Trio Detektif - Misteri Naga Batuk(1)


MISTERI NAGA BATUK

KATA PENDAHULUAN
KATA pendahuluan ini semata-mata untuk mem­perkenalkan Trio Detektif pada pembaca yang baru sekali ini hendak mulai mengikuti kisah petualangan mereka yang selalu mengasyikkan.
Jadi pembaca yang sudah tahu siapa mereka, tentu saja tidak perlu lagi membaca halaman ini.

Trio Detektif merupakan sekelompok penyelidik remaja yang gigih. Meski mereka amatir, tapi sangat tangguh dalam mencapai tujuan mereka. Dan tujuan mereka adalah menyelidiki misteri­misteri.

Pemimpin mereka Jupiter Jones, Ia sendiri yang mengatakan begitu. Ia pula yang merupakan "otak" Trio Detektif. Pete Crenshaw, yang bertubuh paling kekar di antara mereka bertiga, biasanya melakukan tugas yang menghendaki ketangguhan jasmani. Sedang Bob Andrews menangani bagian Catatan dan Riset.

Ketiga remaja itu bertempat tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di tepi Samudra Pasifik, beberapa mil dari kota film terkenal di Amerika Serikat, Hollywood. Mereka bermarkas di sebuah karavan yang sudah diubah menjadi kantor. Karavan itu tersembunyi letaknya di Jones Salvage Yard, suatu tempat perjualbelian barang-barang bekas, yang diusahakan oleh paman dan bibi Jupiter. Dalam karavan tersembunyi itu ada kantor dan laboratorium kecil, kamar gelap, serta peralatan hasil rakitan ketiga remaja itu sendiri, dari barang-barang bekas yang bertumpuk-tumpuk di kompleks itu. Karavan itu hanya bisa dimasuki lewat berbagai lorong rahasia. Hanya ketiga remaja itu saja yang bisa melewati lorong-lorong itu, tanpa tersangkut-sangkut.

Nan! Rasanya itu sudah cukup sebagai perkenalan. Sekarang, silakan menikmati kisah petualangan Trio Detektif yang terbaru.

Alfred Hitchcock

Bab I

AWAL YANG MISTERIUS

"AKU ingin tahu," kata Jupiter Jones pada suatu pagi, "langkah-langkah mana yang kita ambil, jika kita hendak melakukan perampokan terbesar yang pernah terjadi di daerah sini."

Kedua temannya bereaksi dengan gerakan kaget. Tumpukan kartu kecil-kecil yang saat itu hendak dimasukkan oleh Bob Andrews ke dalam mesin cetak tua milik ketiga remaja itu terlepas dari tangannya, sehingga jatuh berhamburan. Pete Crenshaw, yang sedang membetulkan sebuah radio usang, tersentak. Obeng yang dipegangnya melenceng ke samping.

"Apa katamu?" tanya Pete, sambil mengusap-usap goresan yang ditinggalkan mata obeng pada kayu penutup sisi belakang radio.

"Aku mengatakan, aku ingin tahu langkah mana saja yang kita ambil, jika kita ingin melakukan perampokan terbesar yang pernah terjadi di daerah sini," kata Jupiter mengulangi kalimatnya. "Itu jika kita ini penjahat ulung."

"Sementara kau sedang mereka-reka ha! itu," kata Pete, "coba kaupikirkan sekaligus apa yang terjadi dengan diri kita, jika kita tertangkap. Aku pernah mendengar - entah di mana - bahwa kejahatan itu pada hakikatnya tidak membawa faedah. Bob Andrews memunguti kartu-kartu yang berhamburan di tanah.

"Kurasa kita tidak berbakat menjadi penjahat ulung, Lihat saja aku ini - memasukkan kartu-kartu ke mesin cetak saja sudah tidak bisa!"

"Aku juga hanya mereka-reka kemungkinannya saja," kata Jupiter. "Kita ini kan penyelidik! Tadi tiba-tiba timbul pikiran, jika kita bisa mereka-reka kejahatan yang terencana rapi, nanti jika harus melakukan pengusutan, sedikit-banyak kita kan sudah mengetahui liku-likunya. Kita hanya perlu membalikkan cara berpikir kita, seolah-olah kita ini penjahat ulung."

Pete mengangguk.

"Idemu itu bagus, Jupe," katanya. "Tapi aku sekarang perlu membalikkan jalan pikiran pemiiik terakhir dari radio ini terlebih dulu. Ia mencoba membetulkan radio ini - tapi hasilnya malah tidak keruan! Kalau ini sudah beres, aku mau saja main ulung-ulungan bersamamu."

Ketiga remaja yang menamakan diri mereka Trio Detektif itu sedang berada di bengkel Jupiter, yang terdapat di dalam kompleks Jones Salvage Yard. Bengkel itu terpencil letaknya, dan dinaungi atap selebar kurang-lebih dua meter, yang menjorok dari tepi atas pagar tinggi yang mengelilingi kompleks. Mereka sedang sibuk bekerja, memperbaiki barang-barang bekas yang dibeli Paman Titus. Sebagian dari keuntungan hasil kerja mereka dijadikan uang saku, sedang selebihnya dipakai untuk melengkapi peralatan kantor mereka, seperti pesawat telepon, misalnya.

Pete mengencangkan sebuah sekrup pada radio yang sedang diperbaikinya. Setelah itu dengan bangga diperlihatkannya hasil kerjanya pada Jupiter, untuk dinilai.

"Hasil kerjaku ini pantasnya diimbali dengan paling sedikit tiga dolar oleh pamanmu, Jupe," katanya. "Kini barang ini bisa dijualnya dalam kondisi baik, dan bukan barang rongsokan lagi - seperti sewaktu dibeli olehnya."

Jupiter tersenyum.

"Bukan kebiasaan Paman Titus, menghambur-hamburkan uang tanpa pertimbangan," katanya. "Coba kauuji dulu, untuk memastikan bahwa radio itu benar-benar bisa berbunyi lagi."

Pete mengangkat bahu, lalu menyalakan pesawat radio itu. "Percaya deh - kutanggung sudah beres lagi," katanya. "Dengarkan saja sendiri!"

Terdengar bunyi dengung dan berkeretak sesaat, disusul suara seorang penyiar yang kedengarannya sedang membacakan warta berita.

"Pihak kepolisian masih tetap belum dapat mengambil langkah-langkah kongkret sehubung­an dengan peristiwa-peristiwa misterius yang terjadi di Seaside," kata penyiar, membacakan berita. "Selama minggu terakhir, lima ekor anjing dilaporkan lenyap. Para pemilik kebingungan atas lenyapnya anjing-anjing peliharaan mereka. - Dan kini menyusul berita luar negeri. Di ..."

"Ya, cukuplah, Pete," kata Jupiter.

Pete mematikan pesawat radio.

"Bukan main," katanya. "Lima ekor anjing hilang! Rupanya ada orang sinting sedang gentayangan, menculik anjing."

"Kurasa dia itulah penjahat ulung yang dibicarakan Jupe tadi," kata Bob sambil tertawa nyengir. "Orang itu berniat mencuri semua anjing yang bisa dicuri, untuk kemudian menguasai pasaran anjing. Dengan begitu tidak ada pilihan lain bagi para peminat, kecuali membayar harga yang diminta. Saat itu semua anjing hasil culikannya dilempar ke pasaran, dan ia akan menjadi kaya-raya."

Jupiter duduk termenung, sambil memijit-mijit bibir bawahnya. Itu merupakan tanda bahwa otaknya sedang bekerja.

"Ganjil," katanya setelah beberapa saat.

"Apanya yang ganjil?" tanya Bob. "Maksudmu jumlah anjing yang hilang? Lima memang angka ganjil."

Jupiter menggeleng. Keningnya berkerut.

"Bukan itu maksudku! Yang kukatakan ganjil, kenapa anjing sebanyak itu lenyap dalam seming­gu. Laporan tentang anjing yang hilang biasanya cuma sekali-sekali saja masuk - dan tidak beruntun-runtun dalam batas waktu seminggu."

"Yah - kurasa seperti yang kukatakan tadi," kata Bob. "Ada penjahat ulung dengan gagasan edan, yaitu hendak menguasai pasaran jual-beli anjing. Mungkin ia ingin menekan harga daging cacah, di samping menjual anjing-anjing curian dengan keuntungan besar."

Jupiter tersenyum sekilas.

"Pemikiranmu itu boleh juga," katanya, "tapi dengannya tidak terjawab pertanyaan yang timbul. Kenapa sampai ada lima ekor yang hilang, dalam waktu satu minggu? Pertanyaan lainnya, kenapa kita tidak dihubungi untuk mengusut peristiwa-peristiwa misterius ini?"

"Mungkin karena peristiwanya tidak begitu misterius," kata Pete. "Anjing kan kadang-kadang keluyuran, dan tidak dengan segera pulang. Itu dugaanku."

"Aku sependapat dengan Pete," kata Bob. "Berita tadi tidak menyebutkan apakah anjing-anjing yang hilang itu berharga atau tidak. Beritanya kan hanya tentang lima ekor anjing yang dilaporkan hilang."

Jupiter mengangguk lambat-lambat. Tapi nam­paknya ia masih tetap sangsi.

"Bisa juga kalian berdua benar," katanya mengakui. "Mungkin saja segala peristiwa ini cuma kebetulan yang aneh belaka - meski terus terang saja, aku tidak suka menarik kesimpulan yang begitu."

Kedua temannya tersenyum. Memang kebia­saan Jupiter untuk berbicara dengan kalimat yang panjang-panjang. Hal itu, ditambah kemampuan­nya menarik kesimpulan dalam melakukan pengusutan, menyebabkan remaja itu diterima oleh kedua temannya selaku pemimpin mereka.

"Bagaimana ya caranya bisa mengusut misteri ini, tanpa diminta oleh salah seorang dari para pemilik anjing yang hilang itu?" kata Jupe sambil merenung.

Bob dan Pete berpandang-pandangan dengan alis terangkat.

"Misteri yang mana?" tanya Pete. "Kusangka kita tadi sudah sependapat, hal itu merupakan peristiwa yang kebetulan saja terjadi beruntun-runtun. Jadi sama sekali tidak merupakan misteri."

"Bisa saja memang begitu halnya," kata Jupiter. "Tapi kita ini kan penyelidik! Sebelum ini sudah beberapa kali kita berhasil menemukan kembali binatang yang hilang. Dan semuanya ada sangkut pautnya dengan suatu misteri."

Pete dan Bob mengangguk, karena keduanya teringat pada kegiatan mereka mencari kucing abesinia milik Mrs. Banfry yang hilang. Ternyata pencarian itu kemudian melibatkan mereka dalam misteri mumi yang bisa berbisik. Lalu Billy Shakespeare, burung nuri Mr. Malcolm Fentriss yang juga hilang, ternyata membawa mereka ke tengah Misteri Nuri Gagap.

"Seaside - hm, itu kan di selatan, dan tidak begitu jauh dari sini," kata Jupiter lagi. "Ketenaran kita selaku penyelidik rupanya tidak sehebat perkiraan kita. Kita harus berbuat sesuatu mengenainya."

Bob menuding tumpukan kartu yang sudah ditaruhnya dalam mesin cetak.

"Itulah yang sedang kukerjakan, Jupe," katanya. "Aku hendak mencetak kartu nama baru Trio Detektif."

"Itu ide yang bagus, Bob," kata Jupiter. "Tapi maksudku bukan itu. Kita harus lebih terkenal lagi, agar jika ada kejadian aneh, orang akan langsung ingat pada Trio Detektif dari Rocky Beach, California."

Bob menggerakkan tangannya'dengan sikap putus asa.

"Aduh, Jupe - bagaimana hal itu akan bisa kita capai menurutmu? Kita kan tidak mampu membeli waktu dalam siaran iklan di TV, atau menyewa; pesawat terbang yang biasa membuat tulisan iklan dengan asap di udara!"

"Ya, aku juga tahu," kata Jupiter. "Begini sajalah! Sekarang ini juga kita mengadakan rapat di markas, untuk merundingkan berbagai jalan yang bisa ditempuh, agar Trio Detektif menjadi lebih terkenal lagi."

Jupiter langsung berdiri, tanpa menunggu jawaban lagi. Bob dan Pete saling berpandang-pandangan. Keduanya sama-sama mengangkat bahu, lalu menyusul.

"Caramu bertindak yang sangat demokratislah yang kusenangi dari dirimu, Jupe," kata Pete menyindir sambil tersenyum. "Maksudku, kita selalu mengadakan pemungutan suara dulu, sebelum diambil keputusan."

Mereka menggeser sepotong kisi-kisi besi yang sudah karatan, yang tersandar di belakang mesin cetak mereka. Kisi-kisi itu ternyata menutupi ujung sebuah pipa seng yang panjang dan berukuran besar. Ketiga remaja itu merangkak ke dalamnya. Setelah mengembalikan kisi-kisi penutup ke tempatnya semula, kemudian mereka merangkak sejauh kira-kira sepuluh meter. Sebagian dari pipa itu terbenam ke dalam tanah, lalu menyusur di antara batang-batang besi yang bermacam-macam bentuknya. Akhirnya mereka sampai di ujung pipa, yang letaknya tepat di bawah karavan yang telah diubah menjadi Markas Besar Trio Detektif. Paman Titus mengizinkan Jupiter serta kedua temannya memakai kendaraan bekas itu, setelah selama beberapa waktu tak pernah berhasil menjualnya.

Tingkap pada lantai karavan didorong ke atas, dan ketiga remaja itu menyusup masuk ke dalam kantor mereka. Kantor itu tidak besar, dan dilengkapi dengan sebuah meja, beberapa kursi, sebuah mesin tik, lemari arsip, dan pesawat telepon. Jupiter menghubungkan sebuah mikro­fon dan sebuah pengeras suara ke pesawat telepon itu, sehingga semua bisa ikut berbicara dan mendengar jika ada percakapan lewat telepon. Selain itu karavan tersebut terdiri dari sebuah kamar gelap yang sempit, laboratorium kecil, serta kamar mandi.

Ruangan dalam karavan itu gelap, karena kendaraan bekas itu dikelilingi barang-barang rongsokan yang menumpuk tinggi di luar. Pete menyalakan lampu yang tergantung di atas meja. Saat itu terdengar deringan pesawat telepon.

Ketiga remaja itu , berpandang-pandangan. Soalnya, boleh dibilang tidak pernah ada orang menelepon mereka.

Sekali lagi telepon berdering. Jupiter meraih gagangnya, sambil menyambung pesawat itu dengan alat pengeras suara.

Ternyata yang menelepon seorang wanita, kalau ditilik dari suarahya. "Di situ Jupiter Jones? Mr. Alfred Hitchcock ingin bicara." "Wow!" kata Bob bersemangat. "Mungkin ia punya kasus baru untuk kita."

Sejak mengenal Trio Detektif beberapa waktu yang lalu, sutradara Hollywood yang kenamaan itu sudah beberapa kali menugaskan mereka untuk melakukan berbagai pengusutan.

"Halo, Jupiter!" Kini Mr. Hitchcock sendiri yang berbicara. "Kau beserta kedua temanmu sedang sibuk mengusut suatu kasus saat ini?"

"Tidak, Sir," kata Jupiter. "Tapi berdasarkan teori probabilitas, kemungkinannya tidak lama lagi kami akan menjumpai kasus yang cukup, me­narik."

Mr. Hitchcock terkekeh.

"Jadi keyakinanmu itu berdasarkan teori mengenai kemungkinan, ya?" kata sutradara ternama itu. "Kalau kalian tidak sedang sibuk, aku punya kasus untuk kalian. Seorang sutradara teman lamaku memerlukan bantuan mengenai suatu masalah."

"Dengan senang hati kami bersedia membantu, Mr. Hitchcock," kata Jupiter. "Apakah masalah teman Anda itu?"

Mr. Hitchcock diam sejenak, seakan-akan sedang mencoba merumuskan situasi sulit dengan beberapa patah kata saja.

"Masalah itu kelihatannya menyangkut anjing," katanya kemudian. "Maksudku, waktu menelepon aku tadi, ia mengatakan bahwa anjingnya hilang."

Mata Jupiter langsung bersinar-sinar.

"Teman Anda itu barangkali kebetulan tinggal di kota Seaside, Mr. Hitchcock?" tanyanya.

Sunyi lagi sesaat. Dan ketika Mr. Hitchcock menjawab, suaranya jelas bernada heran.

"Ya, temanku itu memang tinggal di Seaside, Jupiter. Tapi dari mana kau bisa menarik kesimpulan itu?"

"Saya hanya menggabung-gabungkan beberapa peristiwa ganjil," kata Jupiter.

"Luar biasa," kata Mr. Hitchcock. "Benar-benar luar biasa. Aku senang mengetahui bahwa kau masih tetap siaga, dan tidak membiarkan diri kalian menjadi lamban karena kejenuhan serta bersikap besar kepala."

Jupiter meringis.

"Itu takkan mungkin terjadi, Sir. Tapi kata Anda tadi, teman Anda itu kelihatannya menghadapi masalah yang menyangkut anjing. Dan Anda memberi tekanan nada pada kata "kelihatannya", Sir. Apakah itu Anda lakukan dengan sengaja?"

"Kau berhasil dengan tepat menafsirkan apa yang hendak kusampaikan padamu," kata Mr. Hitchcock. "Menurutku, ini bukan kasus yang biasa-biasa saja - karena jika dipikir-pikir, kasus yang melibatkan seekor naga, mana mungkin bisa disebut biasa. Ya, kan?"

Jupiter merasa lehernya seperti tersumbat.

"Naga, Sir?" katanya.

"Ya, betul. Naga! Rumah temanku itu berada di atas tebing, dan menghadap ke laut. Di kaki tebing di bawah rumahnya ada liang-liang gua. Temanku itu dengan yakin mengatakan bahwa saat malam anjingnya hilang, ia melihat seekor naga besar muncul dari dalam laut, lalu masuk ke dalam salah satu gua di bawah rumahnya."

