencari-cari mereka!

Dari tempat persembunyian yang gelap, mereka bisa melihat sosok orang itu, yang semakin mendekat. Kini sudah sejajar dengan posisi mereka. Ketiga remaja itu menatap ke arahnya dengan mata terbelalak ngeri.

Mereka sudah pernah melihat sosok tubuh gempal itu. Mata mereka langsung menelusuri tubuhnya, ke arah bawah. Mereka mengenali benda yang dikepit di bawah lengan.

Senapan buru! Senapan kaliber besar, berisi peluru mimis berukuran paling besar. Senapan buru Mr. Carter, orang yang membenci anjing, anak-anak - yang kelihatannya membenci segala-galanya.

Laki-laki berwatak tidak menyenangkan dan penaik darah itu semakin memperlambat langkahnya. Kini ia berhenti, pada posisi tepat di depan mereka. Anak-anak melihat kepalanya dipalingkan ke kiri dan ke kanan dengan sikap curiga. Terasa bahwa orang itu memicingkan mata, berusaha menembus kegelapan.

"Aneh," gumamnya, "aku yakin sekali bahwa tadi nampak sesuatu bergerak-gerak di sini -"

Mr. Carter menggeleng-geleng, seakan-akan bingung. Setelah itu ia meneruskan langkah. Anak-anak yang bersembunyi masih menunggu selama beberapa saat, sampai tak terdengar lagi langkah orang itu. Setelah itu barulah mereka berani melihat lagi.

Mr. Carter tidak kelihatan lagi.

"Uhh!" desah Bob. "Untung ia tidak melihat kita di sini!"

"Ya, betul," kata Pete. "Kurasa saat tidur pun senapan itu tidak dilepaskannya. Siapa ya, yang dicarinya?"

"Yuk," bisik Jupiter mengajak. "Ia sudah cukup jauh sekarang! Ini kesempatan kita untuk menuruni tangga tanpa ketahuan. Kita lari, tapi sambil tetap merunduk!"

Mereka lari cepat-cepat, menuju tangga. "Aman!" desis Pete, setelah mengamat-amati sejenak.

Mereka menuruni tangga yang tinggi dengan bergegas-gegas, tapi dengan langkah menyelinap. Perasaan mereka baru agak tenang, ketika sudah dekat ke pantai. Mereka sadar bahwa langkah mereka takkan mungkin terdengar, karena dikalahkan bunyi ombak memecah.

Pete yang paling dulu mencecahkan kaki di atas pasir.

"Oke," katanya. "Kita sudah sampai lagi. Aku ingin melihat, bagaimana tanggapan naga dalam gua itu kalau melihat film fiksi ilmiah!"

"Itu akan segera kita ketahui," kata Jupiter, "jika ia ada di dalam."

"Jika tidak ada pun, aku tidak keberatan," kata Bob. "Aku cuma ingin tahu tentang terowongan itu.

Biar kalian berdua saja yang berurusan dengan naga."

Mereka sampai di gua yang pertama-tama dimasuki waktu itu. Bob dan Pete tercengang, karena Jupiter tidak masuk, melainkan berjalan lewat.

"Ssst!" bisik Bob. "Gua itu sudah kaulewati!" Jupe hanya menganggukkan kepala. Sambil membisu, ia menuding ke arah dinding tebing di depan, yang agak menjorok ke luar. "Lubang masuk ke gua besar terdapat di balik bagian yang menonjol ini. Sebaiknya kita periksa dulu ke sana, apakah lubang masuk itu terbuka atau tidak."

Mereka mengitari kaki tebing yang menonjol, lalu tertegun. Mereka melihat tiga bongkah batu besar-besar, tinggi menjulang di atas kepala. Batu-batu itu merapat ke dinding tebing.

"Mungkin itulah batu karang palsu yang menutupi mulut gua," bisik Jupiter. "Rupanya jalan masuk ke situ tertutup sekarang."

Pete menghampiri batu yang paling besar, lalu mengetuk-ngetuknya sambil mendekatkan telinga ke situ.

Ketukannya menimbulkan bunyi yang terdengar bengap.

Pete tersenyum.

"Kau benar, Jupe," katanya. "Ini bukan batu tulen - tapi tiruan, seperti yang biasa dipakai di studio film. Terbuat dari kerangka kayu balsa ringan, atau mungkin juga semen yang dilaburkan pada kawat ayam."

Jupiter mengangguk, lalu berpaling.

"Kita atur dulu posisimu dalam gua, Pete! Setelah itu aku akan melihat-lihat, bersama Bob.'' "Apa?" Pete kaget. "Aku ditinggal sendiri di sana, sementara kalian berdua -"

"Kau akan lebih aman di situ, daripada kami berdua," kata Jupiter. Ia mendului berjalan ke gua yang lebih kecil. "Kami nanti akan melakukan penyelidikan yang bisa berbahaya. Sedang kau cukup duduk diam-diam saja. Pokoknya kau harus siap untuk memutar film kita."

Pete masih tetap bingung. Ia celingukan.

"Lalu siapa yang menontonnya?"

Jupiter sudah menggeser papan yang menutup jalan masuk ke rongga tersembunyi. Ia merangkak ke dalam, disusul oleh Bob dan Pete. Papan yang digeser dikembalikan lagi ke posisi semula.

Jupiter bersiul pelan.

"Perlengkapan kita yang ketinggalan waktu itu masih ada di sini! Coba kaucari tempat yang harus didorong agar tingkap batu itu bisa bergerak, Bob. Perlengkapan ini nanti saja diambil, saat kita pergi lagi."

Bob membungkuk, mengamat-amati dinding batu yang rendah di bagian belakang. "Sudah kutemukan," katanya dengan gembira, beberapa saat kemudian. Batu yang merupakan tingkap rahasia bergerak, diiringi bunyi berat tapi pelan.

"Kau tinggal di sini, Pete," kata Jupiter. "Dalam rongga sempit ini. Kaupakai lubang di dinding itu untuk memproyeksikan film kita. Tingkap ini kita ganjal, agar tidak menutup kembali. Nanti begitu ada isyarat dari kami, kauproyeksikan film ke dinding kelabu yang ada di bagian belakang gua besar yang di sebelah."

Pete mulai menyiapkan proyektor. Diambilnya kaleng tempat rol film. Setelah itu ia menyalakan senter.

"Siap," katanya. "Apa isyarat kalian nanti?"

Jupiter berpikir sebentar.

"Kurasa teriakan, Tolong!' " katanya.




Bab 17

MISTERI TEROWONGAN TUA

BOB dan Jupiter menyusup masuk ke gua besar di sebelah, meninggalkan Pete seorang diri di dalam rongga sempit. Mereka maju dengan hati-hati di dalam gua yang lapang dan berlangit-langit melengkung itu. Mereka gemetar, karena hawa di situ lembab dan dingin.

Mereka belum begitu jauh berjalan, ketika Bob tiba-tiba berbisik.

"Ada yang hilang!"

Jupiter terkejut.

"Apa?"

Bob menyorotkan senternya ke depan, lalu menggerakkannya ke kiri dan ke kanan.

"Dinding besar itu - bagian tengahnya terbuka!"

Jupiter mengikuti gerak sinar senter yang dipegang oleh Bob dengan penuh minat. Lubang di tengah dinding di depan mereka menganga, dari dasar sampai langit-langit.

"Bob! Kurasa kita sudah menemukan terowonganmu yang lenyap itu!" seru Jupiter dengan suara tertahan.

Kedua remaja itu melangkah dengan hati-hati, melewati lubang di tengah dinding. Terowongan di mana mereka kini berada, kemudian melebar. Nampaknya lurus dan menjorok jauh ke dalam. Bob dan Jupiter berhenti. Bulu tengkuk mereka meremang, sementara jantung mereka berdebar keras.

Sesuatu yang sangat besar dan gelap nampak berbaring, menghadap ke arah mereka. Nampaknya seakan-akan sedang menunggu mereka!

Bob dan Jupiter menjatuhkan diri dengan cepat. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan napas pun ditahan-tahan.

Keduanya menunggu. Menunggu dan menunggu. Tapi tidak terjadi apa-apa. Naga di depan mereka tetap berbaring merunduk. Sosok yang panjang, gelap, berpunggung bungkuk. Mengerikan! Kepalanya tertunduk, di ujung batang leher yang panjang dan kekar.

"M-mungkin sedang tidur," kata Bob berbisik.

Jupiter menggeleng. Ia berusaha tetap tenang.

"Jangan lupa," bisiknya di telinga Bob, "itu bukan naga sungguhan!" Bob mengangguk singkat. "Ya, aku tahu. Itu yang selalu kaukatakan pada kami. Mudah-mudahan saja kau benar!"

Kedua remaja itu masih menunggu selama beberapa waktu lagi. Akhirnya Jupiter menyalakan senternya, dan menyorotkannya menyusur tanah.

Kini ia tersenyum lega.

"Perhatikan kaki naga itu, lalu katakan apa yang kaulihat!"

