Trio Detektif - Misteri Nuri Gagap

TRIO DETEKTIF
EPISODE
MISTERI NURI GAGAP

PENDAHULUAN

NAMA SAYA Alfred Hitchcock. Sutradara sekian banyak film petualangan dan misteri. Tanpa menyombongkan diri, banyak orang saya ini dianggap Bapak film-film begitu, yang selalu menarik para penonton untuk membanjiri gedung pertunjukan. Tapi kali ini saya tidak akan bicara tentang diri saya atau film-film yang saya buat. Sekali ini saya akan memperkenalkan tiga sekawan remaja. Tiga remaja yang menamakan diri:
Trio Detektif


Mereka itu Bob Andrews, Pete Crenshaw- dan Jupiter Jones. Ketiga-tiganya tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di tepi Samudera Pasifik. Tidak begitu jauh dari Hollywood, kota pusat perfilman di pesisir barat Amerika Serikat.
Bob Andrews potongannya agak kecil, berambut pirang. Tingkah lakunya seperti cendekiawan, tapi kadang-kadang bisa kejangkitan 'penyakit' bertualang. Pete Crenshaw tinggi tegap, berambut coklat, suka gelisah sebelum ada kejadian apa-apa. Tapi bisa diandalkan dalam menghadapi kerumitan yang seperti apa pun jenisnya. Sedang Jupiter Jones -
Yah, sebetulnya banyak yang bisa saya katakan tentang remaja satu ini, yang biasa dipanggil 'Jupe' oleh orang-orang yang dekat padanya. Dan mungkin saja mereka itu tak setuju dengan ucapan saya mengenai dia. Jadi cukuplah apabila dikatakan Jupe anaknya agak pendek dan gempal. Wajahnya bulat. Bisa kelihatan tolol sekali, padahal di belakangnya tersembunyi otak yang cerdas dan sering kali tajam penalarannya.
Baik Bob maupun Pete tinggal dengan orang tua masing-masing. Sedang Jupiter Jones hidup bersama paman dan bibinya. Orang tuanya sendiri sudah meninggal ketika ia masih kecil.
Markas operasi Trio Detektif itu di kompleks tempat jual beli barang bekas, yang dikelola oleh suami isteri Titus dan Mathilda Jones, paman dan bibi Jupiter. Kantor mereka tersembunyi dalam sebuah trailer. Yang dinamakan trailer itu sebuah gerbong besar, mirip rumah mungil yang bisa berpindah tempat dengan ditarik mobil atau truk. Trailer itu juga diperlengkapi dengan laboratorium kecil serta kamar gelap untuk mencuci foto. Orang lain tidak mengenal markas itu, karena letaknya tersembunyi di balik tumpukan barang rombengan. Masuk ke situ harus melalui jalan-jalan rahasia yang dibuat oleh mereka.
Sekian saja mengenai mereka - kelanjutannya harus diikuti sendiri! Tapi saya tidak mau bertanggung jawab kalau jantung kalian nanti berdebar terlalu keras!

Alfred Hitchcock

BAB 1
JERITAN MINTA TOLONG

"TOLONG!" Kedengarannya aneh. Melengking tinggi, tapi seakan-akan tersumbat. "Tolong! Tolong!"
Bulu roma Pete Crenshaw merinding setiap kali jeritan itu memecah kesunyian. Datangnya seperti dari gedung tua yang tak terurus itu. Kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Seperti tercekik. Dan justru semakin menyeramkan!
Remaja jangkung berambut coklat itu berlutut di balik sebatang pohon palem yang besar. Ia memberanikan diri mengintip ke arah rumah yang terletak di ujung jalan masuk yang berkerikil. Ia tadi sedang berjalan di situ bersama teman sejawatnya Jupiter Jones, ketika tiba-tiba terdengar ada yang menjerit. Keduanya cepat-cepat berlindung ke balik semak.
Di seberang tempat Pete, Jupiter juga mengintip ke arah rumah. Mereka menunggu kalau-kalau terdengar bunyi sesuatu lagi. Tapi kini rumah tua bergaya Spanyol itu yang letaknya agak di belakang kebun yang sudah merimba karena tak terawat diselubungi kesunyian lagi. Kesunyian yang mencekam.
"Jupe!" bisik Pete. "Tadi itu laki-laki atau perempuan?"
Jupiter menggelengkan kepala.
"Entah," balasnya dengan berbisik pula. "Mungkin bukan kedua-duanya."
"Bukan kedua-duanya?" Pete meneguk air ludah. Yang jelas itu tadi bukan suara anak kecil. Lalu jika juga bukan laki-laki atau perempuan, kemungkinannya tinggal... Pete tidak mau membayangkan kemungkinan itu lebih jauh.
Kedua remaja itu masih tetap menunggu. Hawa musim panas di Hollywood terasa pengap dan menyesakkan. Mereka dikelilingi pohon-pohon palem, semak belukar, dan bunga-bunga yang tumbuh tanpa perawatan. Dulu kebun itu mestinya indah. Tapi karena lama terbengkalai, kini kelihatannya lebih mirip hutan. Dan gedung tempat tinggal yang terletak di belakang nampaknya juga tak terurus.
Gedung itu tempat tinggal Malcolm Fentriss, seorang aktor yang biasa memainkan karya-karya William Shakespeare, pujangga Inggris dari Abad Pertengahan. Ia juga sahabat Alfred Hitchcock, sutradara kenamaan yang telah menciptakan sekian banyak film misteri yang menegangkan syaraf. Jupiter Jones dan Pete Crenshaw datang ke situ sebagai detektif. Maksud mereka hendak menawarkan jasa pada Mr. Fentriss, untuk menolongnya mencari seekor burung nuri piaraan aktor itu. Mr. Hitchcock bercerita pada mereka bahwa aktor itu gelisah karena burungnya hilang. Ia ingin mendapatkannya kembali.
Dan kini - tahu-tahu terdengar suara menjerit meminta tolong. Dan kedua remaja itu meringkuk di balik semak, menunggu perkembangan selanjutnya.
"Aduh, Jupe - kita ke sini kan untuk mencari nuri hilang," kata Pete. Ia bicara berbisik-bisik. "Tapi sebelum kita sempat menginjakkan kaki di rumah itu, tahu-tahu sudah ada yang menjerit-jerit minta tolong!"
"Tapi kelihatannya sekarang sudah tenang lagi," jawab kawannya yang bertubuh gempal. "Sebaiknya kita hampiri rumah itu, untuk menengok apa yang terjadi si sana."
"Aku tidak suka mendatangi rumah macam itu," kata Pete padanya, "karena kelihatannya penuh dengan kamar-kamar terkunci, yang lebih baik jangan dibuka."
"Gambaran yang sangat tepat," jawab Jupiter. "Jangan lupa menyampaikannya pada Bob, jika kita sudah kembali nanti di markas."
Setelah itu Jupiter mulai menyelinap di sela-sela semak, menuju ke gedung. Ia bergerak dengan sangat hati-hati. Di seberang jalan kerikil, Pete bergerak sejajar dengan dia. Ketika jarak ke gedung tinggal sekitar dua puluh lima meter lagi, tiba-tiba Pete jatuh terjerembab. Ada sesuatu menyambar pergelangan kakinya. Pete meronta, berusaha membebaskan diri. Tapi pergelangan kakinya tetap tidak bisa lepas. Ia tidak bisa melihat apa atau siapa yang memegangi, karena ia jatuh menelungkup.
"Jupe! Aku disambar!" kata Pete ketakutan.
Biar bertubuh gempal, tapi ternyata Jupiter bisa juga bergerak dengan cepat. Begitu mendengar suara temannya, ia langsung datang menghampiri.
"Apa itu?" kata Pete dengan nada ngeri, sementara matanya terbelalak melirik Jupiter. "Ada sesuatu yang menarikku dari belakang! Jangan-jangan ular sanca. Mungkin saja, dalam kebun kayak begini!"
Muka Jupiter yang bulat nampak sangat serius.
"Yah - memang sudah nasibmu, Pete," katanya, "kau kena jebakan sejenis vitis vinifera yang luar biasa ganas!" Napas Pete tersentak mendengarnya.
"Jangan diam saja dong!" pintanya pada Jupiter. "Tolong aku -jangan sampai menjadi mangsa vitis anu itu!"
"Akan kuusahakan - kebetulan aku membawa pisau," jawab Jupiter. Dikeluarkannya pisau lipat kesayangannya dari kantong. Lalu dipegangnya pergelangan kaki Pete. Terasa Jupiter mengayunkan pisau memotong-motong dengan gerakan cepat. Begitu terasa cengkeraman pada pergelangan kaki mengendur, dengan segera Pete berguling menjauh lalu meloncat bangkit.
Dilihatnya Jupiter berdiri di belakangnya. Sambil nyengir remaja bertumbuh gempal itu mengantongi pisau lipatnya kembali. Dekat ke tanah nampak terayun-ayun akar rambat yang terpotong bagian tengahnya.
"Kakimu tadi tersangkut pada tanaman ini," kata Jupiter. "Dan semakin kuat kau menyentakkan kakimu, semakin kuat pula tanaman itu memegang. Pertandingan yang sebanding! Dua-duanya tidak memakai otak. Tanaman memang tidak punya, sedang otakmu dilumpuhkan rasa takutmu sendiri."
Memang begitulah gaya bicara Jupiter Jones. Tapi Pete sudah biasa mendengarnya.
"Ya deh, ya deh," katanya agak malu. "Memang aku tadi panik. Rupanya karena terpengaruh jeritan minta tolong itu."
"Panik lebih berbahaya daripada bahaya yang dihadapi," kata Jupiter lagi. "Rasa takut menyebabkan kita tidak bisa mengambil keputusan tepat, dan menyebabkan - menyebabkan -"
Pete yang saat itu masih memandang Jupiter mendapat kesan bahwa kawannya itu memamerkan segala gelagat rasa takut yang sedang diceramahkan olehnya. Dengan tiba-tiba tampang Jupiter menjadi pucat pasi. Matanya melotot. Mulutnya melompong. Pandangannya menatap sesuatu yang kelihatannya seperti terdapat tidak jauh di belakang punggung Pete.
"Aktingmu hebat, Jupe," kata Pete. "Tampangmu sungguh-sungguh memancarkan rasa takut! Tapi bagaimana jika kita sekarang -"
Saat itu ia berpaling. Kini baru dilihatnya apa yang menyebabkan Jupiter begitu. Dan kini berganti dia sendiri yang melongo.
Ternyata kawannya itu tidak melakukan akting. Ia memang sungguh-sungguh takut.
Seorang laki-laki bertubuh gendut berdiri menghadap mereka. Tangannya memegang pistol besar potongan kuno. Siapa pun menghadapi senjata api itu, pasti dia akan kaget.
Laki-laki gendut itu memakai kaca mata. Lensanya menyebabkan mata yang di belakangnya nampak membesar. Besar dan bundar, seperti mata ikan mas koki dalam akuarium. Cahaya matahari yang terpantul pada lensa, menimbulkan kesan seakan-akan mata yang ada di baliknya memancarkan kilatan sinar.
"Oke," kata si gendut sambil memberi isyarat dengan pistol, "sekarang kalian masuk ke dalam rumah! Nanti akan kita lihat, mau berbuat apa kalian di sini. Ayo cepat!"
Pete dan Jupiter berjalan di depan dengan langkah segan, menyusur jalan kerikil ke rumah tua yang suram. Kerongkongan mereka terasa kering.
"Jangan coba-coba melarikan diri," geram si gendut memperingatkan, "nanti menyesal sendiri!"
"Jangan lari, Pete," bisik Jupiter. "Itu berbahaya sekali! Kita harus meyakinkan Mr. Fentriss bahwa kita tidak bermaksud jahat kemari."
"Aku memang tidak berniat minggat," balas Pete sambil berbisik pula. "Lututku terasa lemas, kayak baru belajar berjalan rasanya."
Kerikil gemerisik terinjak kaki mereka. Sedang di belakang mereka terdengar bunyi lebih berisik, diakibatkan berat tubuh si gendut. Pete semakin merasa seram mendengarnya. Karenanya ia bisa dibilang lega ketika menginjakkan kaki di lantai batu beranda rumah. Di depan mereka terdapat pintu berukuran besar.
"Sekarang buka pintu," kata si gendut. "Dan langsung masuk. Ingat, jariku sudah gatal ingin menarik pelatuk pistolku. Kemudian belok ke kanan. Masuk kamar yang ada di situ, lalu duduk di kursi yang di dekat tembok sebelah sana pintu."
Jupiter membuka pintu. Di baliknya nampak serambi dalam yang gelap. Pete meneguhkan hati. Kedua remaja itu melangkah masuk, membalikkan tubuh ke kanan dan memasuki sebuah kamar yang besar. Kamar itu penuh dengan buku dan koran berserakan, serta perabot usang. Beberapa kursi besar berlapis kulit dijejerkan sepanjang dinding yang berhadapan dengan pintu. Mereka melintasi kamar lalu duduk seperti diperintahkan tadi.
Si gendut memperhatikan mereka. Kelihatannya puas. Ia meniup ujung laras pistolnya, seolah-olah menyingkirkan debu yang bisa mengganggu gerak peluru yang ditembakkan.
"Nah - sekarang sebaiknya kalian mengaku saja," katanya. "Katakan kalian mau berbuat apa tadi, menyelinap-nyelinap dalam kebun menuju ke rumahku."
"Kami sebetulnya bermaksud mendatangi Anda, Mr. Fentriss," kata Jupiter. "Soalnya -"
Tapi si gendut langsung memotong, sambil menggosok-gosokkan jari telunjuknya ke sisi hidung. Tatapan matanya mencemooh.
"Mau bertamu?" katanya. Kayak tadi - menyelinap dari pohon ke pohon? Kayak orang Indian? Atau pencuri?" "Soalnya, tadi tahu-tahu kami mendengar jeritan meminta tolong," kata Pete bergegas menjelaskan. "Jadi kami langsung bersembunyi di balik pohon, untuk melihat apa yang terjadi."
"Oh." Si gendut mengerucutkan bibir. "Jadi kalian mendengar jeritan minta tolong, ya?"
"Begini, Mr. Fentriss," kata Jupiter. Kini dia yang berusaha menjelaskan, "Mr. Alfred Hitchcock yang menyuruh kami datang ke sini. Katanya Anda kehilangan seekor burung nuri. Sedang polisi tidak mau menolong mencarinya, Kami ini detektif. Dan kami datang untuk membantu Anda menemukan kembali burung piaraan Anda itu."
Sambil bicara Jupiter merogoh kantong, lalu menyodorkan selembar kartu nama di mana tertulis:
TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja" ? ? ?
Penyelidik Satu - Jupiter Jones Penyelidik Dua - Peter Crenshaw Catatan dan Penelitian - Bob Andrews
"Saya yang bernama Jupiter Jones," kata Jupiter memperkenalkan diri. "Dan ini teman sejagat saya, Peter Crenshaw."
"Oh." Si gendut menerima kartu nama yang disodorkan, lalu mengamat-amatinya. "Jadi kalian ini detektif, ya? Lalu beberapa tanda tanya ini, apa maksudnya? Kalian menyangsikan kemampuan sendiri?"
Pete sudah mengira pertanyaan itu akan diajukan. Soalnya, hampir setiap orang mengajukan pertanyaan mengenainya. Jupiter yang menciptakan ketiga tanda tanya yang berderet itu, ketika pada suatu saat mendapat ilham. Ketiga tanda tanya itu dinilainya rangsangan yang bagus sekali untuk menarik minat.
"Tanda tanya itu lambang hal-hal yang tidak diketahui, pertanyaan yang tak terjawab, serta teka-teki yang tak terpecahkan. Dan tugas kami mencari jawaban atas pertanyaan, menguraikan teka-teki serta menyelidiki setiap misteri yang kami jumpai. Karena itulah ketiga tanda tanya itu menjadi lambang Trio Detektif."
"Ah, aku mengerti sekarang," kata Mr. Fentriss, sambil mengantongi kartu nama tadi. "Dan kalian datang untuk menyelidiki misteri burung nuriku yang hilang. Ya, aku mengerti."
Orang itu tersenyum pada mereka. Semangat Pete mulai bangkit. Tapi langsung merosot lagi, begitu mendengar kata-kata si gendut yang segera menyusul.
"Sayang aku tidak percaya. Sayang! Kalian kelihatannya anak-anak yang menyenangkan - keluarga kalian pasti akan merasa kehilangan," kata si gendut.
Dengan gerakan lambat orang itu mengambil sebatang cerutu dari kantong, lalu menyelipkannya ke mulut. Setelah itu pistol diangkat, sehingga larasnya terarah pada Jupiter dan Pete.
Pelatuk ditarik. Terdengar bunyi ketukan nyaring, diiringi semburan api biru dari mulut pistol. Mr. Fentriss mendekatkan nyala api ke ujung cerutunya. Ia menarik napas panjang untuk menghidupkan api cerutu. Setelah itu dihembusnya nyala api sampai padam, dan pistol ditaruhnya ke atas meja.
Ya ampun, pikir Pete. Rupanya pistol itu cuma korek api belaka! Darahnya mulai bisa mengalir kembali. Tadinya seperti membeku.
"Selamat!" kata Mr. Fentriss dengan nada riang. "Kalian lulus ujian dengan gemilang, karena tetap teguh menghadapi percobaanku tadi untuk menakut-nakuti!"
Ia mendekat dan mereka lantas berjabatan tangan. Genggamannya ternyata sangat teguh, walau tangannya nampak gemuk berlemak. Sambil terkekeh geli, dibantunya Pete dan Jupiter bangkit dari tempat duduk masing-masing.
"Aku bangga pada kalian," kata Mr. Fentriss. "Orang dewasa pasti tak sedikit yang ketakutan menghadapi sikap bermusuhan yang kupamerkan tadi. Aku harus menelpon Alfred untuk melaporkan, kalian ternyata bukan cuma anak-anak yang main-main menjadi detektif, tapi sungguh-sungguh melakukan pekerjaan yang kalian pilih."
"Maksud Anda -" kata Jupiter. Dari sikapnya saat itu, cuma Pete yang tahu bahwa kawannya itu agak mengalami kesulitan untuk bicara seperti biasa. Maklum, habis kaget. Jupiter melanjutkan, " - maksud Anda, Mr. Hitchcock sebelum ini sudah menelpon untuk memberitahukan kedatangan kami, dan Anda dimintanya untuk menguji ketahanan syaraf kami?"
"Ya, memang begitu!" Mr. Fentriss menggosok-gosok telapak tangan. "Katanya kedatangan kalian harus kusambut dengan ujian keberanian. Ternyata kalian berdua benar-benar tabah. Cuma sayangnya, aku sama sekali tidak punya persoalan yang bisa kalian selidiki."
"Jadi kalau begitu, nuri Anda sama sekali tidak hilang?" tanya Pete. "Padahal kata Mr. Hitchcock, Anda sedih sekali karenanya."
"Ya, mulanya memang hilang," kata Mr. Fentriss, "dan aku juga sangat sedih. Tapi kemudian nuriku itu datang kembali. Baru pagi ini terbang masuk lewat jendela yang sengaja kubiarkan terbuka untuknya. Yah, si Billy itu benar-benar menyebabkan aku bingung selama ini."
"Billy?" tanya Jupiter. "Itu nama nuri Anda?"
"Betul! Billy Shakespeare, singkatan dari William Shakespeare."
"Tapi jeritan minta tolong tadi?" tanya Pete. "Datangnya dari sini, dan - yah -"
"Kalian masih curiga. Bisa kumengerti," kata Mr. Fentriss dengan suaranya yang berat. "Yang kalian dengar itu Billy! Si bandel itu rupanya ketularan, suka bersandiwara. Aku dulu mengajarinya supaya dia pura-pura terkurung dalam penjara. Ya kan - terkurung di balik terali kandangnya. Dia suka iseng sekarang, berteriak-teriak minta tolong."
"Bisakah kami melihat Billy sebentar?" tanya Jupiter. "Kami ingin tahu tampang burung yang sangat berbakat itu."
"Wah, sayang tidak bisa." Tampang Mr. Fentriss agak suram. "Billy tadi begitu berisik, lalu sesaat sebelum kalian datang kurungannya kuselubungi dengan kain. Dengan begitu ia menjadi tenang. Sekarang jika selubung itu kubuka, pasti dia akan berisik kembali."
"Yah, kalau begitu di sini tak ada kejadian yang perlu diselidiki," kata Jupiter. Terdengar suaranya agak menyesal. "Kami pergi saja sekarang, Mr. Fentriss. Saya ikut senang, burung nuri Anda sudah kembali."
"Terima kasih, Nak," kata laki-laki bertubuh gendut itu. "Tapi kartu kalian akan kusimpan. Siapa tahu nanti kalau ada misteri yang perlu diselidiki, aku pasti akan menghubungi Trio Detektif."
Diantarkannya Pete dan Jupiter sampai ke pintu.
"Terus terang saja, aku menyesal," kata Jupiter, sementara ia berjalan bersama Pete menyusur kebun menuju ke jalan raya. Padahal kelihatannya akan merupakan persoalan yang menarik. Rumah terpencil -jeritan minta tolong - seorang laki-laki gendut menyeramkan... aku tadi benar-benar sangat bersemangat menghadapi kasus ini."
"Pendapat itu tidak harus sama dengan yang ada pada diri Penyelidik Kedua," kata Pete menirukan gaya bicara Jupiter. "Aku sendiri akan sudah cukup puas dengan tugas menyelidiki seekor nuri yang hilang tanpa perlu ditambah jeritan minta tolong dan kemunculan orang gendut menyeramkan. Soal-soal yang begitu, lain kali sajalah!"
"Mungkin kau benar," kata Jupiter. Tapi nada suaranya tidak meyakinkan.
Sambil membisu, keduanya meneruskan langkah menuju ke jalan raya. Jalan itu berkelok-kelok. Letaknya di kawasan kota Hollywood yang tergolong tua dan agak terbengkalai. Sepanjang jalan itu berdiri gedung-gedung besar yang sudah tua. Letaknya terpisah-pisah. Semuanya nampak lusuh karena para pemilik sudah tak mampu merawat lagi.
Sebuah mobil Rolls-Royce mewah dengan bagian-bagian berlapis emas diparkir di tepi jalan itu. Jupiter berhak memakai kendaraan itu selama beberapa waktu, sebagai hadiah memenangkan suatu sayembara. Mobil itu tersedia untuk dipakai olehnya, lengkap dengan supirnya yang berbangsa Inggris. Nama supir itu Worthington.
"Kita pulang saja sekarang, Worthington," kata Jupiter dengan gaya jutawan. Ia masuk ke dalam mobil kuno tapi mewah itu. Pete menyusul di belakangnya. "Nuri itu sudah kembali sendiri ke pemiliknya."
"Baik, Master Jones," jawab Worthington dengan logat Inggris yang jelas. Di Inggris memang ada kebiasaan memanggil orang yang kedudukannya lebih tinggi dengan sebutan Master. Orang Inggris sangat menyukai hal-hal yang tradisional, walau sebetulnya sudah tidak cocok lagi dengan jaman.
Mesin dihidupkan. Worthington memutar setir untuk membalikkan arah mobil. Sementara itu Jupiter memandang ke luar, ke arah kebun rumah. Mr. Fentriss. Sedang rumah itu sendiri tidak nampak, terlindung di balik pohon-pohon palem serta semak bunga.
"Coba kauperhatikan dengan cermat," katanya dengan tiba-tiba. "Ada sesuatu yang tidak beres. Tapi entah apa!" "Memperhatikan apa?" tanya Pete "Maksudmu, kebun itu?"
"Semuanya! Kebun, jalan, kerikil - segala-galanya! Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi penyebabnya aku tidak tahu."
"Maksudmu ada yang aneh, tapi kau tidak tahu apa yang aneh itu?"
Jupiter mengangguk. Ia menekan bibir bawahnya, pertanda bahwa otaknya sedang berputar keras.
Pete mengamat-amati pekarangan rumah. Ia tidak melihat sesuatu yang tidak beres di situ. Cuma tempat itu memerlukan seorang tukang kebun yang bekerja siang malam selama sebulan, untuk merapikannya. Nampak jalan menuju ke rumah penuh dengan daun palem kering bertaburan. Rupanya belum lama berselang ada mobil lewat di situ, karena banyak daun palem pecah berserakan terlindas roda. Tapi itu kan tidak aneh!
"Aku tidak melihat apa-apa," katanya kemudian. Tapi Jupiter seolah-olah tak mendengar. Sementara mobil mulai bergerak pergi, kawan yang bertubuh pendek gempal itu masih tetap memandang ke luar, kini lewat jendela belakang. Ia masih mencubit-cubit bibir bawahnya.
Ketika mobil sudah meluncur hampir sepuluh blok lebih jauh, tiba-tiba Jupiter berpaling dengan cepat.
"Worthington!" serunya. "Cepat, kita harus kembali."
"Baik, Master Jones." Dengan tangkas mobil diputar kembali. "Kita kembali." "Aduh, kau ini kenapa sih, Jupe?" tanya Pete bingung. "Kenapa kita kembali lagi?"
"Karena sekarang aku tahu apa yang tidak beres di sana," kata Jupiter. Tampangnya yang bulat nampak memerah karena semangatnya. "Aku tidak melihat kabel sambung telepon ke rumah Mr. Fentriss." "Tidak ada kabel telepon?" Pete berusaha menebak maksud kawannya itu.
"Kalau kabel listrik ada. Tapi telepon, tidak kulihat kabelnya," kata Jupiter. "Padahal Mr. Fentriss tadi jelas mengatakan, Mr. Hitchcock meneleponnya untuk memberitahukan kedatangan kita. Ternyata itu bohong! Dan kalau itu bohong, mungkin pula segala-galanya yang dikatakan pada kita tadi juga tidak benar."
"Tidak benar?" Pete menggelengkan kepala. Ia bingung. "Untuk apa dia berbohong?"
"Karena dia bukan Mr. Fentriss!" kata Jupiter bersemangat. "Orang tadi pura-pura menjadi dia - sedang orang yang kita dengar suaranya berteriak meminta tolong, itulah Mr. Fentriss yang sebenarnya!"

BAB 2
NURI YANG GAGAP

Rolls-Royce besar itu meluncur di jalan yang berkelok-kelok. Ketika sudah sembilan blok yang dilewati dalam perjalanan kembali ke tempat Mr. Fentriss, nampak sebuah mobil hitam dan kecil muncul dari suatu jalan masuk di depan dan membelok ke arah mereka. Nampak mobil itu bukan bikinan Amerika. Mobil itu melaju dengan cepat. Ketika berpapasan, Jupiter dan Pete cuma sempat melihat pengemudinya secara sekilas saja. Tapi masih bisa dikenali bahwa orang itu gendut, berkaca mata ukuran besar. Tampangnya tak kelihatan, karena orang itu membuang muka.
"Itu Mr. Fentriss!" seru Pete.
"Keliru! Dialah yang pura-pura menjadi Mr. Fentriss," kata Jupiter. "Susul dia, Worthington! Jangan sampai hilang. Kita harus tahu, ke mana dia pergi!"
"Baik, Master Jones," kata supir sambil menginjak pedal rem. Mobil besar itu diputar kembali, sementara Pete memandang mobil hitam yang menjauh dengan cepat. Ia nampak sangsi.
"Kalau berhasil disusul, lalu apa yang kita lakukan kemudian?" tanyanya. "Kita kan tidak punya bukti-bukti untuk menuduhnya. Kecuali itu Mr. Fentriss yang asli mungkin memerlukan pertolongan kita."
Jupiter ragu-ragu. Ia ingin mengejar penyamun yang melarikan diri. Tap juga ingin menolong seseorang yang mungkin memerlukan bantuan. Akhirnya ia mengangguk.
"Kau benar," katanya pada Pete, "mula-mula harus kita lihat dulu, apakah Mr. Fentriss dalam keadaan selamat. Kita terus ke rumah Mr. Fentriss," katanya pada Worthington.
Rolls-Royce meluncur terus, sampai di gerbang masuk dari mana mobil asing tadi muncul. Worthington membanting setir, dan mobil masuk dengan pelan-pelan. Menyusur jalan kerikil yang sempit, melewati pohon palem yang berjejer-jejer, serta semak belukar yang menggeser kedua sisi mobil. Akhirnya sampai di sebelah belakang rumah.
"Pete," ujar Jupiter, "mobil asing yang berpapasan dengan kita tadi - kau mengenalinya?"
"Mobil sport dua pintu merek Ranger," kata Pete dengan segera. "Buatan Inggris. Merek terkenal. Masih baru. Berpelat nomor California. Aku cuma sempat melihat angka 13 di ujungnya." "Anda sempat melihat nomor mobil itu, Worthington?" tanya Jupiter pada supir.
"Maaf, Master Jones," kata orang itu. "Saya tadi memusatkan perhatian pada jalanan, sehingga tidak memperhatikan mobil tersebut. Tapi saya tahu mereknya Ranger, sedang tempat duduknya berlapis kulit warna merah."
"Yah, setidak-tidaknya ada juga yang kita ketahui mengenainya. Setelah ini akan kita lanjutkan mencari laki-laki gendut yang naik mobil itu," kata Jupiter, sambil meloncat ke luar dari Rolls-Royce. "Sekarang kita periksa dulu, apakah Mr. Fentriss yang asli ada di dalam atau tidak."
Sambil berjalan menyusulnya, Pete berpikir-pikir. Bagaimana cara Jupiter hendak menemukan mobil tadi, di antara sekian juta mobil yang ada di California Selatan? Tapi entah kenapa, Pete merasa Jupiter pasti akan bisa menemukan jalan.
Sekonyong-konyong keduanya tertegun. Dari dalam rumah suram itu terdengar suara orang berteriak. Teriakan minta tolong.
"Tolong!" Suara itu terdengar lemah, seperti tercekik. "Cepat, tolong - sebelum aku -" Suara itu melemah, lalu hilang begitu saja. "Kedengarannya seperti mau mati!" seru Pete kaget "Yuk!"
Dibantu kakinya yang panjang, ia mendahului masuk lewat pintu belakang. Pintu itu agak ternganga sedikit, seakan-akan ditinggal orang gendut tadi dalam keadaan begitu ketika ia bergegas pergi Kedua remaja Itu masuk sambil mengejap-ngejapkan mata untuk membiasakan diri melihat dalam ruangan setengah gelap.
Sesaat mereka berdiri sambil memasang telinga. Tak ada bunyi apa pun yang memecah kesunyian tempat itu.
"Kita tadi dalam kamar itu," kata Jupiter, sambil menuding ke ruang sebelah depan. "Sekarang kita coba saja ke sebelah sana, ke sisi seberangnya."
Keduanya lantas bergegas menyusur gang, lalu mencoba membuka pintu yang sebelah kanan. Pintu terbuka. Di depan mereka terbentang sebuah kamar yang luas. Kamar duduk yang penuh dengan mebel gaya jaman dulu. dengan sebuah jendela besar yang menjorok ke luar.
"Siapa itu?"
Terdengar suara lemah, datangnya seperti dari pot tanaman yang besar di depan jendela. Sekuntum bunga berwarna ungu bergerak terangguk-angguk. Pete merasa seolah-olah bunga itulah yang berbicara.
"Siapa yang datang?" tanya bunga itu. Setidak-tidaknya, demikian menurut perkiraan Pete. Tapi kemudian dilihatnya sesuatu meringkuk di balik pot tempat bunga tumbuh, nyaris tak nampak karena terlindung dedaunan yang tumbuh subur.
"Ke sini!" seru Pete. Dengan beberapa langkah saja ia sudah sampai, lalu berlutut di sisi sosok tubuh seorang laki-laki berbadan agak kurus. Orang itu meringkuk dalam posisi miring. Kaki dan tangannya terikat, sedang selembar kain dilintangkan di antara kedua rahang dan dekat ke belakang kepalanya.
"Jangan takut, Mr. Fentriss," kata Pete. "Kami akan membebaskan Anda dari ikatan."
Ternyata ikatannya tidak begitu erat, sehingga bisa dilepaskan dengan segera. Sedang Mr. Fentriss sendiri berhasil menyingkirkan sumpal mulutnya. Sambil bersandar pada Pete dan Jupiter, ia terhuyung-huyung menuju sebuah bangku berlapis kulit, lalu merebahkan diri ke situ.
"Terima kasih," ucapnya dengan suara lirih.
Dengan wajah serius Jupiter menarik sebuah kursi dan duduk di situ.
"Mr. Fentriss," katanya, "saya rasa dalam hal ini kita perlu menghubungi polisi."
Laki-laki kurus itu nampak kaget mendengarnya.
"Jangan! Jangan," katanya. "Lagipula, toh tidak bisa. Aku tidak punya telepon."
"Bisa kami teleponkan dari mobil, Sir. Mobil kami diperlengkapi dengan pesawat telepon."
"Tidak! Jangan," kata Mr. Fentriss berkeras. "Tapi -" Ia memiringkan tubuh, lalu menatap remaja bertubuh gempal itu sambil bertelekan siku. "Kalian siapa? Bagaimana sampai kebetulan ada di sini?"
Jupiter menyodorkan kartu pengenal Trio Detektif, sambil menambahkan bahwa mereka datang atas suruhan Alfred Hitchcock.
"Alfred memang baik hati," kata Mr. Fentriss.
"Anda yakin tidak menghendaki kami menghubungi polisi?" tanya Jupiter. "Tentu saja apabila Anda ingin agar kami berusaha menemukan kembali burung nuri Anda yang hilang. Trio Detektif selalu siap. Tapi karena Anda diserang orang lalu diikat dan -"
"Jangan!" kata Mr. Fentriss lagi. "Aku akan senang sekali apabila kalian mau membantuku. Aku punya perasaan, kalian bisa kupercaya. Aku sebetulnya sudah menghubungi polisi. Mula-mula mereka bilang, nuriku itu mungkin minggat. Kemudian, ketika aku berkeras membantah, mereka lantas menyindir-nyindir. Aku ini kan aktor, jadi menurut mereka aku cuma ingin namaku masuk koran dan dibicarakan orang. Cari publisitas, kata mereka!"
"Saya mengerti, Sir, " kata Jupiter. "Ada kemungkinan mereka beranggapan kejadian ini merupakan usaha Anda lagi untuk mendapatkan publisitas."
"Ya, betul." Ketegangan Mr. Fentriss mengendor. "Karena itu - tanpa polisi. Kalian harus berjanji!"
Kedua remaja itu berjanji. Setelah itu Jupiter menanyakan segala hal yang berhubungan dengan burung nuri yang hilang.
"Aku sayang sekali pada Billy," kata Mr. Fentriss. "Nama lengkapnya Billy Shakespeare. Kalian tentunya tahu siapa William Shakespeare."
"Ya, Sir, "jawab Jupiter. "Dramawan terbesar di dunia. Dilahirkan tahun 1564 di Inggris dan meninggal tahun 1616. Karya-karya dramanya masih tetap digemari di seluruh dunia. Hamlet merupakan salah satu karyanya, mungkin yang paling terkenal."
"Aku sudah sering memerankan Hamlet," kata Mr. Fentriss bersemangat. "Ya, aku dulu sangat sukses, selaku Hamlet."
Satu tangannya didekapkan ke dada, sedang yang lainnya dibentangkan. Dengan suara berat, ia berdeklamasi. "To be or not to be, thatis the Question. " Ia menoleh ke arah Pete dan Jupiter. "Itu kutipan dari Hamlet," katanya. "Kalimat ciptaan Shakespeare, mungkin yang paling terkenal sampai kini. Nuriku sering mengucapkannya." "Nuri Anda mengutip kalimat Shakespeare?" tanya Pete kagum. "Wah, kalau begitu ia sangat terpelajar." "Memang, itu sudah pasti. Billy mengucapkannya dengan logat Inggris asli. Cuma ada satu kekurangannya." "Kekurangan?" tanya Jupiter.
"Ya-burung malang itu gagap," jawab Mr. Fentriss. "Kalau ia sedang mengucapkan kalimat itu, ia mengatakan To-to-to be or not to-to-to-be, thatis the question. "
Mata Jupiter langsung bersinar, penanda minatnya bangkit
"Kaudengar tadi, Pete," katanya. "Kau pernah mendengar burung nuri yang bicaranya tergagap-gagap? Kurasa urusan yang kita hadapi kali ini akan ternyata sangat istimewa."
Pete juga merasakan sesuatu saat itu. Ia merasakan sesuatu yang aneh dan tidak enak. Ia merasa, Jupe akan terbukti benar.
Jupiter melanjutkan usahanya mengumpulkan keterangan dari Mr. Fentriss yang bertambah pulih keadaannya. Ternyata aktor itu baru tiga minggu memelihara nuri gagap itu. Ia membelinya dari pedagang keliling. Seorang laki-laki bertubuh kecil, dengan logat Meksiko yang jelas. Orang itu datang naik kereta keledai, yang biasa dilihat di jalan-jalan desa di Meksiko.
"Kami memerlukan segala keterangan yang bisa diperoleh, Sir, " kata Jupiter. "Bagaimana pedagang itu sampai bisa datang ke sini?"
"Oh, itu - dia disuruh ke mari oleh Miss Irma Waggoner," kata aktor itu menjelaskan. "Miss Irma tinggal satu blok dan sini. Ia membeli seekor burung nuri dari pedagang itu. Lalu ketika mendengar Billy mendeklamasikan kalimat Shakespeare yang tadi, langsung timbul pikiran pada dirinya bahwa mungkin aku akan berminat membeli. Karena itu pedagangnya disuruh ke mari."
"Begitu." Jupiter memijit-mijit bibir bawahnya. "Dan pedagang itu memang biasa berjualan burung nuri?"
"Wah, kalau itu aku tidak tahu," kata yang ditanya. Mr. Fentriss mengejap-ngejapkan mata dengan bingung. "Ketika ia kemari di gerobaknya cuma ada dua buah sangkar burung. Dalam satu di antaranya kulihat Billy. Sedang yang satu lagi berisi burung yang bulunya kehitam-hitaman. Kelihatannya aneh dan lusuh. Kata pedagang itu, burung itu jenis nuri hitam yang jarang terdapat. Tapi aku tahu pasti, tidak ada nuri yang berbulu hitam. Kata si pedagang, tak ada yang mau membelinya, karena kelihatan penyakitan."
"Pedagang itu menyebut namanya? Atau ada nama yang tertulis pada gerobaknya?"
Aktor itu menggeleng.
"Tidak. Pakaiannya lusuh, dan ia selalu batuk-batuk. Kelihatannya ingin sekali burung nuri itu bisa dijual. Aku membeli Billy seharga cuma lima belas dollar saja. Soalnya, orang lain tak ada yang berminat - karena gagapnya itu."
"Dan gerobak yang dipakai itu yang biasa, beroda dua dan ditarik seekor keledai?" tanya Jupiter. "Betul," kata Mr. Fentriss menegaskan. "Catnya sudah pada terkelupas. Keledai yang menarik dipanggil dengan nama Pablo. Yah - cuma itu saja yang bisa kuceritakan padamu."
"Menurut perkiraanmu, mungkin burung-burung itu hasil curian, Jupe?" tanya Pete.
"Kalau memang begitu, aku sangsi dia akan berani terang-terangan menjualnya di jalanan," kata Jupiter sambil berpikir-pikir. "Tapi di pihak lain, sudah jelas bukan dia pemiliknya yang pertama dan yang melatih Billy." "Dari mana kau tahu?"
"Gampang saja! Kata Mr. Fentriss tadi, Billy kalau bicara terdengar jelas berlogat Inggris. Sedang laki-laki yang kemari untuk menjualnya berlogat Meksiko."
"O ya, betul juga." Dalam hati Pete memaki-maki dirinya sendiri. Masak begitu saja tidak bisa menebak.
"Sekarang, Mr. Fentriss, maukah Anda menceritakan segala-galanya yang bisa diceritakan, sehubungan dengan lenyapnya burung nuri Anda?" kata Jupiter pada aktor bertubuh kurus tinggi itu, yang kini sudah duduk di bangku.
"Yah - ketika itu aku pergi berjalan-jalan," jawab Mr. Fentriss. "Kejadiannya tiga hari yang lalu. Pintu tak kukunci dan jendela kubiarkan terbuka. Ketika aku kembali, ternyata Billy hilang. Dijalan masuk ke rumah nampak bekas ban mobil. Padahal aku tidak punya mobil. Aku lantas menarik kesimpulan, ada orang datang naik mobil masuk ke rumah lalu mencuri Billy sewaktu aku sedang pergi." Nada suara aktor itu berubah menjadi sengit dan kesal, ketika melanjutkan. "Tapi polisi bilang nuriku minggat! Kalian pernah mendengar nuri bisa minggat dengan membawa sangkarnya sekaligus?"
"Tidak, Sir, " kata Jupiter. "Setelah mendengar hal-hal yang terjadi saat hilangnya, sekarang Anda ceritakan tentang kejadian hari ini. Maksud saya tentang laki-laki yang gendut. Mau apa dia kemari dan apa sebabnya Anda kemudian diikat olehnya."
"Bandit itu!" seru si aktor dengan marah. "Mula-mula ia mengaku bernama Claudius. Katanya dia penyelidik dan kepolisian, yang ditugaskan membantu aku menemukan kembali nuriku yang hilang. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih sama seperti yang kalian kemukakan. Dan jawaban yang kuberikan kira-kira juga seperti yang tadi. Kemudian dia bertanya, apakah aku tahu siapa lagi di sekitar sini yang membeli seekor nuri dari pedagang itu. Kusebutkan nama Miss Waggoner. Keterangan itu kelihatannya sangat menarik perhatiannya. Kemudian ia bertanya, apa yang disebutkan nuriku kalau ngomong. Kataku, itu sudah kulaporkan pada polisi. Sesaat ia nampak bingung. Tapi kemudian dikatakannya, ia cuma ingin mencari ketegasan. Lalu kukatakan apa yang selalu diucapkan Billy, yaitu 'Namaku Billy Shakespeare. To be or not to be thatis the question. "
Mr. Fentriss menarik napas sebentar lalu melanjutkan ceritanya.
"Mendengar itu dia semakin bergairah kelihatannya. Ucapan Billy dicatatnya dengan cermat." "Maaf, Mr. Fentriss," sela Pete. "Anda tidak menceritakan padanya, Billy kalau bicara tergagap-gagap?" "Tidak." Mr. Fentriss mengusapkan lengannya ke kening. "Aku khawatir akan ditertawakan polisi, jika mendengar ada burung nuri gagap."
"Tapi orang yang mengaku bernama Claudius itu tertarik sekali pada ucapan Billy," kata Jupiter. "Masih ada lagi,
Sir?"
"Kurasa tidak," jawab aktor itu sambil menggeleng. "Nanti dulu - ya, masih ada sesuatu yang aneh! Orang itu, Mr. Claudius, dia bertanya apakah pedagang itu masih menjual burung nuri lainnya. Ketika kusebutkan burung hitam yang nampaknya penyakitan, dia lantas bergairah sekali. 'Itu pasti Blackbeard,' katanya. 'Ya, pasti Blackbeard!' Saat itu kecurigaanku timbul. Aku lantas merasa yakin, Mr. Claudius pasti bukan dari kepolisian."
"Maaf, Mr. Fentriss." Jupiter berhenti mencatat. "Saya tadi lupa menanyakan, kayak apa rupa burung nuri Anda?" katanya. "Maksud saya, termasuk jenis yang mana? Kan banyak sekali jenis-jenis burung nuri."
"Wah, aku tak tahu apa-apa kalau tentang hal itu," kata Mr. Fentriss. "Pokoknya bagian kepala dan dada Billy berbulu kuning. Indah sekali!"
"Sekarang, apa yang kemudian terjadi ketika laki-laki gendut yang mengaku bernama Claudius itu melihat bahwa Anda mulai curiga?"
"Aku langsung mengatakan secara terang-terangan," kata Mr. Fentriss. Ia meluruskan sikap tegaknya. Tangannya diluruskan ke depan, persis seorang aktor yang sedang beraksi di atas pentas. '"Anda bukan dari polisi!'" katanya dengan suara berat dan penuh tekanan. '"Aku yakin, Andalah penjahat yang mencuri Billy-ku! Kembalikan dia dengan segera. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya!' Begitu kukatakan padanya."
"Lalu?" sela Jupiter.
"Saat itu terdengar bunyi orang di luar," kata Mr. Fentriss melanjutkan ceritanya. "Mr. Claudius bergegas ke jendela. Rupanya ia melihat kalian berjalan menuju ke sini. Dan mungkin dia mengira kalian datang bersama polisi. Pokoknya, aku disergapnya dengan tiba-tiba. Aku masih sempat berseru minta tolong. Tapi kemudian aku diikat, mulutku disumpal. Dia sendiri bergegas ke luar. Sejak itu aku meringkuk di sini, sampai kalian datang menyelamatkan."
"Aku benar-benar tidak mengerti," katanya lagi setelah merenung sesaat. "Tapi pokoknya aku ingin mendapatkan Billy lagi. Bagaimana - kalian merasa mampu menemukannya kembali untukku?"
"Trio Detektif akan berusaha sekuat tenaga," kata Jupiter. Setelah itu ia minta diri, lalu ke luar. Diiringi oleh Pete, ia berjalan menuju ke Rolls-Royce. Begitu mereka muncul, Worthington menghentikan kesibukannya mengelap bagian-bagian mobil yang sebelumnya pun sudah berkilauan.
"Pulang, Master Jones?"' tanya Worthington, sementara mereka masuk ke dalam mobil.
"Baiklah," jawab Jupiter. Sementara mobil mulai meluncur lewat jalan kerikil menuju ke depan, ia berpaling pada Pete.
"Kurasa sudah hampir pasti orang yang mengaku bernama Claudius itulah yang mencuri Billy Shakespeare," katanya. "Kemudian ia kembali lagi, karena memerlukan informasi tambahan. Sekarang tugas kita, pertama-tama mencari Mr. Claudius."
"Aku segan," kata Pete. "Melihat tampangnya, dia itu bisa memakai pistol segampang menyalakan korek api tadi. Lagipula, bagaimana kau bisa menemukan dia, tanpa ada petunjuk sedikit pun?"
"Akan kupikirkan soal itu nanti," jawab Jupiter. "Tentunya ada salah satu jalan - Awas, Worthington!"
Tapi sebetulnya Jupiter tidak perlu lagi berseru memberi peringatan. Worthington sendiri sudah melihat mobil sedan kelabu yang saat itu memasuki jalan kerikil. Dengan tangkas ia membanting setir Rolls-Royce menyeruduk tanaman bunga yang tak terpelihara. Sedang sedan kelabu yang masih baru direm dengan keras. Pengemudinya seorang laki-laki kecil bermata tajam.