Ketiga remaja yang berada dalam kantor Trio Detektif diam saja. Mereka tidak bisa mengatakan apa-apa, karena terlalu kaget.

"Nah - bagaimana? Kalian mau mencoba mengusut misteri ini?"

"A-a-anda b-b-berikan saja nama dan alamat teman Anda itu, Sir," kata Jupiter tergagap-gagap, karena sangat bergairah. "Kelihatannya, ini akan menjadi kasus yang paling menarik yang pernah kami tangani!"

Ditulisnya nama dan alamat yang disebutkan Mr. Hitchcock, ia juga berjanji akan melaporkan hasil pengusutan mereka. Selesai menelepon, dipan­dangnya Bob dan Pete dengan sikap menang.

"Hal mana pun juga, yang menyangkut seekor naga yang hidup zaman sekarang ini, perlu kita selidiki. Kalian sependapat, 'kan?"

Bob mengangguk. Sedang Pete hanya mengangkat bahu. "Kau nampaknya kurang setuju, Pete," kata Jupiter.

"Ada satu kekurangan dalam keteranganmu tadi," kata Pete. "Kau mengatakan pada Mr. Hitchcock, ini mungkin merupakan kasus kita yang paling menarik."

"Ya, memang begitu kukatakan tadi," kata Jupiter. "Kau tidak sependapat?"

"Tidak sepenuhnya," kata Pete.

"Kalau begitu, apa yang akan kaukatakan pada Mr. Hitchcock?"

"Karena ada naga terlibat di dalamnya," kata Pete, "kalau aku yang ditanya, aku akan mengatakan - ini akan merupakan kasus kita yang penghabisan!"



Bab 2

HOROR DARI DALAM LAUT

KOTA Seaside, di mana sutradara film teman Mr. Hitchcock tinggal, letaknya sekitar dua puluh mil dari Rocky Beach, lewat jalan raya bebas hambatan yang bernama Pacific Coast Highway. Hans, satu dari kedua pemuda bersaudara asal Jerman yang bekerja di Jones Salvage Yard, kebetulan setelah makan siang harus segera ke daerah sekitar situ, untuk menjemput dan mengantar barang. Jupiter diizinkan Bibi Mathilda membonceng truk kecil itu ke sana, bersama teman-temannya.

Setelah menikmati hidangan bibi Jupiter, ketiga remaja itu bergegas ke luar. Mereka beramai-ramai di kabin depan, di samping Hans. Jupiter menyebutkan alamat yang dituju, dan dengan segera truk kecil yang mereka tumpangi sudah meluncur di atas jalan raya pesisir yang mulus, menuju ke selatan.

"Kau kan punya waktu untuk melakukan penelitian sekedarnya, Bob," kata Jupiter. "Apa yang bisa kauceritakan tentang makhluk naga?"

"Naga itu makhluk dongeng," kata Bob. "Biasanya dilukiskan berupa binatang melata berukuran raksasa, bersayap dan bercakar run­cing, serta bisa menyemburkan api dan asap."

"Aku sama sekali tidak melakukan penelitian," kata Pete memotong, "tapi kurasa ada satu hal penting yang dilupakan oleh Bob. Naga bukan makhluk yang ramah."

"Itu memang juga bisa kukatakan tadi," kata Bob. "Tapi Jupiter kan cuma berminat pada fakta-fakta saja! Naga merupakan makhluk dongeng -jadi dengan lain perkataan, sebenarnya tidak ada. Jadi sebenarnya, kita tidak perlu repot-repot memikirkan apakah naga itu ramah atau tidak."

"Tepat," kata Jupiter. "Naga merupakan makhluk legenda masa silam. Katakanlah mereka pernah ada - rasanya sekarang sudah punah semuanya, sebagai akibat perkembangan evolusi."

"Bagiku, itu malah lebih baik," kata Pete. "Tapi jika mereka kini sudah punah, lalu kenapa kita kini berangkat untuk menyelidiki seekor naga?"

"Kita mendengar berita yang mengatakan ada lima ekor anjing yang lenyap selama seminggu belakangan ini, di kota Seaside yang biasanya tenteram," kata Jupiter. "Lalu Mr. Hitchcock mengatakan pada kita bahwa seorang temannya kehilangan seekor anjing, serta melihat seekor naga di dekat rumahnya. Kau tidak merasa bahwa itu ada apa-apanya bagi kita?"

"O ya - tentu saja ada," kata Pete. "Kabar-kabar itu menimbulkan perasaan dalam diriku, bahwa aku seharusnya tinggal saja di Rocky Beach dan main selancar, dan bukan ikut denganmu untuk menangkap naga."

"Jika Henry Allen, sutradara teman lama Mr. Hitchcock itu memerlukan jasa kita, maka itu akan merupakan petualangan yang menghasilkan keuntungan bagi Trio Detektif," kata Jupiter. "Kenapa tidak kaucoba melihatnya dari segi itu?"

"Sudah, sudah kucoba," kata Pete.

"Terlepas dari ada tidaknya naga," sambung Jupiter, "yang jelas, ada sesuatu yang misterius di sini. Sebentar lagi kita akan memperoleh fakta-fakta, dan kita bisa memulai pengusutan. Sementara itu, kasus ini harus kita pandang dengan sikap terbuka."

Sementara itu truk kecil yang mereka tumpangi sudah sampai di pinggiran kota Seaside. Hans memperlambat jalan kendaraan itu, sambil mencari-cari nomor rumah yang disebutkan oleh Jupiter padanya. Truk itu masih berjalan satu mil lagi, lalu berhenti.

"Kurasa ini tempatnya, Jupe," kata Hans.

Yang nampak hanya pagar tanaman yang tinggi, serta pohon-pohon palem. Rumah yang mestinya ada di situ, seakan-akan bersembunyi. Yang jelas, bangunan itu tidak kelihatan dari jalan.

Pete melihat tulisan nama berukuran kecil, pada sebuah kotak surat yang dicat putih. "H. H. Allen," katanya membaca tulisan itu. "Mestinya memang inilah tempatnya."

Anak-anak turun dari truk.

"Penyelidikan pendahuluan ini kurasa akan memakan waktu sekitar dua jam, Hans," kata Jupiter. "Bisakah kau menjemput kami lagi di sini saat itu, setelah kau selesai dengan tugasmu mengantar dan menjemput barang?"

"Tentu saja, Jupe," kata pemuda Jerman bertubuh kekar itu. Ia melambai, lalu menggerakkan kendaraannya ke suatu jalan terjal yang menuju ke tengah kota.

"Sebelumnya, lebih baik kita melihat-lihat di sekeliling sini dulu sebentar," kata Jupiter. "Mungkin ada gunanya jika kita sudah tahu keadaan sedikit-sedikit, jika nanti berbicara dengan Mr. Allen."

Daerah itu memberikan kesan lengang dan sepi. Rumah-rumah terpencar letaknya di atas tebing tinggi yang berbatasan dengan Samudra Pasifik. Anak-anak menuju ke tanah kosong yang berbatasan letaknya dengan pekarangan rumah sutradara yang akan mereka datangi, lalu memandang ke bawah.

"Kelihatannya tenang dan tentram," kata Bob. Ia memandang ke bawah, memperhatikan pantai yang terbentang serta permukaan laut yang kemilau.

"Ombaknya lumayan," gumam Pete. Ia memperhatikan ombak yang bergulung-gulung menuju pantai. "Tidak tinggi, tapi kalau semeter, pasti ada. Kurasa saat malam merupakan waktu yang paling baik untuk naga itu, saat pasang naik dan ombak yang bergulung-gulung memecah di pantai. Dengan begitu ia lebih terlindung."

"Kau benar, Pete," kata Jupiter sependapat, "itu jika memang benar-benar ada naga." Ia menjulurkan kepala, memandang ke bawah. "Menurut Mr. Hitchcock, di bawah sana ada liang-liang gua. Tapi dari atas sini tidak kelihatan. Nanti kita ke bawah untuk meneliti ke sana, sehabis mewawancarai Mr. Allen."

Bob memperhatikan hamparan pantai lengang yang terbentang jauh di bawah.

"Bagaimana cara kita turun nanti?" tanyanya.

Pete menunjuk ke arah sejumlah papan bercat putih yang kelihatannya tidak kokoh dan sudah dimakan cuaca.

"Itu ada jenjang yang menuju ke bawah, Bob," katanya. "Mendingan lewat situ, daripada harus payah-payah merangkak naik-turun dinding tebing."

Jupiter menggerakkan tangannya, menunjuk-nunjuk gigir tebing.

"Di sana, dan di sana, juga ada beberapa tangga lagi. Tapi kelihatannya tidak begitu banyak. - Yah, kurasa kita kini sudah agak mengenal situasi daerah ini. Sekarang kita dengar saja apa yang akan diceritakan Mr. Allen pada kita."

Ia mendului berjalan kembali, menuju sebuah pintu pada pagar semak. Pintu itu dibuka olehnya, lalu ia masuk bersama kedua rekannya. Di depan mereka ada jalan setapak yang berliku-liku. Di ujung jalan itu nampak sebuah rumah berdinding bata berwarna kuning pudar. Di sekeliling rumah itu tumbuh pohon-pohon palem, tanaman perdu, serta semak liar yang berbunga. Kebun di sekitarnya menunjukkan kesan tak terawat, sama halnya dengan bangunan itu sendiri, yang bertengger nyaris di bibir tebing yang selalu disapu angin.

Jupiter mengangkat gagang pengetuk yang terpasang di daun pintu, lalu melepaskannya lagi.

Pintu rumah terbuka. Seorang laki-laki bertubuh pendek gemuk berdiri di ambangnya. Matanya besar berwarna coklat, memandang dengan sorotan sayu. Alisnya tebal, sedang rambutnya yang putih tinggal sedikit, melingkari ubun-ubun yang botak. Mukanya coklat terbakar sinar matahari dan penuh kerut.

"Silakan masuk, Anak-anak," katanya sambil mengajak bersalaman. "Kalian tentunya anak-anak muda yang menurut sahabatku Alfred Hitchcock mungkin bisa membantu aku. Kalian ini penyelidik, 'kan?"

"Betul, Sir," kata Jupiter. Dengan cepat disodorkannya sepucuk kartu bisnis Trio Detektif. "Selama ini kami sudah beberapa kali berhasil mengusut berbagai kasus sampai tuntas."

Laki-laki tua itu membaca tulisan yang tertera pada kartu yang sedang dipegang.

TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja" ? ? ?

Penyelidik Satu - Jupiter Jones

Penyelidik Dua - Peter Crenshaw

Catatan dan Riset - Bob Andrews

"Ketiga tanda tanya itu lambang kami," kata Jupiter menjelaskan. "Tanda pengenal kami. Artinya, pertanyaan yang tak terjawab, teka-teki yang tak terpecahkan, misteri yang tidak bisa dijelaskan. Tujuan kami mengusut hal-hal begitu."

Laki-laki tua itu mengangguk, seperti merasa puas. Kartu bisnis Trio Detektif dimasukkannya ke dalam kantung.

"Kita bicara di dalam kamar kerjaku saja," katanya mengajak.

Ia mendului masuk ke sebuah kamar yang lapang dan terang. Anak-anak memandang berkeliling ruangan dengan sikap kagum. Dinding kamar itu penuh dengan gambar yang bersesak-sesak, dari langit-langit sampai nyaris menyentuh lantai. Di samping sejumlah besar lukisan, banyak pula foto para bintang film kenamaan serta tokoh-tokoh termasyhur lainnya, semua dengan tanda tangan orang-orang yang bersangkutan.

Meja kerja berukuran besar yang ada di situ penuh dengan kertas-kertas serta patung-patung kecil dari kayu. Rak-rak buku juga nampak penuh, dengan berbagai benda kerajinan yang nampak asing, patung-patung kecil buatan suku-suku bangsa penghuni Benua Amerika dari masa pra-Kolumbus, begitu pula patung-patung kecil dari Afrika. Beberapa di antara patung-patung itu memancarkan kesan bengis dan menakutkan.

Laki-laki tua itu menyilakan Jupiter beserta kedua temannya duduk di tiga kursi yang ada di situ. Sedang ia sendiri mengambil tempat di kursi besar berukir-ukir, di belakang meja kerja.

"Silakan duduk, Anak-anak. Akan kuceritakan dulu apa sebabnya aku menghubungi sahabat lamaku, Alfred Hitchcock. Barangkali ia sudah mengatakan pada kalian, bahwa aku ini sutradara film."

"Ya, itu sudah dikatakan olehnya, Sir," kata Jupiter.

Laki-laki tua itu tersenyum.

"Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan dulu aku ini sutradara. Sudah sejak bertahun-tahun aku tidak pernah dikontrak lagi untuk membuat film. Jauh sebelum masa Alfred, aku ini sudah sutradara. Dan dalam golongan film seperti yang kubuat, namaku waktu itu cukup termasyhur. Alfred kini kan tersohor karena film-filmnya yang dtbuat dengan gayanya yang khas. Aku juga begitu! Gaya kami hampir sama, tapi ada sedikit perbedaan. Alfred mengkhususkan diri dengan misteri-misteri dunia yang seakan-akan tidak bisa dipecahkan. Sedang minatku terarah lebih jauh lagi dari itu."

"Apa maksud Anda, Sir?" tanya Jupiter.

"Kalian nanti akan mengerti sendiri, apa sebabnya masalah yang sedang kuhadapi tidak bisa kulaporkan pada polisi, atau pihak-pihak berwenang lainnya. Soalnya begini! Film-film buatanku waktu itu selalu aneh-aneh. Ceritanya bukan tentang dunia ini, melainkan tentang dunia yang lain - tentang impian yang seram serta kengerian. Film-filmku penuh dengan makhluk-makhluk seram, jadi-jadian, makhluk-makhluk aneh dan jelek, serta emosi yang bergejolak. Singkatnya, kekhususanku membuat film horor!"

Jupiter mengangguk.

"Ya - sekarang nama Anda saya ingat lagi, Sir. Saya sering melihatnya, di festival-festival film bermutu di museum-museum."

"Baiklah," kata laki-laki tua itu. "Jadi jika sekarang kuceritakan apa yang kulihat muncul dari dalam laut saat malam anjingku hilang, kalian tentu akan bisa mengerti apa sebabnya aku merasa ragu untuk berbicara mengenainya. Mengingat reputasiku di masa lampau, ditambah kenyataan bahwa aku sudah bertahun-tahun tidak pernah lagi mendapat kontrak untuk membuat film baru, kurasa lumrah jika orang-orang akan menyangka bahwa aku cuma ingin menarik perhatian saja, untuk menjadi populer lagi.

Riwayatku selaku sutradara sudah tamat. Itu karena pengaruh kekuasaan yang ada waktu itu. Tapi hartaku memadai bagiku, untuk bisa hidup dengan tenang dan tentram. Tidak ada yang merongrong ketenanganku - kecuali -"

"Kecuali naga yang kini hidup di dalam gua di kaki tebing sini, Sir?" kata Jupiter menebak.

Mr. Allen mengernyitkan mukanya.

"Betul!" Ditatapnya anak-anak dengan pandangan menyelidik. "Aku bercerita pada Alfred, bahwa aku melihat makhluk itu muncul dari tengah laut. Tapi satu hal tak kukatakan padanya. - Aku juga mendengar suaranya!"

Kamar kerja itu langsung senyap.

"Jadi Anda mendengar suara naga itu, Sir," kata Jupiter dengan tenang. "Apa tepatnya yang Anda dengar? Dan saat itu Anda sedang di mana?"

Mr. Allen mengeluarkan selembar sapu tangan berwarna dan berukuran lebar, lalu mengusap keningnya.

"Ketika itu aku sedang berdiri di atas tebing di luar rumah, sambil memandang ke arah laut," kata laki-laki tua itu. "Bisa juga yang kulihat itu hanya ilusi belaka. Jadi sebenarnya tidak ada apa-apa."

"Itu bisa juga," kata Jupiter. "Tapi sekarang harap Anda katakan, apa tepatnya yang Anda dengar waktu itu. Mungkin ini merupakan petunjuk penting bagi pengusutan kami."

"Yah - bagaimana ya," kata Mr. Allen. "Sepanjang yang kuketahui, naga katanya tidak ada. Sudah sejak jutaan tahun tidak ada lagi! Tentu saja aku sendiri membuat beberapa film tentang makhluk-makhluk itu, dengan mempergunakan naga tiruan yang digerakkan mesin. Untuk suara naga, kami mempergunakan bunyi deruman mesin yang diredamkan, dan yang dikombinasikan dengan lengkingan bunyi peluit. Keduanya dibaur­kan dengan teknik tertentu, sehingga kesan yang ingin kami ciptakan didapatkan - yaitu membuat penonton merasa ngeri.

Tapi yang kudengar malam itu sama sekali tidak seperti bunyi ciptaan kami. Bunyinya tinggi serak - seperti bunyi napas yang sesak - atau suara batuk."

"Lalu bagaimana dengan Liang gua yang terdapat di bawah rumah Anda ini?" tanya Jupiter. "Cukup lapangkah untuk dimasuki seekor naga, atau makhluk lain yang cukup besar sehingga dikira naga?"

"Ya," kata laki-laki tua itu. "Di bawah gigir tebing sini ada sejumlah gua. Letaknya ke arah utara serta selatan, dan begitu juga ke pedalaman. Zaman dulu liang-liang gua itu dipakai oleh para penembus blokade, sehubungan dengan peraturan yang melarang beredarnya minuman keras di Amerika. Dan sebelum itu, dipakai oleh para penyelundup serta bajak laut. Beberapa tahun yang lalu pernah terjadi tanah runtuh, akibat erosi. Sebagian besar dari tempat yang dulu dikenal dengan nama Haggity's Point tertimbun karenanya. Tapi di bawah sini masih banyak terdapat liang-liang gua."

