Trio Detektif - Misteri Gua Raungan(1)


 
MISTERI GUA RAUNGAN
Pesan Alfred Hitchcock
SELAMAT datang! Kita bertemu lagi dalam suasana misterius yang melibatkan ketiga remaja yang menamakan diri mereka TRIO DEKTEKTIF.
Tapi bagi yang mungkin belum mengenal mereka ini, baiklah kuperkenalkan dulu ketiga-tiganya. Mereka itu Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Semuanya tinggal di Rocky Beach, California - tidak jauh dari kota film yang termasyhur, Hollywood. Beberapa waktu yang lampau ketiga remaja itu mendirikan biro penyelidik, dengan nama "Trio Detektif". Tujuan mereka, menyelidiki setiap misteri yang timbul.
Pimpinan biro itu Jupiter Jones yang terkenal logis jalan pikirannya. Ia selalu berkepala dingin, dan tidak kenai kata menyerah dalam menghadapi teka-teki yang membingungkan. Ia didampingi Penyelidik Kedua, yaitu Pete Crenshaw. Kemampuan jasmani pemuda ini besar sekali manfaatnya dalam menghadapi situasi gawat. Sedang Bob Andrews, anggota ketiga, lebih cenderung bersikap tekun dan cermat. Ia bertugas menangani segi riset dan pencatatan fakta. ­Perusahaan mereka berkantor di sebuah home trailer - atau karavan - yang letaknya tersembunyi di kompleks penimbunan barang bekas yang diperjualbelikan paman dan bibi Jupiter. Semboyan mereka, "Kami menyelidiki apa saja!"
Dan kali ini mereka membuktikannya lagi. Mereka mendatangi suatu pertanian yang terletak di daerah pegunungan California, untuk menyelidiki sebuah gua yang meraung, bandit tersohor masa lampau yang bangkit dari kematian, serta beberapa kejadian yang sangat aneh di suatu lembah terpencil. Bagi yang cepat gugup, kunasihati agar berhati-hati saja!
­Alfred Hitchcock ­
Bab 1 Erangan dalam Lembah
"AAAAAA-ooouuu!"
Erangan menyeramkan itu menggema dalam lembah. Saat temaram senja menambah keseramannya.
"Itu dia - sudah mulai lagi," kata Pete Crenshaw berbisik -bisik.
Ia mengendap bersama kedua rekannya, Jupiter Jones dan Bob Andrews, di atas tebing yang tinggi. Letaknya terpencil di salah satu sudut tempat pertanian yang bernama Crooked- Y Ranch, hanya beberapa ratus meter saja dari Samudra Pasifik. Sekali lagi terdengar bunyi erangan seperti yang tadi.
"Aaaaaa-ooouuu!"
Bunyinya seperti lolongan panjang. Menegakkan bulu roma.
Pete bergidik. "Aku bisa mengerti sekarang, kenapa para pekerja pertanian itu tidak mau lagi datang kemari," katanya pada teman-temannya.
"Mungkin datangnya dari mercu suar yang nampak ketika kita menuju kemari tadi " kata Bob menduga dengan suara pelan.
"Mungkin itu gema bunyi sirene kabul" Jupiter menggeleng.
"Tidak, Bob," katanya. "Kurasa suara itu bukan dari mercu suar asalnya. Bunyi sirene kabut tidak begitu. Di samping itu, sekarang kan tidak ada kabut."
"Kalau begitu, apa -" Bob tidak menyelesaikan kalimatnya, karena tahu-tahu Jupiter sudah tidak ada lagi di sampingnya.
Penyelidik Pertama bertubuh gempal itu lari sambil merunduk-runduk ke arah kanan, menyusur tubir. Pete dan Bob cepat-cepat berdiri lalu menyusul. Matahari sudah hampir terbenam di balik celah pegunungan pantai. Lembah nampak seperti berselubung cahaya kelabu temaram. Sekitar lima puluh meter kemudian, Jupiter berhenti. Suara erangan terdengar kembali. Jupiter memperhatikan dengan seksama. Tangannya dicungkupkan di belakang telinga.
Pete memandangnya dengan mata membesar karena heran. "Sedang mengapa kau, Jupe?"
Pertanyaan itu tidak dijawab Jupiter. Ia berpaling, lalu berjalan sekitar seratus meter ke arah yang berlawanan.
"Apakah kita hanya akan mondar-mandir saja di tepi tebing ini, Jupe?" tanya Bob.
Ia pun heran melihat tindak-tanduk Jupiter yang nampak aneh itu. ­Sebelum temannya itu sempat menjawab, terdengar lagi suara erangan nyaring, mengambang dalam lembah.
"Aaaa-ooouuuu!"
Jupiter berpaling, menatap kedua rekannya.
"Tidak, Bob," katanya. "Eksperimen kita sudah selesai sekarang."
"Eksperimen?" kata Pete cepat. "Eksperimen yang mana? Kita dari tadi kan cuma mondar-mandir saja di sini!"
"Kita tadi sudah mendengar erangan itu dari tiga tempat di atas tebing ini," kata Jupiter menjelaskan. "Dalam pikiranku, aku menarik tiga garis lurus - yaitu dari tempat aku mendengarnya, ke arah dari mana suara itu kedengarannya berasal. Dan di mana ketiga garis khayal itu saling berpotongan, di situlah asal suara tadi."
Sekarang Bob mengerti. "Memang betul, Pete," katanya. "Itu ilmu ukur segitiga. Para pekerja teknik biasa memakainya."
"Tepat!" kata Jupiter. "Tentu saja aku tadi cuma bisa mengira-ngira saja. Tapi untuk keperluan kita, sudah cukup."
"Keperluan apa, Jupe?" tanya Pete. "Maksudku, kita sudah menemukan apa?"
"Kita kini mengetahui bahwa suara tadi pasti berasal dari gua yang ada di gunung sana," kata Jupiter sambil menuding "Gua El Diablo!"
"Aduh, Jupe - itu kan sudah dari semula kita ketahui." kata Pete agak kesal. "Kan sudah dikatakan oleh Mr. dan Mrs. Dalton."
Tapi Jupiter menggeleng. "Penyelidik yang bermutu tidak boleh begitu saja mempercayai laporan orang, tanpa meneliti kebenarannya. Saksi sering tidak bisa diandalkan keterangannya. Sudah berapa kali hal itu dikatakan Mr. Hitchcock pada kita."
Ketiga remaja itu berteman baik dengan Alfred Hitchcock, sejak mereka mencarikan rumah berhantu untuk sutradara kenamaan itu, untuk dijadikan lokasi pembuatan filmnya yang terbaru waktu itu.
"Kurasa kau benar, Jupe," kata Pete. "Mr. Hitchcock memang sudah membuktikan pada kita bahwa sebenarnya tidak banyak yang benar-benar dilihat saksi mata."
"Atau didengar," kata Jupiter menambahkan. "Tapi sekarang aku tidak ragu-ragu lagi. Suara erangan itu memang datang dari Gua El Diablo. Kini kita tinggal menyelidiki apa yang menimbulkan suara erangan itu, dan -"
Ia tidak menyelesaikan perkataannya, karena saat itu terdengar lagi suara erangan yang nyaring. Seram dan mengerikan bunyinya dalam kesuraman lembah yang mulai diselubungi kegelapan malam.
"Aaaaa-ooooouuuuuu!"
Kini bahkan Jupiter pun berdiri bulu tengkuknya. Bayang-bayang gelap nampak memanjang, merayapi dasar lembah. Pete meneguk ludah, tanda bahwa ia gugup. Atau mungkin juga ngeri! ­
"Mr. Dalton kan sudah tiga kali datang memeriksa gua itu, bersama sheriff," katanya. "Tapi mereka tidak menemukan apa-apa di sana."
"Mungkin itu suara binatang," kata Bob menduga. "Aku belum pernah mendengar suara binatang yang begitu," kata Jupiter.
"Lagi pula, kalau memang binatang, Mr. Dalton dan juga petugas keamanan yang menyertainya pasti menemukan jejaknya di sana. Mereka kan pemburu berpengalaman - ahli dalam melacak jejak binatang biasa. "
"Binatang biasa, katamu?" kata Pete dengan sikap gugup.
"Mungkin saja itu binatang yang tidak dikenal di daerah sini," kata Jupiter. "Atau mungkin juga," sambungnya dengan mata berkilat kocak, "mungkin juga itu El Diablo sendiri!"
"Jangan begitu dong!" seru Pete. "Kita kan tidak percaya pada hantu! Ya, kan?"
Jupiter tertawa nyengir. "Aku kan tidak menyebut-nyebut hantu!" katanya.
"Tapi El Diablo kan sudah mati, hampir seratus tahun yang lalu," kata Bob menyela. "Jika bukan hantu yang kaumaksudkan, Jupe - lalu apa maksudmu?"
Jupiter tidak sempat menjawab, karena tepat saat itu langit di atas lembah menjadi terang benderang. Nampak kilatan sinar kemerahan memancar. Bunyi ledakan seakan-akan menggetarkan seluruh lembah. Ketiga remaja itu berpandang-pandangan dengan mata terbuka lebar.
"Apa itu, Jupe?" tanya Bob.
"Entah - aku juga tidak tahu," jawab Jupiter sambil menggeleng.
Kilatan cahaya yang bertubi-tubi tadi menghilang. Gema bunyi ledakan lenyap dengan pelan. Tiba-tiba Bob menjentikkan jarinya.
"Aku tahu sekarang - itu Angkatan Laut!" katanya. "Kau ingat ketika kita kemari naik truk, Jupe? Kita kan melihat kapal-kapal Angkatan Laut sedang berlatih! Pasti sekarang mereka sedang berlatih menembak sasaran di Kepulauan Selat."
Pete tertawa lega. "Ya, betul," katanya. "Mereka memang biasa melakukannya, beberapa kali dalam setahun. Aku pernah membaca berita mengenainya di koran. Mereka menembaki sasaran pulau yang tidak ada penghuninya."
Jupiter mengangguk. "Memang - kemarin juga diberitakan dalam koran: Latihan menembak malam hari! Yuk - kita kembali ke ranch. Aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang lembah ini."
Pete dan Bob langsung setuju saja, karena saat itu lembah sudah benar-benar gelap. Ketiganya berjalan menuju ke sepeda-sepeda mereka yang ditaruh di tepi jalan tanah yang terdapat di sebelah belakang tebing. Tiba-tiba dari seberang lembah terdengar bunyi gemuruh, disusul suara jeritan panjang.

Bab 2 Si Tua
"ITU bukan erangan yang dari gua!" seru Pete.
"Betul," kata Jupiter sependapat. "Itu suara orang!"
"Orang yang dalam kesulitan!" kata Bob menambahkan. "Yuk, kita ke sana!"
Jeritan tadi datang dari kaki gunung yang menjulang di antara lembah dan tepi samudra. Gunung itu disebut Gunung Setan, karena puncaknya yang kembar berbentuk seperti tanduk di atas kepala. Bob, Jupiter, dan Pete berlari sekuat tenaga melintasi lembah, menuju kaki Gunung Setan. Di lerengnya berserakan tumpukan batu yang baru saja jatuh dari sebelah atas. Debu masih berhamburan di udara.
"Tolong!" Seruan itu lemah sekali.
Pete berlutut di samping seorang laki-laki yang rambutnya sudah ubanan. Orang itu terkapar di tanah. Tungkainya terputar dalam posisi tidak normal, tertindih batu yang longsor tadi. Mukanya mengernyit, menahan sakit.
"Jangan bergerak," kata Pete padanya. "Kami akan segera menyingkirkan batu-batu yang menindih. "
Pete berdiri lagi, sambil memandang Jupiter. "Kurasa kakinya patah," katanya. "Sebaiknya kita cepat-cepat mencari pertolongan."
Laki-laki yang tergeletak itu mengenakan pakaian usang. Potongannya seperti pekerja di tempat pertanian.
"Pergilah ke Crooked- Y Ranch," katanya. "Aku bekerja di situ. Katakan pada Mr. Dalton agar mengirimkan beberapa orangnya kemari!"
Anak-anak berpandang-pandangan dengan perasaan kecut. Ada lagi anak buah Mr. Dalton yang ditimpa kecelakaan! Bencana masih terus merongrong Lembah Raungan!
***
Mulanya hanya Pete sendiri yang datang ke tempat pertanian itu, untuk berlibur selama dua minggu di tempat suami-istri Dalton, yang baru saja membeli Crooked- Y Ranch. Jess Dalton, yakni Mr. Dalton, dulunya jago menunggang kuda liar, suatu acara pertandingan yang selalu meramaikan rodeo, di mana para penggembala sapi saling bertanding memamerkan kemahiran mereka menunggang kuda dan sapi jantan, serta menangkap anak sapi. Ia pernah beberapa kali bekerja dengan Mr. Crenshaw, ayah Pete, dalam pembuatan film-film petualangan dengan lokasi daerah barat benua Amerika.
Kemudian, ketika ia merasa mulai tua, Jess Dalton memutuskan untuk membeli usaha pertanian dengan uang simpanannya. Ia ingin pensiun. Orang yang sudah mulai tua, sebaiknya hidup lebih tenang. Jangan mencari-cari bahaya lagi, katanya.
Tapi ketika ia bersama istrinya baru saja mulai mengembangkan kembali usaha pertanian yang dibelinya dalam keadaan tak terurus, tahu-tahu kesulitan datang melanda. Lembah Raungan mulai mengerang lagi setelah setengah abad membisu. Nama aneh itu berasal dari cerita-cerita kuno bangsa Indian serta karena ada beberapa peristiwa seram semasa California masih merupakan jajahan bangsa Spanyol dulu. Suara erangan itu saja sudah menyebabkan para pekerja ketakutan - apalagi ketika kemudian terjadi kecelakaan secara beruntun-runtun.
Kecelakaan pertama terjadi suatu petang, ketika dua bawahan Mr. Dalton sedang berkuda dalam Lembah Raungan. Tiba-tiba mereka mendengar bunyi erangan aneh. Kedua kuda tunggangan mereka melonjak karena kaget, sehingga para pekerja itu terpelanting ke tanah. Satu di antaranya patah tangannya. Mereka kembali ke ranch sambil bercerita bahwa "ada sesuatu yang menyeramkan di dalam lembah".
