Trio Detektif - Misteri Gunung Monster(2)



 Bab 9
MAKHLUK BUAS DI DALAM HUTAN

KEESOKAN paginya Jupe dan kedua temannya sudah bangun saat fajar menyingsing.
Mereka menggulung kantung tidur masing-masing, yang kemudian disimpan dalam lemari di bawah tangga. Mereka meninggalkan surat di dapur, untuk memberi tahu Hans dan Konrad bahwa mereka pergi mengembara ke atas gunung. Setelah cepat-cepat sarapan roti dengan segelas susu, mereka langsung meninggalkan losmen, menuju dataran tinggi yang letaknya di atas lereng tempat main ski. Jupiter memanggul ransel, sedang Pete menggantungkan sebuah tempat air minum pada sabuknya.
Mula-mula ketiga remaja itu mendaki lewat lereng tempat main ski. Tapi berulang kali mereka terpeleset, karena menginjak batu lepas yang banyak terdapat di lereng gundul itu. Bob sampai dua kali terguling karenanya. Akhirnya mereka memilih berjalan di bawah pepohonan yang tumbuh di sisi tempat itu. Tanah di situ lebih padat. Dengan begitu mereka bisa lebih cepat maju.
Setelah dua puluh menit mendaki, Pete yang gemar berolahraga pun sudah tersengal-sengal.
Udara di tempat yang tinggi itu tipis. Pete menyandarkan diri pada sebuah pohon.
"Dilihat dari losmen, gunung ini tidak begitu tinggi," katanya dengan napas putus-putus.
Bob tertawa.
"Wah-atlet kita yang hebat sedang payah kondisinya, ya?" "Paru-paruku sudah terbiasa bekerja di dataran rendah saja," jawab Pete. Jupiter berdiri dengan tenang. Ia mengatur napas selama beberapa saat. "Mestinya sekarang sudah tidak jauh lagi," katanya. "Katakan begitu terus pada diri kita sendiri," kata Pete.
Setelah itu mereka meneruskan mendaki. Kadang-kadang mereka terpaksa menarik diri ke atas dengan jalan berpegang pada dahan-dahan pohon. Sepuluh menit kemudian barulah tanah yang dilewati menjadi agak datar. Pepohonan sudah bertambah jarang. Akhirnya mereka ke luar dari hutan tusam. Mereka berdiri di tepi suatu padang rumput dataran tinggi.
"Indah sekali," kata Jupiter, ketika napasnya sudah teratur kembali.
Rumput yang panjang dan hijau berombak-ombak dipermainkan angin. Di sana-sini nampak batu-batu besar bertonjolan, putih gersang terbakar sinar matahari. Ketiga sisi padang rumput itu diapit pohon-pohon besar. Sedang sisinya yang keempat, yang berbatasan dengan tepi atas lereng tempat main ski, terbentang pemandangan lapang, sampai bermil-mil jauhnya. Menara-menara /Zftberjejer-jejer menuruni lereng ke arah jalan serta losmen yang nampak jauh di bawah. Di belakang losmen nampak kerumunan pohon tusam. Dan lebih jauh ke belakang lagi, dataran pasir Lembah Owens yang kering kerontang. Sedang di belakang anak-anak yang sedang memandang ke bawah terdapat puncak batu Gunung Lofty yang menjulang tinggi, diapit puncak-puncak lainnya dari pegunungan Sierra Nevada, yang masih lebih tinggi lagi. Di lereng sebelah atas beberapa puncak itu terdapat sungai-sungai es yang tidak pernah mencair, bahkan saat musim panas sedang panas-panasnya.
Ketiga remaja itu berkeliaran lambat-lambat, sampai Bob melihat jejak sesuatu di tanah yang gundul dekat tepi atas lereng tempat main ski. Dikeluarkannya sebuah buku saku dari kantungnya. Buku yang berisi keterangan mengenai kehidupan satwa liar itu ditemukannya di losmen. Ia membalik-balik halaman buku itu, sampai ke bagian yang merupakan uraian tentang jejak binatang. Bob berlutut, lalu membandingkan jejak yang nampak di tanah dengan gambar jejak beruang yang tertera di dalam buku. Kemudian ia mengangkat bahu.
"Betul-jejak beruang," katanya pada Jupe dan Pete. "Memang itulah yang bisa diperkirakan akan ditemukan di atas sini."
"Bukan itu yang kita cari," kata Jupiter.
"Lalu apa yang kita cari?" tanya Pete. "Dan apakah kita memang benar ingin menemukannya?" "Kita mencari sesuatu yang lain," kata Jupiter dengan mantap. "Jenis jejak yang tidak tertera di dalam bukumu itu, Bob."
"Moga-moga hanya jejaknya saja yang kita temukan nanti, dan bukan makhluk itu sendiri," kata Pete.
Angin berembus melintasi padang, menggerak-gerakkan rumput dan menimbulkan suara bisikan di sela pepohonan. Tiba-tiba terdengar suara pelan dari arah belakang anak-anak. Bunyinya tidak mengancam, melainkan bernada ingin tahu.
Pete terlompat kaget, sementara Jupiter berpaling dengan cepat. "Wah, gawat!" katanya.
Pete merasa ada sesuatu mengendus-endus pergelangan kakinya. Ia memandang ke bawah. Seekor anak beruang yang umurnya baru beberapa bulan, mendongak sambil memandang ke arahnya dengan tatapan mata cerah dan ramah. "Mana... mana induknya?" kata Pete dengan suara gemetar. "Itu-di belakangnya!" seru Bob. "Cepat, lari!"
Anak-anak mendengar lenguhan marah. Anak beruang itu bergegas menuju ke suatu arah, sementara Pete dan kedua temannya pontang-panting ke arah berlawanan, menuju lereng ski.
Pete paling dulu sampai di situ. Ia meloncat, lalu membiarkan dirinya terguling-guling sampai hampir sepuluh meter ke bawah. Bob dan Jupe menyusul sambil terpeleset-peleset. Ketiga remaja itu duduk meringkuk di lereng yang gersang dan berbatu-batu, sambil mendengar induk beruang menggeram-geram. Rupanya sedang mengomeli anaknya. Anak beruang itu kemudian terdengar mendengking.
"Kena tempeleng rupanya," kata Bob.
"Kita tidak perlu khawatir," kata Jupe. "Selama kita tidak mengganggu anaknya, beruang betina itu takkan menyerang kita."
"Aku sama sekali tidak berniat mengganggu anaknya," kata Pete bersungguh-sungguh. "Peringatan terpenting: anak beruang jangan terlalu didekati, jika induknya sedang ada. Tapi siapa yang memperingatkan anak beruang, agar ia j angan terlalu dekat menghampiri kita?"
"Sekarang ia sudah tahu," kata Bob.
Ketiga remaja itu masih menunggu selama beberapa lama lagi. Ketika sudah tidak terdengar lagi geraman atau dengkingan dari arah padang rumput di atas, barulah mereka berani mendaki lagi ke sana. Mereka masih sempat melihat anak beruang tadi ikut dengan induknya masuk ke dalam hutan di sisi barat.
Jupiter menurunkan ransel yang dipanggul selama itu.
"Kurasa mereka takkan datang lagi," katanya. "Tapi ini merupakan salah satu tempat di mana Mr. Smathers pasti akan mengatakan bahwa kitalah yang mengganggu. Dan itu benar-karena beruang-beruang itu lebih dulu ada di sini. Dan karena mereka masih tetap ada di sini, lebih baik kita berhati-hati saja!"
"Memang itulah niatku," kata Pete. "Aku akan begitu berhati-hati, sampai kurasa mendingan kembali saja sekarang ke losmen!"
"Kau tidak ingin tahu apa sebetulnya yang hendak diburu Havemeyer dengan senapan pembiusnya?" tanya Bob. "Mau sih mau saja," kata Pete. "Tapi tidak perlu sampai berhadapan muka!" Jupe mengeluarkan tiga buah alat berukuran kecil dari dalam ranselnya.
"Kita bisa bergerak lebih cepat apabila memencar," katanya. "Tapi hubungan sesama kita jangan sampai putus, karena kita kan tidak tahu apa yang kita cari dan yang mungkin kita jumpai nanti. Karenanya aku sudah menyiapkan alat pemberi isyarat kalau ada bahaya. Aku sengaja membawanya dari rumah, karena kurasa pasti ada gunanya jika kita mengembara ke gunung."
"Yah, mendinganlah-daripada tidak membawa apa-apa," kata Pete sambil mendesah. Diambilnya salah satu alat itu, lalu diamat-amati. "Kau yakin alat ini beres?" tanyanya. "Aku tidak ingin menghadapi bahaya di atas sini, tapi tidak bisa minta tolong pada siapa-siapa."
"Aku sudah menguji ketiga-tiganya sebelum kita berangkat dari Rocky Beach," kata Jupiter.
"Semuanya bekerja dengan sempurna. Kau masih ingat cara memakainya?"
"Alat-alat itu pasti bisa bekerja dengan baik, seperti kebanyakan barang buatanmu," kata Bob.
Ucapannya itu memang beralasan. Jupiter memang memiliki ketrampilan dalam mengutik-utik mesin-mesin atau peralatan elektronik bekas yang sudah rusak, dan membuat berbagai peralatan yang berguna bagi Trio Detektif dalam kegiatan mereka menangani berbagai kasus. Ketiga alat yang dibawa saat itu, yang merupakan gabungan alat pemberi tanda bahaya dan penunjuk arah, ukurannya lebih kecil daripada alat komunikasi radio yang kadang-kadang mereka pergunakan. Tapi kegunaannya tetap bisa diandalkan. Setiap alat bisa memancarkan suatu isyarat bunyi yang akan diterima alat lainnya. Isyarat itu akan terdengar semakin nyaring, apabila semakin didekati. Bukan hanya bertambah nyaring, tapi juga meningkat kekerapannya. Masing-masing alat juga dilengkapi dengan sebuah jarum, untuk menunjukkan arah dari mana bunyi isyarat itu datang.
Kecuali itu masih ada pula tanda isyarat khusus berupa lampu merah. Lampu merah itu akan menyala lewat aba-aba suara saja. Jika salah seorang anggota Trio Detektif mengalami kesulitan atau hendak memanggil teman-teman agar datang, ia hanya perlu mengucapkan kata "tolong" dekat alat yang dibawa. Lampu merah pada kedua alat lainnya akan langsung menyala.
"Usulku begini." Jupiter melayangkan pandangan sebentar, meneliti hutan yang membatasi padang rumput. "Kurasa kecil sekali kemungkinannya banyak jejak yang akan kita temukan di tempat terbuka ini," katanya. "Rumput di sini terlalu tebal. Kecuali itu, jika di sini ada binatang aneh, maka binatang itu mestinya tidak ada di dekat sini- karena kalau ada, pasti sudah kita lihat. Tapi di pihak lain kita tahu bahwa ia pernah muncul di tempat terbuka, karena menurut cerita Joe Havemeyer pada Anna, ia melihatnya di sini-di padang ini. Itu berarti ia harus melewati hutan. Di bawah pepohonan di sana itu tidak nampak ada rumput yang tumbuh. Jika kita hendak mencari jejak sesuatu yang tidak kita kenal, di sebelah sanalah tempatnya."
"Masuk akal," kata Bob.
"Oleh karena itu kuperiksa saja daerah hutan di sebelah utara padang ini," kata Jupiter lagi. "Aku akan bergerak ke arah barat, mulai dari tepi lereng. Pete, kau memeriksa tanah hutan sebelah barat. Lalu kau yang sebelah timur, ya Bob? Kau bisa mulai dari sini, lalu terus sampai bertemu dengan Pete. Setiap beberapa menit kita saling memberi isyarat dengan alat kita. Jika ada sesuatu yang kelihatannya menarik atau membahayakan, kita nyalakan tanda isyarat khusus."
"Itu sudah jelas akan kulakukan," kata Pete.
Jupiter menyandang ranselnya lagi, memberi salam dengan gaya militer-tapi santai-lalu mulai bergerak ke arah kanan. Pete tertawa nyengir, seakan-akan hendak menunjukkan bahwa ia tidak merasa ngeri, lalu mulai merambah rumput panjang ke arah barat. Bob masih ragu sejenak. Ia mendengarkan suara angin yang bertiup. Hanya bunyi itu saja yang terdengar di dataran tinggi yang sunyi itu. Kemudian ia mulai melangkah ke arah selatan, dengan alat pemberi isyarat di tangan.
Sekali ia sempat berpaling. Jupiter sudah tidak kelihatan lagi, masuk di tengah pepohonan sebelah utara padang. Tapi Pete masih nampak. Temannya itu sudah hampir mencapai tepi hutan yang menjadi bagiannya. Bob menghidupkan isyarat bunyi pada alatnya. Dengan segera terdengar bunyi jawaban dari alat yang dibawa Jupiter, disusul oleh Pete yang berpaling lalu melambaikan tangan.
Ketika sudah sampai di tepi hutan di sisi selatan, Bob berhenti sebentar. Di tempat terbuka yang dinaungi langit biru, sinar matahari pagi terasa hangat dan cerah. Tapi hutan di depannya nampak remang dan sangat lebat. Di tanah terhampar daun-daun tusam yang berbentuk seperti jarum. Baunya sangat keras, menusuk hidung.
Bob mulai melangkah ke arah barat. Ia tidak berani terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Ia berjalan sambil meneliti tanah. Sebentar-sebentar ia berhenti, lalu memasang telinga. Didengarnya bunyi seekor burung yang tidak kelihatan. Seekor tupai lari di atas ranting sebatang pohon.
Kemudian ia melihatnya. Suatu lekukan samar di tengah selimut daun tusam yang terhampar. Itu pasti jejak kaki sesuatu, katanya dalam hati.
Bob menyentuh tombol alat pemberi isyaratnya. Sedetik kemudian datang isyarat jawaban dari arah utara, disusul tanda dari barat laut. Sesaat ia sudah berniat hendak berteriak, agar Jupe dan Pete bergegas datang untuk melihat temuannya. Tapi jejak yang nampak itu tidak jelas. Bob merasa bahwa itu paling-paling jejak beruang lagi. Atau bahkan mungkin jejak binatang lain, yang lebih kecil. Akhirnya ia memutuskan untuk memeriksa lebih jauh ke dalam hutan, di bawah pepohonan. Mungkin di situ ada jejak yang lebih jelas kelihatan.
Bob menyuruk masuk ke tempat remang di bawah pepohonan. Di sana-sini dilihatnya bagian tanah yang tidak tertutup daun-daun tusam. Ia memeriksa bagian-bagian itu, dengan harapan akan melihat jejak kaki di situ. Tapi ternyata tidak ada. Di dua tempat ditemukannya daun-daun tusam yang terhampar nampak agak tertekan- seperti bekas kena pijakan kaki binatang. Tapi hamparan itu begitu tebal, sehingga kaki yang berjalan di situ tidak meninggalkan bekas yang jelas.
Bob meneruskan mencari, masuk ke tempat yang lebih rapat pepohonannya. Cahaya semakin remang, dan akhirnya langit yang biru sudah tidak nampak lagi di atas kepala, tertutup ranting-ranting yang saling menjalin. Kemudian Bob melihat bagian yang terang di depan. Ia mempercepat langkah, dan akhirnya muncul di suatu tempat yang terbuka. Tempat itu tidak terlalu luas. Dan dekat sekali di depannya ada retakan lebar di tanah.
Bob menghampiri bagian tanah yang retak itu dengan berhati-hati, lalu memandang ke bawah. Retakan itu panjangnya hampir lima puluh meter, sedang lebarnya ada yang hampir tiga meter. Sisi-sisinya sangat curam, nyaris tegak lurus ke bawah. Di dasar celah aneh di tanah itu ada salju yang belum mencair.
Bob tahu, apa yang ada di depannya saat itu. Ketika sedang melakukan tugasnya di perpustakaan Rocky Beach tempat ia bekerja sebagai tenaga bantu, ia menjumpai sebuah buku peta lintasan pengembaraan bagi penggemar olahraga jalan kaki, untuk kawasan pegunungan San Gabriel dan Sierra Nevada. Pada satu peta lintasan di sekitar Danau Mammoth digambarkan retakan seperti itu, yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Suhu di dasar retakan Mammoth yang letaknya jauh sekali di dalam tanah, menurut keterangan yang tertera di dalam buku itu dikatakan sama dengan suhu di dalam gua. Selalu sejuk, juga saat siang sedang panas-panasnya. Jadi salju yang jatuh selama musim dingin, tidak pernah mencair.
Alat pemberi isyarat yang dipegang oleh Bob berbunyi. Dari arah jarum penunjuk, ia langsung tahu bahwa Jupe melaporkan posisinya, di sisi utara padang rumput. Kemudian tanda isyarat terdengar lagi, dan kali ini jarum penunjuk berpindah ke arah barat. Bob menghidupkan alatnya untuk menjawab isyarat mereka. Ia agak menyesal, kenapa tidak berbekal alat komunikasi radio. Ia ingin memberi tahu kedua temannya bahwa ia menemukan retakan bekas gempa bumi, hanya satu mil saja dari losmen.
Bob memperhatikan tepi atas tebing retakan. Tanah di situ gundul dan agak lembab, walau saat itu musim kering. Kemudian ia mundur sedikit. Jelas sekali nampak bekas tapak sepatunya di tanah.
Ia mulai menelusuri tepi atas retakan, sambil meneliti tanah dengan saksama.
Ia mendengar bunyi ranting patah. Datangnya dari sebelah kiri, di belakangnya.
Bob berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Ia mendengarkan baik-baik. Satu detik. Dua. Tiga. Setelah bunyi yang tadi, keadaan di situ sunyi senyap. Kesunyian yang mencengkam. Tidak ada suara burung berkicau. Tidak ada bunyi tupai mengoceh di pepohonan. Bahkan angin pun berhenti mengembus. Seakan-akan segala makhluk penghuni Gunung Lofty saat itu menahan napas, menunggu sambil memperhatikan.
Menunggu apa?
Otot sebelah belakang tungkai Bob terkejat. Ditahannya rasa panik yang hendak menguasai kesadarannya, lalu mendeham.
"Jangan panik!" katanya pada diri sendiri. Suaranya terdengar nyaring di tengah kesunyian yang menyelubungi.
Setelah itu ia mendengarkan lagi. Tapi ia hanya mendengar bunyi darahnya sendiri yang mengalir dalam pembuluh di dekat telinga. Kemudian ia mendengar bunyi lain. Bunyi itu dekat sekali. Ia mendengar bunyi napas. Dekat sekali di belakangnya!
Dengan pelan sekali Bob berpaling, karena tidak ingin mengejutkan makhluk yang terdengar napasnya itu. Ia merasakan kehangatan membelai tengkuk. Kemudian ada sesuatu menyentuhnya. Lembut sekali sentuhan itu, seperti belaian pada kerah bajunya.
Bob melompat sambil memutar tubuh, berusaha menatap makhluk yang secara tiba-tiba muncul dari tengah hutan
itu.
Kemudian Bob tidak ingat lagi siapa yang lebih dulu berteriak-dia, atau makhluk yang menghampirinya secara diam-diam itu. Bob hanya tahu bahwa terngiang telinganya karena suara teriakan yang nyaring. Ia menatap sepasang bola mata merah berbiji gelap. Ia mendapat kesan melihat sesuatu yang besar sekali, serta rambut yang kusut. Hanya sekilas saja ia melihatnya, karena saat itu juga ia terhuyung, lalu terpeleset.
Ia jatuh ke belakang. Nampak langit yang biru, lalu dinding sisi retakan yang gundul dan curam. Ia memutar tubuh, dan masih sempat melihat salju yang terhampar di dasar retakan. Salju itu seakan-akan mendekatinya dengan cepat sekali.
Bob merasakan benturan keras pada tangan dan lututnya. Sekali lagi didengarnya suara jeritan. Setelah itu ia tidak tahu apa-apa lagi.

Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net

Bab 10
JEJAK KAKI TAK BERSEPATU

BOB membuka matanya. Samar-samar dilihatnya salju, serta dinding tebing yang coklat dan lembek berlumpur. Ia berusaha memusatkan tatapannya, sambil berbaring tanpa bergerak-gerak. Ia memasang telinga. Tidak ada lagi suara teriakan. Tidak ada lagi suara napas. Jauh di atasnya terdengar kicauan seekor burung.
Dengan pelan dan berhati-hati Bob membalik tubuh, sampai akhirnya rebah menelentang. Kedua tangannya terasa sakit. Ada rasa nyeri pada bahunya yang sebelah. Tapi rupanya tidak ada tulang yang patah. Salju di dasar retakan menahan jatuhnya tadi, walau kepadatannya masih menyebabkan ia kesakitan.
Bob mendongak, memandang ke arah langit biru yang cerah. Terlintas lagi dalam ingatannya mata yang merah dan rambut kusut dari makhluk yang tadi begitu dekat berada di belakangnya. Ia teringat pada cerita tentang raksasa-raksasa yang gentayangan malam-malam di Sky Village, mencari anak-anak yang masih bermain-main di luar.
Setelah beberapa menit tepekur, Bob berdiri. Ia menggigil, sebagai akibat berbaring di salju kering yang dingin. Alat pemberi isyarat tergeletak di dekatnya. Diambilnya alat itu, sambil berdoa semoga jangan rusak. Begitu tombol hendak ditekan, tahu-tahu terdengar bunyi isyarat melengking. Jarum penunjuk langsung bergerak ke arah utara. Bob tersenyum. Jupiter melaporkan posisinya.
Sambil memegang alat itu, Bob mendongak. Ia memandang ke arah tepi atas retakan. Dinding tebing curam sekali. Bob tahu, ia takkan mampu naik ke atas jika tidak dibantu. Jadi ia terpaksa memanggil Jupe dan Pete. Tapi bagaimana jika makhluk tadi masih ada di atas, di dekat retakan? Jika kedua temannya dipanggil, itu mungkin akan berarti menyuruh mereka mendatangi bahaya.
Bob menimbang-nimbang sesaat. Kemudian diputuskan untuk memeriksa apakah makhluk tadi masih ada di atas. Ia merasa yakin, tidak ada binatang yang secara sadar mau meloncat ke dalam lubang. Jadi ia bisa berteriak dengan aman, lalu melihat apakah makhluk tadi akan memandang ke bawah.
"He!" serunya. "He-yang di atas! Kau masih ada di situ?"
Tidak ada yang bergerak di dekat tepi atas retakan. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Bob memutuskan bahwa makhluk itu pasti sudah pergi. Ia menghidupkan alatnya.
"Tolong!" serunya. Setelah itu ia berseru dua kali lagi, untuk memastikan bahwa isyaratnya tertangkap oleh kedua temannya. Jika Jupe dan Pete saat itu ada dalam jarak dua mil dari tempatnya, Bob tahu bahwa mereka pasti bisa mendengarnya.
Alat pemberi isyarat juga sudah bekerja, sehingga kedua temannya itu akan bisa melihat posisinya dari arah jarum penunjuk pada alat mereka.
Bob menunggu sambil duduk di atas salju. Rasanya berjam-jam lamanya ia menunggu di situ. Padahal lima belas menit kemudian Pete sudah muncul, lalu memandang ke dalam dari tepi atas retakan. Sesaat kemudian muka Jupiter yang bulat muncul di samping Pete.
"Kau tidak apa-apa, Bob?" seru Jupiter.
"Bagaimana kau sampai ada di bawah situ?" tanya Pete.
"Aku terjatuh," kata Bob.
"Ah-yang benar!"
"Kau pasti juga jatuh, jika melihat apa yang kulihat tadi," tukas Bob. "Kau melihat apa?" tanya Jupe.
"Sejenis binatang-sesuatu yang besar. Aku tidak tahu apa jelasnya. Ia tahu-tahu saja ada di belakangku, lalu... ah, nanti saja kuceritakan. Sekarang aku harus ke luar dulu dari sini." Jupiter menaksir kedalaman retakan itu. "Tali," katanya kemudian. "Kita memerlukan tali."
"Biar aku yang mengambilnya," kata Pete. "Ketika kita sedang mencari-cari anak kunci kemarin, kulihat ada gulungan tali jemuran dalam salah satu lemari di dapur."
"Kau bisa lebih cepat dari aku, karena kau kan atlet di antara kita bertiga. Kembalilah selekas-lekasnya ke losmen, dan ambil tali itu. Aku menunggu di sini, menemani Bob."
Pete mengangguk.
"Hati-hati saja," katanya memperingatkan. "Beres," kata Jupe.
Pete lari merintis hutan, sementara Jupe berlutut di tepi atas retakan. "Apa yang kaulihat tadi?" tanyanya sekali lagi pada Bob.
"Sungguh, Jupe, aku tidak tahu pasti. Habis, kejadiannya berlangsung begitu cepat! Tahu-tahu aku mendengar ada sesuatu di belakangku. Aku merasa disentuh sesuatu, lalu berpaling, lalu... yah, aku melihat sepasang mata-yang aneh sekali. Muka makhluk aneh itu begitu dekat, sehingga terasa napasnya mengenai mukaku. Aku menjerit, dan kurasa makhluk itu juga menjerit. Setelah itu aku terjatuh kemari."
"Mungkin beruang?" tanya Jupe.
"Kurasa bukan, Jupe."
Jupe berdiri, lalu berjalan lambat-lambat menyusur tepi retakan, sambil mengamat-amati tanah. "He, Jupe!" seru Bob dari bawah. "Kau masih ada di situ?"
"Aku di sini," balas Jupiter. "Jejak kakimu nampak di tanah bagian sini. Dan yang tadi muncul di belakangmu itu mestinya juga meninggalkan bekas kakinya. Jika itu tadi beruang, mestinya di sini akan ada jejak yang serupa seperti yang kita temukan di padang rumput."
"Tapi jika bukan beruang," kata Bob, "itu berarti kita sudah menemukan apa yang kita cari."
Bob menunggu. Ketika Jupe tidak langsung menjawab, ia memanggil lagi.
"Jupe?"
"Ini tidak mungkin!" seru Jupe dari atas. "Ada apa?" tanya Bob.
"Bob, kau yakin yang muncul di belakangmu tadi itu bukan manusia?" Suara Jupe terdengar aneh. "Orang bertubuh sangat besar, dan tidak memakai alas kaki?"
"Aku tidak sempat melihat kakinya-tapi jika tadi itu manusia, aku akan mengundurkan diri dari kelompok ras manusia," kata Bob.
"Aneh," kata Jupe lagi. "Seseorang-seseorang berbadan sangat besar ada di sini tadi. Dan ia tidak memakai alas kaki."
Bob kembali teringat pada Gabby Richardson, serta ceritanya tentang monster-monster yang hidup di pegunungan. Tidakkah salah satu ceritanya mengenai seorang pemburu binatang yang menemukan jejak kaki telanjang di tempat yang sangat tinggi, di tepi sebuah sungai es?
"Jupe?" seru Bob lagi. "Hati-hati, ya, Jupe?"
Jupe tidak menjawab. Tapi Bob mendengarnya napasnya tersentak.
"He, Jupe!" teriak Bob.
Jupe masih juga tidak menjawab. Tapi Bob mendengar bunyi ranting patah-patah di dalam hutan, disusul bunyi sesuatu yang menggeser-geser di tepi retakan.
"Apa yang sedang kaulakukan di situ, Jupe?" seru Bob. Ia merasa bulu tengkuknya meremang.
Bunyi menggeser-geser di atas terhenti. Suasana menjadi sunyi senyap. Bob berseru memanggil-manggil. Tapi Jupe tetap saja belum menjawab. Kini Bob mulai panik. Ia mencari-cari tempat berpijak pada dinding tebing. Tapi tidak ada. Ia mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk memanjat ke atas. Ranting, atau apa saja. Tapi di dasar retakan itu hanya ada salju. Dan kaki tebing yang curam.
Akhirnya Bob berhenti berseru-seru. Ia berdiri di bawah, menunggu sambil memasang telinga. Akhirnya didengarnya suara erangan.
"Jupe?"
"Aduh-tengkukku!" Itu suara Jupe.
"Apa yang terjadi?" seru Bob. "Ke mana kau tadi?"
Kepala Jupiter tersembul di tepi atas retakan. Ia mengusap-usap lehernya yang agak dimiringkan. "Aku tidak ke mana-mana," katanya. "Tadi ada orang menyelinap dengan diam-diam dari belakang, lalu memukulku."
"Tengkukmu yang kena?" kata Bob. "Kau kena pukulan seperti yang dialami Mr. Jensen?"
"Ya," kata Jupiter. "Pukulan yang serupa! Lalu ketika aku masih pingsan, orang itu sempat-sempatnya menyapu tanah di pinggir retakan ini dengan ranting tusam. Sekarang tidak nampak lagi jejak kaki di sini-baik yang telanjang maupun yang memakai sepatu!"