BAB 3
LITTLE BO-PEEP

KEDUA mobil itu nyaris saling membentur. Tinggal beberapa senti saja yang memisahkan bumper sedan kelabu dan badan Rolls-Royce yang berkilauan. Dengan cepat tapi tanpa melupakan martabat, Worthington keluar, menyongsong laki-laki kecil bermata tajam yang muncul bergegas-gegas dari belakang setir mobil sedan.
"Kalau jalan kenapa tidak lihat baik-baik. Kunyuk?" sergah laki-laki kecil itu. Worthington menegakkan diri. Pemandangan yang mengesankan, mengingat tingginya yang mendekati dua meter
"Bung," katanya dengan tenang, "saya tadi menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Anda yang masuk kemari secara gila-gilaan. Jika mobil ini tadi sampai rusak, Anda akan merasakan akibatnya."
Dari cara Worthington mengucapkan kata-kata itu diketahui bahwa ia tidak asal ngomong saja. Dan laki-laki kecil berpakaian baru tapi menyolok langsung mundur selangkah.
"Hati-hati kalau bicara!" gerutunya. "Aku tidak mau dikurangajari pelayan."
"Jangan sebut saya pelayan," kata Worthington. Ia masih tetap tenang. "Rupanya Anda perlu saya hajar."
Ia mengulurkan tangan, seolah-olah hendak menyentakkan kelepak jas lawan bicaranya. Orang itu buru-buru menyelipkan tangan ke balik jas. Tapi pada saat itu pintu belakang sedan terbuka. Seorang laki-laki bertubuh besar keluar. Pakaian yang dikenakannya nampak bermutu. Barang mahal!
"Adams!" katanya. "Masuk kembali ke mobil!"
Nada suaranya ketus. Ia berbahasa Inggris yang agak dipengaruhi logat Perancis. Kumis tipis menghias bibir atasnya, sedang di sudut bibir nampak tahi lalat kecil.
Supir sedan ragu-ragu sesaat. Mukanya cemberut tapi kemudian ia masuk kembali ke mobil, di mana masih ada seorang laki-laki lagi. Orang itu besar, bertampang jelek. Ia cuma melihat saja. Tanpa berbuat apa-apa, sedang laki-laki yang berpakaian mewah maju menghampiri Worthington.
"Maaf, supir saya tadi ceroboh," katanya. "Untung saja mobil indah ini tidak sampai kena tubruk. Kalau sampai terjadi, saya takkan bisa memaafkan diri saya. Nah, bisakah saya bicara sekarang dengan majikan Anda?"
Sampai saat itu baik Jupiter maupun Pete tidak sempat berkutik, karena kejadian berlangsung begitu cepat. Tapi kini Jupiter keluar dari mobil.
"Anda hendak bicara dengan saya?" katanya.
Laki-laki berpakaian mewah itu kelihatan kaget.
"Anda - eh - kau pemilik mobil ini?" tanyanya.
"Untuk saat ini - ya," jawab Jupiter santai. Sewaktu kecil ia biasa tampil dalam acara-acara televisi. Karena itu sudah cukup pengalamannya dalam akting. Ini menolongnya dalam menghadapi hampir setiap situasi. Ia menyambung. "Mungkin pada suatu waktu akan saya ganti."
"O, begitu." Teman bicaranya nampak agak ragu. "Kalau saya boleh bertanya - Anda ini teman Mr. Fentriss? Saya hendak mengunjunginya saat ini."
"Ya - bisa dikatakan saya temannya," kata Jupiter lagi. Pete yang memperhatikan, mau tidak mau terpaksa juga mengagumi gaya santai yang dipamerkan kawannya. Jupiter memang tahu bagaimana caranya menghadapi orang dewasa. "Kami baru saja dari sana."
"Kalau begitu tentunya Anda bisa mengatakan bagaimana perkembangannya dengan urusan burung nurinya. Billy Shakespeare," kata orang itu lagi.
"Masih belum diketemukan," jawab Jupiter. "Mr. Fentriss sedih sekali karenanya."
"Lho - burung itu hilang?!" Tapi tampang orang itu tidak menunjukkan gerak perasaan. "Sayang! Dan sampai sekarang belum terdengar kabar mengenainya?"
"Sama sekali tidak ada," kata Jupiter. "Kami sekarang dalam perjalanan ke polisi, untuk menanyakan perkembangan usaha penyidikan mereka. Bagaimana jika kami beritahukan pada mereka bahwa Anda berminat untuk membantu menemukannya kembali?"
"Wah, jangan, jangan!" Laki-laki perlente itu bicara cepat-cepat. Nampaknya kaget dan takut mendengar polisi disebut-sebut. "Tidak perlu menyebut diri saya pada polisi. Saya cuma teman yang kebetulan mampir, untuk menanyakan keadaan Billy. Tapi karena ternyata masih hilang, saya tidak usah merepotkan Mr. Fentriss. Mudah-mudahan saja burung itu bisa diperolehnya kembali. Tapi untuk saat ini, lebih baik saya terus saja."
Laki-laki itu berbalik, lalu masuk kembali ke sedan. Ia sama sekali tidak memperkenalkan diri.
"Adams!" katanya dengan ketus, "Bawa aku kembali ke hotel."
"Yes, Sir, " gumam supir yang bermata tajam. Ditatapnya Worthington dengan masam, sambil menjalankan sedan mundur dijalan kerikil. Sesaat kemudian mereka sudah tidak kelihatan lagi.
"Anda menangani situasi dengan sangat baik, Sir, " puji Worthington, sementara Jupiter masuk kembali ke dalam mobil. "Ijinkan saya mengatakan, saya bangga pada Anda."
"Terima kasih, Worthington," jawab Jupiter dengan anggun.
"He - bolehkah aku bertanya sedikit?" sela Pete. "Apa-apaan tadi itu? Orang-orang dalam mobil tadi tidak bisa diajak main-main! Maksudku, aku tidak kepingin berjumpa dengan orang seperti mereka dalam lorong gelap. Bagaimana kau sampai berhasil membuat mereka mundur ketakutan?"
Jupiter menghembuskan napas panjang. Sikapnya kembali seperti semula, kembali menjadi seorang remaja bertubuh gempal agak gemuk. Sama sekali tidak nampak mengesankan seperti tadi.
"Mereka kalah gertak," katanya. "Aku tadi untung-untungan, beranggapan bahwa mereka tentu akan kaget dan takut kalau mendengar kata polisi. Karena itu aku mengatakan kita akan ke sana - padahal tidak."
"Ya, aku juga melihatnya tadi," kata Pete, sementara Worthington meluruskan letak mobil dan dengan hati-hati menjalankannya ke depan. "Tapi -"
"Pengemudi tadi, yang dipanggil dengan nama Adams, mungkin membawa senjata," kata Jupiter. "Tersembunyi dalam sarung yang diselipkan di bawah ketiak. Kau tidak melihat dia merogohnya? Jelas orang itu sudah biasa melakukan kekerasan."
"Senjata? Dan dia tadi hendak mempergunakannya?" Pete terpaksa menelan ludah beberapa kali, saking kagetnya.
"Tapi dilarang majikannya," kata Jupiter. "Majikannya termasuk kelas yang jauh lebih tinggi. Aku ingin tahu, apa sebabnya ia memakai tukang tembak sebagai supir!"
"Yang ingin kuketahui, kenapa kita harus berurusan dengan orang-orang macam begitu," kata Pete. "Padahal mulanya kita kan cuma hendak mencari burung nuri yang hilang."
"Memang betul," jawab Jupiter.
"Tapi sampai sekarang kita sudah berurusan dengan orang laki-laki gendut menyeramkan, lalu laki-laki berlogat asing yang memakai pembunuh bayaran sebagai supir. Kita juga mendapat keterangan tentang seorang pedagang keliling yang misterius, orang Meksiko. Dan semuanya menaruh minat pada burung yang itu-itu juga."
"Semua, kecuali si pedagang," kata Jupiter membetulkan. "Setelah burung itu dijual, ia tidak menaruh minat lagi padanya."
"Tapi apa sebabnya?" tanya Pete dengan bingung. "Apa sih keistimewaan seekor nuri gagap, sampai oknum-oknum kasar itu begitu kepingin memilikinya? Kalau perlu bahkan dengan jalan mencurinya?"
"Aku merasa yakin berkat penyelidikan kita lambat laun akan diketahui juga jawabannya. Namun saat ini aku benar-benar bingung."
"Yah - kalau begitu setidak-tidaknya keadaan kita sama," kata Pete sambil menggerutu. "Jika kau Ingin tahu pendapatku -"
"Ada apa, Worthington?"' tanya Jupiter. Rolls-Royce baru saja melewati suatu tikungan ketika supir Inggris itu dengan tiba-tiba menginjak rem sehingga mobil terhenti.
"Ada orang dijalan, Master Jones," jawab Worthington. "Seorang nyonya, yang kelihatannya kehilangan sesuatu."
Jupiter memandang ke luar, begitu pula Pete. Nampak seorang wanita bertubuh pendek montok berdiri di tengah jalan. Tanpa mempedulikan keadaan lalu lintas ia menatap ke arah semak yang ada di pinggir jalan sambil berseru memanggil-manggil.
"Pretty! Sini, Pretty! Datang ke Irma. Ini, ada biji bunga matahari untukmu!"
"Ada yang sedang mengalami kesulitan," kata Jupiter. "Kita lihat saja, mungkin bisa kita bantu."
Mereka turun dari mobil lalu menghampiri wanita itu, yang masih saja mengintip-ngintip ke tengah semak lebat. Ia memegang biji bunga matahari yang diacungkan dengan sikap membujuk.
"Maaf," sapa Jupiter. " Anda kehilangan sesuatu?"
"Ya, memang betul," jawab wanita itu. Ia bicara sambil menelengkan kepala. Sikapnya kayak burung dan suaranya juga kecil, seperti suara burung. "Little Bo-Peep hilang, dan aku tidak tahu di mana harus mencarinya."
"Kalian tidak melibatnya?" tanya wanita itu kemudian. "Kalian tidak melihat Little Bo-Peep?"
"Tidak, Ma'am, "jawab Jupiter. Remaja itu selalu bersikap sopan. Wanita yang lebih tua, pasti disapanya dengan sebutan 'Ma 'am'. Ia melanjutkan, "Little Bo-Peep itu burung nuri?"
"Ya, betul." Wanita itu memandangnya dengan heran. "Dari mana kau tahu?"
Dengan cekatan Jupiter merogoh kantong, lalu menyodorkan kartu nama Trio Detektif.
"Kami ini penyelidik," katanya. "Saya menarik kesimpulan Anda mencari seekor burung nuri, karena sebuah sangkar burung tergeletak di rumput di tepi semak, dan karena Anda berusaha memanggil burung itu dengan pancingan biji bunga matahari. Nuri gemar makan biji bunga matahari."
Hal itu juga sudah terpikir oleh Pete. Tapi bagi wanita itu, penarikan kesimpulan demikian rupanya sangat mengagumkan. Setelah berseru-seru kagum beberapa kali, ia lantas mengajak kedua remaja itu ke rumahnya. Ia hendak menceritakan kejadian hilangnya Little Bo-Peep, yang dianggapnya aneh.
"Tunggu kami di sini, Worthington," kata Jupiter, lalu menyusul Pete yang sudah lebih dulu berjalan mengikuti wanita bertubuh kecil montok itu. Mereka menyusur jalan beralas batu bata menuju sebuah bungalow yang letaknya tersembunyi di belakang rumpun pohon pisang. Sesampai di sana, mereka dipersilakan duduk dalam kamar tamu yang sempit. Dengan segera Jupiter membuka percakapan.
"Little Bo-Peep Anda beli beberapa minggu yang lalu, dari seorang penjual yang logat Meksiko-nya sangat kentara, Miss Waggoner?" tanya Jupiter.
"Ya, betul," jawab Miss Waggoner. Matanya terbuka lebar, tanda heran. "Kau tahu itu? Dan kau juga mengenal namaku. Kalian mestinya sepasang detektif ulung!"
"Itu kan cuma soal menggabung-gabungkan keterangan saja, Miss Waggoner," kata Jupiter. "Mr. Fentriss tadi menyebut nama Miss Irma Waggoner. Dan tadi Anda berseru-seru memanggil Bo-Peep agar datang ke Irma. Anda lihat sendiri, dengan begitu saya sudah memperoleh semua informasi yang diperlukan."
"Rupanya Mr. Fentriss masih belum berhasil menemukan Billy?" tanya Miss Waggoner. "Kasihan!"
"Memang belum, Ma'am. Billy masih tetap hilang," kata Pete. "Kami saat ini sedang berusaha mencarinya. Bisakah Anda menceritakan bagaimana burung nuri Anda bisa sampai hilang?"
"Tadi aku pergi sebentar ke toko," kata Miss Waggoner. "Kebetulan biji bunga matahari untuk Little Bo-Peep habis, sedang dia senang sekali memakannya. Baru saja aku menginjakkan kaki di jalan ketika sebuah mobil hitam kecil buatan luar negeri muncul dari balik tikungan. Nyaris saja aku kena tubruk. Orang jaman sekarang suka sembrono kalau menjalankan mobil!"
Pete dan Jupiter saling berpandangan sekilas. Keduanya sempat menangkap keterangan mengenai mobil hitam kecil buatan luar negeri. Dan keduanya mendapat firasat yang sama. Ketika dilihat terakhir kalinya, orang yang menamakan diri Claudius naik mobil yang begitu ke arah sini.
"Yah," kata Miss Waggoner melanjutkan cerita, "setelah itu aku terus ke toko, membeli persediaan biji bunga matahari. Kemudian aku pulang sambil berjalan pelan-pelan menikmati kehangatan cahaya matahari. Tapi ketika aku masuk ke rumah, kulihat pintu sangkar Bo-Peep terbuka lebar. Kesayanganku itu lenyap! Kusangka aku sendiri yang lupa menutup pintu sangkar, sehingga Bo-Peep bisa terbang ke luar dan sekarang ada di pekarangan. Aku sedang mencari-cari dia di situ ketika kalian datang."
"Mengenai mobil yang nyaris menubruk Anda tadi, Anda kemudian melihatnya lagi atau tidak?" tanya Jupiter.
Wanita itu menggeleng.
"Tidak! Soalnya langsung membelok di tikungan yang satu lagi, dan menghilang di balik pepohonan dan semak yang tumbuh lebat di sana. Astaga! Kalian kan tidak menduga laki-laki gendut yang mengemudikan mobil itu yang mencuri Little Bo-Peep?"
"Saya rasa dialah pencurinya," kata Jupiter. "Menurut dugaan kami, juga dia yang mencuri Billy, nuri milik Mr. Fentriss."
"Aduh!" keluh Miss Waggoner. "Tak punya perasaan orang itu! Tapi untuk apa dia begitu repot, hanya untuk memperoleh beberapa ekor nuri? Kan dia juga bisa membeli."
Justru itulah yang juga ingin diketahui oleh Pete. Namun Jupiter tidak sanggup memberi jawaban.
"Sampai saat ini, hal itu merupakan teka-teki," katanya mengakui. "Little Bo-Peep bisa bicara, Miss Waggoner?"
"O ya," jawab yang ditanya. "Ia selalu mengatakan 'Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes'. Begitu ucapannya. Aneh, ya? Masak kalimat begitu diajarkan pada burung nuri."
"Memang aneh," kata Jupiter. "Kalimat itu diucapkannya dengan logat Inggris?"
"Ya, dengan logat Inggris yang sangat beradab," kata Miss Waggoner. "Seolah-olah diajarkan dengan cermat oleh seorang Inggris golongan terpelajar."
Jupiter sibuk mencatat segala keterangan itu, untuk Bob Andrews. Kawan itu yang bertugas mengurus catatan mengenai semua perkara penyelidikan mereka. Selesai mencatat, Jupiter melanjutkan bertanya, "Miss Waggoner - saya merasa yakin, laki-laki gendut yang menamakan dirinya Mr. Claudius itu menyelinap masuk kemari ketika Anda sedang tidak ada. Lalu mencuri Little Bo-Peep. Sebaiknya Anda menghubungi polisi."
"Polisi? Aduh, jangan!" seru Miss Waggoner. "Itu berarti aku harus jauh-jauh ke tengah kota untuk melaporkan, lalu - aduh, tidak - kalian saja yang menolong aku! Bilang kalian mau menolong," katanya meminta-minta. Nampaknya Miss Waggoner sangat bingung dan gelisah.
"Baiklah, Miss Waggoner," kata Jupiter. "Karena saya yakin Mr. Claudius yang mencuri kedua nuri itu, maka kedua penyidikan bisa kami lakukan secara serempak."
"Aduh. terima kasih banyak! Perasaanku menjadi jauh lebih enak sekarang."
"Masih ada satu pertanyaan lagi," kata Jupiter. "Anda dulu membeli Little Bob Peep dari seorang pedagang keliling bangsa Meksiko, yang naik gerobak keledai beroda dua?"
"Ya, betul! Orang itu kelihatannya sakit. Batuk-batuk terus! Aku kasihan padanya." "Dia menyerahkan kuitansi tanda jual beli burung itu?"
"Lho, tidak!" Miss Waggoner nampak heran. "Tak terpikir olehku untuk memintanya."
"Anda tidak melihat ada nama atau alamat tertulis di gerobaknya?" desak Jupiter. Tapi Miss Waggoner cuma bisa menggeleng. Tidak ada lagi keterangan lain yang masih bisa diberikan. Karena itu Pete dan Jupiter lantas meminta diri dengan sopan. Tapi begitu berada di luar rumah, Pete mencengkeram lengan kawannya.
"Jupe," katanya, "coba katakan padaku, bagaimana caramu hendak menemukan dua ekor nuri yang masing-masing bernama Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep? Kan entah di mana mereka sekarang berada! Kuakui keduanya memang nuri peminat sastra, yang bisa mengutip kalimat dari Shakespeare dan syair Mother Goose. Tapi dalam rimba pasti ada berjuta-juta nuri yang memiliki kemampuan yang sebanding. Kita cuma buang-buang waktu saja."
Jupiter termenung. Kata-kata Pete memang benar. Walau Little Bo-Peep mampu mengutip syair lagu anak-anak tradisional Inggris yang diciptakan oleh pengarang yang memakai nama samaran Mother Goose yang berarti Bu Angsa, namun pasti banyak sekali nuri lain yang memiliki kemampuan setanding.
"Menurut pendapatmu, apakah Mr. Claudius itu kelihatannya orang yang suka bercanda?" tanyanya kemudian.
"Ah, tidak," kata Pete. "Ketika ia mengacungkan laras pistol palsu pada kita, aku menganggap dirinya tergolong orang kasar."
"Nah, itulah. Tapi walau begitu ia mau repot-repot mencuri dua ekor nuri yang namanya aneh serta memiliki kemahiran yang tidak lazim. Saat ini kita belum bisa menebak alasan tindakan itu. Tapi di pihak lain, bukankah kita harus beranggapan bahwa pasti ada alasan yang sangat baik baginya?"
"Kurasa memang begitu," gumam Pete. "Tapi berapa besar peluang yang ada pada kita untuk bisa menemukan dia kembali?"
"Kita kan detektif, kita memiliki otak yang cerdas," kata Jupiter. Tampangnya yang penuh tekat saat itu menyebabkan Pete tahu bahwa Jupiter takkan berubah pikiran lagi. "Kecuali itu - Awas!"
Seketika itu juga ia menerpa Pete. Keduanya jatuh berguling-guling di tanah. Sesuatu benda berukuran agak besar melayang lewat tempat di mana kepala Pete sesaat yang lalu masih berada. Benda itu menghunjam di tanah yang empuk.
"Jangan tindih aku," kata Pete dengan napas tersengal-sengal, karena Jupiter jatuh tepat menindih perutnya. "Aku -tak bisa-napas! Tak bisa-gerak!"
Jupiter cepat-cepat berdiri lagi. Pete menarik napas panjang, lalu bangkit dengan lambat-lambat. Sementara itu Jupiter menarik benda yang jatuh tadi dari sela rerumputan. Ternyata sepotong genting berwarna merah. Persis seperti yang ada di atap bungalow Miss Waggoner.
"Kalau salah satu dari kita tadi kena benda ini, pasti akan tak berdaya untuk sementara waktu," kata Jupiter. "Untung saja aku sempat melihat sesuatu bergerak-gerak di tengah semak, sebelum pecahan genting ini melayang ke arah kita."
Pete mengucapkan terima kasih sambil terbata-bata. "Tapi siapa yang melempar?" tanyanya bingung. "Aku tidak sempat melihatnya," jawab Jupiter. "Tapi aku yakin, ini dimaksudkan sebagai peringatan. Ada orang yang tidak menghendaki kita mencari Billy Shakespeare atau Little Bo-Peep!"

BAB 4
KELANA GERBANG MERAH

Bob Andrews sedang makan malam. Sekali-sekali matanya bergerak memandang ke arah pesawat telepon. Sejak kembali dari perpustakaan, ia sudah terus menunggu-nunggu bunyi deringnya. Pada waktu luangnya, Bob bekerja di situ, membantu-bantu membereskan buku-buku yang dipulangkan dan menaruhnya ke rak yang semestinya. Serta berbagai tugas bantu lainnya.
Kini ia sudah hampir selesai makan. Tapi telepon masih juga belum berdering.
Ketika sekali lagi ia melirik ke arah itu, ibunya sempat melihatnya. Ibunya nampak kaget, rupanya teringat lagi pada sesuatu hal.
"Astaga, ternyata aku kelupaan," kata Mrs. Andrews. "Tadi ada pesan untukmu. Dari kawanmu, Jupiter Jones. Dia menelpon tadi."
"Lalu, apa katanya?" kata Bob dengan segera.
Sehari sebelumnya, Bob sudah mengetahui garis-garis besar perkara penyelidikan mereka kali ini dari Jupiter. Juga sudah disepakatkan, Trio Detektif akan mengadakan rapat malam itu di Markas Besar. Itu juga apabila Jupiter tidak sedang sibuk. Soalnya, kadang-kadang ia harus membantu paman dan bibinya di tempat jual-beli barang bekas, dan karenanya tidak sempat mengadakan penyelidikan.
"Aku mencatatnya," kata ibunya, lalu merogoh-rogoh kantong, mencari-cari di antara sekian banyak kertas. "Soalnya, aku takkan sanggup mengingatnya. Jupiter kadang-kadang suka memakai bahasa yang aneh."
"Memang kebiasaannya, kalau bicara suka panjang kalimatnya," kata Bob menjelaskan. "Habis, dia kan kutu buku! Jadi secara otomatis kalau bicara pun kayak kalimat dalam buku, serba panjang! Pamannya, Paman Titus, juga sama saja kayak dia. Lama-lama bisa terbiasa juga."
"Yah - pokoknya inilah pesannya." Mrs. Andrews berhasil menemukan carik kertas yang dicari, lalu membaca tulisan yang tertera di situ. "Kelana Gerbang Merah, sekarang datanglah! Burung sudah terbang dan urusan sudah terbayang. Jalan tidak mudah, jadi ikuti anak panah. Pesan Jupiter selesai. Nah, coba - apa maksudnya dengan kalimat yang begitu?!" Ditatapnya Bob dengan pandangan menyelidik. "Pesan apa itu, kayak begitu? Atau kalian memakai bahasa sandi ya?"
Saat itu Bob sudah bergerak menuju ke pintu. Tapi ia berhenti melangkah ketika ibunya bertanya. Dan kalau Mrs. Andrews mengajukan pertanyaan, dia juga mengharapkan jawaban. "Itu kan bahasa Inggris biasa, Bu," katanya.
"Ah - apanya yang bahasa Inggris biasa!" tukas ibunya. "Kedengarannya tidak biasa!"
"Itu bahasa Inggris biasa, cuma kedengarannya saja seperti bahasa sandi," ujar Bob menjelaskan. "Soalnya apabila ada orang lain kebetulan menangkap salah satu pesan kami, ia takkan bisa mengerti apa-apa." "Lalu aku ini orang lain, ya! Ibumu sendiri?"
"Wah - bukan begitu, Bu," kata Bob buru-buru. "Kalau Ibu memang berminat, akan kujelaskan. Begini, Bu. Kami kan membentuk sebuah perusahaan detektif. Nah, saat ini kami mendapat tugas penyelidikan. Kami berusaha mencari seekor burung nuri yang lenyap."
"O, kalau begitu baiklah. Kedengarannya tak berbahaya." Wajah Mrs. Andrews yang semula mendung kini nampak cerah kembali. "Dan kurasa itulah yang dimaksudkan dengan kalimat 'Burung sudah terbang dan urusan sudah terbayang', ya?"
"Betul, Bu. Lalu Kelana Gerbang Merah artinya -"
"Sudahlah. Kau boleh pergi sekarang! Tapi ingat, jangan sampai terlalu lambat pulang. Kau masih harus melakukan sesuatu untukku."
Bob bergegas keluar, mengambil sepedanya. Walau hari sudah malam, namun di luar masih terang. Saat itu sedang musim panas. Rocky Beach, kota kecil tempat ketiga remaja itu tinggal, letaknya di pesisir Samudera Pasifik, beberapa mil dari kota perfilman Hollywood. Di belakang kota terdapat perbukitan yang cukup tinggi. Bob pernah jatuh dari salah satu bukit itu. Tungkainya cedera, sehingga kini ia harus memakai alat penyangga. Kapan-kapan penyangga itu takkan diperlukannya lagi. Tapi sekarang pun ia bisa bergerak dengan cepat, apabila naik sepeda. Namun kalau jalan kaki. masih agak sulit.
Bob bersepeda lewat jalan-jalan belakang, menjauhi keramaian lalu lintas di tepi pantai. Akhirnya ia sampai di Tempat Timbunan Barang Bekas Jones, lewat belakang. Tempat itu bisa dibilang yang paling menarik di antara tempat-tempat sejenis di seluruh daerah. Suatu pagar kayu yang tinggi mengelilinginya. Dan pada pagar itu nampak berbagai pemandangan yang menarik, hasil ciptaan seniman-seniman setempat sebagai tanda terima kasih pada Mr. Jones atas kemurahan hatinya.
Pagar sebelah belakang, seluruhnya dihiasi lukisan peristiwa kebakaran besar tahun 1906 di San Francisco. Nampak pemandangan dramatis gedung-gedung terbakar, kereta-kereta pemadam kebakaran yang mondar-mandir ditarik kuda, serta kaum penduduk yang lari menyelamatkan diri sambil menggendong bungkusan barang-barang.
Bob bersepeda menghampiri pagar sebelah belakang, sambil berjaga-jaga jangan sampai ada yang memperhatikan. Sekitar lima belas meter dari pojok, ia turun dari sepeda. Di tempat itu nampak api berkobar-kobar dari sebuah gedung yang terbakar. Seekor anjing duduk dengan sedih sambil memandang ke arah api. Anjing itu sedih, karena yang terbakar itu tempat kediamannya. Oleh mereka bertiga, binatang yang tergambar di situ diberi nama 'Rover', yang berarti Kelana atau Pengembara. Salah satu mata anjing yang tergambar itu, sebenarnya mata kayu yang dijadikan papan pagar.
Bob mencongkel-congkel mata kayu itu, lalu meraihkan tangan ke dalam. Ia membuka sebuah kaitan yang ada di situ. Saat berikutnya tiga lembar papan terangkat, dan ia pun masuk sambil mendorong sepedanya. Itulah yang disebut 'Kelana Gerbang Merah'.
Untuk masuk ke tempat penimbunan barang-barang bekas itu ada empat jalan rahasia. Dengan begitu, kalau perlu Trio Detektif bisa pergi dan datang tanpa ketahuan orang lain.
Setelah menaruh sepeda, Bob mendatangi setumpuk bahan bangunan yang membentuk semacam gua. Di atas tumpukan itu ada sebuah papan tanda yang sudah tua, dengan gambar panah yang besar berwarna hitam serta tulisan 'Kantor'. Ini merupakan lelucon yang hanya diketahui oleh mereka bertiga, karena panah itu memang benar-benar menunjuk ke Markas Besar mereka.
Bob merangkak ke bawah tumpukan bangunan yang membentuk gua. Ia sampai di suatu lorong sempit yang dibatasi tumpukan barang rombengan di kiri-kanannya. Lorong itu berkelok-kelok, sampai akhirnya Bob harus merangkak lagi ke bawah beberapa lembar papan tebal. Papan-papan itu menampakkan kesan seakan-akan kebetulan saja terserak di situ. Padahal sebenarnya itu merupakan atap Pintu Empat, salah satu jalan masuk ke Markas Besar.
Bob merangkak sejauh beberapa meter. Kemudian ia sampai di suatu tempat, di mana ia bisa berdiri tegak kembali. Ia mengetuk selembar papan. Tiga kali berturut-turut. Lalu disusul ketukan sekali. Lalu dua kali. Papan tergeser membuka, dan Bob membungkuk sedikit sambil melangkah masuk ke dalam Markas Besar.
Yang dinamakan Markas Besar itu suatu ruangan dalam sebuah trailer yang panjangnya sekitar sepuluh meter. Trailer itu sudah tidak dipakai lagi. Letaknya tersembunyi di balik berbagai macam barang bekas yang bertumpuk-tumpuk di sekitarnya. Bahkan paman Jupiter, Mr. Jones, pun tidak tahu bahwa ketiga remaja itu berhasil menjelmakan trailer tua itu menjadi markas besar yang serba modern. Lengkap dengan kamar gelap untuk mencuci film, sebuah laboratorium khusus serta ruangan kantor dengan mesin ketik, pesawat telepon, meja, serta tape recorder. Segala peralatan itu mereka buat sendiri, dengan bagian-bagiannya diambil dari barang-barang bekas yang diangkut ke tempat itu. Tentu saja kecuali pesawat telepon! Alat itu sewanya mereka bayar dengan uang yang diperoleh sebagai imbalan kerja mereka membantu di tempat timbunan barang bekas itu.
Begitu ketiga remaja sudah berkumpul di dalam markas besar mereka, segala pembicaraan mereka di situ takkan mungkin bisa diketahui orang lain.
Ketika Bob masuk, Jupiter sudah duduk di sebuah kursi putar, sambil menggigit-gigit sebatang pensil. Pete Crenshaw kelihatan iseng, berulang-ulang menggambar burung nuri.
"Halo, Bob," sapa Jupiter. "Kenapa agak terlambat?"
"Ibuku lupa menyampaikan pesanmu," kata Bob menjelaskan. "Lagipula aku toh takkan diijinkannya pergi sebelum makan malam dulu. Pertemuan ini super rahasia ya?" Jupiter mengangguk.
"Soalnya karena Bibi Mathilda," katanya. "Ia sudah seharian membersihkan rumah, dan aku disuruhnya membantu. Sekarang ia ingin agar aku mencuci kaca semua jendela. Tentu saja aku akan melakukannya, tapi penting sekali bahwa kita juga mencapai kemajuan dalam usaha kita mencari Billy Shakespeare serta Little Bo-Peep. Aku sedang memikirkan salah satu cara penyelidikan yang bisa kalian berdua mulai sebelum aku beralih fungsi menjadi tukang cuci kaca jendela."
Memang begitulah gaya bicara Jupiter Jones. Dia nampaknya tidak bisa bicara dengan kalimat-kalimat singkat. Mungkin itu pengaruh berbagai jenis buku yang dibacanya sejak bertahun-tahun. Jupiter itu seorang kutu buku.
"Kita menghadapi jalan buntu," kata Pete. "Macet. Bingung. Kita tahu, laki-laki gendut yang menyebut diri Claudius itu mestinya yang mencuri Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep. Tapi kita tidak tahu jalan bagaimana kita bisa mencari di mana dia berada. Kalau polisi, mungkin mereka bisa menemukan mobilnya - tapi urusan ini tidak mereka anggap serius. Bayangkan jika kita menghadap Chief Reynolds, kepala polisi kota ini, untuk minta dibantu menemukan Shakespeare dan Little Bo-Peep!"
"Pokoknya kita sudah berjanji pada Mr. Fentriss dan Miss Waggoner, untuk merahasiakan urusan ini," kata Jupiter. "Namun dengan cara bagaimana juga kita harus berhasil mengetahui di mana Mr. Claudius berada - atau mengakui kegagalan."
"Yah, aku punya akal," kata Bob. "Bagaimana jika kita tanyakan pada orang-orang, apakah mereka melihat mobil yang dipakai Mr. Claudius. Jika cukup banyak yang kita tanyai, pasti salah satu ada yang pernah melihat. Dan jika mobil sudah kita temukan, Mr. Claudius sendiri tentunya ada di salah satu tempat di dekat situ."
"Orang biasanya tidak teliti pengamatan mereka," kata Jupiter. "Saksi mata saja bisa saling bertentangan keterangannya."
"Tapi kalau anak-anak, tidak," kata Bob. "Anak-anak biasa sangat teliti terhadap hal-hal yang menarik perhatian mereka. Dan anak laki-laki, pada umumnya tertarik pada mobil. Jika kita bertanya pada sekian ribu anak laki-laki yang tinggal di sekitar Los Angeles dan Hollywood, pasti kita akan menjumpai seseorang di antara mereka yang ingat sekali pada mobil itu."
Dari tampang Jupiter saat itu nampak jelas bahwa otaknya sedang kerja lembur. Kemudian ia mengangguk-angguk. "Idemu hebat sekali, Bob."
"O ya?" kata Bob sambil melotot. "Maksudmu, benar-benar gemilang?"
"Sangat sederhana, dan karenanya gemilang," kata Jupiter. "Seperti katamu tadi, anak laki-laki berumur berapa pun tentu akan tertarik pada mobil. Apalagi mobil yang tidak sering kelihatan berkeliaran di tempatnya. Kita harus bertanya pada anak-anak di seluruh kota, sampai berhasil menemukan seseorang yang melihat mobil yang kita cari. Dengan begitu kita akan tahu, orang yang menamakan diri Claudius itu ada di dekat situ. Tapi di pihak lain, jelas bahwa anak-anak itu tidak bisa kita tanyai satu persatu."
"Kalau begitu, bagaimana caranya?" tanya Pete bingung.
Jupiter mencondongkan tubuhnya ke depan. Ditatapnya kedua kawan sejawatnya. "Kita akan memakai hubungan hantu ke hantu," katanya.

