Trio Detektif - Misteri Jeritan Jam(1)


MISTERI JERITAN JAM
Alfred Hitchcock



Daftar Isi
Bab 1: Jeritan Jam
Bab 2: Jupiter Menemukan Petunjuk
Bab 3: Pengusutan
Bab 4: Melacak Jeritan
Bab 5: Kamar Jam
Bab 6: Misteri Bertambah
Bab 7: Perampasan
Bab 8: Siapakah yang Bernama Rex?
Bab 9: Lagi-lagi Misteri
Bab 10: Terlibat dalam Kesulitan
Bab 11: Gerald yang Satu Lagi
Bab 12: Pertanyaan... Tanpa Jawaban
Bab 13: Petunjuk-petunjuk Baru
Bab 14: Pesan dan Angka-angka Sandi
Bab 15: Bob dalam Kesulitan
Bab 16: Perjumpaan yang Tak Disangka-sangka
Bab 17: Di Tangan Lawan
Bab 18: Kembali ke Kamar Jam
Bab 19: Pencarian yang Sia-sia
Bab 20: Perkembangan Tak Terduga

Sepatah kata pendahuluan

Halo - apa kabar ? Kita berjumpa lagi dalam kisah petualangan baru, yang melibatkan ketiga remaja teman-teman lama kita - Trio Detektif - dalam suatu misteri yang benar-benar aneh. Sebuah weker yang menjerit membawa mereka ke dalam petualangan yang serba misterius serta penuh ketegangan. Petunjuk-petunjuk yang diperoleh bukannya memperjelas persoalan, melainkan malah semakin membingungkan !
Kata-kata di atas kutujukan pada sahabat-sahabatku yang sudah lama mengenal Trio Detektif. Sedang bagi teman-teman baru, baiklah kutambahkan di sini bahwa mereka itu masing-masing bernama Jupiter Jones, Bob Andrews, dan Pete Crenshaw. Ketiga remaja itu anak Amerika yang bertempat tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di daerah pesisir Samudra Pasifik, yang letaknya tidak jauh dan Hollywood, California. Beberapa waktu yang lalu mereka membentuk perusahaan penyelidik swasta dengan nama ‘Trio Detektif’. Mereka mempunyai markas berupa sebuah karavan bekas yang telah diubah menjadi ruang perkantoran. Letaknya tersembunyi di tengah tumpukan barang-barang bekas yang diperdagangkan, di Jones Salvage Yard. Perusahaan dagang barang-barang usang itu milik Titus dan Mathilda Jones, paman dan bibi Jupiter. Apabila tidak sedang beraksi selaku penyelidik, Jupiter beserta kedua temannya bekerja di situ untuk mendapatkan uang saku.

Kurasa cukup sekian untuk kali ini, karena kudengar bunyi dengungan lembut sebuah weker listrik. Awas! Alat penunjuk waktu itu sebentar lagi akan - ah baca saja sendiri bagaimana lanjutannya!
Alfred Hitchcock

Bab 1 Jeritan Jam
Jam itu menjerit.
Bunyinya seperti wanita yang berteriak karena sangat ketakutan. Mulainya bernada rendah. Tapi kemudian meninggi. Akhirnya melengking. Telinga Jupiter sampai sakit karenanya. Remaja itu merinding. Suara itu benar-benar menimbulkan rasa ngeri.
Padahal jam itu biasa saja wujudnya Sebuah weker listrik model lama. Jupiter tadi mencolokkan stekernya ke tempat sambungan listrik, karena ingin tahu apakah masih jalan atau tidak. Tahu-tahu terdengar suara menjerit itu!
Jupiter menyambar kabel. Steker jam itu dicabutnya dari tempat sambungan listrik. Seketika itu juga jeritan terhenti. Jupiter menghembuskan napas lega. Ia benar-benar kaget tadi, mendengar bunyi weker yang mirip jeritan.
Di belakangnya terdengar langkah berlari-lari menghampiri. Sesaat kemudian Bob Andrews dan Pete Crenshaw sudah berdiri di samping Jupiter, napas keduanya tersengal-sengal. Mereka rupanya bergegas-gegas datang, meninggalkan pekerjaan yang sedang dilakukan di pekarangan depan, tempat penjualbelian barang-barang bekas yang merupakan usaha paman dan bibi Jupiter.
"Astaga - suara apa itu tadi?" tanya Bob.
"Kau yang berteriak, Jupe ?’ Pete memperhatikan Jupiter dengan sikap cemas.
Jupiter menggeleng.
"Coba kalian dengarkan ini," katanya. "Ada sesuatu yang agak aneh."
Sambil berkata begitu dicolokkannya sekali lagi steker tadi ke tempat sambungan listrik. Sekali lagi terdengar suara jeritan seram. Jupiter mencabut steker - dan jeritan langsung terhenti.
"Wow!" kata Pete. ‘Itu yang kaumaksudkan dengan agak aneh? Jam menjerit - hanya agak aneh katamu?’
"Aku ingin tahu, bagaimana komentarnya jika tahu-tahu jam ini memperoleh sayap lalu terbang?" kata Bob sambil nyengir. "Mungkin baru saat itu ia menganggapnya cukup aneh. Kalau untukku, jam yang menjerit anehnya sudah tidak tertolong lagi. Bisa kubilang sudah hampir yang paling aneh di antara hal-hal aneh yang pernah kujumpai!"
Jupiter tidak mempedulikan komentar-komentar kedua sahabatnye. Ia sibuk meneliti jam yang berbunyi aneh itu. Ia membalik-balik benda itu.
"Ah!" katanya kemudian. Dan nada suaranya terdengar bahwa ia puas.
"Apanya yang ‘ah’?" tanya Pete.
‘Tuas kecil yang menyebabkan weker ini berbunyi temyata berada pada posisi hidup," kata Jupiter. "Coba sekarang kuhidupkan lagi, sementara tuas kugeser ke posisi mati."
Steker dimasukkan lagi ke sambungan listrik. Jarum detik nampak bergerak, disertai bunyi desuman lembut. Tapi cuma itu saja. Tidak ada bunyi lain.
"Kita lihat sekarang apa yang terjadi, jika tuas ini kugeser lagi ke posisi hidup." Jupiter melakukan apa yang dikatakan olehnya. Seketika itu juga terdengar jeritan melengking. Jupiter cepat-cepat menggeser tuas kecil ke posisi mati.
"Nah, bagian pertama dari misteri sudah berhasil kita pecahkan. Weker ini berbunyi dengan suara jeritan, dan bukan berdering seperti biasa."
"Misteri?" tanya Pete heran. "Misteri mana yang sudah berhasil kita pecahkan bagian pertamanya?"
"Maksud Jupe, weker yang menjerit kan merupakan misteri," kata Bob berusaha menjelaskan. "Dan ia sudah berhasil mengetahui, apa sebabnya bisa menjerit"
"Bukan apa sebabnya, tapi hanya kapan jeritan terdengar," kata Jupiter membetulkan, "Weker ini menjerit apabila tuas berada pada posisi hidup. Sedang apa sebabnya, merupakan misteri yang menurut perasaanku pasti menarik untuk diselidiki."
"Diselidiki? Apa maksudmu?" tanya Pete. ‘Bagaimana caranya menyelidiki jam? Kita ajukan pertanyaan-pertanyaan gencar untuk menyudutkan, sempai akhirnya benda ini mengaku?"
"Jam yang menjerit dan tidak berdering seperti umumnya, jelas merupakan hal yang misterius," jawab Jupiter. "Sedang semboyan kita – semboyan Trio Detektif –"
"Kita menyelidiki apa saja!" seru Pete dan Bob serempak.
"Baiklah," kata Pete kemudian. "Jadi ini merupakan misteri. Tapi aku tetap ingin tahu, bagaimana caranya mengusut jam."
"Kita harus menyelidiki kenapa bunyinya dibuat menjerit, dan bukan berdering. Pasti ada alasannya," kata Jupiter menjelaskan. "Saat ini tidak ada urusan lain yang harus kita selidiki. Jadi kuusulkan agar kita berlatih dengan mengadakan penyelidikan terhadap jam yang menjerit ini."
Pete mengerang.
"Masa segala-galanya harus kita selidiki," keluhnya.
Tapi Bob kelihatannya langsung tertarik mendengar usul Jupiter.

"Dari mana kau akan mulai, Jupe?" tanyanya berminat.
Jupiter Jones mengambil kotak perkakasnya dan laci meja kerja yang ada di dekat situ. Ketiga remaja itu berada di suatu bagian kompleks Jones Salvage Yard yang merupakan bengkel Jupiter. Ia diizinkan oleh Paman Titus dan Bibi Mathilda bekerja di situ. Di bengkel itu ia bersama kedua sahabatnya bisa bekerja dengan tenang, terlindung di balik tumpukan barang bekas.
Pada satu sisi bengkel itu terdapat tumpukan tinggi berbagai jenis barang bekas. Balok-balok besi, kayu, peti-peti, papan luncur yang berasal dan tempat anak-anak bermain, dan masih banyak lagi. Semua diatur dengan seksama untuk menutupi sebuah karavan kecil yang dijadikan Markas Trio Detektif. Ada beberapa jalan masuk rahasia ke karavan itu, yang tidak mungkin bisa dilewati orang dewasa. Tapi saat itu mereka tidak perlu masuk.
Jupiter mengambil obeng dan kotak perkakas, lalu membuka tutup jam yang sebelah belakang. Setelab semua sekrupnya dilepas, tutup tadi digesernya pada kabel supaya ia bisa melihat ke bagian dalam jam.
"Ah!" katanya. Dengan ujung obeng ditudingnya sesuatu yang rupanya merupakan tambahan pada bagian dalam jam. Wujudnya berupa piringan sebesar mata uang dollar Amerika. Tapi lebih tebal.
"Kurasa inilah mekanisme yang menimbulkan bunyi jeritan," katanya. "Seseorang yang tahu seluk-beluk mesin jam memasangnya di sini, menggantikan lonceng weker yang biasa."
"Tapi untuk apa?" tanya Bob.
"Itulah teka-teki yang kita hadapi. Jika kita ingin melakukan pengusutan mengenainya. Pertama-tama kita harus mengetahui siapa yang memasang piringan ini di sini."
"Aku tak tahu bagaimana kita bisa melakukannya, kata Pete.
"Kau bilang begitu karena tidak berpikir dengan sikap penyelidik," kata Jupiter. "Sekarang coba kauperas otakmu sedikit. Katakan bagaimana kau akan memulai pengusutan terhadap misteri ini"
"Yah" kata Pete agak ragu, "Kurasa pertama-tama aku akan menyelidiki dari mana jam ini berasal."
"Tepat. Dan bagaimana caramu menyelidikinya?"
"Weker ini sampai di sini sebagai barang bekas yang tidak dipakai lagi," kata Pete. "Jadi mestinya dibeli oleh Paman Titus. Mungkin pamanmu itu masih ingat di mana ia membelinya."

"Bukan ini saja yang dibeli Mr. Jones, melainkan bermacam-macam barang," kata Bob agak sangsi. "Mana mungkin ia bisa ingat satu-satu tempat asal barang beliannya."
"Betul," kata Jupiter. ‘Tapi pertimbangan Pete sudah benar. Pertama-tama kita bertanya dulu pada Paman Titus, apakah Ia masih ingat di mana ia membeli weker ini. Baru setengah jam yang lalu ia menyerahkannya padaku, dalam kotak yang berisi macam-macam. Sekarang kita lihat saja dulu apa saja yang juga ada dalam kotak itu."

Ia merogohkan tangannya ke dalam sebuah kotak kardus yang terletak di atas meja kerjanya. Dikeluarkannya burung hantu yang sudah diawetkan. Bulu burung itu hampir seluruhnya sudah rontok Kemudian muncul sebuah sikat pakaian yang sudab nyaris gundul. Lalu menyusul lampu meja yang sudah rusak, bertangkai panjang yang dapat digerak-gerakkan. Lalu sebuah jambangan bunga yang sumbing bibirnya, sepasang penahan buku berbentuk kepala kuda, serta beberapa benda kecil lainnya. Hampir semuanya berada dalam keadaan rusak. Semuanya barang bekas yang tak berharga. Atau sebaliknya. sangat bernilai. Ini tergantung selera.

"Kelihatannya ada orang yang menyingkirkan barang-barang bekas" kata Jupiter sambil meneliti benda-benda itu. "Semua dimasukkan ke dalam kotak ini, lalu dituang ke tempat sampah. Oleh tukang sampah seluruh isi kotak kemudian dijual pada Paman Titus- Paman boleh dibilang mau membeli apa saja, asal harganya cocok - dengan memperhitungkan ketrampilan kita untuk membetulkan apa yang masih bisa dibetulkan, untuk kemudian dijual lagi."

"Sedollar pun tak mau kukeluarkan untuk membeli kesemuanya ini," kata Pete. "Kecuali weker itu, yang kelihatannya masih baik. Cuma bunyinya saja yang aneh. Bayangkan, dibangunkan suara jeritan!"

"Hmm." Jupiter merenung. "Katakanlah, kau ingin menakut-nakuti seseorang. Mungkin bahkan sampai menyebabkan kematiannya. Lalu jam ini ditaruh di ruang tidur menggantikan weker yang ada di situ. Lalu apabila weker ini menjerit sebagai ganti deringan untuk membangunkan, korban mengalami serangan jantung karenanya. Itu kan rencana pembunuhan yang sangat licin!"

"Astaga!" desah Bob: "Jadi menurutmu, itu kegunaan weker ini ?"
"Entahlah - aku tadi hanya menyebutkan salah satu kemungkinan," jawab Jupiter. "Sekarang kita tanyakan saja pada Paman Titus, mungkin ia masih ingat dari mana ia memperoleh jam ini."

Jupiter mendului keluar meninggalkan tempat kerja mereka itu, menuju pondok kecil di pekarangan depan yang dipakai sebagai kantor. Hans dan Konrad, kedua pemuda keturunan Jerman yang bekerja sebagai pembantu Paman Titus, nampak sedang sibuk menyusun bahan-bahan bangunan yang masih bisa dipakai, membentuk tumpukan rapi. Titus Jones, paman Jupiter yang bertubuh kecil dengan kumis besar melintang serta sepasang mata cerah yang selalu bersinar jenaka, saat itu sedang memeriksa sejumlah perabot bekas.
‘Nah?" sapanya ketika melihat ketiga remaja itu datang menghampiri. "Jika kalian ingin mendapat uang saku sedikit, ini ada beberapa mebel yang perlu diperbaiki dan dicat."

"Baikiah - kami akan mengerjakannya nanti, Paman," kata Jupiter berjanji. "Saat ini kami tertarik pada jam ini, yang kami temukan dalam kotak berisi barang-barang bekas yang Paman serahkan padaku untuk diperiksa. Paman masih ingat, di mana Paman memperolehnya?"

