Trio Detektif - Misteri Jejak Bernyala(1)


TRIO DETEKTIF MISTERI JEJAK BERNYALA
Alihbahasa: Agus Setiadi
Penerbit: PT. Gramedia, Agustus 1985
Edit & Convert: inzomnia

 
PESAN ALFRED HITCHCOCK
AGAK kikuk juga, memperkenalkan orang yang sudah dikenal.
Jadi pembaca yang sudah tahu siapa Trio Detektif, tidak perlu
lagi membaca pendahuluan ini. Terus saja mulai dengan Bab 1,
saat petualangan dimulai.
Tapi bagi yang baru sekarang akan berjumpa dengan Jupiter
Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews, tidak ada jeleknya
jika pada kesempatan ini kupaparkan sedikit penjelasan
tentang ketiga remaja yang luar biasa itu.
Pembicaraan tentang Trio Detektif selalu dimulai dengan
Jupiter Jones. Ia ini remaja yang bertubuh - yah, katakanlah,
montok! Tapi jangan diremehkan, karena otaknya sangat
cerdas: Ia tidak segan-segan mengatakan bahwa ialah
pemimpin tiga sekawan itu. Ialah penyelidik pertama Trio
Detektif - dan menurut pendapat sementara orang, ia pulalah
'perusuh nomor wahid' di antara mereka bertiga. Dalam
kegiatannya, Jupiter - atau Jupe, untuk teman-teman dekatnya
- dibantu oleh Pete Crenshaw. Remaja ini bertubuh kekar, tapi
ia selalu berusaha menghindar dari segala jenis bahaya - kalau
bisa! Tapi keinginannya ini sering terpaksa ditekan, jika ada
kasus yang ingin diselidiki oleh Jupiter. Anggota Trio Detektif
yang ketiga bernama Bob Andrews. Anaknya tenang, dan lebih
cenderung menggemari ilmu pengetahuan. Dalam waktu
senggangnya ia bekerja di perpustakaan kota Rocky Beach.
Pekerjaannya itu menyebabkan Trio Detektif bisa dengan
cepat memperoleh informasi yang bisa diandalkan, tentang soal
apa saja.
Ketiga remaja ini tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di
pesisir Samudra Pasifik. Letaknya tidak begitu jauh dari
Hollywood, kota pusat perfilman di negara bagian California, di
wilayah barat Amerika Serikat. Bob Andrews dan Pete
Crenshaw tinggal di rumah orang tua masing-masing. Tapi
Jupiter Jones sudah kehilangan orang tuanya ketika ia masih
kecil sekali. Karenanya ia kini tinggal bersama paman dan
bibinya, Paman Titus dan Bibi Mathilda. Mereka menjadi
pengganti orang tuanya. Jupiter membantu mereka mengelola
usaha perjualbelian barang bekas yang paling rapi
pengaturannya di kawasan itu, yaitu The Jones Salvage Yard.
Tapi kadang-kadang Jupiter agak melalaikan tugas-tugasnya di
perusahaan itu, jika ada urusan lain yang lebih mengasyikkan
dan dianggapnya perlu ditangani - misalnya saja urusan yang
menyangkut orang yang menyendiri dan dikenal dengan julukan
"Potter"; begitu pula beberapa orang yang kebingungan, yang
semula ingin menikmati liburan musim panas yang
menyenangkan di Rocky Beach, tapi kemudian menyadari bahwa
mereka menempati sebuah rumah berhantu. Hantu yang
gentayangan tanpa sepatu!
Atau jangan-jangan ada lagi makhluk yang lebih menyeramkan,
yang menghantui tempat itu?
Satu sudah dapat kukatakan di sini: apa pun misteri yang
dihadapi, Jupiter Jones beserta kedua sahabatnya pasti akan
mampu menanganinya sampai tuntas.
Nah - rasanya cukup sekian saja pendahuluan ini, dan sekarang
nikmatilah kisah petualangan mereka bertiga!
ALFRED HITCHCOCK

Bab 1
DATANG - DAN MENGHILANG
JUPITER mendengar bunyi truk membelok dari jalan raya.
Tidak mungkin keliru - yang datang pasti Potter. Saat itu Jupe
sedang meratakan kerikil putih yang terhampar dijalan masuk
Jones Salvage Yard dengan penggaruk. Ia berhenti bekerja,
lalu memasang telinga. "Ia menuju kemari," katanya kemudian.
Bibi Mathilda ada di dekatnya. Wanita setengah umur itu
sedang menyirami tumbuhan geranium yang ditanamnya di
sepanjang tepi jalan masuk itu. Bibi Mathilda memutar sendi
penyemprot pada pipa yang dipegangnya, sehingga air berhenti
mengalir. Ia memandang ke arah ruas jalan pendek yang
menghubungkan tempat itu dengan jalan raya.
"Mau apa ia kemari?" ucapnya dengan nada heran.
Truk tua yang datang bergerak dengan susah payah, menyusuri
jalan penghubung antara jalan raya dengan tempat
perdagangan barang-barang bekas milik paman dan bibi
Jupiter. Padahal jalan itu hanya sedikit saja menanjak. "Takkan
mungkin bisa," kata Bibi Mathilda.
Jupiter meringis. Orang yang di kota Rocky Beach hanya
dikenal dengan julukan Potter - 'Pembuat Tembikar' sudah
biasa menyebabkan timbulnya kegelisahan pada diri bibinya itu.
Setiap Sabtu pagi, Potter selalu datang ke kota dengan
truknya yang sudah tua dan reyot, untuk membeli bekal yang
diperlukannya selama seminggu. Bibi Mathilda sering sedang
berada di pasar kota, saat truk itu memasuki tempat parkir di
situ, diiringi bunyi mesin yang terbatuk-batuk. Melihat hal itu
Bibi Mathilda selalu merasa yakin bahwa kendaraan bobrok
yang dikemudikan Potter pasti nanti takkan mampu mendaki
jalan menanjak, kembali ke jalan raya. Tapi Bibi Mathilda selalu
salah tebak.
Sabtu ini pun begitu. Truk reyot itu sampai di ujung jalan yang
agak menanjak itu dengan uap mengepul-ngepul dari
radiatornya. Potter melambai, sambil membelokkan
kendaraannya di tikungan, memasuki perusahaan barang-barang
bekas itu. Jupiter bergegas meloncat ke pinggir, sementara
truk lewat di dekatnya, lalu berhenti dengan bunyi mendesah,
seperti kehabisan tenaga, tidak jauh dari gerbang masuk.
"Halo, Jupiter!" seru orang itu. "Apa kabar? Dan Anda, Mrs.
Jones - Anda nampak begitu berseri, pagi hari bulan Juni ini!"
Potter turun dengan lincah dari kabin truknya. Jubahnya yang
putih mulus melambai-lambai di sekeliling tubuhnya.
Bibi Mathilda agak bimbang mengenai pendapatnya tentang
orang itu. Memang - Potter merupakan salah seorang pengrajin
yang paling trampil, di kawasan pesisir barat. Orang-orang dari
tempat-tempat jauh, seperti San Diego di selatan, dan Santa
Barbara di utara, mendatangi Potter untuk membeli pot kendi,
guci, dan jambangan bunga buatannya, yang indah-indah. Bibi
Mathilda mengagumi ketrampilan membuat benda-benda
kerajinan tangan yang indah. Tapi ia juga berkeyakinan bahwa
semua manusia yang tergolong jenis lelaki harus memakai
celana panjang.
Dan jubah yang dipakai oleh Potter, mengusik perasaan Bibi
Mathilda mengenai kepatutan. Demikian pula halnya dengan
rambut putih orang itu, yang dibiarkan tumbuh panjang, serta
jenggotnya yang selalu tersisir rapi. Belum lagi medalion dari
keramik, yang digantungkan dengan tali kulit ke lehernya.
Medalion itu dihiasi gambar rajawali berwarna merah menyala,
dengan kepala kembar. Menurut Bibi Mathilda, rajawali
seharusnya cukup jika satu saja kepalanya. Rajawali berkepala
dua merupakan suatu keanehan selera Potter lagi.
Kini Bibi Mathilda memandang ke arah kaki orang itu, dengan
tatapan mata tidak senang. Seperti biasanya, Potter tidak
memakai sepatu.
"Awas - nanti menginjak paku!" kata Bibi Mathilda
memperingatkan.
Potter tertawa.
"Aku tidak pernah menginjak paku, Mrs. Jones," katanya.
"Anda kan juga tahu, itu tak pernah terjadi! Tapi hari ini aku
memerlukan bantuan kalian. Aku sedang menunggu -"
Ia tertegun. Matanya menatap ke arah pondok, yang
merupakan kantor Jones Salvage Yard. "Apa itu?" tanyanya.
"Eh-Anda baru sekarang ini melihatnya?" seru Bibi Mathilda.
"Padahal sudah tidak baru lagi - sudah berbulan-bulan." Ia
mengambil sebuah papan yang dipasang dalam bingkai dari       
dinding kantor, lalu menyodorkannya pada Potter. Pada papan
di balik kaca itu tertempel sejumlah gambar foto berwarna,
dengan teks di bawahnya. Gambar-gambar itu digunting dari
majalah. Satu di antaranya menampakkan bagian depan Jones
Salvage Yard. Dalam foto itu nampak Paman Titus yang sedang
berpose dengan sikap gagah, di depan pagar kayu yang
mengelilingi perusahaannya. Pagar kayu itu dihiasi dengan
gambar sebuah kapal layar yang sedang mengarungi laut hijau
yang berombak besar. Gambar itu dibuat oleh sejumlah
seniman dari Rocky Beach. Dalam foto itu nampak jelas seekor
ikan aneh yang menyembulkan kepala di tengah ombak,
memandang ke arah kapal.
Di bawah gambar foto perusahaan barang bekas milik Paman
Titus, terpasang foto Mr. Dingler, pengrajin perak yang
bekerja di sanggarnya yang kecil di Rocky Beach. Foto lainnya
menampakkan Hans Jorgenson, seorang pelukis. Ia difoto saat
sedang membuat pemandangan laut. Lalu ada pula foto Potter.
Foto orang tua itu dibuat dari jarak dekat, saat ia sedang
melangkah keluar dari pasar. Jenggotnya nampak berkilat kena
sinar matahari. Medalionnya, dengan hiasan rajawali berkepala
dua, nampak jelas sekali dengan latar belakang jubahnya yang
putih. Potter sedang membawa belanjaan, yang ditaruh di
dalam sebuah kantung kertas. Teks di bawah foto itu
menyatakan bahwa penduduk Rocky Beach merasa biasa saja,
jika teman sekota mereka dari golongan seniman cenderung
untuk berbusana lain dari yang lain.
"Masa Anda tidak mengenal foto-foto ini," kata Bibi Mathilda
lagi. "Ini kan dari majalah Westways, yang beberapa waktu     
yang lalu memuat laporan dengan foto-foto, mengenai seniman seniman
yang tinggal di kota-kota pantai!"
"Aku tidak tahu apa-apa tentang itu," kata Potter. Keningnya
berkerut. "Aku cuma ingat, dulu pernah ada seorang pria muda
datang, membawa kamera foto. Aku tidak begitu
memperhatikan dirinya. Soalnya, begitu banyak wisatawan yang
datang, dan semua rasanya seperti membawa-bawa kamera.
Asal saja..."
"Asal apa, Mr. Potter?" tanya Bibi Mathilda.
"Ah - tidak apa-apa," kata Potter. "Sudah terlanjur sekarang."
Ia berpaling, lalu memegang bahu Jupiter. "Aku ingin melihatlihat
daganganmu, Jupiter," katanya. "Aku akan kedatangan
tamu - dan aku khawatir mereka akan menganggap rumahku
agak... yah, katakanlah agak kosong."
"Anda akan kedatangan tamu?" kata Bibi Mathilda, mengulangi
ucapan orang itu. "Wah, wah!"
Walau Potter selalu riang dan ramah-tamah, tapi
sepengetahuan orang-orang yang mengenalnya di Rocky Beach,
ia tidak punya teman dekat. Jupiter bisa menduga, bibinya
pasti bertanya-tanya dalam hati, siapakah tamu laki-laki tua
itu, yang akan datang berkunjung. Tapi Bibi Mathilda tidak
menanyakannya. Ia menyuruh Jupiter untuk mengantar Potter
melihat-lihat.
"Pamanmu paling cepat baru sejam lagi kembali dari Los
Angeles," katanya, lalu bergegas pergi untuk menutup keran air
yang dari tadi masih terbuka.
Jupiter sama sekali tidak berkeberatan, mengantar Potter
melihat-lihat. Bibi Mathilda boleh saja merasa sangsi mengenai
sikapnya terhadap laki-laki tua itu, tapi Jupe jelas suka     
padanya. Jupiter memang berwatak toleran. Menurut
pendapatnya, apa salahnya jika Potter suka bertelanjang kaki
serta memakai jubah putih. Itu kan urusannya sendiri!
"Pertama-tama, aku memerlukan dua buah tempat tidur," kata
Potter.
"Yes, Sir," kata Jupiter.
Jones Salvage Yard merupakan perusahaan barang-barang
bekas yang sangat rapi pengaturannya. Mengingat peranan Bibi
Mathilda di situ, sukar rasanya membayangkan keadaan yang
lain dari rapi. Jupe mengajak Potter ke gudang tempat
menaruh perabotan bekas, supaya jangan terserang
kelembaban yang datang dari arah laut. Di situ ada sejumlah
meja tulis, meja biasa, kursi, dan tempat tidur. Di antaranya
ada yang sudah rusak atau bahkan patah. Maklumlah, barang
bekas yang sudah bertahun-tahun dipakai dengan segala macam
cara. Tapi ada juga yang sudah dipelitur atau dicat lagi oleh
Jupe, atau oleh Paman Titus, begitu pula oleh Hans dan Konrad.
Mereka berdua ini pemuda asal Jerman, yang bekerja sebagai
pembantu di perusahaan itu.
Potter melihat-lihat kumpulan tempat tidur yang ditaruh
bertumpuk-tumpuk dekat dinding gudang. Ia bercerita pada
Jupe bahwa ia sudah membeli kasur. Tapi ia merasa bahwa
kasur saja memberikan kesan pembaringan darurat, kalau tidak
dilengkapi dengan tempat tidur yang kokoh.
Jupiter tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya.
"Tamu Anda itu akan lama tinggal di tempat Anda, Mr. Potter?"
tanyanya.
"Belum tahu, Jupiter," jawab laki-laki tua itu. "Kita lihat saja
nanti! Nah - sekarang bagaimana pendapatmu, kalau aku     
memilih tempat tidur dari kuningan itu - yang di bagian
kepalanya dihiasi dengan ukir-ukiran?" "Kuno sekali
kelihatannya," jawab Jupiter agak sangsi.
"Pendapatku juga begitu," kata Potter. "Tapi siapa tahu -
mungkin tamuku itu ternyata menyukai gaya yang begitu."
Diangkatnya bagian kepala tempat tidur itu, lalu diguncangguncangnya
sebentar. "Berat dan kokoh," katanya
mengomentari. "Barang seperti ini, sekarang tidak dibuat lagi.
Berapa?"
Jupiter merasa heran. Tempat tidur itu berasal dari sebuah
rumah tua, di daerah pegunungan yang mengelilingi Hollywood.
Paman Titus baru saja membelinya satu minggu sebelumnya.
Dan ia tidak tahu, berapa harga yang akan diminta pamannya.
"Biarlah," kata Potter, ketika melihat Jupiter ragu-ragu, "aku
tidak perlu sekarang ini juga mengetahui harganya. Tapi tolong
sisihkan dulu - nanti akan kutanyakan pada pamanmu, jika ia
sudah kembali." Laki-laki tua itu memandang berkeliling.
"Aku masih memerlukan satu tempat tidur lagi," katanya pada
Jupe. "Untuk anak laki-laki, yang umurnya sebaya denganmu.
Jika kau hendak membeli tempat tidur, kau pilih yang mana,
Jupiter?"
Kini Jupiter tidak menampakkan kesangsian lagi. Dengan segera
ditariknya sebuah tempat tidur dari kayu yang dicat putih,
dengan rak buku di bagian kepala.
"Jika anak itu gemar membaca, rasanya ini paling cocok
untuknya," katanya pada Potter. "Kayunya memang bukan dari
jenis yang terbaik - tapi sudah dicat oleh Hans, setelah
diamplas dulu sebelumnya. Menurutku, sekarang kelihatannya     
malah lebih bagus, dibandingkan dengan keadaannya sewaktu
masih baru."
"Bagus! Kurasa ini memang cocok!" kata Potter dengan gembira.
"Dan jika anak itu tidak suka membaca sambil berbaringbaring,
ia bisa saja menaruh koleksinya di rak ini."
"Koleksi?" tanya Jupiter ingin tahu.
"Ya, koleksi! Ia pasti mempunyai koleksi," balas Potter. "Anak
laki-laki kan biasanya mempunyai koleksi? Kumpulan apa saja -
kulit kerang, atau perangko, atau batu-batuan, atau tutup
botol! Pokoknya, koleksi!"
Jupiter hampir saja hendak mengatakan bahwa ia tidak
mengumpulkan apa-apa. Tapi ia lantas teringat pada markas,
karavan usang yang disembunyikan letaknya di bawah tumpukan
barang bekas, di bagian belakang Jones Salvage Yard. Jupiter
sadar bahwa ia pun sebenarnya juga memiliki koleksi, yaitu
kumpulan catatan tentang segala kasus yang berhasil diselidiki
oleh Trio Detektif. Semua catatan itu disimpan di dalam
karavan itu, teratur rapi dalam berbagai map.
"Memang, Mr. Potter - kurasa anak laki-laki semuanya memang
mempunyai koleksi," katanya. "Masih ada lagi yang Anda
perlukan pagi ini?"
Potter nampaknya tidak tahu pasti apa lagi yang masih
diperlukannya, setelah urusan tempat tidur beres.
"Perabotan di rumahku tidak banyak," katanya terus terang.
"Kurasa ada baiknya, jika aku menambahnya dengan dua kursi
lagi."
"Kursi di rumah Anda sekarang ada berapa, Mr. Potter?" tanya
Jupiter dengan sopan.     
"Satu," kata laki-laki tua itu. "Selama ini aku cuma memerlukan
satu kursi saja. Aku tidak mau hidupku direpotkan dengan
barang-barang yang tidak kuperlukan."
Tanpa mengatakan apa-apa, Jupiter menghampiri tumpukan
kursi yang terdapat di sisi kanan gudang, lalu memilih dua di
antaranya, yang bersandaran lurus. Diletakkannya kedua kursi
itu di hadapan pembelinya.
"Bagaimana dengan meja?" katanya menawarkan. Potter
menggeleng.
"Kalau meja, aku sudah punya," katanya. "Tapi itu, Jupiter -
barang yang namanya televisi - kudengar benda itu sangat
disenangi orang. Mungkin kedua tamuku suka menonton televisi!
Kalau di sini ada -"
"Tidak, Mr. Potter," Jupiter memotong dengan segera.
"Pesawat televisi yang sampai di sini, biasanya cuma bisa kami
ambil beberapa suku cadangnya saja. Jika ingin punya pesawat
televisi, kenapa tidak beli saja yang baru?"
Potter nampak bimbang.
"Pesawat baru ada jaminannya," kata Jupiter menjelaskan.
"Jika rusak, bisa dikembalikan ke toko, untuk dibetulkan."
"Begitu ya! Yah - kau pasti benar, Jupiter. Tapi untuk
sementara sudah cukuplah sepasang tempat tidur serta kedua
kursi ini. Setelah itu -"
Potter tidak melanjutkan kalimatnya, karena saat itu
terdengar bunyi tuter mobil yang nyaring berulang-ulang di
luar, di pekarangan.
Jupiter melangkah ke pintu gudang tempat penimbunan
perabot rumah tangga itu, diikuti Potter. Mereka melihat
sebuah mobil Cadillac hitam berkilat. Mobil itu berhenti dijalan     
masuk, dekat sekali di belakang truk tua milik Potter. Tutter
mobil besar itu dibunyikan lagi. Pengemudinya turun,
memandang berkeliling dengan sikap tidak sabar, lalu menuju
ke kantor Jones Salvage Yard.