BAB 5
HUBUNGAN HANTU KE HANTU

Jupiter menatap mereka dengan sikap yakin. Sedang Pete dan Bob sama sekali tidak bisa menduga, apa yang dimaksudkan oleh kawan yang satu itu.
"Apa maksudmu, hubungan hantu ke hantu?" tanya keduanya serempak.
"Itu suatu metode untuk menghubungi sekian ribu anak laki-laki, dengan tujuan meminta informasi tanpa bicara secara langsung dengan mereka," kata Jupiter.
"Lalu apa hubungannya dengan hantu?" tanya Bob yang masih tetap bingung.
"Ah, kau ini - tentu saja bukan hantu sungguh-sungguhan," kata Jupiter. "Tapi anak-anak yang dihubungi itu kan tidak kenal dengan kita, dan kita juga tidak mengenal mereka. Maksudku sebagian besar dari anak-anak itu. Bagi kita, mereka cuma suara yang terdengar lewat telepon. Jadi cocok kan, jika mereka kita juluki hantu. Hantu katanya juga tidak kelihatan! Lagipula, julukan itu kan rasanya mengesankan."
"Betul juga katamu," kata Pete menyetujui.
"Tambahan lagi," sekarang Jupiter sudah semakin bersemangat, "apabila pemberi keterangan yang tak dikenal itu kita sebut dengan penamaan 'hantu', orang lain yang mendengar pembicaraan kita pasti akan cuma bisa melongo saja, karena tidak tahu apa maksud kita. Itu menjadi rahasia kita sendiri."
"Yah - masuk akal," kata Pete sekali lagi.
"Lalu pertimbangan terakhir," sambung Jupiter, "gagasanku ini bisa dipakai, kalau perlu untuk menghubungi anak laki-laki sampai ke pesisir timur. Sampai ke tepi Samudera Pasifik. Istilahnya lantas berubah menjadi hubungan pantai ke pantai. Tapi nama itu sudah pernah dipakai dalam salah satu siaran televisi. Jadi lebih baik pakai nama hubungan hantu ke hantu saja."
"Kan kau sendiri yang menciptakan! Jadi terserah padamu mau pakai nama yang mana," kata Pete.
"Betul," sambung Bob. "Tapi bagaimana cara kerjanya?"
"Gampang saja! Bob, berapa jumlah kawanmu yang tinggal di sekitar sini?"
"Kawan dengan siapa aku biasa bergaul, maksudmu? Begitulah, sekitar sepuluh sampai dua belas," kata Bob. "Mengapa?"
"Nanti dulu. Sekarang kau, Pete. Berapa jumlah kawanmu, yang bukan juga kawan Bob?" "Enam atau tujuh," kata Pete setelah memikir sesaat. "Untuk apa kautanyakan?"
"Nanti akan kujelaskan. Aku sendiri, ada empat atau lima kawanku yang bukan kawan kalian berdua. Nah, coba kausebutkan tanda-tanda mobil yang dipakai Mr. Claudius, Pete. Sedang kau, Bob, kaucatat keterangan Pete."
"Mobil berpintu dua, merek Ranger model sport, warna - hitam," kata Pete. "Tempat duduk beralas kulit warna merah. Bisa dibilang masih baru. Pelat nomor dan negara bagian California sini, sedang nomor serialnya berakhir dengan angka 13."
Bob mencatat data itu. Jupiter menambahkan, "Pengemudinya, yang memperkenalkan diri dengan nama Claudius, orangnya gendut dan memakai kaca mata berlensa tebal sekali. Kurasa keterangan itu sudah memadai. Sekarang kita mulai dengan hubungan yang kumaksudkan."
Kedua kawannya mendekat, supaya bisa mendengar lebih jelas.
"Cara kerjanya begini," kata Jupiter melanjutkan. "Mula-mula aku menelepon lima orang kawan dan menanyakan pada mereka, apakah mereka melihat mobil Ranger berwarna hitam itu. Katakanlah mereka tidak melihatnya semua. Aku lantas meminta pada mereka agar masing-masing menelepon lima kawan lagi sambil meneruskan keterangan yang sudah kita sebutkan tadi. Lalu kelima kawan itu diminta pula untuk menelepon lima kawan selanjutnya. Begitu terus sampai kita memperoleh hasil. Setiap anak yang dihubungi, diberi tahu nomor telepon kita. Dan barang siapa bisa memberi keterangan mengenai mobil itu, diminta agar menelepon kita besok pagi pukul sepuluh untuk menyampaikannya. Nah -jelas sekarang caranya?"
"Huii!" seru Bob kagum. "Hebat, Jupe!"
"Wow!" sela Pete. "Besok pagi setiap anak laki-laki di wilayah California Selatan pasti akan sudah sibuk mencari Ranger hitam itu."
"Kalau memang ternyata perlu," kata Jupiter. "Bagaimana - ada di antara kalian yang melihat salah satu kekurangan dalam rencana ini, sebelum kita memulainya?"
"Bagaimana jika menawarkan hadiah?" tanya Pete. "Biasanya pemberi informasi diberi hadiah." "Betul," kata Bob. "Dengan begitu minat akan bertambah besar."
"Gagasan baik sekali." Kemudian Jupiter berpikir-pikir. "Tapi apa yang bisa kita jadikan hadiah? Uang kita kan tidak banyak."
"Bagaimana jika menawarkan bahwa pemberi informasi boleh naik Rolls-Royce?" saran Pete. "Anak sini yang senang mobil pasti mau sekali jika diajak naik Rolls-Royce mewah yang bagian-bagiannya berlapis emas. Dan dia juga bisa kita pinjami pesawat telepon yang ada di mobil, supaya bisa memberi tahu kawan-kawannya, bahwa dia naik mobil hebat."
"Kurasa ide itu bagus," kata Jupiter. "Kau juga punya usul, Bob?"
"Aku tadi hendak mengatakan, bagaimana jika anak pertama yang menyampaikan informasi pada kita diberi hak untuk memilih salah satu benda yang ada di tempat timbunan barang bekas ini. Anak laki-laki pada umumnya pasti senang jika boleh mencari-cari barang yang diperlukan di sini."
"Betul," kata Pete setuju. "Kurasa takkan ada yang tidak suka apabila diberi kesempatan memilih salah satu benda di antara sekian banyak barang bekas menarik yang biasa dibawa kemari oleh pamanmu, Jupe."
"Tapi tempat ini bukan milik kita," kata Jupiter. Keningnya berkerut. "Dan barang yang bukan kepunyaan kita tidak bisa kita hadiahkan."
Sesaat hal itu membuat perembukan mereka macet. Tapi kemudian Pete teringat, paman Jupiter masih berhutang pada mereka sebagai imbalan pekerjaan yang mereka lakukan ketika membetulkan beberapa benda yang kemudian bisa dijual kembali oleh Mr. Jones. Ketiga remaja itu lantas menjumlahkan imbalan yang masih harus dibayar. Mereka sampai pada jumlah 25,13 dollar. Ketiganya lantas sepakat. Sebagai hadiah bagi anak yang memberikan informasi yang diperlukan, mereka akan menawarkan kesempatan pesiar naik Rolls-Royce, serta hak memilih benda apa saja yang ada di tempat timbunan barang bekas. Asal nilainya tidak melebihi 25,13 dollar.
Setelah urusan itu beres, mereka lantas mulai menelepon ke sana-sini. Jupiter menelepon kelima kawannya. Tak seorang pun dari mereka melihat mobil hitam yang dimaksudkan. Tapi kelima-limanya berjanji masing-masing akan menelepon lima orang kawan sambil meneruskan pertanyaan.
Selesai menelepon, Jupiter bergegas ke luar lewat Lorong Dua, jalan utama untuk keluar-masuk. Ia masih mencuci kaca jendela-jendela rumah, untuk Bibi Mathilda. Pete mendapat giliran berikut untuk menelepon, dan sesudah itu Bob. Mereka tidak perlu lama-lama menjelaskan. Setiap anak yang dihubungi dengan segera memahami duduk perkara. Semua gembira, karena diikutsertakan dalam suatu penyelidikan penting.
Begitu Bob dan Pete selesai menghubungi kawan-kawan mereka, keduanya merasa yakin bahwa kawan masing-masing yang ditelepon paling dulu saat itu pasti sudah sibuk menyebarluaskan pesan Trio Detektif.
Bob masih tinggal beberapa saat di Markas Besar, karena harus mengetik catatannya mengenai perkembangan yang sudah terjadi sampai saat itu. Ketika ia pulang kira-kira sejam kemudian, dilihatnya ibunya sedang memegang gagang pesawat telepon dengan wajah bingung.
"Aneh," kata ibunya. "Aku benar-benar tidak mengerti."
"Ada apa, Bu?" tanya Bob.
"Sedari tadi aku sudah mencoba untuk menelepon kaum ibu yang akan membantu aku dalam perjamuan makan yang akan diadakan tidak lama lagi. Sampai sekarang sudah dua belas yang coba kuhubungi. Boleh percaya atau tidak, tapi kenyataannya semua sambungan sedang bicara."
Bob kaget. Ia merasa tahu penyebabnya.
"Yang ibu hubungi itu, semuanya punya anak yang sebaya dengan aku?" tanyanya.
"Ya," jawab ibunya. "Karena itu aku takkan heran kalau tiga sampai empat hubungan sedang bicara. Tapi sekaligus dua belas! Nah, sekarang kucoba saja Mrs. Garrett."
"Kurasa kemungkinan mendapat hubungan akan lebih besar, jika Ibu mau menunggu beberapa saat sebelum mencoba lagi," kata Bob. "Maksudku, mungkin saja ada sesuatu yang tidak beres saat ini."
"Ya, mungkin juga," jawab ibunya. Tapi ketika Bob keluar lagi, ibunya masih tetap menatap pesawat telepon dengan sikap bingung.
Begitu masuk ke kamarnya sendiri, Bob lantas mulai menghitung-hitung. Tiga kali lima, lima belas. Jumlah itulah yang dihubungi langsung oleh mereka bertiga. Lalu jika kelima belas kawan itu masing-masing menghubungi lima kawan lagi, jumlahnya sudah tujuh puluh lima. Lima kali tujuh puluh lima, tiga ratus tujuh puluh lima - kali lima lagi menjadi seribu delapan ratus tujuh puluh lima. Kali lima -
Bob bersiul kagum, sambil menatap hasil hitungannya. Pantas semua sambungan sibuk. Jupiter kalau sudah mendapat gagasan, rupanya tidak membayangkan betapa besar akibatnya. Hubungan hantu ke hantu ternyata meledak!
Tapi karena pesan yang harus disampaikan singkat saja, maka takkan lama waktu yang diperlukan untuk menyebarluaskannya. Bob tahu bahwa sebentar lagi keadaan akan kembali seperti biasa. Karena itu ia lantas mengalihkan perhatian mempelajari catatan-catatan yang dibuatnya tentang urusan yang sedang diselidiki saat itu. Bob memberinya judul "Misteri Nuri Gagap".
Ada sesuatu yang agak terasa mengganjal perasaannya. Mungkin soalnya sepele saja, tapi ia saat itu tidak tahu apa. Bukan soal apa sebabnya laki-laki gendut ingin mencuri nuri. Bukan, bukan itu! Mereka sudah sepakat, teka-teki itu penyelesaiannya harus diundurkan dulu, sampai sudah terkumpul lebih banyak fakta mengenainya. Tapi masih ada lagi teka-teki lain. Apa perlunya seekor burung nuri diajar bicara tergagap-gagap? Soalnya, seperti dikemukakan oleh Jupiter, Billy Shakespeare pasti dengan sengaja diajar untuk mengatakan, 'To-to-to be or not to-to-to be'. Sebab mustahil ada nuri yang secara kebetulan gagap kalau bicara. Lalu -
Tapi saat itu Bob sudah terlena di tempat tidur. Namun sekitar tengah malam ia terbangun dengan tiba-tiba. Di tengah kesunyian, ia seakan-akan mendengar suara berbisik berulang-ulang di telinga. "Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus cari di mana. Hubungi Sherlock Holmes." Kalimat itulah yang biasa diucapkan Little Bo-Peep seperti dilaporkan oleh Miss Waggoner.
Namun - dengan mengabaikan usul misterius, yakni hubungi Sherlock Holmes - kalimat itu sebenarnya keliru. Dalam syair yang sebenarnya, kalau Bob tidak salah ingat, dikatakan "Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu mereka harus dicari di mana". Tapi nuri yang bernama Bo-Peep tidak mengatakan 'mereka'. Ia mengatakan 'ia'.
Timbul perasaan dalam diri Bob. Jupe pasti akan menganggap hal itu penting.
"Hmm." Tampang Jupiter menggerenyot, tanda bahwa ia sedang berpikir keras. "Kau benar, Bob. Miss Waggoner jelas mengatakan bahwa burung nuri kepunyaannya mengatakan '...tidak tahu ia harus dicari di mana'. Tapi sebetulnya kedua kalimat itu tidak ada yang salah, karena domba bisa tunggal - tapi juga bisa berarti banyak. Walau demikian
"Sudahlah, jangan sok profesor kalau ngomong!" keluh Pete. "Yang penting, apa artinya?"
Saat itu sudah keesokan harinya. Trio Detektif mengadakan rapat lagi di Marka Besar. Sebentar lagi pukul sepuluh pagi, saat mana mereka berharap akan memperoleh hasil dari hubungan hantu ke hantu yang mereka lancarkan malam sebelumnya. Sementara itu mereka membicarakan hal yang disadari oleh Bob tengah malam.
"Tapi tentu mungkin pula itu cuma kekeliruan biasa," kata Bob. "Maksudku, orang Inggris yang mengajari burung-burung nuri itu bicara, tidak begitu ingat kalimat yang sebenarnya."
"Nanti dulu, perlu kubetulkan," sela Jupiter. "Billy Shakespeare gagap kalau bicara. Itu satu kesalahan. Lalu Little Bo-Peep keliru mengucapkan kalimat dan syair Mother Goose. Jadi, dua kesalahan."
"Apalah artinya salah dua," kata Pete dengan tidak sabar. "Di sekolah setiap kali ada pelajaran mengarang, pasti kesalahanku jauh lebih banyak daripada cuma dua."
"Betul," kata Jupiter, "tapi dalam hal ini kita merasa yakin, kedua burung nuri itu diajari oleh seorang Inggris yang terpelajar. Satu kesalahan masih bisa terjadi secara kebetulan. Tapi dua kesalahan-sudah mengarah pada kesengajaan."
"Sengaja?" Tampang Pete saat itu kelihatan polos, tanda bahwa ia tidak mengerti sama sekali. Bob tidak heran, karena memang tidak selalu gampang mengikuti jalan pikiran Jupiter Jones. Kadang-kadang suka mengambil jalan memintas.
"Maksudmu dengannya, sebetulnya sama gampangnya mengajari seekor nuri untuk mengucapkan sesuatu yang keliru, seperti halnya mengajarinya berkata-kata dengan benar?" kata Bob. Ia berusaha mencari kejelasan. "Jadi kau lantas beranggapan, pasti ada alasan tertentu kenapa Billy Shakespeare tergagap-gagap dan Little Bo-Peep menyatakan ia dan bukan mereka?"
"Tepat," kata Jupiter. Mula-mula kita menghadapi teka-teki aneh, yaitu apa sebabnya Mr. Claudius sampai sibuk mencuri burung nuri. Kemudian kita menemukan teka-teki baru, kenapa kedua burung nuri yang hilang sampai diajari mengucapkan kalimat-kalimat aneh, tapi secara keliru."
"Entahlah," kata Bob sambil menggaruk garuk kepala. "Untuk apa mengajarkan kalimat-kalimat begitu pada burung nuri? Kalau orang lain biasanya sudah puas jika punya nuri yang bisa bilang 'Polly minta kue'."
"Semakin kita selidiki, ternyata misteri ini menjadi semakin rumit," kata Jupiter. Tampangnya saat itu membayangkan kepuasan. Ia biasanya kelihatan begitu pada saat menghadapi teka-teki yang benar-benar memusingkan kepala. Teka-teki yang menantang minta dipecahkan!
"Mengajari burung nuri, memerlukan kesabaran yang luar biasa," katanya setelah itu. "Jadi barang siapa yang melakukannya, mempunyai niat tertentu. Kita tidak tahu apa niat itu. Tapi kurasa Mr. Claudius mengetahuinya, dan karena itu kedua nuri dicuri olehnya."
"Astaga!" kata Bob kaget. "Mungkin bukan cuma Billy dan Bo-Peep saja nuri yang terlibat dalam perkara ini. Ingat saja tentang Blackbeard yang saat itu belum bisa dijual oleh si pedagang - serta betapa bergairah Mr. Claudius ketika mendengar tentang burung itu?"
"Aduh, ampun," keluh Pete. "Jika dua ekor nuri saja sudah membikin kita pusing tujuh keliling, bayangkan bagaimana kita jika menghadapi lebih banyak lagi!"
Biasanya mereka pasti akan tertawa mendengar kata-kata itu, tapi justru saat itu pula telepon berdering. Jupiter cepat-cepat menyambarnya, seolah-olah takut benda itu nanti terbang.
"Halo, di sini Jupiter Jones," katanya. "Ya, betul. Akulah yang mencari keterangan tentang... O ya, kau melihatnya? Tolong katakan dulu, apakah nomor mobil itu berakhir dengan angka tiga belas...? Tidak...? Wah, sayang-kalau begitu bukan mobil yang kami cari. Tapi bagaimanapun, terima kasih atas bantuanmu."
Gagang pesawat dikembalikannya dengan tampang kecewa.
"Seorang anak di Hollywood," katanya. "Tapi nomornya keliru."
Telepon berdering lagi. Sekali ini Jupiter ingat untuk mendekatkannya ke alat pengeras suara, supaya kedua kawannya bisa mengikuti pembicaraan. Ternyata yang menelepon seorang anak laki-laki di Santa Monica, yang mengatakan melihat sebuah mobil Ranger hitam kemarin malam. Diparkir di depan sebuah restoran. Tapi mobil itu sudah agak tua dan yang memakainya sepasang muda-mudi. Keliru lagi.
Keseluruhannya masih ada delapan anak lagi yang menelepon. Jupiter menanyai mereka dengan teliti. Tapi ternyata setiap kali bukan itu mobil yang dicari.
Hubungan hantu ke hantu tidak membawa hasil! Mereka masih tetap belum tahu apa-apa tentang di mana Mr. Claudius berada.

BAB 6
TAMU TAK TERDUGA

SEMENTARA mereka masih berpandang-pandangan dengan perasaan kecewa, terdengar suara bibi Jupiter memanggil-manggil. Mathilda Jones, bibinya itu, memiliki suara nyaring, sebanding dengan tubuhnya yang besar.
"Jupiter!" Terdengar suara Mrs. Jones dengan jelas. "Ini, ada yang mencari! Di mana lagi kau sekarang, Jupiter? Astaga - sejam yang lalu masih kulihat di sekitar sini. Ada seorang anak laki-laki yang ingin bertemu. Anak Meksiko!"
Mendengar kata 'anak Meksiko', ketiga remaja yang berada dalam trailer langsung teringat pada hal yang sama. Pedagang yang berjualan burung nuri, bicaranya dengan logat Meksiko!
Mereka bergegas-gegas ke Lorong Dua. Di lantai trailer ada satu bagian berbentuk bujur sangkar, yang bisa dibuka. Di bawahnya melintang sebuah pipa besi yang besar. Mereka masuk ke situ, lalu merangkak sejauh kira-kira sepuluh meter dalam pipa, sampai ke belakang terali besi. Pete yang paling depan menggeser terali itu ke samping. Ketiganya lantas merangkak keluar dari Lorong Dua. Kini mereka berada di belakang mesin cetak yang sudah usang, tapi sudah diperbaiki kembali. Dengan mesin cetak itulah Trio Detektif membuat kartu-kartu nama serta kepala surat mereka.
Mereka berada di bengkel Jupiter yang sebelah luar. Letaknya di suatu pojok kompleks tempat timbunan barang bekas. Tak ada yang bisa melihat mereka di situ, karena terlindung di balik tumpukan barang-barang tua. Di bawah atap yang tingginya hampir dua meter dari tanah, dan terpasang menempel pada sisi dalam pagar yang mengelilingi kompleks itu. Jupiter menaruh gergaji listrik, mesin bor serta peralatan lainnya. Semua berasal dari tumpukan barang rombengan yang dibeli oleh Paman Titus, dan kemudian diperbaiki sendiri oleh Jupiter.
Iklim daerah California Selatan bisa dibilang kering sepanjang tahun. Oleh karena itu mereka bisa bekerja terus di luar. Tapi kalau sekali-sekali hujan turun, ada lembaran plastik yang bisa diselubungkan untuk melindungi peralatan.
Bibi masih memanggil-manggil terus. Ketiga remaja itu mengitari beberapa tumpukan barang dan, muncul di bagian pusat tempat timbunan, dekat gerbang depan di mana kantor perusahaan itu terletak.
"Bibi tadi memanggil?" tanya Jupiter. Bibinya berpaling, ketika mendengar suaranya. Di belakang wanita itu nampak seorang anak laki-laki berbangsa Meksiko. Tingginya hampir sama dengan Bob. Pakaiannya robek-robek. Ia memegang tali kendali seekor keledai kerdil, yang menarik sebuah gerobak tua beroda dua.
"Anak ini ingin bertemu denganmu, Jupiter," kata Mrs. Jones. "Hari ini kau bisa agak santai. Tentu kau senang mendengarnya. Tapi besok akan banyak pekerjaan yang harus dilakukan, karena Titus kembali dari perjalanan berbelanja."
"Baik, Bibi Mathilda," kata Jupiter.
Setelah itu bibinya masuk ke dalam kantor. Sementara itu anak Meksiko tadi jelalatan, memandang berkeliling. Setelah itu ia berpaling menatap Jupiter. Itu memang biasa, karena bentuk tubuh Jupiter yang pendek gempal memang menarik perhatian.
"Senor Jupiter?" sapa anak itu dengan sopan.
"Namaku Jupiter Jones," sahut Jupiter.
"Dan aku Carlos," kata anak itu. Gaya bicaranya kentara sekali berlogat Meksiko. Beralun, nyaris seperti menyanyi. "Di mana au-to? Boleh aku melihatnya?"
"Au-to?" tanya Jupiter. Ia tidak mengerti. Tapi Pete tahu maksud anak Meksiko itu. "Ia bertanya, di mana Rolls-Royce," katanya. "Oh, Rolls-Royce! Ada di garasi," jawab Jupiter.
"Au-to emas!" kata Carlos. "Pasti sangat indah. Aku kepingin sekali melihatnya." Ia mulai nyengir. Tapi air mukanya dengan segera berubah lagi. Kelihatan takut. "Maaf, Senor Jupiter, tapi aku suka sekali pada mobil. Segala jenis mobil. Pada suatu hari nanti - kapan-kapan aku pun akan punya mobil!"
"Kau kemari untuk urusan mobil?" tanya Jupiter. Ia menoleh. Dilihatnya saat itu ada sebuah truk yang tidak begitu besar, masuk lewat gerbang depan. Hans dan Konrad, kedua pembantu pamannya baru datang. Mereka berasal dari Jerman. Tubuh mereka kekar.
"Ikut aku," kata Jupiter pada Carlos. Anak itu ragu-ragu sesaat. Kemudian diikatkannya tali kendali keledai ke sepotong pipa yang ada di situ. Sebelum menyusul Jupiter, Carlos menepuk-nepuk keledainya dengan sikap sayang.
"Sebentar saja, Pablo," katanya pada keledai itu.
Tak lama kemudian keempat remaja itu sudah duduk di bengkel luar. Carlos memandang berkeliling dengan mata terbuka lebar. Kelihatannya kagum melihat berbagai peralatan yang ada di situ.
"Carlos - kau datang ini tujuannya untuk memberi laporan tentang sebuah mobil Ranger hitam model sport?" tanya Jupiter.
Carlos mengangguk beberapa kali. Begitu cepat gerakannya, sehingga kepalanya kelihatan seakan nyaris terlepas. "Si, si si, Senor Jupiter," katanya mengiyakan. "Kemarin malam temanku Esteban datang ke rumah. Kata dia, seorang Senor Jupiter Jones ingin tahu tentang sebuah mobil Ranger, yang nomornya berakhir dengan angka-angka satu - tiga."
Trio Detektif menahan napas, sementara Carlos memandang mereka dengan mata terbuka lebar penuh harapan. "Dan -" di sini ia berhenti sejenak, "katanya untuk itu disediakan hadiah."
"Hadiah!" seru Pete dengan begitu keras, sehingga Carlos berubah menjadi kecut tampangnya. "Tentu saja ada! Tapi kau melihat mobil itu? Kau tahu sekarang di mana?"
"O ya, aku melihat mobil itu," kata Carlos. "Aku juga melihat laki-laki gendut. Tapi di mana dia sekarang, aku tidak tahu. Nanti dulu -" Carlos menghitung-hitung dengan jari, "satu - dua - tujuh hari yang lalu aku melihat laki-laki gendut dengan mobil itu."
"Tujuh hari yang lalu!" kata Pete dengan kecewa. "Itu kan tidak banyak gunanya. Bagaimana kau masih bisa ingat pada mobil yang kaulihat seminggu yang lalu?"
"Soalnya, aku suka sekali pada mobil," jawab Carlos. "Bahkan sampai termimpi-mimpi! Mobil Ranger hitam itu bagus sekali. Bisa kusebutkan nomornya. AK empat lima - satu - tiga! Tempat duduk semua berlapis kulit warna merah. Bumper kanan depan ada goresan sedikit. Bumper belakang agak penyok."
Kini mereka memandang anak Meksiko itu dengan hormat. Banyak anak laki-laki yang sanggup mengenali merek dan tahun buatan hampir setiap mobil yang dilihat. Tapi tidak banyak yang bisa mengingat begitu banyak hal setelah satu minggu, seperti Carlos.
"Dengan keterangan itu, polisi pasti bisa menemukannya," kata Jupiter sambil mencubit-cubit bibir. "Tapi kita sudah berjanji takkan menghubungi polisi. Setelah itu mobil tadi tidak kaulihat lagi Carlos?" Anak Meksiko itu menggeleng dengan sedih.
"Aku tak mendapat hadiah?" tanyanya. Ia mengeluh. "Tidak bisa naik mobil emas?"
"Mungkin masih bisa," jawab Jupiter. "Mula-mula aku ingin tahu dulu, bagaimana kau sampai bisa melihat mobil itu serta Mr. Claudius? Maksudku, laki-laki gendut itu?"
"Dia mendatangi pamanku, Paman Ramos," kata Carlos, "untuk urusan burung nuri."
"Burung nuri?" seru Pete. "Kalau begitu orang yang menjual Billy Shakespeare dan Little Bob-Peep itu pamanmu?"
Carlos mengangguk.
"Ya, begitu pula nuri yang lain-lainnya," katanya. "Semua yang namanya aneh-aneh itu."
"Nuri dengan nama aneh?" tanya Jupiter sambil saling berpandangan dengan Bob. Ternyata firasat Bob benar! Lebih banyak lagi burung nuri yang terlibat dalam perkara ini. "Kau masih ingat nama-nama kesemuanya?" Carlos menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong. Kemudian ia mengangguk. "Ya, aku ingat," katanya. "Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep." Trio Detektif mengangguk serempak. "Yang itu sudah kami ketahui," kata Pete. "Lalu Sherlock Holmes dan Robin Hood," sambung Carlos. "Sherlock Holmes dan Robin Hood," ulang Bob sambil mencatat. "Captain Kidd dan Scarface," tambah Carlos. "Scarface, matanya tinggal satu." Bob mencatat terus.
"Jadi enam ekor," katanya kemudian. "Masih ada lagi?"
"O ya, betul." Wajah Carlos berseri. "Masih ada yang hitam. Blackbeard si Bajak Laut yang paling pintar bicara. Tujuh ekor nuri, semua dengan jambul kuning yang indah. Kecuali Blackbeard - dia tidak punya jambul kuning."
"Blackbeard si Bajak Laut!" ucap Bob sambil mencatat nama itu. "Itu yang disebutkan oleh Mr. Fentriss, yang menyebabkan Mr. Claudius menjadi begitu gelisah. Wah, Jupe - menurut perkiraanmu, apakah ketujuh-tujuhnya terlibat dalam urusan yang sedang kita selidiki?"
"Kita lihat saja nanti," jawab Jupiter. "Carlos, katamu tadi laki-laki gendut itu mendatangi pamanmu seminggu yang lalu untuk mendapatkan ketujuh burung nuri itu?"
"Betul, dia menghendakinya."
"Lalu diberikan oleh pamanmu?"
"Tidak, Senor." Tampang Carlos kini nampak sedih. "Paman Ramos - dia sudah menjual burung-burung itu sebelumnya. Laki-laki gendut bersedia membayar seribu dollar untuk mereka. Tapi burung-burung itu sudah dijual oleh Paman Ramos. Lalu laki-laki gendut itu marah-marah pada Paman, karena Paman mengatakan tidak ingat lagi pada siapa ia menjual mereka. Paman tidak bohong! Soalnya, pamanku buta huruf. Jadi burung dijual, dan untuk itu ia menerima pembayarannya."
"Rupanya sejak itulah Mr. Claudius sibuk mencari burung-burung nuri itu, dan kemudian entah kenapa lalu mencuri nuri yang berhasil dijumpai lagi," kata Jupiter pada kedua rekannya. "Ternyata hubungan hantu ke hantu kita membawa hasil, karena banyak sekali informasi baru yang kita peroleh. Walau kita masih tetap belum tahu, di mana Mr. Claudius kini berada."
"Kalau menurut pendapatku, terlalu banyak informasi yang kita kumpulkan," kau Pete dengan nada suram. "Kita mulai dengan tugas mencari seekor nuri yang hilang. Lalu ditambah satu lagi, jadi dua. Sekarang pasti kau sudah berpikir-pikir hendak mencari ketujuh-tujuhnya!"
Jupiter tidak membantah sangkaan itu.
"Ketujuh-tujuhnya merupakan bagian dan teka-teki yang sama," katanya. "Untuk memecahkannya, kita perlu menemukan mereka semua."
"Tapi kita kan cuma berjanji untuk menemukan kembali Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep," kata Pete lagi. "Kan tidak disinggung-singgung soal memecahkan misteri aneh."
Bob tahu bahwa percuma saja Pete memprotes panjang-lebar. Dan Pete sendiri juga menyadarinya. Kalau Jupiter Jones sudah menghadapi teka-teki yang pelik, sama saja seperti memberikan tulang pada seekor anjing bulldog. Takkan dilepaskan sampai selesai sama sekali.
Sementara itu Jupiter sudah berpaling lagi ke anak Meksiko yang duduk di depannya.
"Carlos, kami berterima kasih atas informasimu ini - tapi kenapa kau tidak menelepon saja?" tanyanya. "Kenapa harus repot-repot datang ke Rocky Beach naik gerobak keledai?"
"Aku berharap akan bisa membawa pulang hadiahku, dengan gerobak itu," kata Carlos. "Lagipula, aku tidak punya uang untuk menelepon, Senor Jupiter."
Ketiga remaja itu saling berpandangan. Timbul pikiran serupa dalam benak masing-masing. Mereka pun kadang-kadang kekurangan uang. Tapi mereka selalu menerima uang saku, atau kalau tidak, bisa mencari penghasilan
tambahan dengan jalan melakukan salah satu tugas di tempat timbunan barang bekas milik paman dan bibi Jupiter. Sulit rasanya membayangkan, ada juga orang yang sama sekali tidak punya uang. Bob melihat Jupiter meneguk ludah beberapa kali karena terharu, ketika memperhatikan betapa kurus tubuh Carlos.
"Aku mengerti," katanya kemudian. "Yah, karena kau sudah menyampaikan sejumlah informasi yang sangat berharga, sudah sepantasnya jika kau menerima hadiah. Tapi sebetulnya yang kami harapkan adalah mengetahui di mana mobil itu, dan dengan demikian juga tahu di mana tempat tinggal Mr. Claudius."
"Di mana laki-laki gendut itu tinggal?" Tampang Carlos berseri-seri lagi. "Ah, sekarang aku mengerti."
Carlos merogoh-rogoh kantong.
"Ketika dia pergi, dia menjanjikan akan membayar banyak pada Paman Ramos, apabila Paman bisa ingat kembali ke mana saja ia menjual ketujuh burung nuri itu," katanya, lalu menyodorkan selembar kartu nama pada Jupiter. "Ia meninggalkan kartu nama ini."
Jupiter memperhatikan kartu itu. Di situ tertera nama dan alamat Mr. Claudius. Kini ternyata, hubungan hantu ke hantu sukses besar!
Ketiga anggota Trio Detektif saling berdesakan, ingin membaca sendiri tulisan yang tertera di atas kartu nama itu. Saat itu sebuah lampu merah yang terpasang di atas mesin cetak menyala. Jupiter yang memasang lampu itu di situ, supaya bisa dengan segera tahu apabila pesawat telepon di Markas Besar berdering. Dan kini ada orang menelepon. Dengan cepat Jupiter mengambil keputusan.
"Carlos," katanya, "pejamkan matamu!"
"Si, Senor Jupiter," kata Carlos menurut. Ia memejamkan mata.
"Pete, kau tinggal di sini bersama Carlos. Aku ada urusan sedikit, bersama Bob. Sebentar lagi kami sudah kembali."
Sementara Carlos berdiri dengan mata terpejam, kedua remaja itu cepat-cepat menyusup masuk ke dalam pipa besi yang merupakan Lorong Dua, menuju ke Markas Besar. Sesampai di dalam, Jupiter langsung menyambar gagang pesawat telepon.
"Halo," terdengar suara wanita di seberang sambungan. Wanita itu bicara dengan suara lirih sekali, seolah-olah takut terdengar orang lain. "Kau yang bernama Jupiter Jones - anak yang ingin mengetahui di mana mobil Mr. Claudius?"
"Betul, Ma'am," jawab Jupiter dengan sopan. "Anda tahu di mana mobil itu sekarang?"
"Ya, disimpan di suatu tempat yang tak mungkin dilihat orang lain!" Nada suara wanita itu seakan-akan dia marah. "Dan kau lebih baik jangan terus mencari Mr. Claudius! Orangnya pemarah sekali - berbahaya apabila ia dihalang-halangi. Apa pun yang kaulakukan, pokoknya jauhi Mr. Claudius. Jangan campuri urusannya!"
Setelah itu hubungan diputuskan. Jupiter saling berpandangan dengan Bob. Jupiter masih memegang kartu nama, di mana tertera dengan jelas alamat Mr. Claudius. Tapi setelah kata-kata wanita tadi -
Dengan gerakan lambat, Jupiter mengantongi kartu nama itu.
"Kita harus memberikan hadiah yang dijanjikan pada Carlos," katanya setelah membisu sesaat. "Setelah itu kita datangi rumahnya, untuk mengetahui apa saja yang bisa diceritakan oleh pamannya. Aku yakin, saat ini kita sudah nyaris bisa mengetahui banyak hal. Sesudah itu - yah, sesudah itu cukup banyak waktu untuk mempertimbangkan apa yang akan kita lakukan mengenai Mr. Claudius."
Beberapa jam kemudian nampak iring-iringan yang aneh, menyusur jalan pantai ke arah selatan. Rolls-Royce kuno yang besar, yang bagian-bagiannya berlapis emas meluncur sebelah depan, tentu saja dikemudikan oleh Worthington, supir anggun yang berbangsa Inggris. Sedang Jupiter duduk di jok belakang bersama Pete dan Carlos. Bob harus bekerja di perpustakaan, jadi tidak bisa ikut.
Carlos sulit sekali bisa menahan kegembiraannya. Tangannya tak henti-hentinya mengelus-elus lapisan emas, menyentuh kulit pelapis tempat duduk. Matanya menatap ke pesawat telepon berlapis emas, yang merupakan perlengkapan mobil mewah itu.
"Mobil emas," kata Carlos berulang-ulang. "Bukan main bagusnya! Sama sekali tak kusangka, aku akan naik mobil kayak begini!"
Sudah jelas bahwa Carlos menyukai mobil. Setiap mobil yang berpapasan dengan mereka langsung bisa dikenali merek serta tahun produksinya. Tak peduli betapa cepat kendaraan itu lewat, tetap bisa dikenali olehnya. Ia bercerita pada Pete dan Jupiter, kalau besar nanti ia ingin menjadi montir mobil dan memiliki bengkel sendiri.
Di belakang Rolls-Royce menyusul truk kecil yang dikemudikan oleh Konrad. Truk itu kepunyaan Paman Titus, dan ikut dalam iring-iringan itu karena mengangkut hadiah yang dijanjikan Trio Detektif pada Carlos. Tapi mereka agak heran, setelah melihat apa-apa saja yang dipilih anak Meksiko itu dari sekian banyak benda yang bertumpuk-tumpuk di tempat timbunan barang bekas. Ia meminta beberapa potong papan, sebuah pintu, jendela, serta sejumlah paku. Katanya, untuk membetulkan rumah tempat dia tinggal bersama pamannya. Rumah itu sudah perlu sekali diperbaiki.
Sementara itu Jupiter sudah membisikkan pada bibinya, bahwa Carlos serta paman anak itu tidak punyai uang. Mrs. Jones, ternyata bukan cuma tubuhnya saja yang besar. Hatinya pun begitu pula. Rendah sekali nilai harga yang ditentukannya untuk barang-barang yang dipilih Carlos. Begitu murah ia menaksirnya, sehingga dari uang sebanyak 25,13 dollar yang merupakan utangnya pada Trio Detektif, masih tersisa lima dollar. Uang itu diserahkannya pada Carlos.
Tapi barang-barang sebanyak itu ditambah lagi dengan cat satu kaleng, ketika sudah dimuat ke gerobak kecil, ternyata terlalu berat bagi Pablo, keledai kerdil yang harus menghela gerobak itu. Namun kemudian Hans dan Konrad, kedua pembantu Paman Titus, menemukan akal yang baik. Gerobak itu, sekaligus dengan muatannya serta Pablo dinaikkan ke atas bak belakang truk. Dan kini Pablo naik truk yang meluncur di jalan di belakang Rolls-Royce. Binatang kerdil itu memandang ke kiri dan kanan dengan heran, memperhatikan segala benda yang dilewati.
Akhirnya iringan itu masuk ke suatu perkampungan miskin. Rumah-rumah yang ada di situ semuanya serba kecil dan reyot. Di sana-sini ada lapangan yang ditanami sayur-mayur. Di situlah daerah tempat tinggal Carlos. Segerombolan anak-anak datang berlari-lari untuk menonton mobil mewah yang datang. Carlos melambaikan tangan pada mereka.
"Jose!" serunya. "Esteban! Margarita! Lihatlah - aku naik mobil emas!"
Dengan cepat sudah banyak sekali anak-anak mengerubungi mobil, sehingga kendaraan itu terpaksa dihentikan oleh Worthington. Anak-anak yang berpakaian lusuh itu semua mengulurkan tangan, ingin menyentuh Rolls-Royce keemasan itu. Tapi tidak jadi, karena dibentak oleh Carlos dalam bahasa Spanyol.
"Kita lanjutkan perjalanan, Master Jones?" tanya Worthington. Rupanya orang itu tidak pernah menunjukkan sikap marah, biar apa pun yang terjadi.
"Nanti dulu, Worthington," jawab Jupiter. "Truk kita masih ketinggalan di belakang. Jangan sampai mereka tersesat."
Sambil menunggu, Carlos menuding ke arah seberang suatu lapangan kosong. Agak jauh dari situ nampak sebuah gubuk reyot, dengan sebuah bilik kaca yang sudah tua di belakangnya.
"Di sanalah aku tinggal," katanya. "Aku bersama Paman Ramos. Kita bisa jalan kaki ke sana. Tidak perlu naik mobil bagus ini. Jalan ke sana buruk sekali."
Jupiter setuju saja. Ketiga remaja itu lantas turun dari mobil.
"Terima kasih, Worthington," ucap Jupiter. "Anda tidak perlu menunggu kami. Nanti kami pulang dengan truk, ikut Konrad."
"Baik, Master Jones," kata Worthington. Rolls-Royce berjalan lagi meninggalkan ketiga remaja itu. Sesaat kemudian truk datang. Jupiter menunjukkan tempat gubuk Carlos pada Konrad.
"Kita ke sana, Konrad," serunya. Pemuda Jerman yang kekar itu mengangguk. Kemudian ketiga remaja itu berjalan kaki menuju tempat tinggal Carlos. Semakin didekati, semakin nampak betapa parah keadaan gubuk itu. Satu dindingnya sudah hampir ambruk sama sekali. Satu jendela sudah tidak ada lagi. Begitu pula pintunya.
Carlos rupanya bisa menebak pikiran kedua remaja yang berjalan di sisinya.
"Dulu ketika pamanku datang dari Meksiko, dia tidak punya uang sama sekali," katanya menjelaskan. "Cuma di tempat beginilah ia mampu tinggal. Sewanya lima dollar sebulan."
Sambil berkata begitu Carlos menepuk-nepuk kantong di mana ia menaruh uang lima dollar yang diterimanya dari Mrs. Jones tadi.
"Sekarang aku bisa membayar sewa untuk satu bulan lagi," katanya berbahagia. "Rumah akan kuperbaiki, supaya batuk Paman Ramos sembuh dan dia bisa bekerja kembali."
Sementara asyik bercakap-cakap, mereka sampai di bagian belakang gubuk itu. Di jalan yang terdapat di depan nampak diparkir sebuah mobil. Mobil sedan hitam yang biasa saja. Tapi kening Carlos langsung berkerut.
"Siapa lagi yang mendatangi Paman Ramos?" tukasnya. "Aku punya firasat tidak enak." Ia lantas bergegas-gegas, disusul oleh Pete dan Jupiter. Kemudian terdengar seseorang marah-marah. Suara itu datang dari dalam gubuk.
"Itu kan suara Mr. Claudius," kata Pete.
"Ayo bilang!" Terdengar suara Mr. Claudius berseru. "Bilang, Orang tua konyol - kalau tidak ingin lehermu kupuntir!"
"Paman Ramos!" seru Carlos. "Paman diapakan oleh si gendut?" Carlos mendobrak masuk ke rumah, disusul oleh Pete dan Jupiter. Mereka sempat melihat Mr. Claudius membungkuk membelakangi mereka, menghadap tempat tidur di mana berbaring seorang laki-laki. Mereka langsung menduga, pasti itu paman Carlos. Ia terbatuk-batuk. Dilihat sepintas, seolah-olah saat itu ia sedang dicekik oleh laki-laki gendut yang agak membungkuk di sisinya.
"Kau harus ingat!" teriak Mr. Claudius. "Biar kau tidak bisa ingat pada siapa kau menjual nuri yang lain-lainnya, tapi tentang Blackbeard kau harus ingat! Sesudah yang enam kaujual, dia masih ada padamu. Sekarang sudah empat ekor yang berhasil kuperoleh, dan yang lain-lainnya pasti akan kutemukan pula! Tapi Blackbeard harus kuperoleh. Aku yakin, kau pasti tahu di mana burung itu sekarang!"
Carlos menerpa kaki si gendut. Tapi Mr. Claudius sempat mendengar geraknya dan berpaling dengan cepat. Dengan satu tangan saja disambarnya anak Meksiko itu. Tahu-tahu Carlos sudah menggelepar dengan kaki terangkat dari lantai, sedang kerah kemejanya dicengkeram oleh Mr. Claudius.
"Jangan maju," kata Mr. Claudius dengan nada tenang tapi mengancam, ketika dilihatnya Pete dan Jupiter agak ragu. "Kalau berani maju, kupuntir leher jago kate ini. Setelah itu menyusul leher kalian."
Tepat saat itu baju Carlos robek bagian kerahnya. Anak itu jatuh, tapi langsung dia memeluk betis si gendut. Pete dan Jupiter maju serentak untuk membantunya. Pete berusaha mengepit pinggang Mr. Claudius, sedang Jupiter meniru Carlos, dipeganginya betis si gendut yang satu lagi.
Tapi biar nampak gendut, ternyata orang itu bertenaga besar. Dengan gampang saja Carlos disepaknya ke samping. Setelah itu memutar tubuh sehingga pegangan Pete dan Jupiter terlepas. Kedua remaja itu terpental jauh. Dan sebelum mereka sempat berdiri lagi, orang itu sudah lari ke luar.
Mereka cuma sempat melihat dia meloncat masuk ke dalam sedan yang langsung meluncur pergi. Sementara itu Konrad datang dan memarkir truk di belakang tempat sedan tadi. Tapi ia tidak berbuat apa-apa, karena memang tidak tahu-menahu.
"Coba kita tadi bisa menahan dia, sampai Konrad datang," keluh Pete sambil mengibas-ngibaskan debu dari pakaiannya.
"Atau jika kita tadi tidak menyuruh Worthington pergi, kita bisa mengejarnya," tambah Jupiter, sementara mereka memperhatikan sedan hitam itu menghilang di balik tikungan. "Tapi kita kan tahu nama dan alamatnya."
"Ya, bagus," kata Pete. "Dengan begitu kita tahu, ke daerah mana dari kota ini kita tidak boleh datang. Mr. Claudius itu tidak suka pada Trio Detektif."
"Dia marah dan kemarahannya disebabkan oleh rasa takut," kata Jupiter padanya. "Sekarang dia takut pada kita. Dengan begitu kita sudah menang sedikit."
"Dia takut pada kita?" seru Pete dengan nada bingung. "Menurut pendapatmu, lalu bagaimana perasaan kita terhadap dia?"
"Gugup, tapi penuh keteguhan hati."
"Kalau kata yang pertama, aku sependapat."
Keduanya lantas berpaling dari pintu. Nampak Carlos sedang memberi minum pada pamannya, supaya serangan batuknya terhenti.
Pete menegakkan sebuah kursi yang terguling. Itu satu-satunya kursi yang ada di situ. Kemudian dihampirinya tempat tidur, seiring dengan Jupiter. Carlos berpaling.
"Terima kasih," ucapnya, "atas bantuan kalian mengusir si gendut tadi. Ia datang untuk memaksa Paman Ramos agar mengatakan ke mana Paman menjual nuri yang diberi nama Blackbeard. Tapi Paman tidak bisa mengatakannya, karena ia tidak ingat lagi. Ia cuma tahu, seorang nyonya yang tinggalnya dua blok, tiga blok, atau mungkin juga empat blok dari sini. Tapi siapa namanya, Paman tidak tahu. Nuri itu dibeli dengan harga cuma lima dollar, karena tak ada orang lain yang mau membeli. Dan si gendut ingin sekali mendapatkan burung itu."
"Ya, betul," kata Pete. "Rupanya dia mengetahui sesuatu tentang burung-burung itu. Sesuatu yang tidak kita ketahui."
"Ya, sesuatu yang menyebabkan mereka begitu berarti baginya," kata Jupiter. "Aku ingin tahu apa yang -" Kalimatnya terpotong oleh Konrad, yang saat itu menjengukkan kepala di pintu. "Sekarang saja aku menurunkan barang-barang?" tanya pemuda Jerman itu.
"Ya, tumpukkan saja di samping rumah," kata Jupiter. Kemudian ia melihat seseorang berdiri di belakang Konrad. Seorang wanita tua menjinjing sebuah kotak kardus yang berlubang lubang. "Siapa itu?" tanyanya.
"Seorang nyonya yang tadi berjalan kaki ke arah sini. Aku membawanya kemari," kata Konrad. "Baiklah, sekarang barang-barang itu kuturunkan."
Ia menepi sedikit, dan wanita tua yang tadi berdiri di belakangnya maju ke pintu. Wanita itu memandang Pete dan Jupiter dengan sikap curiga.
"Siapa kalian?" tanyanya. "Mana Ramos, bandit itu?"
Carlos menyela di antara kedua anggota Trio Detektif.
"Paman sakit," katanya. "Namaku Carlos. Anda mau apa?"
"Minta uangku kembali!" ujar wanita itu dengan tandas. "Pamanmu menjual burung ini padaku. Katanya burung nuri yang jarang ada. Tapi menantu laki-lakiku mengatakan aku ditipu, karena ternyata bukan nuri. Katanya, ini sejenis jalak. Lagi pula kata-kata yang diocehkannya tidak pantas didengar!"
Sambil berkata begitu, wanita tua itu menyodorkan kotak yang dijinjingnya ke tangan Carlos.
"Sekarang kembalikan uangku yang lima dollar!" katanya. "Aku tidak suka ditipu. Bayangkan, burung jalak dibilang nuri!"
Air muka Carlos suram. Kotak diserahkannya pada Pete, lalu ia merogoh kantong dengan pelan-pelan. Diambilnya lembaran uang lima dollar yang dilipat beberapa kali, yang tadi diterimanya dan Mrs. Jones. Pete dan Jupiter tahu, betapa besar arti uang itu bagi Carlos. Cuma itu saja uang yang dimilikinya. Tapi Carlos masih bisa tersenyum, sambil menyerahkan uang itu pada wanita yang sedang marah-marah.
"Maaf, Senora, " katanya. "Paman sedang sakit. Jadi bisa saja ia keliru. Ini uang Anda."
"Burung jalak - hahh!" tukas wanita tua itu, lalu pergi dengan marah. Sementara itu Carlos berpaling memandang Pete dan Jupiter.
"Pasti itu Blackbeard," katanya. "Bicaranya begitu pintar, sehingga aku serta pamanku merasa pasti dia tentu sejenis nuri yang jarang ditemukan."
Carlos membuka kotak itu. Seekor burung hitam, bertubuh kecil dengan paruh besar berwarna kuning menggeraikan bulu-bulu tubuhnya. Sayapnya dikelepak-kelepakkan, lalu terbang melayang dan hinggap di bahu Pete.
"He, ini bukan jalak - topi burung beo!" seru Jupiter. "Burung jenis ini memang bisa diajar bicara - bahkan lebih pintar daripada nuri. Beo yang terlatih baik mahal sekali harganya."
"Aku Blackbeard si Bajak Laut!" teriak beo itu dengan tiba-tiba. Suaranya parau, cocok apabila mengaku bajak laut. "Hartaku kupendam di tempat orang mati menjaganya terus! Yo-ho-ho dan tuak satu botol!"
Setelah itu menyusul serangkaian kata-kata. Kalau orang tua Pete atau paman dan bibi Jupiter mendengarnya, pasti mereka akan menutup kuping. Tapi kedua remaja itu tidak begitu memperhatikan, karena ada hal lain yang menyebabkan perasaan mereka bergolak.
"Blackbeard!" seru Jupiter. "Burung yang dicari-cari Mr. Claudius. Dan kini ada di tangan kita!"
Saat itu Blackbeard memandang berkeliling. Rupanya merasa lapar. Ketika melihat daun telinga Pete begitu dekat, langsung dipatuk. Tentu saja Pete terpekik kesakitan dan menepiskan burung iseng itu. Blackbeard menggerakkan sayap, lalu melayang tinggi ke udara.
"Dia terbang!" kata Jupiter. "Aduh, Pete - kau menyebabkan salah satu petunjuk kita yang berharga lenyap!"
"Dan dia menyebabkan aku kehilangan beberapa tetes darah yang berharga!" gumam Pete. Diambilnya sapu tangan dan ditempelkannya ke daun telinga yang berdarah. Tapi dalam hati Pete menyesal. Ocehan beo tadi mengenai harta terpendam serta orang mati yang menjaganya, merupakan teka-teki yang lebih hebat kalau dibandingkan dengan ucapan-ucapan Billy Shakespeare dan Bo-Peep. Pete merasa bahwa rekannya yang bertubuh gempal memang benar. Satu petunjuk yang sangat penting terlepas dari tangan mereka.
Dan dia - Pete yang mengusirnya!

