Trio Detektif - Misteri Anjing Siluman(1)



MISTERI ANJING SILUMAN
PESAN DARI ALFRED HITCHCOCK

SEKALI lagi aku mendapat kehormatan, menyampaikan kata pendahuluan untuk kasus terbaru ketiga penyelidik remaja yang terkenal dengan sebutan TRIO DETEKTIF.
Mereka mengkhususkan diri menangani kasus-kasus yang luar biasa, kejadian-kejadian aneh, dan peristiwa-peristiwa menyeramkan. Petualangan mereka sekali ini benar-benar luar biasa, aneh, dan juga menyeramkan! Di dalamnya mereka berurusan dengan seseorang yang merasa dirinya dirongrong hantu, selanjutnya pendeta yang tahu-tahu menghilang, lalu seorang pemuda yang menggemari ilmu kebatinan. Pemuda ini seakan-akan memiliki kemampuan menembus rintangan apa pun juga. Belum lagi urusan dengan wujud seekor anjing setan. Wujud ini benar-benar nyata, tapi di pihak lain juga tidak kelihatan!

Bagi pembaca yang baru sekali ini berjumpa dengan Trio Detektif, secara singkat kukatakan bahwa mereka ini dipimpin oleh Jupiter Jones, seorang remaja bertubuh, yah, bisa dibilang tidak langsing. Anak itu berotak cerdas, dan rasa ingin tahunya benar-benar luar biasa. Pete Crenshaw berpotongan atletis dan serba cekatan gerak-geriknya. Sedang Bob Andrews yang gemar membaca, bertugas mengurus catatan. Ia berbakat untuk melakukan riset. Ketiga-tiganya tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di pesisir, California, di pinggiran kota industri F­ilm, Hollywood.

Rasanya cukup sekian saja kata pendahuluan ini,

Sekarang: selamat merinding!

­ALFRED HITCHCOCK

­Bab 1 RONGRONGAN SILUMAN

­HARI sudah senja ketika Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews untuk pertama kalinya mendatangi jalan itu. Senja bulan Desember di belahan, bumi sebelah utara; dingin, dan begitu seketika. Tahu-tahu hari sudah gelap. Ketiga remaja itu lewat di depan sebuah taman, di mana masih ada beberapa kuntum mawar yang mekar. Padahal hawa saat itu sudah dingin. Di samping taman terdapat sebuah rumah berdinding semen, dengan tulisan 'St. Jude's Rectory' pada papan namanya. Jadi itulah tempat tinggal pendeta gereja St. Jude. Setelah melewati rumah itu, nampak sinar lampu-lampu di balik jendela-jendela berkaca timah dari sebuah bangunan gereja yang kecil. Ketiga remaja yang sedang berjalan itu mendengar suara tinggi anak-anak yang menyanyikan sebuah lagu pujian kuno, diiringi nada-nada organ yang mendengung-dengung.

Gereja itu dilewati, dan akhirnya Jupe beserta kedua sahabatnya sampai di depan. Sebuah bangunan rumah susun yang menampakkan kesan sangat tertutup. Bagian paling bawah merupakan deretan garasi. Lalu kedua lantai di atasnya merupakan apartemen-apartemen. Tirai
jendela-jendela segenap tempat tinggal itu tertutup rapat, seolah-olah para penghuni yang mendiaminya ingin menutup diri dari dunia luar.

"Ini dia tempatnya," kata Jupiter Jones. "Paseo Place nomor 402-dan saat ini tepat pukul setengah enam. Kita tiba tepat pada waktunya."

Di sisi kanan deretan garasi ada tangga beralas batu ubin yang besar-besar. Tangga itu menuju ke sebuah gerbang yang letaknya pada ketinggian lantai apartemen yang pertama. Saat itu seorang pria berjaket cokelat kekuningan muncul di ujung atas tangga. Orang itu turun, lalu melewati ketiga remaja yang masih berdiri di depan bangunan itu, tapi tanpa memandang mereka.

Jupe menaiki tangga batu itu, diikuti oleh Pete dan Bob. Tahu-tahu Pete meloncat. Seruan kaget terlontar dari mulutnya.

Jupe berhenti melangkah. Dari sudut matanya ia melihat sesuatu yang gelap dan kecil menuruni tangga dengan gerakan menyelinap.

"Ah-cuma kucing saja," kata Bob.

"Nyaris saja aku menginjaknya." Pete bergidik, lalu membungkus badannya lebih erat dengan jaket olahraga yang dipakainya saat itu. "Kucing hitam!"

"Kau ini ada-ada saja," kata Bob sambil tertawa. "Masak kau benar-benar percaya mereka itu mendatangkan sial!"

Jupe mengulurkan tangannya, meraih kait pengunci pintu gerbang. Di balik gerbang itu, di tengah-tengah halaman beralas batu ubin, nampak sebuah kolam renang yang luas dengan sejumlah meja dan kursi di sekelilingnya. Begitu Jupiter membuka pintu, seketika itu juga menyala lampu-lampu sorot yang ditempatkan di dalam kolam renang serta di tengah belukar yang ditanam di sepanjang pinggiran halaman.

"Penjual keliling dilarang masuk!" Suara serak dan sengau itu terdengar dekat sekali di samping Jupiter.

Sebuah pintu yang bersebelahan dengan gerbang terbuka. Di ambangnya berdiri seorang wanita bertubuh gemuk dan berambut merah. Ia menatap ketiga remaja itu dengan mata terpicing, dari balik lensa kaca matanya yang tak berbingkai.

"Aku tidak mau tahu apakah kalian ini mencari calon langganan majalah, atau menjual permen, atau mengumpulkan derma untuk menolong burung-burung kenari yang terlantar," kata wanita itu dengan ketus. "Aku tidak mau para penyewa di sini diganggu."

"Mrs. Bortz!"

Wanita itu mendongak, memandang ke arah belakang Jupe serta kedua sahabatnya. Seorang pria kurus dengan rambut berwarna putih keperakan turun lewat sebuah tangga, dari balkon di lantai dua yang menghadap ke halaman.

"Kurasa mereka inilah tuan-tuan muda yang sedang kutunggu," kata pria itu.

"Saya Jupiter Jones." Jupe mengucapkannya dengan tegas dan lugas. Gaya seperti itu merupakan kekhasannya dalam menghadapi situasi yang demikian. Selesai memperkenalkan diri, ia melangkah ke samping lalu mengangguk ke arah kedua sahabatnya. "Kedua rekan saya, Pete Crenshaw dan Bob Andrews. Saya rasa Anda-lah Mr. Fenton Prentice."

"Betul," kata pria yang sudah berumur itu. Ia melayangkan pandangan ,ke arah wanita yang berdiri di ambang pintu. "Kami tidak memerlukan Anda, Mrs. Bortz," sambung pria itu.

"Huhh!" tukas Mrs. Bortz. Ia kembali ke tempat tinggalnya, lalu masuk sambil membanting pintu.

"Perempuan tua itu, selalu saja ingin tahu urusan orang lain," kata Fenton Prentice. "Anggap saja dia itu tidak ada. Para penghuni tempat ini umumnya bisa dibilang tergolong orang yang tahu adat. Mari-ikut aku!"

Ketiga remaja itu mengikuti Mr. Prentice naik tangga menuju ke balkon. Hanya beberapa meter dari ujung atas tangga itu ada sebuah pintu. Mr. Prentice mengeluarkan anak kunci lalu membuka pintu itu, Jupiter, Pete, dan Bob dipersilakannya memasuki sebuah kamar dengan balok-balok melintang menopang langit-langitnya, di mana terpasang sebuah lampu gantung yang kelihatannya merupakan barang antik. Sebuah pohon Natal berukuran kecil yang terbuat,dari plastik nampak di atas sebuah meja. Pohon imitasi itu dipajang dengan berbagai hiasan yang kecil-kecil dan serba indah.

"Silakan duduk," kata Mr. Prentice sambil melampaikan tangan ke arah beberapa buah kursi ­yang ada dalam kamar itu, lalu pintu dikuncinya kembali.

"Untung kalian bisa datang dengan segera," katanya. "Aku sudah khawatir saja, jangan-jangan kalian punya rencana lain, Maklumlah, sekarang ini kan minggu terakhir menjelang Natal."'

"Kebetulan ada sedikit waktu terluang dalam jadwal kegiatan kami," kata Jupiter dengan ramah. "Tugas kami tidak begitu banyak, sebelum harus mulai bersekolah lagi minggu depan."'

Nyaris saja Pete tertawa. Untung masih sempat ditahan. Soalnya, mereka bertiga sebenarnya sama sekali tidak punya rencana apa-apa sampai sekolah dimulai kembali-kecuali berusaha menghindari Bibi Mathilda. Kalau bibi Jupiter itu-nah, wanita itu banyak sekali rencananya, dan semuanya ada hubungannya dengan menyuruh Jupiter serta kedua sahabat keponakannya itu bekerja!

"Dan sekarang," sambung Jupiter dengan gaya detektif ulung, ""jika Anda bersedia memberi tahu alasan mengapa Anda menghendaki kami datang kemari, nanti akan kami pertimbangkan dapat tidaknya kami membantu Anda."

"Tapi kalian harus menolongku!" seru Mr. Prentice. "Sekarang ini juga!"' Tahu-tahu suaranya bergetar. Ia menyambung nada melengking, "Aku tidak tahan lagi menghadapi hal-hal yang terjadi di sini!"

Ia diam sesaat untuk menenangkan diri. lalu menyambung, "Kalian bertiga ini kan Trio Detektif? Betul kan, ini kartu nama kalian?"" Mr. Prentice mengeluarkan selembar kartu nama dari dompetnya, lalu memperlihatkannya kepada ketiga remaja itu.

­TRIO DETEKTIF

"Kami Menyelidiki Apa Saja"

? ? ?

Penyelidik Satu... Jupiter Jones

Penyelidik Dua.... Peter Crenshaw

Data dan Riset.... Bob Andrews

­Jupiter mengangguk sebagai pernyataan membenarkan, setelah memandang kartu yang disodorkan itu dengan sekilas.

"Kawan yang memberi kartu nama ini," kata Mr. Prentice lagi, "mengatakan bahwa kalian bertiga ini detektif yang menaruh perhatian besar terhadap hal-hal yang... yah, yang bisa dibilang tidak biasa."

"Itu memang benar," kata Jupe. 'Tanda tanya pada kartu nama kami, yang melambangkan hal-hal yang tidak diketahui, bisa dipandang sebagai pernyataan minat kami itu. Sejauh ini kami sudah berhasil menguraikan sejumlah kasus yang aneh-aneh. Tapi selama Anda belum mengatakan apa sebenarnya yang merongrong Anda, kami takkan mungkin bisa mengatakan dapat-tidaknya kami membantu Anda. Tentu saja kami selalu siap untuk berusaha. Terus terang saja, sementara ini kami sudah melakukan persiapan untuk menangani kasus Anda. Kami sudah menyelidiki diri Anda, setelah surat Anda kami terima tadi pagi!"

"Apa?" seru Mr. Prentice. "Berani-beraninya!"

"Jika Anda menghendaki kami menangani kasus Anda, tidakkah kami harus tahu barang sedikit tentang diri Anda?" tanya Jupiter dengan tenang.

"Aku ini orang yang sangat tertutup," tukas Prentice. "Aku tidak suka jika ada orang mengutik-utik urusan ku."

"Tidak mungkin ada orang yang tertutup sama sekali," kata Jupiter Jones, "dan Bob sangat mahir dalam melakukan penelitian. Bob-coba kauceritakan pada Mr. Prentice, apa saja hasil penelitianmu."

Bob meringis. Ia mengagumi kemampuan Jupe, yang hampir selalu berhasil menguasai keadaan apa pun juga. Diambilnya sebuah buku catatan berukuran kecil dari kantungnya, lalu dibuka.

"Anda dilahirkan di kota Los Angeles, Mr. Prentice," katanya sambil membaca catatannya, "dan sekarang berusia tujuh puluhan. Ayah Anda, Giles Prentice, menjadi kaya dari bisnis tanah dan rumah. Anda kemudian mewarisi kekayaannya itu. Anda tidak menikah. Anda sering mengadakan perjalanan, dan banyak memberikan dukungan keuangan pada museum-museum, begitu pula seniman-seniman. Kalangan surat kabar menjuluki Anda tokoh pelindung kesenian." "

"Aku tidak begitu peduli terhadap koran-koran, tukas Mr. Prentice.

­"Tapi mereka berminat terhadap Anda," balas Jupe. "Dan Anda nampaknya memang menaruh perhatian besar terhadap seni," sambungnya, sambil melayangkan pandangan berkeliling ruangan.

Kamar duduk di mana mereka berada saat' itu lebih mirip tempat memajang koleksi benda-benda seni. Lukisan-lukisan tergantung di dinding, patung-patung porselen dipajang di atas meja-meja rendah, dan di sana-sini terdapat lampu-lampu antik, yang mungkin saja berasal dari salah satu istana di kawasan Afrika Utara.

"Baiklah," kata Mr. Prentice. "Orang kan boleh saja berminat terhadap benda-benda indah. Tapi itu tidak ada sangkut-pautnya dengan apa yang terjadi di sini."

"Dan apakah yang terjadi di sini?" tanya Jupiter.

Mr. Prentice menoleh dengan cepat ke belakang, seolah-olah khawatir ada orang lain yang ikut mendengarkan di kamar sebelah. Kemudian ia berbicara dengan suara lirih, nyaris berbisik.

"Aku diganggu sesuatu," katanya.

Trio Detektif menatapnya dengan mata terbuka lebar.

"Kalian tak percaya," kata Mr. Prentice. "Itu sudah kukhawatirkan-tapi aku tidak bohong. Ada yang suka masuk kemari ketika aku sedang tidak ada. Pada waktu aku kembali, kujumpai tempat ini tidak dalam keadaan seperti ketika kutinggalkan. Sekali kutemukan laci meja tulisku agak terbuka sedikit. Ada yang membaca surat-suratku."

­"Ini gedung apartemen yang besar," kata Jupiter. "Adakah yang mengurusnya? Maksud saya manajer! Dan kalau ada, apakah ia memiliki, kunci induk, yang bisa membuka semua pintu?"

Mr. Prentice mendengus.

"Manajer di sini perempuan menyebalkan tadi, Mrs. Bortz. Tapi ia tidak memegang kunci apartemenku ini. Aku memasang kunci khusus. Dan jika hendak bertanya tentang pelayan, aku tidak punya. Dan tidak perlu mengajukan dugaan tentang kemungkinan orang masuk lewat jendela, karena di sini tidak ada jendela di sisi yang menghadap ke balkon. Jendela-jendela di kamar ini semua mengarah ke jalan, dan jaraknya dari trotoar lebih dari enam meter. Di kamar tidur dan di ruang hobi ku, jendela-jendela menghadap ke gereja. Dan letaknya semua juga jauh dari tanah. Tidak mungkin ada yang bisa masuk lewat jendela jika tidak memakai tangga panjat yang panjang, dan itu pasti akan ketahuan."

"Tapi mesti ada kunci lain untuk masuk kemari," kata Pete. "Ada orang yang memakainya ketika Anda sedang tidak ada, dan-"

Fenton Prentice mengangkat tangannya.

"Itu tidak mungkin," katanya. "Memang, ada orang masuk kemari sewaktu aku sedang tidak ada-tapi itu saja belum apa-apa." Pria itu kembali celingukan, seakan-akan takut bukan mereka berempat saja yang ada di ruangan itu. "Kadang-kadang ia datang pada waktu aku ada di sini. Aku.., aku pernah melihatnya. Ia datang dan pergi dengan seenaknya, tanpa perlu membuka pintu."

"Orangnya seperti apa?" tanya Jupiter.

Mr. Prentice menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan sikap gelisah.

"Polisi biasanya mengajukan pertanyaan semacam itu," katanya, "tapi kurasa kalau polisi yang menanyakannya, ia takkan menanggapi jawabanku dengan serius. Karena itulah aku menghubungi kalian, dan bukan polisi. Yang kulihat... tidak bisa dikatakan orang. Lebih cocok jika disebut bayangan. Kadang-kadang, sementara aku sedang membaca, aku merasakannya. Aku merasa ada sesuatu. Jika aku menoleh, mungkin aku akan melihatnya. Sekali aku melihat seseorang di ruang masuk. Orangnya kurus tinggi. Aku membuka mulut, untuk menyapa. Mungkin juga aku berseru. Orang itu tidak berpaling. Ia malah masuk ke ruang hobiku. Aku mengejarnya. Tapi, sesampainya di situ, ruangan itu sudah kosong. Tidak ada siapa-siapa di situ."

"Bolehkah saya melihat ruangan itu sebentar?" tanya Jupiter.

"Boleh saja." Mr. Prentice memasuki sebuah ruangan kecil berbentuk persegi empat, yang bersebelahan letaknya dengan kamar duduk Jupiter mengikutinya menyeberangi ruangan itu, masuk ke sebuah kamar besar yang remang-remang. Di kamar itu terdapat rak-rak buku, kursi-kursi besar dan empuk berlapis kulit, serta sebuah meja antik berukuran besar. Jendela-jendela di kamar itu semua menghadap ke sisi samping bangunan. Lewat sela tirai yang terbuka Jupiter bisa melihat bangunan gereja yang di sebelah. Dengungan organ sudah tidak terdengar lagi, dan di jalan terdengar suara ramai anak-anak, rupanya latihan paduan suara sudah bubar.