Jupiter bergegas menyongsong orang itu.
"Bisakah saya membantu?" serunya.
Laki-laki yang baru datang itu berhenti. Ditunggunya sampai
Jupiter dan Potter sudah berada di dekatnya. Jupiter
menaksir penampilan orang itu. Air mukanya tidak
menampakkan gerak perasaan, katanya dalam hati. Wataknya
pasti sangat tertutup! Orang yang baru datang itu jangkung,
langsing, dan belum begitu tua, walau rambutnya yang berwarna
gelap dan ikal, sudah menampakkan uban di sana-sini.
"Anda memerlukan sesuatu, barangkali?" tanya Jupiter.
"Aku mencari Hilltop House," kata orang itu. "Aku tadi rupanya
salah membelok, ketika keluar dari jalan raya." Ia berbicara
dengan bahasa Inggris yang rapi, menunjukkan bahwa ia orang
Eropa yang terpelajar.
"Rumah itu sekitar satu mil di sebelah utara dari sini," kata
Jupiter. "Anda kembali dulu ke jalan raya, dan di situ
membelok ke kanan. Lalu terus saja, sampai terlihat rumah
Potter. Terus sedikit lagi, lalu akan terlihat jalan yang menuju
ke Hilltop House. Tidak mungkin terlewat, karena di situ ada
pintu pagar kayu yang digembok."
Orang itu menganggukkan kepalanya sedikit sebagai ganti
ucapan terima kasih, lalu kembali ke mobilnya. Saat itu barulah
Jupiter menyadari bahwa di dalam mobil itu masih ada
seseorang lagi. Orang itu bertubuh agak gempal. Ia duduk
tanpa bergerak sedikit pun, di bangku belakang. Kini ia     
menyentuh bahu orang yang mengemudi, lalu mengatakan
sesuatu dalam bahasa asing. Jupiter tidak mengenal bahasa itu.
Orang yang duduk di belakang itu tidak bisa diduga umurnya.
Tidak tua, tidak muda - setengah umur juga tidak! Ia
menampakkan kesan seperti tak berumur. Setelah sesaat
barulah Jupiter menyadari penyebabnya. Kepala orang itu sama
sekali tak berambut. Botak, sampai alisnya - itu kalau ia pernah
punya alis. Sedang kulitnya cokelat mengkilat, mirip kulit yang
disamak halus.
Orang yang seperti tak berumur itu memandang sekilas ke
arah Jupiter. Setelah itu diarahkannya tatapan matanya yang
agak sipit pada Potter, yang selama itu berdiri tanpa berkata
apa-apa di samping Jupiter. Potter mendesis pelan. Jupiter
menoleh dengan cepat ke arahnya. Dilihatnya laki-laki tua itu
menelengkan kepalanya agak ke samping, seperti sedang
mendengarkan dengan seksama. Tangan kanannya bergerak ke
atas, lalu memegang medalion yang tergantung pada tali kulit
yang melilit lehernya.
Laki-laki tak beralis yang duduk di dalam mobil menyandarkan
tubuhnya ke belakang, sementara kendaraan itu bergerak
mundur, keluar dari jalan masuk. Di seberang jalan yang
melintas di depan perusahaan, Bibi Mathilda keluar dari
rumahnya. Ia sempat melihat mobil Cadillac yang besar itu
lewat melaju ke arah jalan raya lagi.
Potter menjamah lengan Jupiter.
"Nak," katanya, "tolong mintakan air minum pada bibimu, ya?
Aku tahu-tahu merasa pusing." Laki-laki tua itu terhenyak,
duduk di atas tumpukan kayu. Ia memang nampak seperti sakit.
"Akan segera kuambilkan, Mr. Potter," kata Jupiter, lalu     
bergegas ke seberang jalan. "Siapa orang-orang itu tadi?"
tanya Bibi Mathilda, ketika Jupiter sudah ada di dekatnya.
"Mereka mencari Hilltop House," kata Jupiter. Ia pergi ke
dapur. Diambilnya botol berisi air yang selalu disediakan oleh
bibinya dalam lemari es, lalu dituangkannya ke dalam gelas.
"Aneh," kata Bibi Mathilda, yang mengikutinya masuk ke dapur.
"Hilltop House itu kan sudah sejak bertahun-tahun kosong,
tidak ada penghuninya lagi."
"Ya, aku tahu," kata Jupiter. Ia bergegas keluar, membawa
gelas berisi air. Tapi ketika tiba di pekarangan tempat
penimbunan barang bekas, dilihatnya Potter tidak ada lagi di
situ.

Bab 2
PENGGELEDAHAN
TRUK bobrok milik Potter masih ada di jalan masuk, ketika
Paman Titus kembali dari Los Angeles bersama pembantunya,
Hans, membawa kursi-kursi dan meja kebun yang sudah
berkarat. Dengan susah payah Paman Titus mengemudikan
truknya melewati kendaraan Potter yang menghalangi.
Kemarahannya meledak.
"Kenapa barang bobrok ini ada di tengah jalan?" tukasnya.
"Potter tahu-tahu menghilang, tanpa membawa kendaraannya,"
jawab Jupiter menjelaskan. "Dia kenapa?"
"Menghilang," kata Jupe mengulangi.
Paman Titus duduk di undak-undakan truknya.
"Tidak mungkin orang menghilang begitu saja, Jupiter,"
katanya.    
"Tapi itulah yang terjadi dengan Potter," kata Jupiter. "Ia tadi
kemari, membeli beberapa perabot untuk tamunya. Kemudian ia
mengatakan, kepalanya pusing. Aku lantas masuk ke rumah
untuk mengambilkan segelas air. Ketika aku pergi itulah ia
menghilang."
Paman Titus menarik-narik kumisnya yang melintang.
"Tamu, katamu?" katanya. "Dan Potter menghilang? Menghilang
ke mana?"
"Tidak sulit melacak jejak kaki orang yang tidak memakai
sepatu," kata Jupiter. "Ia keluar lewat gerbang depan. Bibi
Mathilda tadi menyirami tanaman, dan karenanya kaki Potter
basah kena air. Sesampainya di tikungan ia membelok, menuju
Coldwell Hill. Nampak jelas bekas tapak kakinya dijalan yang
berdebu di luar. Arahnya menuju ke bukit itu. Tapi sayang,
sekitar lima puluh meter kemudian ia meninggalkan jalan,
menuju ke utara. Setelah itu tidak kulihat lagi jejaknya, karena
ia lewat di tempat yang berbatu-batu."
Kini Paman Titus bangkit, sambil menarik-narik kumis. Ia
memandang truk bobrok yang menghalang di tengah jalan.
"Kita singkirkan saja dulu kendaraan reyot ini, supaya tidak
merintangi orang yang datang berbelanja. Mudah-mudahan saja
Potter segera kembali untuk menjemput kendaraannya."
Setelah itu ia duduk di belakang kemudi truk bobrok itu, lalu
mencoba menghidupkan mesinnya. Empat kali ia melakukannya.
Tapi mesin kendaraan yang sudah uzur itu seakan-akan
merajuk. Pokoknya, tidak bisa dihidupkan.
"Siapa bilang mesin tidak bisa berpikir," kata Paman Titus.
"Aku berani bertaruh, cuma Potter saja satu-satunya orang
yang bisa membujuknya agar mau berjalan."     
Ia turun lagi. Digamitnya Jupiter, disuruh duduk di belakang
kemudi. Sementara remaja itu mengemudi, Paman Titus
dibantu oleh Hans, mendorong kendaraan itu ke tempat parkir
di samping kantor.
Sementara itu Bibi Mathilda bergegas-gegas datang dari
seberang jalan.
"Sebaiknya kusimpan saja dulu belanjaan Potter dalam lemari
es," katanya. "Bisa busuk nanti, kalau dibiarkan kepanasan
terus. Aku tidak mengerti, apa sebabnya orang itu tahu-tahu
pergi. Jupiter! Apakah ia tadi mengatakan, kapan tamutamunya
datang?"
"Tidak."
Bibi Mathilda mengambil kantung kertas berisi belanjaan dari
bak belakang truk.
"Kurasa sebaiknya kau pergi saja sebentar dengan sepeda ke
rumahnya, Jupiter," katanya. "Mungkin saja Potter sekarang
ada di sana. Atau kalau tidak, barangkali tamu-tamunya sudah
datang. Jika betul begitu, ajak mereka kemari. Kan tidak enak,
datang ke rumah yang kosong."
Sebenarnya Jupiter sudah hendak mengatakan, apakah tidak
sebaiknya jika ia pergi ke rumah Potter. Karenanya ia hanya
nyengir saja, lalu bergegas mengambil sepeda.
"Tapi jangan lama-lama!" seru Bibi Mathilda pada keponakannya
yang sudah menjauh. "Banyak pekerjaan yang harus dilakukan
di sini!"
Jupiter terbahak ketika mendengar seman itu. Dikayuhnya
sepeda menuju jalan raya. Ia bersepeda di pinggir, supaya
jangan terserempet mobil-mobil yang menuju ke utara. Ia
merasa yakin, jika tamu Potter yang remaja sudah datang, hari     
itu juga ia sudah menambah jumlah tenaga kerja di Jones
Salvage Yard. Bibi Mathilda tahu persis, apa yang harus
dilakukan dengan anak laki-laki yang sebaya dengan Jupiter.
Bibinya itu akan menyuruhnya bekerja.
Di Evanston Point jalan membelok. Rumah tempat tinggal
Potter langsung nampak di depan. Warnanya yang putih
menyolok di depan latar belakang daerah perbukitan California
yang hijau gelap. Jupiter tidak mengayuh sepedanya lagi,
karena jalanan menurun. Perhatiannya terarah ke tempat
tinggal Potter. Rumah itu dulu didiami keluarga berada,
sehingga penampilannya anggun. Tapi kini kesan yang dirasakan
Jupiter biasa-biasa saja, walau gaya bangunan abad kesembilan
belas dengan ukir-ukirannya terasa janggal di tengah kesunyian
daerah itu.
Sesampainya di gerbang masuk pekarangan rumah itu, Jupiter
mengerem sepedanya. Sebuah papan pengumuman di pagar
memberi tahu bahwa toko Potter ditutup sebentar, selama
orang itu pergi. Jupiter berpikir-pikir. Mungkin saja saat itu
Potter sudah kembali, tapi tokonya tetap tidak dibuka, karena
ia merasa tidak mampu menghadapi para pembeli yang biasanya
selalu ramai setiap Sabtu pagi. Orang tua itu memang kelihatan
kurang sehat, ketika Jupiter pergi mengambilkan air minum
untuknya.
Jupiter menyandarkan sepedanya ke pagar, lalu masuk lewat
pintu gerbang. Halaman depan rumah yang dimasukinya itu
dilapisi batu-batu pipih. Banyak sekali meja di situ, tempat
memajang benda-benda tembikar yang besar-besar: guci-guci,
lempengan-lempengan besar dengan hiasan bunga atau buah
buahan, jambangan-jambangan yang di atasnya ada patung
burung yang dibuat dalam posisi sedang terbang.
"Mr. Potter?" seru Jupiter memanggil.
Tidak ada jawaban. Jendela-jendela berbentuk tinggi dan
sempit di rumah itu tidak mencerminkan kehidupan di
dalamnya. Gudang tempat Potter menaruh bahan-bahan
kerjanya terkunci. Kelihatannya tidak ada orang di situ. Di
seberang jalan ada sebuah mobil Ford berwarna cokelat. Mobil
itu penuh debu, diparkir di tepi jalan yang berbatasan dengan
tebing yang menjulang di atas pantai. Di dalam mobil tidak ada
orang. Mungkin pemiliknya sedang berada di pantai, main
selancar, atau memancing ikan.
Jalan pribadi yang menghubungkan jalan raya di atas bukit
dengan Hilltop House, hanya beberapa meter saja jaraknya
dari pekarangan rumah Potter. Jupiter melihat bahwa pintu
gerbang yang membatasi jalan pribadi itu terbuka. Hilltop
House sendiri tidak kelihatan dari rumah Potter. Tapi Jupiter
bisa melihat tembok batu yang menopang teras bangunan itu.
Ada seseorang di situ, berdiri dekat tembok batu. Dari jarak
sejauh itu, Jupiter tidak bisa memastikan apakah orang itu
pengemudi Cadillac, yang berambut ikal - atau penumpangnya
yang aneh, yang tidak bisa ditebak umurnya.
Jupiter bergegas melewati benda-benda yang dipajang di atas
meja-meja kayu, lalu menaiki dua jenjang rendah yang diapit
sepasang guci yang tingginya hampir sama dengan Jupiter.
Kedua guci itu dihias dengan kawanan burung rajawali
berkepala dua, serupa dengan rajawali yang menghiasi medalion
yang tergantung di dada Potter. Kawanan rajawali itu dibuat
mengelilingi masing-masing guci. Mata burung-burung itu    
nampak berkilat putih, sedang paruh mereka ternganga,
seakan-akan berteriak saling menantang.
Lantai kayu di beranda terdengar agak berderak-derak ketika
Jupiter melangkah di situ.
"Mr. Potter!" serunya. "Anda ada di dalam?"
Tidak ada yang menjawab di dalam. Kening Jupiter berkerut.
Pintu depan rumah menganga sedikit. Jupiter tahu, Potter
tidak begitu mempedulikan keamanan benda-benda yang ada di
halaman depan, karena ukurannya yang besar-besar
menyebabkan barang-barang itu tidak gampang diambil orang.
Tapi Jupiter juga tahu, milik Potter yang lain-lainnya selalu
disimpan dengan seksama. Jadi jika pintu depan rumah
terbuka, maka itu berarti Potter mestinya ada di situ.
Tapi ruang depan ternyata kosong, ketika Jupiter melangkah
masuk lewat pintu depan. Benar-benar kosong juga tidak -
karena ruangan itu penuh dengan rak-rak yang tingginya sampai
ke langit-langit. Dan rak-rak itu penuh sesak berisi piring,
mangkuk, cawan, tempat gula dan susu, jambangan-jambangan
kecil, begitu pula piring-piring semarak tempat kembang gula.
Segala benda tembikar itu berkilauan, bersih tak berdebu, dan
teratur rapi untuk menarik minat calon pembeli.
"Mr. Potter!" Kini Jupiter sudah tidak memanggil lagi. Ia
berteriak.
Tapi hanya dengung lemari es di dapur saja yang terdengar.
Jupiter memandang ke arah tangga rumah. Ia menimbangnimbang,
apakah sebaiknya ia memberanikan diri naik ke
tingkat atas. Karena siapa tahu, mungkin saja Potter langsung
merebahkan diri di tempat tidur, begitu ia pulang. Bahkan
mungkin juga ia pingsan!     
Kemudian terdengar bunyi pelan. Ada sesuatu yang bergerak di
dalam rumah. Di sebelah kiri Jupiter, yang masih berdiri di
ruang depan, ada sebuah pintu. Pintu itu tertutup. Jupiter
tahu, ruangan di balik pintu itu merupakan kantor Potter. Dan
bunyi pelan tadi berasal dari situ.
"Mr. Potter!" Jupiter mengetuk pintu dengan keras.
Tidak terdengar jawaban dari dalam. Jupiter menjamah tombol
pembuka pintu. Ternyata bisa dibuka dengan gampang. Ruang
kantor itu kosong, kecuali meja tulis dengan rak kecil di sudut,
serta rak-rak dengan tumpukan buku kas serta formulir
pengiriman. Usaha penjualan Potter banyak yang dilakukan
lewat pos. Jupiter juga melihat tumpukan daftar harga serta
formulir pesanan. Sebuah kotak berisi sampul surat ditaruh di
pinggir salah satu rak.
Kemudian napas Jupiter tersentak, karena melihat sesuatu
yang tidak biasa. Ia melihat bahwa tutup meja tulis Potter
dibuka secara paksa. Nampak goresan-goresan yang masih baru
pada permukaan kayunya, serta di sekitar kunci. Satu laci meja
itu terbuka, tanpa isi. Berkas-berkas surat berserakan di atas
daun meja.
Rupanya ada yang menggeledah kantor itu.
Jupiter berpaling. Maksudnya hendak keluar lagi. Tapi tibatiba
ada yang memegang bahunya. Kakinya dikait dari belakang,
sedang tubuhnya didorong ke depan. Jupiter terhuyung ke
sudut ruangan. Kepalanya membentur pinggiran sebuah rak. Ia
jatuh tersungkur, dihujani kertas-kertas yang berhamburan
dari atas rak.
Hanya samar-samar saja Jupiter mendengar pintu ditutup,
disusul bunyi anak kunci diputar dalam lubangnya. Setelah itu     
terdengar langkah bergegas-gegas pergi lewat beranda yang
berlantai kayu.
Dengan susah payah, Jupiter menegakkan tubuh. Ia berhasil
duduk. Ia menunggu sesaat, karena takut akan pusing jika
cepat-cepat berdiri.
Ketika sudah yakin sarapannya tadi pagi yang ada dalam perut
takkan tumpah ke lantai, dan pikirannya sudah normal lagi,
Jupiter berdiri. Ia berjalan terhuyung-huyung, menghampiri
jendela.
Di halaman depan tidak ada siapa-siapa. Orang yang
menggeledah kantor tadi sudah minggat dari situ.

Bab 3
KELUARGA POTTER
Mestinya ada peraturan yang mewajibkan di semua rumah
harus ada pesawat telepon, kata Jupiter dalam hati. Bahkan
pembuat tembikar dengan kebiasaan serba aneh pun harus
diwajibkan memilikinya!
Tapi kalaupun Potter memiliki pesawat telepon, kini takkan
banyak gunanya lagi. Orang yang tadi mengacak-acak isi kantor
pembuat tembikar itu, mungkin sekarang sudah satu mil
jauhnya dari tempat kejadian.
Jupiter menarik tombol pembuka pintu. Tapi daun pintu tidak
bergerak sedikit pun. Jupiter berlutut, lalu mengintip keluar
lewat lubang kunci. Ternyata anak kunci masih ada di dalamnya.
Kini Jupiter pergi ke meja tulis. Diambilnya pisau pembuka
surat yang ada di situ. Dengan alat itu ia mencoba membuka
pintu.     
Ia sebenarnya bisa saja keluar lewat jendela. Tapi ia tidak
mau. Jupiter sangat menjaga harga diri. Kecuali itu ia juga
sadar bahwa perbuatan itu pasti akan menimbulkan kecurigaan,
kalau kebetulan ada orang di jalan yang melihatnya keluar
lewat jendela.
Ketika sedang sibuk mengorek-ngorek kunci, tiba-tiba ia
mendengar langkah orang berjalan di beranda. Dengan segera
ia menghentikan kesibukannya.
"Kakek!" seru seseorang.
Dari arah dapur terdengar bunyi bel berdering parau. "Kakek!
Kami sudah datang!" Kini terdengar pintu diketuk.
Jupiter menuju ke jendela. Ia membukanya, lalu menjulurkan
tubuh ke luar untuk melihat. Seorang anak laki-laki berambut
pirang berdiri di beranda. Anak itu menggedor-gedor pintu. Di
belakangnya ada seorang wanita yang nampaknya masih muda.
Rambutnya yang pirang dan dipotong pendek acak-acakan kena
angin. Wanita itu memegang kaca mata pelindung sinar
matahari, serta menyandang sebuah tas kulit berwarna cokelat
yang menggembung karena terisi penuh.
"Selamat pagi!" seru Jupiter menyapa.
Kedua orang yang berdiri di beranda menoleh dengan cepat ke
arahnya. Mereka tidak menjawab sapaannya.
Jupiter keluar lewat jendela, walau semula ia tidak berniat
begitu. Tapi keadaannya kini sudah berubah. Ia sudah
ketahuan, ada di dalam rumah.
"Aku terkunci di dalam," kata Jupiter menjelaskan dengan
singkat. Ia masuk lagi lewat pintu depan. Dibukanya pintu
kantor yang dikunci dari luar.     