BAB 7
HARTA MISTERIUS

SEMENTARA itu Carlos sudah berhasil meredakan serangan batuk pamannya, sehingga Paman Carlos bisa bicara tanpa terbatuk-batuk. Paman Carlos merebahkan diri di tempat tidur sambil berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Jupiter. Tapi baginya lebih mudah jika berbicara dalam bahasa Spanyol. Jadi akhirnya Carlos yang bercerita, sementara pamannya sekali-sekali mengangguk sambil mengatakan, "Si, si. "
"Paman Ramos datang ke sini dua tahun yang lalu," kata Carlos. "Ia datang dari Meksiko, naik gerobak yang dihela si Pablo. Pamanku ahli menanam kembang. Tapi ia tidak berhasil mendapat pekerjaan di sini. Lalu ada orang yang bercerita padanya tentang tempat ini, yang ada bilik kaca yang sudah tua, dan kacanya banyak yang pecah. Paman menyewanya dengan harga lima dollar sebulan, lalu menanam kembang di sini!"
Pete dan Jupiter mengangguk. Melihat keadaan gubuk yang sudah bolong-bolong, sewa lima dollar sebulan saja sudah terlalu mahal.
"Paman Ramos membetulkan bilik kaca. Ditambalnya kaca-kaca yang pecah dengan kaleng-kaleng tua yang dipipihkan. Kembang-kembang ada yang ditanamnya di luar. Sedang yang istimewa dan jarang didapat, disemaikannya dalam bilik kaca. Kembang yang sudah mekar dipetik, lalu diangkut dengan gerobak ke kota untuk dijual di sana."
"Si, si, " kata Paman Ramos sambil mengangguk. Betul, katanya.
"Lalu pada suatu hari, seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung datang kemari. Orang itu namanya John Silver. Katanya ia datang dari Inggris. Badannya lemah. Ia sakit dan uangnya sedikit. Ia minta pada Paman Ramos agar diperbolehkan tinggal di sini. Pamanku bilang boleh. Senor Silver cuma punya beberapa potong pakaian dalam sebuah kantong pelaut, serta sebuah kotak. Kotak logam. Bentuknya panjang, tipis, tapi lebar. Kayak begini bentuknya." Carlos mengembangkan tangannya dua kali dengan arah yang menunjukkan panjang dan lebar, sementara pamannya terangguk-angguk sambil mengatakan, "Si, si!" Jupiter melakukan penaksiran kilat.
"Sekitar tiga puluh lima kali enam puluh senti," katanya. "Teruskan, Carlos. Banyak sekali informasi yang bisa kauberikan pada kami."
"Kotak itu ada kuncinya. Kunci yang kokoh," kata Carlos meneruskan keterangan. "Senor Silver kalau tidur, tak pernah lupa menaruh kotak itu di bawah kasur. Setiap malam kotak itu dibuka olehnya, dan ia memandang ke dalam. Pada saat begitu ia kelihatan bahagia."
Sekali lagi pamannya mengangguk sambil berkata, "Si, si. Bahagia sekali!"
"Paman Ramos pernah bertanya pada Senor Silver, apa isi kotak itu. Tapi Senor Silver cuma tertawa, lalu berkata -" Di sini Carlos tertegun sejenak. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang ditutupi rambut hitam gondrong. Rupanya sedang mencoba mengingat kembali kata-kata yang diucapkan - "dia bilang begini, 'Kotak ini berisi sepotong ujung pelangi, yang di bawahnya ada guci berisi emas'. Begitu dia bilang."
"Sepotong ujung pelangi, yang di bawahnya ada guci berisi emas," ulang Jupiter. Mukanya yang bulat menggerenyot karena kesibukan berpikir. "Keterangan misterius. Teruskan, Carlos."
"Setelah itu Paman Ramos jatuh sakit," kata Carlos. "Ia terserang penyakit batuk. Karenanya aku lantas disuruhnya datang. Aku membonceng berbagai kendaraan untuk bisa kemari. Aku sudah berusaha membantu, tapi sayang tidak punya pengalaman mengurus kembang. Aku tak berguna bagi Paman."
"Kau anak baik!" kata pamannya dalam bahasa Inggris. "Anak baik. Rajin!"
"Terima kasih, Paman." Tampang Carlos nampak cerah kembali. "Pokoknya, saat itu Senor Silver juga sakit. Dikatakannya, sakitnya itu dari dalam. Tidak bisa hilang. Aku lantas bertanya, kenapa tidak diambilnya saja guci emas dari bawah pelangi yang katanya ada dalam kotak, dan dengan itu pergi ke dokter yang ahli. Senor Silver tertawa. Tapi kemudian tampangnya menjadi sedih. Katanya padaku, dia tidak berani. Katanya -" Carlos menarik napas panjang, sambil mengingat-ingat, "katanya, jika ia mencoba menjual guci emas yang ada dalam kotak, ia nanti harus menyebut namanya yang sebenarnya, serta menjelaskan dari mana ia mendapatnya. Tapi ia datang ke sini dengan jalan menyelundup. Jadi pasti ia akan dipulangkan ke Inggris, di mana ia dicari untuk dipenjarakan. Jadi ia terpaksa tinggal di sini tanpa uang, dan menikmati potongan pelangi selama masih bisa. Kemudian ia mengatakan tidak apa, sebentar lagi ia toh akan pergi."
Saat itu wajah Carlos mendung kembali.
"Mula-mula aku tak mengerti maksudnya," katanya menyambung cerita. "Tapi pada suatu hari, Senor Silver membawa pulang tujuh ekor burung nuri yang masih muda, terkurung dalam tujuh sangkar. Ketujuh burung itu ditaruhnya dalam bilik kaca, di nama setelah itu ia mulai mengajari mereka bicara."
Pete dan Jupiter berpandang-pandangan. Minat mereka semakin bertambah. Nah, sekarang mereka akan mendengar sesuatu yang mungkin bisa menyibakkan teka-teki ketujuh burung nuri.
"Senor Silver sangat pintar mengajar burung," kata Carlos lagi. "Waktu ia datang, burung beo sudah ada bersama dia. Ke mana saja ia pergi, Blackbeard selalu ikut sambil bertengger di pundaknya serta mengumpat-umpat. Senor Silver selalu tertawa mendengar burung itu memaki-maki. Nah, dalam bilik kaca, ia mengajari burung-burung itu bicara. Tiap burung diajari kalimat yang lain. Masing-masing diberi nama yang aneh. Aku tidak mengerti artinya."
"Kebanyakan daripadanya berasal dari kesusasteraan atau sejarah Inggris," kata Jupiter. "Karena itu kau tidak kenal. Kau masih ingat apa saja kalimat-kalimat yang diajarkan olehnya?"
"Tidak," kata Carlos. Ia mengeluh. "Terlalu sulit bagiku untuk mengingatnya. Tapi pada suatu hari salah satu nuri mati. Senor Silver bingung karenanya. Lalu katanya, Blackbeard harus mengambil alih peran - menjadi dobel. Aku tidak mengerti maksudnya."
"Di Hollywood sini, setiap orang tahu arti kata itu," sela Pete. "Dobel adalah orang yang menggantikan pemain utama dalam melakukan adegan-adegan tertentu."
"Yah, pokoknya dia menyelesaikan pengajaran terhadap keenam nuri yang berjambul kuning serta pada yang hitam. Kata Senor Silver, burung itu merupakan nuri jenis lain."
"Padahal seekor beo," kata Jupiter. "Lalu apa yang terjadi setelah itu?" Carlos membentangkan lengan, sebagai tanda bahwa ia tidak tahu.
"Senor Silver pergi," katanya. "Ia pergi malam-malam. Kotak logam dibawanya. Tiga hari ia tidak pulang. Namun ketika ia muncul lagi, tubuhnya sudah lemah sekali. Sakitnya semakin parah. Dan kotak logam tidak ada lagi padanya. Katanya, sudah disembunyikan. Katanya pula, sebentar lagi ia harus pergi. Kotak berisi potongan pelangi tidak diberikannya pada kami, karena nanti cuma akan menyusahkan saja. Lalu ia menulis surat. Panjang sekali surat itu. Aku dimintai pertolongan untuk mengeposkan."
"Kau masih ingat, dialamatkan pada siapa?" tanya Jupiter bersemangat. Tapi Carlos menggelengkan kepala.
"Tidak, Senor Jupiter. Tapi sampulnya dibubuhi perangko banyak sekali. Sampulnya juga istimewa, pinggirnya ada seterip-seterip merah dan biru."
"Pos udara," tebak Pete.
"Dan mungkin ke Eropa, karena begitu banyak perangkonya," tambah Jupiter.
"Kata Senor Silver, tak lama lagi ia akan pergi. Maksudnya mati! Ia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya, orang di rumah sakit takkan bisa menyembuhkan penyakitnya. Katanya, ia ingin mati di tengah lingkungan kawan." Suara Carlos lirih sekali. Rupanya ia terkenang pada kejadian yang menyedihkan itu.
"Senor Silver itu aneh orangnya," katanya kemudian. "Kelakarnya aneh. Kalau bicara seperti berteka-teki. Burung nuri diajarinya mengucapkan kalimat-kalimat aneh. Tapi walau begitu, dia kawan kami. Kami tahu, dia baik hati!" Carlos terdiam sesaat. Lalu melanjutkan kisahnya.
"Kata Senor Silver, tak lama lagi akan datang seorang laki-laki yang tubuhnya gendut sekali. Orang itu akan memberi kami uang seribu dollar. Sebagai imbalannya, kami harus menyerahkan ketujuh burung yang pandai bicara itu padanya. Senor Silver tertawa keras-keras ketika mengucapkan kata-kata itu. Katanya itu leluconnya yang paling hebat. Selama hidupnya, belum pernah ia membuat lelucon sehebat itu. Katanya lagi, lelucon itu akan membuat si gendut bercucuran keringat. Kemudian ia masuk ke tempat tidur, sambil tertawa-tawa terus. Namun keesokan harinya - keesokan paginya ia tidak bangun lagi. Senor Silver tidur untuk selama-lamanya."
Remaja Meksiko itu menelan ludah, menahan rasa haru. Baik Pete maupun Jupiter bisa merasakan kesedihannya.
"Tapi laki-laki gendut itu tidak datang-datang?" tanya Jupiter kemudian. Carlos menggeleng.
"Karena Senor Silver teman kami, kami lantas menguruskan sehingga ia dimakamkan di pemakaman gereja yang di jalan ini juga. Kami memang tidak punya uang, tapi kami berjanji akan segera membayar biayanya. Setelah itu kami menunggu. Seminggu. Dua minggu. Tiga minggu. Tapi laki-laki gendut itu tidak datang-datang juga. Akhirnya kami beranggapan, dia pasti takkan datang. Lalu Paman Ramos mengangkut burung-burung yang pandai bicara itu dengan gerobak keledai ke Hollywood, dan di sana berusaha menjual mereka dari rumah ke rumah. Ternyata burung-burung itu ada peminatnya, sehingga semua bisa dijual dalam satu hari saja. Hasilnya tidak banyak, tapi memadai untuk membayar ongkos pemakaman Senor Silver. Sayang tidak cukup untuk membetulkan rumah ini."
Akhirnya Carlos tersenyum.
"Tapi aku sekarang punya papan, paku, dan pintu," katanya. "Rumah bisa kubetulkan. Tak lama lagi Paman Ramos pasti akan sembuh, jadi kami tak apa-apa lagi. Wah - aku harus mengucapkan beribu-ribu kali terima kasih, Senor Jupiter."
"Tidak perlu, karena kau sudah sepantasnya menerima hadiah itu," jawab Jupiter dengan serius. "Bahkan lebih banyak lagi, jika kami memilikinya. Dan akhirnya, laki-laki gendut itu jadi datang, ya?"
"O ya," kata Carlos sambil mengangguk. Si sakit yang terkapar di tempat tidur ikut menimbrung dengan "Si! Si!"
"Dua minggu setelah burung-burung kami jual, akhirnya ia datang. Langsung marah-marah! Paman Ramos dihinanya karena tidak bisa membaca dan menulis, sehingga tidak tahu pada siapa saja burung-burung itu dijual. Paman Ramos lantas menyuruhnya pergi, dan jangan kembali lagi. Setelah itu si gendut merengek-rengek. Aku meminjam peta kota dari stasiun pompa bensin, lalu Paman Ramos menunjukkan pada orang itu daerah kota di mana burung-burung itu dijualnya. Setelah itu si gendut pergi lagi, naik mobil sport Ranger-nya. Tapi ia meninggalkan kartu namanya, di mana juga tertera alamat serta nomor telepon rumahnya. Katanya pada Paman Ramos, ia ingin diberi tahu apabila ada lagi yang kemudian teringat oleh Paman. Tapi Paman tidak ingat apa-apa lagi. Sayang! Padahal enak juga mendapat uang seribu dollar. Tapi tanpa uang sebanyak itu, kami juga bisa hidup."
Sambil berkata begitu Carlos meluruskan sikap.
"Kami tidak menelantarkan teman kami," katanya. "Utang kami bayar! Dan aku pasti akan bisa memperoleh uang lagi untuk membayar sewa. Pokoknya Senor Gendut tidak bisa menghina pamanku lagi."
Sementara itu Jupiter sibuk berpikir. Kini jauh lebih banyak yang sudah diketahui tentang urusan burung-burung nuri itu. Tapi masih banyak pula yang belum diketahui. Ia baru saja hendak mengajukan pertanyaan lagi, ketika Konrad, pembantu Paman Titus, muncul di ambang pintu. Jupiter dan Pete begitu asyik mendengar kisah Carlos, sehingga mereka lupa bahwa pemuda yang berasal dari Jerman itu di luar sedang sibuk menurunkan barang-barang dari truk.
"Semua sudah diturunkan," kata Konrad. "Kita kembali sekarang? Di rumah masih banyak pekerjaan menunggu." "Baiklah," kata Jupiter. "Eh, nanti dulu, Konrad, kau punya peta kota Los Angeles dalam truk atau tidak?" "Ada - bahkan dua atau tiga lembar," jawab Konrad. "Kau memerlukannya?" "Biar Pete saja yang mengambilnya," kata Jupiter.
Pete bergegas ke luar. Ditemukannya peta-peta itu, dipilihnya yang paling terperinci, lalu bergegas lagi masuk ke rumah.
"Carlos," kata Jupiter pada anak Meksiko itu, "kau bisa menunjukkan bagian kota di mana pamanmu waktu itu menjual burung-burung nuri itu?"
Carlos mengucapkan serentetan kata dalam bahasa Spanyol pada pamannya, yang kemudian mengangguk. Sambil duduk di sisi tempat tidur, kemudian Carlos melingkari bagian pada peta yang ditunjukkan oleh Paman Ramos.
"Di sini, Senor Jupiter," kata Carlos. "Dalam daerah yang kulingkari ini. Tapi jalan yang mana saja, tidak bisa dibilang oleh pamanku. Sayang!"
Jupiter mengambil peta itu, lalu dilipat dan dikantongi.
"Terima kasih, Carlos," katanya. "Secara kurang lebih kami sudah tahu, karena kami mengetahui siapa yang membeli Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep. Kurasa sementara ini kami sudah mengetahui segala-galanya yang bisa diketahui. Walau rasanya teka-teki yang dihadapi menjadi semakin misterius saja."
"Betul," kata Pete.
"Coba Blackbeard tadi tidak terlepas -" kata Jupiter, tapi kemudian ia menambahkan. "Tapi detektif yang baik harus selalu siap untuk menghadapi kegagalan." Disalaminya Carlos.
"Mudah-mudahan pamanmu lekas sembuh," katanya. "Dan kalau Mr. Claudius muncul lagi untuk merongrong pamanmu, panggil saja polisi. Mereka pasti bisa menanggulangi orang itu."
"Untuk apa polisi?" Mata Carlos berkilat-kilat galak. Diambilnya sebuah tongkat yang tersandar ke tepi meja. "Senor Gendut perlu dirawat di rumah sakit, kalau berani muncul lagi di sini!"
Melihat sikap Carlos, kedua anggota Trio Detektif merasa yakin bahwa itu bukan cuma gertak sambal belaka.
Mereka meninggalkan Carlos yang masih memegang tongkat. Dalam perjalanan naik truk kembali ke Rocky Beach, Jupiter duduk dengan kepala tertunduk. Jari-jarinya sibuk mencubiti bibir bawahnya. Otaknya bekerja keras. Pete merasa seakan-akan bisa mendengar temannya itu berpikir.
Sekembali di tempat timbunan barang bekas, Pete memberanikan diri untuk menanyakan kesimpulan apa yang sudah dicapai oleh Jupiter.
"Aku perlu tidur dulu semalam, sebelum kucoba menemukan makna hal-hal yang berhasil kita selidiki sampai sekarang," jawab Jupiter. "Besok kita harus mulai dengan mengecek kembali fakta-fakta yang sudah terkumpul. Terus terang saja, perkara ini kini mulai membingungkan."
"Kalau bagiku, sudah bukan membingungkan lagi namanya," kata Pete. "Aku cuma bisa melihat bayangan hitam dalam ruangan gelap."
Dengan lain perkataan, Pete tidak tahu apa-apa lagi.

BAB 8
BLACKBEARD SI BAJAK LAUT

KEESOKAN paginya, begitu Bob Andrews memasuki gerbang depan Tempat Pengumpulan Barang Bekas Jones dengan sepedanya, ia langsung menyadari bahwa saat itu Trio Detektif takkan mungkin bisa mengadakan rapat rahasia. Dilihatnya Pete dan Jupiter sedang sibuk bekerja, diawasi Mrs. Mathilda Jones.
Dan begitu Bob masuk, Mrs. Jones juga langsung melihat dia.
"Kau datang tepat pada waktunya, Bob Andrews!" seru wanita itu. "Hari ini kita mengadakan pencatatan barang-barang yang ada di sini!"
Mrs. Jones sebetulnya sangat baik hati. Tapi kalau dia melihat anak laki-laki, cuma satu pikiran yang timbul dalam hatinya. Suruh anak itu bekerja! Pete dan Jupiter begitu sibuk, sampai nyaris tak sempat lagi menyeka keringat yang bercucuran membasahi muka. Keduanya menghitung-hitung bak tempat mandi berendam serta bak untuk cuci muka, mengangkat-angkat batang besi berberkas-berkas untuk dihitung, menepikan tumpukan barang rombengan untuk memeriksa apa yang ada di belakangnya. Sambil begitu, mereka tidak henti-hentinya menyebutkan benda-benda yang ditemukan pada Mrs. Jones.
"Sebatang besi T-ganda ukuran 18 kaki!" seru Pete Mrs. Jones mengulanginya, sambil mencatat. Tapi begitu Bob menghampiri, buku catatannya diserahkan padanya.
"Teruskan mencatat, Bob," ujar bibi Jupiter itu. Baru saja Bob memegang pinsil, sudah terdengar Jupiter berteriak. "Dua belas bak cuci dan bahan besi cor!"
Bob mencatatnya. Kemudian Jupiter menghampirinya, lalu berbisik-bisik.
"Kita sedang berusaha mengumpulkan uang, Bob," katanya. "Aku punya ide yang ingin kucoba nanti."
Ketika mereka sedang sibuk bekerja, tiba-tiba Bob melihat Mrs. Jones berdiri di dekat Markas Besar. Wanita itu sedang memperhatikan suatu tumpukan tinggi yang terdiri dari bejana karatan yang dulunya tempat mendidihkan air, pipa-pipa baja, bahan bangunan serta beraneka ragam barang bekas lainnya. Dalam waktu setahun barang-barang itu ditumpukkan di situ oleh Hans dan Konrad, sehingga sama sekali menutupi trailer bekas yang dipakai oleh Trio Detektif menjadi markas besar mereka.
Mrs. Jones memandang tumpukan itu dengan kening berkerut.
"Jupiter!" panggilnya sesaat kemudian. "Kenapa kalian belum mencatat barang-barang yang ini?" Jupiter memandang Bob, sementara Bob melirik Pete. Sedang Pete memandang mereka berdua silih berganti. Tapi ketiga-tiganya membisu.
"Jupiter!" panggil Mrs. Jones sekali lagi. "Kau tidak dengar ya?! Ayo kemari, tolong aku melihat apa saja yang ada di sini!"
Sambil berbicara ia mulai menarik-narik pipa dan bejana yang ada di dekatnya. Melihat gelagat yang begitu, Jupiter dan Pete lantas bergegas menghampiri. Mereka sudah khawatir saja, jangan-jangan sebentar lagi tumpukan itu buyar, sehingga Markas Besar ketahuan.
"Maaf, Bibi Mathilda," kata Jupiter, "tapi bahan-bahan itu semuanya tidak ada harganya. Tidak perlu repot-repot mengenainya!"
"Tak perlu repot-repot, katamu?" Mrs. Jones mendengus. "Coba lihat, betapa besar tumpukan ini! Aku ingin tahu, di dalamnya ada apa," katanya. "Mungkin semuanya ini perlu kita singkirkan, supaya ada tempat untuk barang-barang yang lebih berharga!"
Untung saat itu terdengar bunyi tuter mobil tiga kali berturut-turut. Truk perusahaan yang besar masuk ke pekarangan, dikemudikan oleh Konrad. Mrs. Jones berpaling ketika mendengar bunyi tuter. Dan begitu ia melihat benda yang terdapat di atas truk, dengan segera ia sudah lupa lagi pada tumpukan barang bekas yang menyembunyikan markas besar Trio Detektif.
"Aduh-aduh ampun," serunya. "Titus Andronicus Jones, apa lagi yang kaubawa itu?"
Kebanyakan dari benda-benda yang ada di atas truk merupakan barang rombengan yang biasa saja. Tapi di bagian belakang bak nampak sebuah patung. Patung rusa terbuat dan besi. Ukurannya sama dengan rusa yang sesungguhnya. Tanduknya besar bercabang-cabang.
"Huh," dengus Mrs. Jones. "Yah, mungkin kita bisa menjualnya lagi pada orang yang mengumpulkan benda-benda kayak begitu. Tapi kau pasti membelinya dengan harga terlampau mahal!"
"Aku membelinya bukan untuk dijual lagi," jawab Paman Titus. "Aku hendak memasangnya di luar gerbang." Paman meloncat turun dari truk, lalu merangkul isterinya.
Mrs. Jones tertawa geli. Masak sudah tua masih pacaran! Tapi karenanya, kini ia sama sekali lupa bahwa ia tadi hendak memeriksa tumpukan yang menutupi Markas Besar.
"Ya ampun," katanya sambil memandang ke atas langit, "sudah waktu makan siang. Kau pasti sudah lapar," katanya pada suaminya. "Ke mana saja sepagi ini?"
Tanpa menunggu jawaban lagi, ia keluar dari kompleks penimbunan barang rombengan itu menuju rumah mungil bercat putih, yang letaknya tidak jauh dari pagar.
"Kalian ingin makan siang yang biasa, atau lebih baik roti sandwich saja?" serunya sambil menoleh ke arah tiga remaja yang sedari tadi sibuk bekerja terus.
"Sandwich saja, Bibi Mathilda," balas Jupiter. "Kami hendak mengadakan rapat."
"O ya, betul - perkumpulan kalian," kata bibinya sambil lalu, sementara berjalan terus ke arah rumah. Jupiter pernah mengatakan padanya, mereka bertiga telah membentuk suatu perusahaan penyelidik. Tapi bibinya itu tidak begitu memperhatikan, ketika keponakannya memaparkan apa-apa saja yang akan mereka lakukan. Yang teringat olehnya cuma bahwa ketiga anak itu mendirikan semacam perkumpulan. Selain itu, ia tidak ingat lagi.
Jupiter menyusul ke rumah untuk mengambil roti sandwich, sementara Pete dan Bob membantu membongkar muatan truk. Kemudian Bob menyusun daftar sementara dari semua yang diturunkan.
Hans dan Konrad yang melakukan pekerjaan yang berat. Tapi Konrad masih sempat bercerita pada Pete dan Bob, apa yang menyebabkan mereka agak lambat kembali.
"Ternyata kami tadi ke bagian kota di mana Carlos, teman kalian itu, tinggal," katanya dalam bahasa Inggris yang payah. "Karena itu kami lantas mampir sebentar untuk membantu dia memperbaiki rumah. Sekarang semuanya sudah bagus. Carlos itu anak baik. Pamannya sudah agak enak badannya."
Senang rasanya mereka mendengar keadaan Carlos serta pamannya sudah agak mendingan. Baik Bob maupun Pete, kagum terhadap ketabahan hati Carlos.
"Mr. Jones melihat keduanya tidak punya uang," sambung Konrad. "Lalu ia bersikap seolah-olah Mrs. Jones salah hitung ketika menilai bahan-bahan yang dipilih oleh Carlos. Katanya, kebanyakan lima dollar tujuh belas sen! Uang itu lantas diberikannya pada Carlos. Mr. Jones memang pintar. Kalau dikatakannya kelebihan lima dollar, anak itu pasti akan tahu bahwa itu hadiah. Tapi ditambah tujuh belas sen - langsung kedengarannya masuk akal."
Setelah itu Konrad mengejapkan mata pada mereka.
"Aku membawa sesuatu untuk Jupe - sesuatu yang tidak disangka-sangka olehnya," kata orang Jerman itu. Carlos mengirim hadiah untuk dia. Sebentar - kuambil dulu dari truk." Hadiah? Pete dan Bob berpandang-pandangan. Hadiah apa?
Sementara itu Konrad sudah kembali lagi, menenteng sebuah kotak yang terbuat dan kardus. Kotak itu diikat kuat-kuat dengan tali. Tutupnya sebelah atas diberi lubang-lubang. Konrad menyerahkan kotak itu pada Pete.
"Kata Carlos tadi, jangan dibuka di luar," kata Konrad. "Di dalamnya ada surat sebagai penjelasan."
Setelah itu ia kembali ke truk untuk membantu Hans dan Mr. Jones menyelesaikan pembongkaran muatan.
"Yuk, Bob - kita masuk ke Markas Besar untuk membukanya," ajak Pete. "Aku punya perasaan, pasti isinya sesuatu yang akan menggembirakan Jupe."
Sesampai di dalam trailer, Pete langsung menutup tingkap di langit-langit yang merupakan lubang udara.
"Lebih baik jangan ambil risiko sama sekali," katanya sambil memutuskan tali pengikat kotak. Setelah itu diangkatnya tutup sebelah atas. Dan saat itu juga dilihatnya seekor burung berukuran sedang, meringkuk di pojok kotak. Kelihatannya seperti sedang sedih. Bulunya hitam, dengan paruh berwarna kuning.
"He - ini kan Blackbeard!" seru Pete.
Dalam kotak terletak secarik kertas. Bob mengambil kertas itu, yang ada tulisannya. Dari huruf-hurufnya ia mendapat kesan bahwa penulisnya sudah berusaha keras untuk menulis serapi mungkin. Tapi hasilnya - yah, begitulah. Bob membaca surat itu.
Senor Jupiter yang baik hati.
Ini Senor Blackbeard. Dia pulang waktu makan siang. Sekarang kukirimkan padamu. Dia untukmu, karena dia temanku dan kau juga temanku. Kecuali itu, aku takut laki-laki gendut datang lagi dan mencoba mencurinya. Rumah kami sekarang bagus, untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih padamu.
Carlos Sanchez
Ketika Bob selesai membaca surat itu, burung beo yang di dalam kotak menggeraikan bulunya, lalu melompat dan bertengger di tepi kotak. Ditatapnya ujung jari Pete, seakan-akan sedang mempertimbangkan apakah daging itu enak dimakan atau tidak. Dengan cepat Pete menarik tangannya.
"Seenaknya saja!" tukasnya "Kemarin kau sudah mencicip daun telingaku. Aku tidak sudi kaucicip lagi darahku. Jangan-jangan kau nanti menjelma j adi beo pengisap darah!"
Saat itu terdengar bunyi menggeresek di belakang mereka. Ternyata Jupiter menyusul masuk, dan ketika itu baru saja muncul dari bawah. Kepalanya tersembul, dan ia beradu mata dengan Blackbeard yang masih bertengger di pinggir kotak.
Kedua-duanya kaget. Sesaat mata beradu mata. Tapi kejapan mata berikutnya Blackbeard mengepakkan sayap. "Aku Blackbeard si Bajak Laut," teriaknya dengan suara parau. "Hartaku kupendam di tempat orang mati menjaganya terus."
Beo itu tidak berhenti sampai di situ, tapi masih ada lagi lanjutannya.
"Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol, dan itu sudah pasti!" teriaknya. Tentu saja burung itu menyebutkannya dalam bahasa Inggris, dan bunyinya begini, "I'm Blackbeard the Pirate! Fve buried my treasure where dead men guard it everl" Lalu disusul dengan, "Inever give a sucker an even break, and that's a leadpipe cinch. "
Setelah itu Blackbeard tertawa. Bunyinya tidak enak, seperti mengejek. Seperti seseorang yang mengetahui suatu lelucon yang kocak, tapi ia tidak mau menceritakannya.

