Trio Detektif - Misteri Laba-Laba Perak(2)

Bagian 2

Bab 8
BOB TIDAK INGAT LAGI

"Labah-labah Perak itu sudah ada padamu lalu kemudian hilang lagi?" Rudi menatap Bob dengan bingung. "Gawat," kata Elena. "Kenapa sampai bisa terjadi begitu?"


Jupiter menjelaskan duduk perkaranya. Dituturkannya bahwa Djaro mengatakan Labah-labah keramat itu hilang, dan kemudian meminta bantuan Trio Detektif untuk menemukannya kembali. Diceritakan pula bahwa Djaro mengajak mereka ke ruang penyimpanan harta kepangeranan untuk menunjukkan Labah-labah imitasi yang ditaruh sebagai pengganti, lalu menyatakan kecurigaan bahwa Adipati Stefan yang mengambil yang asli dengan tujuan tertentu-yaitu mencegah Pangeran Djaro naik tahta. Kemudian giliran Bob menceritakan bagaimana ia menemukan Labah-labah Perak asli yang disembunyikan di bawah tumpukan sapu tangannya.
"Sekarang mulai kupahami rencana jahat itu," kata Rudi menggumam. "Adipati menyuruh agar Labah-labah Perak disembunyikan dalam kamar kalian. Kemudian ia mengirim orang-orangnya untuk menangkap kalian. Menurut rencananya, kalian akan ketahuan dengan Labah-labah itu di tempat kalian. Adipati Stefan akan menuduh bahwa kalian mencuri lambang kepangeranan itu, sedang Djaro karena kecerobohannya memberi peluang bagi kalian untuk melakukan pencurian itu. Nama baik Pangeran akan tercemar karenanya. Kalian bertiga diusir keluar dari Varania, sementara semua hubungan dengan Amerika Serikat diputuskan. Adipati Stefan akan tetap berkuasa sebagai wali negara. Kemudian dengan alasan yang dicari-cari, ia akan memperkuat kedudukannya sebagai penguasa tetap di negara ini."
Rudi merenung.
"Sekarang pun ia masih bisa meneruskan rencana itu, walau Labah-labah yang asli benar-benar hilang. Ia akan tetap mendakwa kalian mencuri lalu menyembunyikannya, walau kami nanti berhasil membawa kalian dengan selamat ke gedung Kedutaan Amerika Serikat."
"Aku masih tetap belum mengerti," kata Pete sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Apa sebabnya Labah-labah Perak itu begitu penting artinya bagi kalian? Umpamanya saja benda itu musnah karena ada kebakaran atau karena sebab lain-kalau begitu lantas bagaimana?"
"Seluruh negeri akan berkabung," kata Elena menyela. "Tapi kesalahan tidak akan ditimpakan pada Pangeran Djaro. Memang sukar sekali menjelaskan arti Labah-labah Perak Pangeran Paul bagi kami-orang Varania. Benda itu merupakan lambang segala-galanya yang sangat kami cintai: kebebasan, kemerdekaan, dan nasib baik kami."
"Mungkin saja kami ini terlalu percaya pada takhyul," kata Rudi menambahkan, "tapi ada legenda yang menjadi dasar kepercayaan kami itu. Menurut kisah lama, Pangeran Paul sewaktu dinobatkan bertitah, bahwa seperti halnya seekor labah-labah menyelamatkan jiwanya serta mendatangkan kemerdekaan bagi rakyatnya, maka kebebasan dan nasib baik akan selalu terjamin selama Labah-labah Perak berada dalam keadaan selamat. Bisa saja ia tidak benar-benar mengatakan begitu-tapi setiap orang Varania percaya bahwa begitulah yang pernah diucapkan oleh Pangeran Paul. Lenyapnya Labah-labah Perak akan merupakan bencana nasional. Memikulkan tanggung jawab pada Pangeran Djaro atas kejadian itu-biarpun tidak secara langsung-akan menyebabkan rakyat negara kami yang sekarang sangat mencintainya kemudian berbalik dan memperoleh kesan bahwa ia tidak layak menjadi pangeran."
"Tidak," sambungnya setelah agak lama termenung, "Adipati Stefan akan keluar sebagai pemenang, apabila kita tidak berhasil mengembalikan Labah-labah Perak yang hilang itu pada Pangeran Djaro."
"Wah-gawat!" kata Bob cemas. "Coba tolong aku mencarinya sekali lagi. Mungkin tadi aku kurang teliti."
Kini Pete dan Jupiter menggeledah kantung-kantung teman mereka itu. Bahkan lipatan celana pun ikut diperiksa. Tapi dalam hati mereka sudah tahu bahwa itu sia-sia belaka. Labah-labah Perak itu tidak mungkin masih ada pada Bob.
"Coba kauingat-ingat, Bob!" desak Jupiter. "Tadi kan masih ada di tanganmu. Kauapakan kemudian?" Bob berusaha mengingat sambil mengerutkan kening.
"Aku tidak tahu lagi," katanya. "Paling akhir yang kuingat adalah bunyi pintu digedor-gedor dari luar, lalu Rudi masuk lewat jendela. Setelah itu segala-galanya lenyap dari ingatan, sampai tahu-tahu aku tergeletak di lantai balkon dan Rudi membungkuk memperhatikan diriku."
Sambil mencubiti bibir bawahnya, Jupiter menyebutkan suatu istilah dari bidang kedokteran.
"Jika seseorang mengalami benturan pada kepala, bisa saja terjadi bahwa orang itu melupakan hal-hal yang terjadi beberapa saat sebelum kejadian itu," katanya menjelaskan. "Kadang-kadang yang dilupakan segala hal yang berlangsung beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu sebelumnya, tapi bisa juga hanya beberapa menit yang terakhir. Ingatan pada hal-hal yang dilupakan itu biasanya lambat-laun datang lagi-tapi tidak selalu begitu! Rupanya itulah yang terjadi dengan Bob. Ketika kepalanya tadi membentur lantai balkon, ingatannya pada peristiwa beberapa menit sebelumnya hilang."
"Kurasa memang itulah yang terjadi," desah Bob sambil meraba-raba kepalanya yang benjol. "Samar-samar kuingat lari kian kemari dalam kamar tadi, mencari tempat yang baik untuk menyembunyikan Labah-labah keramat itu. Tentu saja saat itu perasaanku sedang gugup sekali! Tapi aku masih ingat bahwa aku tidak jadi menyembunyikannya di bawah kasur, di bawah permadani, atau di belakang lemari-karena kalau di situ pasti akan ditemukan dengan cepat."
"Tindakan yang wajar pada saat begitu ialah memasukkannya ke dalam kantung ketika kau melihat aku tiba-tiba muncul," kata Rudi membantu Bob mengingat-ingat. "Mungkin kemudian terjatuh, ketika kau terpeleset dari tali dan terbanting ke balkon."
"Atau mungkin juga masih ada di tanganku ketika aku bergegas lari ke balkon kamar kami," kata Bob dengan murung. "Lalu ketika aku mulai beringsut-ingsut sepanjang langkan, tanganku terbuka karena meraba-raba dinding dan barang itu terjatuh. Mungkin sekarang ada di langkan. Atau mungkin pula jatuh ke halaman istana."
"Kalau ke situ jatuhnya, pasti akan ditemukan orang," kata Rudi setelah beberapa saat terdiam. "Dan kalau ditemukan, kami pasti akan mendengar kabarnya. Tapi kalau tidak-" Ia memandang ke arah Elena. Gadis itu mengangguk.
"Besar kemungkinannya orang-orang suruhan Adipati Stefan takkan mencarinya dalam kamar kalian," katanya. "Mereka pasti beranggapan Labah-labah Perak itu masih di tangan kalian. Jadi jika sampai besok malam belum ditemukan, kita harus mencarinya di halaman bawah."

Bab 9
RENCANA MINGGAT

Sepanjang malam itu Bob, Pete, dan Jupiter bersembunyi terus dalam rumah jaga di atap istana. Waktu rasanya berjalan lambat sekali, seperti merambat. Tapi tidak ada orang muncul untuk memeriksa ke situ-karena keras sekali sangkaan bahwa ketiga remaja itu lari ke bawah, dan bukan ke atas. Tali yang sengaja dibiarkan terjulur ke balkon sebelah bawah, ditambah dengan sapu tangan Jupiter yang ditemukan tercecer dijalan masuk ke ruangan bawah tanah, menyebabkan usaha pencarian menuju ke arah yang menjauhi tempat mereka bersembunyi.
Setelah Rudi dan Elena pergi, ketiga remaja itu merebahkan diri ke atas bangku kayu. Mereka mencoba tidur. Dan dengan cepat mereka sudah terlelap, walau berbaring di atas bangku kayu yang keras dan baru saja mengalami kejadian yang sangat menegangkan urat syaraf.
Pete bangun bersamaan dengan saat matahari terbit keesokan paginya. Ia menguap sambil menggeliat. Jupiter sudah lebih dulu bangun. Ia bersenam untuk melemaskan otot-otot yang terasa kaku. Pete memasang sepatu, lalu berdiri. Bob masih tidur.
"Cuaca kelihatannya akan bagus hari ini," kata Pete. Ia memandang ke luar lewat celah-celah sempit yang berfungsi sebagai jendela dalam bangunan batu yang kecil itu. "Tapi sialnya, kecil sekali kemungkinannya kita akan bisa sarapan. Makan siang juga tidak. Makan malam, sama saja! Perasaanku akan lebih enak jika bisa mengetahui kapan kita akan makan nanti."
"Kalau aku, perasaanku akan lebih enak jika tahu bagaimana kita bisa keluar dari istana ini," kata Jupiter. "Aku ingin tahu apa rencana Rudi nanti."
"Dan aku ingin tahu apakah Bob apabila bangun nanti bisa ingat lagi tentang apa yang dilakukannya dengan Labah-labah Perak itu."
Saat itu Bob terbangun Matanya terkejap-kejap. Kelihatannya seperti bingung.
"Di mana kita ini?" katanya. Kemudian dirabanya bagian belakang kepalanya. "Aduh-Kepalaku nyeri rasanya. Ah -betul juga, aku ingat lagi sekarang."
"Kau ingat lagi apa yang kaulakukan dengan Labah-labah Perak itu?" desak Pete. Tapi Bob menggelengkan kepala.
"Aku ingat lagi di mana kita berada sekarang ini," katanya. "Dan aku ingat bagaimana kepalaku sampai terbentur- maksudku aku ingat apa yang kalian ceritakan padaku mengenainya. Cuma itu saja."
"Jangan terlalu kaupikirkan soal itu, Bob," kata Jupiter. "Kita harus menunggu sampai ingatanmu pulih dengan sendirinya. Mungkin itu akan terjadi-tetapi mungkin juga tidak."
"He-ada orang naik ke atap," kata Pete yang saat itu kebetulan mengintip ke luar lewat celah sempit. "Ia memandang kemari!"
Kedua temannya ikut berkerumun untuk mengintip ke luar. Seorang laki-laki yang agak bungkuk berpakaian kusam yang kedodoran serta mengenakan celemek berukuran besar, muncul dari balik pintu yang terdapat di ujung tangga yang menghubungkan lantai atap dengan tingkat sebelah bawah. Orang itu membawa sapu, pengki, dan selembar kain lap. Ia memandang ke kanan dan ke kiri dengan sikap waspada. Kemudian diletakkannya alat-alat pembersih yang dibawa, sedang ia sendiri bergegas-gegas menuju ke rumah jaga.
"Bukakan pintu, Pete," kata Jupiter. "Ia bukan pengawal istana-dan kelihatannya ia tahu pasti bahwa kita ada di sini."
Pete membukakan pintu secelah. Dengan cepat laki-laki itu menyelinap masuk. Ketika sudah berada di dalam, ia menghembuskan napas lega.
"Tunggu!" katanya dalam bahasa Inggris, tapi dengan logat yang kentara asing. "Pastikan dulu aku tidak diikuti orang!"
Selama beberapa menit mereka mengintip ke luar dengan tegang. Tapi setelah itu berubah menjadi tenang, setelah memastikan bahwa tidak ada orang muncul dari bawah.
"Bagus," kata orang yang baru datang itu. "Aku ini pelayan istana yang bertugas menjaga kebersihan. Aku tadi dengan diam-diam menyelinap naik kemari. Ada pesan dari Rudi. Ia berkata anak yang bernama Bob sudah ingat lagi atau belum?"
"Bilang padanya belum," jawab Jupiter. "Bob masih tetap tidak ingat."
"Akan kusampaikan katamu itu padanya. Rudi tadi juga mengatakan sabar. Ia akan datang lagi kalau hari sudah gelap nanti. Sementara itu ini ada makanan untuk kalian."
Laki-laki itu merogoh kantung celemeknya yang besar. Ia mengeluarkan bungkusan berisi roti sandwich, disusul dengan buah-buahan serta kantung plastik berisi air. Semuanya tadi tidak nampak karena tersembunyi dalam pakaiannya yang kedodoran.
Anak-anak menerima makanan dan minuman itu dengan perasaan puas.
"Aku harus cepat-cepat kembali," kata laki-laki tadi sambil beranjak ke luar. "Keadaan di bawah ribut sekali. Bersabarlah dulu dan semoga Pangeran Paul melimpahkan perlindungannya pada kalian serta pangeran kami."
Setelah itu ia pergi. Pete mengambil sepotong sandwich, lalu mulai memakannya dengan sikap lega.
"Kita harus mengatur jatah makanan ini, supaya cukup untuk sepanjang hari," kata Jupiter sambil menyodorkan sepotong sandwich pada Bob. "Yang paling penting air! Untung saja Rudi dan Elena mempunyai kawan-kawan dalam istana."
"Untung bagi kita," kata Bob mengomentari. "Tapi bagaimana sebenarnya cerita dia kemarin malam mengenai organisasi pengamen yang mendukung Pangeran Djaro? Saat itu kepalaku terlalu pusing rasanya, sehingga tidak begitu menangkapnya."
"Sebagian daripadanya sudah kauketahui," kata Jupiter sambil makan. "Tapi baiklah kuceritakan sekali lagi. Kata Rudi, ayah mereka dulu perdana menteri Varania, ketika ayah Pangeran Djaro masih hidup. Menurut ceritanya, ia dan Elena keturunan keluarga pengamen yang dulu menyelamatkan jiwa Pangeran Paul. Tapi ketika ayah Djaro meninggal dunia dan Adipati Stefan menjadi wali yang memegang tampuk pemerintahan untuk sementara, ayah Rudi dan Elena dipaksa mengundurkan diri dari kedudukannya selaku perdana menteri. Saat itu ia sudah merasa curiga terhadap Adipati Stefan. Ia lalu mengumpulkan semua orang yang diketahui bersikap setia pada Pangeran Djaro. Mereka digabungkan dalam suatu organisasi rahasia yang mengawasi tindak-tanduk Adipati Stefan. Organisasi itu bernama Partai Pengamen.
"Beberapa anggotanya ada dalam istana ini-ada yang menjadi pengawal, perwira, dan macam-macam lagi. Kurasa orang yang mengantarkan makanan untuk kita tadi juga anggota organisasi rahasia itu. Kemarin malam anggota barisan pengawal yang sebenarnya anggota Pengamen mendengar rencana penangkapan diri kita, lalu cepat-cepat menyampaikannya pada ayah Rudi. Rudi dan Elena bertindak dengan cepat, sehingga masih sempat menolong kita. Sewaktu keduanya masih kecil, ayah mereka kan tinggal di istana selaku perdana menteri. Waktu itu mereka pasti sering keluyuran menjelajahi segala ruangan dan gang yang ada di sini. Jadi pasti mengenal segala lorong, gang, dan terowongan tersembunyi yang tidak diketahui orang lain! Dengan begitu mereka bisa keluar-masuk tanpa ketahuan. Masih ingat cerita Djaro bahwa istana ini dibangun di atas reruntuhan puri kuno?"
"Ya-semuanya memang hebat," kata Pete memotong, "tapi saat ini kita masih tetap tidak bisa pergi dari atap istana ini! Bagaimana pendapatmu-akan berhasilkah Rudi dan Elena membawa kita pergi dari sini nanti malam-jika kita masih selamat sampai saat itu?"
"Mereka beranggapan bisa," jawab Jupiter. "Menurut dugaanku, mereka bermaksud akan mengerahkan sejumlah pengamen untuk membantu. Pokoknya kita harus berhasil pergi dari sini supaya pita rekaman yang kupercayakan padamu kemarin malam bisa kita serahkan ke kedutaan kita. Pita itu bukti penting."
"Kalau aku ini James Bond, pasti perasaanku bisa tenang," kata Pete menggerutu. "Kesulitan apa saja yang dihadapi, James Bond selalu berhasil mengatasinya. Tapi aku bukan dia-dan kau juga bukan! Aku punya perasaan aneh yang mengatakan bahwa urusan kita nanti tidak bisa berjalan selancar yang diharapkan Rudi."
"Tapi kita harus berusaha sebisa-bisa kita," kata Jupiter. "Hanya apabila kita berhasil pergi dari sini, kita bisa menolong Djaro-dan bukankah untuk itu kita ini kemari! Pokoknya saat ini kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum ada kabar lagi dari Rudi dan Elena. Eh-Pete! Tahukah kau bahwa kau sudah menghabiskan jatah sarapanmu dan kini separuh makan siangmu sudah kausikat pula?"
Pete cepat-cepat meletakkan roti sandwich yang sudah hendak digigit olehnya.
"Untung kau sempat bilang," katanya. "Tidak enak rasanya kalau tidak makan siang nanti. Wah-akan terasa lama sekali kita berada sehari di atas atap sini."
Hari itu memang terasa panjang sekali, karena tidak ada kesibukan yang mengasyikkan Mereka silih berganti menjaga dan tidur-tiduran. Akhirnya matahari terbenam. Kelihatannya seperti bola merah di belakang kubah St. Dominic yang berkilau keemasan. Burung-burung ramai berkicau di taman-taman kota, mencari tempat tidur masing-masing.
Istana mulai sepi dengan datangnya gelap. Tidak lama kemudian yang masih bangun tinggal para penjaga saja. Mereka terkantuk-kantuk di pos penjagaan masing-masing. Sudah lama sekali tidak terjadi keributan di Varania. Karenanya sulit sekali rasanya bagi para penjaga itu untuk tetap waspada, walau ada instruksi khusus untuk berjaga-jaga-
Dua sosok tubuh bergerak menyelinap dalam ruang-ruang bawah tanah di dasar istana, menelusuri jalan-jalan rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Dengan hati-hati Rudi dan Elena menyelundup naik ke atas. Di satu tangga yang penting mereka dibantu seorang penjaga yang membalikkan tubuh, pura-pura tidak melihat mereka lewat.
Beberapa saat kemudian kedua remaja itu sudah muncul di atap istana yang diselubungi kegelapan malam. Mereka menunggu sesaat untuk memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti secara diam-diam. Setelah itu keduanya menyelinap ke arah rumah jaga. Gerak mereka begitu pelan, sampai Pete yang saat itu menjaga, nyaris saja tidak menyadari kedatangan mereka. Dengan cepat Pete membukakan pintu agar keduanya bisa masuk. Rudi menyalakan senter yang kacanya ditutupi dengan sapu tangan.
"Kita berangkat sekarang," katanya pada ketiga remaja yang sudah bosan seharian tidak bisa berbuat apa-apa di atas. "Rencana kita begini. Kalian diselundupkan keluar dari istana ini menuju ke gedung Kedutaan Besar Amerika untuk berlindung di sana. Menurut desas-desus yang tersiar saat ini, Adipati Stefan hendak mempercepat jadwal rencananya. Menurut perkiraan kami, besok ia akan menyatakan batalnya penobatan Pangeran Djaro serta mengangkat dirinya sendiri menjadi wali negara yang tetap.
"Sayangnya kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah rencananya itu. Jika rakyat tahu, mereka pasti akan menyerbu istana dan menyelamatkan Pangeran Djaro. Tapi tidak ada jalan untuk mengumumkan bahwa pangeran kami yang tercinta saat ini dalam bahaya. Kami sebenarnya bermaksud akan menyerbu dan menduduki gedung-gedung pemancar radio dan televisi. Tapi Adipati Stefan ternyata bukan orang bodoh. Kedua gedung itu dijaga ketat oleh orang-orangnya."
Rudi menoleh ke arah Bob.
"Bagaimana-sudah ingat lagi apa yang kaulakukan dengan Labah-labah Perak itu? Di halaman istana tidak ada."
Bob menggeleng dengan lesu. Ia merasa tidak enak, karena tidak bisa mengingat kejadian penting itu.
"Kalau Labah-labah itu ada pada kita, apakah kenyataan itu akan bisa membantu Pangeran Djaro?" tanya Jupiter.
"Kemungkinannya ada," sela Elena. "Kami akan bisa menyiarkan proklamasi atas nama Pangeran, yang berisi seruan pada rakyat untuk ikut membantu menggulingkan penguasa yang jahat, yaitu Adipati Stefan. Labah-labah Perak akan merupakan tanda bukti bahwa proklamasi itu benar-benar berasal dari Pangeran. Dengan begitu perkembangan bisa berbalik. Tapi ada pula kemungkinan bahwa sebelum itu kita sudah tertangkap."
"Pendek kata, Labah-labah Perak itu harus kita temukan kembali," kata Jupiter. "Kalau begitu kuusulkan agar sebelum kita meninggalkan istana ini, kita mencarinya dulu di langkan dan dalam kamar kami. Mungkin masih ada di tempat Bob menjatuhkannya kemarin malam."
"Usulmu sangat berbahaya," kata Rudi. "Tapi di pihak lain ada kemungkinan kita akan berhasil! Lagipula kecil sekali kemungkinannya kalian akan dicari dalam kamar yang itu. Baiklah-kalau begitu kita mencari dulu!"