"Tidak ada jalan keluar dari kamar ini kecuali lewat pintu yang kita masuki," kata Mr. Prentice. "Kau tidak perlu mengajukan dugaan tentang adanya lorong dan pintu rahasia. Aku sudah bertahun-tahun tinggal di apartemen ini, dan aku tahu pasti di sini tidak ada lorong rahasia."

"Sudah berapa lama Anda berperasaan bahwa ada... sesuatu yang suka masuk kemari?" tanya Jupiter.

"Sejak beberapa bulan belakangan ini," jawab Mr. Prentice. "Aku... pada mulanya aku tidak mau percaya. Kusangka itu cuma perasaanku saja, karena terlalu capek. Tapi kejadiannya begitu sering, sehingga sekarang aku yakin bahwa pikiranku tidak mengada-ada."

Nampak jelas oleh Jupiter bahwa pria tua itu ingin sekali kata-katanya dipercaya.

"Segala-galanya memang mungkin saja," kata Penyelidik Satu Trio Detektif itu.

"Jadi kalian mau menolong aku?" kata Mr. Prentice. "Kalian akan mengadakan pengusutan?"

"Saya harus merembukkannya dulu dengan teman-teman," kata Jupe. "Bagaimana jika kami menelepon Anda besok pagi?"

­Prentice mengangguk, lalu keluar. Jupiter masih tertegun sejenak, sambil berpikir-pikir. Tiba-tiba nampak sesuatu yang bergerak di sudut gelap, dekat rak-rak buku.

Tatapan Jupe terpaku ke tempat itu.

"Pete!" panggilnya.

"Kau memanggil, Jupe?" jawab Pete. Suaranya lantang dan riang. Datangnya dari arah kamar duduk.

"Pete!" panggil Jupe sekali lagi. Sekali ini ia berteriak. Dengan cepat ia bergerak menghampiri tempat sakelar, untuk menyalakan lampu atas. Sekejap kemudian ruangan itu sudah terang-benderang. Pete muncul di ambang pintu.

"Ada apa?" tanya remaja bertubuh atletis itu.

"Kau... kau sedang di kamar duduk ketika aku tadi memanggil," kata Jupiter Jones.

"Betul. Ada apa? Tampangmu-seperti baru saja melihat hantu!"

"Kusangka aku melihatmu," kata Jupiter. "Di situ, di sudut itu! Aku sepertinya melihatmu berdiri di situ."

Jupiter menggerak-gerakkan tubuhnya, seperti hendak mengusir bayangan seram.

"Rupanya aku salah lihat-mestinya cuma bayangan saja," katanya lagi. Ia bergegas melewati Pete yang masih berdiri di ambang pintu, lalu masuk ke kamar duduk. "Anda akan kami beri tahu besok," katanya berjanji pada Mr. Prentice.

"Baiklah." Pria yang merasa dirinya dirongrong sesuatu yang gaib itu memutar anak kunci untuk membuka pintu, lalu minggir sedikit agar Jupiter serta kedua rekannya bisa lewat.

Saat itu terdengar sesuatu, seperti bunyi letusan knalpot mobil. Atau tembakan.

Dengan cepat sekali Pete keluar, lalu memandang ke bawah dari pinggiran balkon. Di pekarangan bawah tidak kelihatan apa-apa. Tapi dari arah belakang rumah terdengar suara seseorang berteriak-teriak. Sebuah pintu di luar terbanting dengan keras, disusul bunyi langkah bergegas menaiki tangga yang tidak bisa dilihat oleh ketiga saja itu. Kemudian dari sebuah gang yang berujung di sebelah belakang pekarangan, muncul sosok seseorang yang berlari. Seorang laki-laki dengan jaket berwarna gelap dan tutup kepala untuk main ski yang berwarna hitam menyelubungi kepalanya lari melintasi kolam renang, keluar lewat gerbang yang berbatasan dengan jalan di sebelah depan.

Pete melesat ke tangga, lalu menuruninya. Ketika hampir sampai di bawah, seorang polisi muncul dari belakang pekarangan.

"Oke, Sobat!" seru petugas itu. "Jangan bergerak, kalau tidak ingin celaka!"

Seorang polisi lagi muncul sambil berlari-lari. Pete tidak berkutik lagi, ketika melihat bahwa kedua petugas itu menggenggam pistol. Ia mengangkat kedua tangannya ke atas kepala.

­Bab 2 PENGGELEDAHAN DI TENGAH KEGELAPAN MALAM

­"MIKE," kata salah seorang polisi itu, yang kelihatannya lebih muda, "kurasa bukan dia ini orangnya. "

"Jaket gelap, celana berwarna cerah," kata polisi yang satu lagi. "Topeng yang dipakai tadi bisa saja dibuangnya di salah satu tempat sambil berlari."

"Orang yang memakai tudung untuk main ski itu lari lewat tempat ini, lalu keluar lewat gerbang depan," kata Pete dengan cepat. "Saya melihatnya."

Sementara itu Jupe dan Bob menuruni tangga, bersama Mr. Prentice.

"Selama setengah jam yang lewat, anak muda ini bersama saya di atas," kata Mr. Prentice pada kedua polisi itu.

Bunyi sirene meraung-raung mengiringi kemunculan beberapa mobil patroli polisi yang berdatangan dari berbagai arah.

"Ayolah, kita cuma membuang-buang waktu saja di sini," kata polisi yang lebih muda.

Kedua petugas itu bergegas keluar lewat gerbang depan. Saat itu pintu apartemen tempat tinggal Mrs. Bortz terbuka.

­"Berbuat apa para remaja itu tadi, Mr. Prentice?" tanya wanita gemuk itu.

Sebuah pintu terbuka di sisi kanan pekarangan dalam itu. Seorang pemuda muncul dengan sikap santai. Ia mengusap-usap mata, seperti baru saja bangun. Jupe agak kaget, ketika melihat orang itu.

"Ada apa?" tanya Bob berbisik.

"Tidak ada apa-apa," balas Jupe. "Nanti saja kukatakan."

Anda tidak menjawab pertanyaanku, Mr. Prentice!" kata Mrs. Bortz ketus. "Apa yang akukan para remaja ini?"

"Anda tidak perlu tahu, karena bukan urusan anda," balas Mr. Prentice. "Kedua polisi itu mencari ­orang-mestinya seorang penjahat-yang lari kemari dari gang yang di belakang, lalu keluar lewat gerbang depan."

"Pencuri," kata pemuda yang muncul dari apartemen yang di seberang kolam renang. Ia memakai baju wol berwarna gelap serta celana ­anjang cokelat muda, selanjutnya sepatu santai tanpa kaus kaki. Jupiter, yang bangga terhadap kemampuannya memperhatikan hal-hal yang paling kecil sekalipun, melihat bahwa rambut pemuda itu-yang lemas dan berwarna cokelat tua-sudah agak lama tidak dikeramas. Tubuhnya ceking, dan agak lebih tinggi dari Pete.

"Pintar sekali Anda ini, Sonny Elmquist!" kata Mrs. Bortz. "Bagaimana Anda bisa tahu, yang mereka cari itu pencuri?"

Pemuda yang bernama Sonny Elmquist itu nampak gugup. Ia meneguk ludah, menyebabkan jakunnya bergerak-gerak turun-naik di sebelah atas kerah baju wolnya.

"Kalau bukan pencuri, lalu apa?" balasnya dengan nada bertanya.

"Semuanya menyebar!" Seruan itu datang dari arah jalanan di depan. "Periksa lorong-lorong dan geledah gereja itu!"

Trio Detektif pergi ke luar, disertai Fenton Prentice. Mereka berdiri di undak-undakan di depan gedung apartemen. Di jalan nampak empat mobil patroli polisi. Cahaya senter menyorot kian kemari, sementara sejumlah polisi menyuruk ke dalam semak belukar dan menjenguk ke pekarangan rumah-rumah dengan sikap curiga, mencari-cari pria bertopeng tudung ski berwarna hitam yang lari tadi. Sebuah helikopter melayang-layang di atas dengan bunyinya yang berisik.

Cahaya lampu sorotnya terarah ke bawah, bergerak-gerak menelusuri lorong-lorong gelap. Di depan sejumlah ambang pintu rumah sepanjang jalan nampak orang berkelompok-kelompok, ikut menonton.

"Ia pasti ada di sekitar sini!" seru salah seorang polisi yang sedang sibuk mencari. "Tidak mungkin sudah jauh larinya!"

Seorang pria bertubuh pendek kekar berdiri di trotoar, sambil bicara dengan sikap tegang pada seorang letnan polisi. Sementara Jupe beserta kedua temannya masih memperhatikan. orang itu berpaling, lalu bergegas menuju undak-undakan gedung apartemen di mana mereka berada.

"Fenton!" seru pria itu memanggil. "Fenton Prentice!"

Mr. Prentice turun menyongsong pria itu yang kemudian memegang lengannya, lalu menceritakan sesuatu padanya. Mr. Prentice mendengarkan dengan penuh minat. Nampaknya pria berumur lanjut itu sudah melupakan kehadiran Trio Detektif.

Pete menyikut Jupe.

"Yuk, kita ke gereja untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana," katanya mengusulkan.

Di gereja, pintu-pintu terpentang lebar. Sejumlah orang, di antaranya Mrs. Bortz dan Sonny Elmquist, berdiri mengelompok di trotoar sambil memandang dengan asyik ke dalam bangunan itu, di mana nampak dua orang polisi sedang melakukan penggeledahan. Mereka membungkuk-bungkuk, mencari-cari di bawah bangku-bangku.

Jupiter melewati kerumunan orang yang menonton, tanpa mengatakan apa-apa. Dinaikinya dua jenjang yang ada di depan gereja, lalu masuk ke dalam. Ia melihat lilin-lilin menyala remang, berjejer pada rak-rak di depan altar. Lilin-lilin kebaktian persiapan Hari Natal yang berwarna merah, biru, dan hijau. Jupiter melihat sejumlah sosok yang tegak kaku tanpa gerak: patung-patung di atas tonggak, patung-patung di lantai, ada yang dipasang di sudut, dan ada pula yang diletakkan menempel ke dinding. Ia juga melihat seorang sersan polisi yang sedang berhadapan dengan seorang lelaki. Orang itu bertubuh gempal berwajah merah, dan menating setumpuk buku kecil.

"Sungguh, tidak ada yang masuk kemari," ujar lelaki bertubuh gempal itu. "Sejak tadi saya di sini terus. Kalau ada yang masuk, pasti saya melihatnya. "

"Ya, ya, baiklah," kata sersan yang menghadapinya. "Sekarang saya harap Anda pergi saja. Kami harus menggeledah bangunan ini." Sersan itu berpaling, memandang Jupe. "Kau juga, Nak," katanya. "Keluar!"

Jupe ikut keluar bersama lelaki yang marah-marah itu, yang masih terus memeluk buku-buku yang rupanya sudah dibawa sejak tadi. Di luar, seorang pria yang masih termasuk muda mendatangi kerumunan penonton. Pria itu bertubuh kurus, berpakaian serba hitam dengan kerah kemeja putih berbentuk bulat. Pastilah dia pastor gereja itu, kalau dilihat dari dandanannya. Selain dia, ada pula seorang wanita pendek yang saat itu baru datang. Rambut wanita itu sudah beruban, dan dikonde. Konde itu kecil dan rendah letaknya, pada pangkal tengkuk.

"Father McGovern!" seru lelaki yang membawabawa tumpukan buku. Seruannya ditujukan pada pastor yang baru datang. "Anda harus bilang pada mereka. Sejak tadi saya terus ada di dalam gereja. Orang yang mereka cari-cari itu tidak mungkin bisa masuk ­tanpa saya lihat."

­"Sudahlah, Earl!" kata pastor itu menenangkan. "mereka ditugaskan begitu, jadi harus menggeledah."

"Bagaimana?" kata lelaki yang bernama Earl, sambil mencorongkan tangan ke dekat telinga.

"Mereka memang ditugaskan menggeledah," kata Pastor mengulangi, dengan suara lebih lantang. "Tadi Anda sedang di mana?"

"Di serambi kor," jawab Earl, "mengumpulkan buku nyanyi, seperti biasa."

"Hahh!" Wanita pendek yang sudah beruban mendengus sambil tertawa. "Kalau ada kawanan gajah gedebak-gedebuk masuk pun, Anda takkan mendengarnya. Anda kan tuli, dan makin lama makin payah."

Terdengar suara seseorang tertawa geli, di antara orang-orang yang berkerumun menonton.

"Nah, nah, Mrs. O'Reilly," ujar Pastor mengecam dengan halus. "Mari, kita pulang saja sekarang,lalu anda buatkan teh yang hangat. Earl, nanti kalau polisi sudah selesai, Anda kembali kemari untuk mengunci semuanya. Kita tidak perlu ikut-ikut di sini, karena sebenarnya bukan urusan kita."

Orang-orang yang menonton agak menepi, memberi jalan untuk Earl, pendeta, dan wanita Pendek yang sudah beruban rambutnya. Sesudah ketiga orang itu masuk ke rumah berdinding semen di sebelah, salah seorang yang berdiri menonton keramaian itu memandang sambil nyengir ke arah Trio Detektif.

­"Kalian anak-anak sini?" tanya orang itu. Bicaranya agak dikeraskan, untuk mengalahkan bunyi berisik yang berasal dari helikopter yang masih terus terbang berputar-putar di atas.

"Bukan," jawab Bob.

"Selalu saja ramai," kata pria yang bertanya itu sambil menunjuk ke arah rumah Pastor dengan anggukan kepala. "Earl tadi itu dipekerjakan di sini sebagai pengurus gereja, tapi soknya seakan-akan dialah yang berkuasa. Mrs. O'Reilly dipekerjakan sebagai pengurus rumah tangga Pastor, tapi sikapnya seolah-olah dialah yang berkuasa atas segala-galanya di sini. Father McGovern sibuk setengah mati karenanya, untuk mencegah jangan sampai dijajah habis-habisan oleh kedua pekerjanya itu."

"Kasihan pastor itu, harus menanggung beban begitu berat," sela seorang wanita. "Seorang wanita Irlandia berpikiran kuno yang sedikit-sedikit sudah ribut, ditambah pembantu berkepala batu yang mengira gereja pasti ambruk jika tidak ada dia yang merawat."

Saat itu sersan polisi yang tadi muncul dari dalam gereja, diikuti polisi-polisi yang melakukan penggeledahan.

"Oke, mana orang itu tadi, yang bertugas sebagai pengurus di sini?"

"Sedang minum teh, di rumah Pastor," kata orang yang tadi berbicara dengan Trio Detektif. "Sebentar, saya panggil dia!"

­Pesawat helikopter polisi terbang berputar sekali di atas daerah itu, lalu menjauh ke arah utara.

Letnan yang tadi berbicara dengan Mr. Prentice jalan, datang menghampiri.

"Tidak ada siapa-siapa di dalam," kata sersan petisi melaporkan hasil penggeledahan gereja. Letnan polisi itu mendesah.

"Aku tidak bisa mengerti, bagaimana ia bisa begitu cepat lari dari sini," katanya, "Helikopter kita hanya berhasil menemukan orang yang kita lari, kecuali jika ada tempat untuk bersembunyi. Sudahlah, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan malam ini."

Earl, pekerja yang mengurus kerapian gereja, datang bergegas-gegas dari rumah Pastor. Ia masuk ke gereja dengan langkah-langkah marah, lalu menutup pintu dengan keras.

Beberapa menit kemudian mobil-mobil patroli berangkat meninggalkan tempat kejadian itu. Sementara itu orang-orang yang menonton mulai bubar, pulang satu demi satu.

Jupiter, Pete, dan Bob kembali ke gedung apartemen. Fenton Prentice masih ada di depan. Ia bercakap-cakap dengan pria bertubuh pendek kekar yang menyapanya tadi, sebelum Trio Detektif pergi melihat kesibukan polisi mencari-cari di gereja.

"Maaf jika kami mengganggu, Mr. Prentice," kata Jupiter ,menyela percakapan kedua pria itu, "tapi.."

"Tidak apa-apa." Mr. Prentice nampak sangat ­lesu. "Aku baru saja mendengar dari Charles-maksudku, Mr. Niedland ini-apa yang menyebabkan keributan ini?"

"Rumah abangku dimasuki pencuri," kata teman Mr. Prentice itu, yang walau sudah beruban tapi masih lebat rambutnya. "Rumahnya di Lucan Court, jalan yang bersebelahan dengan jalan ini."

"Aku ikut sedih, Charles," kata Mr. Prentice. "Perasaan Anda pasti sangat terluka karenanya."

"Anda juga," kata Charles Niedland. "Sebaiknya Anda jangan terlalu memikirkannya. Cobalah beristirahat sedikit, untuk menenangkan perasaan. Besok kita bicara lagi."

