Trio Detektif - Misteri Cermin Berhantu(1)



THE SECRET OF THE HAUNTED MIRROR
by Alfred Hitchcock Text by Mary Carey

 Misteri Cermin Berhantu


Malam makin pekat, Jupe menunggu - sendirian - di puncak tangga lebar yang kuno itu. Dia memandangi cermin tua yang tergantung di ruang perpustakaan yang gelap. Tegang... dan ngeri.
Tiba-tiba terdengar tawa seram. Jupe meremang. Seberkas cahaya hijau berpendar dalam ruang perpustakaan. Lalu Jupe melihatnya - sebentuk wajah pucat berambut kelabu kusut. Matanya yang bersinar kehijauan, melotot memandangnya!

PESAN ALFRED HITCHCOCK

KALIAN yang sudah tahu siapa Trio Detektif, tidak perlu lagi membaca kata pendahuluan ini. Kalian langsung saja ke Bab Satu, untuk mengikuti kisah petualangan mereka yang paling baru.
Namun kalau baru kali ini kalian akan berkenalan dengan Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews - baiklah kusampaikan beberapa keterangan tentang diri ketiga remaja itu, serta perusahaan detektif mereka.
Mereka bertempat tinggal di Rocky Beach, California, di sebuah kota kecil di dekat kota film yang termasyhur, Hollywood. Jupiter Jones, atau Jupe untuk orang-orang yang akrab dengannya, berpotongan gempal. Remaja berotak cerdas ini pemimpin Trio Detektif. Ia sangat cekatan dalam hal-hal yang memerlukan pekerjaan otak. Tingkah lakunya - yah, bisa dibilang agak sok! Pete Crenshaw, tangan kanan Jupe, berpotongan kekar. Tapi ia lebih suka berhati-hati dalam menghadapi sesuatu. Ia sering cemas, kalau melihat tingkah Jupiter, yang kadang-kadang seperti nekat. Kalau Bob Andrews, anaknya pendiam, dan berpotongan seperti ilmuwan. Tapi juga sangat cermat dalam menangani tugas mencari informasi yang bisa berguna bagi Trio Detektif dalam usaha pengusutan mereka.
Ketiga penyelidik remaja itu bermarkas di sebuah karavan usang yang terdapat di kompleks penimbunan barang-barang bekas, yang diperjualbelikan paman Jupiter. Tapi kegiatan mereka tidak hanya terbatas pada kota Rocky Beach saja. Dalam kasus sekarang ini mereka akan berurusan dengan sebuah gedung tua di Hollywood - yang kata orang ada hantunya; mereka ke situ dalam upaya mencari seseorang yang menghilang ke dalam sebuah cermin.
Mungkinkah itu?

ALFRED HITCHCOCK

Bab 1
"PENCURI!"

"PAMAN Titus keasyikan siang ini," kata Jupiter Jones. Remaja bertubuh gempal itu berdiri sambil menyandar ke spatbor mobil pick-up milik The Jones Salvage Yard, perusahaan paman dan bibinya yang berdagang barang-barang bekas. "Sebentar saja ia berhasil memperoleh empat lembar jendela kaca timah, seperangkat dinding tempat perapian dari marmer, sebuah bak rendam antik, dan tujuh lembar daun pintu dari kayu mahoni."
Pete Crenshaw mengerang sambil mendudukkan diri di pinggir trotoar.
"Siapa bilang sebentar," keluhnya. "Menurutku tadi itu lama, karena harus menaikkan segala barang itu ke atas truk. Bak rendamnya saja, beratnya sudah satu ton!" Bob Andrews nyengir.
"Memang bukan pekerjaan ringan," katanya, "tapi asyik rasanya menonton paman Jupiter, jika ia sedang memborong barang-barang."
Jupe mengelap keningnya dengan lengan. Sehabis makan siang tadi ia ikut dengan Paman Titus ke luar kota, bersama Bob dan Pete. Di daerah perbukitan sebelah atas kota Hollywood ada sebuah rumah tua yang akan digusur, dan Paman Titus bertekad hendak menyelamatkan apa saja yang masih bisa diselamatkan dari rumah itu. Sementara itu hari sudah hampir pukul empat sore. Sinar matahari yang terik seolah membakar daerah perbukitan. Saat itu bulan Agustus, di tengah-tengah musim panas. Hawa panas nampak seperti bergelombang, menyelubungi kota Hollywood yang terbentang di bawah.
"He, Jupe," kata Pete, "pamanmu sedang apa sih? Kenapa begitu lama di dalam?"
"Pasti untuk meyakinkan dirinya bahwa tidak ada benda berharga yang terlepas dari perhatiannya," jawab Jupiter Jones.
Kedua temannya mengangguk, tanda sependapat. The Jones Salvage Yard, perusahaan milik paman dan bibi Jupiter, tersohor di sepanjang kawasan pesisir barat Amerika Serikat karena kekayaan jenis barang yang dijual di sana. Paman Titus rajin keluyuran menjelajahi kawasan Los Angeles, mencari-cari pintu antik, tempat lampu berbentuk lain dari yang lain, pintu gerbang, pagar, benda-benda dari logam, serta perabot bekas. Kadang-kadang ia pulang dengan membawa barang-barang yang begitu aneh, sehingga sulit menjualnya kembali. Itu biasanya menyebabkan Bibi Mathilda agak mengomel. Tapi bibi Jupiter itu kemudian selalu menyuruh Hans dan Konrad, yaitu dua pemuda berbangsa Jerman yang bekerja sebagai pembantu di perusahaan, untuk menyediakan tempat untuk menaruh barang aneh yang baru dibeli suaminya. Dan lambat-laun barang yang paling aneh pun pasti terjual juga. Dan kalau itu terjadi, Paman Titus selalu membusungkan dada.
Jupiter tersenyum ketika Paman Titus akhirnya muncul dari gedung besar tiruan gaya rumah orang Inggris yang kaya di zaman Ratu Victoria, yang dibangun di ujung atas jalan yang bernama Crestview Drive. Paman Jones bercakap-cakap sebentar dengan mandor para pekerja yang sebentar lagi akan menggusur rumah itu, dan di situ rencananya akan dibangun kompleks rumah susun. Setelah bersalaman dengan mandor itu, Paman Titus berjalan ke bawah, menuju ke mobil.
"Oke," katanya pada anak-anak. "Tidak ada lagi benda yang pantas diselamatkan di dalam. Sayang, sebetulnya rumah seperti ini takkan dibangun lagi. Sewaktu masih baru, pasti megah kelihatannya. Tapi sekarang semuanya sudah lapuk, dan dimakan rayap." Paman Titus mendesah. Diusapnya kumis hitamnya yang melintang, lalu naik ke kabin pick-up-nya. "Yuk, kita berangkat!" serunya.
Dengan cepat Jupe dan kedua temannya naik ke bak belakang, duduk di antara pintu-pintu mahoni serta daun-daun jendela berkaca timah. Pick-up itu mulai bergerak dengan lambat, menuruni jalan curam menuju ke Hollywood. Jupe memandang ke kiri-kanan jalan. Dilihatnya umumnya rumah di sekitar situ terawat baik. Gedung-gedung yang mengapit kiri-kanan jalan berukuran besar sekali, dan nampak sudah tua. Ada yang dibangun dengan gaya rumah daerah pedesaan di Inggris, sebagian seperti puri di Prancis, dan banyak juga yang meniru gedung-gedung tempat kediaman golongan berharta di zaman penjajahan Spanyol, dengan dinding berturap serta atap genteng tebal berwarna merah.
"He, coba lihat itu!" Bob menepuk bahu Jupe, lalu menuding sebuah rumah bergaya Spanyol yang sangat besar. Rumah itu terletak di sisi kanan jalan. Di depannya ada sebuah mobil. Mobil yang sangat istimewa. Rolls-Royce hitam mengkilat, dengan lis dan pegangan pintu berselaput emas.
"Rolls-Royce kita!" kata Jupiter begitu melihat mobil itu. "Kalau begitu, Worthington pasti ada di dekat-dekat sini."
Beberapa waktu yang lalu, Jupiter memenangkan suatu sayembara yang disponsori "Rent-'n-Ride Auto Company", sebuah perusahaan penyewaan mobil. Hadiah yang dimenangkannya, ialah hak menggunakan Rolls-Royce antik itu selama tiga puluh hari. Mobil itu lengkap dengan pengemudinya, sopir Rolls-Royce yang khas, dari Inggris. Namanya Worthington. Sementara itu ia sudah sering mengantarkan ketiga remaja itu, yang dalam melakukan tugas penyelidikan selaku Trio Detektif berkali-kali terlibat dalam berbagai misteri, menemukan harta tersembunyi, serta menggagalkan bermacam-macam rencana kejahatan. Kemudian, ketika hak menggunakan Rolls-Royce sudah lewat waktunya, seseorang yang merasa berutang budi karena pernah ditolong oleh Trio Detektif membereskan urusan penyewaan mobil mewah itu, sehingga ketiga remaja itu terus bisa menggunakannya kapan saja mereka perlu.
Paman Titus memperlambat kendaraannya ketika melewati Rolls-Royce yang diparkir itu. Saat itu pintu depan rumah besar terbuka dengan cepat. Seorang lelaki bertubuh kecil dan kurus, dengan setelan jas berwarna gelap, berlari secepat-cepatnya ke luar.
"Berhenti! Jangan lari, penjahat!"
Worthington mengejar orang itu.
Paman Titus mengerem, sementara Pete meloncat turun dari bak belakang lalu melesat maju, hendak menahan orang yang lari itu.
"Pencuri! Tahan dia!" teriak Worthington.
Pete menerjang lelaki kecil itu. Maksudnya hendak memegang pinggangnya. Tapi orang yang dikejar Worthington itu, walau kecil, ternyata lincah. Tahu-tahu kepalan tinjunya melayang ke depan. Pete merasakan kenyerian yang pedas di bawah mata sebelah kanan. Kakinya terasa lemas, dan ia pun roboh ke samping. Ia masih bisa mendengar bunyi langkah berlari, disusul pintu mobil yang ditutup dengan keras.
Worthington mengumpat dengan keras. Tapi dasar sopir teladan, umpatannya tidak kasar. Tapi lantang!
Pete membuka matanya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa pusing. Worthington membungkuk di depannya, memperhatikan dirinya.
"Kau tidak apa-apa, Pete?" tanya sopir berbangsa Inggris itu.
"Cuma napasku saja yang agak sesak. Sebentar."
Bob dan Jupe berlari-lari, menghampiri Pete.
"Orang itu berhasil meloloskan diri," kata Bob. "Ia punya mobil, diparkir agak ke sebelah bawah."
Worthington meluruskan tubuhnya yang lebih dari semeter delapan puluh tingginya. Wajahnya yang lonjong dan biasanya nampak cerah, saat itu merah karena marah -juga karena habis berlari.
"Kenapa saya sampai bisa kalah cepat berlari dari kunyuk itu?" tukasnya. Kemudian air mukanya nampak agak cerah lagi. "Tapi setidak-tidaknya ia pontang-panting ketakutan!" katanya.