Tidak lama setelah itu, ternak sapi tahu-tahu lari bercerai berai saat tengah malam, tanpa diketahui apa yang menjadi penyebabnya. Kemudian seorang pekerja bercerita bahwa ketika ia sedang berjalan saat senja dalam lembah, tiba-tiba ia melihat sosok tubuh yang besar sekali muncul dari Gua El Diablo, di kaki Gunung Setan.
Beberapa waktu kemudian dua orang pekerja lenyap tanpa meninggalkan berita. Walau sheriff yang menyelidiki kejadian itu kemudian mengatakan bahwa kedua orang itu ditemukannya di kota Santa Carla yang letaknya tidak begitu jauh dari situ, namun para pekerja yang lain tetap saja tidak mau percaya.
Dengan segera Pete menyadari bahwa suami-istri Dalton benar-benar pusing memikirkan segala rongrongan itu. Gua El Diablo diperiksa dengan cermat - tapi tanpa menghasilkan kejelasan. Tidak mungkin sheriff disuruh menguber hantu, atau legenda kuno. Ia sependapat dengan Jess Dalton, bahwa pasti ada keterangan yang biasa saja di balik kejadian misterius itu. Tapi sampai saat itu tidak ada yang berhasil menemukan keterangannya.
Akhirnya Pete memutuskan untuk memanggil kedua rekannya, Bob dan Jupiter, sambil menjelaskan bahwa di situ mungkin ada misteri yang bisa diselidiki Trio Detektif. Kedua temannya itu sama sekali tidak mengalami kesulitan ketika minta izin agar diperbolehkan menyusul Pete ke Crooked- Y Ranch. Sedang Mr. dan Mrs. Dalton sama sekali tidak menaruh keberatan atas kedatangan mereka. Tempat pertanian milik kedua suami-istri itu letaknya sekitar sepuluh mil dari Santa Carla, suatu kota obyek pariwisata yang modern. Tidak sampai seratus mil sebelah utara Rocky Beach. Daerah tempat pertanian itu merupakan wilayah pegunungan gersang, penuh dengan lembah dalam serta ngarai berliku-liku, dengan teluk-teluk kecil yang terpencil letaknya di pesisir Pasifik.
Orang tua Bob, juga paman dan bibi Jupiter, langsung setuju ketika kedua remaja itu minta izin pergi ke sana. Menurut mereka, itu kesempatan baik bagi keduanya untuk mengenal kehidupan di tempat pertanian, sambil bersenang-senang naik kuda, berenang-renang, dan memancing ikan di laut. Tapi bukan itu tujuan Bob dan Jupiter. Mereka bukan hendak menunggang kuda, berenang-renang, atau memancing di sana - melainkan menyelidiki misteri Lembah Raungan. Dan ketika sedang melakukan kegiatan itulah mereka kemudian menjumpai laki-laki yang tergeletak di tanah dengan tungkai tertindih batu.
"Lembah ini tempat yang terkutuk! Sungguh," gumam orang itu sambil menahan rasa sakit. "Kenapa aku masih juga datang kemari.... Erangan tadi itu - itulah penyebabnya!"
"Kurasa bukan," kata Jupiter bersungguh-sungguh. "Menurutku, getaran yang ditimbulkan oleh tembakan kapal-kapal perang tadi menyebabkan ada batu-batu menjadi longgar di atas sana, sehingga terjadi longsor. Lereng Gunung Setan ini terjal sekali, dan juga sangat gersang."
"Erangan tadi penyebabnya!" kata orang itu berkeras.
"Sebaiknya kita mencari bantuan saja," kata Pete. "Kita sendiri takkan mampu mengeluarkannya dari bawah batu-batu yang menindih ini."
Saat itu terdengar suara kuda meringkik. Jupiter berpaling ke arah suara itu, diikuti oleh Bob dan Pete. Nampak tiga orang berkuda menyusur punggung lembah, menuju ke tempat mereka. Seorang di antaranya menuntun kuda yang tidak ada penunggangnya. Penunggang kuda yang paling depan ternyata Mr. Dalton.
"Sedang mengapa kalian di sini?" tanyanya sambil turun dari pelana.
Mr. Dalton bertubuh jangkung. Langsing tapi kekar. Ia memakai kemeja berwarna merah nyala, celana blue jeans yang sudah lusuh, serta sepatu cowboy bertumit tinggi dan dihiasi ukiran. Kekhawatiran nampak membayang di wajahnya yang coklat dan berkerut-kerut terbakar sinar matahari. Anak-anak menjelaskan bagaimana mereka tadi sampai menemukan laki-laki yang cedera itu.
"Bagaimana, Cardigo?" tanya Jess Dalton. Ia berlutut di sisi anak buahnya yang masih terkapar.
"Kakiku patah," gumam yang ditanya, "dan lembah terkutuk ini yang menyebabkannya. Aku tidak mau lebih lama lagi berada di tempat ini."
"Kurasa tembakan-tembakan tadi melonggarkan batu-batu di atas tebing, sehingga menyebabkan longsor," kata Jupiter menjelaskan.
"Ya - pasti itu penyebabnya," kata Mr. Dalton. "Sekarang tenang sajalah dulu, Cardigo. Dengan segera kau akan kami bebaskan."
Tidak lama kemudian batu-batu yang menindih sudah berhasil disingkirkan. Anak buah Mr. Dalton yang dua lagi pulang sebentar untuk mengambil truk. Kendaraan itu dijalankan mundur sampai ke tempat longsoran. Kemudian Cardigo diangkat dengan hati-hati, dimasukkan ke bak belakang. Ia diangkut ke rumah sakit di Santa Carla, sementara Jupiter beserta kedua temannya bersepeda kembali ke ranch.
Hari sudah malam ketika mereka tiba di tempat pertanian dan menyimpan sepeda mereka. Di tempat itu ada lima bangunan: satu bangsal tempat para pekerja tidur, sebuah lumbung besar, satu lagi yang agak kecil, satu bangunan tempat memasak, dan bangunan utama tempat tinggal suami-istri Dalton Bangunan utama itu bertingkat dua. Bangunannya sudah tua, berkerangka kayu dengan dinding batu bata yang dibuat dari tanah liat. Rumah itu dikelilingi serambi lebar yang teduh karena dinaungi atap. Tanaman menjalar dengan bunga berbentuk corong merambati seluruh dinding, begitu pula semak bougainvillaea berbunga warna merah tua. Kompleks bangunan-bangunan itu dikelilingi kandang-kandang terbuka yang berpagar.
Ketika Pete dan kedua temannya datang, nampak para pekerja berdiri dalam kelompok-kelompok kecil di sekitar dapur. Rupanya mereka sedang membicarakan kecelakaan yang baru terjadi. Mereka bercakap-cakap dengan suara pelan. Tapi wajah mereka menampakkan rasa takut bercampur marah. Anak-anak hendak melangkah masuk ke bangunan utama.
Tiba-tiba mereka disapa oleh seseorang yang tidak langsung kelihatan. Suaranya berat dan bernada kasar. ­"Apa yang kalian lakukan di luar tadi?"
Anak-anak melihat ada gerakan di serambi yang gelap. Mereka mengenali sosok tubuh yang kecil tapi berotot. Mereka melihat wajah yang keras ditempa kehidupan yang selalu di alam terbuka. Wajah Luke Hardin, mandor yang mengepalai para pekerja di situ.
"Ranch ini sangat luas." kata mandor itu pada mereka. "Orang gampang sekali tersesat di sini."
"Anda tidak perlu mengkhawatirkan kami," jawab Jupiter. "Kami sudah biasa di alam bebas dan di daerah pegunungan."
Mandor itu maju selangkah. "Aku sudah mendengar apa yang kalian lakukan tadi. Kalian ke Lembah Raungan! Tempat itu tidak cocok untuk anak-anak! Kalian jangan ke sana!"
Sebelum anak-anak sempat mengatakan apa-apa, pintu rumah terbuka. Dari dalam muncul seorang wanita bertubuh kecil tapi gesit. Rambutnya sudah penuh uban, sedang kulit mukanya coklat terbakar matahari.
"Jangan mengoceh, Luke!" tukas wanita itu. "Mereka ini bukan anak-anak kecil. Mereka rasanya lebih mampu memakai akal sehat, dibandingkan dengan dirimu!"
"Lembah Raungan bukan tempat yang baik, Mrs. Dalton!" kata Luke Hardin berkeras.
"Orang dewasa seperti kau - masa takut dengan gua!" kata Mrs. Dalton mencemooh.
"Bukannya takut," kata Hardin lambat-lambat. "Aku juga tidak takut menghadapi kenyataan. Aku orang sini, sejak lahir. Sewaktu kecil pun aku sudah mendengar tentang Lembah Raungan. Dulu aku tidak pernah mau percaya pada cerita-cerita itu. Tapi sekarang - aku tidak tahu!"
"Omong kosong! Itu kan cuma takhyul kuno - dan kau juga tahu!" kata Mrs. Dalton.
Ia mengucapkannya dengan sikap tegas. Tapi walau begitu tak dapat disembunyikannya nada gelisah yang membayang dalam suaranya.
"Menurut Anda, apakah yang menyebabkan terdengar suara erangan itu, Mr. Hardin?" tanya Jupiter. Mandor itu memandangnya dengan mata terpicing.
"Entahlah, Nak," katanya serius. "Aku tidak tahu. Orang lain juga tidak ada yang tahu. Kami sudah memeriksa, tapi tidak menemukan apa-apa di sana. Setidak-tidaknya - yang bisa dilihat."
Mata mandor itu seakan-akan bersinar dalam gelap. "Menurut kata orang-orang Indian, tidak ada yang bisa melihat Si Tua!"


Bab 3 Keterangan tentang El Diablo
"LUKE!" seru Mrs. Dalton, menyuruhnya diam.
Tapi mandor itu keras kepala. "Aku tidak mengatakan bahwa aku percaya pada cerita-cerita itu. Tapi kita kan harus menghadapi persoalan seperti apa adanya! Gua itu mulai mengerang-erang lagi, tapi sampai sekarang belum ada yang berhasil menemukan apa-apa yang bisa menjelaskan timbulnya. Kalau bukan Si Tua, lalu apa menurut Anda?"
Setelah itu Luke Hardin turun dari serambi, menuju ke bangsal tempat para pekerja.
Mrs. Dalton menatap orang yang pergi itu dengan wajah yang mencerminkan kegelisahan. "Kurasa kita semua sudah terpengaruh," katanya kemudian. "Luke itu sebenarnya sangat tabah. Belum pernah kujumpai orang setabah dia. Aku belum pernah mendengarnya berbicara seperti ini."
"Aku ingin tahu, apa sebabnya ia tahu-tahu berbicara tentang Si Tua dengan kita," kata Jupiter sambil merenung.
Mrs. Dalton tersenyum dengan tiba-tiba.
"Kurasa Luke cuma capek saja," katanya. "Kita semua merasa gelisah, di samping sangat repot bekerja. Nah - bagaimana jika untuk kalian kuhidangkan susu hangat dengan. kue-kue?"
"Boleh saja, Ma'am!" jawab Pete dengan cepat, mewakili kedua temannya.
Tidak lama kemudian mereka sudah asyik makan kue sambil minum susu di ruang duduk yang nyaman dalam ruang pertanian tua itu. Permadani Indian yang berwarna-warni terhampar menutupi lantai, di bawah kursi dan meja sederhana yang dibuat dengan tangan. Satu sisi ruangan itu hampir penuh dengan pendiangan besar dari batu. Di dinding dipajang kepala-kepala rusa, beruang, dan singa gunung yang sudah diawetkan.
"Si Tua itu sebenarnya apa, Mrs. Dalton?" tanya Jupiter sambil meraih sebuah kue lagi.
"Ah - cuma legenda kuno orang Indian saja, Jupiter. Zaman dulu, ketika orang Spanyol baru datang kemari, orang-orang Indian penghuni daerah ini mengatakan bahwa dalam gua di Gunung Setan ada hantu hitam mengkilat, yang mereka namakan Si Tua. Kata mereka, tinggalnya dalam suatu telaga, jauh di dalam gua."
Mata Pete terkejap. "Tapi jika tidak ada yang bisa melihat Si Tua itu, dari mana mereka tahu bahwa ia hitam mengkilat?"
Mrs. Dalton tertawa. ­"Nah - betul, kan? Cerita itu memang tidak masuk akal! Kurasa dulu pernah ada orang yang merasa seperti melihatnya, lalu ia bercerita pada teman-temannya. Begitu seterusnya – turun-temurun. "
"Lalu bagaimana reaksi orang Spanyol?" tanya Bob.
"Itu kan zaman dulu," kata Mrs. Dalton lagi. "Orang-orang Spanyol itu sebenarnya juga percaya pada yang bukan-bukan. Mereka mengatakan tidak percaya - tapi kalau tidak benar-benar terpaksa, mereka tidak pernah mau pergi mendekati lembah itu. Hanya yang paling tabah saja di antara mereka, El Diablo - hanya dialah yang berani masuk ke gua."
"Bisakah Anda bercerita sedikit tentang El Diablo?" kata Jupiter meminta.
Saat itu Mr. Dalton masuk bersama seorang laki-laki bertubuh kecil kurus dan berkaca mata tebal. Anak-anak sudah berjumpa sebelumnya dengan orang itu. Namanya Profesor Walsh, tamu keluarga Dalton.
"Kudengar kalian tadi ke Lembah Raungan yang misterius itu, Anak-anak," kata Profesor.
"Ah, misterius. Apanya yang misterius! Itu kan cuma omongan orang saja!" tukas Mr. Dalton. "Apa yang terjadi di sana, bukan barang asing di tempat pertanian yang mana pun. Cuma kecelakaan biasa saja."
"Anda memang benar," kata Profesor Walsh, "tapi sayangnya anak buah Anda tidak mau percaya. Orang yang berpendidikan rendah lebih cepat percaya pada hal-hal gaib, dan tidak mencari penyebabnya pada keteledoran diri sendiri."
"Coba kita bisa menemukan penyebabnya, lalu menunjukkannya pada mereka," kata Mr. Dalton. "Setelah kecelakaan tadi, pasti ada lagi bawahanku yang minta berhenti. Padahal Jupiter ini saja bisa melihat bahwa batu yang longsor terjadi karena getaran tembakan meriam kapal-kapal perang di lepas pantai."