BAB 9
HUBUNGAN HANTU LAGI

KETIGA remaja anggota Trio Detektif duduk mengelilingi meja di Markas Besar sambil makan roti yang diambilkan oleh Jupiter. Mereka tahu, begitu makan siang selesai, Mrs. Jones pasti akan menyuruh mereka bekerja lagi. Beo yang bernama Blackbeard bertengger di atas kepala mereka, dalam sangkar yang ditemukan Jupiter untuknya di tengah timbunan barang rombengan. Beo itu seolah-olah asyik mengikuti pembicaraan mereka.
"Kita tahu, Billy Shakespeare dan Little Bo-Peep ada di tangan Mr. Claudius," kata Pete melanjutkan perembukan. "Kita mendengar dia mengatakan bahwa empat ekor nuri sudah ada padanya. Sedang kita awal-mulanya ditugaskan untuk menemukan Billy dan Bo-Peep. Karenanya kuusulkan, bagaimana kalau kita langsung saja mendatangi Mr. Claudius. Kita bilang padanya, jika kedua burung itu tidak dikembalikan, kita akan memanggil polisi. Dia kan tidak tahu bahwa kita sudah berjanji tidak akan menghubungi polisi. Jadi dia pasti takkan menduga, kita cuma menggertak saja."
"Hmm," gumam Jupiter sambil mencubit bibir bawahnya. Menurut dugaan Bob, kawan itu pasti sedang memikirkan teka-teki yang lebih besar yang menyangkut makna burung-burung nuri itu. Begitu pula kenapa Mr. Claudius begitu kepingin memiliki mereka semua. Nampak jelas, Jupiter bernafsu hendak memecahkan misteri itu.
"Ada satu hal yang merumitkan," kata Jupiter setelah beberapa saat. "Kini kelihatannya laki-laki misterius yang mengaku bernama Silver itu dari semula memang menginginkan agar ketujuh burung itu diserahkan pada Mr. Claudius."
"Mungkin saja," sela Bob. "Tapi itu kan tidak memberi hak pada Mr. Claudius untuk mencurinya dari Mr. Fentriss dan Miss Waggoner. Aku sependapat dengan Pete. Sebaiknya kita datangi orang itu, dan meminta padanya agar burung-burung itu dikembalikan. Kita ajak Hans atau Konrad ke sana, supaya Mr. Claudius tidak berani bertindak kasar."
"Baiklah," kata Jupiter mengalah. "Ini kartu namanya." Sambil berkata begitu ia merogoh kantong dan mengeluarkan kartu nama yang didapatnya dari Carlos. Di situ tertulis: CLAUDE CLAUDIUS Pedagang Benda Seni London - Paris - Wina
Di bawahnya tertera alamatnya di Hollywood. Sebuah gedung flat besar, lengkap dengan nomor telepon.
"Kau saja meneleponnya, Bob," kata Jupiter. "Soalnya, dia belum pernah mendengar suaramu. Bilang padanya, kau punya seekor nuri berjambul kuning yang hendak kaujual. Apakah dia barangkali menaruh minat. Ibumu yang membeli, dari seorang pedagang keliling bangsa Meksiko. Lalu kaubuat perjanjian untuk mendatanginya. Tapi yang kemudian ke sana tentu saja kita bertiga."
Bob langsung menelepon. Dalam hati ia bertanya-tanya, akan bisakah ia bohong tanpa ketahuan. Tapi ternyata ia sama sekali tidak perlu bohong. Petugas telepon gedung itu yang menerima mengatakan, Mr. Claudius beserta isterinya sudah pindah dua hari yang lalu.
Pete dan Jupiter bisa mengikuti pembicaraan itu lewat alat pengeras suara yang dibuat oleh Jupiter. Kini Jupiter berbisik di telinga Bob.
"Tanyakan, apakah mereka pergi dengan membawa burung-burung itu."
Bob menanyakannya. Dan diperoleh jawaban, suami isteri Claudius tidak memelihara burung selama tinggal di situ, karena menurut peraturan penyewa flat tidak boleh memelihara binatang dalam rumah. Selesai bicara, hubungan terputus.
"Mr. Claudius sudah tidak di sana lagi," kata Bob dengan wajah tercengang. "Sekarang kita tidak tahu di mana dia harus kita cari."
"Hebat," kata Pete. "Hebat sekali perkembangan usaha kita. Bergerak mundur!"
"Ah, itu kan cuma untuk sementara." Jupiter tidak mau menyerah. "Mereka pasti punya alamat lain di mana burung-burung itu bisa disembunyikan. Karena tentu saja burung nuri curian takkan mereka bawa ke apartemen yang mewah. Terlalu menyolok mata!"
"Ya deh," kata Pete. "Aku sudah kehabisan akal. Kau sajalah yang bicara sekarang."
"Mungkin Bob hendak mengatakan sesuatu," kata Jupiter sambil memandang anak yang agak kecil itu. "Dia biasanya teliti sekali dalam memperhatikan."
"Dan kalau ngomong tidak bertele-tele," guman Pete setengah mendongkol. "Nah, Bob - bagaimana pendapatmu?"
"Yah," kata Bob, "sebelum kita mulai dengan menyusun rencana baru, kurasa sebaiknya kita mengatur dulu segala fakta yang sudah ada pada kita. Supaya persoalan bisa ditinjau lebih jelas. Kita kan tahu-tahu sudah berada di tengah misteri ini, yaitu setelah burung nuri milik Mr. Fentriss dicuri. Padahal persoalannya diawali jauh sebelum saat itu."
"Yo-ho-ho dan tuak satu botol!" Terdengar suara Blackbeard yang parau berteriak di atas kepala mereka.
"Teruskan, Bob," kata Jupiter. "Ada gunanya mendengar fakta-fakta dipaparkan orang lain."
"Menurut pendapatku persoalan ini sebenarnya dimulai ketika orang Inggris yang memakai nama John Silver datang di rumah paman si Carlos beberapa bulan yang lalu. Orang Inggris itu mengaku masuk ke negeri ini dengan jalan gelap, karena terpaksa melarikan diri dari Inggris untuk menghindarkan diri dari kejaran polisi. Ia membawa sebuah peti logam yang pipih, yang menurutnya ada harta yang tidak berani dijual olehnya."
Setelah itu dipandangnya Jupiter. Tapi Jupiter kelihatannya memberi kesempatan padanya untuk bicara. Karena itu Bob lantas melanjutkan.
"Mr. Silver sakit berat," katanya. "Namun sebelum mati, ia masih sempat menyembunyikan petinya serta harta - kalau harta itu memang ada di dalam peti. Tapi ia meninggalkan tujuh ekor burung. Enam ekor nuri, serta Blackbeard yang beo. Ketujuh burung itu dilatih olehnya untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang aneh dan membingungkan."
"Aneh dan membingungkan," gumam Pete. "Kalau begitu saja masih lumayan!"
Bob mempelajari kertas-kertas catatannya sebentar.
"Mr. Silver kemudian meminta pada Carlos dan pamannya untuk mengeposkan sepucuk surat untuknya, dan bahwa tak lama kemudian akan datang seorang laki-laki gendut. Orang itu akan memberikan uang seribu dollar sebagai imbalan bagi ketujuh burung yang harus diserahkan padanya. Tapi ternyata si gendut, yaitu Mr. Claudius, tidak datang dengan segera. Kemudian paman si Carlos menjual burung yang ada di tempatnya untuk membayar ongkos pemakaman Mr. Silver. Namun kemudian si gendut muncul. Ia marah-marah, ketika mengetahui bahwa burung-burung itu sudah tidak ada lagi. Tapi kemudian ia berusaha sendiri mencari burung-burung itu. Karena sudah diberi tahu di daerah mana di Hollywood mereka dijual, rupanya ia terus mencari sampai berhasil menemukan empat ekor. Kita tahu dua di antaranya diperoleh dengan jalan mencuri. Mungkin pula keempat-empatnya dicuri." Bob berhenti sebentar. Dilihatnya Jupiter merenung, sambil mencubit-cubit bibir bawah.
"Trio Detektif ikut campur dalam perkara ini, disebabkan karena Mr. Claudius mencuri Billy Shakespeare," kata Bob melanjutkan penelaahannya. "Dan kini Blackbeard ada di tangan kita. Justru beo ini yang paling diincar oleh Mr. Claudius. Tapi di pihak lain kita sama sekali tidak tahu di mana burung nuri yang dua lagi. Kita juga tidak tahu apa sebabnya burung-burung itu begitu berarti bagi Mr. Claudius. Dia sudah pindah dari tempat kediamannya selama ini. Mungkin menyembunyikan diri. Pokoknya, kita tidak tahu di mana dia berada. Nah - " Bob menarik napas panjang, "sampai di situlah perkembangan kita."
"Lihat di bawah tulang di belakang tulang! Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol!" jerit Blackbeard sambil mengepak-ngepakkan sayap.
"Uraianmu sangat jelas," kata Jupiter tanpa mengacuhkan selingan dari Blackbeard. "Tapi kurasa aku masih bisa menambahkan dengan beberapa kesimpulanku sendiri. Pertama-tama, Mr. Silver itu seseorang yang banyak mengenal buku. Mungkin juga ia memang ada urusannya dengan bidang buku. Lihat saja nama samaran yang dipilih untuk dirinya sendiri. John Silver. Aku merasa pasti, itu dipinjamnya dan tokoh Long John Silver, bajak laut dari kisah Pulau Harta. "
"Mungkin," kata Pete.
"Kenyataan bahwa ia memilih samaran nama bajak laut, menimbulkan dugaan bahwa hartanya yang misterius itu sebetulnya barang curian. Mungkin karena itu ia tidak berani menjualnya." Kedua rekannya mengangguk.
"Yang lebih memperkuat dugaan bahwa ia biasa bergaul dengan buku-buku," kata Jupiter melanjutkan, "lihat saja nama-nama yang dipilihnya untuk burung-burung yang kemudian dilatih olehnya. Billy Shakespeare - Little Bo-Peep - Blackbeard si Bajak Laut - Sherlock Holmes - Robin Hood - Captain Kidd."
"Jangan lupa Scarface," tambah Pete.
'"Nama itu mungkin berasal dan seorang bandit dalam film gangster. Pokoknya kebanyakan dari nama-nama itu ada hubungan dengan buku atau sejarah."
"He!" seru Bob dengan tiba-tiba, "Mungkin harta dalam peti logam itu sebuah buku! Buku yang sulit didapat. Buku begitu ada yang nilainya mencapai ribuan dollar!"
Jupiter mengerutkan kening.
"Betul," katanya kemudian. "Tapi ingat kata-kata Mr. Silver mengenai harta itu, yang dikatakannya berupa sepotong ujung pelangi dengan guci emas di bawahnya. Itu kan tidak mengarah ke buku."
"Memang tidak," kata Pete. "Lalu bagaimana kita sekarang? Kita kehilangan jejak Billy, Bo-Peep dan juga Mr. Claudius. Kita menghadapi jalan buntu."
"Belum sama sekali buntu," bantah Jupiter. "Kemarin kita mendengar Mr. Claudius sendiri mengatakan dua ekor nuri belum ditemukan. Usulku sekarang, kita berusaha mencari kedua nuri itu. Kalau berhasil, dengan Blackbeard akan ada tiga burung di tangan kita. Sementara pada Mr. Claudius ada empat. Kapan-kapan ia pasti akan tahu bahwa kita juga berhasil menemukan tiga ekor. Dengan begitu kita tidak perlu capek-capek mencari dia. Dia yang akan mendatangi kita."
"Belum tentu aku senang jika dia datang ke kita," gerutu Pete. "Dan mencari nuri lalu mencurinya - nah, itu pasti akan tidak kusenangi."
"Siapa bilang kita harus mencuri?" bantah Jupiter. "Aku bermaksud membelinya."
"Membeli?" tanya Pete. Bob juga nampak heran. "Bagaimana mungkin, jika kita bahkan sama sekali tidak tahu di mana burung-burung itu saat ini."
"Kau melupakan hubungan hantu ke hantu," kata Jupiter. "Aku kenal paling sedikit tiga anak laki-laki yang tinggal di daerah sini." Ia berkata sambil menuding lingkaran yang dibuat oleh Carlos di atas peta daerah kota Hollywood. "Akan kutelepon mereka. Selanjutnya mereka nanti menelepon teman-teman berikut, dan dengan segera pertanyaan kita akan sudah tersebar ke mana-mana."
Sekali ini Bob dan Pete benar-benar kagum.
"Betul, Jupe!" seru Bob dengan gembira "Ya, burung nuri menarik bagi siapa saja. Maksudku jika di daerah kita ada tetangga membeli seekor nuri, dan jika burung itu pandai bercakap-cakap, maka pasti ia akan jadi omongan orang. Orang satu blok dengan cepat akan mengetahui. Tak perduli siapa yang membeli kedua nuri itu dari paman si Carlos, pasti akan ada orang lain yang mengetahui. Dan hantu-hantu kita tentu akan berhasil menemukannya!"
"Tapi sekali ini kita tidak bisa menjanjikan hadiah apa-apa," kata Jupiter lagi. "Walau begitu keasyikan bisa ikut beraksi dalam suatu penyelidikan penting, pasti akan mendorong anak-anak."
"Lalu kalau sudah ditemukan, bagaimana kita bisa membeli? Kan kita tidak punya uang lagi!"
"Akan kuusahakan," jawab Jupiter. "Tapi kalau tidak berhasil, bisa saja kita minta pada para pemilik agar kita diperbolehkan merekam kata-kata yang diucapkan kedua ekor nuri itu. Karena kini sudah jelas bahwa sebelum ia meninggal dunia, Mr. Silver yang misterius itu mengajari ketujuh burungnya untuk mengucapkan kalimat-kalimat tertentu yang aneh dan membingungkan. Dan pasti dengan tujuan tertentu pula. Tujuan itu yang menjelaskan, apa sebabnya Mr. Claudius begitu bersemangat ingin memperoleh ketujuh burung itu. Aku yakin, alasan -"
Namun saat itu terdengar suara lantang Mrs. Jones berseru-seru di luar.
"Jupiter! Pete! Bob! Anak-anak bandel - ke mana lagi kalian sekarang? Sudah waktunya bekerja lagi, mengerti? Ayo, mulai bekerja lagi!"
Ketiga remaja itu tidak berlama-lama lagi. Mereka tahu, kalau Bibi Jones sudah berteriak-teriak seperti itu, mereka harus langsung muncul.
Blackbeard ditinggal sendiri dalam trailer. Burung itu berseru-seru dengan suaranya yang parau. "Bekerja lagi! Bekerja lagi!"
Kedengarannya seolah-olah mengejek.

Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net

BAB 10
TERJEBAK

"KELIHATANNYA ini alamatnya," kata Pete. Ia memperhatikan secarik kertas, di mana tertulis dua nama dengan alamatnya. "Berhenti di sini!"
Kedua nama itu merupakan hasil hubungan hantu ke hantu yang dilancarkan kemarin, setelah Jupiter dan kedua rekannya selesai dengan tugas membantu Bibi Jones.
"Beres," kata laki-laki yang mengemudikan Rolls-Royce pagi itu. Orangnya pendek, dengan mata yang bersinar cerdik dan ingin tahu. Namanya Fitch. Ketika Jupiter menelepon perusahaan penyewaan mobil yang memiliki mobil mewah itu karena hendak memakainya, pihak perusahaan mengatakan Worthington kebetulan sedang pergi. Ketiga remaja itu kecewa, karena mereka sudah biasa dengan laki-laki Inggris itu. Tapi apa boleh buat, mereka terpaksa menyetujui supir pengganti yang diajukan.
Rolls-Royce itu berhenti di tepi trotoar. Fitch berpaling, menatap Bob dan Pete sambil nyengir. Jupiter sekali itu tidak ikut. Paman dan bibinya harus pergi, menjenguk kakak Mrs. Jones yang jatuh sakit. Jadi Jupiter terpaksa tinggal untuk menjaga perusahaan. Dan karena itu Pete dan Bob harus berangkat sendiri.
"Kalian hari ini mau mengadakan penyelidikan ya?" tanya Fitch. "Worthington sudah bercerita padaku tentang kegiatan kalian. Kapan-kapan kalau kalian perlu bantuan, bilang saja padaku. Aku dulu pernah jadi penjaga bank." Fitch mengetuk-ngetuk keningnya dengan jari. "Percayalah, tidak ada yang tidak kuketahui soal para penjahat."
Baik Pete maupun Bob tidak begitu suka pada supir baru itu. Sambil menganggukkan kepala sedikit, Pete berkata, "Terima kasih, Fitch. Tapi hari ini kami cuma hendak melacak jejak beberapa ekor burung nuri yang hilang."
"Jejak nuri yang -" Air muka Fitch berubah merah padam. "Ya deh, aku mengerti."
Setelah itu ia berpaling, lalu mulai membaca surat kabar. Dikiranya Pete main-main.
Hubungan hantu ke hantu yang dilancarkan kemarin malam oleh Jupiter, dipusatkan pada daerah kota Hollywood yang ditunjukkan oleh Carlos. Dan langsung ditujukan untuk menanyakan apakah ada orang yang belum lama berselang membeli nuri berjambul kuning. Dari daerah itu kemudian masuk jawaban dari beberapa orang anak. Ternyata beberapa hari sebelum itu ada seorang laki-laki gendut yang datang dari rumah ke rumah, dan kemudian berhasil menemukan tempat dari dua ekor burung nuri. Captain Kidd dan Sherlock Holmes. Kedua burung itu dibelinya, dengan pembayaran lipat dua dan harga semula.
Namun laki-laki gendut itu tidak berhasil mendapatkan kedua nuri yang namanya masing-masing Scarface dan Robin Hood. Kini alamat orang-orang yang membeli mereka ada pada Pete dan Bob. Mereka berbekal uang tujuh puluh lima dollar, dengan harapan akan bisa membeli kedua nuri itu. Uangnya didapat oleh Jupiter. Ia memperolehnya sebagai persekot dari bibinya, dengan janji bahwa mereka bertiga akan bekerja keras di tempat penimbunan barang bekas selama paling sedikit dua minggu. Mereka memperkirakan uang sebanyak itu akan sudah mencukupi. Tapi jika ternyata tidak, Pete sudah siap dengan tape recordernya. Ia akan mencoba minta ijin merekam ucapan-ucapan aneh yang mungkin diajarkan pada kedua burung itu.
Pete dan Bob turun dan mobil, lalu berjalan memasuki jalan kecil berlapis semen yang membujur di antara semak-semak tinggi. Mereka menuju sebuah rumah kuno yang dinding luarnya dilapis plesteran. Ketika mereka tak sampai sepuluh meter lagi dari situ, tiba-tiba pintu depan rumah terbuka. Seorang anak laki-laki bertubuh jangkung tapi kurus dan berhidung panjang melangkah ke luar. Anak itu memandangi mereka sambil nyengir.
"Skinny Norris!" seru Pete dengan kaget. Ia tertegun, begitu pula Bob. "Bikin apa kau di sini?"
Remaja yang tahu-tahu muncul itu bernama E. Skinner Norris. Setiap tahun ia tinggal selama beberapa bulan bersama orang tuanya di Rocky Beach. Tempat tinggal mereka yang tetap di negara bagian lain. Karena di negara bagian itu ijin mengemudikan kendaraan bermotor sudah diberikan pada usia yang lebih muda dari di California, maka sebagai akibatnya remaja itu sudah boleh menyetir mobilnya sendiri. Memanfaatkan keuntungan ini, ditambah lagi dengan uang saku yang tidak sedikit, ia berusaha untuk mengangkat dirinya menjadi tokoh pemimpin di kalangan remaja Rocky Beach.
Nama E. Skinner oleh kalangan remaja yang tidak begitu suka padanya, diubah menjadi Skinny. Tepat sekali julukan itu, karena Skinny juga berarti kerempeng!
Dia kepingin sekali menunjukkan bahwa ia lebih pintar daripada Jupiter. Sudah berapa kali ia berusaha membuktikannya, tapi selalu gagal. Sebagai akibatnya, banyak sekali waktu yang dipergunakan untuk mencampuri urusan Jupiter serta kawan-kawannya. Tidak sering berhasil, tapi adakalanya ia bisa menimbulkan kejengkelan.
Dan kini E. Skinner tertawa mengejek. Kedua tangannya dilipat ke belakang, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.
"Kalian tidak agak terlambat?" ejeknya. "Maksudku, jika kalian kemari untuk ini."
Digerakkannya tangan ke depan. Ternyata ia memegang sebuah sangkar burung nuri. Di dalamnya bertengger seekor nuri berjambul kuning. Matanya yang kanan buta, sedang pada sisi kepalanya nampak bekas luka yang memanjang. Rupanya dulu pernah berkelahi sehingga luka.
"Burung nuri?" Pete berlagak heran.
Bob cepat-cepat menimbrung.
"Kenapa kami harus tertarik pada seekor nuri, Skinny?" katanya. Tapi gertakan itu ternyata tidak mempan. Sekali ini Skinny berhasil mendahului mereka. Dan mereka bertiga sama-sama mengetahuinya.
"Kemarin malam aku kebetulan ke tempat seorang kawanku di sebelah rumah," kata Skinny dengan nada bangga. "Kawanku itu menerima telepon yang mengabarkan bahwa Fatso Jones -" yang dimaksudkannya dengan julukan itu adalah Jupiter, sedang Fatso berarti si Gendut. "- bahwa Fatso Jones mencari burung-burung nuri berjambul kuning yang baru saja dibeli. Kata kawanku itu, di rumah ini ada seekor. Aku lantas kemari pagi ini dan membelinya dengan
harga empat puluh dollar. Aku kebetulan tahu tempat di mana aku bisa menjualnya lagi dengan harga seratus lima puluh. Jadi tak ada gunanya aku membuang-buang waktu berbicara dengan kalian berdua."
Skinny berjalan melintasi mereka sambil menjinjing sangkar yang berisi burung nuri. Ketika melewati Pete dan Bob, burung nuri itu mencengkeram terali sangkarnya sambil menelengkan kepala.
"Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol," katanya dengan suara parau.
"Diam!" bentak E. Skinner Norris sambil bergegas ke jalan raya. Ia masuk ke sebuah mobil model sport berwarna biru. Baik Bob maupun Pete tidak melihatnya tadi, karena tersembunyi di balik semak. Dengan segera mobil sport itu meluncur pergi.
"Menurut pendapatmu, pada siapa Skinny bisa menjual burung itu?" tanya Pete. "Mungkin Mr. Claudius?" Tapi Bob juga tidak tahu. Walau demikian ia lantas mengambil buku notesnya yang selalu dibawa-bawa serta membuat catatan di situ.
"Aku mencatat kata-kata Scarface tadi," katanya menjelaskan. '"Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'. Nah, walau kita tidak berhasil memperoleh burung itu, tapi kelihatannya kita sekarang tahu apa pesan yang diajarkan Mr. Silver padanya. Mungkin ada gunanya bagi Jupe."
"Kalau bisa, dia benar-benar ahli sihir," kata Pete sangsi. "Kalau menurut pendapatku, kedengarannya kayak kalimat yang berasal film gangster kuno yang suka dipertunjukkan di TV. Yah - sekarang kita coba saja mencari Robin Hood."
Bersama Bob, ia lantas kembali ke Rolls-Royce yang masih menunggu. Pete menyodorkan alamat yang satu lagi pada Fitch. Ternyata letaknya beberapa blok dari situ. Rumahnya sudah tua, terletak agak menjorok ke belakang. Keadaannya tak terawat.
Sambil berjalan menuju ke tempat itu, Pete berpaling pada Bob.
"Aku tadi berpikir-pikir," kata Pete, "mengenai hubungan hantu ke hantu yang diciptakan Jupiter untuk menghubungi sekian ratus anak-anak guna memperoleh informasi."
"Ya - ada apa dengannya?" kata Bob. "Menurut pendapatku, ide itu hebat sekali. Nyaris sama baiknya kayak pengumuman lewat radio."
"Ya, justru itulah soalnya," kata Pete lagi. "Hasilnya memang ada, tapi di pihak lain dengan begitu banyak orang yang lantas tahu apa yang akan kita lakukan. Dan kadang-kadang ada orang yang karenanya mengetahui sesuatu yang sebetulnya tidak boleh diketahui olehnya. Maksudku kayak Skinny tadi. Karena hubungan itu ia lantas mengetahui bahwa kita menaruh minat pada burung nuri. Lalu ia mendului kita membeli Scarface."
"Tapi setidak-tidaknya ia tidak tahu-menahu tentang Robin Hood," jawab Bob. "Nah, ini dia rumah yang penghuninya dikabarkan membeli burung itu. Setidak-tidaknya begitulah cerita anak yang tinggal di sebelah rumah pada Jupe. Mudah-mudahan saja kita masih sempat membelinya."
Sekali ini mereka bernasib mujur. Penghuni rumah itu seorang laki-laki bertubuh pendek dan berkepala botak, tiga minggu yang lalu membeli seekor burung nuri dari seorang pedagang keliling bangsa Meksiko. Saat itu si pedagang mengelus-elus kepalanya - kepala nuri, bukan kepala si botak. Burung itu lantas memperkenalkan diri dengan nama Robin Hood. Lalu mengoceh mengucapkan serentetan kata-kata. Tapi sejak itu ia membisu terus. Isteri si botak tidak suka pada Robin Hood. Ia lebih senang memelihara burung kenari.
Karenanya si botak dengan senang hati menjual Robin Hood pada kedua remaja itu. Harganya dua puluh lima dollar, sama dengan harga pembeliannya Tapi sebelum sangkar diserahkan, si botak masih memperingatkan.
"Walau dia bisa bicara, tapi sekarang tidak mau. Rupanya sedang malas. Aku tidak tahu apa yang akan kalian lakukan mengenainya."
"Terima kasih, Sir, " ucap Bob. "Kami akan membujuknya supaya mau bicara."
Dengan gembira ia pergi dari rumah itu, diikuti oleh Pete. Memang benar kata si botak tadi, Robin Hood cuma bertengger saja dalam kandang. Sikapnya tidak menunjukkan bahwa ia mau bicara. Tapi kedua remaja itu yakin, Jupiter tentu akan berhasil membujuknya supaya mau membuka paruh.
"Sekarang kita langsung kembali ke Markas Besar," kata Pete. "Kita lihat nanti, apakah - He, mana mobil kita?"
Rolls-Royce yang tadi ditinggalkan di tepi trotoar, kini sudah tidak kelihatan lagi.
"Fitch benar-benar keterlaluan!" kata Bob dengan kesal. "Masak pergi dengan begitu saja meninggalkan kita di sini!"
"Mungkin ia bermaksud hendak berkelakar, mengganggu kita," kata Pete. "Tapi yang jelas, sekarang kita mengalami kerepotan untuk kembali ke Rocky Beach."
Saat itu sebuah truk datang dan berhenti di dekat mereka. Kendaraan itu sudah bobrok, sedang bak belakangnya tertutup. Pengemudinya seorang wanita. Ia menjulurkan badan ke luar dan menyapa mereka.
"Kalian mencari mobil Rolls-Royce tua tadi?" katanya. "Aku melihatnya pergi, baru beberapa menit yang lalu."
"Padahal harus menunggu kami di sini," kata Bob.
"Aduh, kasihan," kata wanita itu dengan nada bersungguh-sungguh. Mungkin aku bisa mengantar kalian, setidak-tidaknya sampai ke halte bis."
"Terima kasih," kata Pete dengan senang. "Yuk Bob, kita naik bis saja dari Wilshire."
Sambil bicara ia langsung naik ke atas kabin truk, lalu duduk di sebelah wanita yang memegang setir. Bob menyusul, sambil menenteng sangkar yang berisi Robin Hood. Saat itu ia merasa, seolah-olah sudah pernah mendengar suara wanita itu. Tapi itu tidak mungkin!
"Maaf, tapi Wilshire Boulevard letaknya kan ke arah sana," kata Bob sambil menudingkan jari ke belakang, sementara truk mulai dijalankan dengan cepat oleh wanita itu.
"Kita tidak pergi ke Wilshire Boulevard!"
Tiba-tiba terdengar suara orang lain di belakang mereka. Kentara sekali berlogat Inggris. "Kita sekarang pergi ke tempat lain."
Pete dan Bob kaget, lalu memalingkan kepala ke belakang. Papan yang memisahkan kabin dengan bak belakang tergeser ke samping. Detik itu juga nampak Mr. Claudius di situ, dekat sekali ke kepala mereka. Laki-laki gendut itu tersenyum. Tapi bukan tersenyum ramah. Matanya berkilat-kilat di balik lensa kaca mata yang tebal.
"Dan kalian sekali ini ikut dengan aku," katanya lagi. "Aku sudah bosan kalian halang-halangi terus!"
Pete dan Bob diam saja. Mereka takut setengah mati. Mereka hanya bisa menatap laki-laki gendut itu sambil membungkam. Sambil tersenyum terus, Mr. Claudius menunjukkan tangannya. Ternyata ia memegang sebilah keris.
"Nah - kalau kalian berani bergerak sedikit saja, habislah riwayat kalian, " ancam laki-laki itu. "Keris ini buatan Damaskus, seribu tahun yang lalu. Sejarahnya penuh darah. Sudah mencabut nyawa dua belas orang! Aku yakin, tak seorang pun dari kalian berdua ingin menjadi korbannya yang ketiga belas. Tiga belas itu angka sial!"