Setelah itu Charles Niedland memasuki pekarangan gedung apartemen, melintasinya, lalu pergi lewat lorong sebelah belakang. Menurut dugaan Jupiter, lorong itu mestinya menuju ke suatu gang dan ke gedung-gedung yang terletak di jalan di belakang Paseo Place.

Fenton Prentice duduk di tangga, seolah-olah sudah tidak kuat lagi berdiri.

"Keji sekali perbuatan itu!" ujarnya.

"Maksud Anda. pencurian itu?" tanya Bob.

"Edward Niedland itu sahabatku," kata Mr. Prentice menjelaskan. "Sahabat yang sangat kusayangi, dan seniman yang berbakat. Ia meninggal dunia dua minggu yang lalu, karena terserang radang paru-paru."

Ketiga remaja yang masih menemaninya membisu.

"Kehilangan yang sangat besar," kata Fenton Prantice lagi. "Sangat berat bagiku menerima kenyataan itu, begitu pula bagi saudaranya, Charles Niedland tadi. Lalu sekarang rumahnya kemalangan."

"Ada yang hilang?" tanya Bob.

Charles belum bisa mengatakannya dengan pasti. Sekarang ia ke sana untuk mengecek isi rumah, bersama polisi."

Anak-anak mendengar orang berjalan dengan langkah-langkah pasti di trotoar yang mereka belakangi saat itu. Bob dan Pete berpaling. Seorang pria berpenampilan sehat dan periang dengan baju hangat berwarna kuning keabu-abuan menginjakkan kaki ke tangga beralas ubin dengan langkah enteng, hendak menuju ke pekarangan apartemen. Ia tertegun ketika melihat Mr. Prentice duduk di situ, ditemani tiga remaja pria berdiri mengelilinginya.

"Ada apa?" tanya orang yang baru datang itu dengan pandangan heran.

"Jadi ada pencurian di sekitar sini, Mr. Murphy," kata Mr. Prentice. "Polisi baru saja mengejar pelakunya kemari, lalu melakukan penggeledahan untuk mencarinya."

"Pantas begitu banyak mobil polisi berkeliaran," kata pria yang baru datang itu. "Bagaimana, tertangkap tidak orang itu?"

"Sayang sekali tidak!"

"Sayang," kata Mr. Murphy. Ia mengitari Mr. Prentice yang masih terus duduk, lalu menaiki tangga menuju ke pintu gerbang. Tidak lama kemudian terdengar pintu salah satu apartemen terbuka, lalu ditutup lagi.

"Rasanya lebih baik aku ke atas saja sekarang, untuk beristirahat," kata Mr. Prentice. Ia berdiri dengan lesu. "Harap kalian menelepon aku besok, Anak-anak. Dan mudah-mudahan kalian bersedia menolong aku. Aku tidak tahan lagi, terus-terusan begini. Mula-mula rongrongan gaib itu, lalu kematian Edward, dan sekarang pencurian-semuanya itu beban yang terlalu berat bagiku. Aku tidak tahan lagi!"

­Bab 3 OBAT AJAIB

­KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Bob Andrews dan Pete Crenshaw sudah muncul di depan The Jones Salvage Yard. Perusahaan yang berdagang barang-barang bekas itu milik paman dan bibi Jupiter, Paman Titus dan Bibi Mathilda Jones, Paman Titus yang paling sering berbelanja untuk melengkapi barang-barang yang dijual di tempat itu. Dia memiliki bakat untuk mengumpulkan benda-benda yang tidak lazim, di samping barang-barang rombengan biasa. Para peminat berdatangan dari segala penjuru kawasan California Selatan, untuk mencari-cari di tengah timbunan barang-barang yang dikumpulkannya. Papan-papan bingkai pelapis dinding yang diselamatkan dari rumah-rumah yang akan dibongkar, pagar-pagar besi yang serba indah buatannya, batu pualam pelapis perapian, bak-bak mandi model kuno yang kaki-kakinya berbentuk kaki binatang, tombol-tombol serta engsel-engsel pintu dari kuningan-barang-barang seperti itu bisa ditemukan di antara benda-benda bekas yang diperdagangkan oleh Paman Titus beserta istrinya. Bahkan ada pula sebuah orgel besar kuno di situ. ­Paman Titus tidak mau menjual alat musik itu, karena ia sendiri menyukainya.

Ketika Bob dan Pete tiba di situ, tidak ada orang berkeliaran di sela-sela tumpukan barang rombengan untuk mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa dibeli dengan harga murah. Selain tidak ada orang, pintu gerbang besi yang besar juga masih tertutup dan digembok.

Pete menguap.

"Kadang-kadang aku menyesal, kenapa aku kenal dengan Jupiter Jones," ujarnya dengan kesal. "Seenaknya saja anak itu, menelepon pukul enam pagi!"

"Yah-memang begitu watak kawan kita itu," kata, Bob. "Tapi kita kan tahu, jika ia sampai menelepon sepagi itu, pasti ada urusan penting, Yuk!"

Kedua remaja itu pergi meninggalkan pintu gerbang yang masih tertutup. Mereka menyusur pagar papan yang membatasi kompleks perusahaan barang bekas itu. Pagar itu dihiasi lukisan-lukisan yang dibuat oleh sejumlah seniman Rocky Beach kenalan Paman Titus yang sekali-sekali mendapat pertolongannya. Dinding pagar sebelah depan dihiasi lukisan pemandangan laut yang sedang bergelora, dengan sebuah perahu layar terombang-ambing dipermainkan ombak yang menggunung. Di latar depan. gambar seekor ikan yang kepalanya tersembul dari dalam air, memandang ke arah kapal layar yang sudah nyaris tenggelam. Bob menusukkan jari ke mata ikan itu, dan dua lembar papan pagar yang berwarna hijau ayun ke atas. Itulah jalan rahasia untuk masuk ke dalam pekarangan kompleks, yang diberi nama Gerbang Hijau Satu.

Bob dan Pete menyusup masuk, lalu pintu rahasia itu tertutup kembali di belakang mereka. Kedua remaja itu kini berada di bengkel Jupiter yang di luar. Bengkel itu terletak di suatu tempat yang dipisahkan dari pekarangan selebihnya dengan tumpukan barang bekas yang diatur secara cermat. Di bengkel itu terdapat sebuah mesin cetak kecil. Di belakang mesin itu ada ­macam lembaran pintu terali besi. Bob menariknya ke samping. Setelah itu ia membungkuk, lalu merangkak masuk ke Lorong Dua. Ini berupa pipa seng berukuran agak besar, yang menghubungkan bengkel dengan Markas, lewat di bawah timbunan barang rombengan.

Sedang markas Trio Detektif adalah sebuah karavan rongsokkan yang ditempatkan di salah satu sisi pekarangan itu. Letaknya tersembunyi di balik timbunan kayu bekas dan besi tua.

Pete menyusul masuk ke dalam pipa terowongan, sambil menarik pintu terali ke tempat semula. Kedua remaja itu merangkak-rangkak dalam pipa yang panjangnya sekitar dua sampai tiga belas meter, dan berujung di bawah tingkap yang terdapat di lantai karavan.

"Kenapa baru sekarang kalian datang?" Demikianlah pertanyaan Jupiter Jones, ketika Bob mendorong tingkap ke atas. Remaja bertubuh gempal pemimpin Trio Detektif itu berada di ruang laboratorium mini yang dilengkapi sendiri oleh mereka bertiga.

Bob tidak menjawab, sementara Pete memanjat masuk karavan sambil mengerang. "Aku merasa lebih enak jika sudah menyikat gigi dan berpakaian dulu sebelum kemari," ujarnya.

"Apa sih yang begitu penting sehingga kita harus bangun begini pagi-dan apa itu?" Pete menuding guci tembikar yang dipegang Jupiter.

Jupiter memiringkan guci itu, memperlihatkan isinya yang ternyata butir-butir kristal berwarna putih.

"Bubuk ajaib," katanya.

Pete menghenyakkan diri ke sebuah kursi. Ia bersandar dengan lesu ke sebuah lemari arsip. Nampak jelas bahwa ia masih mengantuk.

"Aku paling benci jika kau sudah mulai sok misterius," katanya, "apalagi jika saatnya begini pagi!"

Jupiter mengambil sebuah botol berisi air dari rak sebelah atas meja laboratorium, lalu menuangkan beberapa tetes ke atas butir-butir kristal tadi. Kemudian ia mengaduk-aduk dengan sebuah sendok kecil dari plastik.

"Butir-butir putih ini kristal salah satu persenyawaan logam," katanya. "Menurut keterangan dalam sebuah buku tua tentang ilmu kriminologi, kristal ini larut dalam air."

Bob mendesah.

­"Kau hendak menguliahi kami tentang ilmu kimia."

"Mungkin," Jupe membuka sebuah laci, lalu mengambil sebuah tube yang berisi semacam pasta kental berwarna putih. Isi tube itu ditekannya keluar dan dimasukkan ke dalam guci, lalu diaduknya lambat-lambat dan dengan cermat, sehingga bercampur dengan adonan yang ada di situ. "Aku sengaja menyimpan salep ini, kalau kapan-kapan kita perlukan," katanya dengan bangga. "Bahan ini berkemampuan istimewa, bisa menyerap air."

Dengan wajah senang remaja itu menundukkan pala, memperhatikan adonan kental yang dapat dalam guci. "Kurasa sekarang sudah cukup," katanya sambil memasang penutup guci. "Sekarang kita punya obat ajaib!"

"Kalau sudah punya, lalu kenapa?" tukas Pete.

"Misalnya saja, obat ini kita oleskan pada suatu benda... katakanlah, pegangan laci meja tulis Mr. Prentice. Obat yang dioleskan itu akan tetap bersih, dan kelihatan putih. Tapi katakanlah, kemudian ada orang datang, lalu menyentuh pegangan laci itu. Dalam waktu setengah jam, akan ada bercak-bercak hitam pada jari orang itu-yang tidak bisa dihilangkan dengan air!"

"Aha!" kata Bob setengah berseru. "Kau memutuskan bahwa kita akan menangani kasus itu! "

"Kemarin, ketika sudah larut malam, aku ditelepon Mr. Prentice," kata Jupe. "Katanya ia ­tidak bisa tidur, karena beberapa kali merasa yakin sekali bahwa ada sesuatu yang samar-samar di dalam apartemennya. Ia merasa gugup dan takut karenanya. "

"Aduh, Jupe-orang itu sinting rupanya!" kata Pete. "Apa yang bisa kita perbuat untuk dia?"

"Ya, mungkin saja kesemuanya itu hanya ada dalam khayalannya saja," kata Jupiter membenarkan. "Menurut perasaanku, ia jarang sekali bergaul dengan orang lain. Dan orang yang hidupnya selalu menyendiri, kadang-kadang memang suka mengkhayalkan yang bukan-bukan. Itulah sebabnya kenapa aku semula ragu, akan kita tangani atau tidak kasusnya. Tapi mungkin kita bersikap tidak adil padanya jika kasus ini tidak kita selidiki. Sewaktu mengatakan bahwa ia tidak bisa mengadukan masalahnya pada polisi, ia memang berkata sebenarnya. Jika ternyata bahwa ia dirongrong khayalannya sendiri, mungkin kita tidak bisa menolongnya. Tapi jika di balik segala kejadian ini benar-benar ada seseorang, barangkali kita akan bisa menyelidiki siapa dia sebenarnya. Aku yakin, itu pasti akan melegakan Mr. Prentice."

Jupiter memandang kedua rekannya. "Sekarang bagaimana-kutelepon saja dia untuk mengatakan bahwa kita akan datang?"

Bob tersenyum.

"Sebelum kau tadi menelepon kami, kau sudah tahu bagaimana jawaban kami," katanya.

"Baguslah, kalau begitu," kata Jupe lagi. "Bis paling pagi dari Rocky Beach ke Los Angeles akan ­berangkat pukul tujuh. Aku sudah meninggalkan surat untuk Bibi Mathilda, memberi tahu bahwa pagi ini kita tidak ada di sini."

Pete menyodorkan gagang pesawat telepon padanya.

"Kalau begitu cepat-cepat sajalah kautelepon Mr. Prentice, lalu kita berangkat," kata Pete. "Aku tak ingin masih ada di sini waktu bibimu menemukan suratmu itu. Kau kan mendengar omongannya kemarin. Banyak sekali tugas yang menurut rencananya harus kaukerjakan-dan tak satu pun di antaranya menyuruhmu mengoleskan obat ajaib di apartemen orang!"

­Bab 4 ANJING SILUMAN

SAAT itu sudah hampir pukul delapan, ketika Trio Detektif turun dari bis, lalu berjalan kaki menuju Paseo Place. Father McGovern, pastor gereja St. Jude sedang berada di depan tempat tinggalnya sambil merogoh-rogoh kantung ketika ketiga remaja itu lewat. Pastor itu mengucapkan selamat pagi pada mereka, sambil mengangguk dengan sikap ceria.

Jupe beserta kedua rekannya tidak berjumpa dengan Mrs. Bortz yang menyebalkan itu sewaktu mereka masuk ke gedung apartemen tempat tinggal Mr. Prentice. Tapi mereka juga tidak menjumpai pria berumur lanjut itu di rumahnya. Sebagai gantinya, mereka menemukan sepucuk surat yang dicantelkan di pintu apartemen.

"Kepada ketiga temanku yang remaja," demikianlah bunyi awal surat itu. "Aku saat ini ada di Lucan Court nomor 329. Rumah itu letaknya tepat di belakang bangunan ini. Aku menunggu kalian di sana. Datanglah lewat pintu depan."

Jupe memasukkan surat itu ke kantungnya.

"Itu rumah yang kemarin kemasukan maling," katanya.

"Apa yang kalian lakukan di situ?"

­Anak-anak yang saat itu berdiri di balkon memandang ke bawah. Mereka melihat Mrs. Bortz yang baru saja muncul dari apartemennya. Rambut wanita itu acak-acakan. Ia hanya memakai kimono.

"Mr. Prentice tidak ada di rumah?" tanya wanita berambut merah itu.

"Kelihatannya tidak," jawab Jupiter.

"Ke mana dia sepagi ini?" tanya wanita itu lagi.

Anak-anak tidak menjawab. Mereka menuruni tangga, melintasi pekarangan, lalu keluar lewat sebelah belakang-sebuah gang sempit yang melewati ruang cuci dan sebuah gudang, setelah mereka menaiki beberapa anak tangga menuju sebuah lorong. Sambil berjalan ketiga remaja itu melihat tong-tong sampah, garasi-garasi, serta sisi belakang gedung-gedung yang menghadap ke arah yang bersebelahan.

Seperti dikatakan oleh Mr. Prentice dalam suratnya, Lucan Court nomor 329 bertolak belakang letaknya dengan gedung apartemen tempat tinggal pria yang sudah berumur lanjut itu. Bangunannya berkerangka kayu, berbentuk persegi empat, dan tidak bertingkat. Ketika Pete membunyikan bel di depan, pintu dibukakan oleh Charles Niedland, pria berambut ubanan yang malam sebelumnya bercakap-cakap dengan Mr. Prentice. Penampilannya kuyu.

"Masuklah," ujar pria itu sambil mundur sedikit. Pintu depan dibukanya lebar-lebar.

Tempat yang dimasuki Trio Detektif merupakan rumah yang merangkap studio. Sebagian dari langit-langit ruang duduk terbuka, sehingga cahaya dari luar bisa masuk lewat atas. Di ruangan itu tidak terhampar karpet, sedang perabot juga hanya sedikit. Sebuah kuda-kuda tempat menyandarkan kanvas lukisan dan beberapa meja gambar terdapat di situ. Dinding-dinding penuh dengan foto dan gambar sketsa yang dilekatkan dengan paku payung, dan di mana-mana nampak buku bertumpuk-tumpuk. Selanjutnya ada pula pesawat televisi berukuran sangat kecil, begitu pula perlengkapan musik stereo yang kelihatan canggih, serta koleksi piringan hitam yang banyak sekali.

Fenton Prentice duduk bertopang dagu di sebuah dipan. Ia kelihatan letih. Tapi sikapnya tenang.

"Selamat pagi, Anak-anak," sapanya. "Mungkin kalian berminat mengusut satu teka-teki lagi. Ternyata yang kemalingan kemarin itu aku."

"Aku yakin, itu cuma karena kebetulan saja, Fenton," kata Charles Niedland dengan nada menyabarkan "Pencuri itu pasti buru-buru minggat begitu mendengar polisi datang, sebelum ia sempat mengambil apa-apa selain Anjing Karpatia itu." Ia menoleh ke arah Trio Detektif. "Menurut Mr. Prentice, kalian bertiga ini memiliki bakat detektif. Tapi kurasa dalam kasus kali ini tidak ada hal luar biasa yang perlu diusut. Maling kemarin itu masuk lewat jendela dapur. Dengan alat pemotong kaca dilubanginya kaca jendela, lalu sesudah itu dibukanya gerendel yang ada di sebelah dalam. Cara yang biasa-biasa saja."

"Tapi dia hanya mengambil Anjing Karpatia," kata Prentice berkeras.