Bab 10
KETAHUAN

Sebelum meninggalkan rumah jaga di atas atap istana, mereka membersihkan tempat itu dengan cermat. Semua sisa makanan-termasuk kertas pembungkus dan kantung plastik bekas tempat air-dikumpulkan, lalu dibuang ke bawah, ke arah sungai yang mengalir deras. Dengan begitu kalau ada orang datang memeriksa ke situ tidak ada lagi tanda-tanda bahwa mereka sebelumnya ada di tempat itu. Setelah semuanya beres, mereka duduk lagi sambil menunggu para penghuni istana tidur. Akhirnya Rudi berdiri.
"Sudah cukup lama kita menunggu," katanya. "Aku membawa dua senter lagi, berukuran kecil. Sebuah untukmu, Jupiter-sedang yang satu lagi kau yang memegangnya, Pete. Tapi baru nyalakan kalau benar-benar perlu! Aku berjalan paling dulu, sedang Elena paling belakang. Nah, kita berangkat sekarang."
Satu per satu mereka melintasi tempat yang terbuka di atap menuju pintu sebelah atas tangga. Langit saat itu mendung, dan air hujan sudah mulai jatuh satu demi satu.
Begitu memasuki pintu mereka langsung menuruni tangga. Beberapa kali mereka berhenti sejenak sambil memasang telinga. Tapi tak ada bunyi sedikit pun yang terdengar. Mereka bergerak turun sambil meraba-raba, hanya diterangi cahaya senter di tangan Rudi yang sebentar-sebentar dinyalakan sekejap. Kelihatannya seperti kunang-kunang.
Mereka melalui gang yang gelap, menuruni tangga lagi lalu menyusur gang yang berikut. Bob serta kedua temannya tidak tahu lagi di mana mereka berada saat itu. Tapi Rudi kelihatannya tahu dengan pasti. Beberapa saat kemudian ia mendului masuk ke dalam sebuah kamar. Setelah semuanya masuk, pintu digerendel dari dalam.
"Sekarang kita bisa beristirahat sebentar," katanya. "Sampai di sini kita selamat. Tapi yang tadi itu masih merupakan bagian termudah. Mulai dari sini bahaya selalu mengancam. Menurutku, mereka tidak mencari kalian lagi dalam istana ini-jadi kemungkinan adanya penyergapan kecil sekali. Sekarang pertama-tama kita harus mencari Labah-labah Perak dulu. Tak peduli apakah kita berhasil menemukannya atau tidak, kemudian kita harus turun ke ruangan bawah tanah. Dari situ kita menuju ke terowongan air limbah. Lewat terowongan-yang rutenya sudah kuatur bersama Elena-kita akan sampai di gedung Kedutaan Besar Amerika, di mana kalian nanti minta perlindungan. Jika kalian sudah aman, Pengamen akan memasang selebaran di seluruh kota yang isinya mengumumkan bahwa keselamatan Pangeran Djaro terancam dan Adipati Stefan bermaksud hendak naik tahta secara paksa. Setelah itu- yah, kita tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi setelah itu. Kita hanya bisa berharap!
"Sekarang kita keluar lewat jendela lalu turun ke balkon sebelah bawah. Aku membawa tali yang kulilitkan ke perutku. Elena juga membawa tali, tapi yang itu kita simpan saja dulu. Siapa tahu, mungkin nanti diperlukan!"
Rudi mengikatkan talinya kuat-kuat, lalu meluncur turun dari jendela. Pete dan Jupiter menyusul, setelah terdengar bisikan bahwa Rudi sudah sampai di balkon bawah.
Bob dan Elena mengintip ke luar dari balik jendela. Dari arah bawah nampak sinar senter bergerak kian kemari menerangi lantai balkon. Rudi, Pete, dan Jupiter sedang mencari-cari Labah-labah Perak di situ. Mungkin barang itu terselip keluar dari kantung Bob ketika ia jatuh di situ kemarin malam.
Akhirnya cahaya senter padam. Terdengar suara Rudi berbisik ke arah Bob dan Elena, menyuruh mereka turun. Keduanya dengan segera menuruni tali yang kemudian dibiarkan tergantung, supaya kalau perlu nanti bisa naik lagi lewat situ.
"Barang itu tidak ada di sini," bisik Rudi ketika semua sudah berkumpul di tempat gelap itu. "Mungkin saja terpental ke luar waktu itu dan jatuh ke sungai. Tapi aku lebih cenderung menduga bahwa Labah-labah keramat itu terlepas dari genggaman Bob sewaktu ia bergerak lari ke balkon kamar kalian."
Kelima remaja itu lantas mulai beringsut-ingsut menyusur langkan yang kemarin malam mereka lalui. Pinggiran langkan itu melengkung. Kalau salah langkah sedikit saja, pasti akan terpeleset dan jatuh ke sungai yang mengalir di bawah. Tapi dengan jalan beringsut-ingsut sambil merapatkan diri ke dinding, risiko itu bisa dihindari. Setiap beberapa langkah Rudi berhenti sebentar, lalu meneliti bagian langkan di depannya dengan bantuan sinar senter. Siapa tahu- mungkin saja Labah-labah Perak itu terjatuh di situ. Tapi harapan itu sia-sia. Mereka sampai di balkon berikut tanpa berhasil menemukannya.
Balkon yang dicapai itu terletak di luar kamar yang semula ditempati Bob, Pete, dan Jupiter. Rudi mengintip lewat kaca pintu untuk memastikan bahwa di dalam tidak ada orang. Kemudian ia menyalakan senter lalu meneliti lantai balkon dengan seksama, sementara anak-anak yang lain duduk di sandaran yang terbuat dari batu.
Labah-labah Perak yang hilang itu tidak ada di situ.
"Sekarang bagaimana?" tanya Pete sambil berbisik.
"Kita masuk ke dalam," kata Jupiter menjawabnya. "Kita harus memeriksa kamar ini dengan seteliti-telitinya."
Satu per satu mereka menyelinap masuk, lalu berdiri sambil menajamkan pendengaran sejenak. Istana sunyi sepi. Hanya bunyi jangkrik yang rupanya ada dalam kamar itu saja yang terdengar.
"Jangkrik dalam kamar berarti nasib baik," bisik Pete. "Mudah-mudahan saja itu benar karena kita memang memerlukan nasib baik saat ini."
"Kata kalian, Bob waktu itu lari kian kemari di sini sambil menggenggam Labah-labah Perak itu," gumam Elena. "Kalau begitu ada kemungkinan hilangnya saat itu. Kamar ini perlu kita periksa seteliti-telitinya. Kita melakukannya dengan jalan merangkak. Nyalakan semua senter karena sekarang kita tidak terlihat lagi dari luar."
Ruangan kamar itu dibagi-bagi antara mereka berlima. Kemudian masing-masing merangkak-rangkak, memeriksa lantai yang merupakan bagiannya. Bob tidak kebagian senter. Karena itu ia merangkak di samping Pete.
Tiba-tiba cahaya senter menerangi suatu benda mengkilat. Berhasil! Dengan cepat Bob memungut benda itu.
Rasa kecewa menyebabkan mulutnya terasa kecut. Benda mengkilat itu ternyata kertas aluminium bekas bungkus film yang tercecer di lantai.
Pencarian dilanjutkan lagi. Bob bahkan sampai merangkak ke bawah tempat tidur, sementara Pete menerangi tempat itu dengan senter. Bob menyalangkan matanya. Seekor binatang kecil berwarna gelap pergi menjauh sambil meloncat.
"Krik! Krik!" bunyinya. Rupanya mereka menemukan jangkrik yang terdengar suaranya sejak tadi. Pete menggerakkan senternya sehingga sinarnya mengikuti gerak binatang itu. Jangkrik itu melompat-lompat lari dari bawah tempat tidur lalu-tap! Tersangkut ke jaring labah-labah yang masih membentang di sudut kamar.
Jangkrik itu meronta-ronta hendak membebaskan diri. Tapi hasilnya malah sebaliknya-ia semakin terjerat dalam jaring. Dua ekor labah-labah ada di celah yang terdapat antara lantai dengan papan penutup kaki dinding. Seekor di antaranya merangkak dengan cepat keluar dari celah itu. Dihampirinya jangkrik yang sudah tidak berdaya lagi, lalu dibungkusnya dengan semacam benang yang lengket.
Bob menahan keinginannya hendak membebaskan jangkrik yang malang itu, karena itu berarti jaring labah-labah terpaksa dirusak. Bahkan mungkin pula ia harus membinasakan labah-labah itu. Padahal binatang itu kan lambang kemujuran di Varania!
"Katamu tadi jangkrik dalam kamar berarti nasib baik," gumamnya pada Pete. "Tapi bagi jangkrik itu sendiri ternyata tidak! Mudah-mudahan saja kita nanti tidak bernasib seperti dia."
Pete diam saja. Kedua remaja itu keluar lagi dari bawah tempat tidur, lalu mendatangi teman-teman yang berkumpul di depan lemari pakaian tempat Rudi dan Jupiter mencari.
"Mungkin juga Bob kemarin masih sempat menyembunyikannya," bisik Jupiter. "Kalau tercecer, pasti sekarang masih ada di sini. Kecuali jika sudah didului para prajurit pengawal kemarin malam."
"Tidak-mereka tidak menemukannya," kata Rudi dengan suara pelan. "Adipati Stefan marah-marah. Kalau benda keramat itu ditemukan kemarin malam, pasti ia tertawa senang. Jadi mungkin saja Bob memang sempat menyembunyikannya di salah satu tempat. Barangkali kau masih ingat di mana, Bob?"
Bob menggeleng. Ia tidak ingat apa-apa tentang Labah-labah Perak.
"Kalau begitu kita terus," kata Rudi lagi. "Yuk, kita periksa koper-koper kalian. Elena, kau mencari di bawah kasur dan bantal. Mungkin saja Bob menyembunyikannya di situ, karena tidak melihat tempat lain yang lebih baik."
Pete dan Jupiter menggeledah koper-koper mereka sementara Elena meraba-raba di bawah kasur seprai, dan bantal. Tapi hasilnya sama saja. Nol besar!
Kelima remaja itu berkumpul lagi di tengah ruangan.
"Ternyata tidak ada di sini," kata Rudi. Dari nada suaranya terasa jelas bahwa ia bingung. "Kita tidak berhasil menemukannya-para pengawal yang mencari juga tidak-tapi Labah-labah Perak itu hilang. Aku khawatir jangan-jangan Bob masih menggenggamnya ketika ia lari ke luar. Lalu saat ia melangkahi sandaran balkon untuk mencapai langkan, Labah-labah itu terlepas dari pegangannya. Tapi kalau itu yang terjadi, aku tidak mengerti apa sebabnya Labah-labah itu tidak ditemukan sewaktu dicari di halaman sebelah bawah."
"Sekarang bagaimana, Rudi?" tanya Jupiter. Biasanya ialah yang selalu memegang pimpinan dalam setiap aksi yang dilakukan oleh Trio Detektif. Tapi pada saat itu jelas bahwa Rudi pemimpin mereka. Soalnya ia lebih dewasa, lagipula mengenal segala lekuk-liku di istana itu.
"Kalian harus kami bawa ke tempat aman," gumam Rudi. "Hanya itu saja yang bisa dilakukan saat ini. Jadi kita harus kembali-"
Saat itu dengan tiba-tiba pintu kamar terbuka, sementara lampu-lampu dinyalakan. Dua orang laki-laki bergegas masuk. Keduanya memakai pakaian seragam pengawal istana yang berwarna merah nyala.
"Jangan bergerak!" hardik kedua orang itu. "Kalian ditangkap! Kita berhasil menyergap mata-mata Amerika itu!" Keadaan menjadi kacau-balau. Tanpa berpikir panjang lagi Rudi langsung menyerang kedua prajurit itu. "Elena!" teriaknya. "Selamatkan mereka! Biar aku sendiri melawan mereka!" "Ayo-ikut aku!" seru Elena sambil lari ke arah balkon.
Bob hendak menyusul. Tapi sementara prajurit pengawal yang satu disibukkan oleh Rudi yang dengan sekuat tenaga memeluk kaki orang itu supaya tidak bisa mengejar, temannya dengan cepat mencengkeram kerah kemeja Jupiter. Kedua kelompok yang bergulat itu sama-sama terjatuh sambil menyeret Bob yang berada di tengah-tengah. Ia terjerembab, tertindih tubuh-tubuh yang jatuh berdebam. Malang baginya, kepalanya kembali membentur lantai. Untung di situ ada permadani yang agak mengurangi kekerasan benturan.
Tapi walau begitu masih cukup keras. Untuk kedua kalinya Bob jatuh pingsan.