Bab 2 RUMAH CERMIN

"IA berhasil meloloskan diri, Worthington? Polisi sudah kupanggil."
Jupiter terkejap. Pete mengusap mukanya dengan sikap bingung, sementara Bob memandang dengan mulut ternganga ke arah wanita yang saat itu muncul di ambang pintu depan rumah besar bergaya Spanyol itu. "Ya, apa boleh buat, Madam," kata Worthington.
Wanita itu datang menghampiri mereka. Tiba-tiba Jupe menyadari bahwa mulutnya ternganga, lalu dengan cepat ia menutupnya. Jupiter Jones tidak gampang terkejut. Tapi siapa pun pasti akan kaget melihat seorang wanita yang mengenakan gaun zaman dulu yang lebar dari bahan brokat tebal, lengkap dengan simpai-simpai yang membuatnya mengembang seperti sangkar. Ketika wanita itu sudah dekat, barulah nampak oleh Jupiter bahwa rambut putih yang ditata tinggi di atas kepalanya ternyata wig yang diberi bedak.
"Mrs. Darnley," ujar Worthington, "izinkanlah saya memperkenalkan kawan-kawan saya, Trio Detektif."
"Siapa?" Sesaat wanita itu kelihatan heran. Tapi kemudian tersenyum. "Ah, ya - ketiga penyelidik remaja itu. Worthington pernah bercerita tentang kalian. Sebentar." Ia mengangguk ke arah Jupiter. "Kurasa, kau tentunya Jupiter Jones."
"Betul," kata Jupe.
Kemudian Worthington memperkenalkan Bob dan Pete.
"Pete tadi berusaha mencegat tamu tak diundang itu," katanya menjelaskan.
"Kau cedera?" tanya wanita itu.
"Tidak," jawab Pete sambil bangkit dengan lamban.
"Syukurlah. Orang yang memasuki rumah orang lain tanpa izin bisa berbahaya."
Saat itu Paman Titus turun dari kendaraannya.
"Dan ini Mr. Titus Jones, Mrs. Darnley," kata Worthington.
Mrs. Darnley tersenyum ramah.
"Wah, saya senang bisa berkenalan dengan Anda!" katanya. "Nama Anda sudah saya kenal, begitu pula perusahaan Anda. Saya berniat datang ke sana, untuk melihat apakah Anda punya cermin-cermin yang menarik." "Cermin?" kata Paman Titus.
"Ya - kegemaran saya mengumpulkan cermin. Masuklah sebentar, untuk melihat koleksi saya itu." Wanita itu berpaling, lalu berjalan kembali ke rumah. Gerak langkahnya menyebabkan gaunnya yang lebar mendesir-desir.
"Selalu begitukah dandanannya?" tanya Pete.
"Orangnya sangat mengasyikkan," kata Worthington. "Saya cukup sering juga mengantarnya, karena ia tidak mau punya mobil. Kalian pasti terkagum-kagum melihat rumahnya."
Rumah Mrs. Darnley ternyata memang sangat menarik. Anak-anak serta Paman Titus mengikuti Worthington, masuk melalui sebuah ruang depan yang remang-remang. Aneh, rasanya dingin di situ. Di sisi kiri ada tangga berbentuk anggun, menuju ke tingkat dua. Di belakangnya terdapat lorong panjang dan sempit ke arah samping, hampir sepanjang bangunan itu. Di sisi kanan, sepasang daun pintu berukir yang terbuka menampakkan sebuah ruangan lain. Ruangan itu gelap, sehingga tidak nampak apa yang ada di dalamnya. Worthington mengantarkan keempat tamu itu lurus ke depan, memasuki sebuah ruang duduk yang lapang. Dinding-dinding ruangan itu kelihatannya seperti penuh dengan bayangan yang bergerak-gerak. Gorden tebal menghalangi sinar matahari masuk dari luar. Sesaat kemudian barulah Jupiter dan kedua temannya sadar bahwa yang nampak bergerak-gerak itu bayangan mereka sendiri di cermin. Berlusin-lusin cermin. Mungkin bahkan ratusan jumlahnya. Mereka melihat bayangan dari bayangan mereka. Mereka saat itu seolah-olah bukan hanya bertiga, tapi tiga puluh. Atau bahkan tiga ratus!
"Bagus ya?" Bayangan Mrs. Darnley bergeser ketika ia tahu-tahu muncul di sisi Pete, memantul dari cermin ke cermin.
"Saya rasanya agak pusing," kata Pete.
"Kalau begitu duduklah," kata Mrs. Darnley menyarankan. Ia sendiri duduk di tepi sebuah kursi kecil, dekat tempat perapian. "Cermin-cerminku ini, hampir semuanya barang antik," katanya menuturkan, "dan semuanya punya riwayat sendiri-sendiri. Kegemaranku mengumpulkan cermin, sudah sejak lama. Sejak aku masih kecil. Kalian ingat kisah tentang Alice yang masuk ke dalam cermin, dan tahu-tahu berada di suatu dunia ajaib di mana segala-galanya terbalik? Dulu, ketika masih kecil aku mengira bahwa aku pun bisa melakukannya -jika bisa menemukan cermin yang ajaib."
Saat itu seorang anak laki-laki yang sebaya dengan Pete memasuki ruangan. Besarnya juga sepantar. Rambut anak itu warnanya seperti wortel sedang mukanya pada bagian hidung penuh bintik. Ia diikuti seorang anak perempuan yang tingginya hampir sama dengan anak laki-laki itu. Tapi warna rambutnya lebih coklat. Anak perempuan itu tersenyum ke arah Worthington, yang berdiri dengan sikap kaku di dekat salah satu jendela. Pandangan anak itu beralih ke Paman Titus, dan kemudian pada Jupe dan kedua temannya.
"Ini cucu-cucuku," kata Mrs. Darnley. "Jean dan Jeff Parkinson. Anak-anak - ini Mrs. Titus Jones pemilik The Jones Salvage Yard yang terkenal itu. Dan mereka ini Jupiter, keponakan Mr. Jones, serta kedua temannya, Bob dan Pete."
"Wah - Trio Detektif, ya!" seru Jeff.
"Kebetulan sekali," kata anak yang perempuan. "Tepat saat kita baru kedatangan maling - meski ia tidak mengambil apa-apa."
"Tidak ada yang hilang?" tanya Mrs. Darnley.
"Sepanjang yang bisa kami ketahui, tidak ada," jawab Jean, cucu perempuan wanita itu.
Saat itu terdengar bunyi sirene. Datangnya dari arah bawah bukit, dan semakin mendekat.
"Pasti itu polisi yang datang," kata Mrs. Darnley. "Jean, silakan mereka masuk nanti. Dan Anda, Worthington, duduklah! Anda begitu kikuk kelihatannya, berdiri di situ seperti tiang." "Baik, Madam," kata Worthington, lalu duduk di salah satu kursi.
Jean mengantar dua petugas patroli polisi yang masih muda ke dalam ruangan. Satu dari mereka rupanya kaget ketika melihat penampilan Mrs. Darnley dengan busananya yang bergaya kuno. Topi dinasnya terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai. Kekagetannya dianggap biasa saja oleh Mrs. Darnley, yang langsung menuturkan secara ringkas apa yang tadi terjadi di situ.
"Saya tadi sedang minum teh di atas," katanya. "Pelayan saya, John Chan, saat itu juga ada di sana, mengurus hidangan. Kami berdua sama-sama tidak mendengar apa-apa yang lain dari biasanya. Maling itu pasti mengira sedang tidak ada orang di sini. Tapi ia kemudian dipergoki Worthington dan kedua cucu saya, ketika mereka kembali dari pasar. Saat itu ia sedang berada di ruang perpustakaan. Sepanjang yang kami ketahui saat ini, tidak ada sesuatu pun yang diambilnya. Mungkin belum sempat."
Setelah itu Worthington, dan juga Trio Detektif memberi keterangan tentang orang yang lari ke luar dari rumah itu. Menurut mereka, orang itu bertubuh pendek dan sangat kurus, berambut coklat tua, sudah setengah umur, tapi bertenaga kuat dan lincah. Sedang Jupiter menambahkan keterangan tentang mobil orang itu.
"Ada ribuan mobil seperti itu," kata salah seorang petugas polisi. "Kau sempat mencatat nomornya?"
"Aduh, sayangnya tidak," kata Jupiter. "Mobil itu berlumur lumpur, termasuk pelat nomornya."
Polisi yang bertanya mendesah, sambil mencatat dalam notesnya.
"Kami tahu bagaimana caranya masuk," kata Jean Parkinson. "Ia mendobrak kunci pintu dapur." Polisi tadi mengangguk.
"Cara yang biasa," katanya mengomentari. "Pintu belakang, selalu payah kuncinya."
"Tapi pintu belakang rumah ini baik sekali kuncinya," kata Mrs. Darnley. "Saya selalu berhati-hati dalam hal-hal seperti itu. Mungkin Anda sudah melihat sendiri, jendela-jendela di sini semuanya diamankan dengan terali besi. Sedang pintu cuma ada dua saja, yaitu pintu depan, dan di belakang - dari dapur ke garasi. Kedua-duanya diamankan dengan sepasang kunci gerendel. Orang itu membuka pintu dapur secara paksa. Dengan linggis. Jeff, antarkan petugas-petugas ini ke dapur. Tunjukkan pada mereka!"
Kedua petugas polisi itu ikut dengan Jeff ke dapur. Tidak lama kemudian mereka sudah kembali lagi. Seorang di antaranya membawa linggis, yang dipergunakan oleh tamu tak diundang tadi untuk mendobrak pintu dapur.
"Petugas kami dari bagian penelitian sidik jari mungkin bisa menemukan sesuatu pada batang besi ini," kata polisi
itu.
"Orang itu memakai sarung tangan," kata Pete. "Kau yakin?"
"Ya! Aku tidak mungkin keliru, karena kepalan tinjunya tadi sempat mampir di mukaku."
Setelah mengatakan akan menghubungi Mrs. Darnley begitu diperoleh petunjuk yang mungkin bisa dipakai untuk mengetahui siapa sebenarnya tamu tak diundang itu, kedua petugas kepolisian itu pergi. Worthington juga minta diri, karena harus mengembalikan mobil ke perusahaan.
"Kelihatannya urusan ini akan berakhir sampai di sini saja," kata Mrs. Darnley. "Yah - pokoknya tidak ada apa-apa yang hilang! Nah - maukah kalian melihat-lihat rumah ini? Pemiliknya dulu Drakestar, tukang sulap yang termasyhur itu. Ia yang membangun."
"Drakestar?" Sikap duduk Jupiter berubah. Pengetahuannya luas tentang orang-orang teater. "Jadi ini rumah Drakestar? Saya pernah membaca bukel mengenai dia."
Mrs. Darnley mengangguk.
"Ya, dan ia meninggal dunia di sini. Menurut cerita orang, rumah ini berhantu. Tapi aku sendiri belum pernah melihat sesuatu yang aneh di sini. Tapi ayolah, jika kalian suka melihat barang-barang kuno yang menarik."
Ia menyeberangi ruang duduk itu, dan membuka sebuah pintu berdaun ganda. Paman Titus, Trio Detektif, begitu pula Jean dan Jeff Parkinson mengikuti dari belakang, masuk ke sebuah ruang makan yang sangat luas. Gorden-gorden di ruangan itu terbuka. Cahaya matahari yang memancar dari arah barat masuk ke dalam menyentuh dinding-dinding yang dilapisi kain damas tebal berwarna merah. Di atas bufet tergantung sebuah cermin dengan bingkai berukir yang disepuh emas. Cermin itu kelihatannya sudah sangat tua, dan pada beberapa bagian, kertas perak yang melapisi sisi belakangnya sudah terkelupas.
"Ini salah satu koleksiku yang istimewa," kata Mrs. Darnley. "Asalnya dari istana tsar Rusia, di St. Petersburg, yang sekarang bernama Leningrad. Mungkin Ratu Katherina Agung juga pernah bercermin di sini. Tapi apakah betul, itu tidak bisa kita pastikan! Begitu banyak orang yang pernah berkaca di sini, sehingga mungkin saja ada sedikit bayangan dari masing-masing tokoh itu yang tertinggal di dalam cermin ini."
Dapur terdapat di belakang sepen, yang letaknya sesudah ruang makan. Di situlah anak-anak menjumpai John Chan, pelayan Mrs. Darnley.
Orang itu bertubuh ramping dan masih muda, berumur dua puluhan. Nampak jelas bahwa ia keturunan Asia, tapi bahasa Inggrisnya berlogat Boston. Ia melaporkan bahwa ia sudah memanggil tukang kayu dan tukang kunci, jadi sebelum gelap pintu dapur sudah akan selesai dibetulkan.
"Syukurlah," kata Mrs. Darnley, yang kemudian menggerakkan tangannya ke arah sebuah pintu. "Itu kamar John," katanya, "aku tidak diizinkannya memasang cermin di dalamnya."
Pelayan itu tersenyum.
"Begini saja pun, saya sudah terlalu banyak melihat diri saya mondar-mandir di mana-mana," katanya.
"Nah - sekarang kita melihat-lihat hartaku yang selebihnya." Mrs. Darnley membuka pintu lain, lalu melangkah masuk ke sebuah lorong panjang dan sempit. Lorong itulah yang tadi nampak, ketika keempat tamunya masuk ke dalam gedung.
"Ketika Drakestar masih tinggal di sini," kata wanita itu, "bagian depan ini merupakan ruang pesta yang luas. Ruangan itu kemudian kujadikan beberapa kamar yang... yah, bisa dibilang ruang-ruang pameran sejarah."
Mereka berdesak-desak masuk ke sebuah ruangan yang terdapat di pojok. Dindingnya diberi warna seperti tanah lempung. Di situ ada sebuah ranjang sempit lalu sebuah peti bertutup kulit, kursi kayu, dan meja yang terbuat dari papan yang dikerjakan dengan tangan. Di sebelah atas meja yang menempel ke dinding itu tergantung sebuah cermin sederhana, berbingkai kayu mapel.
"Cermin itu dikirim ke California, waktu banyak orang membanjir kemari setelah di kawasan ini ditemukan emas," kata Mrs. Darnley. "Datangnya dari New England, dan dipesan oleh seorang Amerika yang ingin menikah dengan putri seorang bangsawan Spanyol. Cermin itu merupakan hadiah, sewaktu mereka pacaran."
"Lalu, jadikah ia menikah dengan putri bangsawan itu?" tanya Bob.
"Ya, mereka jadi menikah - dan itu kemudian ternyata bukan langkah yang bijaksana. Pria Amerika itu rupanya orang yang gemar berjudi. Segala miliknya habis karena kegemarannya yang buruk itu. Bilik ini tiruan tempat yang ditinggali putri bangsawan itu. Pada akhir hayatnya, wanita malang itu tidak punya apa-apa lagi. Benar-benar jatuh miskin!"
Ruang berikutnya berwujud kamar tempat menerima tamu yang serba rapi pengaturannya. Mrs. Darnley menamakan kamar itu Ruang Victoria.
"Ini tiruan kamar di mana Ratu Victoria suka duduk-duduk bersama ibunya ketika ia masih gadis remaja, sebelum dinobatkan menjadi ratu. Segala perabot ini kusuruh buatkan meniru aslinya. Tapi cermin yang di sebelah atas tempat perapian itu asli, kepunyaan Ratu Victoria. Atau mungkin ibunya. Aku suka membayangkan Ratu Victoria sewaktu masih remaja sering menatap bayangannya di situ - begitu muda dan polos, dengan sekian tahun masa-masa keagungan di hadapannya. Kadang-kadang aku duduk di sini, dengan busana khusus. Tapi aku bukan lantas mengkhayal bahwa aku Victoria yang masih remaja. Untuk itu, aku sudah terlalu tua. Aku kadang-kadang mengkhayal, bahwa aku ibunya."
Setelah itu ditunjukkan bilik selanjutnya, yang disebutnya Bilik Lincoln, presiden Amerika Serikat semasa terjadi perang saudara antara negara-negara bagian kelompok Utara melawan Selatan. Bilik itu gelap, tertutup, dan acak-acakan.
"Ini tiruan bilik tempat Mary Todd Lincoln sering berada semasa tuanya, dihantui perasaan letih dan kesepian, lama setelah Presiden Lincoln tewas dibunuh. Cermin itu asli, dulu kepunyaannya." Paman Titus berdiri dengan sikap gelisah di samping Jupiter. "Rasanya ruang ini memilukan," katanya.
"Sangat memilukan," kata Mrs. Darnley sependapat, "tapi orang-orang ternama, umumnya menjadi terkenal karena peristiwa memilukan."
Ditutupnya kembali pintu bilik kecil itu. Tiba-tiba sikapnya berubah, nampak lincah.
"Ruang Marie Antoinette ada di atas. Aku punya cermin muka yang kecil peninggalan ratu Prancis itu, serta beberapa perhiasan lain yang biasa dipakai olehnya. Gaun yang kupakai ini kusuruh buatkan, dengan meniru salah satu lukisan dirinya."
"O," kata Jupiter dengan suara lirih. "Dan ruangan itu juga memilukan?"
"Mungkin juga, kalau kita melihatnya dari segi tertentu," kata Mrs. Darnley. "Tapi ruang itu cantik. Aku suka duduk-duduk di dalamnya, tapi aku selalu memaksa diri agar jangan mengingat bagaimana kematiannya. Memang malang nasibnya, ratu yang tidak bijaksana itu. Nanti kutunjukkan ruangan itu, yang kusuruh buatkan dengan meniru salah satu ruangan yang ada di Istana Versailles. Tapi sebelumnya kalian harus melihat tambahan koleksiku yang paling baru."
"Benar-benar menyeramkan, deh," kata Jean Parkinson, cucu perempuan Mrs. Darnley. "Bisa dipastikan bahwa kalian pasti takkan suka melihatnya," kata Jeff menambahkan.
"Ya, memang jelek," kata nenek mereka mengakui, "tapi aku sangat bangga memilikinya." Ia berjalan dengan gaunnya yang mendesir-desir, menyusur lorong itu, lalu melintasi ruang masuk. Paman Titus dan anak-anak mengikutinya, melewati pintu yang berdaun ganda, masuk ke ruang gelap yang nampak ketika mereka masuk ke gedung itu tadi. Begitu Mrs. Darnley menyingkapkan gorden-gorden yang semula menutupi jendela, dengan segera nampak bahwa itu ruang perpustakaan. Ketiga dindingnya penuh dengan buku yang ditaruh di dalam rak-rak. Dinding keempat, yang paling dekat ke jalan, dilapisi panel kayu berwarna gelap. Ada dua jendela panjang di situ. Dan di antara kedua jendela itu terpasang sebuah cermin berukuran besar, yang hampir menutupi seluruh dinding di belakangnya.
"Hiii!" seru Pete.
Cerminnya sendiri, sama sekali tidak luar biasa. Paman Titus dan anak-anak nampak tercermin jelas di dalamnya, persis aslinya. Tapi bingkainya - nah, itulah yang aneh. Terbuat dari bahan yang mestinya logam, dan dibentuk menjadi sejumlah wujud aneh dan tidak enak dilihat. Akar berbelit-belit, di sana-sini diselipi wajah-wajah berukuran kecil. Wajah makhluk-makhluk seperti manusia, tapi tidak bisa dibilang manusia. Di antaranya ada yang bertanduk pada kening. Ada lagi yang matanya hanya berupa celah sempit. Ada pula yang menyeringai jahat. Dan di bagian atas bingkai itu ada sesosok tubuh kerdil dengan telinga yang ujung atasnya runcing. Makhluk itu memeluk seekor ular.
"Apa..." kata Bob tergagap, sambil menuding, "apa itu?"
"Di Spanyol, mereka disebut trasgos, " kata Mrs. Darnley menjelaskan. "Dalam bahasa Inggris, kita mengenalnya dengan nama goblin. Jadi semacam tuyul, begitu! Cermin itu dulu milik seorang tukang sulap. Namanya Chiavo. Tinggalnya di Madrid."
"Di Spanyol?" tanya Jupiter.
"Ya, di Spanyol, tapi sekitar dua abad yang lalu. Pada zamannya, ia tentu saja tidak disebut tukang sulap, tapi penyihir! Chiavo itu mengaku bisa memandang ke dalam cermin. Tapi bukan seperti kita kalau memandang cermin, yang kelihatan bayangan kita sendiri. Tidak! Ia mengatakan, dengan memandang ke dalamnya, ia bisa melihat hantu-
hantu tanah. Melihat goblin, atau trasgos, dalam bahasa mereka. Hantu-hantu itu, menurut pengakuannya, bisa mengatakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang."
"Menurut takhyul, hantu-hantu itu tinggal di dalam gua, di sela-sela akar pepohonan - pokoknya di segala tempat yang menyeramkan seperti itu," kata Jeff. "Mereka berteman dengan, ular dan cacing."
"Ih," kata Jean Parkinson jijik.
"Aku bangga sekali memiliki cermin ini," kata Mrs. Darnley sekali lagi. "Semua cermin koleksiku mempunyai riwayat sendiri-sendiri, dan banyak yang pernah menjadi saksi kecantikan wajah yang luar biasa, begitu pula peristiwa-peristiwa yang sangat memilukan. Tapi cermin Chiavo ini, kata orang, cermin sihir. Yah - itu tentu saja jika kita mau percaya pada cerita-cerita semacam itu!"
Mrs. Darnley nampaknya sangat mengharapkan bahwa riwayat cermin itu benar. Begitulah penilaian Jupiter Jones.
Saat itu terdengar bunyi bel di belakang mereka. Itu bel pintu depan.
"Mungkin Senor Santora," kata Jean. Dipandangnya ketiga anggota Trio Detektif sambil nyengir. "Tuan itu datang dari Spanyol. Ia juga pengumpul benda-benda menarik - dan seperti Nenek, sangat tergila-gila pada cermin. Ia ingin sekali membeli cermin dengan hantu-hantu kecil jelek itu. Setiap hari ia kemari, sekitar saat seperti sekarang ini."
Bel pintu depan berbunyi lagi.
Mrs. Darnley mengalihkan tatapan matanya dari cermin ke pintu depan, lalu kembali lagi ke cermin. "Setiap hari," katanya, "sudah lebih dari seminggu ia datang setiap hari, dan hari ini..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
"Dan hari ini," kata Jupiter menyambung dengan pelan, "hari ini seorang tamu tak diundang dipergoki ketika sedang berada di dalam ruangan ini."
"Tapi tidak ada yang mungkin membawa lari cermin itu," kata Jeff menyanggah. "Bingkainya terbuat dari baja. Jadi berat sekali! Sewaktu menggantungkannya, diperlukan tenaga tiga orang."
Mrs. Darnley mengangkat dagunya. Air mukanya kini kelihatan tegar.
"Mr. Jones," katanya pada Paman Titus, "saya harap Anda dan anak-anak sudi tetap di sini, untuk melihat Senor Santora. Worthington nampaknya memberi nilai tinggi untuk kemampuan Trio Detektif. Saya ingin tahu penilaian mereka tentang orang Spanyol itu."
Bel berbunyi sekali lagi.
"Persilakan Senor, Santora masuk," kata Mrs. Darnley pada Jean, tanpa menunggu jawaban Paman Titus.