Bab 11
BUKU CATATAN JURU FOTO

"ADA satu hal yang kita ketahui dengan pasti," kata Bob, ketika Pete sudah kembali dengan membawa tali, dan ia sudah ditarik ke luar dari dalam lubang di tanah. "Yang memukulmu tadi itu bukan beruang, Jupe."
"Sudah pasti bukan," kata Jupiter Jones sependapat. "Beruang mana mungkin menyapu tanah dengan ranting yang dipatahkan dari pohon tusam! Kau dikejutkan oleh sesuatu-mungkin seseorang bertubuh sangat besar dan berkaki telanjang-dan boleh jadi makhluk tanpa alas kaki itu juga yang menonjok tengkukku, lalu kemudian menghapus jejak kakinya."
Pete menatap kedua temannya, seolah-olah beranggapan bahwa mereka pasti sudah sinting.
"Manusia tanpa alas kaki?" katanya. "Mana ada orang berkeliaran di tempat setinggi ini dengan kaki telanjang?"
"Jupe menjumpai jejak kaki tanpa alas di tepi retakan," kata Bob menjelaskan.
"Jejak kaki yang sangat besar," kata Jupe. "Menurut taksiranku, panjangnya paling sedikit empat puluh lima senti." "Empat puluh lima? Jejak kaki manusia yang panjangnya empat puluh lima senti?" "Kelihatannya seperti jejak kaki orang," kata Jupe. "Yang jelas, bukan jejak beruang." Pete menggulung kembali tali jemuran. Tangannya agak gemetar.
"Gunung Monster," katanya. "Orang dulu menyebut tempat ini Gunung Monster. Dan kelihatannya di sini memang ada monster...."
"Monster?" Suara bernada tajam itu terdengar dekat sekali di belakang Pete, sehingga menyebabkan ia nyaris terloncat karena kaget.
"Maaf-kaget, ya?" Ternyata yang datang itu Mr. Smathers. Ia datang tanpa ketahuan, dan kini memandang ketiga remaja itu sambil tersenyum. "Ada apa, kalian bicara tentang monster?" katanya ingin tahu. "Dan seperti apa wujud jejak kaki monster? Mana dia? Aku ingin melihatnya."
"Sudah hilang! Tadi ada yang menghapus," kata Jupiter menjelaskan.
"Ya, ya-tentu saja." Mr. Smathers mengatakannya dengan nada sopan, tapi tidak percaya.
"Sungguh-tadi ada jejak itu!" kata Pete berkeras. "Jika Jupe mengatakan begitu, maka itu benar."
Air muka Mr. Smathers nampak semu merah. Sikapnya tidak lagi ramah seperti tadi.
"Kalian pasti pernah bercakap-cakap dengan Richardson, yang melayani pompa bensin itu," katanya dengan nada menuduh. "Aku juga pernah mendengar ocehannya. Orang itu tidak tahu malu, menakut-nakuti anak-anak dengan cara begitu. Kurasa aku perlu bicara dengan dia."
Mr. Smathers kelihatan membulatkan sikap.
"Ya, itulah yang akan kulakukan," katanya dengan mantap. "Akan kukatakan padanya, jangan suka mengobral cerita-cerita hantu lagi pada orang-orang."
Mr. Smathers bergegas-gegas pergi, ke arah desa. Tapi kemudian ia menoleh lagi.
"Tapi itu bukan berarti tidak ada bahaya bagi kalian," katanya memperingatkan. "Kalian datang kemari seperti tamu tak diundang, dan satwa liar penghuni daerah ini tidak memahami kalian, seperti mereka memahami aku. Mereka bisa saja tidak bermaksud jahat, tapi kecelakaan bisa saja terjadi. Akan kukatakan pada kedua sepupu Mrs. Havemeyer agar melarang kalian pergi jauh-jauh dari losmen."
"Aku sependapat dengan dia-mengenai ucapannya yang terakhir," kata Pete ketika Mr. Smathers sudah pergi. "Kurasa memang sebaiknya kita menjauhi tempat ini. Bisa berbahaya, kalau berurusan dengan monster."
"Sikap Mr. Smathers tadi sangat menarik," kata Jupiter. "Ia mengatakan secara tidak langsung bahwa ia berniat hendak mempengaruhi orang-orang agar jangan mau percaya jika kita bercerita tentang apa yang terjadi di sini tadi. Ia juga memperingatkan kita agar menjauhi tempat ini, karena itu bisa berbahaya. Sekarang aku yakin, ada makhluk aneh -mungkin manusia, tapi mungkin juga binatang-di sini, dan Mr. Smathers tahu tentang itu. Tapi ia tidak ingin ada orang lain tahu."
"Kurasa kau benar, Jupe," kata Bob. "Tapi Mr. Smathers juga benar. Memang sebaiknya kita lekas-lekas saja pergi meninggalkan tempat ini. Aku tadi nyaris saja celaka!"
Jupe mengangguk, tanda setuju. Ketiga remaja itu kemudian bergegas kembali ke padang rumput. Ketika mereka muncul dari dalam hutan, mereka masih sempat melihat Mr. Smathers yang saat itu mulai menuruni lereng tempat main ski. Dan ketika mereka sampai di sisi atas lereng itu, Mr. Smathers sudah tiba di dasarnya.
"Cepat sekali jalannya," kata Bob.
"Kan menurun terus," kata Pete, lalu mulai menuruni lereng pula dengan langkah antara berlari dan terpeleset. Bob dan Jupiter menyusul dengan lebih berhati-hati.
Ketika sudah hampir sampai di bawah, mereka melihat Joe Havemeyer mulai mendaki lereng. Suami Anna itu menyandang ransel, serta memanggul senapan pembius. Ia berhenti melangkah, ketika melihat anak-anak datang menghampiri dari arah atas. Tampangnya masam.
"Kalian berbuat apa di atas tadi?" tanyanya.
"Jalan-jalan," jawab Pete dengan polos.
Havemeyer menuding Bob.
"Smathers baru saja bercerita bahwa kau terjatuh ke dalam retakan bekas gempa bumi. Kau kan yang jatuh itu?" "Anda tahu tentang retakan itu?" tanya Jupiter Jones.
"Semua juga tahu. Retakan itu akan merupakan daya tarik yang besar, jika para penggemar olahraga mengembara bisa dibangkitkan minatnya agar mau datang kemari saat musim panas. Tapi sementara itu kuminta kalian agar jangan pergi ke dataran tinggi di atas. Aku dan Anna akan ikut merasa bersalah jika kalian sampai mengalami cedera. Bukan saja kemungkinan kalian jatuh, tapi juga beruang...."
"Beruang?" kata Jupiter, sambil menatap lurus-lurus ke arah Havemeyer, lalu ke senapan pembius yang dipanggul orang itu. "Itukah sebabnya Anda membawa senapan itu, Mr. Havemeyer? Itu kan senapan pembius, ya? Anda bermaksud menangkap beruang dengannya?"
Havemeyer tertawa.
"Menangkap beruang? Untuk apa aku menangkap beruang? Tidak, aku sama sekali tidak berniat begitu. Lagi pula, itu kurasa melanggar undang-undang. Aku cuma ingin berjaga-jaga jika sampai berjumpa-aku tidak ingin menyebabkannya cedera." Ia berhenti sebentar, sambil nyengir. "Mr. Smathers pasti akan sangat marah, jika aku sampai mencederai seekor beruang."
Setelah itu Havemeyer meneruskan langkah, mendaki lereng.
"Mr. Smathers tadi melakukan satu kesalahan," kata Bob.
"Betul," kata Pete. "Kita tadi tidak bercerita padanya bahwa kau yang jatuh ke dalam retakan! Jadi jika ia tahu, itu berarti ia ada di sana ketika peristiwa itu terjadi-atau ketika Jupe dipukul dari belakang."
"Mungkin juga dia yang memukulku tadi," kata Jupe, "dan kemungkinannya dia pula yang melenyapkan jejak kaki yang semula nampak di tepi atas retakan. Mr. Smathers nampaknya bukan orang yang tidak mau melakukan kekerasan, seperti yang suka ditonjolkannya selama ini. Di atas sana ada sesuatu-apakah itu monster atau bukan, aku tidak tahu. Ia dan Havemeyer pernah melihat makhluk itu, dan kedua-duanya tidak ingin ada orang lain tahu."
Ketika anak-anak tiba di pekarangan belakang losmen, Konrad muncul dari dalam lubang yang akan dijadikan kolam renang.
"He, Jupe!" sapa pemuda Jerman itu.
Jupiter membalas dengan lambaian tangan. Bersama kedua temannya ia menghampiri lubang, lalu memandang ke bawah. Mereka melihat Hans sedang duduk melepaskan lelah di dasar lubang itu. Cetakan yang kemudian akan dituangi semen sudah hampir selesai dibuat.
"Asyik berjalan-jalan tadi?" tanya Hans sambil mendongak.
"Sangat menarik," kata Jupe.
"Hampir tidak ada saat yang menjemukan," kata Pete menimpali.
"Mr. Smathers sangat gelisah karena kalian," kata Konrad. "Ia tidak ingin kalian datang ke dekat padang rumput yang ada di atas sana. Ia meminta kami agar menyuruh kalian tetap di bawah sini saja." "Dan itu akan kalian lakukan?" tanya Pete.
"Kurasa kalian toh akan melakukan semau kalian," kata Konrad sambil nyengir. "Asal hati-hati saja, ya?" "Kami akan berhati-hati," kata Jupiter berjanji. "Mana Mr. Smathers sekarang?"
"Tadi kulihat pergi ke desa, berjalan kaki," kata Hans. "Anna pergi berbelanja dengan mobil ke Bishop. Sedang Mr. Jensen juga pergi, dengan mobilnya."
"Kata Anna tadi, kalian urus saja sendiri makan siang kalian," kata Konrad. "Di dalam lemari es ada roti
sandwich. "
"Kebetulan, karena aku memang sudah lapar," kata Pete.
Ketiga remaja itu makan dengan lahap. Setelah itu Jupiter pergi mencuci piring. Ia melihat cincin kawin Anna tergeletak di ambang jendela di dekat tempat cuci piring.
"Cincin itu terlalu besar bagi Anna," katanya sambil mengerutkan keningnya. "Bisa hilang nanti, jika ia tidak berhati-hati."
Pete yang sedang mengelap gelas, mengangguk. Tapi perhatiannya saat itu tertarik pada sesuatu yang tergeletak di lantai ruang duduk, tidak jauh dari ambang pintu ke dapur. Setelah meletakkan lap pengering ke papan peniris, ia masuk ke ruang duduk untuk mengambil benda yang dilihatnya itu.
"Ada dompet tercecer," katanya.
Dompet itu sudah usang. Kulitnya sudah empuk, dan jahitan pada salah satu sisinya robek. Ketika Pete memungutnya, setumpuk kartu dan kertas jatuh berserakan ke lantai.
"Sialan!" umpat Pete, lalu berjongkok untuk memungut kertas-kertas yang terjatuh. "Dompet siapa itu?" seru Bob.
Di antara kartu-kartu nama dan bon-bon restoran, Pete menemukan sepotong surat izin mengemudi.
"Kepunyaan Mr. Jensen," katanya sambil membaca nama yang tertera pada SIM itu. "Wah-padahal ia sedang pergi dengan mobilnya. Mudah-mudahan saja ia tidak dicegat polisi karena tidak berhenti saat lampu lalu lintas sedang merah-atau begitu. Kalau itu terjadi, ia pasti akan kena tilang karena mengendarai mobil tanpa SIM."
"Sebentar." Sementara itu Jupiter sudah muncul di ambang pintu. Ia menatap sebuah foto yang masih tergeletak di lantai. "Itu foto Anna," katanya.
"Hah?" kata Bob. "Apa katamu?"
"Foto Anna," kata Jupe mengulangi. Ia membungkuk, lalu memungut foto itu.
Foto itu menampakkan Anna Havemeyer beserta suaminya, yang diambil saat mereka berdua ke luar dari sebuah kedai kopi di salah satu kota. Kelihatannya mereka tidak sadar bahwa mereka dipotret. Anna memakai gaun dengan bagian atas berpotongan kemeja. Pakaian itu berwarna cerah. Selembar baju hangat disampirkan menutupi pundaknya. Kepalanya agak dipalingkan sedikit, memandang ke arah Joe Havemeyer. Mulut suaminya itu agak terbuka, sementara air mukanya nampak tegas. Rupanya sedang mengatakan sesuatu yang penting pada istrinya.
"Untuk apa Jensen menyimpan foto Anna ini di dalam dompetnya?" tanya Jupiter sambil menyodorkan foto itu pada Bob.
Sementara itu Pete sudah selesai mengumpulkan kembali barang-barang milik Mr. Jensen yang terserak. Diambilnya foto dari tangan Bob, lalu ditelitinya.
"Ini pasti tidak dibuat di Sky Village sini," katanya. Ia membalik foto itu, lalu memeriksa sisi belakangnya. "Ini ada tulisan tanggal-rupanya dibuat minggu lalu, di Danau Tahoe."
Ketiga remaja penyelidik itu saling berpandang-pandangan dengan heran.
"Mungkin Jensen itu kenalan lama Anna," kata Bob bertanya-tanya. "Atau barangkali kenalan Havemeyer? Mungkinkah ia hadir saat mereka menikah?"
"Tidak!" kata Jupiter mantap. "Malam pertama kita ada di sini, kan diadakan pesta untuk merayakan pernikahan Anna. Saat itu Jensen dan Smathers dianggap orang luar. Kalian ingat tidak? Havemeyer waktu itu mengatakan bahwa tamu-tamu yang membayar akan diajak, tapi ia tidak mau membiarkan Mr. Jensen dan Mr. Smathers merusak suasana."
Pete menyelipkan foto itu kembali ke dompet.
"Mungkin saja Mr. Jensen cuma tamu biasa di losmen ini," katanya, "tapi kenyataannya ia menyimpan foto suami-istri Havemeyer, yang diambil ketika mereka sedang di Danau Tahoe. Kalau ini kebetulan, menyolok sekali kebetulannya!"
Jupiter mengambil dompet dari tangan Pete.
"Kurasa dompet ini sebaiknya kita letakkan saja di atas meja kamar Mr. Jensen, dan kita tidak mengatakan apa-apa padanya nanti," katanya bersungguh-sungguh. "Dan sementara kita ada di dalam kamarnya, tidak ada salahnya jika kita membuka mata-kalau-kalau ada sesuatu yang menarik di situ. Karena kita diminta oleh Hans dan Konrad untuk membantu menjaga Anna, kita berkewajiban untuk berjaga-jaga, kalau-kalau ada bahaya datang dari arah mana pun juga...."
"Aku mengerti maksudmu," kata Pete. "Sekarang cepatlah sedikit, sebelum ada yang kembali!" Kamar yang ditempati Jensen terletak di sisi utara losmen, di samping kamar untuk dua orang yang ditempati oleh Hans dan Konrad.
"Moga-moga saja tidak dikunci," kata Bob.
"Di losmen ini tidak ada kamar yang pernah dikunci," kata Pete sambil memutar tombol. Pintu kamar Mr. Jensen ternyata memang tidak dikunci.
Ruangan itu bersih dan rapi, seperti segala-galanya di losmen itu. Selembar jaket penahan angin dari kain poplin tersampir ke punggung sebuah kursi. Sebuah sisir tergeletak di atas meja. Selain kedua benda itu, tidak nampak tanda-tanda bahwa kamar itu didiami.
Jupiter membuka pintu lemari pakaian. Dilihatnya kemeja-kemeja santai yang lumayan banyaknya di situ. Ada yang kelihatan bekas dipakai, dan ada pula yang masih bersih dan licin setrikaannya. Sepasang sepatu hitam bertali terletak di lantai, bersebelahan dengan kopor milik Jensen.
Jupiter mencoba menjunjung kopor itu.
"Belum semua isinya dikeluarkan," katanya. Dibawanya kopor itu ke tempat tidur, lalu dibukanya. Di dalamnya ada sejumlah kaus kaki serta pakaian dalam yang bersih, lalu beberapa gulung film, serta beberapa kotak lampu blitz. Kecuali itu ada pula sebuah buku di situ. Pete bersiul senang ketika Jupiter mengambil buku itu. "Seni Foto Untuk Pemula." Itulah judulnya. Jupiter membukanya dengan asal-asalan.
"Ini bukan sesuatu yang diperkirakan ada di antara barang-barang juru foto profesional yang berpengalaman," katanya. "Jika Jensen biasa menjual foto-foto buatannya pada majalah-majalah, mestinya buku seperti ini tidak diperlukannya lagi. Ini terlalu mendasar sifatnya." Buku itu ditutupnya kembali. "Apa pun ia sebenarnya, tapi yang jelas Mr. Jensen bukan juru foto."
Bob mengeluarkan semua kaus kaki dan pakaian dalam yang ada di kopor.
"Coba kita lihat, apa saja isinya selain ini," katanya. Tapi ia tidak menemukan apa-apa lagi kecuali sebuah buku catatan berukuran kecil. Buku catatan itu sudah lusuh, dan penuh berisi nama, alamat, serta nomor telepon. Bob memperhatikan isi buku itu secara sambil lalu. Alamat-alamat yang tertera di dalamnya kebanyakan dari berbagai perusahaan dan juga orang-orang di Danau Tahoe. Catatan tentang Anna baru ada di bagian akhir. Catatan itu menyebabkan mata Bob terbelalak karena heran.
"Kau menjumpai sesuatu yang menarik?" tanya Jupe.
"Ini-ada satu halaman, khusus tentang Anna. Lihatlah-paling atas tertulis suatu nomor-PWU 615, California. Lalu nama Anna-Miss Anna Schmid-serta alamatnya, Slalom Inn, Sky Village, California." "PWU 615?" kata Pete. "Kedengarannya seperti nomor mobil." "Apa lagi kecuali itu?" tanya Jupiter.
Tanpa mengatakan apa-apa, Bob menyodorkan buku catatan itu padanya.
"Wah, ini hebat," kata Jupe sambil membaca. "Ini ada catatan bahwa Anna memiliki Slalom Inn serta lift untuk mengangkut pemain-pemain ski ke atas, serta bahwa di Sky Village ia terkenal selalu membayar apa saja dengan uang tunai. Dan paling bawah ada tulisan, 'Mangsa empuk!"'
"Mangsa?" kata Pete. "Seperti gaya penjahat saja!"
"Memang," kata Jupiter dengan singkat.
"Kalau begitu Jensen itu penjahat, sedang calon korbannya Anna."
"Yang jelas, Jensen bukan juru foto," kata Jupiter. "Tapi jika ia benar penjahat, lalu apa niatnya? Selama ini ia tidak melakukan apa-apa di sini, kecuali..."
"Kecuali ditonjok dari belakang oleh seekor beruang, atau monster, atau entah apa," kata Pete menyambung. "Sikapnya terhadap Anna bahkan tidak bisa dibilang ramah."
Saat itu terdengar bunyi mobil memasuki pekarangan. Jupiter bergegas melintasi serambi dalam, lalu masuk ke kamar yang ditempati Mr. Smathers. Dari jendela di situ ia memandang ke luar.
"Anna-rupanya baru kembali dari Bishop," katanya memberi tahu. "Dan nomor mobilnya, PWU 615."
Bob cepat-cepat menutup kopor, lalu mengembalikannya ke dalam lemari pakaian. Pete melicinkan tempat tidur tempat kopor tadi diletakkan.
"Bagaimana-kita beri tahu Anna bahwa ada penjahat menginap di sini?" tanya Pete, sementara ia meninggalkan kamar itu bersama kedua temannya. Jupiter menggeleng.
"Lebih baik jangan, karena kita tidak punya bukti-bukti nyata. Kita hanya tahu bahwa Jensen memiliki foto Anna dan Havemeyer yang dibuat di Danau Tahoe pada minggu mereka menikah di sana. Dan bahwa ia sangat menaruh minat pada kebiasaan Anna dalam urusan uang. Bob, kau nanti malam kan akan menghubungi ayahmu, untuk menanyakan laporan tentang Havemeyer. Sekaligus berikan alamat Jensen yang kita lihat tertera pada SIM-nya tadi- ia tinggal di Lembah Tahoe. Tanyakan pada ayahmu, apakah kenalannya yang di Reno bisa mencari keterangan tentang Jensen. Sampai kita sudah tahu lebih banyak, sebaiknya kita amati saja orang yang mengaku juru foto itu, setiap kali ia ada di dekat Anna. Kita harus bersiap-siap, jika ia mencoba membujuk-bujuk Anna agar mau melibatkan diri dalam salah satu bisnis yang menarik!"

Bab 12
APA YANG DICARI ORANG ITU?

