Trio Detektif - Misteri Tengkorak Bersuara(1)



TRIO DETEKTIF
MISTERI TENGKORAK BERBICARA

PENDAHULUAN
SELAMAT datang, Para Penggemar Misteri!


Kita bertemu lagi untuk bersama-sama menyimak suatu kasus baru yang
mengasyikkan dari Trio Detektif. Kegiatan mereka didasarkan pada
semboyan 'Kami Menyelidiki Apa Saja'. Jika mereka dari semula sudah
tahu apa yang akan dihadapi ketika mulai menangani kasus aneh yang
melibatkan 'tengkorak bersuara', ada kemungkinan semboyan itu cepatcepat
mereka tukar dengan yang lain. Pokoknya sekali ini mereka
terlibat dalam kasus yang di samping misterius juga berbahaya. Dari
teka-teki yang satu mereka beranjak ke teka-teki berikut, sampai
akhirnya - ah, aku sudah berjanji takkan terlalu banyak bercerita, dan
sebaiknya kutepati saja janjiku itu.
Aku hanya masih ingin mengatakan - bagi yang belum kenal - bahwa Trio
Detektif terdiri dari tiga pemuda, yang masing-masing bernama Jupiter
Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Mereka tinggal di Rocky
Beach, suatu kota kecil di California, hanya beberapa mil dari
Hollywood. Mereka merupakan kesatuan yang tangguh. Otaknya Jupiter,
yang keahliannya menarik kesimpulan. Pete lebih bisa diandalkan
keberanian dan kekuatan jasmaninya. Sedangkan Bob, tekun mengemban
tugas riset. Selama ini sudah cukup banyak misteri pelik yang berhasil
mereka usut sampai tuntas. Hanya itu saja yang ingin kukatakan pada
kesempatan ini, karena aku tahu bahwa kalian sudah ingin cepat-cepat
mulai menyimak kasus mereka.


ALFRED HITCHCOCK
Bab 1 JUPITER MEMBELI PETI
AWALNYA karena Jupiter Jones membaca surat kabar. Saat itu ia
sedang bersantai-santai di bengkelnya yang terletak di satu sudut
Jones Salvage Yard bersama Bob Andrews dan Pete Crenshaw, kedua 
rekannya dari Trio Detektif. Bob sedang menulis catatan tentang kasus
mereka yang terakhir ditangani. Pete menikmati kehangatan matahari
pagi, yang di California umumnya bersinar cerah. Sedang Jupiter
membaca koran. Setelah beberapa lama asyik dengan kesibukan itu, ia
mendongak.
"Kalian pernah ke pelelangan?" tanyanya.
"Belum," kata Bob.
Pete menggelengkan kepalanya.
"Aku juga belum pernah," kata Jupiter lagi. "Di sini ditulis bahwa pagi
ini ada pelelangan di Perusahaan Lelang Davis, di Hollywood. Yang akan
dilelang barang-barang yang ketinggalan di sejumlah hotel. Menurut
koran ini barang-barang itu antara lain koper-koper dan peti-peti
dengan isi yang tidak diketahui, yang lupa dibawa dan pemiliknya tidak
pernah datang lagi, atau milik tamu hotel yang tidak sanggup membayar
sewa kamar. Kurasa asyik juga melihat-lihat kesibukan di tempat
lelang."
"Kenapa asyik?" tanya Pete. "Aku tidak perlu koper berisi pakaian tua
orang lain."
"Aku juga tidak," kata Bob. "Mendingan kita pergi berenang."
"Kita perlu mencari pengalaman-pengalaman baru," ujar Jupiter. "Setiap
pengalaman baru akan ikut memperluas dasar pengetahuan kita selaku
penyelidik. Sebentar, akan kutanyakan pada Paman Titus apakah Hans
bisa mengantar kita ke Hollywood dengan truk yang kecil."
Hans, satu dari dua pemuda bersaudara asal Jerman pembantu Paman
Titus, saat itu sedang tidak ada tugas. Karenanya sejam kemudian
ketiga remaja itu sudah berada di dalam sebuah ruangan besar. Banyak
orang di situ. Mereka memperhatikan seorang juru lelang bertubuh
pendek gemuk, yang sambil berdiri di atas semacam panggung sibuk
menyerocos, melelang peti-peti dan koper-koper dengan cepat sekali.
Saat itu di depannya ada sebuah peti. Juru lelang berusaha menaikkan
penawaran sekali lagi.  
"Satu kali! Yak, satu kali!" serunya. "Tidak ada lagi yang menawar? Dua
kali! Dua kali!... Yak, terjual dengan penawaran dua bel as dolar lima
puluh sen pada tuan itu, yang memakai dasi merah!"
Kata terakhir disertai hentakan palu di atas meja mimbar, sebagai
tanda bahwa penjualan sudah sah. Kemudian ia berpaling, untuk melihat
giliran barang apa yang akan dilelang.
"Sekarang kita sampai pada obyek nomor 98!" seru juru lelang dengan
lantang. "Barang yang sangat menarik, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya.
Menarik dan lain dari yang lain. Tolong angkatkan kemari, supaya semua
bisa melihatnya!"
Dua pekerja bertubuh kekar menjunjung sebuah koper kecil model kuno
ke atas panggung. Pete mulai gelisah. Hawa hari itu panas. Apalagi di
dalam ruangan yang penuh orang. Menyesakkan napas! Beberapa orang
laki-laki yang hadir nampaknya tertarik untuk ikut menawar peti yang
tak ketahuan isinya itu. Tapi Pete tidak mau peduli.
"Yuk, Jupe, kita pergi!" gumam Pete pada temannya yang bertubuh
gempal itu.
"Sebentar," balas Jupe sambil berbisik pula. "Obyek ini kelihatannya
menarik. Aku kepingin juga ikut menawar."
"Kau tertarik pada itu?" Pete menatap peti di atas panggung dengan
bingung. "Kau sinting!"
"Pokoknya, aku ingin mencoba memperolehnya. Jika nanti di dalamnya
ternyata ada yang berharga, akan kita bagi-bagi bertiga."
"Berharga? Apa sih isinya? Paling-paling pakaian usang yang akhir abad
lalu pun sudah tidak modern lagi," kata Bob.
Peti yang dilelang saat itu memang nampak sudah usang. Terbuat dari
kayu dengan pengikat serta sambungan kulit. Bagian tutupnya bundar,
seperti silinder terpotong. Peti itu kelihatannya terkunci rapat.
"Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya," seru juru lelang, "saya minta perhatian
Anda pada peti bagus ini. Sungguh, peti seperti ini tidak dibuat lagi
sekarang!"
Hadirin terdengar tertawa geli. Memang benar, peti pakaian seperti itu
sudah tidak dibuat lagi. Umurnya paling sedikit sudah setengah abad. 
"Kurasa pemiliknya dulu aktor," kata Jupiter berbisik-bisik pada kedua
rekannya. "Pemain sandiwara keliling dulu biasa memakai peti semacam
itu sebagai tempat mengangkut kostum."
"Kita sama sekali tidak memerlukan kostum usang," balas Pete sambil
menggerutu. "Sudahlah, Jupe ."
Sementara itu juru lelang melanjutkan aksinya. "Perhatikanlah, Tuantuan
dan Nyonya-nyonya!" serunya. "Mohon diperhatikan peti ini.
Memang, bukan barang baru dan modern juga tidak! Obyek ini harus
dinilai sebagai barang antik. Anda harus memandangnya sebagai
kenangan indah pada zaman kakek kita dulu. Dan apa kiranya yang ada di
dalamnya?"
Juru lelang mengetuk-ngetuk peti dengan buku jarinya. Bunyinya
mantap.
"Siapa yang bisa tahu apa isinya? Bisa apa saja, Tuan-tuan dan Nyonyanyonya.
Mungkin saja harta permata Tsar Rusia! Saya tidak mengatakan
pasti begitu, tapi kemungkinan itu ada saja. Sekarang, berapa
penawaran yang saya dengar? Silakan menawar, Tuan-tuan dan Nyonyanyonya
jangan malu-malu!"
Hadirin membisu. Kelihatannya tidak ada yang tertarik pada peti tua itu.
Juru lelang nampak agak kesal.
"Ayo, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya!" katanya dengan gaya membujuk.
"Silakan menawar! Jangan tunggu lama-lama lagi. Peti antik bagus ini,
kenangan indah pada masa silam, peti yang-" Ocehannya terhenti,
karena saat itu Jupiter Jones melangkah setapak ke depan.
"Satu dolar!" serunya dengan suara agak parau karena terpengaruh
perasaan tegang.
"Satu dolar!" sambut juru lelang dengan segera. "Saya mendengar satu
dolar dari pemuda berparas cerdas yang di barisan pertama itu. Dan
Anda mau tahu apa yang akan saya lakukan sekarang, Tuan-tuan dan
Nyonya-nyonya? Saya akan menunjukkan penghargaan pada
kecerdasannya itu, dengan menjual peti ini seharga satu dolar padanya!
Yak - terjual!" 
Ia mengatakannya sambil memukulkan palu ke mimbar. Hadirin terkekeh
pelan. Selain Jupiter tidak ada lagi yang menginginkan peti itu, dan juru
lelang tidak mau membuang-buang waktu, berusaha memperoleh
penawaran yang lebih tinggi. Jupiter Jones sendiri agak kaget ketika
menyadari bahwa ia kini menjadi pemilik sebuah peti antik terkunci yang
isinya tidak diketahui. Tapi saat itu tahu-tahu terjadi keributan sedikit
di bagian belakang ruangan. Seorang wanita berusaha menerobos maju -
seorang wanita tua berambut putih, bertopi model kuno, dan memakai
kaca mata berbingkai emas.
"Tunggu!" serunya. "Saya ingin menawar. Sepuluh dolar! Saya menawar
sepuluh dolar untuk peti itu!"
Hadirin berpaling ke arahnya. Mereka heran mendengar ada orang mau
membayar sepuluh dolar untuk peti usang seperti itu.
"Dua puluh dolar!" seru wanita berambut putih itu sambil melambailambaikan
tangan. "Saya menawar dua puluh dolar!"
"Sayang sekali, Nyonya," balas juru lelang, "barang itu sudah terjual,
dan penjualan tidak bisa dibatalkan lagi."
Juru lelang menyapa kedua pekerja yang menunggu. di dekat panggung,
"Turunkan barang ini. Masih banyak lagi yang harus dilelang!"
Kedua pekerja itu menurunkan peti dan membawanya ke tempat Jupiter.
"Ini," kata seorang dari mereka. Pete dan Jupiter maju untuk
menerimanya.
"Yah, jadi sekarang kita memiliki sebuah peti tua," kata Pete
menggerutu, sambil menggenggam pegangan peti. "Lalu akan kita
apakan?"
"Kita bawa pulang, lalu dibuka," jawab Jupiter. Tangannya meraih
pegangan yang satu lagi.
"Eh, tunggu sebentar!" kata pekerja yang satu lagi. "Sebelum kalian
pergi, bayar dulu! Urusan sepenting itu jangan sampai dilupakan!"
"O ya, betul juga," Jupiter melepaskan pegangan peti lalu mengeluarkan
dompet dari kantungnya. Diambilnya uang satu dolar dan diserahkannya
pada pekerja itu, yang menulis sesuatu pada secarik kertas dan
menyodorkannya pada Jupiter. 
"Nih, tanda pembayarannya," kata orang itu. "Sekarang peti ini sudah
menjadi milikmu. Jika di dalamnya ternyata ada intan permata raja, kau
boleh memilikinya."
SambiI tertawa diperhatikannya Jupe dan Pete mengangkat peti itu.
Keduanya berjalan menerobos orang banyak menuju ke arah belakang
ruang lelang, didului oleh Bob. Ketika sudah sampai di tepi belakang
kerumunan, mereka didekati wanita tua berambut putih yang tadi
datang terlambat untuk ikut menawar. Wanita itu bergegas-gegas.
"Tunggu dulu, Anak-anak," katanya. "Kubeli peti itu dari kalian, dengan
harga dua puluh lima dolar. Aku ini pengumpul peti kuno, dan aku
menginginkan peti itu untuk melengkapi koleksiku."
"Wah! Dua puluh lima dolar!" seru Pete kaget.
"Terima, Jupe!" kata Bob.
"Kau mendapat untung besar, dan bagi pengumpul pun nilainya takkan
sesen lebih tinggi dari itu," kata wanita tadi. "Nih - dua puluh lima
dolar!"
Ia mengatakannya sambil menyodorkan beberapa lembar uang kertas
pada Jupiter, yang dikeluarkan dari tasnya yang besar. Bob dan Pete
melongo, ketika melihat Jupiter menggelengkan kepala.
"Maaf, Bu," katanya, "kami tidak bermaksud menjualnya. Kami ingin
melihat apa isinya."
"Tidak ada sesuatu yang berharga di dalamnya," kata wanita itu dengan
sikap gelisah. "Nih kubayar tiga puluh dolar."
"Terima kasih, tapi saya sungguh-sungguh tidak hendak menjualnya,"
kata Jupiter sambil menggeleng lagi. Wanita itu mendesah kecewa. Ia
hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak jadi. Ia berpaling dengan cepat
lalu bergegas pergi, menyelinap ke tengah orang banyak yang ada di
dalam ruangan. Kelihatannya ia kaget melihat ada seorang pemuda yang
mendekat dengan menenteng kamera.
"Hi, boys," ujar pemuda itu menyapa Jupiter serta kedua temannya.
"Aku Fred Brown, reporter harian The Hollywood News. Aku sedang
mencari berita menarik tentang kejadian sehari-hari. Aku ingin
membuat foto kalian dengan peti itu. Soalnya, cuma kejadian tadi itu 
saja yang tidak lumrah dalam lelang ini. Ya angkat sedikit peti itu - ya,
begitu! Dan kau -" ucapan itu ditujukannya pada Bob, "berdirilah di
belakangnya, supaya ikut masuk dalam foto."
Bob dan Pete bersikap agak sangsi. Tapi dengan cepat Jupiter memberi
isyarat agar mereka berpose seperti yang dimaui reporter itu. Saat
berdiri di belakang peti, Bob melihat bahwa pada tutup peti ada tulisan
dengan cat putih yang sudah pudar. Dibacanya tulisan itu. THE GREAT
GULLIVER. Sementara itu reporter tadi mengarahkan kamera pada
mereka. Jepret! Dengan kilatan sinar terang, mereka sudah difoto.
"Trims," kata repoter itu. "Sekarang kalau boleh kuketahui nama-nama
kalian? Dan kenapa kau tadi menolak sewaktu wanita itu menyodorkan
uang tiga puluh dolar? Menurutku, keuntungannya kan lumayan?"
"Soalnya hanya karena kami ingin tahu," jawab Jupiter. "Menurut
perkiraanku, ini peti yang dulu biasa dipakai orang teater, dan kami ingin
tahu apa isinya. Kami tadi membelinya karena iseng saja, bukan untuk
memperoleh laba."
"Jadi kalau begitu kau tidak beranggapan bahwa di dalamnya ada
permata Tsar Rusia?" kata Fred Brown sambil tertawa-tawa.
"Ah, itu kan cuma omong kosong," kata Pete. "Kemungkinannya peti ini
isinya kostum-kostum usang."
"Mungkin juga," kata pemuda itu sependapat. "Nama yang tertulis di
atas peti itu memang seperti nama orang teater. Great Gulliver!