Bob menyusuri jalur sinar senter dengan matanya. Akhirnya ia terkejap. "Rel," katanya. "Di bawah tubuh naga. Kelihatannya seperti rel kereta." Jupiter menarik napas lega. "Kita sama-sama benar. Aku benar, karena naga ini ternyata memang palsu. Dan kau berhasil menemukan jaringan rel kereta bawah tanah yang mulai dibangun oleh Labron Carter, lebih dari setengah abad yang silam! Tapi tentang satu hal kau keliru, Bob. Kau mengatakan bahwa jaringan ini belum pernah dipakai!"

"Apa maksudmu?" "Naga kita memakainya," jawab Jupiter. "Tapi untuk apa? Aku tidak mengerti," kata Bob.

Siapa yang mau-maunya membuat naga, yang kemudian dibaringkan dalam terowongan rel kereta bawah tanah yang tidak terpakai sejak lebih dari lima puluh tahun? Rel yang tidak ada hubungannya ke mana-mana, dan yang kemungkinannya takkan pernah dipakai. Suatu hal yang tidak masuk akal!

Untuk apa? tanya Bob dalam hati.

"Itu akan kita selidiki sekarang," kata Jupiter, Ia menarik lengan temannya. "Ayo - sebelum mereka kembali."

Bob mengikuti Jupiter dengan langkah ragu. "Siapa yang kembali?" tanyanya bingung. Jupiter berjalan terus, tanpa memberi jawaban. Kini mereka sampai di dekat sosok besar yang

Halaman : 193, 194, 199, 200 192

221, 222 master hilang/sobek

Tiba-tiba Bob terkejut, karena mendengar bunyi berdebum di dalam. Seolah-olah Jupiter tertelan naga, pikirnya dengan gugup.

Ia memicingkan mata ke arah kegelapan yang ada di depan. Dibantu sinar senter, dilihatnya bahwa terowongan itu agak membelok sedikit di kejauhan. Rel yang menjulur sejajar, lenyap di balik tikungan itu. Sisi-sisi terowongan rata, menampakkan rusuk-rusuk dari baja yang memanjang sampai ke langit-langit, dan di sana-sini dinding beton.

Tiba-tiba Bob terlompat kaget, karena mendengar bunyi gemeresik.

Tingkap yang tadi sudah tertutup, terbuka lagi.

"Yuk, melihat ke dalam," ajak Jupiter dengan suara lirih.

Dengan cepat Bob memanjat ke atas, lalu masuk ke dalam lubang. Kakinya menemukan jenjang tangga sempit, sementara Jupiter sudah lebih dulu turun. Anak itu menyalakan senternya dan melihat ruangan yang ada di dalam, ketika Bob sudah sampai di kaki tangga.

"Hebat, ya? Wujudnya seperti naga. Jalannya seperti kereta, di atas rel. Tapi coba kaulihat ini - periskop! Lalu tingkap bundar ini. Aku berani bertaruh, Bob - naga ini sebenarnya kapal selam kecil!"

Bob mengetuk-ngetuk dinding sisi yang melengkung, lalu mengusap-usap buku jarinya. "Entah dari apa - tapi yang jelas, keras sekali!"

Jupiter mengangguk.

"Mestinya dari besi atau baja, supaya bisa tetap terbenam di dalam air. Tapi kurasa bukan. Yuk, kita sekarang melihat ruang mesin."

Kedua remaja itu menuju ke bagian haluan, lewat sebuah gang sempit.

"Tongkat perseneling, papan instrumen, rem, dan seperangkat pedal!" seru Bob kagum. "Kapal selam macam apa ini?"

Jupiter menjentikkan jari-jarinya.

"Aku ingat, pernah membaca tentang kapal selam pertama. Jalannya di dasar laut, seperti mobil. Penciptanya memasang jendela-jendela di lambung kapalnya itu, supaya para penumpang bisa memandang ke luar. Ia menarik bayaran dari orang-orang yang ingin ikut. Di dalam kapal itu ada sekat-sekat khusus berisi udara, yang gunanya untuk menahan tekanan air.

Pembuat naga gadungan ini mungkin menjiplak gagasan itu, atau menyontek ide mobil-mobil hias dari pawai Rose Bowl. Di situ bentuk yang bermacam-macam dipasang di atas kerangka bawah mobil, lalu ditutupi bunga-bunga mawar. Kendaraan-kendaraan itu bergerak lambat, dikendalikan pengemudi yang tersembunyi tempatnya, di bagian bawah."

Kini Bob yang menjentikkan jari-jarinya dengan bergairah.

"Jadi begitulah cara naga ini bergerak di atas pasir, sehingga kelihatan seperti tidak bergerak. Maksudku, kaki-kakinya tidak bergerak-gerak, seperti naga dalam film yang kita lihat di tempat Mr. Hitchcock."

"Itu dapat dimengerti," kata Jupiter. "Mr. Allen memerlukan naga yang kelihatan asli, untuk film yang disutradarainya. Sedang pembuat naga gadungan ini cuma memerlukan wujud yang kelihatannya seperti naga. Pokoknya cukup untuk menimbulkan kesan terkejut dan takut, seperti yang dikehendaki. Aku sekarang cuma ingin tahu alasannya - dan siapa yang hendak ditakut-takuti dengannya."

Tiba-tiba terdengar suara mengerikan dalam tubuh naga palsu itu. "Aaaaa ... uuuu!"

Kedua remaja itu terlompat. "Suara apa itu?" tanya Bob berbisik. Jupiter kelihatan agak ragu.

"Datangnya dari sebelah belakang."

Bob memandangnya dengan perasaan kecut. "Kau tahu pasti? Aku tidak ingin berada dalam kendaraan ini, jika sekarang tahu-tahu bergerak, lalu menyelam ke dalam laut."

Suara melolong itu terdengar lagi. Panjang, dan menegakkan bulu roma. "Aaaaaaa ... uuuuuu!"

Bob merinding. "Tidak enak hatiku mendengarnya."

Ia kaget, ketika tahu-tahu Jupiter berpaling lalu berlari-lari kecil lewat gang sempit, menuju bagian buritan. Kemudian ia berhenti, karena lolongan tadi terdengar lagi. Jupiter mendengarkan baik-baik, dengan kepala didekatkan ke lantai.

"A-apa itu?" tanya Bob dengan gugup, sambil datang menghampiri.

Jupiter tidak menjawab. Ia membalikkan tubuh, lalu menelusuri dinding dalam naga itu dengan sinar senternya. Bob heran ketika Jupiter tiba-tiba tersenyum.

"Kurasa akhirnya kita berhasil juga menyibak­kan tabir misteri kita," katanya sambil tertawa kecil.

"Kita berhasil?" tanya Bob dengan alis terangkat.

"Coba kaudengar," kata Jupiter, lalu mengetuk

dinding. Bunyi ketukannya disusul suara lolongan panjang.

"Aaaaaaa ... uuuuuuuu!"

Bob menelengkan kepala, mendengarkan de­ngan cermat. "Ya, aku mendengarnya," katanya. "Dan hatiku masih saja tidak enak karenanya."

"Itu karena kau membiarkan rasa takutmu terhadap naga mengalahkan pikiran waras," kata Jupiter sambil tersenyum. Ia membuka sebuah pintu sempit, lalu mengarahkan sinar senternya ke dalam lubang yang kelihatannya seperti lemari.

Suara lolongan terdengar bertambah jelas.

Mata Bob terkejap sekali, lalu terbuka lebar.

"Eh - nanti dulu! Itu kan suara -"

Ia menjenguk ke dalam lubang. Mulutnya langsung ternganga karena heran.

Halaman : 193, 194, 199, 200 198 221, 222 master hilang/sobek

Anjing itu menjulurkan kepala, sedang ekornya bergerak-gerak dengan gembira. "Pulang!" kata Jupiter mengulangi perintahnya, sambil membentangkan lengan.

Anjing itu menggonggong dengan gembira. Bunyi itu disambut lolongan dan dengkingan dari dalam lemari. Anjing-anjing yang lain bermuncul­an dengan langkah-langkah kaku, tapi dengan ekor dikibas-kibaskan.

Bob tertawa nyengir. "Astaga! Ada enam, kuhitung! Kita menemukan semua anjing yang hilang!"

Jupiter mengangguk. Ia menyelipkan secarik kertas yang sudah dilipat-lipat di balik kalung setiap anjing yang terhuyung ke luar.

"Untuk apa itu?" tanya Bob.

"Aku sudah menyiapkan berita singkat yang kutujukan pada masing-masing pemilik anjing, untuk berjaga-jaga jika kita berhasil menemukan anjing-anjing ini," jawab Jupiter. "Seperti halnya pemsahaan lain-lainnya yang berhasil, kita pun perlu mengadakan promosi untuk mendapat nama baik, karena telah berjasa untuk kepentingan umum."

Red Rover mendengking pelan.

"Baiklah, Red Rover." Jupiter berpaling, lalu berlutut. "Kau yang paling dulu pulang."

Diangkatnya anjing besar itu, dibawanya menai­ki tangga.

"Pulang, Red Rover! Pulanglah!" bisik Jupiter di telinga anjing itu. Anjing setter itu mendengking senang, lalu merangkak ke luar dan lari melompat-lompat menuju lubang di tengah dinding.

Jupiter tertawa nyengir.

"Ia sudah segar-bugar lagi sekarang," katanya. "Tolong junjungkan anjing-anjing yang lain itu kemari, Bob. Mungkin mereka akan pulih kembali, begitu menghirup udara segar di luar."