Wanita dan anak laki-laki tadi nampak bimbang sesaat. Tapi
kemudian mereka menyusul masuk.
"Tadi ada orang menggeledah kantor ini - lalu aku dikuncinya di
dalam," kata Jupiter lagi. Ia memperhatikan anak laki-laki yang
berdiri di depannya. Umurnya kira-kira sebaya dengan Jupiter.
"Mestinya kalianlah tamu-tamu Mr. Potter," kata Jupiter
menebak.
"Betul! - Tapi, eh - siapa kau ini sebenarnya?" kata anak lakilaki
itu. "Dan mana kakekku?" "Kakek?" tanya Jupiter. Ia
memandang berkeliling, mencari kursi. Tapi tidak ada kursi di
situ. Akhirnya ia duduk saja di kaki tangga.
"Mr. Alexander Potter!" kata anak itu dengan ketus. "Ini
rumahnya, 'kan? Di Rocky Beach tadi aku bertanya pada
petugas pompa bensin, dan ia mengatakan..."
Jupiter menyandarkan dagunya ke tangan yang ditopangkan ke
lutut. Kepalanya terasa sakit. "Kakek?" katanya sekali lagi.
"Maksudmu - Potter punya cucu?"
Jupiter takkan lebih heran, jika ada yang mengatakan bahwa
Potter memelihara dinosaurus jinak di ruang bawah tanah
rumahnya.
Wanita yang ikut datang memakai kaca mata hitamnya lagi.
Tapi kemudian dibuka, karena ternyata ruang depan itu terlalu
gelap.
Wajahnya menarik, kata Jupiter dalam hati.
"Aku tidak tahu di mana Potter saat ini," katanya terus terang.
"Tadi pagi aku berjumpa dengannya, tapi sekarang ia tidak ada
di sini."     
"Itukah sebabnya kau tadi memanjat jendela?" tanya wanita
itu dengan nada curiga. Ia menoleh ke arah anak laki-laki tadi.
"Tom! Panggil polisi!"
Anak yang rupanya bernama Tom itu memandang berkeliling
dengan sikap bingung.
"Dijalan raya ada bilik telepon umum," kata Jupiter dengan
sopan, "tidak jauh di luar halaman depan."
"Maksudmu, ayahku tidak punya telepon?" tanya wanita itu.
"Jika Mr. Potter Ayah Anda," kata Jupiter, "betul - ia tidak
punya telepon."
"Tom!" kata wanita itu lagi, sambil mencari-cari dalam
dompetnya.
"Ibu saja yang menelepon," kata Tom. "Aku di sini saja -
mengawasi dia ini!"
"Aku tidak bermaksud pergi," kata Jupiter.
Wanita itu pergi. Mula-mula dengan langkah lambat, tapi
kemudian berlari-lari ke luar, ke jalan raya.
"Jadi Potter itu kakekmu, ya?" kata Jupiter.
Anak laki-laki yang bernama Tom memandangnya dengan sengit.
"Apa anehnya?" kata anak itu dengan ketus. "Siapa pun juga,
pasti punya kakek!"
"Memang betul," kata Jupiter. "Tapi tidak setiap orang punya
cucu - dan Potter itu kan... yah, orangnya lain dari yang lain!"
"Ya, aku tahu. Dia seniman." Tom memandang rak-rak yang
penuh dengan benda-benda tembikar, yang ada di sekeliling
ruangan itu. "Ia selalu mengirimkan hasil karyanya pada kami,"
katanya lagi pada Jupiter.
Jupiter menerima keterangan itu sambil membisu. Ia berpikirpikir.
Sudah berapa lamakah Potter tinggal di Rocky Beach?    
Paling sedikit dua puluh tahun, menurut Bibi Mathilda. Pasti ia
sudah lama mapan di situ, jauh sebelum Bibi Mathilda dan
Paman Titus membuka usaha mereka. Wanita yang nampak
bingung tadi bisa saja memang anak orang tua itu. Tapi kalau
begitu, ke mana saja ia selama ini? Dan apa sebabnya Potter
tidak pernah berbicara mengenai anaknya?
Sementara itu wanita tadi sudah kembali. Ia memasukkan
dompetnya ke dalam tas. "Sebentar lagi mobil patroli polisi
akan tiba," katanya. "Untunglah," kata Jupiter Jones.
"Dan kau nanti harus memberi penjelasan!" tukas wanita tadi
padanya. "Dengan senang hati, Mrs. - Mrs...." "Dobson," ujar
wanita itu menyebut namanya. Jupiter cepat-cepat berdiri.
"Nama saya Jupiter Jones, Mrs. Dobson," katanya.
"How do you do?" Kalimat itu sudah keluar dari Mrs. Dobson,
sebelum ia sempat menyadarinya. Memang begitulah kebiasaan
saat berkenalan. Ucapan itu sebanding dengan kata-kata, 'Apa
kabar?' Dan Jupiter langsung menanggapi dengan serius.
"Tidak begitu baik, saat ini," katanya. "Soalnya, saya kemari
mencari Potter, tapi tahu-tahu ada orang yang mendorong diri
saya sampai terjatuh, lalu saya dikuncinya di dalam kantor."
Dari air muka Mrs. Dobson nampak bahwa ia tidak percaya.
Saat itu terdengar bunyi sirene mobil polisi mengaung-ngaung
dari arah jalan raya.
"Di Rocky Beach tidak sering terjadi peristiwa mendadak,"
kata Jupiter dengan tenang. "Bawahan Chief Reynolds pasti
merasa senang, karena mendapat kesempatan membunyikan
sirene mobil mereka!" "Kau ini keterlaluan!" tukas Tom Dobson
sambil mendengus.     
Bunyi sirene melambat, dan akhirnya terhenti di depan rumah.
Lewat pintu depan, Jupiter melihat sebuah mobil patroli polisi
berwarna hitam-putih berhenti. Dua petugas polisi cepat-cepat
turun, lalu bergegas ke arah rumah.
Jupiter duduk lagi di kaki tangga. Wanita yang masih muda tadi
memperkenalkan dirinya pada kedua petugas polisi yang datang.
Namanya Eloise - Eloise Dobson, katanya, disusul dengan
hamburan kata-kata. Ia datang dari jauh, naik mobil langsung
dari Belleview, Illinois, untuk menjenguk ayahnya, Alexander
Potter. Tapi saat ini Mr. Potter sedang tidak ada di rumah, dan
ketika datang tadi ia melihat - remaja berandal ini keluar lewat
jendela. Ia menuding dengan sikap menuduh ke arah Jupiter,
sambil mengatakan bahwa sebaiknya polisi menggeledah remaja
itu.
Salah seorang petugas polisi yang datang, Officer Haines,
seumur hidupnya tinggal di Rocky Beach. Sedang rekan
sejawatnya, Sergeant McDermott, belum lama berselang
merayakan ulang tahun kelima belas masa dinasnya di kepolisian
kota itu. Keduanya mengenal Jupiter Jones. Mereka juga tahu,
siapa Mr. Potter. Sergeant McDermott mencatat sebentar,
lalu menoleh ke arah Eloise Dobson.
"Anda bisa membuktikan bahwa Potter ayah Anda?" tanya
petugas polisi itu.
Wajah Mrs. Dobson berubah-ubah warna - mula-mula merah,
lalu pucat. Pucat karena marah.
"Apa kata Anda?" teriaknya.
"Saya mengatakan, bisakah Anda -" kata Sergeant McDermott.
"Saya sudah mendengarnya tadi!"
"Nah - kalau begitu, jika Anda jelaskan -"     
"Menjelaskan apa? Sudah kukatakan tadi, ketika kami datang,
kami melihat... melihat pencoleng remaja ini...." Sergeant
McDermott mengeluh.
"Jupiter Jones ini mungkin saja memang menyebalkan,"
katanya mengakui, "tapi ia bukan pencuri." Ditatapnya Jupiter
dengan sikap lesu. "Apakah yang terjadi tadi, Jones?" tanya
petugas itu. "Sedang mengapa kau di sini?" "Aku harus mulai
dari awal?" tanya Jupiter. "Kami punya waktu sehari penuh,"
kata McDermott.
Jupiter bercerita, mulai dari awal. Mulai dari Potter datang di
Jones Salvage Yard, untuk membeli perabotan yang
diperlukannya, karena ia akan kedatangan tamu.
Sergeant McDermott mengangguk-angguk. Sementara itu
Officer Haines mengambil kursi di dapur, lalu menyilakan Mrs.
Dobson duduk.
Jupiter meneruskan laporannya. Tahu-tahu Potter pergi begitu
saja, sedang truknya ditinggal di perusahaan pamannya. Dari
jejak kakinya nampak bahwa ia pergi ke arah bukit, di belakang
Rocky Beach.
"Aku kemudian kemari, untuk melihat barangkali ia pulang,"
kata Jupe. "Pintu rumah ternyata terbuka, dan karenanya aku
langsung masuk. Aku tidak menjumpai Potter di sini, tapi ada
orang lain yang bersembunyi di kantornya. Orang itu rupanya
berdiri di belakang pintu, ketika aku masuk tadi. Aku melihat
bahwa tutup meja tulis Potter dibuka secara paksa. Tahu-tahu
kakiku disengkelit dari belakang, dan aku didorong sehingga
jatuh terjerembab. Kemudian orang itu lari ke luar. Aku
dikuncinya di dalam kantor. Karena itulah aku terpaksa keluar     
lewat jendela, saat Mrs. Dobson muncul bersama putranya, dan
membunyikan bel."
Sergeant McDermott diam sesaat, lalu mendengus.
"Kantor Potter digeledah orang," kata Jupiter berkeras. "Bisa
Anda lihat sendiri - kertas-kertas pentingnya berantakan."
McDermott menghampiri pintu kantor, lalu memandang ke
dalam. Dilihatnya berkas-berkas berserakan di atas meja,
serta sebuah laci tertarik ke luar.
"Potter biasanya sangat rapi," kata Jupiter. "Ia takkan mau
meninggalkan kantornya dalam keadaan begini." McDermott
berpaling lagi.
"Akan kita datangkan ahli sidik jari," katanya. "Sementara itu,
Mrs. Dobson -"
Tahu-tahu wanita itu menangis.
"Aduh, Bu!" Anaknya datang menghampiri, lalu merangkul.
"Jangan menangis, Bu!"
"Ia kan ayahku!" kata Mrs. Dobson sambil terisak-isak. "Biar
bagaimanapun, ia tetap ayahku - dan kita sudah setengah mati
naik mobil kemari untuk menjenguknya, tanpa mampir untuk
melihat-lihat Grand Canyon, karena aku ingin... karena aku
bahkan tak bisa ingat..."
"Bu," kata Tom Dobson memelas.
Mrs. Dobson mencari-cari sapu tangan di dalam dompetnya.
"Aku tak menduga sedikit pun bahwa aku harus
membuktikannya!" katanya sambil menangis terus. "Aku tidak
menyangka, untuk datang ke Rocky Beach diperlukan surat
lahir!"
 
    
"Tenanglah, Mrs. Dobson!" Sergeant McDermott mengantungi
buku catatannya. "Kalau begini keadaannya, lebih baik jika
Anda serta putra Anda tidak tinggal di sini."
"Tapi Alexander Potter benar-benar ayahku!"
"Mungkin saja," kata polisi itu mengalah, "tapi nampaknya ia
memutuskan untuk menghilang - setidak-tidaknya untuk
sementara. Dan nampaknya ada orang yang memasuki
rumahnya, tanpa diundang. Saya yakin, Pot... eh, Mr. Potter
nanti akan muncul juga kapan-kapan, lalu menjelaskan duduk
perkara sebenarnya. Tapi sementara itu lebih aman jika Anda
serta putra Anda tinggal saja di kota. Di sana ada hotel kecil,
namanya Seabreeze Inn. Tempatnya sangat menyenangkan, dan
-"
"Bibi Mathilda dengan senang hati bersedia menampung Anda,"
kata Jupiter menyela.
Tapi Mrs. Dobson tidak mempedulikannya. Wanita itu masih
terisak-isak terus. Air matanya diusap dengan tangan yang
gemetar.
"Di samping itu," sambung McDermott, "sebentar lagi ahli sidik
jari kami akan datang, dan kami tidak ingin ada sesuatu yang
berubah letak di sini."
Mrs. Dobson berdiri, lalu mengenakan kaca mata hitamnya.
"Mungkin Chief Reynolds nanti ingin berbicara dengan Anda,"
kata McDermott. "Akan saya katakan padanya, Anda untuk
sementara menginap di Seabreeze Inn."
Mrs. Dobson menangis lagi. Anaknya bergegas membimbingnya
ke luar, ke jalan. Mereka menghampiri sebuah mobil biru
dengan pelat nomor negara bagian Illinois. Mrs. Dobson duduk
di belakang kemudi.     
"Sama sekali tak kukira!" kata Sergeant McDermott. "Potter
ternyata punya anak!"
"Itu kalau ia memang benar anaknya," kata Officer Haines.
"Untuk apa ia mengaku-ngaku, kalau tidak benar begitu?" kata
McDermott. "Potter kan orang aneh - dan tidak memiliki apaapa
yang mungkin diingini orang lain."
"Ia mestinya mempunyai sesuatu," kata Jupiter Jones. "Kalau
tidak - untuk apa orang yang menyerangku tadi mau repotrepot
membongkar isi kantornya?"

Bab 4
ADA ORANG BARU LAGI
JUPITER menolak, ketika Officer Haines mengajaknya ikut
naik mobil polisi, kembali ke Rocky Beach. "Terima kasih, tapi
aku tadi datang naik sepeda," kata Jupiter. "Dan aku tidak apaapa."
"Kau yakin?" tanya petugas polisi yang menawari, sambil
memandang kening Jupiter yang benjol karena terantuk tadi.
"Ya, aku yakin! Cuma benjol saja." Jupiter melangkah pergi.
"Hati-hati saja, Jones!" seru Sergeant McDermott dari dalam
rumah. "Jika kau terus menyusup-nyusupkan hidungmu ke
mana-mana, nanti tahu-tahu sudah putus terpotong! Dan jangan
pergi jauh-jauh dari rumah, ya! Mungkin Chief ingin bicara juga
denganmu."
Jupiter melambai tanda mengerti. Diambilnya sepedanya yang
masih tersandar ke pagar. Ia menunggu lalu lintas agak
renggang, karena ia harus menyeberang jalan. Mobil Ford
cokelat yang dilihatnya tadi, masih tetap diparkir di tepi jalan,       
di atas pantai. Beberapa saat kemudian ia melihat ada
kesempatan, lalu cepat-cepat lari menuntun sepeda ke
seberang. Di sana ia berdiri di dekat mobil cokelat itu, lalu
memandang ke arah pantai di bawah. Pasang sedang surut,
menampakkan bidang pasir yang lebar. Seorang laki-laki
berjalan menyusuri jalan setapak yang mendaki, menuju ke
tempat Jupiter. Ia belum pernah melihat pemancing ikan yang
penampilannya sehebat orang itu. Berbaju hangat putih dengan
leher tinggi yang digulung, dibungkus jaket sport biru muda
yang sangat necis, dengan lambang yang disulam pada kantung
atas. Jaket sport itu sewarna dengan celana panjangnya yang
terbuat dari kain katun tebal, begitu pula dengan sepatu santai
yang membungkus kakinya. Orang itu memakai topi pet pelayar
yang nampak sangat mulus, seakan-akan baru saja sehari yang
lalu dibeli di toko alat-alat olahraga.
"Halo!" sapa orang itu, ketika sudah sampai di dekat Jupiter.
Jupe menatap wajah kurus berkulit kecokelatan dibakar sinar
matahari. Wajah itu ditutupi kaca mata pelindung sinar
matahari berukuran besar. Di bawah hidungnya ada kumis
kelabu melintang. Kumis itu berwarna kelabu, dan disemir
dengan obat yang membuatnya kaku. Ujung-ujungnya mencuat
ke atas, ke arah telinga orang itu.
Joran yang dibawa orang itu hebat dan nampak bersih
mengkilat - serupa seperti yang membawa.
"Dapat ikan?" tanya Jupiter Jones.
"Tidak - rupanya hari ini tidak berselera." Laki-laki itu
membuka tutup bagasi mobil Ford yang berlapis debu, lalu
memasukkan alat-alat penangkap ikannya ke dalam. "Mungkin     
aku keliru memilih umpan. Aku orang baru dalam soal olahraga
memancing."
Hal itu sudah diduga oleh Jupiter. Penangkap ikan yang
berpengalaman, kebanyakan penampilan mereka seperti
gelandangan.
Laki-laki itu memandang ke seberang jalan, ke arah mobil
patroli polisi yang diparkir di depan rumah Potter. "Ada
keributan di sana?" tanya orang itu. "Sedikit," jawab Jupiter.
"Pencuri, mungkin."
"Uh - tidak menarik." Orang itu menutup tutup bagasi mobil.
Setelah itu ia menghampiri pintu depan kendaraan itu, lalu
membukanya.
"Bukankah itu toko milik Potter yang terkenal itu?" katanya
dengan nada bertanya. Jupiter mengangguk.
"Kenalanmu?" tanya penangkap ikan amatir itu lagi. "Kau tinggal
di sekitar sini?"
"Ya, aku tinggal di dekat sini. Dan aku kenal padanya. Orang
kota ini, tidak ada yang tidak mengenal Potter." "Hm. Kurasa
memang begitu. Kabarnya, hasil karyanya indah-indah." Lakilaki
itu memperhatikan Jupiter dari balik kaca mata hitamnya
yang besar. "Kepalamu benjol." "Terjatuh tadi," jawab Jupiter
singkat. "Oh! Kau mau kuantarkan dengan mobil." "Terima kasih
- tidak usahlah," kata Jupiter.
"Tidak mau? Ya, kau memang benar. Jangan mau, kalau ada
orang tak dikenal mengajakmu."
Laki-laki itu tertawa, seolah-olah ucapannya itu sangat lucu.
Setelah itu ia menghidupkan mesin mobilnya. Kendaraan itu
diundurkannya ke jalan raya. Sambil melambai ke arah Jupiter,
orang itu pergi dengan mobilnya.     
Jupiter bersepeda kembali ke perusahaan barang bekas milik
pamannya. Tapi ia tidak masuk lewat gerbang utama. Ia
bersepeda terus, menyusuri pagar yang dihiasi dengan lukisan
indah, sampai ke gambar ikan aneh yang tersembul di tengah
ombak, memandang kapal layar yang terombang-ambing
dipermainkan badai. Jupiter turun dari sepedanya, lalu
menekan mata gambar ikan. Seketika itu juga dua lembar papan
terjungkit ke atas, membuka jalan masuk ke kompleks
perusahaan barang-barang bekas itu Jupiter masuk sambil
mendorong sepedanya.
Jupiter masuk lewat Gerbang Hijau Satu. Seluruhnya ada
empat jalan rahasia untuk memasuki pekarangan perusahaan
itu. Tapi tak ada satu pun yang diketahui oleh Bibi Mathilda.
Jupiter muncul di sudut pekarangan itu, dekat bengkel
kerjanya yang di luar. Ia mendengar suara Bibi Mathilda, yang
rupanya saat itu sedang berada di belakang gudang tempat
penyimpanan perabotan. Bibi Mathilda sedang sibuk
membersihkan kursi-kursi dan meja kebun yang baru dibeli
suaminya. Tapi ia tidak bekerja tanpa bersuara. Ia berseruseru,
menyuruh Hans membantunya. Bibi Mathilda tidak bisa
melihat Jupiter, karena di depan bengkel kerja keponakannya
itu ada tumpukan barang bekas yang menghalangi pandangan.
Barang-barang itu memang sengaja ditempatkan oleh Jupiter
di situ.
Jupiter tertawa nyengir. Disandarkannya sepeda ke mesin
cetak yang sudah usang, lalu ditariknya terali dari besi cor
yang tersandar pada sebuah bangku kerja yang terdapat di
belakang mesin cetak. Ia membungkuk, lalu menyusup masuk ke
dalam Lorong Dua.     