"Hmm." Paman Titus mengerutkan kening. Ia berpikir sebentar, berusaha mengingat-ingat. "Aku mendapatnya dari seseorang. Diberi begitu saja, tanpa perlu kubayar. Kotak kardus itu ditambahkannya pada kumpulan mebel yang kubeli ini. Orang itu pengumpul barang bekas, di jalan menuju Hollywood. Kerjanya mengambili barang-barang bekas yang dfsingkirkan ke tempat pembuangan sampah. Barang yang temyata masih ada harganya kemudian dijual. Banyak orang yang suka membuang barang bekas yang sebetulnya masih berguna."

"Paman tahu siapa nama orang itu?"

"Cuma nama depannya saja. Tom. Cuma itu saja. Tapi katanya pagi ini ia akan datang kemari, mengantarkan barang-barang lagi. Kalau ia datang nanti, bisa kautanyakan sendiri padanya."

Saat itu sebuah mobil pick up tua masuk ke pekarangan. Seorang laki-laki berpakaian montir, dengan bibir dan dagu ditumbuhi rambut yang sudah beberapa hari tak dicukur, melompat turin dari kendaraan itu

"Nah - itu dia datang," kata Mr. Jones. "Selamat pagi, Tom!"

"Selamat pagi, Titus," kata orang yang baru datang itu. "Aku membawakan beberapa mebel lagi untukmu. Bagus sekali. Masih bisa dibilang baru."

"Maksudmu belum cukup tua - jadi belum bisa kaukatakan barang antik," kata Titus Jones terkekeh. "Begini sajalah! Tanpa memeriksa lagi, langsung saja kubayar sepuluh dollar untuk semuanya."

"Oke," kata orang yang bemama Tom itu dengan segera. "Di sini saja kuturunkan?"
"Di sana saja, di belakang kantor. Tapi sebelumnya Jupiter ini masih ingin menanyakan sesuatu padamu."
"Boleh saja. Bicaralah, nak."
"Kami sedang mengusut asal sebuah kotak kardus berisi barang-barang bekas yang Anda berikan pada Paman Titus" kata Jupiter. "Dalam kotak itu antara lain terdapat jam ini. Mungkin saja Anda masih ingat"
"Jam?" Laki-laki tua itu terkekeh. "Berlusin-lusin jam tua yang kupungut saban minggu. Kebanyakan di antaranya kemudian kubuang lagi karena sudah terlalu rusak. Tidak- aku tidak ingat lagi."
"Dalam kotak itu juga ada burung hantu yang diawetkan," kata Bob menyertai pembicaraan. "Kalau itu, mungkin Anda masih ingat"
"Burung hantu? Nanti dulu. Kalau itu -" Laki-laki tua itu berusaha mengingat-ingat. "Aku ingat memungut kotak kardus yang di dalamnya ada burung hantu yang diawetkan. Barang seperti itu tidak sering kupungut.Ya- betul, sekarang aku ingat lagi. Aku mengambilnya dan sebuah rumah di- sebentar, sebentar- pasti aku akan ingat lagi. Di...,, "
Tapi kemudian ia menggeleng. "Wah, sayang aku tidak ingat lagi. Habis, itu
sudah lebih dan dua minggu yang lewat. Sejak itu kutaruh saja dalam garasi, sampai kemudian kuserahkan pada pamanmu bersama mebel tua yang dibelinya. Tidak, aku tidak bisa ingat lagi dari mana asal kotak kardus itu."

Bab 2 Jupiter Menemukan Petunjuk
"Nah - itu satu pengusutan kita yang langsung macet sebelum bisa dimulai," kata Pete. "Karena kita tidak bisa mengusut asal weker itu, takkan mungkin kita bisa mengetahui - cari apa lagi kau sekarang, Jupe?"
Saat itu mereka sudah kembali berada di bengkel. Pete berhenti bicara, karena melihat Jupiter membalik-balik kotak kardus kosong yang semula antara lain dijadikan tempat menaruh weker yang bisa menjerit, "Kotak begini kadang-kadang ada tulisan alamatnya," kata Jupiter.
"Menurutku, itu kotak biasa saja, yang dipakai untuk barang-barang belanja di di pasar raya," kata Bob.
"Ya, kau benar. Sama sekali tidak ada alamat tertulis di sini," kata Jupiter.
"Kalau begitu," kata Pete menyambung kalimatnya yang tadi, "seperti kataku tadi - pengusutan kita sekali ini - ada apa, Bob?"
Pete melihat Bob memotong secarik kertas persegi empat yang melayang jatuh ke bawah mesin cetak.
"Ini, kertas ini kulihat jatuh dari kotak kardus itu," kata Bob pada Jupiter. "Ada tulisannya."
"Mungkin daftar belanja," kata Pete. Tapi sambil berkata begitu dihampirinya Bob, karena ingin tahu apa yang tertulis pada kertas itu. Ternyata beberapa kalimat pendek yang ditulis dengan tinta. Jupiter membacakannya keras-keras.
Rex yang baik
Tanya Imogene.
Tanya Gerald
Tanya Martha.
Setelah itu bertindak! Bahkan kau pun akan heran melihat hasilnya.
"Astaga!" seru Bob heran. "Apa maknanya?"
Tanya Gerald! Tanya Imogene! Tanya Martha!" ulang Pete sambil mengeluh. "Siapa mereka itu - dan apa yang harus ditanyakan pada mereka? Lagi pula, untuk apa?"
"Kurasa, ini semua merupakan bagian dari misteri jam aneh itu," kata Jupiter.
"Kenapa kau mengatakan begitu?’ tanya Bob. "Itu kan cuma secarik kertas yang terselip dalam kotak kardus itu. Bagaimana kita bisa mengetahui ada tidaknya hubungan dengan jam itu?"
"Kurasa ada hubungannya," jawab Jupiter. "Perhatikan saja kertas ini. Kan nampak bekas digunting, sehingga berukuran tertentu. Kurang lebih lima kali sepuluh senti. Sekarang perhatikan sisi belakangnya. Apa yang kalian lihat?"
"Kelihatannya seperti bekas lem yang sudah kering," kata Bob sambil memperhatikan.
"Tepat" kata Jupiter. "Kertas ini mulanya direkatkan pada sesuatu benda. Kita teliti jam itu lagi. Dasarnya cukup lebar untuk ditempeli kertas itu Lihatlah - kalau kertas ini kutempelkan - pas sekali! Dasar ini terasa kasar. Menurut kesimpulanku, ini pasti lem yang sudah kering. Jadi jawabannya sederhana saja. Kertas ini mulanya direkatkan pada dasar jam yang bisa menjerit ini. Tapi kemudian terlepas - mungkin karena tergeser kian kemari."
"Tapi untuk apa pesan segila itu direkatkan ke dasar jam?" tanya Pete ingin tahu. "Aku sama sekali tidak mengerti"
"Misteri yang tidak misterius, bukan misteri namanya," kata Jupiter.
"Ya, itu aku juga tahu," kata Pete sebal "Yah, sekarang misteri sudah menjadi lipat dua, sedang kita kembali pada pangkal persoalan. Kita masih tetap belum bisa mengusut asal-usul jam ini dan - apa lagi yang kaubuat itu, Jupe?’
"Aku mengorek sisa-sisa lem yang melekat pada dasar jam. Kelihatannya ada sesuatu di bawahnya. Nampaknya seperti tulisan yang terukir. Tapi kecil sekali, sehingga tidak bisa dibaca dengan mudah. Lagi pula ada lem yang menutupi. Yuk, kita masuk saja ke markas, lalu menelitinya dengan kaca pembesar."
Sambil bicara Jupiter melangkah ke belakang mesin cetak. Kisi-kisi besi yang kelihatannya seperti kebetulan saja tersandar di situ digesernya ke samping. Kini nampak ujung sebuah pipa besar yang terbuat dari pelat besi berombak. Ketiga remaja itu satu demi satu memasuki pipa yang panjangnya sekitar sepuluh meter dan yang pinggirnya dilapisi selimut-selimut tua supaya lutut tidak sakit apabila terbentur. Itulah jalan rahasia untuk masuk ke markas, yang dinamakan Lorong Dua. Sebagian dari pipa itu menyuruk masuk ke dalam tanah. Melewati jalan rahasia itu, akhirnya mereka sampai tepat di bawah trailer tua yang dijadikan markas.

Jupiter mendorong tingkap yang ada di lantai trailer ke atas. Ketiga remaja itu menyusup ke atas lewat lubang yang terbuka, masuk ke ruang kantor markas yang sempit. Kantor itu diperlengkapi dengan sebuah meja, satu lemari kecil tempat menyimpan catatan, sebuah mesin tik, sebuah alat perekam dan sebuah telepon. Jupiter menyalakan lampu yang terpasang di langit-langit lalu mengambil kaca pembesar dari laci meja. Dengan alat itu ditelitinya dasar jam weker. Sambil mengangguk disodorkannya barang itu pada Bob.
Bob ikut meneliti dengan kaca pembesar. Dilihatnya nama seseorang terukir dengan huruf-huruf yang kecil sekali pada dasar jam. A. Felix.
"Apa artinya?" tanya Bob.
"Kurasa bisa kujelaskan sebentar lagi," jawab Jupiter. "Pete, tolong ambilkan buku telepon. Yang berisi iklan baris."
Pete menyodorkan buku telepon yang diminta. Jupiter membalik-balik halaman selama beberapa saat. Kemudian ia berseru dengan gembira.

"Lihat ini!"
Di bawah kelompok TUKANG JAM ada sebuah ikian pendek
A. Felix - Tukang Jam - Pekerjaan luar biasa merupakan keistimewaan kami.
Kalimat itu disusul oleh alamat yang terletak di Hollywood, lengkap dengan nomor telepon.
"Tukang jam," kata Jupiter menjelaskan pada kedua temannya, "Sering mengukirkan nomor kode tertentu pada arloji atau jam yang mereka betulkan. Gunanya agar bisa langsung mengenali apabila alat penunjuk waktu itu datang lagi lain kali. Mereka pun kadang-kadang mengukirkan nama mereka, yaitu pada hasil pekerjaan yang mereka banggakan. Kurasa kita sudah berhasil mengusut siapa yang membuat jam ini bisa menjerit. ltu langkah pertama penyelidikan kita. Langkah berikut, kita tanyakan pada Mr. Felix siapa yang memberi tugas padanya."

Bab 3 Pengusutan
Toko A. Felix - Tukang Jam temyata cuma kecil saja. Letaknya di suatu jalan sempit di samping Hollywood Boulevard, jalan raya yang termasyhur di kota film itu.
"Kita parkir di sini saja, Worthington," kata Jupiter pada supir Rolls-Royce yang mengantar mereka ke situ dari Rocky Beach. Jupiter memenangkan hak memakai mobil mewah itu lengkap dengan supirnya yang dari lnggris beberapa waktu yang lalu, dalam sayembara yang diadakan oleh sebuah perusahaan penyewaan mobil, Rent-’n-Ride Auto Agency. Tapi kemudian hak penggunaan itu habis. Untung saja ada August August seorang anak lnggris yang ditolong oleh Trio Detektif sehingga berhasil menemukan harta warisan yang sangat berharga. Dan berkat bantuan teman baru itu, hak mereka untuk menggunakan mobil mentereng itu beserta pengemudinya bisa diperpanjang lagi.
"Very good, Master Jupiter," kata supir bangsa Inggris itu dengan sikap anggun. Ia biasa bergaul dengan kaum bangsawan di negerinya, sehingga sikapnya pun mirip mereka. Jupiter dan kedua temannya pada mulanya tidak biasa menghadapi tingkah laku yang begitu berbasa-basi. Maklumlah, kaum remaja Amerika lebih cenderung bersikap seadanya saja. Tapi lama-lama mereka biasa juga disapa dengan sebutan Master, yang berarti ‘Tuan muda’
Worthington memarkir mobil mewah itu, lalu ketiga remaja penumpangnya turun. Mereka menghampiri jendela toko yang sempit dan berdebu. Pada kaca jendela itu tertulis, A. Felix - Tukang Jam dengan cat emas yang sudah terkelupas di sana-sini. Mereka mengintip ke dalam. Di balik kaca nampak berbagai jenis jam berjejalan: besar-kecil, baru dan antik. Ada yang biasa-biasa saja bentuknya dan ada pula yang penuh hiasan meriah, dengan burung-burung dan bunga. Sementara mereka masih memandang ke dalam, pintu sebuah jam tinggi yang terbuat dari kayu terbuka. Dari dalamnya muncul sebuah boneka peniup terompet. Boneka itu melangkah seperti orang berbaris. Kemudian mengambil sikap tegak, mengangkat terompet. lalu meniupnya beberapa kali untuk memberi tahu pukul berapa saat itu.
"Lucu," kata Pete mengomentari. "Aku lebih suka diberi tahu dengan terompet, dibandingkan dengan jeritan."
"Yuk, kita masuk,’ ajak Jupiter. "Mungkin Mr. Felix bisa memberi keterangan lebih lanjut"
Begitu pintu toko didorong, ketiga remaja itu bingung sejenak. Ruangan sempit itu seperti penuh dengan bunyi dengung nyaring. Seakan-akan ada sejuta lebah di tempat itu, kemudian mereka sadar bahwa bunyi itu berasal dan kumpulan jam yang ada di situ. Mungkin seratus atau bahkan lebih - semuanya berdetik dan berdetak serempak.
Seorang laki-laki tua bertubuh kecil datang menghampiri mereka, menyusur gang yang penuh dengan jam. Mata orang itu bersinar-sinar di bawah alis tebal yang sudah putih. Ia memakai celemek dari kulit.
"Kalian menginginkan jam yang istimewa barangkali?" kata Mr. Felix - karena memang dialah tukang jam yang bemama demikian. Nada suaranya ramah. "Atau mungkin hendak membetulkan arloji rusak?"
"Tidak, Sir," kata Jupiter dengan sopan. "Kami cuma ingin meminta keterangan sedikit tentang jam ini" Sambil berkata begitu. dibukanya tas yang dibawa lalu dikeluarkannya jam yang bisa menjerit.
Mr. Felix meneliti jam itu sesaat
"Jam weker listrik, model yang sudah agak tua," katanya sambil meneliti. ‘Tidak begitu berharga. Menurutku, biaya reparasinya lebih mahal daripada harga bendanya sendiri."
"Jam itu tidak perlu dibetulkan," kata Jupiter. ‘Coba saja Anda sambungkan stekernya ke stop-kontak"
Sambil mengangkat bahu, laki-laki wa itu menuruti permintaan Jupiter.
"Sekarang geser tuas untuk mengaktifkan weker," kata Jupiter lebih lanjut .
Hal itu dilakukan oleh Mr. Felix. Seketika itu juga suara jeritan menggema nyaring dalam ruangan toko yang sempit. Laki-laki tua itu buru-buru menggeser kembali tuas kecil yang terdapat di bagian belakang jam. Seketika itu juga jeritan tadi lenyap. Mr. Felix mengangkat jam itu lalu mengamatinya dengan lebih teliti. Ia tersenyum.
"Ya, sekarang kuingat lagi jam ini," katanya. Pekerjaannya waktu itu cukup rumit, walau tidak lebih rumit dari lain-lainnya yang juga pernah kulakukan."
"Jadi Anda yang membuat jam ini bisa menjerit? " kata Pete meminta penegasan.
"Betul - aku yang membuatnya. Hebat juga ya, tekniknya? Tapi tidak bisa kuceritakan pada kalian siapa yang memberi tugas. Rahasia pelanggan selalu kujaga baik-baik"
"Memang betul," kata Jupiter. "Tapi yang menjadi soal sekarang, jam ini ditemukan terbuang dalam tumpukan barang bekas lainnya. Pemiliknya pasti membayar banyak pada Anda untuk membuatnya bisa menjerit, jadi tak mungkin ia kemudian membuangnya - kecuali apabila terjadi secara tak sengaja. Sekarang kami ingin mengembalikannya pada orang itu."
"Begitu." kata Mr. Felix dengan sikap merenung.
"Kami mengharap akan mendapat hadiah untuk itu," kata Bob menambahkan, supaya kedengaran lebih meyakinkan.
Mr. Felix mengangguk "Ya, itu masuk akal. Memang, mestinya jam ini terbuang dengan tidak sengaja, karena belum rusak. Kalau begitu kurasa aku bisa mengatakan apa yang kuketahui. Nama orang yang memesan jam ini Clock"
"Clock?" seru Bob dan Pete serempak. Mereka merasa heran, karena nama itu dalam bahasa lnggris berarti ‘Jam’.
"Betul, Clock. Orang itu mengatakan bahwa namanya begitu. A. Clock! Tentu saja aku menganggap ia cuma bercanda saja, karena ia sudah beberapa kali kemari membawa jam untuk dikerjakan."
"Rasanya itu bukan namanya yang asli," kata Jupiter menimbang-nimbang. "Tapi itu tidak menjadi soal. Pokoknya jika Anda mau mengatakan di mana ia tinggal, kami bisa saja pergi mendatanginya."
"Sayangnya aku cuma tahu nomor teleponnya saja. Tapi kalian kan bisa menelepon untuk menghubunginya."
Laki-laki tua itu pergi ke balik meja pelayanan dan mengeluarkan sebuah buku catatan berukuran besar dari rak. Ia membalik-balik halaman buku itu, lalu berhenti pada suatu halaman tertentu,