"Maaf, Sir, " kata Jupiter memotong, "kami ingin membantu, jika kami bisa! Seperti mungkin sudah dikatakan oleh Mr. Crenshaw, kami cukup berpengalaman menghadapi kejadian seperti ini."
"Pengalaman?" kata Mr. Dalton mengulangi, sambil menatap ketiga remaja yang ada di depannya dengan pandangan tak mengerti.
Jupiter mengeluarkan dua lembar kartu dari kantungnya, lalu menyodorkannya pada Mr. Dalton. Petani jangkung itu mengamat-amati kedua kartu itu. Dibacanya tulisan yang tertera pada kartu pertama.
TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
? ? ?
Jupiter Jones....
Penyelidik Pertama Pete Crenshaw....
Penyelidik Kedua Bob Andrews...... Catatan dan Riset
Mr. Dalton mengernyitkan keningnya. "Jadi kalian ini penyelidik? Wah - bagaimana, ya? Jangan-jangan sheriff tidak suka jika ada anak-anak ikut campur."
Profesor Walsh memandang kartu itu. "Apa arti ketiga tanda tanya ini? Apakah kalian menyangsikan kemampuan kalian sebagai detektif?"
Nampak jelas bahwa profesor itu cuma bercanda saja, karena ia tersenyum. Bob dan Pete hanya nyengir, memberi kesempatan pada Jupiter untuk menjawab. Orang dewasa selalu bertanya tentang tanda tanya itu. Dan itu memang disengaja oleh Jupiter.
"Bukan begitu, Sir," katanya. "Ketiga tanda tanya itu lambang kami. Arti masing-masing tanda tanya itu pertanyaan yang belum terjawab, misteri yang belum terpecahkan, dan teka-teki yang menghendaki penyelesaian. Selama ini kami belum pernah tidak berhasil menjelaskan setiap teka-teki yang kami jumpai."
Kalimat terakhir diucapkannya dengan bangga. Tapi sementara itu Mr. Dalton sudah menyimak isi kartu berikutnya, yang berukuran lebih kecil dan berwarna hijau. Kecuali Jupiter, Bob dan Pete juga memiliki kartu serupa, dengan isi yang sama.
"Dengan ini dijelaskan bahwa pemegang kartu ini Petugas Remaja Pembantu Suka rela yang bekerja sama dengan Dinas Kepolisian Rocky Beach. Mohon agar pada yang bersangkutan diberikan bantuan seperti yang diperlukan, untuk mana kami mengucapkan terima kasih ­Samuel Reynolds - Kepala Polisi"
Profesor Walsh memandang kartu hijau itu dari balik lensa kaca matanya yang tebal.
"Wah - benar-benar mengesankan! Kalian memang memiliki tanda pengenal yang hebat," katanya. "Kalian memang lebih menunjukkan akal sehat malam ini, dibandingkan dengan sementara orang dewasa di tempat ini," kata Mr. Dalton beberapa saat kemudian. "Mungkin memang tiga remaja dengan pandangan segarlah yang kita perlukan guna menyelesaikan urusan yang sebenarnya omong kosong ini. Aku yakin, pasti ada penjelasannya yang sederhana! Jika kalian berjanji akan sangat berhati-hati jika ada di sekitar gua itu, akan kukatakan silakan menyelidiki!"
"Kami akan berhati-hati sekali!" seru ketiga remaja serempak.
Mrs. Dalton tersenyum. "Pasti ada keterangan yang biasa-biasa saja tapi tidak kita temukan selama ini," katanya.
Mr. Dalton mendengus. "Aku yakin, itu cuma angin yang menghembus lewat liang-liang tua yang ada di dalam. Cuma itu saja!"
Jupiter menyikat kue yang penghabisan. "Anda beserta sheriff sudah memeriksa seluruh gua itu, Sir?" tanyanya pada Mr. Dalton.
"Dari ujung ke ujung! Lorong-lorong di dalamnya banyak yang tersumbat reruntuhan batu yang disebabkan oleh gempa masa silam. Tapi semua lorong yang bisa kami masuki, sudah kami periksa dengan cermat."
"Waktu itu Anda menemukan sesuatu yang kelihatannya merupakan perubahan yang belum lama terjadi?" desak Jupiter.
"Berubah?" Kening Mr. Dalton berkerut, sementara ia berusaha mengingat-ingat "Sepanjang penglihatan kami, tidak ada. Ke mana sebenarnya arah pertanyaanmu, Nak?"
"Begini, Sir," kata Jupiter menjelaskan. "Erangan itu katanya kan mulai terdengar lagi sejak sebulan yang lalu. Sebelum itu sudah setengah abad tidak pernah terdengar. Jika penyebabnya angin, mestinya kan ada perubahan dalam gua, sehingga bunyi itu terdengar lagi sekarang. Maksud saya, kecil sekali kemungkinannya angin yang berubah."
"Nah - itu logika yang baik sekali, Dalton!" kata Profesor Walsh. "Kelihatannya ada kemungkinan anak-anak ini akan bisa menyibakkan misteri kita."
Jupiter melanjutkan penjelasannya, tanpa mengacuhkan ucapan Profesor Walsh. "Menurut keterangan yang saya dengar, suara mengerang itu juga hanya terdengar saat malam hari. Itu tidak mungkin, jika penyebabnya hanya angin. Sempatkah Anda memperhatikan, apakah bunyi itu terdengar setiap kali angin berhembus malam hari?"
"Tidak! Maksudku, suara itu tidak terdengar setiap kali ada angin malam-malam" Dari sikapnya nampak bahwa Mr. Dalton benar-benar mulai tertarik. "Aku sekarang mengerti maksudmu. Jika penyebabnya hanya angin, maka mestinya kita mendengarnya setiap kali angin menghembus saat malam hari."
Kemudian ia menyambung, "Tapi bisa saja angin serta keadaan cuaca tertentu."
Profesor Walsh tersenyum. "Atau bisa juga El Diablo yang muncul kembali!"
Pete kaget. "Jangan begitu ah, Profesor," katanya gugup. "Sebelum Anda, Jupe juga sudah mengatakan begitu!"
Profesor Walsh memandang ke arah Jupiter.
"Ia mengatakan begitu, ya?" kata laki-laki berkaca mata tebal itu. "Kau percaya bahwa hantu itu ada, Anak muda?"
"Kalau tentang hantu, tidak ada yang bisa tahu dengan pasti, Sir," sela Bob serius. "Tapi kami belum pernah menjumpai hantu yang benar-benar hantu."
"Begitu," kata Profesor. "Orang Spanyol yang tinggal di kawasan ini dulu selalu mengatakan bahwa El Diablo pasti akan datang lagi apabila bantuannya diperlukan. Aku sudah banyak melakukan riset mengenainya, dan aku tidak bisa mengatakan bahwa tidak mungkin ia muncul kembali. "
"Kata Anda tadi, riset?" tanya Bob.
"Profesor Walsh ini guru besar ilmu sejarah," kata Mrs. Dalton memberi penjelasan. "Ia berada di Santa Carla selama setahun, untuk keperluan riset khusus mengenai sejarah California. Mr. Dalton merasa bahwa ia mungkin bisa membantu kami menjelaskan teka-teki sehubungan dengan Lembah Raungan pada para pekerja kami."
"Sayangnya sampai sekarang belum berhasil," kata guru besar itu. "Tapi mungkin kalian ingin mendengar cerita tentang El Diablo secara lengkap? Aku berniat, ingin menulis buku tentang riwayatnya yang penuh semangat petualangan."
"Asyik!" seru Bob bersemangat.
"Ya, saya ingin lebih banyak tahu tentang dia," kata Jupiter sependapat Profesor Walsh duduk bersandar ke belakang, lalu mulai mengisahkan riwayat El Diablo serta petualangan terakhirnya yang terkenal. Ketika orang berkulit putih belum begitu lama menghuni kawasan California, daerah yang kini menjadi tanah pertanian milik suami-istri Dalton merupakan bagian dari Rancho Delgado. Tanah pertanian keluarga Delgado itu merupakan salah satu tanah hibahan yang paling luas, yang diberikan raja Spanyol waktu itu pada para pemukim bangsa Spanyol. Jumlah mereka yang datang ke California tidak banyak, tidak seperti para pendatang bangsa Inggris yang menghuni bagian ­timur Amerika Utara. Karenanya selama beberapa keturunan setelah itu Rancho Delgado tetap merupakan tanah milik pribadi yang luas sekali. Kemudian pemukim baru dari timur mulai memasuki kawasan California. Tanah milik keluarga Delgado semakin menyusut, karena dihadiahkan, tetapi juga karena direbut atau dicuri orang. Seusai peperangan antara Amerika Serikat melawan Meksiko, California menjadi daerah bagian Amerika Serikat. Semakin banyak saja orang Amerika berdatangan untuk bermukim di sana - apalagi setelah Arus Besar tahun 1849 yang terjadi ketika terbetik kabar bahwa di California ditemukan emas. Menjelang tahun 1880 hampir seluruh tanah milik keluarga Delgado yang semula begitu luas sudah tidak ada lagi, kecuali sisa yang sekarang merupakan tanah pertanian milik keluarga Dalton, termasuk Lembah Raungan. Delgado terakhir bernama Gaspar Ortega Jesus de Delgado y Cabrillo, seorang pemuda yang gagah berani dan dengan semangat berapi-api. Kebenciannya pada orang Amerika yang sudah bersemi sejak kecil, makin lama semakin merasuk ke dalam hatinya. Menurut pandangannya, mereka itu semuanya penjahat, yang mencuri tanah milik keluarganya. Pemuda Gaspar tidak banyak memiliki uang. Ia juga tidak mempunyai kekuasaan. Tapi idam-idamannya tetap membara dalam sanubarinya. Ia ingin membalaskan dendam keluarganya dan merampas tanah miliknya kembali. Ia memutuskan untuk menjadi pembela semua keluarga Spanyol-Meksiko yang sudah begitu lama bermukim di California. Ia menjadi orang buruan bersembunyi di bukit-bukit. Bagi orang-orang Spanyol, ia dianggap semacam tokoh Robin Hood. Sedang di mata masyarakat Amerika, ia tidak lebih dari penjahat biasa. Mereka menjulukinya El Diablo - yang berarti 'setan' - menurut nama gunung, di mana ia biasa bersembunyi dalam salah satu gua. Dua tahun lamanya ia dikejar-kejar. tanpa pernah bisa ditangkap. Ia merampas uang pajak. menakut-nakuti para petugas yang mengumpulkan pajak. Dirampoknya kantor-kantor pemerintah setempat. Pendek kata, ia dapat dikatakan menolong orang-orang Spanyol yang tinggal di California. Sedang masyarakat Amerika dirongrong terus olehnya. Akhirnya, tahun 1888 El Diablo berhasil ditangkap petugas keamanan, atau sheriff daerah Santa Carla. Ia diajukan ke pengadilan, yang menurut pendapat warga California asal Spanyol merupakan pengadilan pura-pura saja. El Diablo kemudian dijatuhi hukuman gantung. Tapi dua hari sebelum hukuman itu dilaksanakan, ia dibantu beberapa orang temannya melarikan diri secara nekat waktu siang hari. El Diablo lari lewat atap gedung pengadilan, melompat beberapa meter ke atap bangunan lain, dan kemudian melompat lagi ke punggung kuda hitamnya yang sudah disiapkan di bawah. Dalam usaha pelarian itu El Diablo menderita luka. Ia memacu kudanya ke gua tempat persembunyiannya di Lembah Raungan, sementara polisi mengejar dekat sekali di belakangnya. Sheriff beserta anak buahnya menjaga semua jalan keluar yang mereka ketahui. Tapi mereka tidak masuk ke dalam lembah. Mereka berpendapat bahwa El Diablo pasti akan keluar dengan sendirinya apabila sudah terlalu lapar. Atau apabila sudah tidak kuat lagi menahan sakit yang diakibatkan karena lukanya. Beberapa hari mereka mengepung Lembah Raungan. Tapi El Diablo tidak muncul-muncul. Namun sementara menunggu di luar, mereka mendengar suara erangan aneh. Datangnya seakan-akan dari dalam gua di gunung. Erangan itu terdengar jelas sekali - mirip raungan. Sheriff dan juga anak buahnya tentu saja mengira bahwa yang mengerang-erang itu penjahat yang mereka kejar, yang meraung kesakitan. Akhirnya para pengejar diperintahkan masuk ke dalam gua. Empat hari lamanya mereka memeriksa setiap liang dan sudut yang ada di situ. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Mereka juga memeriksa seluruh lembah. Tapi jejak El Diablo tetap tidak berhasil ditemukan kembali. Ia lenyap tak berbekas - baik tubuh, pakaian, senjata, kuda, mau pun uangnya tahu-tahu menghilang dengan begitu saja. Sejak itu tidak ada orang yang pernah melihatnya lagi. Ada yang mengatakan bahwa Dolores de Castillo, kekasih El Diablo yang setia, masuk ke dalam gua itu lewat jalan rahasia dan membantunya melarikan diri, lalu bersamanya memulai hidup baru di Amerika Selatan. Ada pula yang mengatakan bahwa sahabat-sahabatnya yang menyelundupkan El Diablo ke luar, menyembunyikannya secara berpindah-pindah dari rancho yang satu ke rancho berikut selama bertahun-tahun. ­Tapi waktu itu sebagian besar orang berpendapat bahwa El Diablo tidak pernah keluar dari gua tempatnya bersembunyi. Ia masih bersembunyi di suatu tempat yang tidak bisa ditemukan orang Amerika. Dan - sampai sekarang ia masih ada di situ! Selama bertahun-tahun, setiap kali ada peristiwa perampokan atau tindakan kekerasan yang misterius dan tidak berhasil diselidiki, banyak orang yang mengatakan bahwa itu pasti perbuatan El Diablo, yang masih berkeliaran malam-malam menunggang kuda hitamnya. Sedang suara erangan masih terus terdengar di dalam gua, yang kemudian dikenal dengan nama Gua El Diablo. "
"Kemudian, tahu-tahu suara erangan itu lenyap," kata Profesor Walsh mengakhiri kisahnya. "Menurut penduduk sini yang keturunan Spanyol, El Diablo sudah capek dan tidak lagi melakukan serangan-serangan mendadak. Tapi ia masih tetap ada dalam gua, menunggu saat bantuannya benar-benar diperlukan!"
"Bukan main." kata Pete terkesan. "Jadi ada orang yang beranggapan bahwa ia masih ada dalam gua itu. Profesor?" "
Mana mungkin?" kata Bob sangsi.