JUPE, Bob, dan Pete menuruni tangga. Mereka menjumpai Anna di ruang duduk, sedang meletakkan beberapa majalah ke tumpukan yang sudah ada di sebuah meja samping. Wanita itu kelihatan agak kaget ketika mendengar anak-anak masuk.
"Ah-kusangka tidak ada siapa-siapa di sini," katanya.
"Kami tadi mencari-cari lagi," kata Jupiter menjelaskan dengan tampang polos. "Mungkin saja kemarin ada tempat yang terlewat, ketika kami mencari-cari anak kunci peti besi Anda."
"Ah, ya-betul juga, anak kunci itu." Kening Anna berkerut. "Dan kalian masih juga belum menemukannya?"
"Belum," jawab Bob. "Mrs. Havemeyer, pernahkah terlintas dugaan dalam hati Anda bahwa anak kunci itu mungkin diambil orang? Pintu-pintu di losmen ini tidak ada yang pernah dikunci. Siapa pun juga bisa masuk kemari, lalu mengambilnya."
"Itu tidak mungkin, karena aku pasti menyembunyikannya dengan sangat cermat," kata Anna. "Dan takkan ada yang mau mengambil, apabila tahu itu untuk membuka apa. Hanya Anna Schmid yang bisa mempergunakannya. Orang-orang di bank hanya mengenal Anna Schmid saja sebagai pemilik anak kunci itu. Jadi jika ada yang mengambil, anak kunci itu takkan berguna sama sekali baginya. Tapi di pihak lain, aku direpotkan olehnya. Itulah sebabnya kenapa anak kunci itu kusembunyikan, sebelum aku berangkat ke Danau Tahoe."
"Dengan begitu teori tentang tamu tak diundang buyar," kata Pete.
"Anak kunci itu pasti ada di salah satu tempat di sini," kata Anna. "Coba aku bisa ingat lagi, di mana aku waktu itu menaruhnya."
Di luar terdengar bunyi ban mobil yang bergerak di jalan masuk yang berkerikil. Tidak lama kemudian Jensen muncul dengan menenteng kamera fotonya. Ia lewat sambil menganggukkan kepala pada Anna dan ketiga remaja itu, lalu langsung naik ke tingkat atas.
"Pekerjaan Mr. Jensen menarik," kata Jupiter sambil lalu. "Diperlukan kesabaran besar, untuk memotret binatang liar. Seringkah ia kemari?"
"Ini yang pertama kalinya," kata Anna. "Ia baru tiba lima hari yang lalu. Ia datang tanpa memesan lebih dulu. Untung saja ada kamar kosong, jadi aku bisa menerimanya."
"Mr. Smathers juga menarik," kata Jupe lagi. "Ia mestinya sering mengembara di pegunungan, berkomunikasi dengan alam."
"Maksudmu bicara dengan binatang liar? Aku ingin tahu, apakah segala binatang itu benar-benar mendengarkannya? Tapi ia juga baru sekali ini kemari. Katanya ia ingin kemari karena musim panas sekali ini begitu kering. Ia merasa bisa menolong binatang liar sahabat-sahabatnya, agar jangan sampai terjerumus dalam kesukaran." Anna tertawa. "Macam-macam saja! Orang itu aneh sekali. Aku cuma ingin ia mau makan seperti yang lain-lainnya, supaya aku tidak usah repot-repot memasak khusus untuk dia sendiri."
Setelah itu Anna pergi ke dapur. Anak-anak mendengar wanita itu membuka lemari-lemari di situ, lalu sibuk dengan panci-panci. Jupiter mengajak kedua temannya ke luar. Mereka berjalan dengan santai menuju pompa bensin, tempat Gabby Richardson nampak duduk terkantuk-kantuk disinari matahari sore. Orang itu membuka matanya ketika anak-anak mendekat.
"Bagaimana-asyik berjalan-jalan tadi?" tanyanya.
"Anda tadi berbicara dengan Mr. Smathers," kata Pete.
"Tidak bisa dibilang begitu," balas Richardson. "Dia yang bicara terus. Nampaknya ia beranggapan aku ini merusak remaja Amerika, karena bercerita tentang monster." Mata Richardson yang semula mengantuk disipitkan. Tiba-tiba sikapnya menjadi waspada. Sangat ingin tahu. "Apa yang sebenarnya kalian lihat di atas tadi pagi?"
"Kami tidak tahu pasti, Mr. Richardson," kata Bob. "Sesuatu yang besar. Kurasa seekor binatang."
Gabby Richardson kelihatannya merasa kecewa.
"Paling-paling juga beruang," katanya. Ia menoleh ke arah Bob. "Kau yang terjatuh ke dalam retakan?" Bob mengiyakan pertanyaan itu.
"Itu sudah kusangka," kata Richardson. "Kelihatan dari pakaianmu. Tapi kau tidak apa-apa rupanya." "Tidak," jawab Bob, "cuma agak kaget saja."
"Lebih baik berhati-hati, jika berada di lingkungan liar itu," kata Richardson. "Kalian nampaknya cukup berakal, jadi kurasa pasti beruang tadi tidak kalian apa-apakan. Tidak ada alasan bagi Anna Schmid untuk marah-marah seperti tadi. Atau lebih baik kukatakan, Anna Havemeyer."
"Ia marah-marah?" kata Pete. "Kami baru saja berjumpa dengan dia. Tapi kelihatannya biasa-biasa saja."
"Yah-sekarang mungkin sudah tenang kembali. Tapi tadi ketika kembali dari Bishop ia mampir sebentar untuk membeli bensin. Saat itu Smathers aneh itu baru saja pergi. Karenanya kutanyakan pada Anna, apakah ia sudah berbicara dengan kalian setelah kalian pulang dari atas. Seperti mungkin sudah kalian ketahui, aku ini paling senang mengetahui hal-hal yang terjadi di sekitar sini."
"Ya, itu sudah kami ketahui," kata Pete sambil tertawa.
"Nah-Anna lantas mengatakan, suaminya tidak suka kalian datang ke padang rumput di atas, karena mengingat beruang-beruang itu. Setelah menikah, Anna malah menjadi payah sekarang. Masa gugup menghadapi binatang-binatang itu- seperti orang kota saja! Aku masih ingat ketika ia dulu bergegas ke luar dari dapur sambil berteriak-teriak dan mengayun-ayunkan alat penggoreng, begitu ada beruang mengendus-endus tempat sampahnya."
Bob kaget mendengarnya.
"Wah-apakah itu tidak berbahaya?" tanyanya. "Maksudku, beruang-beruang itu kan binatang liar, dan..."
"Selama mereka tidak terlalu didekati, dan tidak benar-benar dipukul, cara begitu kadang-kadang bisa berhasil untuk mengusir mereka." Bob memandang arlojinya.
"Sudah lewat pukul empat," katanya pada Jupe. "Ayahku sekarang pasti sudah sampai di rumah. Kutelepon saja dia sebentar."
"Telepon di losmen tidak jalan?" tanya Gabby Richardson.
"Bukan begitu," kata Bob dengan cepat. "Kami kebetulan sedang berjalan-jalan ke arah sini, jadi..."
"Ya, ya, tentu saja," kata Richardson. "Aku juga tidak bermaksud melarangmu. Silakan menelepon! Aku ingin makan sebentar, di kedai pizza. Aku tahu kapan aku tidak boleh mencampuri urusan orang lain."
Richardson berdiri, lalu berjalan dengan langkah gontai meninggalkan pompa bensin, menuju ke jalan.
"Saat dia tidak mencampuri urusan orang lain, aku akan memakan sepatu tenisku-tanpa imbuhan garam," kata Pete dengan suara lirih.
Bob tertawa, lalu masuk ke bilik telepon. Ia berbicara selama lima menit dengan ayahnya.
"Joe Havemeyer ternyata tidak terdaftar di dalam buku telepon Reno," katanya melaporkan kemudian. "Biro kredit di kota itu belum menyampaikan laporan mengenai dia. Tapi kenalan ayahku memperkirakan besok pasti akan sudah ada berita. Malam ini juga Ayah akan menelepon kenalannya itu untuk memintanya mengadakan pengecekan pula tentang Jensen. Tapi ayahku tadi mengatakan kita jangan gila-gilaan, menyulitkan orang lain. Katanya kalau kita sampai menyebabkan Hans dan Konrad, atau sepupunya sampai merasa malu, kita akan dikulitinya hidup-hidup. Kita dilarangnya berbuat apa-apa sebelum ada kabar dari dia- kecuali ke luar dari losmen."
"Eh?" kata Jupe dengan heran.
"Ya-soalnya ayahku khawatir bahwa kita membebani Anna. Dan kurasa itu memang benar. Kan tidak ada alasan khusus baginya untuk memberi kita makan! Ya, kan? Kita bukan kerabatnya." "Aduh-padahal urusannya mulai asyik sekarang," keluh Pete.
"Kita tidak perlu pindah terlalu jauh," kata Jupe mengingatkan. "Tenda kita kan sudah terpasang di luar, di dekat rumah."
Ketiga remaja itu kembali ke losmen. Mereka mengatakan pada Anna dan suaminya bahwa mereka memutuskan untuk meneruskan rencana semula, berkemah di luar. Joe Havemeyer memprotes dengan mengetengahkan bahaya beruang-beruang yang berkeliaran, tapi anak-anak berjanji akan berteriak minta tolong, begitu mereka melihat atau mendengar sesuatu yang kemungkinannya berbahaya. Jauh sebelum saat matahari terbenam mereka sudah memindahkan kantung-kantung tidur mereka ke tenda.
Malam itu mereka makan sosis dengan kacang merah, yang dimasak di atas api unggun. Setelah itu mereka duduk-duduk di dalam tenda. Bob mengeluarkan buku catatan serta bolpennya, lalu sambil bersila menuliskan hasil temuan mereka selama menangani kasus baru itu.
"Sampai sekarang," katanya, "kita sudah mengetahui adanya seorang juru foto satwa liar yang sebenarnya sama sekali bukan juru foto, serta yang sangat menaruh minat pada Anna serta uangnya."
"Orang itu juga menyimpan foto Anna serta suaminya, yang dibuat sebelum ia datang untuk tinggal di losmen. Tapi Anna mengatakan bahwa orang itu baru sekali ini kemari, dan ia sebenarnya tidak mengenal orang itu."
"Dan orang itu juga dipukul dari belakang oleh seekor beruang, atau seseorang, atau suatu monster," kata Pete menambahkan. "Jika ia sebenarnya bukan juru foto, lalu kenapa ia berusaha memotret beruang yang sedang mengorek-ngorek tong sampah?"
"Ia pasti merasa harus bertindak seperti juru foto, sesuai dengan pengakuannya," kata Jupe menarik kesimpulan. "Itu tentang Mr. Jensen. Lalu ada pula suami Anna. Apa yang kita ketahui tentang dia?"
"Katanya sendiri, ia berpenghasilan lumayan," kata Bob. "Ia memiliki senapan pembius, yang setiap hari dibawanya jika pergi ke padang rumput yang di atas. Saat ini ia sedang membangun kolam renang, yang mungkin bukan kolam renang."
Ia memandang Jupiter.
"Masih ada lagi? Kalau ini saja, tidak banyak. Hans dan Konrad punya firasat tidak enak tentang dia. Tapi mungkin saja ia memang seperti apa yang dikatakannya." "Itu mungkin saja," kata Jupe sependapat.
"Lalu ada pula Mr. Smathers," kata Pete. "Orang itu benar-benar sinting."
"Mungkin ia lebih berbahaya daripada penampilannya pada kita," kata Jupe. "Aku yakin, dialah yang memukulku sampai pingsan tadi pagi, lalu menghapus jejak kaki yang semula nampak di tepi retakan."
"Dengan begitu kita sampai pada pertanyaan besar kita," kata Pete. "Adakah monster di Gunung Monster? Atau tidak?"
"Aku melihat sesuatu," kata Bob. "Aku tahu bahwa aku melihat sesuatu, dan aku yakin sekali yang kulihat itu bukan beruang. Dan Jupe melihat jejak kakinya."
Jupiter membuka kantung tidurnya, lalu melepaskan sepatu.
"Jika monster itu ternyata memang ada dan Joe Havemeyer berhasil menangkapnya, di sini pasti akan menjadi ramai sekali," katanya meramalkan. "Kita harus ingat, klien kita Hans dan Konrad, dan kita bertugas melindungi sepupu mereka. Besok, jika kita sudah menerima laporan tentang kredit Havemeyer serta keterangan tambahan tentang Jensen, kita akan berembuk dengan Hans dan Konrad. Biar mereka saja yang menentukan apa yang mereka inginkan. Itu juga jika ada yang mereka inginkan."
Bob dan Pete cepat sekali pulas. Tapi Jupiter Jones terlalu gelisah. Ia berbaring dengan mata nyalang, sambil mendengar suara angin serta gerak-gerik satwa liar yang berkeliaran dalam gelap. Ia teringat pada retakan di tanah, serta jejak kaki telanjang yang luar biasa. Ia teringat pada Gabby Richardson, serta ceritanya tentang makhluk-makhluk aneh yang ada di pegunungan. Terbayang lagi dalam ingatannya salah satu kisah Gabby-tentang Anna yang
melabrak beruang sambil mengayun-ayunkan alat penggoreng. Jupe berniat menanyakan pada Anna keesokan paginya, apakah ia benar-benar berbuat senekat itu.
Ketika sudah hampir tengah malam, Jupiter menelungkup lalu menyibakkan kain penutup celah untuk memasuki tenda. Losmen saat itu sudah gelap dan sunyi. Suatu bayangan kecil melintas di atas kepala, lalu hinggap selama beberapa menit di ujung atas cerobong asap losmen. Jupiter mendengarnya bersuara samar-samar. Ternyata yang dilihatnya itu seekor burung hantu.
Jupe mengejapkan mata. Salah lihatkah dia? Atau betulkah ada cahaya samar di salah satu tempat, di tingkat bawah losmen? Ia mengamati dengan cermat. Sesaat kemudian dilihatnya lagi cahaya itu. Sorotan lampu yang bergerak-gerak di ruang duduk, di seberang kantor.
Jupe menyenggol Pete dengan sikunya.
"He, bangun!" bisiknya.
"A... ada apa?" Pete terduduk. "Ada beruang lagi?" "He, diam," tukas Bob dalam keadaan setengah tidur.
"Ada orang di losmen," kata Jupe. "Dengan senter. Lihatlah, ia sekarang masuk ke kantor Anna." Pete dan Bob ke luar dari kantung tidur masing-masing. Mereka meraba-raba dalam gelap, mencari sepatu mereka. "Nah, mulai lagi sekarang!" kata Pete. "Kelihatannya semua merasa tertarik pada Anna- atau pada uangnya, atau kantornya."
Ketiga remaja itu merangkak ke luar dari tenda, lalu menyelinap ke dekat jendela kantor. Jendela itu terbuka, sehingga mereka bisa melihat orang yang duduk di kursi meja tulis, membelakangi mereka. Orang itu Jensen! Ia kelihatannya sedang meneliti buku-buku kas Anna, yang diterangi oleh sinar senter yang dipegangnya. Pintu antara kantor dan ruang duduk sudah ditutup lagi.
Jensen kelihatannya sudah selesai memeriksa sebuah buku kas, karena ditutup lalu ditaruh ke rak buku. Kemudian ia hendak mengambil buku kas yang berikut. Tapi tiba-tiba sikapnya menegang. Ia menelengkan kepala, mengarahkan telinga ke pintu, lalu bergegas menyuruk ke kolong meja. Senternya dipadamkan.
Ketiga remaja yang mengintai di luar cepat-cepat menunduk ke bawah ambang jendela. Lampu langit-langit di kantor menyala, dan anak-anak mendengar suara Joe Havemeyer.
"Nah, kaulihat sendiri kan?" katanya. "Tidak ada siapa-siapa di sini!"
"Tapi aku tadi mendengar sesuatu," kata Anna. "Aku jelas sekali mendengar orang berjalan di tangga, disusul bunyi pintu ditutup. Padahal kurasa pintu ini tadi kubiarkan terbuka. -Tapi aku tidak tahu pasti."
"Kau ini macam-macam saja. Paling-paling itu karena sarafmu saja yang tegang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sikapmu sudah bagus sekali, dengan kedua manusia konyol dari Rocky Beach itu. Kita tidak boleh gentar karena mereka. Mereka kan tidak akan selama-lamanya ada di sini."
"Tapi lebih dari seminggu," kata Anna. "Mereka hendak lebih dari seminggu di sini."
"Tapi aku terus menyibukkan mereka, kan? Sekarang tenang sajalah. Kau merasa gelisah- padahal tidak ada yang bisa meleset."
"Begitulah seharusnya," kata Anna. Nada suaranya membuat Jupiter yakin, wanita itu benar-benar pernah mengusir beruang dengan alat penggoreng.
Lampu kantor dipadamkan lagi. Anak-anak mendengar pintu ditutup. Tapi mereka tetap menunggu di bawah ambang jendela, tanpa bergerak. Beberapa menit kemudian nampak sinar senter dinyalakan lagi. Jensen ke luar dari kolong meja. Ia menuju ke pintu, memadamkan senternya, lalu ke luar dengan hati-hati sekali.
"Astaga," desis Pete.
Jupiter merapatkan telunjuknya ke bibir. Diajaknya kedua temannya meninggalkan tempat itu dengan diam-diam, kembali ke tenda mereka.
"Betulkah aku tadi mendengar apa yang kurasa seperti kudengar?" kata Pete, ketika mereka sudah kembali berada dalam tenda.
"Aneh! Sangat aneh," kata Jupiter Jones. "Tapi aku tidak terlalu heran melihat Jensen muncul malam-malam, untuk memeriksa catatan keuangan Anna. Kita sudah tahu, ia tertarik pada uang wanita itu."
"Itu betul," kata Bob. "Cuma apa sebabnya Anna merasa gelisah tentang Hans dan Konrad? Mereka kan sepupu-sepupunya yang paling disayanginya!"
"Itu memang tidak bisa dimengerti." Jupe mengusap-usap keningnya. "Tidak ada yang bisa dimengerti dalam kasus ini. Belum pernah aku sebingung sekarang ini."