Ngomong-ngomong. tentang nama, siapa tadi nama kalian?"
"Kami tadi tidak mengatakannya," jawab Jupiter. "Tapi ini kartu nama
kami. Kami ini - hmm, yah kami ini penyelidik."
Ia menyodorkan kartu nama Trio Detektif yang selalu ada di dalam
kantung ketiga remaja itu Reporter tadi membacanya.
TRIO DETEKTIF "
Kami Menyelidiki Apa Saja"
? ? ?
Penyelidik Pertama Jupiter Jones
Penyelidik Kedua Pete Crenshaw
Catatan dan Riset Bob Andrews
  "Jadi kalian ini penyelidik, ya," kata Fred Brown. Alisnya terangkat.
"Dan tanda tanya ini, apa pula artinya?"
"Itu lambang kami," kata Jupiter menjelaskan. "Ketiga tanda tanya itu
artinya misteri yang belum dipecahkan, teka-teki yang tak terjawab,
dan masalah apa saja. Kami menggunakannya sebagai tanda pengenal
kami. Kami menyelidiki segala macam jenis misteri."
"Dan kini kalian menyelidiki peti teater usang ini." Reporter yang masih
muda itu memasukkan kartu nama Trio Detektif ke dalam kantungnya.
Ia tersenyum. "Terima kasih atas keterangan kalian. Mungkin foto
kalian akan sudah terpampang dalam koran malam ini. Itu tergantung,
apakah editor yang berwenang menyukai kisahku atau tidak."
Ia mengangkat tangannya sebagai ganti ucapan selamat berpisah, lalu
pergi meninggalkan mereka. Jupiter meraih pegangan peti lagi.
"Yuk, Jupe! Kita harus membawanya ke luar," katanya. "Hans tidak boleh
sampai terlalu lama menunggu."
Ia bersama Pete menjinjing peti itu menuju pintu ke luar, didului oleh
Bob. Pete masih saja menggerutu. "Untuk apa kaukatakan nama kita
pada orang itu tadi?" katanya.
"Supaya terkenal dong," jawab Jupiter. "Setiap bisnis memerlukan
publisitas, agar dikenal orang. Belakangan ini jarang ada misteri sedang
kita perlu aktif terus, jika tidak ingin berkarat." Mereka melewati pintu
keluar yang besar, lalu melintasi trotoar, menuju truk kecil yang
diparkir di tepi jalan. Peti yang baru dibeli dijunjung ke atas bak
belakang, lalu anak-anak naik ke kabin depan, duduk di samping Hans.
"Sekarang pulang, Hans," kata Jupiter. "Kita tadi membeli sesuatu dan
kini ingin menelitinya."
"Oke, Jupe," kata Hans sambil menghidupkan mesin mobil. "Jadi kau
membeli sesuatu, ya?"
"Ya, sebuah peti tua," kata Pete. "Bagaimana cara kita membukanya
nanti, Pertama?"
"Di rumah kan banyak berserakan anak kunci," kata Jupiter. "Jika kita
bernasib mujur, mungkin ada salah satu yang cocok."
"Mungkin juga kita terpaksa membukanya secara paksa," kata Bob. 
"Wah, jangan," kata Jupiter sambil menggelengkan kepala. "Nanti rusak
petinya! Pokoknya kita harus berhasil membuka kuncinya."
Setelah itu tidak ada yang berbicara lagi sepanjang perjalanan.
Setibanya di tempat jual-beli barang bekas yang diusahakan Titus
Jones, paman Jupiter bersama istrinya di Rocky Beach, Pete dan
Jupiter membantu Hans menurunkan peti dari truk. Peti itu oleh Hans
diletakkan di tepi. Saat itu Mrs. Jones muncul dari pondok yang dipakai
sebagai kantor perusahaan Jones Salvage Yard.
"Aduh, apa itu yang kaubeli?" tanyanya. "Peti itu kelihatannya sudah
begitu tua, pantas jika pemiliknya nenek moyang kita yang dulu pertama
datang ke Amerika dengan kapal Mayflower!"
"Setua itu juga tidak, Bibi Mathilda," kata Jupiter. "Tapi memang tua.
Kami membayar satu dolar untuknya. "
"Yah, setidak-tidaknya kau tidak terlalu banyak menghamburkan uang
untuk membelinya," kata bibinya.
"Kurasa untuk mencoba membukanya, kalian pasti memerlukan kumpulan
kunci kita. Ambil saja sendiri - tergantung di paku, di sebelah atas
meja."
Bob bergegas masuk ke kantor untuk mengambilnya. Kemudian Jupiter
memilih-milih anak kunci yang dirasanya mungkin cocok. Setelah
setengah jam mencoba, akhirnya ia menyerah. Tidak satu pun anak kunci
pada kumpulan itu yang cocok untuk membuka peti kuno itu.
"Sekarang bagaimana?" tanya Pete.
"Kita congkel saja?" usul Bob.
"Jangan dulu," kata Jupiter. "Kurasa Paman Titus masih punya kumpulan
kunci lagi. Tapi entah di mana disimpannya. Kita harus menunggu sampai
ia sudah pulang."
Saat itu bibi Jupiter muncul lagi dari dalam kantor.
"Nah, Anak-anak," katanya, "jangan sampai sepanjang hari terbuang
untuk itu saja. Sudah waktunya lagi untuk bekerja. Makan siang dulu,
dan setelah itu bekerja. Peti tua itu harus menunggu sampai nanti sore."
Dengan segan-segan ketiga remaja itu pergi makan siang di rumah apik
bertingkat dua yang letaknya di samping tempat penimbunan barang 
bekas. Di situlah Jupiter tinggal bersama Bibi Mathilda dan Paman
Titus. Selesai makan, mereka mulai bekerja, membetulkan barangbarang
yang rusak dan masih bisa diperbaiki. Barang-barang itu
kemudian ditawarkan untuk dijual oleh Paman Titus. Kalau laku, Jupiter
beserta kedua rekannya mendapat bagian dari laba yang diperoleh.
Pekerjaan yang harus dilakukan menyibukkan mereka sampai sore, saat
mana Titus Jones kembali. Paman Jupiter itu naik truk besar yang
dikemudikan oleh Konrad, saudara Hans yang juga bekerja di situ.
Mereka membawa muatan barang bekas yang dibeli Paman Titus hari itu
di berbagai tempat. Titus Jones yang bertubuh kecil, berhidung besar,
dan berkumis hitam melintang, meloncat turun dari truk dengan gerakan
lincah seperti anak muda. Ia pergi menghampiri istrinya, lalu merangkul
wanita itu. Kemudian ia melambai-lambaikan surat kabar yang ada di
tangannya.
"Kemari, Anak-anak!" serunya pada Jupe, Pete, dan Bob. "Kalian masuk
koran!"
Dengan rasa ingin tahu, ketiga remaja itu menghampiri Mr. Jones yang
berdiri di sisi istrinya. Paman Titus membentangkan harian The
Hollywood News, untuk menunjukkan halaman pertama dari lembaran
kedua pada anak-anak. Benar juga, foto mereka terpasang di halaman
itu. Jupe dan Pete menjinjing peti tua, sementara Bob tegak di
belakangnya. Foto itu jelas sekali. Sampai tulisan THE GREAT
GULLIVER yang ada pada tutup peti pun bisa dibaca dengan jelas.
Kepala berita yang menyertai berjudul:
PENYELIDIK REMAJA MENGUSUT RAHASIA PETI MISTERIUS.
Tulisan di bawahnya yang disusun dengan nada segar bercerita tentang
Jupiter yang membeli peti dan kemudian menolak menjualnya lagi walau
akan mendapat untung besar. Dikemukakan pula bahwa ketiga remaja itu
memperkirakan akan menemukan sesuatu yang sangat misterius atau
sangat berharga di dalamnya. Tentu saja yang terakhir itu sebenarnya
hanya dugaan reporter yang menulis karangan itu, dan memang sengaja
ditambahkan untuk membuat kisah itu lebih menarik. Anak-anak sendiri
sama sekali tidak punya dugaan apa-apa tentang isi peti tua itu. Dalam 
berita itu juga disebutkan nama mereka, begitu pula bahwa Markas
Besar mereka di Rocky Beach, tepatnya di Jones Salvage Yard.
"Ya, dengan ini kita memang bisa menjadi terkenal," kata Pete. "Tapi ada
kesan bahwa kita ini agak konyol, karena dikatakan menduga bahwa ada
sesuatu yang berharga di dalam peti."
"Itu kan karena juru lelang tadi mengoceh tentang harta permata
kebesaran Tsar Rusia," kata Jupiter. "Berita ini harus kita gunting,
untuk dimasukkan dalam buku kumpulan berita tentang Trio Detektif."
"Nanti saja," kata Mrs. Jones dengan tegas. "Sekarang sudah waktunya
makan malam. Simpan saja dulu peti kalian itu, lalu cuci tangan. Bob,
Pete - ikut makan, yuk?" Bob dan Pete sering makan di rumah Jupiter,
hampir sesering makan di rumah sendiri. Tapi sekali itu mereka memilih
makan di rumah sendiri.
Mereka lantas pergi, naik sepeda masing-masing. Jupiter mendorong
petinya ke sudut kantor supaya tidak menghalangi jalan. Setelah itu ia
masuk ke rumah, untuk makan malam. Mr. Jones pulang belakangan,
setelah mengunci pintu gerbang pekarangan tempat penimbunan barangbarang
bekas. Pintu gerbang itu besar, terbuat dari teralis yang
dibentuk indah. Asalnya dari pekarangan sebuah gedung besar yang
terbakar.
Malam itu berjalan dengan biasa saja. Tapi ketika Jupiter hendak pergi
tidur, tahu-tahu pintu rumah diketuk dari luar. Ternyata yang datang
Hans dan Konrad. Kedua pemuda bersaudara itu tinggal di sebuah rumah
kecil, di bagian belakang.
"Kami cuma ingin memberi tahu, Mr. Jones," kata Hans dengan suara
pelan. "Kami baru saja melihat ada cahaya di pekarangan kantor. Kami
lantas mengintip lewat celah di pagar. Ternyata di dalam ada orang.
Entah sedang apa dia di situ. Mungkin lebih baik jika kita periksa saja!"
"Aduh, aduh, mati aku," kata Mrs. Jones terkejut. "Pencuri!"
"Kita periksa saja sebentar, Mathilda sayang," kata Titus Jones.
"Dengan Hans dan Konrad, kita tidak perlu gentar menghadapi pencuri
yang bagaimanapun. Akan kita sergap mereka dengan tiba-tiba!" 
Bersama kedua pembantunya yang bertubuh kekar, Mr. Jones
menyelinap menuju gerbang depan, diikuti oleh Jupiter dari belakang.
Tidak ada yang menyuruhnya ikut. Tapi juga tidak ada yang melarangnya.
Lewat celah-celah pagar yang mengelilingi kompleks, mereka dapat
melihat sinar terang di dalam. Kelihatannya sinar senter. Mereka maju
sambi! berjingkat-jingkat. Tapi tahu-tahu Hans jatuh terjerembab,
karena kakinya tersandung sesuatu.
"Uhh!" seru pemuda itu karena kaget.
Orang tak dikenal yang ada di dalam rupanya mendengar suaranya. Saat
itu juga mereka yang masih ada di luar mendengar langkah orang berlari.
Dua sosok gelap lari ke luar lewat gerbang depan, meloncat masuk ke
dalam sebuah mobil yang diparkir di seberang jalan. Dengan cepat mobil
itu melesat pergi. Mr. Jones bergegas lari ke gerbang depan, diikuti
oleh Konrad dan Jupiter. Pintu besi di situ terbuka. Rupanya dibuka
dengan kunci palsu, atau dikorek dengan salah satu alat. Orang yang
masuk tanpa diundang tadi sudah tidak kelihatan lagi. Tiba-tiba Jupiter
mendapat firasat yang tidak enak. Ia cepat-cepat lari ke tempat ia tadi
menaruh peti. Peti misterius itu tidak ada lagi di situ!


Bab 2 TAMU YANG LUAR BIASA
BOB membelokkan sepedanya, memasuki pekarangan Jones Salvage
Yard lewat gerbang depan. Pagi saat ujung musim panas itu cerah. Hari
itu kelihatannya akan panas. Pete dan Jupiter sudah sibuk di
pekarangan. Pete sedang membongkar sebuah mesin pemotong rumput
yang karatan. Sedang Jupiter menyapukan cat anti karat berwarna
putih pada beberapa kursi taman dari besi yang sudah diamplas dulu
untuk mengikis karatnya. Keduanya menoleh dengan sikap lesu ketika
Bob datang mendekat, setelah menaruh sepedanya.
"Hai, Bob," sapa Jupiter. "Ambil kuas, lalu mulailah bekerja. Cukup
banyak kursi yang perlu dicat."
"Kau berhasil membuka peti itu?" tanya Bob dengan cepat. "Lalu, apa
isinya?"
"Peti?" Pete tertawa hambar. "Peti mana maksudmu, Bob?" 
"Masa tidak tahu," kata Bob bingung. "Peti yang dibeli Jupiter kemarin,
di tempat lelang! Menurut ibuku, foto kita bertiga itu bagus sekali. Ia
juga ingin sekali tahu isi peti itu."
"Semua orang kelihatannya ingin tahu," kata Jupiter, sambil terus sibuk
mengecat. "Terlalu ingin tahu! Kita kemarin itu seharusnya cepat-cepat
menjualnya lagi, sehingga masih bisa untung."
"Apa sih, yang kauomongkan?" tanya Bob.
"Maksudnya, peti itu tidak ada," kata Pete. "Tidak ada lagi. Dicuri orang,
tadi malam!"
"Dicuri?" Bob memandang Pete dengan mulut ternganga.
"Siapa yang mencurinya?" "Tidak tahu," kata Jupiter, lalu bercerita
tentang kejadian malam sebelumnya. "Kami hanya melihat dua laki-laki
lari," katanya mengakhiri cerita. "Dan peti itu lenyap. Rupanya kedua
orang itulah yang mencurinya."
"Astaga! Aku ingin tahu, kenapa mereka menginginkannya," kata Bob.
"Apa sih isinya, kalau menurut dugaanmu?"
"Barangkali mereka pun hanya ingin tahu pula," kata Pete menebak
"Mereka membaca berita mengenainya dalam koran, lalu datang untuk
melihat."
"Kurasa bukan begitu hal yang sebenarnya," kata Jupiter sambil
menggeleng. "Mana ada orang yang mau mencuri peti seharga satu dolar
hanya karena ingin tahu saja. Risikonya terlalu besar. Tidak, menurutku
mereka mestinya tahu persis bahwa di dalamnya ada barang berharga.
Kini aku mulai merasa bahwa peti itu memang pantas diteliti isinya.
Sayang tidak ada lagi."
Pembicaraan itu terputus, karena saat itu sebuah mobil mewah
berwarna biru memasuki pekarangan. Seorang laki-laki berbadan kurus
tinggi dengan alis melengkung ke atas turun dari dalamnya, lalu
menghampiri mereka.
"Selamat pagi," sapa orang itu. Ia memandang Jupiter, lalu menyambung,
"Mestinya kau Jupiter Jones." 
"Betul, Sir," kata Jupiter. "Anda memerlukan sesuatu, barangkali?