"Yah," kata Profesor Walsh, "sudah banyak sekali hasil risetku tentang El Diablo. Misalnya saja ini! Dalam lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan dirinya, ia nampak dengan pistol tergantung di pinggang sebelah kanan. Tapi aku yakin bahwa ia kidal!"
Jupiter mengangguk-angguk sambil merenung. "Kisah-kisah mengenai tokoh legendaris seperti dia. sering kali tidak sesuai dengan kenyataan," katanya.
"Tepat," kata Profesor Walsh. "Nah! Catatan resmi mengenai dirinya selalu mengatakan bahwa ia meninggal dunia dalam gua malam itu karena luka-luka yang dideritanya. Tapi aku mempunyai kebiasaan. yaitu meneliti catatan dengan seksama sekali. Aku kini yakin bahwa luka-luka itu tidak membahayakan jiwanya. Tahun 1888 itu El Diablo baru berumur delapan belas tahun. Jadi bisa saja ia masih hidup sekarang!"

Bab 4 Penyelidikan Dimulai
"ANDA jangan macam-macam, Walsh!" seru Mr. Dalton. "Kalau kata Anda tadi benar, itu kan berarti bahwa umurnya saat ini sudah lebih dari seratus tahun. Orang seuzur itu. mana mungkin masih berkeliaran ke mana-mana!"
"Kurasa Anda tidak bisa membayangkan bahwa orang berusia seabad pun masih bisa tangkas," kata Profesor Walsh dengan tenang. "Ada laporan tentang sejumlah pria penghuni daerah Pegunungan Kaukasus di kawasan selatan Uni Soviet, yang masih tangkas menunggang kuda dan berperang - walau usia mereka sudah seabad dan bahkan ada yang lebih tua lagi. Lagi pula, yang ada di sini ini kan cuma meraung-raung saja dalam gua."
"Betul, Sir," kata Jupiter.
"Kecuali itu mungkin juga bahwa El Diablo ternyata mempunyai keturunan," kata Profesor Walsh mengetengahkan pendapatnya lagi. "Bisa saja anak, atau bahkan cucunya yang saat ini hendak merintis karir seperti El Diablo dulu."
­halaman 40 & 41 hilang...
menarik sekali saat malam hari. Di daerah sini, di sepanjang tepi laut terdapat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hanya muncul saat malam hari."
Mr. dan Mrs. Dalton nampak terkesan mendengar kata-kata Jupiter. Kalau ia sudah berbicara dengan gaya begitu, tidak sedikit orang dewasa yang menyangka bahwa ia lebih tua. Tapi Bob dan Pete tahu bahwa niat Jupe yang sebenarnya bukan hanya hendak berjalan-jalan saja di pantai. Keduanya memaksa diri mengusir rasa mengantuk yang mulai menyerang.
"yah...," kata Mrs. Dalton agak sangsi.
"Kenapa tidak?" potong Mr. Dalton dengan nada memutuskan. "Malam memang belum larut, dan bisa kubayangkan kalian tidak ingin lekas-lekas tidur, karena ingin menikmati malam pertama di tempat pertanian."
Petani itu berpaling pada istrinya. "Biar sajalah, Martha. Lebih baik mereka berjalan-jalan ke pantai malam ini, karena mulai besok mereka akan kusuruh sibuk terus bekerja."
"Baiklah, kalau begitu." Mrs. Dalton tersenyum. "Sana, pergilah - tapi jangan sampai lewat pukul sepuluh, ya! Kami di sini selalu bangun pagi sekali."
Ketiga remaja itu tidak lama-lama lagi menunggu di situ. Mereka ke dapur membawa piring dan gelas masing-masing, lalu keluar lewat pintu belakang.
Begitu sudah berada di luar Jupiter langsung mengatur tugas. "Pete, kau ke lumbung sekarang. Ambil tali panjang yang kulihat tergantung di sana. Bob pergi sebentar ke kamar kita. Ambil kapur dan senter kita. Sementara itu aku akan mengeluarkan sepeda-sepeda kita."
"Kita akan ke gua, Jupe?" tanya Bob meminta ketegasan.
"Betul! Itu satu-satunya tempat yang tepat, apabila kita hendak menyelidiki misteri Lembah raungan. "
"Ke gua?" tanya Pete gugup. "Sekarang? Kenapa tidak kalau siang hari saja?"
"Suara erangan keras itu hanya terdengar saat malam hari," kata Jupiter menjelaskan. "Lagi pula, siang atau malam dalam gua kan sama saja gelapnya. Kecuali itu tidak setiap malam terdengar suara itu. Kita tahu, malam ini suara itu terdengar lagi. Jika kita tidak ke sana sekarang, mungkin kita harus menunggu berhari-hari lagi."
Kini kedua temannya berhasil diyakinkan. Dengan cepat mereka bergerak melakukan tugas masing-masing. Tidak lama kemudian ketiganya berkumpul lagi di pintu pagar. Pete mengikatkan tali panjang ke tempat barang di sepedanya. Kemudian mereka berangkat, melalui jalan tanah yang sempit. Hawa malam itu tidak dingin. Bulan sudah terbit. Cahayanya yang keperak-perakan menerangi jalan di depan. Areal tanah pertanian suami-istri Dalton terbentang sampai bermil-mil sepanjang pesisir Samudra Pasifik. Tapi pantai yang sebenarnya terletak di batik pegunungan yang membujur sebagai pembatas. Pegunungan cadas itu menjulang sunyi di bawah sinar bulan, sedang pohon-pohon yang berdaun hijau saat itu kelihatannya seperti jejeran hantu yang kelabu pucat. Sambil bersepeda, ketiga remaja itu mendengar bunyi ternak yang berkeliaran di padang-padang rumput, serta kuda yang meringkik dan mendengus-dengus, tidak jauh dari jalan yang sedang dilalui.
"Aaaaaa-oooouuuuu!"
Tiba-tiba saja suara menyeramkan itu terdengar, seperti mengambang di atas lembah. Pete dan Bob terlonjak kaget, walau sebenarnya sudah memperkirakan akan mendengar lagi suara itu.
"Bagus!" kata Jupiter berbisik-bisik. "Erangan itu belum berhenti."
Mereka menaruh sepeda masing-masing di tepi jalan, lalu mendaki ke tebing yang tinggi. Dari situ mereka melayangkan pandangan melintasi lembah yang diterangi sinar bulan, menatap ke arah mulut gua El Diablo yang nampak gelap di kejauhan.
"Aduh, Jupe," bisik Bob. "Setiap kali aku merasa seakan-akan melihat sesuatu bergerak-gerak di sana."
"Dan aku seperti mendengar bunyi," sambung Pete.
"Memang - tapi itu cuma perasaan kalian saja," kata Jupiter tegas. "Di lingkungan seram seperti tempat ini, bunyi yang biasa saja pun terdengar menakutkan. Nah, sudah siap semua? Coba kauperiksa senter kita sekali lagi, Bob."
Bob menyalakan senter-senter sebentar, sedang Pete menyandangkan gulungan tali ke bahu. Kapur pemberi tanda dibagi-bagikan.
"Gua bisa membahayakan jika kita tidak berjaga-jaga," kata Jupiter menjelaskan. "Risiko terbesar yang dihadapi ialah jatuh ke dalam celah yang tidak kelihatan, atau tersesat. Kita membawa tali untuk berjaga-jaga jika di antara kita ada yang nanti terjatuh. Sedang dengan memberi tanda pengenal dengan kapur, kita takkan mungkin tersesat. Kita harus bersama-sama terus. Jangan sampai berpisah."
"Apakah lintasan yang kita lalui perlu diberi tanda dengan tanda tanya?"
"Ya, betul," kata Jupiter. "Dan juga tanda panah, untuk menunjukkan arah kita."
Tanda tanya yang dibuat dengan kapur merupakan ciptaan Jupiter yang paling berguna. Ketiga remaja itu memakainya sebagai tanda jejak. Tanda tanya itu dengan jelas memberi tahu bahwa salah seorang dari mereka pernah ada di tempat itu. Kapur Jupiter berwarna putih, Pete biru, dan Bob memegang kapur berwarna hijau. Dengannya langsung bisa dikenali siapa yang membubuhkan tanda di suatu tempat.
"Nah - sudah siap kita sekarang?" kata Pete.
"Kurasa sudah," kata Jupiter. Ketiganya menarik napas panjang untuk meneguhkan hati, lalu mulai menuruni lereng tebing memasuki lembah.
"Aaaaa-ooouuuuu!"

Bab 5 Gua El Diablo
PETE menerpa Jupiter, sehingga Penyelidik Pertama Trio Detektif itu terlempar menjauhi mulut gua. Batu yang jatuh menghantam tanah dengan keras, tepat di tempat Jupiter tadi terpaku. Bob bergegas bangun kembali.
"Kalian tidak apa-apa?" tanyanya cemas.
Pete ikut berdiri. "Kalau aku, beres! Kau bagaimana, Jupe?"
Jupiter berdiri dengan gerakan lebih lambat. Ia membersihkan pakaiannya yang penuh debu. Tatapan matanya menerawang. Begitulah sikapnya jika sedang sibuk berpikir.
"Aku tadi tidak mampu bergerak. Reaksi mental yang sangat menarik," katanya seperti pada dirinya sendiri. "Apa yang kualami tadi seperti seekor binatang kecil yang seolah-olah menjadi lumpuh apabila ditatap ular. Binatang itu tidak bisa bergerak, sehingga dengan mudah dapat disambar. Padahal ada kesempatan lari!"
Bob dan Pete hanya bisa melongo saja, mendengar teman mereka itu dengan tenang menguraikan reaksi saat menghadapi kejadian yang nyaris mencelakakan dirinya. Sementara itu Jupiter menatap ke atas, memandang lereng gunung Setan yang diterangi cahaya bulan.
"Kelihatannya di atas banyak batu-batu besar yang longgar letaknya," katanya, "dan tanah lereng ini kering sekali. Kurasa di sini cukup sering ada batu yang jatuh. Tembakan meriam-meriam tadi sore mungkin menyebabkan banyak yang terlepas dari posisi semula."
Ketiga remaja itu mendekati batu yang jatuh tadi. Batu itu terhenyak ke dalam tanah, hanya beberapa meter saja dari mulut Gua El Diablo.
"Lihatlah! Di sini nampak ada bekas-bekas suatu!" kata Bob dengan tiba-tiba sambil menunjuk ke beberapa titik di batu. "Wah, Jupe - mungkin tidak ada yang mendorong batu ini, upaya menimpa kita?"
"Ini memang bekas-bekas sesuatu," kata Jupiter, setelah mengamat-amati batu itu dengan agak seksama. "Tapi itu sebenarnya tidak aneh."
"Kan tadi sewaktu jatuh, membentur batu-batu lain," kata Pete menegaskan.
"Kita tadi tidak melihat ada orang di atas," kata Bob.
Jupiter mengangguk.
"Tapi mungkin saja ada, tapi tidak ingin kelihatan oleh kita," katanya.
"Hih - kita kembali saja, yuk," kata Pete.
"Tidak, jangan - tapi kita harus lebih berhati-hati sekarang," kata Jupiter. "Setidak-tidaknya takkan ada batu jatuh menimpa kita dari ­atas gunung, apabila kita sudah masuk ke dalam gua."
Didahului oleh Jupiter, mereka memasuki gua Senter dinyalakan. Bob membubuhkan tanda tanya dan panah di tempat mereka masuk. Dengan bantuan sinar senter pun, mereka hanya bisa melihat lorong panjang dan gelap, lurus menuju ke perut Gunung Setan. Dinding lorong itu rata, sedang sisi atasnya lumayan tingginya sehingga Pete - yang paling jangkung di antara mereka bertiga - dapat berdiri tegak di situ.
Sekitar lima belas meter ke dalam, lorong itu lurus saja, dengan dinding batu yang rata. Kemudian ketiga remaja itu melangkah masuk ke dalam semacam rongga yang lapang. Cahaya senter disorotkan kian kemari. Rongga itu ternyata berupa ruang besar dan langit-langit menjulang tinggi di atas. Sisi sebelah belakangnya jauh sekali. Hanya samar-samar saja nampak.
"Seperti di emperan stasiun kota besar!" kata Bob kagum. "Belum pernah aku memasuki gua selapang ini."
Suaranya menggaung, kedengarannya seperti jauh sekali.
"Halo!" seru Pete.
Suaranya menggema kembali, dari berbagai arah. Anak-anak tertawa. Bunyinya juga menggema kembali.
"Halo!" seru Bob.
Sementara ia dan Pete asyik berhalo-halo, Jupiter pergi memeriksa rongga gua yang besar itu dengan bantuan cahaya senternya.
Tiba-tiba ia berseru, "Coba lihat ini!"
Di dinding sebelah kiri mereka nampak sebuah lubang gelap berukuran kecil. Lubang itu ternyata mulut sebuah liang, yang kelihatan seperti mengarah ke luar dari tempat itu. Anak-anak mengarahkan sorotan senter mereka ke dua sisi liang rongga yang luas itu. Banyak sekali lubang yang nampak. Paling sedikit ada sepuluh lorong yang mengarah lebih jauh ke dalam gunung.
"­Astaga!" kata Pete. "Lorong mana yang kita pilih sekarang?"
Lorong-lorong itu semuanya nampak sama saja. Tidak begitu tinggi, nyaris menyentuh kepala Pete jika ia berdiri. Sedang lebarnya sedikit lebih dari satu meter. Rupanya Gua El Diablo ini mempunyai sejumlah besar Jiang dan rongga," kata Jupiter sambil mengerutkan kening.
"Mungkin itu sebabnya El Diablo tidak bisa disergap para pengejarnya," kata Bob. "Begitu banyak liang-liang di sini, sehingga ia bisa bersembunyi dengan aman."
Jupiter mengangguk. "Kurasa memang itulah yang terjadi waktu itu," katanya.
"Aku kepingin tahu, bagaimana dulu bisa terjadi gua semacam ini," kata Pete bertanya-tanya, sambil memandang berkeliling dengan sikap terpesona.