Bab 11
ANTON YANG MISTERIUS

Bob terkapar dengan mata terpejam. Samar-samar didengarnya suara Jupiter bercakap-cakap dengan Rudi.
"Yah," kata Jupiter dengan suram, "beginilah nasib kita sekarang-terjerat seperti jangkrik tadi. Sama sekali tak kusangka bahwa di balik pintu ada penjaga."
"Aku juga tidak menyangka," balas Rudi sama-sama lesu. "Tadi ketika melihat kamar kosong, aku lantas beranggapan bahwa mereka akan bersikap lalai. Tapi untunglah, setidak-tidaknya Pete dan Elena masih bisa lari."
"Tapi apa yang bisa mereka lakukan?" tanya Jupiter.
"Aku tidak tahu. Mungkin tidak bisa apa-apa, kecuali melaporkan kejadian yang menimpa kita pada ayahku serta kelompoknya. Kusangsikan kemungkinan ayahku bisa menyelamatkan kita. Tapi ia bisa bersembunyi, menghindarkan diri dari kejaran Adipati Stefan."
"Sedang kita dan Djaro terjebak dalam kesulitan," gumam Jupiter. "Kami kemari untuk menolong Djaro-tapi ternyata malah gagal. He-kelihatannya Bob mulai sadar lagi. Kasihan, dua kali kepalanya benjol."
Bob membuka matanya. Ia terbaring di atas pembaringan yang kasar buatannya. Tubuhnya terselubung selimut. Matanya terkejap-kejap lalu dengan lambat mulai mengenali keadaan sekelilingnya. Cahaya lilin yang temaram menerangi dinding batu di sisinya serta langit-langit di atas yang juga dari batu. Di seberang ruangan nampak pintu yang kokoh dengan sebuah lubang kecil untuk mengintip. Jupiter berdiri membungkuk, mengamat-amati dirinya. Rudi ada di sebelahnya. Bob bangun, lalu duduk. Benjolan di belakang kepalanya terasa berdenyut-denyut.
"Lain kali kalau aku ke Varania lagi, aku akan memakai helm," katanya sambil mencoba tersenyum.
"Bagus-jadi ternyata kau tidak apa-apa!" kata Rudi dengan gembira.
"Kau bisa ingat lagi sekarang?" desak Jupiter. "Peras ingatanmu, Bob!"
"Tentu saja aku masih ingat," kata Bob. "Tahu-tahu ada dua pengawal menyerbu masuk ke dalam kamar. Kau dan Rudi bergulat dengan mereka, lalu aku ikut terseret sehingga jatuh terbanting. Sampai di situ aku masih ingat. Dan kini tentunya kita dikurung di salah satu tempat."
"Bukan itu maksudku," kata Jupiter. "Sudah ingat lagi atau tidak tentang Labah-labah Perak itu? Kauapakan waktu itu? Benturan kepala mengenai benda keras bisa menyebabkan hilang ingatan, tapi benturan berikut bisa menyebabkan ingatan itu datang lagi."
"Tidak-aku masih tetap belum ingat apa-apa mengenainya," kata Bob sambil menggeleng.
"Mungkin itu malah lebih baik," kata Rudi dengan suram. "Dengan begitu Adipati Stefan tidak bisa mengorek keterangan apa-apa darimu."
Saat itu terdengar bunyi gemerincing di luar. Pintu berat yang terbuat dari besi itu bergerak ke dalam. Dua orang berpakaian seragam barisan pengawal istana masuk dengan langkah berderap. Mereka membawa senter. Cahayanya yang menyilaukan terarah pada ketiga remaja yang ada dalam ruangan sempit itu. Kedua prajurit itu masing-masing memegang pedang.
"Ayo ikut!" bentak seorang dari mereka. "Adipati Stefan sudah menunggu di ruang interogasi. Cepat bangun dan ikuti kami. Jangan coba melarikan diri, kalau tidak ingin mengalami nasib yang lebih buruk lagi!" Sambil berkata begitu ia menggerakkan pedangnya dengan sikap mengancam.
Ketiga remaja itu bangun dengan lambat. Kemudian mereka digiring melewati suatu gang yang lembab, diapit sebelah depan dan belakang oleh kedua prajurit barisan pengawal tadi. Di belakang mereka gang batu itu menurun ke tempat gelap, sementara di depan agak naik. Iring-iringan itu melalui pintu-pintu yang tertutup, lalu mendaki sebuah tangga. Di ujung atas ada dua prajurit lagi yang menjaga dengan sikap tegak.
Kedua prajurit tadi menggiring Rudi beserta kedua temannya yang dari Amerika melewati sebuah pintu, memasuki sebuah ruangan panjang yang diterangi sejumlah lampu minyak. Napas Bob tersentak. Bahkan Jupiter pun menjadi agak pucat mukanya. Mereka pernah melihat ruangan seperti yang saat itu mereka masuki. Dalam film-film seram! Begitulah wujud ruang tempat penyiksaan sekian abad yang lalu. Tapi yang mereka lihat saat itu bukan adegan film- melainkan kenyataan!
Di satu sisi ruangan terdapat semacam rak yang menyeramkan. Pesakitan yang hendak dipaksa mengaku diikat ke situ, sementara tubuhnya digantungi beban berat. Di samping alat penyiksa itu terdapat sebuah roda besar di mana korban diikat lalu kaki dan tangannya dipukul dengan godam sampai remuk. Masih ada lagi berbagai alat yang terbuat dari kayu kokoh. Mereka memaksa diri jangan mencoba-coba menerka untuk apa saja segala peralatan itu.
Di tengah-tengah ruangan ada sebuah patung tinggi dari logam, berwujud wanita. Patung itu berongga dan terdiri dari dua bagian. Kedua bagian itu dihubungkan dengan engsel dan bagian yang depan bisa dibuka seperti pintu. Ketika anak-anak masuk, bagian depan itu berada dalam posisi terbuka. Pada dinding rongga sebelah dalam nampak paku-paku berkarat tertancap mengarah ke dalam. Patung itu terkenal dengan julukan seram, 'Perawan Besi'. Orang yang akan disiksa dimasukkan ke dalam rongga itu, lalu bagian sebelah depan ditutup dengan lambat sehingga paku-paku yang berkarat-Jupe dan Bob bergidik. Keduanya tidak mau membayangkannya lebih lanjut.
"Ruang pemeriksaan!" bisik Rudi. Suaranya agak gemetar ketika mengatakannya. "Aku sudah pernah mendengar tentang ruangan ini, yang dibuat semasa kekuasaan Pangeran John yang dikenal dengan julukan Pangeran Hitam- seorang penguasa yang kejam semasa Abad Pertengahan! Sepanjang pengetahuanku, sejak itu ruangan ini tidak pernah dipakai lagi. Kurasa Adipati Stefan menyuruh kita dibawa kemari hanya untuk menakut-nakuti saja. Ia takkan berani benar-benar menyiksa kita!"
Mungkin saja Rudi benar. Tapi melihat segala alat penyiksa yang ada di situ, Jupiter dan Bob langsung merasa seperti sakit perut karena ngeri.
"Diam!" seorang prajurit membentak Rudi. "Adipati Stefan datang!"
Para pengawal di pintu mengambil sikap memberi hormat, sementara Adipati Stefan masuk diiringi oleh Adipati Rojas. Wajah Adipati Stefan yang jelek memancarkan kepuasannya.
"Tikus-tikus sudah terperangkap sekarang," katanya pada ketiga remaja itu. "Dan sekarang tiba waktunya bagi mereka untuk mencicit. Kalian harus mengatakan segala yang ingin kuketahui-jika tidak ingin mengalami nasib yang lebih parah."
Seorang penjaga mengambil kursi dari sudut ruangan. Dibersihkannya sebentar debu yang menempel, lalu kursi itu diletakkan di depan bangku kayu di mana Rudi serta kedua temannya disuruh duduk. Adipati Stefan duduk di kursi itu. Ia mengetuk-ngetukkan jari ke sandaran lengan.
"Ah-rupanya kau juga ikut di dalamnya, Rudolph," kata penguasa bengis itu pada Rudi. "Aku akan mengambil tindakan tegas terhadap ayah dan keluargamu-termasuk kau sendiri!"
Rudi merapatkan bibirnya. Ia tetap membisu.
"Dan sekarang kalian, Pemuda-pemuda Amerika," kata Adipati Stefan dengan suara seempuk lumpur. "Kalian kini berada di tanganku-setidak-tidaknya dua dari kalian. Aku takkan bertanya untuk apa kalian datang kemari. Kamera-kamera yang kalian tinggalkan sewaktu kalian lari sudah menceritakan segala-galanya. Kamera-kamera itu merupakan bukti bahwa kalian agen rahasia pemerintah Amerika. Kalian mata-mata! Kalian kemari untuk bersekongkol memusuhi Varania. Tapi kalian ternyata melakukan dosa yang lebih besar lagi. Kalian mencuri Labah-labah Perak Varania!"
Adipati Stefan memiringkan badannya ke depan. Air mukanya bertambah galak kelihatannya.
"Katakan di mana benda itu," katanya, "sebagai imbalannya, aku akan memperlunak sikapku terhadap kalian. Kalian akan kuanggap berbuat sembrono saja, karena masih remaja. Ayo-buka mulut!"
"Kami tidak mencurinya," kata Jupiter dengan berani. "Orang lain yang mencuri lalu menyembunyikannya dalam kamar kami."
"Begitu!" tukas Adipati Stefan. "Jadi kau mengaku Labah-labah Perak itu pernah ada pada kalian. Itu saja sudah merupakan kejahatan! Tapi aku ini berhati lunak. Aku merasa kasihan melihat kalian masih begini muda. Sekarang katakan saja di mana barang itu dan kembalikan padaku-untuk itu aku akan bersikap memaafkan."
Bob menunggu Jupiter berbicara. Jupiter ragu-ragu sejenak. Kemudian ia memutuskan, lebih baik berterus terang saja.
"Kami tidak tahu di mana barang itu sekarang," katanya. "Kami sama sekali tidak tahu!"
"Kau mau membangkang, ya?!" Muka Adipati Stefan bertambah masam. "Biar yang satu lagi bicara. Tikus kecil! Jika kau mengharapkan pengampunan dariku, katakan sekarang di mana Labah-labah Perak itu." "Aku tidak tahu-sungguh!" kata Bob.
"Tapi waktu itu kan ada pada kalian!" hardik Adipati Stefan. "Itu sudah kalian akui sendiri. Jadi kalian pasti tahu di mana tempatnya sekarang. Apakah kalian menyembunyikannya di salah satu tempat? Atau diberikan pada orang lain? Jawab-kalau tidak ingin menderita!"
"Kami tidak tahu ke mana perginya," kata Jupiter. "Biar Anda tanyai sepanjang malam, kami tetap tidak bisa mengatakan lain dari itu."
"Jadi kalian mengambil sikap keras kepala." Adipati Stefan memperdengarkan irama genderang dengan ketukan jarinya pada sandaran kursi. "Itu bisa kita ubah. Dalam ruangan ini kami memiliki berbagai peralatan yang bisa memaksa orang-orang dewasa yang lebih tabah dari kalian menjerit-jerit minta diijinkan berbicara. Barangkali kalian ingin memasuki Perawan Besi, lalu dengan pelan-pelan dipeluk olehnya! Ya? Itukah yang kalian ingini?"
Jupiter meneguk ludah. Ia terdiam. Kini Rudi yang membuka mulut.
"Adipati takkan berani melakukannya!" tukasnya dengan tabah. "Adipati berniat merebut tahta dari Pangeran Djaro, dan untuk itu Adipati menginginkan rakyat Varania menganggap Adipati ini penguasa yang adil dan bijaksana. Jika sampai ketahuan bahwa Adipati pernah menyiksa orang, Adipati akan mengalami nasib sama seperti yang menimpa Pangeran John yang lalim jaman dulu itu. Ingat-rakyat waktu itu kemudian memberontak lalu mencabik-cabik tubuhnya."
"Kata-katamu gagah," tukas Adipati Stefan sambil nyengir jelek. "Tapi aku tidak memerlukan Perawan Besi atau rak penyiksa untuk membuat kedua pesakitan itu membuka mulut untuk mengaku. Aku punya cara lain." Ia menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada pengawal. "Bawa masuk kelana itu-Pak Tua Anton!" perintahnya. "Anton Si Tua Bangka," desis Rudi pada kedua temannya. "Dia itu-" "Diam!" bentak Adipati Stefan.
Jupiter dan Bob menjulurkan leher memandang ke arah pintu. Mereka melihat seorang laki-laki tua masuk, dikawal oleh para prajunt pengawal. Laki-laki itu bertubuh jangkung. Tapi tidak begitu kelihatan karena jalannya bungkuk sekali. Tertatih-tatih, sambil bertopang pada sebatang tongkat. Pakaiannya compang-camping dengan kombinasi warna yang ramai. Di telinganya tergantung anting-anting emas berbentuk cincin. Mukanya kurus sekali, dengan kulit melekat ke tulang. Kelihatannya seperti tengkorak hidup! Matanya yang biru berkilat-kilat di tengah mukanya yang coklat tua sehingga nampak lebih berkilat lagi.
Laki-laki itu maju tersaruk-saruk sampai di depan Adipati Stefan.
"Pak Tua Anton sudah datang," katanya. Nada suaranya menunjukkan bahwa ia menganggap dirinya lebih tinggi dari orang yang sedang dihadapi.
"Aku memerlukan kekuatan gaibmu," kata Adipati Stefan. "Anak-anak ini mengetahui sesuatu-tapi tidak mau mengatakannya padaku. Kaukorek sekarang keterangan itu dari mereka!"
Laki-laki tua bangka itu tersenyum mengejek. Cengirannya menyebabkan mukanya yang mirip tengkorak itu seperti terbelah dua.
"Pak Tua Anton tidak bisa diperintah," katanya. "Selamat tinggal, Adipati Stefan."
Air muka Adipati Stefan langsung berubah ketika mendengar ucapan kelana tua yang kurang ajar itu. Tapi ia menahan diri. Ia merogoh kantung, mengambil beberapa keping uang emas.
"Aku tadi tidak bermaksud memerintahmu, Anton," katanya. "Aku meminta pertolonganmu! Untuk itu kau kubayar dengan memuaskan. Ini-uang untukmu!"
Kelana tua bangka itu tidak jadi pergi. Ia berbalik. Tangannya yang kurus seperti cakar meraih uang emas yang disodorkan lalu menyelipkannya di balik bajunya.
"Anton mau menolong orang yang begini murah hati," katanya dengan sikap seolah-olah menertawakan. "Apakah yang ingin kauketahui, Adipati Stefan?"
"Setan-setan cilik ini tahu di mana Labah-labah Perak Varania saat ini," kata Adipati Stefan. "Mereka menyembunyikannya-tapi tidak mau mengatakan di mana tempatnya! Aku bisa saja dengan mudah memaksa mereka mengaku dengan bantuan ini-" ia menggerakkan tangannya ke arah peralatan penyiksa yang ada di dekatnya, "-tapi aku bersifat penyayang. Kau memiliki kekuatan yang besar, dan kekuatanmu itu tidak menyakitkan. Sekarang tanyai mereka!"
"Baiklah. Pak Tua Anton patuh," kata kelana tua itu terkekeh lalu berpaling menghadap ketiga tawanan remaja. Dari balik bajunya yang compang-camping dikeluarkannya sebuah mangkuk yang terbuat dari kuningan serta sebuah kantung kecil. Kantung itu dibuka. Dari dalamnya ia mengambil bubuk yang kelihatannya seperti benih lalu menaburkannya ke dalam mangkuk. Kemudian ia mengambil korek api-anehnya, korek api itu bikinan jaman modern-lalu menyalakannya dekat bubuk tadi. Asap biru mengepul ke atas.
"Hiruplah dalam-dalam," kata si Tua itu dengan suara merayu, sambil menggerak-gerakkan mangkuk berisi bubuk yang terbakar mengepulkan asap di bawah hidung anak-anak. "Hirup yang dalam! Pak Tua Anton memerintahkan kalian menghirup asap kebenaran!"
Rudi, Bob, dan Jupiter berusaha membuang muka sambil menahan napas. Tapi tidak bisa. Tanpa dikehendaki, asap biru itu tetap saja memasuki hidung. Mereka terpaksa menghirupnya. Baunya menusuk. Tapi enak! Tahu-tahu tubuh mereka terasa berat. Pikiran mulai menerawang.
"Sekarang tatap mataku!" kata Pak Tua Anton. "Tatap dalam-dalam, Bocah-bocah cilik!"
Anak-anak tidak sanggup melawan. Mereka menatap mata laki-laki tua itu dalam-dalam, yang nampak seperti telaga yang dalam dan jauh sekali. Dan mereka merasa seolah-olah jatuh ke dalam telaga itu.
"Sekarang bicara!" kata Pak Tua Anton dengan nada memerintah. "Labah-labah Perak-di mana benda itu sekarang?"
"Aku tidak tahu," jawab Rudi, walau ia bertekad keras akan tetap membisu. Di sampingnya Bob dan Jupiter mengulangi kata-kata itu. "Aku tidak tahu, aku tidak tahu...."
"Ah," gumam Anton dengan lirih. "Hiruplah lagi-hirup sedalam-dalamnya!"
Sekali lagi mangkuk berasap biru dilambai-lambaikan di bawah hidung ketiga remaja itu. Bob merasa tubuhnya melayang tinggi di udara, seolah-olah berbaring di atas awan empuk.
Kelana tua itu menyentuh kening Rudi dengan jari-jarinya. Ia membungkuk ke depan, mendekati pemuda itu. Mata Rudi ditatapnya tanpa berkedip. Rudi merasa tidak mampu memandang ke tempat lain. Arah pandangannya seolah-olah tertarik dengan magnet ke mata laki-laki tua itu.
"Sekarang jangan bicara-tapi pikir," kata Pak Tua Anton berbisik-bisik. "Layangkan pikiranmu pada Labah-labah Perak. Pikirkan di mana barang itu sekarang... Ah!"
Setelah beberapa saat berlalu dilepaskannya kening Rudi. Ia mengulangi perbuatan yang sama terhadap Jupiter. Sekali lagi terdengar mulutnya mengatakan, "Ah!", lalu berpindah pada Bob. Begitu keningnya tersentuh, Bob merasa seperti ada arus listrik mengalir dari jari-jari si Tua. Hanya mata orang itu saja yang masih nampak. Biru dan menusuk, seperti sedang menyimak jalan pikirannya. Tahu-tahu Labah-labah Perak melintas dalam benaknya. Bob memikirkan Labah-labah keramat itu. Ia kembali melihat benda itu terletak di telapak tangannya. Tapi hanya sekejap saja, lalu lenyap lagi. Bob tidak tahu ke mana perginya. Ia tidak ingat-seakan-akan ada kabut menyelubungi ingatannya....
Kelana tua bangka itu kelihatannya bingung. Berulang kali ia menggumamkan kata-kata, "Ingat! Ingat!" Tapi akhirnya sambil mendesah ia berpaling. Mata Bob terkejap beberapa kali. Ia merasa seperti terlepas dari pukauan.
Sementara itu Pak Tua Anton mengangguk ke arah Adipati Stefan.
"Yang pertama," katanya, "sama sekali tidak melihat Labah-labah Perak-dan tidak tahu di mana tempatnya sekarang. Anak yang gendut melihat Labah-labah itu, tapi tidak memegangnya. Ia juga tidak tahu di mana benda itu sekarang. Sedang yang paling kecil memegangnya, lalu-"
"Lalu? Teruskan!" desak Adipati Stefan.
"Lalu ingatannya berkabut, dan Labah-labah Perak itu menghilang ke dalamnya. Aku belum pernah menjumpai hal seperti ini. Ia pernah tahu ke mana Labah-labah Perak itu. Tapi kemudian ingatannya lenyap. Ia tidak tahu lagi sekarang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa sampai ingatannya pulih kembali."
"Terkutuklah seribu kali!" umpat Adipati Stefan. Jari-jarinya kembali mengetuk-ngetuk sandaran lengan kursinya.
"Terima kasih atas bantuanmu, Kelana tua," katanya kemudian dengan suara yang sudah biasa lagi. "Bukan salahmu jika mereka tidak bisa mengatakan ke mana perginya Labah-labah Perak itu, Pak Tua Anton. Tapi mungkin kau sendiri bisa mengetahuinya? Kekuatanmu kan bermacam-macam! Itu kami ketahui. Bagaimana dengan Labah-labah itu? Dan-" sambungnya dengan nafsu yang ditahan-tahan, "-bagaimana dengan keinginanku untuk menguasai tahta Varania, supaya anak konyol dan lemah itu tidak bisa menjadi penguasa di sini?"
Pak Tua Anton tersenyum licik.
"Mengenai Labah-labah itu-walau terbuat dari perak tapi tetap saja labah-labah," katanya. "Sedang tentang keinginanmu itu, aku mendengar dentangan lonceng kemenangan. Sekarang aku harus pergi. Orang tua seperti aku ini perlu banyak tidur."
Sambil terkekeh laki-laki tua itu pergi. Adipati Stefan menggerakkan tangannya memberi isyarat.
"Antarkan dia pulang," katanya pada para pengawal. Kemudian ia berpaling pada Adipati Rojas. "Kaudengar katanya tadi. Labah-labah Perak itu hanya labah-labah saja! Dengan perkataan lain, tidak penting. Kita bisa mengabaikannya. Dan Anton juga mengatakan bahwa aku akan menang! Kita sama-sama tahu, dalam urusan begitu Pak Tua itu tidak pernah meleset ramalannya. Kita tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Besok maklumat itu kita umumkan. Djaro ditangkap dan aku menjadi wali negara sampai pengumuman selanjutnya. Kutuk Amerika Serikat karena berusaha mencampuri urusan dalam negeri, dan umumkan penahanan mereka berdua ini dengan tuduhan mata-mata dan pencuri. Tawarkan hadiah bagi siapa yang bisa menyerahkan teman mereka yang satu lagi. Tangkapi semua anggota Rudolph serta semua anggota gerombolan yang menamakan diri mereka Pengamen-dengan tuduhan berkhianat. Mulai besok Varania sepenuhnya berada di tanganku. Setelah itu kita akan mempertimbangkan apakah kita akan mengadakan pengadilan terbuka untuk menghakimi anak-anak Amerika ini, atau cukup mengusir mereka saja. Pengawal! Giring mereka kembali ke sel!"
Adipati Stefan membungkukkan badan ke arah Bob.
"Sementara itu usahakan mengingat kembali apa yang kaulakukan dengan Labah-labah Perak itu, Tikus kecil! Walau Anton tadi mengatakan itu tidak penting, tapi aku ingin mengalungkannya ke leherku saat aku dinobatkan menjadi pangeran Varania. Kembalikan benda itu padaku-dan nasibmu akan menjadi lebih enak."
Adipati itu menggapai para pengawal.
"Sekarang bawa mereka pergi!"