Bob menjunjung anjing-anjing itu satu demi satu, yang kemudian dilepaskan oleh Jupiter yang berdiri di ujung atas tangga. Dengan segera kelemasan mereka lenyap, dan kelima anjing itu berlari ke luar menyusul Red Rover.

Bob membersihkan bulu yang menempel pada telapak tangannya.

"Biar Pete yang mengeluarkan mereka dari rongga sebelah. Nah - tugas kita sudah selesai. Aku pun sudah siap untuk meninggalkan tempat ini."

Ia melongo, melihat Jupiter menutup tingkap lalu turun ke bawah.

"Kita tidak bisa ke luar," kata Jupiter.

"Kenapa begitu?" tanya Bob ingin tahu.

"Aku baru saja melihat bayangan bergerak­gerak di sepanjang dinding terowongan. Ada orang kemari."

"Aduh!" keluh Bob. "Kita terjebak! Di manakah kita bisa menyembunyikan diri?"

Jupiter melangkah, menyusuri gang yang sempit. Ia membuka pintu lemari, yang semula berisi keenam ekor anjing tadi.

*

Pete menggosok-gosok lengannya yang kedinginan. Ia sudah selesai memasang proyektor. Sebongkah batu kecil dipakai untuk mengganjal batu besar yang merupakan pintu rahasia, sehingga tidak bisa menutup lagi. Film sudah dipasang di tempatnya. Kini ia berjongkok dengan perasaan gugup, menunggu isyarat dari kedua temannya. Begitu isyarat datang, akan dimulainya pemutaran film.

Ia menggeser-geser pesawat itu, untuk memastikan ketepatan pengarahannya lewat lubang tingkap di dinding batu. Setelah itu ia menunggu sambil berbaring menelungkup.

Tiba-tiba bulu tengkuknya merinding. Ia mendengar bunyi sesuatu di belakangnya. Ia berbaring diam-diam, sambil memasang telinga. Bunyi tadi terdengar lagi.

Seseorang, atau sesuatu, ada dalam gua dangkal yang pertama-tama mereka masuki. Ia mendengar bunyinya dengan jelas, bergerak-gerak di situ. Setelah menunggu agak lama, bunyi itu kembali lagi.

Kini didengarnya bunyi pasir dikais-kais. Apa yang dilihatnya setelah itu menyebabkan tubuhnya semakin gemetar. Selembar papan lebar yang menutupi rongga tempat ia berada, nampak tergeser.

Pete menggigit-gigit bibirnya. Dengan segan-segan diraihnya alat proyektor milik ayahnya, lalu ditariknya ke belakang. Kini ia berlutut, sambil memikirkan apa yang harus dikerjakan. Masih ada waktu baginya untuk menyusup lewat lubang pintu rahasia yang terganjal batu. Ia masih bisa menggabungkan diri dengan Bob dan Jupiter di dalam gua besar, sedang batu pengganjal akan diangkatnya supaya pintu rahasia tertutup kembali.

Tapi ia teringat, bahwa kedua temannya itu mengandalkan dirinya untuk tetap berada di tempat tugas. Begitulah instruksi Jupe tadi.

Papan lebar itu tergeser perlahan-lahan ke samping.

Pete beringsut-ingsut mundur, sampai punggungnya menempel ke dinding rongga. Ia menunggu di situ, sambil menatap celah yang terbuka semakin lebar, membuka jalan bagi orang yang menggeser papan.

Tangan Pete menggapai-gapai dasar rongga, mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Kemudian ia teringat pada senternya. Digenggamnya benda itu erat-erat. Kegelapan yang menyelubungi tempat sempit itu mungkin tidak merupakan perlindungan yang memadai.

Sesosok tubuh gempal berdiri di tempat yang semula tertutup papan lebar. Badan orang itu begitu kekar, sehingga ia terpaksa menyusup masuk dengan memiringkan tubuh.

Napas Pete tersentak. Ia mengenali orang yang baru masuk itu. Mr. Carter yang pemarah, dengan senapan burunya!

Langit-langit rongga itu rendah. Mr. Carter terpaksa menunduk di dalamnya. Ia melangkah maju dengan kepala tertunduk. Kemudian ia berhenti, lalu mendengarkan. Jantung Pete berdebar keras. Ia juga mendengar suara itu.

"Aaaaa ... uuuuuuuuuuu!"

Pete merapatkan diri ke dinding. Kakinya ditarik, sedang tangannya yang menggenggam senter mengencang.

Kemudian terdengar bunyi lain. Bunyi langkah berlari. Bunyi itu kian mendekat, diiringi suara napas terengah-engah.

Bunyi itu diikuti bunyi-bunyi lain yang sejenis. Dan suara yang seperti melolong berkumandang kembali.

"Aaaa ... uuuuu!" Itu pasti Bob dan Jupe, yang berlari-lari. Lari - karena dikejar!

Pete meneguk ludah. Kini ia tidak bisa lagi menutup pintu rahasia, karena itu satu-satunya jalan bagi Bob dan Jupe, keluar dari gua besar. Satu-satunya jalan bagi mereka untuk menyelamatkan diri.

Tapi menyelamatkan diri ke mana? Pete merasa bingung, sementara Mr. Carter yang pemarah berdiri merunduk tak jauh dari tempatnya meringkuk, dengan senapan siap ditembakkan.

Tiba-tiba terjadi keributan. Bunyi kaki terpeleset-peleset, di susul munculnya sepasang mata kuning kemilau di tengah lubang yang terbuka.

Ada sesuatu yang berbunyi seperti mengerang, lalu melesat masuk lewat lubang yang terbuka. Dan dengan segera disusul oleh sesuatu lagi, yang menggeram-geram. Lalu satu lagi. Dan satu lagi!

Mulut Pete terpentang lebar, sementara ia semakin menempelkan diri ke dinding rongga yang dingin. Ia sudah bersiap-siap untuk menghadapi naga. Tapi yang masuk berbondong-bondong ini segerombolan binatang liar yang berbulu.

Mr. Carter mendengus, ketika ada sesuatu menubruknya. Ia terbanting.

Pete meneguk ludah. Setelah menyerang laki-laki pemarah itu, pasti ia kini yang akan diserang kawanan binatang liar itu!

Ia mengangkat senter yang dipegang.



Bab 18

TERTANGKAP!

BOB dan Jupiter meringkuk berdesak-desakan dalam ruang lemari yang sempit. Keduanya berusaha menajamkan pendengaran.

"Panjang juga jalur rel yang perlu diperiksa dan dibersihkan tadi," kata seorang laki-laki dengan nada mengomel. "Seolah-olah kita ini belum cukup repot, dengan segala pengeboran itu. Tapi sekarang semuanya sudah siap."

"Pokoknya, hasilnya nanti lumayan, Harry," kata seseorang lagi, yang bersuara berat. "Yuk, kita jalankan saja sekarang."

"Beres," kata laki-laki yang pertama. "Orang itu sangat licin, Jack. Bisakah kita mempercayainya, kalau menurutmu?"

Orang yang satu lagi tertawa.

"Ia kan cuma seorang diri, sedang kita berdua. Dan kapalnya punya kita. Ia yang mestinya gelisah memikirkan, apakah bisa mempercayai kita!"

Tingkap di atas punggung naga gadungan terbuka. Kedua laki-laki yang datang itu menuruni tangga. Bob dan Jupiter meringkuk di dalam lemari, dengan telinga ditempelkan ke daun pintu. Mereka mendengar satu dari kedua orang yang masuk itu menuju ke haluan.

Kemudian terdengar desingan mesin yang dihidupkan. Kedua remaja yang bersembunyi di dalam lemari merasakan gerakan menyentak dengan tiba-tiba, disusul suatu benturan. Tahu-tahu naga gadungan itu sudah meluncur di atas rel.

Bob menjamah lutut Jupiter.

"Menilik suara mereka, kedua orang itu para penyelam bermasker yang waktu itu. Apakah kita sekarang menuju ke laut?" bisiknya.

"Kurasa tidak," jawab Jupiter lirih. "Naga ini takkan bisa terbenam, karena belum cukup beban pemberat di dalamnya!"

Bob mendesah lega.

Naga-nagaan itu meluncur terus. Bob dan Jupiter hanya bisa mengetahui bahwa kendaraan aneh itu bergerak, karena merasakan adanya ayunan pelan.

"Kita bergerak mundur," bisik Jupiter, "masuk ke dalam terowongan tua."

"Ya, aku tahu," balas Bob dengan berbisik pula. "Tapi untuk apa? Mau apa kedua laki-laki itu?"

Jupiter hanya bisa mengangkat bahu.

"Pokoknya, kedengarannya merupakan urusan penting."

Tiba-tiba naga palsu itu terhuyung ke depan, lalu berhenti. Bob dan Jupiter terpelanting ke belakang, membentur dinding yang tipis.

Laki-laki yang mengemudikan kendaraan itu datang lagi ke buritan. "Oke, Harry," katanya. "Sekarang kita harus memuatnya. Tapi hati-hati!"

"Awas, kalau ia sampai menipu kita," kata yang seorang lagi menggerutu. "Kuhajar kepalanya dengan batang besi ini."