Lorong Dua itu berupa pipa saluran, terbuat dari seng
gelombang. Sisi dalamnya dilapisi potongan-potongan permadani
bekas. Ujung pipa itu berakhir di sebuah tingkap yang terdapat
di lantai sebuah karavan. Dan karavan itulah
Markas Trio Detektif. Jupiter merangkak-rangkak di dalam
Lorong Dua, menyusup naik lewat tingkap, dan begitu masuk ke
dalam karavan langsung meraih gagang pesawat telepon yang
terletak di atas meja tulis.
Pesawat telepon itu satu tambahan lagi di perusahaan barangbarang
bekas pamannya, yang tidak diketahui oleh Bibi
Mathilda. Jupiter beserta kedua temannya, Bob Andrews dan
Pete Crenshaw, mengusahakan sendiri sambungannya dengan
uang yang mereka peroleh sebagai pembayaran untuk
pekerjaan mereka membetulkan barang-barang bekas yang
rusak, ditambah dengan penghasilan yang didapat Trio
Detektif dari kegiatan mereka selaku penyelidik.
Jupiter memutar nomor rumah Pete. Temannya itu sudah
menerima, ketika telepon baru dua kali berdering. "He, Jupe!"
Pete kedengaran senang karena Jupiter menelepon. "Siang ini,
saat pasang naik laut akan berombak besar. Yuk, kita
berselancar."
"Kurasa hari ini aku takkan bisa," kata Jupiter dengan suara
masam. "O ya? Maksudmu, bibimu sudah sibuk lagi?"
"Tadi Paman Titus membeli beberapa kursi dan meja kebun,"
kata Jupiter. "Perabotan itu penuh karat, dan saat ini Bibi
Mathilda sedang sibuk memanggil-manggil Hans, menyuruhnya
mengikis karat serta cat yang lama. Aku yakin, begitu Bibi
melihatku, aku juga disuruhnya membantu."
Pete mengucapkan selamat mengikis cat.    
"Bukan karena itu aku menelepon," kata Jupiter. "Bisakah kau
datang ke markas nanti malam? Pukul sembilan?" Pete bisa, dan
ia juga mau.
"Kelana Gerbang Merah," kata Jupiter dengan singkat, lalu
mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Setelah itu ia
memutar nomor rumah Bob Andrews. Mrs. Andrews, ibu Bob,
yang menerima. Ia mengatakan bahwa Bob ada di Perpustakaan
Umum Rocky Beach, di mana ia bekerja sebagai tenaga lepas
pada waktu senggangnya. "Bisakah saya meninggalkan pesan
untuknya?" tanya Jupiter.
"Ya, tentu saja! Tapi tunggu sebentar - kuambil pensil dulu.
Habis, kalian rasanya tidak pernah mengatakan sesuatu dalam
bahasa biasa."
Jupiter tidak menanggapi ucapan itu. Ia menunggu, sementara
Mrs. Andrews mengambil pensil dan secarik kertas. Ketika ibu
Bob sudah terdengar lagi suaranya di telepon, Jupe
menyampaikan pesannya. "Kelana Gerbang Merah, pukul
sembilan."
"Kelana Gerbang Merah, pukul sembilan." Mrs. Andrews
mengulangi pesan itu. "Entah apa lagi artinya. Tapi baiklah,
Jupiter - nanti akan kusampaikan pada Bob, begitu ia pulang."
Jupiter mengucapkan terima kasih. Gagang pesawat telepon
diletakkannya kembali ke tempatnya. Setelah itu ia keluar lagi,
lewat Lorong Dua. Ia membuka Gerbang Hijau Satu, lalu
mendorong sepedanya ke jalan. Setelah itu ia bersepeda lagi,
menuju gerbang utama dan masuk ke pekarangan Jones
Salvage Yard.
Bibi Mathilda menunggu di samping kantor, dengan tangan
terbungkus sarung tangan karet yang nampak kotor.     
"Hampir saja aku memanggil polisi untuk mencarimu," kata Bibi
Mathilda. "Ke mana saja kau tadi?"
"Potter tidak ada di rumahnya," kata Jupiter memberi tahu.
"Tapi tamu-tamunya sudah datang."
"O ya? Kenapa tidak kauajak kemari? Kau ini bagaimana,
Jupiter - kan tadi sudah kukatakan agar kauundang mereka
kemari!"
Jupiter menaruh sepedanya di samping kantor.
"Mereka sangsi terhadap diriku, dikira penjahat," katanya.
"Mereka sekarang sudah ke Seabreeze Inn. Satu di antaranya
seorang wanita, bernama Mrs. Dobson. Katanya, ia anak Potter.
Sedang yang satu lagi anak wanita itu. Namanya Tom."
"Anak Potter? Itu kan tidak mungkin, Jupiter - Potter sama
sekali tidak punya anak!" "Bibi tahu pasti?" tanya Jupe.
"Ya, tentu saja. Potter tidak pernah menyebut-nyebut... ia
tidak pernah... He, Jupiter! Apa sebabnya mereka sampai
menyangka kau penjahat?"
Jupiter bercerita sesingkat mungkin, tentang orang tak
dikenal yang membongkar kantor Potter. "Mereka menyangka
aku memasuki rumah itu dengan niat jahat," katanya
mengakhiri.
"Keterlaluan!" Bibi Mathilda sangat tersinggung. "Dan kepalamu
benjol! Ayo - masuk ke rumah, sekarang juga. Akan kubuatkan
kompres untukmu."
"Ah - aku tidak apa-apa, Bi. Sungguh!"
"Apa, tidak apa-apa?! Ayo masuk, sekarang juga! Cepat!"
Jupiter tidak membantah.
Bibi Mathilda membawakan es yang dibungkus dalam kain,
untuk mengompres benjolan di kening Jupiter. Ia juga     
membawakan roti yang dilapisi dengan selai kacang, serta susu
segelas. Tapi saat makan siang, Bibi Mathilda menarik
kesimpulan bahwa benjolan itu tidak lebih parah dari sekian
banyak benjolan yang pernah dialami keponakannya. Ia mencuci
piring dengan terburu-buru. Kemudian disuruhnya Jupiter
mengelap dan membereskan semuanya, sementara ia sendiri
mengeramas rambutnya.
Paman Titus duduk dengan tenang di depan pesawat televisi.
Tidak lama kemudian ia sudah tertidur. Kumisnya yang
melintang bergetar seirama dengan dengkurannya, sementara
Jupiter pergi ke luar dengan berjingkat-jingkat.
Jupiter pergi ke seberang, lalu berjalan menyusuri tepi pagar,
sampai ke sisi belakang perusahaan. Pagar di situ dihiasi lukisan
yang sama semaraknya seperti di bagian depan. Lukisan di situ
menggambarkan bencana kebakaran besar yang melanda kota
San Francisco tahun 1906, dengan orang-orang yang lari
ketakutan dari gedung-gedung yang terbakar. Di latar depan
adegan itu ada gambar seekor anjing kecil. Anjing itu
digambarkan sedang duduk sambil memandang api yang
berkobar-kobar. Satu matanya memang merupakan mata - tapi
mata kayu papan pagar. Jupiter mencongkel mata kayu itu, lalu
merogoh lewat lubang pada papan untuk melepaskan suatu kait.
Tiga lembar papan bergerak ke samping. Itulah yang diberi
nama sandi Kelana Gerbang Merah. Di sebelah dalam ada papan
dengan gambar panah hitam yang menunjuk ke "Kantor". Jupiter
mengikuti arah panah itu, tapi kemudian merangkak ke bawah
tumpukan kayu. Ia tiba di semacam lorong, diapit tumpukan
barang loak. Ditelusurinya lorong itu, sampai tiba di depan     
sejumlah papan kokoh, yang merupakan atap Pintu Empat. Ia
tinggal menyusup ke bawahnya, merangkak sejauh beberapa
meter, lalu mendorong sebuah panel dan sampailah ia di
markas.
Pukul sembilan kurang lima belas menit. Sambil menunggu,
dikenangnya kembali segala kejadian hari itu. Lima menit
kemudian Bob Andrews menyusup masuk, disusul oleh Pete
Crenshaw yang datang tepat pukul sembilan malam.
"Trio Detektif mendapat klien baru lagi?" tanya Pete
bersemangat. Dipandangnya kening Jupiter yang benjol. "Kau
sendiri, barangkali?"
"Mungkin," kata Jupiter. "Potter menghilang, tadi siang."
"Aku sudah mendengarnya," kata Bob. "Bibimu menyuruh Hans
untuk mengambil apa-apa di pasar. Di sana Hans berjumpa
dengan ibuku. Jadi Potter pergi begitu saja, meninggalkan
truknya di tempat kalian?" Jupiter mengangguk.
"Ya, itulah yang terjadi! Truknya masih diparkir di samping
kantor. Sementara Potter menghilang, sejumlah orang lain
muncul."
"Maksudmu, antara lain wanita yang datang untuk tinggal di
Seabreeze Inn, sesudah kepalamu benjol?" tanya Pete.
"Rocky Beach ini ternyata memang kota kecil," gumam Jupiter.
Begitu cepat berita tersebar!
"Aku tadi berjumpa dengan Officer Haines," kata Pete
menjelaskan. "Wanita itu mengaku anak Potter. Jika itu benar,
maka anak laki-laki itu mestinya cucu pak tua itu. Edan! Potter
itu memang orang aneh. Siapa mengira, ia punya anak
perempuan!?"     
"Ia kan juga pernah muda," kata Jupiter. "Tapi pendatang baru
di kota ini bukan cuma Mrs. Dobson beserta anak laki-lakinya
saja. Ada dua orang laki-laki di Hilltop House."
"Hilltop House?" Minat Pete langsung tergugah. "Ada orang
menempati rumah itu? Hilltop House kan tidak bisa didiami
lagi!"
"Setidak-tidaknya, tadi siang ada orang datang ke sana," kata
Jupiter. "Kebetulan sekali mereka mampir sebentar di
perusahaan ini, untuk menanyakan jalan ke sana. Saat itu
Potter masih ada. Itu pun merupakan kebetulan yang menarik.
Kedua orang itu melihatnya, dan Potter juga melihat mereka.
Sedang Hilltop House, letaknya tepat di atas toko Potter."
"Apakah Potter mengenal mereka?" tanya Bob.
Jupiter menarik-narik bibir bawahnya, berusaha mengingatingat.
"Aku tidak berani memastikan bahwa ia kenal mereka, atau
mereka mengenalnya. Orang yang mengemudikan mobil, yang
kalau dilihat dari penampilannya kurasa orang Eropa, turun
untuk menanyakan jalan. Lalu penumpangnya - tampangnya
aneh, kepalanya benar-benar botak - bersikap seperti ada yang
menggelisahkan dirinya. Kedua orang itu berbicara sebentar,
dalam bahasa asing. Sedang Potter tetap berdiri, sambil
memegang medalion yang selalu dipakainya. Ketika kedua orang
itu sudah pergi, ia berkata bahwa ia merasa pusing. Aku masuk
ke rumah untuk mengambilkan air. Tapi ketika aku keluar lagi,
tahu-tahu Potter sudah lenyap."
"Ketika datang, ia tidak apa-apa?" tanya Bob.
"Segar-bugar," kata Jupiter menegaskan. "Katanya ia akan
kedatangan tamu. Ia kelihatan bergembira. Tapi setelah kedua     
orang itu datang dan menanyakan jalan ke Hilltop House -"
"Iamenghilang!" sambung Bob.
"Ya! Ia pergi, dengan berjalan kaki. Sekarang aku ingin tahu,
apakah ia tadi memegang-megang medalionnya karena
kebiasaannya saja - atau karena ingin menutupi benda itu?"
"Hiasan medalion itu gambar rajawali, 'kan?" tanya Bob
meminta penegasan.
"Rajawali, dengan kepala kembar," kata Jupiter. "Bisa saja itu
merupakan gambar ciptaan Potter sendiri. Tapi mungkin pula
ada artinya - suatu lambang yang mengandung makna tertentu
bagi kedua orang yang kemudian datang."
"Seperti tanda, misalnya?" tanya Pete.
"Atau lambang," kata Bob dengan nada pasti. "Orang Eropa kan
sangat menggemari lambang. Bermacam-macam lambang ada di
sana, seperti singa, kuda bertanduk tunggal, burung elang, dan
macam-macam lagi." "Bisakah kau melacaknya?" tanya Jupiter.
"Kau ingat tidak, wujud gambar itu?" Bob mengangguk.
"Di perpustakaan ada buku baru tentang lambang-lambang
kebangsawanan. Jika aku melihat gambar rajawali berkepala
dua itu, aku pasti akan mengenalinya kembali." "Bagus," kata
Jupiter, lalu menyapa Pete. "Kau kenal baik dengan Mr.
Holtzer?" tanyanya.
"Pengusaha yang bergerak di bidang tanah dan rumah itu?
Kadang-kadang aku bekerja untuknya, memotong rumput di
halamannya, jika ia sendiri sedang malas. Kenapa?"
"Ia satu-satunya agen yang menangani urusan sewa dan jualbeli
rumah di Rocky Beach," kata Jupiter. "Jika ada orang yang
menempati Hilltop House, ia pasti tahu. Bahkan mungkin pula ia
tahu alasan orang itu pindah ke situ."     
"Mungkin besok Mr. Holtzer tidak memerlukan tenagaku untuk
memotong rumput halamannya," kata Pete, "tapi kantornya hari
Minggu pun tetap dibuka. Aku akan mampir ke sana besok."
"Bagus," kata Jupiter. "Kurasa Bibi Mathilda besok akan pergi
ke Seabreeze Inn, bertindak selaku panitia penyambutan Mrs.
Dobson serta anak laki-lakinya. Dan aku akan menemani Bibi ke
sana, sambil melihat-lihat kalau di sana juga ada pemancing
ikan amatiran yang naik mobil Ford berwarna cokelat."
"Dia juga pendatang baru?" tanya Bob.
"Mungkin," jawab Jupiter sambil mengangkat bahu. "Atau
mungkin juga cuma kemarin saja ia datang kemari, dari Los
Angeles. Tapi jika ternyata ia tinggal di Rocky Beach, dan jika
Hilltop House memang disewa orang untuk ditinggali, maka kita
tahu bahwa dalam satu hari ada lima pendatang baru di kota
kita ini - dan satu dari mereka mungkin orang yang memasuki
rumah Potter dan membongkar laci meja tulisnya."

Bab 5
JEJAK KAKI BERNYALA
"PAKAI kemeja putihmu, Jupiter," kata Bibi Mathilda, "serta
jas santaimu yang biru." "Hawa terlalu panas," kata Jupe.
"Pakai, kataku," kata Bibi Mathilda berkeras. "Aku tidak suka
jika kau kelihatan seperti perampok, saat kita nanti
mendatangi Mrs. Dobson."
Jupiter mengeluh. Dikancingkannya kemeja putih yang kaku
karena kanji, hampir sampai ke leher. Tapi kancing paling atas
dibiarkannya terlepas. Kalau itu juga dikancingkan, bisa sesak     
napasnya nanti. Setelah itu dikenakannya jas santainya yang biru.
"Sudah siap, Bi?" katanya pada bibinya.
Bibi Mathilda meratakan roknya yang terbuat dari kain tweed
tebal, lalu menyampirkan jaket wol cokelat ke bahunya.
"Bagaimana kelihatannya?" tanya Bibi Mathilda pada Jupiter.
"Sedikit pun Bibi tidak seperti seorang perampok," kata
Jupiter.
"Memang begitu mestinya," kata Bibi Mathilda. Ia turun
bersama Jupiter, lalu keluar lewat ruang duduk. Paman Titus
memilih lebih baik tidak ikut dalam rombongan penyambutan
Mrs. Dobson serta putranya. Ia menikmati kenyamanan tidur
Minggu siang di sofa.
Angin segar bertiup, mengusir kabut pagi. Air laut nampak
kemilau kena sinar matahari, saat Bibi Mathilda berjalan
seiring dengan Jupiter menuju ke jalan raya, lalu membelok ke
arah selatan. Tidak banyak orang yang berjalan kaki di trotoar
kawasan bisnis di kota Rocky Beach. Tapi mobil bersesaksesakan,
maju beringsut-ingsut di jalan-jalan tengah kota.
Jupiter serta bibinya melewati toko roti dan toko kue-kue.
Akhirnya mereka sampai di seberang Seabreeze Inn.
"Hotel itu dipelihara dengan baik oleh Miss Hopper," kata Bibi
Mathilda. Ia melangkah ke jalur penyeberangan, sambil
memelototkan mata ke arah sebuah mobil Buick yang datang.
Pengemudi mobil itu cepat-cepat mengerem. Rupanya ngeri
menghadapi sikap galak wanita yang hendak menyeberang itu.
Bibi Mathilda melangkah dengan gagah ke seberang, diikuti
dengan tergesa-gesa oleh Jupiter.     
Bibi Mathilda masuk ke kantor Seabreeze Inn, lalu menekan
tombol bel kecil yang ada di meja resepsionis.
Pintu yang ada di belakang meja itu terbuka.
"Mrs. Jones!" seru wanita yang muncul. Itulah Miss Hopper. Ia
keluar sambil merapikan seberkas rambut yang sudah putih.
Kemunculannya disertai hamburan bau sedap ayam panggang.
"Kau juga ikut, Jupiter. Apa kabar?"
"Kudengar Mrs. Dobson menginap di sini, bersama anaknya,"
kata Bibi Mathilda, tanpa berbasa-basi lagi.
"Ya, betul! Kasihan - ia bingung sekali, ketika datang kemari
kemarin. Setelah itu Chief Reynolds datang untuk menemuinya.
Bayangkan - di sini, di hotel ini!"
Miss Hopper menghargai jasa kepala polisi itu demi keamanan
warga Rocky Beach. Tapi terasa jelas, ia tidak suka jika polisi
mengusik ketenangan hotel kecilnya. Ia khawatir, nama baik
Seabreeze Inn akan menurun karenanya.
Bibi Mathilda mendecak-decak, sebagai pernyataan ia bisa
memahami sikap Miss Hopper. Kemudian ditanyakannya di mana
Mrs. Dobson saat itu. Miss Hopper menunjuk ke teras kecil, di
belakang hotel.
"Ia di sana bersama putranya, ditemani Mr. Farrier, yang
berusaha menghiburnya," kata Miss Hopper.
"Mr. Farrier?" kata Jupiter mengulangi nama itu.
"Ia juga tamu hotel," kata Miss Hopper menjelaskan.
"Orangnya simpatik. Kelihatannya ia sungguh-sungguh menaruh
perhatian pada Mrs. Dobson. Senang rasanya melihat hal itu.
Sekarang ini, orang-orang rasanya seperti saling tak peduli.
Tapi Mrs. Dobson juga sangat cantik, sih - apalagi masih muda!"
"Ya, itu selalu menguntungkan," kata Bibi Mathilda.     
Diajaknya Jupiter meninggalkan kantor. Mereka berjalan
menyusuri beranda hotel, melewati deretan pintu bernomor
serta jendela-jendela bertingkap biru, menuju teras kecil yang
menghadap ke pantai.
Mrs. Dobson, yang memang masih muda, duduk menghadapi
sebuah meja bundar berukuran kecil, bersama anak lakilakinya.
Di depan mereka ada minuman segar, dalam gelas
plastik. Dan mereka ditemani seorang laki-laki berkumis kaku
melintang. Ternyata ia pemancing ikan amatir yang sehari
sebelumnya sudah dilihat Jupiter di pinggir jalan di depan toko
Potter. Penampilannya hari itu lebih semarak lagi, dibandingkan
dengan ketika Jupiter pertama kali berjumpa dengannya.
Jaket dan celana katunnya kini berwarna putih mulus dan
disetrika licin. Topi layarnya disorong ke belakang, sehingga
nampak rambutnya yang berwarna kelabu kebiruan. Orang itu
sedang bercerita tentang kehebatan kota Hollywood. Ia
menawarkan diri sebagai pemandu, jika Mrs. Dobson ingin
pesiar. Kelihatannya sudah agak lama juga orang itu mengoceh,
kalau melihat sinar mata Mrs. Dobson yang sudah pudar.