Paman dan Bibi sedang pergi sebentar, tapi jika ada sesuatu di sini yang
menarik minat Anda, saya bisa mewakili mereka menjualnya pada Anda."
"Aku hanya tertarik pada satu barang saja," kata laki-laki jangkung itu.
"Menurut berita dalam surat kabar setempat, kemarin kau membeli
sebuah peti tua. Di tempat lelang. Dengan harga mahal sekali. Satu
dolar! Benarkah fakta-fakta yang kusebutkan ini?"
"Betul, Sir," jawab Jupiter sambil menatap orang itu. Baik penampilan
maupun gaya bicaranya agak aneh. "Itu memang betul."
"Bagus," kata laki-laki jangkung itu. "Untuk tidak membuang-buang
waktu lagi dengan berbicara, aku ingin membeli peti itu. Kuharapkan
sekali bahwa kau belum menjualnya."
"Memang tidak," kata Jupiter mengaku. "Kami tidak menjualnya, tapi-"
"Kalau begitu beres," kata orang tak dikenal itu. Ia mengibaskan
tangannya, dan tahu-tahu di tangannya itu ada sejumlah uang kertas
yang dikembangkan seperti kipas. "Lihat," katanya. "Seratus dolar,
dalam lembaran sepuluh dolar. Ini kutawarkan untuk membayar peti itu."
ia meneruskan karena melihat Jupiter bersikap ragu,
"Itu kan sudah cukup? Tidak bisa kauharapkan aku membayar lebih dari
ini untuk peti usang yang isinya cuma barang-barang tak berarti!"
"Memang tidak, Sir," kata Jupiter. Ia berusaha menjelaskan maksudnya.
"Tapi-"
"Tak usah kauulangi terus tapimu itu!" sergah laki-laki tadi. "Aku
menawarkan harga yang pantas. Aku menginginkan peti itu karena alasan
pribadi. Menurut berita di surat kabar, peti itu dulu milik The Great
Gulliver. Betul begitu?"
"Yah," jawab Jupiter, sementara Bob dan Pete mengikuti pembicaraan
itu dengan penuh minat, "nama itu memang tertulis di tutupnya. Tapi-"
"Lagi-lagi tapi!" Laki-laki jangkung itu mengernyitkan kening,
menunjukkan kekesalannya. "Jangan kausodorkan terus kata itu padaku.
Orang yang bernama panggung The Great Gulliver itu kawan lamaku.
Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah berjumpa lagi dengan dia.
Kukhawatirkan bahwa ia sudah tidak ada lagi. Atau kasarnya, sudah
mati. Aku ingin memiliki peti pribadinya itu sebagai kenang-kenangan
padanya. Ini kartu namaku."
Ia menjentikkan jari. Lembaran uang yang dipegang tahu-tahu sudah
menjelma menjadi kartu nama berwarna putih mulus. Ia menyodorkan
kartu itu pada Jupiter, yang menerimanya. Pada kertas putih itu tertulis
Maximilian the Mystic. Di bawahnya tertera alamatnya: Klub Sulap, di
salah satu jalan di kota Hollywood.
"Anda ahli sulap!" seru Jupiter. Orang yang memakai nama Maximilian
the Mystic itu membungkuk dengan sikap anggun.
"Dulu pernah termasyhur," katanya sebagai pengiaan. "Tampil di
hadapan raja-raja benua Eropa. Sekarang pensiun, dan menyibukkan diri
dengan penulisan sejarah ilmu sulap. Sekali-sekali memperagakan
keahlian di depan kalangan terbatas, di antara para sahabat saja. Tapi
tidak lagi mengadakan pertunjukan secara profesional."
Tukang sulap itu kembali menjentikkan jari, dan sekali lagi lembaran
uang puluhan dolar mengembang seperti kipas di tangannya. "
Kita selesaikan saja urusan kita," katanya. "Aku punya uang. Aku
menginginkan peti itu. Usahamu berjual-beli. Urusannya gampang sekali.
Kau menjual, aku membeli. Kenapa kau masih ragu-ragu juga?"
"Karena saya tidak bisa menjual peti itu pada Anda!" ucap Jupiter
dengan cepat. "Itulah yang dari tadi hendak saya katakan."
"Tidak bisa?" Alis tukang sulap yang melengkung kini merapat.
Tampangnya nampak masam lagi. "Tentu saja kau bisa. Jangan membuat
aku marah, Anak muda! Aku masih memiliki kekuatan gaib. Bagaimana -"
ia mendekatkan mukanya ke Jupiter, sementara matanya yang hitam
nampak berkilat-kilat- "bagaimana jika aku menjentikkan jariku dan kau
tahu-tahu lenyap? Cakk - begitu saja, lenyap tanpa pernah bisa kembali
lagi. Kalau itu terjadi, barulah kau menyesal karena membuat aku
marah."
Bob dan Pete meneguk ludah karena kecut mendengar kata-kata
bernada ancaman itu. Bahkan Jupiter pun nampak agak gelisah.
"Saya tidak bisa menjual peti itu," katanya menjelaskan, "karena
sekarang tidak ada lagi pada saya. Kemarin malam dicuri orang!" 
"Dicuri! Betulkah itu, Anak muda?"
"Betul, Sir." Untuk ketiga kalinya pagi itu Jupiter kemudian menuturkan
kejadian malam sebelumnya, sementara Maximilian mendengarkan
dengan penuh perhatian. Akhirnya ia hanya bisa mendesah dengan
kecewa.
"Aduh, sayang!" katanya. "Aku seharusnya langsung kemari, begitu
membaca berita itu dalam surat kabar. Kalian tidak punya petunjuk
sedikit pun tentang siapa pencuri-pencuri itu?"
"Mereka sudah lari sebelum sempat kami hampiri," kata Jupiter.
"Sayang! Sayang sekali," gumam tukang sulap itu. "Kalau dibayangkan,
peti milik The Great Gulliver tahu-tahu muncul lagi dengan begitu saja,
tapi kemudian lenyap kembali! Aku ingin tahu apa sebabnya orang-orang
itu menginginkannya."
"Mungkin karena memang ada sesuatu yang berharga di dalamnya," kata
Bob menduga-duga.
"Omong kosong!" kata Maximilian. "The Great Gulliver belum pernah
memiliki sesuatu yang berharga. Orang malang itu harta satu-satunya
adalah pertunjukan sulapnya. Mungkin di dalam peti itu ada beberapa
peralatannya, tapi itu hanya berharga bagi sesama ahli sulap, seperti
aku misalnya. Sudahkah kukatakan bahwa The Great Gulliver itu ahli
sulap? Tapi kalian tentu juga sudah bisa menebak hal itu."
"Ia sebetulnya tidak benar-benar besar, walau memakai nama The
Great. Orangnya pendek gemuk, dengan wajah bulat dan rambut hitam.
Kadang-kadang memakai jubah panjang, supaya kelihatan seperti ahli
sihir dari negeri timur. Ia memiliki satu nomor pertunjukan yang benarbenar
istimewa, dan semula aku berharap akan - ah, sudahlah! Peti itu
toh tidak ada lagi sekarang."
Ia terdiam. Kelihatannya sedang berpikir. Kemudian sambil mengangkat
bahu dilenyapkannya lagi uang yang semula masih dipegang.
"Kedatanganku kemari ternyata sia-sia belaka," katanya. "Tapi masih
ada kemungkinan bahwa kalian akan berhasil memperoleh peti itu
kembali. Dan kalau itu terjadi, harap ingat - Maximilian the Mystic
menginginkannya!" 
Ditatapnya Jupiter dengan tajam. "Mengerti, Anak muda? Aku
menginginkan peti itu. Aku akan membelinya, jika kalian berhasil
memperolehnya kembali. Hubungi aku di Klub Sulap. Bagaimana -
setuju?"
"Tidak bisa kubayangkan bagaimana kita bisa mendapatnya kembali,"
kata Pete.
"Walaupun begitu, itu mungkin saja terjadi," kata Maximilian berkeras.
"Dan jika benar terjadi, aku yang paling dulu mengatakan ingin
membelinya. Setuju, Anak muda?"
"Jika kami berhasil memperolehnya kembali," balas Jupiter, "kami
takkan menjualnya pada orang lain sebelum berbicara dulu dengan Anda,
Mr. Maximilian. Cuma itu saja yang bisa saya janjikan. Seperti kata Pete
tadi, saya juga tidak melihat kemungkinan akan memperoleh peti itu lagi.
Para pencurinya sekarang mungkin sudah jauh."
"Ya, kurasa memang begitu." Nada suara ahli sulap itu murung. "Yah,
kita lihat saja apa yang terjadi selanjutnya. Kartu namaku jangan sampai
hilang." Ia memasukkan tangannya ke dalam kantung. Dengan air muka
seperti heran, ia mengeluarkan sebutir telur.
"Eh - kenapa tahu-tahu ada telur dalam kantungku?" tanyanya. "Aku
tidak perlu telur. Nih, tangkap!"
Telur itu dilemparkannya ke arah Pete, yang dengan cepat menadahkan
tangan untuk menyambut. Tapi telur itu seakan-akan lenyap saat sedang
melayang di udara. Begitu saja, dalam sekejap mata.
"Hmm, rupanya itu telur burung dodo," gumam tukang sulap itu.
"Maklumlah, burungnya pun sudah lama lenyap dari permukaan bumi.
Nah, aku harus pergi lagi sekarang. Jangan lupa hubungi aku. Laki-laki
kurus jangkung itu melangkah ke mobilnya. Anak-anak takkan heran
apabila kemudian terjadi sesuatu yang ajaib. Tapi tidak - ahli sulap itu
mengemudikan mobilnya ke luar lewat gerbang depan, lalu membelok ke
jalan raya.
"Wow!" kata Pete. "Dia itu benar-benar calon pembeli yang lain dari
yang lain!" 
"Jelas sekali bahwa ia sangat ingin memiliki peti itu," kata Jupiter
menambahkan. "Aku ingin tahu, apakah sebabnya memang hanya karena
ia dan The Great Gulliver dulu sama-sama ahli sulap atau mungkin karena
ada sesuatu yang istimewa di dalam peti itu, yang ingin dimilikinya."
Ketiga remaja itu masih memikirkan hal itu, ketika sebuah mobil lagi
masuk. Mula-mula mereka menyangka itu tukang sulap tadi, yang kembali
lagi. Tapi mobil yang datang itu ukurannya lebih kecil. Buatan luar
negeri. Mobil berhenti, dan dari dalamnya keluar seorang laki-laki
muda.Anak-anak mengenalinya dengan segera. Itu kan reporter yang
mengambil foto mereka di tempat lelang kemarin.
"Halo," sapa pemuda itu, "masih ingat padaku? Fred Brown!"
"Tentu saja masih," jawab Jupiter. "Ada apa
?""Aku ingin melihat apakah kalian sudah berhasil membuka peti yang
kemarin itu," kata reporter itu. "Kurasa aku bisa menulis berita lagi
mengenainya. Siapa tahu, mungkin di dalamnya ada sesuatu yang
istimewa. Menurutku, isinya tengkorak yang bisa berbicara!"


Bab 3 MISTERI YANG SEMAKIN MISTERIUS
"TENGKORAK? Tengkorak yang - bisa bicara?" seru anak-anak
serempak.
Fred Brown mengangguk "Betul! Tengkorak asli, yang berbicara. Adakah
benda itu di dalam peti kalian?"
Jupiter terpaksa mengaku bahwa mereka tidak menemukan apa-apa,
karena peti tersebut sudah dicuri orang sebelum sempat dibuka.
Reporter muda itu mengerutkan keningnya.
"Sialan!" umpatnya. "Kalau begitu lenyaplah kisahku! Siapa ya, yang
mengambilnya? Mungkin orang yang membaca kisah mengenainya dalam
koran."
"Kurasa begitulah, Mr. Brown," kata Jupiter sependapat. "Mungkin ada
orang lain yang juga tahu tentang tengkorak yang bisa bicara itu, dan ia
menginginkannya. Apakah tengkorak itu betul-betul bisa bicara?"
"Sebut saja Fred padaku," kata reporter itu. "Tidak bisa kukatakan
apakah tengkorak itu benar-benar bisa bicara atau tidak Aku cuma tahu 
bahwa seharusnya begitu. Begini setelah kita berpisah kemarin, aku
lantas berpikir-pikir tentang nama yang tertulis di atas tutup peti.
Rasanya seperti pernah kudengar nama The Great Gulliver. Tapi aku
tidak tahu pasti, di mana. Aku lantas mencari-cari di dalam arsip kami.
Nah, ternyata di situ kutemukan beberapa kisah tentang dia. Ia rupanya
tidak begitu hebat sebagai tukang sulap. Tapi hanya satu nomornya yang
benar-benar istimewa. Nomor itu menampilkan tengkorak yang bisa
bicara.
"Setahun yang lalu, Gulliver dengan tiba-tiba saja menghilang. Lenyap
dengan begitu saja, seperti benda-benda dalam berbagai nomor
pertunjukan sulapnya. Tapi peti teaternya rupanya tertinggal di hotel.
Itu peti yang dilelang kemarin, dan yang kemudian kalian beli. Lantas
timbul dugaanku bahwa peti itu mungkin berisi alat-alat sulapnya,
termasuk tengkoraknya. Kalau dugaanku benar, itu kan kisah yang
hebat?"
"Kata Anda tadi, ia dengan begitu saja lenyap?" tanya Bob.
"Semakin misterius saja segala urusan ini," kata Jupiter sambil
mengerutkan kening. "Tukang sulap yang menghilang, peti yang lenyap,
dan tengkorak yang katanya bisa ngomong. Benar-benar misterius!"
"Eh, tunggu - tunggu dulu!" sela Pete cepat-cepat. "Aku curiga melihat
gelagatmu, Jupe. Kau pasti berniat untuk mengusut urusan ini, sedang
aku tidak ingin mencari jejak tengkorak yang bisa ngomong! Bagiku
barang seperti itu tidak mungkin ada, dan aku tidak mau tahu bahwa
anggapanku itu keliru."
"Kita tidak bisa memeriksa apa-apa, karena peti itu tidak ada lagi pada
kita," balas Jupiter. "Tapi aku masih ingin tahu lebih banyak tentang
The Great Gulliver, Fred."
"Boleh," kata reporter itu, sambil duduk di salah satu kursi besi yang
belum dicat. "Akan kuberikan informasi latar belakang tentang dia.
Gulliver itu tukang sulap yang tidak terkenal. Tapi ia memiliki tengkorak
yang katanya bisa bicara itu. Tengkorak itu diletakkan di atas meja kaca
tanpa ada alat apa-apa yang nampak di sekitarnya, lalu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penonton." 
"Bagaimana dengan ventrilokuisme?" kata Jupiter mengajukan
dugaannya. "Yang berbicara sebenarnya Gulliver, tapi tanpa
menggerakkan bibir?"
"Itu mungkin saja. Tapi tengkorak itu tetap bisa bicara sementara
Gulliver duduk di seberang ruangan! Kadang-kadang bahkan saat tukang
sulap itu berada di luar. Ahli-ahli sulap lainnya pun tidak bisa
mengetahui teknik yang dipergunakan. Tapi itu kemudian menyebabkan
ia berurusan dengan polisi."