"Polisi tidak menganggap hal itu aneh," kata Charles Niedland. "Menurut mereka, pesawat televisi itu boleh dibilang tidak ada harganya. Ukurannya hanya sembilan inci! Sedang pesawat srereo, di bagian bawah alat pemutar piringan hitam dan pada kedua pengeras suara tertera nomor asuransi sosial saudaraku. Jadi pasti sulit mencari tukang tadah yang mau membeli. Selebihnya sama sekali tidak ada barang berharga sini. Gaya hidup almarhum saudaraku sangat sederhana."

"Seniman hebat," kata Mr. Prentice. "Ia hidup semata-mata untuk seni."

"Apa itu, Anjing Karpatia?" tanya Pete.

Charles Niedland tersenyum.

"Seekor anjing," jawabnya. "Anjing yang mungkin sebenarnya tidak pernah ada, kecuali dalam pikiran beberapa orang yang percaya pada takhyul. Almarhum saudaraku berwatak romantis. Ia suka menampilkan hal-hal yang romantis dalam karyanya. Di kawasan Pegunungan Karpatia-di Eropa Tenggara-ada sebuah desa, yang menurut legenda dua abad yang lalu pernah diganggu anjin­g siluman. Penduduk desa Pegunungan Karpatia itu terkenal percaya pada takhyul. Ini kalau u tidak keliru."

­Jupiter mengangguk dengan gaya orang yang tahu

"Kawasan itu juga dikenal dengan nama Transilvania. Menurut cerita-cerita lama, Drakula yang suka mengisap darah itu dulu juga hidup di sana."

"Betul," kata Charles Niedland, "tapi anjing siluman itu bukan vampir pengisap darah. Dan juga bukan serigala jadi-jadian. Menurut kepercayaan penduduk desa di sana, anjing itu hantu seorang bangsawan. Semasa hidupnya orang itu gemar sekali berburu, dan demi kegemarannya itu ia membiakkan sekawan anjing pemburu yang ganas. Menurut cerita, anjing-anjing itu masih keturunan serigala. Si bangsawan menginginkan mereka dalam keadaan galak sewaktu dibawa berburu, jadi dengan sengaja anjing-anjing itu diberi makan sedikit, supaya selalu kelaparan. Pada suatu malam seekor di antara anjing-anjing itu terlepas dari kandang, lalu membunuh seorang anak kecil. Begitulah menurut kisahnya."

"Ih, ngeri!" seru Bob.

"Ya, memang kejadian yang menyedihkan, jika memang benar pernah terjadi. Ayah si anak yang menjadi korban menuntut agar anjing-anjing itu dibinasakan. Sang bangsawan menolak. Lagi-lagi menurut cerita, ia melemparkan sejumlah uang pada orang desa yang malang itu, sebagai penebus nyawa anaknya. Sang ayah tentu saja marah sekali. Dalam keadaan begitu ia mengambil batu, lalu melemparkannya ke arah bangsawan tadi yang tewas karenanya, walau tidak dengan seketika. Sebelum menghembuskan napas penghabisan, bangsawan galak itu mengutuk desa serta segenap penghuninya. Ia bersumpah akan datang dan merongrong desa."

"Dan ia kembali dalam wujud anjing?" kata Pete.

"Anjing yang luar biasa besarnya," kata Charles Niedland. "Anjing raksasa yang sangat lapar, dan dari rupanya mungkin saja setengah serigala. Kawanan anjing pemburu milik bangsawan yang tewas itu sudah dibinasakan semuanya, tapi pada malam-malam yang gelap suatu makhluk kurus kering sampai tulang rusuknya membayang di bulunya, gentayangan di desa itu sambil melolong-lolong. Penduduk desa setengah mati ketakutan. Ada yang menaruh makanan di luar rumah untuk binatang itu. Tapi anjing itu tidak bisa, atau tidak mau makan. Jadi, jika benar anjing siluman itu hantu si bangsawan, maka kutukannya sebelum meninggal menjadi kenyataan. Ia benar-benar kembali untuk menghantui desa itu. Tapi ada segi keadilan yang pahit yang menyertainya, karena ia-sebagai anjing siluman-selalu kelaparan, seperti yang semasa hidupnya dialami anjing-anjing peliharaannya. Lama-kelamaan, desa itu menjadi sunyi, karena ditinggalkan penduduknya. Jika anjing setan itu masih gentayangan di sa­na, ia gentayangan di tengah bekas desa yang sepi tak berpenduduk."

Dan anjing itu dilukis oleh saudara Anda?" tanya Jupe.

­"Edward bukan pelukis," kata Charles Niedland menjelaskan. "Ia memang membuat sketsa-sketsa sebagai rancangan, tapi sebenarnya ia pematung. Ia bekerja dengan bahan gelas dan kristal. Kadang-kadang kristal, yang dikombinasikan dengan bahan-bahan logam."

"Anjing Karpatia merupakan karya yang sangat indah," kata Fenton Prentice. "Edward Niedland membuatnya khusus untukku. Patung itu sebenarnya sudah selesai bulan lalu, tapi tidak langsung diberikannya padaku. Waktu itu Edward sedang menyiapkan pameran karya-karyanya yang paling baru, di Galeri Maller, dan ia ingin menyertakan Anjing Karpatia. Aku tentu saja dengan senang hati mengizinkannya. Tahu-tahu sekarang patung itu lenyap!"

"Jadi itu patung anjing yang terbuat dari kaca," kata Bob.

"Kristal," kata Mr. Prentice mengoreksi. "Kristal dan emas."

"Kristal memang sejenis kaca," sela Charles Niedland, "tapi jenis yang sangat istimewa. Kristal terbuat dari pasir yang sangat halus dan banyak mengandung oksida timah hitam. Karenanya lebih berat, dan juga lebih cemerlang jika dibandingkan dengan kaca biasa. Saudaraku bekerja dengan bahan kaca-dan kristal-yang dilelehkan. Bahan yang sangat panas itu dibentuknya dengan berbagai alat, lalu dipanaskan lagi jika mulai mendingin, dibentuk lagi, kemudian dipanaskan lagi-begitu terus, sampai diperoleh bentuk yang diinginkan. Setelah bentuk yang dikehendaki selesai dibuat, bahan itu kemudian diolah lebih lanjut, digerinda, digosok dengan kulit, dan dipoles dengan larutan asam. Akhirnya selesai dan terciptalah patung Anjing Karpatia yang hebat. Pinggiran matanya dari emas, begitu pula busa menggelembung di moncongnya. Menurut legenda, mata anjing siluman itu memang menyala-nyala."

"Mungkin Anda akan bisa memperolehnya kembali," kata Bob dengan nada optimis. "Benda langka seperti itu, tentunya sulit dijual."

"Itu tidak sulit, kalau calon pembelinya bukan orang yang segan-segan dan ia memang mengenal nilai karya Edward Niedland," kata Mr. Prentice. "Edward begitu muda... begitu berbakat. orang yang tidak segan-segan berurusan dengan pencuri, untuk bisa memperoleh salah hasil karyanya."

Jupiter memandang berkeliling, memperhatikan tempat tinggal yang bersahaja itu.

"Di sinikah ia bekerja?" tanyanya. "Tidakkah ia memerlukan tungku? Kan ia bekerja dengan kaca yang dilelehkan?"

"Edward memiliki bengkel kerja di Los Angeles Timur," kata Charles Niedland. "Di sanalah tempat kerjanya yang sebenarnya."

"Tidak adakah patung-patung lainnya di sini?" tanya Jupe lagi. "Saudara Anda itu, tidak adakah patung hasil karyanya yang tetap disimpan? Atau barangkali ditaruh di bengkelnya?"

­"Edward memiliki koleksi kecil-kecilan yang terdiri dari hasil karyanya sendiri serta pematung-pematung lain. Koleksi itu dulu disimpannya di sini. Setelah ia meninggal dunia, kupindahkan ke tempat yang lebih aman. Kebetulan saja Anjing Karpatia ada di sini, ketika rumah ini dimasuki pencuri."

Fenton Prentice mendesah.

"Pameran yang diadakan Edward di Galeri Maller berakhir beberapa hari yang lalu," kata Charles Niedland melanjutkan keterangannya. "Untuk keperluan itu ia meminjam sejumlah patung lain dari beberapa pembeli karya-karyanya dan setelah pamerannya berakhir patung-patung itu kukembalikan lagi pada masing-masing pemiliknya. Kemarin petang aku datang ke sini, maksudku hendak menyerahkan Anjing Karpatia pada Fenton, di samping menyortir buku-buku milik mendiang saudaraku. Aku tiba sekitar saat kalian menurut Fenton akan datang. Ia sudah bercerita tentang kalian, ketika aku meneleponnya untuk menanyakan kapan aku bisa datang. Jadi Anjing Karpatia ku biarkan di sini dulu, lalu aku keluar sebentar karena ingin makan dulu. Ketika aku kembali, kulihat dari balik jendela ada seseorang yang tak kukenal sedang menggerataki rumah Edward. Aku langsung menelepon polisi dari rumah salah seorang tetangga."

"Kau sih, Charles, kurang berhati-hati," kata Mr. Prentice. Nada suaranya agak getir.

­"Sudahlah, Fenton, kita tidak perlu bertengkar," jawab Mr. Niedland. "Kita anggap saja itu kesialan."

"Ada orang lain yang tahu bahwa Anjing Karpatia akan diserahkan kemarin?" tanya Jupe.

Kedua pria itu sama-sama menggeleng.

"Diasuransikan?" tanya Bob.

"Ya, tapi apalah gunanya jika tidak bisa diganti?" Balas Mr, Prentice. "Itu... yah, itu bisa disamakan dengan kehilangan lukisan Monalisa! Kehilangan benda berharga seperti itu, tidak mungkin bisa ditebus dengan uang!"

"Mestinya polisi sudah melakukan penelitian untuk mencari sidik jari dan lain-lainnya seperti itu," kata Jupe lagi.

"Mereka lama sekali sibuk kemarin malam, menaburkan bubuk pelacak sidik jari di mana-mana," jawab Niedland. "Kelihatannya mereka tak menemukan sesuatu yang kongkret. Sekarang mereka sedang meneliti arsip mereka tentang penjahat-penjahat yang sudah dikenal, karena barangkali saja ada spesialis pencurian benda seni yang terlibat dalam kasus ini."

"Saya yakin, mereka pasti bekerja dengan sangat cermat," kata Jupiter. "Saya sangsi, apakah masih ada lagi yang bisa kami lakukan."

Mr. Prentice mengangguk. Setelah pamitan dari Charles Niedland, diajaknya anak-anak kembali lewat lorong, dan dari situ memasuki pekarangan gedung apartemen tempat tinggalnya. Ketika mereka berempat sampai di pekarangan, ternyata Mrs. Bortz ada di situ, sedang menyiangi daun mati ­dari sebuah tanaman. Mr. Prentice berlagak tidak melihat wanita itu. Ia langsung naik ke atas, diikuti oleh anak-anak.

­Begitu sudah berada di dalam apartemen Mr. Prentice dan pintu sudah dikunci, Jupiter mengeluarkan botol berisi adonan yang dibuatnya, lalu menjelaskan rencananya.

"Pegangan laci-laci meja Anda terbuat dari bahan tembikar," katanya pada Mr. Prentice. "Itu cocok sekali untuk tujuan kita. Bahan kimia yang ada dalam botol ini bereaksi dengan logam dan bisa merusak tembaga atau kuningan. Tapi kalau tembikar, tidak apa-apa. Tombol-tombol pegangan laci itu akan kita olesi dengan adonan ini. Setelah itu kita pergi dari sini. Jika nanti ada orang masuk kemari selama kita sedang tidak ada lalu membuka salah satu laci, tangannya yang memegang tombol akan menjadi hitam."

"Perongrongku kelihatannya bisa keluar-masuk dengan seenaknya sendiri, tidak peduli apakah aku ada di sini atau tidak," kata Mr. Prentice. "Kecuali itu, nampaknya baik dinding maupun pintu tidak merupakan penghalang baginya. Jadi, tombol pegangan laci saja pasti takkan merepotkan baginya!"

"Setidak-tidaknya kita kan bisa mencoba, Mr. Prentice," kata Jupe. "Anda bercerita bahwa pernah suatu kali ketika Anda pulang, Anda melihat meja tulis Anda habis diacak-acak orang."

­"Baiklah," kata Fenton Prentice. "Aku mau mencoba apa saja. Lumurilah pegangan laci-laci mejaku, setelah itu kita pergi makan di luar."

"Asyik!" seru Pete. "Aku memang sudah sangat lapar!"

Jupe mengolesi semua tombol laci meja tulis Mr. Prentice dengan adonan bahan kimia yang dibuatnya. Ia memakai sapu tangan kertas untuk mengeluarkan adonan itu dari dalam botol. Setelah itu bersama kedua rekannya ia keluar mengikuti Mr. Prentice. Mereka berempat menuruni tangga dengan lambat-lambat, sambil berbicara dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan mengenai di mana mereka akan makan. Di pekarangan tidak ada siapa-siapa. Tapi di gerbang depan mereka menjumpai Mrs. Bortz dan pemuda bertubuh kurus yang bernama Sonny Elmquist. Mereka berdua sedang memandang ke arah gereja.

Di depan pintu rumah ibadat itu nampak sebuah mobil ambulans.

"Ada apa di sana?" tanya Pete.

"Itu, orang yang mengurus gereja," kata Elmquist, "ia cedera! Pastor menemukannya beberapa saat yang lalu, di serambi kor!"

­Bab 5 BELANG HITAM DI TANGAN

­TRIO Detektif bergegas mendatangi gereja itu, bersama Mr. Prentice. Ketika mereka tiba di bangunan yang terletak di sebelah itu, dua orang pria berpakaian putih-putih muncul dari dalam sambil menggotong usungan. Earl tergeletak di atasnya. Orang yang bertugas mengurus kerapian gereja itu diselubungi dengan selimut yang menutup tubuhnya sampai ke dagu.

Father McGovern ikut keluar, bersama Mrs. O'Reilly, pengurus rumah tangganya yang bawel.

"Ia mati," seru wanita itu berkeluh-kesah. "Mati! Dibunuh! Mati."

"Ia tidak mati, Mrs. O'Reilly, puji Tuhan!" Wajah pastor itu pucat-pasi. Tangannya gemetar sewaktu mengunci pintu gereja. "Kenapa aku tidak ikut kembali bersama dia kemarin malam dan membantunya mengunci pintu-pintu," katanya dengan nada menyesali diri. "Ini bukan pertama kalinya ia terjatuh-tapi bayangkan, ia terkapar sepanjang malam, di serambi kor!"

Pastor itu menuruni tangga depan gereja.

"Akulah yang bersalah, karena membiarkan dia dengan kebiasaannya," katanya lagi. "Sedapat mungkin ia selalu langsung memadamkan sebagian besar lampu-lampu, lalu berjalan sambil meraba-raba dalam gelap. Dengan begitu sangkanya ia akan menghemat biaya yang harus dikeluarkan."

"Apa yang bisa dihematnya sekarang, dengan perbuatan konyolnya ini?" tukas Mrs. O'Reilly. "Dan siapa sekarang yang harus melakukan pekerjaannya, selama ia enak-enak menganggur di rumah sakit?"

"Tentang itu Anda tidak perlu pusing, Mrs, ­O’Reilly," kata pastor itu. "Kenapa Anda tidak pulang saja dulu dan... dan membuat teh yang sedap untuk Anda sendiri?" Sambil berkata begitu masuk ke dalam ambulans yang langsung ditutup pintu belakangnya. Kendaraan itu mulai bergerak, meninggalkan gereja.

"Minum teh!" tukas Mrs. O'Reilly. 'Teh yang sedap, katanya! Bagaimana sih, orang itu?! Earl kepalanya bocor, mungkin dibunuh hantu gentayangan itu, tapi dia enak saja bicara tentang minum teh!"

Sambil mengomel panjang-pendek, wanita itu bergegas melewati Mr. Prentice dan Trio Detektif menuju ke tempat tinggal pastor.

"Dibunuh hantu gentayangan?" kata Bob dengan heran.

"Menurut perasaan Mrs. O'Reilly, di sekitar sini ada hantu," kata Fenton Prentice. "Katanya ia pernah melihatnya. Hantu bekas pastor yang meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Menurut cerita Mrs. O'Reilly, hantu pastor itu muncul di dalam gereja, tapi juga di jalan-jalan."

Ketiga remaja itu dan Mr. Prentice meneruskan langkah mereka, menuju Wilshire Boulevard.

"Mr. Prentice," kata Bob, "mungkinkah hantu gentayangan itu bayangan yang Anda lihat di apartemen Anda?"

"Bukan!" jawab F enton Prentice. "Aku pasti akan mengenali, jika bayangan itu hantu mendiang pastor-jika hantu itu benar-benar ada. Sejauh ini, cuma Mrs. O'Reilly saja yang pernah melihatnya. Ia mengatakan, hantu itu berkeliaran malam-malam di dalam gereja, sambil membawa lilin. Kenapa ia begitu, aku sama sekali tidak bisa membayangkannya. Mendiang pastor itu orang tua yang ramah. Ketika masih hidup, aku sering diajaknya main catur. Ia tidak biasa keluyuran malam-malam. Pukul sepuluh, biasanya ia sudah masuk ke tempat tidur."