"Ya, betul," kata laki-laki yang pertama. "Tapi itulah, risiko kita! Imbalannya juga tidak sedikit. Bayangkan, sejuta dolar!"

Bob dan Jupiter terbelalak dalam kegelapan ruang lemari yang sempit. Sejuta dollar? Mereka ragu, jangan-jangan salah dengar. Satu juta dollar!

Kini kedua laki-laki itu terdengar menaiki tangga panjat ke atas. Tingkap penutup dibuka, lalu ditutup lagi dengan bunyi bantingan keras.

Jupiter menepuk bahu Bob.

"Yuk - kita lihat apa yang hendak mereka kerjakan," bisiknya. Dengan hati-hati pintu lemari dibuka. Baru saja keduanya mulai berjalan, ketika mereka tertegun. Mereka mendengar suara seseorang lagi. Suara orang itu parau, diselingi batuk-batuk.

"Ayo cepat," kata orang itu dengan nada mendesak. "Penjaga malam sudah kubereskan, dengan beberapa tetes obat bius. Paling sedikit beberapa jam ia akan tetap pulas. Kita harus bisa mengeluarkan paling sedikit 300 batang dari dalam, sebelum ia siuman kembali."

Bob menyikut Jupiter.

"Kau benar, Jupe," bisiknya. "Itu memang Arthur Shelby. Kukenali suaranya. Dan juga batuknya."

"Itu misteri kedua yang berhasil kita selesaikan," bisik Jupiter. "Misteri naga yang suka batuk-batuk. Sekarang tinggal satu lagi."

"Maksudmu yang sekarang ini - apa yang mereka kerjakan di sini?" tanya Bob.

"Misteri tiga ratus batang," jawab Jupiter.

"Tiga ratus batang apa?"

Jupiter menepuk bahu Bob, lalu menyelinap melewati gang sempit dalam perut naga palsu. Ia memanjat tangga dengan hati-hati. Tingkap penutup dibuka sedikit, lalu ia mengintip ke luar.

Jupiter melongo. Matanya menatap dinding beton, yang terdapat di sisi naga-nagaan. Dinding itu berlubang. Lubang hasil pengeboran! Ukurannya cukup besar untuk dilalui orang yang berjalan. Seorang laki-laki muncul dari balik lubang itu. Ia menenteng sesuatu. Tubuhnya condong ke belakang. Rupanya benda yang dibawa itu berat!

"Uhhh - beratnya," kata orang itu mengomel.

"Ya, tentu saja berat," jawab Arthur Shelby. "Kau sangka kenapa kau beserta saudaramu kuajak, Jack Morgan? Hanya karena kalian kebetulan memiliki kapal? Untuk pekerjaan ini aku memerlukan tenaga otot yang kekar. Kau serta saudaramu kukontrak untuk melakukan pengeboran, dan untuk memuatkannya ke kapal kalian.".

"Ya, ya - aku juga tidak memprotes," kata laki-laki yang pertama sambil menggerutu. "Be­rapa berat masing-masing batang ini?"

"Sekitar 70 pon," jawab Arthur Shelby. "Kalian tumpukkan saja dulu di samping naga. Jika 300 batang itu sudah kita keluarkan semua, barulah dimuat ke dalamnya. Sesudah itu kita menuju ke laut."

Laki-laki kekar yang ternyata bernama Jack Morgan itu meletakkan bawaannya di samping naga, lalu kembali ke lubang di tengah dinding. Saat itu saudaranya keluar, dengan badan condong ke belakang. Napasnya terengah-engah.

"Oke, Jack," dengusnya. "Tiga batang sudah kita angkut."

Batang berat yang dibawanya diletakkan menurut petunjuk Shelby. Setelah itu ia masuk lagi lewat lubang di dinding.

Jupiter menurunkan tutup tingkap.

"Kata Mr. Shelby, masing-masing batang yang diangkut itu beratnya sekitar tujuh puluh pon," bisiknya pada Bob. "Dan kedua Morgan bersaudara tadi berbicara tentang nilai satu juta dollar. Kurasa aku tahu, apa sebenarnya batang-batang berat yang diangkut ke luar itu. Emas!"

"Emas?" seru Bob dengan suara tertahan. "Emas dari mana?"

"Ukuran baku batang emas yang dibuat oleh pemerintah, beratnya tujuh puluh pon!" kata Jupiter. "Ukuran yang lebih kecil, dua puluh pon. Itu saja, nilainya sudah $ 9.600! Arthur Shelby rupanya sedang merampok salah satu bank sentral!"

"Astaga!" seru Bob dengan suara tertahan. "Lalu berapa nilai masing-masing batangan emas tujuh puluh pon itu?"

Jupiter menghitung-hitung sebentar.

"Satu pon emas nilainya sekitar $ 480 ... jadi tujuh puluh pon -" Jupiter bersiul pelan," - lebih dari $ 30.000! Tepatnya, $ 33.600!"

"Wow!" sekali lagi Bob menyatakan kekagumannya. "Dan kata Shelby tadi, mereka akan mengambil 300 batang!"

"Menurut taksiranku, nilainya sekitar sepuluh juta, delapan puluh ribu dollar," kata Jupiter sambil menghitung-hitung. "Lumayan juga!"

"Dengan begitu kita ini menjadi saksi peristiwa perampokan bank yang cukup hebat," bisik Bob. "Jika ingin selamat, kita harus lekas-lekas lari dari sini!"

Jupiter setuju.

"Tapi bagaimana kita bisa lari," katanya dengan suara parau karena tegang. "Tempat Mr. Shelby berdiri terlalu dekat ke naga!"

Jupiter melangkah dengan lambat menuju haluan, sambil berpikir-pikir. Tiba-tiba ia lari ke depan, ke tempat kemudi.

Bob membuntuti, karena menyangka Jupiter menemukan tempat persembunyian baru bagi mereka.

Tahu-tahu Jupiter berhenti, sehingga Bob membenturnya dari belakang.

"Sorry," gumam Bob. "Aku tak menyangka -"

Jupiter mendekatkan telunjuknya ke bibir, menyuruhnya diam. Setelah itu ia menjulurkan kepala ke depan. Matanya berkilat-kilat. "Jangan ribut!" desisnya. "Kunci kontaknya mereka biarkan terselip!"

Mulut Bob ternganga.

"Maksudmu - kau hendak mengemudikan - kita lari dengan ini? Bisakah kau mengemudikannya? Bagaimana caramu melihat jalan nanti? Aku sama sekali tidak melihat jendela di sini!"

Jupe mengangkat bahu dengan sikap tak acuh.

"Kucoba saja! Aku yakin, cara menjalankan naga-nagaan ini seperti mobil biasa, dan'aku tahu cara mengemudikan mobil. Kulihat ada pedal kopling, rem, tongkat perseneling, dan pedal gas. Jalannya akan terus di atas rel, sampai di ujung terowongan."

Ia duduk di bangku kemudi yang sempit. "Nan - kita coba saja," kata Jupiter, lalu memutar kunci kontak. Mesin mendesing nyaring. Lalu mendesing sekali lagi. Batuk-batuk sebentar. Setelah itu mati.

"Mesinnya batuk-batuk, Jupe!" seru Bob. "Jadi yang batuk-batuk itu ternyata bukan Shelby."

Jupiter mengangguk, sambil menggigit bibir. "Mogok," katanya getir. Kunci kontak diputarnya sekali lagi. Sekali lagi mesin mendesing. Tapi sekali ini menyala, diiringi deruman nyaring.

Jupiter menghembuskan napas lega. Tongkat perseneling dimasukkannya ke gigi satu, lalu diangkatnya kaki dengan pelan dari pedal kopling.

Kendaraan berwujud naga itu melonjak maju, terbatuk, lalu berhenti. Mesin mati.

"Mogok lagi!" seru Jupiter dengan sebal. "Koplingnya -"

Kalimatnya tidak dilanjutkan. Ia berpaling dengan cepat, diikuti oleh Bob dengan gerakan serupa. Mereka mendengar sesuatu yang berat berdebam-debam di sisi luar naga, disusul benturan keras. Setelah itu mereka mendengar sesuatu yang lebih menakutkan lagi.

Bunyi tutup tingkap dibuka. "Seharusnya kita kunci tadi!" bisik Bob. Jupiter mengangguk. Dari matanya nampak bahwa ia takut. "Ya, aku tahu. Maaf- pikiranku tadi melantur."



Bab 19

SITUASI GAWAT

PETE gemetar ketakutan. Ia bersandar ke dinding rongga, sambil menggenggam senter yang berat. Ia tahu, seekor dari binatang-binatang berbulu itu pasti bisa ditaklukkannya dengan alat itu. Tapi jumlah mereka terlalu banyak.

Mr. Carter juga terlalu besar dan kuat baginya, biarpun tanpa senapan buru penyebar mautnya.

Untung saja saat itu Mr. Carter terkapar di dasar rongga, di terjang binatang-binatang yang menyerbu masuk. Pete hanya bisa menatap dengan perasaan ngeri, sementara makhluk-makhluk seram itu me -

Pete terkejap kaget.

Binatang-binatang itu tidak menyerang. Mereka berlompatan melewati Mr. Carter yang terkapar, lari ke luar lewat celah di sela papan yang berjejer-jejer.