Bab 3 KUTUKAN CHIAVO

ORANG yang diantar masuk oleh Jean bertubuh pendek gempal, dan berambut hitam. Matanya lebar, berwarna coklat tua. Ia mengenakan setelan berwarna cerah, terbuat dari bahan yang kelihatan mahal, berkilat seperti sutra. Wajahnya yang halus, tidak menampakkan jejak umur maupun pikiran, tapi saat itu berona kemerahan, seakan-akan sedang marah.
"Senora Darnley, harap Anda..." Kalimat orang itu terputus, karena saat itu barulah ia melihat bahwa di ruangan itu ada orang lain, yaitu Paman Titus dan Trio Detektif. Kening pria Spanyol itu berkerut, sementara bibirnya menipis. "Saya tadi mengharapkan Anda... Anda..." Ia berhenti lagi, seolah-olah sedang mencari-cari kata dalam bahasa Inggris. "Saya tadi berharap akan menjumpai Anda sendirian, tanpa tamu," katanya kemudian.
"Silakan duduk, semuanya," kata Mrs. Darnley, sambil mendului duduk. Ia memandang Senor Santora, lalu mengangguk dengan sikap yang tidak bisa dibilang ramah. "Saya sedang bercerita pada kawan-kawan saya ini, tentang koleksi yang paling saya banggakan. Tentang cermin hantu ini."
"Cermin peninggalan Chiavo, penyihir termasyhur," kata Santora sambil duduk. Ia meletakkan sebuah paket yang dibungkus dengan kertas putih ke atas meja tempat lampu yang ada di sampingnya. "Cermin yang mengagumkan!"
"Sangat mengagumkan," kata Mrs. Darnley. "Senor Santora, saya sendiri pernah bersusah payah ketika berusaha memperoleh beberapa di antara cermin-cermin koleksi saya. Tapi sikap Anda yang ngotot, sudah keterlaluan. Konyol!"
"Keinginan memiliki cermin peninggalan Chiavo, bukan kekonyolan," kata pria Spanyol itu. "Mrs. Darnley - Senora - saya ingin berbicara sebentar dengan Anda. Antara empat mata."
"Itu tidak perlu," jawab Mrs. Darnley, "karena tidak ada yang harus dibicarakan."
"O, ada, Senora." Suara pria Spanyol itu meninggi. Sikap duduknya berubah, membungkuk ke depan. Ia menunggu. Tapi semua tetap duduk seperti patung, di kursi masing-masing. Tidak ada yang beranjak.
"Begitu rupanya," kata Senor Santora kemudian. "Jadi harus ada saksi pembicaraan kita. Baiklah - jika itu keinginan Anda, Senora. Saya sudah mengajukan penawaran yang menarik, sebagai imbalan cermin itu. Sekarang saya akan lebih bermurah hati lagi. Anda saya beri sepuluh ribu dolar untuk cermin Chiavo itu, ditambah sesuatu dari koleksi saya." Kini disodorkannya paket berbungkus kertas putih itu ke arah Mrs. Darnley. "Ini, cermin muka yang ditemukan di tengah reruntuhan kota Pompeii."
Mrs. Darnley tertawa.
"Uang saya sendiri sudah banyak - melebihi yang menurut perkiraan akan mungkin saya belanjakan," katanya. "Sedang peninggalan dari kota Pompeii, bukan merupakan barang yang sangat langka. Tapi cuma ada satu cermin trasgos, cermin hantu tanah."
"Betul, hanya ada satu cermin semacam itu," kata Senor Santora sependapat. "Hanya ada satu, di dunia ini. Dan saya harus bisa memilikinya, Senora!"
"Tidak bisa," kata Mrs. Darnley.
"Tapi ini penting sekali artinya! Anda takkan bisa membayangkan, betapa pentingnya!" seru Santora.
"Tentu saja penting, jika memang satu-satunya di dunia. Tapi bagi saya itu sama pentingnya, seperti bagi Anda. Kenapa koleksi Anda harus lebih baik daripada kepunyaan saya?"
"Anda harus saya peringatkan, Senora!" kata Santora dengan suara keras. Tangannya terkepal. Jupiter Jones melihat bahwa Mrs. Darnley meluruskan sikap duduknya.
"Terhadap apa, Senor Santora?" tanya wanita itu, sambil menatap wajah pria Spanyol itu lurus-lurus. "Tahukah Anda Senor, bahwa hari ini ada orang memasuki rumah ini secara paksa? Ia terpergok di sini. Dalam ruangan ini!"
Wajah Senor Santora yang semula nampak merah, langsung berubah - menjadi agak pucat. Ia melirik ke arah cermin.
"Dalam ruangan ini? Tapi... tidak, dari mana saya bisa mengetahuinya!"
"Mudah-mudahan saja begitu," jawab Mrs. Darnley.
Pria Spanyol itu menatap lantai sesaat, lalu memandang tangannya sendiri.
"Ia dipergoki? Di sini?" Santora mengangkat kepalanya kembali, lalu tersenyum. Nampak bahwa ia memaksa diri. "Ya, menurut berita-berita dalam surat kabar daerah, di sini berkeliaran pencuri-pencuri yang suka memasuki rumah-rumah yang sedang kosong di siang hari. Mudah-mudahan polisi di sini akan bersikap keras terhadap orang itu, Senora."
"Sayangnya, ia berhasil meloloskan diri," kata Mrs. Darnley.
"Ah, begitu ya?" Kening Santora berkerut, seakan-akan ia sedang memikirkan suatu masalah. "Saya tidak bisa bercerita apa-apa mengenai orang yang masuk kemari itu, Senora," katanya. "Kita sama-sama tahu, satu orang - seorang laki-laki bertubuh kecil - takkan mungkin kuat membawa sendiri cermin Chiavo. Tapi cermin itu mengandung ancaman."
"Ah," kata Mrs. Darnley.
"Saya selama ini tidak sepenuhnya berterus terang pada Anda," kata Santora lagi. "Saya ini sebenarnya bukan pengumpul benda-benda langka. Cermin peninggalan Pompeii ini - baru saya beli kemarin, dari seorang pedagang di Beverly Hills."
"Mudah-mudahan saja tidak terlalu mahal harganya," kata Mrs. Darnley, dengan nada yang tidak lagi ketus.
"Bisa saja terlalu mahal, jika karenanya Anda tidak lantas sudi melepaskan cermin Chiavo," kata Santora. "Soalnya begini, Senora, bukan cuma cermin itu saja yang tidak ada duanya di dunia ini. Saya juga begitu. Saya ini tidak ada duanya!"
"Tapi penampilan Anda tidak kelihatan terlalu istimewa, Senor Santora." Mrs. Darnley kelihatan geli.
"Akan saya ceritakan sekarang kisah cermin itu," kata Santora. "Saya sudah tahu," sahut Mrs. Darnley.
"Itu hanya sangkaan Anda saja." Baik air muka maupun nada suara Santora tidak lagi mengesankan kemarahan. Ia berbicara dengan suara lembut, nyaris seperti sedang memohon. "Semasa hidupnya, Chiavo itu penyihir besar. Cermin itu dibuat khusus sesuai dengan pesannya. Dan ketika sudah jadi, banyak sekali ramalan yang diutarakannya. Ia bisa melihat ke dalam cermin, memandang tempat kehidupan makhluk-makhluk kerdil, hantu-hantu yang hidup dalam dunia di bawah dunia kita ini. Dan hantu-hantu itu banyak menyebutkan hal-hal yang benar tentang berbagai kejadian yang akan datang waktu itu. Lalu pada suatu hari Chiavo menghilang."
"Itu sudah saya ketahui," kata Mrs. Darnley. "Dan cermin ini dititipkannya pada suatu keluarga, di Madrid. Nama keluarga itu Estancia."
Santora mengangguk.
"Semuanya benar, sampai sebegitu," katanya. "Tapi bukan hanya itu kisahnya. Chiavo banyak musuhnya - orang-orang yang merasa takut padanya, dan yang mengatakan bahwa ia mencelakakan mereka. Karenanya Chiavo tidak pernah mengatakan pada orang luar bahwa keluarga yang bernama Estancia itu sebenarnya keluarganya sendiri. Mereka istri dan anak lelakinya. Anak lelaki itu kemudian berputra, dan putranya mendapat anak perempuan. Lalu ketika anak perempuan ini menikah, pupuslah nama keluarga Estancia. Tapi cermin sihir Chiavo tetap ada di tangan keturunannya. Kemudian, lebih dari empat puluh tahun yang lalu, jadi sebelum saya dilahirkan, cermin Chiavo hilang. Dicuri orang! Kejadiannya di Madrid. Tapi pencurinya menebus perbuatan jahatnya dengan bayaran yang mahal sekali. Ayah saya menemukan jejaknya, lalu..."
"Ayah Anda?" seru Mrs. Darnley. "Maksud Anda, Anda hendak mengatakan bahwa Anda ini keturunan Chiavo?"
Santora membungkuk.
"Ya, satu-satunya yang masih tersisa. Ayah saya sudah meninggal dunia. Sayalah satu-satunya keturunan yang masih hidup, dan cermin itu harus kembali menjadi milik saya. Itu milik saya, dan saya harus mewariskannya pada anak lelaki saya."
Mrs. Darnley tidak mengatakan apa-apa. Kelihatan bahwa ia sedang berpikir.
"Jika ayah Anda berhasil menemukan jejak pencuri itu," katanya kemudian, "jika cermin itu dicuri sekian tahun yang lalu, apa sebabnya tidak kembali menjadi miliknya lagi?"
"Karena pencuri yang mula-mula mencurinya saat itu sudah mati, dan cermin Chiavo diambil penjahat lain. Di tangan kami, keturunan Chiavo, cermin ini aman. Kami mengetahui rahasianya. Kami tahu cara mempergunakannya. Dengan cermin ini, kami bisa mengetahui masa depan."
"Banyak gunanya juga, kalau begitu," kata Mrs. Darnley.
"Memang. Tapi berbahaya, jika jatuh ke tangan orang yang bukan keturunan Chiavo! Orang yang mencurinya dari ayah saya ditemukan sudah mati di rumahnya. Satu-satunya tanda yang ditemukan adalah semacam bekas terbakar di keningnya - tapi ia tidak bernyawa lagi. Dan cermin itu lenyap! Ayah saya melanjutkan upayanya, menemukan jejaknya. Sekali didengarnya bahwa cermin itu ada di tangan seorang laki-laki, yang tinggal di Barcelona. Ayah saya datang ke tempat orang itu. Tapi lagi-lagi terlambat. Orang itu sudah mati, menggantung diri. Pemilik rumah yang ditinggali orang yang bunuh diri itu menjual cermin itu, dan orang yang membelinya..."
"Juga mati menggantung diri?" tanya Mrs. Darnley.
"Tewas dalam kecelakaan kereta api. Ia sudah mati sebelum ayah saya sempat menghubunginya, lalu anak laki-laki orang yang tewas itu memberikan cermin itu pada seorang teman, yang hendak pergi ke Madrid. Ia - maksud saya, anak laki-laki orang yang tewas itu - mengatakan, sebelum tewas ayahnya melihat bayangan dalam cermin. Katanya, ia melihat seorang lelaki berambut putih dan gondrong, dengan mata berwarna hijau yang menatap dengan aneh. Yang dilihatnya itu bayangan Chiavo. Ayah saya tidak heran mendengarnya. Soalnya, kami keturunannya tahu ke mana Chiavo pergi ketika tahu-tahu menghilang. Ia masuk ke dalam cermin, pergi ke tempat-tempat gelap di perut bumi, ke sarang hantu-hantu tanah. Ia masih tetap di sana sekarang. Tapi sekali-sekali ia datang ke balik cermin dan memandang ke luar. Jika bayangannya nampak dalam cermin, itu berarti peringatan bahwa akan ada bahaya."
Mrs. Darnley memegang kerongkongannya.
"Ia masuk... ke dalam cermin?"
"Seperti Alice, yang masuk ke Negeri Ajaib," kata Jean. Suaranya lirih, hampir seperti berbisik. "Saya... itu tidak masuk akal bagi saya," kata Mrs. Darnley.
"Itu kata Anda sekarang," kata Santora dengan mantap. "Tapi Anda kan tahu sendiri kelanjutannya. Orang yang pergi ke Madrid itu kemudian menjualnya pada seorang mahasiswa universitas di situ. Nama mahasiswa itu Diego Manolos. Tidak lama sesudah membeli cermin peninggalan Chiavo, Manolos pergi dari Spanyol. Ia kembali ke tempat kelahirannya. Anda tahu tempat itu, Senora Darnley. Sebuah pulau kecil, di negara yang bernama Ruffino. Di situ ia menikah dengan seorang wanita teman Anda, yang sampai sekarang masih tetap teman Anda. Dan apa kata teman Anda itu tentang cermin ini?"
"Ia tidak menyukainya," kata Mrs. Darnley. "Menurut dia, cermin ini jelek. Kenyataannya memang begitu. Ia sebetulnya sudah lama hendak menghadiahkannya pada saya. Tapi suaminya tidak mengizinkan. Teman saya itu tidak pernah mengatakan, pernah melihat sesuatu yang aneh di dalamnya. Cermin itu lebih dari tiga puluh tahun ada di tangan Manolos, tapi istrinya tidak pernah melihat hantu di dalamnya."
Santora membungkukkan tubuhnya ke arah Mrs. Darnley. Ia berbicara dengan suara lirih sekali, sehingga Jupiter mengalami kesulitan untuk menangkap kata-katanya.
"Cermin itu dihinggapi kutukan," kata Santora. "Kutukan Chiavo! Semua yang memiliki cermin itu, tapi bukan keturunan Chiavo, akan terkena kutukannya."
"Tapi Diego Manolos tidak kena kutukan," kata Mrs. Darnley menyanggah. "Ia bahkan sangat berhasil dalam karirnya. Ia menjadi penasihat kepala negara Ruffino."
"Mungkin kutukan itu menghinggapi istrinya," kata Santora. Ditatapnya Mrs. Darnley, tanpa berkedip. "Coba Anda ceritakan tentang teman Anda, istri Manolos itu, Senora Darnley. Berbahagiakah hidupnya?" Mrs. Darnley memalingkan muka.
"Yah... sebetulnya, tidak!" katanya. "Saya rasa Isabella Manolos tidak berbahagia, ketika suaminya masih hidup. Saya rasa, Manolos bersikap buruk terhadapnya. Tapi kini Manolos sudah meninggal dunia, dan..."
"...dan istrinya kemudian langsung mengirimkan cermin itu pada Anda," kata Santora, seperti mengingatkan.
"Betul. Itu karena ia tahu bahwa saya ingin memilikinya." Mrs. Darnley bergidik, seakan baru terbangun dari sebuah mimpi buruk. Ia berdiri. "Senor Santora, Anda baru saja menceritakan kisah yang tidak masuk akal bagi saya. Tidak mungkin ada orang bisa menghilang ke dalam cermin! Tapi jika Anda sungguh-sungguh keturunan Chiavo, tentunya ada dokumen-dokumen untuk menegaskannya. Maksud saya, surat-surat kelahiran dan surat-surat nikah. Jika cermin ini benar-benar milik keluarga Anda, saya takkan berkeras menahannya. Tapi Anda perlu membuktikan dulu, bahwa Anda benar-benar berhak."
Santora ikut berdiri. Diambilnya paket yang selama itu terletak di atas meja kecil di samping kursi yang didudukinya.
"Bertahun-tahun lamanya keluarga kami melacak jejak cermin itu" katanya. "Ayah saya menyusulnya dari Madrid ke Barcelona, lalu kembali lagi ke Madrid. Saya mengikutinya ke Ruffino. Tapi ketika sampai ke janda Manolos, ternyata saya terlambat datang. Kini saya ada di sini. Saya memerlukan waktu lagi untuk mendatangkan surat-surat yang Anda minta. Tapi saya punya waktu. Saya akan memintanya ke Spanyol."
"Selama itu saya akan menunggu," kata Mrs. Darnley.
"Baik, Senora. Tapi hati-hati saja, selama menunggu. Cermin itu berbahaya."
Pria berkebangsaan Spanyol itu meninggalkan ruang perpustakaan. Sesaat kemudian terdengar pintu depan dibuka, lalu ditutup kembali. Santora sudah pergi.
"Ih, bukan main ceritanya tadi!" kata Pete terkesan. Ia kelihatan agak pucat. "Kisah seram, yang dikarang dengan baik," kata Jupiter Jones.
"Ia pasti berbohong," kata Mrs. Darnley, dengan nada seperti hendak meyakinkan diri sendiri. "Tidak mungkin ia keturunan Chiavo, dan... dan mustahil ada orang bisa menghilang, masuk ke dalam cermin. Jika Santora itu sungguh-sungguh keturunan Chiavo, kenapa tidak dari semula langsung dikatakan begitu olehnya, ketika pertama kali datang kemari lebih dari seminggu yang lalu?"
"Mungkin karena baru sekarang ingat untuk mengatakannya," kata Jupiter Jones.