Mereka berbelok di ujung jalan, dan memasuki Wilshire Boulevard. Di situ mereka berjalan sejauh beberapa blok, menuju sebuah restoran yang eksklusif. Di dalamnya, tombol-tombol pegangan pintu yang terbuat dari kuningan nampak kemilau karena tidak pernah lupa digosok selama bertahun-tahun. Kain taplak licin berkanji, dan bunga anyelir dalam vas di tengah-tengah meja yang mereka tempati jelas sekali merupakan bunga asli, tidak terbuat dari plastik. Saat itu sebenarnya sudah terlalu siang untuk sarapan, tapi masih agak pagi untuk makan siang. Hanya mereka berempat saja yang ada di ruang makan itu, di samping seorang pelayan yang berdiri dengan sikap menunggu dekat pintu yang menuju ke dapur.

"Mr. Prentice," ujar Jupiter, ketika makanan yang dipesan sudah dihidangkan, "gedung apartemen tempat tinggal Anda tidak bisa dibilang kecil, tapi selama ini saya lihat tidak banyak orang di sana, selain Mrs. Bortz...."

Mr. Prentice menarik muka tidak enak.

"Mrs. Bortz," kata Jupiter mengulangi, "lalu Sonny Elmquist. Pemuda itu kelihatannya selalu ada di rumah pada waktu orang lain biasanya pergi bekerja."

"Ia bekerja dari tengah malam sampai pagi di sebuah pasar di Vermont," kata Mr. Prentice. "Pemuda aneh! Agak memelas, sudah dewasa tapi masih saja dijuluki Sonny. Menurut yang kudengar, namanya sebenarnya Cedric. Ia menempati apartemen yang paling kecil. Kurasa penghasilannya tidak banyak. Selain dia, ada pula seorang wanita muda. Namanya Chalmers, Gwen Chalmers. Tinggalnya di apartemen yang bersebehan dengan tempat tinggal Elmquist. Kalian belum berjumpa dengan dia. Dia bekerja sebagai pegawai urusan pembelian di sebuah pasaraya di pusat kota. Sedang Mr. Murphy, ia adalah makelar saham."

"Dia yang baru pulang setelah polisi pergi kemarin malam?" tanya Bob.

"Betul. Ia menempati apartemen pojok di bagian belakang gedung," kata Mr. Prentice. "Kalian mungkin masih bisa melihatnya nanti. Ia selalu pagi-pagi sekali berangkat ke kantornya, karena bursa saham New York pagi-pagi sudah dibuka sedang waktu kita di sini tiga jam lebih lambat daripada di Pesisir Timur. Lewat tengah hari, biasanya ia sudah pulang. Keponakannya, seorang mahasiswa bernama Harley Johnson, saat ini sedang menginap di rumahnya. Kabarnya Murphy wali pemuda itu. Selanjutnya ada pula Alex Hassell, Manusia Kucing."

"Manusia Kucing?" tanya Pete dengan heran.

Fenton Prentice tersenyum.

"Itu julukan yang kuberikan padanya," katanya menjelaskan. "Soalnya, ia punya kebiasaan memberi makan pada kucing. Setiap petang, sekitar pukul lima segenap kucing liar yang hidup di sekitar sini berkumpul di depan pintunya. Kucing-kucing itu selalu diberinya makan. Di samping itu ia juga memelihara seekor kucing Siam."

"Apa pekerjaannya jika tidak sedang memberi makan kucing?" tanya Pete.

"Mr. Hassell tidak bekerja," kata Prentice. "Orangnya kaya-raya, jadi bisa hidup seenaknya. Kurasa ia suka keluyuran ke mana-mana, mencari kucing gelandangan yang perlu diberi makan. Jika menemukan kucing yang sakit atau luka, kucing itu dibawanya ke dokter hewan untuk dirawat."

"Kecuali yang sudah Anda sebutkan, siapa lagi yang tinggal di gedung apartemen Anda?" tanya Jupiter.

­"Penghuni yang selebihnya orang yang biasa-biasa saja. Seluruhnya, di gedung kami, ada dua puluh apartemen. Penghuninya kebanyakan bujangan, dan umumnya bekerja. Selama liburan ini sebagian besar dari mereka pergi berlibur ke rumah kawan atau kerabatnya. Saat ini hanya tinggal enam orang yang tidak pergi, termasuk aku. Atau tepatnya tujuh, jika keponakan Mr. Murphy, Harley si mahasiswa itu, ikut dihitung."

"Dengan begitu daftar tersangka menjadi lebih pendek," kata Jupe.

Mr. Prentice menatap Jupe dengan pandangan menyelidik.

"Jadi menurutmu, ada salah satu penghuni yang ­cara sembunyi-sembunyi ingin tahu sesuatu tentang diriku?"

"Itu tidak bisa saya katakan secara pasti, sebelum diperoleh bukti-bukti yang lebih banyak," jawab Jupe. "Tapi kemungkinan besar, pelakunya seseorang yang tahu kapan saat-saat Anda tidak ada di rumah. Jika orang itu melihat kita pergi tadi, mungkin ia akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menggeratak tempat kediaman Anda."

"Dugaanmu itu mungkin benar, Jupiter," kata Mr. Prentice sambil mengangkat bahu. "Jika ada orang yang ingin membuka laci mejaku pagi ini, cukup banyak kesempatan terluang untuk melakukannya."

Dengan isyarat tangan, dimintanya bon pada pelayan. Setelah menandatangani tanda pembayaran-Mr. Prentice berbuat begitu karena ia ­anggota klub yang mengelola restoran itu-ia keluar bersama Trio Detektif. Mereka kembali menelusuri Wilshire Boulevard, menuju Paseo Place. Ketika mereka lewat di depan gereja, jalan itu kelihatan lengang. Setiba di gedung apartemen mereka langsung menaiki tangga depan. Di dalam apartemen yang terletak, dekat gerbang depan, yaitu apartemen yang ditinggali oleh Mrs. Bortz. mereka mendengar bunyi air mengucur dan piring-piring berkelontangan di tempat cuci piring.

"Untung saja perempuan itu dari waktu ke waktu perlu juga makan," kata Mr. Prentice mengomentari. "Coba kalau tidak, takkan pernah kami bisa hidup tenang tanpa rongrongannya."

"Kelihatannya ia memang sering ada di mana-mana," kata Pete sambil tertawa.

­"Kurasa dari lahir ia sudah selalu ingin tahu dan gemar menggunjingkan orang lain," tukas Mr. Prentice. "Ada-ada saja pertanyaannya, sampai hal-hal yang sama sekali bukan urusannya. Ia bahkan tak segan-segan mengaduk-aduk tempat sampah. Sudah beberapa kali aku memergokinya. Andaikata tidak begitu pun, aku bisa menebaknya. Karena kalau tidak dengan cara mengintip isi tempat sampah, dari mana dia bisa tahu bahwa Miss Chalmers biasa makan hidangan beku yang dipanaskan, atau kucing-kucing liar yang diberi makan oleh Mr. Hassell dalam seminggunya menghabiskan lebih dari empat puluh kaleng makanan kucing?"

­Ketiga penyelidik remaja itu mengikuti Mr. Prantice ke apartemennya. Ketika pria itu membuka pintu apartemen dengan anak kuncinya, Jupiter memperingatkan,

"Nanti jangan sentuh apa pun juga di dalam."

Ia mengeluarkan kaca pembesar berukuran kecil dari kantungnya, lalu pergi ke ruang hobi Mr. Prentice. Dihampirinya meja tulis, lalu ditelitinya pegangan laci-laci dengan bantuan kaca pembesar.

"Aha!" serunya.

­Mendengar suara Jupe, dengan segera Mr. Prentice datang lalu berdiri di ambang pintu.

"Ternyata selama kita pergi tadi, ada orang datang dan membuka laci-laci meja ini," kata Jupiter. "Manusia biasa, dengan tangan yang meninggalkan bekas. Bahan kimia yang kuoleskan sini terhapus sedikit."

Bob pergi ke dapur untuk mengambil tisu. Dengannya Jupiter membersihkan pegangan laci-laci.

"Bolehkah kami membuka laci-laci ini?" tanyanya pada Mr. Prentice.

"Silakan!"

Jupiter membuka laci yang paling atas.

"Coba Anda periksa sebentar, barangkali ada barang yang hilang," katanya pada pria itu.

"Selama ini belum pernah ada sesuatu pun yang hilang," kata Mr. Prentke. "Tapi kelihatannya ada yang meneliti rekening dari kantor telepon itu. Tadi pagi letaknya masih di sebelah belakang."

­"Orang yang memungutnya, meninggalkan bekas jarinya di sampul ini. Rupanya banyak juga adonan bahan kimia yang melekat di tangannya.

Wajah Jupiter berseri-seri menandakan kepuasannya.

Setelah itu ia pergi ke pintu depan, lewat ruang duduk. Ia membungkuk, untuk meneliti tombol pegangan pintu.

"Aku tadi tidak mengolesi tombol ini dengan adonanku," katanya mengingatkan kedua rekan-rekannya, "tapi sekarang nampak bekas-bekas tangan di sini."

­"Kalau begitu, sekarang kita sudah tahu lewat mana tamu tak diundang itu keluar," kata Bob. "Ia membuka pintu depan, lalu keluar."

"Sedang tombol pengunci otomatis sebelumnya sudah ditekan dari dalam," kata Jupe. Ia membuka pintu, lalu memeriksa lubang kunci khusus itu dari luar. Kelihatan jejak-jejak bahan kimia di situ: "Betul," katanya, "rupanya ada yang memiliki anak kunci untuk membuka kunci khusus ini."

­"Itu mustahil!" kata Fenton Prentice, "Aku sendiri yang memesan kunci khusus itu, menggantikan kunci yang biasa, Tidak ada orang lain yang memiliki anak kunci itu untuk membukanya!"

"Tapi ternyata ada," kata Jupe bersikeras.

Pintu depan ditutup lagi. Bersama Mr. Prentice, ketiga penyelidik remaja itu melanjutkan pemeriksaan di dalam apartemen. Mereka menemukan bekas-bekas jari lagi di pinggir cermin di kamar mandi.

"Tamu tak diundang itu memeriksa lemari obat Anda," kata Jupiter pada Mr. Prentice.

Pria itu mendengus kesal.

"Yah, setidak-tidaknya ada kemajuan dalam penyelidikan kita," kata Jupiter.

"O, ya?" kata' Mr. Prentice.

"Tentu saja!" Nada suara Jupiter terdengar yakin. "Kita sekarang tahu bahwa perongrong An­da yang misterius itu tidak bisa membuka laci tanpa menyebabkan tangannya kotor. Dan ia tadi meninggalkan apartemen ini lewat jalan yang biasa, yaitu dengan membuka pintu depan. Sekarang kita ke pekarangan di bawah! Kita duduk-duduk di situ untuk mengamat-amati. Tidak lama lagi kita akan tahu, siapa orang yang di masuk kemari."

"Bagaimana jika orang itu bukan penghuni gedung ini?" tanya Mr. Prentice.

"Saya yakin, pelakunya orang sini juga," kata Jupe. "Orang yang tadi pagi melihat kita pergi beramai-ramai."

Ketiga remaja itu meninggalkan Mr. Prentice di apartemennya. Sampai di pekarangan, mereka menghampiri kursi-kursi yang tersedia di tepi kolam renang, lalu duduk di situ. Mereka menunggu.

"Hebat, kolam renang ini," kata Pete setelah beberapa saat membisu.

Bob berdiri dari kursinya, lalu berjongkok di tepi ­kolam. Ia memandang ke dasarnya, yang nampak jelas di bawah air yang jernih. Dasar kolam itu beralaskan ubin berwarna biru dan kuning keemasan, yang diatur secara acak,

"Wah, benar-benar indah," katanya mengomentari. "Aku jadi teringat kolam renang yang di dalam gedung mewah milik Randolph Hearst," katanya.

"Maksudmu, Hearst Castle yang di San Simeon itu?" tanya Pete.

"Yah. Wah, airnya dihangatkan," sambung Bob, setelah mencelupkan tangan ke dalam kolam.

Saat itu terdengar langkah orang berjalan menaiki tangga di depan. Pintu gerbang terbuka. Seekor kucing berbulu kelabu lari memasuki pekarangan, disusul seorang pria berambut cokelat muda yang mengenakan baju hangat putih dan jaket berwarna kuning kecokelatan. Pria itu memandang secara sambil lalu ke arah anak-anak yang sedang berada di tepi kolam, lalu melintasi pekarangan menuju sebuah pintu yang terdapat di sebelah belakang. Kucing kelabu tadi mengikuti-

nya, tapi ditinggal di luar ketika pria itu masuk ke apartemennya. Beberapa saat kemudian orang itu sudah keluar lagi dengan piring berisi makanan. Piring itu diletakkannya di ubin pekarangan. Kucing yang menunggu langsung makan dengan lahap, ditunggui pria tadi yang berjongkok di dekatnya.

"Itu Hassell," kata Bob berbisik. "Kita berpapasan dengan dia yang hendak keluar kemarin malam, sewaktu kita tiba di sini."

­"Rupanya ia menemukan kucing gelandangan yang baru," kata Pete. "Kucing itu belum tahu bahwa waktu makan untuk kucing-kucing pukul lima sore."

Begitu selesai makan, kucing itu langsung pergi lagi. Mr. Hassell masuk lagi ke apartemennya, dengan membawa piring yang sudah kosong.

Beberapa saat kemudian kembali terdengar langkah orang menaiki tangga depan, dan sekali lagi pintu gerbang terbuka. Ternyata yang datang Mr. Murphy, pria setengah umur yang bertubuh kekar. Di tangannya ada rokok yang menyala. Ia mengangguk sambil tersenyum ke arah ketiga remaja yang berada di tepi kolam, lalu menuju ke apartemennya yang bersebelahan dengan tempat tinggal Mr. Hassell. Pintu apartemennya sudah terbuka sebelum orang itu sampai di situ. Seorang pemuda yang umurnya kira-kira dua puluh tahun berdiri di ambangnya. Wajah pemuda itu masam.

"Uncle John," tukasnya. "Tidak bisakah Paman sepuluh detik saja tidak merokok?'"

"Sudahlah, Harvey, jangan suka cerewet! Banyak urusan yang memusingkan diri ku hari ini. Mana asbakku?"

"Tadi kucuci lalu kutaruh di luar, dekat kolam. Seluruh apartemen bau asap rokok."

Pria yang bernama Murphy itu berpaling, lalu menuju sebuah meja yang terletak dekat Jupiter serta kedua rekannya. Ia merebahkan diri ke sebuah kursi, menjentikkan abu rokok ke sebuah asbak besar berbentuk mangkuk yang terletak di atas meja, lalu mengisap rokoknya lagi.

"Mudah-mudahan kalian tidak suka merongrong orang tua kalian seperti anak itu tadi," katanya pada mereka.

"Ayah dan ibu saya tidak merokok," kata Pete.

Mr. Murphy mendengus.

"Mungkin aku pun sebaiknya tidak merokok," katanya berterus terang. "Yah, setidak-tidaknya aku selalu berhati-hati agar tidak menyebabkan barang-barang berlubang kena api rokokku. Aku punya asbak satu lagi seperti ini, di kantorku. Kalaupun aku lupa bahwa sedang merokok dan rokok itu kubiarkan saja di asbak, maka rokok itu tidak mungkin bisa jatuh dari situ."

Dengan cermat dipadamkannya rokok yang sudah tinggal puntungnya itu. Kemudian ia berdiri, lalu pergi ke apartemennya dengan membawa asbak tadi.

Ketika orang itu sudah masuk, Pete memandang ke apartemen yang didiami oleh Sonny Elmquist di seberang kolam.

"Elmquist ada di rumah atau tidak, ya?" katanya ingin tahu. "Tirai apartemennya tertutup semua. Bagaimana jika kita membunyikan belnya, lalu-"

"Sebentar'" Dengan cepat Jupiter Jones meluruskan si­ap duduknya.

Ketiga remaja itu melihat Mrs. Bortz memasuki pekarangan. Wanita itu menggosok-gosok tangannya dengan selembar tisu.

­"Anak-anak tidak diizinkan berada di sekitar kolam, jika tidak ditemani orang dewasa," katanya mengomel.

Jupiter tidak mengacuhkan ucapannya itu. Ia berdiri, lalu menghampiri wanita itu.

"Coba kulihat tangan Anda sebentar, Mrs. Bortz," katanya.

"Apa?"

"Tangan Anda, Mrs. Bortz!" Kini Jupiter mengatakannya dengan lebih lantang.

Terdengar bunyi pintu terbuka di tingkat atas. Mr. Prentice muncul di tepi balkon.

"Ada belang-belang hitam di telapak tangan anda!" kata Jupiter lagi.

Fenton Prentice bergegas menuruni tangga.

"Ya... memang betul," kata Mrs. Bortz agak bingung. "Rupanya aku tadi memegang sesuatu di dapur."