"A. Clock." katanya sambil membaca. "Nomor teleponnya -"
Disebutkannya nomor telepon orang itu, yang langsung dicatat oleh Bob dalam buku catatannya.
"Masih ada keterangan lainnya lagi, Sir?" tanya Jupiter.
Mr. Felix menggelengkan kepala.
"Cuma itu saja," katanya. "Mungkin bahkan dengan itu saja aku sudah terlalu banyak membeberkan. Sekarang maaf, ya pekerjaanku masih banyak yang menunggu. Waktu sangat berharga, dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya."
Laki-laki tua itu masuk lagi ke tempat kerjanya. Jupiter meluruskan sikapnya, seolah-olah hendak menyatakan kebulatan tekad.
"Lumayan juga kemajuan yang kita capai sampai sekarang," katanya. "kini kita hubungi nomor yang diberikan Mr. Felix tadi. Ketika datang kemari, aku sempat melihat bahwa di pojok jalan ada tempat menelepon."
"Apa yang akan kaukatakan nanti?" tanya Pete sementara Jupiter memasuki bilik telepon itu.
"Aku akan bersiasat agar bisa mendapatkan alamatnya," kata Jupiter.
Bob dan Pete ikut masuk ke dalam bilik telepon sempit itu, karena ingin mengikuti pembicaraan. Penyelidik Pertama memasukkan mata uang ke celah, lalu memutar nomor yang dicatat oleh Bob tadi. Setelah menunggu sesaat terdengar suara seorang wanita.
"Selamat siang," kata Jupiter. Suaranya diberatkan, agar terdengar seperti orang dewasa. Anak itu memang sangat berbakat di bidang akting, dan kadang-kadang bakat itu dipergunakan olehnya. "Di sini perusahaan telepon. Kami hendak memeriksa keluhan tentang sambungan rangkap.
"Sambungan rangkap? Saya tidak mengerti maksud Anda," kata wanita yang menerima telepon.
"Ada beberapa pelanggan di sektor kediaman Anda mengeluh sering salah sambung," kata Jupiter. "Saya ditugaskan mengecek alamat-alamat yang nomornya saya putar. Dengan begitu bisa kami ketahui di mana letaknya kesalahan hubungan. Jadi kalau saya boleh tahu alamat rumah ini?’
"Alamat rumah? Ini Franklin Street, nomor 309. Tapi saya masih belum, mengerti -"
Kalimat itu tidak selesai diucapkan, karena tiba-tiba terdengar suara orang menjerit. Suara berat seorang laki-laki. Seolah-olah ada pria bertubuh besar yang menjerit ketakutan. Ketiga remaja itu pasti sudah terlonjak mendengamya, apabila saat itu mereka tidak sedang berdesak-desakan dalam bilik telepon yang sempit. Apalagi terlonjak, bahkan bernapas dengan bebas pun sudah sulit di situ. Walau demikian mereka masih saja kaget setengah mati.
Sedang hubungan telepon terputus.

Bab 4 Melacak Jeritan
"Mestinya inilah blok itu, Worthington," kata Jupiter. "Sekarang kita jalan pelan-pelan, sambil mencari alamat rumahnya."
"Baik Master Jones,’ kata pengemudi Rolls- Royce yang ditumpangi. Mobil mewah itu dijalankan lambat-lambat, menyusuri Franklin Street. Jalan itu letaknya di kawasan yang agak tua dan dulunya tergolong mentereng di kota itu. Rumah-rumah di situ besar-besar, walau nampak agak kurang terawat.
"Itu dia!" seru Pete setelah beberapa saat mencari-cari.
Worthington menghentikan mobil ke pinggir. Jupiter mengajak kedua sahabatnya turun, lalu berjalan menghampiri rumah yang dicari. Mereka memperhatikan bangunan itu dengan penuh minat. Kerai pada jendela-jendelanya diturunkan semua. Rumah itu menampakkan kesan tidak ditinggali lagi. Di depan pintu rumah ada dua jenjang. Ketiga remaja itu naik lalu membunyikan bel.
Agak lama juga mereka menunggu tanpa terjadi apa-apa. Kemudian pintu berderik terbuka. Seorang wanita berdiri di ambangnya. Ia belum begitu tua. Tapi kelihatannya letih. Dan sama sekali tidak gembira.
"Maaf jika kami mengganggu, tapi kami ingin bertemu dengan Mr. Clock." kata Jupiter.
"Mr. Clock?" Wanita itu kelihatannya heran. "Di sini tidak ada yang bernama begitu."
"Mungkin itu bukan namanya yang asli," kata Jupiter menjelaskan, "tapi ia penggemar jam. Dan ia tinggal di sini. Atau mungkin juga pernah."
"Penggemar jam? Kalau begitu yang kaumaksudkan pasti Mr. Hadley. Tapi Mr. Hadley sudah -"
"Jangan bilang apa-apa pada mereka!"
Seorang pemuda berambut hitam tiba-tiba muncul dan berdiri di depan wanita tadi. Umur pemuda itu sekitar tujuh belas tahun. Ia menatap Trio Detektif dengan tampang masam, "Jangan mau bicara dengan mereka, Bu!" tukasnya. "Tutup saja pintu. Urusan apa mereka kemari lalu seenaknya saja bertanya-tanya?"
"Jangan begitu, Harry," kata wanita tadi pada pemuda itu, yang rupanya anaknya. "Itu tidak sopan. Mereka ini kelihatannya anak baik-baik. Mereka mencari Mr. Hadley - setidak-tidaknya begitulah menurut dugaanku."
"Mr. Hadley-kah yang tadi menjerit, beberapa menit yang lalu?" tanya Jupiter dengan tiba-tiba.
Pemuda yang bernama Harry menatapnya dengan mata terbelalak.
"Ya, betul!" jawabnya dengan kasar. "Itu jeritannya sebelum mati. Sekarang cepat pergi dan sini, karena kami masih harus menguburkan Mr. Hadley."
Sehabis berkata begitu ditutupnya pintu dengan keras.
"Kalian dengar itu?" kata Pete. "Mereka baru saja membunuh orang dan kini hendak menguburkan mayatnya!"
"Apakah tidak lebih baik jika kita panggil saja polisi?" kata Bob.
"Jangan panggil polisi dulu," kata Jupiter. Sebelumnya kita masih perlu mengumpulkan keterangan lebih banyak. Kita harus berusaha memasuki rumah ini."
"Secara paksa maksudmu?" tanya Bob.
"Bukan - bukan dengan cara begitu," jawab Jupiter sambil menggeleng. "Kita harus membuat mereka tadi mengizinkan kita masuk," Dengan suara pelan Jupiter mengatakan bahwa ia melihat pemuda yang bernama Harry mengintip dan balik jendela di sebelah pintu. "Akan kubunyikan bel sekali lagi."
Jupiter menekan bel keras-keras. Seketika itu juga pintu rumah dibuka dan dalam.
"Ayo, pergi! Tadi kan sudah kukatakan," bentak Harry. "kami tidak ingin diganggu?"
‘Kami tidak bermaksud mengganggu," kata Jupiter dengan cepat. "Kami ini sedang mengusut suatu kejadian misterius. Untuk itu kami memerlukan bantuanmu. Nih - kartu pengenal kami." Dengan sigap dikeluarkannya selembar kartu nama dan kantungnya. Harry menerimanya lalu menyimak tulisan yang tertera di situ.
TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
? ? ?
Penyelidik Satu - Jupiter Jones
Penyelidik Dua - Peter Crenshaw
Catatan dan Penelitian - Bob Andrews
"Apa arti ketiga tanda tanya ini?" kata Harry dengan nada mengejek "Anu ya - artinya tidak tahu harus berbuat apa!?"
"Itu merupakan lambang pertanyaan yang tak terjawab, teka-teki yang tak terpecahkan, misteri yang tak terjelaskan," jawab Jupiter. "Semboyan kami yang ini - 'Kami menyelidiki apa saja’. Saat ini kami sedang menyelidiki sebuah jam yang sangat aneh. Ini dia barangnya."
Jupiter menyodorkan jam weker yang dibawanya pada Harry. Pemuda itu kelihatannya ingin tahu, karena ia meneliti alat penunjuk waktu itu.
"Apanya yang kaukatakan aneh?" tanya Harry kemudian.
"Bisa kutunjukkan, jika kami boleh mempergunakan sambungan listrik di dalam rumah sebentar," jawab Jupiter, Ia Iangsung melangkah masuk dengan sikap yakin bahwa Harry pasti akan mengizinkan. Dan ternyata pemuda itu memang agak menepi, memberi jalan. Jupiter bersama kedua temannya memasuki suatu serambi yang gelap dan sempit. Di satu sisinya nampak tangga yang menuju ke tingkat atas. Sedang di sisi seberangnya ada jam besar. Bunyi detiknya nyaring dalam ruangan sempit itu. Di sampingnya terdapat sebuah meja dengan pesawat telepon di atasnya.
Bob dan Pete melirik ke sana kemari, mencari-cari tubuh Mr. Hadley yang mereka kira pasti tergeletak di situ. Tapi tidak ada mayat di situ. Sementara itu Jupiter sudah melihat stop kontak di samping jam.
"Di sini sajalah," katanya sambil memasukkan steker jam weker yang dibawanya ke sambungan listrik itu. "Dengar baik-baik, karena sekarang aku akan menggeser tuas kecil ini!"
Sekali lagi weker itu memperdengarkan jeritannya. Bunyinya dalam serambi gelap itu menyebabkan Pete dan Bob merinding karena seram.
"Nah." kata Jupiter sambil mencabut steker, "bagaimana - bukankah ini barang misterius yang pantas diselidiki asal-usulnya?"
"Tidak!" jawab Harry dengan kasar. "Siapa pun bisa membuat jam yang menjerit. Tidak percaya? Bisa kubuktikan! Tunggu sebentar"
Sambil berkata begitu, ia meraih sisi belakang jam besar. Ternyata untuk menjangkau kabel listrik. Kabel itu disambungkannya ke stop-kontak. Bulu tengkuk Jupiter serta kedua temannya merinding ketika mendengar suara berat seorang laki-laki menjerit. Jeritan itu meninggi lalu menjauh. Kedengarannya seperti jeritan seseorang yang jatuh dari tebing yang tinggi.
Jam besar itu bisa menjerit! Rupanya jeritan itulah yang mereka dengar tadi lewat telepon.
Wanita tadi muncul sambil bergegas-gegas dari salah satu kamar belakang.
"Aduh, Harry! Kenapa -" Ia tertegun ketika melihat Jupiter dan kedua temannya ada di situ. "Oh," kata wanita itu agak bingung. "Kaumasukkan mereka rupanya. Kenapa, Harry? Mau apa mereka?"
"Mereka membawa weker yang bisa menjerit, Bu," kata Hany sambil menarik kabel dari stop-kontak "Aku belum pernah melihatnya. Tapi mestinya kepunyaan Mr. Hadley."
Ia mengambil weker yang tadi diletakkan di atas meja, lalu menyodorkan benda itu pada ibunya.
Wanita itu menggeleng.
"Aku juga belum pernah melihatnya," katanya. "Kau pasti itu kepunyaan Mr. Hadley?"
"Pasti, Bu," kata Harry. "Siapa lagi kecuali dia yang bisa membuat jam berteriak?"
"Ya. memang," kata ibunya. "Tapi dari mana anak-anak ini memperolehnya?"
"Belum tahu." kata Harry. Suaranya masih bernada marah. Tapi sudah agak lebih ramah dibandingkan dengan suaranya tadi. "Mereka bertiga ini mengaku penyelidik! Dan karena pada mereka ada jam yang pasti milik Mr. Hadley, aku lantas ingin tahu apa sebetulnya yang mereka kehendaki."
Harry membuka sebuah pintu. Ia menggamit ketiga remaja itu, menyuruh mereka masuk. Ruangan yang dimasuki ternyata sebuah ruang perpustakaan. Ruangannya lapang. Pada dinding-dindingnya yang berlapis kayu dipolitur tergantung sejumlah lukisan cat minyak. Pada dinding yang berseberangan dengan pintu ada sebuah cermin besar. Bayangan mereka yang baru mnasuk nampak di situ.
Perpustakaan itu berisi buku-buku yang teratur, rapi dalam rak-rak setinggi langit-langit. Tapi perhatian Jupiter serta kedua temannya terarah pada jam-jam yang ada di situ. Berlusin-lusin jumlahnya. Ada yang tegak di lantai seperti jam besar di serambi depan tadi. Sedang yang lainnya ada yang di atas meja, dan ada pula yang dipajang dalam rak. Semua nampak antik dan mahal. Mekanisme jam-jam itu rupanya sudah diubah memakai tenaga listrik, karena sama sekali tak terdengar detak-detik suara alat-alat penunjuk waktu itu. Hanya desuman lembut saja yang sampai ke telinga.
"Kalian lihat jam-jam ini? Semuanya bisa menjerit," kata Harry.