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Bob. "Yah, sebagai tukang sulap Gulliver
tidak bisa dibilang berhasil. Karena itu ia berpindah bidang ke
peramalan nasib, yang sebetulnya terlarang. Dan ia tidak menyebut
kegiatannya meramal nasib. Ia menyebut dirinya konsultan. Tapi ia
berdandan memakai jubah panjang. Kegiatannya dilakukan di ruang
sempit yang dihiasi dengan lambang-lambang mistik. Orang-orang yang
percaya pada tahyul datang kepadanya dan bertanya macam-macam
pada tengkorak - tentu saja dengan membayar dulu. Tengkorak itu
bahkan diberi nama, menurut seorang filsuf Yunani kuno. Socrates."
"Dan tengkorak itu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?"
tanya Bob. "Begitulah kabarnya. Katanya bahkan juga memberikan
saran-saran yang berguna bagi orang-orang yang mempunyai berbagai
masalah. Socrates kemudian mulai memberi nasihat tentang pasaran
saham dan hal-hal lain seperti itu. Orang-orang yang dinasihati tapi
kemudian menderita rugi, mengadu pada polisi. Gulliver didakwa
melakukan ramalan nasib yang melanggar undang-undang, lalu dijatuhi
hukuman penjara.
"Ia mendekam di penjara selama setahun. Ketika akhirnya keluar, ia
berpindah pekerjaan, menjadi karyawan. Tahu-tahu, pada suatu hari ia
menghilang. Begitu saja - tahu-tahu lenyap. Menurut desas-desus, ada
beberapa penjahat kelas berat yang menaruh minat terhadapnya. Tidak
ada yang tahu alasannya. Mungkin para penjahat itu merencanakan salah
satu tindakan jahat, dan Socrates hendak mereka libatkan di dalamnya.
Lalu karena itu Gulliver menghilang, untuk menjauhkan diri dari mereka." 
"Tapi petinya tidak dibawa pergi. Jupiter menekan-nekan bibirnya yang
sebelah bawah. Begitulah kebiasaannya kalau otaknya sedang bekerja.
"Itu menimbulkan kesan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada dirinya,
atau ia lari tanpa sempat berpikir panjang lagi."
"Itu penarikan kesimpulan yang baik," kata Fred. "Mungkin ia mengalami
kecelakaan, tanpa ada yang mengetahui siapa dia."
"Kurasa itulah sebabnya kenapa Maximilian menginginkan peti itu," sela
Pete. "Ia ingin memperoleh tengkorak itu lalu mengusut rahasianya,
untuk kemudian dipakai dalam pertunjukannya. Mungkin memang benar
ia pernah berteman dengan Gulliver, tapi kemudian karena beranggapan
bahwa Gulliver tidak ada lagi, tidak ada salahnya jika ia memakai nomornomor
sulapnya."
"Maximilian? Siapa itu?" tanya Fred Brown. Jupiter menceritakan
kunjungan ahli sulap yang kurus tinggi, sebelum reporter itu datang.
"Jika ia berusaha membeli peti itu, maka dapat dipastikan bahwa bukan
dia yang mendalangi pencurian tadi malam," kata Fred. "Aku ingin tahu,
apakah pencuri-pencuri itu menyangka akan bisa menyuruh Socrates
bekerja untuk mereka. Tapi sudahlah, kenapa soal itu dipikirkan. Aku
sebenarnya tadi berharap akan bisa memperoleh kisah yang bagus,
dengan foto kalian bersama tengkorak, dan kalau bisa kau, Jupiter,
mengenakan jubah Gulliver. Tapi kini ternyata bahwa rencanaku itu
tidak bisa kulaksanakan. Jadi aku pergi saja lagi. Senang juga, bisa
bertemu lagi dengan kalian."
Setelah itu Fred Brown masuk ke mobilnya, lalu pergi. "Sebenarnya
urusan ini merupakan misteri yang menarik untuk diusut," kata Jupiter
dengan tampang sedih. "Sayang peti itu lenyap."
"Aku sama sekali tidak menyesalinya," kata Pete. "Bagiku, peti yang di
dalamnya ada tengkorak yang bisa berbicara, biar saja hilang! Tapi
ngomong-ngomong, bagaimana tengkorak sampai bisa bicara, ya?"
"Misterinya antara lain justru itu," balas Jupiter. "Tapi tak ada gunanya
berpikir tentang itu sekarang, karena - nah, itu Paman Titus pulang." 
Anak-anak melihat truk besar memasuki pekarangan. Baknya penuh
dengan muatan barang bekas. Paman Jupiter meloncat turun lalu
mendatangi ketiga remaja itu.
"Sedang sibuk ya," katanya sambil mengedipkan mata, melihat mereka
tidak berbuat apa-apa. "Untung Mathilda tidak ada di sini. Coba ada,
pasti ada saja tugasnya untuk kalian. Tapi kalian ini kelihatannya seperti
sedang banyak pikiran. Soal penting, barangkali?"
"Ya, kami sedang memikirkan peti itu, yang lenyap tadi malam," kata
Jupiter. "Kami baru saja mendengar hal yang menarik mengenainya."
"Ah, peti itu," Titus Jones terkekeh sebentar.
"Jadi sampai sekarang belum kalian temukan kembali?" "
Belum," kata Jupiter. "Rasanya kita takkan pernah melihatnya lagi."
"Belum tentu," kata Mr. Jones. "Peti itu dulu kan kepunyaan tukang
sulap, ya? Yah, kalau begitu kita mungkin bisa memperolehnya kembali
dengan menggunakan ilmu sulap."
Ketiga remaja itu menatap paman Jupiter sambil melongo.
"Apa maksud Paman?" tanya Jupiter sesaat kemudian. "Sulapan macam
mana yang bisa mengembalikannya?"
"Mungkin yang begini," kata Titus Jones dengan sikap misterius. Ia
menjentikkan jarinya tiga kali berturut-turut, memutar tubuh sambil
memejamkan mata dan mengucapkan kata-kata, "Simsalabim, kita
kehilangan peti, yang sekarang harus kembali."
"Nah, itu tadi mantera sihir," katanya. "Kalau dengan itu tidak berhasil,
mungkin juga kita bisa memperolehnya kembali dengan memakai logika."
"Logika?" Kini Jupiter benar-benar bingung. Pamannya berwatak
periang, dan gemar bercanda. Kelihatannya saat itu ia sedang
berkelakar. Tapi siapa tahu-
"Kau kan menyukai teka-teki dan misteri, Jupiter," kata Mr. Titus lagi.
"Kau gemar memecahkan hal-hal begitu dengan memakai logika. Kau
mengandalkan akalmu! Nah, sekarang coba pikirkan apa yang terjadi tadi
malam. Paparkan padaku."
"Yah..... kata Jupiter, sementara ia masih berusaha menebak apa
sebenarnya yang dimaksudkan pamannya, "saat itu kita masih di luar, 
datang ke arah sini. Tahu-tahu dua orang laki-laki bergegas lari dari
dalam sini. Mereka cepat-cepat minggat dengan mobil. Dan peti itu
lenyap."
"Dicuri oleh kedua orang itu?" tanya pamannya.
"Mestinya begitu," kata Jupiter. "Mereka membuka pintu gerbang
dengan kunci palsu, lalu - eh, nanti dulu!" serunya. Mukanya yang bulat
memerah, karena bersemangat dan juga agak malu. "Ketika kita datang,
mereka masih ada di dalam sini! Seakan-akan masih mencari peti itu.
Begitu kita muncul, mereka langsung lari ke mobil dan cepat-cepat
minggat dengannya. Mereka lari tanpa membawa peti. Jadi mana
mungkin mereka yang mencuri? Karena jika sudah ada di dalam mobil,
untuk apa lagi mereka masih berkeliaran di sini. Kesimpulannya cuma ada
satu: peti itu sudah dicuri sebelum kedua laki-laki itu datang!" Mr.
Jones terkekeh.
"Jupiter," katanya, "kau anak pintar. Tapi kadang-kadang ada juga
gunanya mengetahui bahwa kita tak sepintar sangkaan kita sendiri.
Masih ada kesimpulan lain yang ternyata tidak kaupikirkan. Mungkin saja
peti itu sama sekali tidak dicuri. Mungkin kedua laki-laki itu tidak bisa
menemukannya."
"Tapi kan kutinggalkan di luar, di samping kantor," kata Jupiter. "Di
tempat yang menyolok! Mungkin aku kemarin lebih baik menguncinya di
dalam, tapi saat itu aku tidak menyangka bahwa barang itu cukup
berharga."
"Lalu ketika kau sudah masuk ke rumah untuk mencuci tangan sebelum
makan malam, dan saat aku dan Hans sedang menutup toko," kata Mr.
Jones, "aku berpikir-pikir, 'Itu kan peti milik tukang sulap! Jupiter
tentu tercengang jika barang itu tahu-tahu lenyap dengan begitu saja’.
Saat itu timbul niatku untuk berbuat iseng sedikit terhadapmu, Jupiter.
Peti itu kusembunyikan. Lalu ketika kita memergoki kedua orang yang
hendak mencuri tadi malam, aku lantas memutuskan untuk membiarkan
peti itu di tempat aku menyembunyikannya sampai pagi ini, untuk
berjaga-jaga kalau mereka mencoba lagi. Aku tadi sebenarnya sudah
hendak menceritakannya padamu. Tapi kemudian kuputuskan untuk 
melihat dulu, apakah kau sendiri mampu menarik kesimpulan yang benar.
Untuk merangsangmu mengasah otak sedikit."
"Jadi Anda menyembunyikannya?" kata Bob dengan cepat.
"Di mana, Mr. Jones?" Pete ikut -ikut bertanya, "Di mana?"
"Tempat mana yang cocok untuk menyembunyikan peti, agar jangan
ketahuan?" tanya Titus Jones. Tapi sementara itu Jupiter sudah
celingukan ke mana-mana, memperhatikan tumpukan kayu, mesin-mesin
bekas, serta barang-barang lain yang memenuhi tempat itu. Peti itu bisa
disembunyikan di mana saja. Tapi pandangan Jupiter akhirnya berhenti
pada sesuatu yang terdapat di sisi pagar, yaitu atap yang lebarnya
hampir dua meter, dari tepi atas pagar menjorok ke pekarangan. Di
bawah atap itu ditaruh benda-benda yang dinilai berharga, agar jangan
sampai basah kena hujan yang di California Selatan pun sekali-sekali
turun. Pada satu tempat di bawah atap itu nampak berjejer sekitar
setengah lusin peti tua. Semuanya kokoh dan masih dalam keadaan utuh.
Dan semuanya berukuran besar.
"Tempat terbaik untuk menyembunyikan peti kecil ialah dalam peti
besar!" kata Jupiter bersemangat "Itukah yang Paman lakukan?"
"Periksa saja sendiri," kata pamannya. Jupiter beranjak, hendak
mendatangi peti-peti yang berjejer. Tapi ia didului Pete, yang langsung
membuka peti yang terdekat. Kosong!
Peti kedua dibuka oleh Jupiter. Juga kosong.
Peti ketiga dan keempat - sama saja.
Saat peti kelima dibuka, Bob sudah menggabungkan diri. Mata ketiga
remaja itu terbelalak, begitu tutup peti terbuka. Mereka menatap peti
The Great Gulliver yang mengandung teka-teki itu. Pas sekali tempatnya
di dalam peti besar.


Bab 4 SOCRATES MUNCUL
"SEKARANG kita lihat, apakah di antara kumpulan anak kunci yang
diberikan Paman Titus ada yang cocok untuk membukanya," kata
Jupiter.
Ketiga remaja itu sudah berada di bengkel Jupiter yang terletak di
bagian pekarangan. Letaknya terpisah dari bagian depan, ditutupi 
tumpukan barang bekas. Mereka tadi dengan cepat mengangkut peti ke
tempat itu, di mana mereka bisa bekerja tanpa dilihat orang lain.
Beberapa orang yang sedang mencari-cari barang bekas berkeliaran di
bagian depan pekarangan tempat penimbunan barang usang itu. Mathilda
melayani mereka seorang diri, karena suaminya sudah pergi lagi. Paman
Titus tadi mengatakan pada Jupiter bahwa mereka bertiga dibebaskan
dari tugas sampai saat ia nanti kembali dengan barang-barang bekas
yang baru dibeli. Sambil mencoba-coba anak kunci, Jupiter masih saja
kesal pada dirinya sendiri. Kenapa tidak sampai menduga bahwa peti
yang disangka lenyap sebenarnya ada di pekarangan. Ia dipermainkan
oleh Paman Titus. Itu memalukan, tapi di pihak lain ada juga
manfaatnya. Ia seharusnya tidak boleh lekas-lekas asal menarik
kesimpulan saja malam sebelumnya. Paling lambat pagi tadi ia mestinya
sudah bisa menebak apa sebetulnya yang terjadi. Ia membiarkan dirinya
terkecoh oleh kesan sepintas lalu.
"Aku kemarin malam salah, tidak menimbang-nimbang kenyataan secara
cermat," katanya. "Kejadian ini lebih bermanfaat, daripada langsung
melakukan hal yang tepat pada kesempatan pertama. Paman Titus
memberi pelajaran baik padaku."
Bob dan Pete mengangguk sambil tersenyum. "Sekarang bagaimana
dengan Mr. Maximilian?" tanya Bob. "Kita kan sudah berjanji akan
memberi tahu dia kalau peti ini sudah ada lagi."
"Yang kita janjikan ialah memberi tahu dia sebelum kita menjualnya
pada orang lain," kata Jupiter membetulkan. "Kita tidak berniat
menjualnya - setidak-tidaknya, sekarang kita tidak berniat" .
"Aku lebih setuju jika kita jual saja," kata Pete. "Maximilian kan
menawarkan laba besar bagi kita."
Tapi bayangan akan memiliki tengkorak yang bisa berbicara ternyata
lebih besar artinya bagi Jupiter.
"Saat ini jangan kita pikirkan dulu hal itu," katanya. "Sebelumnya aku
ingin tahu dulu apakah Socrates benar-benar bisa bicara."
"Justru itu yang kukhawatirkan," kata Pete sambil mengeluh.
Sementara itu Jupiter terus mencoba-coba anak kunci. Akhirnya satu 
ternyata pas. Kunci peti terbuka. Dengan cepat kedua ban kulit panjang
yang mengikat peti dilepaskan. Setelah itu Jupiter menjunjung tutupnya
ke atas. Ketiga remaja itu menjulurkan kepala, memandang ke dalam
peti. Isinya ditutup kain sutra berwarna merah. Di bawahnya terdapat
semacam tatakan selebar bagian dalam peti. Pada tatakan itu terletak
beberapa barang, yang sebagian di antaranya dibungkus kain sutra yang
bermacam-macam warnanya. Ada kandang burung yang bisa dilipat-lipat,
sebuah bola kristal kecil dengan tempatnya, sejumlah bola merah
berukuran kecil, beberapa pak kartu untuk main truf, serta beberapa
mangkuk logam. Mangkuk-mangkuk itu berukuran sedemikian rupa,
sehingga mangkuk yang terkecil pas masuk di mangkuk berikut yang
lebih besar. Mangkuk itu pas masuk dalam mangkuk berikut, dan begitu
seterusnya sampai mangkuk yang paling besar. Tapi mereka tidak
menemukan tengkorak. Atau bungkusan yang cukup besar, sehingga bisa
diperkirakan isinya tengkorak.