Bab 12
LARI KE TEROWONGAN AIR

Dua orang prajurit menggiring Jupiter, Bob, dan Rudi kembali ke tempat mereka dikurung dalam ruangan bawah tanah. Rudi berjalan paling belakang. Sementara iring-iringan itu menuruni tangga batu, pengawal yang berjalan di belakangnya mendekatkan diri lalu berbisik-bisik.
"Dalam terowongan air ada tikus-tikus ramah," bisik pengawal itu. Rudi mengangguk tanda mengerti. Sesaat kemudian ia beserta kedua remaja lainnya didorong masuk ke dalam bilik sempit yang tadi, dengan dindingnya yang lembab serta lilin yang menyala berkelip-kelip. Pintu besi berdentang nyaring ketika ditutup kembali. Kedua prajurit yang mengawal menempati posisi masing-masing di luar. Ketiga remaja itu ditinggal sendiri di dalam.
Selama beberapa saat ketiga-tiganya sama-sama membisu. Di tengah kesunyian saat itu, Bob dan Jupiter mendengar bunyi menggelegak pelan. Kedengarannya seperti ada air mengalir.
"Terowongan air limbah kota Denzo melintas di bawah istana ini," kata Rudi menjelaskan. "Rupanya saat ini sedang hujan deras di luar. Air yang tercurah mengalir masuk ke dalam got, dan dari situ masuk ke terowongan limbah. Terowongan air di kota ini sudah berabad-abad tuanya. Wujudnya bukan pipa seperti gorong-gorong modern, tapi terbuat dari batu. Tingginya ada yang melebihi orang berdiri. Dasarnya datar, sedang bagian atasnya melengkung. Saat musim kering terowongan itu bisa dilewati dengan jalan kaki. Sedang saat musim penghujan perahu kecil bisa lewat di situ.
"Orang jarang berani memasukinya. Tapi aku, Elena, dan beberapa orang lagi tahu benar seluruh salurannya. Jika kita bisa masuk ke situ dan air tidak begitu dalam, kita bisa melewatinya menuju ke tempat aman. Lewat terowongan kita bisa muncul di jalan dekat gedung Kedutaan Besar Amerika. Dari lubang keluar kalian bisa cepat-cepat lari menyelamatkan diri."
Jupiter merenungkan hal itu sebentar. Kemudian ia menggeleng.
"Kita terkurung di balik pintu besi yang dikunci dari luar," katanya. "Kita takkan bisa ke mana-mana." "Coba ada kesempatan sedikit saja untuk keluar dari sini," kata Rudi, "di ujung gang yang di luar ada lubang masuk ke terowongan."
Ia berhenti sebentar.
"Di sana ada yang menunggu untuk menolong kita," sambungnya. "Aku tadi menerima kabar tentang itu dari salah seorang pengawal. 'Dalam terowongan ada tikus-tikus ramah'," katanya. "Maksudnya, beberapa anggota Pengamen menunggu kita di situ."
"Tapi kurasa Jupiter benar," sela Bob. "Kita tidak bisa keluar dari sini, kalau tidak dikeluarkan oleh Adipati Stefan. Siapa kelana tua bangka tadi? Kurasa ia bisa membaca pikiran kita!" Rudi mengangguk.
"Paling tidak, ia bisa menebaknya," kata pemuda itu. "Pak Tua Anton itu raja kaum kelana yang tinggal segelintir saja jumlahnya di Varania. Kata orang umurnya sudah seratus tahun dan ia memiliki kekuatan gaib. Yang jelas, ia tahu keadaan yang sebenarnya mengenai Labah-labah Perak itu. Tapi aku merasa sedih karena ia tadi berkata pada Adipati Stefan bahwa ia mendengar dentangan lonceng kemenangan. Itu berarti bahwa perjuangan kita sia-sia. Ayahku akan ditangkap-begitu pula kawan-kawanku. Sedang aku dan Elena..." Rudi terdiam.
Bob bisa membayangkan perasaannya saat itu.
"Kita tidak boleh putus asa," katanya membesarkan hati, "walau harapan kelihatannya sama sekali tidak ada bagi kita! Kau punya ide, Jupe?"
"Ya-aku punya ide bagaimana kita bisa keluar dari sini," kata Jupiter lambat-lambat. "Pertama-tama kita harus bisa membuat para penjaga membuka pintu. Setelah itu kita harus menaklukkan mereka." "Menaklukkan dua orang dewasa?" tanya Rudi. "Tanpa senjata lagi? Mustahil!"
"Aku ingat pada sesuatu," kata Jupiter sambil mengerutkan kening. "Tentu saja itu cuma kisah-tapi rasanya bisa dilaksanakan. Aku membacanya dalam buku kisah misteri yang diberikan Mr. Hitchcock pada kita." "Bagaimana idemu itu, Jupe?" tanya Bob bersemangat.
"Dalam kisah yang penghabisan dua orang remaja terkurung dalam sebuah kamar-persis seperti kita sekarang ini," kata Jupiter sambil mengingat-ingat. "Cara mereka melarikan diri begini. Mereka merobek-robek seprai alas tempat tidur lalu menjalinnya menjadi tali yang kedua ujungnya diberi jeratan. Setelah itu mereka memancing orang yang mengurung mereka masuk ke dalam."
Minat Rudi semakin bertambah besar, mendengar kelanjutan cerita Jupiter.
"Menurutku, itu masuk akal!" katanya kemudian dengan suara pelan, karena takut kalau-kalau penjaga yang di luar mendengarkan pembicaraan mereka. "Tapi apa yang bisa kita jadikan tali di sini?"
"Selimut di pembaringan itu," kata Jupiter. "Kita bisa merobeknya menjadi beberapa jalur. Jalur-jalur itu cukup kuat, jadi tidak perlu dipintal lagi untuk dijadikan tali."
"Mungkin bisa berhasil," kata Rudi menggumam. "Penjaga yang satu tadi sebenarnya termasuk teman-jadi ia cuma akan pura-pura saja melawan nanti. Dan kalau yang satu lagi sudah kita taklukkan-baiklah, kita coba saja!"
Tanpa ribut-ribut mereka mulai bekerja. Untung pisau Jupiter tidak diambil. Dengan pisau itu selimut dipotong-potong dalam beberapa jalur yang lebarnya masing-masing sekitar sepuluh senti.
Pekerjaan itu sangat melelahkan, karena mereka harus hati-hati sekali agar tidak menimbulkan bunyi yang mencurigakan. Kadang-kadang gigi pun terpaksa dikerahkan pada bagian-bagian yang tidak gampang dirobek. Beberapa waktu kemudian sudah diperoleh empat jalur kain selimut. Ketika jumlahnya sudah bertambah menjadi delapan, Jupiter mengajak beristirahat sebentar.
Para remaja itu merebahkan diri di atas ketiga pembaringan yang ada dalam bilik itu. Tapi mereka tidak bisa lama-lama beristirahat, karena ingin buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Jupiter mengambil dua jalur kain selimut lalu
menyambungnya dengan simpul yang ketat. Setelah itu dibuatnya jeratan pada kedua ujung tali darurat itu. Diujinya dengan jalan menjerat kaki dan tangan Rudi. Ternyata jeratan itu bisa bekerja dengan baik apabila ditarik. Rudi berseri-seri wajahnya karena gembira bercampur kagum.
"Brojas!" bisiknya bersemangat. "Kurasa rencana kita bisa berhasil. Bagaimana-cukup tidak kalau empat?"
"Cukup kalau cuma untuk kedua penjaga yang di luar," balas Jupiter sambil berbisik pula.
"Lebih baik kita bawa saja beberapa jalur lagi sebagai cadangan," usul Rudi. "Siapa tahu ada gunanya jika kita sudah sampai dalam terowongan."
Mereka merobek-robek selimut lagi, dijadikan delapan jalur yang kemudian disambung-sambung menjadi tali yang panjang. Tali darurat itu dililitkan Rudi ke pinggangnya.
"Sekarang kita mulai dengan bagian yang sulit," gumam Jupiter. "Bob! Kau berbaring di atas pembaringan lalu mulai mengerang-erang. Mulai dengan pelan dulu, lalu makin lama makin keras. Rudi-pasang dua jerat di lantai dekat pintu. Atur sebegitu rupa supaya orang yang masuk pasti menginjaknya."
Ketika segala persiapan sudah selesai, Bob mulai mengerang. Makin lama makin keras. Kedengarannya seperti benar-benar sedang kesakitan. Beberapa saat kemudian salah seorang penjaga mengintip lewat lubang kecil di pintu.
"Jangan berisik!" sergahnya.
Rudi berdiri dekat pintu, sementara Jupiter mengamat-amati Bob dengan cemas sambil memegang lilin. "Ia sakit," kata Rudi dengan nada yang dibuat-buat bingung pada penjaga itu. Ia berbicara dalam bahasa Varania. "Sewaktu kalian menyergap kami, kepalanya terbentur ke lantai. Ia demam sekarang-harus diperiksa dokter!" "Kalian pasti cuma hendak menipu saja, Setan cilik!"
"Sungguh-ia sakit!" teriak Rudi seolah-olah panik. "Masuklah kalau tidak percaya-raba keningnya! Kalau kalian mau membawanya ke dokter, nanti kami akan mengaku. Akan kami katakan di mana Labah-labah Perak disembunyikan. Adipati Stefan pasti senang."
Rudi mendesak terus karena melihat sikap penjaga itu masih ragu-ragu.
"Kalian kan tahu, Adipati tidak menghendaki anak-anak Amerika ini benar-benar disakiti," katanya. "Anak yang kecil itu memerlukan pertolongan dokter! Untuk itu mereka bersedia mengembalikan Labah-labah Perak. Cepat! Keadaannya mungkin sudah gawat!"
"Kita periksa saja dulu apakah memang benar begitu," kata penjaga yang satu lagi. Ialah yang tadi berbisik-bisik pada Rudi. "Jangan sampai kita diamuk Adipati nanti. Kau yang memeriksa apakah anak itu benar-benar sakit, sementara aku memanggil dokter. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena mereka kan cuma anak-anak saja."
"Baiklah," kata penjaga yang satu. "Akan kuperiksa apakah anak itu benar-benar demam. Kalau ternyata tidak- tahu rasa mereka nanti!"
Terdengar decitan bunyi anak kunci diputar. Pintu besi terbuka dan penjaga itu masuk ke dalam bilik.
Kakinya yang pertama masuk langsung terkena jeratan yang sudah menunggu. Secepat kilat Rudi menariknya sehingga orang itu jatuh terjerembab. Senter di tangannya terpental. Dengan cepat Jupiter melemparkan jerat yang berikut mengikat kepala penjaga itu. Sedang Rudi menjeratkan tali ketiga pada tangan penjaga yang menggapai liar.
"Tolong!" pekik penjaga itu. "Tolong! Aku dijerat setan-setan ini!"
Penjaga yang kedua bergegas masuk. Tapi Rudi sudah siap. Jeratnya mengikat leher orang itu. Satu lagi menjerat kakinya. Jerat pada ujung lainnya diselipkan mengikat penjaga yang satu lagi, sehingga kedua orang itu terikat erat satu dengan lainnya.
Penjaga yang paling dulu diringkus meronta-ronta dan menendang-nendang. Tapi gerakannya yang liar malah semakin mengencangkan jerat yang melilit penjaga yang satu lagi, sehingga orang itu roboh menimpanya. Rudi membungkuk lalu cepat-cepat berbisik di telinga penjaga kedua.
"Teruskan meronta-ronta! Jangan berhenti!"
Penjaga itu menurut. Dengan begitu jeratan malah semakin kencang melilit tubuh mereka, sehingga tidak mungkin mereka bisa membebaskan diri tanpa bantuan orang lain. Rudi terkekeh dalam hati. Terlintas dalam pikirannya bahwa kedua penjaga itu kelihatannya seperti serangga yang terjebak dalam jaring labah-labah. Itu pertanda baik. Semangat dan harapannya bangkit kembali.
"Sekarang cepat-karena ribut-ribut ini nanti terdengar oleh penjaga-penjaga yang ada dalam gang," katanya pada Bob dan Jupiter. "Jupiter! Bawa senter yang satu lagi. Ikuti aku!"
Sambil bicara Rudi sudah bergegas menyusur gang menuju arah lebih bawah yang gelap-gulita. Bob dan Jupiter lari menyusul, diterangi cahaya senter yang disorotkan ke depan.
Mereka sampai di suatu tangga yang dengan segera dituruni. Akhirnya Rudi tersusul. Pemuda itu nampak sedang membungkuk sambil menarik-narik sebuah gelang besar dari besi yang kelihatannya seperti terpasang di lantai. Ketika diterangi dengan senter, ternyata bahwa gelang itu merupakan bagian dari sebuah tutup lubang dari besi yang sudah berkarat.
"Macet!" kata Rudi dengan suara seperti tercekik. "Karatnya terlalu tebal! Sedikit pun tidak bisa kugerakkan."
"Mana tali tadi!" kata Jupiter. "Cepat-selipkan pada gelang itu, lalu kita tarik beramai-ramai!"
"Ah, betul juga!" Dengan cepat Rudi melepaskan tali yang terlilit ke pinggangnya, lalu diselipkannya ke gelang. Dibantu tali itu mereka lantas menarik bersama-sama. Mulanya tutup lubang tak terangkat sama sekali. Tapi ketika dari arah belakang terdengar bunyi derap langkah berlari disertai suara berteriak-teriak, ketiga remaja itu menarik lagi dengan sekuat tenaga.
Tutup dari besi itu lepas dengan tiba-tiba, lalu terguling ke samping, menampakkan sebuah lubang menganga. Di bawahnya gelap gulita. Bunyi air mengalir terdengar ke luar dari situ.
"Aku dulu yang turun," kata Rudi dengan napas sesak. Tali yang dipakai sebagai alat bantu menarik tadi dilepaskan dari gelang. "Kita saling memegang tali ini. Tidak ada waktu lagi untuk mengembalikan tutup itu ke tempat semula."
Dengan senter terselip di mulut, pemuda itu turun dan lenyap ditelan kegelapan yang menunggu di bawah. Bob menyusul. Ia sebenarnya ngeri melihat lubang gelap serta bunyi air mengalir di bawah. Tapi tidak ada waktu lagi untuk bersikap ragu saat itu.
Rasanya lama sekali ia meluncur turun. Kemudian kakinya menyentuh dasar terowongan. Jaraknya dari atas sebenarnya tidak sampai dua meter. Bob berhasil turun dengan selamat. Tapi kalau tidak cepat-cepat dipegangi oleh Rudi, pasti ia tercebur ke dalam air yang tingginya sampai lutut.
"Janganjatuh!" bisik Rudi. "Awas, Jupiter turun. Minggir!"
Jupiter tidak sebegitu mujur seperti Bob. Ia terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk di tengah air yang mengalir, sebelum kedua temannya sempat memegang. Dengan cepat Rudi mencengkeram bahu Jupiter supaya jangan sampai terbenam masuk ke air. Sambil mendengus-dengus Jupiter tegak kembali.
"Huh, dingin!" katanya.
"Cuma air hujan saja," kata Rudi dengan cepat. "Nanti kita masih akan lebih basah lagi, sebelum akhirnya keluar dari terowongan ini. Ayo, ikut aku! Kita semua berpegangan pada tali. Air di sini mengalir ke sungai. Tapi di ujungnya ada terali besi yang kokoh. Kita tidak mungkin ke luar lewat sana. Jadi kita harus ke hulu."
Dari atas terdengar suara teriakan dan orang yang marah-marah. Cahaya senter disorotkan ke bawah. Tapi Rudi dan kedua kawannya sudah meninggalkan tempat itu. Sambil membungkuk karena langit-langit terowongan di situ rendah, mereka bergegas mengarungi air yang berarus deras.
Lubang tempat mereka masuk tadi sudah jauh di belakang mereka sekarang. Tidak lama kemudian mereka sampai di terowongan yang lebih besar ukurannya. Di situ mereka bisa berdiri tegak. Ketiga remaja itu berjalan terus sambil berpegangan ke tali. Sinar kedua senter yang dibawa tidak cukup kuat untuk menandingi kegelapan yang menyelubung. Anak-anak mendengar suara mencicit-cicit. Sesuatu yang berbulu berenang menyentuh kaki Bob. Ia kaget setengah mati. Tapi ia meneruskan langkah.
"Para penjaga pasti mengejar kita!" seru Rudi dalam gelap. "Mereka harus melakukannya, karena takut pada Adipati Stefan. Tapi mereka tidak mengenal liku-liku dalam terowongan ini, seperti aku. Di depan ada tempat di mana kita bisa beristirahat sejenak."
Rudi berjalan bergegas, sampai kedua remaja di belakangnya agak terseret-seret. Air dalam terowongan yang dilalui semakin dalam. Mereka melalui suatu tempat di mana air jatuh dari atas seperti air terjun, sehingga menyebabkan ketiga-tiganya basah kuyup. Pasti di atas ada got tempat air masuk dari jalan, pikir Bob.
Mereka terus saja berjalan mengarungi air. Menembus suatu tirai air terjun lagi, lalu tahu-tahu sampai di suatu bagian yang agak lapang berbentuk kubah. Empat terowongan bertemu di tempat itu. Rudi berhenti lalu menyorotkan senternya berkeliling. Di tepi tempat itu kelihatan semacam langkan, serta tangga panjat dari besi yang menuju ke atas.
"Lewat situ kita bisa naik ke atas," kata Rudi. "Tapi lebih baik jangan, karena masih terlalu dekat ke istana. Kita beristirahat saja sebentar sambil duduk di langkan. Kurasa masih ada waktu beberapa menit bagi kita, sebelum para prajurit sampai di tempat ini. Mereka takkan berani cepat-cepat berjalan dalam terowongan."
Dengan perasaan lega mereka naik ke atas langkan selebar setengah meter yang mengelilingi sebagian dari ruangan itu. Mereka merebahkan diri untuk melepaskan lelah.
"Wah! Ternyata kita berhasil juga!" kata Jupiter setelah beberapa saat. "Setidak-tidaknya kita bisa sampai di sini. Di manakah kita sekarang?"
Baru saja Rudi hendak menjawab pertanyaan itu, ketika ia tiba-tiba tertegun.
"Matikan senter!" desisnya kemudian.
Dengan segera Jupiter memadamkan senter. Dalam terowongan di depan nampak samar cahaya lentera yang semakin mendekat ke arah mereka. Ada orang di depan, sedang para prajurit pengawal istana datang mengejar dari belakang. Ketiga remaja itu terjebak!