"Umumnya karena erosi, yang disebabkan oleh air," kata Bob menjelaskan. "Aku pernah membaca mengenainya di perpustakaan. Gunung seperti ini terdiri dari bermacam-macam jenis batu. Ada yang keras, dan ada juga yang lebih lunak. Air yang mengalir kemari meluruhkan batu-batuan yang lebih lunak. Tentu saja tidak dengan segera. Kadang-kadang bisa memakan waktu sampai jutaan tahun. Zaman dulu, bagian yang luas dari daerah ini digenangi air."
"Keterangan Bob itu betul," kata Jupiter. "Tapi aku agak sangsi, apakah seluruh lorong yang ada di sini ini terjadi secara alamiah. Beberapa di antaranya kelihatan seperti buatan tangan manusia. Mungkin saja anak buah El Diablo."
"Atau para penambang, Jupe," kata Bob menyela. "Aku pernah membaca, bahwa mereka pernah mencari emas di sekitar sini."
Pete menyorotkan senternya masuk ke lorong yang satu, setelah itu lorong berikut. "Kapan kita mulai dengan pemeriksaan kita?" tanyanya.
"Kalau seluruh lorong ini kita periksa satu-satu, bisa memakan waktu berbulan-bulan," kata Bob. "Kurasa masing-masing lorong ini nanti masih bercabang-cabang lagi."
"Mungkin juga," kata Jupiter membenarkan "Tapi untungnya kita punya cara gampang untuk menentukan lorong mana yang tidak perlu kita periksa. Kita kan mencari sumber bunyi raungan. Jadi cukup bila kita memasang telinga di masing-masing mulut lorong, sampai kita temukan tempat dari mana suara itu datang."
"Eh - benar juga katamu itu!" kata Pete bersemangat. "Kita ikuti saja arah erangan itu."
"Tapi Jupe...," Bob nampak seperti bingung. "Mana bunyi itu? Aku tidak mendengarnya. Sejak kita masuk kemari tadi, aku tidak mendengarnya lagi!"
Ketiga remaja itu berdiri dengan diam-diam sambil menajamkan pendengaran. Mereka memperhatikan dengan seksama. Ternyata Bob benar rongga dalam gua itu sunyi. Sesunyi dalam kuburan!
"Jupe?" kata Pete. Ia gelisah. "Apa artinya ini?"
Jupiter menggeleng. Ia juga bingung. "Aku juga tidak tahu. Mungkin cuma kebetulan saja. Mungkin erangan itu akan terdengar kembali nanti."
Tapi sepuluh menit sudah berlalu, tanpa mendengar suara apa-apa di tempat itu.
"Aku ingat bahwa tadi masih terdengar, sesaat sebelum batu jatuh, Jupe," kata Bob. "Tapi setelah itu aku tidak begitu memperhatikan lagi."
"Ya - kita memang terlalu sibuk mempersiapkan diri untuk masuk kemari," kata Jupiter, "jadi tidak tahu pasti sejak kapan bunyi itu tidak kedengaran lagi."
"Wah," kata Pete, "lalu bagaimana sekarang?"
"Mungkin nanti akan mulai lagi," kata Jupiter berharap. "Mr. Dalton memang sudah mengatakan, suara erangan itu tidak teratur kedengarannya. Sekarang sambil menunggu, kurasa kita mulai saja memeriksa lorong-lorong ini satu demi satu."
Pete dan Bob menyetujui usulnya. Apa pun yang mereka kerjakan, masih tetap lebih baik daripada hanya berdiri saja di tempat gelap menyeramkan itu. Bob membubuhkan tanda tanya dan panah dengan kapur pada mulut lorong samping yang pertama. Setelah itu mereka bertiga masuk ke dalamnya. Dengan gerak berhati-hati mereka melangkah. Senter disorotkan dengan gerakan meneliti ke arah depan. Tahu-tahu lorong itu buntu, tak sampai sepuluh meter dari ujung depan. Buntunya tidak berupa dinding batu yang mulus, melainkan tumpukan batu yang jatuh dari sebelah atas.
"Mr. Dalton mengatakan bahwa lorong-Lorong ini banyak yang buntu, sebagai akibat gempa yang pernah terjadi dulu," kata Bob.
"Mungkinkah masih berbahaya sekarang?" tanya Pete. Ia nampak agak gelisah.
"Kurasa tidak," kata Jupiter. "Langit-langit lorong ini kelihatannya kokoh. Harus ada getaran keras sekali, barulah batu-batu di sini bisa berguguran. Dan itu pun hanya terjadi di tempat-tempat yang paling lemah. Gua ini sangat aman. "
Mereka kembali ke tempat awal. Setelah itu berturut-turut empat lorong dimasuki, setelah jalan masuknya diberi tanda dengan kapur. Keempat lorong itu ternyata buntu, berakhir pada tumpukan batu yang menghalang.
"Dengan cara begini kita cuma membuang-buang waktu saja," kata Jupiter kemudian. "Lebih baik kita berpencar. Masing-masing menyelidiki lorong yang berlainan. Kelihatannya semua cukup aman untuk dimasuki."
"Setiap lorong kita telusuri terus, sampai nampak ujungnya di tempat buntu," kata Bob mengusulkan. "Kecuali jika kemudian ternyata tidak ada runtuhan batu yang menghalangi."
"Ya, begitulah sebaiknya," kata Jupiter. "Jika salah seorang menemukan lorong yang kelihatannya tidak terhalang di tengah jalan, ia cepat-cepat kembali kemari - menunggu yang lain muncul lagi."
Dengan cepat masing-masing menyusup ke salah satu lorong, sambil menyorotkan senter yang dipegang ke arah depan. Lorong yang dipilih Jupiter ternyata hanya bagian yang pendek saja, dan merupakan liang yang terjadi secara alamiah. Kemudian sorotan senternya menerangi balok-balok kayu yang menopang dinding. Kelihatannya seperti dalam liang di pertambangan. Ia masih melangkah dengan hati-hati beberapa meter lagi, sambil meneliti dasar dan dinding liang. Tahu-tahu ia sampai di depan dinding yang menyumbat jalan selanjutnya. Dinding itu dari tanah bercampur batu. Ia berlutut, meneliti penghalang itu dengan lebih cermat Tahu-tahu ditemukannya batu kecil yang keras berwarna hitam. Aneh - batu itu lain sekali wujudnya dari batu-batu yang biasa nampak. Dikantunginya benda itu. Maksudnya akan diteliti nanti.
Saat itu terdengar suara berteriak, menggema dalam lorong.
"Jupe! Bob! Cepat – tolong!"
***
Saat itu Bob sedang berada di sebuah rongga besar, mirip rongga pertama yang mereka masuki. Lorong yang ditelusuri ternyata mengarah lurus ke rongga itu. Sesaat Bob hanya bisa berdiri saja dengan perasaan kecut, karena di situ pun nampak sejumlah lubang lorong yang selanjutnya. Ia baru saja memutuskan lebih baik kembali saja dulu ke rongga pertama dan menunggu teman-teman di situ, ketika tiba-tiba terdengar suara Pete berteriak.
Bob bergegas-gegas kembali ke pangkal lorong. Sementara itu Jupiter sudah lari sekencang-kencangnya menuju mulut lorong yang tadi dimasuki Pete. Tahu-tahu ada sesuatu yang melesat keluar dari kegelapan, menuju ke tempatnya. Sesaat kemudian ia sudah terkapar di lantai batu, tertindih sesuatu yang menggapai-gapai.
"Tolong!" Nada suaranya ketakutan, dekat sekali ke telinga Jupiter. Ia kaget. Itu kan suara Bob!
"Ini aku, Bob!" seru Jupiter. Saat itu juga gerakan liar tadi terhenti. Dua buah senter menyala
. "Aduh, kukira tadi ada sesuatu yang menangkapku," desah Bob dengan suara masih gemetar.
"Sangkaanku juga begitu tadi," kata Jupiter. "Kita rupanya panik, karena mendengar Pete berteriak -"
­Aduh, betul juga - Pete!" seru Bob.
"Ayo, cepat!" desak Jupiter. Kedua remaja itu lari ke dalam lorong yang tadi memasuki Pete. Lintasan itu rasanya lebih panjang daripada lorong-Lorong lainnya. Beberapa saat kemudian nampak sinar cahaya di depan. Itu sinar senter yang dinyalakan Pete.
"Aku di sini!" seru remaja itu.
Bob dan Jupiter mempercepat lari mereka. Semuanya masuk ke dalam suatu rongga lagi, yang lebih besar ukurannya. Pete berdiri di tengah ruangan itu, sedang sinar senternya disorotkan ke dinding sebelah kiri. Mukanya pucat.
"Ada... ada sesuatu di dalam situ!" katanya tergagap-gagap. "Aku tadi melihatnya. Hitam mengkilat."
Bob dan Jupiter mengarahkan sorotan senter mereka ke tempat itu. Tapi tidak kelihatan apa-apa di situ.
"Sungguh, aku tadi melihat sesuatu," kata Pete berkeras. "Ketika aku muncul dari lorong, aku mendengar bunyi sesuatu. Cepat-cepat kunyalakan senterku, dan aku melihat... aku melihat benda itu. Di situ, dekat dinding. Benda itu besar! Aku kaget sekali, sehingga senterku terlepas dari tangan. Ketika sudah kupungut dan kusorotkan lagi ke situ, benda itu tidak ada lagi!"
Bob memandangnya dengan sikap sangsi. "Jangan-jangan kau cuma gugup saja, Pete. Kita ini memang keliru - sebaiknya jangan berpencar."
Tapi sementara itu Jupiter sudah mendatangi dinding, di mana menurut Pete, ia tadi melihat sosok berwarna hitam mengkilat. Jupiter berlutut di tempat itu.
"Pete ternyata memang melihat sesuatu tadi, Bob," katanya. "Coba lihat ini."
Pete dan Bob bergegas menghampiri Jupiter yang masih tetap berlutut. Di depannya, di lantai batu, nampak sepasang jejak berwarna gelap. Jejak besar berbentuk lonjong, yang memantulkan sinar senter yang diarahkan ke situ.
"Apa..." Bob berhenti sebentar. "Apa itu, Jupe?"
"Jejak basah," kata Jupiter. "Kelihatannya seperti air - tapi mungkin juga cairan lain."
"Hii," kata Pete sambil meneguk ludah. Jupiter menyorotkan cahaya senternya ke lantai sekitar tempat itu. Tidak nampak bekas-bekas lain kecuali yang dua itu. Langit-langit juga kering sama sekali.
"Tempat lainnya tidak ada yang basah," kata Jupiter. "Pete benar - tadi memang ada sesuatu berdiri di sini. Sesuatu yang meninggalkan jejak basah."
"Jejak? Sebesar itu? Panjangnya hampir semeter!" seru Bob.
"Paling sedikit," kata Jupiter dengan nada serius. "Besar dan basah mengki!at. Semacam -"
"Monster!" kata Pete menyelesaikan kalimat temannya.
"Si Tua!" ucap Bob.
Ketiga remaja itu berpandang-pandangan Mereka merasa gugup. Mereka tidak percaya bahwa ada monster yang tak dikenal. Tapi di pihak lain, apa yang meninggalkan jejak basah sebesar itu?
Tahu-tahu mereka terkesiap, karena ada sorotan sinar terang benderang menyilaukan terarah pada mereka. Dari balik sinar itu terdengar suara kasar berseru, "Ada apa di sini?"
Sesosok tubuh datang lambat-lambat ke arah mereka. Sesosok tubuh bungkuk, berjanggut putih panjang tergerai liar. Orang itu menyandang senapan besar.


Bab 6 Lorong Berbahaya
LAKI-LAKI tua yang baru muncul itu menuding ke arah liang-liang gelap yang pangkalnya terdapat dalam rongga itu.
"Lorong-Lorong itu masuk jauh ke dalam gunung," katanya dengan suara tinggi serak. "Dengan gampang kalian bisa tersesat di dalamnya."
Matanya berkilat-kilat ketika mengatakan itu.
"Di sini kalian harus berhati-hati," ucapnya lagi dengan suara serak. "Harus benar-benar hapal - Ya, sungguh! Sudah tujuh puluh tahun aku hidup di sini, tapi belum pernah aku kehilangan kulit kepalaku. Tidak, belum pernah! Yang penting, di sini kita harus selalu waspada. Mengenal daerah dan siap menghadapi musuh."
"Kulit kepala?" Pete menatap laki-laki tua itu. "Anda berperang melawan orang Indian? Di sini?"
Laki-laki tua itu mengayun-ayunkan senapan kunonya.
"Indian!" sergahnya "Mau tahu soal indian, ha?! Seumur hidupku, aku hidup di tengah-tengah mereka. Mereka manusia yang baik - tapi lawan yang keras. Ya, sungguh! Dua kali aku hampir kehilangan kulit kepala. Daerah suku Ute dan suku Apache. Orang Apache suka menyerang dengan diam-diam. Tapi aku berhasil meloloskan diri."
"Kurasa di sini tidak ada lagi orang Indian," kata Jupiter dengan sopan, "dan kami takkan tersesat."
Tatapan mata laki-laki tua itu tiba-tiba terpaku pada ketiganya. Ia kelihatannya seperti baru saat itu melihat mereka secara sadar.
"Sekarang?" ujarnya. "Tentu saja tidak ada lagi orang Indian di sini sekarang. Kalian sinting, barangkali? Mestinya begitu, berkeliaran dalam gua ini. Kalian bukan orang sini, ya?" ia berbicara dengan suara biasa. sedang matanya tidak lagi menatap liar.
Bob yang paling dulu menjawab. "Betul, kami ini dari Rocky Beach."
"Saat ini kami tinggal di Crooked- Y Ranch, sebagai tamu keluarga Dalton," kata Jupiter menjelaskan.
"Anda ini...?" "Namaku Ben Jackson. Sebut saja Ben," kata laki-laki tua itu. "Di tempat keluarga Dalton, katamu? Ya, mereka orang baik-baik. Aku tadi sedang lewat di luar, ketika tiba-tiba aku merasa seperti mendengar suara berteriak minta tolong. Itu salah satu dari kalian, ya?"
"Betul," kata Jupiter. "Tapi kami bukan tersesat Kami selalu menandai jalan yang kami lewati, supaya bisa menemukan arah kembali."
"Jadi merintis jalan dengan meninggalkan jejak, begitu? Pintar juga kalian. Kurasa kalian pasti tamat jika mengembara waktu dulu di alam luas. Tapi apa sebetulnya yang kalian lakukan di sini?"