"Ini pasti siasat sulap Gulliver pula," kata Jupiter menduga. "Jika ada
barang penting di sini, letaknya pasti di bawah."
Bersama Pete diangkatnya tatakan yang menutupi peti dan
meletakkannya ke samping. Isi peti sebelah bawah kelihatannya
terutama pakaian. Tapi bukan pakaian biasa, karena ketika diangkat satu
per satu, itu terdiri dari sejumlah jas sutra, sehelai jubah panjang
berwarna keemasan, sebuah serban, serta pakaian lain bergaya timur.
Bob yang paling dulu melihat benda yang mereka cari.
"Itu dia!" katanya. "Itu, di samping - di bawah bungkusan ungu ada
benda bundar, Pasti itu tengkorak- yang kita cari!"
"Kurasa kau benar, Bob," kata Jupiter sambil mengangkat bungkusan
yang dimaksudkan temannya Itu. Bob cepat-cepat membuka bungkusan
yang dipegang Jupiter. Remaja bertubuh gempal itu ternyata memegang
sebuah tengkorak kepala manusia. Warnanya putih kemilau. Sepasang
rongga tak berbiji mata lagi seakan-akan menatap ke arahnya.
Tengkorak itu sama sekali tidak menyeramkan kelihatannya. Malah bisa
dibilang ramah. Melihatnya anak-anak lantas teringat pada kerangka di
ruang biologi di sekolah, yang oleh anak-anak diberi nama Pak Tulang. 
Jupiter serta kedua rekannya sudah biasa menghadapi Pak Tulang. Jadi
mereka tidak gugup lagi, ketika tahu-tahu menatap tengkorak milik ahli
sihir yang lenyap itu.
"Mestinya memang inilah Socrates," kata Bob.
"Dalam peti di bawahnya tadi ada sesuatu," kata Jupiter sambil
menyerahkan Socrates pada Bob. Ia meraih ke dalam peti, mengambil
semacam piring yang tebalnya lima senti dan bergaris tengah sekitar
lima bel as senti. Piring itu kelihatannya terbuat dari gading gajah. Pada
pinggirnya nampak ukiran berupa lambang-lambang aneh.
"Ini kelihatannya merupakan tempat meletakkan Socrates," kata
Jupiter. "Cekungan di tengah ini pas untuk menaruhnya di situ."
Piringan gading itu diletakkannya di atas meja yang ada di dekat
situ,lalu Bob menaruh tengkorak pada bagian yang cekung. Anak-anak
memperhatikan Socrates yang kelihatannya seperti meringis.
"Nampaknya memang seakan-akan hendak bicara," kata Pete. "Tapi jika
itu benar-benar terjadi, aku nanti ada urusan di tempat lain."
"Barangkali cuma Gulliver saja yang bisa membuatnya berbicara," kata
Jupiter. "Menurut dugaanku, di dalamnya ada semacam alat untuk itu."
Diangkatnya tengkorak itu,lalu ditelitinya bagian sebelah dalamnya.
"Tidak kelihatan apa-apa," gumam Jupiter. "Jika di dalam ada apa-apa,
aku pasti bisa melihatnya. Mestinya ada salah satu petunjuk. Tapi ini
sama sekali tidak ada! Benar-benar aneh."
Diletakkannya Socrates ke tempatnya.
"He, Socrates," katanya. "Katakanlah sesuatu, jika kau memang benar
bisa bicara."
Tapi Socrates membisu.
"Rupanya sedang enggan," kata Jupiter setelah beberapa saat. "Coba
kita periksa, ada apa lagi dalam peti."
Bersama kedua temannya, dikeluarkannya beberapa lembar kostum lagi
yang bergaya timur. Setelah itu menyusul tongkat sulap, serta beberapa
bilah
pedang pendek. Mereka sedang meneliti barang-barang itu sambil
membelakangi Socrates, ketika tiba-tiba terdengar bunyi bersin pelan.
Ketiga remaja itu berpaling dengan cepat Mereka kaget sekali. Tapi 
tidak ada siapa-siapa di situ. Yang ada hanya Socrates. Socrates yang
bersin!


Bab 5 PEREMBUKAN ANEH DALAM GELAP
ANAK-ANAK berpandang-pandangan dengan mata terbelalak.
"Ia bersin!" kata Pete. "Itu sudah bisa dibilang bicara. Jika ada
tengkorak bisa bersin, kemungkinannya dia juga bisa berpidato!"
"Hmm.." Kening Jupiter berkerut. "Kau yakin bahwa bukan kau tadi yang
bersin, Bob?"
"Pasti bukan salah seorang dari kita," kata Bob. "Aku jelas sekali
mendengarnya tadi. Bunyinya datang dari belakang kita."
"Aneh," gumam Jupiter. "Jika yang membuat tengkorak ini berbicara
atau mengeluarkan suara adalah salah satu teknik sulap Gulliver, yang
jelas aku tidak tahu rahasianya. Tapi Gulliver tidak ada di sini. Bahkan
mungkin sudah mati. Aku tidak habis heran, bagaimana tengkorak bisa
bersin sendiri. Coba kita periksa sekali lagi."
Dipungutnya tengkorak itu, lalu dibalik-balik untuk diteliti dengan
cermat. Ia bahkan menghadapkannya ke tempat terang supaya bisa
lebih jelas melihat. Tapi sama sekali tidak nampak tanda-tanda bahwa
Socrates pernah diutik-utik dengan cara mana pun juga.
"Tidak nampak kawat atau barang lain," kata Jupiter. "Ini benar-benar
misterius."
"Kudukung pendapatmu itu!" kata Pete sepenuh perasaan.
"Tapi kenapa tengkorak bersin?" tanya Bob. "Kan tidak ada alasannya."
"Aku tidak tahu kenapa, dan juga tidak tahu caranya," kata Jupiter.
"Tapi ini merupakan misteri yang mengasyikkan bagi kita, untuk
menyelidikinya. Aku yakin, misteri macam beginilah yang disukai Alfred
Hitchcock."
Ia berbicara tentang sutradara film terkenal yang sudah beberapa kali
mengarahkan mereka pada sejumlah kasus mereka yang paling misterius,
serta menaruh minat besar pada pekerjaan mereka. 
"Eh, nanti dulu!" seru Pete. "Kemarin malam ada dua orang yang mencoba
mencuri peti ini. lalu hari ini kita membukanya dan menemukan
tengkorak yang bisa bersin di dalamnya. Nanti tahu-tahu -"
Kata-katanya terpotong oleh suara Bibi Mathilda, yang dengan lantang
memanggil-manggil mereka. "Jupiter! Anak-anak! Aku tahu, kalian ada di
belakang! Ayo cepat kemari! Ini, ada pekerjaan yang harus kalian
lakukan!"
"Wah!" kata Bob. "Kita dicari bibimu."
"Ya, dan dengan suaranya yang berarti, 'Jangan sampai aku harus
menunggu,'" kata Pete menambahkan, sementara suara Mrs. Jones yang
senyaring terompet terdengar lagi. "Lebih baik kita cepat-cepat saja ke
depan."
"Ya, betul," kata Jupiter dengan gugup. Dimasukkannya lagi Socrates ke
dalam peti yang kemudian ditutup dan dikunci. Setelah itu mereka
bergegas-gegas ke pekarangan sebelah muka. Mrs. Jones menunggu di
situ sambil bertolak pinggang.
"Nah, itu kalian!" katanya. "Kenapa lama sekali! Paman kalian bersama
Hans dan Konrad sudah menurunkan barang-barang yang baru saja
dibawanya pulang. Kini kalian harus menyortir dan menumpukkannya."
Ketiga remaja itu mengeluh panjang, begitu melihat barang-barang
bekas yang tertumpuk di depan kantor. Takkan sebentar waktu yang
diperlukan untuk menaruh semuanya itu, sedang Mrs. Jones sangat
mementingkan kerapian. Jones Salvage Yard memang berjual-beli
barang bekas. Tapi barang bekas bermutu dan lain dari yang lain. Dan
Mathilda sama sekali tidak menyukai keadaan acak-acakan yang
disebabkan karena pekerjaan yang ceroboh. Jadi sampai sore ketiga
remaja itu sibuk terus. Jupiter sebenarnya sudah ingin sekali kembali
ke peti serta isinya yang aneh. Tapi sama sekali tidak ada kesempatan
untuk itu.
Akhirnya sudah waktunya bagi Bob dan Pete untuk pulang ke rumah
masing-masing. Pete mengatakan akan kembali pagi-pagi sekali besok.
Bob baru bisa datang kemudian, karena paginya harus bekerja dulu di
perpustakaan. Malam itu Jupiter makan dengan lahap. Sesudah itu ia 
sudah mengantuk sekali, sehingga tidak mampu banyak berpikir tentang
misteri peti tukang sulap yang lenyap serta tengkorak yang katanya bisa
berbicara. Walau begitu terpikir juga kemungkinan peti itu dicuri orang,
karena sebelumnya juga sudah hampir terjadi. Karena itu ia keluar lagi
untuk mengambil Socrates beserta tempatnya dari dalam peti, yang
setelah dikunci lagi lalu disembunyikan di belakang mesin cetak dan
ditutupi terpal. Tempat itu cukup aman, kata Jupiter dalam hati. Tapi ia
tidak mau mengambil risiko dengan Socrates. Tengkorak itu dibawanya
masuk ke rumah. Bibinya menoleh ketika ia masuk. Begitu melihat
Socrates, Bibi Mathilda terpekik.
"Aduh, Jupiter!" pekiknya. "Barang apa itu yang kaubawa masuk?"
"Cuma Socrates saja, Bi," kata Jupiter. "Dia ini kabarnya bisa bicara."
"Bisa bicara, ya?" Titus Jones mengalihkan perhatiannya dari surat
kabar yang sedang dibaca. Ia terkekeh geli. "Lalu apa katanya?
Tampangnya sih cerdas."
"Sampai sekarang sama sekali belum bicara," kata Jupiter. "Aku
mengharapkannya, walau tidak benar-benar percaya bahwa dia bisa."
"Yah, asal jangan padaku saja dia bicara, kalau tidak kepingin
kusemprot!" kata Bibi Mathilda galak. "Cepat bawa pergi, Jupiter. Aku
tidak ingin melihatnya. Macam-macam saja!"
Jupiter membawa Socrates ke kamar tidurnya di tingkat atas, lalu
menaruhnya di atas meja, dengan landasan piringan gading. Setelah itu
ia kembali lagi ke bawah, untuk ikut nonton televisi. Saat ia naik untuk
tidur, ia sudah yakin bahwa Socrates mustahil bisa berbicara.
Penjelasannya ialah bahwa pemiliknya yang dulu, The Great Gulliver,
sangat pandai memindahkan suara. Jupiter sudah hampir pulas. Tibatiba
ia dikagetkan bunyi siulan pelan. Sesaat kemudian bunyi itu
terdengar lagi. Datangnya seperti dari ruang tidur itu sendiri. Jupiter
duduk lurus-lurus di tempat tidur. Kantuknya lenyap.
"Siapa itu? Paman Titus, ya?" katanya. Sesaat ia menduga bahwa
pamannya yang iseng lagi, mengganggunya.
"Ini aku," Suara yang menjawab dalam gelap itu pelan dan agak
melengking. Datangnya dari arah meja tulis. "Socrates." 
"Socrates?" Jupiter meneguk ludah saking kagetnya. "Waktunya sudah
datang... untuk bicara. Jangan nyalakan... lampu. Dengarkan saja dan...
jangan takut. Kau... mengerti?"
Suara itu berbicara terputus-putus. Jupiter menatap dalam gelap ke
arah meja di mana Socrates diletakkan. Tapi ia tidak bisa melihat apaapa.
"Yah - baiklah," Jupiter mengatakannya dengan gugup.
"Bagus," kata suara aneh itu. "Pergilah... besok... ke King Street 311.
Kata pengenal... Socrates. Sudah... mengerti?"
"Sudah," jawab Jupiter, yang kini sudah bertambah keberaniannya.
"Tapi ini sebenarnya urusan apa? Siapa yang berbicara' itu?"
"Aku... Socrates." Suara itu melemah. Dengan cepat Jupiter menjangkau
sakelar lalu menghidupkan lampu meja di sebelah tempat tidur. Begitu
ruangan sudah terang, ia memandang ke arah Socrates. Tengkorak itu
seakan-akan memandangnya sambil nyengir. Tapi benda mati itu
membisu. Tidak mungkin Socrates yang berbicara tadi, kata Jupiter
dalam hati. Tapi - yang bersuara tadi jelas ada di dalam kamar itu.
Datangnya bukan dari arah jendela. Begitu terkilas ingatan pada
jendela, Jupiter lantas cepat-cepat mengintip ke luar. Pekarangan di
situ terbuka, dan tidak nampak siapa-siapa di tempat itu. Dengan
perasaan sangat heran, Jupiter kembali ke tempat tidurnya. Pesan yang
disampaikan suara tadi menyuruhnya pergi ke King Street nomor 311
keesokan harinya. Mungkin lebih baik hal itu tidak dilakukannya. Tapi
Jupiter sendiri tahu bahwa ia pasti akan ke sana. Misteri yang dihadapi
bertambah membingungkan sekarang. Sedang Jupiter paling suka pada
misteri yang mengasyikkan!


Bab 6 PESAN MISTERIUS
"KAU yakin bahwa aku tidak perlu ikut masuk, Jupe?" tanya Pete.
Saat itu ia sedang duduk bersama Jupiter di bangku depan truk kecil,
dengan mana - Hans mengantar mereka ke Los Angeles. Kedua remaja
itu memandang ke luar, memperhatikan bangunan nomor 311 di King
Street. Sebuah bangunan yang nampak tak terawat. 
Pada sebuah papan tertera tulisan yang sudah memudar:
MENYEWAKAN KAMAR.
Di bawahnya ada papan lebih kecil sedikit, dengan tulisan, ‘Tidak ada
kamar kosong'.
Lingkungan situ nampak lusuh. Masih ada lagi bangunan-bangunan lain
dengan kamar-kamar yang disewakan, serta beberapa toko. Segalagalanya
kelihatan perlu dicat dan diperbaiki. Orang-orang yang tidak
banyak di jalanan, semuanya sudah berumur lanjut. Jalan itu nampaknya
dihuni golongan usia lanjut berpendapatan sedikit.
"Kurasa itu tidak perlu, Dua," kata Jupiter membalas pertanyaan
temannya. "Kau tunggu saja di sini bersama Hans. Kurasa takkan ada
bahaya yang menunggu di dalam."
Pete meneguk ludah dengan gugup. "Kaubilang tadi, tengkorak itu yang
menyuruhmu datang kemari?" katanya. "Begitu saja, sambil nangkring di
atas meja ia berbicara padamu?"
"Begitu kejadiannya, atau aku yang bermimpi aneh semalam," kata
Jupiter. "Tapi saat itu aku tidak sedang tidur, jadi tidak mungkin aku
mimpi. Aku masuk saja sekarang, untuk melihat apa sebetulnya urusan
ini. Jika dua puluh menit ragi aku masih juga belum keluar, kau nanti
menyusul masuk bersama Hans."
"Baiklah, kalau begitu," kata Pete. "Tapi banyak hal yang tidak
mengenakkan perasaanku dalam urusan ini."
"Jika nanti ada bahaya, aku akan berteriak keras-keras minta tolong,"
kata Jupiter.