"Hmm," gumam Jupiter. "- tapi baru sekali ini Anda melihat dan mendengar naga, walau Anda sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Betulkah demikian?"

Laki-laki tua itu mengangguk sambil tersenyum.

"Ya - dan satu kali saja sudah cukup. Dan yang ini pun barangkali takkan terlihat olehku, jika aku saat itu tidak sedang mencari-cari Red Rover anjingku."

Ketiga remaja itu berpandang-pandangan sambil tersenyum. Soalnya, salah satu jalan rahasia untuk masuk ke markas, mereka beri nama Red Gate Rover. Kelana Gerbang Merah!

"Saya rasa kini sudah waktunya kita berbicara tentang anjing Anda yang hilang itu, Sir - serta keadaan waktu itu. Tolong kaucatat, Bob,'' kata Jupiter.

Bob, yang mengelola bidang catatan dan kegiatan riset, menyiapkan pensil dan buku catatannya.

Mr. Allen terkejut. Kemudian ia tersenyum, menyaksikan pameran kesigapan cara kerja Trio Detektif.

"Selama dua bulan yang lewat, aku bepergian ke luar negeri," kata laki-laki tua itu. "Walau aku tidak aktif lagi dalam bidang perfilman, tapi aku masih tetap sangat berminat terhadap film serta perkembangannya. Aku biasanya setiap tahun berkeliling di Eropa, menghadiri festival-festival film yang termasuk penting, yang diselenggarakan di berbagai kota. Tahun ini juga begitu. Aku menghadiri festival di Roma, Venesia, Paris, London, Berlin, serta Budapest. Di samping itu aku juga mendatangi kawan-kawan lama di sana.

Seperti biasanya jika aku ke luar negeri, anjingku kuserahkan pada tempat penitipan anjing di sini. Aku kembali seminggu yang lalu. Red Rover langsung kujemput. Anjingku itu jenis setter Irlandia. Bulunya sangat indah. Dan ia sangat ramah.

Red Rover suka berkeliaran sambil berlari-lari. Aku kini tidak mampu lagi menemaninya. Karena itu kalau malam ia kulepaskan, biar bisa berlari-lari sebentar. Tapi dua malam yang lalu, ia tidak kembali lagi. Ia sudah tiga tahun kupelihara. Kusangka ia mengubah kebiasaan karena agak lama kutinggal, bukan kembali kemari, tapi ke tempat penitipan di mana ia tinggal selama ini. Karenanya aku lantas menelepon ke sana. Tapi Red Rover tidak muncul di sana. Aku menunggu-nunggu - tapi ia tetap saja tidak kembali.

Lalu ketika aku keluar untuk mencarinya - saat itulah aku melihat makhluk itu!" "Tapi Anda tidak turun ke pantai?" tanya Jupiter.

Laki-laki tua itu menggeleng.

"Tidak! Seram sekali rasanya saat itu. Aku, yang hampir seumur hidupku membuat film untuk mengejutkan dan menakut-nakuti orang - tahu-tahu aku sendiri mengalami kejadian begitu. Tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata, perasaanku saat itu. Mula-mula panik, karena membayangkan kemungkinan bahwa anjingku diserang dan dimakan makhluk yang menakutkan itu. Lalu menyusul rasa ngeri, jangan-jangan aku ini sudah gila. Tidak mudah rasanya, mengakui telah melihat naga! Sungguh - percayalah!"

"Jadi Anda tidak mengambil langkah-langkah lain," desak Jupiter, "kecuali menghubungi kawan lama Anda, Alfred Hitchcock."

Sekali lagi laki-laki tua itu menyeka keningnya.

"Alfred teman lamaku yang sangat akrab, dan banyak pengalamannya tentang soal-soal yang misterius. Aku tahu, hanya dia saja yang mungkin bisa menolong. Tapi sekarang terserah pada kalian, Anak-anak. Urusan ini kuserahkan pada kalian!"

"Terima kasih, Mr. Allen, atas kepercayaan Anda pada kami," kata Jupiter. "Kecuali anjing Anda, masih ada beberapa ekor lagi yang dilaporkan hilang di kota ini. Menurut laporan terakhir, ada lima ekor - belum termasuk anjing Anda."

Mr. Allen mengangguk.

"Aku juga mendengar kabar itu lewat siaran warta berita, setelah anjingku hilang. Coba itu sudah lebih dulu kuketahui, takkan kubiarkan Red Rover berkeliaran sendiri malam itu."

"Anda sudah berhubungan dengan para pemilik anjing-anjing lain yang juga hilang itu?" tanya Jupiter.

Laki-laki tua itu menggeleng. "Tidak. Belum. Aku tidak ingin menyebut-nyebut apa yang kulihat malam itu." "Orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar sini, apakah semuanya juga memelihara anjing?"

"Tidak semuanya," jawab Mr. Allen sambil tersenyum. "Misalnya saja Mr. Carter, tetanggaku di seberang jalan, ia tidak punya anjing. Begitu pula tetanggaku di sebelah kanan, Arthur Shelby. Aku tidak begitu tahu-menahu tentang para tetanggaku. Aku lebih suka hidup sendiri dengan tenang, ditemani buku-buku serta koleksi lukisanku. Dan anjingku."

Jupiter berdiri.

"Kalau begitu kami pergi saja sekarang, Mr. Allen. Kami berjanji akan menyampaikan laporan selengkapnya, kalau ada kemajuan dalam pengusutan kami."

Setelah bersalaman, Mr. Allen mengantarkan ketiga remaja itu ke luar sambil mengucapkan terima kasih sekali lagi. Anak-anak keluar lewat pintu pagar semak, yang kemudian ditutup lagi oleh Jupiter.

Pete tersenyum melihat Jupiter memasang kait pengunci pintu. "Biar naga tidak bisa masuk, Jupe?" katanya mengganggu.

"Kurasa naga takkan merasa terhalang oleh pintu pagar atau bahkan pintu rumah yang terkunci, Pete," kata Jupiter.

Pete terteguk. Nampak jelas bahwa ia terkejut.

"Tidak enak rasanya mendengar caramu mengatakan hal itu, Jupe," katanya. Ia memandang ke arah jalan, lalu melirik arlojinya. "Mana Hans? Kenapa belum kelihatan?"

"Memang belum waktunya," kata Jupiter. "Waktu kita masih banyak tersisa." Setelah itu ia menyeberang, dipandang oleh Bob dan Pete.

"Waktu untuk apa?" tanya Bob.

"Untuk mendatangi Mr. Carter," jawab Jupiter. "Dan setelah itu, Arthur Shelby. Kalian tidak ingin tahu lebih banyak tentang orang-orang yang tinggal di lingkungan sesepi ini, tapi tidak merasa perlu memelihara anjing untuk dijadikan penjaga?"

"Tidak, aku sama sekali tidak ingin tahu," kata Pete. "Aku malah heran sekarang, kenapa aku belum membeli anjing untuk kujadikan menjagaku! Seekor anjing besar, yang tidak takut pada naga!"

Jupiter tersenyum. Kedua temannya ikut menyeberangi jalan sempit itu. Pekarangan Mr. Carter nampak terawat, sedang dinding rumahnya kelihatan baru saja dicat.

"Perhatikanlah," kata Jupiter pada kedua temannya, sementara mereka menuju pintu depan rumah lewat jalan masuk, "semak pagar di sini dipangkas rata, dan rumput di halaman dipotong rapi. Pohon-pohon dipangkas ranting-rantingnya, sedang petak-petak bunga juga kelihatan terurus. Mr. Carter pasti menyukai kerapian."

Jupiter menekan bel. Hampir seketika itu juga pintu depan dibuka dengan cepat. Seorang laki-laki bertubuh gempal menatap mereka dengan kening berkerut.

"Ya? Kalian mau apa?" tanya orang itu dengan suara keras.

"Maaf, Sir," kata Jupiter dengan sopan, "kami baru saja dari tetangga Anda di seberang, Mr. Allen. Mungkin Anda juga sudah tahu, anjingnya yang bernama Red Rover hilang. Kami ingin bertanya, mungkin Anda tahu apa-apa tentang kejadian itu."

Mata laki-laki itu menyempit. Alisnya yang tebal terangkat, lalu dikerutkan kembali. Mulutnya dicibirkan.

"Jadi Allen kehilangan anjingnya, ya? Seperti orang-orang lainnya di blok ini? Syukur! Aku senang segala binatang itu hilang, dan mudah-mudahan hilang untuk selama-lamanya. Aku benci pada anjing!"

Ia memandang anak-anak dengan mata melotot, dengan sinar yang bisa dibilang tidak waras. Ia mengepalkan tangannya. Sesaat anak-anak menyangka ia akan menyerang mereka.

Tapi Jupiter bisa menjaga ketenangannya. Air mukanya tetap polos.

"Anda tentu punya alasan kuat untuk tidak menyukai anjing, Sir," katanya. "Barangkali jika Anda mau mengatakan apa salah mereka -"

"Apa salah mereka?" ulang laki-laki itu dengan nada pedas. "Mereka melakukan apa yang sudah selalu dilakukan. Malam-malam menggonggong dan melolong-lolong tak menentu. Menginjak-injak tanaman bungaku. Rumputku rusak kena kaki mereka. Tempat sampahku terguling, sehingga trotoar kelihatan jorok! Bagaimana - itu sudah cukup atau belum?"

"Maaf," kata Jupiter penuh pengertian. "Kami bukan orang sini. Kami ini ditugaskan mencari anjing Mr. Allen. Jika anjing itu merusak milik Anda, saya yakin Mr. Allen pasti mau membayar ganti rugi. Ia sangat kehilangan anjingnya, dan saya rasa ia pasti mau berbuat apa saja untuk -"

"Ia mau berbuat apa saja, ya?" tukas laki-laki itu. "Nah - aku juga begitu. Tunggu di sini!"

Orang itu masuk sebentar. Sementara ketiga remaja itu berpandang-pandangan dengan sikap bingung, pintu rumah sudah dibuka kembali.

Mr. Carter berdiri di ambangnya. Ia menggenggam senapan berburu.

"Inilah yang akan kulakukan," katanya dengan sengit. "Kujejal dia dengan mimis! Isi senapan ini mimis ukuran terbesar untuk senapan jenis ini. Jika aku sampai melihat anjing peliharaan Allen itu, atau anjing sialan lainnya masuk lagi ke tanah milikku, inilah yang akan kuhadiahkan pada mereka!"

Mr. Carter mengangkat laras senapannya dengan sikap mengancam.



Bab 3

UJIAN MENTAL

JARI Mr. Carter yang memegang picu nampak menegang. "Aku ini penembak jitu! Tembakanku belum pernah meleset. Ada pertanyaan lagi?"

Jupiter menggeleng. Dipaksanya dirinya agar tidak nampak gentar menghadapi moncong senapan yang terarah ke mukanya.

"Tidak, Sir," katanya. "Maaf, jika kami mengganggu Anda. Permisi, Sir."

Bibir laki-laki itu menipis.

"Aku baru benar-benar senang, apabila anjing-anjing sialan itu tak pernah kulihat berkeliaran di sini lagi. Sekarang pergi!"

Kata-kata itu diiringi moncong senapan yang disodokkan ke depan. Jupiter dan kedua temannya mundur pelan-pelan.

"Ayo, putar tubuh!" bentak Mr. Carter. "Aku tidak ingin kalian menginjak-injak rumputku!"

Jupiter memandang kedua temannya, lalu mengangkat bahu. Ketiga remaja itu berpaling dengan perasaan kecut, membelakangi laki-laki pemarah yang mengacung-acungkan senapan berburu. Mereka berjalan dengan langkah pelan.

"Pelan, jangan lari," bisik Jupiter pada kedua temannya.

Jantung ketiga remaja itu seperti terlompat, ketika tiba-tiba terdengar bunyi nyaring di belakang mereka!

"Tenang, Teman-teman," kata Jupiter, "itu cuma Mr. Carter yang membanting pintu."

Ketiga remaja itu menoleh ke belakang. Ternyata Jupiter benar! Tanpa menunggu lagi, ketiga-tiganya langsung lari.

Mereka baru berhenti ketika separuh jalan sudah dilewati. Mereka menoleh lagi. Mereka tidak dikejar. Pintu depan rumah Mr. Carter tetap tertutup.

"Uhh," desah Bob, "nyaris saja!"

"Pakai senapan buru dengan mimis segede gajah lagi," kata Pete. Ia memeriksa apakah keningnya berkeringat atau tidak. "Sedetik lagi, habislah tubuh kita dirobek-robek mimis!"

"Kemungkinan itu kecil," kata Jupiter. "Geren­del pengokang tidak ditarik, jadi senapan itu belum siap untuk ditembakkan."

Bob dan Pete memandangnya dengan mata melotot.

"Dan itu sejak semula sudah kauketahui," kata Pete dengan nada menuduh. "Pantas kau tenang-tenang saja."

"Kurasa Mr. Carter memang sama sekali tidak berniat menembak kita," kata Jupiter. "Ia cuma ingin melampiaskan kemarahannya saja. Dan kemarahannya itu tercetus, karena aku kebetulan menyinggung satu hal yang tidak disukainya. Aku bertanya tentang anjing!"

"Dan kini ada satu tambahan lagi yang bisa memancing kemarahannya," kata Pete. "Manusia!"

Jupiter memonyongkan bibirnya sambil merenung. "Lain kali kita perlu lebih berhati-hati, jika mendatangi Mr. Carter," katanya.

Pete menggeleng.

"Kau keliru! Lain kali kau saja yang berhati-hati, jika datang lagi ke tempat Mr. Carter. Aku tidak perlu kaupikirkan, karena aku takkan ikut. Aku lupa bilang, kulitku ini sangat peka! Tidak tahan kena mimis - apalagi yang ditembakkan dari senapan berburu!"

"Aku juga begitu," kata Bob. "Jika harus ditembak, aku memilih ditembak dengan pistol air, dengan jarak sepuluh langkah."

"Tapi mungkin juga Mr. Carter tadi sangat pandai bersandiwara-jauh lebih pandai dari yang kuanggap mungkin," kata Jupiter. "Mungkin saja ia terlibat dalam kasus lenyapnya anjing-anjing itu."

"Masuk akal juga," kata Bob.

"Sekarang merupakan soal mudah bagi kita, untuk membandingkan tanggapan Mr. Carter yang sengit, dengan sikap orang yang kini akan kita datangi."

"Apa lagi yang dibicarakannya sekarang?" tanya Pete pada Bob. Jupiter menuding ke seberang jalan.

"Ada dua tetangga, yang menurut Mr. Allen tadi tidak memelihara anjing. Tetangga yang satu, Mr. Carter, sudah kita datangi. Kini kita akan mengajukan beberapa pertanyaan pada tetangga yang satu lagi, Arthur Shelby."

Jalan masuk dirintangi oleh pintu pagar setinggi dada, yang terbuat dari logam. Anak-anak memandang lewat pintu itu, ke arah rumah besar yang letaknya agak ke belakang dalam tanah milik Mr. Arthur Shelby.

"Nampaknya aman," kata Bob. "Aku tidak melihat kubu meriam di sini." Pete maju sedikit, untuk memperhatikan jendela-jendela di tingkat bawah dan atas.

"Kelihatannya tidak ada yang memperhatikan kita," katanya setelah beberapa saat. "Jangan-jangan Mr. Shelby sedang keluar."

"Itu bisa kita ketahui dengan mudah," kata Jupiter sambil melangkah maju. "Kita tinggal melewati gerbang ini, lalu -"

Ia tertegun, sementara mulutnya ternganga. Teman-temannya ikut melongo. Soalnya, pintu gerbang dari logam itu terbuka dengan sendiri, sebelum Jupiter sempat menyentuhnya.

"Bagaimana caramu melakukannya, Jupe?" tanya Pete. "Kau belajar sihir, ya?"

"Mungkin karena tertiup angin," kata Bob menebak.

Jupiter menggeleng. Ditahannya kedua temannya yang sudah hendak maju, sedang ia sendiri mundur selangkah. Pintu gerbang dari logam menutup kembali. Kini Jupiter maju lagi selangkah. Pintu gerbang terbuka.

"Keterangannya mudah saja," katanya. "Pintu pagar ini bekerja dengan sistem penginderaan elektronik. Kalian pasti sudah pernah mengenalnya. Di pelabuhan udara, toko-toko serba ada, dan bangunan-bangunan modern lainnya."

Pete menatap pintu gerbang itu dengan sikap ragu. Ya, tentu saja," katanya. "Tapi baru sekali ini kulihat di rumah pribadi seseorang."

"Setiap tanda kemajuan dan kemodernan merupakan hal yang baik bagi kita," kata Jupiter dengan riang. "Kenyataan bahwa Mr. Shelby memakai alat modem begini sebagai perlengkapan pintu gerbangnya, bagi kita berarti bahwa orang itu tidak percaya pada takhyul, atau terikat pada hal-hal yang lazim. Orang seperti dialah yang perlu kita datangi, teristimewa jika urusannya menyangkut hal-hal yang sulit diterima akal sehat, seperti ada-tidaknya naga di sekitar sini, misalnya."

Ia melangkah masuk, diikuti kedua temannya. Pada satu sisi jalan yang menuju ke rumah, nampak perangkat jam matahari yang besar dan penuh hiasan. Letaknya di tengah-tengah halaman berumput. Sedang di depan anak-anak ada semacam terali tergantung, tempat sangkutan tanaman bunga. Mereka berjalan di bawah terali itu.

Tahu-tahu terali itu jatuh.

Langkah ketiga remaja itu terhenti dengan tiba-tiba, sehingga mereka saling berbenturan. Bagian depan dari terali tergantung itu meluncur dan jatuh di depan mereka. Sedang bagian belakangnya meluncur dengan bunyi dentangan lembut di belakang mereka, sehingga mereka tidak bisa kembali.

Mereka terjebak dalam semacam kandang besar, yang dihiasi bunga-bungaan.