Bab 13
PERTOLONGAN DALAM KEGELAPAN

"Cepat-ke atas!" desak Rudi. "Kita harus naik ke jalan. Aku dulu!"
Pemuda itu cepat-cepat memanjat tangga besi yang licin, disusul oleh Bob dan Jupiter. Sebelumnya mereka menyalakan senter sesaat untuk menemukan tempat tangga. Kemudian mereka memanjat dalam gelap.
Rudi sampai di ujung sebelah atas. Sambil berpegangan dengan kedua tangannya pada anak tangga teratas, ia menempelkan bahu ke sisi bawah tutup besi lalu mendorongnya ke atas. Dengan lambat tutup yang berat itu terangkat. Seberkas sinar matahari memancar masuk ke bawah. Rudi menjunjung tutup itu sedikit lagi ke atas, sampai ia bisa mengintip ke luar. Dengan seruan kecewa ia mundur lagi ke bawah sehingga lubang itu tertutup kembali.
"Di sudut jalan ada patroli pengawal yang sudah menunggu!" bisiknya. "Sebelum kita sempat mengangkat tutup itu lalu ke luar, mereka pasti sudah berhasil menangkap kita!"
"Mungkin kita bisa menyembunyikan diri di atas sini," kata Jupiter mengusulkan dengan perasaan yang sama sekali tidak yakin.
"Ya, cuma itu saja yang masih bisa kita lakukan," kata Rudi sambil mengeluh. "Mudah-mudahan saja mereka terus, tanpa melihat ke atas."
Di bawah mereka nampak sinar menerangi air yang mengalir. Sementara mereka memperhatikan, sesaat kemudian muncul sebuah sampan. Seorang laki-laki duduk di buritan, mendorong sampan itu maju dengan bantuan sebatang tongkat. Di haluannya nampak seorang gadis yang menyorotkan cahaya senter yang terang ke sana-kemari.
"Rudi!" panggil gadis itu dengan suara pelan. "Rudi! Kau ada di mana?"
"Elena!" seru Rudi dari atas. "Kami ada di sini-di atas. Tunggu saja di situ."
Sampan itu berhenti. Diterangi cahaya senter yang disorotkan dari bawah, Rudi serta kedua temannya bergegas menuruni tangga besi.
"Terpujilah Pangeran Paul!" kata Elena dengan lega. "Kalian berhasil kami temukan! Ternyata kalian berhasil melarikan diri dari mereka."
Ketiga remaja itu masuk ke sampan, sementara laki-laki yang duduk di buritan menjaga keseimbangan. Setelah mereka naik, dengan segera haluan sampan diputar. Dengan bantuan tongkat yang didorongkan dengan kuat ke dasar terowongan, sampan itu meluncur ke arah datangnya tadi.
"Tadi salah seorang pengawal kami membisikkan bahwa dalam terowongan ini ada tikus-tikus ramah," kata Rudi pada Elena.
"Sudah berjam-jam kami berkeliaran mencari kalian," kata Elena. "Kami sudah cemas saja, jangan-jangan kalian tidak bisa melarikan diri. Aduh-senang sekali hatiku bisa melihatmu lagi, Rudi!"
"Kami pun merasa lega melihat kalian," kata Rudi sambil nyengir. "Ini saudara sepupuku, Dmitri," katanya pada Bob dan Jupiter sambil melambai ke arah laki-laki yang duduk di buritan. Kemudian ia berpaling lagi ke arah adiknya. "Apa yang terjadi di atas?"
"Nanti saja kuceritakan," kata Elena cepat-cepat. "Sekarang tidak ada waktu. Lihatlah!"
Tahu-tahu di depan mereka nampak sinar matahari memancar ke dalam lubang terowongan yang semula gelap-gulita.
"Mereka membuka tutup lubang di depan!" kata Dmitri kaget. "Mereka sudah menunggu kita di situ. Sekarang kita harus berusaha menerobos lewat!"
Tongkat pendorong ditolakkannya lebih keras lagi. Sampan kecil itu melesat maju, menembus jalur sinar terang yang memancar dari lubang di atas. Anak-anak mendongak. Nampak sejumlah prajurit pengawal menuruni tangga besi. Seorang dari mereka berseru sambil meloncat ke bawah. Rupanya hendak mencoba membalikkan sampan. Tapi loncatannya meleset karena Dmitri bertindak cepat. Dengan sigap dibelokkannya arah sampan, sehingga pengawal itu tercebur ke dalam air.
Sesaat kemudian mereka sudah kembali diselubungi kegelapan, sementara sampan yang ditumpangi meluncur terus menyusur terowongan yang bercabang-cabang di bawah kota.
"Mereka pasti mengejar kita. Tapi tidak bisa cepat, karena harus jalan kaki," kata Rudi.
"Menurutku lebih besar kemungkinannya mereka membuka lagi tutup lubang yang ada di depan lalu menunggu kita di sana," kata Dmitri. "Nah-di sini ada persimpangan. Kita berganti haluan sekarang."
Saat itu mereka sampai di suatu ruangan yang lapang lagi, di mana air mengalir dari tiga terowongan besar. Dmitri membelokkan sampan memasuki terowongan sebelah kiri, yang ukurannya agak lebih kecil dari yang dua lagi. Rudi mengambil tongkat yang lebih pendek. Dengan cekatan digerak-gerakkannya tongkat itu untuk mencegah haluan membentur sisi terowongan. Kadang-kadang mereka semua harus membungkuk dalam-dalam agar bisa melewati suatu bagian yang sangat rendah langit-langitnya.
"Kalian kemarin sudah melihat Dmitri, ketika ia memimpin orkes di taman," kata Rudi pada Bob dan Jupiter. "Di samping aku dan Elena, ia termasuk beberapa orang yang hafal liku-liku jalan dalam terowongan ini."
Di beberapa tempat langit-langit menurun begitu rendah sehingga Bob sudah khawatir saja bahwa mereka tidak bisa lewat. Tapi rintangan-rintangan itu ternyata dapat dilalui dengan selamat. Suara orang yang mengejar di belakang sudah lama tidak terdengar lagi.
"Mana Pete?" tanya Rudi pada Elena yang duduk dengan tenang di sampingnya.
"Ia menunggu kita di salah satu tempat," jawab Elena. "Kami tidak mengajaknya, karena sampan ini terlalu kecil. Di samping itu lebih baik ia ditinggal. Aku sebenarnya hendak membawanya ke tempat yang aman. Tapi ia tidak mau, sebelum berhasil menemukan kalian atau kalau sudah jelas tidak ada harapan untuk itu."
Memang begitulah watak Pete.
"Di mana kita sekarang, Dmitri?" seru Rudi ke arah buritan. "Terus terang saja, aku kehilangan arah."
"Kita mengambil jalan melingkar untuk mencapai tempat persembunyian," jawab Dmitri. "Lima menit lagi sampai."
Sekali lagi mereka memasuki ruangan lapang di mana beberapa terowongan limbah bertemu. Kini Dmitri mengarahkan haluan sampan ke terowongan yang di tengah-tengah. Terowongan itu lebih lapang dari yang baru saja ditinggalkan. Anak-anak bisa duduk lurus lagi. Sampan meluncur terus ke depan. Tiba-tiba nampak suatu titik sinar di depan.
"Ada orang di depan!" kata Bob gugup.
"Itu Pete-kalau nasib kita mujur," kata Elena. "Di situlah ia menunggu kita."
Sinar terang itu semakin dekat. Kini nampak bahwa sumbernya sebuah senter yang berada dalam sebuah rongga lapang yang mirip gua dangkal di sisi terowongan. Pete duduk mencangkung di samping senter itu. Dengan gembira disambutnya kedatangan mereka.
"Senang rasanya hatiku melihat kalian datang!" serunya lega. "Aku sudah mulai kesepian di sini. Ada yang tadi mau menemani-tapi tikus-tikus! Tentu saja kuusir."
Rudi mengambil dua bongkah batu untuk menjepit tali sampan yang ditepikan oleh Dmitri ke sisi terowongan. Dengan begitu tidak perlu dikhawatirkan sampan itu hanyut. Kemudian mereka semua turun, lalu masuk ke rongga yang mirip gua. Kekasaran dindingnya menyolok sekali kalau dibandingkan dengan kehalusan permukaan batu-batu yang terpasang rapi oleh para tukang berabad-abad yang lalu untuk membentuk tembok terowongan air limbah.
"Ketika terowongan ini dibangun, tukang-tukang waktu itu menemukan gua alam ini di sini," kata Rudi menjelaskan, sementara mereka merebahkan diri ke dasar rongga itu untuk beristirahat. "Mereka membiarkannya, karena itu lebih praktis daripada harus menemboknya dengan batu. Aku menemukannya bertahun-tahun yang lalu. Waktu itu kami masih anak-anak. Kami membentuk perkumpulan rahasia untuk menjelajahi seluruh terowongan air yang ada di bawah kota. Ayah kami selalu melarang kami melakukannya karena dianggap terlalu berbahaya. Saat itu kami belum tahu, bahwa keisengan masa kanak-kanak itu kini ternyata ada manfaatnya."
Elena nampak gelisah.
"Kita perlu berunding sebentar," katanya. "Menurut pendapatku, rencana kita tidak mungkin bisa dilaksanakan lagi."
"Ceritakan dulu apa yang terjadi selama ini," kata Rudi. "Bagaimana kau bisa sampai ada di sini, Dmitri?"
"Ketika pasukan pengawal istana datang ke rumah kalian untuk menangkap ayahmu, kebetulan aku sedang ada di situ," kata Dmitri. "Begitu mereka muncul, aku langsung lari lewat pintu rahasia. Tapi aku masih sempat mendengar kapten yang mengepalai pasukan itu mengejek ayahmu. Katanya kau sudah tertangkap dan ayahmu dengan segera akan dihadapkan ke pengadilan. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa tentang Elena. Dalam hati aku berdoa, semoga adikmu ini berhasil melarikan diri.
"Aku kan tahu rencana kalian. Karenanya aku kemudian masuk ke dalam terowongan untuk mencari Elena. Aku bermaksud hendak membantunya apabila ia berhasil kutemukan. Saat itu hujan sudah turun dan air menggenangi terowongan. Aku lantas mengambil sampan yang kita taruh di tempat tersembunyi."
"Betul-dan ternyata tepat pada waktunya. Dmitri berhasil menemukan kami," kata Elena. "Aku bersama Pete lari dari istana menurut rencana yang telah kita atur semula, lalu masuk kemari. Ketika sudah berjumpa dengan Dmitri, kami kemudian memutuskan untuk menunggu kalian muncul, selama keadaan masih memungkinkan. Menurut perhitungan kami, satu-satunya kemungkinan lari bagi kalian hanya lewat ruangan tawanan di bawah tanah. Jadi begitulah sebabnya kami ada di sini. Sekarang kita harus merundingkan tindakan selanjutnya."
"Sebelumnya kita mendengarkan siaran radio dulu," kata Dmitri. "Tolong hidupkan, Pete-kan kau yang mengantunginya tadi."
"O ya." Pete mengeluarkan sebuah radio transistor berukuran saku dari kantungnya. "Tadi kumatikan-karena aku toh tidak mengerti bahasa kalian."
Begitu radio dihidupkan, terdengar serentetan kalimat panjang dalam bahasa Varania yang kemudian disusul dengan musik berirama mars. Elena menerjemahkan kata-kata itu bagi Jupiter serta kedua temannya yang dari Amerika.
"Tadi itu pengumuman yang mengatakan bahwa rakyat Varania diminta berjaga-jaga di depan pesawat radio dan televisi pukul delapan pagi ini, karena akan ada pengumuman mahapenting. Orang yang berbicara itu Perdana Menteri. Tentu saja rekaman suaranya.
"Dengan begitu pukul delapan nanti akan diumumkan bahwa pemerintah Varania berhasil membongkar suatu komplotan yang didalangi pihak luar negeri-yaitu kalian bertiga-dan bahwa Pangeran Djaro ternyata ikut terlibat di dalamnya. Sehubungan dengan itu, sampai waktu yang saat ini belum ditetapkan, Adipati Stefan tetap menjabat kedudukan wali negara. Tentu saja mereka tidak menduga bahwa kalian kemudian akan melarikan diri. Mereka sudah merencanakan akan melangsungkan pengadilan terbuka, di mana akan dipertunjukkan barang-barang bukti seperti kamera kalian dan macam-macam lagi. Kemudian kalian diusir dari sini, sedang Ayah dan Rudi dijatuhi hukuman penjara-yah, pokoknya segala macam yang tidak enak akan terjadi setelah itu."
"Aduh-kalau begitu kedatangan kami ke sini malah semakin menyulitkan Djaro," kata Bob dengan perasaan kecut.
"Waktu itu tidak ada yang bisa menduga bahwa perkembangan akan seperti sekarang," kata Elena. "Kini kalian harus kami bawa ke tempat aman-ke kedutaan kalian. Betul, Dmitri?" "Setuju," jawab Dmitri dengan singkat.
"Tapi bagaimana dengan kalian sendiri? Dan ayah kalian serta Djaro?" tanya Jupiter.
"Itu urusan nanti," kata Elena, lalu mendesah. "Aku khawatir saat ini kita tidak bisa berbuat apa-apa karena rencana mereka ternyata rapi sekali. Misalnya kita bisa menyelamatkan Djaro dari istana-atau memberi tahu penduduk kota bahwa keselamatan pangeran mereka terancam-mungkin komplotan itu masih bisa kita gagalkan. Tapi keadaan saat ini lebih menguntungkan bagi Adipati Stefan beserta kawanannya."
"Betul," kata Dmitri sependapat. "Jadi kami harus menyelamatkan kalian bertiga dulu. Setelah itu baru kami pikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya mengenai diri kami sendiri. Tapi kurasa perjuangan kita sudah gagal. Tapi baiklah, kita berangkat sekarang. Di luar sudah terang. Sejam lagi apabila pengumuman Perdana Menteri disiarkan, mudah-mudahan kalian sudah sampai dengan selamat di gedung Kedutaan Besar Amerika. Nah-kita berangkat sekarang. Dari sini harus jalan kaki, karena sampan itu terlalu kecil-tidak mungkin bisa memuat kita berenam."
Dmitri masuk ke air yang mengalir deras, diikuti satu per satu oleh yang lainnya. Mereka berjalan sambil memegang tali darurat yang terbuat dari cabikan selimut, supaya tidak ada yang tersesat. Mereka melangkah dengan hati berat.