Bab 4
KELIHATANNYA ADA SESUATU YANG MISTERIUS

SEBELUM meninggalkan rumah Mrs. Darnley, Jupiter Jones menyerahkan selembar kartu nama Trio Detektif pada wanita itu.
"Nomor telepon kami tertera di baliknya," kata Jupe. "Kami akan senang sekali, jika bisa membantu Anda." Mrs. Darnley menerima kartu yang disodorkan itu dengan sikap nyaris linglung. Kartu itu dilipat dua olehnya. "Tidak mungkin ada orang bisa menghilang ke dalam cermin," katanya sekali lagi, seperti hendak memantapkan diri.
"Pendapat saya juga begitu," kata Jupiter, "tapi menarik juga melihat dokumen-dokumen apa saja yang nanti bisa diketengahkan Senor Santora, untuk mendukung kebenaran ceritanya tadi."
Mrs. Darnley mengangguk. Setelah itu Jupiter pergi bersama kedua rekannya, meninggalkan wanita itu di ruang depan gedung kediamannya yang besar dan suram, didampingi kedua cucunya. Mrs. Darnley nampak capek dan kuyu, dalam busananya yang bergaya kuno. Ia bukan lagi wanita tabah seperti yang tadi ditunjukkannya yang membanggakan koleksi cerminnya, dan yang mengkhayalkan dirinya adalah Marie Antoinette.
"Aku seram berada di tempat itu tadi!" kata Pete, ketika pick-up yang mereka tumpangi sudah meluncur dijalan.
Jupiter diam saja. Ia duduk bersandar ke sisi pick-up, sambil memeluk lutut. Matanya terpejam.
"Ada apa, Jupe?" tanya Bob ingin tahu.
"Aku tidak tahu pasti," kata Jupiter Jones. "Ada sesuatu yang dikatakan Santora tadi - sesuatu yang tidak beres."
"Banyak hal tidak beres yang dikatakan olehnya!" tukas Pete. "Masa bodoh sihir macam apa saja yang dikenakan pada suatu cermin - aku tetap tidak mau percaya bahwa ada orang bisa masuk ke dalamnya, lalu tetap berada di situ! Lalu sekali-sekali muncul kembali, untuk menakut-nakuti orang hidup! Atau... atau begitulah - pokoknya, apa yang katanya tadi dilakukan oleh hantu itu."
"Bukan yang itu maksudku," kata Jupe. "Menurutku, kisah Santora tadi bisa kita lupakan saja, karena kalau bukan legenda, pasti karangannya sendiri untuk menakut-nakuti Mrs. Darnley agar mau menyerahkan cermin itu."
"Aku tahu maksudmu," kata Bob. "Itu kan tentang ia memerlukan waktu tiga puluh tahun dalam melacak jejak cermin. Itu tidak masuk akal. Orang yang menjadi penasihat kepala negara sebuah republik, tidak bisa dibilang menyembunyikan diri. Selama waktu itu cermin yang dicari-cari ada di tangan Manolos. Dan ia tentunya merupakan tokoh masyarakat."
"Tentang Ruffino, tidak sering ada beritanya, kan?" kata Jupiter dengan nada bertanya. "Apa yang kalian ketahui tentang negara itu?"
Kedua temannya membisu.
"Negara kecil, yang tidak sering diberitakan. Jadi bisa saja memang diperlukan waktu selama itu, untuk melacak jejak cermin sampai ke sana. Tidak, bukan itu yang mengganggu pikiranku - tapi ucapan Santora mengenai diri tamu yang tak diundang tadi. Ucapannya itulah yang membuat aku sekarang berpikir-pikir. Coba saja kalian ingat - ia tadi kan mengatakan, 'Kita sama-sama tahu, satu orang - seorang laki-laki bertubuh kecil - takkan mungkin kuat membawa sendiri cermin Chiavo.' Padahal ia sendiri kan tidak melihat dan tidak ada yang mengatakan padanya bagaimana potongan orang itu. Walau begitu, dengan tepat dikatakan olehnya, bahwa orang itu bertubuh kecil."
Bob mengeluh.
"Aduh, kau ini! Ingatanmu seperti alat perekam saja. Tapi mungkin ia mengatakannya begitu saja, tanpa maksud tertentu. Siapa pun juga pasti akan kelihatan kecil, jika harus memotong cermin itu. Besarnya memang luar biasa! Atau menurut kau, Santora terlibat dalang peristiwa itu?"
"Ia kelihatannya benar-benar kaget ketika mendengar ada orang masuk secara paksa," kata Jupiter menarik kesimpulan. "Ia juga nampak seperti ketakutan. Kejadian itu ada artinya bagi dia. Ia langsung menganggap bahwa minat tamu tak diundang itu terarah pada cermin, meski Mrs. Darnley tidak tegas-tegas mengatakan begitu padanya. Dan ketika itu barulah ia mengaku keturunan Chiavo - seolah-olah ia harus bertindak dengan cepat, mengajukan segala alasan yang bisa masuk akal, kenapa cermin itu harus dimiliki olehnya. Tidak, kurasa Santora tidak tahu apa-apa tentang tamu tak diundang itu sebelum Mrs. Darnley mengatakannya. Namun ada juga kemungkinan bahwa ia tahu siapa orang itu. Pokoknya aku lumayan yakin bahwa setelah ini kita masih akan mendengar apa-apa lagi tentang cermin itu."
"Aku takkan keberatan kalau kita tidak mendengar apa-apa lagi mengenai cermin itu," kata Pete.
Jupiter tersenyum. Kedua temannya sudah tahu pasti, apa makna senyuman itu. Jupiter mencium adanya suatu misteri, dan ia ingin mengusutnya.
"Kita harus siap siaga," katanya. "Santora memerlukan waktu paling sedikit satu minggu untuk mendatangkan dokumen yang mana pun juga dari Spanyol. Dan jika saat itu tiba, kita harus sudah siap."
"Apanya yang siap?" tanya Pete.
"Informasi kita," kata Jupiter dengan gembira. "Kita perlu tahu lebih banyak tentang Ruffino. Kita perlu tahu tentang Chiavo. Dari keterangan Mrs. Darnley, orang itu mestinya ahli sulap yang termasyhur pada zamannya. Aku belum pernah mendengar apa-apa tentang dia. Kita harus segera mulai, dan apabila saatnya tiba kita harus sudah siap untuk bertindak."
Taksiran Jupe tentang waktu yang tersedia, kemudian terbukti memang tepat. Hampir satu minggu setelah Trio Detektif berkunjung ke gedung kediaman Mrs. Darnley, Jeff Parkinson naik bis ke Rocky Beach. Menjelang sore, remaja berambut merah itu sampai di tempat penimbunan barang-barang bekas, yang dikenal dengan nama The Jones Salvage Yard. Saat itu Jupiter sedang berada di bengkelnya, yang terletak di luar. Ia sedang membetulkan kerusakan kecil pada sebuah mesin cetak tua yang dirakitnya dari berbagai rongsokan yang sudah tidak dipakai lagi. Ketika melihat Jeff muncul, ia menegakkan tubuhnya, lalu mengelap tangannya yang kotor dengan secarik kain.
"Sudah ada kabar dari Senor Santora?" tanyanya.
Jeff menggeleng, lalu duduk di kursi Jupiter yang bisa diputar.
"Sedikit pun belum ada," jawabnya.
Saat itu Pete datang. Ia mengenakan kemeja yang baru disetrika. Rambutnya kelihatan basah. "Hai!" sapanya, ketika melihat Jeff ada di situ. "Kau ada di sini?" "Bagaimana ombaknya tadi?" tanya Jupe padanya.
"Terlalu hebat." Pete menarik sebuah kotak kayu ke dekatnya, lalu duduk di atasnya. "Alunnya benar-benar tinggi. Tiga kali aku terpelanting. Akhirnya kuputuskan, aku tidak kepingin leherku patah." Jeff tertawa mendengarnya.
"Worthington pernah berkata, kau tidak menyukai kesulitan. 'Pete lebih suka menghindari gangguan yang tidak perlu,' begitulah katanya." Kini Pete yang tertawa.
"Gangguan bukan kata yang tepat, jika kita ada di dekat Jupiter Jones. Hal-hal yang terjadi sebagai akibat, pemikiran anak ini benar-benar membuat bulu kuduk kita berdiri."
"Jika hendak mengusut misteri, kadang-kadang ada perlunya mengambil risiko," kata Jupiter.
Itu memang benar. Di salah satu pojok terpencil dalam kompleks perusahaan yang memperdagangkan barang-barang bekas itu ada sebuah karavan tua yang sudah rusak. Baik Paman Titus maupun Bibi Mathilda sudah tidak ingat lagi bahwa karavan itu ada di situ, karena letaknya terlindung di balik tumpukan barang rombengan. Di dalam kendaraan yang tidak bisa berjalan lagi itulah terletak kantor Trio Detektif. Kantor yang disebut Markas Besar itu dilengkapi dengan lemari arsip, pesawat telepon, laboratorium yang kecil tapi serba lengkap, dan kamar gelap tempat mencuci film.
Ketika Jupiter, Pete, dan Bob baru mulai dengan usaha mereka selaku penyelidik, lemari arsip sebenarnya belum begitu diperlukan. Tapi kini kantor mereka dilengkapi dengan beberapa lemari berisi catatan Bob yang rapi mengenai kasus-kasus yang pernah mereka tangani. Segala catatan itu merupakan bukti hasil kegiatan mereka, yang bisa membuat iri detektif-detektif yang jauh lebih tua dari mereka. Semua catatan itu juga membuktikan bahwa mereka sering menghadapi bermacam-macam risiko. Jupe memang tidak segan-segan mengambil risiko.
"Kurasa kau kemari ini karena hendak menyampaikan berita penting," kata Jupiter pada Jeff.
"Kalau tentang penting tidaknya, aku tidak tahu pasti," jawab Jeff Parkinson. "Kalian masih ingat kan, cerita Santora tentang penyihir yang masuk ke dalam cermin, lalu pergi ke negeri hantu tanah?"
"Ya - lalu kenapa?" kata Jupe. "Katamu tadi, selama ini tidak ada kabar apa-apa dari Santora. Kurasa ia pasti belum menyodorkan dokumen apa pun juga pada nenekmu, sebagai bukti pengakuannya bahwa ia keturunan Chiavo".
"Memang belum," kata Jeff. "Jika ia bisa membuktikannya, cermin itu akan diserahkan padanya. Nenekku tidak berniat menganggap sepi hak orang, tapi ia juga tidak mau ditipu. Cermin itu takkan diserahkan olehnya, hanya karena Santora pintar mendongeng. Nah, kalian waktu itu kan sudah berjumpa dengan John."
"John? John Chan, maksudmu? Pelayan nenekmu? Kenapa dia?"
"Dia itu sebenarnya pembawaannya sangat tenang," kata Jeff. "Sudah beberapa tahun ia menjadi pelayan Nenek, dan selama itu satu kali pun belum pernah kulihat dia gugup karena alasan apa pun juga. Ia tidak peduli pada urusan orang lain. Ia sibuk dengan tugasnya, memasak. Dan kalau tidak sedang sibuk, ia berlatih main gitar. John pernah kuliah di universitas, di Harvard. Tapi macet di tengah jalan. Ayahnya ingin ia menjadi pengacara hukum, tapi minat John sebenarnya hanya pada gitar, dan musik klasik."
"Lalu?" kata Pete.
"Nah - John, yang tidak pernah gugup itu sekarang merasa seperti mendengar bunyi-bunyi - dan... dan mungkin aku juga."
Jupe dan Pete menunggu.
"Kemarin malam aku mendengar bunyi - yah, seperti ada orang tertawa. Aku bangun, lalu turun ke bawah. Pintu depan terkunci rapat, persis seperti keadaannya sewaktu kami semua pergi tidur. Kunyalakan lampu-lampu ruang duduk. Semua kelihatannya seperti biasa. Karenanya aku lantas pergi dari situ. Maksudku hendak tidur kembali. Nah, ketika itu timbul perasaan aneh dalam hatiku. Maksudku, seperti apabila kita melihat sesuatu yang nampak samar lewat sudut mata. Aku merasa seperti melihat ada orang masuk ke ruang perpustakaan. Atau bisa juga ada sesuatu yang bergerak di situ. Aku lantas masuk ke ruang perpustakaan, lalu kunyalakan lampu. Tapi tidak ada apa-apa dalam ruangan itu. Ketika aku kembali ke ruang depan, tahu-tahu John sudah ada di situ dengan mantel mandinya. Ia menggenggam pisau daging. Aku... kusangka ia sinting! Habis, air mukanya, begitu aneh. Ditambah lagi pisau panjang yang ada di tangannya. Aku ketakutan setengah mati ketika melihatnya seperti itu!"
"Lalu?" kata Jupe.
"Karena bingung, aku hanya bisa mengatakan, 'He!' Ia membalas, 'Ah, kau rupanya.' Kami berdua sama-sama berdiri di situ, saling berpandangan. Lalu kami sama-sama mendengar bunyi itu. Suara orang tertawa. Datangnya dari dalam ruang perpustakaan, di mana cermin Chiavo tergantung. John langsung melesat masuk ke dalam. Tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa di situ. Yang ada cuma keempat dinding, buku-buku yang banyak - dan cermin itu."
Pete mengusap-usap dagunya.
"Maksudmu, kaurasa cermin itu mungkin berhantu?" tanyanya.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku tidak percaya rumah Nenek ada hantunya, walau kata orang memang begitu. Jika dibilang perasaan kita tidak enak kalau ada di dalamnya, aku setuju. Tapi baik Nenek maupun John, begitu pula aku dan Jean - kami semua belum pernah mengalami kejadian aneh di situ. Aku dan Jean, setiap musim panas selalu datang dari Chicago, untuk menjenguk Nenek."
"Rumah itu menarik," kata Jupiter Jones. "Aku pernah membaca beberapa artikel mengenai rumah itu. Drakestar, ahli sulap terkenal itu yang membangunnya, setelah ia tidak lagi tampil di pentas. Drakestar gemar mendalami hal-hal gaib. Ia biasa mengadakan pertunjukan di rumahnya itu, untuk sahabat-sahabatnya. Ia meninggal dunia dua belas
tahun yang lalu, dan orang-orang yang kemudian membeli rumahnya mengatakan bahwa hantunya beberapa kali muncul di situ."
"Orang-orang itu mendengar bunyi-bunyi yang tidak tentu asalnya, di malam hari," kata Jeff. "Tapi selama Nenek tinggal di sana - sudah sepuluh tahun - ia belum pernah mendengar apa-apa. Menurut pendapatnya, hanya perasaan orang-orang itu saja yang menyebabkan mereka merasa mendengar sesuatu. Tapi sekarang, John mendengarnya, dan aku juga. John tidak percaya pada hantu. Tapi ia tetap saja gugup karenanya. Katanya padaku, sekarang ia selalu membawa pisau kalau masuk ke tempat tidur, untuk berjaga-jaga. Aku dilarangnya mengatakan apa-apa tentang hal ini pada Nenek. Ia tidak ingin ketenangan Nenek terganggu. Tapi kurasa, nenekku juga mendengar bunyi-bunyi aneh."
"Ia mengatakan apa-apa padamu?" tanya Pete.
"Tidak. Tapi setelah bercakap-cakap sebentar dengan John, aku kembali ke kamar, lalu tidur lagi. Beberapa waktu kemudian, aku terbangun untuk kedua kalinya. Kudengar bunyi pintu kamar Nenek terbuka. Aku lantas menjenguk ke luar. Kulihat Nenek berdiri di ujung atas tangga, memandang ke bawah. Ia terkejut ketika kusapa. 'Ada apa?' tanyaku. Ia menjawab bahwa ia merasakan hembusan angin, lalu aku disuruhnya tidur lagi. Nah - nenekku itu, bukan kebiasaannya merasa terganggu oleh hembusan angin, atau hal-hal seperti itu. Karenanya kurasa ia pun mendengar sesuatu di bawah."
"Bagaimana sikapnya saat itu? Ketakutan, barangkali?" tanya Jupiter Jones.
"Aku tidak tahu. Nenek tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku tahu bahwa sebelum itu aku mendengar sesuatu. Dan kurasa Nenek juga mendengarnya. Sebelumnya tidak pernah terjadi hal-hal aneh, jadi tidak mungkin itu hantu Drakestar, melainkan ada hubungannya dengan cermin Chiavo. Kalian kan detektif. Bisakah kalian mengadakan pengusutan, untuk memperoleh keterangan lebih banyak tentang cermin itu? Nenek tidak tahu banyak - hanya apa yang diceritakan temannya saja."
"Janda Manolos?" tanya Jupiter.
Jeff mengangguk.
"Ketika Nenek masih gadis remaja, ia bersekolah di suatu perguruan yang ada asramanya. Di situ ia berkenalan dengan seorang gadis yang berasal dari Ruffino, sebuah negara pulau yang kecil, tidak jauh dari pesisir Amerika Selatan. Penduduk negara itu - tentu saja yang kaya - ada yang menyekolahkan anak-anak mereka ke Amerika Serikat. Setelah tamat, gadis teman Nenek itu pulang ke tanah airnya, dan kemudian ia menikah dengan Manolos. Nenek masih terus berhubungan dengan temannya itu - bahkan beberapa kali datang menjenguk ke Ruffino. Nenek tidak suka pada Manolos, yang menurut dia bukan orang baik. Manolos bersikap jahat terhadap istrinya, sahabat Nenek. Walau begitu kedudukannya semakin menanjak, dan akhirnya diangkat menjadi penasihat presiden negara itu. Ketika Manolos meninggal dunia sebulan yang lalu, istrinya, Senora Manolos, mengirimkan cermin itu sebagai hadiah pada Nenek. Kami tahu, cermin itu dibeli Manolos di Spanyol, dan menurut kata orang, Chiavo dulu menggunakannya untuk menghubungi trasgos, atau hantu-hantu tanah yang jelek-jelek itu. Tapi hanya itu saja sebenarnya yang kami ketahui."
"Selama ini kami tidak tinggal diam," kata Jupiter menimpali, "dan mungkin tidak lama lagi akan lebih banyak yang bisa kami katakan tentang Chiavo serta cermin itu. Aku dan Bob beberapa hari ini sibuk mengumpulkan keterangan tentang orang itu. Di perpustakaan Rocky Beach, kami tidak menemukan apa-apa mengenai dirinya. Begitu pula di perpustakaan U.C.L.A.(University of California, Los Angeles) dan di perpustakaan besar di Los Angeles. Tadi pagi Bob pergi ke Universitas Ruxton. Di sana ada seorang guru besar antropologi. Namanya Dr. Barrister. Disamping guru besar, ia juga punya kegemaran mengumpulkan cerita tentang peristiwa-peristiwa gaib. Berkat pertolongannya, kami berhasil menyelesaikan suatu kejadian yang sangat misterius yang bertalian dengan ular kobra yang menyanyi. Mungkin ada yang diketahuinya mengenai Chiavo. Jika Bob sudah kembali..."
"Aku sudah kembali." Tahu-tahu Bob sudah muncul di bengkel itu. Ia menyandarkan sepedanya ke pagar yang membatasi tempat itu. "Dan nampaknya, tepat pada waktunya, ya! Hai, Jeff."
"Ada yang berhasil kauketahui?" kata Jupiter ingin tahu.
"Itu sudah pasti! Universitas Ruxton benar-benar hebat. Teman kita yang dari jurusan antropologi itu pernah menulis beberapa makalah tentang cermin Chiavo. Menurut kisah-kisah lama tentang dirinya, Chiavo itu dianggap penyihir yang luar biasa kemampuannya. Dan cerminnya benar-benar ajaib. Legenda mengenai Chiavo juga mengatakan bahwa orang itu belum mati, melainkan tahu-tahu menghilang. Ia masuk ke dalam cermin, pergi ke tempat tinggal hantu-hantu tanah. Seperti yang dikatakan Senor Santora."
Setelah itu mereka sama-sama membisu, merenungkan legenda tentang seorang penyihir zaman dulu yang dikatakan sampai sekarang masih hidup di dunia asing yang penghuninya bukan manusia. Tiba-tiba sinar matahari menghilang. Pete tergugah dari renungannya, lalu memandang langit.
"Kurasa sebentar lagi akan ada badai," katanya, entah apa sebabnya, ia berbicara dengan suara berbisik.
Tiba-tiba bola lampu yang tergantung di atas mesin cetak menyala berkedip-kedip.
"Nah!" kata Jupiter Jones. Tangannya menggapai terali yang tersandar ke sebuah meja bengkel di dekat mesin cetak, lalu menyeretnya ke samping.
Setelah itu ia menyusup masuk ke dalam sebuah pipa besar dari besi berombak, yang semula tertutup terali. "Ada apa...?" kata Jeff dengan heran.
Bob menuding lampu yang sementara itu tidak berkedip-kedip lagi.
"Itu tadi tanda bahwa ada yang menelepon ke markas. Jupe masuk lewat Lorong Dua, untuk menerimanya. Tahukah nenekmu bahwa kau ada di sini?" "Adikku tahu," kata Jeff.
"Kalau begitu, mungkin dia yang menelepon. Yuk, ikut!"
Sambil merangkak, Jeff mengikuti Bob dan Pete masuk ke dalam pipa besar itu, yang dilapisi potongan-potongan permadani. Di ujung pipa terdapat sebuah tingkap yang terpasang di lantai markas Trio Detektif. Ketika ketiga remaja
menyusul masuk, mereka melihat Jupiter Jones berdiri di samping meja kantor, sambil mendekatkan gagang telepon ke telinga.
"Kapan kejadiannya?" tanya Jupe pada orang yang menelepon.
Jeff memandang berkeliling. Kantor di dalam karavan itu nampak sesak, tapi rapi. Kecuali meja, kursi-kursi, serta lemari-lemari arsip, Jeff melihat bahwa di situ juga ada sebuah mikroskop, dan semacam peralatan elektronik yang dibuat sendiri oleh Jupiter untuk keperluan penyelidikan.
"Menurutku, keputusanmu tepat," kata Jupiter lewat telepon. "Kami akan bekerja sebaik mungkin! Sementara itu kunci semua pintu."
Jupiter meletakkan gagang telepon.
"Ada apa?" tanya Bob.
Jupiter memandang Jeff, yang berdiri di belakang Bob.
"Itu tadi adikmu," katanya. "Kira-kira lima belas menit yang lalu ia pulang dari berbelanja bersama nenek kalian. Keduanya langsung naik ke atas. Kemudian mereka mendengar suara orang tertawa di bawah, di ruang perpustakaan. Adik dan nenekmu dengan segera menuruni tangga, untuk memeriksa. Sampai di pertengahan tangga, ketika mereka memandang ke ruang perpustakaan, mereka melihat seseorang di dalam cermin. Orang itu pucat sekali wajahnya. Rambutnya putih dan panjang, sedang matanya hijau menyala."
"Itu Chiavo!" kata Jeff.
"Mrs. Darnley ingin agar diadakan pengusutan mengenai hal itu, dan Trio Detektif yang diminta melakukannya. Setengah jam lagi Worthington sudah akan sampai di sini, untuk menjemput kita!"