"Mudah-mudahan ini cuma lelucon saja," kata Jupiter. Ia membasahi bibirnya, pertanda bahwa ia merasa gugup. "Ini seakan-akan gapura luncur saja."

"Gapura luncur? Apa itu?" tanya Pete ketakutan.

"Itu biasanya berupa pagar besi berukuran besar dan berat, yang tergantung di atas gerbang puri atau kota berbenteng, dan diturunkan dengan bantuan rantai untuk mencegah kemungkinan orang masuk," kata Jupiter menjelaskan.

"Aku pernah melihat gambar-gambarnya dalam buku-buku kuno di perpustakaan," kata Bob. "Biasanya itu merupakan sistem pertahanan terakhir, apabila parit yang mengelilingi puri sudah dilewati."

"Tapi seingatku, kita sama sekali tidak melewati parit," kata Pete mengomel.

Saat itu terdengar bunyi desisan lembut. Tahu-tahu terali yang merintangi jalan terangkat lagi, kembali ke posisi semula di atas kepala mereka.

Ketiga remaja itu berpandang-pandangan.

"Kelihatannya Mr. Arthur Shelby ini suka berkelakar," kata Jupiter dengan nada lega. "Yuk - kita terus." Ia melangkah maju.

Tapi Pete cepat-cepat menyambar lengannya. "Arahmu keliru, Jupe," katanya. "Mungkin orang di puri ini tidak menyukai kedatangan kita."

Jupiter menggeleng, sambil tersenyum.

"Mula-mula pintu gerbang yang terbuka dan tertutup secara otomatik. Lalu terali tempat bunga yang dikendalikan secara elektronik. Mr. Shelby ini kelihatannya menggemari peralatan yang berbau ilmiah. Sayang rasanya, jika orang seperti itu tidak kita jumpai."

Teman-temannya mengikuti dengan langkah segan, sementara Jupiter menghampiri pintu depan rumah. Sambil tertawa nyengir ditekannya tombol bel.

"Uuhh!" teriaknya sambil meloncat mundur. Tangannya dikibas-kibaskan. "Tombol bel itu dialiri arus listrik. Aku tersengat!"

"Nah - sekarang aku sudah benar-benar bosan mengalami segala macam lelucon Mr. Shelby ini," kata Pete tandas. "Kuusulkan agar pembicaraan kita dengan badut itu kita batalkan saja."

"Aku sependapat dengan Pete," kata Bob. "Aku berperasaan bahwa Mr. Shelby secara tidak langsung hendak mengatakan bahwa ia tidak menginginkan kedatangan kita kemari."

"Kurasa bukan begitu," kata Jupiter. "Menurutku, kita ini diuji olehnya. Kita dibuatnya melewati tahap-tahap ujian, yang diperkirakan akan menyebabkan kita gentar, lalu cepat-cepat pergi dari sini."

Saat itu terdengar bunyi berdetik pelan. Pintu depan terbuka sendiri, seakan-akan sebagai jawaban atas penalaran Jupiter.

"Hebat," kata Bob dengan kagum. "Seluruh tempat ini rupanya dipasangi alat-alat elektronik olehnya."

Dengan hati-hati ketiga remaja itu melangkahi ambang pintu. Ruangan sebelah dalam gelap dan sunyi.

Jupiter mendeham-deham sebentar, seperti hendak mengatur suara.

"Selamat siang, Mr. Shelby. Kami ini Trio Detektif, dan kami datang atas saran tetangga Anda di sebelah, Mr. Allen; Bolehkah kami masuk, Sir?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Kemudian terdengar kepakan pelan, tapi makin lama makin jelas. Dan semakin mendekat Kedengarannya seperti datang dari tempat tinggi, dalam ruangan remang-remang itu. Tiba-tiba ketiga remaja itu terkesiap. Suatu wujud gelap dan besar meluncur laju ke arah mereka, diiringi bunyi mendesing.

Seekor burung besar dan hitam, yang nampaknya seperti elang, menyambar ke arah mereka sambil memekik marah. Paruhnya yang runcing dingangakan, siap untuk mematuk. Cakarnya yang mengerikan terjulur ke depan, sementara matanya memancarkan sinar marah!



Bab 4

ULURAN TANGAN YANG MENGAGETKAN

"TIARAP!" teriak Pete.

Ketiga remaja itu menjatuhkan diri ke lantai.

Sambil memperdengarkan pekikan melengking, burung itu menghunjam ke arah mereka, dengan cakar siap mencengkeram.

Tapi geraknya semakin melambat, dan akhirnya mengambang tak sampai setengah meter di atas kepala anak-anak.

Anehnya, burung itu tetap berada di satu tempat saja. Pekikannya yang melengking tidak terdengar lagi.

Jupiter yang selama itu menutupi muka dengan tangan guna melindungi matanya, kini mengintip dengan hati-hati dari balik celah di antara jari-jarinya. Setelah itu ia cepat-cepat duduk. Air mukanya berubah, dari takut menjadi kesal bercampur malu.

"Kita tidak perlu takut," katanya, "ternyata cuma burung palsu."

"Apa?" seru Pete. Ia mendongak, dengan sikap tak percaya. Bob melakukan hal serupa. Burung hitam itu tergelantung tanpa bergerak pada seutas kawat halus dari tembaga. Matanya yang kuning menatap pudar ke arah mereka.

"Mainan," kata Jupiter. Ia menjulurkan tangan, menyentuh burung itu. "Kelihatannya terbuat dari plastik dan kawat kasa."

"Uhh!" dengus Pete sebal.

Dalam ruangan yang gelap itu terdengar suara tertawa pelan. Bunyinya serak. Tiba-tiba ruangan menjadi terang, karena nyala lampu-lampu di atas kepala yang saat itu dihidupkan.

Seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung berdiri sambil memandang ketiga remaja itu. Ia memakai baju montir berwarna gelap. Rambutnya yang coklat kemerahan dipotong pendek.

"Selamat datang di Puri Misteri," kata orang itu dengan suara berat dan dalam. Setelah itu ia tertawa, sampai berbungkuk-bungkuk. Gelaknya diselingi batuk-batuk.

"Perasaan humornya benar-benar hebat," kata Pete menggumam.

Laki-laki jangkung berambut jagung itu menegakkan tubuhnya lambat-lambat. Matanya yang biru nampak cerah dan lembab.

"Aku Arthur Shelby. Lebih baik kuambil saja burungku, sebelum kalian dipatuk olehnya."

Anak-anak bergegas bangun. Laki-laki itu mendekat. Ia membungkuk, lalu melepaskan kawat-kawat pada mana burung mainan itu tergantung. Jupiter mendongak, menatap ke arah langit-langit ruangan. Ia tersenyum.

"Burung itu diluncurkan pada rel yang terpasang di atas," katanya. "Persis seperti kereta mainan listrik."

Bob dan Pete ikut memandang ke atas, memperhatikan alur rel yang melintasi langit-langit.

"Aku lebih suka kereta-keretaan listrik," kata Pete, "karena tidak menyebabkan aku ketakutan."

Mr. Shelby tersenyum lebar.

"Kalian tertipu, ya? Maaf - tapi ini memang kegemaranku, iseng-iseng membuat alat-alat aneh." Ia melambaikan tangannya ke arah ruangan yang ada di belakangnya. Anak-anak melihat ruangan bengkel yang besar, penuh dengan perkakas serta potongan-potongan kayu dan kawat.

Mr. Shelby meletakkan burung mainannya di atas bangku kerja. Suaranya sekarang sudah biasa. Tidak lagi berat dan dalam. Tapi tetap serak.

"Ada keperluan apa kalian kemari?" tanyanya.

Jupiter menyodorkan sepucuk kartu nama Trio Detektif padanya. "Ini mungkin bisa menjelaskannya, Sir," kata Jupiter. "Kegemaran kami mengusut misteri."

Laki-laki berambut merah itu meneliti kartu nama yang disodorkan. Ia tidak mengatakan apa-apa, tentang ketiga tanda tanya yang tertera di situ. Sambil tersenyum dikembalikannya kartu itu.

"Kurasa misteri yang ada di sekitar sini pasti anjing-anjing yang hilang itu, ya?"

"Jika kami sudah berhasil mengumpulkan segala fakta mengenai kejadian-kejadian itu, mungkin semua itu saling bertalian," kata Jupiter dengan lambat "Kami dimintai bantuan oleh Mr. Allen, untuk menemukan anjingnya yang hilang. Tapi saya mempunyai firasat, kejadian itu ada sangkut pautnya dengan hilangnya anjing-anjing lain di Seaside sini."

"Itu mungkin saja," kata Mr. Shelby. "Aku boleh dibilang tak pernah berurusan dengan para tetangga - tapi aku mendengar tentang kejadian itu lewat warta berita. Allen bepergian selama beberapa waktu, dan aku sama sekali tidak tahu bahwa ia sudah kembali, sampai kudengar bahwa Red Rover juga lenyap. Mudah-mudahan kalian berhasil menemukannya kembali."

"Itu memang tugas kami," kata Jupiter. "Tapi untuk itu kami memerlukan informasi. Menurut saya ada gunanya bercakap-cakap dengan beberapa tetangga Mr. Allen. Kami baru saja ke rumah seberang, mendatangi Mr. Carter. Anda kenal orang itu?"

Shelby tertawa.

"Siapa yang tidak kenal, di sekitar sini? Biasanya kan dikatakan, orang berambut merah lekas naik darah. Aku berambut merah, tapi yang cepat marah malah Carter. Tentunya ia memamerkan senapan burunya pada kalian tadi, ya?"

Jupiter mengangkat bahu, dengan sikap tak peduli.

"Ia mencoba menakut-nakuti kami. Untungnya saat ia mengancam, gerendel senapannya tidak terkokang. Katanya tadi, anjing-anjing dari daerah sekitar sini dengan seenaknya saja memasuki pekarangannya. Ia mengatakan dengan tandas, bahwa ia benci pada anjing."

Arthur Shelby tertawa nyengir.

"Apa sih - yang tidak dibenci olehnya?" katanya.

"Anda menakut-nakuti orang dengan cara lain," sela Pete dengan tiba-tiba. "Untuk apa segala keisengan yang Anda pasang di sekeliling rumah Anda ini?"

Arthur Shelby melirik Pete dengan pandangan geli.

"Aku sudah menunggu-nunggu pertanyaan itu. Aku tidak membenci orang. Aku benci jika diganggu. Karenanya aku mereka-reka beberapa cara guna menjauhkan penjual berkeliling serta pengganggu-pengganggu lainnya, yang suka muncul setiap hari. Kau tadi ketakutan, ya?"

"Bukan takut lagi namanya," gumam Pete.

Sekali lagi Shelby tertawa.

"Aku berpendidikan di bidang permesinan. Aku ini pencipta amatiran. Aku paling suka membuat alat-alat seperti itu. Tapi tidak ada ciptaanku yang bisa menyebabkan orang cedera."

Ia memandang arlojinya sebentar. "Nah - apa yang bisa kulakukan untuk membantu kalian?"

"Tentang anjing-anjing yang lenyap itu," kata Jupiter, "barangkali Anda tahu sesuatu, yang mungkin ada gunanya bagi kami?"

Penghuni rumah itu menggeleng.

"Wah, kalau tentang itu, aku cuma tahu bahwa mereka dilaporkan hilang. Lebih baik kalian berbicara saja dengan para pemilik anjing-anjing itu."

"Satu-satunya dengan siapa kami sudah berbicara, hanya Mr. Allen di sebelah ini saja," kata Jupiter. "Ada petunjuk yang diberikannya - tapi sulit bisa diterima."

"O ya?" Alis orang berambut merah itu naik sesenti. "Apa petunjuknya itu?"

Jupiter memonyongkan bibir, sementara keningnya berkerut. "Sulitnya, saya tidak tahu apakah saya boleh menceritakannya pada Anda."

"Kenapa tidak boleh?" kata Shelby mendesak.

"Karena saya rasa Mr. Allen mungkin akan merasa tidak enak, apabila hal itu tersebar luas," kata Jupiter. "Maaf, Mr. Shelby." Laki-laki jangkung itu menunjukkan sikap tak peduli. Ia mengangkat bahu.

"Kurasa dalam urusan ini, kau harus bertindak seperti pengacara hukum. Kau harus melindungi kepercayaan klien yang telah dilimpahkan padamu. Begitu, ya?"

Jupiter mengangguk. "Betul! Tapi walau begitu, aneh - Anda tinggal bertetangga dengan Mr. Allen. Rasanya tidak mungkin ia melihat sesuatu yang, misterius di sekitar sini, tapi Anda tidak melihatnya."

Mr. Shelby tertawa nyengir.

"Kau ini nampaknya pandai berbicara," katanya pada Jupiter. "Kurasa, jika kau mau, kau sebenarnya bisa mengatakan maksudmu dengan lebih jelas."

"Ah, sudahlah!" kata Pete, yang sudah tidak sabar lagi. "Yang tidak ingin dikatakan oleh Jupe ini ialah bahwa Mr. Allen waktu itu melihat seekor naga muncul dari dalam laut."

"Itu sebetulnya tidak boleh kauceritakan, Pete," kecam Jupiter. "Kita tidak boleh membeberkan apa yang dipercayakan klien pada kita."

"Sorry," kata Pete menggumam. "Habis - mengingatnya saja, aku sudah langsung gugup lagi."

"Naga?" kata Mr. Shelby. "Jadi itu yang menurut Allen dilihat olehnya?" Jupiter kelihatan ragu sejenak. Kemudian ia mengangkat bahu.

"Yah, apa boleh buat - karena sudah terlanjur disebut! Saya rasa ia khawatir orang-orang akan menyangka pikirannya sudah tidak waras lagi, jika ia mengatakan melihat naga. Tapi menurut katanya, itulah yang dilihatnya waktu itu."

"Mustahil!" kata Mr. Shelby sambil menggeleng-geleng.

"Katanya, ia juga mendengar suaranya," sela Bob. "Sewaktu makhluk itu masuk ke dalam gua yang ada di bawah rumahnya."

Jupiter menggembungkan pipinya.

"Ternyata kami ini tidak bisa menyimpan rahasia, Mr. Shelby. Tapi jika ternyata bahwa ada naga - atau makhluk berbahaya lain seperti itu di bawah sana, saya rasa Anda juga perlu mengetahuinya. Maksud saya, jika Anda punya kebiasaan, sekali-sekali turun ke sana."

"Terima kasih atas peringatan kalian," kata Mr. Shelby. "Tapi aku jarang sekali turun ke pantai. Aku tidak begitu gemar berenang di laut Sedang mengenai liang-liang gua yang ada di bawah, sudah sejak lama aku tahu bahwa tempat-tempat itu lebih baik jangan dimasuki. Berbahaya!"

"Kenapa Anda katakan berbahaya?" tanya Bob.

Mr. Shelby tersenyum.

"Liang-liang itu sudah berbahaya, jauh sebelum ada desas-desus bahwa di dalamnya ada naga. Di sepanjang pesisir sini sering terjadi tanah longsor. Orang yang terjebak, bisa terkubur hidup-hidup."

"Saya dengar, gua-gua itu dulu dipakai oleh penyelundup," kata Jupiter.

"Betul - tapi itu dulu," kata Shelby sambil mengangguk. "Sedang mengenai tanah longsor, cobalah berjalan-jalan menyusur bibir tebing. Nanti akan nampak bagaimana tanah di daerah sini merosot ke bawah. Kadang-kadang ada rumah yang ikut terseret"

Orang itu menatap anak-anak. Matanya bersinar-sinar. "Aku tahu, bagaimana perasaan seorang remaja. Kalau aku ini seumur kalian, dan mendengar desas-desus tentang adanya seekor naga, kurasa aku pun ingin turun ke bawah untuk melihat dengan mata sendiri. Tapi jika kalian melakukannya, jangan lupa bahwa liang-liang gua itu merupakan tempat yang berbahaya."

"Terima kasih, Mr. Shelby," kata Jupiter. "Jadi menurut pendapat Anda, cerita Mr. Allen tentang naga itu tidak benar?"

Shelby tersenyum.

"Pendapat kalian sendiri bagaimana?"

"Yah -" Jupiter membentangkan kedua lengannya.

Sekali lagi Shelby tertawa.

"Yah," kata Jupiter, "terima kasih atas kesediaan Anda bercakap-cakap dengan kami. Mungkin kami nanti akan bisa mengetahui dengan tepat, apa sebetulnya yang dilihat oleh Mr. Allen."

"Mudah-mudahan saja," kata Mr. Shelby. "Aku tahu, dulu ketika bintangnya masih cemerlang, Allen banyak membuat film dengan tema horor. Mungkin ada teman atau musuhnya, yang ingin berbuat iseng terhadapnya."

"Kemungkinan itu ada saja," kata Jupiter mengakui.

"Untuk berbuat iseng, orang kadang-kadang bisa melakukan hal-hal yang luar biasa. Sayang aku tidak bisa memberi keterangan yang berguna bagi kalian. Marilah - kuantarkan kalian ke luar."

Mr. Shelby berjalan mendului ke pintu, lalu membukakannya. Anak-anak melangkah, hendak ke luar. Mr. Shelby menahan Jupiter, lalu mengajak bersalaman. "Semoga kalian berhasil, Nak," katanya.

"Terima kasih, Sir," balas Jupiter. Disambutnya tangan Mr. Shelby yang diulurkan ke arahnya.

Pintu tertutup dengan pelan, meninggalkan Jupiter yang tertegun di luar. Mulutnya ternganga, sementara matanya terbelalak memandang ke bawah. Ia bergidik.

Jupiter menggenggam lengan Mr. Shelby - sedang orang itu sudah masuk ke dalam rumah. Dan pintu sudah tertutup!



Bab 5

BAHAYA DI KAKI TEBING

"UHH!" Jupiter terkesiap, menatap tangan Mr. Shelby. Kelihatannya seperti tangan yang benar. Rasanya seperti benar-benar tangan manusia!