Pete terduduk. Ia merasa bingung. Detik berikutnya ia berpaling dengan cepat, karena mendengar suara erangan seram lagi. Seekor binatang yang bertubuh kecil menyusul masuk ke dalam rongga. Matanya menyala-nyala. Sebelum Pete sempat bergerak, binatang itu sudah meloncat, melewati kakinya yang terjulur, mengita­ri tubuh Mr. Carter yang masih terkapar, lalu menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu keluar lewat celah di antara papan.

Kini Pete tidak menunggu lagi. Mr. Carter nampaknya tidak mengalami cedera, cuma pingsan saja. Sebentar lagi ia pasti pulih kembali, dengan perangainya yang galak, dan dengan senapan burunya yang lebih-lebih menakutkan.

Jupiter tadi menginstruksikan pada Pete agar tetap berada di tempat tugas, siap untuk menjalankan proyektor. Tapi Jupe tidak mengatakan apa-apa tentang tetap tinggal, dengan risiko ditembak. Mungkin ada cara lain, dengan mana ia bisa memberikan bantuan.

Pete melompat ke lubang di tengah batu. Didorongnya proyektor ayahnya ke gua sebelah. Setelah itu ia sendiri menyusul. Setelah berada di dalam gua besar, ia berhenti sebentar sambil memasang telinga. Didengarnya suara Mr. Carter mengerang.

Sudah tidak ada waktu lagi sekarang untuk mengutik-utik batu pengganjal pintu rahasia. Pete bergegas berdiri. Disambarnya pesawat proyektor, lalu dibawanya lari.

Tiba-tiba dilihatnya lubang di dinding besar berwarna kelabu yang ada di depannya, diterangi sinar senternya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia menyusup masuk lewat lubang itu.

Tiba-tiba didengarnya bunyi desiran aneh. Datangnya dari arah belakang. Pete berpaling dengan cepat. Darahnya terasa seperti membeku, ketika melihat bahwa lubang di dinding tadi mulai tertutup.

Ia meloncat dengan sikap ragu, hendak keluar lagi. Tapi tak berhasil. Kedua sisi dinding sudah merapat.

Kini Pete dikejutkan bunyi lain, Ia memandang berkeliling dengan mata nyalang. Di depannya nampak sebuah terowongan lebar. Terowongan itu kelihatannya panjang sekali. Dan di kejauhan nampak sosok besar dan jelek yang sudah pernah dilihat olehnya. Sosok itu menuju ke tempatnya. Matanya yang kuning menyala terang. Rahangnya terbuka lebar.

Naga itu meraung!

Pete cepat-cepat memadamkan senternya. Ia bergerak mundur, terdorong rasa ngeri. Tahu-tahu punggungnya sudah membentur dinding. Ia tidak bisa mundur lagi.

Pete menggeser pelan-pelan menuju sudut paling gelap. Proyektor dijadikan tameng, dipegang di depannya.

Pete menggigil ketakutan. Matanya seperti terpaku, menatap naga yang maju dengan gerakan melompat-lompat. Ia seperti terpukau oleh kepala naga yang terayun-ayun, serta rahang yang ternganga lebar. Bob dan Jupe tidak dilihatnya. Pete menggigit bibir, lalu mengerang.

Kedua temannya itu pasti sudah masuk ke perut naga. Ia terlambat, tidak bisa lagi menyelamatkan mereka! Dalam hati Pete timbul pertanyaan tentang nasibnya sendiri. Sementara itu naga kian mendekat.

*

Suara Arthur Shelby menggaung dari lubang tingkap yang terbuka, masuk ke dalam tubuh naga. Kedengarannya tidak lagi seperti suara seseorang yang gemar berkelakar. Bunyinya parau, dan mengandung ancaman.

"Ayo keluar, jika masih ingin selamat!" Bob memandang Jupiter. Jupiter menggeleng. Bibirnya menipis. Jarinya bergerak-gerak, menekan berbagai tombol kendali.

"Ini satu-satunya peluang kita untuk menyelamatkan diri - asal aku bisa membuat naga sialan ini berjalan!"

Mesin kendaraan itu hidup lagi. Kendaraan berwujud naga itu terdorong ke depan, lalu mulai bergerak maju. Tiba-tiba batang lehernya yang besar terangkat.

"Jupe! Jupe! Lihat, Jupe!" Bob menunjuk-nunjuk dengan gerakan ribut. "Salah satu tombol yang kautekan itu rupanya menyebabkan lehernya terangkat. Kita bisa melihat ke depan!"

Jupiter mengangguk. Kakinya menekan pedal gas. Tahu-tahu naga itu tersentak, teriring bunyi batuk-batuk. Mereka mendengar suara Mr. Shelby berteriak. Di atas kepala mereka terdengar bunyi seperti ada barang tergelincir, disusul debuman berat.

"Kurasa Mr. Shelby terjatuh, Jupe. Jangan berhenti!" desak Bob.

"Sudan kucoba - tapi ada sesuatu yang keliru kulakukan. Kendaraan ini mogok-mogok terus!"

Ia memutar kunci kontak, sambil menekan tombol starter. Di luar terdengar suara Mr. Shelby berteriak-teriak memanggil kedua Morgan bersau­dara.

Bob lari ke buritan, lalu menempelkan mukanya ke lubang tingkap bundar yang ada di sisi. "Mereka datang, Jupe! Kelihatannya marah sekali. Ayo, lakukanlah sesuatu!"

Mesin berderum lagi. Jupiter menginjak pedal kopling, menarik tongkat perseneling, lalu menginjak pedal gas.

Naga itu melakukan gerakan meloncat ke depan.

Lalu mogok lagi.

Jupiter menghidupkan mesin dengan perasaan geram. Naga itu melonjak maju. Lalu berhenti lagi dengan gerakan menyentak.

"Ayo, terus saja!" desak Bob. "Setiap kali kendaraan ini kaugerakkan, mereka tercecer di belakang!"

Untuk kesekian kalinya Jupiter menghidupkan mesin. "Sudah seberapa jauhkah mereka tertinggal?" tanyanya. Bob mengintip sebentar.

"Aduh, sudah dekat sekali!" serunya panik. "Cepat, Jupe - jalankan lagi!" Naga itu meloncat lagi ke depan, meluncur beberapa meter, tahu-tahu terbatuk, lalu mogok.

Bob memandang ke belakang. Dilihatnya kedua Morgan bersaudara lari mengejar dengan cepat. Muka mereka tergerenyeng karena sangat marah. Arthur Shelby berlari tidak jauh di belakang mereka, sambil melakukan gerakan-gerakan ribut dengan kedua lengannya.

"Tahan mereka, Goblok! Tanpa naga itu, kita tidak berdaya!"

Jack dan Harry Morgan, kedua laki-laki bersaudara yang bertubuh kekar itu, mempercepat langkah mereka. Bob, yang semula sudah pucat, kini bertambah lesi mukanya. Tangan kedua orang itu sudah hampir berhasil menjamah ekor naga yang panjang. Bob teringat, betapa dengan gampang saja kedua laki-laki itu mengangkut batang-batang emas yang berat. Jika mereka berhasil menjangkau ekornya, naga pasti akan bisa dengan mudah mereka tarik kembali!

Jupiter mendengar Bob berteriak tentang adanya bahaya itu. Untuk kesekian kalinya ia berhasil menghidupkan mesin, lalu menjalankan naga. Tapi setelah melompat-lompat maju bebe­rapa kali, kendaraan itu batuk-batuk, lalu mogok lagi.

Tombol starter ditekan. Terdengar bunyi kipas berdesir. Tapi mesin tidak mau hidup.

Halaman : 193, 194, 199, 200 220 221, 222 master hilang/sobek

Semut raksasa di dinding itu meraung, seakan-akan menantang. Makhluk seram itu semakin mendekat, diikuti seekor lagi yang datang menyerbu dengan cepat. Ukuran kedua semut itu benar-benar luar biasa. Hampir mengisi seluruh dinding gua!

"Ia berhasil kutembak - tapi tidak apa-apa!" seru Harry Morgan. Ia menembak lagi, berulang-ulang.

Semut-semut meraung sambil bergerak maju. Jumlah mereka semakin banyak. Seluruh dinding penuh dengan semut.

Sementara itu Arthur Shelby sudah berhasil menyusul. Ia menatap dinding, dengan air muka aneh. Kedua Morgan bersaudara melepaskan tembakan tanpa henti.

"Semut-semut raksasa, bermunculan dari balik dinding," teriak Morgan yang bertubuh lebih besar pada Shelby. "Mereka tidak mempan peluru. Kita harus lari dari sini, Shelby!"

Shelby hanya mengangkat bahu dengan sikap tak acuh. Ia masih saja menatap gerombolan semut yang nampak bergerak-gerak di dinding.

Morgan yang satu lagi mencengkeramnya, lalu mengacungkan pistolnya. "Buka dinding gua ini, Shelby, kalau kau masih ingin selamat! Kita harus keluar dari sini!" Shelby menatapnya dengan pandangan dingin. Sekali lagi ia mengangkat bahu, lalu merogoh kantung, mengambil suatu benda kecil langsing. Ditempelkannya benda itu ke bibir. Bob dan Jupiter mengira akan mendengar bunyi peluit yang melengking tinggi.