"Hati-hati, Jupe," kata Hans. Wajahnya menampakkan rasa was-was.
"Kalau kau nanti memerlukan bantuan, kami akan cepat-cepat datang!"
Pemuda Jerman itu menggerak-gerakkan otot lengannya yang kekar,
seperti hendak menunjukkan bahwa kalau perlu pintu pun akan
didobraknya, untuk menyelamatkan Jupiter. Penyelidik Pertama Trio
Detektif mengangguk
"Kuandalkan bantuan kalian berdua," katanya sambil turun dari truk
Jupiter berjalan menuju serambi depan yang sempit, menaiki tangga
rendah lalu menekan tombol bel. Agak lama juga rasanya ia menunggu, 
sebelum terdengar langkah orang datang di dalam rumah. Pintu depan
terbuka. Seorang laki-laki berkulit kecoklatan, berkumis melintang, dan
bertubuh gempal menatap dirinya.
"Ya?" kata orang itu. "Mau apa? Di sini tidak ada kamar kosong. Semua
penuh."
Ia berbicara dengan logat asing. Jupiter tidak bisa menebak logat mana.
Air mukanya ditololkan, hal mana kadang-kadang dilakukannya jika ingin
menimbulkan kesan pada orang-orang dewasa bahwa ia cuma seorang
remaja gendut yang tidak begitu cerdas.
"Saya ingin bertemu dengan Mr. Socrates," katanya, menyebutkan kata
pengenal itu.
"Ha!" Lama juga laki-laki di depannya menatap dirinya. Kemudian orang
itu mundur selangkah. "Masuklah! Dia mungkin ada di sini, tapi mungkin
juga tidak. Tergantung! Akan Lonzo tanyakan dulu."
Jupiter melangkah masuk. Matanya terkejap-kejap dalam keremangan
ruangan depan yang sempit dan berdebu. Di satu sisinya ada ruangan
besar, di mana nampak beberapa orang laki-laki lagi. Ada yang sedang
membaca surat kabar, dan ada pula - yang main dam. Semua berkulit
kecoklatan. berambut hitam pekat serta bertubuh kekar berotot.
Semua berpaling dan menatap ke arah Jupiter dengan sikap tak acuh.
Jupiter menunggu di ruang depan. Akhirnya laki-laki berkumis melintang
tadi muncul lagi dari sebuah ruangan yang terletak di batik ujung
belakang ruang depan.
"Ayo ikut," kata orang itu. "Zelda akan menerimamu."
Ia mengantar Jupiter masuk ke kamar yang di belakang, lalu pergi lagi
sambil menutup pintu. Mata Jupiter terkejap-kejap. Ruangan itu cerah
disinari cahaya matahari yang masuk. Karena datang dari ruang masuk
yang remang-remang, setelah sesaat barulah ia melihat wanita tua yang
duduk di kursi goyang yang besar. Wanita itu sedang merajut.
sementara matanya menatap Jupiter dari balik kaca mata model kuno.
Wanita yang sudah berumur itu memakai syal berwarna merah dan
kuning yang menyolok. Ia memakai anting-anting berwujud. sepasang
cincin emas yang besar di telinga. Sementara wanita itu masih terus 
menatapnya dari tempat ia duduk, Jupiter menyadari bahwa orang yang
dihadapinya itu seorang gypsy - suku kelana, yang tidak diketahui asalusulnya.
Dugaannya ternyata benar, ketika wanita tua itu mulai
berbicara.
"Aku Zelda, si Gypsy," kata wanita itu. Suaranya pelan dan agak serak.
"Kau ingin apa, Anak muda? Ingin nasibmu kuramalkan?".
"Tidak, bukan itu maksudku kemari," kata Jupiter dengan sopan. "Aku
disuruh datang oleh Mr. Socrates."
"Ah, Mr. Socrates," kata wanita kelana itu. "Tapi Mr. Socrates kan
sudah meninggal."
Itu harus diakui oleh Jupiter, apabila mengingat tengkoraknya.
Socrates memang sudah mati.
"Tapi walau begitu ia masih berbicara padamu," kata Zelda dengan suara
menggumam. "Aneh, sangat aneh! Duduklah, Anak muda. Di situ,
menghadap meja. Aku hendak menanyai bola kristal dulu."
Jupiter duduk menghadap sebuah meja kecil dari kayu. Daun meja itu
berukir-ukir, dihiasi tatahan lambang aneh-aneh yang terbuat dari
gading. Zelda meninggalkan kursi goyangnya, lalu duduk di meja
menghadapi Jupiter. Ia mengambil sebuah kotak kecil dari bawah meja.
Dari kotak itu dikeluarkannya sebuah bola kaca kristal. Bola itu
diletakkan di tengah-tengah meja.
"Tenang!" desis Zelda. "Jangan bicara. Jangan ganggu bola kristal."
Jupiter mengangguk sambil membisu. Wanita kelana tua itu menaruh
kedua tangannya pada permukaan daun meja. Ia mencondongkan
tubuhnya ke depan. Matanya ditatapkan dengan penuh perhatian ke
dalam bola kristal yang kemilau. Zelda sama sekali tidak berbicara lagi.
Ia bahkan seakan-akan tidak bernapas lagi. Beberapa menit berlalu
dalam keheningan. Kemudian bibir Zelda bergerak, mengucapkan katakata.
"Aku melihat sebuah peti," gumamnya. "Aku melihat orang laki-laki -
banyak orang lelaki yang menginginkan peti itu. Aku melihat seorang
lelaki lagi. Orang itu ketakutan. Namanya dimulai dengan huruf B -
tidak, huruf G. Ia ketakutan dan mencari pertolongan. Ia memintamu 
agar menolongnya. Kristal semakin jernih! Aku melihat uang - banyak
uang. Banyak orang menginginkan uang itu. Tapi tempatnya tersembunyi.
Di balik awan. Hilang, entah ke mana. "
Kristal samar kembali.
"Laki-laki yang namanya dimulai dengan huruf G lenyap. Ia meninggalkan
dunianya. Ia mati, tapi masih hidup. - Aku tidak bisa melihat apa-apa
lagi." Wanita kelana yang selama itu menatap ke dalam bola kristal
dengan tubuh condong ke depan, kini meluruskan punggungnya. Ia
mendesah.
"Mengamati bola kristal merupakan beban yang berat," katanya. "Aku
tidak mampu melihat lebih banyak hari ini. Apakah penglihatanku tadi
itu ada artinya bagimu, Anak muda?"
Kening Jupiter berkerut. "Sebagian," katanya sambil merenung. "Yang
mengenai peti. Padaku ada peti, yang kelihatannya diingini banyak orang.
Dan huruf G tadi, bisa merupakan huruf depan dari nama Gulliver. The
Great Gulliver, tukang sulap."
"The Great Gulliver," gumam wanita kelana tua itu. "Itu bisa! la sahabat
kaum kelana. Tapi kemudian menghilang."
"Kata Anda tadi, ia meninggalkan dunianya," kata Jupiter. "Ia mati, tapi
masih hidup. Bagian yang itu tidak kumengerti. Apa maksudnya?" "Aku
tidak bisa menjelaskannya." Wanita kelana itu menggelengkan kepala.
'Tapi bola kristal tidak pernah berdusta. Kami, kaum kelana, ingin
mencari Gulliver sampai dapat, karena ia sahabat kami. Mungkin kau bisa
membantu. Kau pintar, dan walaupun kau masih remaja, tapi matamu
awas. Kau melihat hal-hal yang kadang-kadang tidak kelihatan bagi orang
lain."
"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membantu," bantah Jupiter. "Aku
sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Gulliver. Dan yang sudah pasti,
aku tidak pernah mendengar sesuatu tentang uang yang mana pun juga.
Aku hanya membeli peti Gulliver di pelelangan. Di dalamnya ada
Socrates, tengkorak milik Gulliver yang bisa bicara. Dan Socrates
menyuruh aku kemari. Cuma itu saja yang kuketahui." 
"Perjalanan jauh dimulai dengan satu langkah pertama." kata Zelda.
"Sekarang pergilah. Lalu tunggu! Barangkali saja akan ada lagi yang
kauketahui nanti. Simpan peti itu baik-baik. Jika Socrates berbicara,
dengarkan dengan seksama. Pergilah, Anak muda."
Jupiter bangkit dari kursinya, lalu pergi dengan perasaan semakin
bingung. Lonzo, lelaki yang berkumis melintang tadi mengantarkannya
sampai ke pintu depan. Pete dan Hans masih menunggu di dalam truk.
Pete memandang arloji tangannya.
"Wah, Jupe - kami sudah bersiap-siap untuk menyusulmu ke dalam,"
katanya, sementara Jupiter duduk di sampingnya. "Lega hatiku melihat
kau dalam keadaan selamat. Apa yang terjadi di dalam?"
"Entahlah, aku tidak begitu tahu," jawab Jupiter, sementara kendaraan
itu mulai bergerak meninggalkan tempat itu. "Maksudku, aku tahu apa
yang terjadi - tapi apa artinya, itulah yang tidak begitu kuketahui."
Diceritakannya pengalamannya selama beberapa menit yang baru lewat.
Pete bersiul kagum ketika Jupiter selesai bercerita.
"Memang membingungkan,"kata Pete. "Guiliver, lalu uang yang
tersembunyi, dan Gulliver yang mati tapi hidup. Aku sama sekali tak
mengerti."
"Aku juga tidak," kata Jupiter. "Sangat membingungkan."
"He!" seru Pete dengan tiba-tiba. "Jangan-jangan ada uang dalam jumlah
besar yang disembunyikan di dalam peti Gulliver! Kita kan tidak begitu
cermat lagi memeriksa isinya, setelah menemukan Socrates. Jika di
dalamnya ada uang, maka bisa dimengerti apa sebabnya begitu banyak
orang yang ingin mengambil peti itu."
"Pikiranku juga ke arah itu," kata Jupiter mengaku. "Mungkin sama
sekali bukan Socrates yang diinginkan orang-orang itu. Kita periksa lagi
isi peti jika kita sudah kembali.... Ada apa, Hans? Kenapa mobil
kaupercepat jalannya?"
"Ada orang membuntuti kita," gumam Hans. Pedal gas diinjaknya lebih
dalam lagi, sehingga mereka bertiga terguncang dan terlambunglambung
di dalam truk yang melaju. "Mobil hitam berisi dua laki-laki
mengikuti kita, sejak dua blok yang lewat." 
Pete dan Jupiter menoleh, mengintip lewat kaca belakang. Di belakang
ternyata memang ada mobil hitam, yang kini berusaha mengejar dan
mendului. Tapi jalan yang dilewati sedang lengang. Hans mengemudikan
truk di tengah-tengah jalan, sehingga mobil hitam itu tidak bisa lewat.
Kedua kendaraan itu beriring-iringan dengan cara demikian sejauh
setengah mil selanjutnya. Kemudian nampak jalan bebas hambatan di
depan. Di Los Angeles banyak jalan-jalan seperti itu dengan empat
sampai delapan jalur, untuk menyalurkan kendaraan bermotor lewat
kota yang padat itu tanpa harus berhenti pada persimpangan jalan atau
lampu lalu lintas. Beberapa di antaranya merupakan jalan layang, dan
yang di depan itu juga jalan seperti itu.
"Aku naik ke atas!" gumam Hans. "Di sana mereka yang di belakang itu
takkan berani memberhentikan kita, karena lalu lintas terlalu ramai"
Hampir tanpa mengurangi kecepatan, Hans membelokkan truk memasuki
lintasan pengantar menuju jalan layang itu. Kendaraan itu membelok
dalam posisi miring, tapi sesaat kemudian sudah sampai dijalan layang
yang lebar, di mana banyak mobil lalu-lalang. Mobil yang di belakang
tidak berusaha menyusul. Rupanya pengemudinya menyadari bahwa ia
tidak bisa menghentikan truk yang dikejar di tengah lalu-lintas yang
begitu ramai- - jika memang begitu niatnya semula. Apalagi di jalan
layang kendaraan tidak diizinkan berhenti. Mobil hitam itu meluncur
terus, menghilang lewat jalan yang menerobos di bawah.
"Kita berhasil meloloskan diri," kata Hans. "Ingin rasanya bisa
membekuk mereka tadi dan saling membenturkan kepala mereka.
Sekarang kita ke mana, Jupe?"
"Pulang," kata Jupiter. "Ada apa, Pete? Kenapa keningmu berkerut
begitu?"
"Perasaanku tidak enak," kata Pete. "Ada tengkorak yang berbicara
padamu saat tengah malam. Orang-orang yang berusaha mencuri peti,
lalu membuntuti kita. Segalanya itu membuat aku gelisah. Sebaiknya
kita lupakan saja urusan ini, Jupe!"
"Kurasa itu tidak mungkin," kata Jupiter sambil merenung. "Nampaknya
kita menghadapi misteri, yang mau tidak mau terpaksa kita selidiki."
 

Bab 7 SELAMAT BERPISAH, SOCRATES!
BIBI Mathilda sudah menunggu dengan tugas untuk Jupiter, ketika
mereka akhirnya tiba kembali di tempat perusahaan jual-beli barang
bekas itu. Pete tinggal untuk membantu Jupiter. Mereka sibuk terus
sampai sehabis makan siang, saat mana Bob muncul dari pekerjaan
setengah harinya di perpustakaan. Ketiga remaja itu kemudian menuju
ke belakang, ke bengkel Jupiter. Peti antik itu masih ada di sana, di
bawah terpal yang diselubungkan Jupiter di atasnya. Jupiter bercerita
pada Bob mengenai kejadian yang dialami pagi sebelum itu.
"Menurut Zelda, wanita kelana tua itu nampaknya ada sejumlah uang
yang lenyap dengan cara yang entah bagaimana," katanya mengakhiri
cerita, "dan urusan itu kelihatannya ada sangkut-pautnya dengan
menghilangnya The Great Gulliver. "
"Mungkin dia yang mengambil uang itu, lalu pergi ke Eropa atau
begitulah," kata Bob menduga.
"Tidak," Jupiter menggelengkan kepala. "Kata Zelda tadi ia memerlukan
pertolongan. Gulliver dikatakannya meninggalkan dunianya. Ia mati tapi
hidup. Zelda menambahkan bahwa ia beserta kaumnya ingin membantu
Gulliver agar bisa kembali. Kedengarannya sangat membingungkan. Tapi
menurut kesimpulanku Gulliver tidak menghilang dengan uang itu, tapi
disebabkan oleh uang itu."
"Mungkin ia menyembunyikannya di dalam peti ini," saran Pete, "lalu
muncul orang-orang berwatak kasar yang hendak merebut. Kalian ingat
saja - bukankah Fred Brown mengatakan bahwa ada kawanan penjahat
yang menaruh minat pada Gulliver, sebelum orang itu menghilang! Bisa
jadi ia menyembunyikan diri dari mereka."
"Tapi untuk apa uang itu ditinggalkannya di dalam peti ini?" tanpa
Jupiter. "Walau begitu kemungkinan itu ada saja! Jadi yang pertamatama
harus kita lakukan ialah memeriksa dengan cermat."
Tapi setengah jam kemudian, sesudah peti dibongkar dan diperiksa
segala isinya dengan teliti, ketiga remaja itu ternyata tidak berhasil
menemukan uang ataupun salah satu barang berharga di dalamnya. 
"Nah, begitulah," kata Pete. "Tidak ada apa-apa."