Bab 5 Kamar Jam
Suara jeritan menggema. Memenuhi ruangan lapang itu. Mulanya jeritan melengking tinggi, seperti suara bayi yang ketakutan. Disusul suara teriakan marah seorang laki-laki. Lalu digantikan raungan liar binatang buas. Itu jeritan macan tutul. Setelah itu dari segala penjuru datang jeritan, lengkingan, teriakan, auman, dan raungan binatang. Semuanya berbaur menimbulkan suara yang menegakkan bulu roma, Jupiter dan kedua temannya duduk berdampingan di sofa. Rasanya belum pernah mereka mendengar bunyi yang begitu menyeramkan seumur hidup mereka.
Harry duduk menghadapi sebuah meja. Tangannya bergerak kian kemari, sibuk menggerakkan seperangkat tuas yang menyebabkan ruangan itu dipenuhi suara jerit dan teriakan. Kini nyata bagi Trio Detektif, bahwa segala jam yang ada dalam ruangan itu diperlengkapi dengan mekanisme untuk bisa mengeluarkan teriakan. Kemungkinannya mekanisme yang dipakai mirip dengan yang ada pada weker. Harry membuat jam-jam itu menjerit satu per satu dan semuanya serempak dengan kecekatan yang menunjukkan bahwa ia sudah biasa melakukannya.
Pemuda itu memandang Trio Detektif sambil nyengir. Ia merasa senang melihat wajah mereka yang tercengang. Akhirnya semua mekanisme dimatikan, dan ruangan itu hening kembali seperti semula.
"Pasti kalian baru sekali ini mendengar seperti itu tadi," katanya. "Sekarang tentunya mengerti, apa sebabnya weker kalian sama sekali tidak membuat aku heran. Aku sudah terbiasa mendengar jam yang menjerit"
"Apakah ruangan ini dibuat kedap suara?’ tanya Jupiter. "Sebab kalau tidak, polisi pasti datang sebentar lagi, karena dipanggil para tetangga yang merasa terganggu."
"Tentu saja kedap suara," kata Harry dengan sikap agak menyombong. "Ini kamar jeritan Mr. Hadley. Saat malam hari dulu, ia suka duduk-duduk di sini sambil membunyikan kumpulan jamnya. Ia mengajari aku tekniknya sebelum ia-" Harry tidak menyelesaikan kalimat itu. "Pokoknya, aku diajari olehnya."
"Apakah yang teijadi dengan Mr. Hadley kemudian?’ tanya Jupiter.
"Tidak ada apa-apa yang terjadi dengannya. Kenapa harus terjadi apa-apa?" tukas Harry.
"Kau tadi mengatakan, ‘sebelum ia -, tapi tidak kauteruskan. Kusangka kau hendak mengatakan bahwa ia mengalami sesuatu."
"Ia kemudian pergi dan sini. Cuma itu saja. Lagi pula, itu sama sekali bukan urusanmu!"
"Kami mulai dengan pengusutan sebuah weker yang bisa menjerit," kata Jupiter, "lalu kini ternyata menjumpai sebuah ruangan penuh dengan jam yang semuanya menjerit! Menurut dugaanku. Ini bukan misteri yang biasa-biasa saja! Untuk apa ada orang mengutak-atik begini banyak jam sehingga bisa menjerit dengan suara manusia serta binatang? Aku tidak melihat gunanya!"
"Aku setuju sekali," kata Pete mengutarakan pendapatnya. "Belum pernah kudengar ada hal seedan ini."
"Itu merupakan kegemaran Mr. Hadley." Harry kini mengambil sikap bertahan, "Dan yang namanya kegemaran itu tidak perlu ada gunanya. Ia ingin mempunyai hobby yang lain dan yang lain, dan karenanya lantas mengumpulkan jam yang menjerit. Kalau kau - kegemaranmu apa?" Pertanyaan itu dilontarkannya pada Jupiter.
"Mengusut misteri - seperti yang sekarang ini," jawab Jupiter.
"Kan sudah kukatakan, di sini sama sekali tidak ada misteri," tukas Harry.
"Mungkin memang begitu - tapi yang jelas ada sesuatu yang mengganggu perasaanmu. Kau bersikap seperti membenci setiap orang. Kenapa tidak kauceritakan saja persoalan yang sedang kauhadapi? Mungkin kami bisa menolong."
"Bagaimana mungkin kalian bisa menolong?" Harry sudah nampak marah lagi. "Maksudku, tak ada yang menyebabkan perasaanku tidak enak - kecuali kalian bertiga! Kalianlah yang menggangguku. Kenapa kalian tidak pergi saja. Jangan ganggu aku lagi!" Harry lari ke pintu lalu membukanya.
"Keluar!" sergahnya. "Dan jangan kembali lagi, karena -" Harry tergagap. Pintu depan rumah dibuka dari luar. Seorang laki-laki bertubuh besar melangkah masuk. Orangnya tidak begitu jangkung, tapi bahunya lebar sekali. Orang itu memandang Harry sebentar, lalu menatap Jupiter, Bob, dan Pete silih berganti. Tampangnya masam.
"Ada apa ini?" tanya laki-laki itu pada Harry. "Kau mengajak kawan-kawanmu masuk untuk bermain-main, berbuat berisik sehingga aku nanti terganggu? Kau kan tahu, aku memerlukan ketenangan seratus persen."
"Kami sama sekali tidak berisik, Mr. Jeeters," jawab Harry dengan sikap cemberut. "Lagi pula, bunyi dalam kamar ini tidak bisa didengar dari luar."
Laki-laki bertubuh besar itu menatap Trio Detektif silih berganti, seakan hendak mengingat-ingat tampang mereka bertiga.
"Aku nanti perlu bicara sedikit dengan ibumu" kata orang itu sambil menaiki tangga menuju tingkat atas.
"Kenapa ia tidak suka jika kau mengajak orang masuk kemari?" tanya Bob bingung. "Ini kan rumahmu sendiri?"
"Bukan, ini rumah Mr. Hadley," kata Harry. "Ibuku pengurus rumah tangganya. Sejak Mr. Hadley pergi, kami tinggal di sini. Tingkat atas disewakan Ibu pada Mr. Jeeters, untuk memperoleh uang guna merawat rumah ini. Sekarang sebaiknya kalian pergi saja - supaya tidak menambah kerepotan.
"Baiklah," kata Jupiter. "Yuk. Bob, Pete. Terima kasih, Harry, untuk kebaikanmu menunjukkan jam-jam lain yang bisa berteriak tadi."
Jupiter melangkah ke luar, sambil mengambil weker yang tadi diletakkan di atas meja dekat jam besar. Bersama kedua temannya ia kembali ke tempat Worthington memarkir mobil.
"Tidak banyak yang kita capai dalam pengusutan ini," kata Pete menggerutu sementara mereka masuk ke mobil. "Menurutku, siapa pun berhak mengumpulkan jam yang bisa menjerit, jika itu memang kegemarannya. Kurasa misterimu berakhir sampai di sini saja, Jupe."
"Ya. kurasa juga begitu," kata Jupiter sependapat. Ia mengarahkan kata-kata selanjutnya pada Worthington. "Karena kita sudah ada di Hollywood, kita mampir sebentar di World Studios tempat Mr. Hitchcock aku ingin minta kesempatan bertemu dengan dia. Mungkin saja ia tertarik pada jam kita ini.
"Baik, Master Jupiter." kata Worthington sambil menghidupkan mobil.
"Tunggu sebentar," seru Bob dengan tiba-tiba, karena melihat Harry berlari keluar dan rumah dan mendatangi mereka. Pete membuka kaca jendela mobil. Harry menjulurkan kepalanya ke dalam.
"Untung kalian belum pergi,’ katanya dengan napas tersengal-sengal. "Tekadku sudah bulat sekarang! Kalian kan penyelidik -jadi kurasa ada kemungkinan kalian bisa menolongku. Ayahku saat ini mendekam di penjara karena dipersalahkan melakukan sesuatu yang sama sekali tidak dibuatnya. Aku ingin minta tolong pada kalian untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah."