"Anda tadi memasuki apartemen Mr. Prentice," kata Jupiter bernada galak, "Anda membuka laci meja tulisnya, memeriksa surat-suratnya, dan bahkan membuka lemari obatnya. Andalah orang yang memata-matai dia!"

­Bab 6 MISTERI MANDALA

­MRS. BORTZ nampak kehilangan akal-mungkin baru sekali itu selama hidupnya. Ia menatap Jupiter dengan mulut ternganga, sementara air mukanya makin lama makin memerah.

"Percuma saja Anda menggosok-gosok tangan," kata Jupe. "Bekas itu takkan bisa hilang."

Saat itu Mr. Prentice muncul di belakang anak-anak.

"Aku ingin bicara sebentar dengan Anda, Mrs. Bortz," katanya. Suara itu menyebabkan pengurus gedung apartemen itu sadar dari kekagetannya tadi. Ia berpaling menatap Mr. Prentice, lalu berteriak dengan suara melengking, "Anda tahu saya disebut apa oleh anak-anak kurang ajar ini?"

"Ya, dan mereka benar!" tukas Mr. Prentice. "Tapi orang lain di gedung ini tidak perlu ikut tahu."

Ia bergerak, melangkah ke arah apartemen tempat tinggal Mrs. Bortz. "Kita bereskan urusan ini di antara kita saja."

"Aku... aku sedang sibuk," kata wanita. "Aku... aku banyak urusan. Anda kan juga tahu."

"Ya, tentu saja, Mrs. Bortz," kata Mr. Prentice. "Apa yang sedang hendak Anda lakukan saat ini? Memeriksa isi tong-tong sampah di gang? Dengan sembunyi-sembunyi masuk apartemen orang lain?

"Ayolah, Mrs. Bortz, kita masuk saja dan berbicara di dalam. Atau Anda lebih suka jika aku menelepon pengacaraku?"

Mrs. Bortz terkejut, lalu cepat-cepat masuk ke apartemennya.

"Kurasa lebih baik urusan ini kutangani sendiri saja," kata Mr. Prentice sambil tersenyum pada Trio Detektif. "Tapi aku akan senang jika kalian mau menunggu sampai urusanku yang ini selesai."

Setelah itu ia menyusul Mrs. Bortz ke apartemennya, lalu menutup pintu.

Jupe, Pete, dan Bob tetap tinggal di pekarangan, sambil membisu selama beberapa menit. Mereka mendengar suara Mrs. Bortz yang melengking dan bernada marah. Tapi mereka tidak bisa menangkap kata-katanya. Sekali-sekali wanita itu terdiam.

Ketiga remaja yang menunggu di luar dapat membayangkan bahwa pada saat-saat itu Mr. Prentice yang berbicara, dengan suara tenang tapi pasti, dan mungkin dengan sikap mengancam.

"Pak Tua itu orang yang baik hati," kata Pete, tapi aku yakin dia bisa bersikap galak terhadap orang yang menyakiti perasaannya."

Terdengar bunyi berderak. Pintu depan sebuah apartemen yang terletak di seberang kolam renang terbuka. Sonny Elmquist muncul dari dalam.

Matanya terkejap-kejap, rupanya silau kena sinar matahari. Ia memakai celana jeans yang sudah usang, serta kemeja yang beberapa kancingnya hilang. Ia tidak memakai sepatu.

Sonny Elmquist menguap.

"Selamat pagi," sapa Jupiter.

Elmquist terkejap, lalu mengusap-usap matanya. Nampak bahwa ia belum mencuci muka dan menyisir rambut.

Ia membalas sapaan itu dengan suara tidak jelas. Nyaris saja ia terjatuh, ketika keluar dari pintu apartemennya yang dibiarkan terbuka. Kelihatannya ia bingung memilih tempat duduk di salah satu kursi yang ada di dekat anak-anak, atau tetap berdiri sambil menatap dengan pandangan kosong ke arah kolam.

Akhirnya kedua-duanya tidak dilakukannya. Ia duduk bersila di ubin lantai pekarangan. Jupiter mengenali sikap duduk seperti itu, dengan kedua kaki ditumpangkan di atas paha. Itu sikap duduk orang yang belajar yoga.

"Selamat pagi," kata Jupiter sekali lagi.

Pria muda itu memalingkan wajahnya yang pucat ke arah Jupiter, lalu menatapnya sejenak sambil tetap membisu. Warna mata orang itu tidak jelas. Bagian yang putih kelihatan merah, seakan-akan kurang tidur.

"Sekarang ini masih pagi?" katanya.

Jupiter memandang arlojinya. "Sebenarnya, tidak! Sudah pukul satu lewat."

Sonny Elmquist menguap lagi.

"Menurut Mr. Prentice, Anda bekerja di pasar yang buka sepanjang malam, di Vermont," kata Jupe.

­Sikap Elmquist tidak lagi nampak seperti sedang melamun. Ia tersenyum.

"Dari tengah malam, sampai pagi," katanya. "kadang-kadang berat rasanya, tapi mereka memberi tambahan upah jika kita mau bekerja pada waktu-waktu itu. Dan pada waktu di sana tidak sedang sibuk, aku bisa belajar."

"Anda bersekolah?" tanya Jupiter.

Sonny Elmquist mengibaskan tangannya, seakan-akan bersekolah itu hanya membuang-buang waktu saja. "Itu sudah lama kulewati," katanya pada tiga remaja itu. "Ayahku ingin aku kuliah, menjadi dokter gigi seperti dia. Tapi aku tak kepingin. Berdiri sepanjang hari, mengorek-ngorek geraham orang lain sampai punggung pegal. Untuk apa? Lagi pula, sega1a-galanya kan cuma ilusi belaka."

"Ilusi?" kata Pete. Ia tidak mengerti.

"Ya, betul, ilusi. Palsu! Seluruh dunia ini cuma bayangan palsu belaka. Kita semua ini seperti orang-orang tidur yang bermimpi buruk. Tapi aku, aku akan bangun!"

"Anda belajar apa?" kata Jupe.

"Meditasi," kata Elmquist. "Bersemadi! Itu satu-satunya jalan agar bisa mencapai Kesadaran yang Tertinggi." la meluruskan lututnya, lalu berdiri. Nampaknya ia senang karena ada yang mau mendengar omongannya.

"Saat ini aku sedang menabung," katanya lagi. "Aku ingin pergi ke India, mencari seorang suci di sana pada siapa aku bisa berguru. Di sanalah tempat guru-guru yang paling baik. Aku memilih bekerja malam-malam, karena upah tiap jamnya lebih tinggi. Tidak lama lagi tabunganku sudah akan cukup untuk ongkos pergi ke India dan tinggal di sana selama tiga atau empat tahun, atau entah sampai kapan, sampai bisa tahu... yah, bisa tahu segala-galanya. Aku tidak ingin belajar pengetahuan ilmiah atau lain-lainnya yang seperti itu, karena pasti tidak ada gunanya sama sekali. Yang ingin kuketahui ialah, bagaimana caranya agar dalam hidup kita tidak menginginkan apa-apa lagi. Cuma itu saja yang patut dikejar. Betul tidak?"

"Yah-" sambut Bob dengan nada ragu, "memang, kurasa jika kita tidak menginginkan apa-apa lagi... jika semua yang diinginkan sudah kita miliki..."

"Bukan, bukan begitu! Kau belum mengerti!" seru Elmquist.

"Aku juga tidak kepingin mengerti," gumam Pete.

"Soalnya sangat sederhana. Idam-idaman, menginginkan sesuatu, itulah awal kesulitan kita. Misalnya saja Prentice. Satu-satunya yang menjadi pikiran Pak Tua itu cuma harta miliknya saja -koleksinya! Dalam kehidupannya yang mendatang, mungkin ia akan menjelma menjadi... menjadi tikus besar, yang suka menimbun berbagai benda kecil."

"Jangan begitu dong!" protes Pete. "Dia kan orang baik."

Sonny Elmquist menggeleng.

­"Aku bukan hendak mengatakan bahwa ia mau mencuri atau mencederai orang lain jika menginginkan sesuatu," katanya menjelaskan. "Aku cuma hendak mengatakan, ia begitu menyayangi harta miliknya, dan selalu ingin punya lebih banyak lagi. Pak Tua itu takkan pernah sadar bahwa sebenarnya ia hanya mengejar-ngejar sesuatu yang palsu. Sesuatu yang fana! Kalian mengerti, tidak? Maksudku, sesuatu yang tidak kekal. Kalian tahu tidak dia memiliki sebuah mandala. tapi dia tidak tahu cara penggunaannya yang benar? Cuma menggantungkannya saja sebagai penghias dinding. Seperti lukisan."

"Mandala? Apa itu?" tanya Pete.

Elmquist bergegas masuk ke apartemennya. Sesaat kemudian ia sudah kembali, dengan membawa buku berukuran kecil.

"Memiliki mandala, itulah idam-idamanku," katanya bersemangat. "Itu semacam diagram, gambar jagat raya. Jika kita bersemadi, memusatkan pikiran pada gambar itu, segala sesuatu yang fana dalam hidup ini akan lenyap, dan kita menjadi satu dengan jagal raya." Elmquist membuka buku yang dibawanya, lalu menunjukkan sebuah gambar dengan warna-warna semarak. Gambar itu terdiri dari segitiga-segitiga bertumpang-tindih, yang dikelilingi sebuah lingkaran. Sedang lingkaran itu dibatasi sebuah segi empat.

"Rasanya aku tidak melihat gambar seperti ini di apartemen Mr. Prentice," kata Pete.

­"Mandalanya jauh lebih rumit bentuknya daripada ini," kata Elmquist menjelaskan. "Mandalanya berasal dari Tibet, dan dihiasi dengan gambar sejumlah dewa kuno."

Elmquist menutup bukunya.

"Pada suatu hari, aku juga. akan punya mandala," katanya. "Seorang guru yang akan membuatkannya untukku, Sebelum punya, aku menggunakan televisi saja."

"Hah?" Nampak jelas bahwa Bob kaget.

"Televisi," ulang Sonny Elmquist. "Itu menolong ku untuk melepaskan diri. Maksudku, pada waktu pulang sehabis bekerja sepanjang malam di tempat pembayaran di pasar, diri ku benar-benar terkungkung. Seperti dalam penjara rasanya. Aku lantas menghidupkan pesawat televisi, tapi kubiarkan tanpa bunyi. Lalu aku menatap suatu titik di tengah-tengah layar, atau bisa juga salah satu sudutnya. Aku bahkan sama sekali tidak berusaha memperhatikan apa yang nampak di layar. Aku cuma melihat pola-pola warna. Dengan segera aku merasa sudah jauh dari pasar, dari segalanya. Aku bahkan merasa tidak ada di dunia ini lagi."

"Anda tertidur," kata Bob menebak.

Elmquist kelihatan agak kikuk mendengar ucapan itu.

"Yah-itulah sulitnya jika kita sedang bersemadi," katanya mengaku. "Kadang-kadang perasaanku menjadi begitu damai, sehingga aku tertidur dan bermimpi, cuma..."

­Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Mr. Prentice muncul dari apartemen Mrs. Bortz. Ia berdiri di ujung bawah tangga, memandang ke arah mereka yang sedang bercakap-cakap.

"Maaf," kata Jupiter pada Sonny Elmquist, "Kami harus pergi."

"Mampirlah kapan-kapan, jika aku ada di rumah," kata Elmquist bergairah, "dan jika aku kebetulan tidak sedang bersemadi. Dengan senang hati akan kuceritakan lebih banyak lagi tentang mandala, dan tentang... tentang perjalananku yang akan datang itu."

Setelah mengucapkan terima kasih padanya, Jupe dan kedua rekannya mendatangi Mr. Prentice.

Ketika sudah berada dalam apartemennya, pria berumur itu mengambil tempat duduk di salah satu kursi besarnya yang rendah dan empuk.

"Betul kan, Mrs. Bortz memiliki anak kunci untuk membuka pintu apartemen ini?" kata Jupiter memancing.

"Ya, memang," kata Mr. Prentice mengakui. "Katamu benar, ketika sejak awal kau mengatakan pasti masih ada satu anak kunci lagi. Brengsek sekali perempuan itu! Padahal aku secara khusus meminta penambahan dalam perjanjian sewa-menyewa, untuk menegaskan bahwa apartemenku sama sekali tidak boleh dimasuki orang yang dipekerjakan sebagai pengurus gedung ini. Mungkin aku akan menghubungi perusahaan Martin Company, pemilik bangunan ini."

­"Bagaimana sampai ia bisa punya anak kunci itu?" tanya Bob.

"Ternyata dengan cara yang gampang saja," kata Mr. Prentice. "Ketika aku sedang berada di Eropa dua bulan yang lalu, ia memanggil tukang kunci yang sudah sering dipanggilnya untuk membetulkan ini dan itu. Sudah jelas tukang itu tidak lagi meragukan kewenangannya. Mrs. Bortz mengatakan padanya bahwa anak kunci untuk membuka pintu apartemen ini hilang, sedang ia perlu masuk kemari untuk memeriksa salah satu pipa yang mungkin bocor. Tukang itu membongkar kunci pintu, membuat sebuah anak kunci untuk perempuan itu, lalu kunci dipasangnya kembali di tempat semula."

"Serba ingin tahu. wanita itu," kata Jupiter mengomentari.

"Ya, melitnya itu sudah bisa dibilang penyakit," kata Penton Prentice. "Yah, dengan begitu sudah terjawab teka-teki tentang siapa yang suka dengan diam-diam membuka laci-laci mejaku dan memeriksa surat-surat pribadiku. Tentu saja anak kunci itu langsung kuminta. Aku benar-benar berterima kasih pada kalian bertiga."

Sambil tersenyum dengan sikap malu-malu. ia menambahkan, "Terus terang saja, aku benar-benar lega ketika mengetahui bahwa orang tak dikenal yang berulang kali memasuki apartemenku itu ternyata Mrs. Bortz. Maksudku, ternyata tamu tak diundang itu manusia biasa. Rupanya bayangan yang pernah kulihat itu ternyata cuma ada dalam bayanganku saja. Sungguh konyol sekali kalau kupikirkan sekarang! Aku begitu gelisah waktu menyadari bahwa ada orang yang dengan diam-diam masuk ke tempat tinggalku. Mestinya kewarasan pikiranku agak terganggu waktu itu! Mungkin karena keseringan mendengar cerita-cerita hantu dari Mrs. O'Reilly." Mr. Prentice

menggeleng-geleng, seakan-akan heran memikirkan kekonyolannya sendiri.

Jupiter menggigit-gigit bibir. Itu merupakan pertanda bahwa ia sedang sibuk berpikir. Sementara itu tatapan matanya terus terarah pada pria tua Akhirnya ia tersenyum.

"Nah, kalau begitu selesailah urusannya. Kami pun senang, bisa membantu Anda," ia beranjak, seperti hendak pergi. "O ya, ngomong-ngomong, an­da memiliki sebuah mandala, Mr. Prentice?"

"Ya, betul. Bagaimana kau bisa tahu? Kau ingin melihatnya?"

Melihat Jupe mengangguk, pria itu mengajak anak-anak ke ruang hobinya, lalu ia menuding sebuah gambar berbingkai yang dipasang di dinding, di atas meja. Gambar itu rumit bentuknya, sedang warna-warnanya meriah. Sebuah lingkaran dengan hiasan melingkar-lingkar mengurung sebuah bentuk persegi empat. Wujud sejumlah dewa nampak di keempat sudut gambar itu. Bagian tengahnya terdiri dari beberapa segi tiga yang bertumpang tindih dan saling memotong, melingkupi lingkaran-lingkaran berukuran lebih kecil yang berisi gambar wujud makhluk-makhluk yang kecil sekali bentuknya.

"Dulu ini milik seorang seniman muda kenalanku, yang pernah ke Tibet," kata Mr. Prentice. "Mandala ini dibuat khusus untuk dia. Sudah lama sekali. Kenalanku itu sudah lama meninggal dunia. dan mandala ini kubeli ketika barang-barang peninggalannya dijual. Aku selalu mengagumi gambar ini sebagai hiasan yang menarik, walau pengetahuanku tentang agama-agama di Asia cuma sedikit saja."

"Pernahkah Sonny Elmquist masuk kemari, Mr. Prentice?" tanya Jupiter Jones.

"Tentu saja tidak," jawab Mr. Prentice. "Kecuali makhluk perempuan jahat yang dipekerjakan sebagai pengurus bangunan ini, tidak ada penghuni lain yang pernah masuk kemari. Seperti kau ketahui, aku paling tidak suka bergaul. Dan Elmquist itu orang yang paling tidak mungkin kuberi kesempatan masuk kemari. Ada-ada saja gagasan sintingnya, lagi pula kelihatannya ia bukan orang yang mementingkan kebersihan."

"Ya, memang," kata Jupe sependapat. "Tapi pernahkah Anda membawa mandala ini keluar, untuk diperbaiki? Katakanlah untuk diberi bingkai, misalnya?"

Prentice menggeleng.

"Sudah lebih dari sepuluh tahun mandala ini selalu tergantung di dinding situ. Hanya ketika apartemen ini dicat saja, pernah diturunkan. Kenapa kau bertanya?"