"Uang kertas bisa saja disembunyikan tanpa ketahuan di balik pelapis
peti," kata Jupiter. "Lihatlah - di sudut bawah sini ada sobekan kecil."
"Menurutmu uang itu mungkin disembunyikan di situ?" tanya Bob.
"Benjolannya tidak cukup tebal."
la menyelipkan salah satu jarinya ke dalam sobekan itu, meraba di balik
kain pelapis.
"Eh - ada sesuatu di sini!" serunya bersemangat. "Rasanya seperti
kertas! Barangkali saja uang!"
Dengan hati-hati sekali ditariknya kertas yang tersentuh tadi ke luar,
lalu didekatkan ke matanya.
"Bukan uang, tapi sampul surat tua," katanya kecewa.
"Hmm," kata Jupiter menggumam. "Coba kulihat sebentar. Ditujukan
pada Gulliver dengan alamat di salah satu hotel. Capnya menunjukkan
bahwa pengirimannya sekitar satu tahun yang lalu. Jadi ia menerimanya
sekitar saat ia menghilang. Rupanya setelah menerimanya lalu
disembunyikannya di balik kain pelapis peti ini yang disobeknya sedikit.
Itu berarti bahwa surat ini dianggapnya penting."
"Mungkin merupakan petunjuk tentang uang yang disebut Zelda padamu
tadi, Jupe," kata Bob.
"Mungkin di dalam surat ini terdapat peta atau sesuatu seperti itu."
Bob dan Pete menunggu dengan penuh minat, sementara Jupiter
mengeluarkan selembar kertas dari sampul surat itu. Pada kertas itu
tertulis surat singkat.
Jupiter membacakan isi surat itu, "-Rumah Sakit Peryara, 17 JuLi
Gulliver yang baik hati, Beberapa patah kata dari kawan lamamu Spike
Neely, yang pernah mendekam dalam satu sel denganmu. Aku saat ini
dirawat di rumah sakit, dan nampaknya umurku takkan panjang lagi. Aku
mungkin masih bisa bertahan Lima hari, atau tiga minggu, atau bahkan
dua bulan - para dokter tidak bisa menentukan dengan pasti. Tapi
pokoknya sudah waktunya bagiku untuk mengucapkan selamat berpisah.
Kapan-kapan jika kau ke Chicago, datangilah sepupuku Danny Street. 
Sampaikan salamku padanya. Aku sebenarnya masih ingin mengatakan
lebih banyak. tapi cuma ini saja yang bisa kutulis. Temanmu.
Spike"
"Ah, cuma surat biasa saja," kata Pete. "Dari seorang kenalan Gulliver.
Kurasa ia kenal orang itu sewaktu dipenjarakan karena meramal nasib
tanpa izin. Tidak ada artinya sama sekali."
"Mungkin begitu, tapi mungkin juga tidak," kata Jupiter menyatakan
kesangsian.
"Jika tidak ada artinya sama sekali, lalu kenapa disembunyikan oleh
Gilliver?" tanya Bob.
"Tepat, itulah yang menimbulkan keraguanku," kata
Jupiter. "Kenapa ia menyembunyikannya? Kelihatannya seolah-olah dinilai penting

olehnya."
"Yah - tapi di dalamnya tidak disinggung-singgung tentang uang," kata
Pete sambil menggaruk-garuk kepala.
"Spike Neely ini menulisnya di rumah sakit penjara," kata Bob. "Kalau
tidak salah, surat narapidana selalu disensor dulu oleh pengurus penjara
sebelum diposkan. Jadi karena itu Spike tidak mungkin. bisa mengatakan
sesuatu tentang uang, karena pasti akan ikut dibaca oleh para petugas."
"Kecuali jika ia mengatakannya dengan memakai sandi," kata Jupiter
menduga.
"Maksudmu dengan tinta yang tidak kelihatan, atau siasat lain seperti
itu?" tanya Pete. "Itu kan mungkin saja. Kurasa sebaiknya kita periksa
saja surat ini dengan lebih cermat di Markas Besar."
Jupiter menghampiri kisi besi yang seolah-olah tersandar dengan begitu
saja pada mesin cetak yang sudah diperbaiki beberapa waktu yang lalu.
Ia menggeser kisi itu ke samping. Kini nampak lubang masuk ke Lorong
Dua yang merupakan jalan masuk utama ke Markas Besar. Lorong Dua
merupakan pipa besi bergaris tengah sekitar enam puluh sentimeter,
seperti yang biasa dipakai untuk saluran air di bawah jalan raya. Pipa itu
sebagian lewat di bawah tumpukan barang rongsokan, dan berakhir di
bawah Markas Besar. Sedang Markas Besar
itu sendiri berupa karavan
tua yang letaknya tersembunyi di tengah rongsokan.
Jupiter masuk paling dulu, disusul oleh Bob, dan paling belakang Pete.
Ketiga remaja itu merangkak-rangkak dalam Lorong Dua yang dilapisi 
selimut-selimut usang agar lutut mereka tidak sampai lecet saat
merangkak di situ. Mereka masuk ke ruang kantor mereka yang sempit,
lewat tingkap yang ada di lantai. Ketiga remaja itu membangun
laboratorium kecil-kecilan di dalam karavan mereka, lengkap dengan
mikroskop serta peralatan lainnya yang diperlukan. Ruang laboratorium
mereka itu hanya memuat satu orang saja. Jadi Jupiter yang masuk
dengan surat tadi, sementara Pete dan Bob memperhatikan dari ambang
pintu yang sempit. Mula-mula Jupiter meletakkan surat itu di bawah
mikroskop, lalu menelitinya dengan seksama.
"Tidak ada apa-apa," katanya beberapa saat kemudian. "Sekarang akan
kuperiksa, apakah ada tulisan dengan tinta yang tidak kelihatan. Kumulai
saja dengan yang paling umum."
Diambilnya sebuah botol berisi asam cuka. Ia menuangkannya sedikit ke
dalam sebuah bejana dari kaca. Surat yang dipegangnya digerakgerakkannya
di atas bejana tadi, supaya terkena uap asam cuka. Tapi
tidak terjadi apa-apa dengannya.
"Seperti sudah kusangka," katanya. "Berdasarkan logika, seseorang di
rumah sakit penjara takkan bisa memperoleh tinta yang tidak kelihatan.
Tapi kalau jeruk nipis masih mungkin - sedang air jeruk nipis merupakan
tinta tak kelihatan yang paling sederhana. Tulisan dengan air jeruk tidak
bisa dilihat, tapi apabila kertasnya dipanaskan, tulisan itu akan muncul.
Sekarang kita coba saja meneliti kemungkinan itu."
Ia menyalakan kompor gas kecil. Kemudian dipegangnya surat pada
ujung-ujungnya, lalu digerak-gerakkannya di atas nyala api.
"Sama saja, tidak kelihatan apa-apa," katanya setelah beberapa saat.
"Coba kemarikan sampul suratnya. Aku hendak menelitinya sekarang."
Tapi segala macam pengujian yang dilakukan pada sampul surat itu juga
tidak membawa hasil apa-apa. Air muka Jupiter menampakkan
kekecewaan hatinya.
"Rupanya memang surat biasa saja," katanya. "Tapi Gulliver
menyembunyikannya. Apa alasannya?"
"Mungkin karena menyangka mengandung petunjuk, tapi ia belum
berhasil menemukannya," kata Bob mengajukan dugaan. "He - mungkin   
sewaktu ia masih di penjara, orang yang bernama Spike Neely itu
mengatakan sesuatu padanya tentang uang yang disembunyikan, tapi
tanpa memberi tahu di mana. Mungkin orang itu bahkan mengatakan
karena Gulliver kawannya, maka apabila terjadi apa-apa dengan dirinya,
ia akan memberi tahu rahasianya pada Gulliver. Dan kemudian Gulliver
menerima surat ini, yang dikirim dari rumah sakit penjara. Di sini Spike
mengatakan bahwa ajalnya sudah dekat. Lalu Gulliver menduga bahwa
Spike pasti mengirim petunjuk padanya tentang di mana uang itu. Tapi ia
tidak berhasil menemukan petunjuk tersebut. Lantas surat ini
disembunyikan olehnya, dengan maksud hendak menelitinya lagi.
Beberapa penjahat yang tahu bahwa Spike ada di penjara, entah dengan
cara bagaimana memperoleh kabar bahwa orang itu menulis surat pada
Gulliver. Mereka menduga bahwa Spike menceritakan rahasianya pada
kawannya itu. Lantas mereka mendatangi Gulliver, yang karenanya
menjadi sangat ketakutan. Ia tidak melapor pada polisi, karena tidak
tahu apa yang harus dilaporkan. Tapi ia takut- kalau para penjahat
beranggapan bahwa ia tahu di mana uang itu disembunyikan, dan mungkin
akan menyiksa dirinya untuk memaksanya membuka mulut. Karena itu ia
menghilang. Nah - bagaimana kalau begitu?"
"Penalaran yang masuk akal, Bob," kata Jupiter. "Kurasa barangkali
itulah yang terjadi. Tapi di pihak lain, kita sudah meneliti surat ini -
tanpa menemukan pesan apa-apa di dalamnya. Karenanya aku menarik
kesimpulan bahwa Spike Neely tidak mengirimkan pesan yang demikian.
Ia tidak melakukannya, karena tahu bahwa semua surat dari narapidana
disensor dulu oleh polisi sebelum dikirimkan. "
"Walau begitu ada pihak-pihak yang beranggapan bahwa ada petunjuk
tertentu dalam peti Gulliver," kata Pete. "Mereka menghendaki peti itu
karena memperkirakan dengannya akan bisa menemukan petunjuk itu.
Jadi jika kita tidak ingin berurusan dengan orang-orang kasar yang
kemungkinannya akan berusaha terus untuk menguasai peti itu,
sebaiknya barang itu lekas-lekas kita singkirkan."
"Benar," juga kata Pete itu," kata Bob. "Kita tidak bisa mengusut
misteri ini, karena tidak ada petunjuk apa-apa mengenainya. Sebaiknya 
kita singkirkan saja peti itu, apabila ingin terhindar dari kesulitan.
Bagaimanapun, peti itu kan sama sekali tidak ada gunanya bagi kita."
"Maximilian the Mystic ingin agar kita menjualnya pada dia," desak Pete.
"Menurutku, sebaiknya kita kembalikan saja Socrates ke dalam peti, lalu
kita serahkan segala-galanya pada Mr. Maximilian. Kita lepaskan saja
urusan ini, karena kurasa terlalu berbahaya bagi kita. Bagaimana,
Jupe?"
"Hmm," Jupiter mencubiti bibir bawahnya. "Zelda kelihatannya
berpendapat bahwa kita bisa membantu. Tapi itu nampaknya tidak
benar. Seperti kaukatakan tadi, Pete, kita tidak berhasil menemukan
petunjuk apa pun. Tadi dalam perjalanan pulang dari tempat Zelda kita
dibuntuti dua orang laki-laki. Perasaanku juga tidak enak karenanya:"
Jupiter termenung sejenak, lalu meneruskan, "Baiklah! Kita telepon saja
Mr. Maximilian, karena ia begitu menginginkan peti itu. Tapi kita perlu
memperingatkan bahwa ada pihak lain yang ingin merebut, supaya ia
waspada. Dan aku takkan meminta bayaran seratus dolar - melainkan
satu dolar saja, yaitu harga yang kubayar."
"Kan asyik, kalau punya uang seratus dolar," sela Pete.
"Itu tidak patut, jika peti itu berbahaya," kata Jupiter. "Sebentar lagi
ia akan kutelepon. Sebelumnya kupotret dulu surat ini, karena siapa
tahu aku tahu-tahu mendapat ide baru." Jupiter memotret surat dan
peti Gulliver beberapa kali. Kemudian diteleponnya Maximilian the
Mystic yang mengatakan bahwa ia akan segera datang. Setelah itu anakanak
keluar lagi. Surat dari Spike Neely pada qulliver diselipkan ke balik
kain pelapis peti. Selanjutnya peti dikemaskan lagi isinya dengan rapi.
Akhirnya Jupiter pergi ke kamarnya, untuk mengambil tengkorak yang
diberi nama Socrates. Ketika ia masuk, dilihatnya Bibi Mathilda berdiri
seperti terpaku sambil menatap tengkorak yang ada di atas meja tulis
dengan pandangan ngeri.
"Jupiter Jones!" kata bibinya, begitu Jupiter memasuki kamar. "Benda
itu - benda itu..."
Ia tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Hanya telunjuknya saja yang
menuding-nuding Socrates. 
"Ada apa, Bi?" tanya Jupiter.
"Barang itu!" seru Bibi Mathilda. "Mau tahu apa yang baru saja
dilakukannya? Ia menghardik!
'Huhhl' katanya padaku!"
"Socrates mengatakan 'Huhhl' pada Bibi?" tanya Jupiter. "
Ya, betul!
Aku baru saja masuk kemari untuk membereskan. Aku berkata, 'Aku
tidak tahu di mana Jupiter menemukanmu, Jelek - tapi satu hal
kukatakan sekarang dengan jelas. Aku tidak ingin lebih lama melihatmu
dalam rumahku ini. Habis perkara! Aku tidak mau!' Lalu - lalu-" Suara
Bibi Mathilda mulai bergetar lagi - "benda itu menghardikku. Jelas
sekali ia mengatakan, 'Huhh!' padaku!"
"Socrates kabarnya memang tengkorak yang bisa berbicara," kata
Jupiter sambil menyembunyikan senyum. "Pemiliknya yang dulu tukang
sulap. Hardikannya tadi mungkin untuk iseng saja, mengajak Bibi
bercanda."
"Iseng? Bercanda? Seperti tadi itu kaukatakan bercanda? Tengkorak
yang meringis, sambil menyerukan, 'Huhh!'? Tidak peduli apakah itu
tengkorak atau kuda yang pintar bicara, pokoknya benda itu sekarang
juga harus keluar dari sini. Aku tidak mau melihatnya lagi!"
"Baiklah, Bibi Mathilda," kata Jupiter. "Aku akan menyingkirkannya.
Maksudku memang begitu."
"Benar-benar ya!"
Sambil berpikir-pikir, Jupiter kembali ke luar dengan membawa
Socrates serta landasannya yang dari gading. Diceritakannya pada Pete
dan Bob, apa yang baru saja dialami Mrs. Jones.
"Kejadian yang benar-benar aneh," katanya mengakhiri cerita. "Harus
kuakui bahwa aku sungguh-sungguh bingung menghadapinya. Untuk apa
Socrates menyerukan 'Huhh' pada Bibi Mathilda?"
"Mungkin ia suka bercanda," kata Pete. "Sudahlah - kita masukkan saja
dia sekarang ke dalam peti."
"Setelah ada perkembangan baru ini, kurasa mungkin ada baiknya jika
Socrates dan peti ini kita tahan dulu untuk sementara di sini," kata
Jupiter. "Siapa tahu, ia akan berbicara lagi." 
"Tidak bisa!" seru Pete.
Disambarnya Socrates dari tangan Jupiter, lalu cepat-cepat dibungkus
dan dimasukkan ke dalam peti. "Bibimu bilang kita harus
menyingkirkannya, dan kau sudah mengatakan ya. Kita tadi juga sudah
setuju untuk menyerahkannya pada Mr. Maximilian. Kita tidak boleh
mengingkari kata yang sudah diucapkan. Aku tidak kepingin mendengar
tengkorak berbicara. Ada misteri-misteri yang tidak menimbulkan
keinginanku untuk mengusutnya."