Bab 5
PERINGATAN BERIKUT

TIDAK sampai setengah jam kemudian, Worthington sudah sampai di kompleks perusahaan barang bekas itu. Begitu anak-anak sudah naik, dengan laju dipacunya Rolls-Royce antik berwarna hitam mengkilat itu kembali ke rumah Mrs. Darnley.
"Mobil ini harus kukembalikan ke perusahaan," kata Worthington pada anak-anak, sambil mempersilakan mereka turun. "Setelah itu aku langsung pulang ke rumah. Telepon saja nanti, kalau memerlukan bantuanku."
"Baiklah, terima kasih," kata Jupiter. Setelah itu ia, Bob, dan Pete, menyusul Jeff yang sementara itu sudah berjalan ke pintu depan. Sebelum bel sempat ditekan, Jean sudah datang membukakan. Mereka masuk beramai-ramai. Mrs. Darnley duduk di sebuah kursi kecil di ruang depan. Ia memandang ruang perpustakaan dengan wajah tegang. Air mukanya pucat. Wanita itu tetap duduk, ketika pintu depan dikunci kembali oleh Jean.
"Aku tidak sanggup memaksa diri masuk ke sana," kata wanita itu, "tapi aku yakin tidak ada yang keluar."
"Anda terus mengamati pintu itu, sejak Anda melihat sesuatu dalam cermin Chiavo itu?" tanya Jupe.
"Mataku tak sekejappun lepas dari situ," kata Mrs. Darnley. Ia menyentuh rambutnya. Anak-anak melihat bahwa tangannya agak gemetar.
"Setelah menelepon kalian, kuambilkan kursi untuk Nenek. Lalu kuperiksa semua pintu dan jendela," kata Jean.
"Mana John?" tanya Pete.
"Ini hari bebas tugas baginya," jawab Jeff.
"Jadi rumah ini kosong sewaktu Anda pergi berbelanja tadi, Mrs. Darnley?" tanya Jupe.
"Betul! Kosong, dan terkunci semuanya. Pintu-pintu dengan kunci gerendel, sedang jendela-jendela diamankan dengan palang. Tidak satu pun menampakkan bekas diutik-utik. Tidak ada yang bisa masuk kemari. Tidak seorang pun! Dan aku tahu pasti, semua pintu terkunci sewaktu kami berangkat tadi. John pergi bersama-sama dengan kami. Aku melihatnya mengunci pintu-pintu. Setelah itu semuanya diperiksa lagi oleh Jean, untuk memastikan bahwa tidak ada yang kelupaan."
"Mungkinkah John kemudian kembali lagi, dan tidak begitu cermat ketika mengunci kembali?" kata Jupiter.
"Itu tidak mungkin. Beberapa murid belajar gitar yang sekelas dengan John hari ini akan mengadakan konser di Ebell Club. John akan tampil sebagai pemain tunggal. Ia kami turunkan di sana, dalam perjalanan ke Westwood."
Jupiter masuk ke ruang perpustakaan. Sesaat Mrs. Darnley kelihatan seperti sangsi. Tapi kemudian ia berdiri, lalu ikut masuk.
Ruangan itu nyaris gelap pekat. Di luar cuaca sudah berubah menjadi gelap, lagi pula gorden-gorden tebal ditarik menutupi jendela-jendela. Jupiter melihat bayangan dirinya di dalam cermin. Dinyalakannya lampu duduk yang ada di atas sebuah meja. Setelah itu ia memandang berkeliling. Bob dan Pete menyusul masuk, sementara Jean berdiri dengan sikap sangsi di ambang pintu. Ruangan itu kelihatannya sama saja seperti seminggu sebelumnya. Tidak ada sesuatu yang berubah letak.
"He, Jean," kata Jupiter, "di manakah kau tadi ketika melihat bayangan dalam cermin itu? Ingat tidak, di mana persisnya kau sedang berada saat itu?"
"Tentu saja aku ingat." Jean memutar tubuh melangkah pergi, lalu menaiki tangga. Sekitar delapan jenjang lagi dari ujung atasnya, ia berhenti. Keningnya berkerut. "Di sini," serunya dari atas. "Aku tadi di sini, sedang Nenek satu atau dua jenjang di bawahku."
"Baiklah. Tetap saja di situ sebentar." Jupe mundur ke sudut yang jauh di ruangan perpustakaan itu, sambil terus memandang ke cermin. Ketika ia sampai di tempat dari mana ia bisa melihat sosok tubuh Jean terbayang dalam cermin, ia berseru, "Kau bisa melihat aku?"
"Ya, lewat cermin," balas Jean dari atas tangga.
"Mungkin begitu kejadiannya tadi," kata Jupe pada Mrs. Darnley. "Jika ada orang berdiri di tempat saya sekarang ini. Anda berdua sewaktu menuruni tangga akan bisa melihat bayangannya - yang nampak seolah-olah berada di dalam cermin. Ruangan ini lumayan gelapnya, karena tirai-tirai ditutup semua. Anda tadi melihatnya dengan jelas?"
Mrs. Darnley memejamkan mata, seakan-akan tidak ingin mengingatnya.
"Jelas sekali," katanya. "Ia... yah, ia seakan-akan bersinar. Kemilau!"
"Pintu rahasia!" seru Bob. "Pasti ada jalan yang tersembunyi untuk meninggalkan ruangan ini!" "Kecuali... kecuali jika tadi itu benar-benar hantu," kata Pete. Ia bergidik.
Anak-anak mulai memeriksa, mencari-cari jalan rahasia yang mungkin ada. Pete dan Jeff melipat karpet, lalu meneliti lantai. Setiap celah dikorek-korek dengan pisau dapur. Bob dan Jupe memindahkan buku-buku dari rak-rak, lalu mengetuk-ngetuk dinding di belakangnya.
"Kelihatannya sama sekali tidak ada rongga di belakang sini," kata Bob.
Kening Jupe berkerut. Ia menuding dinding yang berseberangan dengan cermin.
"Ada apa di balik ruangan ini?" tanyanya.
"Tidak ada apa-apa," kata Mrs. Darnley. "Itu dinding sebelah luar. Di belakangnya terdapat lereng bukit yang naik ke atas. Sebagian dari dinding yang kautuding itu letaknya di bawah permukaan tanah. Itu sebabnya di situ tidak ada jendela sama sekali. Sama halnya dengan dinding di sebelah utara ruang duduk."
"Hmm!" Jupiter menarik-narik bibir bawahnya, lalu kembali mengetuk-ngetuk dinding. "Tapi itu mustahil," katanya, berbicara pada diri sendiri.
Semua yang ada di situ terkejut, ketika tiba-tiba terdengar deringan bel pintu depan.
Jean bergegas keluar, untuk melihat siapa yang datang. Mrs. Darnley dan anak-anak di ruang perpustakaan mendengar anak itu agak repot membuka kunci-kunci yang mengamankan pintu. Setelah itu terdengar suaranya. "Ah - Anda rupanya."
Hampir seketika itu juga Senor Santora masuk dengan terburu-buru ke ruang perpustakaan, diikuti oleh Jean yang nampak marah.
"Saya tadi tidak mempersilakan Anda masuk!" tukasnya.
Senor Santora memandang Jupe dan ketiga anak laki-laki lainnya yang ada di situ dengan tampang masam, lalu melirik sekilas ke arah karpet yang dibalikkan, serta tumpukan buku di lantai.
"Ah!" kata pria Spanyol itu. Menurut perasaan Jupiter, orang itu mengatakannya dengan nada puas. "Ada perlu apa Anda kemari?" tanya Mrs. Darnley.
"Saya datang untuk melihat apakah cermin saya masih aman di sini. Sementara ini saya masih menunggu dokumen-dokumen dari Spanyol. Tapi ada sesuatu yang terjadi di sini. Saya rasa, ada sesuatu yang membuat Anda sangat terkejut."
"Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di sini," kata Mrs. Darnley dengan suara datar.
"Anda melihat sesuatu," kata pria Spanyol itu berkeras. "Saya rasa, Anda tadi melihat Chiavo. Sudahlah, jangan ditunda-tunda lagi, Senora - nanti terlambat! Melihat Chiavo, berarti peringatan. Lebih baik Anda berikan saja cermin itu pada saya."
"Jika Anda bisa membuktikan bahwa Anda pemiliknya yang sah," kata Mrs. Darnley, "saya akan menyerahkannya pada Anda."
"Terserah, kalau begitu." Ia mengeluarkan sebuah notes kecil, lalu menuliskan sesuatu di situ dengan pensil bergagang perak. Kemudian disobeknya halaman notes yang baru saja ditulisinya dan disodorkannya pada Mrs. Darnley. "Mungkin saja pikiran Anda nanti berubah," katanya. "Jika begitu, harap telepon saya di hotel. Saya menginap di Beverly Sunset - kalau Anda mungkin lupa. Itu nomor teleponnya."
Ia membungkuk, lalu keluar lagi. Jean cepat-cepat mengunci pintu depan, begitu orang itu sudah pergi.
"Ia tahu!" kata Mrs. Darnley. "Ia tahu kita tadi melihat bayangan itu dalam cermin. Bagaimana ia bisa tahu?"
"Mungkin ia tahu, tapi bisa juga ia cuma menerka-nerka saja, Mrs. Darnley," kata Jupiter Jones. "Tapi yang jelas, ia pasti sadar bahwa ada sesuatu yang terjadi di sini. Karena kalau bukan begitu, untuk apa kita mengacak-acak ruangan ini?"
Mrs. Darnley memandang sekilas ke arah kertas catatan yang ada di tangannya, di mana tertulis nomor telepon yang diberikan Santora.
"Lumayan juga banyaknya sewa hotel yang harus dibayar Senor Santora, hanya karena menginginkan cerminku ini. Beverly Sunset bukan hotel murah. Temanku, Emily Stonehurst, dulu suka menginap di situ."
"Saya rasa, saya tahu hotel itu," kata Jupe. "Tempatnya di bagian selatan Sunset Boulevard, kan? Sedikit ke barat dari Sunset Strip?"
"Betul. Di pojok Sunset dan Rosewood."
"Bob dan Pete," kata Jupe, "kata Worthington tadi, ia ada di rumah, jika kita memerlukan bantuannya. Coba tolong telepon dia sebentar. Minta tolong padanya untuk mengantarkan kalian berdua ke hotel itu, supaya kalian bisa mengamat-amati Senor Santora. Hotel itu, kecuali pintu masuk di depan, masih memiliki pula pintu untuk karyawan dan pelayan. Jadi perlu dua orang menjaga di sana."
"Beres! Lega hatiku, bisa pergi dari sini," kata Pete cepat-cepat.
"Kalau begitu kutelepon saja dulu ibuku, untuk mengatakan bahwa aku malam ini akan pulang agak lambat," kata Bob. "Lalu apa yang akan kaulakukan, Jupe, sementara kami mengamat-amati gerak-gerik Senor Santora?"
Penyelidik remaja bertubuh gempal itu meraba-raba ukiran aneh yang menghiasi bingkai cermin misterius itu.
"Pertama-tama aku akan mengembalikan buku-buku ini ke tempat semula, bersama Jeff," katanya. "Setelah itu kami menunggu. Aku ingin tahu apakah hantu Chiavo akan muncul lagi nanti, sementara kalian berdua mengamati Santora."