­"Dari mana Sonny Elmquist tahu bahwa Anda miliki sebuah mandala?"

"Dia tahu?"

"Ya! la bahkan tahu bahwa mandala milik Anda asal dari Tibet. Ia memiliki buku dengan gambar mandala yang mirip dengan milik Anda, hanya jauh lebih sederhana bentuknya."

Prentice mengangkat bahu dengan sikap tak acuh.

"Aku hanya bisa menduga bahwa koran-koran yang menyebalkan menyebut bahwa dalam koleksiku ada sebuah mandala. Teman-temanku kalangan seni mengetahui hal itu."

Jupiter mengangguk, lalu menuju ke pintu.

"Kau jangan mencari-cari misteri lagi sekarang, Jupiter," ujar Mr. Prentice dengan riang. "Satu saja sudah cukup!"

"Anda benar. Mr. Prentice," kata Jupiter pendapat. "Dan saya senang bahwa kami berhasil mengusutnya sampai tuntas. Anda jangan segan-segan menghubungi kami lagi, jika kapan-kapan menghadapi kesulitan."

"Ya, tentu saja itu akan kulakukan." Mr. Prentice menyalami ketiga remaja itu, lalu mengantar mereka keluar.

Jupe, Bob, dan Pete menuruni tangga, lalu keluar ke jalan.

"Nah, selesailah urusan itu!" ujar Pete, sementara mereka bertiga menuju tempat pemberhentian bis. "Kurasa itu kasus yang kita selesaikan dalam waktu paling singkat! Lalu sekarang apa yang akan kita kerjakan untuk mengisi sisa liburan Natal?"

"Yang jelas, kita harus menghindari The Jones Salvage Yard," tukas Bob. "Bibi Mathilda pasti mau sekali menyibukkan kita! Dan kau pasti jadi korbannya, Jupe'"

Jupe hanya mendengus saja, karena sedang sibuk memikirkan urusan lain. Sepanjang jalan pulang ke Rocky Beach, ia nyaris tidak berbicara sama sekali.

Ketika anak-anak itu kemudian berpisah di luar pekarangan kompleks penimbunan barang bekas yang dikelola paman dan bibi Jupiter, remaja itu tiba-tiba membuka mulut.

"Kuminta kalian jangan jauh-jauh dari pesawat telepon di rumah kalian. Teman-teman," katanya. "Ada kemungkinan, tidak lama lagi Trio Detektif harus beraksi kembali. Kurasa tadi itu bukan terakhir kalinya kita berurusan dengan Fenton Prentice. "

Sambil tersenyum, ia melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Senyumannya mengandung teka-teki.

­Bab 7 SINAR REMANG DI DALAM GEREJA

­BIBI MATHILDA langsung mengomel, begitu dilihatnya Jupiter memasuki pekarangan.

"Kau pergi begitu saja tadi pagi, tanpa minta izin terlebih dulu! Menulis surat lalu mencantelkannya ke bantalmu, tidak sama dengan mengatakan padaku kau hendak ke mana. Padahal aku tadi sudah merencanakan-"

"Sehabis perayaan Natal, di sini selalu tidak banyak kesibukan," kata Jupiter mengetengahkan alasan. "Dan sekarang aku punya waktu untuk bekerja sampai malam."

"Kalau begitu, bekerjalah," gerutu Bibi Mathilda. "Pamanmu baru saja kembali dengan membawa barang-barang setruk penuh. Kaupilihi barang-barang itu, dan teliti mana yang masih baik dan mana yang bisa dibetulkan. Kurasa akhirnya kau sendiri yang nanti akan membeli separuh dari peralatan itu."

Jupiter nyengir. Ia memang selalu mencari-cari barang bekas yang bisa dimanfaatkan, untuk dijadikan perlengkapan penyelidikan. Di dalam Karavan yang merupakan kantor Trio Detektif banyak terdapat_ peralatan yang dibetulkan olehnya, atau dibuat dari bermacam-macam barang bekas: walkie-talkie, alat pengeras suara yang dipasangnya pada pesawat telepon, sebuah alat perekam suara, sebuah teropong. Sebagian besar upah yang diperoleh Jupiter dari bekerja di perusahaan paman dan bibinya, dipakainya untuk membeli barang-barang itu.

Sepanjang sore Jupiter asyik menyortir barang-barang bekas yang siang itu baru dibeli Paman Titus. Beberapa benda yang menurut perkiraannya bisa dimanfaatkan, disisihkan olehnya. Pukul enam sore ia pergi ke rumah paman dan bibinya yang terletak di seberang jalan, untuk makan malam.

Satu jam kemudian, telepon berdering. Bibi Mathilda yang menerima.

"Untukmu, Jupiter," katanya kemudian.

Jupe menerima gagang pesawat yang disodorkan. Matanya bersinar-sinar.

"Kaukah itu, Jupiter?" kata orang yang menelepon. Suaranya gemetar. "Di sini Fenton Prentice. Kau pasti takkan mau percaya, Jupiter, tapi... tapi ternyata masih ada sesuatu yang gaib dalam apartemenku. "

Jupiter tidak terkejut mendengarnya.

"Ya," katanya dengan singkat.

"Setelah kau berhasil menjebak Mrs. Bortz, aku lantas yakin bahwa bayangan samar yang menurutku pernah kulihat waktu itu sebenarnya hanya ada dalam pikiranku saja," sambung Mr. Prentice. "Tapi ternyata aku keliru! Baru saja aku melihatnya lagi, di ruang hobiku! Ada hantu menggangguku, atau aku ini yang sudah sinting!"

­"Anda menginginkan kami datang malam ini juga?" tanya Jupiter.

"Ya, kuharap kalian mau datang. Aku bahkan akan senang sekali jika kalian bertiga mau menginap di sini, menemani aku. Aku biasanya tidak suka kalau ada orang lain, tapi... yah, tidak kuat hatiku jika hanya seorang diri saja di sini! Setiap saat aku menunggu, menunggu kapan... kapan makhluk itu muncul lagi! Aku tidak tahan lagi."

"Kami akan datang selekas mungkin," kata Jupiter berjanji.

"Jupiter! Kau ini, selalu saja keluyuran, begitu ada kesempatan," keluh Bibi Mathilda, begitu Jupiter meletakkan gagang telepon. Tapi ketika Jupiter dengan singkat bercerita tentang pria tua yang sedang ketakutan dan memerlukan bantuan Trio Detektif, Mrs. Jones langsung ikut merasa kasihan.

"Kasihan," katanya. "Berumur lanjut saja sudah cukup tidak enak, apalagi ini-hidup seorang diri. Pergilah kalian, temani Pak Tua itu selama dia mau. Pamanmu bisa mengantarkan kalian ke kota."

Jupe menelepon Bob dan Pete, untuk memberi tahu. Tidak lama kemudian ketiga remaja itu sudah bergegas-gegas naik ke bak belakang mobil pick-up Paman, Titus, untuk diantar ke Los Angeles.

"Sekali lagi dugaanmu tepat, Jupe," kata Pete sambil duduk dengan santai. "Bagaimana kau bisa ­tahu bahwa Mr. Prentice akan menghubungi kita lagi?"

"Soalnya, aku yakin bayangan yang muncul dalam apartemennya itu tidak hanya ada dalam pikirannya saja. Aku sendiri juga melihatnya."

"Apa?" seru Bob kaget. "Kapan?"

"Kemarin, dalam ruang hobi Mr. Prentice. Aku melihat seseorang di sana. Mulanya kusangka kau, Pete! Tapi waktu itu kau sedang di ruang duduk."

"Ya, aku juga ingat," kata Pete. "Tapi kau lalu mengatakan, yang kaulihat itu pasti cuma bayangan saja."

"Waktu itu, hanya itulah satu-satunya kesimpulan yang masuk akal. Tapi kemudian, kesangsianku timbul. Begitu aku melihat Sonny Elmquist-"

"Kau kaget" kata Bob mengingat kejadian itu. "Elmquist muncul dari apartemennya setelah polisi datang, dan kau kaget ketika melihat dia."

"Betul! Kauperhatikan tidak, dia itu ada miripnya dengan Pete?" tanya Jupe.

"He, he," protes Pete. "Aku sama sekali tidak seperti orang itu. Umurnya paling sedikit sudah dua puluh tahun, badannya ceking, dan-"

"Kalian berdua kurang-lebih sama tinggi," kata Jupe memotong. "Rambutnya cokelat tua, sama seperti rambutmu, dan kemarin ia memakai baju hangat hitam-sedang kau memakai jaket berwarna gelap. Penerangan dalam ruang hobi itu remang-remang. Karena itu semula kusangka aku melihatmu. Tidak mungkinkah bahwa waktu itu aku melihat Sonny Elmquist?"

­Bob dan Pete tidak langsung menjawab. Keduanya mempertimbangkan kemungkinan itu. Akhirnya Bob berkata, "Tapi bagaimana ia bisa masuk ke situ? Pintu depan kan dikunci!"

"Entahlah, aku tidak tahu," kata Jupe berterus terang. "Aku bahkan tidak merasa pasti bahwa yang kulihat itu Elmquist. Tapi selain Mrs. Bortz, masih ada orang lain yang dengan salah satu cara bisa masuk ke apartemen itu. Sekarang kita harus menyelidiki caranya."

Dalam waktu satu jam sejak Jupiter ditelepon, Trio Detektif sudah berdiri di depan pintu Apartemen Mr. Prentice.

"Syukurlah, kalian sudah datang," kata pria berumur lanjut itu. "Syarafku sudah tidak kuat lagi!"

"Itu bisa dimengerti," jawab Jupe. "Sekarang, bolehkah kami melihat-lihat sebentar di dalam?"

­Begitu melihat Mr. Prentice mengangguk, dengan segera Jupe menuju ke ruang hobi. Lampu meja menebarkan sinar lembut di salah satu sudut, menerangi buku-buku yang dijilid indah dalam rak-rak, beberapa benda porselen buatan Cina, serta gambar mandala yang dipajang di dinding sebelah atas meja. Sambil mencubiti bibir bawahnya, Jupiter menatap dengan kening berkerut, memperhatikan pola gambar yang rumit itu.

­Dan saat itu, serupa halnya dengan malam sebelumnya, sekali lagi ia merasa ada orang yang dengan diam-diam memperhatikan dirinya.

Jupiter berpaling dengan cepat. Ia merasa melihat kegelapan yang lebih pekat di sudut yang jauh dalam ruangan itu. Kegelapan yang pekat dalam gelap itu nampaknya seperti bergerak-gerak, lalu memudar.

Jupe melompat ke sudut itu. Tangannya menggerayangi dinding. Dinding tembok yang biasa-biasa saja. Dinyalakannya lampu yang terpasang di langit-langit, lalu ia memandang berkeliling dengan gelisah. Tidak ada orang lain dalam ruangan itu, selain dia sendiri.

Jupiter melesat ke pintu depan. Yang lainnya terkejut ketika ia melewati mereka, langsung menuju ke balkon di luar.

Di pekarangan yang terhampar di bawah, nampak kolam renang dengan lantai ubinnya yang berpola warna biru dan kuning emas. Lampu-lampu sorot memancarkan sinar kecokelatan ke dinding-dinding bangunan apartemen itu. Jupe melihat jendela-jendela apartemen yang ditempati Sonny Elmquist. Tirai-tirainya terbuka. Cahaya terang yang bergerak-gerak di dalam menandakan bahwa pesawat televisi di situ dinyalakan. Jupe dapat melihat Elmquist yang sedang duduk bersila di lantai. Pemuda itu bersila tanpa bergerak.

Kepalanya terkulai ke depan. Sonny Elmquist kelihatannya tertidur dalam posisi bersila.

­"Ada apa?" bisik Bob yang menyusul Jupe ke luar, dan saat itu berdiri agak di belakang.

"Aku melihatnya lagi," gumam Jupe. Saat itu barulah ia sadar bahwa tubuhnya gemetar. Pasti karena hawa dingin malam itu, katanya menenangkan diri sendiri. "Aku melihatnya di ruang hobi. Aku sedang memperhatikan gambar mandala itu. Tahu-tahu ada orang lain di situ. Aku merasa pasti, yang kulihat itu Sonny Elmquist. Tapi itu tidak mungkin! Lihatlah sendiri-itu dia orangnya, di apartemennya sendiri, Katakanlah ada jalan rahasia untuk memasuki apartemen Mr. Prentice ini, mustahil ia punya waktu untuk kembali ke bawah sana. Itu tidak mungkin!"

Jupe berpaling, memandang ke arah ambang pintu apartemen di belakangnya. Fenton Prentice berdiri di situ. Nampak jelas bahwa ia gemetar.

"Kau melihatnya, kan?" kata Mr. Prentice. "Kau juga melihatnya! Jadi aku tidak gila."

Semuanya masuk lagi ke dalam apartemen. Pintu depan dikunci.

"Tidak, Mr. Prentice, Anda tidak gila," kata Jupiter. "Kemarin pun saya sudah melihatnya, tapi saat itu saya tidak mempercayai penglihatan saya sendiri. Anda juga mengenali bahwa orang itu Sonny Elmquist?"

"Aku tidak bisa memastikannya, karena orang.., karena bayangan itu selalu dengan cepat lenyap kembali. Kita tidak bisa seenaknya saja menuduh orang. Tapi menurut perasaanku. orang itu memang Elmquist."

­"Tapi mana mungkin?" ujar Jupe dengan heran. "Dalam kedua kejadian waktu saya melihat bayangan itu, Elmquist ada di apartemen sendiri, mungkin sedang tidur. Mana mungkin ia bisa sekaligus berada di dua tempat?" Jupe menggeleng-gelengkan kepala dengan bingung

"Apa saja yang Anda ketahui tentang diri Elmquist, Mr. Prentice?"

"Hanya sedikit sekali," jawab Mr. Prentice. "Ia baru enam bulan tinggal di sini."

"Pernahkah Anda merasakan ada bayangan atau entah apa itu muncul, sebelum Elmquist pindah kemari?" tanya Jupe lagi.

Setelah mengingat-ingat sebentar, Mr. Prentice menggeleng.

"Tidak pernah! Ini merupakan hal baru bagiku."

"Ia menaruh minat pada mandala Anda," kata Jupe. "Anda tahu pasti, Anda tidak pernah bercerita mengenai milik Anda itu padanya?"

"Tentang itu, aku tahu pasti," kata Mr. Prentice. "Pemuda itu bukan orang yang menyenangkan kepribadiannya, dan aku selalu menjauhi dia. Miss Chalmers pernah menyinggung tentang dia. Miss Chalmers itu wanita muda yang suka bergaul, tapi dia pun tidak senang pada Elmquist. Ia biasa berenang setiap malam untuk melangsingkan badan, dan Elmquist sering duduk-duduk di tepi kolam, mencoba membuka percakapan dengan Miss Chalmers. Menurut Miss Chalmers, Elmquist itu membuatnya bergidik."

­"Saya tahu, kedengarannya memang mustahil tapi harus ada jalan rahasia di sini," kata Bob menarik kesimpulan.

"Kemungkinannya sangat kecil," kata Jupe, "Tapi sebaiknya kita pastikan saja sekarang!"

Setelah itu Trio Detektif mulai mencari-cari, mulai dari ruang hobi. Mereka tidak menemukan lorong rahasia di situ. Gedung apartemen itu, walau bukan bangunan baru, dibangun dengan konstruksi yang baik. Dinding-dindingnya kokoh, begitu pula lantainya. Kelihatannya sama sekali tidak ada kemungkinan untuk masuk ke situ tanpa melalui pintu depan.

"Seram," kata Bob.

­Mr. Prentice mengiakan dengan anggukan kepala, "Sudah lama aku tinggal di sini, dan aku suka tinggal di apartemen ini," katanya. "Tapi mungkin aku terpaksa mencari tempat tinggal yang lain. Aku tak tahan, terus-menerus merasa diamat-amati."

Bayangan yang merongrong itu tidak muncul-muncul lagi malam itu. Akhirnya Mr. Prentice tidak kuat lagi menahan rasa kantuk, lalu masuk ke kamar tidurnya. Anak-anak memutuskan untuk berjaga secara bergiliran. Bob merebahkan diri di sofa dalam ruang duduk, sedang Pete berbaring di dipan, di ruang hobi.

Jupe, yang memilih giliran jaga pertama, duduk bersandar pada pintu depan. Ia memasang telinga. Karena sudah lewat pukul sebelas malam, tidak banyak lagi yang bisa didengarkan. Lalu lintas di jalan sudah sejak tadi sepi. Paseo Place bukan jalan raya. Jupe menangkap bunyi berkecipak samar. Datangnya dari balik pintu depan. Ia menduga, itu pasti Miss Chalmers yang sedang berenang malam-malam.

"Jupe?" Pete muncul dari ruang hobi, "Coba kemari sebentar. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan."

Jupe mengikutinya ke jendela ruang hobi. Sesampainya di situ, Pete menuding ke luar.

"Ada sinar di dalam gereja," katanya.