"Kami hendak menyelidiki asal-usul raungan," kata Bob menjelaskan.
"Tapi bunyi itu berhenti, begitu kami masuk kemari," kata Pete menambahkan.
Tiba-tiba laki-laki tua itu berubah sikapnya lagi, seolah-olah merunduk. Matanya kembali nampak berjaga-jaga. Perubahan itu terjadi dengan begitu tiba-tiba , sehingga anak-anak merasa seperti tahu-tahu berhadapan dengan orang lain, bukan Ben Jackson yang tadi lagi.
"Raungan, ya?" Suara laki-laki tua itu kembali mendengar bernada tinggi. "Kata orang, itu El Diablo yang muncul kembali. Tapi aku lain - menurutku, Itu Si Tua - ya, itu kataku."
"Si Tua sudah tinggal di dalam gua ini, lama sebelum manusia berkulit putih muncul di daerah ini," katanya meneruskan. "Waktu sama sekali tak ada artinya bagi Si Tua. Kalian jangan berani-berani masuk kemari, kalau tidak ingin ditangkap Si Tua. Jess Dalton - dia juga jangan mencoba-coba kemari. Sheriff, semuanya. Semuanya nanti ditangkap Si Tua!"
Suara laki-laki tua itu menggema dalam rongga gelap itu. Bob dan Pete memandang dengan gugup ke arah Jupiter, yang menatap Ben Jackson dengan penuh perhatian.
"Anda pernah melihat dia, Mr. Jackson?" tanya Jupiter. "Maksudku, Si Tua? Anda pernah melihatnya dalam gua ini?"
"Melihat dia?" Laki-laki tua itu terkekeh-kekeh. "Ya, aku pernah melihat sesuatu. Lebih dari sekali aku melihatnya."
Ia melihat berkeliling dengan sikap curiga, lalu tahu-tahu sikapnya berubah kembali. Tubuhnya menegak. Matanya cerah kembali, sementara nada suaranya biasa dan tenang lagi. "Kalian keluar saja sekarang bersamaku. Nanti kalian menjerit-jerit lagi kalau kutinggalkan!"
Jupiter mengangguk. "Kurasa untuk sementara sudah cukup banyak yang kami lihat," katanya. "Anda memang benar-benar gampang sekali orang tersesat di sini."
Laki-laki tua itu mengambil lentera listriknya. Sinarnya yang terang menyebabkan bayangan dalam gua gelap itu tidak begitu menyeramkan lagi kelihatannya. Tidak lama kemudian mereka sudah berjalan di luar, menuju lembah yang senyap. Laki-laki- tua itu mengantar mereka kembali ke tempat penaruhan sepeda. Sambil berjalan Jupiter menghadapkan telinganya ke arah gua. Tapi suara erangan tidak terdengar lagi. Anak-anak berpisah dari Ben Jackson, setelah mengucapkan terima kasih atas bantuannya tadi.
"Kalian ini pintar-pintar," kata laki-laki tua itu. "Cuma Si Tua lebih pintar lagi! Ia lebih pintar dari siapa saja! Lebih baik kalian berhati-hati. Bilang pada Jess Dalton, Si Tua selalu mengawasi - ya, sungguh!"
Ia tertawa terkekeh-kekeh, sementara Jupiter kedua temannya bersepeda pergi menyusur jalan tanah yang diterangi sinar bulan. Ketika membelok ke suatu tikungan. tiba-tiba Jupiter menghentikan sepedanya.
"Uhh!" dengus Pete, yang nyaris saja menabrak Jupiter.
Bob mengerem sepedanya. "Ada apa, Jupe?" tanyanya.
"Trio Detektif tidak kenal berhenti, sebelum tugas diselesaikan," kata Jupiter, yang sementara itu sudah membalikkan arah sepedanya dan kembali ke arah semula.
"Menurutku, lebih baik kita kembali ke ranch," kata Bob.
"Setuju," kata Pete cepat.
"Dua lawan satu, Jupe," desak Bob.
Tapi Jupiter sudah mengayuh sepedanya ke arah semula. Bob dan Pete memandang saja sesaat. Kemudian mereka menyusul, karena tahu bahwa jika Jupiter sudah ingin melakukan sesuatu, tidak mungkin bisa ditahan. Ia kemudian tersusul, sementara sedang mengintip dengan hati-hati ke balik tikungan jalan gelap itu.
"Aman," kata Jupiter. "Yuk, kita terus!"
"Mau apa kita sekarang, Jupe?" tanya Pete, Sementara yang ditanya turun dari sepedanya.
"Kita tinggalkan sepeda di sini, lalu berjalan kaki," kata Jupiter menjelaskan. "Kita harus hati-hati, jangan sampai kelihatan."
"Berjalan kaki ke mana?" tanya Pete ingin tahu.
"Jalan ini kulihat melingkar di kaki Gunung Setan, menuju ke pantai," kata Jupiter. "Aku ingin tahu, apakah ada jalan masuk lain dari arah laut."
Bob dan Pete mengikutinya dari belakang, menyusur jalan gelap. Bayang-bayang nampak di mana-mana dalam lembah malam itu. Sementara mereka berjalan, setiap kali mereka dikejutkan oleh berbagai wujud yang tersembul dari tengah kegelapan - pepohonan, batu-batu besar, serta parit-parit gelap.
"Ada tiga teka-teki yang kita alami malam ini," kata Jupiter sambit berjalan terus. "Pertama - apa sebabnya suara raungan tidak terdengar lagi ketika kita berada dalam gua? Ketika kita keluar lagi tadi, angin ternyata masih terus bertiup. Jadi lenyapnya suara itu bukan karena angin berubah."
"Maksudmu, ada hal lain yang menyebabkan bunyi itu berhenti?" tanya Bob.
"Pasti," kata Jupiter mantap.
"Tapi apa?" desak Pete.
"Mungkin sesuatu, atau seseorang yang melihat kita datang," jawab Jupiter. Ia meneruskan, "Kedua - Ben Jackson tadi nampaknya ingin sekali agar kita keluar dari dalam gua. Aku ingin tahu, apa sebabnya ?"
"Seram rasanya melihat perubahan dirinya yang begitu tiba-tiba,.' kata Bob. Ia bergidik, seolah-olah hendak menunjukkan bahwa ia betul-betul merasa seram.
"Ya." kata Jupiter sambil merenung, "ia memang aneh sekali. Seolah-olah dalam dirinya ada dua orang yang berlainan, yang hidup dalam masa yang berbeda. Entah kenapa. tapi aku tadi merasa bahwa ia sengaja bersikap begitu."
"Mungkin ia sungguh-sungguh mengkhawatirkan kita, Jupe," kata Pete. "Maksudku, jika ia benar-benar pernah melihat... Si Tua."
"Mungkin saja," kata Jupiter mengiakan. "Dan itu teka-teki kita yang ketiga - benda hitam mengkilat yang kaulihat tadi, serta jejak basah di lantai gua. Aku merasa yakin, tadi itu bekas air. Tentu saja ada kemungkinan bahwa di dalam gua itu ada semacam telaga. Tapi mungkin juga dari arah laut ada jalan masuk yang lain ke situ. Dan Itulah yang akan kita cari sekarang!"
Tidak lama kemudian mereka sampai di ujung jalan. Di situ ada pagar besi. Di balik pagar nampak dua jalan setapak. Satu menuju ke kiri. Sedang yang satu lagi ke kanan, menurun ke tebing batu. Jauh di bawah nampak pecahan ombak memutih di pantai. Jupiter mengajak kedua temannya memanjat ke seberang pagar. Mereka memandang ke bawah dari tepi tebing.
"Kita ke kanan, menuju arah gua," kata Jupiter. "Pete yang di depan, sedang aku paling belakang. Kita harus mengikat tubuh masing-masing dengan tali supaya aman, seperti biasa dilakukan pendaki gunung. Nanti kalau ada bagian yang nampaknya sulit dilalui, kita menyeberang satu demi satu."
Mereka mengikatkan tali yang dibawa ke pinggang. Setelah itu Pete berjalan di depan, menuruni jalan setapak. Di bawah nampak ombak memecah berulang kali menghantam batu-batu besar yang kemilau kena sinar bulan. Percikan air laut menghambur membasahi ketiga remaja itu, saat mereka lewat di bagian jalan yang rendah. Tiga kali mereka harus berpaling menghadap dinding tebing, lalu beringsut-ingsut maju meniti bagian yang sangat sempit. Akhirnya jalan itu menukik curam ke bawah.
Pete, Bob, dan Jupiter akhirnya sampai di pantai sempit berpasir putih. Tempat itu lengang. Tapi nampak tanda di mana-mana bahwa tempat itu biasa didatangi orang. Di mana-mana berserakan kaleng-kaleng bir yang sudah kosong, botol-botol limun, serta bekas-bekas piknik.
"Kita periksa sepanjang tebing ini, kalau-kalau ada semacam lubang di salah satu tempat," kata Jupiter.
Dinding tebing ditumbuhi semak belukar yang rapat serta pepohonan yang tumbuh kerdil. Di beberapa bagian tertutup batu-batu besar. Dengan bantuan sinar senter mereka, ketiga remaja itu memeriksa ke balik setiap semak dan batu. Tapi mereka tidak melihat ada lubang yang mungkin merupakan jalan masuk ke gua.
"Kurasa kita salah tempat, Jupe," kata Pete.
"Di tempat mana lagi kita harus mencari?" tanya Bob.
"Kan tidak ada yang berbicara tentang jalan masuk yang lain'" kata Pete menjelaskan maksudnya. "Dan kalau pun ada, kurasa pasti sulit sekali dicapai."
"Maksudmu, tempatnya bukan di pantai sini?" tanya Bob. "Tapi mestinya di dekat-dekat sini, karena yang kita lewati tadi itu satu-satunya jalan menuju ke bawah."
"Kurasa kau benar," kata Jupiter. "Kau ikut dengan aku, Bob - kita memeriksa sebelah kanan. Pete, kau ke kiri."
Batu-batu besar yang mengapit pantai sempit itu licin sekali, karena penuh dengan lumut dan rumput laut. Bob dan Jupiter harus berhati-hati sekali lewat di situ. Sementara itu Jupiter terus mengarahkan sorotan senternya ke permukaan tebing, mencari-cari lubang yang mungkin ada di itu. Akhirnya mereka tiba di suatu tempat. Mereka tidak bisa terus - kecuali jika mau terjun ke dalam air.
Dengan perasaan kecewa mereka sudah hendak berbalik, ketika tiba-tiba terdengar suara Pete berseru, "Aku sudah menemukannya!"
Jupiter dan Bob bergegas-gegas melewati batu-batu licin, lalu lari secepat-cepatnya menyusur pantai. Pete berdiri di atas batu besar yang pipih di ujung sebelah sana. Ketika sudah sampai di situ, Jupiter dan Bob melihat bahwa di dinding tebing ada lubang yang diapit dua batu yang besar sekali. Lubang itu sempit. Letaknya tidak sampai setengah meter di atas air.
"Aku mendengar bunyi erangan itu lagi," kata Pete. "Coba kalian dengar!"
Ia ternyata benar.
"Aaaaaaa-ooouuuuu!"
Suara itu seperti mengambang keluar dari dalam lubang. Bunyinya samar sekali, seperti berasal dari tempat yang jauh di sebelah dalam Pete menyorotkan senternya ke lubang yang baru ditemukannya itu. Lubang itu nampak gelap basah, dan sangat sempit. Kelihatannya dalam sekali menembus ke dalam gunung.

Bab 7 Berbagai Bunyi dalam Gelap
"SEMPIT sekali, Jupe," kata Pete gelisah. "Mana gelap lagi!"
"Mungkin juga buntu," kata Bob menduga.
"Tidak," kata Jupiter berkeras. "Ini pasti berhubungan dengan gua! Kalau tidak, mana mungkin bisa terdengar erangan itu di sini."
"Nampaknya sempit sekali," kata Pete sekali lagi dengan nada sangsi.
Jupiter berjongkok. Ia mengintip ke dalam lubang itu. "Kurasa asal kita berhati-hati, bisa saja kita masuk ke dalamnya. Bob! Kau yang paling kecil di antara kita bertiga. Kau dulu yang masuk sendiri. Tali ini kita ikatkan ke pinggangmu."
"Apa? Aku sendiri? Kenapa tidak bersama-sama saja ?"
"Itu cara yang keliru, Bob," kata Jupiter menjelaskan. "Apabila memasuki lorong yang belum dikenal, cara yang tepat ialah satu dulu masuk dengan tali, sementara yang lain-lain tetap di luar memegang ujung tali - siap menariknya ke luar lagi jika yang pertama masuk itu menjumpai bahaya. "
"Ya, betul!" kata Pete. "Dalam film-film tentang tawanan perang, apabila prajurit yang ditawan hendak melarikan diri lewat terowongan. mereka selalu mengikatkan tali ke pinggang orang yang pertama-tama masuk ke terowongan itu. Jika orang itu menyentakkan tali satu kali, teman-temannya lantas bergegas menariknya ke luar.
"Tepat!" kata Jupiter. Nadanya agak jengkel. Ia paling tidak senang apabila ada yang mengatakan gagasannya tidak asli - walau itu tidak dikatakan secara terang-terangan.
Ia berpaling pada Bob. "Ingat - tarik tali keras-keras, jika kau menjumpai kesulitan. Nanti kami menarikmu ke luar."
Bob sebenarnya belum merasa yakin. Tapi ia tidak takut mengambil risiko. Setelah mengikatkan ujung tali yang satu erat-erat ke pinggang, ia pun merangkak masuk dengan hati-hati ke dalam liang sempit itu. Di dalam dingin dan gelap. Sisi alas lubang itu rendah sekali, sehingga ia tidak mungkin berdiri situ. Sedang dinding kiri dan kanan terasa basah dan licin karena lumut laut Bob hanya bisa maju dengan merangkak, beringsut-ingsut. Senter disorotkan ke depan. Nampak beberapa ekor kepiting merayap pergi dengan cepat, teriring bunyi sepit bergeser di atas batu lembab. Setelah merangkak sekitar sepuluh meter dalam tahu-tahu sisi atas lubang mengarah condong sekali ke atas. Bob berdiri. Sinar senternya menampakkan bahwa liang yang sedang ditelusuri itu masih lurus menuju ke depan. Tapi kini sudah lebar dan kering, serta mengarah agak ke atas.