Mr. Farrier bukannya menghibur Mrs. Dobson, tapi malah
membuatnya bosan setengah mati, kata Jupiter dalam hati.
Dan nampak jelas kelegaan pada diri Eloise Dobson, ketika ia
melihat Jupiter muncul di teras bersama bibinya.
"Hai!" seru Tom Dobson. Remaja itu cepat-cepat berdiri,
mengambilkan dua buah kursi.
"Mrs. Dobson," kata Jupiter, "saya dan bibi saya -"
Tapi Bibi Mathilda langsung memotong. Ia sendiri bisa
memperkenalkan diri. Dan itu dilakukannya dengan ketegasan
sikap seperti biasanya.     
"Saya Mrs. Titus Jones," ucapnya pada Mrs. Dobson, "bibi
Jupiter. Saya datang untuk menegaskan bahwa Jupiter takkan
mungkin memasuki rumah Mr. Potter dengan maksud jahat."
Bibi Mathilda duduk di kursi yang diletakkan oleh Tom Dobson
dekat meja.
Senyuman lesu muncul di wajah Eloise Dobson.
"Saya juga tahu," katanya. "Maaf, jika aku kemarin
melabrakmu, Jupiter. Kurasa karena saat itu aku capek sekali,
dan juga gugup. Kami melintasi wilayah Arizona tanpa berhenti
sama sekali - dan aku tidak pernah lagi melihat
ayahku, sejak masih bayi." Ia menengkurapkan gelas plastik
yang sudah kosong. "Bisa dibilang, aku belum pernah melihat
ayahku itu; apa sih yang masih bisa diingat dari masa ketika
kita masih berumur tiga tahun! Aku tidak tahu pasti apa yang
akan kujumpai di sini. Lalu ketika kami tiba dan melihatmu
keluar lewat jendela, kusangka - yah, kusangka kau masuk ke
situ dengan niat jahat."
"Ya, itu memang masuk akal," kata Jupiter. Ia duduk di kursi
yang diambilkan, sementara Tom Dobson bergegas menuju alat
otomatis penghidang minuman segar, dengan segenggam mata
uang receh.
"Setelah itu polisi bersikap begitu aneh, dan nampaknya tidak
ada yang mau mempercayai identitas diriku," kata Mrs. Dobson
menyambung. "Sedang Ayah menghilang dengan cara begitu.
Tadi malam aku sama sekali tidak bisa tidur. Sungguh!"
"Itu bisa kubayangkan," gumam Mr. Farrier. Tangannya
bergerak, seakan-akan hendak memegang tangan Mrs. Dobson.
Tapi Mrs. Dobson lekas-lekas menggeser tangannya ke bawah
meja.     
"Ini Mr. Farrier," kata wanita muda itu, tanpa memandang
langsung ke arah orang yang namanya disebut. "Mr. Farrier, ini
Mrs. Jones - dan Jupiter Jones."
"Jupiter Jones sudah saya kenal," kata Farrier dengan gaya
ramah. "Bagaimana kepalamu sekarang, Anak muda?"
"Sudah biasa lagi - terima kasih," jawab Jupiter.
"Akibat jatuh tidak boleh diremehkan," kata Farrier lagi. "Aku
ingat sewaktu aku di Kairo -"
"Belum pernah ke sana!" tukas Bibi Mathilda. Ia tidak ingin
pengganggu itu melantur lebih jauh.
Dan Mr. Farrier memang langsung bungkam.
"Apa rencana Anda sekarang, Mrs. Dobson?" tanya Bibi
Mathilda.
Wanita yang ditanya mendesah.
"Saya jelas takkan kembali ke Belleview, sebelum tahu persis
apa sebetulnya yang terjadi," katanya dengan sikap tabah.
"Untungnya ada surat dari Ayah, yang mengatakan bahwa saya
boleh tinggal di sini selama musim panas - jika saya berkeras
ingin datang. Bukan undangan yang sangat ramah - tapi
pokoknya, itu merupakan undangan juga! Saya sudah
memperlihatkannya pada Chief Reynolds tadi pagi. Surat itu
ditulis di kertas surat resmi Ayah, jadi Chief Reynolds boleh
yakin bahwa saya tidak bohong. Sementara ini ada seorang
polisi yang bertugas menjaga di rumah. Tapi Chief Reynolds
mengatakan jika para petugas sidik j ari sudah selesai dengan
pekerjaan mereka di sana, ia takkan melarang jika kita ingin
tinggal di rumah itu. Tapi saya kira ia sebetulnya tidak begitu
setuju."
"Lalu Anda akan pindah ke sana?" tanya Bibi Mathilda.     
"Rasanya, begitulah! Biaya perjalanan kami cukup tinggi, dan
tinggal di hotel ini kan tidak bisa cuma-cuma. Belum lagi Tom -
jangan-jangan sebentar lagi ia berkotek-kotek, jika masih
harus makan ayam goreng lagi di restoran pinggir jalan. Mrs.
Jones - tidak bisakah kepala polisi mengerahkan regu pencari
ke bukit-bukit, untuk mencari ayah saya?"
Kini Jupiter membuka mulut.
"Itu tak praktis, Mrs. Dobson," katanya. "Kelihatannya ayah
Anda lenyap karena ia sendiri yang menginginkannya. Sedang di
daerah perbukitan ada ribuan tempat di mana ia bisa
menyembunyikan diri. Dengan kaki telanjang pun, ia bisa -"
"Kaki telanjang?" kata Eloise Dobson dengan nada heran.
Suasana menjadi kikuk, karena tidak ada yang membuka mulut.
"Anda tidak tahu?" kata Bibi Mathilda kemudian.
"Tidak tahu apa? Apakah ayah saya melepaskan sepatunya -
atau bagaimana?" "Potter tidak pernah memakai sepatu," kata
Bibi Mathilda. "Ah - Anda pasti bercanda!"
"Maaf," kata Bibi Mathilda sepenuh hati. "Tapi Potter memang
benar-benar tidak pernah memakai sepatu. Ia biasa pergi ke
mana-mana tanpa sepatu, dan mengenakan jubah putih." Bibi
Mathilda berhenti sebentar. Rupanya ia merasa tidak enak,
karena keterangan selanjutnya pasti akan menambah kekusutan
pikiran Mrs. Dobson. Tapi kemudian pikirannya berubah.
"Rambutnya yang sudah putih dibiarkan tumbuh panjang,
begitu pula berewoknya."
Saat itu Tom Dobson datang, membawakan minuman untuk Bibi
Mathilda dan Jupiter.
"Seperti Nabi Eliah saja," kata remaja itu mengambil
kesimpulan.     
"Dengan kata lain," kata Mrs. Dobson, "ayahku merupakan
manusia eksentrik di kota ini."
"Satu di antara sekian banyak," kata Jupiter dengan nada
menenangkan. "Di Rocky Beach sini banyak orang eksentrik."
"Begitu." Di atas meja terletak sebatang sedotan. Mrs. Dobson
memungutnya, lalu mematah-matahkannya membentuk lipatan.
"Pantas ia tidak pernah mengirimkan fotonya. Mungkin ia
gelisah, karena aku akan datang. Mungkin ia tidak begitu suka -
tapi aku ingin sekali bertemu dengannya. Jadi ketika waktu
sudah mendesak, kurasa rasa ngerinya timbul, lalu ia
menghilang. Nah - takkan kubiarkan ia berbuat begitu! Aku
anaknya - yang sekarang ada di sini dan akan tetap berada di
sini. Jadi lebih baik jika ia muncul!"
"Ya - betul, Bu!" kata Tom bersemangat.
"Jadi tidak ada gunanya membuang-buang waktu," sambung
ibunya. "Tom, tolong katakan pada Miss Hopper, siang ini kita
akan keluar dari hotel. Dan telepon kepala polisi itu. Ia harus
menginstruksikan bawahannya yang menjaga di rumah Kakek,
bahwa kita harus diperbolehkan masuk."
"Anda yakin, tindakan itu bijaksana?" tanya Jupiter. "Saya
kemarin tidak bermaksud jahat, ketika masuk ke rumah ayah
Anda. Tapi ada orang lain yang begitu. Ini buktinya!" Ia
berkata begitu sambil meraba benjolan yang masih menghias
keningnya.
Eloise Dobson berdiri.
"Aku akan berhati-hati," katanya pada Jupiter. "Dan kalau ada
orang datang dengan maksud jahat, kunasihatkan saja padanya
agar juga berhati-hati. Aku tidak suka pada senjata api - tapi     
aku cukup mampu mengayunkan tongkat pemukul. Bukan itu
saja, aku juga membawanya."
Bibi Mathilda menatap wanita muda itu. Ia tidak
menyembunyikan kekagumannya.
"Hebat!" katanya. "Saya sendiri takkan berpikir ke situ."
Nyaris saja Jupiter terbahak. Bibinya takkan memerlukan
tongkat pemukul. Jika ada yang berani mencoba masuk ke
Jones Salvage Yard dengan niat jahat, mungkin Bibi Mathilda
malah akan menggebuk orang itu dengan lemari bekas.
Bibi Mathilda bangkit.
"Jika Anda hendak pindah ke rumah Potter hari ini, Anda pasti
memerlukan perabotan Anda," katanya. "Potter kemarin datang
ke perusahaan kami, dan di sana memilih satu tempat tidur
untuk Anda, serta satu lagi untuk putra Anda - di samping
beberapa barang lagi. Kami berdua akan mengurusnya nanti.
Setengah jam lagi kami akan mendatangi Anda di rumah.
Cukupkah waktunya?"
"Lebih dari cukup," kata Mrs. Dobson. "Anda baik hati! Tidak
enak rasanya, merepotkan Anda."
"Ah, ini kan bukan apa-apa," kata Bibi Mathilda. "Yuk, Jupiter."
Ia berjalan ke serambi, menuju jalan raya. Tapi kemudian
tertegun seperti teringat pada sesuatu, lalu berpaling ke arah
teras. "Selamat siang, Mr. Farrier," serunya.
Ketika sudah separuh jalan, barulah kegelian Jupiter meledak.
Ia tertawa keras-keras.
"Aku ingin tahu, pernah atau tidak Farrier mengalami dirinya
dianggap sepi seperti tadi," katanya pada bibinya. "Bibi
melindasnya, seperti tank raksasa melindas cacing."     
"Badut!" bentak Bibi Mathilda. "Soalnya aku tahu pasti, wanita
malang itu merasa terganggu olehnya! Laki-laki... - huhh!" Bibi
Mathilda mendengus.
Begitu sampai, Bibi Mathilda langsung bergegas masuk ke
rumah, membangunkan Paman Titus yang sedang enak-enak
tidur. Paman bangun dengan gontai, lalu memanggil Hans dan
Konrad. Dalam waktu lima belas menit, truk pengangkut sudah
dimuati kedua tempat tidur yang dipilih oleh Potter, ditambah
dua kursi dengan sandaran lurus, lalu dua lemari kecil yang
diambil sendiri oleh Bibi Mathilda dari gudang tempat
penyimpanan perabotan.
"Ia pasti memerlukan sesuatu untuk menaruh barang
bawaannya," katanya.
Hans dan Jupiter mengambil belanjaan Potter dari lemari es.
Setelah itu keduanya masuk ke kabin truk bersama Bibi
Mathilda. Dengan segera kendaraan pengangkut itu sudah
bergerak dijalan raya, menuju rumah Potter.
Mobil biru dengan pelat nomor Illinois diparkir dekat gudang
tempat Potter menyimpan bahan-bahan keperluannya. Ketika
truk yang membawa Bibi Mathilda bersama kedua asistennya
membelok dari jalan raya, Tom Dobson sedang berjalan menuju
rumah sambil menjinjing dua buah kopor. Sedang Mrs. Dobson
berdiri di serambi depan. Rambutnya yang pendek tergerai
dipermainkan angin.
"Semuanya beres?" seru Bibi Mathilda dari kabin truk.
"Yah - kalau Anda belum tahu, bubuk yang dipakai petugas sidik
jari berwarna kelabu," kata Eloise Dobson. "Dan bubuk itu
terserak di mana-mana di dalam rumah. Kurasa itu bisa
dibersihkan. Tapi kecuali cawan yang seabrek banyaknya, tidak     
ada apa-apa lagi di tempat ini. Kosong, seperti lumbung
sebelum panen!"
"Potter memang tidak suka membebani diri dengan harta
benda," kata Jupiter menjelaskan.
Eloise Dobson memandangnya dengan sikap heran.
"Selalu begitukah caramu berbicara?" tanyanya pada Jupiter.
"Jupiter gemar sekali membaca," kata Bibi Mathilda
menerangkan, lalu menghampiri bak belakang truk untuk
mengawasi pekerjaan menurunkan perabotan.
Jupiter sibuk dengan bagian kepala tempat tidur. Ia
kewalahan, karena benda yang terbuat dari kuningan itu berat.
Tapi tiba-tiba dilihatnya dua orang laki-laki berjalan dengan
santai, menuruni jalan pribadi Hilltop House. Ia sudah pernah
melihat mereka, ketika keduanya datang ke Jones Salvage
Yard sehari sebelum itu. Laki-laki langsing berambut ikal yang
menyetir mobil, serta penumpangnya yang bertubuh gempal dan
berkepala botak. Kedua orang itu memakai setelan yang rapi,
serta sepatu hitam. Mereka memandang sebentar ke arah
halaman depan rumah Potter yang sedang penuh dengan
kesibukan, lalu menyeberang jalan dan menuruni jalan setapak
yang menuju ke pantai.
Tom Dobson menghampiri Jupiter, untuk membantunya.
"Siapakah mereka itu?" tanya Tom. "Tetangga kami?"
"Aku juga tidak tahu," jawab Jupiter. "Mereka orang baru."
Tom memegang satu sisi bagian kepala tempat tidur,
sementara Jupiter menjunjung sisi yang satu lagi. "Pakaian
aneh, untuk berjalan-jalan di pantai," kata Tom.     
"Tidak semua orang menyesuaikan pakaiannya dengan apa yang
akan dilakukan," kata Jupiter. Ia teringat pada Mr. Farrier
yang semarak dandanannya.
Kedua remaja itu terhuyung-huyung masuk ke rumah sambil
menggotong bagian kepala tempat tidur yang berat. Mereka
membawanya ke tingkat atas. Saat itu Jupiter melihat bahwa
kata Eloise Dobson tadi memang benar. Rumah Potter bahkan
lebih kosong daripada lumbung-lumbung pada umumnya. Di
tingkat atas ada empat kamar tidur, serta sebuah kamar mandi
di mana terdapat bak mandi model kuno yang tinggi, dengan
penyangga berbentuk kaki binatang. Di dalam salah satu kamar
tidur ada sebuah katil yang tidak seberapa lebar dan ditutup
rapi dengan seprai putih. Potter juga memiliki sebuah meja
kecil yang terletak di samping pembaringan, lalu sebuah lampu,
sebuah jam weker, dan sebuah bupet kecil berlaci tiga buah.
Bupet itu dicat putih. Hanya itu saja. Ketiga kamar tidur
lainnya nampak sangat rapi dan bersih. Tapi kosong melompong!
"Ibu memilih kamar ini, Bu?" tanya Tom, sambil menjengukkan
kepala ke dalam kamar yang terletak di sebelah depan.
"Yang mana sajalah," kata Mrs. Dobson.
"Ada perapian di sini," kata Tom. "Dan coba lihat barang luar
biasa itu!"
Tom dan Jupe menyandarkan bagian kepala tempat tidur ke
dinding, lalu memperhatikan "barang luar biasa" yang menarik
perhatian Tom. Benda itu sebuah lempengan dari tembikar
selebar satu setengah meter, yang dipasang menempel ke
dinding di atas perapian.
"Rajawali berkepala dua!" kata Jupiter.     
Tom menelengkan kepala, mengamat-amati burung tembikar
berwarna merah menyala, yang kedua paruh runcingnya
menganga lebar.
"Teman lamamu?" kata Tom pada Jupiter.
"Mungkin kenalan lama kakekmu," kata Jupiter. "Ia selalu
berkalung medalion dengan hiasan rajawali seperti ini.
Mestinya ada makna khusus baginya. Kedua guci besar di sisi
jenjang di depan rumah juga dihiasi rajawali berkepala dua.
Kau melihatnya tadi?"
"Aku tadi sibuk," kata Tom. "Kami harus memindahkan sebuah
tempat tidur."
Saat itu terdengar langkah Bibi Mathilda yang berat, menaiki
tangga.
"Mudah-mudahan persediaan seprai orang itu mencukupi," kata
Bibi Mathilda dengan nada prihatin. "Begitu pula alas tempat
tidur. Kau melihat kasur-kasur, Jupiter?"
"Ada, di kamar belakang," seru Tom. "Masih baru semuanya.
Masih dibungkus kertas."
"Syukurlah," kata Bibi Mathilda. Setelah itu ia sibuk membuka
pintu demi pintu, sampai akhirnya menemukan lemari tempat
penyimpanan seprai dan taplak. Di situ ada seprai yang juga
masih baru, lalu alas tempat tidur, serta selimut. Dan juga dua
buah bantal, yang masih terbungkus dalam plastik.
Bibi Mathilda membuka salah satu jendela sebelah depan.
"Hans!" serunya memanggil ke bawah.
"Ya, saya datang!" Hans naik ke rumah, sambil menjunjung
bagian kaki tempat tidur kuningan. "Pasti repot memasangnya
nanti," kata Tom Dobson.     
Kenyataannya memang begitu. Hans baru berhasil memasang
tempat tidur berat itu, setelah dibantu sekuat tenaga oleh
Jupe dan Tom. Setelah itu kasur-kasur diambil dari kamar
belakang lalu dipasang di tempatnya, sementara Bibi Mathilda
sibuk membentangkan seprai. Tiba-tiba ia berseru dengan
kaget.
"Belanjaan masih ada di bak belakang!"
"Belanjaan?" kata Mrs. Dobson. "Kok Anda repot-repot?"
"Bukan aku yang berbelanja," kata Bibi Mathilda. "Ayah Anda
begitu banyak membeli bekal bahan pangan - rasanya
mencukupi untuk memberi makan sepasukan tentara. Selama ini
kutaruh di dalam lemari es, supaya jangan busuk."
Eloise Dobson nampak kaget mendengar keterangan itu.
"Ayah rupanya sudah menyiapkan diri, setelah tahu kami akan
datang. Tapi kalau begitu, kenapa ia kemudian minggat? Yah...,
kuambil saja belanjaan itu," katanya menyambung dengan
cepat, lalu ke bawah. "Tolong dia sebentar, Jupiter," kata Bibi
Mathilda.
Jupiter baru sampai di pertengahan tangga ketika Mrs. Dobson
masuk kembali sambil menjinjing kantung-kantung kertas.
"Yang jelas, kami takkan kelaparan," kata wanita itu, lalu
menuju ke dapur.
Jupiter mengikutinya. Tiba-tiba Mrs. Dobson tertegun. Kedua
lengannya terkulai lemas, sehingga kantung-kantung yang
dijinjingnya jatuh ke lantai. Eloise Dobson menjerit.
Jupiter mendorongnya ke samping, sementara pandangannya
terarah ke dapur. Ada sesuatu yang luar biasa di situ, dekat
pintu sepen. Tiga kobaran api berwarna hijau!     
"Ada apa?" Bibi Mathilda bergegas menuruni tangga, seiring
dengan Tom. Hans menyusul di belakang keduanya.
Jupe dan Mrs. Dobson masih tegak seperti terpaku di tempat
masing-masing, sambil menatap nyalang ke arah ketiga lidah api
aneh yang berwarna hijau menyeramkan.
Bibi Mathilda mengucap-ucap.
Nyala api berkelip-kelip lalu padam, tanpa sedikit pun
meninggalkan bekas asap. "Apa-apaan itu?" kata Tom Dobson.