Memang benar. Jendela kaca berwarna yang letaknya paling dekat dengan apartemen Mr. Prentice nampak terang sejenak, lalu menjadi gelap kembali.

"Barangkali Pastor, yang sedang memeriksa apakah semua pintu dan jendela sudah dikunci," kata Jupe. "Tapi..."

"Tapi, apa?" tanya Pete.

"Mungkin juga bukan Pastor. Akan kuperiksa sebentar ke sana."

"Aku ikut," kata Pete.

"Jangan! Kau tetap di sini, menggantikan aku menjaga pintu," kata Jupiter. "Aku cuma sebentar saja ke sana."

Jupe mengambil jaketnya yang digantungkan di lemari penyimpanan di depan. Setelah itu ia membuka pintu, lalu melangkah ke balkon. Lampu-lampu penerangan di pekarangan sudah padam, dan tidak ada siapa-siapa di dalam kolam renang. Jupe agak menggigil kedinginan, lalu gegas-gegas turun.

Sesampainya di jalan, sekejap dilihatnya sinar misterius tadi di balik salah satu jendela gereja. Jupe menaiki tangga depan bangunan itu, lalu menyentuh salah satu daun pintunya. Ternyata pintu itu sama sekali tidak terkunci. Jupe mendorongnya sehingga terbuka.

Ia melangkah masuk ke tengah kegelapan yang nyaris total, jika tidak ada lilin yang menyala dekat bagian depan ruang gereja itu. Lilin itu dipegang ­seorang yang berpakaian hitam. Nyalanya berkelap-kelip dipermainkan angin yang masuk.

Orang yang memegang lilin itu berpaling. Jupe merasa melihat wajah seseorang yang sangat pucat, dengan rambut lebat seputih salju. Ia tidak bisa melihat mata orang itu, yang seakan-akan terlindung dalam bayangan gelap cekungan rongganya. Di bagian leher pakaiannya yang serba hitam nampak pinggiran berwarna putih. Seperti kerah yang biasa dipakai pastor.

"Maaf, Father," kata Jupe menyapa. "Saya tadi melihat sinar dari luar, lalu saya masuk untuk melihat apakah ada sesuatu yang tidak beres di sini."

Tangan orang itu bergerak dengan cepat. Ia memadamkan nyala lilin.

"Father?" ujar Jupe sekali lagi. Gereja kini gelap gulita. Jupe merasakan bulu tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur, ke arah pintu.

­Tahu-tahu ada hembusan angin. menyebabkan pintu terdorong dan menutup dengan keras. Saat itu Jupe merasa dirinya didorong! Ia terhuyung kakinya tersangkut pada sebuah bangku tempat berlutut, dan saat itu ia didorong lagi. Jupe terjatuh ke lantai, di antara dua bangku. Di dalam kegelapan itu ia mendengar bunyi pintu gereja terbuka. Lalu tertutup lagi, disusul bunyi anak kunci diputar.

Jupe cepat-cepat berdiri, lalu menuju ke pintu sambil meraba-raba. Begitu tersentuh olehnya pegangan pintu, ia memutarnya. Lalu menarik. Tapi pintu itu tidak bisa dibuka, meski diguncang-guncang dengan keras. Jupe terkurung di dalam g­reja yang gelap!

­Bab 8 SANTO YANG MENGHILANG

­JUPE menggerayangi dinding di sebelah pintu. Ia menyentuh sakelar lampu, lalu menekannya. Seketika itu juga lampu-lampu sebelah atas menyala.

Dengan mata nyalang yang memandang cemas kiri dan ke kanan, Jupe beringsut-ingsut menjauhi pintu. Lewat lorong tengah, menuju tempat di mana tadi ia melihat pastor pucat yang memegang lilin.

Tidak ada siapa-siapa di situ.

Dengan cepat Jupiter memeriksa gereja itu. Di sisi kiri altar ada pintu. Di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan sempit dengan sejumlah lemari dan laci berisi taplak meja dan jubah-jubah. Di sisi seberang ruangan itu ada pintu lagi. Menurut dugaan Jupe, pintu itu pasti menuju ke luar gereja. Pintu itu terkunci.

"Kurasa sekarang sudah waktunya bagiku untuk menimbulkan keributan," kata Jupe pada dirinya sendiri. Ia bergegas kembali ke pintu depan, lalu menggedor-gedor.

"Tolong!" teriaknya. "Aku terkurung di dalam! Tolong!"

­Ia berhenti sejenak sambil memasang telinga. Setelah itu ia mulai menggedor-gedor pintu

"Pete!" teriaknya. "Father McGovern! Tolong!"

Sekali lagi ia menunggu sejenak. Lalu berteriak. Lalu mendengarkan lagi.

"Jangan masuk, Father!" Seorang wanita yang berkata begitu, di luar gereja.

"Aku tidak setolol itu, Mrs. O'Reilly!" Jupe mengenali suara Father McGovern, pastor gereja itu. "Sebentar lagi polisi datang, dan-"

"Father McGovern!" seru Jupe. "Ini saya, Jupiter Jones! Saya dikurung orang di dalam!"

"Jupiter Jones?" Suara Pastor menanda keheranannya.

Jupiter mendengar bunyi sirene yang semakin mendekat. Datangnya dari arah Wilshire Boulevard. Ia menyandarkan punggungnya ke pintu, ia kembali memperhatikan ruang gereja. Pastor pasti

takkan membuka pintu sebelum polisi tiba, katanya dalam hati. Jupiter sadar, polisi nanti pasti akan bertanya macam-macam padanya. Pandangannya suram, menelusuri lorong tengah gereja. Terdengar bunyi anak kunci dimasukkan ke dalam lubangnya di pintu yang sesaat kemudian terbuka.

Father McGovern yang mengenakan mantel mandi berdiri di ambangnya, didampingi Mrs. O'Reilly-rambutnya yang panjang dan sudah beruban dikepang dan menjulur ke bawah lewat bahunya.

­"Saya minta minggir sedikit," kata seorang polisi dari belakang Mrs. O'Reilly. Wanita itu minggir selangkah, dan pandangan Jupiter menatap seorang petugas polisi yang masih muda. Petugas itu termasuk pasukan kepolisian yang malam sebelumnya menggeledah gereja itu. la datang seorang diri. Rekan yang tegak di sisinya, genggam pistol.

"Nah?" ujar polisi yang pertama.

Jupiter menuding ke tempat di mana pastor berambut putih tadi berdiri dengan memegang lilin.

"Saya tadi melihat sinar di sini," katanya jelaskan duduk perkara. "Saya langsung kemari untuk memeriksa. Sewaktu saya masuk, saya melihat seorang pastor berdiri di situ. Kemudian seseorang mendorong saya sampai jatuh, lalu ia pergi dan mengunci pintu dari luar."

"Kau kemari untuk memeriksa?" tanya polisi yang satu lagi.

""Ya, sebelumnya saya berada di apartemen Mr. Prentice," ujar Jupe.

"Ah ya, sekarang aku baru ingat!" seru Father McGovern. "Kau tadi pagi ada di jalan, bersama Mr. Prentice. Tapi tidak mungkin kau melihat pastor di sini, malam ini. Pintu-pintu gereja sudah dikunci, sejak pukul enam sore tadi. Pembantu ku sedang keluar. Tidak mungkin kau tadi melihat seorang pastor di dalam sini."

"Bisa saja!" seru Mrs. O'Reilly. "Anda tahu bahwa itu mungkin saja!"

­"Mrs. O'Reilly," kata pastor itu, "mendiang pastor yang lama tidak menjadi hantu dan kembali kemari!"

"Sebentar!" seru seseorang, dari balik punggung kedua polisi.

Ternyata orang itu Fenton Prentice, yang datang dengan ditemani Pete.

"Anak muda itu tamuku," kata Mr. Prentice. "Ia bersama teman-temannya menginap di rumahku. Ini Pete Crenshaw. Ia baru saja mengatakan padaku bahwa ia melihat sinar di dalam gereja. Hal itu dikatakannya pada Jupiter, yang kemudian pergi kemari untuk memeriksa."

Polisi yang kedua memandang Jupe, kemudian Pete, dan akhirnya Mr. Prentice. Tatapan matanya menunjukkan perasaan tidak senang.

"Anak-anak sok menjadi detektif saja sudah cukup menyebalkan," tukasnya, "ini ditambah lagi ada orang dewasa membela mereka!"

Mr. Prentice tersinggung mendengar kecaman itu. Ia mendengus.

"Tapi tadi betul-betul ada sinar di dalam gereja," kata Pete.

"Dan betul-betul ada orang di sini," kata Jupe menambahkan. "Orang itu berpakaian hitam dengan kerah bulat berwarna putih. Itu, seperti yang Anda pakai, father McGovern. Rambutnya putih mulus. Tadi ia berdiri di sana, memegang lilin."

­"Hebat sekali ceritamu itu," balas polisi tadi. "Demi kepentinganmu sendiri, mudah-mudahan saja tidak ada barang yang hilang."

"Ada sesuatu yang hilang," kata Jupiter. "Sesuatu, yang kemarin malam masih ada di sini."

Dipandangnya father McGovern dengan sikap bertanya.

"Waktu itu ada sebuah patung di sana," kata Jupe sambil menuding. "Di sebelah sana, di samping jendela itu. Patung seseorang berjubah hijau, dengan topi tinggi dan lancip. Di tangannya ada tongkat."

Kedua polisi tadi mendesak masuk, lalu memandang agak lama ke arah yang dituding oleh Jupiter.

"Astaga, anak itu benar!" seru polisi yang lebih muda. "Kemarin malam ketika saya masuk kemari, di situ memang ada sebuah patung-kalau tidak salah, patung St. Patrick. Bukankah santo itu yang selalu berjubah hijau, dan memakai topi uskup-apa sih namanya, topi itu?"

father McGovern ikut menatap.

"Mitra," katanya dengan suara pelan. "St. Patrick selalu diwujudkan memakai mitra dan memegang tongkat keuskupan."

"Lalu ke mana patung itu sekarang?" tanya polisi muda yang kebingungan itu.

"Dalam gereja ini tidak ada patung St. Patrick, dan belum pernah ada," kata father McGovern.

"Ini Gereja St. Jude, santo pelindung hal-hal yang mustahil."

­"Itu benar-benar cocok," tukas polisi yang satu lagi. "Pengurus rumah tangga Anda melihat hantu mendiang pastor yang dulu bertugas di sini, dan itu mustahil; lalu anak ini juga melihatnya, yang lagi-lagi mustahil! Lalu sekarang, kemarin malam kita di sini melihat sebuah patung yang tidak pernah ada di sini-jadi itu juga mustahil. Atau barangkali ada topi uskup disimpan di sini?" ­

Father McGovern terkejut mendengar pertanyaan itu,

"Kemarin memang ada mitra dan tongkat keuskupan di sini," ujarnya tiba-tiba.

"Untuk apa?" tanya polisi yang tadi.

"Kami habis mengadakan pertunjukan Natal," kata Pastor menjelaskan. "Anak-anak yang mengadakannya, untuk orang tua mereka. Mereka menyelenggarakannya di sini, di dalam gereja, mengikuti tradisi kuno semasa Abad Pertengahan. Mereka menampilkan adegan kelahiran Kristus. Setelah kedatangan ketiga orang majusi, pada akhir pertunjukan beriring-iring masuk segenap tokoh gereja yang kenamaan. Tentu saja St. Patrick ikut ditampilkan, karena bagi anak-anak dia. itu tokoh favorit. Untuk dia kami menyewa mitra dan tongkat keuskupan serta jubah hijau dari toko yang menyewakan perlengkapan teater. Tapi sudah saya kembalikan ke sana tadi siang."

"Aha!" kata Jupiter Jones. "Rupanya itulah sebabnya mengapa maling yang kemarin malam itu tahu-tahu bisa lenyap."

"Hah?" seru salah seorang dari kedua polisi itu.

"Kejadiannya benar-benar logis," kata Jupiter dengan gaya orang yang tahu pasti. "Kemarin malam daerah sekitar sini penuh dengan polisi, yang semuanya sibuk mencari-cari seseorang yang ketahuan masuk ke sebuah rumah di jalan yang letaknya di belakang jalan ini. Orang yang dikejar-kejar itu menyelinap masuk kemari. Ketika kemudian kelihatan bahwa gereja ini akan diperiksa, orang itu buru-buru mengenakan jubah dan mitra, lalu berlagak menjadi patung. Sewaktu Anda mencari-cari orang itu di sini, Anda sebenarnya begitu dekat dengannya sehingga mungkin bisa menyentuhnya saat itu."

Kedua polisi itu melongo.

"Tentu saja orang itu kaget, ketika kemudian pengurus bangunan ini turun dari serambi kor," sambung Jupe. "Mungkin ia panik, ketika pengurus itu kembali lagi masuk ke gereja setelah polisi selesai menggeledah. Soalnya, pengurus itu pasti akan heran jika melihat di sini ada patung yang mestinya tidak ada. Ya, kan? Father McGovern, masih bisakah orang itu mengingat apa yang terjadi sehingga ia mengalami cedera?"

Pastor itu menggeleng.

"Ia berkata, mungkin ia tersandung. Pembantuku itu selain sangat kaget, juga mengalami gegar otak."

"Mungkin saja ia dipukul," kata Jupe. "Saat itu beberapa lampu sudah dia padamkan, namun bisa saja maling tadi takut kalau sampai ketahuan. Bisa saja dengan diam-diam ia menghampiri pembantu Anda itu dari belakang, lalu-"

Father McGovern mengangkat tangannya, untuk mencegah Jupiter meneruskan dugaannya "Seharusnya kemarin aku ikut kembali kemari dengan dia," katanya, "Kasihan Earl!"

"Aduh, bagaimana nanti kalau kami harus menuliskan kesemuanya ini dalam laporan kami keluh salah satu dari kedua polisi itu. "Maling yang menyamar menjadi patung! Seorang anak yang mengaku melihat hantu!"

"Saya melihat seseorang memakai pakaian berwarna hitam dengan kerah putih," kata Jupiter membetulkan. "Saya tidak mengatakan melihat hantu."

"Bagaimana mungkin manusia biasa bisa masuk kemari?" tanya Mrs. O'Reilly, pengurus rumah tangga Father McGovern. "Pintu kan terkunci. Kalian kan mendengar, Father McGovern sendiri yang mengatakan begitu. Pasti dia adalah pastor yang lama-kasihan, arwahnya tidak bisa beristirahat dengan tenang!"

"Maling itu bisa masuk, karena punya anak kunci yang cocok," kata polisi yang satu lagi. "Harus begitu, karena sewaktu keluar lagi, pintu kemudian dikuncinya dari luar. Father McGovern, siapakah yang menyimpan kunci-kunci gereja ini?"

"Saya sendiri, tentu saja," kata pendeta itu. "Lalu Mrs. O'Reilly... asistenku... dan tentu saja Earl. Saya rasa kunci-kuncinya ada di antara barang-barangnya di rumah sakit. Lalu di rumah masih ada satu perangkat cadangan, kalau-kalau ada yang kehilangan kunci-kuncinya. Kunci-kunci cadangan itu digantungkan di dalam lemari tempat penyimpanan jas, di serambi tingkat bawah."

"Benarkah ada di sana, Father?" tanya Jupiter.

Father McGovern berbalik, lalu bergegas pulang. Beberapa menit kemudian ia sudah datang lagi.

"Tidak ada," katanya singkat. "Hilang!"

Semua yang ada di situ membisu.

"Yah... memang, agak ceroboh menyimpan kunci-kunci di tempat seperti itu," pastor itu mengakui. "Begitu banyak orang yang datang ke rumah pastor untuk urusan ini dan itu. Dan sebelumnya mereka menggantungkan jas dalam lemari itu."

"Maksud Anda," kata salah seorang polisi, "boleh dibilang setiap orang di daerah sini bisa saja mengambil kunci-kunci itu untuk memasuki gereja ini."

Father McGovern mengangguk dengan wajah murung.

"Sebaiknya kita minta saja atasan kita datang kemari," kata polisi yang lebih tua. "Letnan pasti ingin tahu bahwa maling alias santo yang kemudian lenyap itu, malam ini kembali lagi kemari dalam wujud hantu pastor." •

"Bukan begitu kejadiannya," bantah Jupiter.

"Kau tadi mengatakan, melihat seseorang berpakaian hitam dengan kerah seperti kerah jubah pastor," kata polisi itu mengingatkan.

­"Memang," kata Jupe, "tapi bukan dia yang mendorong aku sampai jatuh, lalu mengunci ­ dari luar. Orang berpakaian hitam-hitam itu berdiri sana, di bagian depan sana. Sedang orang yang mendorongku itu di sini, di sebelah belakang sini. Yang Anda sebut hantu itu tidak mungkin punya waktu untuk datang kemari setelah lilin dia padamkan. Ada dua orang yang masuk kemari tadi!"

"Aduh, dua!" Wanita pengurus rumah tangga Father McGovern berkeluh-kesah. "Mendiang pastor yang lalu, dan satu lagi." Ia menoleh ke arah majikannya. "Dan jangan suruh saya pergi minum teh yang enak," katanya. "Saya tidak mau tahu tentang itu malam ini!"