"Beres, Jupe! Pete! Kalian masuk saja sekarang," serunya sambil menoleh ke arah luar. Tidak lama kemudian kedua teman itu sudah berdiri di samping Bob.
"Di sini kering," kata Pete sambil memperhatikan tempat sekelilingnya.
"Bagian ini rupanya terletak di atas batas pasang naik," kata Jupiter. "Mulai dari sini aku akan memberi tanda di tempat-tempat yang kita lalui, sementara kau dan Bob memperhatikan arah bunyi erangan itu - supaya kita tidak salah jalan."
Mereka meneruskan langkah. Setiap lima meter Jupiter berhenti sebentar, untuk membuat tanda tanya dengan kapur putih di dinding liang. Setelah berjalan sekitar lima belas meter, mereka muncul di dalam sebuah rongga luas. Rupanya bagian dalam Gunung Setan penuh dengan rongga-rongga seperti itu. Di situ kembali nampak sejumlah mulut liang yang menuju ke berbagai arah. Ketiga remaja itu berpandang-pandangan dengan perasaan kecut.
"Nah! Lagi-lagi kita jumpai masalah yang sama," kata Pete.
"Gunung ini isinya cuma liang-liang melulu," kata Bob dengan nada putus asa. "Bagaimana kita bisa melacak asal suara itu?"
Tapi Jupiter ternyata tidak begitu memperhatikan rongga yang baru mereka masuki. Ia juga tidak meneliti mulut liang yang banyak di situ. Tidak! Ia memasang telinga.
"Kalian ada yang mendengar erangan itu, sejak kita masuk tadi?" tanyanya.
Bob dan Pete saling berpandang-pandangan.
"Wah - tidak," kata Bob kemudian.
"Ya, betul - sejak kita masuk ke dalam liang," kata Pete.
"Aku sama sekali tidak mendengarnya, selama aku merangkak-rangkak tadi," kata Bob lagi.
Jupiter mengangguk. Ia berpikir-pikir. "Begitu kita masuk, suara itu langsung berhenti. Ini mencurigakan! Kalau cuma sekali saja begitu, masih mungkin merupakan kebetulan. Tapi ini untuk kedua kalinya."
Pete bingung. "Menurutmu, mungkin kita melakukan sesuatu saat kita masuk ke dalam? Maksudku, barangkali kita mengubah sesuatu tanpa menyadarinya?"
"Itu satu kemungkinan," kata Jupiter.
"Kemungkinan lainnya - ada orang melihat kita," kata Bob. "Tapi mana mungkin kita kelihatan di pantai tadi? Di sana kan gelap sekali!"
"Terus terang, saat ini aku juga tidak mampu menjelaskan teka-teki ini," kata Jupiter sambil menggeleng-geleng. "Mungkin ini cuma -"
Ia tertegun. Ia mendengar sesuatu, yang saat itu juga didengar kedua temannya. Bunyi dering genta yang samar-samar di kejauhan, serta derap langkah kuda!
"Kuda!" seru Bob kaget.
Jupiter memutar kepala sambil mendengarkan baik-baik. Bunyi itu terdengar seakan-akan datang dari balik dinding gua.
"Dari - dari dalam gunung!" kata Jupiter tergagap.
"Mana mungkin, Jupe!" bantah Bob. "Pasti dari gua yang sebelah depan!"
Tapi Jupiter menggeleng. "Jika taksiranku benar, letak gua itu di sebelah kiri kita," katanya. "Kita menghadap ke sisi gunung - dan tidak ada lorong menuju ke sana!"
"Mungkin lebih baik jika kita cepat-cepat keluar saja sekarang," kata Pete.
"Kurasa Pete benar," kata Jupiter cepat-cepat. "Kita keluar!"
Ketiga remaja itu berdesak-desak ingin lebih dulu menyusup masuk ke liang sempit dari mana mereka tadi muncul. Pete yang lebih dulu sampai, lalu merangkak masuk, disusul oleh Jupiter dan paling belakang Bob. Mereka bergegas keluar dari liang, turun ke air yang sudah sampai setinggi lutut, merangkak naik ke atas batu besar yang datar, dan akhirnya terkapar di pasir pantai yang putih. Napas mereka tersengal-sengal.
"Dari mana bunyi itu tadi datang?" kata Bob kemudian, memecah kesunyian.
"Entahlah," kata Jupiter dengan sikap segan mengakui bahwa ia tidak tahu. "Tapi kurasa untuk malam ini, kita sudah cukup melakukan pelacakan. Kita pulang saja sekarang."
Bob dan Pete setuju sekali. Dengan segera mereka mengikuti Jupiter, berjalan mendaki jalan setapak yang menyusur ke atas. Ketika sudah hampir sampai di pagar besi di ujung atas tebing, tiba-tiba Jupiter berhenti. Nyaris saja Pete menubruknya, karena tempat itu sangat gelap.
"Kenapa sih, Jupe?" tanyanya kesal.
Jupiter tidak menjawab. Ia menatap ke arah puncak kembar Gunung Setan.
"Ada apa sih?" tanya Bob berbisik-bisik.
"Baru saja timbul suatu pikiran," jawab Jupiter lambat-lambat. "Lagi pula aku seperti melihat sesuatu bergerak di atas gunung, di mana –"
Saat itu terdengar lagi bunyi derap kuda serta deringan genta, memecah keheningan malam. Bob mengerang ketakutan.
"Itukah bunyi yang kita dengar ketika di dalam tadi?" bisik Pete.
"Kurasa, ya," kata Jupiter. "Bunyi itu rupanya meresap masuk ke bawah, lewat retakan-retakan pada batu gunung ini. Bunyi bisa terdengar jelas dengan cara rambatan seperti itu - sehingga menimbulkan kesan seakan-akan datang dari dalam gunung."
Mereka merunduk di balik semak lebat yang ada dekat pagar, sementara bunyi derap kaki kuda kian mendekat. Kemudian muncul seekor kuda besar berbulu hitam, di lereng Gunung Setan yang terjal. Kuda itu turun sambil menderap, dan lewat tidak jauh dari anak-anak yang masih tetap bersembunyi di balik semak.
"Tidak ada penunggangnya!" bisik Bob.
"Bagaimana jika kita coba menangkapnya," usul Pete.
"Lebih baik jangan," kata Jupiter. "Kita tunggu saja dulu."
Ketiga remaja itu merunduk lagi di balik semak. Tidak ada yang berbicara. Tiba-tiba Pete kaget, lalu menuding ke arah lereng gunung. Seorang laki-laki nampak berjalan dengan cepat menuruni gunung. Ketika lewat dekat semak tempat anak-anak bersembunyi, mereka melihat tampangnya dengan jelas. Orangnya tinggi, berkulit coklat. Hidungnya panjang, sedang di pipinya sebelah kanan nampak goresan kasar bekas luka. Matanya yang kanan ditutupi kain hitam!
"Kalian lihat penutup mata itu?" desis Pete.
"Belum lagi bekas lukanya," sambung Bob.
"Aku lebih tertarik pada pakaiannya," bisik Jupiter. "Nampak jelas bahwa ia memakai stelan untuk ke kantor. Dan kalau aku tidak salah lihat, ada pistol terselip di balik jasnya!"
"Bagaimana kalau kita pergi saja sekarang, Jupe," kata Pete gelisah.
"Ya, kurasa kita pulang saja sekarang," kata Jupiter. "Pengalaman malam ini benar-benar menarik!"
Tidak lama kemudian mereka sudah bergegas-gegas menuju tempat sepeda-sepeda mereka tadi ditaruh, sambil berulang kali menoleh ke belakang dengan sikap gelisah. Tapi mereka tidak melihat apa-apa lagi. Namun ketika sudah bersepeda keluar dari ujung Lembah Raungan, mereka mendengar suara raungan panjang.
"Aaaaaaa-oooooouuuuu!"
Ketiga-tiganya mempercepat lari sepeda mereka, ke arah ranch.

Bab 8 El Diablo!
KETIKA Pete terbangun, matahari sudah bersinar cerah. Ia memandang berkeliling dengan bingung, memperhatikan kamar yang asing baginya. Di manakah ia saat itu?
Kemudian terdengar ringkikan kuda di luar. Seekor sapi melenguh. Saat itu barulah Pete teringat bahwa ia ada di kamar tidur tingkat atas bangunan utama di tempat pertanian keluarga Dalton. Di Crooked-Y Ranch. Ia menjulurkan kepalanya ke samping pembaringannya yang merupakan bagian atas tempat tidur bertingkat dua. Ia memandang ke bawah, untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Jupiter. Tapi ternyata anak itu tidak ada di situ. Pete cepat-cepat duduk. Kepalanya membentur langit-langit kamar yang rendah.
"Aduh!" dengusnya.
"Sssst!" desis Bob dari pembaringannya di seberang ruangan, sambil menuding ke jendela.
Jupiter duduk bersila di lantai. Tubuhnya yang-hm- tidak langsing, diselubungi mantel mandi. Ia menghadapi selembar kertas lebar yang terhampar di lantai. Di tengah lembaran kertas itu terdapat empat buah buku yang saling ditumpukkan. Sedang di atas kertas nampak garis-garis bersimpang-siur, yang rupanya dibuat oleh Jupiter tadi. Pete memperhatikan barang-barang yang dihadapi oleh temannya itu. Kemudian disadarinya bahwa Jupiter membuat denah kasar dari Lembah Raungan. Tanda-tanda jalan masuk ke dalam gua dibuatnya dengan pensil.
"Sudah sejam ia duduk terus seperti itu," kata Bob.
"Wah! Kalau aku, sepuluh menit saja pasti takkan kuat," kata Pete.
Mereka berdua selalu kagum kalau melihat Jupiter sedang memusatkan perhatian pada sesuatu.
Tiba-tiba Jupiter berbicara, "Aku sedang meneliti posisi topografi Lembah Raungan dengan setepat-tepatnya, Pete. Kunci jawaban atas teka-teki yang kita hadapi, terletak pada pola fisik daerah itu."
"Hahh?" Pete hanya bisa melongo mendengar keterangan Jupiter.
"Jupe mengatakan bahwa menurut pendapatnya misteri ini bisa dipecahkan dengan jalan mempelajari letak tanah," kata Bob menjelaskan.
"Oh," kata Pete. "Kenapa ia tidak bilang begitu, jika itu maksudnya?"
Tanpa mengacuhkan komentar Pete, Jupiter meneruskan keterangannya, "Misteri Lembah Raungan yang sebenarnya ialah kenapa raungan itu berhenti begitu kita masuk ke dalam gua. Tadi malam kita dua kali mengalaminya - lalu ketika kita pergi dari sana, suara itu terdengar lagi."
Ia mengacungkan selembar surat kabar. "Di koran ini ada berita tentang terdengarnya lagi bunyi itu," katanya. "Di dalamnya ada keterangan sheriff yang mengatakan bahwa alasan utama tidak ada yang bisa mengetahui sebab-sebab terdengarnya raungan itu ialah karena begitu orang masuk ke dalam gunung, bunyi itu langsung lenyap."
Jupiter meletakkan surat kabar itu ke lantai. "Kini aku yakin bahwa suara itu tidak berhenti secara kebetulan saja!" katanya tegas.
"Kurasa kau benar," kata Bob. "Kalau diingat bagaimana bunyi itu mulai terdengar lagi ketika kita pergi dari sana, rasanya jelas bahwa ada orang mengamat-amati gerak-gerik kita."
"Tapi bagaimana anu - eh - model itu bisa membantu kita dalam penyelidikan ini, Jupe?" tanya Pete dengan cepat.
Jupiter memperhatikan model kasar yang dihadapinya. "Aku sudah menandai semua tempat yang kita datangi kemarin malam. Kita sudah tahu, setiap kali kita masuk ke dalam gunung, suara raungan itu langsung berhenti. Itu tidak mungkin, jika orang yang mengamat-amati kita berada di dalam gua."
Bob mengangguk-angguk "Ya, sekarang aku mengerti! Jadi kita mestinya sudah terlihat, sebelum kita masuk!"
"Tepat," kata Jupiter. "Dan berdasarkan model ini aku menarik kesimpulan bahwa cuma ada satu tempat saja dari mana kita tetap nampak ke mana pun kita pergi. Dari puncak Gunung Setan!"
"Kalau begitu kita tinggal melaporkan saja pada Mr. Dalton bahwa di atas gunung itu ada orang," seru Pete. "Biar dia saja yang menangkap orang itu!"
Tapi Jupiter menggeleng.
"Tidak bisa, Pete!" katanya. "Takkan ada yang mau percaya apabila bukan kita sendiri yang menangkap orang itu. Dan kita hampir tidak mungkin bisa sampai ke puncak tanpa ketahuan lebih dulu. Orang yang di atas itu pasti akan sudah lari sebelum kita sampai di sana."
"Kalau begitu -" kata Bob.
"Bagaimana -" ujar Pete saat itu juga.
"Kita harus mengamat-amati apa sebenarnya yang terjadi dalam gua," kata Jupiter serius, "agar dengan begitu bisa menceritakan segala-galanya kemudian. "
"Tapi kita tidak tahu apa yang terjadi di sana," bantah Pete. "Ya, kan?"
"Memang benar, tapi aku punya rencana tertentu," kata Jupiter. "Di samping itu aku juga sudah mempunyai petunjuk, apa sebetulnya yang menjadi persoalan!"
"0 ya?" kata Pete. "Petunjuk apa, maksudmu?"
"Kemarin malam aku menemukan ini dalam salah satu lorong," kata Jupiter sambil memperlihatkan batu hitam berpermukaan kasar yang ditemukannya dalam lorong yang merupakan liang tambang. "Lorong itu dulunya liang tambang, dan batu ini kutemukan di salah satu ujung yang tersumbat longsoran."
Bob mengambil batu kecil itu. Setelah diperhatikan sesaat dengan sikap bingung, batu itu disodorkan pada Pete.
"Apa ini, Jupe?" tanya Pete. "Maksudku, di samping sejenis batu keras yang terasa licin?"
"Coba kaugores kaca jendela dengannya," kata Jupiter.
"Apa?" kata Pete heran. "Kau sendiri kan tahu, mana mungkin -"
"Coba sajalah dulu," desak Jupiter. Wajahnya yang bundar membayangkan perasaan puas pada diri sendiri.