Jupiter masuk ke dapur, diikuti oleh Hans dan Tom. Hampir
semenit lamanya mereka terpaku memandang lantai linoleum -
ke tempat nyala api yang menari-nari tadi. Kemudian Hans
berkata, "Itu Potter! Ia kembali! Ia kembali untuk menghantui
rumah ini!"
"Tidak mungkin!" kata Jupiter Jones. Tapi ia tidak bisa
membantah kenyataan yang ada. Di lantai linoleum nampak
bekas nyala api - berbentuk tiga tapak kaki. Tapak kaki
telanjang!

Bab 6
TUGAS UNTUK TRIO DETEKTIF
HANS cepat-cepat disuruh ke telepon umum di pinggir jalan
raya untuk memanggil polisi. Dan sepuluh menit kemudian polisi
sudah datang. Seluruh rumah diperiksa, dari ruang loteng
sampai ke ruang bawah tanah. Tapi tidak ada sesuatu pun yang
ditemukan - kecuali ketiga jejak kaki yang hangus di lantai
dapur.
Officer Haines mengendus bau jejak-jejak itu. Ia juga
melakukan pengukuran. Dicongkelnya sedikit linoleum yang     
hangus terbakar, lalu dimasukkannya ke dalam sebuah sampul.
Petugas polisi itu menatap Jupiter dengan pandangan dingin.
"Jika ada sesuatu tentang urusan ini yang kauketahui, tapi
tidak kaukatakan pada kami -" katanya dengan sikap curiga.
Tapi Bibi Mathilda langsung memotong.
"Omong kosong!" tukasnya. "Mana mungkin Jupiter bisa
mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui? Sepanjang hari ia
ada bersamaku, dan tadi ia baru saja turun untuk membantu.
Mrs. Dobson memasukkan belanjaan, ketika tahu-tahu muncul
anu - eh, jejak-jejak itu."
"Oke, oke," kata petugas polisi itu. "Cuma ia selalu saja
kebetulan hadir, jika ada suatu kejadian, Mrs. Jones."
Haines memasukkan sampul berisi cukilan linoleum hangus ke
dalam kantungnya.
"Jika saya ini Anda, Mrs. Dobson," katanya, "saya akan keluar
dari sini, dan kembali ke hotel."
Eloise Dobson duduk terhenyak, lalu menangis. Sedang Bibi
Mathilda menggeratak dengan geram. Diisinya sebuah cerek
dengan air, untuk membuat teh panas. Ia yakin, tidak banyak
kesulitan dalam hidup ini yang tidak bisa diperingan dengan
secangkir teh panas.
Polisi kembali ke markas besar mereka. Tom dan Jupiter pergi
ke halaman depan yang luas, lalu duduk di jenjang tangga, di
antara kedua guci besar.
"Aku cenderung berpendapat bahwa kata Hans tadi benar,"
kata Tom. "Bisa saja kakekku sudah meninggal dunia, lalu..."
"Aku tidak percaya pada hantu," kata Jupiter tegas. "Bukan itu
saja - aku pun tidak percaya bahwa kau percaya hantu itu ada.
Lagi pula, Potter kan sudah begitu repot bersiap-siap     
menyambut kedatangan kalian. Untuk apa ia kini kembali dan
menakut-nakuti ibumu dengan cara seperti tadi?"
"Aku juga takut," kata Tom terus terang. "Jika kakekku masih
hidup, di mana ia sekarang?"
"Paling akhir kita ketahui, ia ada di bukit," kata Jupiter.
"Tapi kenapa?" tanya Tom.
"Alasannya tergantung dari banyak hal," kata Jupiter. "Berapa
banyak sebenarnya yang kauketahui tentang kakekmu?"
"Tidak banyak," kata Tom dengan jujur. "Cuma yang kudengar
dari ibuku saja. Sedang ia sendiri juga tidak banyak tahu
tentang Kakek. Salah satu di antaranya ialah bahwa dulu
namanya bukan Potter."
"Ah!" kata Jupiter. "Aku pun sudah sering bertanya-tanya
dalam hati tentang itu, karena rasanya terlalu kebetulan -
pembuat tembikar bernama Potter."
"Kakek sebenarnya berasal dari Ukraina, di sebelah timur
Eropa. Tapi ia sudah lama pindah ke Amerika Serikat," kata
Tom. "Datangnya kemari kalau tidak salah tahun 1931. Nama
sebenarnya banyak huruf 'c' dan 'z', sehingga orang sini tidak
mampu menyebutnya. Ia bertemu dengan nenekku ketika ia
sedang mengikuti kursus kerajinan tembikar di sebuah sekolah
malam di New York. Nenekku tidak ingin menjadi Mrs.... Mrs....
ah entah siapa nama sebenarnya, dan karena itu Kakek lantas
mengganti namanya dengan Potter."
"Nenekmu orang New York?" tanya Jupiter.
"Kalau aslinya, bukan," kata Tom. "Ia dilahirkan di Belleview,
seperti kami juga. Ia pergi ke New York, dengan maksud
hendak menjadi perancang busana - atau semacam itulah!
Kemudian Nenek berjumpa dengan pria bernama Alexander     
Anu itu lalu menikah dengannya. Kurasa waktu itu Kakek belum
punya kebiasaan mengenakan jubah panjang berwarna putih.
Nenek pasti tidak suka. Pandangannya kuno!"
"Kau masih ingat padanya?"
"Sedikit-sedikit. Nenek sudah lama meninggal dunia, sewaktu
aku masih kecil. Sakit radang paru-paru. Dari pembicaraan
yang kudengar dalam keluarga kami, sejak awal Nenek sudah
tidak bisa cocok dengan kakekku. Kakek benar-benar hebat
selaku pengrajin tembikar. Ia waktu itu memiliki toko kecil.
Tapi Nenek mengatakan, suaminya sangat penggugup, dan
setiap pintu dilengkapi dengan kunci sampai rangkap tiga.
Nenek juga mengatakan, ia tidak tahan mencium bau tanah liat
yang lembab. Jadi ketika hendak melahirkan ibuku, Nenek
kembali ke Belleview, dan sejak itu tetap tinggal di sana."
"Ia tidak pernah kembali ke suaminya?"
"Tidak. Kalau tidak salah, Kakek pernah satu kali datang
menjenguk ketika ibuku masih sangat kecil. Tapi Nenek dan
Kakek tidak pernah berkumpul kembali."
Jupiter menarik-narik bibirnya. Terbayang olehnya betapa
sepinya kehidupan Potter, tinggal seorang diri di rumahnya, di
tepi laut.
"Tapi Kakek tidak pernah melupakan Nenek," kata Tom.
"Setiap bulan ia mengiriminya uang - untuk ibuku! Dan ketika
kemudian orang tuaku menikah, Kakek menghadiahi mereka
perlengkapan yang hebat untuk minum teh. Ia juga selalu
menulis surat. Bahkan ketika nenekku sudah meninggal dunia
pun ia masih suka menulis - pada ibuku. Sampai akhir-akhir ini."
"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Jupiter.     
"Wah - ayahku hebat," kata Tom. Terdengar jelas bahwa ia
sangat menyukai ayahnya. "Ia memiliki sebuah toko besi di
Belleview. Ia tidak begitu gembira ketika Ibu memutuskan
untuk datang menjenguk Kakek kemari - tapi akhirnya Ibu
berhasil memaksakan kemauannya."
"Kau tahu tidak, apa sebabnya kakekmu kemudian pindah ke
California sini?" tanya Jupiter.
"Kurasa karena cuacanya," kata Tom. "Bukankah kebanyakan
orang pindah kemari karena alasan itu?"
"Masih ada alasan lainnya," kata Jupiter. Matanya tertatap ke
arah jalan setapak yang menuju pantai. Kedua laki-laki yang
bersetelan gelap nampak mendaki dengan susah payah di sana,
kemudian menyeberang, lalu memasuki jalan pribadi Hilltop
House.
Jupiter berdiri. Ia bersandar ke guci besar yang ada di
dekatnya. Ditelusurinya bentuk kawanan rajawali merah
menyala di situ dengan jarinya.
"Kita menghadapi serangkaian teka-teki menarik," katanya.
"Pertama, apa sebabnya Potter tahu-tahu menghilang? Lalu
kedua, siapa yang mengacak-acak kantornya kemarin?
Selanjutnya, siapa, atau apa, yang menimbulkan tapak kaki
berapi di dapur tadi? Dan untuk apa? Lalu tidakkah aneh,
bahwa selama ini tak seorang pun di Rocky Beach ini yang tahu
bahwa kalian ada?"
"Itu kan tidak aneh, jika Kakek hidup seperti pertapa," balas
Tom. "Maksudku, orang yang cuma punya sebuah kursi saja di
rumahnya, bisa dibilang tidak suka bergaul."
"Pertapa atau tidak, tapi ia kan tetap seorang kakek," kata
Jupiter Jones. "Beberapa orang kenalan Bibi Mathilda juga     
punya cucu, dan mereka gemar sekali memperlihatkan fotofoto
cucu mereka. Sedang Potter tidak pernah sekali pun
melakukannya. Ia bahkan tidak pernah menyebut-nyebut
tentang dirimu atau ibumu, pada siapa pun juga."
Tom Dobson memeluk lututnya.
"Aku rasanya seperti tidak kelihatan karenanya," kata remaja
itu. "Kejadian ini seperti mimpi buruk! Kurasa lebih baik kami
cepat-cepat pulang ke Belleview. Cuma -"
"- jika itu kalian lakukan, kau takkan pernah mengetahui
jawaban segala teka-teki ini. Ya, kan?" kata Jupiter
menyambung. "Kusarankan agar kalian sebaiknya menghubungi
perusahaan detektif swasta."
"Mana mungkin!" kata Tom dengan kaget. "Kami memang bukan
orang miskin, tapi dibilang kaya juga tidak. Untuk menyewa
tenaga detektif swasta, kan memerlukan uang cukup banyak!"
"Kalau perusahaan yang ini, pasti akan kaunilai pantas," kata
Jupiter. Ia merogoh kantungnya, lalu mengeluarkan selembar
kartu nama yang langsung disodorkannya pada Tom. Ukuran
kartu itu agak besar, dan di situ tertulis:
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja" ? ? ?
Penyelidik Satu - Jupiter Jones Penyelidik Dua - Pete
Crenshaw Catatan dan Riset - Bob Andrews
Tom membacanya, lalu tersenyum hambar. "Kau bercanda,"
katanya.
"Tidak - aku serius," kata Jupiter pada remaja itu. "Hasil
kegiatan kami selama ini sangat mengesankan." "Tapi kenapa di
sini ada tiga tanda tanya?" tanya Tom.
"Sudah kusangka kau akan menanyakannya," kata Jupiter.
"Tanda tanya kan simbol yang umum, untuk sesuatu yang tidak     
diketahui. Ketiga tanda tanya itu merupakan semacam lambang
Trio Detektif, yang berarti kami selalu siap untuk menyelidiki
setiap misteri yang diajukan pada kami."
Tom Dobson melipat kartu nama itu, lalu mengantunginya.
"Baiklah," katanya. "Lalu bagaimana jika kasus lenyapnya
kakekku ditangani oleh Trio Detektif?" "Pertama-tama,
kusarankan bahwa sebaiknya itu merupakan urusan sesama kita
saja. Ibumu saat ini pun sudah agak kacau pikirannya. Jadi bisa
saja ia nanti secara tidak sengaja mengacaukan hal-hal yang
sudah kita atur." Tom mengangguk.
"Orang dewasa, kadang-kadang memang malah suka menambah
kerepotan," katanya.
"Selanjutnya, aku beranggapan bahwa pendapat Officer Haines
tadi benar. Kuanggap tidak bijaksana jika kau dan ibumu tetap
tinggal di rumah ini, berdua saja."
"Maksudmu, kau menghendaki agar kami kembali ke Seabreeze
Inn?"
"Itu tentu saja tergantung dari ibumu," kata Jupiter. "Tapi
jika kalian tetap di sini, mungkin kalian akan lebih merasa
tentram jika salah seorang penyelidik ikut tinggal di sini
bersama kalian."
"Aku tidak tahu pendapat Ibu," kata Tom, "tapi aku sudah
jelas akan jauh lebih senang." "Jadi urusan itu beres," kata
Jupiter. "Nanti akan kubicarakan dengan Bob dan Pete." Saat
itu Bibi Mathilda muncul bergegas-gegas.
"Jupiter!" katanya. "Kami sudah selesai memasang tempat
tidur yang satu lagi. Tidak ada salahnya jika kau agak lebih
rajin membantu!"     
"Maaf, Bi, aku keasyikan mengobrol dengan Tom." Bibi
Mathilda mendengus.
"Sejak tadi aku berusaha membujuk Mrs. Dobson agar mau
kembali ke hotel. Tapi ia berkeras terus, ingin tetap di sini.
Menurut anggapannya, ayahnya setiap saat bisa kembali." "Itu
mungkin saja," kata Jupiter. "Ini kan rumahnya."
Mrs. Dobson keluar. Wajahnya masih pucat. Tapi ketabahannya
sudah agak pulih, setelah menikmati secangkir teh panas.
"Yah," kata Bibi Mathilda, "kami pulang saja sekarang, jika
tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk Anda. Jika Anda
nanti merasa takut, telepon saja ke rumah. Hati-hati sajalah!"
Eloise Dobson berjanji akan berhati-hati, dan rumah akan
dikunci dengan baik.
"Mereka perlu mendatangkan tukang kunci," kata Bibi
Mathilda, ketika truk yang dinaikinya bersama Hans dan
Jupiter sudah meluncur ke arah Rocky Beach. "Soalnya,
mereka bisa mengunci pintu-pintu rumah itu dari dalam, tapi
tidak bisa membukanya dari luar. Potter edan itu rupanya
membawa seluruh anak kunci! Dan mereka juga perlu memasang
pesawat telepon. Risikonya terlalu besar, tinggal sendiri di situ
tanpa telepon."
Jupiter sependapat dengannya.
Ketika truk sudah sampai lagi di Jones Salvage Yard, Jupiter
menyelinap pergi dengan diam-diam. Ia masuk ke markas lewat
Lorong Dua, lalu menelepon Pete Crenshaw dan Bob Andrews.
"Trio Detektif mendapat klien baru!" katanya pada Pete. "Dan
namanya bukan Jupiter Jones!"

Bab 7      
TRAGEDI DI KERAJAAN
KETIKA Trio Detektif berkumpul dalam karavan yang
merupakan markas mereka, hari sudah sore. Sudah pukul lima
lewat. Secara singkat Jupiter menyampaikan laporan tentang
kepindahan Mrs. Dobson beserta anaknya ke rumah Potter, lalu
tentang jejak menyala yang tahu-tahu nampak di lantai dapur.
"Astaga!" seru Pete. "Jangan-jangan Potter sudah meninggal
dunia, lalu arwahnya kembali untuk menghantui rumah itu!"
"Itulah yang dikatakan oleh Hans," kata Jupiter. "Tapi jejakjejak
itu tidak dibuat oleh Potter. Setidak-tidaknya, itu bukan
jejak kakinya. Potter sudah bertahun-tahun tidak memakai
sepatu. Mungkin kalian pernah memperhatikan, bahwa kakinya
menjadi lebar. Sedang jejak kaki yang nampak itu langsing dan
kecil - seperti tapak kaki laki-laki yang kecil, atau wanita."
"Mrs. Dobson?" kata Pete.
"Ia tidak punya waktu untuk itu," kata Jupiter, "Ia turun dari
tingkat atas, lalu langsung keluar untuk mengambil belanjaan
dari bak belakang truk. Dan aku langsung menyusulnya. Ia
sudah mengambil belanjaan dan hendak melangkah masuk ke
dapur, ketika ia melihat nyala api itu. Dan aku ada di
belakangnya. Kecuali itu, untuk apa ia berbuat begitu? Dan
dengan cara bagaimana?"
"Bagaimana dengan kedua orang yang di Hilltop House?" kata
Pete lagi.
"Itu bisa saja," kata Jupiter. "Mereka pergi ke pantai, ketika
kami mulai memasukkan barang-barang untuk Mrs. Dobson
serta anaknya. Kita tidak tahu pasti, apakah kedua orang itu
terus ada di pantai. Bisa saja mereka masuk ke rumah lewat     
pintu depan yang tidak ditutup, lalu dengan salah satu cara
menyebabkan jejak-jejak kaki itu menyala, dan kemudian
menyelinap ke luar lagi, kembali ke pantai. Keterangan apa saja
yang berhasil kauperoleh tentang Hilltop House, Pete?"
Pete mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari kantungnya.
"Belum pernah kulihat Mr. Holtzer begitu senang," katanya
pada kedua temannya. "Aku tadi mampir di kantornya, untuk
menanyakan apakah ia memerlukan tenagaku untuk memotong
rumput halaman rumahnya - dan ia mengatakan tidak - dan
selanjutnya aku tidak perlu bertanya lagi. Ia langsung
menceritakannya. Hilltop House itu ternyata sudah lima belas
tahun termasuk dalam daftarnya. Bangunan itu sudah sangat
rusak, sehingga ia tidak bisa menjual, atau menyewakannya.
Bahkan diberi pun, tidak ada yang mau! Kemudian muncul
seseorang yang mengatakan bahwa itu satu-satunya rumah di
Rocky Beach yang cocok dengan seleranya, dan bahwa ia harus
berhasil memperolehnya. Orang itu mengontraknya untuk satu
tahun, dengan pembayaran sewa di muka untuk tiga bulan.
Surat kontrak rumah itu ada di atas meja Mr. Holtzer - kurasa
saat itu ia sedang menghitung uang komisi untuknya -jadi aku
sempat membaca nama penyewanya yang baru."
"Siapa namanya?"
"Mr. Ilyan Demetrieff," kata Pete. "Atau mungkin juga
Demetrioff. Aku tidak tahu pasti, karena aku membacanya dari
posisi terbalik. Dan Mr. Holtzer menyuruh mesin tiknya
dibersihkan. Pokoknya, orang itu bernama Demetrieff atau
Demetrioff, dan alamatnya yang lama Wilshire Boulevard
nomor 2901, Los Angeles."     
Bob mengambil buku telepon besar yang terletak di atas
sebuah lemari arsip, membalik-balik halamannya, lalu
menggeleng.
"Ia tidak terdaftar di sini."
"Banyak orang yang tidak terdaftar dalam buku telepon," kata
Jupiter. "Nanti bisa kita telusuri kebenaran alamat itu, serta
mengadakan penyelidikan tentang Mr. Demetrieff." Ia
menarik-narik bibirnya. "Aku ingin kita tahu lebih banyak
tentang rajawali berkepala dua itu. Kurasa itu mungkin sangat
penting! Wujud itu tidak cuma ada di medalion yang selalu
dipakai Potter, tapi juga terdapat pada dua guci di halaman
depan rumahnya, serta pada lempeng tembikar besar yang
terpasang di dalam salah satu kamar tidurnya. Kelihatannya
bentuk itu sangat menarik bagi Potter."
Bob Andrews tertawa nyengir.
"Tentang itu, nasib kita sedang mujur," katanya pada Jupiter.
"Apa maksudmu?"
"Kita tidak perlu menunggu sampai perpustakaan dibuka
besok," kata Bob. "Ayahku baru saja membeli sebuah buku
penghias meja kopi." "Apa?" kata Pete bingung.
"Buku penghias meja kopi - itu, buku-buku bergambar
berukuran besar, yang reklamenya biasa dikirimkan lewat pos.
Ayahku gampang sekali terbujuk untuk membelinya." Dekat
kaki Bob ada sebuah kardus. Sambil tersenyum bangga
diletakkannya kardus itu di atas meja, lalu dibuka. Pete dan
Jupiter melihat sebuah buku yang indah, dengan sampul
mengkilat. Judulnya, Harta Kaum Ningrat. Studi Foto tentang
Makota-makota Kerajaan di Eropa, Disertai Komentar oleh E.
P. Farnsworth.     
"Bukankah itu makota Kerajaan Inggris?" kata Jupiter, sambil
memandang benda indah yang menghiasi sampul buku. Makota
itu terletak di atas kain beledu merah tua, dan difoto dari
jarak dekat.