BAB 11
TUJUH TANDA BUKTI BERSAYAP

TRUK itu melaju, menuju bukit-bukit yang terjal dan gersang di belakang kota Hollywood.
"Sebelum ini aku kan sudah memperingatkan kalian," kata wanita yang memegang setir. "Tapi kalian tidak mau mengacuhkan."
Ketika itu barulah Bob sadar, di mana ia pernah mendengar suara wanita itu. Lewat telepon, ketika memperingatkan mereka agar jangan menghalang-halangi Mr. Claudius.
Beberapa saat kemudian, ketika mereka sudah agak jauh masuk ke daerah berbukit, akhirnya Pete memberanikan diri bertanya.
"Bolehkah saya bertanya sedikit, Mr. Claudius? Bagaimana cara Anda tadi menyuruh Fitch pergi dengan mobil kami?"
"Gampang saja," kata laki-laki itu sambil tertawa kecil. "Beberapa waktu yang lalu aku datang ke perusahaan penyewaan mobil yang biasa kalian pakai. Aku ke situ untuk menyewa mobil yang tidak begitu mudah dikenal. Jadi bukan seperti mobil Ranger-ku. Ketika aku sedang di situ, kebetulan aku melihat Rolls-Royce hebat yang beberapa kali kulihat kalian pakai. Saat itu pula aku tahu tentang pesawat telepon yang merupakan perlengkapannya. Nah, hari ini aku menyusul kalian kemari. Lalu ketika kalian sedang berada di dalam rumah, aku lantas pergi ke toko yang di pojok jalan. Dari situ aku memutar nomor pesawat telepon yang ada di dalam mobil. Ketika Fitch menjawab, kukatakan padanya bahwa aku menelepon dari dalam rumah. Kataku, kalian berdua kutahan makan siang. Dia baru diperlukan lagi menjelang sore. Dia lantas pergi."
"Claude, tidakkah lebih baik -" sela wanita yang mengemudikan mobil. Kelihatannya dia itu isteri Mr. Claudius. Tapi si gendut langsung memotong dengan ketus.
"Tidak!" bentaknya. "Kauperhatikan saja jalan. Kau mengawasi kaca spion?"
"Ya. Mula-mula aku merasa ada sebuah mobil kecil membuntuti kita. Tapi sekarang sudah tidak nampak lagi." "Bagus. Hati-hati pada tikungan berikut."
Truk diperlambat jalannya, memasuki suatu tikungan tajam. Ternyata mereka sampai di sebuah lembah memanjang. Di situ ada sebuah rumah, didampingi garasi yang memuat dua mobil. Wanita itu menjalankan truk sampai ke dalam garasi, lalu mematikan mesin.
"Sekarang keluar," kata Mr. Claudius, "tapi tidak perlu tergesa-gesa."
Dengan lambat Bob dan Pete turun dari mobil, diikuti oleh Mr. Claudius. Di sebelah truk sudah ada mobil lain. Ranger hitam model sport yang dipakai oleh Mr. Claudius, ketika Pete melihat dia untuk pertama kalinya. Laki-laki gendut itu menggiring mereka masuk ke dalam rumah, menuju kamar duduk yang luas tapi tidak banyak mebelnya. Di ujung ruangan ada sebuah meja besar. Di atasnya terletak empat buah sangkar berisi burung-burung nuri berjambul kuning. Burung-burung itu kelihatannya lesu. Semuanya membisu. Juga ketika Mrs. Claudius meletakkan sangkar yang berisi Robin Hood ke situ.
Bob dan Pete duduk di sebuah bangku besar, sementara Mr. Claudius mengambil tempat di depan mereka. Jarinya bermain-main dengan ujung keris, seperti hendak menguji ketajamannya.
"Nah, sekarang aku ingin mendapat keterangan dari kalian berdua yang licik ini," katanya. "Lima dari ketujuh nuri yang diajari bicara oleh John Silver sudah ada di tanganku. Yang lain-lain pasti akan kuperoleh juga. O ya, pasti berhasil. Tapi saat ini aku ingin tahu, bagaimana sampai Huganay bisa menyewa tenaga kalian? Dan seberapa banyak yang diketahui olehnya?"
"Huganay?" balas Pete bertanya dengan mata terkejap-kejap. Bob cuma bisa melongo saja.
"Jangan pura-pura tidak kenal padanya," tukas Mr. Claudius dengan nada tidak sabar. "Huganay, orang Perancis itu - salah satu pencuri benda seni yang paling berbahaya di Eropa! Aku yakin dia sedang membuntuti aku." Bob sudah hendak menggeleng, tapi Pete langsung membuka mulut.
"Mr. Huganay itu, orangnya berukuran sedang, berambut coklat tua, kalau bicara berlogat Perancis, serta berkumis kecil?" tanyanya beruntun.
"Itu dia orangnya!" tegas Claudius. "Ternyata kalian kenal padanya."
"Bukan kenal," jawab Pete. Kemudian diceritakannya perjumpaan yang terjadi di pekarangan rumah Mr. Fentriss, ketika Rolls-Royce yang mereka naiki nyaris bertubrukan dengan mobil lain. Juga diceritakannya bahwa orang yang naik mobil itu kelihatannya sangat tertarik pada nuri yang bernama Billy Shakespeare, dan bahwa dia juga segan bertemu dengan polisi.
"Ya," kata Mr. Claudius, "tentu saja Huganay tidak begitu kepingin berurusan dengan polisi. Tapi aku tidak mengerti -jika kalian tidak bekerja untuk dia, lalu apa sebabnya kalian begitu menaruh perhatian pada nuri-nuri itu?"
Pete lantas menjelaskan bahwa Trio Detektif berjanji pada Mr. Fentriss untuk membantunya mencari Billy Shakespeare. Mendengarnya, air muka Mr. Claudius langsung berubah. Tidak menyeramkan lagi. Ia mencopot kaca matanya lalu mengelapnya. Kini ia kelihatan seperti seorang laki-laki gendut yang sedang bingung.
"Padahal aku semula sudah yakin betul, kalian bekerja untuk Huganay," katanya sambil menggeleng-geleng. "Beberapa hari yang lalu ketika aku kembali dengan mobil ke flat tempat kediamanku sebelum ini, kulihat Huganay berdiri di pojok jalan sambil memperhatikan aku. Kemudian ketika aku masuk ke dalam flat, aku merasa pasti tempat kediamanku itu habis digeledah. Dan ternyata dugaanku tepat!"
Mr. Claudius menatap isterinya.
"Kau bilang pasti itu cuma khayalanku saja," katanya menyesali. "Tapi Huganay memang sedang membuntuti aku. Ia masuk ke flat, dan membaca catatan-catatanku!"
"Memang, sudah jelas sekarang bahwa Huganay sedang membuntuti kita," kata isterinya sambil mengeluh. "Tapi aku yakin, ia tidak tahu tempat ini."
"Ya, syukurlah," jawab Mr. Claudius. Kemudian ia bicara lagi dengan Pete dan Bob. "Rumah ini memang sudah kusewa, untuk tempat menaruh burung-burung itu. Mobil Ranger-ku kutinggal di sini. Lalu aku menyewa sebuah sedan tua, yang tidak begitu gampang dikenali oleh Huganay. Orang itu tahu, aku suka sekali pada mobil Ranger. Lalu keesokan harinya aku mendengar bahwa kalian sedang berusaha mencari keterangan di mana mobilku itu berada. Aku mendengarnya dari pengelola gedung flat. Anak laki-lakinya bertanya padanya, di mana mobil Ranger-ku. Ayahnya melarang anak itu mencampuri urusan penyewa flat. Jadi aku aman di sana."
"Kemudian anak itu kutanyai dengan maksud mengetahui nomor telepon kalian," sambung Mrs. Claudius. "Lalu aku menelepon, untuk memperingatkan kalian. Suamiku gelisah sekali dan aku mengkhawatirkan hal yang akan terjadi jika ia berjumpa lagi dengan kalian."
"Ya," kata laki-laki gendut itu sambil mendesah, "kalau sedang gelisah, aku cepat sekali naik darah. Aku lantas bersikap mengancam. Apalagi aku sedang dibuntuti Huganay yang begitu cerdik dan berbahaya -" Mr. Claudius mengusap keningnya. "Nyaris saja perhatianku menyimpang," katanya lagi. "Lalu ketika aku terpergok lagi dengan kalian di rumah Sanchez orang Meksiko itu, aku lantas merasa yakin bahwa kalian bekerja untuk Huganay."
Saat itu ia seakan baru sadar bahwa ia masih memegang keris. Diletakkannya senjata tajam itu ke atas meja.
"Kurasa benda ini tidak kuperlukan lagi," katanya. "Tapi kini aku tidak tahu apa yang harus kukerjakan. Aku bingung. Begitu banyak problem - banyak sekali -"
Suaranya melemah diakhiri dengan desahan napas. Kini isterinya yang berganti bicara.
"Claude," kata Mrs. Claudius, "sekarang sudah saatnya bagimu untuk bertindak dengan akal sehat. Mereka ini remaja yang cerdas, yang tidak bermaksud mencelakakan dirimu. Sebaiknya kau minta maaf pada mereka. Aku mendapat kesan bahwa mereka sudah menunjukkan kecerdasan otak dalam menanggulangi perkara ini. Mereka berhasil menemukan Sanchez, dan mereka juga menemukan nuri yang tidak berhasil kaucari."
"Ya, kau benar," Mr. Claudius menotol-notol wajahnya dengan sapu tangan. "Nak, aku minta maaf pada kalian berdua. Inilah repotnya dengan watakku. Aku selalu ribut jika menghadapi kesulitan. Padahal urusan ini penting sekali artinya bagiku. Penting sekali! Aku sebetulnya harus berusaha supaya tetap tenang. Aku menderita penyakit lambung, yang memaksa diriku untuk menjaga ketenangan. Tapi aku tak bisa tenang!"
Pete dan Bob berpandang-pandangan sesaat. Kemudian Bob membuka mulut.
"Kami terima permintaan maaf Anda, Mr. Claudius," katanya. "Tapi bagaimana dengan Mr. Fentriss dan Miss Waggoner? Anda mencuri burung nuri kepunyaan mereka. Anda juga mengikat Mr. Fentriss dan - yah, dengan begitu Anda sudah melakukan tindakan melanggar hukum."
Mr. Claudius mengusap-usap mukanya lagi dengan sapu tangan.
"Akan kucoba memperbaiki kesalahanku pada mereka," katanya kemudian. "Aku akan sungguh-sungguh berusaha, dan nanti tergantung pada mereka apakah mau memaafkan aku atau tidak. Tapi mula-mula perlu kujelaskan apa sebabnya aku melakukan tindakan-tindakan itu. Soalnya begini! Burung-burung nuri itu kucuri, karena aku harus memiliki mereka. Harus! Mereka itu merupakan petunjuk penting untuk mengetahui di mana harta yang disembunyikan John Silver sebelum dia meninggal dunia!"
Sekarang Bob mengerti. Sehari sebelumnya, Jupiter sudah hendak menjelaskan teorinya pada mereka berdua. Tapi belum sempat. Sekarang Bob merasa bisa menebak apa teori Jupiter itu.
"Mr. Claudius," tanya Bob, "apakah burung nuri itu ketujuh-tujuhnya petunjuk yang bisa bicara? Apakah kalimat yang diucapkan masing-masing nuri merupakan satu petunjuk tersendiri? Dan untuk menemukan harta yang tersembunyi, Anda harus mengumpulkan mereka semua, dan kemudian menarik kesimpulan apa makna ucapan-ucapan mereka?"
"Betul," jawab Mr. Claudius. "Soalnya begini. John Silver bermaksud iseng, membuat aku bingung. Itu kelakarnya yang paling hebat! Meninggalkan warisan tujuh ekor burung yang bisa bicara, yang masing-masing mengucapkan pesan yang merupakan teka-teki. Dan aku harus memecahkan teka-teki itu, supaya bisa mengetahui di mana ia menyembunyikan harta itu. Orang lain takkan mungkin sampai ke akal yang begitu gila. Tapi memang begitu itulah orangnya. Begitulah jalan pikirannya yang gemilang tapi suka menyeleweng!"
"Claude," kata isterinya menyela, "kedua remaja ini pasti akan lebih mengerti apabila kau memulai dari awal. Sementara itu, aku menyiapkan roti sandwich untuk kita semua. Tentunya kalian sudah lapar."
Baru saat itu Bob dan Pete menyadari bahwa mereka sudah lapar sekali. Tapi di pihak lain, mereka sangat bersemangat karena tahu bahwa akhirnya mereka akan mengetahui apa yang tersembunyi di balik misteri burung-burung yang bisa bicara.
"Anda sudah kenal Mr. Silver sejak dari Inggris?" tanya Bob.
"Sekitar dua tahun yang lalu aku mempekerjakan John Silver di perusahaanku," kata Mr. Claudius memulai kisahnya. "Aku bergerak di bidang jual-beli benda-benda seni yang istimewa. Itu di London. Silver sebenarnya sangat terpelajar. Tapi orangnya aneh. Tidak pernah tahan lama bekerja di satu tempat, karena humornya aneh. Akhirnya ia terpaksa mencari nafkah dengan jalan mengarang lelucon, teka-teki dan sejenisnya, lalu menjualnya ke koran-koran serta majalah.
"Lalu ia datang padaku, mencari kerja. Pengetahuannya luas sekali, baik mengenai kesenian maupun kesusasteraan. Aku lantas mengambilnya jadi pegawai, dengan tugas menghadiri pelelangan serta membeli benda-benda yang mungkin berharga.
"Pada suatu hari ia kembali membawa sebuah lukisan. Lukisan itu biasa saja. Dua ekor nuri berjambul kuning yang bertengger pada sebuah dahan. Lukisan itu dibelinya dengan harga mahal. Kalian kan sudah tahu, aku ini orangnya sulit mengendalikan perasaan. Saat itu aku naik darah. Dia kukata-katai, kukatakan goblok. Lalu dia kupecat!
"John Silver - itu bukan namanya yang asli, tapi nama samaran yang dipakainya sebagai pengarang teka-teki - ia mengatakan padaku bahwa ia yakin gambar nuri itu dibuat di atas lukisan lain. Lukisan yang lebih tua dan jauh lebih berharga. Dikatakan pula olehnya, hal itu akan dibuktikannya. Mungkin kalian pernah mendengar tentang lukisan yang dibuat di atas lukisan lain, kadang-kadang untuk menyembunyikan lukisan yang pertama?"
Pete belum pernah mendengar kejadian seperti itu. Tapi Bob mengangguk.
"Nah, ternyata itulah yang terjadi dengan lukisan itu," kata Mr. Claudius melanjutkan penuturannya. "John Silver menghapus gambar kedua burung nuri, memakai bahan tertentu. Beberapa hari kemudian ia datang lagi. Ditunjukkannya sebuah lukisan yang sangat indah. Gambar seorang gadis penggembala yang sedang merawat anak domba. Jelas lukisan itu ciptaan seorang pelukis besar. Dengan segera aku menyadari bahwa lukisan itu biarpun ukurannya tidak besar, tapi nilainya tidak mungkin kurang dari seratus ribu dollar!"
"Astaga!" seru Pete kagum. "Jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah lukisan! Saya bisa membelinya di toko dengan harga satu dollar sembilan puluh delapan sen. Lengkap dengan bingkai!"
"Itu kan cuma kopi belaka yang dicetak secara besar-besaran," kata Bob padanya. Ia agak malu, karena Pete ternyata tidak tahu apa-apa tentang seni lukis. "Museum Metropolitan di New York pernah membayar lebih dari dua juta dollar untuk sebuah lukisan Rembrandt, pelukis Belanda yang tersohor itu."
"Wah!" kini Pete benar-benar kagum. "Duajuta dollar, untuk satu lukisan saja?"
"Kini kita sampai pada bagian kisahku yang tidak enak," sambung Mr. Claudius. Tapi kalimatnya terputus, karena saat itu isterinya masuk sambil membawa baki yang penuh berisi roti sandwich, dua gelas susu serta kopi dua cangkir. Sambil makan, mereka mendengarkan kisah Mr. Claudius lagi.
"John Silver mengatakan padaku, karena aku memecatnya, maka lukisan yang dibeli itu menjadi miliknya. Aku membantah. Kataku, lukisan itu dibelinya dengan uangku dan ketika dia masih pegawaiku. Jadi akulah pemiliknya yang sah. Lalu ia mengajak berkompromi. Kami berdua yang memiliki lukisan itu, masing-masing setengah."
"Cukup adil," kata Pete, "karena bagaimana juga kan dia yang menemukannya."
"Memang adil," kata Mrs. Claudius dengan tegas. "Tapi Claudius suka naik darah, jika dia ditentang."
"Betul," ujar Mr. Claudius dengan suara sedih. "John Silver kuancam bahwa akan kupanggil polisi untuk menangkapnya. Mendengar itu dia lantas pergi, dengan membawa lukisan indah itu. Sedang aku pergi ke polisi untuk mengadukannya. Silver berhasil melarikan diri. Kemudian kudengar bahwa ia meninggalkan Inggris dengan sembunyi-sembunyi, selaku penumpang gelap pada sebuah kapal barang. Lukisan gadis penggembala yang indah itu lenyap."
"Salahmu sendiri," kecam isterinya.
"Yah, kemudian semua pedagang benda kesenian kuberi tahu, agar berjaga-jaga apabila John Silver muncul dengan lukisan itu. Tapi tentu saja dia tidak muncul-muncul. Rupanya ia bersembunyi di sini. Di California."
"Betul, Sir, " kata Bob mengiyakan. "Ia tinggal di tempat Senor Sanchez. Waktu itu ia sudah sakit parah. Ia membawa sebuah kotak pipih, terbuat dan logam. Katanya pada Senor Sanchez, dalam kotak itu ia menyimpan sepotong ujung pelangi yang di bawahnya ada guci berisi emas. Tapi ia tidak berani mengambil resiko menjualnya."
"Penggambaran yang sangat baik," kata Mr. Claudius, "karena lukisan itu begitu indah, seolah-olah dilukis dengan warna-warna pelangi. Nah, kemudian aku menerima surat dari John. Dalam surat itu dikatakan, apabila aku menerimanya, dia sudah tidak ada lagi di dunia yang fana ini. Tapi lukisan itu ditaruhnya di suatu tempat yang aman. Katanya pula, untuk menemukannya aku harus memecahkan sebuah teka-teki. Itu merupakan leluconnya yang terakhir. Lelucon dengan aku sebagai korban, hal mana menyebabkan dia gembira sekali dalam mengaturnya. Dalam surat itu dijelaskannya bahwa ia sudah melatih enam ekor burung nuri berjambul kuning serta seekor burung beo. Masing-masing burung diajarinya mengucapkan suatu kalimat tertentu. Aku disuruhnya datang ke Amerika, dan membayar seribu dollar pada seseorang bernama Mr. Sanchez, yang kemudian akan menyerahkan ketujuh burung itu padaku. Setelah itu aku harus menyuruh burung-burung itu bicara. Aku harus berhasil memecahkan teka-teki yang terkandung dalam kalimat burung-burung itu. Setelah itu barulah aku bisa menemukan lukisanku yang disembunyikan. Katanya ia mendapat akal itu karena lukisan semula mengenai gambar dua ekor nuri berjambul kuning, sehingga kami berdua akhirnya bertengkar."
"Saya rasa itu caranya menghukum Anda, mengingat perlakuan Anda terhadapnya," kata Pete.
"Tepat," kata Mr. Claudius. "Tapi sebetulnya itu juga tidak apa, jika tidak terjadi kesialan. Kalian kan tahu, aku tidak segera datang, sehingga akhirnya burung-burung itu dijual oleh Mr. Sanchez. Soalnya aku waktu itu sedang pergi ke Jepang untuk urusan jual beli, dan surat itu tergeletak begitu saja di tokoku di London selama berminggu-minggu. Ketika aku pulang dan membaca surat itu, aku langsung berangkat ke sini. Tapi rupanya aku pernah mengatakan sesuatu di depan orang lain. Dan itu kemudian didengar Huganay, pencuri cerdik itu. Lalu ia menyusul aku ke sini."
Sambil berkata begitu ia melirik isterinya yang menganggukkan kepala.
"Huganay tajam sekali penciumannya - selalu tahu apabila ada kesempatan baik untuk dia," kata Mrs. Claudius dengan nada suram. "Ya, ia ada di sini untuk membuntuti kami. Tak ada yang bisa menggentarkan dirinya."
"Tapi bukan itu yang merupakan soal paling gawat," kata Mr. Claudius lagi sambil menggigit-gigit bibir. "Aku nyaris gila karena bingung dan jengkel, setelah mengetahui bahwa burung-burung nuri itu ternyata sudah dijual oleh Mr. Sanchez. Karena ia buta huruf, ia tidak memiliki catatan pada siapa saja burung-burung itu dijual. Tapi ia toh masih menunjukkan padaku daerah penjualannya secara kira-kira di atas suatu peta. Lalu aku mulai berkeliling dari rumah ke rumah sambil bertanya-tanya, apakah ada yang belum lama berselang membeli seekor burung nuri dari seorang pedagang Meksiko. Dengan cara begitu aku berhasil menemukan dua ekor, masing-masing Sherlock Holmes dan Captain Kidd.
"Kedua pemiliknya mau menjual kembali, karena setelah ditinggalkan orang Meksiko itu, kedua nuri tersebut ngambek dan tidak mau bicara.
"Setelah itu aku terus mencari-cari. Selalu diiringi rasa khawatir, jangan-jangan ada orang lain yang menemukan lukisan yang indah itu sebelum aku berhasil mengetahui di mana John Silver menyembunyikannya. Pada suatu hari, ketika aku lewat rumah Mr. Fentriss, secara kebetulan aku melihat seekor nuri berjambul kuning di balik jendela rumahnya. Aku membunyikan bel, tapi pintu tidak dibukakan. Aku khawatir, jangan-jangan pemiliknya tidak mau menjual burung itu. Lantas tanpa berpikir panjang lagi, burung itu kucuri.
"Tapi sialnya, burung itu juga tidak mau membuka mulut! Sepatah kata pun tidak mau! Lalu aku mengatur rencana. Aku kembali ke rumah Mr. Fentriss, pura-pura sebagai polisi. Sebagai hasilnya, ia bukan saja menceritakan apa yang dikatakan oleh Billy Shakespeare, tapi juga dikatakannya di mana aku bisa menemukan Little Bo-Peep. Ia juga mengatakan, ketika pedagang keliling bangsa Meksiko itu, Mr. Sanchez, pergi dari rumahnya, Blackbeard masih ada di gerobaknya.
"Tentu saja aku tidak lagi bisa mengendalikan perasaan, sehingga ketahuan oleh Mr. Fentriss. Kecurigaannya timbul. Saat itu kulihat dua remaja mendatangi rumah. Aku takut tertangkap basah. Lalu Mr. Fentriss kuikat dan kusumpal mulutnya - tapi tidak kuat-kuat, supaya ia dengan segera bisa membebaskan diri. Setelah itu kalian berdua kusongsong dan kusuruh pergi lagi. Dan begitu kalian pergi, aku lantas melarikan diri.
"Dengan segera aku pergi untuk mengambil Little Bo-Peep, sebelum Mr. Fentriss sempat memberi tahu Miss Waggoner. Ketika aku datang, rumah wanita itu sedang kosong. Jadi aku terpaksa mencuri Little Bo-Peep. Aku tidak punya pilihan lain. Baru saja aku hendak pergi lewat pohon-pohon yang ada di sana, aku melihat Miss Waggoner muncul bersama dua orang remaja."
"Itu saya bersama Jupiter Jones," kata Pete dengan nada menuduh. "Kalau begitu, mestinya Anda yang melempar genting ke arah kami?"
"Ya, betul!" Mr. Claudius mengusap keningnya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melukai kalian, tapi cuma menakut-nakuti."
"Hal-hal kayak begitu malah menambah tekat Jupiter," kata Pete.
"Ya, tentu saja. Tapi biar kuselesaikan dulu ceritaku. Begitu bisa, aku langsung mendatangi Mr. Sanchez lagi. Tapi sementara itu aku lantas tahu bahwa Huganay sedang mengintip-intip. Karenanya mobil Ranger lantas kusembunyikan. Sebagai gantinya, aku menyewa sebuah sedan yang sudah agak tua.
"Aku sebenarnya bukan sedang menyakiti Mr. Sanchez ketika kalian datang - walau kelihatannya mungkin begitu. Saat itu ia sedang terserang batuk, dan aku hendak membantunya duduk supaya napasnya bisa longgar. Tapi ketika kalian masuk lalu langsung menyerang, aku terpaksa melarikan diri. Saat itu aku sudah yakin sekali, kalian pasti bekerja untuk Huganay. Yah, bagaimana lagi - karena dia satu-satunya orang lain yang mungkin tahu tentang lukisan itu.
"Kusadari bahwa aku harus tetap bersembunyi. Lalu aku menyewa truk tua tadi. Dengannya aku bisa ke mana-mana tanpa ketahuan, sementara isteriku yang mengemudikannya. Kulipatgandakan usahaku mencari burung-burung yang belum ditemukan. Pagi ini, ketika kami sedang berkeliaran lagi di daerah Hollywood yang tadi, secara kebetulan kami melihat Rolls-Royce kalian. Kami lantas membuntutinya. Mobil itu menyolok sekali."
"Ya, memang," kata Bob dengan nada menyesal.
"Kemudian truk kami parkir di salah satu tempat, serta memperhatikan gerak-gerik kalian. Kami melihat kalian berjumpa dengan anak kurus tinggi yang membawa Scarface."
"Skinny Norris!" ujar Pete dengan kesal. "Ia ikut-ikut dalam urusan ini, karena ia merasa iri pada Jupe. Ia selalu berusaha mengalahkannya."
"Scarface dibawanya pergi naik sebuah mobil biru. Bayangkan, betapa bingungnya aku waktu itu! Aku hendak menyusul dia. Tapi aku juga ingin mengikuti kalian. Akhirnya dia kubiarkan pergi, dan aku membuntuti kalian. Menurut perasaanku, kami tidak memerlukan dia lagi. Soalnya ketika dia lewat dekat truk kami yang diparkir di pinggir trotoar, burung itu mengucapkan kalimat yang ingin kuketahui. Apa katanya tadi?" Pertanyaan itu ditujukannya pada isterinya.
Mrs. Claudius mengambil secarik kertas dari kantongnya, lalu membaca tulisan yang ada di situ.
"Burung itu berkata, 'Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'," kata Mrs. Claudius.
"Itu peribahasa kuno, petunjuk yang sangat misterius," ujar Mr. Claudius mengomentari. "Tapi pokoknya aku lantas mengikuti kalian. Supir Rolls-Royce kutipu sehingga pergi meninggalkan kalian. Dan - yah, sekarang kita di sini. Padahal semuanya percuma saja. Percuma!"
"Kenapa Anda bilang begitu?" tanya Bob heran.
"Dari ketujuh burung nuri itu, lima sudah ada padaku," kata Mr. Claudius. "Tapi sampai sekarang aku baru mengetahui kalimat-kalimat yang diajarkan Mr. Silver pada Billy Shakespeare serta Scarface. Yang lainnya tidak mau bicara. Sepatah kata pun tidak! Dan melihat gelagatnya, mereka akan terus membungkam!"

BAB 12
RENCANA AKSI

Bob dan Pete berpaling, memandang kelima nuri yang ada dalam sangkar masing-masing. Kelima-limanya nampak lesu. Tidak kelihatan ada maksud untuk mengoceh.
Mr. Claudius meloncat bangkit. Dihampirinya burung-burung itu, lalu dia berteriak-teriak.
"Ayo bicara!" serunya. "Katakan padaku pesan yang diajarkan John Silver pada kalian! Kalian dengar tidak?! Bicara!"
Burung-burung itu semakin merunduk. Sedikit pun tak kedengaran suara mereka.
"Dia begitu terus, sejak memperoleh nuri yang pertama," kata Mrs. Claudius pada kedua remaja itu. "Kerjanya cuma berteriak-teriak saja."
"Mungkin justru karena itu mereka malah tidak mau bicara, Sir, " kata Bob. "Burung nuri gampang sekali dikagetkan oleh perubahan serta bunyi-bunyi nyaring." Mr. Claudius duduk kembali.
"Aku memang kurang sabar," keluhnya. "Tapi apa lagi yang bisa kuperbuat? Waktu semakin sempit. Aku dikejar-kejar Huganay, orang yang sangat berbahaya. Dan setiap waktu lukisan gadis penggembala itu bisa ditemukan orang lain. Aku sudah kehabisan akal."
Kini berganti Pete yang membuka mulut.
"Kami mengetahui pesan yang diajarkan Mr. Silver pada beberapa ekor dan burung-burung itu," katanya. "Tapi kami tidak memahami maknanya. Mungkin Jupiter Jones sanggup, apabila kisah Anda tadi diceritakan padanya."
"Kenapa tidak kita tuliskan saja kalimat-kalimat yang sudah kita ketahui," usul Bob. "Setelah itu kita lihat, mungkin ada yang bisa kita simpulkan."
"Usul itu baik sekali, Claude," kata Mrs. Claudius. "Dari semula sudah kukatakan, para remaja ini pasti bisa membantu, asal kau tidak lagi memperlakukan mereka sebagai musuh."
"Tapi apa yang bisa kubikin selain begitu selama ini?" keluh Mr. Claudius. "Bukti-bukti - yah, sudahlah! Aku sekarang benar-benar menyesal. Kita coba usul tadi. Kalau ternyata ada gunanya dan kita berhasil menemukan lukisan itu, aku akan memberi hadiah seribu dollar pada kalian."
"Huii!" seru Pete gembira. "Ayo kita mulai saja! Kau membawa buku notesmu, Bob?"
"Ya - ini dia." Bob mengambil buku notes serta sebatang pinsil dari kantong.
"Sebelumnya, aku masih bisa menambahkan satu fakta lagi," kata Mr. Claudius. "Dalam suratnya, John Silver tidak cuma mengatakan bahwa pesannya terdiri dari tujuh bagian, tapi juga disebutkan urut-urutannya. Dikatakannya, Little Bo-Peep diajarinya mengucapkan bagian pertama. Billy Shakespeare bagian kedua, lalu Blackbeard bagian ketiga. Robin Hood keempat. Sherlock Holmes yang kelima. Captain Kidd bagian yang keenam, sedang Scarface bagian ketujuh."
"Itu besar gunanya," kata Bob. Sesaat ia sibuk mencatat. Kemudian ditunjukkannya apa-apa saja yang sudah ditulisnya di atas selembar kertas yang disobeknya dari buku catatan. Ia menyusun urut-urutan itu sebagai berikut: PESAN JOHN SILVER (Belum lengkap)
Little Bo-Peep (Bagian 1): Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes!
Billy Shakespeare (Bagian 2): To-to-to be or not to-to-to be, thatis the question.
Blackbeard (Bagian 3): Aku Blackbeard si Bajak Laut, dan hartaku kupendam di tempat orang mati menjaganya terus! Yo-ho-ho dan tuak satu botol! Robin Hood (Bagian 4): ? Sherlock Holes (Bagian 5): ? Captain Kidd (Bagian 6): ?
Scarface (Bagian 7): Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol.
"Nah - empat bagian sudah kita ketahui," kata Bob kemudian pada mereka yang berkerumun untuk ikut membaca catatannya itu. "Dan - yah, kebetulan kami tahu apa pesan yang diucapkan Blackbeard." Menurut perasaannya, saat itu sebaiknya tidak dikatakan bahwa Trio Detektif berhasil memperoleh burung beo itu, yang kini ada di Markas Besar.
"Begitu pula kita semua mendengar ucapan Scarface ketika Skinny Norris tadi keluar dari rumah itu sambil menentengnya. Nah, sampai di sinilah usaha penyelidikan kita saat ini." Mr. Claudius nampak bingung.
"Tapi aku tidak mengerti," keluhnya. "Bagiku, semuanya tanpa makna sama sekali!"
"Nanti dulu, Claude," kata isterinya. Mrs. Claude kelihatannya lebih gigih daripada suaminya. "Kalimat pertama, yang mengatakan Little Bo-Peep kehilangan dombanya, rupa-rupanya menyinggung lukisan itu. Itu sindiran bahwa barang itu hilang, dan kita harus menemukannya kembali."
"Ya, mungkin," kata suaminya. "Tapi aku tak mengerti apa yang dimaksudkan dengan 'hubungi Sherlock Holmes'."
"Aku juga tidak," kata Mrs. Claudius. "Tapi kita teruskan saja dulu dengan bagian kedua. Kalimat yang diucapkan Billy Shakespeare -" wanita itu menoleh pada Bob dan Pete. "Kalian tahu pasti kalimatnya betul begini? Pemiliknya yang terakhir mengatakan pada Claude, bahwa yang diucapkan Billy adalah, To be or not to be, thatis the question'. "
"Mr. Fentriss saat itu mengira Mr. Claudius dari polisi," ujar Pete menjelaskan. "Karenanya ia malu mengatakan bahwa Billy bicara tergagap-gagap."
"Gagap? Aduh, nuri gagap dijadikan petunjuk! Tidak, mustahil pesannya bisa ditemukan," kata Mr. Claudius sambil berkeluh kesah.
"Kita tidak boleh menyerah!" tukas isterinya. "Bagian kedua itu memang sulit ditebak artinya. Tapi bagian ketiga, kalimat yang diucapkan Blackbeard, kemungkinannya merupakan petunjuk mengenai tempat di mana lukisan itu disembunyikan."
"Di tempat orang mati menjaganya terus," kata Mr. Claudius sambil menyeka keringat yang membasahi mukanya. "Kedengarannya seperti yang dimaksudkan suatu pulau perompak. John Silver memang menggemari cerita-cerita tentang bajak laut serta harta karun. Oleh karena itu pula ia memilih nama samaran John Silver."
"Kedengarannya memang seperti pulau perompak," kata Mrs. Claudius sependapat. "Atau mungkin barang lain, yang tafsirannya juga begitu. Itu perlu kita pikirkan benar-benar."
"Tapi coba lihat bagian ketujuh, kalimat yang diucapkan Scarface," kata Mr. Claudius, lalu mengulang kalimat Scarface dalam bahasa Inggris. "Inevergive a sucker on even break. Ini peribahasa Amerika dalam bahasa pergaulan yang kasar. Artinya orang yang berkata begitu tidak mau memberi kesempatan sedikit pun pada orang lain. Yah, itu kan bisa ditafsirkan sebagai pernyataan John, bahwa ia tidak bermaksud memberi kesempatan pada kita untuk berhasil menyibakkan teka-tekinya."
"Jika ketiga kalimat yang belum diketahui bisa kita peroleh, mungkin akan menolong menemukan kejelasan," kata Mrs. Claudius. "Tanpa kalimat-kalimat itu, kurasa kita tidak bisa berbuat apa-apa." "Saya mendapat akal, Sir, " kata Bob dengan tiba-tiba. "Akal apa?" tanya Mr. Claudius.
"Robin Hood, Sherlock Holmes, dan Captain Kidd sekarang kan sudah ada di sini. Jika kita bisa berhasil menyuruh mereka bicara, ketujuh bagian pesan itu akan kita ketahui. Dan setelah itu, mungkin Jupiter Jones bisa menarik kesimpulan daripadanya - walau kita tidak berhasil."
"Tapi burung-burung itu tidak mau bicara!" seru Mr. Claudius. "Lihat saja - mana mau membuka mulut sedikit pun!"
Memang benar. Burung-burung nuri itu merunduk dalam sangkar, tanpa menunjukkan gelagat akan mengoceh.
"Senor Sanchez waktu itu membantu Mr. Silver melatih mereka bicara," kata Pete. "Burung-burung itu sudah biasa dengan dia. Sewaktu ia menjual mereka, semuanya masih bicara. Tanggung dia akan mampu membujuk mereka supaya mau bicara lagi. Dan kalau ketujuh bagian pesan John Silver sudah kita ketahui, akan kita tanyakan pada Jupiter apakah dia bisa menduga makna kalimat-kalimat itu."
"Astaga!" Mr. Claudius tersenyum, lalu mulai tertawa senang. Diambilnya carik kertas yang berisi catatan Bob, lalu dikantonginya. "Tentu saja Mr. Sanchez bisa membujuk mereka supaya mau bicara. Wah, lukisan itu pasti akan sudah ada di tangan kita, sebelum Huganay sempat kaget!"

BAB 13
DIKEJAR

SETENGAH jam kemudian mereka berangkat, naik truk. Mr. Claudius yang mengemudikannya. Semua berperasaan riang. Pete dan Bob duduk di jok depan di samping laki-laki gendut itu. Kelima burung nuri juga dibawa. Sangkar-sangkar mereka disangkutkan pada batang yang melintang dalam bak belakang yang tertutup. Mrs. Claudius berada di situ, mengawasi burung-burung.
Agak jauh juga perjalanan yang harus ditempuh dari tempat persembunyian suami-isteri Claudius di daerah perbukitan di belakang Hollywood, menuju tempat tinggal Carlos serta pamannya di dataran rendah dekat pantai. Tapi menurut taksiran, paling lambat menjelang sore mereka akan sudah sampai di sana.
Truk sudah beberapa menit menyusur jalan berkelok-kelok dan sunyi menuruni bukit, ketika tiba-tiba terdengar Mrs. Claudius berseru dengan nada cemas dari bak belakang.
"Claude! Baru saja aku memandang ke belakang lewat jendela - ada mobil mengikuti kita!"
"Mengikuti kita?" Laki-laki gendut itu melirik kaca spion. "Aku tidak melihatnya."
"Masih di balik tikungan. Nah - itu dia sekitar seperempat mil di belakang kita."
"Ya!" seru Mr. Claudius. "Sekarang aku melihatnya. Sedan besar berwarna kelabu. Kau yakin mobil itu mengikuti kita?"
"Yakin benar sih tidak," jawab isterinya. "Tapi kelihatannya begitu." "Sedan kelabu?" tanya Pete gelisah. "Coba saya lihat!"
Tapi ia tidak bisa melihat lewat kaca spion yang terpasang. Akhirnya ia membuka pintu kabin yang ada di sisinya. Ia menjulurkan tubuh sambil menoleh ke belakang, sementara pinggangnya dipeluk erat-erat oleh Bob.
"Saya tidak melihat -" katanya, tapi buru-buru disambung dengan seruan. "Dia semakin dekat! Dan kelihatannya kayak mobil yang nyaris menubruk kita dijalan pekarangan rumah Mr. Fentriss!"
"Huganay!" seru Mr. Claudius dengan kaget. "Dia membuntuti kita. Apa yang kita lakukan sekarang?"
"Jangan sampai tersusul, sampai kita masuk ke sebuah kota!" kata isterinya dengan tegas.
"Tapi yang ada di sini cuma bukit-bukit lengang," kata Mr. Claudius. "Kota terdekat lima mil dan sini. Tapi aku akan berusaha sebisa-bisaku."
Pedal gas dipijak lebih dalam. Truk tua itu semakin laju meluncur menuruni jalan berkelok-kelok di sela bukit.
Ketika melewati suatu tikungan, di sisi jalan menganga jurang yang dalamnya sekitar lima puluh sampai seratus meter, dibatasi oleh pagar pengaman yang kelihatannya tidak kokoh. Truk menyerempet pagar itu lalu terdorong lagi ke tengah jalan. Bob dan Pete meneguk ludah berkali-kali. Jantung mereka berdebar keras.
"Huganay sudah dekat sekali di belakang kita!" teriak Mrs. Claudius. "Dia berusaha menyusul sekarang."
"Aku melihatnya di kaca spion," gumam suaminya. "Aku akan berusaha mencegahnya."
Truk dikemudikannya ke tengah. Di belakang terdengar bunyi tuter disertai suara rem mendecit-decit. Sedan kelabu yang nyaris berhasil menyusul, terpaksa mengalah. Truk terombang-ambing sambil terus meluncur menuruni bukit. Jalannya di tengah terus, sehingga sedan yang di belakang tidak bisa menyusul.
Tapi di lereng berikut, tiba-tiba muncul sebuah truk diesel yang besar. Dan mereka langsung mengarah ke kendaraan itu.
"Awas!" seru Bob. Mr. Claudius membanting setir. Truk mereka minggir ke sisi yang benar, dan truk diesel meluncur dekat sekali di sebelah mereka. Masih sempat nampak pengemudinya yang melongo.
Sedan kelabu juga dibanting ke kiri, untuk mengelakkan tubrukan dengan truk diesel itu. Tapi kemudian dengan tiba-tiba sedan melesat maju. Kini truk dan sedan berjejeran. Bob dan Pete yang berpegangan kuat-kuat di samping Mr. Claudius, melihat ada tiga orang dalam sedan itu. Kecuali itu nampak pula seorang remaja. Pete mengenali tampang orang yang duduknya di sisi yang paling dekat dengan truk. Orang itu melambaikan tangan, menyuruh Mr. Claudius berhenti. Dia itulah Huganay!
Tapi Bob dan Pete juga mengenali tampang pucat yang dirapatkan ke kaca jendela pintu belakang sedan. Tampang seseorang bermuka kurus dan berhidung panjang, yang saat itu mencerminkan perasaan takut bercampur menang. Mereka melihat tampang E. Skinner Norris.
"Skinny Norris!" tukas Pete. "Awas nanti - akan kuhajar dia!"
Tapi pada saat itu kemungkinan tersebut kecil sekali baginya. Mereka sampai pada suatu bagian jalan, di mana sisi tempat mereka dibatasi oleh tebing yang curam. Beratus-ratus meter di kaki tebing itu mengalir sebuah sungai kecil. Dan dengan lambat tapi pasti, sedan kelabu mendesak truk semakin ke pinggir, mendekati jurang.
"Aku terpaksa berhenti. Rupanya Huganay bermaksud hendak mencelakakan kita!" teriak Mr. Claudius sambil menginjak pedal rem kuat-kuat. Truk berhenti beberapa senti saja dari tepi jurang. Sedang sedan juga dihentikan dekat sekali di sebelah truk sehingga mereka terjepit. Tidak bisa keluar dari pintu mana pun. Di satu sisi menganga jurang. Sedang di sisi lainnya, ada sedan.
Laki-laki bangsa Perancis yang perlente itu tersenyum ke arah mereka, sambil mengepul-ngepukan asap cerutu.
"Ah, Claude," katanya berpura-pura ramah, "kebetulan kita berjumpa di sini. Ternyata Amerika Serikat toh tidak begitu luas."
"Kau mau apa, Huganay?" tanya Mr. Claudius. Keringat membasahi mukanya yang pucat pasi. "Nyaris saja kami celaka karena perbuatanmu."
"Omong kosong," sahut si Perancis. "Aku tahu, kau pasti berhenti. Kalau tidak salah, kalian sedang mengangkut muatan berupa burung-burung nuri, ya? Aku suka sekali pada burung nuri. Karena itu biar aku saja yang mengangkut mereka. Adams, kau pergi ke bak belakang dan keluarkan burung-burung itu dari sana."
'Tes, Sir!" Dan laki-laki bertubuh kecil yang tadi mengemudikan sedan turun dari mobil itu, lalu melangkah ke bagian belakang truk. Sesaat kemudian terdengar suara Mrs. Claudius memprotes..
"Biarkan dia mengambilnya, Olivia," seru Mr. Claudius pada isterinya. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa."
Pete dan Bob melihat isteri laki-laki yang gendut itu menyerahkan lima sangkar berisi burung pada laki-laki kecil yang berdiri di jalan. Mereka juga melihat bagaimana tampang E. Skinner Norris yang berseri-seri setelah bahaya berlalu. Anak ceking itu membuka kaca jendela sedan yang sebelah belakang.
"Hah!" katanya mengejek. "Kayak begitu mau mengaku detektif! Penjahat malah dibantu!"
Bob dan Pete tidak mau mengacuhkannya. Sementara itu Adams sudah menerima kelima sangkar burung, dan diletakkannya dijalan di samping sedan.
"Boss," katanya, "kita perlu tempat untuk kelima sangkar ini. Dan anak itu cuma makan tempat saja." "Yak," kata Huganay, "kau keluar!"
"Keluar?" Skinny Norris melongo. "Tapi aku kan membantu Anda." "Sekarang sudah selesai. Lester, lempar anak ini keluar!"
"Beres, Boss," kata laki-laki ketiga yang ada dalam sedan. Orang itu badannya besar, bertampang jelek. Potongan tukang pukul! Dengan gampang saja Skinny Norris ditolakkannya keluar. Nyaris saja si ceking jatuh tersungkur. Skinny berpaling, menatap Huganay. Kelihatannya kebingungan.
"Tapi Anda kan berjanji akan memberi hadiah lima ratus dollar," katanya, "apabila aku berhasil menemukan jejak penjahat itu, serta membantu Anda menemukan burung-burung nuri."
"Kirim saja tagihan padanya, Nak," kata Adams sambil nyengir. Sementara itu kelima sangkar burung sudah dimasukkannya ke dalam sedan. "He, Boss! Kurang satu! Yang hitam tidak ada."
"O ya?" Huganay menjulurkan tubuh ke luar mobil, sehingga mukanya merapat ke wajah Mr. Claudius yang pucat.
"Claude," katanya dengan suara lirih tapi bernada mengancam, "mana Blackbeard? Ketujuh-tujuhnya harus lengkap, untuk mengetahui pesan itu."
"Jadi kau ternyata memasuki tempat tinggalku dan membaca catatan itu!" Tanpa disangka, ternyata laki-laki gendut itu berani juga. "Dengan begitu kau mengetahui jejakku!"
"Claude," ulang Huganay, "mana Blackbeard? Aku harus memperoleh ketujuh-tujuhnya."
"Aku tidak tahu!" teriak Mr. Claudius. "Aku belum menemukannya."
"Kau tidak - tapi mereka." Orang Perancis itu mengalihkan pandangannya, menatap Bob dan Pete. Mata laki-laki itu berwarna kelabu dingin. Menyeramkan. "Mereka sangat cerdik. Coba katakan padaku, di mana Blackbeard sekarang?"
"Tidak ada pada kami," kata Bob dengan sikap menantang. Dia tidak bohong. Beo itu tidak ada pada mereka. Tapi pada Jupiter. Jupiter yang menyimpannya di Markas Besar.
Mata kelabu itu meneliti mereka sesaat. Lalu melihat carik kertas yang terselip di kantong atas jas Mr. Claudius. Pada kertas itu tertulis nama-nama ketujuh burung nuri serta kalimat-kalimat yang sampai saat itu sudah diketahui.
Mr. Huganay menjulurkan tangannya, mengambil carik kertas itu dari kantong Mr. Claudius.
"Kau biasanya sangat rapi dan teliti, Claude," kata Huganay dengan suara halus, "jadi besar kemungkinannya kertas ini penting. Jika - Ah!" Dibacanya tulisan yang tertera di itu dengan gembira. "Empat dari tujuh bagian. Sedang nuri yang tiga lagi sekarang ada pada kami, sehingga kami bisa menguraikan teka-teki pesan itu yang selengkapnya dengan tenang. Sampai berjumpa lagi, Claude!"
Sedan besar itu mulai bergerak, dan sesaat kemudian sudah lenyap lagi. Mr. Claudius menyandarkan diri ke roda kemudi. Mukanya pucat, seperti mayat. Ia mengerang.
"Ada apa, Claude?" tanya isterinya dengan cemas. "Kau sakit?"
"Lambungku lagi," kata laki-laki gemuk itu dengan napas terputus-putus. "Penyakitku kambuh lagi." "Aku sudah mengkhawatirkannya. Kau harus kita bawa ke rumah sakit."
Mrs. Claudius meloncat turun dari bak belakang, bergegas-gegas menuju ke depan lalu duduk di belakang setir. Dengan hati-hati sekali didorongnya suaminya agak ke samping. Bob duduk di atas pangkuan Pete, supaya cukup tempat. Sementara itu Mr. Claudius mengerang-erang terus sambil membungkuk. Tangannya ditekankan ke perut.
"Dia memang penderita penyakit lambung," kata Mrs. Claudius sambil menghidupkan mesin truk. "Kalau keadaannya sedang gelisah, biasa kambuh lagi. Suamiku akan terpaksa berbaring beberapa hari di rumah sakit."
Dipandangnya Pete dan Bob.
"Harap jangan ceritakan kejadian ini pada siapa-siapa," katanya. "Sayangnya Huganay tidak ada urusan dengan polisi di sini! Dan kita tidak bisa mengadukan dia. Kalau perkara ini sampai bocor, maka itu berarti persoalannya akan tersebar luas. Dan ada kemungkinan lukisan itu kemudian ditemukan orang lain, sementara Claude masih terbaring di rumah sakit. Tapi tentu saja jika kalian yang menemukan, tawaran hadiah tadi masih tetap berlaku. Tapi jangan ambil resiko bentrokan dengan Huganay. Dia bisa berbahaya sekali!"
Mereka sudah melupakan E. Skinner Norris. Tapi sebelum truk bergerak meninggalkan tempat itu, remaja bertubuh tinggi kurus itu sudah bergegas-gegas menghampiri, lalu memegang pintu kabin.
"Tunggu!" serunya. "Kalian kan mau membawa aku ke kota?"
Mrs. Claudius menatapnya dengan tajam, sehingga anak itu kecut melihatnya.
"Ayo masuk," tukas Mrs. Claudius. "Aku ingin agar kau menceritakan bagaimana kau bisa sampai membantu Huganay. Ayo cepat - ceritakan!"
"Begini," kata Skinny Norris dengan terburu-buru, "aku kebetulan sedang berjalan kaki di Rocky Beach ketika tiba-tiba ada mobil berhenti di sebelahku. Mr. Huganay menyapaku. Ia bertanya apakah aku kenal dengan beberapa remaja yang naik sedan Rolls-Royce antik, yang melihat nomornya berasal dari kota itu. Kukatakan, tentu saja aku kenal mereka -" Skinny tersenyum kikuk ke arah Bob dan Pete. "- mereka mengaku detektif, padahal -"
Dilihatnya kedua remaja itu menatapnya dengan mata melotot. Skinny terbata-bata. Pete membuka mulut.
"Teruskan, Skinny," katanya. "Bilang saja."
"Kukatakan, kalian cuma tiga anak yang berlagak sok jadi detektif. Sedang Rolls-Royce itu bukan milik kalian, tapi cuma boleh memakainya selama beberapa waktu saja ketika memenangkan suatu sayembara," kata Skinny cepat-cepat. "Lalu Mr. Huganay bertanya lagi, apakah ada di antara kalian yang akhir-akhir ini membeli paling sedikit seekor nuri. Khususnya yang berjambul kuning. Kukatakan, bisa saja itu kuselidiki. Mr. Huganay memberikan nomor teleponnya, supaya aku bisa menghubungi dia. Katanya beberapa ekor nuri berjambul kuning yang jarang terdapat, dicuri orang. Dia menjanjikan aku hadiah uang sebanyak seratus lima puluh dollar untuk setiap nuri yang berhasil kutemukan. Kemudian ia pergi."
Skinny menarik napas sebentar. Mungkin terkenang pada hadiah yang kini melayang.
"Malam itu aku kebetulan pergi ke Hollywood. Secara kebetulan aku mendengar bahwa kalian mencari burung-burung nuri berjambul kuning. Kemudian aku memperoleh alamat di mana salah satu nuri itu berada. Setelah aku berjumpa dengan kalian di alamat itu, aku lantas menelepon Mr. Huganay. Ia ramah sekali. Katanya, ia yakin kalian membantu seorang penjahat yang pekerjaannya mencuri burung-burung nuri yang istimewa, tapi kalian mungkin tidak menyadarinya. Aku disuruhnya membuntuti kalian untuk melihat ke mana kalian pergi.
"Aku berkeliling-keliling dengan mobil, sampai nampak Rolls-Royce kalian. Mobilku lantas kuparkir di balik tikungan. Aku mula-mula heran ketika Rolls-Royce pergi tanpa kalian. Tapi tak lama kemudian kulihat kalian muncul membawa seekor nuri dan naik ke truk ini. Lantas aku membuntuti kalian, sampai kuketahui tujuan yang didatangi. Aku cepat-cepat pergi ke bilik telepon terdekat dan menelepon Mr. Huganay lagi. Ia mengucapkan selamat padaku. Katanya aku harus menunggu dia dekat bilik telepon. Katanya ia akan menjemput aku, dan setelah itu kami akan bersama-sama meringkus penjahat itu. Aku akan diberinya hadiah lima ratus dollar. Kemudian ketika ia datang, kami masih sempat melihat kalian berangkat lagi naik truk. Kami membuntuti dari belakang, lalu - lalu - yah, aku tak mengira bahwa dia sendiri yang penjahat."
Belum pernah Pete dan Bob melihat tampang Skinny sekonyol saat itu.
"Yah, cuma itulah yang bisa kuceritakan," kata Skinny dengan gelisah.
"Itu sudah cukup bagiku. Sekarang keluar!" bentak Mrs. Claudius. "Dari sini kau boleh jalan kaki." Skinny merosot turun dari truk. Ia gemetar ketakutan.
"Berkat ulahmu, Anak muda, sekarang aku harus mengantar suamiku ke rumah sakit. Karena kau, seorang penjahat berbahaya akan bisa menemukan lukisan yang sangat berharga." Nada suara Mrs. Claudius tajam mengiris. "Pikirkan akibat perbuatanmu itu sambil berjalan kaki pulang."
Truk mulai bergerak meninggalkan Skinny Norris yang berdiri di tengah jalan. Tampangnya sedih sekali. Tapi baik Pete maupun Bob, sama sekali tidak merasa kasihan padanya.