Jupiter, yang biasanya selalu berkepala dingin, sekali ini tidak tahan lagi. Cepat-cepat dilepaskannya tangan itu, sehingga terjatuh.

Kedua temannya berpaling dengan cepat, karena mendengar dengusan Jupiter.

"Iiih! Apa itu?" seru Pete kaget.

"Astaga!" kata Bob sambil mendekat. "Itu kan tangan?!" Jupiter sudah agak pulih dari kekagetannya. "I-tu ta-tangan M-mr. Shelby. Tahu-tahu terlepas, ketika kami berjabatan tangan!"

"Bagaimana?" tanya Pete seakan tidak mengerti.

"Terlepas," ulang Jupiter, yang masih agak terpana. "Kalau soal bagaimana, entah!"

Saat itu terdengar suara tertawa menggema di dalam rumah, disusul bunyi seperti tercekik, terbatuk-batuk.

Wajah Jupiter memerah. "Aku yang salah," katanya pada kedua rekannya. "Aku lupa, Mr. Shelby kan orang yang suka iseng."

Tangan yang tergeletak dipungutnya dengan hati-hati, lalu diacungkannya ke arah Bob dan Pete. Pete menggeleng. Akhirnya Bob yang menerima.

"Kelihatan seperti tangan yang sebenarnya," kata Bob. "Barangkali Mr. Shelby memakai tangan palsu, dan tangan itu secara tak sengaja terlepas ketika kalian bersalaman tadi."

Jupiter menggeleng.

"Kau kan baru saja mendengarnya tertawa di dalam," katanya. "Tidak - ini pasti keisengannya lagi. Aneh - caranya menakut-nakuti orang."

"Ya - sangat kocak!" kata Pete sengit. "Kita cepat-cepat saja pergi dari sini, sebelum timbul lagi keisengannya yang berikut."

Bob mencampakkan tangan palsu yang masih dipegangnya. Ketiga remaja itu berpaling, lalu cepat-cepat lari ke arah jalan.

"Awas - jebakan terali!" seru Pete mengingatkan.

Mereka lari dengan gerak mengular, untuk mengelakkan jebakan. Mereka baru melambatkan langkah, ketika sudah menghampiri pintu pagar yang tertutup.

Pintu itu terbuka tanpa bunyi, seperti yang terjadi sewaktu mereka masuk. Trio Detektif bergegas melewatinya.

"Setidak-tidaknya ia sportif," kata Bob, sambil berlari bersama teman-temannya menyusur jalan. "Pintu pagarnya tidak disuruh menggigit kita sewaktu keluar."

"Jangan berhenti," gumam Pete. "Nanti saja aku berterima kasih padanya, jika sudah cukup jauh."

Akhirnya mereka berhenti berlari, karena kehabisan napas.

"Apa kerja kita sekarang?" tanya Bob. "Menunggu Hans datang menjemput?"

"Kalau aku boleh mengusulkan, kita lari saja terus sampai ke Rocky Beach," kata Pete. "Apalah arti jarak dua puluh mil, jika diingat betapa kita akan jauh lebih aman jika sudah ada di sana?"

Jupiter menarik-narik bibir bawahnya. Ia melirik arlojinya.

"Kita masih punya waktu sedikit. Bagaimana jika kita melihat-lihat sebentar ke liang gua yang ada di bawah, sebelum pulang?"

Pete memandang ke arah bibir tebing.

"Maksudmu, yang dikatakan dimasuki naga itu? Kuberikan jawabanku dengan dua patah kata. Tidak mau!"

Jupiter mengangguk.

"Kalau kau, bagaimana, Bob?"

"Sama seperti Pete," kata Bob. "Disamping itu, kau kan dengar sendiri tadi kata Mr. Shelby, bahwa liang-liang di bawah itu sangat berbahaya. Entahlah kalau naga, tapi aku sendiri pasti tidak senang kalau tertimbun tanah longsor."

Sementara itu Jupiter sudah berjalan sampai ke bibir tebing. Dijamahnya pegangan tangga tua yang sudah dimakan cuaca. Tangga itu sangat terjal, menyusur dinding tebing.

"Kalau aku, aku menyarankan kita melihat sebentar ke bawah," katanya. "Jadi kalau pulang nanti, sudah ada gambaran yang lebih jelas tentang apa yang kita hadapi."

Tanpa menunggu jawaban lagi, ia langsung menuruni tangga. Dengan segera ia sudah lenyap dari penglihatan kawan-kawannya.

Pete menatap Bob dengan sikap putus asa.

"Kenapa ia selalu saja bisa mengalahkan kita? Padahal kan satu lawan dua!" Bob mengangkat bahu. "Ia lebih keras kepala, sih! Mungkin, kita berdua ini lebih tahu diri."

"Yah - tapi itu tidak ada gunanya bagi kita," kata Pete mengomel. "Yuk - kita susul dia, sebelum Mr. Shelby meluncurkan benda terbang lagi untuk mengejar kita. Atau Mr. Carter yang di seberang jalan tiba-tiba merasa perlu melatih kejituannya menembak."

Setelah itu Pete memegang kayu sandaran tangga, lalu mulai melangkah turun. Bob menyusulnya. Jenjang-jenjang yang dilewati sudah tua dan sempit. Dan sangat terjal! Pete dan Bob yang lari menuruninya, mula-mula masih berpegangan pada sandaran. Tapi lari mereka semakin cepat. Keberanian pun bertambah. Akhirnya sandaran hanya ditepuk-tepuk saja, sambil lewat.

Jupiter menangkap bunyi langkah berlari-lari di belakangnya. Ia menoleh sebentar. Ia tertawa nyengir, ketika melihat apa yang terjadi. Perlomba­an lari ke bawah sudah dimulai!

Jupiter tidak selincah kedua temannya. Tapi jika mau, ia bisa juga berlari. Langkahnya dipercepat, sementara ia melonjak dari jenjang ke jenjang.

Jaraknya dari dasar tebing tinggal sekitar lima meter lagi - tahu-tahu jenjang yang dipijaknya patah! Jupiter terdorong terus ke bawah, karena kecepatannya berlari. Jenjang berikut yang dipijak berderak, lalu patah pula. Jupiter berusaha menahan gerak tubuhnya. Ia menyambar kayu sandaran.

Kayu sandaran itu ternyata sudah lapuk, karena langsung terlepas. Jupiter berteriak, serentak dengan gerak tubuhnya yang terpental ke samping.

Bob dan Pete yang sudah berhasil menyusui sampai dekat sekali, mendengar teriakan teman mereka itu - tapi sudah terlambat! Seluruh konstruksi tangga di sebelah bawah ambruk, bagaikan rumah-rumahan yang dibangun dari kartu-kartu. Bagian sandaran sebelah atas tempat yang disambar oleh Jupiter tadi merupakan satu-satunya kemungkinan bagi keduanya untuk menyelamatkan diri. Mereka menyambar tempat sandaran itu dengan perasaan panik.

Tapi kayu pada bagian itu juga sudah lapuk, sehingga langsung terlepas.

Kedua remaja itu tidak berdaya lagi. Mereka tersungkur ke bawah, disusul potongan-potongan papan yang berjatuhan.

Dalam keadaan jatuh, otak Jupiter masih sempat bekerja. Ada dua pikiran yang merongrongnya, sekejap sebelum ia terbanting di bawah. Apakah yang dialaminya itu kecelakaan biasa?

Atau mungkinkah itu merupakan perbuatan yang disengaja, agar Trio Detektif tidak bisa melakukan pengusutan terhadap misteri naga di pantai?

Waktu yang tersisa hanya cukup untuk memikirkan kedua hal itu. Ia terbanting dengan keras, disusul tubuh dan papan yang berjatuhan dekat kepalanya. Setelah itu segala-galanya menjadi gelap!



Bab 6 TERJEBAK !

"JUPE! Jupe! Kau tidak apa-apa, Jupe?"

Jupiter terkejap-kejap. Samar-samar dilihatnya muka kedua temannya, yang sedang memperhatikan dirinya.

Jupiter mendengus, lalu duduk. Dibersihkannya dulu mukanya yang penuh pasir, sebelum menjawab.

"Tentu saja aku tidak apa-apa," katanya. "Tapi itu bukan berarti bahwa aku tertolong oleh kenyataan bahwa kalian berdua jatuh menimpa aku. Di samping napasku terdesak ke luar, mukaku juga terbenam dalam pasir karenanya."

"Ia tidak apa-apa," kata Pete sambil nyengir. "Ia masih bisa mengoceh."

"Ya, aku mendengarnya," kata Bob. "Dan seperti biasa, ia berbuat seolah-olah kejadian tadi itu karena kesalahan kita. Padahal tubuhnya yang berat itulah yang menyebabkan anak tangga dan sandaran patah. Lalu apa yang harus kita lakukan tadi? Melayang, supaya ia jangan sampai ter­tindih?"

Jupiter bangkit dengan pelan. Ditendanginya patahan-patahan papan yang berserakan di sekelilingnya. Salah-satu patahan itu dipungutnya, lalu diteliti. Ia membungkuk dan memungut sepotong lagi, lalu membandingkannya dengan patahan yang pertama. Ia mengangguk, seakan-akan puas.

"Penyataanmu itu tepat, Bob," kata Jupiter. "Berat badankulah yang menyebabkan anak tangga patah. Tapi aku cenderung menduga, patahnya bukan karena itu saja. Jenjang-jenjang ini kelihatannya bekas diapa-apakan sebelumnya, sehingga langsung patah jika ditekan sedikit saja.

Kedua patahan papan itu disodorkannya pada Bob dan Pete.

"Coba kalian perhatikan baik-baik! Sisi atas papan-papan itu pecah. Kalian lihat bahwa pecahannya tidak teratur? Sedang sisi bawahnya nampak lebih rata pecahnya. Nampaknya seperti sudah digergaji sebagian, sebelum kita menuruninya tadi."

Bob dan Pete memperhatikan kedua patahan itu dengan seksama.

"Mungkin kau benar," kata Bob setelah beberapa saat. "Tapi siapa yang tahu bahwa kita akan turun?"

"Ya, betul," kata Pete. "Itu kan gagasanmu sendiri, Jupe. Jika kita tadi tidak menuruni tangga, kecelakaan itu bisa dialami siapa saja di daerah sini. Selama ini kita baru bertemu dengan Mr. Carter, Mr. Allen, dan Mr. Shelby. Tapi pasti masih banyak lagi yang biasa turun-naik lewat tangga tadi.'

Ia menuding ke salah satu tempat di pantai.

"Tangga yang berikut, lumayan juga jauhnya. Sedang tangga yang lain, masih lebih jauh lagi. Jadi pasti cukup banyak yang biasa melewati tangga yang ini."

Jupiter mendesah. Patahan-patahan papan yang dipegangnya dicampakkan lagi ke pasir.

"Kita juga tidak memiliki perlengkapan untuk memeriksa papan-papan ini, untuk memastikan apakah memang digergaji atau tidak. Mungkin juga aku keliru menarik kesimpulan."

Pete dan Bob berpandang-pandangan. Jarang sekali Jupiter mau mengaku salah perkiraan, tentang apa saja.

Jupiter merapatkan bibirnya.

"Walau begitu kita tidak boleh membiarkan perhatian kita terpaling, karena kecelakaan di tangga tadi," katanya. "Tujuan kita turun tadi untuk memeriksa bidang pantai yang di sini serta liang gua, untuk mencari tanda-tanda tentang adanya naga. Kita selesaikan urusan itu sekarang."

Setelah itu Jupiter berjalan menuju ke tepi air, tanpa menoleh lagi.

"Pertama-tama kita mencari jejak dari tepi air, menuju ke liang gua. Makhluk yang menurut Mr. Allen dilihat olehnya, menuju ke arah sana."

Bob dan Pete menggabungkan diri. Bertiga mereka melangkah dengan lambat, menelusuri tepi air. Pantai yang luas itu kelihatannya lengang saat itu. Yang ada hanya beberapa ekor burung camar saja, yang terbang berkeliling di atas kepala, sambil memekik-mekik dengan suara parau.

Pete menuding ke arah seekor camar yang baru saja turun ke pasir.

"Mungkin lebih baik jika kita tanyakan pada seekor di antara mereka, apakah belakangan ini pernah melihat naga di sini. Dengan begitu kita tidak perlu repot-repot lagi."

"Bagus juga gagasanmu itu," kata Bob. "Dan jika burung-burung itu tidak mau bicara, masih ada kapal tunda dengan perlengkapan pengangkat kapal yang ada di sana itu."

Ia menuding ke tengah laut, ke arah sebuah kapal berpotongan buntek yang menggandeng perlengkapan pengangkat kapal. Posisinya sekitar satu mil di depan pantai.

"Mereka kelihatannya tidak sedang berlayar. Mungkin mereka pun sedang berburu naga." Jupiter memandang ke arah kapal itu, lalu menggeleng.

"Apa yang ada sejauh itu, tidak perlu kita pikirkan. Kita hanya perlu meneliti garis pantai di sekitar sini saja."

Pandangannya bergerak, dari liang gua yang nampak di kejauhan, sampai ke tepi air.

"Di sekitar sinilah kita seharusnya menemukan jejak. Lebih baik jika melakukannya secara berpencar."

Ketiga remaja itu memencar, lalu berjalan lambat-lambat menyusur pantai. Pasir yang terhampar diteliti dengan cermat.

"Aku cuma melihat rumput laut bertumpuk-tumpuk," kata Bob.

"Aku juga," kata Pete, "ditambah dengan kerang, serta kayu hanyut."

Akhirnya Bob menggeleng.

"Sama sekali tidak ada jejak di sini, Jupe," katanya. "Jangan-jangan sudah terhapus air, saat laut pasang naik."

Jupiter menarik-narik bibir bawahnya.

"Kemungkinan itu bisa saja - di sini, dekat air," katanya kemudian. "Tapi lebih ke atas lagi masih ada bidang pantai yang cukup lebar, sampai ke mulut gua. Yuk - kita memeriksa ke sana."

"Apakah itu harus kita lakukan?" tanya Pete. "Bagaimana jika naga itu ada di dalam gua? Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Kita lawan dia, dengan kedua belah tangan kita saja?"

"Kurasa kita takkan perlu berkelahi melawan apa pun juga, Pete," kata Jupiter. "Mulut gua akan kita dekati dengan sangat berhati-hati. Dan kita takkan masuk ke dalam, selama kita tidak bisa memastikan bahwa hal itu tidak berbahaya."

Pete merengut. Kemudian ia membungkuk, untuk memungut sepotong kayu hanyut yang lumayan panjangnya.

"Yah - aku tidak tahu apakah ini akan ada gunanya untuk membela diri nanti," katanya. "Tapi aku merasa lebih aman, jika menggenggam tongkat sebagai senjata."

Bob mengambil sepotong kayu lain, yang kelihatannya merupakan bekas dayung yang sudah patah.

"Katamu itu memang tepat, Pete," katanya. "Aku ingat, pernah melihat gambar yang menampilkan adegan pertarungan antara St. George dengan naga. Jagoan hikayat kuno itu juga tidak mempergunakan kayu hanyut sebagai senjata. St. George itu orang pintar. Ia menggenggam pedang panjang."

Bob mengayun-ayunkan gagang dayung yang sudah patah, lalu melirik ke arah Jupiter.

"Kau tidak ingin membawa senjata pula, Jupe? Kalau mau, bisa kita ambil sepotong sandaran tangga yang patah tadi. Kulihat beberapa di antaranya masih ada paku-pakunya. Asyik, pan­jang-panjang."

Jupiter mengangkat bahu sambil tersenyum. "Kurasa memang tidak ada salahnya mempersenjatai diri."

Ia membungkuk, lalu memungut sepotong papan panjang dan lembab dari tengah sampah yang berserakan di sepanjang pantai. Di sandangnya papan itu, sambil menoleh ke arah kedua temannya.

Bob dan Pete tersenyum hambar. Dengan air muka teguh tapi berkeringat dingin, ketiga remaja itu melangkah maju dengan hati-hati, menghampiri mulut gua yang gelap di kaki tebing.

Mereka melintasi beting pasir rendah yang terdapat di dekat batas air, sambil mengamat-amati setiap jengkai yang mereka lewati. Tiba-tiba Jupiter berhenti berjalan. Matanya bersinar.

"Ini ada sesuatu," katanya pelan.

Pete dan Bob memandang ke bawah. Pada pasir yang lembab dan longgar nampak jelas semacam alur memanjang.

"Wah! Naga ini rupanya dari jenis modern," kata Bob setelah beberapa saat memperhatikan. "Kelihatannya berjalan dengan roda."

Jupiter mengangguk. Ia memandang ke kanan dan ke kiri, menyusuri garis pantai.

"Tidak ada apa-apa di sini. Tapi alur ini kelihatannya seperti jejak salah satu kendaraan. Mungkin mobil pantai. Penjaga keselamatan di pantai kadang-kadang memakai jip atau mobil pantai untuk berpatroli di sepanjang daerah pantai tempat ini."

"Itu mungkin saja," kata Bob. "Tapi jika sedang berpatroli, alur jejak ini mestinya kan memanjang ke utara dan selatan - sesuai dengan garis pantai. Tapi jejak ini mengarah ke mulut gua."

"Benar juga katamu, Bob," kata Jupiter. Ia berlutut, untuk meneliti alur cekung itu. Bob memandang ke belakang, ke arah laut. Keningnya berkerut.

"Aneh," katanya. "Jika jejak ini kelihatan di sini, kenapa di dekat air tadi tidak?"

"Kurasa mungkin karena terhapus gerak air pasang yang deras serta ombak yang memecah," kata Jupiter.

Pete meringis.