"Salah satu dari makota kerajaan," kata Bob menegaskan.
"Kerajaan Inggris memiliki beberapa makota, ditambah sekian
banyak tongkat kebesaran, bentuk bulatan dunia dengan salib,
begitu pula pedang. Buku ini disusun mencakup kawasan yang
luas. Ada foto-foto perhiasan Kerajaan Inggris, lalu makota
Charlemagne, yang disimpan di Austria, serta makota St.
Stephen dari Hongaria. Lalu ada pula makota Lombardia, yang
terbuat dari besi. Selanjutnya sedikit tentang Rusia. Pada
masa kekuasaan Tsar, orang Rusia sangat menggemari lambang
burung rajawali - tapi kurasa rajawali inilah yang kita cari."
Sambil berbicara, Bob membalik-balik halaman buku itu, sampai
lewat dari separuh, lalu menyodorkannya pada Jupiter.
"Makota Kerajaan Lapatia," katanya singkat. Pete ikut melihat
dari balik bahu Jupiter. "Ya, betul!" katanya.
Makota Kerajaan Lapatia lebih mirip helm - tapi helm yang
terbuat dari emas, dan penuh dengan hiasan batu permata
berwarna biru. Pada bagian atasnya, empat simpai emas
melingkari sebutir batu delima berukuran besar. Dan di atas
batu permata itu terpasang bentuk seekor burung rajawali.
Rajawali berwarna merah, dan berkepala kembar. Sayapnya
yang cemerlang terbentang lebar, sedang kepalanya yang
sepasang memandang ke kiri dan ke kanan. Matanya yang dari
intan nampak gemerlapan, sedang kedua paruhnya ternganga,
seakan-akan menantang bertarung.     
"Kelihatannya memang sangat mirip dengan rajawali yang
dibuat oleh Potter," kata Jupiter.
"Teks mengenainya ada di halaman sebelah," kata Bob.
Jupiter membalik halaman, lalu membaca teks yang tertera di
situ dengan suara lantang,
"Makota Kerajaan Lapatia diciptakan oleh seorang seniman
bernama Boris Kerenov, sekitar tahun 1543. Bentuk makota itu
oleh Kerenov diambil dari helm yang dipakai oleh Pangeran
Federic Azimov, dalam pertempuran di Karlon. Kemenangan
Azimov dalam pertempuran itu mengakhiri perang saudara yang
selama itu melanda dan memporak-porandakan Kerajaan
Lapatia. Setelah dikalahkan balatentara Azimov, para
bangsawan daerah selatan mengucapkan sumpah, untuk tidak
lagi melanggar perdamaian di Lapatia. Tahun berikutnya,
Pangeran Federic mengundang kaum bangsawan untuk datang
ke Puri Madanhoff, di mana ia kemudian menyatakan dirinya
sendiri menjadi raja Lapatia. Para bangsawan yang terkurung di
dalam puri dan terpisah dari pasukan masing-masing,
menyatakan patuh pada Pangeran Federic, serta mengucapkan
sumpah setia padanya, selaku penguasa yang berdaulat. Tapi
seorang pembangkang, yang dikenal dengan julukan Ivan yang
Gagah, tidak mau mengucapkan sumpah setia. Menurut legenda,
pejuang yang tidak mau tunduk itu kemudian dihukum mati di
balairung Madanhoff, lalu kepalanya ditancapkan di ujung
tombak, dan dipasang di atas tembok pertahanan puri.
"Penobatan Federic I dari Lapatia berlangsung di ruang gereja
Puri Madanhoff, tahun 1544. Makota yang dirancang dan
dibuat oleh Kerenov, selama hampir 4 abad berada di tangan
keluarga Azimov, dan terakhir kali dipakai dalam penobatan    
Raja William IV, tahun 1913. Setelah wangsa Azimov
digulingkan tahun 1925, makota itu dinyatakan menjadi milik
rakyat Lapatia, dan kini dipamerkan di Museum Nasional
Madanhoff, ibu kota yang kemudian berkembang, dengan puri
Pangeran Federic sebagai pusatnya.
"Makota Azimov yang terbuat dari emas murni dan
bertatahkan batu permata biru, atau lapis lazuli, bagian
atasnya dihias dengan batu delima besar. Batu permata ini
dikatakan dulunya milik Ivan yang Gagah. Segala harta milik
bangsawan ini, setelah ia dihukum mati, disita oleh Federic
Azimov. Rajawali berkepala kembar yang bertengger di atas
batu permata itu merupakan lambang kebesaran wangsa
Azimov. Kerenov membuatnya dari emas yang kemudian diupam.
Mata rajawali itu berupa batu intan, yang masing-masing
beratnya lebih dari dua karat."
Jupiter berhenti membaca. Dibaliknya halaman, lalu sekali lagi
mengamat-amati foto makota.
"Begitulah salah satu cara memperoleh kekuasaan tertinggi,"
kata Pete. "Bunuh saja mereka yang membangkang."
"Tapi tindakan menyabet batu delima milik orang yang nyalang
itu, lalu menancapkannya ke makota, bukan merupakan sikap
terpuji," kata Bob.
"Di masa itu orang memang biasa main kasar," kata Jupiter.
"Tahun 1925 pun masih tetap begitu," kata Bob, sambil
mengeluarkan buku catatannya. "Aku sudah mencari Lapatia
dalam ensiklopedi. Kalian boleh percaya atau tidak - tapi
Lapatia ternyata masih ada sekarang." "Belum dicaplok salah
satu negara besar?" kata Jupe.     
"Tidak - tapi sekarang sudah berbentuk republik. Ini,
kubacakan sebentar. Republik Lapatia, luas wilayah 73 mil
persegi, jumlah penduduk sekitar 20.000 jiwa. Keju merupakan
penghasil devisa terpenting. Balatentara tetap berjumlah 350
orang, 35 di antaranya berpangkat jenderal."
"Jadi satu jenderal untuk setiap sepuluh prajurit," kata Pete
tercengang.
"Yang jelas, mereka tidak bisa dibilang kurang pimpinan," kata
Jupiter mengomentari sambil tertawa. "Apa lagi yang ada
dalam catatanmu, Bob?"
"Majelis Nasional Lapatia merupakan lembaga pemerintahan,
dan beranggotakan para jenderal yang 35 orang, ditambah
wakil-wakil departemen, atau provinsi, yang masing-masing
menunjuk seorang utusan. Jumlah provinsinya ada sepuluh -jadi
bisa kita tebak bagaimana hasilnya, jika diadakan pemungutan
suara."
"Negara dikuasai para jenderal," kata Jupiter.
"Mereka juga yang memilih presiden," kata Bob.
"Tapi bagaimana dengan nasib wangsa Azimov?" tanya Pete.
"Nah - mereka tidak ada lagi di sana. Sudah kukatakan tadi,
tahun 1925 mereka di sana masih tetap main kasar. William IV
- kalian ingat, dialah keturunan Azimov terakhir yang masih
menyandang makota kerajaan - waktu itu berpendapat, kas
kerajaan mulai mengering. Ia menikah dengan wanita
bangsawan Lapatia - masih sepupunya sendiri, jadi juga
termasuk wangsa Azimov. Nah, permaisuri ini seleranya sangat
tinggi! Gemar mengumpulkan gelang intan berlian, serta busana
ciptaan Paris. Anaknya ada empat, masing-masing dengan guru
pribadi, begitu pula kereta lengkap dengan kuda-kudanya. Raja     
William banyak utangnya. Sebagai jalan keluar dari kemelut itu,
ia mengenakan pajak atas setiap bongkah keju yang dihasilkan
di Lapatia. Tentu saja rakyat tidak senang. Dan para jenderal
melihat peluang itu. Mereka menunggu sampai hari ulang tahun
Raja William, saat mana seluruh keluarga besar Azimov
berkumpul di ibu kota. Waktu itulah mereka menyerbu istana,
lalu mengatakan pada William bahwa mulai saat itu ia bukan
raja lagi."
"Apa yang terjadi kemudian?" tanya Jupiter.
"Kemungkinannya serupa seperti yang dialami Ivan yang
Gagah," kata Bob. "Menurut catatan resmi, Baginda Raja gugup
mendengar maklumat itu, lalu melompat dari sebuah balkon,
tindakan mana menyebabkan ia tewas." "Ia didorong orang!"
kata Pete dengan perasaan kecut.
"Kemungkinannya memang begitu," kata Bob. "Sedang anggota
keluarga yang selebihnya ikut ketakutan, lalu mencabut nyawa
masing-masing dengan berbagai cara. Permaisuri dikatakan
bunuh diri dengan jalan minum racun." "Lalu rakyat mau saja
percaya?" seru Pete.
"Siapalah yang berani meragukan, menghadapi jenderal
sebanyak itu?" kata Bob dengan ketus. "Kecuali itu, dewan
jenderal juga langsung membatalkan peraturan pajak atas keju
- dan tindakan itu berhasil menenangkan gejolak perasaan yang
mungkin ada. Istana kerajaan dijadikan museum nasional,
sedang harta perhiasan kerajaan disumbangkan pada rakyat,
agar semua bisa ikut menikmati."
"Tanpa ada yang bisa memakainya," sela Jupiter. "Cerita yang
luar biasa! Tapi di pihak lain, mungkin juga tidak terlalu luar
biasa, karena revolusi Amerika juga ada sangkut pautnya     
dengan pajak, yaitu yang dikenakan atas kiriman teh. Adakah
anggota keluarga Azimov yang masih tersisa sekarang?"
"Nantilah, akan kuteliti lebih lanjut besok, di perpustakaan,"
kata Bob menjanjikan. "Menurut ensiklopedi yang kubaca,
wangsa itu tumpas dengan tewasnya Raja William, yang
melompat dari atas balkon."
Jupiter merenung.
"Menurut Tom Dobson, kakeknya berasal dari Ukraina.
Bagaimana jika Tom ternyata keliru? Potter nampaknya sangat
akrab dengan rajawali lambang wangsa Azimov. Jangan-jangan
ada hubungan antara dirinya dengan keluarga kerajaan itu."
"Atau bisa juga, dengan parajenderal yang berontak," kata Bob
menimpali. Pete bergidik.
"Mana mungkin, satu keluarga besar melakukan tindakan bunuh
diri secara serempak," katanya. "Ingat saja apa yang terjadi
dengan wangsa Romanov, yang dulu berkuasa di Rusia." "Mereka
dibantai kaum pemberontak," kata Jupe.
"Betul! Dan jika Potter ada sangkut pautnya dengan kejadian
itu, aku tidak ingin mengenalnya lebih dekat."

Bab 8
WORTHINGTON BERJASA
"AKU yakin," ujar Jupiter Jones dengan nada mantap, "apa pun
yang dulu pernah terjadi, Tom Dobson serta ibunya hanya tahu
bahwa Potter sangat ahli dalam menciptakan benda-benda
tembikar, dan bahwa saat ini ia lenyap. Begitu pula bahwa
seseorang, atau sesuatu, meninggalkan jejak kaki yang menyala
di dapur Potter siang tadi. Mrs. Dobson sangat terganggu       
perasaannya, sedang Tom juga bingung menghadapi situasi ini.
Aku menyarankan padanya, sebaiknya salah seorang anggota
Trio Detektif bermalam di rumah itu, menemani mereka.
Dengan begitu mereka akan merasa lebih aman, dan salah
seorang dari kita akan selalu ada jika terjadi sesuatu yang luar
biasa. Lalu ada satu jalur penyelidikan lain yang ingin
kubicarakan denganmu, Bob. Pete, coba kautelepon ibumu untuk
mengatakan -"
"Aku? Kenapa aku?" seru Pete kaget. "He, Jupe - rumah itu
bisa saja terbakar, karena jejak-jejak berapi itu! Sedang
jendela-jendela di tingkat atas, sangat tinggi letaknya. Jika
didorong ke bawah dari situ, ada kemungkinan nyawa
melayang!"
"Kau takkan sendiri di sana," kata Jupiter mengingatkan.
"Raja William juga tidak sendirian."
"Yah, kalau kau tidak mau, sudahlah," kata Jupiter. "Cuma aku
semula berharap..."
"Ya deh! Ya deh, aku mau," kata Pete bersungut-sungut. "Selalu
saja aku yang diserahi tugas-tugas asyik." Diraihnya pesawat
telepon, lalu diputarnya nomor rumahnya.
"Bu," katanya setelah hubungan tersambung, "aku sekarang di
tempat Jupiter. Bolehkah aku malam ini menginap di sini?"
Teman-temannya menunggu.
"Ya, menginap!" kata Pete lagi. "Kami sedang mencari-cari
sesuatu. - Sebuah medalion. - Ya, hilang!" Terdengar suara
Mrs. Crenshaw, bernada khawatir.
"Kata Jupiter, bibinya takkan berkeberatan," kata Pete, lalu
menyambung, "Ya - besok pagi-pagi aku pulang." Lalu, "Ya, aku
tahu - besok aku harus memotong rumput halaman."     
Dan akhirnya, "Baik, Bu. Terima kasih, sampai besok." Pete
mengembalikan gagang pesawat telepon ke tempatnya.
"Hebat!" kata Bob mengomentari.
"Dan alasannya tadi memang benar," kata Jupiter menimpali.
"Kita memang mencari medalion yang hilang - yaitu yang
tergantung di leher Potter."
Setelah itu Bob disuruh oleh Jupiter menelepon ke rumahnya.
Dan ia pun diizinkan tinggal, untuk makan malam di rumah
Jupiter.
"Jupiter!" Suara Bibi Mathilda terdengar lantang, masuk lewat
lubang udara yang ada di langit-langit karavan. "Jupiter Jones!
Di mana kau?"
"Untung kita sudah selesai!" kata Jupiter. Ketiga remaja itu
bergegas keluar lewat Lorong Dua. Setelah membersihkan
debu yang menempel di lutut, mereka lalu ke pekarangan.
Bibi Mathilda berdiri di dekat kantor perusahaan barang bekas
itu. Ia menyumpah-nyumpah.
"Apa sih yang kalian kerjakan - kelihatannya sibuk terus di
bengkel kalian? Makan malam sudah siap, Jupiter!"
"Bibi Mathilda," kata Jupe, "bolehkah Pete dan Bob ikut..."
"Ya, mereka bisa saja ikut makan malam dengan kita," Bibi
Mathilda memotong. "Kali ini hidangan cuma sosis dengan roti
dadar. Tapi cukup untuk kita semua!"
Pete dan Bob menerima ajakan itu, sambil mengucapkan terima
kasih.
"Tapi beri tahu dulu orang tua kalian," kata Bibi Mathilda lagi.
"Pakai saja pesawat telepon di kantor. Kalau sudah, kunci
pintunya, ya! Lima menit lagi kalian harus sudah hadir di meja
makan." Setelah itu Bibi Mathilda bergegas masuk ke rumah.     
"Mungkinkah ia bisa membaca pikiran orang?" tanya Pete.
"Mudah-mudahan saja tidak," kata Jupiter bersungguhsungguh.
Lima menit kemudian ketiga remaja itu sudah menghadapi meja
di ruang makan keluarga Jones, asyik melahap roti dadar
dengan sosis goreng yang masih berasap, sambil mendengar
cerita Paman Titus tentang masa lampau, ketika Rocky Beach
masih merupakan tanah lapang luas di pinggir jalan lintas.
Sehabis makan, anak-anak bergegas membantu Bibi Mathilda
membereskan meja serta mencuci piring. Ketika sudah selesai,
dan bak cuci juga sudah digosok sampai mengkilat lagi, mereka
beranjak ke arah pintu.
"Mau ke mana lagi sekarang?" tanya Bibi Mathilda.
"Pekerjaan kami belum selesai," kata Jupiter.
"Tapi jangan sampai terlalu larut, ya," kata Bibi Mathilda
memperingatkan. "Dan kalau sudah selesai, jangan lupa
mematikan lampu di bengkel. Dan ingat - pintu gerbang harus
dikunci lagi."
Jupiter berjanji akan menuruti segala petunjuk itu. Kemudian
mereka bergegas ke seberang jalan. Pete mengambil
sepedanya.
"Apakah Tom Dobson nanti bisa mengenali aku?" tanya Pete.
"Katakan saja padanya namamu," kata Jupiter menyarankan.
"Ia sudah kuberi kartu nama kita." "Baiklah." Pete mendorong
sepedanya meninggalkan pekarangan, lalu mengayuhnya ke arah
jalan raya. "Sekarang kita mengecek Mr. Demetrieff, yang
menyewa Hilltop House," kata Jupiter. "Kurasa Worthington
pasti bisa membantu kita."     
Beberapa waktu yang lalu, Jupiter memenangkan hadiah dalam
suatu sayembara yang disponsori sebuah perusahaan
penyewaan mobil, yaitu Rent- 'n-Ride Auto Rental Company.
Hadiahnya berupa hak penggunaan sebuah mobil Rolls-Royce
bersepuh emas, lengkap dengan sopirnya, untuk masa tiga puluh
hari. Worthington, sopir
kendaraan mewah itu yang berkebangsaan Inggris, dan selalu
anggun sikapnya, sudah sering mengantar Jupiter beserta
kedua temannya dalam kegiatan mereka selaku detektif
remaja. Akhirnya ia ketularan menggemari pekerjaan itu.
Minatnya sangat besar terhadap kasus-kasus yang sedang
ditangani ketiga detektif remaja itu. Bob memandang arlojinya.
Sudah hampir setengah delapan malam.
"Sekarang sudah terlalu malam - Worthington tidak bisa lagi
kita minta agar datang," katanya. "Sekarang kan Minggu
malam."
"Kita tidak perlu memintanya kemari," kata Jupiter.
"Worthington tinggal di distrik Wilshire. Jadi bisa mendatangi
alamat di distriknya itu - kecuali jika ia sedang sangat sibuk
dengan urusan lain. Hasil penyelidikannya mungkin akan
memberi petunjuk pada kita tentang diri Mr. Demetrieff itu."
Bob sependapat, tidak ada salahnya jika mereka mencoba.
Kedua remaja itu masuk lagi ke markas lewat Lorong Dua.
Setelah melihat catatan dalam buku telepon pribadinya, ia
memutar nomor rumah Worthington.
"Master Jupiter?" Worthington kedengarannya sangat senang,
mendengar suara Jupiter lewat telepon. Tapi sikapnya yang
selalu menjaga kesopanan, tetap dipertahankannya. Ia tetap     
menyapa Jupiter dengan sebutan "Master", yang berarti Tuan
muda. "Apa kabar?"
"Baik-baik saja," jawab Jupiter.
"Sayang - malam ini Rolls-Royce kita tidak bisa dipakai," kata
Worthington dengan nada menyesal. "Ada pesta besar di
Beverly Hills. Mobil itu disewa orang yang hendak ke sana,
dikemudikan oleh Perkins."
"Kami tidak memerlukan mobil itu malam ini, Worthington,"
kata Jupe. "Aku cuma ingin bertanya, mungkinkah Anda punya
waktu untuk melakukan sesuatu bagi Trio Detektif?"
"Saya sebetulnya sangat sibuk saat ini," kata Worthington,
"bermain kartu seorang diri - dan kalah terus! Jadi selingan
pasti disambut dengan senang hati. Apakah yang bisa saya
lakukan untuk kalian?"
"Kami memerlukan keterangan mengenai seseorang yang
bernama Mr. Ilyan Demetrieff," kata Jupiter, lalu mengejakan
nama itu. "Bisa juga namanya Demetrioff-dengan huruf 'o',"
katanya menambahkan. "Kami tidak begitu yakin tentang itu.
Tapi alamat yang diberikannya, Wilshire Boulevard nomor
2901. Kami ingin tahu, betulkah orang itu sampai saat ini
tinggal di alamat tersebut. Kami juga ingin tahu, seperti apa
wujud rumah di Wilshire nomor 2901 itu."
"Tempat itu tidak jauh dari sini di balik tikungan," kata
Worthington. "Saya akan jalan kaki ke sana, lalu membunyikan
bel di situ."