BAB 14
PESAN MISTERIUS

JUPITER Jones duduk di belakang meja di Markas Besar, dihadapi Pete dan Bob. Jupiter sibuk berpikir, sementara kedua rekannya itu menunggu dengan sabar. Mereka baru saja selesai melaporkan pengalaman mereka sehari itu.
Ketiga-tiganya sama-sama capek, karena Jupiter juga sibuk sehari penuh mengawasi perusahaan paman dan bibinya. Sedang Bob dan Pete, walau mereka sudah sempat pulang dan makan malam sebelumnya, masih tetap merasa lelah sehabis mengalami kejadian-kejadian menegangkan hari itu.
Akhirnya Jupiter membuka mulut.
"Rolls-Royce kita yang berlapis emas, sudah dua kali menyebabkan jejak kita bisa diketahui orang," katanya. "Itu harus menjadi pelajaran bagi kita. Dalam mengadakan pelacakan, sebaiknya jangan sampai kita menarik perhatian disebabkan oleh sarana pengangkutan, penampilan ataupun tingkah laku kita."
"Cuma itu saja yang hendak kaukatakan?" tukas Pete. "Padahal kami tadi sudah berhasil mengumpulkan semua nuri - kita sudah nyaris berhasil mengetahui seluruh pesan yang ditinggalkan oleh John Silver, mengenai di mana ia menyembunyikan lukisan itu - lalu tiba-tiba - bumm, semuanya lenyap! Kini burung-burung itu ada di tangan Huganay. Segala petunjuk ada padanya. Dan mungkin sekarang lukisan itu juga sudah ditemukannya."
"Burung-burung itu tentunya kaget sekali karena segala kejadian yang mereka alami," kata Jupiter. "Jadi kurasa Mr. Huganay tentunya belum berhasil membujuk mereka supaya mau bicara."
"Tapi pada suatu saat nanti pasti berhasil juga," kata Bob dengan suram. "Dia kelihatannya bukan orang yang gampang menyerah. Biar burung nuri, pasti dia akan berhasil memaksanya membuka mulut."
"Walau begitu, dengannya kita akan mendapat waktu sedikit," sambut Jupiter.
"Tapi untuk apa?" tanya Pete. "Betul kita sudah mengetahui empat bagian dari seluruh pesan yang ditinggalkan oleh Mr. Silver, tapi yang kita perlukan ketujuh-tujuhnya. Sedang burung-burung itu takkan bisa kita peroleh lagi. Pasti tidak, karena sudah ada di tangan laki-laki yang bernama Huganay itu."
"Kau benar," kata Jupiter setelah termenung agak lama. "Apa boleh buat, kita harus menerima kenyataan. Kita tidak berhasil memperoleh kembali nuri milik Mr. Fentriss. Kita juga tidak berhasil memulangkan nuri kepunyaan Miss Waggoner. Kita tidak berhasil dalam membantu Mr. Claudius memperoleh kembali lukisan yang disembunyikan John Silver. Kita gagal! Usaha kita sama sekali tidak berbuah."
"Kita bahkan tidak bisa menonjok Skinny Norris," gerutu Pete. "Anak itu lari! Kata juru masak keluarganya, dia ke luar kota untuk beberapa minggu, mendatangi sanak-keluarga di kota lain. Terus terang saja, dalam segala hal kita macet."
Ketiga remaja itu termenung-menung selama beberapa menit. Kemudian Jupiter mengangguk.
"Ya," katanya, "kini aku tidak melihat jalan lagi, bagaimana kita bisa menemukan kembali burung-burung nuri yang lenyap, atau mengetahui ketiga bagian dari pesan John Silver yang belum kita dengar. Seperti kau bilang tadi, kita macet. Penyelidikan kita terbukti percuma saja."
Kesunyian yang menyusul setelah itu, hanya dipecahkan oleh Blackbeard yang sedang asyik makan biji bunga matahari. Akhirnya Bob mendesah.
"Sayang kita tidak bisa menyuruh Captain Kidd, Sherlock Holmes, dan Robin Hood bicara ketika semuanya masih terkumpul," katanya. "Coba kalau bisa, kini kita akan sudah mengetahui seluruh pesan."
"Robin Hood."
Suara itu terdengar dari arah atas kepala mereka. Nampak Blackbeard menelengkan kepala ke bawah, memandang ketiga remaja itu. Seperti biasa, sikapnya seolah-olah sedang mengikuti pembicaraan mereka. Burung itu mengepak-ngepakkan sayap.
"Aku Robin Hood!" katanya dengan jelas. "Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang."
Tiga wajah remaja mendongak dengan serentak. "Kalian dengar katanya itu?" tanya Pete. "Jangan-jangan -" Bob menelan ludah karena gugup.
"Hati-hati, jangan sampai dia kaget!" kata Jupiter. "Coba kita lihat, mungkin dia mau mengulanginya lagi. Robin Hood!" sapanya, Halo, Robin Hood!"
"Aku Robin Hood!" kata burung beo itu dengan suara serak tapi jelas. "Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang." Setelah itu ia mengepak-ngepakkan sayap lagi.
Pete Crenshaw menelan ludah. Bahkan Jupiter pun nampak kaget dan kagum.
"Ingat," bisiknya. "Menurut Carlos waktu itu, burung ini biasanya bertengger di atas bahu Mr. Silver, pada saat orang itu melatih burung-burung nuri."
"Ya, sekarang aku ingat lagi!" kata Bob bersemangat. "Ketika kita baru saja memperolehnya, dia kan mengulangi pesan yang seharusnya disebutkan oleh Scarface: 'Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'. Cuma waktu itu kita belum tahu, itu kalimat yang sebenarnya merupakan bagian Scarface. Burung beo kadang-kadang memang lebih pintar bicara daripada nuri. Sedang burung beo yang ini, kelihatannya pintar sekali. Mungkin -"
"Kita coba saja," potong Jupiter. Disodorkannya sebiji benih bunga matahari yang besar pada Blackbeard.
"Sherlock Holmes," kata Jupiter lambat-lambat. "Halo, Sherlock Holmes."
Blackbeard menanggapi sebutan nama itu dengan kalimat-kalimat yang sudah pernah didengar olehnya. Ia mengepak-ngepakkan sayap, lalu berbicara dengan logat Inggris yang sangat kentara. "Anda kenal metodeku, Watson. Tiga tujuh menuju ke tiga belas."
"Cepat - catat kata-kata itu, Bob," desis Jupiter. Tapi ia sebenarnya tidak perlu menyuruh lagi, karena Bob sudah sibuk mencatat. Sementara itu Jupiter mencoba lagi.
"Captain Kidd," bujuknya. "Halo, Captain Kidd." Disodorkannya lagi satu biji bunga matahari pada Blackbeard. Burung itu makan dengan lahap, lalu mengatupkan paruh.
"Aku Captain Kidd," katanya. "Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci."
"Astaga!" Pete Crenshaw melongo karena kagum. "Burung ini ternyata tape recorder bersayap! Ternyata ketujuh bagian pesan itu diketahui semua olehnya!"
"Sebetulnya aku sudah mengira begitu ketika ia mengucapkan pesan yang merupakan bagian burung lain," kata Jupiter dengan nada jengkel. "Pesan Scarface, seperti kata Bob tadi."
Kini Blackbeard sudah benar-benar timbul semangatnya. Begitu mendengar nama Scarface, ia mengepak-ngepakkan sayap lagi.
"Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol," jeritnya. "And that's a lead pipe cinch. Ha-ha-ha!" Kalimat terakhir itu merupakan kiasan, artinya 'Dan itu gampang sekali'. Sedang ha-ha-ha tetap berarti ha-ha-ha!
Blackbeard tertawa seolah-olah baru saja menceritakan lelucon yang kocak sekali. Tapi ketiga remaja itu tidak begitu mempedulikannya lagi. Bob sibuk mencatat. Setelah beberapa saat menulis, disodorkanya hasil catatan itu pada Jupiter.
"Nah - sudah kutulis ketujuh bagian pesan John Silver," katanya. Pete menghampiri Jupiter, lalu kedua remaja itu membaca catatan Bob. PESAN JOHN SILVER (Lengkap)
Little Bo-Peep (Bagian 1): Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes!
Billy Shakespeare (Bagian 2): To-to-to be or not to-to-to be, thatis the question.
Blackbeard (Bagian 3): Aku Blackbeard si Bajak Laut, dan hartaku kupendam di tempat orang mati menjaganya terus! Yo-ho-ho dan tuak satu botol!
Robin Hood (Bagian 4): Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang. Sherlock Holmes (Bagian 5): Anda kenal metodeku, Watson. Tiga tujuh menuju ke tiga belas. Captain Kidd (Bagian 6): Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci. Scarface (Bagian 7): Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol. Dan itu gampang sekali! "Ya, betul," kata Pete. "Kini pesannya sudah lengkap. Cuma masih ada yang kurang. Soal sepele." "Apa itu?" tanya Bob.
"Kita harus menyelidiki makna pesan itu," kata Pete.

BAB 15
CABUT!

KEESOKAN harinya ketika sedang sibuk bekerja di perpustakaan, pikiran Bob melayang seperti sedang jauh sekali. Dan kenyataannya memang begitu. Diambilnya sejilid buku yang memuat berbagai kode dan tulisan rahasia. Dipelajarinya isi buku itu. Tapi tak ada yang bisa diperolehnya sebagai hasil. Tapi sementara ia sendiri mencari dengan sia-sia, Bob mengharap mudah-mudahan Pete atau Jupiter bisa menemukan salah satu petunjuk mengenai teka-teki yang mereka hadapi. Dan begitu selesai makan malam, dengan segera Bob pergi ke perusahaan jual-beli barang bekas. Tapi pengharapannya buyar ketika sampai di sana, karena ia disambut oleh wajah-wajah lesu.
Pete mengaku terus-terang, dia memang paling tidak bisa kalau disuruh mencari kunci pesan sandi. Kemudian Jupiter membuka rapat Trio Detektif.
"Aku belum tahu arti pesan Mr. Silver," katanya sambil mencubit-cubit bibir. "Tapi beberapa bagian terasa artinya. Mengenai bagian pertama, yang menyebutkan Bo-Peep kehilangan anak domba - aku sependapat dengan Mr. Claudius. Yang dimaksudkan dengan kalimat itu, lenyapnya lukisan gadis penggembala serta dombanya, karena disembunyikan."
Kedua rekannya mengangguk setuju.
"Tapi bagaimana dengan bagian 'Hubungi Sherlock Holmes'?" tanya Bob.
"Sayang kita tidak bisa melakukannya," seru Pete kesal. "Saat ini kita memerlukan kecerdasan detektif ulung itu."
"Itu belum kuketahui artinya," kata Jupiter mengaku. "Soalnya, pesan Sherlock Holmes yang merupakan bagian kelima, bunyinya, 'Anda kenal metodeku, Watson. Tiga tujuh menuju ke tiga belas'. Bagian pertama dari kalimat itu sering disebutkan oleh detektif itu dalam kisah-kisahnya. Tapi bagian terakhir, sama sekali tak ada artinya."
Blackbeard menelengkan kepala.
"Tiga tujuh menuju ke tiga belas," katanya dengan suara serak. Tentu saja ia mengatakannya dalam bahasa Inggris, dan bunyinya begini, "Three severns lead to thirteen. "
"Rasanya ia menyebut 'severns' - bukan 'sevens', " kata Pete.
"Ah, itu kan cuma pengucapannya saja, karena dia bicara berlogat Inggris," sela Bob. "Teruskan, Jupe."
"Nah - pada bagian kedua kita sampai pada ucapan Billy Shakespeare yang tergagap-gagap," kata Jupiter. "Artinya juga tidak jelas bagiku."
"Bagian ketiga, kalimat yang merupakan bagian Blackbeard sendiri, rasanya seperti menunjuk pada salah satu pulau perompak atau tempat persembunyian," kata Bob. "Kata Mr. Claudius, John Silver suka sekali pada kisah-kisah tentang pulau harta. Jadi kalau ia menemukan sebuah pulau begitu, atau salah satu tempat yang bisa dipandang sebagai pulau harta, mungkin saja tempat itu kemudian dipakainya untuk menyembunyikan lukisan itu."
Jupiter membentangkan sebuah peta ke atas meja.
"Ini Peta California sebelah selatan," katanya. "Dari Carlos kita mengetahui bahwa waktu itu Mr. Silver menghilang pergi selama tiga hari. Kepergiannya itu berjalan kaki, atau mungkin pula membonceng kendaraan lain. Ia menuju ke salah satu tempat, di situ menyembunyikan lukisan yang tersimpan dalam kotak logam, lalu kembali lagi. Dalam waktu tiga hari itu ia bisa pergi ke berbagai tempat. Misalnya saja ke Pulau Catalina. Atau ke Meksiko. Bisa juga menuju ke Death Valley. "
"Ke Lembah Maut?" seru Pete. "Di sana kan banyak berserakan tulang-belulang orang mati. Kalau menurut pendapatku, Mr. Silver pasti pergi ke sana. Tapi bayangkan - kita mencari-cari di seluruh lembah itu, karena ingin menemukan sebuah kotak? Dalam waktu dua hari saja, kita akan sudah menjelma menjadi tulang-belulang pula!"
"Itu kan cuma kemungkinan saja," kata Jupiter, "walau bukannya mustahil."
"Bagian keempat, 'Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang', rasanya merupakan penunjuk arah," kata Bob. "Kita disuruh pergi seratus meter ke barat, dari salah satu tempat." "Betul, tapi dari mana?" tanya Pete. "Dari pojok pekarangan sini ya?!"
"Bagian kelima, ucapan Sherlock Holmes yang sudah kita bicarakan tadi," kata Jupiter melanjutkan. "Dan kita sependapat, kalimat itu tidak bisa dimengerti. Jadi kini kita sampai pada bagian keenam, 'Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci'. Itu kedengarannya juga seperti menunjukkan arah. Jelas sekali!"
"Ya - sejelas malam tak berbintang," kata Pete sambil menggerutu. "Batu apa? Tulang yang mana?"
"Kedengarannya kayak kembali menuju ke pulau perompak," tambah Bob.
"Aku belum pernah mendengar bahwa di Pulau Catalina pernah ada bajak laut," kata Pete. "Padahal pulau itu boleh dibilang cuma yang satu-satunya di perairan sini."
"Pada jaman orang sedang keranjingan mencari emas di California sini, waktu itu banyak penyamun berkeliaran," kata Jupiter. "Mungkin mereka itu yang dimaksudkan dengan perompak."
"Mungkin juga," kata Bob. "Tapi lalu bagaimana dengan bagian terakhir, 'Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'? Dari kalimat itu aku mendapat kesan, seolah-olah Mr. Silver hendak mengatakan bahwa kita berhasil dikelabui olehnya. Apalagi ditambah dengan kalimat berikutnya, 'that's a leadpipe cinch', kiasan kuno yang artinya soal yang jelas dan gampang sekali! Jika digabungkan, John Silver sebenarnya hendak mengatakan, 'Biar kalian berhasil mengetahui teka-teki pesanku, kalian toh pasti takkan bisa menemukan lukisan itu'."
Jupiter merengut. Ia senang menghadapi persoalan rumit. Tapi tidak suka apabila persoalan itu ternyata memusingkan. Dan saat itu ia sungguh-sungguh pusing.
"Yah," katanya kemudian, "aku cuma bisa berharap, mudah-mudahan Mr. Huganay akan sama repotnya kayak kita sekarang ini. Karena walau berkat Blackbeard kita sudah mengetahui seluruh pesan itu, tapi dia pasti lambat laun akan berhasil menyuruh burung-burung yang ada padanya untuk bicara. Dan kita harus menemukan lukisan antik itu mendului dia. Itu demi harga diri kita selaku detektif."
Selama beberapa saat ketiga-tiganya membungkam. Kemudian Jupiter bangkit dari tempat duduknya.
"Aku akan menelepon kalian jika sudah ada kemajuan yang kucapai," katanya. "Sebelum itu, tak ada gunanya kita mengadakan rapat. Atau jika ada di antara kalian yang mendapat salah satu jalan, telepon saja aku."
Keesokan harinya, ketiga remaja itu serba salah. Bob akhirnya bahkan disuruh pulang dari perpustakaan, karena keliru terus dalam menyusun buku-buku yang dipulangkan. Di rumah ia merebahkan diri ke atas bangku panjang dekat jendela di kamar duduk. Ditatapnya awan yang berarak di atas gunung yang berjajar di belakang Santa Monica, seakan-akan di awan itu tertulis jawaban teka-teki yang memusingkan itu.
Seharian ia tidak banyak bicara. Ketika ayahnya pulang, ia heran melihat keadaan Bob seperti begitu. Sewaktu sedang makan, akhirnya Mr. Andrews bertanya dengan prihatin.
"Ada apa?" tanyanya. "Ada sesuatu yang kaupikirkan, Bob?"
"Ya, Yah - semacam teka-teki." Akhirnya terlintas pikiran pada Bob, ada kemungkinan orang lain bisa mengajukan saran yang baik. Bagaimana juga, ayahnya dinilai orang berotak cerdas. Bob berpaling padanya. "Jika kita ingin menyembunyikan harta sedemikian rupa, sehingga bisa ditinggalkan pesan yang berbunyi, 'Hartaku kupendam di tempat orang mati menjaganya terus' - di manakah harta itu akan ditaruh?"
"Di Pulau Harta," jawab ayahnya, sambil menyalakan pipa. "Maksudku yang dalam kisah karangan Robert Louis Stevenson. Atau kalau tidak, salah satu pulau sarang perompak yang lain."
"Tapi jika tak ada pulau begitu di sekitar tempat kita?" tanya Bob mendesak terus. '"Kalau begitu, ditaruh di mana?"
Mr. Andrews memikirkan pertanyaan itu, sambil menyedot-nyedot pipa yang belum baik nyalanya. "Hmm," katanya setelah beberapa saat. "Ada satu tempat yang cocok dengan petunjuk begitu." "Di mana itu, Yah? Di mana?" Bob langsung meluruskan duduknya. "Di pekuburan," kata ayahnya sambil tertawa geli.
"Wow!" Bob begitu cepat melesat ke pesawat telepon, sehingga pipa nyaris sampai terlepas dari mulut Mr. Andrews, saking kagetnya. Sambil menggeleng-geleng melihat anaknya yang lasak(?), Mr. Andrews naik ke tingkat atas. Sementara itu Bob sudah sibuk memutar nomor pesawat telepon Markas Besar. Setelah berdering beberapa kali, terdengar suara Jupiter menjawab dari seberang sana.
"Jupe," kata Bob dengan suara pelan, "kau masih ingat pesan Blackbeard?"
"Ya - kenapa?" terdengar nada berharap di seberang sana.
"Bagaimana kalau yang dimaksudkan dengan kalimat itu pekuburan? Jika di situ, yang menjaga harta kan orang mati? Betul, kan?"
Agak lama juga Jupiter membisu. Kemudian, dengan suara agak serak ia menjawab, "Jangan pergi-pergi, Bob. Nanti aku menelepon lagi."
Setelah itu Bob gelisah sekali menunggu bunyi dering pesawat telepon. Dan begitu akhirnya yang ditunggu-tunggu datang, dengan segera pesawat itu sudah ditempelkan ke telinganya. "Ya?" katanya dengan suara tertahan.
"Kelana Gerbang Merah!" Suara Jupiter terdengar tegang. "Cabut!" Dan hubungan putus lagi. Wah! Cabut! Itu berarti ia harus secepat mungkin pergi ke Markas Besar lewat jalan belakang - dan tanpa dilihat orang lain.
"Bu - Yah," kata Bob tergesa-gesa, "aku harus pergi. Jupiter memanggil, ada perlu. Sekitar pukul sepuluh aku pulang. Boleh ya? Trims!"
Dan sebelum orang tuanya sempat menjawab, remaja itu sudah menghilang ke luar. "Apa-apaan tadi itu?" kata ayahnya sambil melongo.
"Mereka sedang berusaha menemukan kembali seekor nuri yang hilang," jawab ibunya sambil tersenyum. "Bob pernah bercerita padaku, beberapa hari yang lalu. Kurasa sekarang Jupiter sudah menemukan salah satu petunjuk mengenainya."
"Burung nuri." Mr. Andrews tertawa geli, lalu menghirup kopinya. "Kedengarannya perkara yang tidak mengandung bahaya." Tapi saat berikutnya ia kaget sendiri. "Tapi apa hubungannya dengan pekuburan?"
Sementara itu Bob mengayuh sepedanya cepat-cepat menyusur jalan-jalan belakang, menuju ke tempat penimbunan barang bekas di mana Jupiter sudah menunggu.

BAB 16
BOB DIJADIKAN UMPAN

BOB sampai di pintu rahasia sebelah belakang kompleks tempat penimbunan barang bekas, hampir pada waktu bersamaan dengan Pete. Tapi keduanya tidak membuang-buang waktu untuk saling menyapa. Keduanya sama-sama tahu, masing-masing tadi menerima pesan serupa. Dengan cepat mereka menuju ke kantor Trio Detektif.
Di situ Jupiter sudah menunggu sambil menghadapi setumpuk buku, peta, dan lembaran-lembaran kertas. Dan gerak-geriknya bisa diduga bahwa ada kabar baru.
"Kita harus bertindak dengan cepat," katanya pada kedua rekannya. "Karena itulah kalian kuminta datang sekarang juga"
"Kau berhasil memecahkan teka-teki itu, Jupe?" tanya Bob.
"Belum semua - tapi setidak-tidaknya bagian awalnya. Kau tadi memberikan petunjuk padaku, Bob, ketika kau menyebutkan bahwa apa pun yang dipendam di pekuburan, dijaga oleh orang mati."
"Yang mendapat gagasan itu sebetulnya ayahku," kata Bob. Tapi Jupiter sudah sibuk lagi dengan beberapa jilid buku dan lembaran-lembaran kertas, sehingga tidak mendengar kata Bob.
"Dengan petunjuk itu, aku lantas bisa melanjutkan penyelidikan," kata Jupiter. "Nah, pesan yang ditinggalkan John Silver terdiri dari tujuh bagian. Tiap-tiap bagian diajarkannya pada nuri yang berlainan. Tapi urusan burung kita lupakan saja. Cukup apabila kita sebutkan bagian pertama, bagian kedua, dan seterusnya."
"Aduh, kalau ngomong jangan suka bertele-tele," keluh Pete. "Katakan sesuatu, tapi yang jelas!"
"Bagian ketiga dari pesan itu mengatakan bahwa Mr. Silver menyembunyikan lukisan itu di salah satu pekuburan. Karenanya aku lantas menarik kesimpulan, bagian pertama dan kedua seharusnya menunjukkan di mana letak pekuburan itu."
"Seharusnya memang begitu - tapi nyatanya tidak," kata Pete lagi.
"Bagian pertama berbunyi, 'Little Bo-Peep kehilangan domba dan tidak tahu ia harus dicari di mana. Hubungi Sherlock Holmes!'. Kalian merasa ada sesuatu yang aneh pada pesan itu?" "Ya - Sherlock Holmes kan sudah mati," kata Pete.
"Dia belum pernah hidup, tolol," tukas Bob. "Dia kan cuma tokoh karangan belaka. Jadi tidak mungkin bisa dihubungi."
"Itu dia jawaban yang tepat," kata Jupe. "Yang dihubungi bukan dia, tapi alamat tempat tinggalnya. Dalam kisah, disebutkan alamatnya. Dan di mana itu?" "Di London," jawab Pete. "Baker Street, London," kata Bob melengkapi.
"Sherlock Holmes menurut kisah tinggal di Baker Street," kata Jupiter lagi. "Jadi kita harus pergi ke Baker Street. Sekarang kita perhatikan bagian kedua dari pesan itu, yang merupakan kutipan ucapan Hamlet dalam sandiwara karya Shakespeare. Dalam salah satu adegan di mana Hamlet sedang bingung, ia mengucapkan 'To be or not to be, that is the question'. Kalimat ini menjadi pemeo yang populer sekali. Tapi nuri yang disuruh mengucapkannya, diajari untuk bicara tergagap-gagap. Jadi yang disebutkan, berbunyi, 'To-to-to be, or not to-to-to be...' Burung nuri tidak gagap, kecuali kalau sengaja dilatih supaya gagap. Ini berarti perhatian harus kita tujukan pada 'to-to-to be'!"
"Dari semula aku sudah memperhatikannya," kata Pete. "Tapi hasilnya, aku malah tambah bingung."
Jupiter menuliskan sesuatu di atas secarik kertas.
"Coba lihat apa yang terjadi," katanya sambil menulis, "apabila aku menulis Baker Street, disusul dengan to-to-to be dengan cara begini."
Pete dan Bob menatap tulisan Jupiter dengan mata melotot. Mereka melihat tulisan: Baker Street 222 B
"Aduilah!" desah Pete. "Itu kan alamat!"
"Alamat pekuburan?" tanya Bob. Sambil berpikir, betul juga. Angka dua memang ditulis two dalam bahasa Inggris. Tapi kalau menurut bunyinya, tulisannya 'to'. Sedang huruf B kalau ditulis menurut bunyinya pula menjadi 'be.' Logis!
Sementara itu Jupiter sibuk mengaduk-aduk di sela tumpukan buku. Kemudian disodorkannya sebuah atlas tua dari daerah California Selatan.
"Segala macam buku kuperiksa di perpustakaan yang memuat bahan-bahan keterangan," katanya. "Ternyata di daerah California Selatan terdapat beratus-ratus kota, di antaranya lebih dari satu yang ada Baker Street-nya. Tapi akhirnya kuketahui bahwa di kota Merita Valley yang letaknya sebelah selatan kota Los Angeles, ada sebuah pekuburan tua yang letaknya di pojok jalan Baker Street dan Valley. Dan alamat yang tertera di gerbang yang menuju ke bangunan yang dulunya tempat perawat pekuburan itu? Baker Street 222 B!"
"Huii!" seru Pete. "Dari mana kau mengetahuinya, Jupe?"
"Dari buku-buku ini," jawab Jupiter sambil menaruh tangannya di atas tumpukan buku. "Serta buku telepon. Aku bahkan menemukan satu brosur yang isinya mengenai pekuburan itu. Brosur itu diterbitkan untuk turis. Coba dengar apa yang dikatakan di dalamnya."
Jupiter membacakan teks brosur itu.
"Pekuburan kuno di Merita Valley termasuk yang paling tua di California. Sekarang sudah tidak dipakai lagi, dan keadaannya agak terbengkalai. Ada rencana untuk memugarnya untuk dijadikan situs sejarah." Jupiter menutup brosur itu kembali.
"Merita Valley letaknya cuma sekitar tiga puluh mil dari tempat di mana John Silver menumpang di rumah paman si Carlos," katanya. "Dengan segala bukti ini, aku merasa yakin bahwa kita sudah berhasil menemukan tempat yang didatangi Mr. Silver untuk menyembunyikan hartanya."
"Lalu bagaimana dengan pesan yang selebihnya?" tanya Bob. "Kau juga sudah berhasil memecahkannya?" "Belum," jawab Jupiter. "Yang selebihnya itu merupakan petunjuk-petunjuk di mana tempat penyembunyian itu, apabila kita sudah sampai di sana. Dan kita harus ke sana, untuk kemudian mereka-reka jawaban." "Besok pagi ya?" usul Pete. "Kita langsung ke sana besok pagi, naik mobil."
"Saat ini ada kemungkinannya Mr. Huganay juga sudah menemukan jawaban tadi," kata Jupiter. "Jadi kita tidak bisa membuang waktu lagi. Kita ke sana sekarang juga. Masih cukup waktu untuk ke sana, menemukan lukisan itu, lalu kembali lagi sebelum hari gelap. Sayangnya kita tidak bisa semua pergi ke sana. Dan kita juga tidak bisa naik Rolls-Royce."
"Lho! Kenapa?" tanya Pete tidak mengerti.
"Karena ada kemungkinan Mr. Huganay menugaskan salah seorang anak buahnya mengamat-amati gerak-gerik kita," kata Jupiter. "Dan Rolls-Royce itu kan sangat menyolok, berdasarkan pengalaman selama ini. Jadi rencanaku begini -"
Jupiter menjelaskan dengan serba singkat. Bob mau memprotes, tapi percuma saja. Akhirnya ia mengalah karena menyadari bahwa alasan Jupiter memang tepat. Jadi ketika mobil Rolls-Royce tiba di perusahaan jual-beli barang bekas, beberapa menit kemudian Trio Detektif masuk ke dalamnya dengan santai. Maksudnya supaya nampak jelas, jika memang ada musuh mengintai.
Yang menyetir lagi-lagi Fitch. Ia nyengir pada mereka, memamerkan sederet gigi berwarna kuning.
"Kalian menemukan nuri hilang lagi akhir-akhir ini?" tanya orang itu.
"Ya, beberapa ekor," jawab Jupiter singkat. "Satu di antaranya dicari polisi! Nah - sekarang kita keluar. Kitari kompleks ini lewat jalan memutar. Nanti pada saat melintas dekat pagar belakang, jalankan mobil pelan-pelan. Tapi jangan berhenti!"
Fitch melakukan tugasnya tanpa banyak bertanya lagi. Rolls-Royce meluncur ke luar gerbang, dengan ketiga remaja nampak jelas duduk di dalamnya. Tapi kemudian ketika menikung hendak memasuki jalan sebelah belakang, Pete dan Jupiter bergegas meloncat keluar.
"Tunggu kami di Markas Besar!" seru Jupiter. Kemudian menyusup lewat pintu rahasia yang dikenal dengan sandi 'Kelana Gerbang Merah', diikuti oleh Pete. Bob ditinggal sendiri dalam mobil.
"Nah, Master Andrews," kata Fitch dengan nada mengejek, "ke mana kita sekarang? Masih ada lagi nuri penjahat yang perlu dilacak jejaknya?"
"Tidak," jawab Bob. Ia menyembunyikan kekecewaannya. "Kita menyusur pesisir selama kira-kira setengah jam. Lalu menuju ke Timur, dan kembali ke sini lewat bukit. Malam ini kita melancong."
Tapi walau begitu Bob sama sekali tidak merasa senang. Ia dijadikan umpan, untuk mengelabui mata-mata Mr. Huganay yang mungkin mengintip. Sementara itu Pete dan Jupiter bisa asyik bertualang!