Bab 13
TUGAS ANNA

KETIKA Jupiter bangun keesokan paginya, hawa dingin sekali. Tapi matahari sudah bersinar, dan burung-burung sudah berkicau ramai. Pete dan Bob masih pulas. Karenanya Jupe memasang sepatunya dengan diam-diam, lalu ke luar dari tenda tanpa menimbulkan suara. Ia melintasi pekarangan belakang, menuju ke pintu dapur. Dalam keadaan masih agak mengantuk, ia berpikir-pikir tentang kata-kata Havemeyer yang terdengar malam sebelumnya.
Hans dan Konrad menyebabkan Anna merasa gelisah.
Sesampai di depan tangga beranda belakang, Jupe tertegun. Ia mendengar bunyi air mengalir ke dalam bak tempat cuci piring, di balik jendela dapur yang terbuka. Rupanya Anna sudah bangun. Jupiter membayangkan wanita itu di dapur, kedua belah tangannya bekerja dengan cekatan. Itu bukan tangan wanita yang takut-takut. Anna selalu bekerja dengan cepat dan cekatan, seperti Bibi Mathilda. Ia bahkan melepaskan cincin kawinnya sebelum mencuci piring. Persis seperti kebiasaan Bibi Mathilda-apabila ia sekali-sekali sedang berusaha melangsingkan tubuh, dan cincin menjadi agak longgar.
Jupe sudah hendak masuk untuk mengucapkan selamat pagi pada Anna, ketika didengarnya air berhenti mengalir. "Mana kopiku?" Itu suara Joe Havemeyer. "Sebentar lagi," jawab Anna. "Sabarlah sedikit."
"Jangan gugup," kata Havemeyer dengan nada menasihati. "Begini sajalah. Hans dan Konrad akan kusuruh mulai bekerja pagi ini, supaya kau tidak usah terlalu banyak berurusan dengan mereka. Ajak ketiga anak yang di luar itu sarapan di sini. Setelah itu siapkan bekal piknik, dan suruh mereka melancong-entah ke mana. Pokoknya, asal jangan ke padang rumput yang di atas. Harus kaupastikan bahwa mereka tidak akan ke sana."
"Kau sudah jadi pengatur pariwisata sekarang, ya?" tanya Anna dengan nada menyindir.
"Aku tidak mau mereka merecoki," kata Havemeyer. "Nanti aku akan naik lagi dan akan mencoba untuk terakhir kali. Tapi harapanku kecil. Jika kita sampai terdesak, kita akan terpaksa nekat ke bank. Saat itu kau harus benar-benar bisa diandalkan. Jadi lakukan tugasmu."
"Aku segan," kata Anna memprotes.
"Harus!" tukas Havemeyer dengan kasar. "Kau sudah pernah melakukan hal-hal yang lebih sulit-padahal untuk uang yang tidak sebanyak sekarang. Kau punya sesuatu yang bisa dijadikan pengisi roti untuk anak-anak nanti?" "Ada daging asap," kata Anna dengan nada sebal. "Itu sudah cukup."
Jupiter mundur beberapa langkah, lalu mendeham-deham dengan lantang. Setelah itu ia naik ke beranda, dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakkan. "Selamat pagi," ujar Anna.
Jupiter membalas sapaan itu dengan riang. Ketika diajak sarapan, ia menolak. Tapi itu hanya untuk basa-basi saja. Kemudian ia naik ke tingkat atas, untuk membersihkan badan. Ketika turun lagi, dilihatnya Bob dan Pete sudah datang. Tampang kedua temannya itu masih kusut, karena baru saja bangun. Jensen dan Smathers sudah duduk di meja makan, menunggu sarapan untuk mereka dihidangkan.
Sarapan pagi itu diselubungi kesunyian. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Ketika sedang membereskan piring dan gelas, Anna kelihatannya tiba-tiba mendapat gagasan baik.
"Pengembaraan kalian kemarin kan asyik," katanya pada Jupe serta kedua temannya. "Kenapa tidak pergi melancong lagi hari ini? Kalian kan sedang berlibur di sini, jadi sudah sepantasnya kalian bersenang-senang. Dari tempat perkemahan ada jalan setapak yang bagus ke arah menara pengawas api. Bagaimana kalau kalian kali ini mencoba jalan itu!"
"Menara pengawas kebakaran?" kata Bob. "Ah-maksud Anda yang sudah tidak dipakai lagi, yang kami lihat waktu itu. Jauhnya dari sini, mestinya sekitar tiga sampai empat mil." Anna mengangguk.
"Dan letaknya tinggi. Dari menara itu, seluruh lembah akan nampak. Kadang-kadang aku naik ke sana, apabila sedang tidak terlalu sibuk. Untuk menyendiri, dan berpikir."
"Asyik juga kedengarannya!" kata Jupiter dengan cepat. Ditendangnya kaki Pete di bawah meja, ketika melihatnya hendak mengatakan sesuatu.
Anna membereskan meja. Setelah itu dengan cepat disiapkannya bekal untuk piknik anak-anak.
"Bisa kalian bawa dalam ransel," katanya menyarankan.
Anak-anak mengucapkan terima kasih. Setelah itu Jupiter mengambil ranselnya dari dalam tenda, lalu memasukkan bekal makanan mereka ke situ.
"Hati-hati, ya," kata Havemeyer. "Kami tunggu kalian kembali menjelang sore nanti. Oke?"
Havemeyer mengajak Konrad dan Hans pergi untuk memulai pekerjaan membuat kolam renang, ketika ketiga remaja itu turun ke jalan, lalu membelok ke arah tempat perkemahan. Tapi begitu sudah melewati tikungan pertama, Pete berhenti.
"Apakah aku ini yang terlalu curiga, atau adakah alasan tertentu kenapa kita hari ini didesak-desak agar pergi melancong?" tanyanya. "Dan kenapa kau menendang kakiku tadi sewaktu sarapan?"
"Tadi pagi aku secara kebetulan mendengar percakapan antara Anna dan Havemeyer," kata Jupe. "Havemeyer ingin kita hari ini tidak ada di sini, supaya ia bisa ke padang rumput di atas, sementara Anna harus melakukan tugasnya."
"Tugas?" kata Bob mengulangi.
"Jangan tanya tugas apa," kata Jupiter. "Kurasa ada sangkut-pautnya dengan urusan bank. Sedang Havemeyer akan naik lagi ke atas, karena hendak mencoba melakukan sesuatu sekali lagi, untuk yang terakhir. Jika masih juga tidak
berhasil, ia dan Anna berniat hendak nekat-nekatan ke bank. Kurasa itu ada hubungannya dengan anak kunci peti besi yang begitu sibuk dicari-cari oleh Anna."
"Apakah tidak sebaiknya salah seorang dari kita tetap tinggal di losmen, untuk menyelidiki apa yang harus dilakukan olehnya?" tanya Pete.
"Tapi bagaimana caranya?" balas Jupiter. "Ia dan Havemeyer sudah bertekad, tidak ada yang boleh mengganggu Anna dalam melakukan tugasnya. Selama ini kita sibuk berusaha melindungi Anna. Tapi sekarang aku mulai sangsi, apakah ia memerlukan perlindungan. Apa pun yang diniati Havemeyer, yang jelas Anna itu ikut di dalamnya-dan kedua-duanya bersikap sangat sembunyi-sembunyi. Ironisnya, ia menyarankan kita agar pergi melancong ke menara kebakaran yang sudah tidak dipakai lagi itu. Aku tidak tahu pasti, tapi rasanya dari atas sana kita bukan saja akan bisa melihat seluruh lembah yang terbentang di bawah, tapi juga sebagian besar dari dataran tinggi. Yo, kita cepat-cepat saja berangkat-karena barangkali saja belum terlambat nanti."
"Tidak terlambat untuk berbuat apa?" tanya Bob ingin tahu.
"Melihat Havemeyer mendaki lereng," jawab Jupe. "Teropongku ada di dalam ransel. Havemeyer setiap hari naik ke padang rumput yang di atas, dengan membawa ransel serta senapan pembiusnya. Apa yang dikerjakannya di sana?" "Berburu monster," kata Pete.
"Tidak-ada urusan lain!" kata Jupe. "Ada hubungannya dengan bank, jadi juga dengan anak kunci yang hilang. Aku ingin melihat, apa yang dikerjakan Havemeyer di atas."
"Baiklah-kalau begitu kita berangkat saja sekarang," kata Bob dengan cepat.
Mereka bergegas menyusur jalan, lalu melintasi tempat perkemahan, dan kemudian memasuki jalan setapak yang mendaki ke arah menara pengawas kebakaran hutan yang sudah tidak dipakai lagi. Pete berjalan paling depan, diikuti oleh Bob yang dekat sekali di belakangnya. Sedang Jupiter terengah-engah, pada posisi paling belakang. Tidak lama setelah meninggalkan tempat perkemahan, jalan setapak yang dilewati mulai menanjak dengan terjal sekali. Ketiga remaja itu sampai harus terbungkuk-bungkuk melangkah.
Pukul sepuluh lewat, barulah mereka sampai di menara.
"Moga-moga saja belum terlambat," kata Jupiter dengan suara terputus-putus. Tanpa menunggu napasnya biasa lagi, ia memanjat tangga kayu, menuju ke puncak menara. Pete dan Bob menyusul.
"Bukan main!" kata Pete. "Dari atas sini kita bisa melihat losmen, lereng tempat main ski, dan juga padang rumput."
Jupiter mengambil teropong dari ranselnya. Didekatkannya alat bantu penglihatan itu ke matanya. Ia menyetel jarak lensa sebentar, sambil mengarahkannya ke lereng tempat main ski.
"Joe Havemeyer sudah mendaki sampai separuh jalan," katanya memberi tahu kedua temannya.
Jupiter mengikuti pendakian orang itu dengan teropongnya. Sepuluh menit kemudian Havemeyer sampai di padang rumput. Ia langsung menuju ke hutan tusam yang mengapit sisi seberang tempat lapang itu, lalu masuk ke dalamnya.
Jupiter menurunkan teropongnya.
"Sisi barat kemarin merupakan bagianmu, Pete," katanya. "Jauhkah kau masuk ke dalam hutan?" "Tidak," jawab Pete. "Paling-paling cuma beberapa meter saja. Aku selalu menjaga agar padang rumput masih selalu bisa kulihat."
"Havemeyer masuk ke sana. Apakah itu selalu dilakukannya setiap hari? Apakah yang ada di sana?" "Katamu tadi, kepergiannya itu ada sangkut-pautnya dengan urusan bank?" tanya Bob. "Ada apa di sana, yang ada hubungannya dengan bank?"
"Apa yang ada di sana? Pohon," kata Pete. "Pohon, lalu batu, tupai, burung, dan..." "Nanti dulu!" potong Jupiter dengan tiba-tiba. "Pondok itu!" "Pondok yang mana?" tanya Pete.
"Pondok pertapa! Ingat tidak? Gabby Richardson kan bercerita, pertapa yang waktu itu mengasingkan diri di Gunung Monster membangun sebuah pondok di padang rumput itu. Ketika kita kemarin ke sana, kita tidak melihat pondok itu. Jadi mestinya tersembunyi letaknya, di tengah pepohonan. Mungkin ke sanalah tujuan Havemeyer!"
"Lalu apa hubungannya pondok pertapa dengan bank?" tanya Bob.
"Aku tidak tahu," kata Jupe dengan lesu.
Setelah itu mereka membuka bungkusan bekal yang dibuatkan oleh Anna. Mereka makan sambil duduk bersila di atas menara. Sekali-sekali Jupiter meneropong, mengamat-amati padang rumput dan lereng tempat main ski. Setelah hampir sejam menghilang di dalam hutan, akhirnya Havemeyer muncul lagi di padang rumput, di sisi sebelah barat. Ia langsung menuju ke lereng.
"Ia hendak turun lagi sekarang," kata Jupiter. "Sekarang giliran kita datang ke sana. Tapi sebaiknya kita pulang dulu ke losmen. Kita katakan bahwa kita akan bermain-main sampai sore di tempat perkemahan, dan sekaligus masak sendiri di situ malam nanti. Kemudian kita langsung berangkat, dengan membawa alat-alat dan bahan makanan. Dengan begitu tidak ada yang menunggu kita pulang sebelum malam. Jadi kita bisa menyelinap naik ke padang rumput, lewat di sela-sela pepohonan di sisi utara lereng. Kita harus menyelidiki, apa yang menyebabkan Havemeyer setiap hari naik ke atas sana."
"Kasihan kakiku," keluh Pete. Diremasnya kertas pembungkus rotinya, lalu dimasukkan ke dalam ransel Jupiter.
"Kita berangkat saja sekarang," katanya.
Perjalanan kembali ke tempat perkemahan berlangsung lebih cepat daripada ketika mendaki tadi. Jalan setapak yang dilewati begitu curam, sehingga anak-anak terpaksa mengerem langkah mereka agar jangan tersungkur.
Ketika mereka sampai di tempat perkemahan, ternyata ada sebuah mobil diparkir di situ. Seorang laki-laki bertubuh pendek dan berambut tipis berdiri dengan tampang kecut, memandang kali yang sudah hampir tidak ada lagi airnya. Sedang seorang wanita bertubuh gemuk mengeluarkan piring-piring dari sebuah keranjang piknik, dan meletakkannya ke meja.
"Payah," kata laki-laki itu, ketika melihat ketiga remaja yang datang dari arah atas. "Padahal aku ingin memancing ikan di sini."
"Musim panas sekarang ini memang kering," kata Bob memberi tahu. "Di mana-mana air sangat dangkal."
"Sudahlah, Harold-untuk apa kita tinggal di sini," kata wanita gemuk itu dengan cepat. "Mendingan kita ke Bishop saja, dan menginap di motel."
"Aku tidak mau mengeluarkan uang untuk menginap di motel, apabila sudah banyak yang kukeluarkan untuk membeli peralatan berkemah," kata yang laki-laki. "Lagi pula, hawa di sini sejuk." Ia menuding ke arah menara. "Kalian tadi baru dari sana?" tanyanya pada Bob.
"Ya-tapi jalannya sangat menanjak."
Laki-laki itu terkekeh.
"Itu baik bagiku," katanya. "Kondisiku perlu ditingkatkan lagi."
Setelah itu anak-anak pergi dari situ. Mereka berjalan dengan langkah cepat, tapi tidak sampai berlari-lari. Lima belas menit kemudian mereka tiba di losmen. Mereka menjumpai Joe Havemeyer di ruang duduk. Orang itu berdiri di dekat tempat perapian, sambil memegang selembar kertas.
"Kelihatannya sudah lumayan," katanya pada Anna yang duduk di sofa. Anna mengangguk. Joe melirik sebentar ke arah anak-anak yang saat itu masuk, lalu meremas kertas yang dipegang dan mencampakkannya ke dalam tempat perapian. Kemudian diambilnya kotak korek api yang ada di atas rak tempat itu, lalu dibakarnya kertas tadi. Setelah itu ia naik ke tingkat atas.
"Bagaimana pelancongan kalian tadi? Mengasyikkan?" tanya Anna pada anak-anak.
"O, ya!" jawab Jupe.
"Itu sudah kusangka." Anna berdiri, lalu pergi ke dapur.
Pete melesat ke tempat perapian, lalu dengan sepatunya memadamkan api yang membakar kertas. Setelah itu dipungutnya sisa yang belum terbakar. Hanya sedikit saja yang masih utuh. Tapi itu saja pun sudah mencukupi. "Apa yang tadi dikatakan Havemeyer sudah lumayan?" tanya Bob.
Pete kelihatan ragu untuk menjawab. Kemudian ia keluar, menuju beranda depan. Bob dan Jupe menyusul. Jupe menutup pintu rumah di belakangnya.
"Tanda tangan Anna," kata Pete setelah berada di luar. Diserahkan potongan kertas yang masih utuh pada Jupe. "Ia menulis namanya berulang-ulang."
Ketiga remaja itu membisu selama sesaat. Kemudian Jupe nampak seperti tersengat.
"Ia tidak mau berbahasa Jerman dengan kedua sepupunya!" katanya dengan tiba-tiba. "Ia tidak mau berbahasa Jerman, dan cincin kawinnya terlalu longgar." "Apa maksudmu?" tanya Bob.
Tapi Jupe tidak menjawab. Ia bergegas turun ke pekarangan.
"Sekarang ini juga aku harus berbicara dengan Hans dan Konrad," katanya dengan tegang. "Setelah itu kita harus cepat-cepat ke padang rumput! Tiba-tiba semuanya sudah kumengerti. Jika kesimpulanku tepat, di sini sedang berlangsung peristiwa yang gawat sekali!"