Bab 6
PETE MENGHADANG BAHAYA

DALAM perjalanan ke Beverly Hills, Bob, Pete, dan Worthington hanya mampir sebentar di sebuah kios, untuk makan hamburger. Ketika mereka sampai di depan hotel yang bernama Beverly Sunset, hari sudah senja. Awan mendung bertumpuk-tumpuk di langit, di sebelah utara perbukitan. Hotel yang mereka datangi itu sebuah bangunan bertingkat empat yang keren, terbuat dari batu bata. Satu blok penuh di Sunset Boulevard ditempati oleh bangunan itu sendiri.
"Kelihatannya mahal," kata Pete.
Worthington memarkir mobil Ford-nya di blok sebelah hotel itu, di seberang jalan raya.
"Tempat itu memang populer," katanya. "Aku sudah beberapa kali mengantar tamu-tamu yang menginap di situ. Beverly Sunset bukan hotel biasa seperti yang lain-lainnya. Tidak banyak tamu dari luar kota menginap di situ. Di antara tamu-tamunya ada yang menetap di situ. Mereka itu orang-orang yang tidak ingin direpotkan segala urusan yang bertalian dengan pemilikan rumah."
"Kurasa bisa dikatakan bahwa Senor Santora bukan orang yang kekurangan uang," kata Bob.
"Itu dia!" kata Pete.
Tanpa keluar dari mobil, mereka bertiga mengamati dengan cermat, sementara pria necis dari Spanyol itu keluar dari hotel. Ia berdiri sebentar sambil mendongak memandang awan mendung, serta mendengarkan bunyi guruh di kejauhan. Kemudian ia berpaling, lalu mulai berjalan ke arah yang berlawanan dengan tempat mobil Ford diparkir. Ia berjalan dengan santai menyusur trotoar, dengan tangan di saku.
Kening Worthington berkerut.
"Bagaimana ya - apakah aku nekat saja, memutar kembali di sini?" katanya. Sebagai sopir teladan, tidak enak perasaannya membayangkan kemungkinan harus melanggar peraturan lalu lintas.
Sementara itu Senor Santora berhenti berjalan, lalu mengamat-amati jendela pajangan dari sebuah toko bunga. Kemudian meneruskan langkahnya lagi, berjalan santai sejauh beberapa ratus meter. Lalu berhenti lagi, memandang ke balik jendela pajangan sebuah toko alat-alat lukis. Kemudian masuk ke toko itu.
"Kurasa ia tidak bermaksud ke mana-mana," kata Pete. "Mungkin ia cuma iseng saja, mengisi waktu luang."
"He!" seru Bob tiba-tiba. "Lihat - itu, di sudut sana!"
Seorang lelaki kurus berpakaian agak kusut berwarna hitam muncul dari balik tikungan yang ditunjuk Bob. Orang itu bergegas-gegas menuju pintu masuk ke hotel.

... dibuntuti, ia berhenti lalu berlutut, pura-pura membetulkan ikatan sepatu. "Sayang, Sir," kata pegawai hotel, "Senor Santora sedang keluar."
"Kalau begitu saya tinggalkan saja pesan untuknya," kata lelaki berpakaian hitam itu. "Bolehkah saya minta kertas sedikit?"
"Tentu saja, Sir."
Pete berdiri lagi. Dilihatnya orang yang dibuntutinya itu sibuk menulis di meja penerimaan tamu. Pete memandang jam yang tergantung di dinding, di belakang meja itu, mencocokkan dengan arlojinya. Setelah itu ia pergi ke salah satu sofa dan duduk di situ, membelakangi meja penerimaan tamu.
"Nah - nanti tolong berikan surat ini pada Senor Santora, ya," kata lelaki berpakaian hitam itu.
"Baik," kata pegawai hotel yang bertugas di meja.
Pete memalingkan kepala dengan berhati-hati, memandang ke arah meja penerimaan tamu. Lelaki kurus berpakaian hitam itu masih ada di sana, berdiri membelakangi Pete. Pete melihat pegawai hotel menyelipkan secarik kertas yang dilipat ke sebuah celah bernomor yang terdapat di belakang meja. Nomor celah itu 426.
Kemudian pegawai itu membalikkan tubuh lagi, menghadapi tamu bertubuh kecil kurus itu sambil mengangkat alis, seolah-olah bertanya apakah masih ada urusan lain.
"Surat itu sangat penting," kata lelaki kurus itu.
"Saya akan berjaga-jaga - begitu Senor Santora datang, surat Anda akan langsung saya serahkan," kata pegawai hotel berjanji.
Saat itu terdengar dering telepon di belakang meja.
"Maaf," gumam pegawai hotel, lalu berpaling untuk mengangkat gagang telepon.
Lelaki kurus itu pergi dengan diam-diam, menyelinap masuk ke sebuah lorong yang ada di balik suatu tikungan di mana ada papan penunjuk tempat lift. Sesaat kemudian Pete mendengar bunyi pintu lift tertutup, disusul dengungan lift yang mulai bergerak. Rupanya tamu Senor Santora tidak berniat mengandalkan diri pada janji pegawai hotel, bahwa pesannya akan disampaikan! Tapi dengan segera timbul dugaan dalam hati Pete, bahwa bisa saja pesan itu cuma siasat saja. Siasat agar pegawai hotel memasukkan sesuatu ke kotak surat tamu, sehingga dengan begitu bisa diketahui nomor kamar yang ditempati Santora.
Hanya sesaat saja Pete sangsi. Ia berdiri, lalu berjalan dengan langkah lambat. Melewati meja penerimaan tamu, membelok, dan masuk ke lorong tempat lift.
Ada dua lift di situ, serta tangga yang dibatasi dengan pintu pengaman yang terbuat dari baja tebal. Pete tertegun lagi. Otot-otot perutnya terasa mengejang. Tapi kemudian dibukanya pintu pengaman itu, lalu didakinya tangga dengan terburu-buru. Setiap langkahnya melewati dua jenjang sekaligus. Ketika sampai di lantai empat, dibukanya sedikit pintu pengaman yang ada di situ. Dengan perasaan gugup, ia mengintip ke dalam lorong yang ada di depannya.
Lantai di situ ternyata juga dihampari karpet tebal dan mewah, seperti di ruang bawah. Pete melihat meja-meja kecil dan rendah berjejer-jejer pada jarak tertentu merapat ke dinding lorong, dengan jambangan bunga segar yang
semarak di atasnya. Ia juga melihat pintu-pintu, berjejer-jejer di sepanjang lorong. Tapi lelaki kurus berpakaian hitam tadi tidak dilihatnya ada di situ.
Pete memasuki lorong itu, lalu menyusurnya sampai ke pintu Kamar 426. Ia benar-benar bingung saat itu. Mungkinkah lelaki tadi masuk ke kamar Santora? Mungkinkah ia berniat hendak mencuri? Atau mungkin hendak menunggu di situ sampai Santora kembali? Pete tidak tahu apa yang harus diperbuat. Perlukah ia mencari bantuan?
Pete memandang ke kanan dan ke kiri, di sepanjang lorong. Tidak ada pesawat telepon di situ. Yang ada cuma karpet tebal, meja-meja berhiaskan bunga-bunga yang ditata semarak, dan pintu. Pintu demi pintu, yang semuanya tertutup. Apakah sebaiknya ia lari saja ke bawah lagi, untuk memberi tahu pegawai hotel yang bertugas di meja penerimaan tamu?
Sekali lagi Pete membayangkan apa yang mungkin akan dilakukan Jupiter pada saat seperti Itu. Akan larikah Jupiter, kembali ke lobi di bawah? Tidak, kata Pete dalam hati. Jupe akan tetap di situ untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lelaki berpakaian hitam itu masih selalu bisa dibuntuti lagi, jika ia nanti ternyata pergi sebelum Santora kembali. Dan jika Santora sudah datang sebelum lelaki itu pergi - nah, kalau begitu mungkin nanti akan terjadi hal-hal menarik.
Tapi Pete merasa bahwa ia tidak boleh terlalu lama di lorong itu. Jika salah satu pintu kamar terbuka -jika salah seorang tamu hotel muncul di lorong - orang itu pasti akan bertanya, kenapa ia ada di situ. Jadi ia harus meninggalkan lorong.
Hampir tepat di seberang kamar Santora ada pintu yang tidak bernomor. Pete memutar tombol pintu itu. Ternyata tidak terkunci. Dibukanya pintu itu dengan cepat. Seketika itu juga bau lembab menghambur ke luar bercampur bau bahan pengilap. Ternyata itu bilik tempat penyimpanan bahan-bahan pembersih ruangan.
"Mujur," kata Pete pada dirinya sendiri, lalu masuk ke dalam bilik kecil itu dengan berhati-hati, agar tidak menjatuhkan sapu-sapu atau alat pengepel yang disandarkan ke dinding, atau tersandung alat pengisap debu. Pintu ditutupnya kembali, tapi dibiarkannya terbuka secelah. Sambil bersandar ke sebuah rak tempat menaruh sabun serta bahan-bahan pengilap perabot, ia mengintip ke luar lewat celah yang dibiarkannya terbuka. Pete nyengir puas, karena ternyata bisa melihat pintu kamar Santora dengan cara begitu. Dan jika pintu itu dibuka, ia akan bisa melihat ke dalam kamar itu.
Pete menunggu tanpa bergerak-gerak. Ia mendengar bunyi guntur di luar.
Terdengar bunyi dengungan lift yang bergerak di ujung lorong. Sesaat kemudian bunyi itu berhenti. Pete mendengar bunyi pintu bergeser, disusul langkah samar di atas karpet empuk. Ada orang berjalan mendekat. Laki-laki, kalau ditilik dari bunyi langkahnya yang berat. Pete mendengar gumaman dalam bahasa Spanyol. Kemudian dilihatnya Senor Santora melintas di depan pintu bilik tempatnya mengintip. Orang Spanyol itu berhenti di depan Kamar 426, lalu menyelipkan anak kunci ke dalam lubang di pintu.
Pintu bilik dibuka sedikit lebih lebar oleh Pete. Ia tidak ingin ada sesuatu yang terlepas dari pengamatan.
Dengan kening berkerut, Santora memutar anak kunci yang dipegangnya sebanyak dua kali, lalu membuka pintu kamar. Setelah melangkah masuk, pintu ditutupnya kembali. Pete menyelinap keluar dari tempat persembunyiannya, menghampiri pintu Kamar 426. Maksudnya hendak menempelkan telinga ke situ, untuk mendengarkan pembicaraan yang mungkin terjadi di dalam. Tapi tahu-tahu didengarnya sesuatu yang menyebabkan ia kaget setengah mati. Ia mendengar bunyi pukulan, disusul bunyi orang yang roboh ke lantai!
Pintu kamar Santora terbuka. Sekejap lamanya Pete bertatapan mata dengan lelaki yang berpakaian hitam.
"Kau!" sergah orang itu, lalu bergerak dengan cepat untuk menerjang Pete.
Pete mengelak. Gerak terjangnya yang cepat mengakibatkan orang itu terdorong melewati Pete, dan membentur dinding seberang. Pete mendapat kesan seolah-olah tubuh orang itu memantul kembali - begitu kerasnya benturan yang terjadi. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, lelaki itu sudah lari menuju tangga di ujung lorong. Pete melihat bahwa di tangan orang itu ada sesuatu yang kusut, berwarna putih.
Pete melompat, menerjang tungkai lelaki itu. Berhasil! Lelaki itu jatuh terjerembab. Barang berwarna putih yang dipegangnya terpental. Orang itu menendang, meronta, dan akhirnya berhasil memukul ubun-ubun Pete dengan tangannya yang terkepal.
Sesaat Pete pusing karena pukulan itu. Lelaki lawannya cepat-cepat bangkit, lalu lari. Terdengar pintu baja di depan tempat tangga terbanting dengan keras.
Pete berhasil tegak kembali, dengan badan gemetar. Ia menyandar ke dinding lorong. Matanya berkunang-kunang. Ketika penglihatannya sudah biasa lagi, nampak olehnya barang putih yang tadi dibawa lelaki tak dikenal itu. Barang itu tergeletak di tepi karpet, dekat dinding. Pete memungutnya, nyaris tanpa berpikir lagi, lalu mengantunginya.
Setelah itu ia kembali ke Kamar 426. Pintu kamar terpentang lebar. Pete melihat Senor Santora terkapar di lantai. Darah menetes dari belakang telinga ke leher, membasahi kerah kemejanya.
"Astaga!"
Pete bergegas menghampiri Santora, lalu berlutut di dekatnya. Jari-jarinya meraba pergelangan tangan orang itu untuk memeriksa apakah masih berdenyut. Ia menarik napas lega, ketika terasa denyutan di ujung jarinya. Santora tidak mati, walau mungkin cedera berat.
Di atas meja ada pesawat telepon, di tengah kertas-kertas yang terserak ke luar dari sebuah aktentas yang terbuka. Pete mengangkat gagang telepon.
"Ya?" terdengar suara ramah pegawai hotel yang melayani hubungan telepon.
"Senor Santora mengalami cedera," kata Pete buru-buru. "Tolong panggilkan polisi dengan segera. Dan juga dokter!"
Pegawai itu kaget setengah mati. Sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, Pete sudah memutuskan hubungan. Dikembalikannya gagang telepon ke tempatnya. Dilangkahinya Santora yang terkapar di lantai, lalu lari ke luar, menuju tangga di ujung lorong. Sementara ia sedang menuruninya, didengarnya bunyi lift datang dari bawah.
Pete sampai di lantai satu. Ia melangkah ke lorong. Ia memaksa diri berjalan dengan tenang, melintasi ruang depan hotel. Suasana di situ tetap kelihatan tenang. Tapi pegawai penerima tamu tidak ada di tempatnya.
Pete meninggalkan hotel. Sementara itu di luar sudah gelap. Hujan sudah mulai turun. Bunyi guruh bergulung-gulung. Kilat sambar-menyambar di atas perbukitan. Pete berjalan bergegas-gegas, membungkuk untuk melindungi diri dari lecutan hujan. Ketika lampu lalu lintas di sudut jalan menyala hijau, ia lari ke mobil di mana Worthington dan Bob menunggu selama itu. Dengan cepat Pete membuka pintu, lalu meloncat masuk dan duduk di jok belakang.
"Ada apa?" tanya Bob. "Kami tadi melihat Santora kembali ke hotel. Berjumpakah dia dengan lelaki itu?"
Pete tidak langsung menjawab. Ia menekur, menatap kedua tangannya yang gemetar.
"Ada apa sih?" tanya Bob sekali lagi.
"Kau... kau tadi melihat penjahat itu keluar?" tanya Pete. Suaranya bergetar. "Tidak. Lho, bukannya ia masih di tempat Santora?" Pete menggeleng.
"Lelaki kecil itu... kalau begitu ia pasti lari lewat pintu untuk pegawai," katanya. "Aku... aku sudah memberi tahu hotel."
"Apakah yang terjadi di dalam, Pete?" tanya Worthington.
Saat itu terdengar bunyi sirene mengaung-ngaung. Sebuah mobil polisi meluncur laju di tengah keramaian lalu lintas, lalu berhenti di depan hotel.
"Maling itu berusaha membunuh Santora," kata Pete. "Setidak-tidaknya, orang Spanyol itu dipukulnya sampai pingsan. Setelah itu aku tidak lagi menunggu lama-lama di atas. Aku... aku tidak berani. Bayangkan bagaimana jadinya, jika aku ditemukan di kamar itu. Darah Santora mengucur!"