"Kurasa mata Mr. Allen yang sudah tua itu tidak bisa terlalu diandalkan. Yang dilihatnya waktu itu mungkin bukan naga, tapi jip - atau se­bangsanya." "Mungkin juga," kata Jupiter. "Pokoknya, itu akan kita ketahui jika sudah sampai di gua."

Tapi ketika tinggal sekitar sepuluh meter dari mulut gua, jejak berupa alur memanjang itu tahu-tahu lenyap.

Ketiga remaja itu berpandang-pandangan.

"Ini ada misteri lagi," kata Pete.

Mereka sampai di mulut gua. Kelihatannya tidak ada apa-apa di dalamnya.

"Mulut gua ini sangat lebar. Bis pun hampir-hampir bisa masuk ke dalamnya," kata Bob. "Aku masuk saja sebentar, untuk melihat sampai seberapa jauh masuknya ke perut tebing."

Jupiter menjenguk ke dalam.

"Baiklah, Bob. Tapi jangan terlalu jauh. Aku dan Pete akan menyusul dengan segera, begitu kami sudah meneliti ambang di sini, kalau-kalau ada salah satu petunjuk."

Bob melangkah masuk ke dalam gua, sambil mengacungkan senjatanya yang menyerupai tombak.

"Kenapa ia tahu-tahu menjadi pemberani?" tanya Pete.

Jupiter tersenyum.

"Begitu kita melihat bahwa jejak tadi berasal dari salah satu kendaraan buatan tangan manusia, dan bukan makhluk ajaib seperti naga, kurasa kita semua langsung seperti mendapat suntikan keberanian."

Ia menelengkan kepala, seperti sedang mendengarkan.

"Mungkin bisa kita duga betapa luas gua di dalam, dari gema suara Bob." Jupiter berseru ke dalam, "Cuma untuk mengecek saja, Bob! Bagaimana keadaan di dalam?"

Pete ikut menelengkan kepala dengan sikap mendengar. Kedua remaja itu sama-sama mendengar bunyi itu. Bunyi gedebuk.

Setelah itu mereka mendengar suara Bob. Bunyi melengking tinggi. Hanya satu patah kata saja yang diucapkannya. Tapi itu sudah cukup untuk membuat mereka merasa ngeri.

"Tolooong!"



Bab 7

PERINGATAN MISTERIUS

JUPITER dan Pete memandang dengan mata terbelalak ke dalam rongga gua yang hanya nampak remang-remang. Saat itu terdengar lagi suara Bob berteriak.

"Toloong! Tolong aku!"

"Ayo!" seru Pete. "Bob dalam bahaya!"

Pete, yang paling kekar tubuhnya di antara mereka bertiga, melesat lari ke dalam gua. Jupiter berusaha mengikuti langkahnya yang cepat.

"Jangan terlalu cepat, Pete," kata Jupiter, "Ia tidak mungkin terlalu jauh, dan kita harus berhati-hati agar jangan -"

Ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Dalam gua yang remang-remang gelap itu, tahu-tahu napasnya terdengus - karena menubruk sesuatu yang keras. Ia jatuh berlutut.

Kemudian didengarnya suara Pete berseru, "Jangan masuk lebih jauh, Jupe! Aku sudah menemukannya!"

"Di mana, Pete? Aku tidak bisa melihat apa-apa!"

Jupiter terkejap-kejap beberapa kali, sampai matanya sudah bisa disesuaikan dengan kere­mangan gua. Setelah itu barulah ia melihat Pete.

Temannya itu ada di depannya, dalam posisi seperti merangkak.

"Ia terjerumus ke dalam lubang," kata Pete. "Untung saja aku masih sempat menahan langkah."

"Aku tidak bisa melihat apa-apa," kata Jupiter. Dicobanya memandang ke bawah, dari balik bahu Pete. "Bob!" serunya memanggil. "Di mana kau?"

Jupiter terlompat ketika Bob menjawab, karena begitu dekat kedengarannya.

"Di sini, di bawah!" seru Bob. "Aku terjerumus ke dalam semacam sumur. Aku tersedot ke bawah!"

"Aduh!" pekik Pete kaget. "Pasir apung!"

"Mustahil," kata Jupiter. "Itu hanya ada di kawasan dekat khatulistiwa saja!" Ia merangkak ke samping Pete, sambil meraba­raba dasar gua dengan hati-hati. "Aku masih tetap belum bisa melihatnya. He, Bob! Kau bisa melihat kami?"

"Ya!" balas Bob. "Aku hampir lurus berada di bawahmu!"

Jupiter menjulurkan badan ke bawah, lalu mengulurkan tangannya.

"Raihkan tanganmu ke atas lalu pegang tanganku, Bob. Nanti aku akan menarikmu ke atas, bersama Pete."

Dari arah bawah terdengar bunyi berkecepuk pelan. "Ti-tidak bisa," kata Bob sesaat kemudian. "Setiap kali kucoba, tubuhku terbenam semakin dalam!"

"Acungkan tongkatmu ke atas," kata Pete. "Itu, gagang dayung yang kaupegang tadi. Kami akan dengan segera menarikmu ke luar."

"Tidak bisa," balas Bob dengan nada gugup. "Tadi terlempar, ketika aku terjerumus kemari."

Pete memandang kayu hanyut yang dipegangnya. Ia mengeluh. "Sedang tongkatku terlalu rapuh - takkan kuat menahan berat badanmu."

Jupiter menggeleser dengan berhati-hati, mengelilingi lubang itu. "Tahan terus, Bob," katanya. "Aku kini sedang menyusur tepi lubang, untuk menaksir ukurannya.

Ia menggeleser lagi.

"Cepat!" kata Bob berteriak dari bawah. "Sekarang bukan waktunya untuk mengukur-ukur."

"Tapi aku harus melakukannya," kata Jupiter yang semakin menjauh. "Cuma dengan begitu aku nanti bisa mencari akal untuk mengeluarkan dirimu dari situ."

Jupiter merangkak terus. Ia sangat berhati-hati. Walau begitu masih ada juga tanah berguguran ke dalam lubang.

"Awas!" teriak Bob. "Nanti dindingnya runtuh!"

"Sorry!" balas Jupiter. "Tapi itu cuma tanah longgar yang ada di pinggir atas."

Sesaat kemudian ia sudah kembali berada di samping Pete.

"Kurasa kita bisa melakukannya." Ia berseru lagi pada Bob, "He, Bob! Apakah ujung kakimu bisa menyentuh dasar?"

Kedua remaja yang berada di atas mendengar bunyi menggelepar-gelepar di bawah, disusul bunyi seperti orang sedang meludah-ludah.

"Belum," jawab Bob dengan sebal. "Tapi mungkin jika kalian berdua yang jenius akhirnya berhasil menemukan akal untuk mengeluarkan aku, aku akan sudah terbenam sampai ke dasar."

"Kalau kau memegang kakiku, aku akan bisa meraih ke bawah," kata Pete. "Kita tidak punya waktu lagi untuk memikirkan cara penyelamatan yang macam-macam."

Tapi Jupiter menggeleng. "Kurasa kita bisa mempergunakan papanku. Bukan untuk menariknya ke atas secara langsung - karena tumpuan untuk itu tidak cukup kokoh di tanah pasir begini. Tapi papanku cukup panjang untuk diletakkan melintang sampai ke seberang lubang. Sedang ujung-ujungnya kita henyakkan ke sisi."

"Tapi apa gunanya?" tanya Pete. "Bob tidak bisa meraih setinggi itu ke atas."

"Bisa, jika papan kita letakkan dengan memben­tuk sudut yang tepat," kata Jupiter. "Kurasa kita bisa mengganjalnya dari sisi seberang."

Pete memandang papan tipis yang ada di tangan Jupiter. Ia mengangguk, sambil membasahi bibir.

"Bisa saja kita coba. Itu jika papanmu cukup kuat menahan berat badannya."

Jupiter menjulurkan kepalanya ke dalam lubang.

"Kami akan mengulurkan papan ke atas kepalamu, Bob," katanya menjelaskan. "Kauusahakan agar ujungnya yang sebelah bawah cukup kokoh terbenam ke sisi lubang, sehingga mampu menahan berat badanmu jika kaunaiki nanti." Ia menyambung, "Karena jika sampai terlepas, yang hilang bukan papan ini saja, tapi kau juga."

"Terima kasih," kata Bob. "Tapi cepatlah sedikit! Aku sudah semakin dalam terbenam sekarang."

Jupiter meninggalkan Pete. Ia bergegas ke tepi seberang. Dari situ ia mengulurkan papan ke bawah, sambil menjulurkan tubuh.

"Papan sudah kuulurkan ke bawah sekarang," katanya pada kedua temannya. "Aku tidak tahu apakah kau bisa melihatnya, Bob. Tapi mestinya sebentar lagi akan lewat di atas kepalamu."

Papan diulurkannya sedikit demi sedikit ke bawah, sementara ia sendiri berbaring menelungkup di tanah. Akhirnya terdengar Bob berseru dari bawah.

"Aku bisa melihatnya sekarang," seru Bob. Lalu dengan suara meninggi bernada kecewa, "Tak bisa kuraih! Terlalu tinggi!"

"Sekarang akan kugerakkan menurun," kata Jupiter. "Aku sedang mereka-reka sudut yang tepat supaya bisa pas."

Papan diulurkannya beberapa sentimeter lagi ke bawah.

"Ya, ya - bagus, Jupe!" seru Bob. "Sudutnya sudah benar. Sekarang tinggal beberapa senti lagi!"

Bob menunggu Jupiter mengulurkan papan lebih jauh ke bawah. Tiba-tiba terdengar bunyi seperti menggeleser.

"Ayo, Jupe! Kenapa kau tahu-tahu berhenti?"

Jupiter menjawab dengan suara parau,

"Badanku terjulur terlalu jauh ke dalam. A-aku sendiri mulai tergelincir!"

"Aduh!" seru Pete, Ia bergegas bangkit, lalu lari ke tepi seberang.

Kaki Jupiter bergerak-gerak liar, berusaha mencari tumpuan di tanah yang licin. Sisa tubuhnya sudah miring ke dalam lubang gelap. Tanah berguguran di bawah badannya.

Seketika itu juga Pete menjatuhkan diri ke depan, menindih tungkai Jupiter. Disambarnya ikat pinggang temannya itu, lalu disentakkannya kuat-kuat ke arah belakang.

"Tenang, Jupe," katanya dengan napas putus-putus. "Kau sudah kupegang."

Sesaat kemudian sudah cukup jauh ditariknya Jupiter ke belakang, sehingga anak gempal itu bisa memulihkan keseimbangannya kembali.

"Terima kasih, Pete," kata Jupiter dengan napas sesak. "Sekarang, jika kau terus menindih kakiku selama beberapa saat lagi, sampai papan ini sudah seluruhnya kuulurkan -"

Pete dan Jupiter mendengar Bob berseru dengan gembira dari bawah, "Ya - berhasil, Jupe!"

"Okay, Bob. Sekarang aku dan Pete akan membenamkan ujung yang sebelah atas ke sisi lubang sebelah sini. Setelah itu kau harus berusaha memanjatnya ke atas. Bisakah kau meraihkan tanganmu untuk mencapainya?"

"Ya, bisa!" jawab Bob setelah diam sesaat.

"Baiklah, Bob," kata Jupiter. "Sekarang kaucoba memanjat ke atas."

"Roger!" balas Bob. Terdengar bunyi berderak. Papan tipis yang mereka pegang bergetar.

"Ia datang!" seru Pete. Papan tipis itu terayun dan bergetar, menahan beban tubuh Bob yang merambat naik. Jupiter menindih ujung sebelah atas dengan sekuat tenaga.

"Kemungkinan patah masih ada," bisiknya pada Pete. "Bersiaplah untuk menangkapnya."

Mereka mendengar bunyi napas Bob terengah­engah. "Oke," katanya, "aku sudah sampai di ujung atas. Sekarang bagaimana?" Pete menjulurkan badan ke dalam lubang.

"Pegang tanganku, Bob."

Dengan cepat Bob menggerakkan tangannya ke atas. Sesaat ia berhasil menggenggam tangan Pete yang terulur ke bawah. Tapi kemudian terlepas lagi. Bob bergerak dengan cepat karena terdorong rasa panik. Tangannya dicengkeramkan kembali ke papan yang basah.

"Sulit sekali memegangnya, karena tangannya berlumpur," keluh Pete pada Jupiter. "Kau ingin mencobanya?"

Jupiter menggeleng. "Kurasa hasilnya akan sama saja. Kita harus bersama-sama menariknya ke atas."

Bob melotot ke arah mereka dari bawah. Kedudukannya sangat goyah, di atas papan yang terayun-ayun.

"Sudahlah, jangan berunding macam-macam lagi! Cepat, keluarkan aku dari sini! Aku sudah sulit sekali bisa bertahan terus, karena badanku penuh dengan lumpur. Aku tak mampu berpegang lebih lama lagi -"

Mata Jupiter berkeliaran di dalam gua. "Kita memerlukan tali," katanya. "Sesuatu yang bisa dipakai untuk menjerat -"

"Di sini tidak ada tali," kata Pete menggerutu, "dan juga tidak ada waktu lagi. Kita cuma kekurangan beberapa sentimeter saja. Mestinya ada sesuatu -"

Tiba-tiba sinar mata Jupiter berubah, nampak bersinar lagi.

"Aku tahu!"

Dengan cepat dibukanya ikat pinggangnya. Sementara Pete memandang saja sambil melongo, temannya itu memasang ikat pinggangnya lagi, sehingga di ujungnya terbentuk semacam jerat.

Jerat dari ikat pinggang itu diulurkannya ke dalam lubang.

"Aku membuat jerat dengan ikat pinggangku, Bob," katanya. "Selipkan tanganmu ke dalamnya. Berat tubuhmu akan menyebabkan jerat itu mengencang dengan sendirinya. Setelah itu aku dan Pete akan menarikmu ke atas."

Ikat pinggang diulurkan dengan pelan-pelan ke dalam lubang, sementara ia sendiri bersiap-siap menahan sentakan dari bawah.

"Ya! Tanganku sudah terjerat!" seru Bob. "Tarik!"

Jupiter menghembuskan napas lega. Pete meraih ujung ikat pinggang, sambil nyengir. Setelah itu ia bersama Jupiter mencondongkan tubuh ke belakang, lalu menarik kuat-kuat.

Sesuatu yang berlumur lumpur naik dengan pelan dari dalam lubang.



Bab 8

DUA SOSOK MISTERIUS

SOSOK berlumpur itu merebahkan diri di samping Jupe dan Pete. Napasnya tersengal-sengal.

"Trims!"

"Itu tadi ide Jupe," kata Pete, Ia memandang ikat pinggangnya dengan sikap menyesali diri. "Pada­hal aku juga memakai ikat pinggang. Cuma pikiranku saja yang tidak sampai ke situ."

"Mungkin itu disebabkan karena kau tidak begitu memikirkan berat tubuh, seperti aku," kata Jupiter sambil tersenyum. "Di samping itu ukuran pinggangku lebih besar, jadi dengan sendirinya ikat pinggangku juga lebih panjang."

Bob membersihkan lumpur yang melumuri mukanya.

"Pokoknya idemu itu berhasil, Jupe. Mulai sekarang aku takkan lagi memperolokkan dirimu bahwa kau terlalu gendut." Ia menoleh ke dalam lubang, lalu mundur sambil bergidik. "Coba kau tidak memakai ikat pinggang yang panjang, kemungkinannya aku masih terbenam di bawah sana sekarang."

"Pokoknya, sekarang semua sudah beres lagi," kata Pete. "Lalu selanjutnya bagaimana?"

"Kita pulang," kata Jupiter dengan tegas. "Bob perlu cepat-cepat berganti pakaian, karena ia basah kuyup. Sorry! Aku yang bersalah, karena memaksa hendak memeriksa gua, tanpa membawa senter."

"Kita tadi sebaiknya memang membawa senter," kata Bob sependapat, "tapi kurasa aku juga tolol, kenapa begitu saja bergegas masuk, tanpa memperhatikan lingkungan."

Jupiter berdiri. Keningnya berkerut.

"Aneh juga, kenapa ada lubang yang begitu berbahaya di dekat jalan masuk ke gua. Kurasa itu menyebabkan banyak orang yang ingin tahu tidak bisa masuk."

"Kecuali jika mereka bersikap seperti aku tadi," kata Bob sambil tersenyum hambar. "Lubang berlumpur itu akan menyebabkan banyak dari mereka tidak bisa keluar lagi!"

"Wah," kata Pete, setelah berpikir sejenak, "mungkin itulah yang terjadi dengan anjing peliharaan Mr. Allen, serta anjing-anjing lainnya yang hilang. Mungkin saja mereka tercebur ke dalam lubang, lalu tersedot ke bawah."

"Kemungkinan itu bisa saja," kata Jupiter sambil mengangguk. "Tapi kita tadi kan sedang mencari-cari jejak, sebelum Bob berteriak minta tolong. Kita sama sekali tidak melihat jejak anjing di sekitar mulut gua."

"O ya?" kata Pete dengan nada heran. "Itukah yang kita kerjakan tadi?" Ia menoleh ke belakang dengan cepat. "Yah - sekarang sebaiknya kita lekas-lekas saja keluar dari sini, sementara masih bisa. Tempat ini menyeramkan." Semuanya sependapat tentang hal itu. Mereka cepat-cepat keluar.

Setiba di luar, Jupiter menoleh ke belakang. Dilihatnya bongkah batu besar-besar di sisi seberang mulut gua.

"Aku ingin tahu, sampai seberapa jauh Liang gua itu menjorok masuk ke dalam," katanya. "Kita tadi mendapat keterangan bahwa liang-liang di sini dulu biasa dipakai para penyelundup."

"Ya, betul," kata Pete. "Lalu?"

"Liang yang baru saja kita tinggalkan, rasanya tidak cocok untuk dijadikan tempat menyembunyikan barang-barang selundupan, karena terlalu terbuka dan mudah dimasuki orang."