Bab 6 Misteri Bertambah
"Masuk saja dulu dan ceritakan soalnya," kata Jupiter sambil membukakan pintu. "Setelah itu akan kita lihat, apakah kami bisa membantumu atau tidak."
Kisah yang dituturkan Harry tidak panjang. Sekitar tiga tahun yang lalu ia ikut ayah dan ibunya pindah tempat kediaman ke rumah Mr. Hadley. Orang itu tidak menikah. Ibu Harry diminta bantuannya untuk mengatur urusan rumah tangga Mr. Hadley, dengan imbalan hak menempati suatu apartemen kecil di belakang serta gaji sekadarnya. Ayah Harry bekerja sebagai agen perusahaan asuransi jiwa. Saat itu usahanya baru mulai dikembangkan.
Keadaan mereka di situ cukup lumayan. Tapi enam bulan yang lalu terjadi perampokan di rumah seorang pengusaha di Beverly Hills yang letaknya tidak jauh dari situ. Yang dicuri tiga lukisan modern yang sangat berharga. Diduga pencurinya masuk dengan jalan menyusup lewat sebuah jendela yang sempit sekali. Atau lewat pintu depan, dengan memakai kunci palsu. Sedang ketiga lukisan itu direnggutkan dari bingkainya masing-masing.
Polisi mengetahuinya berdasarkan pengusutan yang dilakukan, bahwa Ralph Smith - demikianlah nama ayah Harry-beberapa minggu sebelum peristiwa pencurian itu pernah datang ke rumah itu, untuk menawarkan jasa asuransi jiwa pada pengusaha bersangkutan. Pada kesempatan itu tentu saja ia melihat lukisan-lukisan yang kemudian hilang dicuri. Tapi Ralph Smith mengatakan tidak tahu apa-apa tentang seni, jadi tidak tahu bahwa ketiga lukisan itu sangat berharga.
Hanya berdasarkan alasan karena ia pernah masuk ke rumah yang kecurian itu, polisi kemudian menggeledah tempat tinggal keluarga Smith. Dan temyata ketiga lukisan yang hilang itu ditemukan terselip di bawah alas lantai dapur. Ayah Harry langsung ditahan. Oleh pengadilan ia dianggap terbukti melakukan pencurian. Untuk itu ia dijatuhi hukuman penjara lima tahun.
Itu terjadi tiga bulan yang lalu. Ayah Harry tetap berkeras mengatakan bahwa ia tidak bersalah dan tidak tahu bagaimana lukisan-lukisan itu bisa sampai ada di bawah alas lantai dapur tempat kediamannya. Tapi hakim tetap pada keputusan semula,
"Padahal ayahku benar-benar tidak bersalah!" kata Harry mengakhiri kisahnya. "Ayahku bukan penjahat. Kalau ia yang mencuri, pasti aku serta ibuku tahu. Tapi polisi kini malah beranggapan bahwa ialah yang sering melakukan pencurian benda-benda seni di kota ini selama sepuluh tahun belakangan ini. Dugaan mereka hanya karena ayahku agen asuransi yang malam-malam suka datang ke rumah orang."
"Jadi sekarang aku ingin menyewa kalian untuk membantuku membersihkan nama ayahku. Tapi aku tidak bisa membayar banyak. Uangku di tabungan cuma ada lima belas dollar, Tapi semuanya akan kuberikan pada kalian, apabila kalian bisa menolong ayahku."
Jupiter terkejap-kejap matanya, memikirkan urusan itu. Sedang Bob dan Pete berlagak tolol. Menurut mereka, polisi tak mungkin akan menyebabkan ayah Harry dihukum apabila tidak memiliki bukti-bukti kuat.
"Kasus ini sulit sekali, Harry," kata Jupiter kemudian. "Rasanya tidak banyak yang bisa dijadikan pegangan."
"Kalau soalnya gampang, untuk apa aku menyewa penyelidik!" Harry sudah mulai panas lagi. "Kalian membawa-bawa kartu nama yang menyatakan bahwa kalian ini penyelidik. Aku kepingin lihat buktinya. Lakukanlah pengusutan!"
Jupiter mencubiti bibir bawahnya. Hal itu selalu dilakukannya apabila sedang sibuk berpikir.
"Baiklah paling sedikit kami nanti akan memikirkannya," katanya menerima permintaan Harry. "Tapi jika bukan ayahmu yang mencuri, kenapa lukisan-lukisan itu tahu-tahu ada di bawah alas lantai dapur tempat kediaman kalian?"
"Aku tidak tahu," Harry berbicara dengan nada sedih. "Mr. Hadley dulu sering kedatangan tamu. Mungkin salah satu dari mereka yang menyembunyikannya di situ. Atau mungkin seseorang yang hendak membalas dendam terhadap ayahku karena salah satu sebab. Bisa saja orang itu menyelinap masuk malam-malam, lalu sengaja menyembunyikan lukisan-lukisan itu di suatu tempat yang tidak sukar diketahui."
"Apakah kalian tidak biasa mengunci pintu sebelah belakang?" tanya Bob,
"Tentu saja dikunci," jawab Harry. "Tapi rumah itu sudah tua. Pintunya bisa dibuka dengan gampang. Kami tidak pernah merepotkannya karena tidak ada barang berharga di tempat kami yang mungkin akan menarik untuk dicuri."
"Hmmm." Jupiter masih saja mencubiti bibir bawahnya. "Lukisan-lukisan itu diselipkan ke bawah alas lantai dapur. Itu tempat yang paling gampang dicapai jika yang melakukannya masuk lewat pintu belakang. Dengan mudah saja itu disembunyikan di situ, lalu pergi lagi tanpa perlu masuk ke rumah."
"Itu pertimbangan yang bagus sekali, Jupe," kata Pete. "Pasti menang begitulah kejadian sebenarnya."
"Bagaimana jika Mr. Hadley yang mencuri lalu menyembunyikan lukisan-lukisan itu di situ?" sela Bob.
"Apakah waktu itu polisi juga mencurigainya?" tanya Jupiter.
Harry menggeleng.
"Mr. Hadley tak mungkin akan melakukan perbuatan begitu," katanya menjelaskan. "Ia suka pada kami, kecuali itu ia ada di rumah ketika ketiga lukisan itu dicuri."
"Kalau begitu memang tidak mungkin," kata Jupiter sependapat. "Walau demikian aku merasa agak aneh juga."
"Apanya yang aneh?" tanya Bob.
"Kita kan mulanya mengusut sebuah jam aneh yang bisa berteriak. Kita berhasil mengetahui bahwa pemiliknya dulu mempunyai kegemaran mengumpulkan jam yang bisa menjerit. Pengusutan terhadap jam membawa kita pada misteri lain, yaitu siapa yang mencuri lukisan-lukisan berharga lalu mengatur sedemikian rupa sehingga ayah Harry kemudian dipenjarakan karena dipersalahkan mencuri lukisan-lukisan itu. Yang aneh bagiku ialah bahwa misteri yang satu membawa kita ke misteri lain. Tapi itu masuk akal - jika antara keduanya memang ada hubungan."
"Hubungan yang bagaimana?’ desak Pete.
"Aku juga tidak tahu." kata Jupiter berterus terang. "Tapi walau begitu aku ingin tahu segalanya yang bisa kauceritakan mengenai Mr. Hadley, Harry. Kau mencatatnya, Bob."
Tidak terlalu banyak yang bisa diceritakan Harry pada mereka. Menurut dia, Mr. Hadley itu bertubuh gemuk pendek dan periang, kelihatannya uangnya banyak. Menurut kabar ia mewarisi harta itu beberapa tahun yang lalu. Dari pengamatan terhadap sejumlah kenalan yang kadang-kadang mampir, Harry serta ayah-ibunya menarik kesimpulan bahwa Mr. Hadley dulunya aktor. Soalnya kenalannya banyak yang kelihatannya orang teater. Tapi Mr. Hadley sendiri tidak pemah mengatakan apa-apa mengenai pekerjaannya dulu.
Ia menjadi saksi dalam persidangan yang mengadili ayah Harry. Mr. Hadley mengatakan bahwa ia yakin Ralph Smith tidak bersalah. Ia kelihatannya kaget sekali ketika akhirnya ayah Harry dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Lalu tidak lama kemudian ia mengatakan hendak ke luar negeri guna merawat kesehatannya. Dimintanya pada Mrs. Smith agar merawat rumah selama ia pergi.
Mr. Hadley berangkat membawa dua buah koper. Sejak itu tidak pernah ada kabar mengenainya. Beberapa kenalannya mula-mula masih ada yang mampir. Tapi akhirnya tak seorang pun muncul. Uang yang ditinggalkan untuk ongkos merawat rumah lama-kelamaan habis. Sekitar saat itu Mr. Jeeters muncul. Ia mencari tempat pondokan. lbu Harry lantas mengambil keputusan. Rumah bagian tingkat atas disewakan padanya. Sewaktu mengadakan perjanjian sewa-menyewa, Mr. Jeeters menegaskan bahwa ia memerlukan ketenangan dan sama sekali tidak mau diganggu. Ia rewel sekali mengenai soal itu.
"Itulah semuanya yang kuketahui," kata Harry. "kalian tentu akan mengatakan, itu tidak banyak. Kalau kupikir lebih lanjut, rasanya kalian takkan bisa menolong ayahku," katanya suram. "Tidak ada yang bisa! Maaf atas sikapku yang kasar tadi. Aku yang membunyikan jam besar dalam serambi ketika kalian berbicara dengan ibuku lewat telepon. Maksudku untuk mencegah ibuku meneruskan bicara. Mulanya kusangka kalian wartawan atau sebangsanya. Soalnya - yah, aku jengkel mengenai segala-galanya."
"Kami mengerti," kata Jupiter, dan kami akan memikirkan masalah ini. Jika kami menemukan jalan pemecahannya, nanti kau akan kami hubungi."
Harry turun dan mobil lalu kembali ke rumah. Worthington menghidupkan mobil lagi.
"Ke mana kita, Master Jupiter?" tanya supir itu. "Pulang?"
Jupiter menggeleng. Kelihatannya ia sibuk berpikir.
"Kita tadi kan bermaksud hendak mampir di kantor Alfred Hitchcock," katanya. "Jika Mr. Hadley itu dulu aktor, ada kemungkinan Mr. Hitchcock kenal padanya. Beratus-ratus aktor pernah bekerja dengan sutradara itu. Antarkan kami ke World Studios, Worthington."
‘Baik, Sir." Supir berbangsa lnggris itu memutar mobil lalu menekan pedal gas. Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di gerbang depan World Studios, yang menempati satu blok penuh di balik pagar tinggi. Penjaga gerbang menelepon sebentar untuk menanyakan apakah Mr. Hitchcock ada di kantor. Tenyata ada. Kebetulan sutradara terkenal itu ada waktu sedikit, sehingga bisa menerima kedatangan ketiga remaja itu. Tidak lama kemudian mereka sudah duduk menghadapi meja kerjanya yang besar.
"Nah," kata Alfred Hitchcock dengan suaranya yang berat, "ada urusan apa kalian datang kemari? Sudah sibuk lagi dengan pengusutan baru?"
"Ya, Sir," kata Jupiter. "Tapi saat ini situasinya tidak jelas. Saya tidak tahu pasti persoalannya memang perlu diselidiki atau tidak. Begini soalnya. kami mulanya hendak mengusut jam yang menjerit."
"Jam Menjerit?" potong Alfred Hitchcock dengan nada heran. "Apa kabarnya orang itu? Sudah bertahun-tahun aku tidak mendengar apa-apa tentang dia!"

Bab 7 Perampasan
"Orang?" Kini Jupiter yang berseru heran. "Maksud Anda, ada orang yang namanya begitu?"
"Itu julukannya," kata Mr. Hitchcock menjelaskan. ‘Nama aslinya Albert Clock. Orang-orang iseng menjulukinya Screaming Clock - Jam Menjerit. Ia memang penjerit"
Keterangan Mr. Hitchcock malah semakin membingungkan Jupiter. Apalagi Pete dan Bob - mereka hanya bisa melongo saja.
"Penjerit?" tanya Jupiter. ‘Saya tidak mengerti maksud Anda"
"Pekerjaannya menjerit," kata Mr. Hitchcock terkekeh geli. "Dulu sewaktu televisi belum ada, acara sandiwara radio dengan kisah-kisah misteri sangat digemari orang. Bahkan pernah dalam seminggu ada tiga puluh lima acara kisah misteri. Kalian masih kecil - jadi tidak mungkin mengalami masa itu. Tapi acara-acara kisah misteri itu sangat mengasyikkan! Dan kisah-kisah itu banyak yang mengandung adegan orarig menjerit. Jeritan selalu bisa menimbulkan ketegangan suasana. Mungkin kalian mengira setiap aktor bisa menjerit, kalau itu merupakan bagian dan peran yang dimainkannya. Itu memang betul. Tapi jika diperlukan suara jeritan yang benar-benar asyik, sutradara selalu memakai tenaga spesialis. Jadi orang semacam Aibert Clock itu, yang pekerjaannya khusus menjerit. Kurasa ia satu-satunya yang melulu hanya menjerit saja kerjanya. Aku pun sudah beberapa kali memakainya dalam film-filmku. Orangnya serba bisa. Ia bisa menjerit seperti anak kecil, wanita, laki-laki. Bahkan jeritan dan raungan beberapa jenis binatang pun bisa ditirukan olehnya. Ia selalu membanggakan diri sebagai ahli menjerit yang paling serba bisa. Tapi drama radio kemudian pudar kepopulerannya ketika televisi mulai berkembang. Profesi penjerit tidak begitu diperlukan lagi. Beberapa tahun yang lalu aku masih memakai Bert Clock dalam satu atau dua filmku. Tapi setelah itu ia seakan menghilang. Itulah sebabnya kenapa aku tadi mengatakan sudah bertahun-tahun tidak mendengar apa-apa lagi tentang dia. Dan kau tadi mengatakan kini sedang mengusut dirinya?"
"Rupanya begitu, walau tadi kami belum tahu," kata Jupiter. "Urusan sekarang ini kami mulai dengan mengusut sebuah jam yang benar - bukan orang yang julukannya begitu."
Dikeluarkannya jam weker dan tas yang dibawanya, lalu diperagakannya kemampuan alat penunjuk waktu itu untuk menjerit. Mr. Hitchcock sangat tertarik melihatnya.
"Konstruksi yang benar-benar luar biasa," katanya. "Kurasa jam ini memang merupakan pesanan Bert Clock- karena siapa lagi yang mau minta dibikinkan jam yang bisa menjerit, kecuali orang yang julukannya Jam Menjerit?"
Jupiter kemudian menuturkan tentang kamar penuh jam yang sebelumnya telah mereka saksikan dengan mata dan telinga. Ia juga menyebutkan Mr. Hadley serta penangkapan terbadap diri Ralph Smith, ayah Harry. Mr. Hitchcock mendengarkan dengan serius.
"Agak aneh juga," katanya. "Hadley itu kurasa memang Bert Cock Clock memang bertubuh kecil. Katamu tadi, Hadley itu pendek gemuk Mungkin saja Clock sudah gemuk sekarang. Dan setelah kuingat-ingat tadi, aku memang pemah mendengar kabar bahwa ia mendapat harta warisan pada saat ia tidak sering lagi diperlukan di radio. Bisa saja kubayangkan ia minta dibikinkan berbagai jenis jam yang bisa menyuarakan bermacam-macam jeritan yang merupakan keistimewaannya, sebagai kenangan pada prolesinya di masa lampau dan juga sebagai lelucon baginya bersama kawan-kawan lamanya. Tapi aku tidak mengerti, apa sebabnya ia berganti nama."
"Apakah ia menaruh minat pada karya seni, Mr. Hitchcock?" tanya Bob.
"Sepanjang pengetahuanku, tidak. Memang ada sejumlah aktor yang kegemarannya mengumpukan benda-benda seni. Di Hollywood sini banyak karya seni berharga yang dimiliki para aktor, produser, dan sutradara. Tapi aku tidak pernah mendengar bahwa Bert Clock menaruh minat ke arah itu."
"Terima kasih, Sir," kata Jupiter. Ia berdiri, dilkuti kedua temannya. "Anda sudah memberikan sejumlah keterangan yang rasanya perlu kami pikirkan lebih lanjut. Misalnya saja bahwa Clock itu Hadley. Itu agak mengherankan. Sedang bagaimana hubungan antara penangkapan terhadap ayah Harry dengan fakta-fakta lainnya, saat ini saya belum tahu. Jika ada kemajuan yang tercapai, Anda akan kami beri kabar."
Ketiga remaja itu meminta diri. Mereka diantarkan oleh Worthington kembali ke Rocky Beach, ke perusahaan jual-beli barang-barang bekas yang diusahakan Paman Titus. Mereka turun di depan pintu gerbang. Ketiganya berjalan sambil berpikir-pikir, masuk ke tempat penimbunan yang penuh dengan barang-barang bekas. Tahu-tahu seorang laki-laki muncul dari balik tumpukan kayu.
"He! Kalian bertiga tentunya masih ingat padaku, kan?" katanya. Mereka memang masih ingat. Orang itu Mr. Jeeters, yang baru sejam sebelumnya mereka lihat di rumah Mr. Hadley yang ditinggali keluarga Smith.
"Pada kalian ada sebuah weker," sergah Mr .Jeeters. "Dalam tas yang kaujinjing itu. Weker itu kepunyaanku."
Secara tak disangka-sangka orang itu beraksi dengan cepat, merampas tas yang dijinjing Jupiter.
"Sekarang jadi milikku," kata orang itu. "Karena ada di tanganku! Siapa yang memegang, dialah pemiliknya."
"Seenaknya saja!" teriak Pete. Ia meloncat menyambar kaki Mr. Jeeters. Bob dan Jupiter langsung ikut membantu. Jupiter mencengkeram lengan laki-laki itu, sementara Bob berusaha menarik tas yang dicengkeram olehnya.
Tapi Mr. Jeeters ternyata kuat sekali. Bob dan Jupiter ditepiskannya seperti mengusir lalat saja. Lalu dicengkeramnya bagian punggung kemeja Pete yang masih memegang kakinya. Remaja bertubuh kekar itu diangkatnya dan dilemparkannya ke samping. Pete terbanting ke tanah berdebu.
"Coba saja sekali lagi, kalau ingin mengalami cedera!" katanya mengejek.
Ia kaget sekali ketika tahu-tahu ada yang mencengkeram bahunya dari
belakang. Hans, satu dad kedua pemuda Jerman pembantu Paman Titus, datang menolong Trio Detektif.
"Kembalikan tas Jupe padanya, Mister," kata Hans.
"Lepaskan!" bentak Mr. Jeeters sambil mengayunkan tinju ke dagu Hans. Hans mengelak. Kedua laki-laki ini kemudian bergulat. Pete melihat tas yang terlepas dan pegangan Mr. Jeeters. Ia cepat-cepat maju untuk mengambilnya, lalu buru-buru mundur ke tempat yang aman. Sementara Hans dan Mr. Jeeters masih terus bergumul, saling berusaha menjatuhkan lawannya.
Kemudian Hans berhasil memegang tubuh Mr. Jeeters. Orang itu diangkatnya tinggi-tinggi, seperti mengangkat anak yang sedang mengamuk saja.
"Apa yang harus kulakukan sekarang, Jupe?" tanya Hans dengan tenang. "Kupegang terus orang ini sementara kau memanggil polisi?"
"Kurasa itu tidak perlu." jawab Jupiter setelah berpikir dengan cepat. Kalau dilaporkan pada polisi, ada kemungkinan mereka nanti tidak memberikan tanggapan serius. Maklumlah, itu kan cuma soal pencurian weker murah saja. Tapi jika polisi menanggapi dengan serius, besar kemungkinannya weker akan ditahan sebagai barang bukti. Padahal Jupiter sendiri memerlukannya, karena kini semakin besar tekadnya hendak mengusut misteri yang menyelubunginya.
"Kaulepaskan saja orang itu,’ katanya pada Hans. "Pokoknya weker sudah kita dapatkan kembali."
"Oke," kata Hans dengan segan. Mr. Jeeters dilepaskannya dengan begitu saja, sehingga jatuh tersungkur ke tanah.
Orang itu berdiri sambil membersihkan pakaiannya yang kotor kena debu.
"Baiklah," katanya menggerutu. "Akan menyesal kalian nanti!"
Sambil mengucapkan kata-kata yang mengandung ancaman itu, ia meninggalkan tempat itu.