Bab 7
HANTU DALAM CERMIN

SETELAH Bob dan Pete pergi bersama Worthington dari tempat kediaman Mrs. Darnley, Jupiter Jones memeriksa semua jendela dan pintu gedung besar itu, untuk memastikan bahwa tidak ada yang tidak terkunci. Ia memeriksa dari kamar ke kamar, yang semuanya remang-remang. Dipaksanya dirinya bersikap tidak mengacuhkan perasaan bahwa ada yang bergerak-gerak di sekelilingnya - seolah-olah rumah tua itu hidup, berdenyut-denyut menyeramkan. Berulang kali ia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa kesan hidup itu disebabkan oleh cermin yang ada di mana-mana - dan yang bergerak-gerak itu bayangannya sendiri di dalam cermin-cermin itu.
Akhirnya ia kembali ke ruang perpustakaan. Jupe memasang telinga. Didengarnya suara Jean dan Mrs. Darnley di dapur, di balik rumah. Terdengar dentingan piring-piring yang diletakkan ke meja. Terdengar bunyi pintu lemari pendingin ditutup, serta dengung kipas angin penyedot uap masakan yang terpasang di atas oven. Semuanya bunyi-bunyi yang biasa terdengar sehari-hari, bunyi yang sebenarnya membuat tenang perasaan. Tapi di rumah itu kedengarannya janggal, di mana ada seseorang - atau sesuatu - muncul dan menghilang dengan seenaknya. Dan itu terjadi di dalam gedung berdinding kokoh, sementara semua pintu dan jendela terkunci rapat, diamankan dengan gerendel, palang, dan terali besi.
Guruh terdengar di kejauhan, di sebelah utara. Jupiter melihat bayangan muncul di cermin hantu. Tapi itu cuma Jeff, yang saat itu masuk ke ruang perpustakaan.
"Malam ini hari cepat gelap," katanya.
"Ya," kata Jupe, "kecuali jika hujan tidak jadi turun."
Dari air muka Jeff nampak bahwa perasaannya sedang tegang.
"Kusangka di California tidak pernah hujan kalau sedang musim panas," katanya. Terdengar jelas bahwa ia memaksa diri untuk berbicara tentang hal-hal yang biasa. "Memang jarang," kata Jupiter Jones.
"Nenek sudah menyiapkan makan malam," kata Jeff lagi. "Kita nanti makan di dapur. Di sana sama sekali tidak ada cermin. Kurasa saat ini Nenek tidak ingin melihat cermin - cermin yang mana pun juga."
Jupe mengangguk. Ia ikut dengan Jeff menyusur gang yang panjang, melewati koleksi cermin Mrs. Darnley yang digantungkan di dinding dengan penataan rapi, masuk ke dapur yang lapang dan terang. John Chan baru besok pagi pulang. Pintu yang menghubungkan dapur dengan garasi di luar dihalangi dengan sebuah bufet yang digeserkan ke situ.
Ketika pulang dari berbelanja bersama Jean, Mrs. Darnley memakai gaun musim panas yang tipis. Tapi sementara itu ia sudah menukarnya dengan celana panjang dan kemeja. Busananya itu sederhana saja, tapi walau begitu masih saja nampak sangat mahal. Rambut Mrs. Darnley yang berwarna pirang keperakan disisir lurus ke belakang, dengan konde kedi di pangkal tengkuk.
"Di sini kita takkan melihat hantu," katanya. Diletakkannya piring berisi hidangan telur aduk ke atas meja. "Sekarang kurasa aku boleh mengucap syukur, John dulu tidak mengizinkan aku memasang cermin di dapur."
"Anda kan melihat bayangan aneh cuma di satu cermin saja," kata Jupe mengingatkan. "Dalam cermin Chiavo."
Mrs. Darnley duduk. Saat itu ia nampak lesu dan tua.
"Terkadang sekarang aku merasa seolah-olah semua cerminku berhantu," katanya. "Kalau aku sedang sendiri, jika kalian sedang tidak ada di sini, kadang-kadang aku merasa bahwa aku sendirilah hantu itu."
Jupiter Jones merasa cemas. Jangan-jangan wanita itu sudah begitu dipengaruhi dunia cerminnya, sehingga mulai terlepas dari kehidupan yang sebenarnya!
"Mrs. Darnley," kata Jupe dengan cepat, "sebelum kejadian yang sekarang, pernahkah Anda melihat hantu dalam salah satu cermin yang lain?"
Mrs. Darnley menatapnya. Ia seolah-olah tergugah dari lamunan. Wanita itu tersenyum.
"Tidak, Jupiter, selama ini belum pernah," jawabnya. "Tapi di dalam rumah ini aku begitu sering melihat diriku sendiri mondar-mandir, dan kurasa aku terlalu banyak berpikir tentang mereka-mereka itu - tentang orang-orang bernasib malang yang juga pernah mengaca dalam salah satu cermin-cermin itu. Namun demikian, sebelumnya aku tidak pernah sampai merasa melihat hantu dalam cermin."
"Syukurlah, kalau begitu," kata Jupiter. "Jadi cuma ada satu cermin saja yang perlu diamat-amati - yaitu cermin peninggalan Chiavo. Mungkin cermin itu benar-benar berhantu, Mrs. Darnley atau ada jalan lain untuk masuk ke rumah ini yang tidak Anda ketahui. Atau bisa juga ada orang bersembunyi di sini, di suatu tempat yang tidak bisa kita temukan. Kemungkinannya cuma satu dari ketiga kemungkinan itu."
"Ya, aku tahu," kata Mrs. Darnley sambil mengangguk.
"Suara-suara yang mengganggu, yang terdengar selama seminggu ini, kejadiannya selalu malam-malam. Ya, kan?" tanya Jupiter meminta penegasan.
"Betul," kata Mrs. Darnley. "Waktu pertama kali melihat hantu itu..." Jupiter terkejut.
"Anda sudah pernah melihatnya sebelum hari ini?"
"Ya, kemarin malam," kata Mrs. Darnley mengaku. "Saat itu sudah larut. Sangat larut. Aku mendengar Jeff dan John berkeliaran di bawah. Kemudian mereka masuk lagi ke kamar masing-masing. Tapi aku belum bisa tidur. Lalu beberapa waktu kemudian, kudengar ada orang berjalan di gang. Dengan segera aku bangun. Aku tahu, itu tidak mungkin Jeff - karena kalau ia yang keluar, aku pasti mendengar bunyi pintunya terbuka. Aku juga tahu, itu bukan John. Cara John berjalan, kukenal baik. Kukenakan mantel kamarku, lalu pergi ke serambi. Saat itu di situ tentu saja gelap. Tapi tidak terlalu pekat, hingga aku masih bisa melihat apa-apa. Tidak ada siapa-siapa di situ. Tapi kudengar bunyi cekikikan menyeramkan. Datangnya seperti dari ruang perpustakaan. Aku ke ujung atas tangga, lalu mulai
menuruninya. Kemudian nampak apa yang kulihat siang tadi bersama Jean - wajah seseorang. Wajah menyeramkan, di dalam cermin."
"Ruang perpustakaan siang tadi gelap, karena gorden tertutup semua," kata Jupiter. "Malam kemarin, tentunya lebih gelap lagi."
"Gelap gulita," kata Mrs. Darnley. "Tapi walau begitu, aku melihat wajah itu."
"Kenapa Nenek tidak mengatakan apa-apa waktu itu?" kata Jeff. "Aku kan ada di situ. Kenapa Nenek tidak mengatakan apa-apa padaku?"
"Soalnya, aku tidak percaya pada hantu," kata Mrs. Darnley. "Jadi aku tidak mau mengatakan bahwa saat itu aku melihat hantu. Tapi tadi, ketika Jean juga melihatnya, aku terpaksa mengaku."
"Baiklah," kata Jupiter. "Saran saya sekarang ini semua naik ke atas. Jangan menunggu-nunggu lagi, sekarang ini juga. Ada pesawat televisi di atas?"
Mrs. Darnley mengangguk.
"Bagus. Kita semua nonton TV."
"Kita semua?" tanya Jean.
"Tidak benar-benar begitu," kata Jupiter. "Nanti, setelah penerangan di serambi kita padamkan semua, aku akan duduk di tangga. Di tempat Anda tadi siang berdiri, Mrs. Darnley, ketika Anda dan Jean melihat bayangan itu. Mungkin jika rumah ini sudah sunyi, hantu Chiavo akan muncul kembali. Mungkin kita nanti akan tahu, dengan cara bagaimana bayangan itu muncul dalam cermin."
Gagasan itu langsung disetujui. Begitu selesai makan, mereka pergi ke tingkat atas dengan suara ramai. Dengan suara yang sengaja dikeraskan, Mrs. Darnley menanyakan acara TV mana yang disukai Jupiter. Setelah Mrs. Darnley memadamkan lampu-lampu serambi di atas, Jupiter turun lagi lalu duduk di bagian tangga tempat Mrs. Darnley berdiri siang itu, menghadap ke pintu ruang perpustakaan yang terbuka.
Selama sekitar setengah jam hanya bunyi badai yang kian mendekat saja, yang terdengar, sekali-sekali diselingi suara gelak tertawa yang keluar dari pesawat TV. Sekali-sekali nampak sambaran kilat. Guruh dan petir kadang-kadang terdengar dekat, lalu jauh, dan kemudian dekat lagi. Jupe menunggu dengan tegang.
Kemudian didengarnya bunyi pelan di bawah. Bunyinya pelan sekali, sampai ia tidak yakin apakah benar-benar ada. Seolah-olah suara lolongan lembut, atau bisa juga deritan. Apakah itu bunyi kayu yang mengkerut karena penurunan suhu udara? Atau mungkinkah ada sesuatu yang bergerak?
Buk!
Jupiter terkejut. Kini ia tidak mungkin salah dengar. Bunyi berat itu terdengar jelas. Seolah-olah ada yang menjatuhkan sesuatu. Atau menghentakkan kaki.
Jupe masih tetap tidak melihat apa-apa, kecuali bentuk ambang pintu ruang perpustakaan yang kelihatan hitam dalam kegelapan ruang depan. Di belakangnya tidak nampak apa-apa.
Ada orang tertawa. Bulu tengkuk Jupiter meremang. Padahal ia tidak gampang takut. Suara tertawa itu tidak enak bunyinya, mengejek, nyaris seperti tertawa orang gila.
Ada sinar kehijauan berkelip samar dalam ruang perpustakaan. Jupiter terkejap, karena tahu-tahu ia bisa melihat ke dalam ruangan itu, menatap ke dalam cermin jelek yang ada di sana. Ia menatap hantu itu!
Sesaat lamanya Jupiter duduk seperti terpaku di tempatnya, karena kaget dan ngeri! Wajah dalam cermin menghilang lagi. Jupe menggosok-gosok matanya. Ia tidak bisa mempercayai penglihatannya. Wajah itu berambut kelabu kusut, tergerai ke samping seperti rumput laut yang basah. Wajah itu sendiri putih pucat, lebih putih daripada kapur, lebih pucat dari wajah orang mati. Tapi memancarkan sinar kemilau gaib. Sedang sepasang matanya - terbelalak, berwarna hijau mengkilat. Sepasang mata yang menatap dengan sinar mengejek!
Pintu kamar televisi di ujung serambi atas terbuka.
Sekali lagi Jupiter mendengar suara tertawa yang tadi, dan melihat sinar kehijauan serta wajah jelek di dalam cermin.
Jupiter bergegas bangkit, lalu menuruni tangga dengan langkah tersaruk-saruk. Tiba-tiba wajah dalam cermin lenyap. Hanya kegelapan pekat saja yang tinggal. Suara tertawa mengejek berkumandang lagi, kali ini lebih samar, menghilang di kejauhan.
Jupe lari memasuki ruang perpustakaan. Tangannya menggapai-gapai, mencari lampu. Begitu ditemukan, langsung dinyalakan olehnya.
Ruang perpustakaan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa di situ, kecuali Jupiter sendiri, serta bayangan wajahnya yang pucat pasi dalam cermin berhantu.