BAB 17
BATU DI BALIK TULANG

TRUK kecil dari perusahaan Mrs. Jones berjalan terguncang-guncang melewati jalan tanah yang tidak rata. Konrad duduk di belakang setir, sedang Pete dan Jupiter ada di sisinya. Kedua remaja itu memandang keluar.
Tadi, setelah meninggalkan Rolls-Royce dan masuk ke pekarangan kompleks, keduanya langsung menyelinap ke dalam truk itu. Mr. Jones sudah mengijinkan Jupiter memakainya sore itu. Dan begitu Pete dan Jupiter sudah masuk, Konrad yang mengemudikan langsung menjalankan kendaraan itu. Truk itu berangkat meninggalkan kompleks, seolah-olah ada tugas yang biasa. Sementara itu kedua remaja tadi meringkuk di lantai, supaya tidak kelihatan dari luar. Baru setelah truk sudah berjalan sepuluh mil, mereka duduk seperti biasa.
"Tidak ada yang membuntuti, Jupe," kata Konrad. "Dan nampaknya kita sudah sampai di kota yang hendak kaudatangi. Tak ada istimewanya dilihat sepintas lalu."
Mereka memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke Merita Valley. Dan seperti dikomentari oleh Konrad, kota kecil itu tidak ada istimewanya. Sementara itu daerah pertokoan yang sedikit sudah dilewati. Truk menyusur Baker Street. Di pinggir jalan itu boleh dibilang tak ada rumah sama sekali. Di sisi seberang jalan terbentang tembok batu yang panjang, di belakangnya terjejer beratus-ratus salib dan batu makam yang terbuat dari batu. Mereka sudah sampai di pekuburan Merita Valley.
Pete menuding ke satu arah di tengah tembok. Nampak di Situ semacam gerbang. Pada selembar papan tanda yang sudah tua tertulis: Baker Street 222 B.
"Kita tidak berhenti?" tanya Pete, ketika truk meluncur terus.
Jupiter menggelengkan kepala. "Pada simpangan berikut belok ke kanan, Konrad," katanya. "Beres," kata Konrad.
Pekuburan itu besar, dan kelihatannya sudah sangat tua. Ketika truk sampai di pojok jalan yang merupakan batas tembok, nampak puing-puing reruntuhan sebuah gereja yang terbuat dari batu bercampur tanah liat. Tempat itu lengang dan tak terurus.
Konrad membelokkan truk memasuki jalan ke kanan, terus sejauh beberapa ratus meter. Pekuburan sudah ditinggalkan di belakang. Mereka sampai dekat serumpun pepohonan ekaliptus yang berjejer di pinggir jalan. Dahan-dahannya merunduk. Tersebar bau minyak menusuk hidung.
"Kita berhenti di bawah pohon-pohon itu," kata Jupiter memberi instruksi. Dan Konrad menurut saja. Begitu truk berhenti, Pete dan Jupiter segera meluncur turun.
"Mungkin agak lama kami pergi, Konrad," kata Jupiter. "Tunggu saja di sini."
"Beres," jawab laki-laki bertubuh kekar itu. Dinyalakannya radio yang ada di mobil. "Aku toh tidak terburu-buru."
"Sekarang bagaimana, Jupe?" tanya Pete pada Detektif Pertama yang sudah mendului berjalan. Mereka melintasi suatu lapangan kosong, menyilang ke arah tembok batu yang mengelilingi pekuburan.
"Kita jangan sampai dilihat orang masuk ke pekuburan," kata Jupiter. "Kita tidak bermaksud jahat, tapi di pihak lain, usaha pencarian kita jangan sampai terhambat karena orang-orang yang ingin tahu."
Sesampai dekat tembok, mereka lantas memanjat ke seberang.
"Kalau aku sih tidak keberatan jika saat ini ada orang lain bersama kita," kata Pete, sementara mereka mulai menyusur jalan sempit yang tak terawat. Di sisi kiri-kanan banyak sekali terdapat batu makam besar dan kecil. Ada di antaranya yang sudah sangat miring dan rusak.
"Kau kan hebat kalau disuruh menaksir arah, Pete," kata Jupiter. "Tolong ingat jalan yang kita tempuh, supaya kita nanti bisa kembali ke truk apabila pencarian kita terpaksa sampai gelap. Sayangnya kita tadi tergesa-gesa, sehingga aku lupa membawa senter."
"Sampai gelap?" kata Pete setengah terpekik. "Tapi kurasa tidak akan mungkin bisa," sambungnya, sementara kabut tipis melintas di depan mereka. "Lihatlah - malam ini akan datang kabut dari arah laut."
Jupiter memandang ke barat, ke arah di mana Samudera Pasifik membentang luas. Betul juga - nampak kabut tipis bergulung lambat-lambat ke arah mereka. Di California Selatan, kabut sering datang dari laut, lalu menyelaputi daerah pesisir. Kadang-kadang begitu tebal, sehingga pemandangan terhalang sama sekali.
"Aku tadi tidak memperhitungkan kemungkinan adanya kabut," kata Jupiter sambil merengut. "Ini lebih parah lagi daripada kegelapan. Mudah-mudahan saja kita bisa cepat memecahkan teka-teki pesan Mr. Silver. Nah - itu jalan masuk yang ada alamatnya Baker Street 222 B."
Jupiter mempercepat langkah. Mereka lewat di antara dua batu makam yang besar, dan sampai di suatu persimpangan yang letaknya sedikit di sebelah dalam pintu masuk. Dari situ ada beberapa jalan kecil yang menuju ke segala arah.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Pete dengan gelisah. Jupiter mengambil secarik kertas dari kantongnya.
"Kita sudah sampai di Baker Street 222 B," katanya sambil memandang kertas di tangannya. "Bagian keempat dari pesan Mr. Silver berbunyi, 'Kutembakkan anak panah sebagai perlambang, seratus langkah ke barat ia melayang'. Nah, pintu masuk menghadap ke utara. Karenanya -"
"Apa?" tanya Pete pada Jupiter yang sementara itu memutar tubuh di tengah-tengah persimpangan.
"Seratus langkah bisa kita samakan dengan seratus meter," kata Jupiter. "Pasti Mr. Silver memaksudkan bahwa kita harus berjalan seratus meter ke barat. Titik awal untuk itu pantasnya di sini, di mana seluruh jalan di pekuburan ini bergabung. Jadi, dari sini kita melangkah sejauh seratus meter. Kau saja yang melakukannya, karena kakimu lebih panjang."
Pete mulai melangkah ke arah barat, melalui jalan kecil yang sejajar dengan tembok pekuburan, sekitar lima belas meter dari situ. Pete membuat langkahnya sepanjang mungkin. Setelah menghitung sampai seratus, ia berhenti. "Sudah," katanya. "Sekarang apalagi?"
"Sekarang kita sampai pada bagian kelima yang mengatakan, 'Anda kenal metodeku, Watson. Tiga tujuh menuju ke tiga belas.'"
"Selama ini masih gampang. Tapi pesan yang itu, tak ada artinya sama sekali. Maksudku, yang bisa dimengerti." Di tempat itu tak ada sesuatu yang bisa membantu Jupiter mendapat akal. Tapi kemudian ia berpaling. "Kau yakin langkahmu tadi panjangnya satu meter?" tanyanya. "Yah - kurasa begitu. Aku sudah mengulurnya sepanjang mungkin."
"Tapi lebih baik kita mengukurnya. Selalu lebih baik untuk mencari kepastian. Coba lakukan dua langkah, dan beri tanda awal dan akhirnya."
Pete menuruti permintaan Jupiter, yang sementara itu mengeluarkan pita pengukur dari kantongnya. Dengan alat itu diukurnya langkah Pete.
"Kurang," katanya kemudian. Ia menghitung sebentar, lalu menambahkan, "jalanlah lagi sejauh dua puluh langkah ke barat."
Pete melangkah lagi ke barat. Setelah dua puluh langkah, nampak tembok belakang pekuburan. Tapi walau di tempat itu banyak batu makam mengelilingi, ia tetap belum melihat apa-apa. Tapi Jupiter berseru lirih.
"Lihatlah!" katanya, sambil menuding ke arah tiga batu makam tua yang berjejer di depan mereka. Pada ketiga batu itu tertulis bahwa Josiah Severn, Patience Severn, dan Tommy Severn meninggal tahun 1888 pada hari yang sama karena sakit demam kuning dan kemudian dikebumikan di situ.
"Severn!" seru Pete, ketika akhirnya ia mengerti. "Apa kubilang, kata tujuh yang diucapkan oleh Sherlock Holmes lebih mengarah ke 'severn' daripada 'seven 'l"
"Di sini ada tiga Severn," kata Jupiter mengakui. "Tapi bagaimana bisa menuju ke tiga belas?"
"Ikuti garis jajaran batu makam!" kata Pete bergairah. "Kita lihat saja, mungkin menunjuk pada sesuatu. Kita harus buru-buru, karena kabut sudah semakin dekat!"
Pemandangan semakin kabur karena kabut yang bergulung-gulung. Tanpa membuang waktu lagi, Pete cepat-cepat berjongkok di sisi batu makam yang paling dekat padanya. Batu yang dua lagi agak miring. Sambil memandang lewat tepi atas batu-batu yang berjejeran itu, ditariknya garis dengan matanya. Dan ia menatap sebuah batu makam yang tinggi. Jaraknya sekitar lima belas meter dari situ.
"Garis yang kutarik dari sini sampai di batu itu, Jupe," katanya sambil menuding. "Coba lihat, apa yang tertulis di situ."
Jupiter bergegas menuju batu makam yang dimaksudkan. Pete menyusulnya, dan mereka tiba serempak di batu yang menjadi tujuan. Ternyata permukaannya polos. Namun ketika mereka menemukan ke sebaliknya, keduanya tertegun. Di situ ada tulisan, bunyinya:
Di Sini Dikuburkan
13 Pengembara Tak Dikenal
Tewas Dibunuh
Orang Indian
17 Juni 1876
"Tiga belas!" desah Pete. "Ternyata tiga severn menuju ke tiga belas. Cepat Jupe, masih apa lagi sisa pesan yang tinggal?"
"Bagian enam bunyinya, 'Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci'," kata Jupiter sambil membaca.
"Tapi batu yang mana?" tanya Pete bingung. "Di sini begitu banyak batu!"
"Kata pesan itu, 'di balik tulang'," kata Jupiter agak kesal. "Jadi tentunya bukan batu makam, karena batu begitu letaknya kan di atas makam. Bukan di balik!" Jupiter memandang berkeliling. "Aduh, kabut semakin tambah tebal saja! He - lihatlah! Di sana, di balik batu makam ini, dekat tembok itu ada setumpuk batu yang berasal dari tembok yang runtuh. Itu kan batu di balik tulang! Dan di sekitar sini cuma tumpukan batu itu saja yang ada. Jika kita periksa di bawahnya -"
Pete tidak menunggu lagi sampai Jupiter selesai bicara. Ia sudah lari menuju tumpukan batu besar-kecil yang nampak di kaki tembok. Dan begitu ia sampai di sana, ia langsung memindahkan batu-batu itu dan memeriksa apa yang ada di bawahnya.
"Ayo, Jupe, bantu aku," katanya tersengal-sengal. Tak banyak lagi waktu kita. Kabut yang datang nampaknya tebal sekali."
Sesaat kemudian kedua remaja itu sudah sibuk memindahkan batu dari tumpukan itu, membentuk tumpukan lain di tempat yang agak jauh. Makin lama semakin dalam mereka masuk di tengah tumpukan itu. "Aku paling senang melihat anak-anak muda yang tidak segan bekerja."
Tiba-tiba terdengar suara berlogat Perancis di belakang mereka. Pete dan Jupiter mendongak ke belakang. Dari balik kabut yang berputar-putar muncul Mr. Huganay, penjahat yang selalu perlente itu. Diikuti kedua kaki tangannya, Adams dan Lester yang berbadan kekar.
"Tapi kini sudah waktunya bagi kami untuk mengambil alih," kata Mr. Huganay sambil tersenyum memandang kedua remaja itu. "Kalian berdua - ringkus mereka!"
Pete dan Jupiter bergerak serempak, berusaha lari. Tapi sayang, gerak serempak itu malah merugikan. Pete dan Jupiter saling menubruk, sehingga kedua-duanya jatuh terjengkang. Dengan mudah Adams menyambar pergelangan tangan mereka lalu memutarnya ke belakang punggung masing-masing.
"Bagus!" Huganay masih tetap tersenyum. "Tahan keduanya di situ, Adams. Kau, Lester, kau menyingkirkan batu-batu itu sampai kita berhasil menemukan si gadis gembala. Setelah perburuan kita berakhir nanti, kalian akan menerima upah yang kujanjikan sebagai imbalan."
Laki-laki jelek bertubuh kekar itu bekerja dengan bersemangat. Batu-batu disingkirkannya dengan mudah sekali, seperti melempar kerikil saja.
Sedang Pete dan Jupiter hanya bisa memandang tanpa daya. Mereka kecewa sekali. Dan juga sangat marah.

BAB 18
KEJAR-KEJARAN DALAM KABUT

KABUT semakin merapat, sementara Lester sibuk terus menyingkirkan batu. Ia bekerja serajin anjing yang sedang menggali tulang. Berturut-turut dicampakkannya ke belakang batu-batu kecil, potongan-potongan genting, sepotong pipa, ranting patah, serta kerikil bergenggam-genggam. Beberapa di antaranya mengenai Adams, yang langsung menjerit kesakitan.
"Hati-hati dong!" serunya.
"Kurangi semangat dan tambah ketelitian, Lester," kata Mr. Huganay yang berdiri sambil memperhatikan.
Pete dan Jupiter juga cuma bisa memperhatikan, karena tangan mereka masih tetap dicengkeram oleh Adams. Perasaan mereka getir, karena membayangkan nyaris berhasil menemukan harta itu, tapi akhirnya didului oleh seorang pencuri cerdik dari Eropa.
"Jangan sedih Nak," kata Huganay yang rupa-rupanya bisa menebak pikiran keduanya. "Bagaimana juga aku ini sudah pernah mengalahkan para penjaga museum Louvre di Paris, serta British Museum di London. Sedang kalian nyaris saja berhasil menipu aku tadi. Siasat memberangkatkan mobil tua kalian yang menyolok supaya orangku membuntutinya, sedang kalian ke sini naik truk, benar-benar gemilang."
Laki-laki itu tertawa kecil, lalu menyalakan kembali api cerutunya yang padam kena kelembaban kabut yang menyelubungi tubuhnya, dan nyala korek api menerangi mukanya yang kelihatan seram seperti setan.
"Dan memang ada orangku yang memata-matai kalian. Orang itu menelepon aku untuk melaporkan bahwa Rolls-Royce berangkat dengan kalian bertiga, dan bahwa ia akan membuntuti. Tapi dua puluh menit kemudian ia menelepon lagi. Katanya ketika ia menyusul mobil itu, ternyata satu dari kalian saja yang ada di dalamnya. Rupanya kalian berhasil menipunya. Saat itu kusadari bahwa kalian lawan yang setaraf, dan aku perlu bertindak cepat."
Mr. Huganay mengepulkan asap cerutunya. Sementara itu Lester masih menggali terus.
"Tentu saja aku sudah berhasil memecahkan teka-teki bagian pertama pesan John Silver yang cerdik itu," cerita Huganay pada Pete dan Jupiter. "Tapi tempat pekuburan suram ini belum kutemukan. Karena aku terpaksa harus bertindak cepat, aku lantas menelepon biro turis. Kantor itu punya daftar tempat-tempat seperti ini untuk keperluan para turis. Dan mereka ternyata bisa mengatakan padaku, di mana ada pekuburan yang alamatnya Baker Street 222 B. Dengan segera aku kemari. Ternyata tepat pada waktunya!"
Saat itu terdengar Adams mengumpat pelan. Rupanya terkena lagi batu yang dilempar oleh Lester. Huganay berseru pada laki-laki bertubuh kekar itu.
"Coba pindah sedikit ke samping, Lester! Waktu itu Silver sudah sakit. Jadi takkan mungkin mau repot menggali dalam-dalam."
Lester menurut. Dan sesaat kemudian nampak ia merenggut sesuatu dari sebelah bawah sebongkah batu. Benda itu disodorkannya pada Huganay.
"Berhasil!" katanya. "Ini kotaknya, Mr. Huganay!"
"Ah!" kata Huganay dengan puas. Diterimanya kotak pipih yang terbuat dari logam, yang bentuknya empat persegi panjang. Tutupnya terkunci dengan sebuah gembok kecil tapi kokoh. "Ukurannya sesuai," katanya sambil menilik benda itu. "Bagus, Lester!"
"Itu dia kotak yang menurut cerita Carlos selalu disembunyikan Mr. Silver di bawah kasur tempat tidurnya," gumam Jupiter dengan nada suram pada Pete.
Sementara itu Huganay tidak tinggal diam. Ia mengeluarkan tang dari kantongnya. Dengan sekali tekan saja ia sudah berhasil membuka gembok. Tangannya merogoh ke dalam kotak.
"Kulihat sebentar saja," katanya. "Lukisan tua ini tidak boleh sampai rusak karena pengaruh kelembaban."
Tutup kotak dibuka olehnya. Saat itu juga terdengar ia berseru dengan marah. Lester segera mendekat untuk melihat apa sebabnya Huganay marah. Bahkan Adams pun tidak mau ketinggalan, ia datang sambil mendorong-dorong Pete dan Jupiter di depannya.
"Di sini cuma ada secarik kertas," kata Huganay. Napasnya memburu. "Ada tulisannya, 'Sayang, tapi ternyata Anda kurang teliti mempelajari petunjuk'."
"Siap, Jupe!" bisik Pete, ketika terasa pegangan Adams agak mengendor. Keduanya mengentakkan tangan dengan serentak. Pete yang dicengkeram tangan kiri orang itu, berhasil membebaskan diri. Tapi Jupiter tidak.
Pete jatuh telentang. Adams berpaling, sambil menyentakkan tangan Jupiter dengan kasar. Pete merasa tangannya menyentuh suatu benda keras dan panjang, lalu menggenggamnya. Setelah itu ia meloncat bangkit sambil mengayunkan pipa, yaitu benda yang dicengkeram olehnya. Pipa mengenai pundak Adams. Laki-laki itu terpekik kesakitan. Jupiter terlepas dari cengkeramannya.
Sambil memegang senjatanya, Pete menyambar lengan Jupiter lalu menyeret temannya itu, sementara ia melompat masuk ke tengah kabut. Mereka menuju ke balik sekelompok pohon ekaliptus yang ada di situ.
"Mereka pasti mengejar," bisik Pete di dekat telinga Jupiter. "Truk kita ada di sebelah sana."
Ia menuding ke suatu arah. Tapi Jupiter menggeleng. Baginya, di tengah kabut itu segala arah sama saja.
"Dari mana kau tahu?" tanyanya sangsi.
"Pokoknya aku tahu," jawab Pete. Dan mau tidak mau, Jupiter harus percaya saja. Pete memang harus diakui jago kalau disuruh mencari arah atau mengikuti jejak. Pada waktu malam pun Pete tidak bisa salah arah. Sedang Jupiter, di siang hari pun masih bisa tersesat.
"Sekarang dengar," kata Pete cepat-cepat. "Sepanjang jalan sampai ke tembok di mana kita tadi masuk ke sini, tumbuh pohon-pohon ekaliptus. Kita harus menyelinap dari pohon ke pohon."
"Nanti aku tersesat," kata Jupiter ngeri.
"Aku yang jalan dulu," kata Pete. "Aku bisa saja tinggal bersamamu. Tapi ketiga orang tadi kini kemari, jadi aku harus menyesatkan mereka dulu. Sementara itu kau terus bergerak dari pohon ke pohon. Jika kau sampai ke sebatang pohon, periksa apakah ada tanda rahasia kita. Kalau ada, kaulihat lagi tanda panah. Anak panah itu menunjukkan arah yang harus kautempuh. Dengan begitu kau takkan tersesat. Sekarang pergilah ke arah sana!"
Pete mendorong temannya yang gempal itu ke tengah kabut. Kemudian ia sendiri menuju ke arah lain, sambil berseru-seru. Ia sengaja berbuat begitu, supaya terdengar oleh Huganay beserta kedua anak buahnya.
"Ayo, Jupe, jangan jauh-jauh dari aku. Kita harus ke sini."
Ketiga orang yang menuju ke tempat kedua remaja itu tadi, terdengar mengarah ke tempat lain. Mereka berjalan sambil bicara, membuntuti suara Pete. Sementara itu Jupiter maju tersaruk-saruk. Berulang kali tulang keringnya membentur batu makam yang rendah. Akhirnya ia sampai ke rumpun pohon ekaliptus yang berikut. Ia berhenti di situ, sambil mendengarkan dengan seksama.
Keadaan sekelilingnya remang-remang. Rasanya saat itu seperti sedang di dalam air. Ia tidak bisa melihat lebih jauh dari satu sampai dua meter. Sedang kabut semakin menebal, kelabu dan lembab. Tapi ketika ia mendongak, ternyata di atas kepala kabut tidak begitu tebal. Sekitar sepuluh sampai lima belas meter dari tempatnya, nampak bayangan gelap. Mungkin itu puncak pepohonan. Jupiter tersaruk-saruk menuju ke sana.
Suara ketiga orang tadi kini tersebar. Ada yang datang dari sana dijawab dari sudut yang lain. Rupanya mereka tersesat. Sedang Pete - entah di mana kawan yang satu itu.
Jupiter sampai di kelompok pepohonan yang dilihat olehnya puncaknya tadi. Diperhatikannya batang-batang pohon itu dengan cermat. Pada sebatang di antaranya nampak sebuah tanda tanya yang dibuat dengan kapur tulis berwarna biru. Gambar anak panah yang ada di bawahnya menunjuk ke kiri.
Tanda tanya merupakan lambang Trio Detektif. Ketiga anggotanya masing-masing mengantongi kapur yang berlain-lainan warnanya. Gunanya untuk memberi tanda, apabila ada yang hendak meninggalkan pesan rahasia pada rekan-rekannya.
Dalam hati saat itu Jupiter merasa senang, karena dialah yang mengilhami gagasan itu. Dengan langkah hati-hati ia menyelinap ke arah yang ditunjukkan anak panah.
Ia tiba di serumpun pohon ekaliptus lagi, di mana nampak gambar tanda tanya serta anak panah. Ternyata Pete ada di depannya. Di belakang Jupiter terdengar seseorang berteriak kesakitan. Rupanya tersandung pada sesuatu. Suara orang-orang itu semakin ketinggalan di belakang.
Tapi kabut semakin bertambah tebal. Segala-galanya nampak aneh dan menyeramkan. Dahan dan ranting seolah-olah menjelma menjadi lengan-lengan yang hendak mencengkeram. Tonggak-tonggak tinggi nampak seperti momok yang hendak menakut-nakuti.
Napas Jupiter sudah memburu, ketika akhirnya nampak bayangan tembok yang rendah di hadapannya. Tapi tiba-tiba dari balik tembok muncul sesosok tubuh yang menjangkau ke arahnya. Jupiter kaget, lalu menyentakkan diri ke belakang.
"Ini aku. Pete!" bisik sosok tubuh itu. "Ayo, pegang tanganku. Cepat!"
Jupiter menurut saja. Sekali ini bukan waktu baginya untuk main gengsi. Ia membiarkan diri dibantu kawannya menyeberangi tembok. Lalu kembali merintis kabut, sampai akhirnya sampai di dekat truk. Lampu kendaraan itu menyala.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Konrad, sementara kedua remaja itu bergegas masuk ke dalam kabin.
"Kita pulang sekarang," kata Jupiter dengan napas tersengal-sengal. "Sebaiknya kita ke pedalaman dulu, lalu mencari jalan keluar dari kabut ini."
"Beres," kata Konrad. Truk dijalankannya dengan hati-hati ke arah timur, sampai mereka keluar dari selubung kabut.

BAB 19
BLACKBEARD MEMBUKA RAHASIA

PETE dan Jupiter diam saja, sementara truk meluncur dijalan raya. Setelah agak lama, akhirnya Jupiter membuka mulut.
"Setidak-tidaknya Mr. Huganay akan sulit mengejar kita, karena terhalang kabut." "Untuk apa kita dikejar olehnya?" tanya Pete "Lukisan itu kan tidak ada pada kita."
"Tapi mungkin saja ia mengiranya." Jupiter mencubiti bibir bawahnya. "Sama sekali tak tersangka-sangka, bahwa ketika akhirnya ditemukan, ternyata kotak itu isinya cuma sepucuk surat dari John Silver."
"Jika mereka sekarang mengejar kita," kata Pete, "di sini ada Konrad yang bisa menolong untuk menghadapi mereka." Sambil berkata begitu, diayun-ayunkannya potongan pipa yang masih digenggamnya terus sedari tadi. "Dan aku akan mendapat kesempatan mempergunakan senjata ini sekali lagi. Adams pasti takkan cepat melupakan pukulanku tadi."
"Kau tadi beraksi kayak sudah kuperkirakan," kata Jupiter. "Berani dan dengan perhitungan tepat." Pete diam saja, padahal cuping hidungnya kembang-kempis karena bangga. Jupiter jarang memberi pujian. Jadi kalau ada pujian dari dia, artinya juga besar sekali.
Namun sementara itu Jupiter sudah memikirkan soal lain lagi.
"Kita berhasil memecahkan teka-teki pesan John Silver," katanya. "Buktinya, kotak itu ditemukan. Tapi lukisan yang dicari, tidak ada di dalamnya."
"Satu bagian dari pesan itu berbunyi, 'Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'," kata Pete mengingatkan. "Itu tandanya Mr. Silver masih menyuruh kita berpikir lebih lanjut."
"Mungkin juga," kata Jupiter. Setelah itu ia termenung. Dan Pete tidak mau mengganggu kawannya itu berpikir.
Sebelum masuk ke Rocky Beach, truk harus menembus kabut lagi. Tapi di situ kabut tidak setebal yang menyelubungi daerah sebelah selatan. Akhirnya mereka sampai di kompleks perusahaan Paman Jones tanpa mengalami kesulitan sedikit pun.
"Kita langsung saja ke Markas Besar," ajak Jupiter, setelah Konrad pergi untuk menaruh truk. "Kita harus menyampaikan laporan lengkap pada Bob."
Sekali ini keduanya masuk lewat jalan yang diberi nama Tiga Enteng menuju ke Markas, karena saat itu tak ada orang lain yang mungkin bisa melihat. Yang disebut Tiga Enteng itu sebuah pintu besar lengkap dengan bingkainya, yang tersandar ke setumpuk barang rombengan. Tapi ketika pintu sudah dibuka dengan anak kunci berkarat yang disimpan dalam sebuah panci tua yang sama sekali tidak menyolok, ternyata di balik pintu ada rongga. Rongga itu merupakan bagian sebelah dalam dari sebuah bejana tua yang dulu dipakai untuk memasak air. Dan dari situ mereka memasuki sebuah pintu kecil, yang menuju ke dalam ruangan Markas Besar.
Bob Andrews ada di situ. Ketika kedua rekannya masuk ke dalam, nampak remaja itu sedang duduk sambil membaca. Tapi kesibukannya itu langsung dihentikan, begitu melihat Pete dan Jupiter muncul.
"Bagaimana - ketemu?" katanya setengah berteriak.
Tapi tanpa dijawab pun ia langsung tahu sendiri. Tampang kedua remaja itu yang kusut-masai serta lesu, serta tangan yang kosong kecuali sebatang pipa yang dipegang oleh Pete, sudah merupakan pernyataan jelas, bahwa ada sesuatu yang berjalan tidak semestinya.
"Kami tertangkap oleh Mr. Huganay tadi," kata Jupiter, lalu menjatuhkan diri ke kursinya.
"Tapi dia pun tidak berhasil menemukan lukisan itu," tambah Pete sambil duduk pula. "Kalau kotak itu, memang ditemukan. Tapi isinya cuma secarik kertas, di mana tertulis bahwa dia kurang teliti mempelajari petunjuk."
"Wah - gawat!" kata Bob. "Maksudmu, kita semua cuma dipermainkan saja oleh Mr. Silver? Dia pura-pura menyembunyikan lukisan itu - padahal tidak?"
"Entahlah," kata Jupiter dengan murung. "Tapi kurasa tidak. Surat dalam kotak itu mengatakan, 'Sayang, tapi ternyata Anda kurang teliti mempelajari petunjuk'. Artinya ada sesuatu di antara petunjuk-petunjuk itu yang tidak kita perhatikan. Juga tidak oleh Mr. Huganay."
"Kan sudah kukatakan-" kata Bob. Tapi kalimatnya terputus, karena saat itu telepon berdering.
Ketiga remaja itu berpandang-pandangan. Sepanjang ingatan mereka, tak ada yang berjanji akan menelepon saat itu. Karena itu mereka membiarkan dulu.
"Mungkin Mr. Claudius," kata Jupiter kemudian, setelah telepon berdering sampai lima kali. "Lebih baik kuterima saja."
Diangkatnya gagang pesawat, lalu didekatkannya ke alat pengeras suara, supaya yang lain-lainnya juga bisa ikut mendengar.
"Halo," katanya. "Kantor Trio Detektif. Di sini Jupiter Jones."
"Selamat, Pemuda Jones," kata orang yang di seberang. Orang itu tertawa kecil. Ketiga anggota Trio Detektif berpandang-pandangan. Suara itu kentara sekali berlogat Perancis. Mr. Huganay!
"Siapa di situ?" tanya Jupiter. Ia sudah tahu siapa lawan bicaranya. Tapi ia hendak mengulur waktu, supaya bisa bersiap-siap menghadapi kemungkinan ancaman yang datang dan pencuri ulung itu.
"Aku orang yang kalian jumpai beberapa saat yang lalu di tengah kabut yang menyelubungi tempat yang menarik di Merita Valley," kata orang yang menurut suaranya pasti Mr. Huganay. "Aku cuma ingin memberi tahu, aku akhirnya berhasil mengetahui bagaimana aku ditipu oleh John Silver. Kalian benar-benar cerdas, bisa melihat apa yang tak kuperhatikan. Jadi - kini aku menghentikan perburuanku. Aku tahu kapan aku harus menyerah."
Suara itu berhenti sebentar.
"Kini aku berada di pelabuhan udara," sambungnya. "Jika pembicaraan kita selesai, aku akan langsung naik ke pesawat. Jadi kalian tidak bisa mengejar aku lagi. Ini merupakan kata salam terakhir dari seorang pemburu pada rekan-rekannya. Tolong sampaikan pada Claude, aku mengucapkan semoga ia berbahagia dengan gadis gembalanya."
"Terima kasih," kata Jupiter. Padahal ia sama sekali buta, tak tahu-menahu apa sebetulnya yang dimaksud Huganay dengan ucapan selamatnya.
"Kalian berhasil menipu aku," kata Mr. Huganay selanjutnya. "Tidak banyak orang yang bisa melakukannya. Kapan-kapan, jika kalian datang ke Eropa, jangan lupa mengunjungi aku. Kalian akan kuajak melihat-lihat dunia hitam di Perancis. Saat itu kalian mungkin akan mendapat kesempatan untuk beradu cerdik, memecahkan misteri di situ. Aku tidak sakit hati, jika kalian juga tidak mendendam. Setuju?"
"Yah - baiklah," kata Jupiter, sambil mengejapkan mata ke arah rekan-rekannya. "Setuju!"
"O ya - masih ada satu hal lagi," sambung Mr. Huganay. "Burung-burung yang ada padaku, kusimpan di Santa Monica. Tepatnya dalam sebuah garasi di Ocean Street nomor 89958. Pasti kalian mau mengurus binatang-binatang itu. Aku sendiri tidak ada waktu lagi untuk kembali ke sana. Karena itu kupasrahkan saja tugas ini pada kalian. Nah - au revoir! Sampai jumpa, dan sekali lagi kuucapkan selamat!"
Pembicaraan selesai. Jupiter mengembalikan gagang pesawat telepon ke tempatnya. Setelah itu ia beserta kedua rekannya saling berpandangan.
"Kaucatat alamat tadi, Bob?" tanya Jupiter kemudian.
"Ya," jawab Bob. "Dengan begitu Billy dan Bo-Peep akan bisa kita kembalikan pada pemilik masing-masing. Tapi apa maksudnya tadi, ketika mengatakan bahwa kita berhasil menipunya?"
"Padahal aku tadi cuma memukul Adams, menyambar lenganmu, Jupe, lalu langsung lari," kata Pete. "Kalau itu yang dimaksudkannya dengan menipu, wah -" Ia tertegun. "Ada apa, Jupe?" tanyanya. "Kenapa kau menatap aku dengan mata melotot?"
"Bagaimana bunyi bagian keenam dari pesan John Silver?" tanya Jupiter dengan napas agak tertahan. Bob memberi jawaban.
'"Lihat di bawah batu di balik tulang untuk menemukan kotak tak berkunci'," katanya.
"Ya, betul," kata Pete menimbrung. "Dan memang di tempat itu Lester yang tukang pukul itu menemukan kotak Mr. Silver."
"Tapi yang ditemukannya kotak bergembok!" seru Jupiter. "Untuk membukanya, Mr. Huganay terpaksa merusak gembok itu. Sedang pesan itu jelas mengatakan, 'untuk menemukan kotak tak berkunci'."
"Ya, betul!" kata Pete setengah berteriak. "Mestinya ada lagi kotak lain - Tidak," bantahnya sendiri, "tidak mungkin. Kotak tadi besar ukurannya, walaupun pipih. Kalau di sana ada kotak lain, pasti kelihatan oleh Lester."
"Tapi bagaimana kalau kotak itu kecil?" kata Jupiter. "Kotak yang sama sekali tidak kayak kotak bentuknya. Bagaimana bunyi bagian ketujuh dari pesan John Silver?"
'"Aku tak pernah memberi kesempatan adil bagi si tolol'," jawab Pete. "Kita sendiri mendengar Scarface mengucapkan kalimat itu. Ya kan, Bob?"
"Betul," jawab Bob. "Tapi bukan itu saja yang diucapkan burung itu. Ia masih mengatakan, 'Dan itu gampang sekali'. Tapi ia memakai kiasan kuno. Nih, aku mencatatnya." Bob melirik catatannya sebentar. "Tepatnya Scarface mengatakan, 'And that's a leadpipe cinch'. "
"He -jangan-jangan bagian pertama dari kalimat itu tujuannya cuma untuk mengalihkan perhatian saja," terka Jupiter. "Sedang bagian terakhir mengarahkan perhatian pada satu benda tertentu. Benda yang pasti jelas, jika kita cukup teliti menyimak petunjuk."
Ditatapnya kedua rekannya.
"Apa itu yang tergeletak di atas meja di depanmu, Pete?" tanyanya kemudian. "Sepotong pipa," jawab Pete dengan segera. "Kaudapat di mana?"
"Tadi kupungut di pekuburan, untuk memukul Adams dengannya," jawab Pete lagi.
"Dan pipa itu ada di situ, karena Lester menemukannya di bawah batu, lalu mencampakkannya ke dekatmu. Ya kan?" tanya Jupiter lagi.
Pete tidak mampu menjawab dengan kata-kata, karena lehernya serasa tersumbat. Ia mengangguk.
"Ya, ini pipa. Dan terbuat dari timah," kata Jupiter. Mata Bob mulai membesar. Pipa timah, dalam bahasa Inggris 'leadpipe '
"Dewasa ini pipa timah sudah tidak biasa dipakai lagi," sambung Jupiter. "Tapi coba perhatikan. Pada kedua ujungnya terpasang tutup yang disekerupkan rapat-rapat. Tujuannya supaya tidak ada yang bisa masuk ke dalam. Air, misalnya."
"Dan potongan pipa yang kedua ujungnya disumbat, bisa juga disebut kotak," kata Bob dengan suara lirih. "Dan tak berkunci. Tutup bukan kunci," sambut Pete.
"Kotak tak berkunci," kata Jupiter. "Dan tidak bisa berkarat, tidak bisa dimasuki apa saja. Sebuah kotak yang bisa bertahan sampai seabad, kalau perlu. Tempat sempurna untuk menyembunyikan sesuatu yang berharga. Dan kita membawanya kemari, tanpa sadar!"
Sementara itu Pete sudah sibuk. Ia berusaha membuka kedua tutup yang terpasang pada ujung-ujung pipa yang panjangnya sekitar empat puluh senti itu.
"Wah, terlalu keras," katanya setelah mencoba beberapa saat. "Terpaksa kuambil tang dari laboratorium."
Ia masuk ke dalam ruangan laboratorium yang merupakan bagian dari Markas Besar. Sesaat kemudian sudah kembali lagi.
"Kau yang membukanya," kata Jupiter padanya, "karena kau pula yang memungutnya tadi."
Ia dan Bob menahan napas, sementara Pete mulai membuka tutup pipa itu dengan tang. Akhirnya terbuka juga. Dengan segera Pete merogohkan jarinya ke dalam pipa. Ketika ditarik ke luar, jari-jarinya menjepit sesuatu yang kemudian jatuh ke atas meja. Selembar kain kanvas yang tergulung kecil.
"Kanvas," kata Jupiter dengan suara seperti tercekik. "Kanvas bisa digulung tanpa rusak. Dan kanvas yang lebar kalau digulung bisa dimasukkan dalam sebuah silinder yang garis tengahnya kecil. Buka gulungan itu, Pete."
Pete membuka kanvas yang tergulung, dan dibentangkannya di atas meja. Detik berikutnya, tiga pasang mata menatap kagum.
Kain kanvas itu berukuran sekitar empat puluh kali enam puluh senti. Pada satu sisinya nampak sesuatu lukisan. Ketiga remaja itu tidak tahu apa-apa tentang seni lukis. Tapi walau begitu mereka langsung sadar, lukisan itu sangat indah. Dan pasti sangat berharga pula! Lukisan gadis remaja berpakaian seperti penggembala, sedang merawat seekor anak domba yang kakinya cedera. Warna-warnanya menyala, indah sekali!
Trio Detektif berhasil menemukan kembali lukisan yang hilang.
"Sepotong ujung pelangi," kata Jupiter. "Begitu kalimat yang dipakai John Silver untuk melukiskannya. Sekarang aku mengerti maksudnya."
Burung beo yang terkantuk-kantuk dalam sangkar di atas kepala mereka terbangun, ketika mendengar kata-kata John Silver. Rupanya kata-kata itu membangkitkan salah satu ingatan. Blackbeard mengepakkan sayap dua kali, lalu bicara.
"John Silver," katanya serak. "Hebat! Hebat!"
Setelah itu dikepitkannya kembali kepalanya ke bawah sayap. Burung beo luar biasa itu tidur lagi. Tapi ketiga remaja yang masih tertegun menghadapi lukisan yang terbentang di atas meja, saat itu merasa seakan-akan baru saja mendengar suara seseorang yang sudah meninggal beberapa saat yang lalu. Mereka seakan-akan mendengar suara seseorang tertawa geli. Padahal Blackbeard sudah pulas lagi.

BAB 20
AKHIR PETUALANGAN

DUA hari kemudian Bob, Pete, dan Jupiter masuk ke dalam ruangan kantor Alfred Hitchcock. Sutradara kenamaan itu duduk di belakang meja kerjanya, sambil meneliti beberapa lembar surat kabar. Begitu ketiga remaja itu masuk, mereka dipersilakan duduk olehnya.
"Silakan duduk dulu," kata Alfred Hitchcock. "Sebentar, kuselesaikan dulu membaca koran."
Ketiga remaja itu duduk sambil menunggu. Setelah beberapa saat, Mr. Hitchcock menaruh surat kabar ke atas meja. Lalu ditatapnya ketiga remaja yang duduk di depannya dengan pandangan bertanya.
"Yah!" katanya. "Kalian kuminta tolong mencari burung nuri temanku yang hilang. Tapi ternyata kalian malah menemukan suatu lukisan antik yang hilang, dan tampang kalian dimuat dalam surat kabar."
"Cuma surat kabar kota kami saja, Sir, " kata Jupiter dengan hormat. "Sedang surat kabar yang besar-besar di Los Angeles cuma memuat berita bahwa beberapa remaja menemukan lukisan itu di bawah tumpukan batu di pekuburan Merita Valley."
"Walau begitu, ini pun sudah hebat," kata Mr. Hitchcock, sambil menunjukkan surat kabar Rocky Beach News. "Ini fotomu, Jupiter Jones, serta mobil yang kaumenangkan dalam salah satu sayembara. Lalu foto kalian bertiga memegang lukisan yang kalian temukan. Disertai kepala berita, 'Tiga Penyelidik Remaja Rocky Beach Menemukan Lukisan Hilang'. Pasti nama Trio Detektif sudah cukup terkenal karenanya."
"Betul, Sir, " kata Jupiter sependapat. "Karena berita-berita itu, kini kami sudah beberapa kali menerima tawaran tugas. Apa saja yang kita terima, Bob?"
Dengan cekatan Bob Andrews mengambil buku catatannya.
"Kubacakan sebentar," katanya pada Jupiter. "Seekor anak kucing Siam yang hilang. Patung Dewa Pan yang dicuri dari sebuah kebun di Hollywood. Sebuah perahu tua yang kayak hantu hanya muncul pada malam-malam berkabut, dan selalu mendarat di depan satu rumah tertentu di Pantai Malibu. Lalu misteri yang menyangkut seseorang yang kerjanya selalu menukar-nukar nomor tiga buah tertentu di Rocky Beach. Itu yang masuk sampai sekarang."
Mr. Hitchcock cuma bisa menggeleng-geleng saja.
"Aku benar-benar kagum jika membayangkan misteri apa saja yang akan kalian hadapi nanti, jika kalian sudah mulai menangani persoalan sebanyak itu. Tapi coba ceritakan padaku hal-hal yang tidak ikut dimuat dalam koran. Karena aku tahu, awal mula kejadian ini kan ketika kalian mencari burung nuri Mr. Fentriss yang hilang. Tapi soal itu sendiri tidak dilaporkan dalam surat kabar."
"Soalnya, karena Mr. Claudius tidak menghendakinya," jawab Jupiter. "Kata dia, nanti menimbulkan kesan tak masuk akal. Kecuali itu - Ah, lebih baik saya mulai dari awalnya."
Mr. Hitchcock mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Jupiter menceritakan petualangan mereka bertiga. Ketika selesai, sutradara itu mengangguk.
"Jadi akhirnya kalian berhasil mengembalikan nuri, memecahkan teka-teki pesan misterius, serta menemukan lukisan antik yang kemudian kalian kembalikan pada Mr. Claudius," kata Mr. Hitchcock menarik kesimpulan.
"Betul, Sir, " kata Jupiter. "Tentu saja nasib kami juga sedang beruntung." Pengakuan itu diucapkannya dengan segan-segan. Tapi Jupiter anaknya jujur.
"Nasib untung hanya ada gunanya, apabila kalian tahu memanfaatkannya," kata Mr. Hitchcock menasehati. "Jadi kalian sudah mengembalikan Billy Shakespeare pada kawanku Malcolm Fentriss, dan Little Bo-Peep pada Miss Waggoner?"
"Ya, Sir, " kata Jupiter. "Keduanya sangat gembira ketika menerima kesayangan mereka itu dalam keadaan selamat. Mr. Claudius masih sempat menjelaskan duduk perkara sebenarnya, dan ia juga minta maaf atas perbuatannya terhadap mereka. Baik Mr. Fentriss maupun Miss Waggoner mau memaafkannya."
"Yah - kalau begitu lain kali aku bersedia membantu kalian dalam kasus-kasus penyelidikan selanjutnya," kata Mr. Hitchcock. "Asal yang cukup menarik."
"Wah, terima kasih, Sir!" seru Jupiter, disusul oleh ucapan serupa dari mulut Bob dan Pete. Setelah itu Detektif Pertama langsung bangkit. "Yuk, kita harus mulai bekerja lagi."

Tambahan dari Alfred Hitchcock:

Ada beberapa hal dalam kasus ini yang masih perlu dipaparkan. Aku saja yang melakukannya, karena Pete, Bob, dan Jupiter sudah sibuk lagi dengan penyelidikan lain.
Mr. Claudius, laki-laki gendut pencinta lukisan itu, sudah kembali ke Inggris. Ia membawa pulang lukisan antik yang berhasil ditemukan kembali untuknya oleh Trio Detektif. Untuk itu ia sebenarnya hendak menyerahkan uang sebanyak seribu dollar pada mereka, sebagai hadiah seperti yang sudah dijanjikan. Tapi Jupiter menolaknya. Katanya, yang harus mendapat hadiah sebenarnya adalah Carlos serta Paman Ramos.
Dengan uang sebanyak itu, Paman Ramos pulang ke Meksiko. Di sana ia tinggal di kampung asalnya, beristirahat untuk memulihkan kesehatan. Sedang Carlos diperkenalkan oleh Trio Detektif pada Worthington, yang kemudian mengajak remaja itu ke Rent n Ride Auto Rental Agency, perusahaan penyewaan mobil yang memiliki Rolls-Royce yang dipakai oleh Jupiter dan kedua rekannya karena memenangkan sayembara. Di perusahaan itu, Carlos diberi pekerjaan sebagai pencuci mobil. Dalam waktu luangnya, ia belajar untuk menjadi montir mobil. Carlos merasa bahagia karena bisa bekerja mengurus mobil. Ia menumpang di rumah keluarga Jones. Sebagai imbalan, sekali seminggu ia bekerja di tempat penimbunan barang rombengan.
Mr. Huganay, pencuri lukisan yang ulung itu, masih bebas berkeliaran di Benua Eropa. Tapi di beberapa negara, ia dicari-cari polisi. Pasti hidupnya tidak bisa tenang! Sedang Lester dan Adams menerima ganjaran yang sepatutnya. Mereka ditinggal pergi oleh Huganay, tanpa dibayar sepeser pun. Dengan begitu mereka akhirnya sadar, kejahatan bukan pekerjaan baik.
Jupiter masih tetap agak keras kepala dan terlalu percaya pada diri sendiri. Tapi aku yakin ia akan mampu menanggulangi segala kekurangannya itu, berkat kecerdasan serta kebijaksanaannya. Ya - sudah sepantasnya jika aku memilih tugas penyelidikan selanjutnya bagi Trio Detektif. Dan setiap perkembangan menarik pasti akan kuceritakan pada kalian.

Salamku,
Alfred Hitchcock