Bab 14
KEBAKARAN DI GUNUNG

"KENAPA, Jupe?" tanya Hans. "Apa sebabnya kami jangan jauh-jauh dari losmen?" Ia bertanya sambil memanjat tangga, ke luar dari lubang yang akan dijadikan kolam renang. Sedang Konrad tetap berada di bawah.
"Lebih baik tidak kujelaskan dulu," kata Jupe. "Soalnya akan sangat memalukan bagi kalian- bagi kita semua- jika aku kemudian ternyata keliru. Tapi percaya sajalah padaku. Harap kalian tetap di sini, karena mungkin nanti aku memerlukan kalian."
"Tentu saja kami mau percaya padamu, Jupe," kata Hans. "Baiklah-bersenang-senanglah di tempat perkemahan," katanya menyambung, dengan nada ragu.
Setelah itu Jupe mendatangi Bob dan Pete yang baru saja ke luar dari rumah, setelah memberi tahu Anna bahwa mereka hendak bermain-main ke luar sampai malam. Dengan cepat ketiga remaja itu mengumpulkan semua yang diperlukan untuk makan malam, dari tempat mereka berkemah di bawah pepohonan tusam. Ketika mereka sedang sibuk, Jensen datang dengan mobilnya, sementara Smathers muncul dari hutan di seberang jalan.
Kedua orang itu naik ke beranda depan, lalu mengenyakkan diri ke kursi-kursi yang tersedia di situ.
Ketika melihat mereka, Jupiter mendengus.
"Mudah-mudahan saja mereka tetap di situ terus," katanya. "Saat ini aku belum tahu, apa peranan mereka dalam urusan ini."
"Peranan yang bagaimana, Jupe?" tanya Pete. "Ada apa sih, sebenarnya?" "Nanti, nanti," kata Jupe dengan sikap tidak sabar.
Ketika anak-anak hendak meninggalkan pekarangan losmen, Joe Havemeyer muncul di beranda depan.
"He-mau ke mana kalian, begitu terburu-buru kelihatannya?" serunya. Nada suaranya ramah. Tapi tatapan matanya memancarkan kecurigaan.
"Sialan!" umpat Jupiter lirih. Ia langsung memasang tampang ketolol-tololan, lalu menghampiri beranda dengan langkah santai.
"Kami hendak masak di tempat perkemahan malam ini," katanya polos.
"Kalian ini kelebihan energi rupanya," kata Havemeyer. "Sebaiknya kalian ditahan saja di sini, lalu disuruh bekerja... bekerja..."
Havemeyer tidak melanjutkan kalimatnya. Air mukanya berubah warna, nampak kekuning-kuningan. Jupe terkejap. Kemudian disadarinya bahwa bukan wajah Havemeyer yang menjadi kuning, melainkan warna langitlah yang berubah.
Ia mendongak. Dilihatnya asap mengepul tebal, menutupi matahari.
"Di sana!" seru Pete sambil menuding. Di sebelah utara losmen, di lereng yang berhutan di sebelah atas tempat perkemahan, asap yang mengepul nampak lebih tebal dan gelap. Seketika itu juga nampak nyala api yang menjilat ke atas. Segumpal abu putih melayang turun, jatuh di atas rambut Havemeyer. Jensen dan Smathers bergegas turun dari beranda, agar bisa lebih jelas melihat.
"Angin mengembus kemari," kata Havemeyer. Suaranya nyaris berbisik. Ia nampak seperti terpukau. Tangannya mencengkeram sandaran pagar beranda.
Dari arah jalan terdengar deru mobil datang. Itu mobil yang tadi diparkir di tempat perkemahan, ketika anak-anak turun dari gunung. Kendaraan itu meluncur dengan liar, menuju ke losmen. Pete lari ke jalan sambil melambai-lambai. Mobil itu berhenti dengan cepat.
"Bagaimana keadaannya?" seru Pete pada laki-laki yang memegang kemudi.
"Gawat!" balas laki-laki itu berteriak. "Kalian cepat-cepat saja menyingkir dari sini. Kayu di dalam hutan kering sekali. Aku tadi secara tidak sengaja menjatuhkan rokokku yang menyala. Tahu-tahu ada angin, lalu dengan sekejap mata seluruh lereng sudah dimakan api!"
Hans muncul sambil berlari-lari dari belakang losmen.
"Anna!" teriaknya. "Anna! Konrad! Cepat-ada kebakaran di gunung!"
Wanita yang ada di dalam mobil berteriak.
"Cepat, Harold, kita harus lari dari sini!" Laki-laki yang memegang kemudi menginjak pedal gas dengan mengejut. Roda-roda mobilnya berputar kencang dijalan yang berdebu.
"Hans! Konrad!" Joe Havemeyer rupanya sudah sadar lagi. Ia lari menuruni tangga beranda, lalu menyambar selang air yang tergulung di dekat situ. "Ambil tangga panjat!" serunya pada Hans. "Kita harus membasahi atap!"
Seekor kijang muncul dari dalam belukar di seberang jalan. Ia nekat lari memasuki jalan ke losmen, lewat di depan orang-orang yang melongo, menuju ke lereng tempat main ski.
Mr. Smathers mengucap-ucap dengan suara serak karena gugup.
"Aduh, orang-orang itu! Penjahat! Pembunuh!" Laki-laki bertubuh kecil yang nampak kebingungan itu lari menyusul kijang.
"Mau ke mana?" Mr. Jensen menyambar lengan Smathers.
Seekor tupai yang ketakutan lari di depan kedua orang itu, menuju lereng tempat main ski. "Lepaskan!" teriak Smathers. "Anda tidak melihat, ya? Binatang-binatang itu lari ke dataran tinggi!" "Tapi api mengarah kemari," kata Jensen mengingatkan. "Kalau Anda ke sana, bisa terjebak nanti!" Smathers melepaskan diri dari pegangan orang yang lebih muda itu. "Aku harus ke atas," katanya, lalu cepat-cepat lari ke arah lereng. Saat itu Anna bergegas muncul dari dalam rumah. "Joe!" teriaknya. "Kita harus lari, Joe!"
"Tidak!" Sementara itu Havemeyer sudah membuka keran air. Ia mundur beberapa langkah, lalu mengarahkan ujung selang ke atap rumah. "Kita harus menyelamatkan tempat ini. Aku tahu kita akan aman, jika tetap di sini!" Konrad menghampiri Anna, lalu memegang lengannya.
"Kami akan membawa sepupu kami pergi dari sini," katanya pada Joe Havemeyer. "Kau kan mau ikut, Anna?" Anna berpaling, menatap ke arah api. Nampaknya kini sudah semakin dekat. Tidak sampai satu mil lagi dari losmen. Angin yang bertiup terasa panas. Abu putih menyelimuti tanah. "Kau ikut," kata Konrad sekali lagi. Anna mengangguk. "Jupe," kata Konrad. "Pete, Bob-ayo masuk ke mobil." "Tunggu sebentar!" seru Jupiter.
"Tunggu apa lagi?!" Konrad membimbing Anna, mengajaknya ke tempat parkir. "Cepat, masuk ke mobil!"
"Tapi kita harus menemukan Anna," kata Jupiter.
"Apaa?"
Konrad menatap Jupiter, lalu memandang wanita yang ada di sebelahnya. Wanita itu berdiri seperti terpaku di tanah, dengan sikap berjaga-jaga. Jupiter merasa seperti melihat air mukanya berubah menjadi pucat. Tapi ia tidak yakin, karena asap tebal menggelapkan lingkungan.
"Mana Anna?" tanya Jupiter.
Selang yang dipegang Havemeyer terlepas dari tangannya.
"Jangan ngaco!" tukasnya.
Tapi Jupiter tidak mengacuhkannya.
"Anda Mrs. Havemeyer," katanya pada wanita yang selama itu mengaku bahwa ia Anna. "Mana Anna Schmid? Cepat-katakan!"
"Mana Anna Schmid?" Jensen nampak seperti orang teler. "Anda bukan Anna Schmid?" katanya pada wanita itu. Wanita itu meluruskan sikapnya. Ia kelihatannya sudah berhasil menguasai dirinya kembali.
"Dulu aku bernama Anna Schmid," katanya. "Dan sekarang aku Anna Havemeyer. Itu kan Anda ketahui." Ditatapnya Jensen lurus-lurus. "Aku ini Anna Schmid, dan aku akan ikut dengan kedua sepupuku." "Tidak!"
Dengan cepat Jupiter menghampirinya. Tahu-tahu wanita itu lari, menuju ke mobilnya. "He!" Jensen mengejar, berusaha memegang bahu wanita itu. "Jangan lari!"
Anna berusaha menghindar. Ia tersandung ketika tangan Jensen menggapainya. Wanita itu terjatuh. Rambut pirangnya yang dikepang melingkar di atas kepala terlepas, lalu terguling-guling sebelum akhirnya tergeletak di tanah. Seketika itu juga Anna berdiri, lalu berlari lagi menuju mobilnya. Rambutnya yang asli ternyata pendek. Warna aslinya coklat, tapi kelihatan dipucatkan.
"Kau bukan Anna!" seru Hans.
Konrad berhasil mengejar, ketika wanita itu sudah sampai di mobilnya dengan berusaha membuka pintu dengan gugup.
"Mana sepupuku?" bentaknya. "Mana Anna?" Wanita itu meringkuk, bersandar ke mobil.
"Dekat padang rumput di atas sana ada pondok, kan?" kata Jupiter. "Di sanakah Anna?" Wanita itu hanya mengangguk.
Konrad melepaskannya. Sedetik kemudian ia sudah lari mendaki lereng, diikuti oleh Hans serta anak-anak. Mereka menuju ke dataran tinggi.

Bab 15
MONSTER!

KETIKA mereka sampai di dataran tinggi, nampak asap tebal menyelubungi padang rumput. Napas Jupiter sesak, paru-parunya seakan-akan nyaris pecah karenanya. Ia berlutut di tengah rumput panjang, lalu memalingkan muka dari arah angin panas yang bertiup. Agak ke sebelah kanan di depannya muncul seekor puma dari dalam hutan. Singa gunung itu berhenti sejenak, seperti meneliti arah hembusan udara panas. Kemudian binatang itu lari menuju ke barat, ke bagian yang berbatu-batu di balik hutan.
Konrad menarik lengan Jupe.
"Ayo berdiri! Cepat, tunjukkan di mana Anna!"
Jupiter berdiri. Ia agak terhuyung. Sementara itu Pete sudah lari melintasi padang, lurus ke arah hutan di seberang. Bob berusaha mengejar. Mereka disertai binatang-binatang yang juga lari. Jupiter melihat bahwa padang rumput itu penuh dengan satwa besar dan kecil, semuanya melarikan diri dari kobaran api yang mengancam.
"Cepat!" desak Konrad. Hans sudah lebih dulu, lari mengejar Pete dan Bob.
Jupiter mengangguk. Dipaksanya kakinya yang gemetar untuk berlari, melintasi padang rumput.
Kedua tungkainya terasa berat sekali. Jupiter bergerak seakan sedang mengarungi air. Dilihatnya Bob dan Pete berlari di depan, lalu menunggu ketika sudah sampai di tepi hutan. Konrad cepat-cepat menyambar lengannya, ketika melihat Jupiter tersaruk.
"Di mana?" tanya Konrad.
Jupiter menuding ke suatu tempat, di mana nampak batu-batu putih bertonjolan di tengah rumput. "Tadi kulihat Havemeyer menuju ke arah sana."
Saat itu terdengar jeritan melengking. Hanya samar-samar saja kedengaran, tapi jelas bernada ketakutan. Kemudian menyusul bunyi berdebam-debam di kejauhan. Seperti bunyi pintu digedor-gedor dengan kepalan tinju. "Anna!" seru Konrad.
Seekor skunk melintas di depan kaki Pete, lalu menghilang ke dalam hutan. Jeritan tadi terdengar lagi. Kali ini lebih nyaring. "Kami datang, Anna!" seru Hans.
Bersama saudaranya dan diikuti Trio Detektif, Hans menerjang maju memasuki hutan, ke arah datangnya suara teriakan. Pete terbatuk-batuk, sedang Jupe merasa seperti lehernya tercekik karena menghirup asap kebakaran. "Anna!" seru Hans. "Di mana kau, Anna?" "Di sini! Siapa itu? Keluarkan aku dari sini!"
Kedua pemuda Jerman itu mendului Pete dan Bob, lari ke arah teriakan itu. Mereka lari sambil menggerak-gerakkan lengan, menerobos ranting- ranting yang merintangi. Anak-anak mengikuti dengan langkah tersaruk-saruk. Tiba-tiba mereka melihat sebuah pondok, di tengah suatu lekukan dangkal.
Bangunan itu terbuat asal jadi dari bahan papan yang ditutupi kertas ter. Ukurannya tidak sampai empat meter persegi, dengan sebuah jendela kecil yang letaknya tinggi, di dekat atap. Kertas ter yang menutupi sudah terkelupas di beberapa tempat. Tapi pada daun pintu yang kasar buatannya terpasang sebuah kait, yang dikunci dengan gembok. Baik kait maupun gembok itu nampak mengkilat, tanda masih baru. Sementara anak-anak bergegas menuruni sisi lekukan, Hans sudah berusaha mendobrak pintu dengan jalan menghantamkan bahunya.
Tapi pintu itu sedikit pun tidak bergerak.
"Kokoh juga pintu ini," kata Konrad, lalu berseru, "Jangan takut, Anna-gemboknya akan kami dobrak dengan batu!"
"Ada kebakaran." Suara wanita yang ada di dalam terdengar parau karena ketakutan. "Aku mencium bau kebakaran. Di mana tempatnya?"
"Di bawah, di dekat tempat perkemahan." Sementara itu Konrad sudah menemukan sebuah batu. Ia menimang-nimangnya sejenak. "Kita masih punya waktu. Kau tidak perlu cemas."
Wanita yang ada di dalam pondok diam sebentar.
"Siapa yang di luar?" tanyanya kemudian. "Kaukah itu, Hans? Konrad?"
Konrad meringis, mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Jerman, lalu mulai menghantam gembok dengan batu yang digenggamnya.
Angin berembus dengan tiba-tiba, menyebabkan asap menebal di sekeliling mereka. "Cepat!" desak Hans.
Konrad mengangguk. Diangkatnya batu tinggi-tinggi, untuk dihantamkan sekeras tenaga ke gembok. Tapi saat itu terdengar suara jeritan di belakangnya.
Hans, Konrad, begitu pula ketiga remaja yang ada bersama mereka berpaling dengan cepat. Mereka melihat sesuatu di tepi lekukan. Sesosok tubuh mirip manusia, tapi jauh lebih besar! Makhluk itu mengayun-ayunkan lengannya seperti hendak mengusir udara panas yang menyesakkan napas, sambil memandang dengan mata melotot ke dalam lekukan. Jupiter melihat sepasang mata yang merah, serta sekilas taring yang panjang-panjang ketika makhluk berbulu tebal itu mendongak, lalu melolong ketakutan.
"Itu dia monster yang kulihat!" kata Bob tergagap. Mukanya pucat pasi.
"Suara apa itu?" seru wanita yang ada di dalam pondok kayu. "Apa itu yang kudengar?"
"Ssst," desis Jupiter.
"Jangan ribut, Anna," bisik Hans.
Tapi makhluk yang sedang panik itu sudah mendengar suara Anna. Ia menundukkan kepalanya yang besar. Tangannya menyibakkan rambut kusut yang tergantung hampir menutupi mata. Ia memandang Konrad, di sela-sela asap yang mengambang.
Konrad berdiri seperti terpaku membelakangi pintu, dengan batu masih dalam genggaman.
Makhluk itu menggeram dengan suara berat, lalu melangkah maju. Kepalanya yang besar menyuruk ke depan. Ia bergerak dengan cepat - ke arah Konrad!
"Awas!" Pete meloncat dengan cepat ke samping. Makhluk yang menerjang maju itu lewat, lurus mengarah ke Konrad. Seakan-akan pemuda Jerman itulah yang menyebabkan udara di situ penuh asap!
Konrad berteriak kaget, lalu cepat-cepat meloncat, menyingkir dari pintu. Makhluk bertubuh besar itu maju terus, terdorong kecepatannya menerjang. Pintu ditubruk dan langsung roboh ke dalam, diiringi bunyi kayu pecah. Makhluk besar itu ikut roboh, menimpa pintu.
Anna menjerit. Belum pernah Jupiter mendengar jeritan seseram itu. Jeritan yang seakan merobek kerongkongan, terdorong kengerian yang luar biasa. Jeritan Anna berbaur dengan suara lolongan makhluk aneh yang roboh di lantai pondok.
"Anna!" Konrad bergegas bangkit, setelah tadi jatuh karena menghindari terjangan makhluk itu. Hans maju dua langkah ke arah pondok. Walaupun takut, tapi ia merasa harus menolong Anna. "Anna! Monster itu akan mencederai Anna!" katanya.
"Tidak-jika kita tetap berkepala dingin," kata seseorang yang saat itu muncul, dengan nada ketus. Mr. Smathers ke luar dari pepohonan di ujung lekukan. Penampilannya saat itu sangat dekil. Matanya kelihatan semakin berair.
"Jangan bergerak," katanya dengan tegas. "Serahkan urusan ini padaku." Ia bergegas melewati orang-orang yang memandangnya dengan melongo, lalu masuk ke dalam pondok.