Bab 14
JUPITER MENDAPAT ILHAM

Air yang diarungi mulai mendangkal, karena hujan sudah berhenti turun di atas. Tidak lama kemudian tinggal setinggi mata kaki, sehingga mereka dapat melangkah dengan lebih leluasa. Beberapa rongga lapang tempat beberapa terowongan bertemu dilalui. Tapi Dmitri kelihatannya hafal sekali jalan yang harus ditempuh.
"Kita nanti keluar di blok tempat Kedutaan Besar Amerika," seru Dmitri sambil menoleh ke belakang. "Mudah-mudahan saja lubang ke luar di sana tidak dijaga."
Lama sekali rasanya mereka berjalan. Walau mereka tidak bisa mengetahui waktu itu di tempat yang gelap-gulita itu, tapi pasti mereka sudah berjalan sejauh delapan blok paling kurang. Bahkan mungkin sudah sepuluh. Tiba-tiba Dmitri berhenti ketika mereka sampai di sebuah rongga lapang lagi yang sebelah atasnya ada lubang untuk ke luar ke jalan.
"Ada apa?" seru Rudi dari belakang. "Kan masih dua blok lagi?!"
"Aku mendapat firasat yang kurang enak," kata Dmitri. "Kurasa tempat yang kita tuju itu pasti dijaga, karena mereka tentu menduga bahwa kita akan ke sana. Jadi kalau kita tetap ke luar lewat sana, pasti langsung diringkus! Kalau aku tidak salah, saat ini kita berada di bawah pasar kembang di belakang gereja St. Dominic. Di sini saja kita ke luar. Mereka takkan menunggu kita di tempat ini. Nanti dari sini kita menyelinap masuk ke kedutaan lewat belakang."
"Kurasa kau benar," kata Rudi sependapat. "Baiklah! Kita naik saja sekarang, karena untuk apa tunggu-tunggu lagi!"
Dengan cepat Dmitri memanjat tangga besi yang ada di situ. Sesampainya di atas ia menjunjung tutup lubang lalu mengintip sebentar ke luar. Setelah itu didorongnya tutup berat itu ke samping. Ia sendiri merangkak ke jalan. "Cepat naik!" serunya ke bawah. "Nanti kubantu!"
Dmitri membantu Elena naik, kemudian Bob. Bob terkejap-kejap sesaat karena merasa silau. Langit nampak mendung. Jalan-jalan masih basah kena hujan malam sebelumnya. Mereka ternyata muncul di suatu gang sempit yang diapit rumah-rumah tua yang berdempet-dempet letaknya. Banyak sekali kios-kios kecil dalam gang itu. Para penjual berpakaian kuno sibuk mengatur kembang dan buah-buahan yang diharapkan akan laris terjual hari itu. Mereka tercengang ketika melihat Dmitri bersama rombongannya tahu-tahu muncul dari lubang atas terowongan.
Rudi membantu Dmitri mengembalikan tutup lubang yang berat itu ke tempat semula. Kemudian Dmitri mengajak rombongannya pergi dari situ, tanpa mempedulikan tatapan mata heran yang terarah pada mereka. Tapi baru saja berjalan sekitar lima puluh meter, tahu-tahu Dmitri berhenti melangkah. Di ujung gang muncul dua prajurit pengawal istana.
"Cepat, kembali!" seru Dmitri. "Kita harus bersembunyi!"
Tapi sudah terlambat, karena kedua prajurit itu sudah melihat mereka. Dan dari pakaian yang basah kuyup, dapat diketahui dengan jelas dari mana mereka datang. Kedua prajurit itu langsung lari mengejar sambil berteriak-teriak. "Ayo berhenti! Atas nama Wali Negara, kalian kami tangkap!"
"Tangkap saja kalau bisa!" seru Dmitri membalas dengan sikap menantang. Ia mengayunkan lengannya, memberi isyarat pada Rudi serta yang lain-lainnya. "Ikut aku!" serunya. "Kita lari ke gereja. Ada kemungkinan-"
Anak-anak tidak mendengar lagi apa yang dikatakan sesudah itu. Mereka langsung lari mengikuti sambil mengelakkan tubrukan dengan orang-orang yang lalu-lalang dalam gang itu. Sekitar selusin prajurit mengejar di belakang. Tapi kaki tangan Adipati Stefan itu lebih banyak menemui kesulitan untuk lewat, karena sementara itu para penjual sudah berhamburan ke tengah gang. Mereka ingin tahu apa yang menyebabkan keributan pada saat sepagi itu.
"Menepi! Menepi!" Para prajurit yang mengejar berseru-seru dengan sia-sia.
Bob melihat kubah gereja St. Dominic yang kemilau menjulang di atas deretan atap rumah-rumah kuno yang memagari gang. Napasnya mulai tersengal-sengal. Dalam hati ia bertanya-tanya. Apa gunanya mereka bersembunyi dalam gereja? Paling-paling hanya akan memperlambat saat mereka tertangkap nanti. Tapi Dmitri kelihatannya mempunyai rencana tertentu-dan saat itu bukan waktunya untuk bertanya-tanya.
Salah seorang prajurit pengawal yang mengejar tiba-tiba terpeleset lalu jatuh sehingga beberapa rekannya ikut terguling karena menyandung kakinya. Bob yang saat itu kebetulan menoleh ke belakang menduga bahwa yang pertama jatuh itu besar kemungkinannya sengaja menjatuhkan diri, supaya pengejaran terhambat selama beberapa saat. Pasti ia sebenarnya termasuk kawan, kata Bob dalam hati.
Di ujung gang Dmitri membelok, diikuti oleh yang lain-lain. Di depan kini nampak bangunan gereja yang megah, satu blok lebih jauh. Tapi di tempat itu nampak pula sejumlah prajurit pengawal istana. Prajurit-prajurit itu memandang ke arah mereka!
Mereka takkan bisa mencapai pintu gereja dengan selamat.
Tapi Dmitri tidak lari ke arah situ. Ia melintas ke seberang jalan, dan dari situ menuju sebuah pintu kecil yang terdapat di bagian belakang gereja. Dengan cepat ia masuk diikuti oleh yang lain-lainnya. Pintu kecil itu langsung dikunci dengan palang pintu dari dalam. Saat itu pula para pengejar sampai di situ. Terdengar suara ramai berteriak-teriak dengan marah di luar. Daun pintu yang terbuat dari kayu kokoh digedor-gedor.
Di dalam Bob hanya sempat secara sekilas saja melihat keadaan sekelilingnya. Sebuah ruangan persegi empat yang agak lapang. Ruangan itu tinggi sekali, kelihatannya seperti tanpa langit-langit. Di satu sisi ruangan itu ada tangga yang mengarah ke atas, terkurung terali besi. Delapan utas tali berukuran besar tergantung dari sebelah atas. Ujung-ujung bawahnya disangkutkan ke beberapa gelang besi yang terpasang di dinding ruangan.
Hanya itu saja yang sempat dilihat oleh Bob saat itu.
"Sekarang kita masuk ke katakomba, " kata Dmitri sementara itu. "Katakomba itu ruang-ruang tempat pemakaman di kolong gereja. Ruang-ruang itu terdiri dari beberapa tingkat dan banyak lorong-lorongnya. Kita bisa bersembunyi
"Untuk apa bersembunyi lagi?" kata Jupiter dengan tiba-tiba. "Akhirnya pasti tertangkap juga!" Semua menatap ke arahnya dengan heran.
"Kau pasti baru mendapatkan ide, Jupe! Itu bisa kulihat dari mukamu!" kata Pete dengan tegang. "Bagaimana ide itu?"
"Ini-tali-temali yang tergantung ini," kata Jupiter sambil menuding. "Apakah gunanya untuk membunyikan Lonceng Pangeran Paul?"
"Bukan-ini tali lonceng-lonceng untuk ibadah gereja yang biasa," kata Rudi. Ia mengernyitkan kening, berusaha menebak pikiran Jupiter. "Lonceng Pangeran Paul terdapat di puncak menara lonceng yang satu lagi-di seberang sana! Lonceng agung itu digantungkan terpisah sendiri di situ dan hanya dibunyikan kalau ada peristiwa kenegaraan saja."
"Ya ya-aku tahu," kata Jupiter cepat-cepat. "Tapi Pangeran Djaro bercerita bahwa ketika Pangeran Paul menghadapi pemberontakan berabad-abad yang lalu, ia memanggil para pengikutnya dan memberi tahu mereka bahwa ia masih hidup dengan jalan membunyikan lonceng itu."
Dmitri mengusap-usap dagunya, sementara yang lain masih menatap Jupiter dengan sikap tidak mengerti.
"Ya-setiap anak sekolah di sini mengenal kisah itu, yang merupakan bagian dari sejarah nasional kami," kata Dmitri. "Kenapa kau menanyakannya? Apa sebenarnya maksudmu?"
"Maksudnya jika kita membunyikan Lonceng Pangeran Paul, mungkin rakyat akan datang menolong Pangeran Djaro!" seru Rudi bersemangat. "Kita sendiri tidak berpikir ke situ-karena bagi kita itu cuma kisah kuno. Selama ini kita hanya memikirkan kemungkinan mempergunakan sarana surat kabar, atau radio dan televisi. Tapi katakanlah hari ini-"
"Dengan tiba-tiba saja lonceng agung itu berdentang nyaring-setelah pemberitaan di radio yang mengatakan akan ada pengumuman penting!" sela Elena bergairah. "Rakyat sangat mencintai Pangeran Djaro. Jika mereka mengira ia berada dalam kesulitan dan memerlukan pertolongan, mereka pasti akan datang berduyun-duyun!"
"Tapi jika-" kata Dmitri agak sangsi.
"Tidak ada waktu lagi untuk bersikap sangsi!" seru Rudi. "Dengar saja bunyi pintu digedor-gedor dari luar. Waktu kita tinggal beberapa saat lagi!"
"Baiklah." Dmitri nampak telah membulatkan tekad. Saat itu pasukan-pasukan pengawal istana mungkin sudah lari menuju ke pintu gerbang utama. "Rudi, kau ikut dengan anak-anak Amerika ini. Aku bersama Elena masuk ke katakomba. Jika para prajurit itu mengejar kami, kalian akan bisa menang waktu sedikit. Elena! Kemarikan sepatunya yang sebelah-supaya ditemukan orang-orang yang mengejar!"
Elena melepaskan sepatunya sebelah kiri yang basah kena air dan menyerahkannya pada Dmitri.
"Kita tinggalkan di sini, supaya mereka mencari kita," kata Elena. Gadis itu benar-benar tabah. Dalam keadaan segenting saat itu pun ia masih bisa tersenyum geli. "Ayo cepat pergi, Rudi!"
"Ikut aku!" seru Rudi pada Bob, Pete, dan Jupiter. "Ikuti aku!"
Ia lari melintasi ruang dalam gereja besar itu menuju menara lonceng yang terletak di sisi seberang, sementara Bob dan yang dua lagi menyusul. Sementara itu Elena dan Dmitri bergegas-gegas lari ke sebuah pintu yang terdapat di bagian belakang, yang kelihatannya merupakan jalan menuju katakomba.
Bob agak ketinggalan. Larinya pincang sekarang. Cederanya yang lama mulai menimbulkan kesulitan.
Ia melihat anak-anak di depan berhenti. Dengan langkah terpincang-pincang ia menyusul ke tempat itu. Ternyata mereka kini berada dalam ruangan yang serupa dengan yang baru saja ditinggalkan. Ruangan itu pun tidak berlangit-langit. Seutas tali yang nampak kekar terjulur dari atas dan diikatkan ke dinding. Di situ juga ada tangga menuju ke atas, terkurung dalam semacam kurungan berterali kokoh.
Rudi bergegas melepaskan tali dari ikatannya ke dinding, sehingga kini tergantung lepas. Setelah itu ia lari menaiki tangga.
"Cepat-kita ke atas!" serunya sambil berlari.
Pete menyambar lengan Bob untuk membantunya, lalu mereka bergegas-gegas menyusul Rudi.