Pete menutup peti dan menguncinya sekaligus. Sementara Jupiter masih
berpikir-pikir mencari alasan, terdengar suara Hans memanggil-manggil
dari arah depan.
"Jupe! He, Jupe! Ini - ada orang mencarimu!"
"Pasti itu Mr. Maximilian," kata Bob, sementara ia bersama kedua
rekannya berjalan menuju ke depan. Orang itu ternyata memang ahli
sulap bertubuh kurus jangkung, yang berdiri menunggu mereka tanpa
mengacuhkan orang-orang lain yang berkeliaran di sekitar tumpukan
barang-barang bekas yang menarik perhatian mereka.
"Nah, Anak muda," seru ahli sulap itu sambil menatap Jupiter dengan
mata terpicing, "jadi peti Gulliver ternyata muncul kembali, ya?"
"Ya," jawab Jupiter, "dan Anda bisa membelinya, jika memang benarbenar
mau." "Tentu saja aku mau. Kan sudah kukatakan begitu? Ini
uangnya - seratus dolar."
"Saya tidak meminta bayaran seratus dolar untuknya," kata Jupiter.
"Saya membelinya seharga satu dolar - jadi Anda boleh memilikinya
dengan pembayaran satu dolar pula"
Maximilian mendengus. "Aku ingin tahu, apa sebabnya kau bermurah
hati," katanya. "Ada barang berharga yang kauambil dari dalamnya?"
"Tidak, Sir. Peti itu keadaannya sama seperti waktu kami
memperolehnya. Tapi ada misteri menyelubunginya, dan ada orang lain
yang sangat ingin memperolehnya. Barang itu mungkin berbahaya untuk
dimiliki. Saya agak sangsi, apakah tidak sebaiknya diserahkan saja pada
polisi. " 
"Ah, apa! Omong kosong! Aku tidak peduli, kalau soal berbahaya atautidak.
Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku sudah mengajukan
penawaran, dan kini kuminta agar kau menjualnya padaku. Ini - satu
dolar."
Ahli sulap itu mengulurkan lengannya yang panjang, menjentikkan jari
dan menunjukkan mata uang satu dolar - yang seakan-akan diambil dari
telinga Jupiter.
"Sekarang peti itu sudah menjadi milikku," katanya. "Mana barangnya?"
"Tolong ambilkan, Bob - bersama Pete," kata Jupiter.
"Beres!" kata Pete sambil bergegas ke arah belakang. Tidak sampai
semenit kemudian ia sudah kembali lagi, menjinjing peti bersama Bob.
Mr. Maximilian menyuruh keduanya menaruh barang itu di bangku
belakang mobil birunya yang diparkir dekat gerbang depan. Mereka
berempat begitu sibuk dengan urusan itu, sehingga tidak ada yang
melihat ada dua laki-laki yang mengamat-amati mereka dengan diamdiam.
Mr. Maximilian kemudian masuk ke mobil, duduk di belakang setir.
"Nantilah - kalian akan kukirimi karcis untuk menonton pertunjukanku
yang berikut," kata ahli sulap itu. "Nah, sampai berjumpa lagi saat itu!"
Mobil birunya bergerak, keluar lewat gerbang. Pete menghembuskan
napas lega setelah kendaraan itu tidak kelihatan lagi.
"Sekarang Socrates sudah tidak ada lagi di sini," katanya "Kurasa Mr.
Maximilian pasti mengharapkan akan berhasil mengetahui rahasia
bagaimana tengkorak itu sampai bisa bicara. Lalu kalau sudah diketahui,
akan dimasukkan sebagai nomor tambahan dalam pertunjukannya. Bagiku
sih, silakan! Pokoknya aku sekarang lega, karena tidak berurusan lagi
dengan peti serta tengkorak itu."
Ia takkan begitu senang, apabila mengetahui bahwa perkiraannya keliru.


Bab 8 "MEREKA LOLOS!"
SETELAH itu tidak ada lagi kejadian yang istimewa. Sorenya Bob pulang
agak cepat dari biasanya. Ayahnya, Mr. Andrews, penulis artikel untuk
suatu surat kabar terkemuka di Los Angeles, jarang pulang sebelum
larut malam. Tapi sekali itu ia tidak ke mana-mana. Dan Bob gemar
mengobrol dengan ayahnya. 
"Nah, Bob," kata ayahnya saat makan malam, "aku melihat fotomu dalam
koran terbitan Hollywood, dengan cerita tentang temanmu Jupiter yang
membeli peti antik di suatu pelelangan. Lalu bagaimana - ada barang
menarik yang kalian temukan di dalamnya?"
"Kami menemukan tengkorak yang dikatakan bisa berbicara," jawab Bob.
"Namanya Socrates."
"Tengkorak berbicara?" kata ibunya kaget. "Macam-macam saja!
Mudah-mudahan saja tidak berbicara padamu."
"Padaku tidak Bu," kata Bob. Mulanya ia hendak bercerita bahwa
Socrates berbicara dengan Jupiter. Tapi tidak jadi. Apalagi karena
ayahnya langsung menimpali sambil tersenyum.
"Itu pasti merupakan nomor yang biasa saja dari tukang sulap yang
kabarnya dulu pemiliknya. Siapa sih namanya? Alexander?"
"Gulliver," kata Bob membetulkan. "The Great Gulliver."
"Mestinya dia itu ahli memindahkan suara," kata Mr. Andrews. "Lalu
akan diapakan sekarang oleh Jupiter? Kan tidak disimpan terus?"
"Tidak, sudah dijualnya lagi," kata Bob. "Pada seorang ahli sulap yang
mengaku pernah kenal dengan Gulliver. Ia menamakan dirinya Maximilian
the Mystic."
"Maximilian the Mystic?" Kening Mr. Andrews berkerut "Sebelum aku
pulang tadi masih ada berita masuk. Orang itu terlibat dalam kecelakaan
lalu-lintas siang tadi. Ia cedera." Maximilian cedera dalam kecelakaan
lalu-lintas. Pasti kecelakaan mobil. Bob bertanya-tanya dalam hati,
jangan-jangan tengkorak bersuara itu membawa sial. Renungannya
terpotong pertanyaan ayahnya.
"Eh, mau ikut berlayar hari Minggu mendatang ini?" tanya Mr. Andrews.
"Salah seorang kawanku mengajak kita semua pesiar dengan perahu
layarnya, di sekitar Pulau Catalina."
"Asyik!" seru Bob dengan gembira. Berita tentang kecelakaan yang
menimpa Maximilian tersingkir dari pikirannya. Ia bahkan tidak ingat
lagi keesokan paginya, ketika pergi ke tempat Jupiter. Pete sudah lebih
dulu datang. Ketiga remaja itu kemudian disibukkan tugas membongkar
mesin cuci bekas yang dibeli Titus Jones. Dengan memanfaatkan bagian
bagian yang masih baik dari suatu mesin cuci lain, ketiganya berhasil
membuat mesin itu bekerja kembali. Mereka baru saja selesai dengan
tugas itu, ketika sebuah mobil patroli polisi setempat memasuki
pekarangan. Anak-anak menoleh ke arah kendaraan itu. Mereka
tercengang, karena yang datang ternyata Chief Reynolds, kepala polisi
Rocky. Beach. Petugas hukum bertubuh gempal itu keluar dari mobil, lalu
menghampiri mereka.
"Halo, Anak-anak," sapanya. Wajahnya serius. "Ada beberapa
pertanyaan yang ingin kuajukan pada kalian."
"Pertanyaan pada kami, Sir?" tanya Jupiter. Matanya terkejap karena
heran.
"Ya - tentang peti yang kemarin kaujual pada seorang lelaki yang
menamakan dirinya Maximilian the Mystic. Ia mengalami kecelakaan,
dalam perjalanan pulang. Mobilnya rusak berat, sedang ia sendiri luka
parah. Ia sekarang di rumah sakit. Kami mulanya mengira bahwa itu
kecelakaan biasa saja. Maximilian sendiri tidak bisa langsung dimintai
keterangan, karena ia pingsan. Tapi ketika ia siuman tadi pagi, ia
mengatakan pada kami bahwa mobilnya didesak ke tepi oleh mobil lain
yang di dalamnya ada dua pria, sehingga keluar dari jalan. Ia juga
melaporkan tentang peti itu. Rupanya kedua pria itu mencurinya, karena
tidak ada di dalam mobilnya ketika kendaraan itu kami tarik ke
bengkel."
"Kalau begitu kedua lelaki itu sengaja menyebabkan Mr. Maximilian
mengalami kecelakaan, supaya bisa merampas peti yang ada di mobilnya!"
seru Jupiter.
"Begitulah kesimpulan kami," kata Chief Reynolds. "Maximilian sendiri
tidak bisa banyak memberi keterangan - dilarang dokter, mengingat
keadaannya yang masih payah. Tapi ia sempat mengatakan bahwa peti
itu dibelinya darimu, Jupiter. Karena itulah aku kemari, untuk
mengetahui apa isi peti itu, sehingga menyebabkan ada orang yang
begitu nekat merampasnya."
"Yah," kata Jupiter, sementara kedua temannya ikut mendengarkan
dengan penuh perhatian, "isinya kebanyakan pakaian. Lalu peralatan   
sulap. Tapi yang terpenting, tengkorak kepala manusia yang dikabarkan
bisa berbicara."
"Tengkorak yang bisa bicara!" seru Chief Reynolds kaget. "Sinting! Mana
mungkin tengkorak bisa berbicara!"
"Memang tidak, Sir," kata Jupiter mengakui. "Tapi yang ini dulu milik
seorang tukang sulap bernama The Great Gulliver, dan -"
Jupiter menuturkan pengalaman mereka pada Chief Reynolds, mulai dari
saat membeli peti di pelelangan, lalu keterangan yang diperoleh tentang
Gulliver, bahwa orang itu pernah meringkuk di penjara, lalu menghilang
setelah dibebaskan kembali. Chief Reynolds mendengarkan dengan
kening berkerut serta sambil menggigit-gigit bibir.
"Urusan yang berbelit-belit," katanya ketika Jupiter selesai bercerita.
"Tapi pasti hanya sangkaanmu saja bahwa kau mendengar tengkorak itu
berbicara padamu malam-malam itu. Atau mungkin pula kau mimpi."
"Kemungkinan itu memang sudah terlintas dalam pikiran saya, Sir. Tapi
ketika saya kemudian mendatangi alamat yang disebut olehnya, saya
menjumpai Zelda, seorang wanita gypsy, yang kelihatannya kenal dengan
Gulliver. Wanita itu mengatakan bahwa Gulliver sudah meninggal dunia."
Chief Reynolds mendesah sambil mengusap kening. "Lalu perempuan itu
mengoceh tentang uang tersembunyi, yang menurut dia dilihatnya di
dalam bola kristal, ya?" gumamnya. "Yah, memang benar-benar aneh!
Sekarang tentang surat yang kalian temukan dalam peti, lalu
kaumasukkan kembali ke situ. Katamu kau memotretnya. Coba kulihat
sebentar."
"Sebentar, saya ambilkan, Sir," kata Jupiter. Ia bergegas pergi ke
bagian bengkel, lalu menyusup masuk ke Markas Besar lewat Lorong Dua.
Paginya ia sudah mencetak foto yang dibuatnya satu hari sebelumnya.
Hanya satu kopi yang dibuatnya saat itu. Tapi kalau- perlu ia masih bisa
membuatnya lagi. Foto-foto yang sudah kering dimasukkannya ke dalam
sampul. Tidak lama kemudian ia sudah kembali ke depan. Diserahkannya
sampul berisi foto-
foto itu pada Chief Reynolds. Kepala polisi itu
memperhatikan gambar-gambar itu sebentar, lalu menggeleng. 
"Kelihatannya sama sekali tidak ada artinya bagiku," katanya
menggerutu. "Tapi kuteliti saja nanti. Selain ini masih ada satu lagi
permintaanku padamu. Aku ingin agar kau berbicara lagi dengan Zelda,
wanita kelana itu. Kau ikut dengan aku sekarang ke sana, Jupiter. Kita
lihat saja apa yang akan dikatakannya nanti. Kuduga ia lebih banyak tahu
dari yang dikatakannya."
Bob dan Pete mengharapkan bahwa Chief Reynolds akan mengajak
mereka pula. Tapi ternyata tidak. Setelah mengatakan pada kedua
rekannya untuk meneruskan pekerjaan selama ia tidak ada, Jupiter
kemudian masuk ke mobil polisi bersama Chief Reynolds. Polisi yang
mengemudikan kendaraan itu mengambil jalan menuju Los Angeles.
"Kedatangan kita ini tidak secara resmi," kata Chief Reynolds dalam
perjalanan pada Jupiter. "Kurasa Zelda nanti pasti membungkam, tidak
mau mengatakan apa-apa. Kaum kelana paling tahan menyimpan rahasia.
Tapi kita coba saja nanti. Aku sebenarnya bisa saja meminta bantuan
pihak kepolisian kota Los Angeles, cuma sampai sekarang belum ada
sedikit pun yang bisa kujadikan pegangan dalam urusan ini. Zelda waktu
itu tidak meramal nasibmu, jadi ia tidak berbuat sesuatu yang
melanggar peraturan. Tapi jika nanti aku sudah kembali di kantorku, aku
akan dengan segera menugaskan pengusutan tentang Spike Neely itu,
yang menulis surat pada Gulliver. Kita lihat saja apa yang ada di balik
segalanya ini. Yang jelas pasti bukan tanpa alasan apabila dua penjahat
sampai nekat mendesak mobil lain sampai terpental keluar dari jalan
raya, hanya untuk mengambil peti yang ada di dalamnya. Rupanya
sebelum itu mereka sudah mengamat-amati tempat kalian. Dan melihat
kalian memasukkan peti itu ke dalam mobil Maximilian, lalu
membuntutinya."
Jupiter diam saja. Saat itu ia masih juga belum berhasil memperoleh ide
baru. Harus diakuinya bahwa ia benar-benar bingung menghadapi kasus
itu. Mobil patroli polisi itu meluncur dengan cepat menuju Los Angeles.
Tidak lama kemudian sudah sampai di depan bangunan tak terawat, di
mana Jupiter berjumpa dengan Zelda. Chief Reynolds bergegas
mendului naik ke serambi yang sempit, lalu menekan tombol bel kuat
kuat Mereka menunggu jawaban yang tidak kunjung datang. Chief
Reynolds mulai masam. Seorang wanita tua yang sedang menyapu tangga
rumah sebelah berseru ke arah mereka.
"Jika kalian mencari kaum kelana" serunya "mereka sudah pergi!"
"Pergi?" seru Chief Reynolds dengan nada terkejut "Ke mana?" "Siapa
sih yang tahu, ke mana tujuan kaum kelana kalau pergi?"
Wanita tua itu terkekeh. "Mereka pergi dengan membawa segala barang
mereka tadi pagi, naik beberapa mobil tua. Mereka tidak mengatakan
apa-apa pada siapa pun juga. Begitu saja - pergi."
Chief Reynolds mengumpat keras. "Satu-satunya petunjuk kita
menghilang," gerutunya. "Mereka meloloskan diri!" 

Lanjut ke bagian 2