Mereka tidak mendengar apa-apa. Tapi tahu-tahu dinding di depan terbelah, bergerak menyamping dengan perlahan-lahan.

"Ayo Jack!"

Kedua Morgan bersaudara lari pontang-panting menuju dinding yang kini terbuka, sambil menembak dengan membabi buta ke arah semut-semut yang meraung di sepanjang dinding. Saat berikutnya kedua laki-laki kasar itu sudah keluar, lewat lubang di dinding.

"Larilah, Manusia-manusia tolol!" kata Arthur Shelby dengan nada mengejek. Ia mendongak, memandang ke arah Bob dan Jupiter yang berdiri dekat lubang tingkap. Wajah laki-laki itu aneh, seakan-akan sedang menaksir.

"Pintar sekali," katanya dengan nada pintar. "Sayangnya, agak terlalu pintar, Kawan-kawan mudaku. Kalian menyebabkan harta terlepas dari tanganku, dan karenanya kalian tidak bisa kubiarkan lolos begitu saja."

Tangannya bergerak, meraih sesuatu dalam kantungnya. Kali ini ia menggenggam suatu benda yang lebih menakutkan. Mata Arthur Shelby berkilat-kilat.

"Jangan tembak kami," kata Bob tergagap. Arthur Shelby mengangguk dengan sikap dingin.

"Ayo turun!" Dan sementara Jupiter turun, disusul oleh Bob, orang itu menambahkan, "Lain kali jika kalian hendak merampas kendaraan yang besarnya seperti bis, kusarankan agar sebelumnya belajar untuk menginjak pedal kopling dua kali, saat mengganti gigi. Dengan begitu kendaraan takkan mogok, tahu!"

Bob dan Jupiter turun ke tanah. Kini Shelby berpaling, memandang ke arah sorotan sinar yang datang dari sudut yang paling gelap. "Dan kau, yang melayani proyektor di sana itu," serunya. "Hentikan film, lalu datang segera kemari! Jangan main-main - aku menggenggam senjata!"

Bunyi raungan yang membahana dalam gua, berhenti dengan tiba-tiba. Semut-semut raksasa bergerak-gerak kaku, lalu menghilang.

"Ja-jangan tembak!" seru Pete dari tempat gelap. "Aku datang!"

Anak itu muncul dengan langkah berat. Ia memandang Jupiter dan Bob, yang berdiri di samping tubuh naga yang tidak bergerak.

"Benar-benar bukan naga asli?" tanyanya pada Jupe.

Jupiter menggeleng.

"Sama tidak aslinya seperti semut-semut raksasamu," bentak Shelby, Ia menatap ketiga remaja itu, lalu memandang pistol di tangannya. "Apa boleh buat, Anak-anak, tapi ini terpaksa kulakukan. Kenapa kalian mencampuri -" Ia tertegun. Tangannya yang teracung nampak gemetar. Suara lolongan seram seakan-akan mengambang dalam terowongan.

"Aaaa ... uuuuuuu!"

"Aduh - mereka lagi!" seru Shelby. Dengan cepat dikeluarkan benda yang kecil langsing dari kantungnya, yang tadi sudah dipergunakan. Ditempelkannya benda itu ke bibir. Sekali lagi tak terdengar apa-apa, tapi dinding besar yang semula terbuka, kini bergerak menutup kembali dengan pelan.

Jupiter tersenyum. Selama itu ia menelengkan kepala, mendengarkan dengan cermat. Ia menyalakan senter.

Diterangi sinarnya, nampak sejumlah sosok besar berlompatan ke arah mereka, dengan mata berkilat-kilat serta rahang ternganga menampakkan deretan gigi runcing mengancam.

"Awas! Kawanan binatang berbulu -" Pete tersentak, lalu nyengir malu. "Maksudku, kawanan anjing itu," katanya menyambung. "Aduh - aku ini benar-benar tolol!"

Arthur Shelby ikut mengeluh.

"Terlambat!" desahnya.

Anjing yang paling depan menghampiri mereka, sambil menggonggong-gonggong dengan gem­bira. Ekornya yang panjang dan berbulu lebat dikibaskan kian kemari. Bulunya yang coklat kemerahan nampak kemilau.

"Red Rover!" seru Jupiter. "Dia datang lagi!"

Anjing setter besar itu tidak mengacuhkan tangan Jupiter yang terulur ke arahnya. Ia melompat ke arah Shelby. Laki-laki berambut merah itu melangkah mundur, dengan pistol teracung.

"Ayo pergi, Rover!" bentaknya. "Kuperingatkan untuk terakhir kalinya - ayo pulang!"

Anjing itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar. Ia melonjak-lonjak, mengelilingi Arthur Shelby. Anjing-anjing yang lain ikut berkerumun, sehingga laki-laki itu terdesak ke dinding.

Kawanan anjing itu melonjak-lonjak dengan gembira, menggeram dan menggonggong-gonggong, sambil mengibas-ngibaskan ekor. Sekali lagi Arthur Shelby mengayun-ayunkan pistolnya ke arah mereka. Mukanya yang pucat nampak berkilat-kilat karena keringat.

"Percuma, Mr. Shelby," kata Jupiter. Anda takkan sampai hati menembak mereka. Anda terlalu sayang pada anjing. Dan mereka pun sangat menyukai Anda."

Laki-laki kurus berambut merah itu memperhatikan kawanan anjing yang berlompatan mengitarinya. Ia menurunkan tangannya yang menggenggam pistol.

"Ya," katanya menggerutu, "Ya, mereka sangat menyukai aku. Ya - memang begitulah!"

Dipandangnya pistol yang masih digenggamnya dengan sikap merenung. Ia mengangkat bahu, lalu mengantungi senjata itu. Tangannya bergerak ke bawah, lalu mengelus-elus kepala seekor di antara anjing-anjing yang masih mengerubunginya dengan gembira.

"Bagaimana sekarang?" tanyanya, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.

"Saya punya ide, Sir - jika Anda sudi mendengarkan," kata Jupiter.

"Kau punya ide?" Sepasang mata berwarna pudar menatap remaja bertubuh montok itu.

Jupiter Jones mengangguk.

"Ya, Sir. Dan itu sedikit-banyak didasarkan pada kenyataan bahwa Anda sebenarnya orang yang suka berbuat iseng, dan bukan penjahat yang haus harta. Sudikah Anda mendengar gagasan saya itu?"

Laki-laki berambut merah itu menganggukkan kepala dengan gerakan ketus.

"Kembalikanlah semua batangan emas yang sudah dikeluarkan tadi. Kami mau membantu, jika Anda mengingininya," kata Jupiter. "Mungkin juga lubang di dinding hasil pengeboran tadi ingin Anda biarkan begitu saja, tidak ditutup kembali. Itu akan merupakan kelakar Anda terhadap kota Seaside. Anda sebenarnya berpeluang untuk mengambil semua batangan emas yang ada di sana, tapi Anda tidak melakukannya. Kami takkan membuka mulut, dan mereka takkan pernah bisa mengetahui siapa yang melakukannya - atau tepatnya, siapa yang nyaris saja melakukannya, Sir!"



Bab 20

ULURAN TANGAN MR. HITCHCOCK

DUA hari kemudian. Pete, Bob, dan Jupiter memasuki ruang kantor Alfred Hitchcock. Sutrada­ra terkenal itu sedang duduk di meja kerjanya, sambil membaca surat kabar. Ia menyilakan ketiga remaja itu duduk di hadapannya, di kursi yang besar dan empuk.

"Silakan duduk," katanya. "Sebentar, ya - kuselesaikan dulu membaca artikel yang menarik ini."

Ketiga remaja itu duduk sambil menunggu dengan sabar. Akhirnya Mr. Hitchcock melipat surat kabar, dan meletakkannya ke samping.

"Nah!" kata Mr. Hitchcock dengan suaranya yang berat dan dalam. "Waktu itu aku menyarankan suatu kasus pada kalian, yang menyangkut anjing seorang kawan lamaku yang hilang. Lalu apa yang terjadi? Yang kembali bukan anjingnya saja, tapi juga sejumlah anjing lain. Aku juga melihat suatu artikel dalam surat kabar yang terbit di Seaside, mengenai komplotan aneh yang bermaksud merampok sebuah bank besar. Kepala berita itu berbunyi begini. 'PARA PETUGAS BANK DIBINGUNGKAN OLEH PENJAHAT YANG TIDAK JADI MERAMPOK!' Hasil kerja kalian jugakah itu? Terus terang, aku pun ikut bingung karenanya!"

Jupiter mendeham.

"Ya, Sir - itu memang hasil kerja kami. Mereka - eh, maksud saya - Sir, bisa dibilang kamilah penyebab kesemuanya itu!"

Mr. Hitchcock mengangkat tangannya.

"Kerendahan hatimu pantas dipuji. Tapi kusimpan dulu pujianku, sampai aku sudah benar-benar tahu, dengan cara bagaimana kalian berhasil memecahkan misteri anjing-anjing yang lenyap itu."

"Begini, Sir," kata Jupiter. "Sebenarnya Anda banyak membantu kami dalam mengusut misteri itu - yaitu ketika Anda mengizinkan kami ikut menonton film kuno tentang naga, yang dibuat oleh Mr. Allen."