"Syukurlah jika Anda mau, Worthington," kata Jupiter. "Tapi
apa yang akan Anda katakan nanti, jika ada yang membukakan
pintu?"     
Dengan cepat Worthington sudah menemukan alasan yang
masuk akal.
"Saya akan mengatakan, saya ini ketua Panitia Sukarelawan
Penyemarak Wilshire Boulevard," kata Worthington. "Saya
akan meminta pendapatnya tentang kemungkinan menghias kaki
lima dengan tanaman dalam pot. Jika ia setuju, saya akan
mengajaknya masuk menjadi anggota panitia kami."
"Hebat, Worthington!" seru Jupiter.
Pembicaraan selesai, setelah Worthington berjanji akan
menelepon lagi dalam waktu setengah jam.
"Kadang-kadang timbul perasaan dalam diriku, sebaiknya
Worthington kita jadikan anggota Trio Detektif," kata Jupiter
sambil tertawa, setelah menceritakan rencana pengemudi mobil
Rolls-Royce itu pada Bob.
"Ia sendiri sudah merasa menjadi anggota," kata Bob.
"Menurut perkiraanmu, apakah yang akan dijumpainya di alamat
itu?"
"Kemungkinannya, ia takkan menjumpai apa-apa," kata Jupiter.
"Mungkin rumah yang kosong, atau apartemen tanpa penghuni.
Tapi setidak-tidaknya, ia nanti akan bisa bercerita tentang
lingkungan di situ. Idenya tentang Panitia Sukarelawan
Penyemarak Wilshire Boulevard menurutku sangat baik. Tidak
ada salahnya jika kita menggabungkan diri dalam panitia itu,
lalu mendatangi rumah-rumah di lingkungan yang pernah
menjadi tempat tinggal Mr. Demetrieff, untuk mencari-cari
keterangan tentang orang itu."
"Orang kota, mana pernah mengenal tetangga," kata Bob.
"Tapi kadang-kadang tahu - dan bahkan lebih banyak dari yang
kita kira." Jupiter melipat tangannya di belakang kepala, sambil     
menyandarkan punggung ke kursi. "Misalnya saja di lingkungan
yang didiami orang-orang yang sudah berumur lanjut,"
sambungnya. "Orang-orang itu sepanjang hari ada di rumah
terus. Mereka duduk di belakang jendela, memandang ke luar
untuk menonton kesibukan di jalan. Mereka selalu tahu apa
yang terjadi. Entah berapa banyak kasus kejahatan berhasil
dibongkar, karena seorang wanita tua yang tidak bisa lagi tidur
nyenyak, malam-malam bangun untuk melihat bunyi
mencurigakan yang terdengar dijalan!"
"Tolong ingatkan aku agar berhati-hati, jika lewat di depan
rumah Miss Hopper," kata Bob sambil nyengir.
"Kurasa tidak banyak yang tidak diketahuinya," kata Jupiter.
Ia membuka buku tentang harta perhiasan kaum ningrat Eropa
yang dibawa Bob, lalu mengamat-amati makota Azimov. "Kurasa
cocok dengan watak Pangeran Federic, bahwa makota ini dibuat
berbentuk helm."
"Orang itu, tingkah lakunya pasti sangat luar biasa," kata Bob.
Ia bergidik. "Menghukum mati Ivan yang Gagah kan merupakan
tindakan yang cukup menggentarkan. Untuk apa kepala yang
sudah terpisah dari tubuh, kemudian ditancapkan di atas
tembok puri?"
"Itu memang kebiasaan zaman dulu," kata Jupiter. "Kurasa
gunanya sebagai penggertak - dan aku yakin gertakan itu
berhasil. Wangsa Azimov bisa bertahan sampai empat abad
setelah itu"
Pesawat telepon berdering.
"Panitia Penyemarak Wilshire Boulevard tidak mungkin selekas
itu," kata Bob. Tapi ternyata memang Worthington yang
menelepon.     
"Sayang, Master Jupiter," kata sopir mobil mewah itu, "tidak
ada yang tinggal di Wilshire Boulevard nomor 2901, karena itu
merupakan bangunan kantor kecil, dan saat ini sudah tutup."
"Begitu ya," kata Jupiter menanggapi.
"Tapi lampu di ruang depan menyala, sehingga saya bisa
membaca papan nama yang terpasang di situ," sambung
Worthington dengan nada senang. "Saya mencatat perusahaanperusahaan
yang menempati bangunan itu. Sebentar, akan saya
bacakan - Acme Photostat Service, lalu Dr. H. H. Carmichael,
lalu Jensen Secretarial Bureau, Kamar Dagang Lapatia,
Sherman Editorial -"
"Tunggu, tunggu!" seru Jupiter memotong dengan cepat. "Apa
yang terakhir?"
"Sherman Editorial Bureau," kata Worthington.
"Bukan - bukan yang itu, tapi sebelumnya! Anda menyebut kata
Lapatia -" "O, yang itu! Kamar Dagang Lapatia," kata
Worthington.
"Kurasa, Anda telah memberi informasi yang kami inginkan,
Worthington," kata Jupiter.
"O ya?" Suara Worthington bernada heran. "Tapi tidak ada
nama Mr. Demetrieff pada daftar itu," katanya mengingatkan.
"Jika Anda bertanya tentang orang itu di Kamar Dagang
Lapatia," kata Jupiter, "mungkin mereka akan mengatakan,
saat ini ia sedang berlibur di Rocky Beach. Tapi mungkin juga
tidak. Terima kasih, Worthington. Sampai lain kali!"
Jupiter meletakkan gagang telepon.
"Orang yang baru menyewa Hilltop House, ternyata datang
dari Kamar Dagang Lapatia," katanya pada Bob. Kemudian ia
mengalihkan perhatiannya lagi pada foto makota Azimov.     
"Rajawali merah, dulu merupakan lambang Kerajaan Lapatia,
dan saat ini nampaknya sangat digemari Potter. Lalu seseorang
dari Kamar Dagang Lapatia menyewa sebuah rumah, yang
letaknya di atas toko Potter. Kedua kenyataan ini mengandung
beberapa kemungkinan yang menarik."
"Misalnya, bahwa Potter sebenarnya orang Lapatia?" kata Bob.
"Dan bahwa kita mungkin perlu mendatangi Hilltop House,
malam ini," kata Jupiter dengan mantap.

Bab 9
HILLTOP HOUSE
BOB dan Jupe menyelinap keluar dari Jones Salvage Yard
lewat Kelana Gerbang Merah, lalu bergegas-gegas menuju
suatu jalan setapak untuk penggemar olahraga jalan kaki. Jalan
itu berkelok-kelok, menuju puncak bukit yang bernama Coldwell
Hill.
"Kita bisa saja mengambil jalan penakut," kata Bob sambil
mendongak, memandang ke arah puncak bukit itu. "Kita naik
sepeda ke tempat Potter, dan dari situ baru berjalan kaki ke
Hilltop House."
"Itu tidak bisa dibilang jalan penakut," kata Jupiter. "Kita
tidak tahu, apa yang menyebabkan kedua orang itu datang ke
Hilltop House. Aku lebih suka mendatangi tempat itu tanpa
ketahuan. Kemungkinannya kecil bahwa kedua orang itu
mengamat-amati jalan setapak. Tapi dengan mudah mereka
akan melihat kita, jika kita naik lewat jalan pribadi, dari jalan
raya."     
"Kau benar," kata Bob. Ia berpaling, memandang ke arah laut.
Matahari sudah menghilang di balik selimut kabut yang
mengambang di depan pantai. "Sebelum kita kembali kemari,
hari pasti sudah gelap."
"Tapi kurasa kita takkan mengalami kesulitan untuk melihat
jalan," kata Jupiter Jones. "Sebentar lagi bulan sudah terbit."
"Kau mengeceknya di penanggalan?" tanya Bob.
"Ya, aku sudah mengeceknya di penanggalan," jawab Jupiter.
"Itu sebenarnya tak perlu kutanyakan lagi," kata Bob, lalu
melangkahkan kaki memasuki jalan setapak. Jupiter menyusul
dengan langkah lebih lambat. Napasnya tersengal-sengal ketika
tanjakan mulai bertambah terjal. Sebentar-sebentar berhenti,
untuk beristirahat. Tapi sepuluh menit kemudian tenaganya
sudah pulih kembali, sehingga langkahnya lebih mantap.
"Ini dia," kata Bob kemudian. Ia berpaling, lalu mengulurkan
tangan untuk menolong Jupiter naik ke jalan sempit yang
menyusur puncak bukit. Jalan itu merupakan lintasan yang
dipakai kalau ada kebakaran hutan. "Dari sini gampang, karena
menurun terus sampai Hilltop House," katanya.
Jupiter berdiri sambil memandang ke arah utara untuk
beberapa saat. Pandangannya menyelusuri jalan yang akan
ditempuh. Saat itu sudah hampir gelap, sedang bulan belum
terbit. Tapi jalan tanah yang lebarnya hampir dua setengah
meter itu nampak jelas, seperti pita cokelat yang terjulur di
sepanjang puncak perbukitan. Semak yang tumbuh rapat di sisi
jalan nampak hitam dan seakan-akan mengancam di tengah
keremangan senja.
"Apa yang kauharapkan akan kita jumpai malam ini?" tanya Bob.     
"Yang pasti, dua orang asing yang kemarin mampir di Jones
Salvage Yard," kata Jupiter. "Dan seorang di antaranya,
menurut dugaan kita bernama Mr. Demetrieff, dari Kamar
Dagang Lapatia. Sedang yang satu lagi, bisa siapa saja. Pasti
menarik melihat bagaimana mereka menyibukkan diri di Hilltop
House."
Jupiter mulai melangkah, seiring dengan Bob yang berjalan
dengan bersemangat. Bulan mulai tersembul dari balik
perbukitan, menyepuh jalan dengan warna perak, serta
menciptakan bayangan hitam kelam di samping kedua remaja
yang sedang berjalan itu. Mereka tidak banyak berbicara,
sampai bentuk Hilltop House yang besar dan gelap nampak di
depan mereka, di sisi kiri. Ruangan-ruangan di tingkat atas
bangunan itu gelap. Tapi dari salah satu kamar di tingkat
bawah nampak sinar samar memancar ke luar.
"Aku dulu pernah memasuki rumah itu," kata Bob. "Kalau tidak
salah, lampu yang menyala itu di ruang yang dulunya kamar
baca."
"Jendela-jendelanya perlu dibersihkan," gumam Jupiter, "dan
yang menyala itu kelihatannya bukan lampu listrik." "Ya -
memang, mestinya lentera, atau lampu minyak tanah. Kita harus
maklum, karena mereka kan baru kemarin pindah ke situ."
Alur sebuah sungai kecil menjulur dari atas bukit ke bawah,
mulai dari jalan di puncak, dan berkelok lewat Hilltop House.
Saat musim panas itu, sungai tadi tidak berair. Tanpa berkata
apa-apa, Bob dan Jupiter masuk lalu berjalan di dasarnya.
Mereka berjalan sambil meraba-raba pada setiap langkah
karena khawatir akan menginjak kerikil lepas yang bisa
membuat mereka jatuh terguling-guling ke bawah. Sepanjang    
hampir lima puluh meter terakhir mereka boleh dibilang
merangkak-rangkak, sebelum sungai tak berair itu membelok
dan menyusur di samping tanggul yang membatasi jalan masuk
ke Hilltop House.
Jupiter menarik tubuhnya ke atas tanggul, lalu melangkah ke
pelataran berkerikil yang terdapat di bagian belakang rumah.
Mobil Cadillac besar diparkir di luar sebuah garasi yang bisa
memuat tiga mobil. Jupiter mengelilingi mobil itu, yang
ternyata kosong.
Jendela-jendela yang menghadap ke belakang semuanya gelap.
Di sana ada sebuah pintu yang bagian atasnya berkaca. Pintu
itu terkunci.
"Dapur," kata Jupiter dengan singkat. "Kamar-kamar pembantu
ada di atas," kata Bob.
"Mereka pasti belum sempat mengusahakan pembantu," kata
Jupiter. "Sebaiknya kita langsung saja mendatangi ruang baca."
"Aduh, Jupe! Kau kan tidak berniat masuk?" bisik Bob dengan
nada kaget bercampur ngeri.
"Tidak, karena itu bisa menyebabkan kesulitan yang tidak
perlu," kata Jupiter. "Sudah cukup jika kita mengitari rumah,
lalu memandang ke dalam lewat jendela kamar baca."
"Baiklah, asal kita tetap di luar," kata Bob. "Jadi jika ada
sesuatu yang tidak beres, kita akan bisa cepat-cepat lari."
Jupiter tidak menanggapinya. Ia berjalan mendului, lewat
dapur yang gelap, menuju jendela kamar baca yang terang.
Mereka melalui jalan setapak yang disemen. Tanaman semak
yang semula menghiasi sisi rumah itu sudah lama mati, karena
tidak ada yang memelihara dan menyirami.    
Seperti dikatakan oleh Jupiter, jendela-jendela kamar baca
memang perlu dibersihkan. Kedua remaja itu mengintip ke
dalam, sambil berlutut di tanah. Di balik kaca jendela yang
kotor nampak samar kedua orang asing yang mampir di Jones
Salvage Yard, sehari sebelumnya. Dalam ruangan lapang itu ada
dua tempat tidur lipat. Kaleng, piring kertas, begitu pula
serbet kertas ditumpukkan secara sembarangan di atas rakrak,
yang dulunya ditempati buku-buku. Api berkobar dalam
pendiangan. Laki-laki yang lebih muda - pengemudi mobil
Cadillac - berlutut di depan api. Ia memanggang sosis, yang
ditancapkan pada kawat panjang. Sedang laki-laki yang botak
dan tidak bisa ditebak umurnya, duduk di kursi lipat,
menghadap meja tempat main kartu. Ia menampakkan kesan
seperti sedang duduk di restoran, menunggu pelayan
menghidangkan santapan.
Bob dan Jupiter memperhatikan laki-laki yang lebih muda
memutar sosis yang sedang dipanggang di atas api. Kemudian
laki-laki yang berkepala botak melakukan gerakan yang
menunjukkan sikap tidak sabar. Ia berdiri, lalu berjalan lewat
ambang yang melengkung, masuk ke ruang gelap yang ada di
belakang kamar baca. Ketika ia kembali beberapa menit
kemudian, sosis sudah matang. Laki-laki yang lebih muda
menyelipkan sosis itu ke dalam roti bundar panjang yang sudah
dibelah. Roti itu diletakkannya di atas sebuah piring kertas,
lalu ditaruhnya di hadapan laki-laki yang berkepala botak.
Jupiter nyaris terkekeh, ketika melihat air muka si Botak saat
memandang hidangan itu. Ia pernah melihat reaksi seperti itu
di wajah Bibi Mathilda, ketika seorang kenalan di Rocky Beach     
yang berbangsa Denmark mengundangnya makan, menyajikan
belut dingin dengan telur aduk yang digoreng.
Bob dan Jupiter beringsut mundur, lalu kembali ke sisi
belakang rumah.
Di sana Bob menyandarkan punggung ke mobil Cadillac.
"Sekarang kita sudah tahu, apa yang sedang mereka kerjakan,"
katanya. "Baru sekali ini aku melihat orang berkemah dengan
cara yang begitu serampangan."
"Tapi mestinya bukan untuk itu saja mereka ada di sini," kata
Jupiter dengan pasti. "Takkan ada orang yang menyewa rumah
besar - tidak peduli betapa tuanya pun rumah itu - hanya agar
bisa merebahkan diri di tempat tidur lipat, serta memanggang
sosis di dalam ruang baca. Ke manakah laki-laki botak tadi
pergi, ketika ia menuju ke ruang di belakang kamar baca?"
"Ruang duduk terletak di sisi rumah yang menghadap ke arah
laut," kata Bob.
"Teras juga ada di sebelah sana," kata Jupiter mengingatkan.
"Yuk, kita ke sana!"
Bob mengikuti Jupiter, pergi ke sudut rumah. Letak teras
langsung bersambungan dengan jalan masuk. Teras itu mengisi
seluruh bagian depan rumah. Lebarnya hampir lima meter.
Lantainya dari semen, dibatasi tembok batu yang tingginya
sekitar satu meter.
"Ada sesuatu terpasang di situ," bisik Jupiter. "Kelihatannya
semacam instrumen, di atas tripod."
"Teropong?" kata Bob menduga.
"Mungkin! - Ssst, deengar, ada yang berbicara!"
Kedua remaja itu mendengar suara seorang laki-laki. Jupiter
cepat-cepat merapatkan diri ke dinding rumah. Laki-laki yang     
lebih muda muncul di teras yang saat itu sudah diterangi sinar
bulan. Ia menghampiri instrumen yang terpasang di atas tripod,
membungkukkan tubuh, memandang ke dalam bagian belakang
instrumen itu, lalu mengatakan sesuatu dengan suara agak
keras. Ia mengintip lagi ke dalam instrumen, tertawa, lalu
mengatakan sesuatu lagi. Kening Jupiter berkerut.
Orang itu berbicara dengan irama suara aneh, seakan-akan
menyanyi dengan nada datar.
Sesaat kemudian terdengar jawaban dari dalam rumah.
Jawaban itu bersuara berat, dan kedengarannya sangat capek.
Laki-laki yang berkepala botak melangkah ke teras. Ia
menghampiri tripod, lalu mengintip ke dalam instrumen yang
terpasang di situ. Ia mengucapkan beberapa patah kata sambil
mengangkat bahu, lalu masuk lagi ke rumah. Laki-laki yang lebih
muda bergegas menyusul, sambil berbicara dengan cepat, serta
dengan nada mendesak. 'Bukan bahasa Prancis," kata Jupiter,
ketika kedua laki-laki itu sudah masuk.
'Jerman juga bukan," kata Bob, yang di sekolah pernah
mendapat pelajaran bahasa itu selama setahun. 'Aku ingin
tahu, bagaimana bunyi bahasa Lapatia," kata Jupiter. 'Dan aku
ingin tahu, apa yang mereka amat-amati tadi," kata Bob
menimpali.
'Kalau itu, kita bisa menyelidikinya sekarang juga," kata
Jupiter. Ia menyelinap dengan cepat ke teras, lalu mengendapendap
mendekati instrumen yang terpasang di atas tripod.
Dugaan Bob ternyata benar. Instrumen itu memang teropong.
Jupiter membungkuk, tanpa menyentuh instrumen itu, lalu
mengintip lewat lensanya.       
Ia melihat jendela-jendela sisi belakang rumah Potter. Lampu
di kamar-kamar tidur menyala semua. Ia bisa dengan jelas
melihat Pete yang duduk di tempat tidur, sambil bercakapcakap
dengan Tom Dobson. Kedua remaja itu menghadapi papan
permainan dam. Tom menggerakkan batunya, memakan salah
satu batu lawan. Pete mengernyitkan muka, lalu termenung.
Rupanya memikirkan langkah berikut. Sesaat kemudian Mrs.
Dobson masuk, membawa baki dengan tiga mangkuk. Pasti susu
cokelat, kata Jupiter dalam hati. Jupiter menegakkan tubuh,
lalu kembali ke sudut rumah.
"Sekarang kita tahu, apa kesibukan mereka di sini," katanya
pada Bob. "Mereka mengintai rumah Potter." "Seperti yang
kauduga," kata Bob. "Yuk, kita pergi dari sini, Jupe. Aku ngeri
melihat kedua orang itu." "Ya, memang," kata Jupiter Jones.
"Lagi pula, saat ini tidak ada lagi yang masih bisa kita ketahui
di sini." Kedua remaja itu melewati mobil Cadillac, menuju ke
tanggul. Maksud mereka hendak kembali lewat sungai yang
sedang tak berair.
"Kurasa lewat sini lebih dekat," kata Bob. Ia mengambil jalan
memotong, lewat sebidang tanah kosong. Mungkin, tanah itu
dulu merupakan kebun sayur.
Tahu-tahu Bob terpekik. Kedua lengannya terangkat. Saat
berikut ia tidak kelihatan lagi.
Lanjut ke bagian 2