Bab 8 Siapakah yang Bernama Rex?
"Rapat dibuka," kata Jupiter Jones sambil mengetuk-ngetuk meja. Seketika itu juga ketiga remaja lainnya yang juga ada dalam ruang markas yang sempit itu berhenti bercakap-cakap. Saat itu satu hari setelah kejadian usaha perampasan jam weker oleh Mr. Jeeters. Kini para remaja itu mengadakan rapat, untuk melihat kemajuan apa saja yang tercapai sementara itu. Itu pun kalau ada yang dicapai!
Paginya Jupiter menelepon Harry Smith di rumahnya. Pemuda itu baru saja memperoleh SIM beberapa waktu yang lalu. Karenanya ia datang mengendarai mobil tua milik ayahnya.
"Sampaikan laporanmu dulu, Bob," kata Jupiter. Di antara mereka berempat Bob yang paling sibuk selama itu. Paginya ia ikut ke Los Angeles dengan ayahnya, yang bekerja sebagai penulis untuk suatu surat kabar beroplag besar di kota itu. Ayahnya memperkenalkan Bob pada orang yang mengelola ruang tempat penyimpanan data. Dalam ruangan luas itu terdapat beratus-ratus lemari khusus berisi guntingan koran yang disusun berdasarkan pokok persoalan serta nama orang yang terlibat di dalamnya.
Tugas Bob pertama-tama mencari semua informasi yang bisa diperoleh mengenai ayah Harry, Ralph Smith, mengenai persidangan perkaranya, lalu mengenai diri A. Clock atau Mr. Hadley, dan setelah itu mengenai pencurian lukisan-lukisan berharga pada umumnya.
Bob membawa seberkas catatan. Banyak informasi yang disampaikan olehnya, tapi ia melakukannya seringkas mungkin.
Mengenai jalannya persidangan pengadilan terhadap Ralph Smith, tidak banyak informasi baru. Bukti-bukti yang diajukan semua bersifat tidak langsung, tapi cukup kuat untuk meyakinkan polisi tentang kesalahan orang yang mereka tahan. Polisi berusaha mendesak Ralph Smith, agar mengaku bahwa ialah pencuri benda-benda seni yang selama sepuluh tahun terakhir beraksi di daerah sekitar Hollywood dan Los Angeles. Tapi ayah Harry berkeras menyatakan bahwa ia tidak bersalah.
"Beberapa kasus pencurian itu kan terjadi ketika kalian masih bertempat tinggal di San Francisco, Harry?" tanya Bob.
"Ya, betul - baru enam tahun yang lalu kami pindah ke Hollywood," jawab Harry. "Jadi ternyata ayahku tidak mungkin bersalah. Mustahil ia bisa terlibat dalam kasus-kasus pencurian yang lebih dulu terjadi."
"Memang tidak mungkin, jika semuanya merupakan hasil kerja komplotan yang itu-itu juga," sela Jupiter. "Coba kauceritakan sekarang mengenai rangkaian pencurian benda-benda seni di kota ini, Bob."
Menurut keterangan yang berhasil dikumpulkan oleh Bob, selama sepuluh tahun terakhir paling sedikit telah terjadi sekitar selusin aksi pencurian lukisan berharga. Jadi pukul rata sekali setahun. Seperti dikatakan oleh Mr. Hitchcock banyak aktor, produser, dan sutradara kaya di Hollywood yang gemar mengumpulkan benda-benda seni dan menyimpan lukisan-lukisan yang sangat tinggi nilainya di rumah mereka. Lukisan-lukisan itu dengan sendirinya tidak dijaga seketat penjagaan benda-benda seni di museum. Dalam kasus-kasus pencurian yang terjadi, para pencuri masuk ke rumah lewat jendela atau dengan jalan mencongkel kunci pintu, merobek lukisan dari bingkainya, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
"Polisi menduga bahwa lukisan-lukisan yang dicuri itu kemudian dijual pada hartawan-hartawan penggemar seni di Amerika Selatan yang akan menyimpan lukisan-lukisan itu untuk dinikmati sendiri." kata Bob.
"Lukisan-lukisan bernilai tinggi sangat terkenal di kalangan kesenian, dan karena itu tidak mungkin bisa dijual secara terang-terangan melainkan harus ditawarkan pada orang-orang tertentu saja yang tidak akan pernah memamerkan pada umum."
"Lukisan-lukisan yang lenyap itu kemudian tidak ada yang berhasil ditemukan kembali?" tanya Jupiter.
"Tidak ada - kecuali tiga yang ditemukan dalam rumah Harry," jawab Bob. Ia meneruskan laporannya dengan kasus pencurian terbesar yang terjadi dua tahun sebelum itu. Sejumlah besar lukisan langka dipinjamkan pada suatu balai seni yang hendak mengadakan pameran khusus. Tapi sebelum pameran sempat dilangsungkan, komplotan pencuri berhasil masuk dan mencuri lima lukisan yang nilai keseluruhannya setengah juta dollar.
"Tapi itu belum merupakan rekor," kata Bob menambahkan. "Belum lama berselang ada pencuri yang memotong daun pintu sebuah museum di lnggris, lalu mencuri delapan lukisan dengan nilai keseluruhan ditaksir antara empat sampai delapan juta dollar. Lukisan-lukisan itu kemudian bisa ditemukan kembali. Tapi selama ini itulah pencurian yang merupakan rekor disegi nilai barangnya"
"Wow!" seru Pete kagum. "Itu kan uang yang banyak sekali untuk lukisan."
"Memang," kata Bob sependapat "Nah - pokoknya di kota ini banyak terjadi pencurian benda-benda seni berharga. Dan semuanya berlangsung dengan begitu mulus, sehingga setiap kali polisi kembali menghadapi teka-teki. Rupanya kini timbul dugaan bahwa ayah Harry ikut terlibat dalam kebanyakan kasus pencurian itu. Padahal kecurigaan takkan terarah padanya, jika ia tidak diketahui datang ke rumah itu beberapa hari sebelumnya, untuk menawarkan jasa asuransi jiwa. Jadi -"
"Nanti dulu!" Harry langsung memotong dengan marah. "Sudah kukatakan dari semula, ayahku sama sekali tidak bersalah. Jika kau hendak mengatakan bahwa hanya karena ia agen asuransi yang sering mendatangi tempat-tempat kediaman orang kaya -".
"Tenang sajalah, Harry," kata Jupiter menyabarkan. "Kami tidak mengatakan ayahmu yang melakukannya. Persoalan bagaimana lukisan-lukisan itu bisa sampai ada di bawah alas lantai dapur kalian, merupakan satu misteri lagi. Rasanya banyak misteri yang perlu kita selidiki Yang pertama, siapa yang mencuri lukisan-lukisan itu? Kedua, bagaimana lukisan-lukisan itu bisa sampai di tempat di mana barang-barang itu kemudian ditemukan? Ketiga, apa yang menyebabkan Mr. Hadley yang mungkin nama sebenarnya Mr. Clock kemudian pergi lalu menghilang sampai sekarang? Dan misteri keempat, dari mana datangnya weker ini, ada apa makna sebenarnya yang terkandung padanya?"
Sambil bicara Jupiter menyentuh jam weker yang ada di depannya, di atas meja.
"Jam ini jelas mempunyai arti tertentu," sambungnya. "Mr. Jeeters kemarin kelihatannya ingin sekali merampasnya dari tangan kita. Itu bukti bahwa barang ini penting sekali maknanya."
"Aku yang bersalah, karena dari aku orang itu tahu tentang kalian serta weker itu," kata Harry meminta maaf. "Tapi ketika kalian sudah pergi, ia lantas mendesakku dengan berbagai pertanyaan sambil - yah, ia menakut-nakuti ibuku. Jadi akhirnya aku terpaksa mengaku bahwa kalian datang untuk bertanya mengenal salah satu jam kepunyaan Mr. Hadley yang kalian temukan. Keteranganku itu menyebabkan ia langsung bertindak. Kartu nama kalian yang kupegang dirampas olehnya, lalu ia bergegas-gegas pergi."
"Untungnya kemudian Hans datang untuk menolong kami," kata Jupiter. "Aku ingin tahu, Harry - menurutmu, apakah ada tingkah laku Mr. Jeeters yang mencurigakan selama ia tinggal di tempat kalian?"
"Malam hari ia sering mondar-mandir dalam rumah!" cetus Harry dengan cepat. "Menurut katanya, ia pengarang dan sering tidak bisa tidur. Suatu malam kudengar ia mengetuk-ngetuk dinding, seolah-olah sedang mencari sesuatu."
"Hmm." Jupiter merenung sambil mencubit bibir bawahnya. "Aku punya dugaan tertentu. Tapi mungkin saja keliru. Kita kembali saja pada persoalan sebenamya. Aku tidak melihat kemungkinan bahwa kita bisa membongkar teka-teki pencurian lukisan-lukisan itu, apabila polisi saja sudah tidak mampu. Tapi bagi kita masib ada misteri weker ini, yang juga perlu diusut asal-usulnya. Itu saja yang sekarang kita lakukan."
"Apa gunanya itu bagi ayahku." bantah Harry dengan keras. "Ia merana di penjara, tapi kalian malah sibuk mengusut weker rongsokan!"
"Kita harus mempunyai pangkal tolak untuk melakukan penyelidikan," kata Jupiter menjelaskan. "Saat ini ada beberapa misteri yang kita hadapi, dan kurasa weker ini, entah dalam bentuk mana, merupakan salah satu mata rantai penghubung di antaranya."
"Baiklah kalau begitu," kata Harry setengah menggerutu. "Tapi bagaimana kalian bisa mengusut asal-usulnya, jika ditemukan tercampak di tengah tumpukan sampah."
"Pada kita ada kertas dengan pesan tertentu, yang semula direkatkan pada dasarnya." kata Jupiter. Ia membuka sebuah laci meja. Laci itu merupakan tempat penyimpanan rahasia untuk mengamankan benda-benda penting berukuran kecil. Diambilnya kertas yang ditemukan di kotak kardus tempat weker semula ditaruh, lalu dibacakannya kalimat-kalimat pesan aneh yang tertulis di situ,
Rex yang baik.
Tanya Imogene.
Tanya Gerald.
Tanya Martha
Setelah itu bertindak! Bahkan kau pun akan heran melihat hasilnya.
"Siapa sih orang-orang itu?" kata Pete bingung. "Bagaimana kita bisa menemukan mereka - dan kalau bisa kita temukan, lalu apa yang akan harus kita tanyakan pada mereka?"
"Jangan semuanya sekaligus dong," kata Jupiter. "Pertama, pesan ini kelihatannya ditujukan pada Rex. Dan situ aku mendapat kesimpulan bahwa weker dengan pesan ini tentunya dikirimkan pada Rex ini. Jadi kita harus mencari Rex."
"Seperti ditanyakan Pete tadi - bagaimana caranya?" sela Bob.
"Kita harus berpikir secara logis," kata Jupiter. "Rex ini mestinya teman Mr. Clock - atau Mr. Hadley. Untuk gampangnya kita pakai saja satu nama, yaitu Mr. Clock. Pokoknya, Rex ini pasti temannya. 0, ya - Harry, kau bawa tidak buku alamat Mr. Clock?"
"Sudah kucari, tapi tidak kutemukan," kata Harry yang kelihatannya mulai tertarik. "Yang ada daftar nama orang-orang yang biasa dikirimi kartu Natal. Aku menemukannya terselip di bagian belakang salah satu laci."
Pemuda itu mengeluarkan selembar kertas terlipat. Jupiter meratakan kertas itu.
"Bagus," katanya. "Nama teman-temannya pasti tertera di sini. Sekarang kita lihat saja, apakah Rex juga ada di antaranya."
Keempat remaja itu sibuk meneliti daftar yang berisi sekitar seratus nama yang diketik rapi, lengkap dengan catatan alamat.
"Kulihat ada satu Imogene, dua Gerald - sedang Martha ada tiga," kata Bob. "Tapi Rex tidak ada."
"Betul - tidak ada nama Rex pada daftar ini," kata Jupiter.
"Tunggu, tunggu dulu!" seru Bob dengan tiba-tiba. "Nih - lihat! Di sini ada nama Walter King!"
"Memangnya kenapa?" tanya Pete.
"King-jadi 'raja' -bahasa Latinnya rex," kata Bob menjelaskan. "Mungkin saja Rex itu julukan bagi seseorang yang bernama King."
"Kalau menurutku, King itu nama anjing," gumam Jupiter. Tapi tidak ada yang menanggapi. Jupiter mencatat nama Walter King serta alamat yang tertera di belakangnya pada selembar kartu.
"Deduksimu bagus sekali, Bob," katanya. "Ini satu-satunya petunjuk yang ada, jadi kita perlu mengusutnya lebih lanjut nanti. Sekarang kita lihat, bagaimana dengan Imogene, Gerald, dan Martha. Ini ada Miss Imogene Taylor. Tempat tinggalnya di North Hollywood. Gerald ada dua, kedua-duanya dekat Pasadena. Lalu Martha ada tiga, dengan tempat tinggal terpencar. Kita berempat. Jadi kurasa sebaiknya kita berbagi tugas dalam dua regu. Bob - kau seregu dengan Harry, karena dia membawa mobil. Aku seregu dengan Pete. Akan kutelepon Mr. Gelbert untuk minta disediakan Rolls-Royce kita." Orang yang disebut namanya itu manajer perusahaan Rent-n-Ride Auto Agency pemilik Rolls-Royce yang disupiri oleh Worthington.
"Kita hubungi orang-orang ini untuk melihat petunjuk apa yang bisa kita peroleh dari mereka, lalu setelah itu kita berkumpul lagi di sini. Bob, Mr. King, dan Miss Imogene merupakan bagianmu karena tempat tinggal mereka searah bagimu. Sedang aku bersama Pete mendatangi yang lain-lainnya."
"Lalu apa yang harus kutanyakan pada mereka?" tanya Bob.
"Tanyakan pada Mr. King, apakah Mr. Clock mengirimkan weker ini padanya. Begitu pula apakah ia mengetahui ada kertas berisi pesan direkatkan ke dasarnya. Kalau ia mengatakan tahu, apa yang kemudian dilakukan olehnya," kata Jupiter memberi instruksi. "Jangan lupa tanyakan kenapa kemudian dibuang. Sebaiknya kaubawa weker in untuk ditunjukkan padanya - apabila ia ternyata sudah lupa."
"Oke," kata Bob. "Lalu pada Miss Imogene, apa yang harus kukatakan padanya?"
"Bisa saja kautanyakan apakah Mr. Clock meninggalkan pesan tertentu,’ kata Jupiter. "Mungkin kau nanti juga perlu menunjukkan weker padanya. untuk meyakinkan dirinya bahwa kau berhak mengetahui pesan itu."
"Baiklah. Tapi bagaimana jika kalian nanti juga memerlukan weker ini, untuk diperlihatkan pada Gerald dan Martha?"
"Aku akan membawa jam yang bentuknya mirip dengan ini," kata Jupiter. "Kurasa kami nanti hanya perlu menyebutkannya saja, tanpa harus memperlihatkan. Walau begitu untuk berjaga-jaga, di tempat ini pasti ada beberapa weker tua yang mirip.
Jupiter melihat bahwa teman-temannya telah mengerti.
"Jadi semua sudah beres?" katanya lagi. "Kalau begitu kurasa kita berangkat saja sekarang. Bob - kau sudah bisa berangkat dengan Harry. Aku dan Pete masih harus menunggu Worthington datang dulu."
"Nanti dulu!" kata Pete dengan tiba-tiba. "Jupe - kau melupakan sesuatu yang sangat penting. Kita belum bisa berangkat sekarang."
Jupiter terkejap karena heran.
"Kenapa belum bisa?"
"Karena," kata Pete dengan tampang serius, "sekarang sudah saatnya kita makan siang."