"O, begitu," kata Mr. Hitchcock. "Dan aku masih ingat, kalian waktu itu menyinggung tentang perjumpaan dengan seekor makhluk dongeng itu."

"Betul, Sir," kata Pete dengan cepat. "Dan kami boleh mengucap syukur bahwa kami bisa selamat. Biarpun itu bukan naga sungguhan."

"Luar biasa!" gumam Mr. Hitchcock. "Ancaman nyata, dari seekor naga yang bukan naga tulen. Aku ingin sekali mendengar kisahnya."

Bob mengeluarkan buku catatannya, lalu mulai membaca. Ia mulai dari awal, yaitu bagaimana penyelidikan mereka langsung macet, tapi kemudian mereka berhasil menemukan berbagai petunjuk, yang akhirnya menyebabkan mereka berhasil membongkar misteri yang semula mereka tangani. Mr. Hitchcock mengikuti uraian Bob dengan penuh minat.

"Mr. Shelby kalian itu kedengarannya sangat menarik, dan banyak akalnya," katanya. "Kalau aku tidak salah tangkap, kau tadi mengatakan bahwa ia memilih lebih baik melepaskan peluangnya yang begitu besar untuk mencuri emas bernilai jutaan dolar, daripada harus menembak kalian serta beberapa ekor anjing?"

"Betul, Sir," kata Jupiter. "Dan selama itu, anjing-anjing yang terkurung diberi makan dan diurus olehnya. Ia terpaksa membius mereka supaya jangan ribut dan merepotkannya. Menurut katanya pada kami, anjing-anjing itu akan dilepaskannya lagi, apabila ia meninggalkan gua dengan emas hasil curiannya. Ia sebenarnya bisa saja memaksa kita dengan pistolnya, agar membantunya mengangkut batang-batang emas itu ke luar, setelah kedua Morgan bersaudara melarikan diri. Ia bisa saja mengambil emas dalam jumlah yang mencukupi, untuk menjadi cukup kaya. Tidak perlu seluruh timbunan yang bernilai sepuluh juta lebih itu diambil."

Mr. Hitchcock mengetuk-ngetukkan jarinya ke daun meja.

"Dan rencananya semula adalah lari malam-malam dengan naga gadungan itu lewat dasar laut, dengan dibantu oleh Morgan bersaudara yang berwatak penjahat itu?"

Jupiter mengangguk.

"Menurut perkiraan saya, naga itu terlalu ringan. Tapi rupanya ia telah mengalkulasikan beban pemberat yang diperlukan - dalam wujud batang-batang emas yang berat. Sebelumnya ia perlu melakukan uji-coba dulu dalam air, dengan batu-batu sebagai pemberat. Saat itulah teman Anda, Mr. Allen, secara kebetulan melihat naga itu. Ia sedang mencari-cari Red Rover, ketika kendaraan naga diuji kemampuannya dalam air."

"Dan petunjuk yang menyebabkan kalian tahu bahwa Shelby terlibat, adalah kenyataan bahwa ia sedang pilek?"

Jupiter tersenyum hambar.

"Ketika kami pertama kali mendatanginya, ia sedang pilek. Ia terbatuk-batuk terus. Karenanya saya lantas menghubungkan dirinya dengan naga, yang juga batuk-batuk. Kemudian barulah saya tahu, kendaraan naga itu batuk-batuk apabila mogok. Hal itu disebabkan karena ada kabel yang basah, karena sering dicoba dalam air."

"Tapi telepon misterius yang kalian terima - suara hantu yang serak - itu sebenarnya Shelby?"

Jupiter mengangguk.

Mr. Hitchcock menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku mendapat kesan, Arthur Shelby ini sebenarnya bukan penjahat yang biasa. Bagaimana ia sampai bisa terlibat dengan orang-orang berwatak buruk, seperti kedua bersaudara Morgan itu?"

"Kedua bersaudara ini memiliki kapal tunda, serta perlengkapan pengangkat kapal karam. Shelby tahu, kedua orang itu berwatak kasar, dan mau disuruh melakukan apa saja - asal dibayar! Ia memerlukan tenaga mereka untuk melakukan pekerjaan dalam gua, mengebor dinding beton dalam terowongan supaya bisa masuk ke ruang penyimpan emas dalam bank, lalu mengangkut batang-batang emas ke luar. Ternyata mereka langsung mau, ketika ditawari pembayaran satu juta dollar."

"Dan bagaimana rencana mereka untuk memindahkan emas sebanyak itu, dari kapal selam berbentuk naga ke kapal mereka?"

"Apabila naga-nagaan sudah berada di dalam laut, kedua Morgan bersaudara dengan pakaian selam mereka akan menghubungkan kapal selam tersamar itu dengan kabel ke kapal tunda milik mereka, lalu menyeretnya ke tengah laut. Jika sudah cukup jauh, kapal selam akan diangkat ke permukaan, lalu batang-batang emas dipindahkan ke kapal tunda mereka. Setelah itu mereka akan menuju ke Meksiko."

Mr. Hitchcock mengangguk. "Tapi kenapa harus berbentuk naga?" tanyanya ingin tahu.

"Itu karena Arthur Shelby mengenal Mr. Allen, serta mengetahui latar belakangnya sebagai sutradara film, yang menampilkan makhluk-makhluk naga untuk membuat penonton ketakutan. Shelby mulanya menciptakan makhluk gadungan itu karena iseng saja, ingin mengejutkan para tetangga. Tapi kemudian timbul niatnya untuk melakukan perampokan, ketika ia mendengar tentang adanya kiriman emas beratus batang ke bank yang kemudian dijadikan sasaran olehnya. Menurut kalkulasinya, naga gadungan itu dengan mudah diubah menjadi kapal selam yang mampu bergerak di darat dan di dalam air. Hal itu cocok dengan jalan pikirannya yang aneh - suatu cara yang kocak dan tidak bisa meleset, untuk mengangkut emas dari bank ke laut, lewat terowongan tua yang sudah dilupakan orang. Tapi rencananya itu gagal, karena justru keanehan naga itulah yang menyebabkan kami tertarik untuk mengusutnya."

"Kusangka Mr. Shelby tidak punya uang. Bagaimana ia sampai bisa membangun konstruksi sehebat naga itu?" kata Mr. Hitchcock dengan nada menyelidik.

Bob membalik-balik catatannya.

"Saya tadi melewatkan selembar, Sir," katanya menjelaskan. "Menurut keterangannya pada kami, ada beberapa kawannya yang bekerja di perusahaan film. Mereka juga gemar mengutik-utik, seperti dia - menciptakan berbagai peralatan. Mereka bercerita padanya bahwa sebuah naga yang pernah dipakai dalam salah satu film akan dimusnahkan, karena tempatnya diperlukan untuk menyimpan properti lain. Arthur Shelby mendatangi tempat di mana naga itu disimpan, lalu menawarkan jasa untuk membongkarnya. Sebagai imbalan, bagian-bagian dari konstruksi itu boleh dimilikinya. Potongan-potongan naga itu diangkutnya pulang, dan di situ disambung-sambung kembali sehingga ia memperoleh naga seutuhnya."

"Dan naga itu sudah beroda?" tanya Mr. Hitchcock sambil mengerutkan kening.

"Waktu itu belum, Sir," kata Bob. "Ia menemukan kerangka landasan bekas kendaraan pawai Rose Bowl, di Taman Hiburan Pasadena. Ia diizinkan memiliki landasan yang tak terpakai itu, asal ia sendiri yang membawa pergi. Naga­nagaannya ditaruhnya di atas landasan itu."

"Hmm. Pintar juga orang itu," kata Mr. Hitchcock. "Sekarang aku ingin tahu, bagaimana mungkin Shelby tahu tentang gua besar dan terowongan itu, sedang temanku Allen tidak? Padahal rumah Allen, letaknya kan hampir tepat di atasnya!"

"Yah - pertama-tama, Shelby sudah dari semula tahu tentang adanya terowongan tua itu, karena ia pernah bekerja di Badan Perencana Kota. Tapi jalan masuk ke situ, hanya secara kebetulan saja ditemukan olehnya," kata Jupiter menjelaskan. "Jalan masuk ke gua yang besar tertimbun tanah longsor, bertahun-tahun sebelum Mr. Allen, dan juga Shelby, pindah ke sana. Pada suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di pantai, Shelby melihat suatu retakan di dinding tebing. Retakan itu digalinya. Dengan cara begitu ia menemukan gua yang besar, dan kemudian terowongan yang ada di bagian belakangnya. Hal itu kemudian diceritakannya pada kedua Morgan bersaudara. Mereka yang membantunya membuat dinding palsu di sebelah dalam. Itu untuk mengelabui orang yang mungkin secara kebetulan masuk ke dalam gua, supaya tidak ada yang bisa masuk ke dalam terowongan."

"Kurasa kedua orang itu juga yang membantunya membuat batu-batu palsu di luar, untuk menutupi jalan masuk yang sebenarnya," kata Mr. Hitchcock menduga.