Bab 16
TINDAKAN MR. SMATHERS

BEGITU Mr. Smathers masuk, lolongan tadi langsung lenyap.
"Nah, nah," kata Mr. Smathers. "Aku tahu keadaannya gawat, tapi kau takkan apa-apa." Anak-anak mendengar suara geraman. "Ya, ya, aku tahu," kata Mr. Smathers lagi. "Tapi kau pasti aman, jika ada di dekatku terus." Geraman kini berubah menjadi bunyi yang lebih lembut-hampir-hampir seperti dengkuran. "Ayo ikut," kata Mr. Smathers membujuk. "Kau menyebabkan nyonya itu ketakutan. Masa tidak malu?!" Anak-anak berpandang-pandangan. Mereka merasa seperti sedang mimpi.
Mr. Smathers muncul di ambang pintu pondok. Dan tidak jauh di belakangnya, makhluk besar itu. Makhluk bersosok besar dan menyeramkan. Setengah manusia, dan setengah binatang. Makhluk itu mengikuti Smathers dengan sikap sejinak anjing yang terlatih baik.
"Kami akan ke tempat yang lebih tinggi, di atas batas pepohonan," kata Smathers pada orang-orang yang masih memandang dengan heran. "Di sana kami aman. Tolong, salah seorang dari kalian melihat wanita itu. Keadaannya payah."
Setelah itu ia pergi, diikuti makhluk aneh itu. Mereka berjalan dengan cepat di antara pepohonan, menuju tempat yang lebih tinggi. Dengan segera mereka sudah lenyap dari pandangan, ditelan asap tebal.
"Anna?" Hans menyingkirkan serpihan kayu bekas pintu dengan kakinya, lalu melangkah masuk ke dalam pondok. Konrad dan anak-anak menyusul masuk, berebut-rebut.
Mereka melihat Anna Schmid meringkuk di dekat dinding belakang pondok. Ruangan sempit itu gelap. Tapi anak-anak masih bisa melihat bahwa wanita itu persis sekali wajahnya seperti wanita yang ada di losmen. Tapi Anna Schmid yang asli berambut kusut, sedang pakaiannya kumal.
"Hans?" kata wanita itu. "Konrad? Benar-benar kaliankah ini?"
"Kau harus dengan segera kami keluarkan dari sini, Anna." Hans berlutut di samping wanita itu. "Bisakah kau berdiri?"
Anna berusaha berdiri, sambil berpegangan pada Hans. Hans menolongnya. Dipegangnya pinggang wanita yang gemetar itu, sementara Konrad membimbingnya. "Kita cepat-cepat pergi dari sini, ya?" kata Konrad.
Anna mengangguk. Air matanya mulai bercucuran, menyebabkan timbulnya garis-garis pada mukanya yang dekil. "Yang itu tadi," bisiknya, "binatang apakah itu?"
"Kita cepat-cepat pergi saja sekarang, Miss Schmid," kata Jupiter mendesak. "Nanti masih ada waktu untuk bicara."
Anna Schmid melangkah ke luar dari tempat ia dikurung. Sikapnya bungkuk, sedang langkahnya tertatih-tatih, seperti wanita yang sudah uzur. Tapi beberapa langkah kemudian ia sudah mendongak, lalu memandang Hans dan Konrad berganti-ganti sambil tersenyum lemah. Ditegakkannya tubuh, lalu disalaminya kedua sepupunya.
"Ayo cepat!" kata Bob dengan suara memohon.
"Ya, kita akan cepat-cepat," kata Anna.
Sesampai di tepi padang rumput, langkah Anna sudah hampir secepat Pete. Tapi ia masih tetap berpegangan pada kedua sepupunya.
Saat mereka muncul dari dalam hutan, sebuah pesawat terbang bertubuh gendut melintas dengan pelan di atas kepala. Pesawat itu menuju ke utara, ke tempat yang paling tebal asapnya, lalu menghamburkan cairan ke bawah.
"Pesawat penyembur bahan pemadam api," kata Bob. "Mudah-mudahan saja kebakaran bisa dijinakkan dengannya. Kalau tidak, kita akan terpaksa ikut lari ke atas batas pepohonan pula."
Pete berlari-lari mendului. Ia yang paling dulu sampai ke seberang padang. Ia berdiri di tepi atas lereng tempat main ski, sambil memandang ke bawah.
"Bukan main!" serunya.
"Ada apa?" tanya Jupe sambil berteriak.
"Ada bulldozer di bawah, merambah semak agar api tidak bisa menjalar. Kurasa Sky Village tidak jadi dimakan api."
"Lalu losmenku?" tanya Anna. "Masih adakah losmenku?" "Agak angus kelihatannya," jawab Pete, "tapi masih utuh."
Anna berhenti sebentar di tepi atas lereng, untuk memperhatikan adegan yang sedang berlangsung di bawah. Bulldozer bergerak mundur-maju dengan bunyi membisingkan telinga, membabat belukar untuk melapangkan tempat antara losmen dan api. Dijalan banyak sekali orang berkerumun dan bergegas-gegas. Sebuah pesawat bertubuh gendut melintas lagi di atas kepala, lalu menghamburkan muatannya di atas api.
Kemudian terasa angin sejuk mengembus. Dengan tiba-tiba hawa di padang sudah segar kembali. Angin berubah arah.
"Sky Village tidak jadi terbakar," kata Anna, lalu mulai menuruni lereng.
Beberapa kali ia nyaris saja tersungkur, kalau tidak cepat-cepat ditahan oleh Hans dan Konrad. Tapi Anna tidak mau tinggal di atas, menunggu bantuan dari desa. Ketika sampai di kaki lereng, tubuhnya menggigil dan langkahnya terseok-seok. Tapi kepalanya terangkat tinggi.
Beberapa petugas pemadam kebakaran memakai topi helm bergegas lewat di depannya, sibuk dengan tugas mereka. Gabby Richardson juga ada di situ, membasahi atap dengan air yang disemburkan dengan selang. Gunanya agar percikan api jangan sampai bisa menimbulkan kebakaran.
Anna memandang Richardson sambil tersenyum.
"Anda memang sahabat sejati," kata Anna. Richardson menoleh sebentar ke arahnya.
"Nanti kalau aku sudah punya waktu," katanya, "aku ingin mendengar apa sebenarnya yang terjadi di sini. Orang yang di dalam, sedikit pun tidak mau mengatakan apa-apa." Ia mengatakannya sambil menganggukkan kepala ke arah losmen.
"Orang yang di dalam?" tanya Jupiter.
"Jensen," kata Richardson menjelaskan. "Ia ada di dalam, menunggu kalian."
Hans, Konrad, Anna, dan anak-anak naik ke beranda depan, lalu masuk ke Slalom Inn.
Mr. Jensen, orang yang mengaku juru foto kehidupan alam, ternyata menunggu di dalam. Ia duduk di sandaran lengan salah satu kursi besar yang berlapis kulit di ruang duduk. Wanita yang mengaku bahwa ia Anna duduk di atas sofa, di depan Jensen. Rambutnya yang pendek dan dipucatkan warnanya nampak acak-acakan. Matanya yang mendelik nampak merah, seperti habis menangis. Laki-laki yang bernama Joe Havemeyer tergeletak di depan kakinya. Kelihatannya seperti sedang tidur.
"Apakah yang terjadi di sini tadi?" tanya Bob.
Jensen memandang Anna dengan mata terbelalak.
"Miss Anna Schmid?" katanya, lalu memandang Anna yang palsu. "Luar biasa! Jika rambutnya tidak lain, keduanya sama sekali tidak bisa dibedakan."
"Apa yang terjadi tadi?" tanya Bob sekali lagi, sambil menuding ke arah Havemeyer yang tergeletak di lantai.
Jensen meringis. Wajahnya yang tidak tampan, saat itu nampak riang. "Aku menembaknya," katanya, "dengan senapan pembiusnya sendiri!"

Bab 17
SEPERTI BAYANGAN DALAM CERMIN

HARI sudah gelap, ketika api kebakaran akhirnya berhasil ditumpas. Tapi penduduk Sky Village masih tetap siaga. Banyak yang masih berdiri di dekat batas api, untuk mengawasi beberapa tempat di mana nyala api masih nampak sedikit pada tunggul-tunggul pohon yang sudah menjadi arang. Soalnya apabila angin berembus dari arah salah, bisa saja ada percikan api diterbangkan ke arah desa.
Di Slalom Inn, Hans dan Konrad sibuk mengurus sepupu mereka. Anna Schmid berbaring di sofa, dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Ia sudah siap untuk menuturkan pengalamannya pada seorang petugas kepolisian yang masih muda, yang sepanjang sore sudah sibuk menjaga rintangan yang dipasang di kaki gunung, serta menyuruh pergi orang-orang yang ingin menonton kebakaran dari dekat.
Petugas kepolisian itu duduk di sebuah kursi berpunggung lurus yang ditempatkan di dekat sofa. Ia menatap Jensen dengan wajah masam. Juru foto gadungan itu kelihatannya sangat senang, sementara laras senapan pembius masih terus diarahkan pada Joe Havemeyer. Havemeyer sudah siuman kembali. Ia duduk sambil menatap Jensen dengan mata melotot. Wanita dengan rambut pirang bikinan yang mengaku-ngaku bahwa ia Anna Schmid duduk bertopang dagu di meja makan. Matanya terpejam. Diterangi sinar lampu ia kelihatan sangat capek.
Petugas kepolisian membuka buku catatannya.
"Sebelum kita mulai," katanya sambil menoleh ke arah Jensen, "simpan senjata itu dulu."
"Boleh saja-tapi borgol dulu penjahat ini," balas Jensen. "Ia tadi mencoba melarikan diri. Takkan kubiarkan ia mencoba sekali lagi."
"Takkan ada yang masih mau mencoba lari." Petugas kepolisian itu menyentuh pistol yang tergantung di pinggangnya. "Simpan senjata itu, sebelum ada yang cedera karenanya," katanya dengan nada menyuruh.
Jensen menggerakkan bahu dengan sikap masa bodoh, lalu pergi ke lemari untuk menyimpan senapan pembius. Kemudian diambilnya sebuah kursi dari meja makan. Diletakkannya kursi itu di muka pintu depan, lalu duduk di situ.
"Itu ide yang bagus," kata Hans, lalu duduk pula di kursi yang ditempatkannya di ambang pintu dapur.
"Kita mulai saja sekarang, setelah semua jalan lari sudah dijaga," kata petugas kepolisian. "Miss Schmid, menurut sepupu-sepupu Anda, Anda hendak mengajukan pengaduan tentang Havemeyer. Coba jelaskan secara tepat, apa kesalahannya?"
"Menculik!" tukas Konrad.
"Merampok!" tambah Hans.
"Biar Miss Schmid saja yang bicara," kata petugas kepolisian. "Harap dimulai dari awal." Anna memandang sekilas ke arah Havemeyer. Tangannya mempermainkan tepi selimut.
"Mulanya dia bersikap sangat ramah. Ia datang ke losmenku, lalu meminta kamar yang paling baik. Ia juga melihat-lihat lift ski-ku. Katanya, ia presiden direktur sebuah perusahaan baru yang membuat mobil salju. Aku diajaknya menanam modal di dalam perusahaannya. Tapi karena aku tidak mau, akhirnya soal itu tidak pernah disinggung-singgungnya lagi. Tapi ia masih tinggal di losmen, selama dua tiga minggu selanjutnya.
"Suatu hari ia melihat aku menghitung uang untuk membayar tagihan yang masuk. Ia mengatakan, aku sebenarnya kan bisa membayar dengan cek. Itu lebih aman, daripada menyimpan uang tunai. Kujawab bahwa uang tunai malah sangat aman, apalagi kusimpan di dalam peti besi di bank. Hanya Anna Schmid sendiri saja yang bisa membuka peti itu. Saat itu ia memandangku dengan cara aneh. Tidak bisa kujelaskan bagaimana caranya memandang itu. Pokoknya aneh-dan secara tiba-tiba aku menjadi gugup."
"Saat itukah anak kunci peti besi Anda sembunyikan?" tanya Jupiter Jones.
Kening Anna berkerut.
"Ya! Aku tidak memperkirakan akan ada kesulitan-tapi ada sesuatu mengenai diri orang ini, yang menyebabkan aku merasa takut."
"Ngomong-ngomong, di mana anak kunci itu Anda sembunyikan?" tanya Jupiter.
"Anna sudah mengatakannya pada kami," kata Hans. "Lucu sekali-ia menaruhnya di bawah kasur, ditempelkan dengan pita perekat. Dan kedua orang jahat ini selama itu tidur di atasnya!"
Havemeyer mengeluarkan suara seperti tercekik. Ia bergerak seperti hendak berdiri. Tapi petugas kepolisian mengisyaratkan dengan tangan agar ia duduk kembali.
"Silakan terus, Miss Schmid," katanya.
"Dua atau tiga hari setelah kami berbicara tentang uang itu, orang ini masuk ke dapur ketika aku sedang memasak," kata Anna. "Katanya aku akan ditembaknya, jika tidak mau menyerahkan anak kunci peti besiku! Aku berkata dalam hati, jika kukatakan di mana anak kunci itu kutaruh, aku pasti akan ditembak juga olehnya. Karenanya aku tidak mau mengatakan."
Petugas kepolisian bergerak dengan gelisah di kursinya. "Lalu?" katanya.
"Aku heran saat itu, karena ia ternyata tidak marah. Ia hanya tertawa saja. Sambil menodongkan senjata apinya padaku, ia mengatakan bahwa ia punya waktu. Setelah itu aku dipaksanya ikut ke padang rumput di dataran tinggi. Di sana ada pondok, yang dibangun oleh pemuda yang ingin bertapa di situ. Aku dikurung di dalam pondok itu, yang pintunya digembok dari luar. Dua hari ia tidak muncul-muncul. Aku hanya diberi makan roti sedikit, serta air dalam sebuah kaleng. Tapi kemudian setiap hari ia datang untuk membawakan makanan. Dan setiap kali muncul, selalu ditanyakannya di mana anak kunci kusembunyikan. Tapi aku tetap membungkam. Kusadari bahwa ia sangat ingin mengetahuinya, dan jika sudah tahu aku pasti akan ditembak olehnya."
"Begitu. Berapa hari Anda dikurung di atas, Miss Schmid?"
"Enam hari. Mungkin juga tujuh. Aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Kemudian, hari ini aku mencium bau kebakaran. Aku setengah mati ketakutan, lalu berteriak-teriak. Kemudian sepupu-sepupuku datang. Kedua sepupuku, anak-anak- serta makhluk menakutkan itu. Laki-laki bertubuh kecil yang aneh itu berbicara pada makhluk itu, lalu kedua sepupuku... sepupu-sepupuku..." Anna Schmid menutupi mukanya. Ia menangis.
"Sebentar-akan kuambilkan air untukmu, Anna," kata Hans.
"Tidak." Anna mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan punggung tangan. "Aku tidak apa-apa. Tapi dari mana kalian tahu, harus ke mana?"
"Jupe yang tahu," kata Hans. "Kalau aku dan Konrad, kami menyangka wanita itulah kau. Tampangnya persis dengan foto-foto yang kaukirimkan pada kami."
"Memang-jika memakai rambut palsu," kata Jupiter Jones. "Seperti bayangan di cermin. Semula aku juga percaya, memang dialah Anna. Cincin kawin dan tanda tangan yang dibuat berulang-ulang itu yang kemudian menyebabkan aku sadar. Tapi sayang, begitu lambat."
"Cincin kawin?" kata petugas kepolisian. "Tanda tangan?"
"Wanita itu berlatih membuat tanda tangan Anna Schmid, berulang-ulang. Jika ia Anna Schmid, itu sama sekali tidak perlu dilakukan olehnya. Kecuali itu, cincin kawinnya juga terlalu longgar baginya. Padahal ia mengaku baru minggu lalu menikah dengan Havemeyer, di Danau Tahoe. Pengantin baru, mestinya kan memilih cincin yang pas. Aku jadi teringat pada Bibi Mathilda. Jika bibiku itu sedang diet sehingga bobotnya agak menurun, cincinnya langsung menjadi agak longgar. Jadi setiap kali mencuci piring, cincin itu pasti dilepaskan, dan ditaruh di ambang jendela dapur. Dan itu juga Anda lakukan, Mrs. Havemeyer. Anda memang Mrs. Havemeyer, kan?"
"Ia tidak akan mengatakan apa-apa, sebelum berembuk dengan pengacara hukum," sergah Havemeyer. "Dan aku juga tidak!"
"Kurasa kita bisa mengadakan rekonstruksi tentang apa yang terjadi," kata Jupe dengan santai. "Havemeyer datang kemari, dan menginap di losmen ini. Secara kebetulan dilihatnya bahwa Anna Schmid mirip sekali dengan istrinya. Itu sebetulnya tidak mengandung arti sama sekali-jika Havemeyer ini tidak kebetulan seorang penjahat."
"Tepatnya, penipu," sela Jensen. "Ia berhasil membujuk saudara perempuanku, sehingga menanamkan uangnya sebanyak sepuluh ribu dollar dalam suatu perusahaan pertambangan yang pada kenyataannya sejak dua puluh tahun yang lalu hanya memiliki sebuah lubang di tanah yang tidak mengandung apa-apa. Justru itulah sulitnya. Lubang tambang itu memang ada, walau tidak menghasilkan apa-apa. Jadi Havemeyer tidak bisa dibuktikan melakukan penipuan."
"Dan Anda bukan juru foto, apalagi spesialis tentang kehidupan satwa liar," kata Pete dengan nada menuduh. Jensen tertawa nyengir.
"Aku mempunyai sebuah toko alat-alat rumah tangga di Tahoe. Pada suatu hari saudara perempuanku melihat Havemeyer masuk ke sebuah kedai kopi, bersama wanita ini. Saudara perempuanku kebetulan sedang membawa kamera foto. Dengan alat itu dipotretnya mereka berdua ketika meninggalkan kedai itu. Ia juga mencatat nomor mobil yang mereka pakai. Kami menarik kesimpulan bahwa wanita yang ada bersamanya waktu itu pasti korbannya yang baru. Kami mengecek nomor mobil itu. Ternyata pemiliknya Anna Schmid. Kami juga berhasil memperoleh alamatnya. Kemudian aku datang kemari. Aku memerlukan foto Havemeyer, karena belum pernah berjumpa dengan dia. Itu menimbulkan ide, untuk menyamar selaku juru foto kehidupan alam. Soalnya, tidak banyak alasan untuk datang saat musim panas ke Sky Village. Jadi aku lantas meminjam kamera saudara perempuanku. Kukatakan bahwa aku ingin memotret kehidupan satwa liar."
"Anda berniat memberi tahu Anna, jika Havemeyer ternyata berusaha menipunya?" tanya Bob.
"Aku berniat melindunginya," kata Jensen. "Kecuali itu aku juga ingin memergokinya dalam keadaan tertangkap basah, sehingga ia bisa dijebloskan ke penjara. Tapi ketika aku sampai di sini, ia rupanya sudah menikah dengan Anna Schmid. Kusangka itu merupakan permainan baru lagi. Suatu malam aku berhasil memeriksa catatan keuangan Anna Schmid. Tapi aku tidak menemukan bukti sama sekali bahwa Havemeyer memindahkan harta istrinya ke namanya. Aku bingung- tidak bisa menebak apa sebenarnya yang direncanakan olehnya."
Jupiter mengangguk penuh pengertian.
"Jadi kita bisa kembali ke awal mula persoalan. Havemeyer kaget sekali ketika untuk pertama kali melihat Anna Schmid, karena wanita itu begitu mirip dengan istrinya. Mula-mula ia belum tahu, bagaimana enaknya memanfaatkan kenyataan itu untuk keuntungannya. Dasar penipu-mula-mula ia berusaha melakukan penipuan dengan cara yang biasa. Dibujuk-bujuknya Anna Schmid, agar mau membeli saham palsu. Tapi Anna tidak mau. Walau begitu Havemeyer tetap tenang. Ia memegang kartu taruhan yang paling tinggi-yaitu kemiripan istrinya dengan Anna Schmid. Dengan bantuan istrinya, Havemeyer merasa akan bisa menguasai segala harta Anna Schmid."
"Havemeyer tetap menjadi tamu di losmen ini, sampai segala kebiasaan Anna dalam mengelola usahanya sudah diketahui secara terinci olehnya. Kurasa kita bisa mengatakan dengan cukup pasti, bahwa Havemeyer sempat meneliti surat-surat serta buku-buku kas yang disimpan di kantor, sampai ia tahu persis berapa banyak harta yang dimiliki Anna. Sedang Anna sama sekali tidak merahasiakan kenyataan bahwa ia menyimpan uangnya dalam peti besi di bank. Itu tidak sepraktis memiliki simpanan yang bisa diambil dengan cek. Tapi Anna gadungan bisa dengan sama mudahnya mengambil uang tunai dari peti besi itu, seperti Anna yang asli."
"Ketika Havemeyer merasa waktunya sudah matang," kata Jupiter meneruskan uraiannya, "dikurungnya Anna di dalam pondok pertapa. Setelah itu dengan mobil Anna ia pergi ke Danau Tahoe, untuk menjemput Anna yang palsu. Mereka kemudian kembali ke Sky Village, tempat Anna Schmid gadungan menyatakan bahwa ia sudah menikah dengan Joe Havemeyer. Semua berjalan mulus-kecuali urusan anak kunci, yang tidak berhasil mereka temukan."
"Aku yakin mereka sangat gugup, ketika kedua sepupu Anna yang asli tahu-tahu muncul. Tapi mereka sudah tahu tentang Hans dan Konrad. Rupanya sewaktu mereka mencari-cari anak kunci yang lenyap, mereka sempat memeriksa surat-surat mereka yang disimpan oleh Anna yang asli, dan saat itu melihat foto kedua sepupu itu."
"Havemeyer merasa bahwa pasti akan dianggap aneh jika ia tidak bersikap ramah terhadap kedua kerabat istrinya. Karena itulah ia mengundang mereka untuk menginap di sini. Undangannya itu menyulitkan kedudukan Anna gadungan. Tapi harus kuakui, ia berhasil menanggulangi masalah itu dengan baik sekali. Ia tahu, ia tidak bisa berbicara dalam bahasa Jerman dengan Hans dan Konrad, karena logatnya takkan sama dengan Anna yang asli. Anna gadungan ini memang juga berasal dari Jerman, tapi aku yakin bahwa jika ia diperiksa secara resmi nanti, akan ternyata bahwa ia berasal dari wilayah di Jerman yang logat bahasanya berlainan dengan logat Bayern. Ia berkeras bahwa mereka harus berbahasa Inggris, untuk tidak menyebabkan suaminya merasa diasingkan dari pembicaraan."
"Tapi walau begitu ia tetap saja menjadi sangat gugup," sela Pete. "Katanya, Hans dan Konrad menyebabkan ia merasa gugup."
"Ia juga sangat gelisah, memikirkan harus pergi ke bank untuk meminta anak kunci baru sebagai ganti yang hilang, serta untuk itu harus menandatangani surat permohonan," kata Jupiter melanjutkan. "Apalagi kemungkinannya ia akan harus menandatangani dengan disaksikan salah seorang pegawai bank. Memasuki ruang tempat peti besi tidak akan terlalu sulit, karena itu merupakan urusan rutin. Sebelum masuk ia mesti membubuhkan tanda tangan dulu pada buku catatan. Tapi pegawai yang bertugas di situ takkan terlalu cermat memperhatikan tandatangannya-atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Memang untuk apa, karena ia kan kenal baik dengan Anna Schmid. Memperoleh anak kunci baru-itu dia yang lebih sulit urusannya. Soalnya, bisa saja ia berbuat atau mengatakan sesuatu yang keliru. Dan pegawai bank mungkin akan dengan cermat membandingkan tanda tangan yang dibuatnya saat itu, dengan tanda tangan Anna Schmid yang ada di dalam catatan bank."
"Karena itulah Anna gadungan bersikap gelisah sewaktu harus menuliskan tandatangannya. Ia mengajukan alasan panjang-lebar pada orang yang mengantarkan semen yang dipesan. Hal itu menimbulkan pertengkaran antara dia dan Joe Havemeyer. Havemeyer menyuruhnya berlatih menirukan tanda tangan Anna. Kami disuruhnya meninggalkan rumah, agar istrinya bisa berlatih tanpa ada gangguan. Tapi kemudian kami melihat hasil latihannya itu. Saat itulah aku lantas sadar bahwa ia bukan Anna yang sebenarnya, serta apa sebabnya Joe Havemeyer setiap hari pergi ke padang rumput yang ada di atas sana."
Petugas kepolisian menutup kembali buku catatannya, lalu menatap Anna Schmid. Setelah itu ia menoleh ke arah Anna gadungan.
"Jika aku tidak melihat dengan mataku sendiri, aku takkan mau percaya bahwa ada dua orang yang bisa begini mirip," katanya. "Tapi bagaimana dengan senapan itu? Maksudku, senapan pembius! Senjata itukah yang dipakai Havemeyer sewaktu ia mengancam Anda, Miss Schmid?"
"Bukan," kata Anna. "Waktu itu ia menggenggam senapan buru."
"Senjata itu ada di dalam lemari," kata Pete memberi tahu.
Saat itu pintu di belakang kursi yang diduduki Jensen diguncang-guncang orang dari luar. Jensen menyingkirkan kursinya, lalu membukakan pintu.
Mr. Smathers memasuki ruangan. Mukanya hitam kena asap. Tapi sikapnya lincah dan cerah.
"Urusan di sini sudah beres rupanya," katanya. Saat itu barulah dilihatnya Anna Schmid yang berbaring di sofa, serta Anna gadungan yang meringkuk di dekat meja. Ia melihat petugas kepolisian yang memegang buku catatan, serta Hans yang menjaga dengan tampang galak di ambang pintu dapur.
"Astaga!" Hanya itulah yang terlontar dari mulut Mr. Smathers.
"Urusannya agak rumit, Mr. Smathers," kata Bob padanya. "Nantilah, kami jelaskan pada Anda." "Dia ada sangkut-pautnya dengan urusan ini?" tanya petugas kepolisian, sambil menganggukkan kepala ke arah Smathers.
"Kurasa tidak," kata Jupiter. "Kurasa Mr. Smathers memang seperti yang dikatakan sendiri olehnya-yaitu orang yang bisa berbicara dengan binatang."
"Dan binatang-binatang itu mengerti," kata Smathers dengan riang.
"Ya, ya, baiklah," kata petugas kepolisian, tapi tidak dengan nada percaya. "Sekarang aku ingin tahu, untuk apa orang ini membawa-bawa senapan pembius."
"Jahat, ya, senjata itu," kata Mr. Smathers mengomentari. "Mungkin bahkan lebih jahat, dibandingkan dengan senjata api biasa. Bayangkan, satwa liar ditangkap untuk kemudian dimasukkan ke dalam kandang. Itu perbuatan yang tidak pantas! Memalukan!"
Air muka petugas kepolisian menampakkan kebingungan yang luar biasa.
"Maksud Anda, di samping segala niat jahatnya, orang ini juga masih ingin menangkap beruang?" "Bukan beruang," kata Pete. Mr. Smathers terkekeh.
"Anda boleh percaya atau tidak-tapi Mr. Havemeyer ini beranggapan bahwa di pegunungan daerah sini ada sejenis monster! Ia mempunyai niat konyol, hendak menangkap makhluk yang selama ini tidak dikenal dunia ilmiah, lalu memamerkannya-pasti dengan menarik bayaran!"
"Monster?" kata petugas kepolisian. Ia menggeleng-geleng. "Orang ini sudah sinting rupanya!"
"Memang," kata Mr. Smathers. "Kita semua kan tahu, monster hanya ada dalam dongeng. Ya, kan?"
Sementara Jupe dan kedua temannya melongo, laki-laki bertubuh kecil itu tersenyum, lalu naik ke tingkat atas.