Bab 9 Lagi-lagi Misteri
"Kurasa kita sudah hampir sampai," kata Bob sambil meneliti nomor-nomor rumah, sementara Harry mengemudikan mobil tua milik ayahnya menyusuri suatu daerah apik di bagian utara kota Hollywood "Ya betul! Itu dia nomor rumah Mr. King."
Harry memarkir mobil di pinggir jalan.
"Tinggal di sini pasti mahal," kata Harry, sementara mereka berdua menyusuri jalan batu yang melengkung menuju ke rumah yang hendak didatangi.
Bob mengangguk. Ia menjinjing tas yang berisi weker yang bisa menjerit. Dalam hati ia bertanya-tanya, mungkinkah barang itu benar-benar berasal dan rumah yang saat itu ditekan belnya.
Pintu terbuka. Seorang wanita menatap mereka dari dalam rumah. Orangnya sudah agak tua dan nampaknya banyak pikiran.
"Ya, ada apa?" tanya wanita itu. "Jika kalian ini hendak mengumpulkan sumbangan untuk pramuka, aku sudah memberikan sumbangan."
"Kami datang bukan untuk itu, Ma'am," kata Bob dengan sopan. "Kalau bisa, kami ingin bertemu sebentar dengan Mr. King."
"Tidak bisa. Ia sedang sakit. Selama beberapa bulan harus berbaring di rumah sakit"
"Wah - maaf, kami tidak tahu," kata Bob. Ia berpikir dengan cepat. Jika Mr. King selama itu di rumah sakit, tidak mungkin dia yang membuang weker ke tempat sampah. Tapi Bob tahu, Jupiter pasti takkan langsung mundur tanpa berusaha lebih lanjut. Karenanya Bob lantas memutuskan untuk bertanya lagi.
"Mr. King itu - nama julukannya Rex, Ma'am?"
Wanita itu menatap remaja yang berdiri di depannya. Ia memperoleh kesan bahwa Bob pasti anak baik-baik. Apalagi sikapnya sopan. Coba kalau tidak - pasti pintu sudah dibanting di depan hidungnya.
"Ya, memang begitulah julukannya," kata wanita itu kemudian. "Kenapa kau menanyakannya? Jika ini suatu keisengan -"
"Tidak, tidak - sama sekali tidak," kata Bob cepat-cepat "Kami ini sedang menyelidiki sebuah jam, Mrs. King. Sebentar, nanti saya perlihatkan barangnya." Dibukanya tas yang dijinjingnya dan ditunjukkannya weker yang ada di dalamnya. "Pernahkah Anda melihat weker ini?"
Bibir Mrs. King menipis.
"Jam itu lagi!" tukasnya marah. "Barang begitu dikirimkan pada suamiku! Apalagi ia sedang sakit. Jika ia sampai mendengar bunyinya pasti keadaannya akan bertambah parah. Habis, teriakan itu begitu menyeramkan!"
Bob dan Hariy berpandang-pandangan sejenak. Temyata mereka tidak keliru alamat.
"Kalau begitu Mr. Clock yang mengirimkannya pada Mr. King?" desak Bob.
"Bert Clock itu benar-benar keterlaluan, mengirimkan barang begitu pada suamiku!" tukas Mrs. King. "Hanya karena mereka pernah bekerja sama beberapa tahun yang lewat, sewaktu suamiku mengarang naskah sandiwara misteri untuk radio. Tanpa menduga apa-apa, aku menancapkan stekernya ke sambungan listrik. Tahu-tahu terdengar jeritan seram itu! Jantungku, nyaris copot karenanya. Aku langsung melemparkannya ke tempat sampah. Kenapa sekarang tahu-tahu bisa ada pada kalian?"
"Tukang sampah menjualnya pada salah seorang kawanku," jawab Bob. "Anda melihat tidak, pesan yang direkatkan pada dasamya?"
"Pesan?" Wanita itu mengerutkan kening. "Aku sama sekali tidak melihat pesan apa-apa. Aku memang langsung membuang barang itu keesokan harinya. Memang ada surat pendek dan Bert Clock yang menyertai, tapi surat itu juga kubuang."
"Mungkinkah Anda masih bisa mengingat isi surat itu?" tanya Bob. "Soalnya penting sekali!"
"Apa isinya? Anu - Bert Clock menulis, jika suamiku mau mendengar dan memperhatikan weker yang dikirimkannya, maka nasibnya yang buruk akan bisa berubah. Menurutku, itu omong kosong saja! Aku jengkel pada Bert Clock, kenapa sampai hati berbuat iseng terhadap suamiku yang di samping sedang sakit, juga pusing memikirkan utang-utang yang belum dilunasi sampai sekarang, karena ia menganggur terus sampai sekarang. Padahal mereka dulunya bersahabat karib. Aku tidak mengerti apa sebabnya Bert Clock berbuat begitu, menakut-nakuti kami dengan salah satu jeritannya yang menyeramkan."
Mrs. King mengerutkan keningnya lagi. "Kenapa kalian menanyakan segala hal ini?" tanyanya dengan nada curiga. "Apa sebabnya weker itu menarik bagi kalian?"
"Kami berusaha mengumpulkan segala keterangan yang bisa didapat mengenainya," kata Bob
menjelaskan. "Soalnya, Mr. Clock beberapa waktu yang lalu -yah, kita katakan saja tahu-tahu lenyap, dan menurut kami weker ini mungkin merupakan semacam petunjuk. Anda tidak memperhatikan dari mana weker ini dikirimkan, Mrs. King?"
"Tidak, itu sama sekali tak kuperhatikan. Aneh! Katamu, Bert Clock menghilang. Apa sebabnya -"
Saat itu terdengar bunyi dering telepon di dalam rumah
"Maaf, ada telepon! Yah - hanya keterangan itu saja yang bisa kuberikan. Selamat siang." Pintu ditutup lagi olehnya.
Bob memandang ke arah Harry yang selama itu berdiri di sampingnya.
"Nah begitulah jalannya pengusutan. Harry." katanya. "Lumayan juga banyaknya keterangan yang berhasil kita kumpulkan tadi. Aku tidak tahu apakah semua ada artinya - tapi tanpa dijelaskan oleh Jupe pun aku bisa mengatakan bahwa Mr. Clock mengirimkan weker ini pada Mr. King dengan alasan tertentu, walau ternyata bahwa Mr. King tidak sampai menerimanya karena sedang sakit dan tidak ada di sini. Mrs. King yang menerima mengira Mr. Clock hendak berbuat iseng terhadap suaminya dan karena itu lantas membuangnya ke tempat sampah. Mr. King mungkin tahu makna weker ini. Tapi kita tidak bisa menjumpainya saat ini. Jadi kita terpaksa mereka-reka sendiri jawabannya."
"Waduh!" kata Harry yang sementara itu semakin tertarik "Sekarang kita coba mendatangi Miss Imogene Taylor. Aku ingin tahu, keterangan apa saja yang bisa kita peroleh dan wanita itu!"
Temyata tidak banyak Miss Taylor itu wanita bertubuh kecil dan kelihatannya tidak bisa diam. Ia bertempat tinggal di sebuah rumah mungil di daerah Woodland Hills, beberapa mil di luar North Hollywood. Rumah itu letaknya nyaris tersembunyi di balik semak dan pohon-pohon pisang. Miss Taylor sudah beruban rambutnya. Dengan suaranya yang seperti kicauan burung serta kaca mata model kunonya yang berbingkai emas, Ia menimbulkan kesan seolah-olah merupakan tokoh dongeng.
Bob dan Harry diajaknya masuk ke ruang duduk yang penuh dengan koran, majalah, serta bantal-bantal hias yang macam-macam bentuknya. Ruangan itu kelihatannya acak-acakan, sehingga bisa diperkirakan bahwa kalau ada sesuatu yang dicari di situ pasti takkan bisa ditemukan. Tapi begitu mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Bob mengenai Mr. Clock serta pesannya, wanita yang sudah berumur itu menaikkan kaca matanya ke kening lalu mencari-cari di meja tulisnya, sementara mulutnya tidak henti-hentinya menyerocos dengan kalimat pendek-pendek yang diucapkan dengan diselingi
tarikan napas.
"My goodness!" ucapnya. "Ternyata ada juga yang datang. Kusangka pesan itu cuma untuk iseng saja. Lelucon Bert Clock. Di studio dulu ia paling suka iseng. Di studio radio, maksudku. Waktu itu kami semua ikut dalam acara-acara radio. Sejak itu aku kehilangan kontak dengannya. Sampai suratnya datang. Disertai selembar kertas berisi pesan. Suratnya mengatakan aku harus menyerahkan pesan itu pada orang yang datang menanyakan- apalagi jika menyebut-nyebut soal weker. Aduh - di mana lagi kutaruh kaca mataku tadi? Tanpa itu aku tidak bisa melihat"
Bob memberitahukan bahwa kaca mata itu ada di keningnya. Dengan cepat Miss Taylor menurunkannya ke batang hidung, sementara tangannya merogoh ke dalam sebuah tempat sempit untuk mengambil secarik kertas yang ada di situ.
"Ini dia!" katanya. Aku masih ingat bahwa aku menyimpannya di salah satu tempat. Temyata di sini kutaruh waktu itu. Kalau pun ini salah satu keisengan Bert lagi, aku mau saja meneruskannya karena kami dulu bersahabat karib. Tapi kalian masih begini muda! Tak mungkin pernah mendengar Bert beraksi di radio."
"Betul," kata Bob membenarkan. "Kami belum pernah berjumpa dengan dia. Tapi saat ini kami sedang mengusut yang Anda sebut keisengannya ini, dengan maksud hendak mengetahui maknanya. Terima kasih atas bantuan Anda, Miss Taylor"
"Ah, cuma begitu saja pakai terima kasih. Kalau kalian beijumpa dengan Bert, tolong sampaikan salamku padanya, ya. Wah, dia itu benar-benar penjerit jempolan! Orang dulu biasa sengaja menunggu siaran sandiwara karni. Judulnya, 'Jeritan Tengah Malam'. Ceritanya menyeramkan. Karangan Rex King. Rex jago kalau disuruh mengarang teka-teki, mengatur indikasi, misteri, dan sebangsanya. Ya, ya! Kalian mau minum teh? Tidak? Aku mengerti, kalau kalian harus cepat-cepat pergi lagi. Anak laki-laki memang biasa bergegas-gegas. Begitulah anak laki-laki."
Bob dan Harry menghembuskan napas panjang ketika sudah kembali berada dalam mobil.
"Huuuh," desah Hariy sambil nyengir. "Kusangka ia takkan pemah berhenti mengoceh. Tapi pokoknya kita berhasil menemukan pesan itu. Kita lihat saja bagaimana bunyinya."
Bob mengacungkan sampul surat. Sampul itu belum dibuka.
"Sebetulnya kita harus menunggu Jupe dulu," katanya. "Tapi - yah, kurasa kita bisa saja melihatnya sekarang."
Bob membuka sampul itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya, sementara Harry memperhatikan dengan sikap tidak sabar. Sesaat kemudian air muka kedua remaja itu berubah. Kelihatannya bingung setelah membaca pesan yang tertulis di kertas.

It’s quiet there even in a hurricane.
Just a word of advice, politely given.
Old English bowmen loved it.
Bigger than a raindrop; smaller than an ocean.
I'm 26. How old are you?
It sits on a shelf like a well-fed elf
Bob dan Harry menatap kertas berisi pesan itu dengan perasaan kecut. Mereka bingung menghadapi urut-urutan kalimat yang bunyinya begini,
Saat badai pun di situ tenang.
Hanya sepotong nasihat dengan sopan
Pemanah Inggris kuno menyukainya.
Lebih besar dari tetesan hujan lebih kecil ketimbang samudra.
Aku 26. Berapa umurmu?
Duduk di papan rak bagaikan peri montok.
"Ampun?" keluh Harry. "Apa lagi arti kata-kata itu?"