Bab 15
LONCENG PANGERAN PAUL

Tangga yang dilalui sangat terjal. Bob sudah payah sekali. Rudi berhenti ketika melihat anak itu terpincang-pincang, lalu mengulurkan ujung tali bekas selimut yang masih tetap dibawa. "Pegang yang kuat!" katanya. "Aku akan menarikmu ke atas."
Kini Bob bisa naik tangga dengan lebih mudah, karena dihela dari atas oleh Rudi. Satu tingkat tangga sudah dinaiki. Kemudian dua. Kelihatannya para prajurit yang mengejar belum juga mengetahui bahwa mereka lari ke atas. Di ujung atas tingkat tangga ketiga terdapat pintu pagar yang kekar. Pintu itu berderik-derik ketika didorong untuk membukanya. Rupanya sudah lama sekali tidak ada yang lewat di situ.
Ketika mereka sudah lewat, Rudi menutupnya kembali lalu menguncinya dengan gerendel besi yang besar sekali.
"Supaya pengejar kita agak terhambat sedikit," katanya. "Jaman dulu bahkan gereja pun tidak selalu aman dari serbuan pasukan-pasukan tentara musuh. Pada saat-saat begitu para pendeta bersembunyi dalam menara menara lonceng, sedang pintu-pintu gerbang ini kemudian dikunci dari atas. Nanti masih ada dua lagi yang harus kita lewati."
Saat pintu pagar yang kedua dikunci oleh Rudi, di bawah prajurit-prajurit pengawal yang mengejar masuk berhamburan ke dalam ruang kaki menara. Mereka mendongak. Begitu melihat para pelarian, mereka langsung mengejar naik tangga. Tapi pintu pagar pertama ternyata terkunci dengan gerendel. Para prajurit itu menggoncang-goncangnya dengan kesal. Tapi pintu pagar itu tetap saja tidak bisa dibuka. Sesaat kemudian terdengar seruan minta diambilkan peralatan guna memotong terali pintu pagar itu.
"Agak lama juga mereka harus menunggu sebelum bisa lewat di situ," kata Jupiter tersengal-sengal sambil terus mendaki. "Pokoknya kita menang waktu sedikit."
Mereka sudah sampai di tempat yang lebih tinggi dari kubah St. Dominic. Orang-orang dan kendaraan yang lalu-lalang di bawah nampak kecil sekali. Suasana saat itu kelihatannya biasa-biasa saja. Hanya dalam menara lonceng itu saja keadaannya sedang gawat.
Rudi serta ke tiga remaja dari Amerika itu kini sampai di ruangan terbuka tempat lonceng. Lonceng Pangeran Paul yang besar tergantung di bawah atap yang meruncing ke atas, bertopang pada balok-balok kayu yang kokoh. Sebelum memasuki ruangan itu masih harus dilewati pintu pagar yang ketiga. Setelah semuanya masuk, dengan cepat Rudi menutupnya kembali dan sekaligus menggerendelnya dari dalam. Sekawanan burung merpati menggelepar terbang dari tempat mereka hinggap di pinggiran tempat itu. Rupanya kaget melihat tahu-tahu ada manusia masuk ke situ.
Keempat remaja itu berhenti sebentar untuk mengatur napas. Di bawah, para prajurit kedengaran sedang sibuk berusaha mendobrak gerendel pintu yang merintangi. Bunyinya berisik sekali-berdentam-dentam. Tapi rupanya tanpa banyak membawa hasil.
"Sebentar lagi mereka pasti akan mendatangkan ahlinya," kata Rudi menduga. "Jadi kita cepat-cepat saja bertindak sekarang. Kita lihat dulu-bagaimana cara membunyikan lonceng ini! O ya-sebaiknya kita tarik saja talinya ke atas, jangan sampai yang di bawah itu mendapat akal untuk mengencangkannya kembali."
Di lantai ruang lonceng itu ada lubang besar tempat lalu tali penarik lonceng. Rudi tegak di bawah lonceng besar itu, lalu mulai menarik tali ke atas. Pete dan Jupiter bergegas membantu. Dengan cepat tali itu sudah mulai tertarik naik, bergulung-gulung di lantai seperti ular berbulu. Para prajurit di bawah berteriak kaget ketika melihat tali bergerak naik ke atas. Tapi mereka tidak sempat lagi menyambar ujungnya yang lewat di depan hidung.
Tali sudah berhasil diamankan. Kini perhatian anak-anak beralih ke Lonceng Pangeran Paul.
Ukurannya besar sekali. Di pinggiran sebelah bawah terukir kata-kata dalam bahasa Latin. Tali lonceng yang mereka tarik ke atas tadi ternyata diikatkan ke sebuah roda yang terpasang di salah satu sisi lonceng itu. Tali itu harus ditarik kuat-kuat dari bawah untuk memutar roda. Dengan begitu lonceng ikut terputar dan membentur pemukulnya yang besar. Jupiter, Bob, dan Pete terheran-heran melihatnya, karena mereka hanya mengenal lonceng-lonceng kecil yang dibunyikan dengan jalan mengayun-ayunkan pemukulnya.
"Astaga!" kata Pete kagum, sambil menaksir ukuran lonceng besar itu. "Mana mungkin kita bisa membunyikannya?"
"Dari atas sini kita takkan bisa membunyikannya dengan cara yang biasa," kata Jupiter sambil berpikir-pikir. "Lonceng ini harus kita miringkan letaknya. Pemukulnya ditarik lalu dilepaskan lagi, sehingga memukul sisi dalam lonceng. Ya-kurasa bisa dengan cara begitu!"
Berempat mereka memegangi tali lalu mulai menariknya beramai-ramai setelah diberi aba-aba oleh Jupiter. Dengan pelan roda bergerak memutar letak lonceng sampai tepinya hampir menyentuh pemukulnya.
Kini Rudi mengikatkan tali penarik ke salah satu tiang penyangga atap menara. Dengan begitu lonceng tetap berada pada kedudukannya yang miring. Anak-anak melepaskan lelah sebentar. Saat itu matahari muncul dari balik awan. Angin menghembus segar memasuki ruang lonceng yang terbuka.
"Pukul berapa sekarang?" tanya Jupiter.
Rudi memandang arlojinya sebentar.
"Delapan kurang dua puluh," katanya. "Dua puluh menit lagi Perdana Menteri akan berpidato di depan radio dan televisi. Kita harus buru-buru."
"Untung tali darurat masih ada pada kita," kata Jupiter setelah berpikir sebentar. "Kita harus mengikat pemukul itu dengannya, lalu kita sentakkan keras-keras supaya memukul sisi dalam lonceng."
Dalam semenit saja tali itu sudah terikat ke ujung pemukul yang membulat bentuknya. Setelah meyakinkan bahwa ikatan cukup erat, Rudi dan Pete yang paling kuat di antara mereka berempat mundur beberapa langkah ke belakang, lalu menyentakkan tali. Pemukul terayun dan mengenai sisi lonceng.
Dentangannya yang mantap dan nyaring memekakkan telinga keempat remaja itu. Bob memandang ke bawah. Dilihatnya orang-orang dijalan mendongak dengan sikap ingin tahu.
"Bisa tuli kita kalau begini terus!" seru Jupiter "Bob! Pete! Mana sapu tangan kalian? Kita harus menyumbat lubang telinga!"
Dengan cepat mereka merobek-robek sapu tangan, lalu menyumpalkan potongan-potongannya ke dalam telinga. Setelah itu mereka mulai lagi mendentangkan Lonceng Pangeran Paul yang termasyhur.
Pete dan Rudi yang paling sibuk menarik pemukul lalu melepaskannya kembali. Dentangan yang terdengar lebih cepat iramanya daripada kalau dibunyikan dengan cara biasa. Setelah semenit mereka istirahat sebentar. Kemudian mulai lagi terdengar lonceng besar itu berdentang-dentang. Begitu nyaring bunyinya, sehingga mestinya bisa didengar di seluruh wilayah kepangeranan Varania. Bunyinya yang tidak begitu teratur seakan-akan meneriakkan tanda bahaya.
Bunyi kesibukan para prajurit pengawal yang di bawah tidak bisa didengar lagi oleh keempat remaja yang sibuk di ruang lonceng. Walau telinga sudah disumbat dengan potongan-potongan sapu tangan, masih tetap saja mereka merasa tuli. Bob mengintip ke bawah.
Dilihatnya orang berkerumun di jalan-jalan. Makin lama makin banyak yang berkumpul. Semua mendongak, memandang ke arah puncak menara di mana lonceng besar masih terus mendentangkan suaranya yang berat dan mantap. Bisakah rakyat yang berkerumun di bawah itu mengerti bahwa Pangeran Djaro sedang terancam keselamatannya dan memerlukan bantuan?
Jupiter ikut memandang ke bawah di samping Bob. Ia menuding. Di bawah kelihatannya ada keributan. Beberapa orang berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah istana yang agak jauh letaknya dari situ. Orang ramai yang berkerumun nampak gelisah, lalu mulai bergerak-mengalir ke arah istana.
Prajurit-prajurit pengawal istana yang nampak jelas karena seragam mereka yang merah mencoba menahan arus manusia itu. Tapi mereka terdorong ke samping. Gerakan maju ke arah istana tidak bisa ditahan lagi, karena makin lama jumlah yang ikut semakin bertambah.
Kelihatannya seman permintaan bantuan itu telah dipahami sekarang!
Tiba-tiba lonceng berhenti berdentang. Pete dan Rudi ikut memandang ke bawah. Rudi menggenggam radio sakunya yang dihidupkan. Tapi anak-anak itu tidak bisa mendengar apa-apa. Padahal saat itu sudah pukul delapan. Sesaat kemudian barulah mereka teringat pada gumpalan kain yang menyumbat lubang telinga. Dengan cepat penyumbat itu dilepaskan.
Seketika itu juga terdengar suara melengking berpidato. Rudi menerjemahkan untuk kawan-kawannya.
"Itu suara Perdana Menteri. Ia mengatakan bahwa pemerintah berhasil membongkar suatu rencana serius yang mengancam keamanan Varania. Penobatan Pangeran diundur sampai waktu yang tak ditentukan. Adipati Stefan mengambil alih pimpinan negara dan akan mengajukan para pelaku rencana makar-jadi kalian-ke pengadilan. Pangeran Djaro diamankan. Perdana Menteri menyerukan pada seluruh rakyat Varania agar ikut membantu memelihara keamanan dan ketertiban!"
"Wah-kedengarannya begitu meyakinkan," kata Pete. "Padahal semuanya bohong belaka. Gawat!"
"Tapi tidak ada yang mendengarkannya!" kata Rudi senang. "Seluruh kota mendengar lonceng berdentang-dentang tadi dan dengan segera berhamburan ke jalan untuk melihat apa yang sebetulnya terjadi. Lihat saja orang banyak seperti semut di bawah itu-banyak di antaranya yang bergerak menuju istana. Aku kepingin bisa ikut, melihat apa yang terjadi di sana."
"Lihat-para pengejar kita sudah berhasil mendobrak pintu-pintu pagar di bawah. Mereka naik ke atas!"
Semua menoleh ke arah tangga. Benarlah! Prajurit-prajurit pengawal berseragam merah nyala nampak berlari-lari menaiki tangga. Mereka sampai di depan pintu pagar terakhir yang membatasi ruang lonceng. Pintu itu digoncang-goncang dengan sikap mengancam.
"Cepat buka-atas nama Wali Negara!" seru pemimpin mereka yang berpangkat kapten. "Kalian semua kami tangkap!"
"Silakan tangkap!" balas Rudi dengan seruan menantang. "Ayo Pete, kita bunyikan lagi lonceng sampai mereka masuk kemari!"
Bersama Pete ditariknya lagi tali yang terikat ke pemukul. Lonceng Pangeran Paul berdentang kembali. Bunyinya menggema di seluruh penjuru kota, seolah-olah mendorong rakyat Varania untuk bertindak dengan segera. Sementara itu para prajurit yang mengejar ke atas menara sudah sibuk dengan godam dan linggis, berusaha membongkar pintu pagar yang memisahkan mereka dari para remaja yang hendak mereka tangkap.
Masih lima menit lamanya Lonceng Pangeran Paul mendentangkan seruan yang diarahkan pada seluruh rakyat Varania. Kemudian pintu pagar roboh dan para prajurit bergerak maju dan meringkus keempat remaja itu.
"Sekarang kalian akan menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatan kalian!" seru perwira pasukan yang menangkap mereka.

Bab 16
DI MANA LABAH LABAH PERAK ITU?