Pete menghampiri jendela, lalu menggoreskan batu kecil itu ke kaca. Ternyata langsung menimbulkan bekas yang dalam, seperti menggores mentega dengan pisau. Pete bersiul pelan.
"Wah, Jupe!" seru Bob. "Maksudmu, batu itu-"
"Intan," sambung Jupiter. "Ya, menurutku, itu intan kasar. Intan sebegitu termasuk berukuran besar. Kalau mutunya, kurasa tidak begitu tinggi - paling-paling seperti yang biasa dipakai untuk keperluan industri. Tapi pokoknya, itu intan."
"Maksudmu, Gua El Diablo itu tambang intan? Di sini? Di California?" tanya Bob dengan nada sangsi.
"Yah - kalau tidak salah pernah ada desas-desus mengenainya, dan -' ­Jupiter tidak menyelesaikan kalimatnya, karena saat itu pintu diketuk dengan keras dari luar, disertai suara Mrs. Dalton yang memanggil mereka.
"Ayo, bangun! Sarapan sudah tersedia di meja. Di sini tidak ada kebiasaan tidur lama-lama!"
Untuk saat itu segala urusan lain langsung dilupakan, begitu anak-anak menyadari bahwa mereka lapar sekali. Mereka cepat-cepat berpakaian. Lima menit kemudian ketiganya sudah ada di ruang dapur yang lapang. Mr. Dalton dan juga Profesor Walsh sudah ada di situ. Keduanya tersenyum pada Jupiter dan kedua temannya.
"Kelihatannya selera makan kalian sama sekali tidak terpengaruh oleh misteri yang merundung Lembah Raungan," kata Profesor Walsh mengomentari kelahapan mereka.
Mrs. Dalton sibuk mondar-mandir dalam dapur yang lapang dan terang itu, sementara anak-anak makan dengan nikmat.
"Bagaimana - kalian sudah siap bekerja hari ini?" tanya Mr. Dalton.
"Tentu saja sudah," kata Mrs. Dalton. "Kenapa tidak kaubawa saja mereka ikut menyabit rumput untuk makanan ternak di padang sebelah utara?"
"Ya, bagus juga idemu itu," kata Mr. Dalton. "Sehabis itu mereka bisa membantu mengumpulkan sapi-sapi yang terpencar."
"Kalian asyik berjalan-jalan di pantai kemarin malam?" tanya Profesor Walsh. "Apa yang kalian temukan di sana?"
"Kami melakukan perjalanan penelitian yang menarik," jawab Jupiter. "Kecuali itu kami juga berjumpa dengan seorang laki-laki tua yang aneh. Katanya, ia bernama Ben Jackson. Siapakah dia, Sir."
"Ah, dia itu prospektor - pencari barang tambangan," kata Mr. Dalton menjelaskan. "Bersama rekannya, Waldo Turner, kurasa seluruh kawasan barat ini sudah dijelajahinya, mencari emas, perak, dan batu mulia."
"Menurut cerita orang sini, keduanya datang kemari bertahun-tahun yang lalu," kata Mrs. Dalton menambahkan, "yaitu ketika tersiar desas-desus bahwa di sini ditemukan emas. Padahal kemudian ternyata sama sekali tidak ada. Tapi rupanya Ben dan Waldo tidak kenal kata menyerah. Mereka membangun gubuk di tanah kami, dan masih tetap menganggap diri mereka prospektor. Mereka kelihatannya tidak suka didatangi orang. Tapi mereka tidak berkeberatan menerima pemberian dari para petani sekitar sini. Pada mereka, kami tentu saja mengatakan bahwa itu penyediaan perbekalan dengan imbalan bagi hasil. Soalnya, mereka tidak mau menerima derma berdasarkan belas kasihan."
"Ya, mereka cukup terkenal di daerah sini," sela Profesor Walsh.
"Mereka paling jago kalau disuruh bercerita," kata Mr. Dalton lagi sambil tersenyum. "Memang - tingkah laku mereka agak aneh, sedang cerita-cerita mereka kebanyakan hanya bualan belaka. Antara lain mereka juga suka bercerita tentang perjuangan melawan orang Indian. Aku sangsi, apakah itu benar-benar pernah mereka alami."
"Wah! Maksud Anda, segala cerita itu bohong?" kata Pete kaget.
Sebelum Mr. Dalton sempat menjawab, tahu-tahu pintu belakang dapur terbuka dengan cepat. Luke Hardin, mandor pertanian itu masuk bergegas-gegas.
"Orang kita baru saja menemukan Castro di Lembah Raungan," katanya dengan wajah serius.
"Castro?" tanya Mr. Dalton. Ia kelihatannya agak gugup mendengar kabar itu.
"Betul! Ia terpelanting dari punggung kudanya tadi malam, ketika sedang menggiring sapi-sapi yang terpencar. Sepanjang malam ia terkapar di sana," kata Luke Hardin. "Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Mrs. Dalton. "Menurut dokter, ia tidak apa-apa. Tapi ia sekarang diangkut ke rumah sakit di Santa Carla."
"Sekarang juga aku akan ke sana!" kata Mr. Dalton sambil cepat-cepat bangkit.
"Orang-orang bawahan gelisah lagi," sambung Hardin dengan tampang muram. "Ada dua lagi yang tadi mengatakan minta berhenti padaku. Castro mengatakan, ketika ia sedang berada di Lembah Raungan, tiba-tiba ia melihat sesuatu bergerak-gerak. Langsung didekatinya, untuk memeriksa. Ia tidak sempat lagi menegaskan apa yang nampak itu, karena tahu-tahu kudanya menjadi liar. Castro terpelanting ke tanah, sementara kudanya minggat. Castro terkilir pergelangan kakinya, sedang seluruh tubuhnya memar."
Mr. Dalton berpandang-pandangan dengan istrinya. Keduanya nampak seperti bingung. Saat itu Jupiter membuka mulut.
"Kuda yang ditunggangi Castro itu warna bulunya hitam, Mr. Hardin?" tanyanya.
"Betul! Big Ebony! Kuda yang baik. Tadi pagi ia pulang sendiri ke kandang, sehingga kami langsung tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan Castro."
"Kalian kemarin malam melihat Big Ebony?" tanya Mr. Dalton dengan nada tajam pada Jupiter.
"Ya, Sir," jawab Jupiter. "Kuda hitam besar tanpa penunggang."
"Di tempat pertanian, kalian harus selalu melaporkan apabila melihat ada kuda tanpa penunggang," kata Mr. Dalton mengecam. "Coba tadi malam kalian sudah mengatakannya, tentu kami sudah lebih cepat menemukan Castro."
"Mestinya memang begitu, Sir," kata Jupiter berusaha menjelaskan, "tapi saat itu kami melihat seorang laki-laki berjalan dengan cepat menyusulnya. Orangnya jangkung. Pada pipinya yang sebelah kanan ada goresan bekas luka, sedang matanya yang satu ditutupi."
Mr. Dalton menggeleng. ­"Aku belum pernah mendengar orang yang tampangnya begitu di sini," katanya.
"Jangkung dengan mata sebelah ditutupi?" kata Profesor Walsh. "Kedengarannya menakutkan - tapi sudah jelas bukan El Diablo. Ia tidak jangkung. Lagi pula tidak memakai penutup mata."
Mr. Dalton melangkah ke pintu. "Luke," katanya, "coba kau usahakan agar orang-orang kita bisa tenang kembali. Sehabis menjenguk Castro, aku nanti menyusulmu di padang sebelah utara. Kurasa aku juga perlu bicara sebentar dengan sheriff mengenai orang yang kita anak-anak ini mereka lihat semalam."
"Jika Anda hendak ke kota, bisakah saya ikut ke sana?" sela Jupiter. "Saya harus kembali ke Rocky Beach hari ini."
"Eh - kau pulang, Jupiter?" tanya Mrs. Dalton.
"Bukan mau pulang," kala Jupiter. "Soalnya, kami memerlukan alat selam kami. Kemarin malam kami melihat beting karang di dekat pantai, yang nampaknya merupakan tempat yang baik sekali untuk mengumpulkan spesimen bagi penelitian kehidupan laut yang kami lakukan."
Bob dan Pete memandang Jupiter dengan heran. Mereka tidak merasa melihat beting karang malam kemarinnya. Dan mereka juga sama sekali tidak melakukan penelitian kehidupan laut. Tapi keduanya diam saja. Mereka sudah tahu bahwa lebih baik Jupiter jangan didebat, apabila teman mereka itu mempunyai niat tertentu.
"Wah - sayang aku tak punya waktu untuk mengantarmu pulang sebentar," kata Mr. Dalton. "Orang-orangku juga sedang sibuk semua. Lebih baik kautunggu saja dulu beberapa hari."
"Ah, itu tidak apa, Sir," jawab Jupiter. "Asal saya bisa ikut sampai ke kota saja, lalu dari sana saya naik bis. Kembalinya kemari, bisa diantar orang."
"Kalau begitu cepatlah," kata Mr. Dalton sambil berjalan ke luar.
"Kalian berdua sebaiknya juga mencari kesibukan sendiri saja, Anak-anak," kata Mrs. Dalton sambil memandang Pete dan Bob. "Karena adanya kesulitan ini. Mr. Dalton takkan punya waktu hari ini untuk menemani kalian bekerja."
"Baik, Ma'am," kata Bob.
Anak-anak kembali ke kamar mereka. Jupiter berkemas-kemas, sambil mengatakan apa yang harus dilakukan oleh Bob dan Pete selama ia tidak ada.
"Kalian ke Santa Carla," katanya. "Beli selusin lilin biasa yang panjang, serta tiga topi Meksiko yang pinggirannya lebar. Maksudku, topi sombrero. Di Santa Carla saat ini sedang ada Fiesta - jadi topi begitu pasti banyak dijual orang di sana. Bilang saja pada keluarga Dalton, kalian hendak menonton arak-arakan pesta rakyat itu."
"Sombrero - tiga buah?" tanya Pete mengulangi.
"Ya. betul," kata Jupiter tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. "Sesudah itu kalian ke perpustakaan. Bob, kaukumpulkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai sejarah Gunung Setan serta Lembah Raungan. Yang kumaksudkan data yang tepat, bukan cuma legenda-legenda rakyat saja."
"Akan kuselidiki sebisaku," kata Bob berjanji. "Tapi kau sendiri - untuk apa sebenarnya kau kembali ke Rocky Beach?"
"Untuk mengambil peralatan selam kita, seperti sudah kukatakan tadi," jawab Jupiter, "serta membawa intan yang kutemukan ke Los Angeles, untuk diperiksa oleh ahlinya di sana."
Sesaat terdengar Mr. Dalton memanggil dari bawah, "He, Jupiter! Bagaimana - sudah siap belum?"
Anak-anak bergegas turun ke tingkat bawah. Jupiter masuk ke kabin pick-up, duduk di samping Mr. Dalton yang mengemudi. Ketika mobil itu sudah berangkat, barulah Pete dan Bob menyadari bahwa mereka masih tetap belum tahu apa yang hendak dilakukan oleh Jupe dengan alat-alat selam yang hendak diambilnya itu. Sesudah kurang. lebih sejam ikut membantu Mrs. Dalton di dapur, Bob meminta pada nyonya rumah itu agar dipinjamkan kartu langganan perpustakaan. Kemudian diajaknya Pete berangkat naik sepeda ke Santa Carla.
"Bersenang-senanglah di sana, Anak-anak!" seru Mrs. Dalton sambil melihat keduanya pergi.
Bob dan Pete berangkat dengan perasaan meriah, karena keduanya memang ingin menyaksikan Fiesta Santa Carla yang termasyhur. Jalan yang mereka lewati berliku-liku menyusur lembah pedalaman yang luas dan pada tiga sisinya diapit oleh pegunungan daerah California Selatan yang gersang. Sinar matahari di tempat yang agak jauh dari laut itu terasa terik membakar kulit. Sungai-sungai kecil nampak kering kerontang. Di satu tempat mereka melintas di atas Sungai Santa Carla. Dasar sungai yang membujur jauh di bawah jembatan kelihatan kering sama sekali. Di sana-sini ada tumbuhan kerdil di permukaannya yang gersang. Tidak lama kemudian jalan mendaki ke arah Celah San Mateo. Bob dan Pete terpaksa berjalan sambil menuntun sepeda masing-masing, melewati tikungan demi tikungan tajam. Ngarai menganga dekat sekali di sisi kanan jalan, sedang pada sisi kiri langsung terdapat dinding tebing cadas yang terjal. Kedua remaja itu berjalan lambat-lambat, di bawah matahari yang bersinar cerah. Agak lama juga mereka terpaksa berjalan kaki. Akhirnya mereka sampai di puncak celah.
"Astaga! Coba lihat itu!" seru Pete kagum.
"Bukan main!" desah Bob hampir bersamaan.
Di depan mereka terbentang pemandangan yang sangat mengagumkan. Punggung gunung melandai sampai ke bukit-bukit kaki gunung yang rendah, disambung oleh dataran rendah daerah pesisir yang terbentang luas sampai ke Samudra Pasifik yang kelihatan membiru di kejauhan. Kota Santa Carla seperti memancarkan sinar kemilau ditimpa cahaya matahari. Bangunan-bangunan di situ, dilihat dari atas gunung kelihatan seperti kotak-kotak kecil di tengah dataran hijau yang sangat luas. Kapal-kapal kelihatan bergerak di atas permukaan laut yang biru, sedang Kepulauan Selat yang bergunung-gunung nampak seperti mengambang di kejauhan. Kedua remaja itu masih tetap asyik menikmati pemandangan indah itu, ketika dari arah belakang tiba-tiba terdengar derap langkah kuda berlari. Bob dan Pete berpaling dengan cepat. Seorang penunggang kuda nampak di jalan raya, menuju ke tempat mereka. Kuda tunggangannya berwarna hitam, dengan tali kekang serta pelana penuh dengan hiasan perak. Bob dan Pete hanya bisa berdiri saja seperti terpukau, sementara kuda itu menderap terus ke arah mereka. Penunggangnya laki-laki bertubuh kecil langsing, dengan mata hitam berkilat ia memakai topi Meksiko, jaket pendek, celana yang melebar bagian bawahnya - semua serba hitam. Begitu pula sapu tangan yang menutupi bagian bawah mukanya. Ia menggenggam pistol model kuno, yang diacungkan lurus ke arah Bob dan Pete.
El Diablo!
Lanjut ke bagian 2