Bab 10 Terlibat dalam Kesulitan
Di daftar nama orang-orang yang dikirimi kartu ucapan selamat Natal yang ditemukan di tempat kediaman Mr. Clock ada tiga wanita bernama Martha. Ketiga-tiganya tinggal di daerah yang mengarah ke Pasadena. Dua alamat didatangi oleh Jupiter dan Pete, barulah ditemukan Martha yang dicari. Mrs. Martha Harris, seorang janda bertubuh germuk. Ia dulu aktris radio dan televisi. Tapi sekarang sudah pensiun.
Mrs. Harris gemar memelihara kucing. Bukan hanya seekor saja, tapi banyak. Semuanya kucing Siam. Binatang-binatang itu berkeliaran dengan bebas dalam kamar, sementara pemilik mereka duduk sambil bercakap-cakap dengan kedua remaja yang mendatanginya. Dua di antaranya - dua ekor kucing, bukan kedua remaja itu - duduk di lengan kursi besar tempat wanita itu duduk. Mrs. Harris berbicara sambil mengelus-elus kedua binatang itu.
"0 ya, tentu saja aku kenal dengan Bert Clock!" kata Martha Harris. "Aneh, kalian datang untuk bertanya mengenai dia. Tidak, sebetulnya tidak aneh, karena kurasa ia sudah memperkirakan akan ada orang datang. Kalau bukan begitu, ia takkan mengirimkan sampul itu untuk kuserahkan pada kalian!"
"Mr. Clock mengirimkan sampul surat pada Anda, Ma'am?" tanya Jupiter. "Kapan?"
"Nanti dulu -" Mrs. Harris mengingat-ingat sebentar. "Mestinya sekitar dua minggu yang lalu. Dalam surat yang ditujukannya padaku ia mengatakan, ‘Jika ada orang datang menanyakan pesan dariku, serahkan sampul ini dengan teriring berkahku. Semoga ia asyik dengannya."
Mrs. Harris merogoh ke dalam sebuah laci sambil mengusir seekor kucing yang merintangi. Ia mengeluarkan sebuah sampul lalu menyerahkannya pada Jupiter.
"Apa sih yang dilakukan Bert Clock sekarang?" tanya wanita itu. "Terakhir aku mendengar tentang dirinya, ia memperoleh harta sedikit lalu pensiun. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang spesialis menjerit memang sudah jarang diperlukan lagi, sejak siaran radio menurun kepopulerannya."
"Tidak banyak yang kami ketahui tentang dia," kata Jupiter. "Ia tahu-tahu menghilang, beberapa bulan yang lalu."
"Aneh!" kata Mrs. Harris. "Tapi Bert Clock itu memang dari dulu sudah selalu aneh. Tidak ada yang bisa menebak apa yang sedang dipikirkan olehnya. Kenalannya orang-orang aneh - joki, penjudi, dan macam-macam lagi seperti itu."
"Terima kasih atas kesediaan Anda menyimpankan sampul ini," kata Jupiter. "Yuk, Pete, kita harus pergi lagi."
Keduanya meninggalkan Mrs. Harris yang dikerumuni kucing-kucing kesayangannya. Mereka kembali ke tempat Worthington menunggu dalam Rolls-Royce.
"Sekarang kita lihat bagaimana bunyi pesan itu," kata Pete tidak sabaran.
"Kita masuk dulu," kata Jupiter sambil membuka pintu mobil. Ketika sudah berada di dalamnya, Jupiter membuka sampul. Di dalamnya ada secarik kertas, mirip dengan yang ditemukan oleh Bob dan Harry. Tapi pesan yang tertera pada kertas yang dipegang Jupiter lebih aneh lagi, karena sama sekali tidak berwujud kalimat-kalimat, melainkan urut-urutan angka belaka yang disusun dalam sekitar sepuluh sampai lima belas baris. Awalnya seperti berikut,
3-27 4-36 5-19 48-12 7-11 15-9
101-2 5-16 45-37 98-98 20-135 84-9
"Astaga!" seru Pete. "Dan segala angka-angka ini ada artinya?"
"Rupanya ditulis dalam bentuk sandi," jawab Jupiter. "Kita akan bisa memahami maksudnya, jika kuncinya sudah kita temukan. Tapi itu nanti saja kita tangani." Jupiter melipat kertas pesan itu dan mengantunginya. "Sekarang kita mencari Gerald. Dalam daftar penerima kartu Natal ada dua orang bemama Gerald. Yang tinggalnya paling dekat dan sini Gerald Cramer. Kita coba mendatanginya dulu."
Mobil berangkat setelah Jupiter menyebutkan alamat yang hendak dituju pada Worthington. Dalam perjalanan Jupiter sibuk berpikir. Ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Menurut Pete, kalau pun saat itu sudah ada kemajuan yang tercapai, yang jelas ia sendiri tidak tahu apa-apa. Tapi mungkin saja isi pesan berikut akan lebih banyak memberikan informasi.
Mobil Rolls-Royce mereka berhenti di depan sebuah rumah di daerah yang jelas tidak tergolong elit. Pete mengikuti Jupiter yang keluar dari mobil lalu berjalan menghampiri rumah.
"Karena dalam daftar ada dua Gerald, kemungkinan kita langsung menjumpai yang benar lima puluh persen banding lima puluh persen," kata Jupiter sambil menekan bel. "Tapi walau begitu - "
"Ya - mau apa?"
Seorang laki-laki membukakan pintu. Orangnya kecil. Jupiter saja masih lebih tinggi. Tubuhnya kurus, sedang tungkainya bengkok membentuk huruf 0 .
"Maaf - tapi kalau tidak salah, Anda kan kenal dengan Bert Clock" kata Jupiter. Ia bersikap pura-pura tidak menyadari tatapan mata curiga yang diarahkan laki-laki bertubuh kecil itu pada dirinya.
"Kenal Bert Clock? Siapa bilang aku kenal Bert Clock?" tukas orang itu. "Itu bohong! Aku sama sekali tidak pernah dengar apa-apa tentang Bert Clock. Aku tidak kenal padanya. Sekarang pergi!"
"Jangan buru-buru marah, Gerald sahabatku," kata seseorang memotong dengan nada suara sopan dan beradab. Dari dalam rumah muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berpotongan necis. Ia berdiri di belakang laki-laki yang disapa dengan sebutan Gerald. Rambut orang itu hitam berkilat. Ia berbicara dengan logat Spanyol.
"Apa sebabnya kau bertanya tentang seseorang yang dikenal dengan nama Bert Clock?" tanya laki-laki necis ito pada Pete dan Jupiter. "kurasa kalian kan bukan detektif?" Ia mengatakannya sambil tersenyum.
"Kami ini -" Pete tidak jadi meneruskan kata-kata yang hendak diucapkan karena Jupiter cepat-cepat rnenyenggolnya.
"Kami sedang berusaha mencari-cari pesan yang ditinggalkan Mr. Clock pada beberapa temannya," kata Jupiter pada laki-laki jangkung itu. Ia meninggalkannya dalam beberapa bagian. Satu di antaranya ada seorang temannya yang bernama Gerald. Menurut kami Gerald itu mungkin Gerald Cramer yang tinggal di sini, karena namanya ada dalam daftar teman-teman Mr. Clock yang dikirimi kartu Natal."
"Begitu. Menarik sekali," kata laki-laki jangkung itu. "Ayo, masuklah sebentar - mungkin aku bisa membantu. Temanku ini yang bernama Gerald Cramer. Aku minta maaf atas kekasarannya tadi. Ia banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya."
Pete dan Jupiter mengikuti kedua laki-laki itu masuk ke ruang duduk yang agak berantakan, lalu, duduk di situ.
"Aku tidak mengerti urusan ini Carlos," kata laki-laki yang bertubuh kecil sambil menggerutu. "Tapi pokoknya aku tidak suka!"
"Biar aku saja yang menanganinya," tukas orang yang disebut Carlos. Sambil menoleh ke arah Jupiter ia berkata, "Begini - kami ini bingung dan merasa tidak enak atas lenyapnya Bert Clock serta pesan aneh yang dikirimkannya pada Gerald. Kami ingin sekali mengetahui segalanya yang bisa kaukatakan tentang dirinya. Tahukah kau di mana ia sekarang berada?"
"Tidak" jawab Jupiter, "kami cuma berusaha mengusut jejak pesan-pesannya. Soalnya begini. Mula-mula kami secara kebetulan menemukan jam weker aneh yang dikirimkan Mr. Clock pada seseorang. Lalu -"
"Weker?" kata Carlos memotong. "Ada barang itu padamu sekarang?" Sambil bertanya matanya menatap tas kecil yang dijinjing Jupiter.
Jupiter mengeluarkan weker yang mirip sekali dengan yang asli dan bisa menjerit, lalu memperlihatkannya
"Ini tanda pengenal kami," katanya.
Laki-laki jangkung itu mengambil weker itu lalu mengamatinya dengan teliti.
"Kelihatannya biasa-biasa saja" katanya. "Sekarang mengenai pesannya. Bagaimana bunyinya?"
"Tidak begitu jelas," kata Jupiter. "Dikatakan agar bertanya pada Martha dan pada Gerald. Tapi tidak disebut apa yang harus ditanyakan pada mereka. Kami sudah berhasil menemukan wanita yang bemama Martha. Ia menerima sepucuk surat dari Mr. Clock beserta sebuah sampul tertutup yang dikatakan harus diserahkan pada orang yang datang menanyakannya. Setelah itu kami kemari. Karena Gerald Cramer merupakan nama selanjutnya yang tertera dalam daftar Natal Mr. Clock Apakah Mr. Cramer ml juga menerima pesan?"
"Memang betul," kata laki-laki yang bernama Carlos. "Tapi Bert agak lain pesannya pada Gerald. Ia menulis, sebelum pesan yang ada padanya diserahkan, ia terlebih dulu harus melihat pesan yang lain. Bolehkah saya melihat pesan yang diserahkan nyonya bernama Martha itu padamu?"
"Yah -"
Jupiter agak ragu. Tapi melihat Carlos menyodorkan tangan ia meraih ke dalam kantung lalu mengeluarkan kertas yang hanya berisi angka-angka berderet panjang. Carlos memperhatikan angka-angka itu. Dari air mukanya ketahuan bahwa ia kecewa.
"Hanya angka-angka belaka!" katanya. "Kelihatannya ini semacam sandi. Apa maknanya?"
"Kami juga tidak mengerti," jawab Jupiter "Saya mengharapkan akan bisa mengetahuinya dan isi pesan selanjutnya. Pesan yang ditinggalkan pada Gerald."
"Mungkin juga," kata Carlos sependapat. "Tapi mulai saat ini aku yang akan melanjutkan pengusutan. karena bukan kalian sebenarnya yang berhak atas weker serta pesan-pesan itu. Sekarang serahkan segala pesan lain yang mungkin masih ada padamu, supaya aku bisa menangani urusan ini selanjutnya."
"Kami tidak menyimpan pesan apa-apa lagi," kata Jupiter. Air mukanya menjadi agak pucat karena dilihatnya sikap Carlos dengan tiba-tiba berubah menjadi mengancam. "Kalau boleh kami minta weker itu kembali, beserta pesan tadi. Weker itu kepunyaan kami dan ini penyelidikan kami -"
"Ringkus mereka, Jerryl" perintah Carlos pada Gerald, "Kita harus menggeledah mereka - siapa tahu masih ada pesan lainnnya lagi pada mereka."
Dengan cepat laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan. Dengan lengannya yang berotot ia memegang tubuh Pete, sehingga remaja itu sedikit pun tidak bisa bergerak lagi.
Beberapa mil dan situ, Bob dan Harry juga sedang menghadapi kesulitan.
Mereka sudah pergi dan rumah Miss Taylor, dan saat itu sedang berada dalam mobil yang dikemudikan Harry. Maksud mereka hendak kembali ke Rocky Beach. Ketika tinggal satu mil lagi dan Rocky Beach, tapi masih berada di daerah berbukit-bukit yang termasuk pegunungan Santa Monica, Bob melihat ada mobil mengikuti. Mobil itu berwama biru tua dengan atap biru. Sebelum itu ia juga sudah melihatnya, yaitu ketika memasuki jalan itu, yang tidak banyak dilalui kendaraan. Tapi kini mobil yang di belakang itu nampak dengan cepat semakin mendekat.
"Harry!" kata Bob dengan sikap tegang "Kurasa kita dibuntuti orang. Mobil itu sejak tadi ada di belakang kita terus. Dan sekarang kelihatannya hendak menyusul."
"0, ya? Kita lihat saja apakah ia bisa!" kata Harry sambil menekan pedal gas.
Mobil tua itu melesat maju, mengambil tikungan dengan cepat lalu meluncur seperti peluru di suatu penurunan panjang.
Bob menoleh ke belakang. Mobil biru tadi melesat secara gila-gilaan, mengejar dengan cepat. Ketika jarak yang memisahkan tinggal sekitar seratus meter, jalan kendaraan itu agak diperlambat. Hany menekan pedal gas semakin dalam. Mobil tua kepunyaan ayahnya semakin laju jalannya sehingga sudah membahayakan penumpangnya. Tapi mobil biru tadi masih saja bisa menyusul dengan lambat.
Harry membelokkan mobil memasuki suatu tikungan dengan begitu cepat, sehingga kendaran itu nyaris saja terjungkir masuk jurang. Untung Harry cukup sigap. Ketika mobil sudah berhasil dikuasai kembali, ia berpaling pada Bob. Mukanya pucat pasi.
"Kemampuanku mengemudi tidak memadai untuk berpacu di daerah berbukit-bukit ini," kata Harry. "Siapa pun orang yang di belakang itu, jelas ia akan bisa mengejar kita."
"Sedikit saja lagi," kata Bob sambil berdoa dalam hati. "Kalau kita sudah memasuki Rocky Beach, orang itu pasti tidak berani mengejar lagi."
"Akan kucoba," kata Harry. "Kita berjalan di tengah saja - supaya ia tidak bisa menyusul."
Dengan nekat Harry mengendarai mobilnya di bagian tengah jalan yang sempit itu. Mobil biru yang mengejar sudah begitu dekat, sehingga hampir menyentuh bumper belakang. Bob menoleh ke belakang. Dilihatnya orang yang mengendarai mobil itu. Ia merasa seakan-akan pernah melihatnya. Tapi tidak tahu di mana.
Mobil yang dikemudikan Harry meluncur terus dengan laju di jalan sunyi itu. Kedua remaja itu sudah cemas sekali. Mereka ingin sudah bisa sampai di bagian yang menurun keluar dari bukit-bukit itu dan memasuki kota. Tapi kemudian Harry terpaksa membanting setir ke kanan karena harus mengelakkan lubang di jalan. Saat itu juga mobil yang ada di belakang maju sampai mendampingi lalu mulai mendesak mereka ke pinggir.
"Aku terpaksa berhenti! Kalau tidak, bisa hancur kita nanti!" teriak Hany. Ia menginjak rem. Mobil yang mendesak juga memperlambat kecepatannya. Bob memandang ke samping, berusaha mengenali pengemudi mobil yang mengenakan kaca mata hitam. Ia tidak tahu siapa orang itu - tapi rasanya seperti pernah melihatnya.
Harry menghentikan mobil. Kendaraan yang mengejar juga berhenti. Tapi tahu-tahu melesat maju dengan cepat, lalu menghilang di balik tikungan yang ada di depan.
"Kenapa jadi begitu?" tanya Hany bingung. Mula-mula ia mengejar kita, tapi sekarang tahu-tahu lari!"
Sesaat kemudian ketahuan juga apa yang menyebabkan tindakan aneh itu. Di kejauhan terdengar samar bunyi sirene yang makin lama makin mendekat. Sebuah mobil patroli polisi Rocky Beach berhenti di samping mereka Sirene berhenti berbunyi. Seorang polisi berwajah garang turun, lalu datang menghampiri.
"Coba kulihat SIM Anda!" bentaknya pada Harriy. ‘Aku sudah sering mengalami pengemudi yang gila-gilaan, tapi belum pernah kulihat yang berbuat seperti Anda tadi di daerah perbukitan ini. Kalau punya SIM pun, Anda kali ini tidak bisa bebas dari hukuman!"
Lanjut ke bagian 2