Keempat remaja itu sama sekali tidak melawan ketika digiring menuruni tangga menara yang tinggi. Setiba di bawah, mereka langsung dikelilingi oleh prajurit-prajurit pengawal yang semakin bertambah jumlahnya, lalu dibawa cepat-cepat ke luar lewat pintu samping. Di jalan-jalan masih ada orang, tapi tidak lagi sebanyak tadi. Orang-orang itu menatap mereka dengan pandangan ingin tahu. Mereka baru menepi ketika dibentak oleh para pengawal.
Rudi, Jupiter, Bob, dan Pete digiring menuju ke sebuah bangunan kuno yang letaknya beberapa blok dari gereja. Di dalam mereka dihadapkan ke depan dua petugas polisi berseragam biru.
"Mereka ini penjahat yang melawan negara!" kata perwira pasukan pengawas dengan lantang. "Kurung mereka sampai ada perintah dari Adipati Stefan yang akan menentukan nasib mereka-mereka ini!"
Kedua petugas polisi itu nampak ragu-ragu.
"Tapi Lonceng Pangeran Paul-" kata seorang dari mereka. Perwira pengawal tidak memberi kesempatan padanya untuk menyelesaikan kalimatnya.
"Perintah Wali Negara! Laksanakan!" Kedua petugas itu tidak berani membantah lagi. Seorang di antaranya mendului berjalan menuju sebuah ruangan di mana ada empat sel berpagar terali. Sel-sel itu kosong. Pete dan Rudi dimasukkan ke dalam sebuah sel, sedang Jupiter dan Bob ke sel yang berhadapan. Pintu-pintu sel berdentangan ketika ditutup lalu dikunci dari luar.
"Jaga mereka dengan baik, kalau tidak ingin celaka!" bentak perwira pengawal istana. "Kami sekarang akan menyampaikan laporan pada Wali Negara di istana!"
Setelah itu anak-anak ditinggal sendiri. Rudi terhenyak ke salah satu dari kedua bangku yang ada dalam sel.
"Sekarang kita berada dalam kekuasaan mereka," katanya lesu. "Pokoknya kita tadi sudah berusaha sebaik-baiknya! Aku ingin tahu apa yang terjadi saat ini di istana!"
Jupiter ikut duduk di sel seberang.
"Sepanjang malam kita tidak tidur," katanya. "Kurasa satu-satunya yang masih bisa kita lakukan saat ini adalah menunggu. Tapi bunyi lonceng sebagai tanda bahaya-"
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, karena tahu-tahu sudah menguap lebar sekali. Ia mengusap-usap matanya. Dilihatnya Bob sudah tidur pulas di pembaringannya. Pete dan Rudi di sel seberang juga tidak mendengar lagi, karena sudah terlelap pula. Tapi kalau Jupiter hendak mengatakan sesuatu, ia ingin mengucapkannya sampai selesai. Karena itu ia meneruskan, walau tidak ada yang mendengarkan.
"Bunyi lonceng sebagai tanda bahaya sudah sejak lama dikenal orang," gumamnya pada diri sendiri, sambil merebahkan punggung ke pembaringan. "Sudah jauh lebih tua daripada radio atau televisi. Di Istambul yang dulu bernama Konstantinopel, ada larangan keras untuk membunyikan lonceng setelah kota itu ditaklukkan Turki tahun 1453, karena dikhawatirkan bahwa itu akan dijadikan isyarat bagi rakyat untuk bangkit dengan serentak lalu-lalu-"
Lalu Jupiter pun tertidur. Sekali itu ia tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya.
* * *
Di tengah arus air yang mengalir deras dalam terowongan di bawah kota Denzo, tiba-tiba Bob terpeleset lalu hanyut dibawa air. Tubuhnya terbanting-banting membentur sisi terowongan, sementara dari jauh terdengar suara Jupiter memanggil-manggil.
"Bob! Bob!"
Bob berusaha berdiri. Terasa ada orang memegang lengannya. Kini suara Jupiter terdengar dekat sekali ke telinganya.
"Bob! Bangun, Bob!"
Bob mengejap-ngejapkan matanya dengan berat. Dengan susah payah ia duduk-di pembaringan! Jupiter yang juga kelihatan masih mengantuk menatapnya sambil nyengir. "Ada tamu untuk kita, Bob! Lihatlah siapa orangnya!"
Bob melihat Bert Young berdiri sambil tersenyum-senyum di belakang Jupiter.
"Prestasi yang baik, Bob!" kata petugas rahasia Amerika itu. Ia menghampiri Bob lalu menyalaminya dengan hangat. "Kalian semua telah bekerja dengan baik sekali! Kami di kedutaan sudah cemas sekali ketika tahu-tahu kalian tidak menghubungi lagi. Tapi kelihatannya kalian telah bekerja dengan jauh lebih baik dari yang dapat kami bayangkan pada mulanya."
Bob hanya bisa memandangnya saja sambil mengejap-ngejapkan mata. Kemudian ia bertanya, "Bagaimana dengan Pangeran Djaro? Selamatkah dia?"
"O ya! Sekarang ia dalam perjalanan kemari," kata Bert Young. "Adipati Stefan, Perdana Menteri serta semua pengawal istana yang kaki tangan mereka kini sudah ditahan. Ayah Rudi baru saja dibebaskan dari penjara dan diangkat kembali menjadi perdana menteri. Tapi kalian pasti ingin tahu apa yang terjadi setelah kalian mulai mendentang-dentangkan lonceng, kan?"
Rudi dan Pete ikut masuk ke sel sempit itu untuk mendengar ceritanya, sementara kedua petugas polisi yang tadi, berdiri di luar sambil tersenyum-senyum ke arah mereka. Tidak seorang pengawal istana pun nampak di situ.
Bert Young bercerita seringkas mungkin. Saat itu sudah hampir tengah hari. Pagi itu ia mengiringi Duta Besar Amerika pergi ke istana. Mereka hendak berusaha mengetahui apa yang terjadi dengan Pete, Jupiter, dan Bob. Tapi mereka menemukan pintu gerbang yang tertutup. Para pengawal tidak mengijinkan mereka masuk. Tapi Duta Besar bukan orang yang cepat menyerah.
Ketika mereka berdua sedang berdebat dengan prajurit pengawal, tiba-tiba terdengar bunyi Lonceng Pangeran Paul yang mantap berdentang-dentang. Saat bunyinya terdengar untuk pertama kali, semua tertegun. Tapi dengan berlanjutnya dentangan, orang-orang mulai berkumpul dijalan, di luar gerbang istana.
Makin lama makin banyak orang berdatangan, sehingga medan di seberang istana penuh sesak dengan manusia. Mereka mulai berseru-seru, memanggil Pangeran Djaro. Para pengawal istana kewalahan menghadapi mereka. Kemudian ada orang memanjat ke atas tonggak gerbang. Orang itu berseru ke arah kerumunan yang ramai. Ia mengatakan bahwa makna dentangan lonceng besar itu pasti hanya satu, yaitu keselamatan Pangeran Djaro terancam dan rakyat harus bertindak menyelamatkannya.
"Nah-saat itu aku mulai beraksi," kata Bert Young sambil nyengir. "Aku bisa berbahasa Varania sedikit-sedikit. Aku lantas ikut berseru-seru dalam bahasa itu. 'Selamatkan Pangeran Djaro! Turunkan Adipati Stefan!' Pokoknya kata-kata seperti itu yang kuteriak-teriakkan saat itu. Sementara itu orang-orang sudah mulai panas. Mereka bergerak maju mendorong gerbang. Rintangan itu berhasil didobrak. Rakyat membanjir masuk ke istana. Aku ikut di tengah-tengah mereka. Kudekati orang yang pertama-tama berseru dari atas tonggak. Katanya padaku ia anggota Pengamen. Berdua kami memimpin serbuan ke dalam istana. Barisan pengawal yang mencoba menghalang-halangi disapu bersih seperti debu saja. Pengamen yang bersamaku, Lonzo-"
"Itu abangku!" sela Rudi dengan bangga. "Rupanya ia juga berhasil melarikan diri!"
"Betul! Dan ia tahu jalan ke ruangan tempat Pangeran Djaro. Kami memimpin orang banyak menuju ke sana. Para pengawal yang ada di situ langsung berganti pihak, begitu mereka melihat apa yang terjadi. Kebanyakan dari mereka tidak menimbulkan kesulitan yang berarti. Djaro berhasil kami bebaskan, lalu ia mengambil alih pimpinan sebagai pangeran yang sejati. Diperintahkannya penangkapan Adipati Stefan dan perdana menterinya. Keduanya masih mencoba menyembunyikan diri. Tapi akhirnya tertangkap juga.
"Agak lama juga waktu yang diperlukan untuk menangkapi semua pengawal istana yang kaki tangan Adipati Stefan. Tapi sisanya, yang secara diam-diam tetap setia pada Djaro, yang melakukan tugas itu. Pangeran Djaro sendiri saat ini masih sibuk mengawasi aksi penangkapan itu untuk meyakinkan bahwa semuanya tertangkap. Tetapi begitu sudah ada waktu, ia akan kemari. Ngomong-ngomong, tubrukan yang nyaris saja terjadi antara mobil kalian dengan kendaraan yang ditumpangi Djaro di California waktu itu sebenarnya bukan kecelakaan, melainkan termasuk rencana yang sudah diatur untuk menyingkirkan dirinya."
Tiba-tiba terdengar suara orang berseru dalam gang yang menuju ke ruangan tempat sel-sel mereka.
"Pangeran! Hidup Pangeran!"
Sesaat kemudian Djaro sendiri muncul. Wajahnya nampak pucat. Tapi matanya bersinar-sinar. Semua agak menepi untuk meluangkan tempat baginya ketika ia melangkah masuk ke dalam sel di mana mereka saat itu masih berada.
"Teman-temanku para pemuda Amerika!" katanya sambil merangkul mereka satu per satu. "Kalianlah penyelamatku yang sesungguhnya. Tindakan membunyikan lonceng itu benar-benar ilham yang mengagumkan. Bagaimana sampai bisa terpikir ke situ?"
"Itu gagasan Jupiter," kata Rudi. "Kami sendiri sibuk memikirkan radio, televisi, dan surat kabar sebagai satu-satunya jalan untuk menghubungi rakyat, sampai sedikit pun tak ingat pada Lonceng Pangeran Paul."
"Anda pernah bercerita pada kami," kata Jupiter pada Djaro. "Moyang Anda Pangeran Paul dulu pernah membunyikan lonceng besar itu untuk memanggil bala bantuan ketika terjadi pemberontakan tahun 1675. Sejak itu Lonceng Pangeran Paul hanya dibunyikan kalau ada peristiwa besar yang menyangkut keluarga Pangeran saja. Tapi kemudian saya mendapat ilham untuk kembali memakainya sebagai tanda bahaya. Bagaimanapun, lonceng jauh lebih tua tradisinya dibandingkan dengan radio dan televisi-bahkan lebih tua daripada surat kabar. Lonceng dulu selalu dipakai untuk memanggil berkumpul, untuk memberi tanda jam malam, sebagai pemberitahuan kalau ada bahaya dan sebagainya. Karena itu-"
Lagi-lagi Jupiter tidak bisa menyelesaikan ceramahnya. Sambil tertawa senang Djaro menepuk punggungnya.
"Kau hebat!" serunya. "Pangeran Paul pasti bangga, jika ia kini masih hidup. Dan janganlah menyapaku dengan 'anda'! Cukup dengan 'kau' saja, seperti selama ini. Kita kan bersahabat! Adipati Stefan kini sudah ditahan, sedang komplotannya berhasil ditumpas sampai ke akar-akarnya. Ternyata rencana mereka jahat sekali-lebih busuk dari sangkaanku selama ini. Aku menyuruh agar Lonceng Pangeran Paul dibunyikan terus-menerus sampai saat matahari terbenam, sebagai tanda kemenangan. Jadi sekarang semua sudah beres-walau Labah-labah lambang Varania masih tetap belum ditemukan."
"Lonceng berbunyi tanda kemenangan," gumam Jupiter seperti pada dirinya. Sesaat mulutnya ternganga. Kemudian ia tersentak.
"Pangeran Djaro," katanya, "kurasa aku sudah berhasil menarik kesimpulan di mana Labah-labah Perak itu berada. Tapi untuk membuktikan kesimpulanku, kita harus ke istana."
Lima belas menit kemudian mereka sudah duduk dalam mobil Pangeran Djaro yang bergerak dengan pelan di tengah orang yang ramai bersorak memenuhi jalan-jalan. Pangeran Djaro terpaksa mengangguk-angguk serta melambai-lambai tanpa henti, sementara mobilnya maju sedikit demi sedikit. Tapi akhirnya mereka sampai juga di istana, dan langsung menuju ke kamar yang disediakan untuk Trio Detektif. Pangeran Djaro mengajak ketiga remaja itu masuk.
"Sekarang kita UJI kebenaran kesimpulanku," kata Jupiter sambil masuk. "Tapi aku hampir seratus persen yakin akan kebenarannya, karena tempat-tempat lain sudah diperiksa semuanya. Jadi tinggal satu tempat di mana Labah-labah Perak itu mungkin berada. Bisa saja aku keliru, tapi-"
"Sudah-jangan banyak cerita lagi!" tukas Pete. "Ini bukan saatnya untuk berpidato. Tunjukkan tempat itu!"
"Baiklah." Jupiter pergi ke sudut kamar, lalu merangkak dengan pelan ke arah sarang labah-labah yang masih membentang antara sisi atas tempat tidur dan dinding.
Seekor labah-labah besar berwarna hitam dengan bintik-bintik keemasan cepat-cepat pergi menjauh, masuk ke dalam celah antara lantai dan papan tutup kaki dinding. Di tempat itu ada seekor labah-labah lagi, yang juga hitam
berbintik-bintik seperti yang pertama. Labah-labah itu seolah-olah menatap Jupiter dengan matanya yang tidak bisa berkedip.
Dengan hati-hati sekali Jupiter mengulurkan tangannya ke bawah jaring. Hanya beberapa benang saja yang putus tersenggol olehnya. Anak-anak yang lain menyangka labah-labah yang satu lagi itu pasti cepat-cepat lari. Tapi ternyata tidak! Jupiter menyentuhnya dengan jari, lalu mencongkelnya ke luar dari dalam celah. Sesudah ada di luar, dipungut olehnya lalu disodorkan pada Djaro.
"Ini!" katanya singkat.
"Labah-labah Perak lambang Varania!" seru Pangeran Djaro dengan gembira. "Kau berhasil menemukannya kembali!"
"Akhirnya aku berhasil menarik kesimpulan di mana benda itu berada," kata Jupiter padanya. "Ketika para prajurit pengawal yang menjadi kaki tangan Adipati Stefan menggedor-gedor pintu dan Rudi menyuruh kami buru-buru melarikan diri, saat itu Bob mendapat ilham yang gemilang."
"Mendapat ilham? Aku?" kata Bob sangsi. Ia tidak bisa mengingatnya lagi.
"Ya, kau-cuma kau kemudian lupa ketika kepalamu membentur lantai balkon. Saat sedang mencari-cari tempat yang baik, tiba-tiba kau menyadari bahwa satu-satunya tempat yang takkan diperiksa dalam mencari Labah-labah permata adalah dekat sarang labah-labah yang sebenarnya. Lalu kaulemparkan Labah-labah Perak itu ke celah yang terdapat di belakang sarang ini. Kita semua melihatnya ketika sedang sibuk mencari-cari dalam kamar ini. Tapi tak seorang pun menyadarinya. Sebenarnya aku harus tahu bahwa Labah-labah tidak pernah berbagi sarang."
"Brojas, Bob Hebat!" seru Pangeran Djaro sambil menepuk punggung Bob. "Dari semula sudah kuketahui bahwa kalian bisa kuandalkan, Teman-temanku dari Amerika!"
Jupiter belum selesai bercerita.
"Aku baru sadar tadi, ketika kau mengatakan bahwa lonceng berbunyi tanda kemenangan, Djaro. Kemarin malam Pak Tua Anton, raja kaum kelana itu mengucapkan kata-kata yang aneh. Dikatakannya pada Adipati Stefan, bahwa ia mendengar lonceng kemenangan berbunyi, dan bahwa Labah-labah itu walau dari perak, tetap saja labah-labah. Aku tidak tahu kekuatan apa yang sebenarnya dimiliki laki-laki tua itu-tapi lebih banyak yang diketahuinya daripada yang dikatakan olehnya saat itu. Lonceng kemenangan yang berbunyi ternyata berdentang untuk kemenanganmu. Aku lantas sadar bahwa apabila Labah-labah tetap labah-labah, maka kita harus mencari Labah-labah Perak itu di tempat yang pasti kita datangi jika mencari labah-labah yang sebenarnya. Jadi dekat sarang labah-labah."
Ceritanya memang panjang lebar. Tapi sekali itu tidak ada yang memotong. Jupiter menarik napas panjang.
"Jadi yang sepantasnya mendapat penghargaan di sini sebenarnya bukan aku," sambungnya, "karena pada hakikatnya aku hanya-"
"Kalian semua sudah sepantasnya menerima segala penghargaan yang bisa kuberikan!" seru Djaro dengan bersemangat. Labah-labah Perak warisan moyangnya itu dibungkusnya dengan hati-hati dalam sapu tangannya, lalu dimasukkan ke dalam kantung. "Walau apa yang bisa kuberikan sekarang ini masih belum memadai, dibandingkan dengan jasa besar kalian!"
Dari kantungnya yang lain, ia mengeluarkan tiga labah-labah dari perak biasa yang halus sekali buatannya, tergantung pada rantai perak pula.
"Berjajarlah kalian sebentar," katanya pada Trio Detektif, lalu menggantungkan ketiga kalung itu ke leher mereka.
"Nah-sekarang kalian sudah menjadi anggota Tarekat Labah-labah Perak," katanya sambil nyengir. "Itu tanda penghargaan tertinggi yang dapat kuberikan dan hanya dianugerahkan pada warga Varania yang telah berjasa luar biasa pada Varania. Karena itu, dengan ini kalian kunyatakan menjadi warga kehormatan negeriku. Nah-bagaimana lagi aku bisa menunjukkan rasa terima kasihku? Mintalah apa saja yang ada dalam batas-batas kemampuanku."
"Yah-" kata Jupiter. Tapi Pete cepat-cepat memotong.
"Bolehkah kami minta makan?"
Dan memang itulah yang paling diingini mereka bertiga saat itu.

CATATAN PENUTUP

Ada beberapa catatan yang perlu ditambahkan untuk menutup kasus ini. Djaro dengan disambut meriah oleh seluruh rakyat Varania dinobatkan secara resmi menjadi pangeran. Setelah itu dengan tidak menunggu segala upacara yang sudah direncanakan, ia langsung mengambil alih kendali pimpinan atas negaranya. Adipati Stefan beserta seluruh kaki tangannya dipenjarakan, sedang orang-orang asing yang berkomplot hendak menjerumuskan negara Varania yang kecil mungil itu menjadi surga perlindungan bagi para penjahat, tertangkap sewaktu mencoba melarikan diri. Mereka dijatuhi hukuman berat.
Peranan Trio Detektif dalam aksi menggagalkan komplotan busuk itu tidak diumumkan, mengingat pertimbangan rasa kebanggaan nasional. Tapi Jupiter, Bob, dan Pete diundang menghadiri upacara penobatan. Setelah itu mereka cepat-cepat kembali ke California. Ketika berpisah, Pangeran Djaro kembali mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan mengundang mereka untuk berkunjung agak lama di Varania.
Ketiga remaja itu agak kecewa karena pesawat kamera merangkap radio yang dipakai selama itu tidak boleh mereka miliki. Tapi mereka bangga akan tanda penghargaan yang diberikan Pangeran Djaro, yaitu Tanda Jasa Labah-labah Perak Varania. Sejak itu sikap mereka berubah sama sekali terhadap labah-labah, yang pada kenyataannya merupakan makhluk rajin yang berjasa pada manusia.
Kini Bob, Jupiter, dan Pete sudah sibuk meneliti lagi setiap surat yang masuk, kalau-kalau ada yang mengandung kasus baru yang misterius. Aku yakin kasus yang ditunggu-tunggu pasti segera muncul-walau saat ini tidak bisa kuramalkan wujudnya. Tapi satu hal sudah pasti: petualangan mereka yang berikut akan sangat mengasyikkan dan mendebarkan hati!

ALFRED HITCHCOCK