Bab 18
LAPORAN PADA MR. HITCHCOCK

DUA hari setelah kembali ke Rocky Beach, Trio Detektif mendatangi Alfred Hitchcock di kantornya.
"Kulihat nama kalian yang mengisi halaman koran-koran lagi," kata sutradara film kenamaan itu. "Dan kurasa kalian tentunya sudah menyusun naskah catatan tentang kasus yang menakjubkan ini. Apa judul yang kalian pilih? Misteri Wajah Kembar?"
"Menurut perasaan kami, Misteri Gunung Monster lebih cocok," kata Jupiter Jones.
"Gunung Monster?" Mr. Hitchcock mengerutkan keningnya. "Aku sudah sempat dengan teliti menyimak berita-berita tentang penculikan Anna Schmid, tapi sama sekali tidak kujumpai nama Gunung Monster."
"Kami tidak menceritakan segala-galanya pada para wartawan," kata Bob, sambil menyodorkan bundel naskah catatannya ke arah sutradara itu.
"Mestinya itu sudah kusangka," kata Mr. Hitchcock. Dibaliknya halaman depan naskah yang ada di depannya, lalu mulai membaca.
Anak-anak menunggu dengan tenang, sampai Mr. Hitchcock selesai membaca catatan Bob tentang kasus itu. Akhirnya ia mengangguk, lalu menutup catatan itu kembali.
"Penarikan kesimpulan yang kaulakukan di sini baik sekali, Jupiter Jones," katanya. "Dan monster itu memang benar-benar ada?"
"Kami melihatnya," kata Jupe. "Tapi kalau itu kami katakan, siapakah yang mau percaya? Hans, Konrad, dan Anna juga melihatnya. Tapi mereka tetap saja tidak bisa percaya. Hans dan Konrad cepat-cepat mengatakan bahwa mereka pasti salah lihat. Yang muncul waktu itu seekor beruang yang berdiri tegak. Anna memilih untuk melupakannya. Diajak bicara mengenai hal itu saja, ia sudah tidak mau. Sedang Mr. Smathers pasti tidak mau membuka mulut." Jupiter mengangkat bahu.
"Setelah Joe Havemeyer serta istrinya digiring pergi oleh petugas kepolisian, Mr. Smathers memanggil kami untuk berbicara sebentar," kata Pete menjelaskan. "Katanya, jika kami mengatakan apa saja tentang monster itu pada wartawan atau pada sheriff, ia akan memungkirinya. Ia akan mengatakan, yang kami lihat di pondok pertapa itu seekor beruang. Urusannya menjadikan cerita kami lawan keterangannya-dan sudah pasti takkan ada yang mau mempercayai laporan aneh yang diceritakan oleh anak-anak."
"Jadi itu tetap merupakan rahasia," kata Mr. Hitchcock. "Aku senang, bahwa kalian mau menceritakannya padaku. Kurasa tentunya Smathers yang memukulmu waktu itu dari belakang, Jupiter-serta yang kemudian menghapus jejak kaki makhluk itu yang ada di tepi retakan bekas gempa bumi?"
"Ya, itu diakui olehnya," kata Jupe. "Tapi ia kembali mengatakan akan memungkirinya, jika urusan itu kami ceritakan pada pihak yang berwenang. Apa pun juga makhluk itu, pokoknya Mr. Smathers hendak melindunginya. Dan satu-satunya cara yang paling baik ialah menyembunyikan kenyataan bahwa makhluk itu ada."
"Ya, memang," kata Mr. Hitchcock. "Jika orang sampai tahu bahwa di pegunungan sana ada monster, aku yakin bahwa banyak orang seperti Havemeyer akan datang ke sana dengan senapan pembius, dengan maksud untuk menangkapnya."
"Ditinjau dari satu segi, saya senang bahwa urusan itu berakhir seperti yang kami alami," kata Bob. "Tadi malam saya sempat menekuni sejumlah buku di perpustakaan, untuk meneliti cerita-cerita rakyat kawasan California. Selama bertahun-tahun pernah dilaporkan tentang ditemukannya jejak-jejak kaki yang aneh di pegunungan Sierra Nevada, serta di Cascade Range. Nampaknya di California sini juga ada makhluk sejenis Manusia Salju-namun selama ini belum pernah ada yang bisa membuktikan bahwa makhluk itu benar-benar ada. Ia selalu hidup mengasingkan diri di daerah liar, menjauhi manusia."
"Bisa kita asumsikan bahwa yang kami lihat itulah makhluk yang turun dan mendatangi losmen untuk mencari makanan, seperti yang dilakukan kawanan beruang," kata Jupe. "Mr. Smathers melihat jejak kakinya di pekarangan, dua hari sebelum kami tiba di Sky Village. Hari itu juga Havemeyer membeli senapan pembius, lalu keesokan harinya didatangkannya pekerja-pekerja dari Bishop untuk menggali lubang, yang menurut alasannya akan dijadikan kolam renang. Smathers langsung bisa menduga niat Havemeyer yang sebenarnya. Ia pun langsung mengembara ke dataran tinggi, berusaha mencari makhluk liar itu serta memperingatkannya agar berhati-hati. Beberapa kali ia lewat di dekat pondok pertapa. Tapi karena ia tidak berbicara, Anna yang ada di dalam tidak tahu bahwa di luar ada orang."
"Anna yang malang," kata Mr. Hitchcock. "Ia pasti sangat menderita, karena pengalaman buruknya."
"Sewaktu kami meninggalkan Sky Village, keadaannya bisa dibilang sudah pulih seperti biasa lagi," kata Pete. "Ia membuatkan kue yang enak-enak untuk Hans dan Konrad. Kedua sepupunya itu jauh lebih suka padanya, dibandingkan dengan pada Anna yang palsu. Mereka membongkar papan-papan cetakan beton yang sudah terpasang, lalu lubang itu mereka timbun kembali dengan tanah. Kolam renang tidak jadi dibuat. Takkan ada lubang tempat mengurung beruang. Mr. Smathers senang sekali."
"Itu bisa kumengerti," kata Mr. Hitchcock. "Dan Mr. Jensen tentunya juga sangat puas, melihat orang yang menipu saudara perempuannya dimasukkan ke penjara."
"Tentu saja," kata Pete. "Ia merasa seram apabila membayangkan apa yang bisa terjadi dengan Anna Schmid yang asli, sementara ia sibuk berusaha melindungi Anna gadungan. Sedang Havemeyer, ia ternyata memang sejak dulu penipu. Ia pernah ditangkap karena melakukan perampokan bersenjata. Ia juga pernah menembak seorang penjaga keamanan bank. Orang yang ditembaknya itu tidak mati-tapi itu mungkin karena Havemeyer yang tidak jitu bidikannya. Orang itu ternyata tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mencapai maksudnya."
"Mr. Jensen juga mengucap syukur bahwa penyamarannya tidak sampai ketahuan oleh Havemeyer," kata Bob menambahkan. "Kalau itu sampai terjadi, keselamatannya bisa sangat terancam! Kata Mr. Jensen, ia merasa sudah
cukup banyak berurusan dengan tindak kekerasan, setelah dipukul dari belakang sewaktu malam-malam memotret beruang."
"Untuk apa sebenarnya ia memotret waktu itu?" tanya Mr. Hitchcock. "Dan siapa yang memukulnya?"
"Seperti sudah saya duga," kata Jupiter, "Mr. Jensen memotret beruang itu untuk mempertahankan samarannya bahwa ia juru foto kehidupan alam liar. Ia bercerita pada kami, bahwa malam itu ia melihat dari jendelanya ketika ada beruang datang lalu mengorek-ngorek tong sampah. Ia tidak mau melewatkan peluang baik untuk memotretnya. Menurut dugaan kami, ia dipukul oleh monster itu. Mr. Smathers mengatakan bahwa makhluk itu kaget ketika lampu blitz menyala secara tiba-tiba, dan karenanya lantas memukul. Tapi ini hanya dugaan belaka. Sekarang Jensen menyalahkan beruang lain. Katanya, ada beruang lain yang muncul dari belakang, lalu memukul tengkuknya."
"Jensen itu rupanya tidak tahu-menahu tentang rahasia yang ada di atas Gunung Monster?" tanya Mr. Hitchcock.
Bob menggeleng.
"Tidak ada perlunya ia diberi tahu," katanya. "Dan kemungkinannya jika diberi tahu pun, ia takkan mau percaya! Saya rasa kecuali Anda, takkan ada yang mau percaya!" Ketiga remaja itu memandang Mr. Hitchcock sambil nyengir lebar.
"Dan kalian nampaknya senang bahwa keadaannya begitu," kata Mr. Hitchcock. Bob mengangguk.
"Saya rasa, Mr. Smathers berhasil meyakinkan saya," katanya. "Terus terang saja, tampang makhluk liar itu tidak enak dipandang. Tapi kan kasihan, jika ia dikurung di dalam kandang, lalu dipertontonkan. Lagi pula kan asyik, ada sesuatu di pegunungan yang belum pernah diselidiki, dicatat di dalam katalog, dan disensus. Maksud saya... yah..."
"Kau ini manusia romantis," kata Mr. Hitchcock menyimpulkan. "Kau ingin melestarikan rahasia alam yang belum pernah disibakkan selama ini. Tapi aku sependapat denganmu. Tidak banyak daerah tersisa yang belum pernah diselidiki, dan tinggal sedikit hal-hal yang belum berhasil dijelaskan. Kita memerlukan hal-hal yang tak dikenal, serta makhluk-makhluk yang hanya dikenal dalam kisah-kisah lama. Kita memerlukan kesemuanya itu, guna menggerakkan daya imajinasi kita."
Mr. Hitchcock berdiri, lalu mengembalikan naskah catatan pada Bob.
"Semoga lestari kehidupan monster di Gunung Monster," katanya, "dan jika aku jadi kalian, aku takkan segan-segan menerbitkan laporan kasus Anna Schmid ini. Monster itu akan tetap merupakan legenda. Seperti kalian kemukakan tadi, takkan ada yang mau percaya!"

-TAMAT-