Bab 8 MENGEJAR HANTU

TAHU-TAHU bayangan Jeff Parkinson muncul dalam cermin, di samping bayangan Jupiter. "Kau melihatnya?" tanyanya. Jupiter mengangguk.
Saat itu Jean dan Mrs. Darnley sudah datang pula. Mrs. Darnley memandang wajah Jupe yang pucat pasi, lalu tertawa. Tapi tidak benar-benar tertawa, karena bercampur desahan. "Seram, kan?" katanya.
Jupiter menarik napas dalam-dalam. Ia menahan diri, jangan sampai tangannya gemetar. Ia membuka mulut, mengatakan dengan suara yang masih bisa dikendalikan sehingga tenang.
"Sangat menyeramkan. Sekarang saya bisa mengerti, kenapa Anda tidak mau mengatakan ketika pertama kali melihatnya, Mrs. Darnley."
Tapi setelah itu Jupiter memandang berkeliling. Diperhatikannya dinding-dinding ruangan, lalu cermin jelek itu. "Tapi ke mana perginya kemudian?" katanya dengan nada heran.
"Mudah-mudahan kembali ke tempat asalnya," kata Jean. Ia bergidik. "Mungkin... mungkin saja cerita Senor Santora benar. Mungkin Chiavo benar-benar suka muncul di dalam cermin."
"Tapi... tapi itu kan mustahil," kata Mrs. Darnley. "Orang kan tidak mungkin benar-benar ada di dalam cermin. Cermin itu kan cermin biasa-biasa saja. Kecuali bingkainya, tentu saja - yang jelek sekali. Menyeramkan!"
"Memang." Jupiter menghampiri cermin itu, lalu meraba bingkainya. "Menakutkan, tapi tetap bingkai yang biasa pula. Dari baja mulus. Tanpa kawat terpasang padanya. Bingkai ini kokoh, tidak bisa diapa-apakan. Cermin itu biasa-biasa saja, kecuali keantikannya. Di dalamnya kita melihat bayangan seorang lelaki tua berwajah menakutkan. Tadi ada sesuatu di dalam ruangan ini. Harus ada, karena aku melihatnya!"
Sementara itu badai sudah mencapai daerah perbukitan di situ. Amukannya seolah-olah menyuarakan protes cuaca atas munculnya sosok menakutkan di dalam cermin. Tetesan air besar-besar yang berjatuhan, dengan cepat sudah berganti deru hujan lebat. Sambaran kilat menyilaukan, disusul bunyi petir membahana, mengguncangkan seluruh rumah tua itu. Lampu berkelip-kelip, lalu padam.
"Aduh, rupanya kabel listrik tersambar!" kata Mrs. Darnley.
Jupiter Jones berdiri di dalam ruang perpustakaan yang gelap gulita. Sambil mendengarkan deru hujan di luar, matanya berkeliaran memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tiba-tiba perhatiannya tertarik pada semacam sinar pendar kelabu kehijauan. Sinar itu seakan-akan mengambang, dekat sudut belakang ruangan itu.
Didekatinya sinar misterius itu. Setelah dekat, diacungkannya tangan untuk menyentuhnya, Ternyata ia meraba tepi sebuah rak buku. Tapi teraba pula sesuatu yang lain - sesuatu yang terasa lengket. Ia memperhatikan tangannya yang dipakai untuk meraba. Ujung jari-jarinya kini juga bersinar pendar.
"Kita memerlukan penerangan di sini," katanya.
Jean dan Jeff pergi meninggalkan ruangan, Jupe mendengar mereka berjalan meraba-raba dalam rumah gelap itu. Kemudian muncul sinar. Sinar lembut, yang berasal dari lilin menyala.
"Senter tidak bisa dipakai, karena baterainya sudah habis," kata Jeff. Diletakkannya sebatang lilin di atas sebuah meja, sedang satu lilin lagi dibawanya ke Jupiter. "Cuma inilah yang bisa kami temukan," katanya.
Jupe memandang tangannya lagi. Sinar pendar kehijauan tadi tidak kelihatan lagi. Pada ujung jari-jarinya nampak debu lengket berwarna kelabu.
"Apa itu?" tanya Jeff.
Jupiter mencium bau debu lengket itu, lalu berpaling. Dipandangnya Jean dan Mrs. Darnley.
"Ternyata kita berurusan dengan hantu yang memakai bahan perias!" katanya. "Bukan yang biasa, tapi yang bercahaya dalam gelap. Kurasa kita memerlukan beberapa batang lilin tambahan."
Jean mengambilkan beberapa batang lilin lagi, lalu menyalakan semuanya. Jupiter meneliti bagian rak di mana ada bekas debu berwarna kelabu yang menempel. Dibersihkannya tangan dengan sapu tangan, lalu dipindahkannya buku-buku yang tersusun di atas rak itu. Kini ditatapnya dinding yang nampak di sebelah belakang. Ia mengetuk-ngetuk sambil menelengkan telinga ke arah dinding, lalu mengetuk-ngetuk lagi.
"Kedengarannya tidak ada rongga di balik dinding ini," katanya kemudian. "Sulit dipercaya, tapi mestinya di sini ada pintu. Sedang ini dinding belakang rumah, yang menghadap ke luar. Jadi bisa saja ada pintu di sini, untuk keluar. Mungkin saja hantu kita itu bisa keluar-masuk dengan leluasa karena lewat pintu rahasia itu, walau segala pintu dan jendela di rumah ini terkunci rapat. Pasti ada jalan tersembunyi untuk keluar-masuk ruangan ini!"
"Tapi rumah ini dibangun menempel ke lereng bukit," kata Mrs. Darnley. "Hanya tanah padat saja yang ada di balik dinding itu."
"Bisa saja ada terowongan di situ," kata Jupiter Jones. "Tidak perlu besar lubangnya."
"Atau bisa juga ada bilik di situ," kata Jean dengan suara gemetar, sambil menuding ke dinding. "Mungkin hantu... makhluk itu ada di situ mendengarkan percakapan kita."
Tiba-tiba Jeff lari ke luar. Terdengar langkahnya bergegas-gegas menuju dapur, disusul bunyi laci-laci dan pintu-pintu lemari dibuka dan ditutup kembali. Akhirnya Jeff muncul lagi di ruang perpustakaan. Tangannya menggenggam alat pemukul dari kayu.
"Aku tidak tahu, apa kegunaan pemukul ini bagi John," katanya, "tapi aku tahu sebagai apa benda ini kupakai, jika makhluk itu muncul keluar dari balik dinding."
"Mungkin ia sekarang tidak ada di situ," kata Jupiter Jones. "Cuma ada satu jalan saja untuk mengetahuinya. Kita harus menemukan cara untuk membuka pintu, yang menurutku pasti ada di sini."
Mrs. Darnley duduk di salah satu kursi yang ada di situ.
"Hati-hati, Jupiter," katanya.
"Saya selalu berhati-hati," kata Jupiter Jones.
Pemeriksaan setelah itu dilakukannya dengan sistematis, seperti sudah menjadi kebiasaannya. Jean dan Jeff membantunya menurunkan buku-buku dari rak, lalu mereka ikut mendorong, mengorek, memutar, dan mengetuk-ngetuk. Selama beberapa waktu, pencarian itu kelihatannya akan sia-sia belaka. Dinding di balik rak buku itu mulus, sama sekali tidak ditemukan celah maupun sambungan di situ. Papan lis di sebelah bawah dinding tidak bisa digerakkan sama sekali, karena terpaku ke dinding. Sakelar-sakelar lampu ternyata memang perlengkapan untuk menyalakan lampu, lengkap dengan kawat-kawatnya yang kelihatan ketika Jupiter melepaskan pelat plastik yang menutupi. Tidak ada yang bisa diputar atau ditarik, walau sudah dicoba dengan berbagai cara.
"Mestinya ada semacam kancing di sini," kata Jupiter setelah beberapa saat mencari-cari. "Harus ada semacam kancing, dan kancing itu harus ada pada dinding ini. Tapi di mana?"
"Mungkin pintu itu hanya bisa dibuka dari sebelah sana," kata Jeff.
"Tidak. Ingat, Drakestar ahli sulap itu yang membangun rumah ini. Bagaimanapun juga cara membuka pintu itu, Drakestar-lah yang menyuruh membuatnya. Nah - dia itu ahli sulap yang tergolong paling hebat. Dan keahliannya yang paling menakjubkan adalah menghilang dari pandangan penonton. Ketika ia sudah tidak mengadakan pertunjukan lagi, ia kadang-kadang mengundang orang-orang untuk makan malam di sini, lalu sesudah itu memperagakan keahliannya itu pada mereka. Malam ini hantu Chiavo menghilang dari ruangan ini. Pasti inilah ruangan di mana Drakestar mengadakan pertunjukan untuk teman-temannya. Itu berarti, ada salah satu cara tertentu untuk membuka pintu rahasia itu dari sebelah sini."
Jupiter terdiam. Ditatapnya rak-rak buku selama beberapa saat.
"Nah!" katanya kemudian, seolah-olah ditujukan pada diri sendiri.
"Ada apa?" tanya Jean.
"Jika segala cara yang kita coba selama ini ternyata tidak berhasil, maka satu-satunya kemungkinan yang benarlah yang belum kita coba. Rak-rak ini kelihatannya sangat kokoh buatannya. Apakah sudah ada di sini ketika Anda membeli rumah ini, Mrs. Darnley?"
"Ya, karena memang merupakan bagian dari rumah."
"Dan selalu penuh terisi buku. Nah -jika salah satu papannya kita tekan, tidak ada apa-apa yang terjadi. Tapi bagaimana jika ini yang kita lakukan -" Jupe meletakkan telapak tangannya di bawah papan rak di mana masih nampak bekas debu perias, lalu mendorongnya ke atas.
Tidak terdengar bunyi apa-apa. Tapi ada hembusan angin yang nyaris tak terasa, tapi menyebabkan nyala lilin bergerak-gerak. Sebagian dari dinding di depan Jupiter bergerak maju, berikut rak yang terpasang di situ.
Sesaat lamanya keempat orang yang ada di ruangan itu tegak terpaku di tempat masing-masing. Semuanya menatap lubang yang kini nampak di dinding. Tapi tidak ada makhluk menakutkan yang menerjang maju. Mereka hanya melihat semacam rongga, yang lebarnya setengah meter lebih sedikit. Di belakang rongga itu nampak blok-blok beton bersusun-susun. Pasti itulah dinding luar yang sebenarnya.
Sementara menatap rongga sempit yang terjepit di antara dinding-dinding itu, Jupe merasa bahwa Jeff berdiri dekat sekali di belakangnya. Keduanya melihat tangga di balik sarang labah-labah dan debu yang menyelubungi. Tangga itu mengarah ke bawah, ke dalam gelap.
"Lilin," kata Jupe. "Tolong ambilkan lilin."
Jeff mengambilkan sebatang lilin yang menyala. Jupe masih berdiri sesaat, mengamat-amati bagian dinding yang membuka ke depan.
"Pantas kedengarannya kokoh," katanya, "karena terbuat dari bahan seperti dinding biasa, tapi terpasang pada bingkai baja. Benar-benar hebat!"
Jeff yang masih berdiri di belakang Jupe, memandang ke tangga yang mengarah ke tempat gelap di bawah. "Kau hendak masuk ke sana?" tanya anak itu dengan suara berbisik-bisik. "Jangan!" seru Mrs. Darnley.
"Apa boleh buat, saya harus turun," kata Jupiter. "Saya paling tidak suka bekerja setengah-setengah."
"Kalau begitu aku ikut!" kata Jeff.
"Jangan, Jeff!" suara Mrs. Darnley melengking tinggi.
"Hantu itu mungkin tidak ada lagi di bawah sana, Mrs. Darnley," kata Jupe menenangkan. "Mungkin ia sudah pergi." Jupe melangkahi papan lis yang masih ada di tempat semula, lalu mulai menuruni tangga. Jeff menyusul, sambil menggenggam palu kayunya erat-erat.
Tangga tersembunyi itu curam. Diterangi nyala lilin yang bergerak-gerak dan setiap kali nyaris padam, nampak dinding berdebu dan berlumut di sisi kiri-kanannya. Tercium bau barang tua dan selalu lembab, bercampur hawa yang selalu terkungkung sehingga seakan-akan sudah mati.
Tiba-tiba tangga membelok dengan tajam. Setelah tiga jenjang lagi yang juga curam, tangga itu berakhir di sebuah ruang bawah tanah yang kecil ukurannya. Sebuah bilik berdinding blok-blok beton, dan berlantai semen. Jupe mengangkat lilin yang dipegangnya tinggi-tinggi, sementara Jeff berdiri di sampingnya.
"Tidak ada siapa-siapa!" kata Jeff dengan suara mendesah.
"Tapi ia ada di sini tadi," kata Jupiter Jones lirih. "Kaulihat bagian lantai itu, di mana debu yang menutupinya berserakan?"
Kedua remaja itu menyelinap, pergi dari kaki tangga. Jupiter menunjuk ke dua buah peti yang nampak sudah sangat usang. Ditempelkannya telunjuk ke bibir, melarang Jeff berbicara. Lilin diserahkannya pada anak itu, lalu ia sendiri membungkuk untuk memeriksa peti yang paling dekat. Peti itu tidak terkunci. Tidak ada gembok terpasang pada kancingnya. Jupiter menarik kancing itu ke atas. Tutup peti langsung terangkat, disertai bunyi deritan engsel yang sudah berkarat. Jeff mendekatkan lilin yang menyala. Mereka melihat kantung tidur yang nampak sering dipakai, begitu pula sejumlah botol dan guci, serta roti sandwich yang dibungkus dengan plastik.
Jupiter menoleh, memandang Jeff. Mata Jeff terbuka lebar, dengan sikap bertanya. Sambil mengangkat alis, Jupiter menuding peti yang satu lagi, yang letaknya merapat ke dinding sebelah sana. Jeff mengangguk. Ya, hantu itu tinggal selama beberapa waktu di dalam bilik itu - dan kini pun mungkin masih ada di situ. Peti yang satu lagi nampaknya cukup besar. Jupiter melangkah ke arahnya, dengan berjingkat-jingkat. Jeff mengangkat lilin di tangannya sambil menggenggam palu kayu, sementara tangan Jupiter terulur ke tutup peti itu.
Tahu-tahu tutup itu terbuka dengan cepat, dan terbanting membentur dinding di belakangnya. Terdengar suara jeritan, diiringi gerakan yang mengejut. Tahu-tahu Jupiter sudah menatap sepasang mata hijau berkilat-kilat. Sekejap kedua remaja yang sedang berada di bilik bawah tanah itu menatap wajah Chiavo. Muka penyihir itu benar-benar menakutkan.
Kemudian sosok menyeramkan itu menerjang maju. Jupe terdorong ke belakang, menabrak Jeff. Lilin terpental, sementara kedua remaja itu roboh bertindihan. Sosok hantu berdiri di atas mereka, bersinar pendar dalam gelap. Napas Jeff tersentak. Palu kayu terlepas dari genggamannya. Jupiter menyambar jubah panjang yang dikenakan sosok itu. Jubah itu robek, ketika makhluk seram itu tiba-tiba lari ke arah tangga.
Bunyi langkah berdebam-debam di tangga. Jupiter menggulingkan tubuhnya. Ada sesuatu tergenggam di tangannya. Sesuatu yang terasa lunak. Secarik kain. Ia bangun dengan segera, lalu menuju ke tangga sambil meraba-raba. Ketika sampai di kaki tangga, didengarnya suara Jean Parkinson berteriak.
Saat itu ada kilat menyambar di luar. Sinarnya terpantul sampai ke bilik bawah tanah. Diterangi pantulan sinar itu, Jupiter bisa melihat sosok menyeramkan itu dengan jelas. Sosok jangkung dan kurus, berambut gondrong. Sosok itu berada di ujung atas tangga, di ambang pintu rahasia. Sekali lagi terdengar jeritan Jean.
Jupe bergegas naik ke atas tangga, lalu memburu masuk ke ruang perpustakaan. Ia masih sempat melihat sosok aneh itu menarik gerendel pengunci pintu depan, membuka pintu itu lebar-lebar, lalu lari ke luar - masuk ke tengah hujan. Sambaran kilat saat itu menampakkan sosok kurus berambut kelabu tergerai. Petir melecut, dan sosok itu menghilang dalam kegelapan.
"Ya, Tuhan!" seru Mrs. Darnley.
Napas Jupiter memburu. Tapi ia tersenyum.
"Hantu yang menarik," katanya. "Jubahnya tadi robek ketika ia melepaskan diri dari peganganku. Ini robekannya!"
Lanjut ke bagian 2