"Mungkin saja sebenarnya masih ada lorong-lorong lainnya," kata Bob. "Arus karena air bisa menyebabkan batu yang termasuk lunak lama kelamaan habis, walau bisa memakan waktu jutaan tahun. Mungkin daerah sini dulu terendam air. Jika betul begitu, mestinya banyak liang-liang alamiah di sekitar sini."

"Mungkin juga," kata Jupiter, "tapi kita tidak punya waktu lagi untuk memeriksanya sekarang. Kita harus mengundurkannya ke lain waktu."

"Aku setuju saja," kata Pete dengan gembira, "pokoknya, asal jangan hari ini. Untuk sekarang, aku sudah cukup banyak mengalami kejadian yang menciutkan hati."

"Tentang itu kita semua sudah sependapat," kata Jupiter. "Tapi payahnya, sekarang ada lagi yang datang."

"Apa maksudmu?" tanya Pete terkesiap.

Jupiter menuding ke arah laut. Kedua temannya menoleh ke arah itu. Mata mereka terkejap karena kaget. Sesuatu yang gelap dan berkilat-kilat muncul dari bawah air.

"Apa itu?" kata Bob dengan suara berbisik.

"Kepalanya berukuran kecil - seperti kepala naga," kata Pete. Suaranya bergetar. Saat itu datang ombak besar, menggulung ke arah pantai, Sosok gelap yang baru muncul dilanda dan diselubungi, sehingga tidak kelihatan lagi.

Anak-anak tetap berada di tempat mereka. Dengan gugup, ketiganya menatap ke arah air yang bergerak maju.

Ombak yang bergulung memecah di pantai, disusul ombak berikutnya. Ketika air sudah surut lagi, nampak kembali sosok gelap yang tadi.

Sosok itu berdiri tegak. Potongannya ramping dan hitam berkilat, sampai ke bagian kaki yang kelihatan bersirip, seperti kaki bebek. Sosok aneh itu berjalan lambat-lambat, menuju pantai.

"Penyelam," kata Pete dengan lega. "Ia memakai masker dan sirip renang di kaki. Aduh - karena itu saja kita sudah takut setengah mati! Yuk, kita pergi."

Ketiga remaja itu berpaling, hendak pergi.

Tiba-tiba Jupiter berbisik, "Awas! Ia membawa senapan tombak!"

"Lalu?" kata Pete sambil tertawa. "Ia kan bisa saja habis berburu ikan!"

Jupiter menggeleng.

"Ia menuju kemari," katanya.

Tiba-tiba orang yang bermasker dan berpakaian selam serba hitam itu berlutut, dengan senapan tombak teracung ke depan. Orang itu merebahkan diri, sambil membidikkan senjatanya.

"Wah! - Awas! Ia membidik ke arah kita!" seru Bob cemas.

"Eh!" kata Pete kaget. "Kenapa ia tahu-tahu begitu?" Matanya terpicing, sementara air mukanya menjadi pucat.

"Ya - Bob benar!" Ia berbalik dengan cepat. "Pasti kita yang dijadikan sasaran - di sekitar sini tidak ada orang lain!"

Jupiter Jones memandang orang yang rebah di pantai, sambil menghadap ke arah mereka. Jarak yang memisahkan tidak sampai seratus meter. Orang itu nampak jelas membidikkan senjatanya ke arah mereka.

Otak Jupiter biasa berpikir logis, dan bekerja dengan teramat cepat. Secepat kilat ditiliknya situasi yang dihadapinya. Hasilnya membuat keningnya berkerut. Situasi yang dihadapi tidak masuk akal!

Tapi logis atau tidak, Jupiter masih tetap bisa mengandalkan kemampuannya menyelamatkan diri.

"Bahaya!" katanya. "Lari memencar!"

Ketiga remaja itu berpencaran secepat-cepatnya, lalu lari ke arah tangga yang menuju ke atas tebing. Tapi ketika sudah dekat ke situ, barulah mereka sadar bahwa itu tidak ada gunanya. Karena kaget, mereka melupakan kecelakaan yang baru saja mereka alami di tangga itu. Kini mereka sadar kembali, begitu melihat patahan tangga yang berserakan di pasir. Sedang dinding tebing menjulang terjal, mustahil bisa didaki.

Jupiter menoleh ke tangga yang berikut. Letaknya terlalu jauh dari tempat mereka berada saat itu. Untuk mencapainya, cukup jauh mereka harus berlari di atas pasir lembab. Lari mereka takkan mungkin bisa cepat. Dan di pantai terbuka itu, mereka akan menjadi sasaran empuk.

Dengan cepat Jupiter mengambil keputusan. "Hanya satu kemungkinan yang tinggal. Cepat - kita kembali ke dalam gua!"

Ketiga remaja itu lari lagi, kini kembali ke mulut gua. Mereka lari dengan perasaan panik, karena memperhitungkan setiap saat akan mendengar letusan senapan tombak di belakang mereka.

Atau bahkan merasa punggung mereka ditembus tombak maut yang meluncur dari senjata itu.

Pasir di bawah kaki berhamburan ke belakang.

"Hampir sampai!" seru Jupiter dengan napas putus-putus. "Cepat - cari perlindungan!"

Ketiga remaja itu menyeruduk serempak ke dalam gua, lalu bergegas merangkak ke balik batu-batu besar yang ada di depan.

"Selamat!" dengus Pete. "Sekarang bagaimana?"

"Kita bersembunyi," kata Jupiter, sambil berusaha mengatur napas yang tersengal-sengal. "Dengannya kita akan mendapat waktu untuk mengatur rencana selanjutnya."

"Mungkin sekarang inilah waktu yang terbaik untuk mencari lorong-lorong yang lain itu," kata Bob.

Jupiter mengangguk. Mukanya merah, karena bersemangat. Tapi mungkin juga karena kepanasan sehabis berlari.

"Setuju!" katanya. "Tapi kita biarkan orang itu berbuat sesuatu terlebih dulu. Jika ia ternyata menuju kemari, maka akan kuakui bahwa situasi yang kita hadapi menghendaki adanya tindakan darurat - seperti masuk lebih Jauh ke dalam gua ini, misalnya."

Pete memandang ke belakang punggung Jupiter, ke arah pantai. "Kita harus masuk lebih dalam, Jup," katanya dengan suara tegang. "Ia kemari!"

"Aduh!" keluh Bob. "Bagaimana sekarang? Aku tidak ingin tercebur lagi ke dalam sumur tadi!"

Jupiter bergerak mundur, ke dinding gua.

"Lihatlah!" serunya dengan tiba-tiba.

Pada dinding gua nampak lapisan papan berderet-deret memanjang, sampai ke langit-langit. "Astaga!" kata Pete. "Kenapa kita tadi tidak melihatnya?"

"Karena tersamar lapisan pasir dan debu," kata Jupiter. Ia mengetuk-ngetuk papan berjejer itu. Terdengar bunyi bergaung.

"Rupanya di belakang papan penutup ini ada lorong tersembunyi," katanya. Ia mendorong-dorong papan. "Kelihatannya terpasang longgar- jadi bisa digeser. Coba kaulihat ke luar lagi sebentar, Pete, apakah penyelam tadi masih mengarah kemari."

Pete mengintip sebentar ke luar, lalu cepat-cepat mengendap lagi. "Bahaya menjadi berlipat dua," katanya dengan suara gemetar. "Sekarang mereka berdua."

"Berdua?" Kening Jupiter berkerut. "Kalau begitu, kita harus cepat-cepat. Tolong aku, menggeser papan-papan ini."

Mereka mendorong dan menarik-narik papan yang berjejer-jejer itu. "Percuma!" kata Bob. "Terlalu kokoh pemasangannya!"

Jupiter menggeleng.

"Tidak - pasti ada satu cara untuk menggesernya." Tiba-tiba ia tersenyum. "Ya, tentu saja! Aku ini yang tolol!"

Ditendangnya pasir longgar yang terhampar di sekitar deretan papan yang kelihatannya merupakan semacam pintu.

"Kita cuma perlu menggali sedikit saja. Gali pasir yang di sini, supaya longgar!"

Ketiga remaja itu berlutut lalu mulai menggali pasir dengan tangan mereka. Tiba-tiba pintu papan bergerak.

"Cukup!" kata Jupiter. "Sekarang, jika kita bisa menggerakkannya sampai cukup lebar, sehingga kita bisa menyusup masuk -"

Pintu papan kini dapat digerakkan dengan mudah, karena kakinya tidak lagi terganjal pasir. Bob dan Pete cepat-cepat menyusup masuk. Kini giliran Jupiter untuk menyusul.

Ia beringsut-ingsut, berusaha meloloskan tubuh lewat celah yang sempit. "Ti - tidak bisa," dengusnya. "Terlalu - gemuk!"

Bob dan Pete bergegas mengeduk pasir lagi, kini dari sisi di belakang papan. Pintu itu bergerak ke samping, dan dengan cepat Jupiter menyusup masuk.

"Jangan terlalu rapat menutupnya kembali," katanya berbisik. "Biar kita bisa mengintip ke luar."

Papan berat itu mereka geser lagi ke tempat semula. Tapi tidak sampai rata lagi dengan papan-papan yang bersebelahan.

Ketiga remaja itu masih berlutut di dalam rongga gelap itu, ketika kemudian terdengar orang bercakap-cakap.

Salah seorang penyelam yang masuk menyalakan senter.

"Aku yakin sekali, anak-anak tadi lari kemari, Harry. Coba kau tadi tidak roboh diterjang ombak, sehingga perhatianku terpaling sesaat!"

"Kita akan segera menemukan mereka, jika mereka memang masuk kemari," kata temannya yang rupanya bernama Harry. "Tapi jika tidak, kita bisa langsung mulai bekerja."

Anak-anak menahan napas, sementara penyelam yang pertama menyorotkan senternya, menerangi segala penjuru gua. Jupiter merapatkan mukanya ke celah di antara papan-papan yang memanjang ke atas. Ia melakukannya dalam posisi merangkak.

Bob dan Pete membungkuk di atasnya, ikut mengintip ke luar.

Kedua orang yang berpakaian selam itu berjalan semakin jauh ke dalam gua. Sinar senter semakin meredup, begitu pula bunyi langkah kaki mereka yang mengenakan sepatu renang.

Suara serak orang yang satu lagi terdengar menggema. Datangnya seperti dari dekat lubang tempat Bob tercebur tadi.

"Kurasa kau salah lihat tadi, Jack. Tidak ada siapa-siapa di sini!"

"Kalau begitu mereka rupanya lari ke atas lewat tangga yang satu lagi."

Terdengar bunyi berkecepak pelan. Setelah itu sunyi. Jupiter merangkak mundur. Ia tidak mendengar maupun melihat apa-apa lagi. Hidungnya gatal, karena kemasukan debu dan pasir. Jangan-jangan Bob dan Pete mengalami kesulitan serupa, katanya dalam hati. Kalau saat itu mereka sampai bersin - wah, gawat! "Tutup hidung kalian!" bisiknya. "Jangan sampai ada yang bersin."

Kedua temannya menuruti sarannya. Mereka menunggu dengan perasaan gugup. Ruangan gua di luar tetap gelap dan sunyi. Akhirnya Jupiter berdiri.

"Mereka sudah pergi," bisiknya. "Kita keluar sekarang, mumpung masih ada peluang."

Pasir digali lagi. Setelah itu dengan hati-hati mereka mendorong papan yang berat, sehingga tergeser sedikit.

"Kau dulu sekarang, Jupe," bisik Pete. "Kalau kau bisa lewat, kami berdua pasti juga bisa."

Jupiter menanggapi usul itu dengan senyuman.

Ketiga remaja itu menyusup kembali ke luar, memasuki ruang gua yang gelap. Mereka memasang telinga sejenak. Masih tetap tidak terdengar apa-apa di situ. Setelah itu mereka bergegas mengembalikan papan tadi ke tempatnya semula. Pasir yang digali ditimbunkan lagi ke dasarnya, sehingga papan itu tegak dengan kokoh seperti sebelumnya.

Kini Jupiter berdiri. Jantungnya berdebar-debar. Ia memandang arlojinya. "Sudah lebih dari tiga jam," bisiknya. "Hans pasti sudah menunggu di atas!"



Bab 9

PERINGATAN DARI HANTU

"NAH, bagaimana pendapatmu tentang kejadian tadi?" tanya Jupiter.

Saat itu sejam setelah mereka pulang, ikut truk kecil dengan mana Hans menjemput mereka lagi. Bob sudah lebih dulu pulang ke rumahnya, untuk mandi serta berganti pakaian. Dan itu memang perlu! Kini, hanya Pete dan Jupiter saja yang ada di kantor Trio Detektif.

Pete mengangkat bahu.

"Aku tidak bisa memahaminya. Aku tidak tahu siapa kedua penyelam itu, kecuali bahwa nama mereka masing-masing Harry dan Jack. Aku tidak mengerti, apa sebabnya Harry - atau mungkin juga itu Jack - membidikkan senapan tombaknya ke arah kita. Aku tidak tahu, kenapa mereka mengejar kita ke dalam gua. Aku tidak tahu ke mana mereka kemudian menghilang, dan dengan cara bagaimana. Aku bankan masih belum bisa mengerti, bagaimana kita bisa lolos dari sana dengan selamat."

Jupiter menarik-narik bibir bawahnya, lalu mengangguk. "Kalau ditambah lagi dengan kejadian robohnya tangga tebing secara aneh, jelaslah bahwa kita sudah menghadapi berbagai pertanyaan sebelum kita bisa mulai mengusut misteri hilangnya anjing Mr. Allen."

"Aku punya ide, yang mungkin bisa membantu kita," kata Pete.

"O ya?" Jupiter memutar kursinya. Minat besar terpancar dari matanya. "Apa idemu itu?" Pete menggerakkan tangannya ke arah pesawat telepon yang ada di meja.

"Kau menelepon Mr. Allen. Katakan padanya, kita tidak jadi mencarikan anjingnya yang hilang itu. Bilang padanya, kita sendiri tadi juga nyaris hilang. Katakan, kita ingin membatalkan tawaran bantuan kita padanya."

Saran itu sama sekali tak diacuhkan oleh Jupiter.

"Problem kita yang pertama ialah menyelidiki siapa sebenarnya kedua penyelam itu," katanya, "dan apa yang mereka lakukan di dalam gua."

Pete menggeleng.

"Apa peduli kita dengan kedua manusia kasar itu?" tukasnya. "Kita sendiri pun tadi juga masuk ke sana, dan aku sama sekali tidak tahu, untuk apa sebetulnya hal itu kita lakukan."

"Kita mencari tanda-tanda adanya naga yang diceritakan Mr. Allen," kata Jupiter. "Dan juga jejak anjing setter Irlandianya, Red Rover."

"Yah - tapi nyatanya tidak banyak yang kita jumpai di sana," tukas Pete. "Kecuali lubang tadi. Bob yang menemukannya untuk kita."

"Kita juga menemukan lorong yang tersembunyi di balik papan-papan tertutup," kata Jupiter.

"Mungkin itu lorong rahasia untuk masuk ke dalam gua. Atau bisa juga salah satu tempat penyembunyian rahasia, yang dulu dipakai para penyelundup."

"Apa hubungannya soal itu dengan kita," kata Pete berkeras. "Anjing Mr. Allen kan tidak ada di situ."

Kening Jupiter berkerut.

"Selaku penyelidik, kita harus kembali ke sana dan memeriksa gua itu dengan lebih cermat. Masa hal itu tidak kausadari sendiri?!"

"Ya, memang." Pete mengangguk, walau dengan sikap segan. "Aku cuma heran, apa sebabnya kedua penyelam itu tidak terjerumus ke dalam lubang yang ditemukan oleh Bob! Bukan­kah itu merupakan bukti bahwa mereka mengenal tempat itu?!"

"Itu bisa saja - tapi jangan lupa, mereka membawa senter," kata Jupiter. "Dan tentang bagaimana dan kenapa keduanya kemudian tahu-tahu lenyap - kurasa jika kita kembali ke sana dengan berbekal senter, mungkin kita akan -"

Saat itu telepon berdering, untuk kedua kalinya hari itu.

Pete dan Jupiter tidak bergerak. Hanya mata mereka saja yang menatap pesawat itu.

Telepon berdering sekali lagi.

"Terima dong," kata Pete.

"Baiklah." Jupiter meraih gagang telepon, lalu mendekatkannya ke kepala.

"Halo?" Lalu sekali lagi, "Halo?"

Didekatkannya alat komunikasi itu ke mikrofon, supaya Pete bisa mengikuti pembicaraan. Keduanya mendengar bunyi gemeresik. Tapi tidak ada yang berbicara.

"Halo?" kata Jupiter sekali lagi. Tetap saja tidak ada yang berbicara.

"Mungkin salah sambung," kata Pete. "Ku-kurasa tidak," kata Jupiter tergagap. "Coba dengar baik-baik!" Bunyi serak tadi terdengar lagi, seakan-akan suara orang yang berusaha menarik napas dengan susah payah. Kemudian bunyi napas itu berganti, menjadi suara orang yang sedang tercekik. Seakan-akan sudah sekarat!

"Jangan -" kata orang itu dengan sulit - lalu berkata lagi, seolah-olah dengan sisa-sisa suara yang masih ada, "Jangan - ke - mari." Kemudian menyusul lagi bunyi napas mendesah.

"Kemari - ke mana?" tanya Jupiter.

"Gua ... guaku," kata suara aneh itu. Terdengar lagi bunyi, seperti napas tersentak. Setelah itu - sunyi -

"Kenapa jangan?" tanya Jupiter. "Siapa yang bicara ini?" Suara yang menjawabnya menggaung.

"Orang... mati-," kata suara itu lambat-lambat, "- tidak ... suka ... bicara!"

Kata-kata itu disusul desahan panjang dan bergetar. Setelah itu sunyi lagi.