"Betul, Sir," kata Jupiter. "Batu-batu palsu itu menarik, dan dirancang dengan sangat baik. Mereka harus bekerja di dalam gua, agar tidak menarik perhatian orang lain. Setelah semuanya selesai, barulah mereka bisa menyingkirkan batu-batu yang ada di luar, lalu memasang batu palsu bikinan mereka. Itu dilakukan saat malam hari."

Mr Hitchcock mengangguk.

"Kedua Morgan bersaudara itu - merekakah yang menyebabkan tangga ambruk, ketika kalian untuk pertama kalinya turun ke pantai?"

Kini Pete yang memberi jawaban.

"Mereka tidak ingin ada orang lain muncul dan mengganggu rencana mereka. Karenanya mereka membuat tangga terasa goyah, sehingga tidak ada yang berani turun lewat situ. Mereka melihat dari kapal mereka, ketika kami turun lalu terjatuh. Kemudian mereka datang dan mengancam kami dengan senapan tombak, ketika melihat bahwa kami ternyata tidak pergi lagi. Mereka menyangka kami akan ketakutan dan tidak berani datang lagi setelah itu."

"Begitu ya," kata Mr. Hitchcock. "Kurasa kalian tadi sudah mengatakan, bahwa mereka kemudian menghilang di dalam gua yang pertama-tama kalian masuki."

Bob membalik-balik kertas catatannya.

"Mereka masuk ke sumur, tempat saya sebelumnya tercebur. Sumur itu bukan berisi pasir apung, tapi cuma air dan lumpur saja. Mereka berperlengkapan untuk menyelam, jadi bisa menyusup lewat situ, lalu melalui suatu Liang bawah tanah, menembus ke gua satu lagi, di dekat terowongan. Itu cara mereka masuk, saat siang hari. Mereka tidak berani menggeser batu-batu palsu yang besar-besar di luar, karena khawatir ada yang melihat. Dan malam itu, ketika lari ketakutan dari gua, mereka kemudian tidak kembali lagi. Mungkin karena malu!"

"Tidak ada yang rugi karenanya," kata Mr. Hitchcock dengan ketus. "O ya - tentang benda kecil langsing yang ditiup oleh Shelby tanpa berbunyi, tapi menyebabkan dinding gua yang palsu terbuka dan menutup. Betulkah dugaanku, bahwa itu suatu alat yang bekerja dengan gelombang bunyi yang tak terdengar?"

Jupiter mengangguk.

"Alat itu pula yang dipakai untuk membuka batu karang palsu yang menutup mulut gua di luar, dengan tinggi nada yang berbeda. Tapi justru itulah yang menyebabkan rencana Shelby akhirnya menemui kegagalan!"

"O ya?" tanya Mr. Hitchcock. "Kenapa?"

"Eksperimennya dengan peluit tak berbunyi itulah yang menyebabkan anjing-anjing berdatangan ke rumahnya. Seperti Anda ketahui, anjing mampu menangkap bunyi dengan frekuensi yang lebih tinggi daripada manusia. Anjing setter Mr. Allen langsung datang ke tempatnya, begitu kembali dari tempat penitipan. Shelby sama sekali tidak menduga kemungkinan itu, karena menyangka Mr. Allen masih ada di Eropa. Hal itu berarti ia harus bertindak cepat. Anjing-anjing lainnya di sekitar situ sudah lebih dulu berdatangan, karena mendengar peluitnya yang berfrekuensi sangat tinggi. Mereka tidak mau pergi, ketika diusir. Padahal pekerjaannya masih banyak, menyiapkan naga-nagaan, mengebor lubang ke dalam ruangan bank, serta membersihkan rel yang menuju ke sana. Kedua Morgan bersaudara menghendaki agar anjing-anjing itu dibunuh saja. Shelby menolak. Mereka hanya ditidurkan olehnya, dengan obat bius yang dicampurkan ke dalam makanan."

Mr. Hitchcock merenung sebentar, lalu berbica­ra lagi. "Menurut kalian, naga itu meraung. Apakah itu bukan menurut perasaan kalian saja?"

"Tidak, Sir," kata Bob sambil menggeleng. "Raungan itu, serta berbagai hal lagi - seperti lubang di depan untuk melihat - semuanya dikendalikan dari papan instrumen yang ada di dalam badan naga. Saat itu Jupiter sibuk memencet-mencet segala tombol yang ada, karena hendak menjalankan naga-nagaan itu."

"Sekarang tentang Mr. Carter," kata Mr. Hitchcock. "Apakah ia berhasil menyelamatkan diri, setelah diterjang anjing-anjing yang lari dari dalam gua?"

"Ya, ia berhasil keluar," kata Pete. "Ia tidak ada lagi di sana, ketika kami kembali untuk mengambil peralatan yang tertinggal."

Mr. Hitchcock mengangguk, tanda mengerti.

"Dan ia betul-betul keturunan Carter yang bangkrut karena gagal membangun terowongan kereta bawah tanah di Seaside?"

"Ya," kata Jupiter sambil tersenyum. "Ia tahu, bahwa di bawah tebing ada terowongan. Tapi letaknya yang tepat, tidak diketahuinya. Itulah sebabnya, kenapa ia tahu tentang gua yang dangkal, serta papan-papan yang menutupi rongga sempit di sebelahnya. Ia biasa berkeliaran di sana, sambil mencari-cari. Ia lebih dirasakan mengganggu oleh Shelby serta komplotannya, dibandingkan dengan kami. Saya rasa Mr. Carter selalu membawa-bawa senapannya, karena merasa ada sesuatu yang tidak beres di situ. Kecurigaannya timbul lagi, setelah tangga di dekat rumahnya roboh. Ia turun ke bawah, untuk memeriksa. Saat itulah Pete nyaris tepergok olehnya. Menurut Mr. Shelby, papan-papan dalam gua pertama rupanya ditaruh di situ oleh penyelundup, atau bajak laut pada zaman dulu. Ia menduga bahwa mereka pula yang membuat pintu rahasia berupa batu yang bisa tergeser. Ia kebetulan saja menemukannya, sama seperti kami. Papan-papan tua yang sudah lapuk, digantinya dengan yang baru, dari kayu lapis, Ia khawatir ada orang lain menemukan batu yang bisa bergeser, dan dengan begitu juga gua yang lebih besar serta terowongan tua. Pintu batu yang bisa bergeser itu rupanya hendak dijadikan jalan darurat, karena itu ia tidak menceritakannya pada kedua Morgan bersaudara."

"Dan kalian kemudian membantu Arthur Shelby mengembalikan batang-batang emas ke ruang bank?" tanya Mr. Hitchock.

"Tidak," jawab Bob. "Ia mengucapkan terima kasih atas tawaran kami itu, tapi katanya itu merupakan tanggung jawabnya sendiri. Ia tidak ingin kami ikut terlibat dalam tindakan kriminal. Semua batang emas itu dikembalikan sendiri olehnya. Tapi dibiarkannya berserakan. Supaya orang banyak bingung, katanya iseng. Lubang di dinding ditambal lagi. Saya rasa pihak bank kapan-kapan pasti akan menemukan terowongan yang ada di balik dinding ruang tempat penyimpanan emas mereka. Tapi kami tidak bercerita mengenainya pada siapa pun juga. Pada Mr. Allen juga tidak."

"Semuanya itu memang bisa saja," kata Mr. Hitchcock sambil mengangguk, "mengingat bakat Shelby yang hebat di bidang teknik. Dan semuanya bisa terjadi, karena ia mengenal riwayat pembangunan terowongan bawah tanah di kota Seaside."

"Ya, Sir," kata Jupiter. "Dan sejarah pembangunannya masa kini! Karena itulah ia tahu, bank yang mana saja yang bisa dimasuki lewat terowongan-terowongan kuno itu!"

"Ada satu hal yang masih kupikirkan. Kalian beranggapan bahwa Allen, kawan lamaku itu, dengan sengaja berbohong, ketika mengatakan bahwa ia melihat naga masuk ke dalam gua, padahal itu tidak mungkin."

"Tentang itu saya perlu minta maaf, Sir," kata Jupiter. "Kemudian kami baru tahu bahwa itu terjadi karena kekeliruan. Ia saat itu sedang berada di tengah tangga. Tapi kenyataan itu dilupakannya, karena masih bingung kehilangan Red Rover. Masih ada lagi, Sir?"

"Tidak! Tapi aku ingin berkenalan dengan Mr. Arthur Shelby. Orang yang keterampilannya sampai bisa membuat kalian bertiga ketakutan, bisa kupakai. Jangan lupa, bisnisku juga di bidang horor!"

"Terima kasih, Sir!" seru Jupiter dengan gembira, diikuti oleh Bob dan Pete. "Kami minta permisi saja sekarang. Kami tidak ingin terlalu banyak menyita waktu Anda yang berharga."

"Hmmm," gumam Mr. Hitchcock, ketika para remaja itu sudah pergi. "Mungkin aku bisa meminjam naga-nagaan hebat ciptaan Mr. Shelby itu. Aku kan baru saja membeli karavan, untuk kupakai berlibur. Prinsip menjalankannya kan sama dengan bis. Sebaiknya aku berlatih menjalankan naga itu saja dulu dalam gua, sebelum memberanikan diri berkeliaran di jalan raya Los Angeles yang selalu ramai!"

TAMAT