Jupiter mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Sesaat ia hanya menatap pesawat itu, tanpa mengatakan apa-apa. Pete juga begitu. Tapi tiba-tiba ia meloncat dari tempatnya duduk selama itu.

"Wah! - Untung teringat, malam ini kami makan agak lebih sore dari biasanya," katanya. "Aku pulang saja sekarang."

Jupiter ikut berdiri.

"Aku keluar juga, ah! Mungkin Bibi Mathilda memerlukan aku, untuk merapikan pekarangan." Kedua remaja itu bergegas ke luar. Mereka langsung memahami pesan suara yang menyeramkan tadi. Pesannya memang sederhana:

Jangan datangi guaku! Orang mati tidak suka bicara!

Mr. Allen bercerita tentang naga, yang masuk ke dalam gua. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa tentang orang mati - atau hantu!



Bab 10

MATINYA SEBUAH KOTA

SEMENTARA itu Bob sudah mandi dan berganti pakaian. Perasaannya sudah senang kembali saat ia tiba di perpustakaan umum kota Rocky Beach, di mana ia bekerja secara sambilan.

Miss Bennett, pengelola perpustakaan itu menoleh sambil tersenyum ketika Bob masuk.

"Wah, Bob," sapanya, "hari ini aku sungguh-sungguh senang melihat kau datang. Hari ini kita sangat sibuk. Banyak sekali orang datang, dan sekarang tentu saja banyak buku yang harus dikembalikan ke tempat masing-masing. Bisakah kau langsung mulai dengannya?"

"Tentu saja," jawab Bob.

Diambilnya setumpuk buku yang dikembalikan hari itu, lalu ditaruhnya satu demi satu ke tempat yang benar di rak. Setelah itu ia mendatangi meja-meja di ruang baca. Banyak buku dibiarkan tergeletak di situ. Semua dikumpulkan olehnya. Buku yang terletak paling atas berjudul Hikayat California. Iseng-iseng ia membalik-balik halaman buku itu. Salah satu babnya berjudul, "Seaside: Impian Kota yang Mati".

"Hmm," gumam Bob pada dirinya sendiri. "Ini mungkin menarik untuk diketahui."

Sambil merenung, disisihkannya buku itu. Setelah itu ia bergegas mengumpulkan buku-buku yang berserakan, supaya pekerjaannya lekas selesai. Ia sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat mendalami buku yang menarik itu.

Setelah selesai mengembalikan buku-buku yang dikumpulkannya, ia dipanggil oleh Miss Bennett, yang memintanya untuk membetulkan beberapa buku yang robek sampulnya. Buku-buku yang rusak itu dibawa ke ruang gudang yang ada di belakang, dan di situ ditambalnya dengan cellotape. Tidak lama kemudian sudah selesai segala tugas yang harus dilakukannya.

Bob kembali ke meja kerja Miss Bennett.

"Semua sudah beres, Miss Bennett. Masih ada sesuatu yang perlu saya pelajari sekarang, jadi jika tidak ada tugas lain -"

Miss Bennett menggeleng. Bob bergegas kembali ke ruang baca, menuju meja di mana buku tentang hikayat California tadi ditinggalkan olehnya. Saat itu barulah ia sadar bahwa ia sebenarnya tidak begitu tahu tentang Seaside. Begitu pula halnya dengan Jupe dan Pete. Yang jelas, mereka belum pernah mendengar bahwa kota itu mati!

Dengan cepat dibukanya buku itu, mencari bagian yang berisi uraian tentang kota Seaside. Karangan itu dimulai dengan kata-kata berikut:

Seperti halnya manusia, kota-kota ada juga yang dirundung kesialan. Impian kota kecil Seaside, yang ingin menjadi pusat pertetirahan, akhirnya terburai bagaikan asap, lima puluh tahun yang silam.

Gambaran kota yang cerah dan ramai, seperti dibayangkan para perencananya, dan untuk mana mereka telah mempertaruhkan seluruh harta mereka, tidak pernah menjelma menjadi kenyataan. Kanal-kanal dan terusan-terusan yang dibangun dengan penuh rasa seni untuk menimbulkan suasana seperti kota Vene­sia, sementara ini sudah ambruk dan digantikan oleh deretan pabrik. Hotel-hotel yang dulunya anggun, kini sudah ditutup. Ada pula yang digusur untuk memberi tempat bagi jalan bebas hambatan yang akan dibangun dengan lintasan utara-selatan. Kekecewaan yang mungkin paling dirasakan oleh kota Seaside adalah gagalnya rencana pembangunan rel kereta bawah tanah, yang kalau jadi dibangun akan merupakan yang pertama di pesisir barat. Pihak pemilik modal, maupun masyarakat umum bersikap dingin dalam menanggapi rencana pembangunan suatu sistem hubungan kilat, yang akan menghubungkan kawasan pantai kota Seaside dengan daerah bisnisnya, serta dengan kota-kota kecil lainnya yang berdekatan. Tanggapan dingin itu mengakibatkan jaringan hubungan bawah tanah tersebut tidak pernah selesai dibangun. Terowongan yang sudah dibangun sepanjang beberapa mil ditutup dan kini sudah dilupakan orang, suatu rahasia gang selalu menghantui, serta kenang-kenangan mahal tentang kota yang sudah mati sebelum sempat mengalami pertumbuhan.

"Wow!" kata Bob pada dirinya sendiri. Kini kota Seaside sudah lebih bermakna baginya. Kematian kota itu terjadi lebih dari lima puluh tahun yang lalu - karena buku yang dibaca merupakan terbitan beberapa tahun yang lewat. Jika ia tadi tidak secara kebetulan menemukannya, mungkin ia takkan mengetahui kisah kota kecil yang didatanginya tadi bersama Pete dan Jupiter.

Setelah mencatat beberapa fakta penting tentang Seaside, dikembalikannya buku itu ke tempatnya. Kemudian ia duduk lagi. Ia berpikir-pikir. Banyak yang perlu dilaporkan pada Jupiter. Tapi akhirnya ia memutuskan, bahwa itu bisa dilakukannya nanti, sehabis makan malam. Saat itu sudah hampir tiba. Dan Bob sudah lapar.

Ia meminta diri pada Miss Bennett, lalu bersepeda pulang. Sesampainya di rumah dilihatnya ibunya sedang sibuk memasak. Sedang Ayah membaca koran sambil mengisap pipa. Mr. Andrews menyambut kedatangan anaknya dengan senyuman.

"Hi, son," sapanya. "Kudengar kau tadi pulang berlumur lumpur begitu tebal, sehingga pakaian yang kaukenakan bisa dipakai untuk menguji kehebatan mesin cuci kita, seperti yang selalu dibangga-banggakan produsennya dalam siaran iklan."

"Betul, Ayah," kata Bob. "Aku tercebur ke dalam lubang. Mula-mula kukira yang ada di dalamnya pasir apung. Tapi ternyata lumpur dan air."

"Pasir apung? Sepanjang pengetahuanku, di sekitar sini sama sekali tidak terdapat pasir apung."

"Memang bukan di Rocky Beach," kata Bob. "Kejadiannya di Seaside. Kami sedang menangani suatu kasus, yang menyebabkan kami harus ke sana. Saat itu kami sedang memeriksa salah satu liang gua yang terdapat di situ."

Mr. Andrews mengangguk. Ia meletakkan surat kabarnya.

"Dulu liang-liang gua di sana itu bisa berarti kematian bagi yang berani masuk ke dalamnya. Waktu itu liang-liang gua di sekitar tempat yang bernama Haggity's Point, banyak yang dipakai penyelundup minuman keras. Dan sebelum itu, oleh bajak laut."

"Begitulah yang kudengar," kata Bob mengiakan. "Dan ketika di perpustakaan tadi, aku secara kebetulan menemukan sebuah buku tentang hikayat California. Isinya antara lain karangan tentang Seaside, yang dikatakan merupakan kota yang sudah mati sebelum sempat tumbuh. Ayah tahu itu?"

Ayah Bob wartawan. Ia kelihatannya memiliki gudang rahasia dalam kepalanya, berisi segala macam hal yang perlu diketahui. Ia mengangguk.

"Banyak orang yang kehilangan harta dan bangkrut, karena keliru berspekulasi tentang kota itu. Setelah terjadi kebakaran hebat di taman hiburan, kota itu seakan-akan tidak hentinya dirundung nasib malang."

"Tapi kelihatannya lumayan, Ayah," kata Bob. "Besarnya kurang lebih sama dengan kota Rocky Beach kita ini."

Mr. Andrews tersenyum.

"Sejak itu, Seaside mempunyai waktu lima puluhan tahun untuk membangun kembali, dan kini sudah menjadi kota yang sibuk dan berkembang terus. Tapi tidak dalam wujud yang semula diniatkan, yaitu pusat pertetirahan. Seka­rang Seaside seperti kota lain-lainnya juga, tempat pemukiman dan mencari nafkah."

"Dasar nasib sial," kata Bob. "Menurut yang kubaca tadi, mereka bahkan sudah sempat mulai membangun jaringan kereta bawah tanah - tapi tidak pernah diselesaikan."

Mr. Andrews mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Keputusan yang menyangkut hal itu menyebabkan kematian salah seorang tokoh perintis perencanaan kota Seaside. Ia bunuh diri, setelah seluruh hartanya habis, karena dilibatkan dalam usaha membangun jaringan perhubungan bawah tanah itu." Mr. Andrews mengerutkan kening, sambil menyedot pipanya. "Aku tidak ingat namanya sekarang - tapi orang itu merupakan tokoh besar, dengan idam-idaman muluk. Sebenarnya jika cukup banyak orang mau mengikuti keyakinan dan semangatnya, mungkin saja Seaside bisa menjadi kota idam-idamannya - yaitu kota santai yang paling besar."

Saat itu Mrs. Andrews datang menyela dengan suara tegas,

"Makan malam sudah siap."

Bob sebenarnya masih ingin mendengar lebih banyak lagi. Tapi ayahnya sudah berdiri, lalu berjalan ke meja makan. Bob menyusul, lalu duduk. Banyak yang perlu diketahui oleh Jupiter, katanya dalam hati.

*

Kalau menurutku, kita lupakan saja anjing Mr. Allen yang hilang," kata Pete, menyatakan pendapatnya dengan tegas. "Urusannya bagi dia mungkin cuma binatang kesayangan yang hilang. Tapi bagiku, itu juga melibatkan naga, serta dua penyelam bertampang galak dan bersenjata senapan tombak, dan yang tidak suka pada anak-anak. Belum lagi lubang berlumpur yang menyedot orang ke dalamnya, serta tangga yang ambruk begitu orang lari menuruninya. Ditambah lagi entah apa yang menelepon untuk memberi peringatan pada kita agar menjauhi guanya. Bagiku, itu merupakan nasihat yang perlu dituruti - apalagi karena yang mengatakan begitu orang mati!"

Mata Bob langsung membesar.

"Apa maksudmu?"

Saat itu satu jam setelah saat makan malam. Anak-anak berkumpul lagi di dalam kantor Trio Detektif, untuk membicarakan rencana selanjutnya.

"Tadi, setelah kau pulang untuk mandi dan berganti pakaian," kata Jupiter menjelaskan, "kami mendapat peringatan yang misterius, lewat telepon." Ia mengulangi peringatan itu, kata demi kata.

"Kedengarannya seperti ada yang hendak mempermainkan kita," kata Bob kemudian. "Tapi jika bukan begitu, maka ada seseorang yang hendak mengatakan pada kita, bahwa kedatangan kita ke gua itu tidak diingini."

Air muka Jupiter kini menampakkan sifat keras kepalanya.

"Kita belum melihat apa-apa tentang naga misterius itu," katanya. "Kuusulkan kita kembali ke sana malam ini juga, untuk meneliti sekali lagi."

"Kita adakan pemungutan suara mengenainya," kata Pete buru-buru. "Aku mengusulkan agar kita batalkan saja kasus itu. Siapa yang setuju? Yang setuju, bilang, 'ya'!"

"Ya, ya, ya!" Kata itu diulang-ulang dengan suara melengking oleh Blackbeard, burung yang pandai bicara dari dalam sangkarnya yang tergantung di dekat meja kantor Trio Detektif.

"Diam!" bentak Pete. "Kau bukan anggota resmi perkumpulan ini. Kau cuma diizinkan tinggal di sini."

"Orang mati tidak suka bicara!" teriak Black-beard, lalu tertawa terkekeh-kekeh.

Bob menoleh ke arah Jupiter.

"Mungkin dia yang kalian dengar tadi," katanya.

"Blackbeard!" Jupiter menggeleng. "Bukan, Bob. Yang berbicara tadi seseorang - atau sesuatu - yang terdengar sulit bernapas dan berbicara. Jika suara itu disengaja, untuk menimbulkan kesan seolah-olah yang berbicara itu orang dalam keadaan sekarat - atau bahkan hantu - efeknya benar-benar meyakinkan. Pokoknya menyeramkan. Ya kan, Pete?"

"Tidak lebih menyeramkan dari lain-lainnya yang sudah terjadi selama ini," kata Pete sambil mengangkat bahu. Ia menyingkapkan rambutnya ke belakang. "Jika rambutku belum putih sekarang, mungkin besok!"

Jupiter tertawa nyengir.

"Ah - kau tidak lebih takut daripada kami, Pete. Kau cuma berlagak takut saja."

"Taruhan?" kata Pete menantang. Jupiter tidak menanggapinya. Ia meraih gagang telepon.

"Aku mau bertaruh, jika Worthington sebentar lagi datang dengan Rolls-Royce untuk menjemput kita, kau pasti ingin ikut," katanya.

*

Tidak sampai sejam kemudian, Pete sudah memandang ke luar, dari balik jendela mobil kuno itu, yang kelihatan mewah karena bagian-bagiannya yang terbuat dari logam dilapisi emas. Kendaraan itu meluncur dengan suara lembut menyusur Pacific Coast Highway, menuju daerah pinggiran kota Seaside. Pengemudinya Worthing-ton, sopir berkebanggaan Inggris yang jangkung dan selalu sopan. Ia menjalankan Rolls-Royce itu dengan trampil, seperti biasanya.

"Kadang-kadang ada perasaan menyesal dalam hatiku, kenapa kau memenangkan hak pemakaian mobil ini dalam sayembara waktu itu, Jupe," kata Pete setengah mengeluh. "Itu jika kuingat, ke dalam bahaya mana saja kita terjerumus dengannya."

"Jangan kaulupakan, juga untuk meloloskan diri," kata Bob mengingatkan. "Dan ketika hak kita untuk menggunakannya selama tiga puluh hari habis, kuingat kau pun tidak bisa bergembira."

Pada saat yang kritis itu mereka sedang membantu seorang remaja Inggris yang mengalami kesulitan. Kemudian remaja itu membalas jasa. Ia mengatur urusan keuangan yang diperlukan, sehingga Trio Detektif dapat terus menikmati hak penggunaan mobil mewah itu, termasuk sopirnya, Worthington.

Pete merebahkan punggungnya ke sandaran bangku yang berlapis kulit. Ia tersenyum.

"Harus kuakui, ini lebih nikmat daripada membonceng truk. Apalagi jika dibandingkan dengan berjalan kaki."

Jupiter sudah memberi petunjuk mengenai jalan-jalan yang harus diambil untuk keluar dari jalan raya bebas hambatan, menuju jalan kecil di tepi tebing yang menaungi daerah pantai Seaside. Kini ia menepuk bahu Worthington.

"Sampai di sini saja, Worthington," katanya. "Anda menunggu kami di sini, ya."

"Baik, Master Jones," jawab sopir Inggris itu. Mobil Rolls-Royce besar,dengan lampu depan model kunonya yang besar dan terang berhenti di pinggir jalan.

Ketiga remaja penumpangnya bergegas turun. Jupiter mengambil peralatan yang mereka bawa.

"Senter, kamera foto, dan alat perekam suara," katanya sambil meneliti. "Sekarang kita sudah siap menghadapi keadaan yang bagaimanapun - serta merekamnya."

Ia menyerahkan alat perekam suara pada Bob. "Ini, Bob - untuk merekam suara naga, atau suara hantu yang sulit bernapas dan berbicara."

Pete mengambil satu dari ketiga senter yang dibawa. Jupe meraih gulungan tali, lalu menyandangkannya ke bahu.

"Untuk apa itu kaubawa Jupe?" tanya Pete.

"Tidak ada jeleknya, berjaga-jaga," kata Jupiter. "Tali ini dari bahan plastik yang kuat, dan panjangnya seratus meter. Dengannya kita nanti bisa menuruni tebing, jika tangga-tangga lainnya ternyata juga sudah diutik-utik."

Mereka menyusuri jalan yang sepi dan gelap itu. Jupiter yang paling depan. Ia menuju ke tangga, lewat mana ia hendak mengajak teman-temannya turun ke pantai. Tangga itu beberapa meter lebih jauh dari tangga yang roboh ketika sedang mereka turuni pagi itu.

Ketiga remaja itu berhenti sebentar di bibir tebing, lalu memandang ke bawah. Pantai nampak lengang saat itu. Bulan yang belum lama muncul di langit nampak meremang di balik lapisan awan tipis. Desisan lembut ombak samudra yang menyapu pasir pantai di bawah, sekali-sekali digantikan deru gelombang besar yang memecah agak jauh sedikit ke tengah.

Pete membasahi bibir dengan sikap gugup. Ia memegang sandaran tangga yang sudah tua. Ia tegak tanpa bergerak sejenak, sambil memasang telinga. Bob dan Jupiter juga melakukannya.

Tapi yang terdengar hanya bunyi ombak samar-samar, serta detak jantung mereka sendiri. "Nah - mudah-mudahan saja selamat," kata Pete dengan perasaan tegang.

Sementara ketiga remaja itu mulai melangkah turun, mereka serasa mendengar deru ombak samudra bertambah nyaring. Seakan-akan tidak sabar lagi menanti kedatangan mereka!


Lanjut ke bagian 2